84012262 abdurrahman wahid
Post on 02-Jan-2016
137 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Abdurrahman Wahid
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
K.H. Abdurrahman Wahid
Presiden Indonesia ke-4
Masa jabatan
20 Oktober 1999–23 Juli 2001
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
Pendahulu Baharuddin Jusuf Habibie
Pengganti Megawati Sukarnoputri
Lahir 7 September 1940
Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal 30 Desember 2009 (umur 69)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PKB
Suami/Istri Sinta Nuriyah
Anak Alissa Qotrunnada
Zannuba Ariffah Chafsoh
Anita Hayatunnufus
Inayah Wulandari
Agama Islam
Situs resmi www.gusdur.net
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September
1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim
Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999
hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999.
Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada
tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan
eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Kehidupan awal
2 Pendidikan di luar negeri
3 Awal karier
4 Nahdlatul Ulama
o 4.1 Awal keterlibatan
o 4.2 Mereformasi NU
o 4.3 Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
o 4.4 Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
o 4.5 Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
5 Reformasi
o 5.1 Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur
o 5.2 Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
6 Kepresidenan
o 6.1 1999
o 6.2 2000
o 6.3 2001 dan akhir kekuasaan
7 Aktivitas setelah kepresidenan
o 7.1 Perpecahan pada tubuh PKB
o 7.2 Pemilihan umum 2004
o 7.3 Oposisi terhadap pemerintahan SBY
8 Kehidupan pribadi
o 8.1 Kematian
9 Penghargaan
o 9.1 Tasrif Award-AJI
o 9.2 Doktor kehormatan
10 Lihat pula
11 Catatan kaki
12 Daftar pustaka
13 Pranala luar
[sunting] Kehidupan awal
Gus Dur semasa muda.
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar
Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia
lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil"
tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus
Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati
"abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat
terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,
terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj.
Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin
Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny,
Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman
Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok,
saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng
Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya
V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles
Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di
Trowulan.[5]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua
pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan
dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama
perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke
Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk
ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-
Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus
tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada
tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada
tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di
SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai
Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun
1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan
pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan
nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah
seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.[7]
[sunting] Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al
Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab,
Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar
Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan
bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[8]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan
Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar
Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas
remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur
kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang
digunakan Universitas [9].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan
30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya
pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di
Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan
laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis
laporan [10].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya
setelah G30S sangat mengganggu dirinya.[11] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus
mengulang belajar.[11] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas
Baghdad.[12] Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada
awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi
Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid
pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi
kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13] Dari Belanda, Wahid pergi ke
Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
[sunting] Awal karier
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di
Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga
Penelitian,Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum
intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut "Prisma"
dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai
kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat
itu,pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi
kurikulum pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional
pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren
yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum
pemerintah,pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu
pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan
lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis,menulis untuk majalah dan surat kabar
Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,
membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,tempat Gusdur tinggal bersama
keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu,Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu
sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual
kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang
sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun
kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek
dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat
Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian
kalangan universitas.
[sunting] Nahdlatul Ulama
[sunting] Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam
menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual
publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun,
Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya
tawaran ketiga [14]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang
ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin
dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan
umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah
Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut
bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [15].
Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral
Benny Moerdani.
[sunting] Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan
stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh
(yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali
NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-
pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri.
Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya
melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan
Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak
konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama
dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta
kemundurannya [16].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai
Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang
ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan
seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan
bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [17]. Untuk lebih menghidupkan
kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU
dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
[sunting] Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional
1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai
ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh
untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian,
persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari
terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU
termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah
daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia
Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda
kepada para peserta Munas.[18]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap
Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan.
Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[19] Pada tahun 1987,
Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik
PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian
menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik
pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.[20] Hal ini
merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat
dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren
dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi
sekolah sekular.[21] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa
Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan
menyediakan interpretasi teks Muslim.[22] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia
mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat
pagi".[23]
[sunting] Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada
saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati
Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh
Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim
seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota
ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[24] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI
dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai
komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah
menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum
legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang
tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan
acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara
tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di
Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat
protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang
terbuka, adil dan toleran.[25] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur
mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus
mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober
1994.[26]
[sunting] Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga.
Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas,
pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus
Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan
intimidasi.[27] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur
tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi
politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang
menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim
Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden
untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika
pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang
adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan
Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa
bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun
1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[28] Pada saat yang sama, Gus Dur
membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996
bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi
tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia
terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan
pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya
kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19
Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke
kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan
pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian
yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah
Soeharto akan menepati janjinya.[29] Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi
Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya
pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
[sunting] Reformasi
[sunting] Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim
Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-
partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN)
bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni
1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak
langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide
tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar
dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat
dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU,
Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien,
dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7
Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
[sunting] Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Amien Rais dan Gus Dur pada Sidang Umum MPR.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara
dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan
akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki
mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros
Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[30] Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai
kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid
sebagai calon presiden.[31] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie
dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan
ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya
313 suara.[32]
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk
dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan
jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB
mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21
Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz
dari PPP.
[sunting] Kepresidenan
[sunting] 1999
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota
berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI
juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.
Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto
dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.[33]
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat,
Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat
Cina.[34]
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator
Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada
bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh
beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[33]
Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya
atas pendekatan Gus Dur dengan Israel [35].
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan
otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi
pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri
Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya.
Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa
ia mendorong penggunaan nama Papua.[36]
[sunting] 2000
Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri
Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia.
Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi
Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga
mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur
mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan
menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong
Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran,
Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[37]
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat
Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran
HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[38]
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur
agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya
mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf
Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa
keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang
kuat.[39] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga
awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[40] Gus Dur juga
mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[41]
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok
Muslim Indonesia.[42] Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk
Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur
pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar
Palestina untuk Indonesia, diganti.[43]
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur
menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada
bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan
yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid
untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk
Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk
pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.[44]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan
dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik
dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap
berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[45]
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei,
Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog.
Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil
uang.[46] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal
ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan
uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk
membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini
disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti
Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan
pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota
MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan
mewakilkan sebagian tugas.[47] Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima
tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru
meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya
dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak
non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin
memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga
kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang
sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang
kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[48] Ia dikritik oleh Megawati dan
Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di
Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang
yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur
sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan
Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151
anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.[49]
[sunting] 2001 dan akhir kekuasaan
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional.[50] Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur
lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[51] Abdurrahman Wahid
melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan
kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal
tersebut terjadi.[52] Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR
bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang
Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam
menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU
melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya
mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di
Pasuruan.[53]. Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan
pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia
mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[54] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga
dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan
diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[55] yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi
menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak
hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan
meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko
Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak
dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle
kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[56] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga
menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[57].
Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun,
dan (3) membekukan Partai Golkar[58] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.
Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[59] Abdurrahman
Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama
beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah
kesehatan.[60]
[sunting] Aktivitas setelah kepresidenan
[sunting] Perpecahan pada tubuh PKB
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas.
Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan
posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada
tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut
keanggotaan Matori pada bulan November.[61] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan
Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali
sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17
Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[62] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur
sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal
sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
[sunting] Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia
2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden.
Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak
memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan
dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua
antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
[sunting] Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi
Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati,
koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai
pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
[sunting] Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba
Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di
Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
[sunting] Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita
gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus
dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan
gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut,
yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin.
Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[63] Seminggu
sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di
Jawa Timur.[64]
[sunting] Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup
prestisius untuk kategori Community Leadership.[65]
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng
Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret
2004.[5]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang
penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia
merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[66][67] Gus Dur memperoleh
penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki
keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di
Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[66] Wahid
juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[66] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah
meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[68]
Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
[sunting] Tasrif Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006.[69] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur
dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan
berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis
dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The
Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil
menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para
wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[70] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya
karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan
tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan
wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid
menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[70]
[sunting] Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai
lembaga pendidikan:
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand
(2000)[71]
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)[71]
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu
Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)[71]
Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000) [72]
Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[71]
Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[71]
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)[73]
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)[71]
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Pluralisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Etimologi
2 Pluralisme Sosial
3 Pluralisme Ilmu Pengetahuan
4 Pluralisme Agama
o 4.1 Pandangan Kristen
o 4.2 Pandangan Islam
o 4.3 Pandangan Hindu
5 Lihat pula
6 Referensi
[sunting] Etimologi
plural + -ism
Secara bahasa Pluralisme (pluralism.ing) diserap dari bahasa inggris, terdiri dari dua kata plural
(beragam,id) dan isme(faham, id, yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam
faham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged
Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
hasil atau keadaan menjadi plural.
keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan gerejawi.
[sunting] Pluralisme Sosial
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-
kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling
penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan,
masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan
dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan
penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan
partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang
lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:
perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
[sunting] Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam
pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan
menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan
pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-
masing.
[sunting] Pluralisme Agama
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama agama.
Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan
dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Seba
gai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-
agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para il
muwan dalam studi agama agama (religious studies)
[sunting] Pandangan Kristen
Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit Dominus Jesus[1]’ Penjelasan ini,
selain menolak paham Pluralisme Agama,juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah
satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui
Yesus.
* Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. (Pdt.
Dr. Stevri Lumintang).
* Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dariupada
sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling
menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. (Franz Magnis
Suseno).
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-
Barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu
1. Trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan,
2. Problema teologis Kristen dan
3. Problema Teks Bibel.
Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan da
n kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran s
atu agama tertentu.
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap a
gama lain.
eksklusivisme, yang memandang hanya orang-
orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatkan. Di luar itu
tidak selamat.
inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, teta
pi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju inti
dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang leb
ih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-
sama sah menuju Tuhan [2]
[sunting] Pandangan Islam
Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bag
i umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005). [3]
Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme agama adalah haram
[sunting] Pandangan Hindu
Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasika
n bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yan
g dia katakan dia cintai. (Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu).
Polemik pluralisme di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan
ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari
wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a
framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that
they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia :
"Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu
sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Polemik
2 Catatan
3 Kristalisasi polemik
4 Rujukan
[sunting] Polemik
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme
dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :
pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai
dengan ajaran agama lain
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia
tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh
jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa.
Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu
dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar
tidak timbul kerancuan.
[sunting] Catatan
Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman
yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama
(sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa
semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk
dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka
paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam [1].
Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai
pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan
berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas
berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi
pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka
untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
[sunting] Kristalisasi polemik
Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk
indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun
menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan
tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu :
1. penganut pluralisme dalam arti asimilasi
2. penganut pluralism dalam arti non asimilasi
3. penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-
asimilasi)
BAHAYA PLURALISME
[Al-Islam 488] Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur (mantan Presiden RI ke-4), isu
pluralisme kembali menjadi perbincangan. Selama beberapa hari hampir semua media cetak
menjadikan pluralisme sebagai berita utama, baik dikaitkan langsung dengan sosok Gus Dur
maupun tidak. Isu pluralisme kembali mencuat terutama setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menjuluki Gus Dur sebagai ―Bapak Pluralisme‖ yang patut menjadi teladan bagi
seluruh bangsa. (Antara.co.id, 31/12/2009).
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais pun menilai Gus Dur sebagai
ikon pluralisme (Kompas.com, 2/1/2010).
