iirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48136/1/nada a… · badan usaha milik negara...
Post on 05-Nov-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
v
ABSTRAK
Nada Audrina Savitri NIM 11150480000126 PENERAPAN DOKTRIN
BUSINESS JUDGEMENT RULE BERHADAPAN DENGAN KONSEP
KEUANGAN NEGARA PADA BUMN. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2019 M. vii + 66 halaman + 2
halaman daftar pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis penerapan konsep Business
Judgement Rule yang merupakan doktrin tentang perlindungan keputusan direksi
terhadap perusahaannya bahwa bila perusahaannya tersebut mengalami kerugian
akibat keputusan bisnis yang di ambil direksi tersebut, direksi tidak dapat di
persalahkan atas kerugian dalam perusahaan selama direksi dapat membuktikan
bahwa kerugian yang terjadi bukan karena di sengaja. Beda halnya jika itu terjadi
pada direksi BUMN, karena modal BUMN sebagian besar di ambil dari keuangan
negara maka dari itu pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan BUMN
mengikuti dengan mekanisme Undang-Undang Keuangan Negara.
Metode Penelitian ini menggunkan jenis penelitian yuridis normatif.
Dengan metode penelitian normatif mengkaji peraturan perundang-undangan,
doktrin atau pendapat para ahli, yurisprudensi, serta buku-buku kepustakaan yang
ada.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penerapan doktrin business
judgement rule terhadap direksi BUMN sebenarnya dapat diterapkan. Di
Indonesia kasus direksi di tuntut pada tindak pidana korupsi akibat keputusan
bisnis yang ia ambil sebenarnya karena kesalahan prosedur yang di lakukan
direksi dalam menjalankan transaksi tersebut. Di dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa anggota direksi tidak dapat diminta
pertanggung jawabannya apabila dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Jika salah satu faktor di atas tidak terpenuhi berarti secara tidak langsung direksi
tersebut juga sudah melanggar prinsip Bussines Judgement Rule yaitu kerugian
tesebut karena kelalaiannya dan melakukan pengurusan persero dengan kehati-
hatian.
Kata Kunci: Business judgement rule , Keuangan Negara, Direksi, Badan Usaha
Milik Negara
Pembimbing Skripsi: Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.,
Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai tahun 2017
vii
Peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari Allah
SWT. Peneliti menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. namun, peneliti berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 7 Agustus 2019
Nada Audrina Savitri
viii
DAFTAR ISI
COVER ……………………………………………………………………. .... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN…………………………… ........ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ………… ............. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar belakang Masalah ............................................................ 1
B. Indentifikasi, Pembatasan, dan Peumusan Masalah .................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
D. Metode Penelitian...................................................................... 9
E. Sistematika Penelitian ............................................................... 12
BAB II BUSSINES JUDGEMENT RULE, KEUANGAN
NEGARA, KERUGIAN NEGARA DAN BADAN USAHA
MILIK NEGARA SECARA KONSEPTUAL DAN
TEORITIK ...................................................................................... 14
A. Tinjauan Konsep Dokrin Business Judgement Rule ................. 14
1. Pengertian Doktrin Business Judgement Rule ................... 14
2. Pengertian Keuangan Negara ............................................. 20
3. Pengertian Kerugian Negara .............................................. 30
4. Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) .............. 32
B. Landasan Teori .......................................................................... 34
1. Ultimate shareholders ........................................................ 34
2. Teori Hukum Piercing the Corporrate Veil ....................... 35
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu........................................ 37
ix
BAB III PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KONSEP ANTARA
BUMN PERSERO DENGAN PERSEROAN TERBATAS
BIASA .............................................................................................. 39
A. Persamaan Konsep BUMN Persero dengan Perseroan
Terbatas Biasa ........................................................................... 39
1. Tata Kelola BUMN ............................................................ 39
2. Tata Cara Pendirian BUMN ............................................... 40
B. PERBEDAAN KONSEP BUMN PERSERO DENGAN
PERSEROAN TERBATAS BIASA ......................................... 41
1. Adanya Regulasi Tambahan yang mengikat. .................... 41
2. Permodalan dan Kepemilikan. ........................................... 43
3. Tujuan Pendirian. ............................................................... 44
4. Status Kedudukan Direksi ................................................. 46
BAB IV IMPLEMENTASI BUSINESS JUDGEMENT RULE
DALAM PERUSAHAAN BERBENTUK BUMN ....................... 48
A. Implikasi Keputusan Bisnis Direksi BUMN Persero
berdasarkan Ranah Hukum Publik dan Ranah Hukum
Privat ......................................................................................... 48
1. Aliran Sempit sebagai perspektif ranah Hukum Privat. ..... 48
2. Aliran Luas sebagai prespektif ranah Hukum Publik ........ 55
B. Konsep Business Judgement Rules sebagai perlindungan
Direksi BUMN Persero dalam pengambilan keputasan
bisnis. ........................................................................................ 62
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 72
A. Kesimpulan ............................................................................... 72
B. Rekomendasi ............................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Persero merupakan satu-
satunya bentuk dari Perusahaan atau badan usaha yang dimiliki oleh Negara.
BUMN biasanya menguasai sektor yang potensial agar dapat
menyejahterakan banyak orang seperti yang termuat pada Pasal 33 Ayat
(2) dan (3) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa cabang-cabang produksi
penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pada Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945, menyebutkan
bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar
asas kekeluargaan. Pasal ini dianggap menjadi dasar dari ekonomi
kerakyatan.1
BUMN sendiri dituntut untuk dapat berkembang dan dapat bersaing
dengan perusahan lainnya termasuk dengan perusahaan swasta baik nasional
maupun perusahaan swasta internasional. Dengan mengelola sektor-sektor
yang memiliki potensi besar dan strategis untuk dikembangkan dan dikelola
secara profesional maka pertumbuhan ekonomi nasional dapat ditingkatkan
serta diharapkan dapat mensejahterakan banyak orang sesuai dengan tujuan di
dirikan nya BUMN itu sendiri .
Namun demikian, apakah kinerja BUMN sudah efisien dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional itu sendiri, maka hal ini sangat
tergantung dengan tingkat kinerja BUMN itu sendiri. Apabila BUMN Persero
tidak mampu dikelola dengan baik dan efisien, justu pada akhirnya akan
menimbulkan beban bagi keuangan negara dan masyarakat akan menerima
pelayanan yang tidak memadai serta harus menanggung biaya yang lebih
1 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi pembangunan, (Jakarta: Granit,
2004). h.43
2
tinggi. BUMN sesuai dengan amanatnya yang ada dalam Undang – Undang
juga harus ikut berperan menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan
dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.2
BUMN sendiri telah diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Dimana didalam Undang-Undang
tersebut, BUMN didifinisikan dalam pasal 1 Ayat 1 bahwa : “ Badan Usaha
Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.” Selanjutnya dalam pasal 1 Ayat 2 juga diterangkan mengenai
BUMN Persero bahwa “Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut
persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.”
Ditambahkan dalam pasal 11 bahwa “Terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas yang selanjutnya telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Sehingga bisa dikatakan
bahwa sejalan dengan kedudukannya sebagai perusahaan, maka pengelolaan
BUMN termasuk keuangannya haruslah berdasarkan atas prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.3Dengan tujuan utamanya mengejar keuntungan dan
merujuk pada segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
perseroan terbatas, maka BUMN Persero dalam pengelolaannya
membutuhkan alat pelengkap yang disebut dengan organ Perusahaan yang
terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi
2 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2010),h. 142
3 Gatot Supramono, BUMN Ditinjau Dari Segi HUKUM PERDATA, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2016), h. 12
3
dan Komisaris.4 Dimana Direksi itu sendiri menjadi salah satu bagian
terpenting di dalam sebuah perusahaan sebagaimana tertera oleh Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yaitu direksi
memiliki tugas untuk menjalankan perseroan, mengkontrol perseroan dimana
salah satunya adalah mengambil keputusan bisnis yang berdampak pada
Pprseroan terbatas kedepannya .
Pada pokoknya tugas seorang direksi dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu tugas yang berdasarkan pada kepercayaan, tugas yang berdasarkan
kecakapan,kehati-hatian dan ketekunan serta tugas yang berdasarkan
ketentuan Undang–Undang.5 Dalam hal tujuan yang hendak dicapai
khususnya untuk memperoleh keuntungan. direksi BUMN dituntut untuk
dapat mengambil keputusan bisnis secara cepat dan tepat. Ada resiko yang
harus di ambil oleh direksi dalam mengambil sebuah keputusan bisnis yaitu
kerugian,sebagai mana dalam menggerakkan roda bisnis di tengah persaingan
ekonomi global yang kompetitif, tentu ada resiko yang harus di ambil oleh
direksi dalam mengambil sebuah keputusan bisnis yang tidak selamanya
akan membawa keuntungan namun juga membawa resiko kerugian.
Pada saat BUMN mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya
memunculkan polemik mengenai aturan hukum pertanggungjawaban yang
harus dialami oleh direksi. Polemik tentang pertanggung jawaban direksi itu
muncul disebabkan oleh karena adanya perbedaan rezim pengaturan yang ada
dalam memandang tanggung jawab hukum dalam pengambilan keputusan
oleh direksi BUMN. Polemik yang terjadi memiliki keterkaitan dengan
Undang-Undang Keuangan Negara sehingga pengelolaan dan
pertanggungjawabannya mengikuti mekanisme pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara.
Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
keuangan negara, keuangan BUMN termasuk dalam cakupan keuangan
negara sehingga pengelolaan dan pertanggungjawabannya mengikuti
4 Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan,( Ed 1 ctk kedua,
Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2004), h. 22
5 I.G. Rai Widrajaya, Hukum Perusahaan, (ctk Ketiga, kesaint Blanc, Jakarta, 2003), h.220
4
mekanisme keuangan negara. Walaupun dalam Penjelasan Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN khususnya pada pasal 4 Ayat (1)
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan
kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN.
Melihat dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN secara jelas mengatakan bahwa, terhadap persero berlaku
segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas sehingga bila
merujuk pada Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas Pasal 97 Ayat (5) menjelaskan bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan kerugian
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya ataupun telah melakukan
pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.6 Maka dari itu perbedaan rezim
pengaturan tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum yang akan
berdampak bagi pengambilan keputusan oleh direksi BUMN.
Dalam beberapa kasus yang menimpa para direksi BUMN berbuntut
pada tuduhan korupsi seperti yang dialami oleh Direktur Utama PT. Merpati,
Hotasi Nababan yang mengambil keputusan bisnis dalam kondisi
perekonomian yang tengah tidak stabil menyebabkan kerugian pada
perusahaan. Kerugian yang terjadi karena keputusan bisnis yang dilakukan
oleh direksi BUMN Persero tersebut dianggap telah melanggar undang-
undang mengenai perbendaharaan negara dan keuangan negara.
Hotasi Nababan yang waktu itu menjabat sebagai Direksi telah
mendapatkan persetujuan RUPS untuk membayarkan security deposit
sebanyak sejuta dolar ke perusahaan yang akan menyewakan dua unit
pesawat terhadap perusahaan merpati. Hal ini lakukan dikarenakan pada saat
itu perusaahan merpati sedang mengalami krisis likuidasi, diragukan tidak
6 Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas , (Jakarta: visimedia, 2009), h. 119
5
mampu membayar dana untuk menyewa dua pesawat tersebut. Namun
dikarenakan adanya wanprestasi pihak mitra dalam kontrak dimana pesawat
tersebut ternyata masih di miliki dan dikuasai oleh pihak lain. Inilah yang
membuat Hotasi Nababan didakwa jaksa penutut umum dengan tuduhan telah
melakukan korupsi karena menganggap perbuatan hotasi telah memperkaya
perusahaan penyewa pesawat tersebut serta mengakibtkan kerugian negara. Ia
didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Padahal Menurut Hotasi Nababan hal yang dilakukan ini adalah
penerapan business judgement rule yaitu mengambil keputusan secara cepat
sebagai direksi karena pada saat itu perusaahan merpati sedang mengalami
krisis likuidasi, diragukan tidak mampu membayar dana untuk menyewa dua
pesawat tersebut. Untuk itu perusahaan penyewa pesawat tersebut meminta
untuk merpati melakukan pembayaran di depan sebagai security deposit.
Tetapi ternyata perusahaan penyewa dua pesawat tersebut mengikari
perjanjian tersebut.
Kasus korupsi yang membelit RJ Lino, setelah mengambil keputusan
untuk melakukan pemilihan langsung setelah 10 kali gagal proses tender
selama 3 tahun, serta mengambil opsi yang diajukan oleh peserta tender yang
terbukti saat ini menguntungkan perusahaan. Namun KPK menetapkan RJ
Lino yang disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Maka dari itu dalam Pasal 97 Ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dinyatakan bahwa direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadi
atas kerugian perseroan merupakan peraturan yang di buat berdasarkan
doktrin BJR.
