4. bab 1-5 fix
Post on 28-Jan-2016
54 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri kependudukan abad 21 adalah meningkatnya pertumbuhan
penduduk lansia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia di
seluruh dunia mencapai 424 juta jiwa atau sekitar 6,8% total populasi. Jumlah ini
diperkirakan akan mencapai peningkatan dua kali lipat pada tahun 2025 dimana
terdapat 828 juta lansia yang menempati 9,7% populasi. Gejala menuanya
struktur penduduk (aging population) juga terjadi di Indonesia. Penduduk lansia
di Indonesia menunjukkan peningkatan absolut maupun relatif. Kalau pada tahun
1990 jumlahnya hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu
diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari
6,3% menjadi 11,4% dari total populasi (Bustan, 2007).
Tabel 1.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971-2020)
TahunPenduduk Lansia
Jumlah Persentase
1971 5.306.000 4,5
1980 7.998.000 5,4
1985 9.440.000 5,8
1990 11.277.000 6,3
1995 13.600.000 6,9
2000 15.882.000 7,6
2005 18.283.000 8,2
2010 17.303.000 7,4
2015 24.446.000 10,0
2020 29.021.000 11,4
Sumber : BPS, Sensus Penduduk; dan LDH-FEUI, Projeksi Penduduk Indonesia 1990-2020
1
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk lanjut usia di
atas 60 tahun di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan dari sebesar
554.761 jiwa (4,6%) pada tahun 2005 meningkat menjadi sebesar 765.822 jiwa
(5,9%) pada tahun 2010. Sementara menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan
berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk lanjut usia di Kota Medan
mencapai 117.216 orang (5,59%) yang meningkat jumlahnya dari tahun 2005
sebesar 77.837 orang (3,85%) (Mutiara, 2011).
Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat
proses alamiah yaitu proses menua (Aging) dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi. Permasalahan yang
berkembang memiliki keterkaitan dengan perubahan kondisi fisik yang menyertai
lansia. Perubahan kondisi fisik pada lansia diantaranya adalah menurunnya
kemampuan muskuloskeletal kearah yang lebih buruk. Penurunan fungsi
muskuloskeletal menyebabkan terjadinya perubahan secara degeneratif yang
dirasakan dengan keluhan nyeri kekakuan, hilangnya gerakan dan tanda-tanda
inflamasi seperti nyeri tekan, disertai pula dengan pembengkakan yang
mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Dari hasil studi tentang kondisi
sosial ekonomi dan kesehatan lansia yang dilaksanakan Komnas Lansia tahun
2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita lansia adalah penyakit
sendi (52,3%), penyakit penyakit sendi ini merupakan penyebab utama disabilitas
pada lansia. Diperkirakan pada tahun 2025 lebih dari 35 % akan mengalami
kelumpuhan akibat kerusakan tulang dan sendi (Afriyanti, 2009).
Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian
dalam sendi (Gordon, 2002).
Penyakit ini berlangsung tahunan, menyerang berbagai sendi biasanya
simetris, jika radang ini menahun, terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi,
dan tulang otot ligamen dalam sendi. Penderita Rheumatoid Arthritis di seluruh
dunia telah mencapai angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di
dunia ini menderita Rheumatoid Arthritis. Diperkirakan angka terus bertambah
hingga tahun 2025 dengan indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan
(Elvina dkk, 2010).
2
Di Amerika Serikat, Penyakit ini menempati urutan pertama dimana
penduduk AS dengan Rheumatoid Arhtritis 12.1 % yang berusia 27-75 tahun
memiliki kecacatan pada lutut, panggul, dan tangan, sedangkan di Inggris sekitar
25% populasi yang berusia 55 tahun ke atas menderita Rheumatoid Arhtritis
pada lutut (Afriyanti, 2009).
Sedangkan untuk wilayah Indonesia, prevalensi penderita Rheumatoid
Arthritis dapat dilihat dari jumlah Jemaah Haji Lansia tahun 2012 yang
terdiagnosa penyakit ini yakni berjumlah 2164 jiwa (Kementerian Kesehatan RI,
2013).
Demikian juga di daerah Kecamatan Percut Sei Tuan terkhususnya yang
berkunjung ke Puskesmas Mandala, jumlah penderita Rheumatoid Arthritis
mengalami peningkatan dalam 4 bulan terakhir selama tahun 2014, yakni dari
Bulan Januari terdapat 293 jiwa hingga Bulan April mencapai 303 jiwa. Penyakit
ini merupakan jenis penyakit yang sering dijumpai di Puskesmas Mandala
Kecamatan Percut Sei Tuan yang berada pada urutan ke 4 dari 13 jenis penyakit
(Laporan Puskesmas Mandala, 2014).
Sifat penyakit ini ialah kronis, yang tidak akan pernah sembuh dan
progresif. Terkadang penyakit ini akan mengakibatkan cacat, bahkan sangat
besar dari sebelumnya. Kebanyakan yang menderita penyakit ini adalah orang
dewasa (Naga, 2013).
Insiden Rheumatoid Arthritis terus meningkat pada usia 60 ke atas. Ini
telah dikemukakan bahwa timbulnya Rheumatoid Arthritis pada orangtua
mungkin memiliki perkiraan yang lebih buruk, akibat akitivitas yang berlebihan
dan penurunan fungsional yang lebih cepat (Fauci dkk, 2006).
Pemeriksaan untuk jenis penyakit tersebut dapat dilakukan di berbagai
tempat yang menyediakan layanan pemeriksaan tersebut. Salah satu tempat
yang sering dikunjungi lansia adalah puskesmas. Puskesmas merupakan unit
yang terpadu yang menyediakan berbagai layanan kesehatan termasuk
kesehatan terhadap lansia. Salah satu puskesmas yang terdapat di Kota Medan
adalah Puskesmas Mandala yang terletak di Jalan Cucak Rawa 11 Perumnas
Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan. Puskesmas Mandala
menyediakan berbagai pelayanan kesehatan seperti layanan kesehatan umum,
layanan kesehatan gigi, layanan kesehatan ibu dan anak, pemeriksaan
laboratorium dan layanan kesehatan lansia.
