76372922-laporan-atsiri-kafein
Post on 08-Feb-2016
56 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
I.a. Latar Belakang
I.b. Tujuan
II. METODOLOGI
II.a. Alat dan Bahan
Alat yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah gelas kimia, HPLC, statip,
Erlenmeyer. Bahan yang diperlukan dalam praktikum ini adalah teh hijau, teh hitam,
aquades, kopi bubuk, kopi arabika bubuk, kopi robusta bubuk, dan coklat bubuk.
II.b. Tempat
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Pengawasan Mutu dan
Laboratorium Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian
II.c. Metode
1. Ekstraksi Kafein
2. Penentuan Kadar Kafein
Sebanyak 10
mg kafein
ditimbang
Dimasukkan ke
dalam labu
ukur 100 ml
Larutkan
sampai
tanda tera
Aduk dengan
sonifikasi
selama 5 menit
Larutan
disaring
Larutan
diinjeksikan
ke alat HPLC
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.a. Hasil Praktikum
[Terlampir]
III.b. Pembahasan
Kafein merupakan jenis alkaloid yang secara alamiah terdapat dalam biji
kopi, daun teh, daun mete, biji kola, biji coklat, dan beberapa minuman penyegar.
Kafein memiliki berat molekul 194.19 dengan rumus kimia C8H10N8O2 dan pH 6.9
(larutan kafein 1% dalam air). Kafeina memiliki molekul metabolit yaitu 1-3-7-asam
trimetilurat, paraksantina, teofillina dan teobromina dengan masing-masing lintasan
metabolismenya. Kafein ialah alkaloid yang tergolong dalam keluarga
methylxanthine bersama-sama senyawa tefilin dan teobromin. Pada keadaan asal,
kafein ialah serbuk putih yang pahit. Nama sistematik kafein ialah:
1,3,7-trimetilxanthine atau 3,7-dihidro-1,3,7-trimetil-1H-purin-2,6-dione
Sifat umum kafein menurut Siswoputranto (1993) adalah sebagai berikut:
Titk beku : 238°C
Titik didih : 178°C
Tekanan uap : 760 mm Hg pada 178 °C
Berat molekul: 197,19
Kelarutan di air: 2,17%
pH : 6,9 (1% larutan)
Dalam praktikum yang telah dilakukan, ekstraksi kafein dari tiap-tiap bahan
menggunakan metode HPLC. High Pressure Liquid Chromatography (HPLC)
merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. HPLC termasuk metode analisis
terbaru yaitu suatu teknik kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam
cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan metode
lainnya (Snyder dan Kirkland, 1979; Johnson dan Stevenson, 1978). Kelebihan itu
antara lain:
Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi
Dapat dihindari terjadinya dekomposisi / kerusakan bahan yang dianalisis
Resolusi yang baik
Dapat digunakan bermacam-macam detektor
Kolom dapat digunakan kembali
Mudah melakukan "sample recovery"
Untuk zat yang labil & tidak mudah menguap
Dilakukan pada suhu kamar
Dapat untuk senyawa anorganik & Mr besar
Gambar Skema alat HPLC
Prinsip kerja & Instrumentasi
• Fasa gerak zat cair (eluen/pelarut)
Pelarut yang baik untuk cuplikan, murni, jernih, tidak kental, sesuai dengan
detektor.
• Pompa motor
Berfungsi sebagai penggerak fasa gerak, syaratnya tahan korosi dan
minimum tekanan pompa 6000 psi.
• Pemasukkan cuplikan
Syarat pemasukkan cuplikan yaitu tekanan tidak turun. Teknik yang dipakai
untuk memasukkan cuplikan dengan injeksi syringe disuntikkan melalui
septum (tahan P = 1500 psi).
• Kolom
Fungsi kolom menyaring kotoran dan menjenuhkan fasa diam. Ukuran kolom
dari diameter 4-5 mm.
• Detektor
Detektor HPLC digunakan untuk senyawa organik adalah detektor UV 254
nm. Variabel panjang gelombang dapat digunakan untuk mendeteksi banyak
senyawa dengan range yang lebih luas.
Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang dapat
memisahkan setiap komponen dalam suatu campuran. Pemisahan ini didasarkan pada
perbedaan migrasi setiap komponen yang disebabkan karena perbedaan sifat
interaksi dari setiap komponen pada fase diam dan fase gerak. Berdasarkan fase
geraknya metoda kromatografi cair dan kromatografi gas. Salah satu contoh dari
pengembangan metode kromatografi cair dalam HPLC (High Performance Liquid
Chromatgraphy) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
HPLC didefinisikan sebagai kromatografi cair yang dilakukan dengan
memakai fase diam yang terikat secara kimia pada penyangga halus yang distribusi
ukurannya sempit (kolom) dan fase gerak yang dipaksa mengalir dengan laju alir
yang terkendali dengan memakai tekanan tinggi sehingga menghasilkan pemisahan
dengan resolusi tinggi dan waktu yang relatif singkat.
HPLC adalah alat yang sangat bermanfaat dalam analisis. Bagian ini
menjelaskan bagaimana pelaksanaan dan penggunaan serta prinsip HPLC yang sama
dengan kromatografi lapis tipis dan kromatografi kolom. HPLC secara mendasar
merupakan perkembangan tingkat tinggi dari kromatografi kolom. Selain dari pelarut
yang menetes melalui kolom dibawah grafitasi, didukung melalui tekanan tinggi
sampai dengan 400 atm. Ini membuatnya lebih cepat.
HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran sangat kecil
untuk material terpadatkan dalam kolom yang mana akan memberi luas permukaan
yang lebih besar berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul yang
melintasinya. Hal ini memungkinkan pemisahan yang lebih baik dari komponen-
komponen dalam campuran.
Resolusi adalah pengukuran secara fisik suatu pemisahan. Resolusi dapat
ditingkatkan dengan mengoptimasi perameter –perameter HPLC yaitu retensi,
selektivitas, dan evisiensi. Secara praktis parameter-parameter tersebut dapat
dioptimalkan dengan mengubah:
1. komposisi dari fase gerak
2. laju alir
3. sifat kimia dari fase gerak
4. jenis kolom
Metode HPLC dapat digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif. Untuk
analisa kualitatif dengan membandingkan kromatografi sampel dengan kromatogram
baku pembanding berdasarkan waktu retensinya. Sedangkan untuk analisa kuantitatif
dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
Cx = Ax / Ap x Cp
Keterangan:
Cx = Konsentrasi sampel
Ax = Peak area sampel (Luas puncak)
Ap = Peak area pembanding (Luas puncak)
Cp = Konsentrasi pembanding
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju
detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu
dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang
maksimum dari senyawa itu. Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi
yang berbeda. Untuk beberapa senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan
bergantung pada:
tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari
pelarut)
kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada
ukuran partikel)
komposisi yang tepat dari pelarut
temperatur pada kolom
Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati kolom.
Metode umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan serapan
ultra-violet. Banyak senyawa-senyawa organik menyerap sinar UV dari beberapa
panjang gelombang. Jika anda menyinarkan sinar UV pada larutan yang keluar
melalui kolom dan sebuah detektor pada sisi yang berlawanan, anda akan
mendapatkan pembacaan langsung berapa besar sinar yang diserap Jumlah cahaya
yang diserap akan bergantung pada jumlah senyawa tertentu yang melewati melalui
berkas pada waktu itu. Anda akan heran mengapa pelarut yang digunakan tidak
mengabsorbsi sinar UV. Pelarut menyerapnya! Tetapi berbeda, senyawa-senyawa
akan menyerap dengan sangat kuat bagian-bagian yang berbeda dari specktrum UV.
Misalnya, metanol, menyerap pada panjang gelombang dibawah 205 nm dan air pada
gelombang dibawah 190 nm. Jika anda menggunakan campuran metanol-air sebagai
pelarut, anda sebaiknya menggunakan panjang gelombang yang lebih besar dari 205
nm untuk mencegah pembacaan yang salah dari pelarut.