BJR ini merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa keputusan direksi
mengenai aktivitas perseroan tidak dapat langsung dipersalahkan oleh siapa
pun meski keputusan tersebut merugikan perseroan sesuai dengan ketentuan-
6
ketentuan yang harus dipenuhi salah satunya dapat membuktikan bahwa
kerugian perusahaan tersebut bukan karena disengaja. Tidak mengherankan
apabila doktrin BJR dalam hukum perusahaan tidak hanya berkembang di
negara-negara dengan sistem hukum common law saja, seperti Inggris,
Amerika Serikat, Australia dan lainnya, tetapi juga pada penganut sistem
hukum lainnya.7 Amerika Serikat yang bertumpu pembangunan ekonomi
pada sektor privat pernah mengalami suatu keadaan kehilangan pasokan
orang yang bertalenta untuk menjadi direktur perusahaan. Hal ini berakibat
pula pada menurunnya keuntungan investor dan pemegang saham.
Penyebabnya adalah keputusan direksi yang menjadi obyek penegakan
hukum dan direktur sendiri yang menjadi subyeknya.
Direktur perusahaan dianggap tidak boleh menyebabkan perusahaan
rugi atas setiap transaksi atau tindakan korporasi yang dilakukan. Apabila
rugi, maka tanggung jawab hukum menanti sang direktur. Bahwa kegiatan
usaha yang penuh dengan ketidakpastian dan tingginya persaingan, menuntut
direksi untuk dapat mengambil keputusan secara tepat dan cepat. Adalah
sesuatu yang tidak adil ketika menjalankan kepengurusannya tersebut direksi
selalu dibayangi ketakutan akan mengambil keputusan yang salah dan akan
merugikan perseroan. Sudah jelas kondisi tersebut akan mengganggu kinerja
perseroan dan justru akan merugikan perseroan tersebut. Atas kondisi
tersebut,diperkenalkan doktrin BJR,doktrin tersebut merupakan bentuk
perlindungan bagi direksi.
Atas dasar uraian tersebut, maka tulisan ini akan menyoroti lebih lanjut
mengenai pengaturan business judgment rule atau BJR di Indonesia dan
eksistensi BJR tersebut bagi direksi dari BUMN dalam mengambil sebuah
keputusan bisnis dimana hal tersebut berkolerasi dengan konsep keuangan
negara. Dari hasil penelitian selanjutnya dituangkan dalam bentuk skripsi
dengan judul “Penerapan Doktrin Business Judgement Rule Berhadapan
Dengan Konsep Keuangan Negara Pada BUMN.
7 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan
Yurisprudensi, Cet.2 (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), h. 227
7
B. Indentifikasi, Pembatasan, dan Peumusan Masalah.
1. Identifikasi Masalah.
Di Indonesia BUMN terdapat di bidang usaha yang beragam, dari
perbankan, energi, pangan, infrastruktur, dan perhubungan, baik laut,
darat, maupun udara. Adanya peran besar BUMN ini tidak terlepas pada
keberadaan para direktur BUMN Persero yang amat bertalenta dalam hal
mengelola korporasi sehingga berhasil membawa BUMN Persero pada
kemajuan dan efisiensi perusahaan. Namun dibalik pencapaian hal tersebut
para direktur perseroan terbatas BUMN Persero masih dihantui oleh
ancaman tindak pidana korupsi ketika BUMN Persero merugi.
a. Pertanggungjawaban hukum pengelolaan keuangan BUMN sebagai
keuangan negara.
b. Tata kelola BUMN yang didasarkan pada mekanisme korporasi
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau
yang dikenal dengaan good corporate governance.
c. Direksi BUMN tidak berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini
bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai pengambil resiko
sehingga secara tidak langsung akan mengehentikan upaya untuk
mengembangkan dari perusahaan itu sendiri
d. Terdapat tumpang tindih antara persoalan kerugian negara dan
kerugian bisnis yang berdampak pada pertanggungjawaban hukum
direksi BUMN.
e. Tidak bebasnya direksi dalam mengambil keputusan bisnis karena
adanya kekhawatiran bahwa keputusan tersebut akan berdampak pada
timbulnya kerugian BUMN Persero yang kemudian menjadi kerugian
negara yang dapat disidik dengan delik korupsi.
f. Ranah Hukum yang dipakai pada BUMN menjadi ambigu karena
terdapat dua ranah hukum yang berbeda.
g. Mekanisme Keuangan Negara pada BUMN harus mengikuti
pengelolaan keuangan Negara pada Undang-Undang Keuangan
Negara.
8
2. Pembatasan Masalah
Penelitian yang bertemakan penerapan Dokrin BJR ini akan
berfokus kepada cakupan permasalahan pertanggung jawaban direksi
BUMN apabila terjadi kerugian sebagai akibat adanya pengambilan
keputusan bisnis didalam pengelolaan perusahaan.
3. Perumusan Masalah
Seringkali keputusan bisnis yang dilakukan para direksi BUMN
berbuntut tuduhan korupsi manakala aksi itu menimbulkan kerugian,
dimana letak masalahnya adalah tidak diakuinya eksistensi business
judgement rule (BJR) oleh pihak-pihak yang berwenang termasuk para
penegak hukum. Oleh karena itu peneliti mempertegas permasalahan
penelitian dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut
a. Apakah keputusan bisnis direksi BUMN Persero masuk dalam ranah
hukum publik atau privat?
b. Apakah Konsep Business Judgement Rule dapat diterapkan dalam hal
perlindungan pengambilan keputusan Direksi BUMN Persero terkait
dengan konsep keuangan negara ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami ranah hukum yang dipakai BUMN
Persero masuk kedalam ranah hukum mana.
b. Untuk mengetahui dan memahami penerapan doktrin BJR yang dimiliki
oleh direksi pada Pasal 97 Ayat (5) Undang-Undang No 17 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas apakah berlaku juga pada direksi BUMN
yang dimana keuangan BUMN mengikuti mekanisme keuangan
Negara.
2. Manfaat Penelitian
9
Penelitian perihal penerapan doktrin BJR pada pertanggungjawaban direksi
BUMN ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Secara akademis, penelitian ini di harapakan dapat memberikan
kontribusi maupun refrensi baru pada kajian hukum tentang penerapan
konsep BJR di Indonesia terutama pada BUMN
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pertimbangan dalam keputusan hakim maupun direksi BUMN itu
sendiri dalam permasalah keuangan Negara maupun konsep BJR di
Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian.
Sebagai penelitian hukum normatif, metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
a. Pendekatan perundang- undangan.
Perundang-undangan yang di gunakan dalam penelaahan penulisan ini
adalah:
1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
2) Undang –Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
3) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
4) Undang –Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara
5) Undang – Undang Nomor 15 tahun 2004 Tentang BPK
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang tata kelola
perusahaan yang sehat dengan memperhatikan konsep yang jelas maka
10
diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi
pemahaman yang kabur dan ambigu khususnya bagi kalangan Direksi
Perseroan BUMN di Indonesia.
2. Jenis Penelitian
Peneliti dalam penulisan skipsi ini menggunakan metode penelitian
yuridis-normatif karena masalah yang akan diteliti tersebut berhubungan
erat dengan law in books. Penelitian hukum normatif adalah metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.8 Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, data sekunder di
bidang hukum dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer,
bahan-bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.9 Oleh karena itu,
spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yang
selanjutnya bahan- bahan tersebut akan dianalisis secara kualitatif.
3. Data Penelitian
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
4. Sumber Data
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, yaitu
meliputi Undang-Undang dan yurisprudensi-yurisprudensi atau putusan-
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Data sekunder,
yaitu data yang sudah tersedia ditempat penelitian yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan terutama dengan mempelajari berbagai buku-buku
literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah dan lain-lain yang
berhubungan dengan objek penelitian.
8 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h. 13-14. 9 Ronny Hanityo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta:
Ghalia lndonesia , 1994), h. 11-12
11
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder beserta bahan
bahan hukum lain akan diperoleh dari riset kepustakaan dan dihubungkan
satu sama lain kemudian dianalisis dan dikaji secara komprehensif
berdasarkan permasalahan yang dirumuskan untuk mendapatkan sebuah
jawaban dan kesimpulan .
6. Teknik Pengolahan Data.
Bahan hukum seperti aturan perundang-undangan,norma,
yurisprudensi,doktrin dan studi kepustakaan yang berhubungan dengan
permasalahan yang dirumuskan akan disajikan dalam bentuk pembahasan
dengan kalimat, untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data secara
kualitatif dimana metode analisis data yang bukan berupa angka –angka
sebagai hasil penelitian melainkan dalam bentuk pembahasan dengan
uraian kalimat yang dipaparkan dalam bentuk tulisan secara sistematis.
Hasil dari analisis data ini akan disimpulkan secara deduktif yaitu dengan
menarik suatu kesimpulan dari pertanyaanyang bersifat umum menjadi
sebuah pertanyaan yang bersifat khusus dan memiliki kandungan berupa
saran terhadap permasalahan.
7. Metode Analisa Data.
Bahan hukum akan diperoleh dari riset kepustakaan dan
dihubungkan satu sama lain kemudian dianalisis dan dikaji secara
komprehensif berdasarkan permasalahan yang dirumuskan untuk
mendapatkan sebuah jawaban dan kesimpulan.
8. Teknik Penulisan.
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku
“Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.
12
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan skipsi ini terdiri dari lima bab. Masing masing
bab akan terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang
menjadi objek penelitian. Dimana urutan bab akan dijabarkan sebagai berikut:
BAB I Merupakan Bab Pendahuluan yang akan memuat sub bab latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian,kajian
terdahulu,kerangka teoritis dan konseptual ,metode penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB II Merupakan Bab mengenai BJR, Keuangan Negara, Kerugian
Negara dan BUMN secara konseptual dan teoritik.
BAB III Merupakan Bab yang akan berisikan tentang konsep keuangan
negara dan Kerugian Keuangan Negara pada perusahaan Badan
Usaha Milik Negara.
BAB IV Merupakan Bab yang akan membahas tentang Implementasi
Business Judgement Rule dalam perusahaan berbentuk BUMN.
BAB V Merupakan Bab Penutup yang berisikan kesimpulan beserta
saran dari hasil penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini akan
dapat menjawab inti permasalahan yang dibahas pada bab–bab
sebelumnya.
13
BAB II
BUSSINES JUDGEMENT RULE, KEUANGAN NEGARA, KERUGIAN
NEGARA, DAN BADAN USAHA MILIK NEGARA SECARA
KONSEPTUAL DAN TEORITIK.
A. Tinjauan Konsep Doktrin Business Judgement Rule
1. Pengertian Doktrin Business Judgement Rule
a. Business Judgement Rule menurut para ahli
Dapat diketahui bahwa BJR melindungi direksi atas keputusan
bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal tersebut
dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya dengan
penuh kehati-hatian dan itikad baik. Lebih lanjut, Robert Charles Clark
memandang doktrin ini sebagai aturan sederhana atas pertimbangan
bisnis direksi yang tidak akan dibantah oleh pengadilan dan pemegang
saham. Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya.10
Ada dua konsep dalam kaitan dengan doktrin BJR dan
kewenangan Hakim dalam menilai substansi putusan direksi yaitu BJR
sebagai absention doctrine yang menjelaskan bahwa hakim sebenarnya
tidak dapat masuk dalam mengadili benar atau salahnya pilihan
tindakan keputusan bisnis direksi itu sendiri. Hal ini disebabkan
dengan kompetensi hakim berbeda dengan kompetensi direksi sebagai
pelaku usaha. Dalam konsep ini keberadaan fiduciary duty sebagai alat
yang sudah cukup dalam menjamin kemampuan seorang direksi dalam
menjalankan perseroan.11
Satu lagi konsep doktrin BJR yaitu BJR
sebagai standart of review yaitu bagaimana direksi bertindak dalam
suatu keadaan tertentu untuk memutuskan suatu hal terkait perseroan.
Dalam konsep ini, pengadilan diperbolehkan memeriksa dan meneliti
1 Gatot Supramono, BUMN Ditinjau Dari Segi HUKUM PERDATA, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2016), h. 56 2 A.B. Susanto, Corporate Social Responsibility, (Jakarta: The Jakarta Consulting Group,
2007), h. 87
14
secara obyekif terhadap kualitas putusan direksi. Doktrin ini berbicara
tentang bagaimana proses pengambilan keputusan dari direksi, apakah
sudah dilakukan dengan hati-hati atau tidak. Dengan demikian, peran
pengadilan hanya untuk menilai apakah keputusan bisnis direksi sesuai
dengan hukum yang berlaku atau tidak dan tidak menilai sesuai atau
tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.
Namun apabila ditelah dari sudut pandangan pertanggung
jawaban bahwa perseroan merupakan badan usaha, perseroan memiliki
harta sendiri yang terpisah dari kekayaan pribadi organ-organ yang
menjalankannya, baik pemegang saham, Direksi maupun Komisaris.
Kepemilikan harta ini menunjukkan bahwa perseroan dianggap sebagai
pribadi yang memiliki hak dan kewajiban terkait dengan harta
kekayaannya termasuk dalam urusan hukum. Apabila dalam tindakan
suatu perseroan mengandung unsur perbuatan melawan hukum, maka
seharusnya yang dituntut bertanggung jawab adalah perusahan itu
sendiri.
Hal ini dikecualikan apabila dapat dibuktikan pengurusan
perseroan yang dilakukan oleh organ-organ perseroan menyalahi batas
kewenangan dan menyimpang dari ketentuan dasar perseroan.