3
Berbagai kalangan masyarakat banyak mengunjungi puskesmas ini
terutama para lansia. Para lansia datang untuk melakukan kontrol terhadap
perkembangan kesehatannya.
Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang berkaitan dengan pemeriksaan Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada
lansia di Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan
Medan Tahun 2014.
B. Perumusan masalah
Bagaimana hasil Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada lansia yang di
Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun
2014.
C. Tujuan Penelitian
C.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya Rheumatoid Arthritis pada lansia di Puskesmas
Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun 2014.
C.2. Tujuan Khusus
Untuk menentukan adanya Rheumatoid Faktor dalam serum lansia di
Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan 2014.
D. Manfaat Penelitian
D.1. Bagi Peneliti
Untuk menambah ilmu pengetahuan penulis tentang Rheumatoid Arthritis
pada lansia di Puskesmas Mandala Medan.
D.2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai penambah bahan informasi dan wacana untuk pengembangan
penelitian lebih lanjut, khususnya bagi peneliti analis kesehatan yang ingin
melakukan pengembangan penelitian tentang Rheumatoid Arthritis pada lansia.
D.3. Bagi Masyarakat
Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
masyarakat khususnya lansia mengenai Rheumatoid Arthritis.
4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
A.1. Defenisi Lansia
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak dan
akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Azizah, 2011).
Pengertian lansia ada beragam, tergantung kerangka pandang individu, yakni :
1. Menurut Surini dan Utomo (2003), lanjut usia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani
semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan lingkungan.
2. Menurut Reimer et al (1999) ; Stanley and Beare (2007), mendefenisikan
lansia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap orang
telah tua jika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit,
dan hilangnya gigi.
3. Menurut Glascock dan Feinman (1981) ; Stanley and Beare (2007),
menganalisis kriteria lanjut usia dari 57 negara di dunia dan menemukan
bahwa kriteria lansia yang paling umum adalah gabungan antara usia
kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh
perubahan status fungsional seseorang (Azizah, 2011).
4. Menurut Smith dkk (1999), menggolongkan usia lanjut menjadi tiga
yaitu : young old (65-74 tahun); middle old (75-84 tahun); old old (lebih dari
85 tahun)
5. Menurut Setyonegoro (1984), menggolongkan bahwa yang disebut usia
lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
Selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun (young old); 75-80 tahun (old)
dan lebih dari 80 tahun (very old) (Tamher dkk, 2009).
5
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia pada bab 1 pasal 1 ayat 2 menetapkan, bahwa batasan
umur lansia di Indonesia adalah usia 60 tahun ke atas (Kementrian Kesehatan
RI, 2013).
A.2. Kesehatan Lansia
Masalah kesehatan lansia cukup luas dan bervariasi. Secara umum dapat
disebutkan seperti accidental falls (terjatuh), easy fatiguability (mudah lelah),
acute confusion (bingung akut), chest pain (nyeri dada), dyspnoe on exertion
(sesak), oedema of the lower limbs (pembengkakan pada anggota badan yang
lebih rendah), localized motor weakness (kelemahan pada saraf secara lokal),
back pain (nyeri punggung), painful hip joint (sakit pada sendi pinggang), urinary
incontinence (ketidakmaksimalan kerja sistem urin), altered bowel habits (kerja
usus berubah), impaired visual acuity (kerusakan ketajaman penglihatan),
headaches (sakit kepala), pruritus (gatal-gatal), sleep disorder (gangguan tidur)
dan rheumatoid arthritis (radang sendi) (Bustan, 2007).
Sebagaimana layaknya manusia yang bertumbuh semakin lama semakin
tua, pada dasarnya sel juga bertumbuh semakin lama semakin tua dan pada
akhirnya sel-sel tua itu mengalami kematian sel. Kematian tersebut bergantung
pada masing-masing jenis sel yang membentuk jaringan tubuh. Ciri-ciri sel yang
semakin menua adalah bentuk selnya mengecil, sintesis protein yang biasanya
berlangsung di dalam sel prosesnya semakin melambat, badan golgi kemudian
memecah, mitokondria mengalami fragmentasi, sehingga pada akhirnya sel yang
bersangkutan mati bahkan lambat laun menghilang akibat proses penyerapan
dalam jaringan tubuh.
Dalam konteks jaringan, sel-sel parenkim menyusut, ketidakteraturan juga
tampak dalam jumlah maupun ukuran sel. Khusus untuk sel saraf/ganglion,
terjadi pengurangan butir Nisl, penggumpalan kromatin, penambahan pigmen
lipofuscin, vakuolisasi protoplasma, dan banyak organel yang berkurang.
Jaringan ikat ekstraseluler juga semakin mengeras yang selanjutnya dapat
menghambat sirkulasi dan nutrisi jaringan (Tamher, 2009).
6
Untuk sel-sel imun dalam tubuh, dikatakan semakin tua seseorang semakin
banyak jumlahnya. Akan tetapi fungsinya semakin berkurang. Hal ini antara lain
berakibat bahwa semakin tua seseorang akan semakin mudah terserang
penyakit infeksi dibanding mereka yang lebih muda (Tamher, 2009).
Dengan kata lain kemampuan sistem imun yang mengalami kemunduran
pada masa penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang
terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor
yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan
protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik
menyebabkan kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat
menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan
tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun.