Kalangan liberal tak ketinggalan. Salah seorang aktivisnya, Zuhairi Misrawi, menulis bahwa
dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh
Presiden Yudhoyono, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman
terhadap pluralisme (Kompas.com, 4/1/2010).
Sejumlah kalangan pun menilai penting untuk memelihara nilai-nilai pluralisme pasca Gus
Dur. Mantan Wakil Presien Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengharapkan semangat
kebersamaan dan pluralisme yang selalu dikobarkan Gus Dur tetap terjaga (Detik.com,
30/12/2009).
Pertanyaannya, bagaimana dengan MUI sendiri yang dalam fatwanya No.7/MUNAS
VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme (selain
sekularisme dan liberalisme) adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam,
dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut? Lebih penting lagi, bagaimana
sesungguhnya pluralisme menurut pandangan Islam?
Hakikat Pluralisme
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,
agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada
sebuah keinginan untuk melenyapkan ‗klaim keberanan‘ (truth claim) yang dianggap menjadi
pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta
penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya yang paling benar.
Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui
berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya
seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide
pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas
demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk
beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.
Di Balik Gagasan Pluralisme
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah
faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama
bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan
keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya
kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka,
diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi
memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di
dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia,
pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang
digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan
awal munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang
memicu maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan
dominasi Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.
Konflik Sebagai Alasan?
Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika seluruh konflik
yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering
berlatar belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestina-Israel
lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antaragama (Islam, Yahudi dan
Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga
pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah Islam.
Konflik Palestina-Israel ini lebih bernuansa politik yang melibatkan penjajah Barat. Sejarah
membuktikan, konflik Palestina-Israel bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja
―ditanam‖ oleh penjajah Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam.
Konflik ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris,
untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya,
dengan begitu Barat dapat terus-menerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut
sehingga umat Islam melupakan bahaya dominasi Barat—khususnya AS dan Inggris—
sebagai penjajah mereka.
Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso beberapa tahun lalu,
misalnya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain
kaum penjajah Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim,
ketimbang berlatar belakang agama.
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering
dianggap mencerminkan konflik Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September
2001, juga jelas lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama. Memang,
sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS George W Bush pernah
―keseleo‖ dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade
(Perang Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian dilanjutkan
dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS sendiri yang menjelaskan
bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi
(yakni demi minyak)—di samping politik (demi dominasi ideologi Kapitalisme), dan bukan
bermotifkan agama.
Karena itu, sangat tidak ‗nyambung‘ jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut
kemudian dipasarkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll.
Pasalnya, akar konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan politik—
yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, atas Dunia Islam—
ketimbang berlatar-belakang agama.
Pluralisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa
di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa
serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui
kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak
memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada
selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme
yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada
Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]:
85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun
agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-
orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme
agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana
mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4)
disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan
dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam
disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut
diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya
bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi,
tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para
pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan
catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Bahaya di Balik Gagasan Pluralisme
Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya,
Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna
perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya
bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum
dihalangi demi ―menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.‖ Lebih
jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena
dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari
berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah
pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-
Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan
pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran
tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
Karena itu, wajar jika KH Kholil Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati
Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme agama yang diusung Gus Dur berbahaya bagi
umat Islam (Tempointeraktif.com, 30/12/2009).
Bahaya lainnya, pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui
isu globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai
Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan ―agama baru‖ yang bernama pluralisme
agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima
Kapitalisme itu sendiri.
Inilah di antara bahaya yang terjadi, yang sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum
Muslim saat ini ketika kaum Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad
lalu. Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam,
melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk
oleh pluralisme. []
―Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, seperti diungkapkan
Presiden di Jombang beberapa waktu lalu karena dapat menimbulkan konflik agama,‖ kata
Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad Buchori di Surabaya, Rabu (13/1).
Ia menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga
sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia.
―Ada dua hal yang membahayakan hubungan umat beragama di Indonesia, yakni radikalisme
agama dan pluralisme agama,‖ katanya dalam sidang Badan Pembina Pahlawan Daerah Jatim
untuk membahas pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan nasional.
Shomad menyatakan, sejak Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, MUI Jatim
kebanjiran surat protes dari berbagai kalangan.
―Yang benar adalah pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas adalah upaya untuk
mensejajarkan beberapa agama. Ini harus dicermati agar tidak memicu konflik karena adanya
pelanggaran akidah,‖ katanya mengingatkan. (hidayatullah/alhikmahonline)
Penafsiran Memang keberatan MUI mengakui Gus Dur sebagai ―Bapak Pluralisme‖ bukan barang baru.
Pasalnya, MUI perhan mengaluarkan surat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indoneisa
Nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama
Konon, kemunculan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang melarang pluralisme
sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya.
MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi)
dalam arti ―Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga‖. (Adian Husaini, 2005;2-3)
Adian Husaini menilai pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI itu, justru tidak jauh berbeda
dengan pemahaman para tokoh pluralis, sebagaimana dirangkum oleh Adian Husaini berikut
ini; Ulil Abshar Abdalla: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam
bukan yang paling benar; Budhy Munawar Rahman: Karenanya, yang diperlukan sekarang
ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapapun
yang beriman–tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sama di hadapan Allah; Abdul
Munir Mulkhan: Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga
Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap agama memasuki kamar surganya; Nurcholish Madjid: Sebagai contoh, filsafat perenial
yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan
pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi
keimanan terhadap Tuhan yang sama; Alwi Shihab: Prinsip lain yang digariskan oleh Al-
Qur‘an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas
beragama dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini
memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam
pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur‘an. Sebab
Al-Qur‘an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya; Sukidi: Dan
konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama.