Output akan direkam sebagai rangkaian puncak-puncak, dimana masing-
masing puncak mewakili satu senyawa dalam campuran yang melalui detektor dan
menerap sinar UV. Sepanjang anda mengontrol kondisi kolom, anda dapat
menggunakan waktu retensi untuk membantu mengidentifikasi senyawa yang
diperoleh, tentunya, anda (atau orang lain) sudah mengukur senyawa-senyawa
murninya dari berbagai senyawa pada kondisi yang sama. Area yang berada dibawah
puncak sebanding dengan jumlah X yang melalui detektor, dan area ini dapat
dihitung secara otomatis melalui layar komputer. Area dihitung sebagai bagian yang
berwarna hijau dalam gambar (sangat sederhana). Jika larutan X kurang pekat, area
dibawah pucak akan berkurang meskipun waktu retensi akan sama.
Kafein mengikat reseptor adenosina diotak. Adenosina ialah nukleotida yang
mengurangi aktivitas sel saraf saat tertambat pada sel tersebut. Seperti
adenosina, molekul kafein juga tertambat pada reseptor yang sama, tetapi akibatnya
berbeda. Kafein tidak akan memperlambat aktivitas sel saraf atau otak, sebaliknya
menghalangi adenosina untuk berfungsi. Dampaknya aktivitas otak meningkat dan
mengakibatkan hormon epinefrinterlepas. Hormon tersebut akan menaikkan detak
jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran darah ke otot-otot,
mengurangi penyaluran darah ke kulit dan organ dalam dan mengeluarkan glukosa
dari hati. Lebih jauh, kafein juga menaikkan permukaan neurotransmiter dopamin di
otak.
Produk Kandungan kafein
Secangkir Kopi Bubuk 85 mg
Secangkir Teh 35 mg
Sebotol Coco cola 35 mg
Minuman energi (kratingdaeng, M-150,Galin Bugar, dll ) 50 mg
Kopi Instan 2.8 – 5.0%
Kopi Moka (mentah) 1.08%
Kopi Moka (sangrai) 0.82%
Kopi Robusta Jawa 1.48%
Kopi Arabika 1.16%
Kopi Liberika (mentah) 1.59%
Kopi Liberika (sangrai) 2.19%
Sumber: Johnson, E. L. and Steven son, R. (1978).
Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae dan terdiri atas banyak jenis
antara Coffea arabica, Coffea robusta dan Coffea liberica. Negara asal tanaman kopi
adalah Abessinia yang tumbuh di dataran tinggi (Ridwansyah, 2003). Tanaman kopi
Robusta tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1.000 m diatas
permukaan laut, daerah-daerah dengan suhu sekitar 200C. Kopi Robusta digolongkan
lebih rendah mutu citarasanya dibandingkan dengan citarasa kopi Arabika. Hampir
seluruh produksi kopi Robusta di seluruh dunia dihasilkan secara kering dan untuk
mendapatkan rasa lugas tidak boleh mengandung rasa-rasa asam dari hasil
fermentasi. Kopi Robusta memiliki kelebihan yaitu kekentalan lebih dan warna yang
kuat (Siswoputranto, 1992).
Tanaman kopi arabika menghendaki daerah-daerah yang lebih tinggi sampai
ketinggian sekitar 1700 m diatas permukaan laut, daerah-daerah yang umumnya
dengan suhu sekitar 10-16°C. Tanaman kopi liberika dapat tumbuh di dataran
rendah. Kopi Arabika adalah kopi yang paling baik mutu cita rasanya, tanda-
tandanya adalah biji picak dan daun hijau tua dan berombak-ombak (Ridwansyah,
2003).
Bentuk murni kafein dijumpai sebagai kristal berbentuk tepung putih atau
berbentuk seperti benang sutera yang panjang dan kusut. Bentuk kristal benang itu
berkelompok akan terlihat seperti bulu domba. Kristal kafein mengikat satu molekul
air, dapat larut dalam air mendidih. Didalam pelarut organic maka pengkristalan
yang terjadi tanpa ikatan molekul air. Kafein mencair pada suhu 235-237°C dan akan
menyublin pada suhu 1760 C dialam ruangan terbuka. Kafein mengeluarkan bau
yang wangi, mempunyai rasa yang sangat pahit dan mengembang di dalam air
(Ridwansyah, 2003).