Hasilnya dapat pula berupa reaksi antigen antibody yang luas mengenai
jaringan-jaringan beraneka ragam, efek menua jadi akan menyebabkan reaksi
histoinkomtabilitas pada banyak jaringan. Salah satu bukti yang ditemukan ialah
bertambahnya prevelansi auto antibody bermacam-macam pada orang lanjut
usia. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya penahanannya mengalami
penurunan pada proses menua, termasuk pertahanan tulang terhadap aktivitas
keseharian.
Ketika terjadi proses penuaan secara degeneratif maka terjadi pula
perubahan–perubahan pada diri lansia, salah satu diantaranya perubahan sistem
muculoskeletal, yaitu:
1. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago,
dan jaringan pengikat megalami perubahan menjadi bentangan yang tidak
teratur. Perubahan pada kolagen tersebut merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak nyeri, penurunan
kemampuan untuk meningkatkan kemampuan otot, kesulitan bergerak dari
duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, dan hambatan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Azizah, 2011).
7
2. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan
akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago
untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah
progresif, konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan
terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar
penumpu berat badan. Akibatnya perubahan sendi itu mengalami
peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya
aktivitas sehari-hari.
3. Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang setelah di observasi adalah bagian dari
penuaan fisiologis trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula
transversal terabsorbsi kembali. Dampak berkurangnya kepadatan akan
mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas,
dan fraktur.
4. Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak otot mengakibatkan efek negatif. Dampak perubahan
morfologis pada otot adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas,
peningkatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional otot
5. Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia
mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas, terjadi degenerasi erosi,
dan klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Kelainan tersebut dapat
menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan
jalan dan aktivitas keseharian lainnya (Azizah, 2011).
8
A.3. Teori Untuk Proses Menua
A.3.a.Teori Genetik
Teori ini merupakan teori instrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam
tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses
penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara
genetik untuk spesies tertentu.
A.3.b.Teori non genetik
Yang termasuk dalam teori ini adalah teori penurunan sistem imun
tubuh (auto-immune theory). Mutasi yang berulang dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri
(self recognition). Jika mutasi yang merusak membran sel, akan
menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal
inilah yang mendasari peningkatan penyakit autoimun pada lanjut usia
(Nugroho, 2008).
B. Sendi
Rangka adalah suatu bingkai kerja yang bersendi yang menopang tubuh
dan melakukan beberapa gerakan yang fantastik yang dikendalikan oleh otot,
tendon dan ligamen yang menempel di tulang. Sedangkan sendi itu sendiri
adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang yang saling bergerak satu sama
lain. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul
sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia atau otot. Secara umum sendi terbagi
atas 3 tipe, yaitu :
1. Sendi Fibrosa (sinartrodial)
Merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa tidak memiliki
lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya dihubungkan
oleh jaringan penyambung fibrosa.
2. Sendi Kartilaginosa (amfiartrodial)
Merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak. Pada sendi ini, ujung tulang-
tulangnya dibungkus oleh tulang rawan hialin, dan disokong oleh ligamen.
(Helmi, 2012).
9
3. Sendi Synovial
Merupakan sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan dengan bebas. Sendi
ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Bagian cair dari cairan synovial diperkirakan berasal dari transudat plasma.
Cairan sinovia juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan
sendi. Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban
tubuh pada sendi synovial. Tulang rawan ini memegang perananan penting
dalam membagi beban tubuh.
Gambar 2.1. Komponen Sendi Synovial
Catatan dari James F.Fries. Arthritis, 1990, oleh Addison-Wesley (Gordon, 2002).
Tulang rawan sendi orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe atau
persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan
sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen dan
pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau ketika usia
bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen
tipe satu yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan
hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan
kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat (Helmi, 2012).
10
C. Jaringan penyambung
Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel
yang tidak dibuat dan tetap berada pada jaringan penyambung, seperti sel mast,
sel plasma, limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini
memegang peranan penting pada reaksi-reaksi imunitas, dan peradangan yang
terlihat pada penyakit rematik.
Jenis sel yang kedua dalam jaringan penyambung ini adalah sel-sel yang
tetap berada di dalam jaringan, seperti fibroblas, kondrosit, dan osteoblas. Sel-
sel ini menyintesis berbagai macam serat dan memiliki proteoglikan dari
substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan penyambung memiliki susunan
sel tersendiri.
Serat-serat yang digunakan di dalam substansi dasar ialah kolagen dan
elastin. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Perubahan sintesis
kolagen tulang rawan terjadi pada orang-orang yang usianya semakin lanjut.
Peningkatan aktivitas kolagenase terlihat pada bentuk penyakit-penyakit reumatik
yang diperantarai oleh imunitas, seperti Rheumatoid Arthritis.
Serat serat elastin memiliki sifat elastis yang penting. Serat ini di dapat
dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh
enzim yang disebut elastase. Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting
yang ditemukan dalam substansi dasar. Proteoglikan adalah molekul besar
terbuat dari rantai polisakarida panjang yang melekat pada pusat polipeptida.
Proteoglikan pada tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan pada
sendi sehingga dapat menahan beban-beban fisik yang berat. Proteoglikan dapat
menjadi fokus aksi autoimun pada gangguan seperti Rheumatoid Arthritis.
Pertambahan usia mengubah proteoglikan di dalam tulang rawan yang akan
mengurangi kerekatan satu dengan lainnya dan berinteraksi dengan kolagen
(Helmi, 2012).
11
Gambar 2.2. Perbedaan Antara Tulang Normal dan Penderita Rheumatoid
Arthritis
Sumber : http://blog.proboostdirect.com/wp-content/uploads/2013/08/RA-and-
normal.jpg.
D. Rheumatoid Arthritis
D.1. Defenisi
Kata arthritis berasal dari dua kata yunani, yaitu arthron yang berarti sendi,
dan itis yag berarti peradangan. Secara harifiah, arthritis berarti peradangan dari
suatu sendi (Gordon, 2002).
