absorpsi dan ekskresi
Post on 11-Aug-2015
604 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Toksikologi Kamis/20 Sept 2012
Ruang: Lab Fifarm Pukul: 09.00-selesai
Dosen: Dr. drh. Min Rahminiwati, MS
ABSORPSI DAN EKSKRESI
Disusun Oleh :
Kelompok II (pagi)
Nur Astri Fadzillah Mechor B04078005 ( )
R Yufiandri B04080113 ( )
Resya Soffiana Yasin B04088014 ( )
Winda Wahyu SR B04090109 ( )
Nadine Adrianna S B04090150 ( )
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PENDAHULUAN
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan
makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Interaksi
dengan obat dapat menguntungkan dan merugikan. Interaksi obat dianggap
penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan / atau
mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi. Mekanisme interaksi obat secara
garis besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni 1. interaksi inkompatibilitas,
2. interaksi farmakokinetik, 3.Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik
terjadi apabila salah satu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme,
atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau
menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan evektivitas
obat tersebut.
Absorbsi adalah suatu proses masuknya bioaktif kedalam sistem sirkulasi
darah menuju target organ melalui berbagai membran penghalang. Kecepatan dan
banyaknya obat yang di absorbsi menetukan onset dan durasi suatu sediaan.
Interaksi dalam absorbsi di saluran cerna bersifat interaksi langsung. Interaksi
secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat
mengganggu proses absorpsi. Interaksi dapat dihindarkan/sangat dikurangi bila
obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal 2 jam.
Perubahan pH cairan saluran cerana dimana cairan saluran cerna yang
alkalis akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam
cairan tersebut. Suasana alkalis disaluran cerna akan mengurangi kelarutan
beberapa oat bersifat basa dalam cairan saluran cerna, dengan akibat mengurangi
absorpsinya. Perubahan waktu pengosongan lambung dan transit dalam usus dapat
mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan dengan menggunakan obat yang
dapat memperpendek pengosongan lambung pada waktu yang sama, dan dapat
memperlambat absorpsi obat lain apabila diberikan obat yang dapat
memperpanjang pengosongan lambung. Kecepatan pengosongan lambung
biasanya hanya mempe ngaruhi kecepatan absorpsi tanapa pengaruhi jumlah obat
yang diabsorpsi.
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah agar mahasiswa mempelajari pengaruh pH
terhadap banyaknya obat yang diabsorbsi dilambung, mempelajari ekskresi H2S
sebagai phenotipe sediaan obat yang diekskresikan melalui paru-paru,
mempelajari pengaruh pH terhadap banyaknya obat yang diabsorbsi dilambung.
TINJAUAN PUSTAKA
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. setiap tubuh memilik
kemampuan absorbsi yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu sifat fisik dan kimia obat, bentuk obat, formulasi obat, konsentrasi, luas
permukaan kontak obat, pH cairan usu (keasaman lambung), kecepatan
pengosongan lambung, komposisi makanan, dan sirkulasi tempat absorbsi.
Tergantung dari tujuan, sifat obat dan kondisi penderita, pemberian obat
dapat dilakukkan melalui berbagai cara, di antaranya adalah per oral dan
parenteral. Salah satu perbedaan keefektifan obat yang mungkin muncul
disebabkan oleh karena adanya perbedaan cara pemberian atau rute pemberian
yang berkaitan dengan kecepatan absorpsinya. Terdapat berbagai jenis mekanisme
absorpsi lain, diantaranya:
1. Difusi pasif, penembusan ke dalam membran dengan adanya perbedaan
konsentrasi dan tanpa bantuan. Transpor senyawa berbanding langsung
dengan andaian konsentrasi, koefisien distribusi senyawa serta koefisin difusi
berbanding terbalik dengan membran tebal.
2. Distribusi terfasilitasi, proses penembusan tanpa menggunakan energi (ATP)
tetapi memerlukan bantuan pembawa (carrier).
3. Transpor aktif, menggunakan energi dari sintesis ATP karena senyawa
memasuki suatu membran dengan melawan gradien (melawan konsentrasi)
kebalikan dari difusi pasif.
4. Pinositosis, merupakan absorpsi obat dalam bentuk cairan atau ekstark liquid
melalui membran cerna yang mencapai tubuh secara intraselular.