Kadar kafein dalam kopi robusta yang dihasilkan pada percobaan sebesar
947,1087763 ppm (0,947 gram kafein/ 1 kg kopi robusta). Sedangkan, menurut
Clarke and Macrae (1987) kadar kafein dalam kopi robusta 2 % bobot kering atau
sekitar 20 gram kafein per 1 kg kopi robusta. Hasil percobaan sangat berbeda jauh
dengan literatur. Kopi robusta sampel lebih rendah kadar kafeinnya dibandingkan
kadar kafein kopi robusta dari literatur karena kopi robusta yang digunakan sebagai
sampel bukan kopi yang baru. Kopi tersebut telah disimpan sekitar lebih dari 20
tahun. Kafein adalah basa moncidic yang lemah dan dapat memisah dengan
penguapan, serta mudah diuraikan oleh alkalis yang panas (Ridwansyah, 2003).
Sehingga seiring berjalannya waktu, kadar kafein yang terdapat dalam biji
kopi semakin berkurang. Kadar kafein dalam kopi arabika sebesar 1 % bobot kering
atau sama dengan 10 gram kafein dalam 1 kg kopi arabika (Clarke and Macrae,
1987). Kadar kafein dalam kopi arabika yang dihasilkan pada percobaan sebesar
2082,3698745 ppm (2,082 gram kafein/ 1 kg kopi arabika). Seperti halnya kopi
robusta, kopi arabika yang digunakan sebagai sampel telah disimpan sekitar lebih
dari 20 tahun. Kadar kafein kopi arabika sampel lebih kecil dibandingkan kadar
kafein kopi arabika literatur. Kopi yang telah lama disimpan mengakibatkan
kafeinnya terdegradasi menjadi kafeol dan terpisah dari kafein. Sehingga kadar
kafein kopi arabika sampel menjadi lebih kecil dibanding literatur.
Ekstraksi kafein dari kopi, untuk menghasilkan kopi tanpa kafein (kopi decaf)
dan ekstraksi kafein tersebut dapat dilakukan dengan alcohol, benzene, kloroform,
trichloroethylene dan diklorometana semuanya telah digunakan selama bertahun-
tahun tetapi untuk alasan kesehatan dipilih ekstraksi air yaitu: biji kopi direndam
dalam air yang mengandung senyawa lain selain kafein dan berkontribusi terhadap
rasa kopi, Kafein dapat diisolasi dengan adsorpsi arang aktif atau dengan cara
penyulingan, rekristalisasi, atau osmosis terbalik. Air kemudian dituang kembali
dengan kacang-kacangan hingga menguap dan kering, sehingga tercipta kopi tanpa
kafein dengan rasa aslinya. Kafein yang telah diekstraksi biasanya digunakan
kembali dalam pembuatan obat-obatan maupun makanan.
Kopi bubuk yang beredar dipasaran biasanya merupakan campuran antara
kopi arabika dan kopi robusta. Kopi instan atau kopi bubuk mengandung 65
miligram kafein per porsi; kopi diseduh di perkolator memiliki 80 miligram, dan kopi
yang dibuat menggunakan metode tetes memiliki 155 miligram (Matissek, R. 1997).
Namun berdasarkan hasil praktikum, didapatkan banyaknya kafein dalam bahan kopi
bubuk dengan rendemen 17.35% adalah sebanyak 10413.6768767 ppm.
Dibandingkan dengan kadar kafein standar yang digunakan, area sample kopi bubuk
adalah yang palung luas yaitu sebesar 12129.8. Namun hal ini belum memastikan
kopi bubuk memiliki kadar kafein tertinggi karena kadar kafein dalam bahan the
hijau yang digunakan adalah yang terbesar (12778.9105926 ppm). Kadar kafein kopi
bubuk cukup tinggi karena luasan permukaan kopi bubuk lebih besar dibandingkan
dengan kopi mentah sehingga proses ekstraksi kopi bubuk dapat lebih efisien.