Arthritis dapat terjadi dimana saja, atau dapat terjadi pada lebih dari satu
sendi. Kondisi umum ini didefenisikan sebagai nyeri, kekakuan, atau
pembengkakan di dalam atau di sekitar sendi, yang bertahan lebih dari 2 minggu.
Arthritis meniliki beberapa bentuk yakni, Osteoartritis, Arthritis Rheumatoid dan
Gout Arthritis. Jenis peradangan yang paling umum adalah Arthritis Rheumatoid,
yang penyebab peradangannya sering kali tidak jelas. Peradangan ini memicu
mekanisme pertahanan tubuh melawan dirinya sendiri dan memperlama
peradangan tersebut, bahkan ketika tidak ada agen-agen merugikan yang masuk
ke dalam tubuh (Charlis, 2010).
Sedangkan Arthritis Rheumatoid atau sering disebut Rheumatoid Arthritis
(RA) merupakan suatu penyakit autoimun ditandai dengan adanya proses
12
peradangan kronis, bersifat sistemik. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang
luas, terutama mengenai beberapa sendi yang simetris, disertai manifestasi
ekstraartikular. Penyakit ini juga sering menyebabkan kerusakan pada sendi,
menyebabkan nyeri dan deformitas sendi yang menetap (Dewi, 2009).
Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul
dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas yang
berlebihan atau trauma berulang yang dialami sendi sehingga terjadi aus pada
tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi kartilago. Akibatnya akan
terasa nyeri apabila sendi digerakkan. Persendian yang jarang terserang adalah
pergelangan tangan dan kaki, siku serta bahu (Purwoastuti, 2009).
D.2. Epidemiologi
Arthritis Rheumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal
dan tersebar di seluruh dunia serta melibatkan semua ras kelompok etnik. AR
lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar
3:1. Perbandingan ini biasanya pada wanita dalam usia subur. Demikian pula
remisi seringkali dijumpai pada pasien AR yang sedang hamil. (Daud, 2003).
D.3. Etiologi
Penyebab utama Rheumatoid Arthritis tidak diketahui secara pasti. Diduga
penyebab utamanya karena gangguan autoimunitas dan berhubungan dengan
faktor infeksi, genetis, dan endokrin (Hembing, 2008).
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan
Arthritis Rheumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1
untuk menderita penyakit ini (Daud, 2003).
Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga juga merupakan penyebab
Arthritis Rheumatoid. Pada saat itu Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah
menciptakan sulfasalazine (salicyl-azo-sulfapyridine) yang terdiri dari gabungan
dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang bersifat antimikroba dan asam
5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat anti inflamasi non steroid
(Daud, 2006).
Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab Arthritis Rheumatoid juga timbul
karena umumnya penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan
13
disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul
dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan tercetusnya suatu
proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja.
Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab Arthritis Rheumatoid antara
lain adalah bakteri, mycoplasma, atau virus. Walaupun hingga kini belum berhasil
dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau
endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya Arthritis
Rheumatoid (Daud, 2006).
D.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis Arthritis Rheumatoid
terjadi akibat rantai peristiwa imunologis, yaitu pada tahap awal suatu
antigen penyebab Arthritis Rheumatoid yang berada pada membran sinovial,
akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai
jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR (Histokompatibilitas Leukocite Antigen) pada
membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ (Clusters
of differentiation Antigent) bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat
pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekukar ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
disebabkan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang yang
disekresi CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya
sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan poliferasi sel tersebut.
Poliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam
lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi
berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor- ᵦ (TNF-ᵦ,
Interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) (Daud, 2003).
14
Beberapa mediator lain juga bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang poliferasi dan aktivitasi
sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh
IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
membebaskan komponen kopmlemen C5a. Komponen komplemen C5a merupakan
faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat
menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi
tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkkan bahwa lesi
yang paling dini dijumpai pada Arthritis Rheumatoid adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial. Fagositosis kompleks imun oleh sel
radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas,
leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin)
yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan visikositas cairan
sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan
rawan sendi (Daud, 2003).
D.5. Gejala dan Tanda - tanda RA
D.5.a.Poliartritis Simetris
Arthritis Rheumatoid lebih sering mengenai sendi diartrodial. Pada
tahap lanjut penyakit ini mengenai sendi besar seperti pergelangan kaki,
lutut, siku, dan bahu akan terkena. Sendi yang terkena umumnya simetris,
disertai bengkak, nyeri dan kaku pada sendi selama lebih dari satu jam,
terutama pada pagi hari. Keluhan berlangsung secara simultan lebih dari 6
minggu (Dewi, 2009).
D.5.b.Disertai Gejala Sistemik
15
Pasien dengan Arthritis Rheumatoid memiliki gejala konstitusional
berupa demam, cepat lelah, malaise, mialgia, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan akibat inflamasi sistemik.
Tabel 2.1. Kriteria Rheumatoid Arthritis menurut American Reumatism Association (ARA)
KRITERIA TANDA DAN GEJALA
1 Kekakuan sendi dan jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness)
2 Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya
pada satu sendi
3 Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan)
pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya
selama enam minggu
4 Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain
5 Pembengkakan sendi yang bersifat simetris
6 Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor
7 Gambaran foto Rontgen yang khas pada Rheumatoid Arthritis
8 Uji aglutinasi Faktor Rheumatoid
9 Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovial
10 Gambaran histologik yang khas pada nodul
11 Pengendapan cairan cousin yang jelek
Hasil penilaian :
Klasik, bila terdapat tujuh kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6
minggu.
Defenitif, bila terdapat lima kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6
minggu.