Sepanjang kedua unsur ini tidak bisa dibuktikan, maka segala risiko
hukum atas tindakan hukum dengan pihak lain menjadi tanggung
jawab perseroan. Tanggung jawab perseroan berkaitan dengan ganti
rugi atau bentuk pertanggungjawaban apapun. Dalam hal ini direksi
tidak bisa dituntut secara pribadi sebagai organ yang menerjemahkan
keinginan perseroan dalam keputusan-keputusan pengurusan.
Pengurusan direksi merupakanperwujudan “kehendak” perseroan dan
semestinya perseroanlah yang bertanggung jawab atas segala risiko
dalam pengurusan tersebut.
Walaupun demikian, “kehendak” perseroan berbentuk uraian
tentang tujuan pendirian yang terdapat dalam anggaran dasar yang
diwujudkan melalui keputusan-keputusan direksi. Direksi bertindak di
15
luar maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang ditentukan
dalam anggaran dasar bisa dikatakan ultra vires dimana tindakan
tersebut dianggap merupakan tindakan yang “melampaui kapasitas”
perseroan. Hal ini berarti tindakan direksi yang tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha adalah tindakan di luar
kekuasaannya (beyond the power)12
Keberadaan direksi dalam perseroan merupakan suatu keharusan,
atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena
perseroan sebagai artifical person tidak dapat berbuat apa- apa tanpa
adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.13
Di antara
semua pihak dalam perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku
direksi, maka pihak direksilah yang paling berwenang dan paling
profesional untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk
perseroannya, sementara jika karena putusan bisnis dari direksi terjadi
kerugian bagi perseroan, sampai batas-batas tertentu masih dapat
ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung.
Dengan kata lain, perseraon harus juga menanggung resiko bisnis,
termasuk resiko kerugian. Karena itu, direksi tidak dapat dimintakan
tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan atau
hanya karena alasan kerugian perseroan.14
Namun dalam posisinya sebagai organ perseroan maka tentunya
dalam bertindak akan dibatasi atas wewenang yang diberikan
kepadanya selaku pihak mewakili perseroan. Seseorang yang
menduduki posisi sebagai direksi kemungkinan bertanggung jawab
secara pribadi atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan untuk
perseroan yang diwakilinya. Hal ini bisa terjadi apabila ia melakukan
suatu tindakan atas perbuatan yang tidak menjadi wewenangnya atau
melampaui batas wewenangnya.
3 Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 66
4 I.G. Rai Wijaya, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Kesain Blanc, 2002), h. 1
5 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 199
16
Atas dasar itu, setiap perbuatan hukum perseroan harus ditelusuri
sampai ke tingkat direksi. Hal ini mencegah kesewenangan dan
penyalahgunaan kewenangan Direksi. Walaupun dalam praktiknya hal
ini sangat dilematis. Bagaimana menentukan bahwa keputusan direksi
itu demi kepentingan pribadi. Yang perlu dikaji adalah standar
prosedur pelaksanaan tugas. Direksi dibatasi dengan standar yang
secara internal melalui anggaran dasar dalam mengurus perseroan. Hal
lain adalah apakah itu menyebabkan kerugian bagi perseroan dan
menguntungkan pihak lain dalam mana direksi terlibat di dalamnya.
Dalam konteks ini terjadi penyelahgunaan wewenang oleh pengurus
demi kepentingan pribadi. Atas dasar itu, benturan kepentingan
menjadi tema yang perlu didalami dalam hukum perseroan. Dalam
mana hal adanya kesalahan direksi yang menyebabkan kerugian bagi
perseroan, direksi dituntut dan di mintakan pertanggungjawaban.
Dalam kaitan dengan proses pengambilan keputusan bisnis dan
kemungkinan hasil keputusan tersebut. Terdapat tiga fase dalam
kontrak.15
Yaitu fase pra decision dimana fase ini keputusan belum
diambil. Dalam tahap ini, direksi sedang dalam proses mengumpulkan
informasi sebagai bahan pertimbangan, menganalisis dan menemukan
pilihan-pilihan terbaik demi kepentingan perseroan. Selanjutnya ada
fase decision dalam fase ini keputusan bisnis telah diambil oleh
direktur, namun belum dilaksanakan.Terakhir post decision pada fase
ini keputusan bisnis dilaksanakan.
Penilaian terhadap BJR harus dimulai pada fase pertama dan
kedua, yakni ketika proses penentuan keputusan bisnis direksi dan
pada saat keputusan itu dirumuskan. Sangat tidak tepat kalau penilaian
terhadap direksi pada fase pelaksanaan yang berorientasi hasilnya saja.
Apabila penilaian itu terjadi pada fase post decision, maka keputusan
bisnis baik apapun direksi yang menyebabkan kerugian, menciptakan
6 Robert Prayoko., Dokrin Business Judgement Rule, Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan
Modern
17
pelanggaran BJR. Hal seperti ini merupakan ketidakadilan bagi direksi
dan berpeluang menekan kreatifitas direksi yang berdampak pada
pelambanan ekonomi secara umum.
Status perseroan sebagai badan hukum memungkinkan direksi,
Komisaris maupun pemegang saham terbebaskan dari gugatan secara
pribadi terhadap kerugian atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan perseroan. Syarat dasar terbebasnya pertangungjawban
pribadi direksi, pemegang saham dan komisaris dalam kaitan dengan
kerugian perseroan adalah telah dijalankan kewenangan dengan baik
dan dengan itikad baik demi kepentingan perseroan. Keputusan bisnis
yang diambil Direksi sedapat mungkin mencerminkan perlindungan
kepada semua pemegang saham, baik pemegang saham mayoritas
maupun pemegang saham minoritas.
Secara umum, doktrin BJR dimaksudkan untuk mendorong
direksi dalam memutuskan tindakan yang terbaik bagi perseroan.
Dalam pengambilan keputusan itu mempertimbangkan segala segala
kemungkinan dan berorientasi pada keuntungan bagi perseroan.
Dengan demikian, direksi tidak ditakutkan dengan tuntutan ganti rugi
apabila dalam keputusannya berakibat kerugian bagi perseroan. Pilihan
bisnis direksi merupakan pilihan terbaik dan atas dasar itu tidak ada
kemungkinan disalahkan apabila hasilnya berakibat kerugian
bagiperseroan. Direktur juga menciptakan keuntungan yang wajar dan
menghindari hal-hal yang dapat merugikan perseroan. Terbebasnya
tanggung jawab pribadi direksi atas kerugian perseroan merupakan ide
dasar dari doktrin business judgment rule yang kini berkembang dalam
ilmu hukum perusahaan.
b. Business Judgement Rule menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Dalam perundang –undangan di Indonesia telah mengakomodir
Teori BJR yaitu seperti tersebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
18
2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya dalam Pasal 97 Ayat (5) dan
Pasal 69 Ayat (4) yang menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan,tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian dan telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
B. Pengertian Keuangan Negara
1. Keuangan negara menurut para ahli
Menurut Pendapat ahli yaitu Glen A Welsch menyatakan bahwa
keuangan negara merupakan suatu bentuk statemen dari sebuah rencana
dan juga kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut menyangkut manajemen
yang digunakan dalam periode tertentu, yaitu petunjuk dalam periode
tersebut.
2. Keuangan negara menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Sebenarnya pengertian keuangan negara sudah jelas bahwa
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.Tetapi pengertian keuangan negara dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut menggunakan definisiyang luas
untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat.16
yang menjadi perdebatan dalam beberapa kasus yaitu apakah kekayaan
negara yang dipisahkan dalam modal BUMN masuk dalam keuangan
negara atau tidak termasuk dalam keuangan negara.
5 Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Grasindo,Jakarta,2009), h. 10
19
a. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan
bahwa kekayaan negara yang dipisahkan termasuk dalam keuangan
negara yaitu seperti :
1) Fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 pada
tanggal 16 Agustus 2006, Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa
dengan menunjuk pada Surat Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006. Yang
pada pokoknya Mahkamah Agung dengan fatwanya mengukuhkan
kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN adalah
adalah terpisah atau tidak termasuk dalam lingkup keuangan
negara. Mahkamah Agung dengan fatwanya tersebut secara tidak
langsung menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan
pada BUMN Persero adalah terpisah atau tidak termasuk dalam
lingkup keuangan negara. Fatwa Mahkamah Agung tersebut
sejalan dengan konsep bahwa BUMN sebagai badan hukum adalah
mandiri, mempunyai kekayaan yang terpisah dari kekayaan
pengurus maupun pendirinya. Hal ini sejalan dengan teori badan
hukum, bahwa BUMN sebagai badan hukum merupakan subjek
hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan- perbuatan hukum layaknya manusia. Badan
hukum harus memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam
lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, serta dapat
digugat dan juga menggugat di muka hakim. Dengan memiliki
kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari
kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan
hukum tersebut.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 pada
pertimbangan mahkamah menyatakan bahwa Undang- undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, Pasal 1 angka 1 dan angka
10 menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui
20
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara
yang dipisahkan, yaitu kekayaan Negara yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta
perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan
usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan Negara,
sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk
penyelesaian utang- utang BUMN tunduk pada hukum perseroan
terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
b. Ada pula beberapa peraturan perundang-undangan yang menyatakan
bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan negara seperti yang
tercantum dalam :
1) Keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu seluruh kekayaan
negara, dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara
2) Keuangan negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara juga
menyebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
Selanjutnya Pasal 2 menyebutkan bahwa keuangan negara
sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 1 di atas mencakup
21
kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dipisahkan yang
dikelola sendiri atau pihak lain berupa surat berharga, piutang,
barang, serta hak- hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negar
adalah kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan.
3) Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang
Badan Pemeriksa Keuangan yang berbunyi BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan Negara.
4) Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara yang menjelaskan bahwa perbendaharaan
negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD.
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU- XI/2013 Menurut
Mahkamah yaitu pada hakikatnya BUMN, BUMD, atau nama lain
yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya
merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan
negara, dalam hal ini pemerintah atau pemerintah daerah, di
bidang perekonomian yang modal atau sahamnya sebagian atau
seluruhnya berasal dari keuangan negara yang dipisahkan. Sebagai
kepanjangan tangan negara BUMN atau BUMD berlaku ketentuan
konstitusional yang terdapat dalam BAB XIV Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial, khususnya Pasal 33 UUD
1945.
C. Pengertian Kerugian Negara.
22
Konsep kerugian negara erat kaitannya dengan pertanggung jabawaban
dimana, tanggung jawab pejabat dalam melaksanakan fungsinya dapat
dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.
Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas tindakan pemerintahan
Sedangkan tanggung jawab pribadi berkenaan dengan mal administrasi di
dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan umum. Pembedaan antara
tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi atas tindak pemerintahan
membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana,
tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara.Tanggung
jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi.17
Mencermati delik pidana penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada karena jabatan yang dapat merugikan keuangan negara,
bahwa kata kunci yang harus dijawab adalah “apa kewenangan itu, dan
bagaimana kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan itu”, sehingga
dapat disalahgunakan dan dapat merugikan keuangan negara. Jika dilihat dari
kata-kata tersebut mempunyai pengertian “kewenangan yang diperoleh karena
jabatan” dan jabatan tersebut mempunyai akses terhadap keuangan negara
yang bila terdapat kesalahan dapat merugikan keuangan Negara.18
Didalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara menginterpretasikan atau menganalogikan kerugian
keuangan negara sama dengan kerugian negara. Bila melihat terminologi
kerugian negara yang digunakan berdasarkan rumusan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 22 Tentang Perbendaharaan Negara
adalah bahwa: “kerugian negara /daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Setiap kerugian
negara yang disebabkan oleh tindakan melawan hukum atau kelalaian
seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah.
6 Philipus M. Hadjon,Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,(Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press,2011), h. 16-17. 7 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara,( Yogyakarta, Thafa Media,
2011) h. 38
23
Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara dapat dipulihkan dari
kerugian yang telah terjadi.Unsur nyata dalam penentuan kerugian negara
mengandung dua pengertian yakni secara materiil dan secara formil. Bila
merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mengenai
Perbendaharaan Negara maka kerugian negara tersebut bersifat materiil.
Artinya, terdapat kerugian yang telah nyata terjadi. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 1 Ketentuan Umum Ayat (22) yang mengatakan bahwa kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Adanya kalimat yang nyata dan pasti jumlahnya
memiliki arti bahwa Secara nyata telah ada kerugian negara, maksudnya
adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan oleh pihak yang diberikan hak berdasarkan Undang – undang
untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Sedangkan bila mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang sudah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa kerugian
negara merupakan delik formil yang artinya terdapatnya potensi timbulnya
kerugian negara dapat dikualifisir sebagai telah terjadinya kerugian negara.
Sehubungan dengan kerugian yang terjadi terhadap keuangan BUMN
dikarenakan masih adanya pertentangan dalam penetapan kedudukan
kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN Persero dalam dua undang-
undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, maka terhadap hal tersebut terjadi ketidak pastian hukum,
apakah kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN Persero adalah terpisah
dari lingkup keuangan negara sebagaimana dalam ketentuan dan prinsip yang
dianut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN atau termasuk
dalam lingkup keuangan negara sebagaimana ketentuan dan prinsip yang
24
dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara.
D. Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Perekonomian nasional Indonesia dijalankan dengan tujuan untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal
tersebut sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Keterlibatan negara dalam
perekonomian dilakukan melalui pembentukan kebijakan dengan membangun
usaha pada sektor publik seperti BUMN. Badan usaha yang bergerak dengan
wujud BUMN biasanya merupakan badan yang menguasai sektor potensial
yang diolah untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena modalnya
sebagian besar dikuasai oleh negara, maka keberadaan BUMN pun dilindungi
oleh negara. Dalam Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara, disebutkan ada dua bentuk Badan Usaha. Yaitu perum
dan persero. Dua bentuk tersebut merupakan hasil perkembangan ekonomi
yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada zaman sebelum
reformasi, ada satu bentuk lagi dari BUMN yang sekarang telah dihapuskan
yaitu BUMN dengan jenis perusahaan jawatan.
BUMN Persero mempunyai keistimewaan karakteristik yang tidak
dipunyai oleh badan usaha lain yang dirumuskan sebagai: “Suatu badan yang
berbaju pemerintah tetapi mempunyai fleksibilitas dan inisiatif sebagai
perusahaan swasta.”Sehingga BUMN Persero mempunyai keistimewaan
karakteristik yang tidak dipunyai oleh badan usaha lain yang dirumuskan
sebagai: “Suatu badan yang berbaju pemerintah tetapi mempunyai fleksibilitas
dan inisiatif sebagai perusahaan swasta.” Disinilah letak keampuhan lembaga
BUMN.19
Peran BUMN sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan perekonomian
nasional karena BUMN mempunyai peranan yang strategis lain seperti
menghasilkan barang dan/ atau jasa kepada masyarakat, sebagai pelaksana
pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta juga turut mengembangkan
8 Panji Anaraga, BUMN, Swasta dan Koperasi, (Jakarta: Pusataka Jaya, 2002), h. 2
25
usaha kecil/ koperasi disamping memberikan kontribusi kepada penerimaan
negara dalam bentuk deviden, di dalam menggerakkan roda bisnis di tengah
persaingan ekonomi global yang kompetitif. Pengolahan sektor utama dalam
masyarakat menjadi fokus utama dari BUMN. Sekarang BUMN tidak
sepenuhnya dikuasai oleh negara. Beberapa jenis BUMN di negara kita telah
membuka diri bagi pihak swasta yang ingin berinvestasi demi pengembangan
perusahaan.
Semua lapisan masyarakat mengharapkan adanya manfaat nyata dari
BUMN yang dikuasai negara. Bentuk badan usaha lain yang juga dikuasai
oleh pemerintah adalah BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang
notabenenya dikendalikan oleh pemerintah daerah. BUMN Persero sesuai
dengan Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara pada pasal 11 disebutkan bahwa BUMN Persero tunduk pada Undang-
Undang Perseroan Terbatas.
B. Landasan Teori
1. Ultimate shareholders
Pada dasarnya konsep perusahaan mulai muncul pada saat
perusahaan tersebut tidak lagi dimiliki oleh perorangan ataupun hanya
dimiliki beberapa pihak saja. Pada mulanya sebuah badan usaha masih
belum berkembang, pemilik masih merangkap juga sebagai manajer
perusahaan yang menjalankan usaha sehari-hari. Namun seiring dengan
berkembangnya kepemilikan pada banyak pihak maka para pemilik
perusahaan (Ultimed shareholders) sebagai principal harus menyerahkan
atau mendelegasikan kewenangan mengelola dan mengendalikan
perusahaan kepada agent yang memiliki kapabilitas, dalam hal ini
Pengelolaan dan pengendalian kegiatan sehari-hari Serta untuk bertindak
mewakili kepentingan principal . 20
9 https://www.kompasiana/boby-hernawan/552fef086ea834b45cd/corporate-governance-dua-
makna-konsep-separation-of-ownership-and-control oleh Boby Hernawan
26
Dengan penerapan Konsep dari teori Ultimed Shareholder ini
diharapkan dapat meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan sehingga
mendapatkan laba atau penghasilan yang lebih besar. Peningkatan
pendapatan perusahaan akan memaksimalkan nilai pasar yang berarti pula
bagi peningkatan kesejahteraan pemegang saham (Ultimed Shareholder)
dari perusahaan yang bersangkutan.
Teori Ultimed Shareholder ini dapat dengan jelas menggambarkan
bagaimana model dari BUMN Persero di Indonesia dimana selaku
pemilik sesungguhnya (Ultimed Shareholder) adalah Segenap warga
negara Indonesia sebagai lapis pertama . Sedangkan lapis kedua adalah
pejabat negara yang bertindak sebagai wakil pemilikan saham (Acting
Shareholder ). Sebagai Acting Shareholder, pejabat negara bekerja atas
nama Publik .21
Namun adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian ini
juga menimbulkan permasalahan yang dikenal sebagai “agency problem”,
yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen.
Pemilik mengharapkan perusahaannya bisa tumbuh dalam jangka panjang,
sedangkan manajemen dalam menjalankan tugasnya lebih berorientasi
kepada jangka pendek, sesuai dengan kontrak masa kerjanya, dan
penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dibebankan
kepada perusahaan. Hal inilah merupakan cikal bakal tumbuhnya ilmu
corporate governance.
Secara sederhana corporate governance bisa diartikan bagaimana
mekanisme perusahaan dikelola dan dijalankan serta mempelajari
hubungan antara berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan. Dari
sinilah muncul berbagai macam pengaturan terhadap perusahaan yang
dikenal sebagai “good corporate governance” untuk melindungi
kepentingan shareholders dan stakeholders.
10
https://docplayer.info/39583326-Governance-d-lm-danbadan -usaha-milik-negara// oleh
Miko Kamal,PhD
27
2. Teori Hukum Piercing the Corporrate Veil
Teori badan hukum pada hakekatnya untuk menjawab tantangan
bagaimana badan hukum dapat bertindak dalam lalu lintas hukum ekonomi
namun pada perjalanannya masih perlu untuk disempurnakan, karena
ternyata terdapat hubungan hukum dan tindakan hukum para pihak yang
terdapat pada pribadi-pribadi yang berada dibalik badan hukum yang
belum tersentuh oleh hukum.
Reformasi hukum atas badan hukum dapat dilihat dari dua tonggak
sejarah badan hukum, yakni pertama saat lahirnya teori badan hukum yang
menitikberatkan pada personifikasi badan hukum seakan-akan sebagai
manusia dan kedua pada saat lahirnya untuk itu maka lahirlah doktrin
hukum korporasi yang dikenal dengan nama piercing the corporrate
veil yang di latarbelakangi untuk mengungkap tabir hukum para pribadi
yang berada di balik perseroan yakni para pemegang Ssham, dewan
komisaris dan direksi.
Piercing the corporrate veil sendiri berasal dari sistem hukum Anglo
Saxon yang diterapkan oleh negara Inggris dan Amerika. Kemudian dalam
perkembangngannya percing the corporrate veil tersebut masuk kedalam
sistem hukum Eropa Continental .22
Selain itu untuk memberikan landasan
teoritis dan filsafat agar para pemegang saham, dewan komisaris dan
direksi dapat melakukan pengelolaan perseroan secara adil, benar dan
profesional serta penuh integritas yang tinggi dan bertanggung jawab
kepada stakeholder, dimana Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas secara umum telah meresepsi doktrin hukum
tersebut, antara lain tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Perseroan
Terbatas :
(1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung
jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki
10
Munir Faudy, Dokrin –Dokrin Modern dalam Corporate Law,(Bandung , Citra Aditya
,2002) h. 7
28
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku apabila:
a) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;
b) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk
kepentingan pribadi;
c) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi utang Perseroan”.
Pasal 114 Ayat (2) : “Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan
itikad baik, kehati-hatian dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas
pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan
sesuai maksud dan tujuan perseroan”. 23
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang disusun oleh Imam machdi, FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “Pertanggung jawaban direksi apabila terjadi
wanprestasi disebabkan oleh ultra vires.” Adanya ultra vires ini merupakan
salah satu doktrin yang dipakai oleh peneliti untuk memperkuat penelitian
ini serta berhubungan dengan pertanggung jawaban direksi apabila
mengalami sebuah kerugian dalam perusahaan tersebut. Sama halnya
dengan skripsi ini penulis menggunakan doktirin ultra vires sebagai
pertanggung jawaban direksi tersebut. Perbedaannya Skripsi yang di bahas
oleh ImamMachdi membahas tentang wanprestasi yang dilakukan oleh
11
Chatamarrasjid Ais, Pengaruh Prinsip Piercing the Corporrate Veil Dalam Hukum
Perseroan Indonesia,Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 ,(Jakarta,Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, No 6 Tahun 2003), h. 8
29
direksi berbeda dengan skripsi ini yang membahas tentang kerugian
bisnis.24
2. Skripsi disusun oleh Arinda Diah Permata, FSH UIN Syarif Hidyatullah
Jakarta yang berjudul “Analisa yuridis terhadap penerapan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik dalam BUMN di indonesia“, Persamaan dalam
skripsi ini yaitu penelitian tersebut lebih menjelaskan terhadap tata kelola
perusahaan yang baik terutama dalam BUMN yang di dalam nya dijelaskan
juga mengenai direksi BUMN itu sendiri. Perbedaan nya skripsi yang
disusun oleh Arinda Diah Permata hanya membahas tentang prinsip tata
kelola yang baik pada BUMN dan itu hanya dijadikan penambahanan teori
pada skripsi ini.25
3. Skripsi disusun oleh Marifa Anandita Sari, FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “Konsep Business Judgement Rule Pada Badan
Usaha Milik Negara (Putusan No.41PK/Pid.Sus/2015)” Persamaan
penelitian tersebut menjelaskan kasus Hotasi nababan sebagai direksi
BUMN di tuntut melakukan tindak pidana korupsi karena telah
menyebabkan perusahaan BUMN yang di pimpinnya mengalami kerugian
dengan alasan kerugian yang di alami BUMN tersebut termasuk dalam
kerugian negara. Perbedaan penelitian ini yaitu perbedaan hasil analisis
yang di dapatkan pada skripsi ini dan putusan hotasi nababan hanya salah
satu contoh dari apa yang di kemukakan pada skripsi ini.26
24
Imam machdi, Pertanggung jawaban direksi apabila terjadi wanprestasi disebabkan oleh ultra
vires, Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014 25
Arinda Diah Permata, Analisa yuridis terhdap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang
baik dalam BUMN di Indonesia, Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2018 26
Marifa Anandita, Konsep Business Judgement Rule Pada Badan Usaha Milik Negara (Putusan
No.41PK/Pid.Sus/2015), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2017.
30
BAB III
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KONSEP ANTARA BUMN
PERSERO DENGANBADAN USAHA MILIK SWASTA
A. Persamaan Konsep BUMN Persero Dengan Persroan Terbatas Biasa
1. Tata Kelola BUMN
Merujuk pada Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara pada ketentuan pasal 11 yang mengatakan
bahwa Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip
yang berlaku bagi perseroan terbatas maka tata kelola BUMN Persero
didasarkan pada mekanisme korporasi berdasarkan prinsip- prinsip tata
kelola perusahaan yang baik atau yang dikenal dengan good corporate
governance (GCG) maka jelas bahwa terdapat kesamaan tata kelola antara
BUMN Persero dengan BUMS berbentuk Persero .
Merujuk pada segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
perseroan terbatas , maka BUMN Persero dalam pengelolaannya juga
memiliki alat pelengkap yang disebut dengan organ Perusahaan yang
terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Direksi dan Komisaris.27
Dimana Direksi itu sendiri menjadi salah satu bagian terpenting di
dalam sebuah perusahaan sebagaimana tertera oleh Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada pasal 1 ketentuan
ke 5, dimana disebutkan bahwa : Direksi adalah Organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Yaitu pada intinya direksi memiliki tugas untuk menjalankan
perseroan, mengkontrol perseroan dimana salah satunya adalah mengambil
1Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan,( Ed 1 ctk kedua,
Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2004), h. 22
31
keputusan bisnis yang berdampak pada Perseroan Terbatas kedepannya .