Cokelat yang didapatkan dari biji kakao mengandung sejumlah kecil kafeina.
Efek rangsangan yang dihasilkan oleh coklat berasal dari efek kombinasi
teobromina, teofilina, dan kafeina. Coklat mengandung jumlah kafeina yang sangat
sedikit untuk mengakibatkan rangsangan yang setara dengan kopi. 28 gram sajian
coklat susu batangan mengandung kadar kafeina yang setara dengan secangkir kopi
yang didekafeinasi. Menurut Matissek, R (1997), bukti awal penggunaan kafein
kakao berasal dari residu yang ditemukan di sebuah pot tembikar Maya kuno
bertanggal ke 600 SM. Di Dunia Baru, cokelat dikonsumsi dalam minuman pahit dan
pedas disebut xocolat, sering dibumbui dengan vanili, lada chile, dan achiote.
Xocolat diyakini untuk melawan kelelahan, sebuah keyakinan yang mungkin
disebabkan oleh kandungan theobromine dan kafein. Chocolate adalah sebuah
kemewahan yang penting baik di seluruh Mesoamerika pra-Columbus, dan biji
coklat sering digunakan sebagai mata uang. Hal ini menunjukkan penggunaan
cokelat yang meluas dan dapat diterima di berbagai wilayah. Karena itu, pengolahan
cokelat terus berkembang hingga kini.
Hasil praktikum ekstraksi kafein dengan bahan cokelat bubuk menunjukkan
bahwa cokelat bubuk yang digunakan sebagai sampel uji memang memiliki kadar
kafein yang rendah. Hal ini sesuai dengan literature yang ada. Walaupun bahan
adalah bubuk halus dengan luas permukaan besar, namun dari hasil tersebut
didapatkan bahwa kadar kafein dalam bahan cokelat hanya sebanyak 145.6629571
ppm. Kafein dalam cokelat bubuk sangat rendah karena dalam cokelat kandungan
bahan alkaloid yang dominan memang bukanlah cokelat melainkan teobromin.
Selain karena itu, proses pengolahan cokelat bubuk biasanya dilakukan dengan
proses fermentasi yang panjang sehingga kandungan alkaloid dalam cokelat menurun
akibat paparan oksigen (oksidasi). Pengolahan cokelat yang ada juga biasanya
bertujuan untuk mengurangi kafein yang ada sehingga rasa cokelat bubuk tidak
terlalu pahit untuk digunakan dalam produk pangan lainnya.
Kafein (caffeine) yang dikandung dalam teh adalah sekitar 7,6% dari berat
kering. Jumlah kafein dalam takaran satu cangkir teh (sekitar 200 ml) adalah sebesar
50 mg atau sekitar 40% dari setengah cangkir yang sama jika kita menyeduh kopi.
Kandungan kafein pada teh ini lebih rendah disebabkan karena formasinya yang
begitu kompleks yang tergabung dalam polyphenol teh, sehingga efek perangsang
yang ditimbulkannya juga lebih ringan. Efek rangsangan yang ringan ini membantu
untuk meningkatkan daya konsentrasi dan kewaspadaan. Menurut Canada's Food
Guides to Healthy Eating, tingkat kafein dalam teh tersebut dapat dikatakan memiliki
efek positif. Kebanyakan orang bisa minum teh hingga 10 atau 12 cangkir per hari
dan masih pada batas maksimum kafein yang dianjurkan (Dunianya Sari, 2010).
Hasil perhitungan dengan HPLC untuk kadar kafein dalam teh hijau sebesar
12778,9105926 ppm, sedangkan kadar kafein yang terkandung dalam teh hitam
sebesar 9789,7899511 ppm. Area sampel untuk teh hijau lebih luas daripada area
sampel teh hitam yaitu sebesar 9256,32617 untuk teh hijau dan 8527,74902 untuk teh
hitam. Dalam literature yang didapatkan, kadar kafein dalam teh hijau seharusnya
lebih sedikit bila dibandingkan dengan teh hitam yaitu sebesar 45 mg untuk teh hitam
dan 20 mg untuk teh hijau. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan teh hijau yang
diuji disini masih segar (baru saja dibuka) sehingga zat-zat xanthin yang terdapat
dalam teh hijau belum banyak yang menguap sedangkan pada teh hitam zat-zat
xanthinnya sudah banyak yang hilang karena sudah lama dibuka. Selain itu, lamanya
pengekstraksian kafein dari bahan juga akan mempengaruhi jumlah kafein yang
dihasilkan.