Kemungkinan Reumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-
kurangnya selama 4 minggu.
(Helmi, 2012)
D.6. Diagnosa Rheumatoid Arthritis
16
D.6.a. Pemeriksaan Fisik
Secara umum sendi tangan dan kaki akan terpengaruh dalam
distribusi yang relatif simetris. Sendi menunjukkan peradangan dengan
pembengkakan, kelembutan, kehangatan, dan penurunan rentang gerak.
Atofi otot-otot interoseus tangan merupakan temuan awal yang khas
Klinis Rheumatoid Arthritis
Gambar 2.3. Tanda peradangan dengan manifestasi pembengkakan pada sendi tangan (Helmi, 2012).
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tenosinositis pada daerah ekstensor
pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pada sendi besar (misalnya sendi lutut)
gejala peradangan lokal berupa pembengkakan, nyeri serta tanda-tanda efusi
sendi. Kurang lebih 25% dari klien akan mengalami remisi, tetapi serangan akan
timbul kembali seperti semula. Pada stadium lanjut terjadi kerusakan sendi dan
deformitas yang bersifat permanen. Selanjutnya timbul ketidakstabilan sendi
akibat ruptur tendon atau ligamen yang menyebabkan deformitas rheumatoid
yang khas, berupa deviasi ulnar jari-jari pergelangan tangan serta valgus lutut
dan kaki (Helmi, 2012).
17
Kelainan Pada Klien Reumatoid Arthritis
Gambar 2.4. Adanya subkutaneus nodul yang banyak pada jari tangan disertai
deviasi ke arah luar.
Sumber : http://www.intechopen.com/books/innovative-rheumatology/laryngeal-
manifestations-of-rheumatoid-arthritis.
D.6.b. Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa uji serologik yang sering digunakan untuk menunjang
diagnosis dan prognosis Arthritis Rheumatoid, beberapa diantaranya
adalah :
1. Faktor Rheumatoid
Ciri utama yang menentukan Arthritis Rheumatoid adalah adanya
antiglobulin yang disebut Faktor Rheumatoid, yaitu suatu autoantibodi
terhadap fragmen Fc dari IgG. Sebagian besar Faktor Rheumatoid
terdiri atas molekul IgM yang dapat dideteksi dengan cara aglutinasi
lateks. Mungkin juga Faktor Reumatoid terdiri atas molekul IgG yang
tidak dapat dideteksi dengan cara yang lebih sensitif misalnya
dengan cara RIA (Kresno, 2010).
18
Hasil negatif palsu mungkin dijumpai bila binding sites IgM terhalang
(blocked) sehingga reaksi Faktor Rheumatoid IgM dengan IgG
membentuk kompleks yang larut dan tidak menimbulkan aglutinasi
Namun, kasus yang benar-benar seronegatif juga ada, yaitu bila
Arthritis Rheumatoid terjadi pada penderita agamaglobulinemia.
Terbentuknya anti-IgG diduga merupakan akibat autosensitisasi IgG.
Anti Imunoglobulin atau Faktor Rheumatoid diproduksi sebagai reaksi
terhadap IgG yang mengalami perubahan konfigurasi. Perubahan
konfigurasi atau struktur IgG telah terbukti disebabkan glikosilasi
abnormal pada fragmen Fc dari IgG. Akibat perubahan struktur pada
fragmen Fc ini maka fragmen Fc IgG dianggap asing sehingga
menyulut pembentukan anti IgG.
2. Antibodi Antinuklear (ANA)
Antibodi Antinuklear (ANA) seperti yang dijumpai pada SLE
(Systemic Lupus Erythematosus) juga dapat dijumpai pada Arthritis
Rheumatoid. Sebab terbentuknya ANA belum diketahui pasti, namun
beberapa hipotesis menyatakan bahwa pembentukan ANA
disebabkan sel B yang hiperaktif, dan aktivasi klon yang autoreaktif
baik karena gangguan sel T-supresor atau regulator, maupun
stimulasi poliklonal terhadap sel B oleh mikroba atau virus.
3. Anti CCP (Anti Citrunlinated Peptida)
Autoantibodi yang saat ini paling spesifik untuk Arthritis Rheumatoid
adalah antibodi yang diarahkan kepada antigen atau epitop yang
mengalami citrulinasi. Anti CCP dapat dijumpai beberapa tahun
sebelum muncul gejala erosif sendiri secara klinik. Kadarnya makin
meningkat menjelang muncul gejala erosif itu sehingga dapat
digunakan sebagai prediktor proresivitas penyakit (Kresno, 2010).
D.6.c. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi yang karakteristik untuk Arthritis Rheumatoid
berupa penyempitan celah sendi yang simetris yang terlihat pada 6-12
bulan awal (Dewi, 2009).
19
Rontgen pada tangan, pergelangan tangan dan kaki sebaiknya dilakukan
untuk menilai progresivitas penyakit dan efek terapi, seperti pada Gambar
2.5 (Dewi, 2009).
Radiologis Rheumatoid Arthritis
Gambar 2.5. Penyempitan ruang antar sendi serta deviasi jari-jari ke arah ulnar
(Helmi, 2012).
D.7 Penatalaksanaan Terhadap Penderita Rheumatoid Arthritis
D.7.a Pengobatan
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara
pencegahan dan pengobatan Arthritis Rheumatoid yang sempurna, saat ini
pegobatan pasien Arthritis Rheumatoid ditujukan untuk :
1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya dekstruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi
persendian agar tetap dalam keadaan baik
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang
terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Daud,
2006).
20
Saat ini ada pengobatan yang dilakukan untuk penderita Artritis
Rheumatoid, yakni dengan penggunaan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non
Steroid) yang umumnya diberikan pada pasien Artritis Reumatoid sejak
masa dini. Penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik.