Nietzsche menegasikan adanya ‖Kebenaran Tunggal‖ dan justru bersikap afirmatif terhadap
banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua
agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya-
adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama;
Sumanto Al-Qurtuby: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan,
mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang Mahaluas,
disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain; Jesus, Muhammad, Sahabat Umar,
Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan
Munir! (Adian Husaini, 2005; 38-40)
Anis Malik Thoha, dalam makalah ―Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama‖
menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer,
memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut:
Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and
conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from
within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the
transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly
taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much the same
extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism).
Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki
persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang
bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-
Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.
Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain
Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari
realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya,
karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons
manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan
demikian, semuanya merupakan ―authentic manifestations of the Real.‖ Ringkasnya, semua
agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri
―uniqueness of truth and salvation‖ (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan
menuju keselamatan).
Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme: suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan
untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa
dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama
yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua–keyakinan itu dianggap
benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme itu sikap
keterbukaan.
Yasraf Amir Piliang bekometar pluralisme adalah kecenderungan atau pandangan yang
menghargai kemajemukan (pluralitas), serta penghormatan terhadap sang lain (the others)
yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan
berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog di
dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap
menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Bagi Syafii Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism (ICIP)
menulis: ‖Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan sinkretisme agama
yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada penyamaan dan pembenaran
semua agama.‖ Juga dikatakannya, ―Mereka yang concern dengan pluralisme yang benar
tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing. Mereka tentu mempercayai
kebenaran agamanya sendiri.‖ (Majalah AL-WASATHIYYAH Edisi No 11/2008)
Karen Armstrong menilai pluralisme bisa menjadi jawaban atas agama di abad ke-21.
Pluralisme mengimplikasikan pembentukan iman secara kuat pada seseorang sementara pada
saat yang sama mempelajari dan menghargai jalan orang yang memiliki keyakinan lain, dan
memahami bagaimana mereka ingin dipahami. (Nadi, vol. 03, th. 2007)
Menurut Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kali Jaga berpendapat Pluralisme agama adalah
kenyataan otentik kehidupan dan tiap orang selalu munyikapi kenyataan ini menurut
pandanganya sendiri-sendiri, sesuai dengan konfogurasi budaya, agama dan tradisi yang
melatarbelakanginya. Di indonesia, keanekaragaman (pluralitas) agama, termasuk
keanekaragaman paham keagamaan dalam tubuh internal umat beragama adalah kenyataan
historis yang tidak dapat disangkal siapapun. (Aba Du Wahid, 2004:VIII)
Dimata Bejo. SE, Pluralisme (agama) bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama,
kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ‖semua agama berhak untuk
ada dan hidup‖. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman
atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal
ini pluralisme agama berarti bahwa ‖semua pandangan moral dari masing-masing agama
bersifat relatif dan sah‖. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita
didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral
berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga,
kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ‖agama-agama pada hakekatnya setara,
sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan‖. Mungkin kalimat yang lebih umum
adalah ‖banyak jalan menuju Roma‖. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang
berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama,
yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.
Pluralis sendiri menurut wikipedia dapat diartikan Suatu kerangka interaksi yg mana setiap
kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik
atau asimilasi (pembauran/pembiasan).
Jalaluddin Rahmat, Ia ingin memperlihatkan bahwa pluralisme, berdasarkan dasar teologis
Alquran, bukan faham penyamarataan yang menjelaskan semua kelompok agama benar, atau
semua kelompok agama sama. Ada ayat-ayat yang menegaskan bahawa semua golongan
agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh (al-
Baqarah: 62, al-Maidah: 69, dan al-Hajj: 17). (Jalaludin Rahmat, 2006;23)
Alwi Shihab pluralisme harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata menunjuan
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah
bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam
kebinekaan.
Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan
kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu
lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama
Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan
berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup
serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.
Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. (Islam Inklusif;2001:41-42)
Keharusan Diakui atau tidak Indonesia merupakan negara majamuk. Saat John Rawls melihat
kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan seperti ditulis
Benyamin F Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society
Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak
kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat
manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah
Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat
perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.
Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme
indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang
mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung
menyebutnya pluralisme ‖murahan‖ tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur
menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama.
Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama
dengan agama lainnya.
Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa
kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Ia menegaskan saat diwawancarai untuk
penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai
universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme sebagai
agen pemaslahatan bangsa. (Kompas, 7/1)
Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang
tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai
yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk
melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa
kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-67 )
Dengan demikian, Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari
sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak
kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang
berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat
hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi
masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena
sektarian.
Kiranya, melestarikan sekaligus memperjuangkan kebebasan beragama merupakan
penghargaan terbesar baginya, daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional
semata. Pasalnya, Gus Dur berpesan sebelum meninggal ‖Saya ingin di kuburan saya ada
tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis‖ (Kompas, 3/1). [Ibn Ghifarie]
Pemikiran-pemikiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenai nilai-nilai pluralisme
harus dilanjutkan dalam upaya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peneliti The Wahid Institute Dr Rumadi di Serang, Sabtu mengatakan, ada satu hal yang
paling konsisiten dilaksanakan oleh Gus Dur sejak ia masih menjadi mahasiswa hingga akhir
hayatnya, adalah mengenai pemikiran dan tindakannya tentang pluralisme atau keberagaman
serta membela kaum minoritas.
"Kita tidak perlu mencari sosok atau figur mirip Gus Dur karena tidak akan menemukan.
Namun bagaimana kita melanjutkan pemikiran-pemikiran beliau terutama mengenai nilai
pluralisme," kata Rumadi dalam diskusi "Membumikan Pemikiran Gus Dur di Ranah Banten"
di Kota Serang.