5. Fagositosis, merupakan absorpsi obat dalam bentuk padat melalui membran
cerna yang mencapai tubuh secara intraselular atau membentuk fagosom
internal pada membran.
6. Persorpsi, merupakan absorpsi obat dalam bentuk padatan atau liquid melalui
membran cerna yang mencapai tubuh secara intraselular.
7. Pasangan ion, senyawa-senyawa tertentu yang di dalam tubuh atau di luar
membran sel mengalami ionisasi sehingga sukar diserap maka senyawa
tersebut berikatan dengan senyawa yang berlawanan muatan kemudian
dihantar menembus membran sel dan masuk ke dalam cairan intraselular.
Sediaan obat yang bersifat asam atau basa lemah mudah berdisosiasi pada
pH pelarut yang berlainan. Asam akan berdisosiasi dalam suasana basa menjadi
bentuk ion dan anion, serta sebaliknya. Oleh karena bentuk anion mudah larut
dalam lemak maka, pH pelarut akan menentukan kecepatan dan banyaknya obat
yang diabsorpsi. Lambung mempunyai fungsi penguraian nutrient dengan
melibatkan berbagai reaksi enzimatik dan fungsi absorpsi secara terbatas dengan
mekanisme difusi pasif, konvektif, berfasilitas dan sebagian kecil tranpor aktif.
Eksresi adalah proses pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh. Obat
dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ dalam bentuk metabolit
biotranformasi atau dalam bentuk asalnya. Kecepatan absorbsi dan ekskresi akan
menentukan durasi efek suatu sedian obat. Rute utama dari eliminasi obat adalah
melalui ginjal, paru-paru, empedu, saliva, keringat, dan air susu. Saluran
pernafasan merupakan tempat eksresi obat yang bersifat volatile. H2S merupakan
contoh senyawa yang bersifat volatile yang diekskresikan melalui saluran
pernafasan.
METODOLOGI, ALAT DAN BAHAN
A. Absorpsi
Alat dan bahan:
Tikus, asam salisilat (asam dan basa), FeCl3, larutan NaCl fisiologis, standar
asam salisilat, spoit, stopcock, alat bedah, kertas saring, corong gelas, dan
alat ukur.
Prosedur:
Tikus dianestesi dengan urethane dosis 1.25 k/kg BB ip. Setelah
teranestesi tikus diterlentangkan di atas papan fiksasi dengan keempat
kakinya diikat. Bulu disekitar abdomen dicukur kemudian sayat bagian linea
alba dari bawah sampai tulang rusuk. Perhatikan jangan sampai diafragma
robek. Lambung dikeluarkan dan bagian esofagus diikat dengan benang.
Kira-kira 1 cm di bawah pilorus, duoderum dilubangi. Pipa kaca yang
dihubungkan dengan selang karet de stop cock dimasukkan dan diikat
bagian pilorusnya dengan kuat. Ikatan kedua dibuat kira-kira 0.5-1 cm di
bawah tempat pipa dimasukkan. Lambung dibilas dengan menggunakan
cairan NaCl fisiologis sampai bersih lalu dikosongkan. Asam salisilat
dikosongkan dalam suasana asam atau basa sebanyak 4 cc. kocok sampai
homogen. Sebanyak 1.5 cc diambil kemudian di saring dengan kertas saring.
Hasil saringan ditambahkan dengan 5 bagian FeCl3. Setelah itu warna yang
terbentuk dibandingkan dengan warna standard. Konsentrasi yang diperoleh
merupakan konsentrasi sediaan t0. Setelah 1 jam, sisa cairan dalam lambung
diambil kemudian di saring. Setelah itu ditambahkan 5 bagian FeCl3 ke
dalam 1 bagian filtrat yang diperoleh. Warna yang terbentuk dibandingkan
dengan warna standar. Konsentrasi yang diperoleh merupakan sediaan t1.
Contoh perhitungan jumlah obat yang diabsorbsi:
obat yangdiabsorbsi= konsentrasi obat t 0−konsentrasi obat t 1konsentrasi obat t 0
x 100 %
B. Ekskresi
Alat dan bahan:
Kelinci, H2S, larutan Pb Asetat, kertas saring, cawan petri dan spoit.