Pada pokoknya tugas seorang direksi dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu tugas yang berdasarkan pada kepercayaan , tugas yang berdasarkan
kecakapan, kehati – hatian dan ketekunan serta tugas yang berdasarkan
ketentuan undang – undang.28
2. Tata Cara Pendirian BUMN
Tata cara pendirian BUMN Persero pada dasarnya sama dengan tata
cara pendirian sebuah BUMS berbentuk Persero .Hal ini berdasarkan atas
konsekuensi hukum pengaturan Undang – Undang Nomor 19 tahun 2003
Tentang BUMN khususnya pada Pasal 1 Angka 2 yang menyatakan bahwa
Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham
yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan.Pasal 11 yang mengatakan bahwa Terhadap Persero berlaku
segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
Berdasarkan Pasal 160 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, maka sejak tanggal 16 Agustus 2007 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas sudah tidak berlaku
lagi. Sehingga ketentuan Pasal 11 Undang-Undang BUMN ini kemudian
tentunya mengacu pada ketentuan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang BUMN jo. Pasal
160 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
maka untuk pendirian BUMN Persero berlakulah semua ketentuan yang
ada dalam Pasal 7-29 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas. Tata cara pendirian Perseroan Terbatas yang diatur
2 I.G. Rai Widrajaya, Hukum Perusahaan, (ctk Ketiga, kesaint Blanc, Jakarta, 2003), h.220
32
oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas merupakan standar yang harus
diikuti bagi semua badan usaha yang akan mengambil karakter PT sebagai
suatu badan hukum.Oleh karena itu pendirian suatu perseroan harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang telah
ditetapkan
Dalam praktek, pendirian BUMN Persero dilakukan dengan tatacara
yang sama dengan pendirian Perseroan Terbatas pada umumnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 14 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perseroan Terbatas, seperti:
melalui akta pendirian yang dibuat di hadapan notaris, akta pendirian yang
memuat Anggaran Dasar persero dimintakan pengesahan Menteri Hukum
dan HAM, akta pendirian berikut pengesahan Menteri Hukum dan HAM
di daftarkan dalam Daftar Perseroan yang disediakan oleh Departemen
Hukum dan HAM, kemudian Akta berikut pengesahan tersebut
diumumkan dalam Berita Negara berikut Tambahan Berita Negara yang
bersangkutan. Dalam hal perpajakan, segala ketentuan perpajakan yang
berlaku untuk Perseroan Terbatas biasa, berlaku pula untuk BUMN
Persero. Meskipun saham secara keseluruhan atau lebih dari 51% dimiliki
oleh negara, tetap tidak terkecuali harus membayar pajak.
B. Perbedaan Konsep BUMN dengan BUMS
1. Adanya Regulasi Tambahan yang mengikat.
BUMN Persero sebagai badan usaha yang dimiliki oleh negara, terdapat
beberapa regulasi yang mengikat bagi BUMN Persero dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya. Walaupun dikategorikan sebagai Badan
Usaha seperti halnya BUMS , namun terdapat beberapa regulasi yang
hanya mengikat bagi BUMN dan tidak mengikat bagi badan usaha milik
swasta. Hal tersebut sebagai konsekuensi bahwa pemilik BUMN adalah
negara .Beberapa Regulasi atau Pengaturan diantaranya ialah :
a. Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
b. Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
33
Pasal 2 huruf i yang menyatakan bahwa : kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah .
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara disebutkan bahwa kekayaan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang
atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di
lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan
negara/daerah.
c. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi Pasal 2 angka 7 yang menyatakan bahwa pejabat lain yang
memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dar i K o r u p s i, K o l u s i,
d a n Nepotisme disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat
lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan
wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi
Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
d. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Pasal 6 angka 1 yang menyatakan bahwa BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, Lembaga Negara
Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan layanan
umum,Badan Usaha Milik Daerah dan lembaga lain yang mengelola
keuangan negara.
2. Permodalan dan Kepemilikan.
34
Secara umum, pengertian Perseroan terbatas biasa berbentuk
perseroan merupakan sebuah badan usaha yang berstatus badan hukum
yang modalnya dimiliki oleh atau berasal dari pihak swasta yang dimiliki
seseorang atau beberapa orang.
Dengan status badan hukum maka perusahaan swasta berbentuk
perseroan dianggap sebagai sebuah subyek hukum mandiri yang
dipersamakan dengan individu pribadi yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan
memiliki hak dan kewajiban seperti hak dan kewajiban yang dimiliki
seseorang oleh sebab itu maka suatu perusahaan swasta berbentuk
perseroan mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan
pendiri atau pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari
hak dan kewajiban pendiri atau pengurusnya.29
Modal yang berasal dari seseorang atau beberapa orang yang
ditanamkan dalam bentuk saham pada perusahaan swasta merupakan
keuangan privat akan berubah statusnya menjadi keuangan perusahaan
dan masih merupakan keuangan Privat. Lain halnya dengan BUMN
Persero bahwa pada hakikatnya BUMN yang seluruh atau sebagian besar
sahamnya merupakan milik negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan adalah merupakan
kepanjangan tangan negara dalam menjalankan sebagian fungsi negara
untuk mencapai tujuan negara. Bahwa benar, kekayaan negara tersebut
telah bertransformasi menjadi modal BUMN sebagai modal usaha
yang pengelolaannya tunduk pada pradigma usaha terutama dalam hal
business judgement rules.
Namun pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan
beralih menjadi kekayaan BUMN yang terlepas dari kekayaan negara.
Terhadap kekayaan negara yang telah dipisahkan menjadi modal usaha
BUMN bahwa kekayaan tersebut bukan merupakan transaksi yang
3Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta: CV Rajawali,
1983), h. 51
35
mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan
hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain. Dengan
demikian kekayaan negara yang dipisahkan masih tetap menjadi
kekayaan negara.
3. Tujuan Pendirian
Dilihat dari posisi dari tujuan yang hendak dicapai oleh BUMN
Persero disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 pada
pasal 1 Angka 2 memiliki tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Namun pada pasal 2 angka 1 bahwa maksud dan tujuan pendirian
BUMN adalah :
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan
hajat hidup orang banyak;
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Maka dapat dilihat dari tujuannya bahwa BUMN memiliki 2 Posisi
yaitu :
a) Posisi BUMN sendiri dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan
negara.
Dalam posisi ini, BUMN mengemban peran sebagai kepanjangan
tangan negara dalam tujuan negara yakni untuk mensejahterahkan
rakyat melalui pelaksanaan amanah konstitusi. Pasal 33 UUD 1945
khususnya Ayat (2) dan Ayat (3) telah memberikan amanah kepada
negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
36
dalamnya serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk dimanfaatkan
bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Negara dalam hal ini,
menggunakan unit usaha negara yakni BUMN untuk mengelola
kekayaan dan cabang-cabang produksi tersebut secara ekonomi agar
di samping memberikan pemasukan bagi negara juga untuk
memberikan efek langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang
berwenang menafsirkan konstitusi telah meneguhkan kedudukan
BUMN yang demikian melalui putusannya Mahkamah Konstitusi
No. 48/PUU-XI/2013, dalam putusannya menegaskan bahwa BUMN
menduduki posisi pertama dan utama sebagai perpanjangan tangan
negara dalam melakukan penguasaan dan pengelolaan atas amanah
konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Indonesia menganut konsep negara hukum baru yang lebih dinamis
yakni yang dikenal dengan istilah negara kesejahteraan atau negara
hukum materil. Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang
merupakan revisi dari konsep negara pasif, Asshiddiqie sebagaimana
dikutip oleh W Riawan Tjandra menguraikan bahwa dalam konsep
negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung
jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi
rakyat banyak.30
b) Posisi BUMN Persero sebagai entitas bisnis yang bergerak dalam
lapangan usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan data prognosis kinerja keuangan yang dikutip dari
Kementerian BUMN total pendapatan yang dikantongi perseroan
4 W Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta, Penerbit Universitas
Atma Jaya) h. 9
37
pelat merah mencapai Rp2.339 triliun pada 2018. Realisasi itu naik
10,45% dari Rp2.027 triliun tahun sebelumnya.31
Keberadaan BUMN Persero diharapkan dapat memacu roda
perekonomian, yang membawa masyarakat menuju taraf hidup yang
lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan keuntungan
komunitas dengan keuntungan bisnis yang dapat diperoleh dari
percampuran antara filantropi murni dan penjajaan bisnis yang
melahirkan filantropi strategis. Pemerintah bertindak sebagai
katalisator dalam proses ini. Program community development
harus didasarkan atas koordinasi dan kesepakatan antara perusahaan
sebagai penyandang dana bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat
dengan pemerintah sebagai regulator.32
Jika dalam manjalankan
usahanya memperoleh keuntungan. Maka pemanfaatan keuntungan
tersebut semaa-mata dimaksudkan untuk menyejahterakan kehidupan
masyarakat.
4. Status Kedudukan Direksi
Direksi BUMN Persero maupun perseroan terbatas biasa adalah
merupakan organ dalam sebuah perusahaan diangkat melalui mekanisme
RUPS memiliki menjalankan pengurusan untuk kepentingan perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sesuai dengan kebijakan
yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini dan/atau anggaran dasar, hal ini sesuai dengan ketentuan
yang tedapat dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 .
Namun khusus Direksi sebuah BUMN, status kedudukan direksi
BUMN memilki konsukuensi lain dikarenakan pada Pasal 2 angka 7
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara
5Lihat “Laba bersih tembus Rp188 triliun di 2018.,
https://market.bisnis.com/read/20190220/192/891058/kinerja-2018-bumn-raih-untung-hingga-
rp188-triliun, diakses tanggal 19 Juni 2018.
6A.B. Susanto, Corporate Social Responsibility, (Jakarta: The Jakarta Consulting Group,
2007), h. 69-70
38
Negara yang Bersih d a n B e b a s d a r i K o r u p s i, K o l u s i, d a n Nepotisme
disebutkan bahwa Direksi BUMN termasuk dalam Jajaran Penyelenggara
Negara yang secara eksplisit termuat dalam Penjelasan Pasal 2 angka 7
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih d a n B e b a s d a r i K o r u p s i pada angka 1 ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis
adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang meliputi: Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural
lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
sesuai dengan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi , Kolusi dan
Nepotisme
Hal ini tentunya membawa konsekuensi logis khusunya bagi para
Direksi BUMN Persero untuk harus lebih berhati – hati didalam
mengambil keputusan bisnis didalam menjalankan kewajibannya
melakukan pengurusan perseroan.
39
BAB IV
IMPLEMENTASI BUSINESS JUDGEMENT RULE DALAM
PERUSAHAAN BERBENTUK BUMN
A. Implikasi Keputusan Bisnis Direksi BUMN Persero berdasarkan Ranah
Hukum Publik dan Ranah Hukum Privat.
1. Aliran Sempit sebagai perspektif ranah Hukum Privat.
Kekayaan negara pada BUMN adalah keuangan negara, yakni uang
negara yang dipisahkan pada pengelolaannya sebagai bentuk penyertaan
modal secara langsung dari negara. BUMN adalah badan usaha sehingga
merupakan entitas bisnis yang orientasi bisnisnya tertuju pada upaya
untuk mendapatkan laba.
Dikaitkannya dengan modal negara pada BUMN berbentuk hukum
Perusahaan Perseroan ialah akibat putusnya hubungan antara keuangan
negara yang ditanamkan dalam bentuk saham pada perseroan terbatas
dengan keuangan negara sehingga keuangan negara dalam bentuk saham
tersebut tidak dapat dikatakan lagi status hukumnya sebagai keuangan
publik, tetapi telah berubah status hukumnya sebagai keuangan privat
yang sepenuhnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas. Lebih lanjut dijelaskannya “Sebagai bukti
terpisahnya negara sebagai badan hukum publik dengan keuangannya
dalam bentuk saham dalam persero, akan jelas terlihat apabila persero
tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit, maka pernyataan
pailit tersebut tidak akan mengakibatkan negara pailit pula.33
Karena seharusnya salah satu karakteristik sebuah badan hukum
adalah mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri
atau pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari hak dan
kewajiban pendiri atau pengurusnya.34
1 Arifin P. Soeria Atmadja,Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum. Teori, Kritik, dan
Praktik, (RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009), h. 102 2 Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta: CV
Rajawali, 1983), h 51
40
Dalam Perspektif dunia Bisnis, suatu perusahaan termasuk
perusahaan-perusahaan BUMN adalah lumrah jika disuatu waktu
mendapatkan keuntungan besar, tetapi di waktu lain menderita kerugian.
Namun adanya Kerugian pada perusahaan akan membawa implikasi
hukum baik terhadap perusahaan- perusahaan itu sendiri maupun
terhadap pengelolaannya.
Seperti termuat dalam Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang BUMN bahwa direksi adalah organ BUMN yang
bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan
tujuan BUMN. Pengertian dari Tanggung jawab adalah kewajiban
seseorang individu untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan
kepadanya sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Tanggung
jawab dapat berlangsung terus atau dapat berhenti apabila tugas tertentu
yang dibebankan kepadanya telah selesai dilaksanakan.
Dengan wewenang yang diberikan kepada seorang direksi untuk
melaksanakan pengurusan terhadap perusahaan maka seorang direksi
tidak lepas dari keharusan untuk mengambil keputusan bisnis terbaik
bagi perusahaannya sepanjang telah dilakukan sesuai dengan good
corporate governance yang berlaku yaitu sesuai dengan anggaran dasar,
penerapan risk management, serta pengendalian internal yang konservatif
dan efektif, agar terhindar dari pelanggaran hukum, apa pun hasil dari
keputusan yang dibuat .35
Bahwa terkadang sulit membedakan antara keputusan bisnis direksi
yang buruk dengan keputusan bisnis yang kemungkinan hasilnya buruk.