Ia mengatakan, Gus Dur adalah sosok orang yang mampu menjaga tali silaturahim dengan
semua tanpa pandang ras, agama atau golongan. Gus Dur juga bukan seorang ulama atau kyai
yang hanya faham tentang ilmu agama karena ia juga adalah seorang yang sangat rasional
terhadap ilmu-ilmu sosial.
Menurut Rumadi, satu hal yang tidak dimiliki orang lain pada Gus Dur adalah keberaniannya
dalam mempertahankan apa yang ia yakini kebenarannya, meskipun harus berlawanan arus
dengan banyak orang.
Sementara menurut Ketua Pengurus Cabang NU Kota Serang KH Amas Tajudin, pluralisme
dalam prespektif Gus Dur ada dua hal yakni, semua agama dipandang oleh Gus Dur sebagai
pemersatu ideologi nasional bagi NKRI.
Kemudian, khusus ajaran Islam sebagai rahmatan lilalamin, sejatinya penganut Islam harus
mampu melindungi keyakinan dan keberagaman kepada siapapun, tanpa membedakan asal
usul agama dan ras.
"Namun permasalahannya, tidak semua orang Islam memiliki pemahaman agama yang sama
tentang pluralisme tersebut. Apalagi jika dibandingkan dengan Gus Dur," kata Amas Tajudin.
Diskusi bertema "Membumikan Pemikiran Gus Dur di Bumi Banten" tersebut
diselenggarakan Pengurus Wilayah Ansor Provinsi Banten bekerjasama dengan Forum
Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten. Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah
perwakilan ormas Islam, Ahmadiyah, NU, ormas pemuda dan perwakilan agama lain.(*)
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © 2010
Biografi Gus Dur…Bapak Demokrasi-
Pluralisme
Desember 30, 2009
tags: Abdurrahman Wahid, gus dur, presiden indonesia
oleh nusantaraku
Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis
Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa
Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya
adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak
ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh
nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari
keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak
dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara
Merdeka, 22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun
dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun
pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai
kaum ‗cendekiawan‘ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang
sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini
dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang
sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha
mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo
dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi
sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk
memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan
Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya
dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan
dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya
(Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter.
Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini
memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor
keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk
masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30
Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang
berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di
nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran
dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah
suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran
modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa
Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI.
Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke
barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati
sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB,
ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat
presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi
Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang
yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa
pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang
berjiwa kebangsaan.
―Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik
untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu‖
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai
tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani
berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun
akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas.
Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi
ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini
sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas
mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya
malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Karir Organisasi NU
Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali
ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU
sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional
1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus
Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan
kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan
Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap
Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU.
Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan
bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh
200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan
bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga.
Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum
Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan
terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga
ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk
tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan
ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri
dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya
memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Menjadi Presiden RI ke-4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12%
suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati
memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun,
PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli,
Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai
menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen
PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur
dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman
Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan
Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati
mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden.
Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden
dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati
untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden
dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi
kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata.
Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang
berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan
kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh
dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah
tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan
mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid
berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama
Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk
menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga
keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada
pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang
tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi
tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh,
Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak
tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan,
secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara,
menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk
pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam
mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi
Bapak ―Tionghoa‖ Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa
untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa
tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai
―Bapak Tionghoa‖. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur
Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan
atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-
6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin
tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI
yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI
oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti
diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan
suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus
dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‗ambisi‘-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan
pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan
sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan
menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang
malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang
seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak
gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik,
kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut
pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya
yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan
bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur
sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi,
orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun
bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar
pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan
untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti
berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden,
sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia
melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga
saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan
pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang
memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif,
yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur
menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan
kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki ―Presiden Pewisata―. Pada tahun 2000, muncul
dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada
bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog.
Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya
terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2
juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk
membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut.
Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal ―Buloggate‖ dan ―Brunaigate‖ menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur
untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa
Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk
penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi
(1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan
mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai
bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh
dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan
memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju
proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan
NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila
merupakan jasa yang tidak terlupakan.
Hal-Hal Positif dari Gus Dur
All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is
simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of
victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different
beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus
Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu
ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme
agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur
menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus
berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan
yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak
berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-
tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan
sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.
Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain
Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor
Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai
lembaga pendidikan diantaranya :
Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen,
dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok,
Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan
(2003)
Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan
hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
Pejuang Kebebasan Pers
Selamat Jalan Gus Dur
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal,
yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah)
rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai
mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur
Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan
bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di
Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang
‗agung‘.
Salam hormat dan turut berbela sungkawa,
ech-wan, 30 Desember 2009
Referensi utama : wikipedia —- gusdur.net —-kompas — 3 Prinsip Hidup Gus Dur-
Baca Juga : Kumpulan Anekdot, Joke dan Humor Ala Gus Dur
Pendahuluan
Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan.
Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah
mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut
logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin
nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54
tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat
julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang
mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi
kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan
melahirkan 3 orang presiden.
Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter
tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan
sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini
terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk
kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang
mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua
latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan
kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka
kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi
kebutuhan masyarakat secara umum.
Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan
watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas
dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak
dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa
didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk
mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan
dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.
Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai
semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu
B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk
mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek
kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai
momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa.
Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan
sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan
yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.
Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi,
akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar
40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh
adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang
dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian
digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih
memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya
–Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu
Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri.
Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk
bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap
Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena
ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.
Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo
(SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100
hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke
depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan
masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga
yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.
Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa
Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah
membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan
berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan
rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat
didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi
Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi
politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan
mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.
Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan
bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang
Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk
perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan
yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa
mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk
mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur
menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.
Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir
muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap
pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada
Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza
Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus
Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.
Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur
menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya
ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari
Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.
Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh
sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk
mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung
calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk
mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika
Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.
Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat
Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan
Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap
mati demi mempertahankan Habibie.
Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang
terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi
masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan
idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk
menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan
dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.
Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan
pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami
persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya
perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing
kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib
bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.
Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab
masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu
tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan
yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses
perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan
bangsa.
Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden
saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di
balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan
kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia
melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan
memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.
Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam
perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai
benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya
kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam
kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran
semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak
urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa
yang ada.
Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur
Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini
banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah
melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan
pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya
kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan
yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung
dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.
Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di
tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus
dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga
balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap
eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan
ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis
pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang
menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih
pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik.
Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.
Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian
warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah
Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun
momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi
yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai
komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah
kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus
nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri.
Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para
keluarga yang tergabung dalam PKI.§
Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik
layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya
berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya
menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung
perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena
itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan
bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak
pembisik yang memiliki interest individu.
Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi
menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya
diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti
menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut
rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak
pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI.
Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap
Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi
politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari
pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan
Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.
Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah,
baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka
Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual
dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri
inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak
kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati
akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur
sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam
money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini
nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam
menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi
lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-
feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.
Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia
dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang
kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti
ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang
dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi
Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan
kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan
dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen
yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.
Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar
kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui
lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan
kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya,
Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat
mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah,
perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana
bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan
individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak
orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang
ada.
Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan
percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri
terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan
menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti
bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan
Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi
juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan
tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan
ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap
dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.
Analisis
Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan
oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur
mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya.
Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang
mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga
membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu
percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin
memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga,
Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua
komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda,
sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa
yang ada.
Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis
disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional
yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya.
Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap
pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang
murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu
bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.
Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren
selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping
sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau
status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia
yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara,
akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa
seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada
sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja
kepemimpinannya.
Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan
luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki
kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-
kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah
bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.
BAHAN BACAAN
Chris Manning dan Peter Van Diermen (Ed.), “Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial
Reformasi dan Krisis”, Yogyakarta: LKiS, 2000, Cet. ke-1
Douglas E. Ramage, “Percaturan Politik di Indonesia, Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi”,
Jogjakarta: MATABANGSA, 2002, Cet. ke-1
I.B. Irawan, Sukidin, Basrowi, “Perencanaan dan Strategi Pembangunan”, Jember: Jember
University Press, 2001, Cet. ke-1
Muhammad Najib dan Kuat Sukardiyanto, “Amien Rais Sang Demokrat”, Jakarta: GEMA INSANI,
1998, Cet. ke-1
M. Nipan Abdul Hakim dan Muhammad Zakki, “Gus Dur Sang Penakluk ‘Tanpa Ngasorake’”,
Surabaya: LEPKISS, 2000, Cet. ke-1
21 BULAN PEMERINTAHAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (1), Setiap Jumat Selalu
Dekat dengan Rakyat - 28/07/2001
Kedaulatan Rakyat
http://www.kr.co.id/
SELAMA 21 bulan (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001) memerintah, kepemimpinan Gus
Dur sebagai Presiden RI banyak memunculkan kontroversi baik dalam kaitan
dengan kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri, kabinet, upayanya
memberantas KKN, maupun dalam kebijakannya dengan TNI - Polri. Aneka
kontroversi itulah yang kemudian dipercaya memunculkan serangkaian konflik
internal dalam pemerintahannya, maupun konflik eksternal yang secara langsung
membenturkannya berhadap-hadapan dengan DPR. Benturan demi benturan dengan
lembaga legislatif ini berpuncak pada digelarnya SI MPR 21-26 Juli 2001 yang
berakhir dengan _jatuhnya_ Presiden keempat RI itu dari kursi kepresidenan.
Namun demikian bukan berarti tidak ada langkah-langkah dan kebijakan Gus Dur
yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Banyak pihak mengakui, tidak
sedikit langkah Gus Dur yang signifikan dan positif serta memberikan warna
maupun nuansa baru bagi iklim berdemokrasi, termasuk langkah-langkah beraninya
menyeret para tersangka pelaku korupsi.
Forum LSM DIY, misalnya, bersaksi bahwa pemerintahan Gus Dur sebenarnya
setapak lebih maju dalam menjalankan agenda reformasi, berupa pengadilan
terhadap para koruptor, pengadilan Golkar, dan pengadilan kejahatan terhadap
HAM oleh militer. Upaya-upaya tersebut, menurut Ketua Dewan Pengurus Forum LSM
DIY, Martinus Ujianto, tentu saja mendapat perlawanan sengit dari Golkar dan
militer dengan menjadikan DPR dan MPR sebagai alat untuk menjatuhkan
pemerintahan Gus Dur.
Pengakuan dari luar negeri pun tetap ada terhadap Gus Dur. Khususnya dalam
membawa Indonesia melewati masa transisi dan memberikan warna baru dalam
kehidupan berdemokrasi. Pengakuan itu antara lain datang dari Presiden Amerika
Serikat George W Bush yang menyatakan bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis
kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan undang-undang telah menunjukkan
komitmennya terhadap kekuasaan hukum dan demokrasi. _Kami mengharapkan semua
pihak akan bekerjasama untuk menjaga perdamaian, mendukung konstitusi dan
mengupayakan rekonsiliasi nasional. Kami menghargai kinerja Presiden Wahid
selama dua tahun terakhir ini, dalam membawa Indonesia melewati masa
transisinya menuju ke arah demokrasi,_ katanya.