Prosedur:
Kertas saring dicelupkan pada larutan Pb Asetat dan letakkan di depan
hidung kelinci. Na2S disuntik secara iv pada telinga kelinci. Amati apa yang
terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
Hasil Absorbsi Asam dalam lambung
Jenis Obat Volume Awal Volume AkhirSalisilat dalam Asam 1,5 ml 2 ml (habis)
Presentase absorpsi % 25% 15 %
Keterangan:
-Filtrat awal adalah 1,5 ml sehingga FeCl3 yang ditambahkan adalah 7,5 ml dan
warna larutan cocok dengan absorbsi 25 %.
- Filtrat terakhir (isi lambung dihabiskan) adalah 2 ml sehingga jumlah FeCl3 yang
ditambahkan adalah 10ml dan warna larutan cocok dengan absorbs 15%
- Campuran salisilat asam dengan FeCl3 akan selalu menghasilkan warna Ungu,
namun konsentrasi dapat ditentukan dari kepekatan warna larutan. Dari perubahan
konsentrasi pada filtrate awal dengan akhir dapat ditentukan Presentase Jumlah
Obat yang di absorbsi.
Rumus:Jumlah obat yang diabsorpsi = konsentrasi obat pada t 0−konsentrasi obat pada t 1
konsentrasi obat pada t 0 x 100%
Hasil praktikum= Jumlah obat yang diabsorbsi = 25−15
25 x 100% = 40 %
Jadi Jumlah obat yang diabsorbsi pada salisilat dalam kondisi asam adalah 40 %
Hasil Absorbsi Basa dalam lambung
Jenis Obat Volume Awal Volume AkhirSalisilat dalam Basa 30 18Persentase absorpsi (%) = 40%
Rumus:Jumlah obat yang diabsorpsi = konsentrasi obat pada t 0−konsentrasi obat pada t 1
konsentrasi obat pada t 0 x 100%
Hasil praktikum= Jumlah obat yang diabsorbsi = 30−18
30 x 100% = 40 %
Jadi Jumlah obat yang diabsorbsi pada salisilat dalam kondisi asam adalah 40 %Perhitungan
b. Pembahasan
Asam asetil salisilat yang dimasukkan ke dalam lambung tikus (dalam suasana asam)
akan diabsorbsi. Hasil percobaan menunjukkan, konsentrasi awal asam asetil salisilat
yang diabsorbsi oleh lambung adalah sebesar 25%. Setelah ditunggu selama satu jam, konsentrasi
asam asetil salisilat yang diperoleh dari lambung tikus adalah tinggal 15%. Hal ini menunjukkan
bahwa dari keseluruhan asam asetil salisilat yang dimasukkan ke dalam lambung tikus, 40% telah
diabsorbsi oleh lambung.Berdasarkan literatur, obat atau senyawa kimia yang bersifat asam akan
berdisosiasi dalam suasana basa menjadi bentuk ion dan anion dan sebaliknya, pH pelarut akan
menentukan kecepatan dan banyaknya obat yang diabsorbsi (Anonim 2009). Dalam
percobaan kali ini, asam asetil salisilat dimasukkan dalam suasana asam. Asam asetil salisilat
diabsorbsi dengan mekanisme difusi pasif dalam bentuk molekul tak terionkan melewati
membran gastrointestinal dan dipengaruhi oleh pH larutan (Syarif et al . 2007).
Jika pH meningkat, asam asetil salisilat lebih banyak terionisasikan dan kecepatan absorbsi
cenderung turun. Karena pH larutan rendah, maka pada pemberian oral asam asetil
salisilat dengan cepat diabsorbsi di lambung. Meskipun demikian,absorbsi di usus halus
lebih besar daripada di lambung (Anonim 2009).
Asam salisilat cepat diabsorbsi dari lambung dan usus halus bagian atas, serta kadar puncak
dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Suasana asam di dalam lambung menyebabkan
sebagian besar dari salisilat terdapat dalam bentuk non ionisasi, sehingga memudahkan
absorpsi. Namun, bila salisilat dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat
tersebut dapat merusak barier mukosa. Jika pH lambung ditingkatkan oleh buffer yang cocok
sampai pH 3,5 atau lebih, maka iritasi terhadap lambung berkurang (Scott, T. S. 1962).