IV. PENUTUP
IV.a. Kesimpulan
Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang dapat
memisahkan setiap komponen dalam suatu campuran. Pemisahan ini didasarkan pada
perbedaan migrasi setiap komponen yang disebabkan karena perbedaan sifat
interaksi dari setiap komponen pada fase diam dan fase gerak. Metode HPLC dapat
digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif. Untuk analisa kualitatif dengan
membandingkan kromatografi sampel dengan kromatogram baku pembanding
berdasarkan waktu retensinya. Sedangkan untuk analisa kuantitatif dapat ditentukan
dengan menggunakan perhitungan lebih lanjut. Hasil dari ekstraksi kafein dalam
berbagai bahan di praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kadar
kafein dalam bahan uji kopi bubuk, kopi mentah arabika, kopi mentah robusta,
cokelat bubuk, teh hijau, dan teh hitah adalah 10413.6768767, 2082.3698745,
947.1087763, 145.6629571, 12778.9105926, dan 9789.7899511 secara berturut-
turut. Kadar kafein dalam bahan yang tertinggi adalah dalam bahan uji teh hijau.
Sedangkan kadar kafein bahan yang terendah ada pada bahan cokelat bubuk. Proses
ekstraksi dapat berjalan dengan lebih efisien apabila luas permukaan bahan uji makin
besar. Artinya, makin kecil ukuran bahan maka proses ekstraksi akan makin efisien.
Selain itu proses penyimpanan bahan sebelum ekstraksi juga sangat berpengaruh
terhadap kadar kafein bahan. Makin lama bahan disimpan di udara terbuka, kafein di
dalam bahan akan makin sedikit karena terjadinya oksidasi kafein. Misalnya dalam
yang telah lama disimpan mengakibatkan kafeinnya terdegradasi menjadi kafeol dan
terpisah dari kafein.
IV.b. Saran
Saran yang dapat diajukan dalam pelaksanaan praktikum kali ini diantaranya
adalah penambahan jumlah alat HPLC yang digunakan sehingga pada waktu
praktikum dilakukan hanya sedikit waktu yang terbuang untuk menunggu alat
bekerja. Selain itu, penyediaan alat yang digunakan akan lebih baik jika terdapat
pada satu ruangan sehingga saat praktikum berlangsung akan lebih terlihat tertib
karena praktikan tidak melakukan mobilisasi berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Clarke, R. J. and Macrae, R. 1987. Coffe Chemestry (Volume 1). Elsevier Applied
Science, London and New York.
Dunianya Sari. 2010. Kopi dan Teh: semakin lama diseduh kadar kafeinnya semakin
tinggi??. http://dunianyasari.blogspot.com/2010/12/kopi-dan-teh-semakin-
lama-diseduh-kadar.html [diakses 20 Maret 2011]
Harry G. Brittain, Richard J. Prankerd (2007). Profiles of Drug Substances,
Excipients and Related Methodology, volume 33: Critical Compilation of Pka
Values for Pharmaceutical Substances. Academic Press. ISBN 012260833X
Johnson, E. L. and Steven son, R. 1978. Basic Liquid Chromatography. Varian,
California.
Matissek, R (1997). Evaluation of Xanthine Derivativesi in Chocolate: Nutritional
and Chemical Aspects. European Food Research and Technology 205 (3):
175–84.
Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. www.library-usu.ac.id [diakses 20 Maret
2011]
Siswoputranto, P .S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanasius. Jakarta.
Snyder, L. R and Kirkland J.J 1979. Introduction to Modern Liquid
Chromatography. Second Edition. John Wiley & Sons.Inc NewYork,
Chihester, Briebane, Toronto, Singapur.
top related