Namun demikian, keduanya sangat berbeda. Keputusan yang buruk
berbicara tentang substansi keputusan itu, sementara hasil keputusan
yang buruk adalah akibat dari keputusan bisnis, baik keputusan buruk
maupun keputusan bisnis yang baik sekalipun. Apabila direksi
mengambil keputusan ynag dapat dipertanggungjawabkan secara bisnis
9 Prasetio, Dilema BUMN:Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam
Keputusan Bisnis Direksi BUMN, (Rayyana Komunikasindo, Jakarta, 2014), h.349
41
dan hukum, sekalipun hasil keputusan itu menyebabkan kerugian bagi
perseroan, maka direksi tidak dapat dituntut karena pada prinsipnya
keputusannya itu telah dipertimbangkan dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.36
Secara umum tanggung jawab direksi dapat kita bedakan dalam:37
a. Tanggung jawab internal direksi yang meliputi tugas dan tanggung
jawab direksi terhadap perseroan dan pemegang sahan perseroan;
dan
b. Tanggung jawab eksternal direksi yang berhubungan dengan tugas
dan tanggung jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan
hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.
Dalam perseroan biasanya antara wewenang dan tanggung jawab
seorang direksi harus mempunyai tingkatan yang sama.
Dikarenakan direksi adalah satu-satunya organ dalam perseroan
yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama
perseroan. Maka akan membawa konsekuensi bahwa jalannya perseroan,
termasuk pengelolaan harta kekayaan perseroan bergantung sepenuhnya
kepada direksi perseroan. Artinya, tugas pengurusan perseroan oleh
direksi juga meliputi tugas pengelolaan harta kekayaan perseroan .
Dalam menjalankan roda perusahaan yaitu berupa pengurusan dan
pengelolaan BUMN Perseroan maka direksi sebagai organ perseroan
yang berwenang dan bertanggung jawab dihadapkan pada tantangan
berat dan besar khususnya dimana adanya keadaan iklim dunia usaha
yang sangat cepat mengalami perubahan juga terdapat persaingan pasar
yang terjadi tidak hanya antara perusahaan-perusahaan BUMN
melainkan dengan perusahaan-perusahaan swasta nasional dan
perusahaan-perusahaan asing yang melakukan bisnis yang sama sehingga
berpotensi memicu kerugian yang disebut sebagai risiko bisnis, dimana
10
Robert Prayoko, Dokrin Business Judgement Rule aplikasinya dalam hukum perusahaan
modern,(Jakarta,Cakra Ilmu,2004) h.76 11
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, (Jakarta,
Rajawali Pers, 1999), h. 122-123
42
dalam dunia usaha sangatlah wajar dimana adakalanya sebuah usaha
khususnya dalam hal transaksi bisnis sesekali mengalami kerugian dan
adakalanya mendapatkan untung yang dapat menutupi kerugian
terdahulu.
Direksi BUMN Persero juga dalam menjalankan perusahaan
berdasarkan kewenangan yang ada harus selalu waspada dan bertindak
dengan ber-perhitungan cermat. Dalam kebijakan yang dibuatnya,
direksi harus selalu bertindak dengan hati-hati dan mempertimbangkan
keadaan, kondisi dan biaya pengelolaan yang besar.38
Sering terjadi
adanya direksi BUMN Persero dibawa ke alam berpikir bahwa prosedur
lebih penting dari pada profit, prosedur lebih penting dari pada
percepatan pelayanan. Artinya,direksi sebagai seorang profesional
dibawa untuk berpikir seperti seorang birokrat yang mengutamakan
prosedur dari pada hasil. Kegiatan usaha BUMN menjadi lamban, bahkan
stagnan dan manajemen enggan mencari terobosan baru. Selain itu, mitra
bisnis BUMN juga ikut-ikutan takut dan menjauhi BUMN.
Mengenai suatu tindakan bisnis direksi yang mengakibatkan
sebuah kerugian dan di indikasikan adanya tindakan melawan hukum
atau juga dikenal dengan istilah lainnya sebagai perbuatan melawan
hukum. Tetap harus dapat dibedakan perbuatan melawan hukum yang
bersifat hukum publik dengan yang memiliki sifat atau ranah hukum
privat, seperti yang dijelaskan oleh Munir Fuady, sebagai berikut :
“Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai
perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan, sebab, untuk
tindakan perbuatan melawan hukum pidana atau yang disebut dengan
istilah perbuatan pidana, mempunyai arti, konotasi dan pengaturan
hukum yang berbeda sama sekali. Demikian juga dengan perbuatan
melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan
„onrechtmatigeoverheidsdaad’, juga memiliki arti, konotasi, dan
12
Ridwan Khairandy, Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan
Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), h.46
43
pengaturan hukum yang juga berbeda.”39
Perbuatan melawan hukum
secara keperdataan (Onrechtmatigedaad) sebenarnya tidak diberikan
rumusannya dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.40
Namun, salah satu unsur ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata tersebut ialah adanya kerugian.
Kerugian oleh karena perbuatan melawan hukum tersebut di atas
merupakan kerugian karena perbuatan melawan hukum dari hukum
privat. Terkait dengan kerugian yang diakibatkan oleh tindakan atau
pengambilan keputusan bisnis direksi BUMN Persero harus dilihat
sebagai kerugian BUMN itu sendiri bukan sebagai kerugian negara hal
ini disebabkan pengelolaan BUMN Persero berdasarkan mekanisme
korporasi maka kerugian yang terjadi dapat dikualifisir sebagai kerugian
usaha. Terhadap kerugian usaha tersebut, berdasarkan hukum korporasi,
direksi dilindungi oleh prinsip business judgement rules (BJR). Kerugian
yang terjadi dapat saja berakibat pada gugatan perdata, namun direksi
terlindungi dari tuntutan pidana.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas secara tegas menentukan adanya laba-rugi perseroan terbatas
yakni yang diketahui dari laporan tahunannya. Pasal 66 ayat-ayatnya,
menyatakan bahwa :
1. Direksi menyampaikan laporan tahunan RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir.
2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memuat sekurang- kurangnya :
13
MunirFuady, Perbuatan Melawan Hukum. Pendekatan Kontemporer,( Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005), h. 1 14
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Pradnya
Paramita, Jakarta, 2002), h. 346
44
a. Laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya
neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam
perbandingan dengan tahun buku sebelumnya. Laporan laba
rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan
laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan
tersebut;
b. Laporan mengenai kegiatan Perseroan;
c. Laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;
d. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang
mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan;
e. Laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan
oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau;
f. Nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
g. Gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau
honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris
Perseroan untuk tahun buku yang baru lampau.
3. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf a,
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan.
4. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang
wajib diaudit, harus disampaikan kepada Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, tersebut di atas jelaslah bahwa dalam
Perseroan Terbatas senantiasa terdapat kemungkinan timbulnya laba
atau rugi. Suatu Perseroan Terbatas, khususnya perusahaan BUMN
berbentuk Perusahaan Perseroan perihal mendapatkan keuntungan
maupun menderita kerugian bukanlah suatu hal yang aneh, melainkan
sesuatu yang umum, walaupun demikian, tujuan utamanya ialah
bagaimana agar mendapatkan keuntungan atau laba.
45
Kerugian dari sebuah badan usaha dapat dilihat dengan jelas dalam
laporan tahunan disahkan dalam sebuah RUPS yang merupakan salah
satu organ dalam perusahaan dimana dalam Pasal 1 Ayat 4 disebutkan
bahwa “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS,
adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan”. Sesuai dengan Pasal 66 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dimana berisikan diantaranya
laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir
tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku
sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan,
laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas
laporan keuangan tersebut didalamnya juga terdapat laporan mengenai
kegiatan perseroan, maka jelas bahwa kerugian pada BUMN Persero
tidak dihitung berdasarkan satu transaksi melainkan seluruh transaksi
dalam satu tahun itu karena andaikata ada kerugian juga belum tentu
secara otomatis menjadi perseroan terbatas, karena mungkin ada laba
yang belum dibagi pada tahun yang lampau dan ditutup dari dana
cadangan perusahaan.
Mekanisme lain dalam hal proses hukum terkait tanggungjawab
direksi BUMN Persero secara luas dapat merujuk pada ketentuan Pasal
97 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa setiap anggota direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas memberi hak kepada setiap pemegang saham mengajukan
gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan TerbatasNomor 40
Tahun 2007 yang berbunyi :
46
“ Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
perseroan karena tindakan Perseroan yang dianggap nya tidak
adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS,
Direksi dan/atau Dewan Komisaris.”
Menurut penjelasan Pasal 61 Ayat (1) tersebut, gugatan yang
diajukan harus memuat permohonan atau tuntutan agar perseroan
menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil
langkah tertentu, baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul
maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.
Hak itu diberikan kepada setiap pemegang saham tanpa harus
memenuhi suatu syarat tertentu. Pemegang saham tersebut tidak harus
mewakili jumlah bagian saham tertentu. Pemegang saham yang
mewakili satu bagian saja tetap dapat mempergunakan hak tersebut.
2. Aliran Luas sebagai prespektif ranah Hukum Publik
Pada hakikatnya BUMN yang seluruh atau sebagian besar
sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan
tangan negara dalam menjalankan sebagian fungsi negara untuk
mencapai tujuan negara. Walaupun benar, bila kekayaan negara tersebut
telah bertransformasi menjadi modal BUMN sebagai modal usaha
yang pengelolaannya tunduk pada pradigma usaha terutama dalam hal
business judgement rules,namun pemisahan kekayaan negara tersebut
tidak menjadikan beralih menjadi kekayaan BUMN yang terlepas
dari kekayaan negara. Berdasarkan paradigma keuangan negara maka
kerugian BUMN/ BUMD dalam menjalankan usahanya dapat dianggap
sebagai kerugian negara dan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana
korupsi.
Fungsi BUMN tidak semata-mata untuk mencari keuntungan,
namun juga sebagai agent of development sehingga sumber-sumber
kekayaan negara yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak
yang dikuasai oleh negara sebagian besar dikelola melalui BUMN.
47
Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip
dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu,
seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan
kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. BUMN didirikan oleh
negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena Pasal 33
harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN
dalam perspektif konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan
untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat, hal ini sesuai dengan teori ulimate shareholder yang merupakan
penggambaran dari penerapan model BUMN Persero . Dimana rakyat
adalah pemilik sesungguhnya dari semua BUMN dan mengharapkan
peningkatan kesejahteraan . Jika kekayaan BUMN atau BUMD lepas
dari keuangan negara, maka orientasinya adalah untung rugi sehingga
keinginan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan
terpenuhi. Kata-kata dipisahkan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 artinya dipisahkan dari APBN atau APBD, bukan berarti
mandiri. Ini merupakan satu kesatuan kekayaan negara atau keuangan
negara, tidak lepas dari keuangan negara.
Terhadap kekayaan negara yang telah dipisahkan menjadi modal
usaha BUMN dan BUMD, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
kekayaan tersebut bukan merupakan transaksi yang mengalihkan suatu
hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara
kepada BUMN, BUMD, atau nama lain. Dengan demikian kekayaan
negara yang dipisahkan masih tetap menjadi kekayaan negara. Apabila
dipandang sebagai kerugian bisnis saja, maka akan berpotensi
mendistorsi fungsi BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dalam
mengelola sumber daya-sumber daya yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Alasan kerugian bisnis juga
dapat menjadi tameng untuk bersembunyi dari konsekuensi akibat
48
keputusan bisnis yang diambil dengan mengabaikan prinsip kehati-
hatian.
Dalam hal adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di
BUMN Persero, selalu dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
sudah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) “
Unsur delik tindak pidana korupsi pada BUMN adalah unsur
melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan adalah bagian dari
melawan hukum. menyalahgunakan kewenangan adalah orang yang
memiliki kewenangan yaitu pejabat serta kesempatan atau sarana
karena jabatan atau kedudukan dan dapat merugikan keuangan negara.
Dengan adanya kalimat dapat merugikan keuangan negara maka
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi merupakan delik formil yang artinya baru terdapatnya
potensi timbulnya kerugian negara dapat dikualifisir sebagai telah
terjadinya kerugian negara. Dan melihat penjelasan Pasal 2 Angka 7
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
pada Angka 1 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pejabat lain
49
yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan
wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan
BUMD.41
Sedangkan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara secara eksplisit di tegaskan
bahwa:
(1) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang
telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat
dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
(2) Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi “
Maka cukup Jelas bahwa perbuatan direksi BUMN Persero yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana. Hal tersebut secara eksplisit
diatur dalam Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Ditegaskan lagi dalam ayat
(2) bahwa putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti
rugi.
Dengan adanya pengukuhan kedudukan kekayaan negara yang
dipisahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, maka terhadap semua perkara
yang terjadi di kemudian hari terkait kedudukan kekayaan negara yang
dipisahkan pada BUMN adalah harus sesuai dengan pengukuhan
Mahkamah Konstitusi bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada
BUMN khususnya BUMN Persero adalah termasuk dalam ranah atau
lingkup keuangan negara .
Fatwa Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 berdasarkan pada Surat
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-324/MK.01/2006.
50
Mahkamah Agung dengan fatwanya mengukuhkan kedudukan
kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN adalah adalah terpisah
atau tidak termasuk dalam lingkup keuangan negara. Mahkamah Agung
dengan fatwanya tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN Persero adalah terpisah
atau tidak termasuk dalam lingkup keuangan negara. Fatwa Mahkamah
Agung tersebut sejalan dengan konsep bahwa BUMN sebagai badan
hukum adalah mandiri, mempunyai kekayaan yang terpisah dari
kekayaan pengurus maupun pendirinya. Hal ini sejalan dengan teori
badan hukum, bahwa BUMN sebagai badan hukum merupakan subjek
hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan- perbuatan hukum layaknya manusia. Badan
hukum harus memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu
lintas hukum dengan perantara pengurusnya, serta dapat digugat dan
juga menggugat di muka hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri,
maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang
melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut .
Namun dengan adanya pengukuhan kedudukan kekayaan negara
yang dipisahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, maka Bahwa Fatwa
Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 harus dikesampingkan walaupun
fatwa Mahkamah Agung tersebut dalam penerapannya adalah telah
sesuai dengan konsep bahwa BUMN sebagai badan hukum adalah
mandiri, mempunyai kekayaan yang terpisah dari kekayaan pengurus
maupun pendirinya dan telah sesuai dengan teori serta asas hukum yang
berlaku.
Hal demikian terjadi karena secara normatif apabila melihat sifat
fatwa Mahkamah Agung adalah tidak mengikat secara umum
sedangkan sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah memiliki
kekuatan mengikat. Mahkamah Agung dalam setiap putusannya harus
51
mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 yang pada
prinsipnya menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada
BUMN Persero adalah termasuk dalam lingkup keuangan negara.
Sehingga efek keberlakuannya bersifat prospektif ke depan, bukan
berlaku ke belakang artinya segala perbuatan hukum yang dilakukan
berdasar undang- undang yang belum dinyatakan mempunyai tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan hukum yang
sah secara hukum, termasuk akibat-akibatnya yang ditimbulkan oleh
perbuatan hukum yang sah itu, juga sah secara hukum.
Fatwa Mahkamah Agung merupakan pendapat hukum yang
diputuskan ketua muda atau ketua kamar yang dipimpin langsung oleh
ketua Mahkamah Agung atas permintaan lembaga negara atau
masyarakat. Produk fatwa Mahkamah Agung sifatnya adalah tidak
mengikat secara umum seperti halnya peraturan atau putusan
pengadilan. Mahkamah Agung mengakui adanya fatwa, namun
Undang- Undang Mahkamah Agung sendiri tidak menyatakan secara
tegas keberadaan fatwa.
Sebagai dasar bila ditelusuri, produk fatwa mahkamah Agung yaitu
merujuk pada ketentuan dalam Pasal 37 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang
menyatakan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada
lembaga tinggi negara yang lain.
Sedangkan sifat Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 10 Ayat (1) Huruf A Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang telah di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang- Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.
52
Selanjutnya, dinyatakan pula dalam ketentuan Pasal 47 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
siding pleno terbuka untuk umum. Artinya, sejak putusan diucapkan
putusan MK bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum
lagi untuk meninjau dan/atau memperbaiki putusan tersebut.
Mahkamah Konstitusi dalam peradilan tidak mengenal istilah
ataupun upaya hukum sehingga sifat final putusannya menjadi
karakteristik dari peradilan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki kekuatan mengikat artinya dapat berlaku bagi siapa
saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Para pihak harus
menerima apapun bunyi putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pihak-
pihak yang merasa tidak diuntungkan, secara teknis yuridis hanya bisa
menerima fakta empirik sesuai dengan ketentuan hukum penyelesaian
permohonan pengujian undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian terkait pengukuhan kedudukan kekayaan negara
yang dipisahkan pada BUMN Persero oleh pelaku kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dengan Fatwanya dan Mahkamah
Konstitusi dengan kedua putusannya, menurut penulis secara normatif
dengan melihat sifat fatwa Mahkamah Agung yang tidak mengikat
secara umum dan sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat terhadap penetapan kedudukan kekayaan negara
yang dipisahkan pada BUMN Persero walaupun fatwa Mahkamah
Agung dalam penerapannnya telah sesuai dengan teori dan asas hukum
yang berlaku, namun yang harus diterapkan dan berlaku bagi semua
perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang adalah putusan MK sebagaimana dalam putusan MK
Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
62/PUU-XI/2013 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekayaan
negara yang dipisahkan pada BUMN Persero adalah termasuk dalam
lingkup keuangan negara. Tidak terkecuali MA dalam setiap
53
putusannya terkait hal demikian harus mengacu pada Putusan MK
tersebut.
B. Konsep Business Judgement Rules sebagai perlindungan Direksi BUMN
Persero dalam pengambilan keputasan bisnis
Merujuk pada Undang-Undang No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN,
yaitu khususnya pada pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa perusahaan
perseroan, yang selanjutnya disebut persero adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas serta pada pasal 11 yang menyatakan bahwa terhadap
persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang saat ini berganti menjadi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas . Maka
dalam konteks bahwa BUMN sebagai perseroan terbatas sudah selayaknya
juga mendapatkan kewajiban dan hak yang sama sama dengan perseroan
terbatas biasa berbentuk perseroan terbatas yang berimbang seperti halnya
prinsip BJR yang dapat melindungi direksi dalam pengambilan keputusan.
Jika hal ini tidak dapat diakomodir maka para direksi BUMN Persero akan
menghilangkan potensi para direksi untuk membuat terobosan dalam hal
menggali peluang bisnis yang inovatif, karena selalu diliputi rasa khawitir
akan resiko besar secara pribadi akan dituntut dalam persoalan hukum tindak
pidana korupsi ataupun adanya gugatan ganti rugi yang akan sampai pada
penyitaan aset pribadi mereka.
Bila lebih dicermati lebih dalam maka seharusnya keputusan bisnis yang
diambil oleh para direksi BUMN Persero semestinya dinilai sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari sebuah kegiatan pengurusan sehingga dapat
dilihat apakah keputusan bisnis didasarkan atas kepentingan dan tujuan
BUMN persero itu sendiri .
Menurut konsep doktrin BJR semua pihak termasuk pengadilan harus
menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang
mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap
54
masalah-masalah bisnis yang kompleks. Yang berpengalaman dan
mempunyai pengetahuan tentang bisnis tentunya adalah pihak direksi.42
BJR timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh
seorang direksi yaitu berupa duty of skill dan duty of care sehingga semua
kesalahan yang mungkin timbul dari keputusan yang dibuat oleh direksi akan
memperoleh konsuekuensi pembebasan tanggung jawab secara pribadi dan
sesuai dengan asas bahwa perseroan terbatas adalah sebuah subyek hukum
yang mandiri maka kesalahan yang menimbulkan kerugian tersebut menjadi
beban dan tanggung jawab dari perseroan terbatas tersebut .
Kecuali dalam hal pengambilan keputusan bisnis yang berakibat pada
kerugian terdapat kelalaian atau kesalahan oleh direksi tersebut maka direksi
tersebut tidak mendapatkan hak perlindungan dari prinsip BJR hal ini sesuai
dengan dokrin piercing the corporate veil. Dimana dokrin ini merupakan
implementasi dari prinsip responsibilitas yang salah satunya adalah direksi
agar bertanggung jawab terhadap peran masing-masing dan tidak
mencampuri tugas dan wewenang organ perusahaan lain.
Terkait dengan direksi BUMN Persero sendiri dan terlepas dari masih
adanya pertentangan mengenai kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan
idealnya adalah adanya peran pelaku kekuasaan kehakiman untuk
mengukuhkan kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN
Persero agar dapat tercapai kepastian hukum sesuai dengan konsep bahwa
negara Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, kepastian
hukum merupakan salah satu yang harus dicapai dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Bahwa pada pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak ataspengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukumyang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” , maka sudah
sepantasnya direksi BUMN Persero mendapatkan hak yang sama dengan
direksi perseroan terbatas biasa dalam hal penerapan BJR.
7 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate law dan eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2002), h.199
55
Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara Indonesia sebagai negara
hukum, merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan
UUD 1945 demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Adanya
kekuasaan kehakiman yang kuat dan mandiri diperlukan dalam rangka
menegakkan dan menjamin berjalannya aturan-aturan hukum seperti yang
dikehendaki oleh negara hukum. Kekuasaan kehakiman dalam suatu negara
hukum dimaksudkan untuk menegakkan dan mengawasi peraturan
perundang-undangan nasional yang berlaku.43
Dokrin BJR yang dapat melindungi direksi telah diakomodir dalam
Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan
sebagaimana Pasal 11 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
BUMN yang mengatakan bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan
dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas hanya dapat dibuktikan didalam proses
persidangan dimana hakim yang mempunyai peran penting dalam menilai
apakah tindakan direksi tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban secara
pribadi atau tidak . Oleh sebab itu dibutuhkan suatu pemahaman yang baik
dan menyeluruh bagi para hakim mengenai bagaimana BJR sehingga tidak
terjadi keputusan yang salah dalam mengadili seseorang.
Sebagai ukuran untuk mengetahui apakah seorang direksi telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dapat
dilihat dari ketentuan pada Pasal 97 Ayat 5 Undang-Undang Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa ada empat kriteria kumulatif yaitu :
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
8 Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata negara Indonesia,(Setara Press, Malang: 2017), h.
102
56
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Bila dilihat berdasarkan frasa apabila dapat membuktikan yang terdapat
Pasal 97 Ayat 3 dan 97 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas jelas menunjukan bahwa beban pembuktian
justru terletak pada direksi BUMN Persero tersebut untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah atau dikenal dengan sistem pembuktian terbalik.
Direksi BUMN Persero yang dijerat pasal korupsi juga dapat
memanfaatkan peluang hukum lain yaitu Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang, maka PTUN berwenang menilai sebelum adanya proses pidana.
Dalam hal ini direksi BUMN yang dituduh dengan sangkaan korupsi
sesuai dengan KUHPerdata pasal 1865 menyatakan bahwa setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, berkaitan dengan BJR bahwa
sesungguhnya pihak direksi BUMN Persero tersebut dapat melakukan
pembuktian yang merupakan penyangkalan akan sebuah kesalahan dan
tanggung jawabnya bahwa keputusan bisnis yang dibuatnya tersebut
merupakan sebuah resiko bisnis.
Doktrin sangat erat kaitannya dengan keputusan-keputusan hakim. Hal
ini karena, dalam menjatuhkan putusan seorang hakim akan mengambil
pertimbangan hukumnya dengan mengacu kepada pendapat para ahli hukum.
Karenanya, terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara maka
doktrin tetap merupakan sumber hukum. Tidak mengherankan apabila doktrin
BJR dalam hukum perusahaan tidak hanya berkembang di negara-negara
57
dengan sistem hukum common law saja, tetapi juga pada penganut sistem
hukum lainnya.
Pengertian doktrin itu sendiri adalah pendapat atau teori para ahli
hukum. Kedudukan doktrin sendiri dalam praktiknya sangatlah penting dalam
mempengaruhi pengambilan keputusan hukum oleh hakim. Dalam
mengambil keputusan, hakim sering kali mengutip pendapat atau teori dari
seorang atau beberapa orang ahli hukum mengenai kasus yang dihadapinya,
apalagi jika ahli hukum tersebut juga menyatakan mengenai bagaimana
penyelesaian suatu kasus sampai dengan selesai. Jadi, dengan kata lain
kedudukan doktrin merupakan sebuah sumber hukum formal yang berlaku
dalam hukum positif Indonesia dimana sangat berpengaruh bagi keputusan-
keputusan hakim selain undang-undang. 44
Salah satu kasus yang berkaitan dengan BJR yaitu sebuah kasus pada
PT. Merpati Nusantara Airlines. Seperti di dalam putusan MA Nomor
417K/Pid.Sus/2014 kasus ini bermula dari adanya keputusan bisnis yang
dilakukan oleh direktur utama merpati yaitu hotasi nababan untuk mengatasi
krisis yang terjadi di PT Merpati Nusantara Airlines untuk melakukan
penambahan 2 unit pesawat boeing 737 family dengan pertimbangan lebih
ekonomis dibandingkan dengan seri 200. Sehingga mengoperasikan pesawat
seri 400 dan 500 akan mendatangkan keuntungan lebih baik bagi merpati.
Dikarenakan merpati sangat membutuhkan tambahan pesawat untuk
meningkatkan kinerjanya. Dibandingkan dengan jumlah pilot yang dimiliki
merpati, jumlah pesawat tidak sebanding. Agar tercapai keseimbangan jumlah
pilot dan pesawat, setidaknya merpati harus mengoperasikan 70 – 90 pesawat,
sementara yang ada baru 20 unit pesawat jumlah armada merpati yang sangat
kurang dibandingkan dengan sdm yang ada sehingga berdampak pada kinerja
keuangan yang buruk. Dengan reputasi merpati tidak baik di mata lessor,
karena pernah menunggak membayar uang sewa sehingga pesawat yang
disewa merpati ditarik oleh lessor. Hal ini berakibat merpati sulit untuk
9 Prasetio, Dilema BUMN, Benturan Penerapan Business Judgement Rule (BJR) dalam
keputusan Bisnis Direksi BUMN, Cet.1 (Jakarta: Rayyana komunikasindo: 2014), h. 146
58
mendapatkan pesawat sewaan . Sehingga dalam RUPS pada 11 Oktober 2006
telah menugaskan kepada direksi merpati agar secepatnya menambah jumlah
pesawat merpati dengan cara menyewa.