D.7.b Peranan Pendidikan
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis,
riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan kepada pasien merupakan
hal yang amat penting dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai
penyakitnya, pasien Arthritis Rheumatoid diharapkan dapat melakukan
kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu
akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan
dini pada pasien Arthritis Rheumatoid. Salah satunya yang banyak
dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah The Arthritis Self
Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dan kawan-kawan
dari Stanford University. Peningkatan Pengetahuan pasien tentang
penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk
melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri
yang dialaminya (Daud, 2006).
D.7.c Rehabilitasi Pasien
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien Artritis Rheumatoid dengan cara :
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
Mencegah terjadinya deformitas
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang
lain (Daud, 2003).
21
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta menggunakan modalitas
terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa
nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan Arhtritis
Rheumatoid telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan Arthritis
Rheumatoid (Daud, 2003).
D.7.d Program Terapi Dasar
1. Istirahat
Penderita rematik arthritis biasanya mengalami kelelahan
sehingga kegiatan sehari-hari harus diatur sedemikian rupa
supaya tidak sampai kelelahan. Dianjurkan agar penderita
beristirahat secara cukup memadai (8 sampai 10 jam) sehari.
2. Latihan fisik
LatIhan fisik tertentu berguna untuk membantu mempertahankan
fungsi maksimal sendi. Namun, apabila latihan fisik dilakukan
secara berlebihan, akan menimbulkan rasa nyeri yang
menurunkan semangat penderita untuk meneruskan program
latihan
3. Terapi panas
Panas dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Ada banyak cara
dan teknik yang dapat digunakan, seperti sebagai berikut :
Berendam dalam bak mandi dengan air hangat, terutama untuk
merendam bagian yang nyeri.
Kompres panas, caranya rendam handuk dalam air panas,
kemudian letakkan pada sendi yang sakit.
Pemanasan kering, misalnya dengan menggunakan lampu
pamanas dan lain-lain (Purwoastuti, 2009).
4. Nutrisi
22
Tidak ada diet khusus yang dapat mempengaruhi atau mengobati
Artritis Rheumatoid, akan tetapi penderita Arthritis Rheumatoid
perlu mengikuti diet yang adekuat (cukup). Pasien yang berlebihan
berat badannya dianjurkan mengurangi berat badan agar sendi-
sendinya tidak mendapat tekanan tambahan (Purwoastuti, 2009).
E. Hubungan Rheumatoid Arthrist dengan Lansia
Pada mereka yang sudah berusia lanjut, lapisan pelindung persendian
mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental menyebabkan tubuh menjadi
kaku dan sakit saat digerakkan. Biasanya lebih banyak menyerang usia di atas
60 tahun (Hembing, 2006).
F. Kerangka Konsep dan Defenisi Operasional
F.1. Kerangka Konsep
F.2. Defenisi Operasional
1. Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya proses peradangan sendi secara kronis, bersifat
sistemik yang dianalisa dari sampel serum dengan metode aglutinasi.
2. Lansia adalah kelompok penduduk dengan batasan usia dari 60 tahun
ke atas yang mulai mengalami kemunduran baik secara fisik, mental
dan kesehatan.
BAB III
23
Variabel Terikat
Rheumatoid Arthritis
Variabel Bebas
Lansia
Umur
Jenis Kelamin
Terjadi
Aglutinasi
Tidak Terjadi
Aglutinasi
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
deskriptif dengan desain cross sectional, yaitu untuk melihat gambaran
Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada lansia di Puskesmas Mandala, Desa
Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun 2014.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
B.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Imunologi / Serologi Poltekkes
Kemenkes Medan Jurusan Analis Kesehatan.
B.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Maret – Juni 2014 dan pengambilan data
dilakukan pada Mei 2014.
C. Populasi dan Sampel
C.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang berkunjung ke
Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan pada
bulan Mei sampai Juni 2014 sebanyak 21 sampel.
C.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi lansia yang berkunjung
ke Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan
pada bulan Mei sampai Juni 2014 sebanyak 21 sampel.
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
D.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil sampel yaitu darah vena
pada Lansia di Puskesmas Mandala Medan, kemudian diperiksa di Laboratorium
Imunologi / Serologi Jurusan Analis Kesehatan.
D.1.a. Metode Pemeriksaan
24
Metode pemeriksaan dalam penelitian ini adalah metode Aglutinasi.
D.1.b Prinsip Kerja
Reagen RF (Rheumatoid Faktor) mengandung partikel latex yang
dilapisi dengan gamma globulin manusia. Ketika reagen yang dicampur
dengan serum yang mengandung RF pada level yang lebih besar dari
Sensitivitas Mercia RA-Test yaitu 8 IU/ml maka pada partikel akan terjadi
aglutinasi. Hal ini menunjukkan reaksi positif pada sampel terhadap
Rheumatoid Faktor (Fortress Diagnostics Limited, 2011).
D.2 Alat, Reagensia dan Sampel Uji
D.2.a Alat – alat
1. Spuit 3 ml
2. Tourniquet
3. Alkohol swab 70%
4. Tabung Reaksi
5. Rak Tabung
6. Sentrifuge
7. Clinipet 50
8. Pintip
9. Tangkai Pengaduk
10. Slide Test
11. Rotator
12. Handscoon
D.2.b. Reagensia
Reagen Lateks, kontrol serum positif, dan kontrol serum negatif.
D.2.c. Sampel Uji
Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan adalah serum
yang masing masing diambil sebanyak 50 .
25
D.3. Prosedur Kerja
Langkah-langkah untuk Pengambilan Darah Vena :
1. Bersihkan bagian yang akan diambil darah dengan alkohol 70% dan
biarkan sampai menjadi kering lagi, biasanya pada orang dewasa
yang dipakai salah satu vena cubitti.