***
BAGI masyarakat awam, masa pemerintahan Gus Dur juga memunculkan suasana baru
dalam kaitan dengan tingkat intensitas berkomunikasi dan berdialognya dengan
presiden. Bukan hanya dalam bentuk kemunculan Gus Dur beberapa kali di layar
televisi dalam acara wawancara khusus maupun dialog interaktif _ suatu wacana
baru, yang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah dijumpai. Namun juga
dialog langsung dengan masyarakat, sebagaimana selalu tersaksikan setiap
selesai salat Jumat.
Berbeda dengan Soeharto, dialog langsung dengan anggota masyarakat yang
dibangun Gus Dur bersifat spontan. Artinya, tidak pernah ada skenario
sebelumnya baik dalam kaitan dengan siapa-siapa yang boleh bertanya maupun
materi pertanyaan, seperti yang selalu tersaksikan dalam serangkaian tanya
jawab Soeharto dengan masyarakat dalam berbagai kesempatan. Warga masyarakat
dapat bertanya mengenai masalah apa saja kepada Gus Dur. Bahkan antara
keduanya hampir tidak ada jarak, baik yang menyangkut tempat duduk maupun
penyebutan namanya. Jarang penanya mengawali pertanyaannya dengan kata-kata,
_Bapak Presiden yang terhormat_, atau _Bapak Presiden yang kami muliakan_.
Para penanya justru merasa lebih senang memulai dengan menyebut nama panggilan
akrabnya, Gus Dur _ tanpa terbersit rasa takut.
Tidak terbilang lagi masjid di berbagai daerah yang pernah menjadi ajang
dialog langsung Gus Dur dengan masyarakat. Pada kesempatan itulah kebanyakan
penanya berkesempatan mengkonfirmasikan suatu masalah atau bahkan isu yang
muncul. Mereka merasa lega setelah mendapat jawaban langsung dari presiden.
TETAPI tidak jarang Gus Dur menggunakan forum dialog Jumat itu untuk
mengemukakan suatu keputusan, gagasan, atau wacana. Ada kalanya gagasan atau
wacana itu sengaja dilemparkan dalam kerangka proof ballon, lemparan isu
dengan mengharapkan tanggapan dari masyarakat luas. Atau merupakan suatu
kebijakan yang akan dijalankan _ tetapi kemudian _diturunkan statusnya_
menjadi wacana setelah mendapat reaksi keras dan bertubi-tubi dari masyarakat
luas. Contohnya, kehendak Gus Dur mencabut Tap No XXV/MPRS/1966 tentang
pembubaran PKI yang juga dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh
wilayah RI.
Dalam berbagai kesempatan Gus Dur secara gigih mempertahankan kehendaknya itu
dengan dalih tidak pada tempatnya negara melarang suatu ajaran (isme) _ karena
diterima atau ditolaknya suatu ajaran, masyarakatlah yang berhak
menentukannya. Belakangan, Gus Dur menurunkan status kehendaknya itu menjadi
wacana ketika sejumlah fraksi mengancam akan membawa permasalahan tersebut ke
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Demikian pula dengan keinginan pemerintah
untuk membuka hubungan dagang secara langsung dengan negara Zionis, Israel.
Setelah menunai kecaman dari berbagai kalangan di dalam negeri karena
keinginan itu dinilai bertentangan dengan Mukaddimah UUD 1945, serta protes
sejumlah besar negara Arab _ Menlu Alwi Shihab menyatakan pemerintah
berkeputusan menundanya. (Rsv/No)-a
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September
1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie
sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober
1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama
pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan
tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di
Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan
karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam
waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan
Majalah Budaya Jaya.
Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al
Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya.
Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi
kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan
Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan
sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin
luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.
Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,
sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.
Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren
Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab
Al Hikam.
Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan
Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan
misiologi.
Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima
setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga
memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.
Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif
1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam
termasuk NU.
Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU.
Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya
mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak
konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur.
Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan
mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk
menyiapkan respon NU terhadap isu ini.
Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih
menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada
masalah sosial.
Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia
menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan
bekerja di bawahnya.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan
dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah.
Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam
pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.
Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah,
diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia.
Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan
berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989.
Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati
Muslim.
Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati
intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie.
Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap
sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.
Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri
dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang
tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.
Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU
begitu tiba di Jakarta.
Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan
menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali
ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap
anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode
berikutnya.
Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan
Soeharto.
Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus
membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan
pemerintah, Soerjadi.
Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus
Dur sebagai ketua NU.
Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu.
Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena
stroke pada Januari 1998.
Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang
memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak
bergabung dengan Komite Reformasi.
Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat
Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden
Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998,
komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.
Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-
satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB).
Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial
serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi
dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-
pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM.
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme
dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh
pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.
Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian
menjatuhkannya.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Soekarnoputri.
Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden.
Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai
kandidat.
Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto
dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla
dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.
Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto,
Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.
Kehidupan pribadi
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada,
Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.
Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya
sejak lama.
Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia
sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan
Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk
kategori kepemimpinan sosial.
Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay
Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di
Indonesia.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang
penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.
Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid
dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga
pendidikan, yaitu:
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu
Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid atau yang sering kita sebut dengan
Gus Dur dimulai dari sidang umum MPR yang diselenggarakan pada tanggal 1-21
Oktober 1999 yang menghasilkan agenda sebagai berikut :
1. Mengangkat Amien Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR untuk
periode 1999-2004.