Bahwa selanjutnya atas penawaran leasing yang disampaikan oleh
merpati pada tanggal 6 Desember 2006, TALG Washington DC mengajukan
proposal atas 2 unit pesawat boeing 737-400 dan boeing 737-500 melalui
kesepakatan adalah TALG bersedia membeli kedua pesawat tersebut dari
Lehman Brothers dengan syarat merpati berjanji akan menyewa pesawat dari
TALG, dan sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, maka atas usulan
dari TALG menunjuk Hume&AssociatesPC untuk menerima security
deposite dari merpati sebagai uang jaminan pembelian pesawat. Pada tanggal
18 Desember 2006 atas kuasa lisan meminta bantuan laurence siburian
seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikkan S-3 di
Amerika Serikat untuk melakukan pemeriksaan perusahaan TALG dan
Kantor Pengacara Hume & Associates. Kemudian saksi Laurence Siburian
dan hasil pengecekan Lawrence , ternyata Kantor TALG dan Kantor
Pengacara Hume & Associates terletak di jalan utama Washington DC dan
merupakan daaerah yang paling mahal di Washington DC yaitu 15 menit
perjalanan dari Istana Presiden AS dan orang yang bernama Jon Cooper
adalah orang yang bergelar profesor .
Selanjutnya pada tanggal 20 Desember 2006 Hotasi Nababan selaku
direksi PT. Merpati Nusantara Airlines menandatangani Lease Agreement
Dated dengan lessor dari pihak TALG dan tanggal 21 Desember 2006
dilakukan transfer ke rekening Hume & Associaties PC senilai US satu juta
dolar amerika serikat sebagai security deposit.
Sampai batas waktu penyerahan B 737-500 pada tanggal 5 Januari 2007,
pihak TALG gagal menyerahkan pesawat tersebut kepada merpati. Maka
sejak febuari tahun 2007 merpati menetapkan untuk memutuskan perjanjian
dan meminta TALG mengembalikan security deposit kepada merpati.
Jaksa Penuntut Umum kemudian menuntut Hotasi Nababan dengan
empat tahun penjara ditambah denda Rp.500 juta subsider enam bulan
59
kurungan berdasarkan dakwaan subsider yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan merugikan keuangan
negara.
Namun pada akhirnya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, pada tanggal 19 Februari 2013 melalui Putusan Nomor :
36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. menyatakan terdakwa Hotasi Nababan
tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi sehingga membebaskan Hotasi Nababan dari segala dakwaan.
Walaupun pada tingkatan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, lewat putusan Hakim
Mahkamah Agung RI No.417/Pid.Sus/2014 tanggal 07 Mei 2014 yang
menyatakan bahwa membatalkan putusan sebelumnya dan menyatakan
bahwa Hotasi Nababan bersalah dan pada tingkatan peninjauan kembali yang
dimohon oleh terdakwa Hotasi nababan, MA menolak permohonan
peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali yang dikeluarkan
lewat putusan No.41 PK/Pid.Sus/2015 pada Jum‟at, tanggal 04 September
2015.
Pada dasarnya, business judgement rule dimaksudkan untuk melindungi
direksi dan karyawan, yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara
pribadi akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
Sebagian kalangan berpendapat konsep BJR telah diadopsi dalam Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (5)
undang-undang ini menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat
dipertangungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik dan kehati- hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
60
mengakibatkan kerugian, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah
timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.45
Dalam hal kasus yang menjerat Hotasi Nababan, Hakim sependapat
dengan pembela terdakwa Hotasi Nababan bahwa kerugian tersebut bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya dikarenakan perbuatan yang dilakukan
oleh Hotasi Nababan yang membayar sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-
500 dan membayar security deposit sudah biasa dilakukan dan lazim
membayar security deposit dalam bentuk kas dan bahwa pembayaran security
deposit disetujui oleh semua anggota direksi merpati dengan menandatangani
sircular board. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
bahwa dalam RUPS pada 11 Oktober 2006 telah menugaskan kepada direksi
merpati agar secepatnya menambah jumlah pesawat merpati dengan cara
menyewa dikarenakan buruknya kinerja keuangan merpati disebabkan biaya
operasional lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh.
Rendahnya pendapatan karena merpati kekurangan alat produksi, dalam
hal ini adalah pesawat terbang yang dioperasikan sehingga kebutuhan merpati
akan ketersediaan pesawat terbang sangat mendesak. Dan sebelum uang
sejumlah satu juta dollar AS ditransfer ke rekening Hume & Associate,
merpati berupaya untuk memastikan keamanan security deposit dengan
menugaskan Laurence Siburian untuk mengecek keberadaan TALG dan
kantor hukum Humes & Associates beserta pengurusnya.
Bahwa tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian
tindakan pengambilan keputusan bisnis tersebut didasari atas usaha untuk
mendapatkan pesawat terbang. Namun rendahnya kepercayaan lessor kepada
merpati menyebabkan usaha merpati untuk menyewa pesawat sering
menemui kegagalan. Serta telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul
atau berlanjutnya kerugian tersebut. Dengan membatalkan perjanjian sewa
10
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Cet.1 (Jakarta: Permata Aksara, 2013),
h.126
61
dan meminta TALG mengembalikan security deposit serta telah meminta
kepada jamdatun, yang diwakili yosep suardi sabda, selaku pengacara negara
untuk membantu merpati menarik kembali security deposit dengan
mengajukan gugatan terhadap Alan Messner dan John Cooper ke pengadilan
Court for District of Columbia setelah permintaan pengembalian security
deposit tidak dihiraukan oleh Alan Messner dan John Cooper. Bahwa
pengadilan Court for District of Columbia mengabulkan gugatan merpati
dengan menyatakan Alan Messner dan John Cooper terbukti melakukan
wanprestasi dan mewajibkan Alan Messner dan John Cooper untuk
mengembalikan uang merpati termasuk bunga.
Hal diatas menunjukan bahwa direksi BUMN Persero dalam hal ini
Hotasi Nababan selagu direktur utama merpati telah membuktikan bahwa
direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab dapat dilihat dari ketentuan pada Pasal 97 Ayat 5 Undang-Undang
Perseroan Terbatas dengan empat kriteria kumulatif sehingga anggota direksi
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Pasal 97 Ayat 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas .
Hal inipun didukung oleh temuan direktorat III dan WCC, bareskrin
polri pernah melakukan penyelidikan atas penyewaan pesawat merpati pada
TALG dengan kesimpulan belum diketemukan fakta perbuatan tindak pidana
korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara serta adanya
keterangan dari komisi pemberantasan korupsi pernah melakukan penelaahan
atas penyewaan pesawat merpati pada TALG dengan kesimpulan tidak
memenuhi kriteria tindak pidana korupsi.
Maka tidak salah untuk dapat melihat putusan hakim pengadilan tipikor
jakarta, pada tanggal 19 Februari 2013 melalui putusan nomor
36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. sebagai kenyataan bahwa dokrin BJR
dapat digunakan sebagai perlindungan dalam kasus yang menjerat direktur
BUMN.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pendapat peneliti bahwa BUMN sebagai perspektif ranah Hukum Publik
yaitu bahwa pada hakikatnya BUMN yang seluruh atau sebagian besar
sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan
negara dalam menjalankan sebagian fungsi negara untuk mencapai tujuan
negara. Dasar pendirian BUMN itu salah satunya meningkatkan
perekonomian nasional dan mesnsejahterakan rakyat sehingga BUMN
yang modalnya dari keuangan negara tetap harus mempertanggung
jawabkan sesuai dengan mekanisme keuangan negara. Karena jika dia
masuk ke ranah hukum privat pertanggung jawaban nya hanya sekedar
perindividu atau kelompok.
2. Terkait dengan permasalahan, Apakah Konsep Business Judgement Rule
dapat diterapkan dalam hal perlindungan pengambilan keputusan Direksi
BUMN Persero terkait dengan konsep keuangan negara, dalam konteks
bahwa BUMN sebagai Perseroan Terbatas sudah selayaknya juga
mendapatkan kewajiban dan hak yang sama sama dengan perseroan
terbatas biasa yang salah satunya adalah Dokrin Business Judgement Rules
yang dapat melindungi direksi dalam pengambilan keputusan. Di
Indonesia kasus direksi di tuntut pada tindak pidana korupsi akibat
keputusan bisnis yang ia ambil sebenarnya ada faktor lain yaitu kesalahan
prosedur yang di lakukan direksi dalam menjalankan transaksi tersebut. Di
dalam Pasal 97 Ayat 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan
bahwa anggota direksi tidak dapat diminta pertanggung jawabannya
apabila dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan dengan itikad
63
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian, telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut. Jika salah satu faktor di atas tidak
terpenuhi berarti secara tidak langsung direksi tersebut juga sudah
melanggar salah satu prinsip Bussines Judgement Rule yaitu kerugian
tesebut karena kelalaiannya dan melakukan pengurusan persero dengan
kehati-hatian.
B. Rekomendasi
Berdasarkan uraian kesimpulan yang telah dipaparkan peneliti memberi
beberapa rekomendasi yaitu :
1. Memaksimalkan peran Komisaris dan Dewan Pengawas sesuai dengan
tugas dan fungsi yang dicantumkan dalam pasal 6 Undang –undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dalam hal
pengawasan BUMN Persero sebagai tindakan pencegahan atau preventif
terhadap tindakan seorang direksi agar sesuai dengan kepentingan dan
BUMN Persero itu sendiri.
2. Para penegak hukum harus dapat lebih memahami konsep badan hukum
dan pengakuan BJR harus dimaknai sebagai panduan wajib bagi pihak-
pihak yang berwenang mengawasi penggunaan keuangan negara di
BUMN seperti BPK, Polisi, Jaksa, dan KPK agar tidak lagi serampangan
mempergunakan kewenangan mereka dalam memeriksa, menyelidik,
menyidik dan menuntut dugaan penyelewengan keuangan yang terjadi di
BUMN Persero.
64
DAFTAR PUSTAKA
Ais, Chatamarrasjid, Pengaruh Prinsip Piercing the Corporrate Veil Dalam
Hukum Perseroan Indonesia,Jurnal Hukum Bisnis Vol 22
,Jakarta,Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, No 6 Tahun 2003
Anaraga, Panji, BUMN, Swasta dan Koperasi, Jakarta: Pusataka Jaya, 2002
Asshiddiqie,Jimly, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta,
Konstitusi Press 2005
Atmadja, Soeria, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan
Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
________ , Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum. Teori, Kritik, dan Praktik,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
Fauzan, Encik, Hukum Tata negara Indonesia, Setara Press, Malang: 2017
Ferry,Makawimbang, Hernold. 2014, Kerugian Keuangan Negara, Yogyakarta,
Thafa Media
Fuady,Munir, Dokrin–Dokrin Modern dalam Corporate Law,Bandung , Citra
Aditya ,2002
________ ,Perbuatan Melawan Hukum. Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005
Hadjon,Philipus, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2011
Hanityo,Ronny, Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,
Jakarta: Ghalia lndonesia , 1994
Harahap, Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2016
Mulhadi, Hukum Perusahaan : Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010
Nadapdap, Binoto, Hukum Perseroan Terbatas, Cet.1 Jakarta: Permata Aksara,
2013
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, Jakarta: CV
Rajawali, 1983.
Prayoko, Robert, Dokrin Business Judgement Rule, Aplikasinya dalam Hukum
Perusahaan Modern
65
Rachbini, Didik, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan,
Jakarta: Granit, 2004
Ridwan Khairandy, Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan
Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum,
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007
________ , Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan, dan
Yurisprudensi, Cet.2 Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009
Saidi, Djafar, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2014
Satrio, Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas , Jakarta: visimedia, 2009
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta : Rajawali Pers,2001
Subekti dan R.Tjitrosudibio,KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2002
Sulaiman, Alfin, Keuangan Negara pada Badan usaha Milik Negara dalam
Prspektif Ilmu Hukum, PT. Alumni,Bandung: 2011
Supramono,Gatot, BUMN Ditinjau Dari Segi HUKUM PERDATA, Jakarta:Rineka
Cipta, 2016
Susanto, AB, Corporate Social Responsibility, Jakarta:The Jakarta Consulting
Group,2007
Tjandra,Riawan, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Penerbit Universitas
Atma Jaya, 2008
Widjaya, Gunawan, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan,Ed 1 ctk
kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2004
________ , Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Ed 1 ctk kedua,
Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2004
Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, Jakarta, Rajawali
Pers, 1999,
Widrajaya, I.G. Rai, Hukum Perusahaan, ctk Ketiga, kesaint Blanc, Jakarta, 2003
________ , Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesain Blanc, 2002
Kutipan keterangan ahli dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-
IX/2011
Penjelasan atas UURI No28 TAhun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bebas Dari Korupsi , Kolusi dan Nepotisme
66
Internet
https://docplayer.info/39583326-Governance-d-lm-danbadan-usaha-milik-negara//
olehMiko Kamal,PhD
https://www.kompasiana/boby-hernawan/552fef086ea834b45cd/corporate-
governance-dua-makna-konsep-separation-of-ownership-and-
controloleh Boby Hernawan
Lihat“Laba bersih tembus Rp188 triliun
di2018.,https://market.bisnis.com/read/20190220/192/891058/kinerja-
2018-bumn-raih-untung-hingga-rp188-
triliun,diaksestanggal19Juni2018.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang –undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme perubahan atas
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang –Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang – Undang Nomor 15 tahun 2004 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
top related