2. Pasanglah ikatan pembendung pada lengan atas dan mintalah
pasien untuk mengepal dan membuka tangannya berkali-kali agar
vena jelas terlihat. Pembendungan vena tidak perlu dengan ikatan
erat-erat.
3. Tegangkanlah kulit di atas vena itu dengan jari-jari tangan kiri supaya
vena tidak dapat bergerak.
4. Tusukkanlah kulit dengan spuit dalam tangan kanan sampai ujung
jarum masuk ke dalam lumen vena.
5. Lepaskan atau renggangkan pembendungan dan perlahan-lahan
tarik spuit sampai jumlah darah yang dikehendaki dapat.
6. Lepaskan pembendungan jika masih terpasang.
7. Taruhlah kapas di atas spuit, kemudian cabut spuit dengan perlahan.
8. Mintalah kepada pasien supaya tempat tusukan itu ditekan selama
beberapa menit dengan kapas tadi (Gandasoebrata, 2008).
Langkah-langkah untuk memperoleh serum :
1. Ambil satu tabung reaksi, isi dengan darah, tidak dibubuhi
anticoagulant.
2. Tunggu 30 menit sampai darah membeku.
3. Kemudian putar (centrifuge) dengan kecepatan 3000rpm selama 15
menit, maka sel-sel darah akan mengendap dan cairan yang terperas
dari dalam bekuan darah yang berwarna kuning muda ini disebut
serum.
4. Lalu pisahkan serum dengan sel-sel darah.
5. Serum siap digunakan (Lubis, 1996).
26
Langkah-Langkah Pemeriksaan Sampel Secara Kualitatif
1. Semua reagen (reagen lateks, kontrol serum positif, kontrol serum
negatif) dan bahan dibiarkan pada suhu kamar.
2. Aduk reagen lateks dengan hati-hati sebelum digunakan untuk
menunda terjadinya gumpalan partikel.
3. Pipet ke atas slide :
Serum : 50
Kontrol Serum Positif : 50
Kontrol Serum Negatif : 50
Dalam lingkaran yang terpisah di kertas slide
4. Kemudian tambahkan Reagen Lateks sebanyak 50 pada semua
sampel dan kontrol serum.
5. Homogenkan dengan batang pengaduk yang berbeda
6. Goyang slide selama ± 2 menit atau letakkan di atas alat
rotatordengan kecepatan 100 rpm.
7. Segera baca hasil di bawah cahaya terang (Fortress Diagnostics
Limited, 2011).
D.4. Interpretasi Hasil
Secara Kualitatif
Positif (+) : Terjadi aglutinasi
Negatif (-) : Tidak terjadi aglutinasi (Fortress Diagnostics Limited, 2011).
D.5. Hal-hal yang mengganggu pemeriksaan laboratorium :
1. Sensitivitas tes dapat berkurang pada suhu rendah. Hasil terbaik
diperoleh lebih dari 10°C
2. Penundaan dalam membaca hasil dapat meningkat pada hasil
Rheumatoid Faktor. Lebih dari 2 menit dapat menyebabkan hasil positif
palsu.
3. Terkontaminasi
4. Kondisi serum yang tidak baik/lisis
5. Hasil yang diperoleh dengan uji lateks tidak bisa dibandingkan dengan
yang diperoleh oleh uji Waaler Rose.
27
Perbedaan dalam hasil tidak mencerminkan perbedaan antara teknik
kemampuan untuk mendeteksi Rheumatoid Faktor (Fortress Diagnostics
Limited, 2011).
E. Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan cara tabulasi dan disajikan dalam bentuk
tabel kemudian dilakukan pembahasan berdasarkan pustaka yang ada.
28
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil yang diperoleh dari 21 sampel yang dilakukan terhadap pemeriksaan
Rheumatoid Arfthritis pada Lansia di Puskesmas Mandala Medan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi Pemeriksaan Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Usia Lansia di Puskesmas Mandala Medan
No Usia (tahun)Positif Negatif
F % F %
1 ≤ 60 0 0 1 5
2 61-70 1 5 13 61
3 71-80 4 19 1 5
4 81-90 0 0 1 5
Jumlah 5 24 16 76
Dari Tabel 4.1. diatas dapat dilihat bahwa pada pemeriksaan Rheumatoid
Arthritis pada Lansia yang berusia 71-80 tahun ditemukan lebih banyak positif
dengan persentase 19% dibandingkan dengan Lansia yang berusia 61-70
dengan persentase 5%, dan tidak ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia
yang berusia ≤ 60 tahun & 81-90 tahun. Sedangkan untuk hasil negatif lebih
banyak ditemukan pada Lansia yang berusia 61-70 tahun dengan persentase
61% dibanding Lansia yang berusia ≤ 60 tahun, 71-80 tahun, & 81-90 tahun yang
hanya ditemukan 5%.
29
Tabel 4.2. Distribusi frekuensi Pemeriksaan Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Jenis Kelamin Lansia di Puskesmas Mandala
Medan
No Jenis KelaminPositif Negatif
F % F %
1 Laki-Laki 3 14 4 19
2 Perempuan 2 10 12 57
Jumlah 5 24 16 76
Dari Tabel 4.2. diatas dapat dilihat bahwa pada pemeriksaan Rheumatoid
Arthritis pada Lansia laki-laki ditemukan lebih banyak positif dengan persentase
14% dibandingkan dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%.
B. Pembahasan
Dari Hasil penelitian yang dilakukan terhadap pemeriksaan Rheumatoid
Arthritis, pada Lansia laki-laki ditemukan lebih banyak positif dengan persentase
14% dibandingkan dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%. Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prevalensi Rheumatoid Arthritis
lebih sering dijumpai pada wanita yang dalam usia subur bukan usia lanjut. Hal
ini disebabkan oleh faktor hormonal seperti estrogen dan progesteron. Efek
estrogen ini terutama pada perannya dalam penurunan apoptosis sel B,
mengatur keseimbangan sel T dan produk sitokinnya. Saat kehamilan 75%
pasien akan mengalami remisi dan kembali normal beberapa minggu setelah
melahirkan (Dewi, 2009).