2. Pembacaan pidato pertanggungjawaban Presiden B.J Habibie. Pidato pertanggung
jawaban tersebut ditolak oleh segenap anggota dengan menggunakan votting. Suara
yang menolak 355, yang menerima 322, absen 9, dan tidak sah 4. Dengan demikian B.J
Habibie tidak dapat maju mencalonkan diri menjadi Presiden RI selanjutnya.
3. Pemilihan presiden RI yang baru. Calon yang maju dari PDIP (Megawati Soekarnoputri),
PKB (K.H Abdurrahman Wahid), dan dari Bulan Bintang (Yusril Ihza Mahendra), namun
pada detik - detik terakhir Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Karena takut suara
islam terpecah menjadi dua pada Gus Dur dan dirinya, sehingga bisa dipastikan
Megawati akan menjadi presiden RI yang ke-4. Dari hasil pemilihan Presiden yang
dilaksanakan secara votting, tanggal 20 Oktober 1999, K.H Abdurrahman Wahid terpilih
menjadi Presiden RI ke-4.
4. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan wakil Presiden, dengan calonnya
Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan wakil presiden dimenangkan
Megawati Soekarnoputri.
Dari hasil sidang istimewa tersebut, dapat disimpulakan bahwa Gus Dur menjadi
Presiden RI ke-4 dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya yang sah untuk masa
bakti 1999-2004.
Pidato pertama Gus Dur setelah terpilih sebagai Presiden, berisi tugas – tugas
yang akan dijalankan antara lain sebagai berikut :
a) Peningkatan pendapatan rakyat.
b) Menegakkan keadilan dan mendatangkan kemakmuran.
c) Mempertahankan keutuhan bangsa dan Negara.
Pada pemerintahan Gusdur, beliau membentuk kabinet yg disebut Kabinet
Persatuan Nasional. Ketika itu Gusdur memberikan kebebasan pada rakyat untuk
berpendapat dan memberikan kesempatan kepada kaum minoritas di Indonesia. Namun
karena hal tersebut, masyarakat mulai mengalami kebingungan dan kebimbangan
mengenai benar tidaknya suatu hal. Sebab, pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas
dalam memberikan pernyataan terhadap suatu masalah.
Pasangan K.H Abdurrahman Wahid – Megawati membentuk Kabinet Persatuan
Nasional (KPN) yang dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. Presiden juga membentuk
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan tujuan untuk memperbaiki ekonomi yang belum
pulih akibat krisis yang berkepanjangan dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : Prof. Emil Salim
Wakil : Subiyakto Cakrawerdaya
Sekertaris : Dr. Sri Mulyani Indrawati
Anggota : Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih, Bambang Subianto
Gus Dur saat menjalankan pemerintahan mengalami banyak persoalan, karena
itu adalah warisan dari Pemerintahan Orde Baru. Salah satu permasalahan yang sangat
menonjol adalah masalah KKN, pemulihan ekonomi, masalah Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs
Rupiah, masalah jaringan pengaman social (JPS), penegakan hukum, penegakan HAM.
Belum tuntas mengatasi persoalan ORBA, pemerintahan Gus Dur dihadapkan
pada persoalan – persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat
controversial. Adapun kebijakan – kebijakan tersebut antara lain :
a) Pemberhentian Kapolri Jendral (pol.) Roesmanhadi yang dinilai tidak mampu
mengantisipasi terjadinya pembakaran sekolah Kristen STT Doulos.
b) Pemberhentian Kapuspen Hankam Mayjen. TNI Sudrajat yang diganti dengan Marsekal
Muda TNI Graito dari TNI AU. Pemberhentian tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan
Mayjen. Sudrajat bahwa Presiden bukan Panglima Tinggi TNI.
c) Pemberhentian Wiranto sebagai Menkopolkam yang dilatarbelakangi hubungan yang tidak
harmonis antara Wiranto dan Presiden K.H Abdurrahman wahid. Ketidakharmonisan itu
muncul ketika presiden mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP)
HAM untuk menyelidiki para jendral termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di
Timor Timur. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2000 presiden mengeluarkan perintah
untuk menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menkopolkam.
d) Mengeluarkan pengumuman tentang adanya menteri - menteri Kabinet Persatuan
Nasional yang terlibat KKN.
e) Gus Dur juga ingin mengadakan referendum Aceh, untuk memilih merdeka atau
bergabung dengan RI. Namun hal ini dibantah oleh pemerintah Karena bila diadakan
jajak pendapat, maka kemungkinan besar raykat aceh akan memilih untuk merdeka.
Lalu Gus Dur mengurungkan niatnya, dan hal ini membuat rakyat Aceh kecewa hingga
dibentuklah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
f) Pada akhir 1999 presiden menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya dan
menyetujui pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua.
Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan presiden K.H
Abdurrahman Wahid muncul kasus Bulog Gate dan Brunei Gate.
Bulog Gate
Kasus Buloggate begitu terkenal karena sering kali menjerat petinggi-petingggi
negara. Kasus-kasus yang melibatkan nama Badan Urusan Logistik (Bulog) serta jajaran
pimpinannya sejak lama sudah mengemuka. Kasus ini melibatkan Yanatera (Yayasan
Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantan Wakabulog Sapuan. Sapuan akhirnya
divonis 2 tahun penjara dan terbuksi bersalah menggelapkan dana non bujeter Bulog
sebesar 35 milyar rupiah.
Keterlibatan Presiden Gus Dur sendiri baru terungkap secara terbatas, yaitu adanya
pertemuan antara Presiden dan Sapuan (Wakil Kepala Bulog) di Istana. Dalam
pertemuan itu, Presiden menanyakan dana nonbudgeter Bulog dan kemungkinan
pengunaannya. Sapuan mengatakan, dana nonbudgeter itu ada, tetapi penggunaannya
harus melalui keppres (keputusan presiden). Keterlibatan Gus Dur baru terungkap
sebatas itu.
top related