Pada praktikum, dilakukan pengamatan dengan salisilat dalam basa sebelum
dan setelah 1 jam diberikan asam salisilat. Pada volume awal, didapatkan
konsentrasi obat yang diserap adalah 30%, sedangkan pada volume akhir (setelah
1 jam), didapatkan konsentrasi obat yang diserap sebanyak 18%. Setelah dihitung
dengan rumus, hasil persentase absorpsi obat adalah sebesar 40%. Kebanyakan
obat merupakan elektrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air,
elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk asam lemah,
pH yang tinggi ( suasana basa ) akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi
bentuk non-ionnya. Hanya bentuk non-ion yang mempunyai kelarutan lemak,
sehingga hanya bentuk non-ion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan,
maka setelah bentuk non-ion diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah
bentuk non-ion sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis. Zat-zat
makanan dan oabt – obat yanng strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat /
sukar berdifusi pasif memerlukan membran agar dapat diabsorpsi dari saluran
cerna maupun direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.
Hasil dari percobaan ekskresi pada kelinci dengan perlakuan pemberian
Na2S secara injeksi Intravena adalah terdapatnya noda berwarna cokelat pada
kertas putih ketika ketika kertas tesebut diletakkan di depn hidung saat hewan
respirasi. Na2S dapat bersifat racun atau toksik pada individu (Puspita 2010). Na2S
merupakan senyawa yang bersifat volatile yang ekskresinya dapat dekeluarkan
melalui saluran pernapasan. Hal ini menunjukkan bahwa Na2S bahan bersifat
toksik yang dapat dikeluarkan melalui system respirasi. Respirasi sebagai salah
satu organ yang berfungsi sebagai ekskresi suatu zat atau bahan obat dari dalam
tubuh. Molekul zat yang dapat diekskresi melelui system respirasi berykuran
sangat kecil sehingga dapat dikeluarkan bersama CO2 dari dalam tubuh.
Pengeluaran obat keluar tubuh bisa terjadi melalui berbagai jalan, yaitu ginjal,
empedu, usus paru-paru dan kelenjar susu (Mycek 2001).
KESIMPULAN
Pada percobaan absorpsi yang dilakukan pada kondisi asam dan basa
dengan menggunakan lambung tikus sebagai mediasi, didapatkan hasil absorpsi
sama yaitu 40%. Seharusnya absorpsi yang lebih besar terjadi pada salisilat yang
bersifat basa jika diabsorpsikan pada lambung.
Pada percobaan ekskresi yang menggunakan Na2S menunjukkan bahwa
Na2S yang berada di aliran darah akan segera dikeluarkan/diekskresi melalui
sistem pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009.Asam Salisilat .http://www.wikipedia/asamsalisilat.htm. [24 September 2012].
Kee Joyce L. & Evelyn R. Hayes. 1993. Pharmacology: A Nursing Process
Approach. Penerbit: Buku Kedokteran EGC
Min Rahminiwati, Huda S.D, Aulia Andi M, Andriyanto, Siti Sa’diah. 2012.
Penuntun Praktikum Toksikologi Veteriner. Departemen Anatomi,
Fisiologi dan Farmakologi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Muhammad Nurdin M. 2010. Mekanisme Absorpsi.Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam. Universitas Haluoleo.
Mycek MJ et al.2011. Farmakologi Ed.2. Jakarta : Widya Medika.
Puspita PE.2010. Langkah Sederhana "Paperless Concept" dalam Menyelamatkan
Hutan.
[terhubungberkala]http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?
ar_id=NzQzMg (25 eSeptember 2012)
Rahardjo , Rio. 2004 . Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Scott, T. S. 1962.Carcinogenic and Chronic Toxic Hazards of Aromatic Amine.Amsterdam:
Elsevier.
Sri Monika T. 2009. Absorpsi, Distribusi, Mekanisme dan Eliminasi Obat (ADME Obat). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta.
Syarif A, et al . 2007. Farmakologi dan Terapi . Jakarta: Gaya Baru.
Lampiran
1
2
Gambar 1 dan 2 tikus yang telah teranestesi difiksasi dan di sayat dibagian linea
alba. Lambung dikeluarkan.
3 4
5
Gambar 3, 4 dan 5 lambung dilubangi dan dimasukkan selang karet de stop cock
kemudian diikat bagian pilorus dan 0.5-1 cm di bawah tempat pipa dimasukkan.
Lambung dibilas dengan menggunakan NaCl fisiologis.
top related