Pada tabel distribusi frekuensi berdasarkan usia ditemukan bahwa pada
Lansia yang berusia 71-80 tahun ditemukan lebih banyak terdapat positif
Rheumatoid Arthritis dengan persentase 19% dibandingkan dengan Lansia yang
berusia 61-70 tahun dengan persentase 5%, sedangkan untuk hasil negatif lebih
banyak ditemukan pada Lansia yang berusia 61-70 tahun dengan persentase
61% dibanding Lansia yang berusia ≤ 60 tahun, 71-80 tahun & 81-90 tahun
30
hanya ditemukan 5%. Hal ini disebabkan karena biasanya mereka yang sudah
berusia lanjut, umumnya lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan
tulang mulai mengental menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat
digerakkan. Akibatnya jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular yang
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas, terjadi degenerasi erosi, dan
klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Kelainan tersebut dapat menimbulkan
gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan jalan dan aktivitas
keseharian lainnya (Hembing, 2006).
Selain itu, ketika usia semakin menua maka sel-sel imun dalam tubuh pun
semakin banyak jumlahnya namun fungsinya semakin berkurang, sehingga
terjadilah kemunduran kemampuan sistem imun yang terdiri dari sel limfatik
khususnya sel darah putih. Seiring dengan proses penuaan terjadi maka
perubahan kemampuan sistem imun tubuh pun berubah, terutama kemampuan
sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri sehingga menyebabkan kelainan
pada antigen permukaan sel dan sistem imun juga menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing yang menghancurkannya.
Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Azizah,
2011)
31
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan pada Lansia yang ada di
Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun
2014 yang diperiksa di laboratorium imunologi/serologi jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Berdasarkan Usia ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia yang
berusia 71-80 tahun lebih banyak positif dengan persentase 19%
dibandingkan dengan Lansia yang berusia 61-70 dengan persentase 5%,
2. Berdasarkan Jenis Kelamin ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia
laki-laki lebih banyak positif dengan persentase 14% dibandingkan
dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%.
B. Saran
1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, perlu dilakukan penelitian
dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar hasilnya lebih
representatif
2. Penderita Rheumatoid Arthritis sebaiknya memeriksa kesehatan secara
rutin di Rumah Sakit maupun Puskesmas..
3. Untuk menghindari terjadinya gejala Rheumatoid Arthritis , perlu kiranya
Lansia mengatur pola makan, tidak beraktivitas secara berlebihan,
menghindari olahraga berat, dan istirahat yang cukup.
4. Diharapkan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti dengan metode
yang berbeda.
32
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, F.A., 2009. Tingkat Pengetahuan Lansia tentang Penyakit Rheumatoid Arthritis di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia Cipayung Jakarta Tahun 2009. [pdf] Jakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. (diakses 12 Mei 2014), diunduh dari perpus.fkik.uinjkt.ac.id.
Azizah, L.M., 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi I. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta.
Charlish, A., 2010. Arthritis Reumatik. Yogyakarta : Quantum Publishing.
Daud, R dan H. M. Adnan., 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Daud, R dan H. M. Adnan., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Dewi, S., 2009. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi. Jakarta : Perhimpunan Reumatologi.
Elvina dan N.L Sari., 2010. Hubungan Tingkat Kemandirian Lansia dengan Upaya Pencegahan Kekambuhan Penyakit Arthritis Rheumatoid pada Lansia di Puskesmas Nusa Indah. [pdf] Bengkulu : Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu. (diakses 19 Februari 2014), diunduh dari www.saptabakti.ac.id.
Fanada, M dan W Muda., 2012. Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai. [pdf] Palembang : Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan. (diakses 20 Februari 2014), diunduh dari www.banyuasinkab.go.id/tampung/dokumen.
Fauci, A.S dan Langford, C.A., 2006. Harrison Rheumatologi. McGraw-Hill Companies : Amerika Serikat.
Fortress Diagnostics Limited., 2011. Kit Insert Rheumatoid Factors. United Kingdom.
Gandasoebrata, R., 2008. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : 2008.
Gordon, N.F., 2002. Radang Sendi (Arthritis). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Helmi, Z.N., 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
33
Hembing., 2008. Atasi Asam Urat dan Rematik. Jakarta : Puspa Swara.
Kementerian Kesehatan RI., 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia. [pdf] Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. (diakses 19 Februari 2014), diunduh dari www.depkes.go.id.
Kresno, S.B., 2010. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Laporan Puskesmas Mandala, 2014. Medan.
Lubis., 1996. Diktat Hematologi I. Medan.
Mutiara, E., 2011. Karakteristik Dan Kebutuhan Penduduk Lanjut Usia Di Kota Medan. [pdf] Medan : Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan – Universitas Sumatera Utara. (diakses 7 Mei 2014), diunduh dari http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/HasilPenelitian/Karakteristik Demografis/2011/Karakteristik dan Kebutuhan Penduduk Usia Lanjut di Kota Medan.pdf
Naga, S.S., 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Yogyakarta : DIVA Press.
Nugroho, H.W., 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Purwoastuti, Th.E., 2009. Waspadai Gangguan Rematik. Yogyakarta : Kanisius.
Tamher, S dan Noorkasiani., 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
http://blog.proboostdirect.com/wp-content/uploads/2013/08/RA-and-normal.jpg.
http://www.intechopen.com/books/innovative-rheumatology/laryngeal-manifestations-of-rheumatoid-arthritis.
http://www.bps.go.id.
http://sumut.bps.go.id.
34
top related