agen hayati dan pestisida kimia: perubahan dan
Post on 19-Nov-2021
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Agen Hayati dan Pestisida Kimia: Perubahan dan Keberlanjutan dalam Pengetahuan dan Praktik Pengendalian Hama di Telogo Rejo, Lamongan
Mephy Kusminardiela Rahayu Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Email: mephy.ks@ui.ac.id
Abstrak
Tulisan ini dilakukan dengan penelitian lapangan menggunakan metode entnografi yang membantu peneliti untuk mempelajari praktik petani dalam mengendalikan hama dan penyakit di Dusun Telogo Rejo, Desa Gampang Sejati, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Perubahan dan keberlanjutan dalam pengetahuan dan praktik pengendalian hama dan penyakit merupakan fokus dari tulisan ini. Petani yang menghadapi keadaan fluktuatif pertaniandalam kehidupan kesehariannya didukung dengan introduksi Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), yang diikuti dengan introduksi agen hayati untuk mengatasi serangan wereng batang coklat (WBC) di tahun 2010—2011. Introduksi agen hayati mampu membantu mengembangkan pengetahuan dan praktik petani dalam mengendalikan WBC. Selain itu, petani mampu memproduksi dan mendistribusikan agen hayati kepada kelompok petani lainnya. Namun, beberapa petani kembali menggunakan strategi konvesional dalam mengendalikan hama dan penyakit dengan pestisida kimia. Hal itu disebabkan terjadinya lagi serangan WBC, berkurangnya kegiatan produksi agen hayati, dan terlambatnya informasi mengenai ketersediaan agen hayati. Perubahan dan keberlanjutan dalam mengendalikan hama dan penyakit oleh petani dapat terwujud karena motivasi dan ke-agensi-an petani PHT.
Kata kunci: agen hayati; ke-agensi-an; keberlanjutan; ledakan hama WBC; motivasi; pelaksanaan SLPHT; perubahan; pestisida kimia; praktik; proses belajar; skema pengetahuan.
Biocontol Agent and Chemical Pesticide: Changes and Continuity in Farmers Pest Management Knowledge and Practices in Telogo Rejo Hamlet, Lamongan
Abstract This manuscript is based on fieldwork carried out by using ethnography method that helps researcher to study farmers’ knowledge and practices in controlling pests and diseases in Telogo Rejo Hamlet, Gampang Sejati Village, Laren District, Lamongan Regency, East Java. The changes and continuity of knowledge and practices in pest and desease management were the focus of this manuscript’examination. Farmers who had to face fluctuative conditions of farming in their life were supported by the implementation of Integrated Pest Management Farms Field School (IPM-FFS), followed by the introduction of biocontrol agent as a means to control the outbreaks of brown plant hopper (BPH) in 2010—2011. The introduction of biocontrol agent was able to help developing farmers’ knowledge and practices in BPH control. Furthermore, farmers’ were able to produce and distribute the biocontol agent to other farming communities. Nevertheless, some farmers’ return to their conventional strategy in controlling pests and diseases by chemical pesticides. The continuation of this strategy emerged under the condition of the recurring BPH infestation, the less continuity of biocontrol agent production, and the late information of the stock of biocontrol agent products. The changes and continuity in farmers pest management knowledge and practices became real because of motivation and agency of IPM farmers.
Keywords: biocontrol agent; agency; continuity; outbreaks of brown plant hopper; motivation; IPM-FFS; changes; chemical pesticide; practices; learning process; schema of knowledge
Pendahuluan
Perubahan dan keberlanjutan dalam pengetahuan dan praktik tulisan ini mengacu pada konsep
daya sentripetal dan daya sentrifugal yang dikemukakan oleh Strauss dan Quinn (1997). Hal
yang diperhatikan adalah introduksi mengenai agen hayati memiliki potensi untuk
mewujudkan perubahan dalam skema pengetahuan individu maupun kelompok yang
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
menunjukkan adanya daya sentifugal. Sebaliknya, pengendalian hama secara konvensional
menggunakan pestisida sudah menjadi bagian pemahaman petani yang memiliki daya
sentripetal. Pestisida dan agen hayati, kedua pengetahuan yang berhubungan dengan petani ini
memiliki dua daya yang berbeda dalam memengaruhi pemahaman-pemahaman budaya
budidaya tanaman padi petani. Winarto dan Choesin (2001: 97) mengemukakan,
“Pemahaman petani bahwa pestisida sebagai satu-satunya alternatif pengendalian hama telah
memiliki daya ‘sentripetal’ selama tiga dasa warsa.”1
Kajian etnografi yang memperlihatkan keberadaan kedua daya sentripetal dan
sentrifugal beberapa diantaranya telah dilakukan oleh Winarto (2004, 2006b), Winarto dan
Choesin (2001), Vayda dan Setyawati (1998) dan Ratnawati (2012) tentang proses belajar
petani yang dilakukan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan penerapan
praktik mengendalikan hama secara terpadu. Kasus yang diteliti oleh peneliti-peneliti tersebut
dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda, namun dengan persamaan kajian mengenai
pengayaan skema pengetahuan petani dalam pelaksanaan SLPHT dengan melihat setiap
kemungkinan-kemungkinan potensi perubahan dan keberlanjutan yang akan terjadi.
Penelitian Vayda dan Setyawati (1998) di Yogyakarta menemukan beberapa petani
alumni SLPHT menerapkan pemahaman yang mereka peroleh dalam mengendalikan hama
yang walaupun tetap ditemukan juga beberapa petani yang mengaktifkan pengetahuan lama
pengendalian hama secara konvensional menggunakan pestisida (Lihat Vayda dan Setyawati
1998). Penelitian Winarto (2004, 2006b) di Subang memperlihatkan praktik budi daya
tanaman padi yang dilakukan petani di tengah serangan hama penggerek batang padi putih
(PBPP) (lihat Winarto 2004). Setelah 15 tahun SLPHT kerangka berpikir petani yang
dijumpai tetap menggunakan pestisida sebagai ‘obat’ yang dianggap ‘ampuh’ membunuh
hama (lihat Winarto 2006b).
Winarto dan Choesin (2001) yang melakukan penelitian di Lampung Tengah
menemukan terjadinya pengayaan skema pengetahuan petani dari hasil belajar di SLPHT
yang tidak disertai dengan kegiatan pendampingan ‘alumni PHT’. Hal tersebut menyebabkan
sejumlah petani kembali ke strategi pengendalian hama menggunakan pestisida kimia (lihat
Winarto dan Choesin, 2001) Fenomena lain ditemukan Winarto (2002) di Terbanggi Besar
dan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah yang memperoleh dampingan LSM
1 Pihak ilmuwanlah yang menemukenali sumber masalah peledakan hama wereng ini. Hasil umpan balik yang memperkaya pengetahuan ilmuwan inilah yang kemudian dialihkan pada petani setelah dilaksanakan ‘lobi’ oleh para ilmuwan (luar dan dalam negeri) dengan bantuan sejumlah ‘elit politik’ pada pucuk pimpinan negara. ‘Lobi’ inilah yang menghasilkan dikeluarkan-nya Inpres no. 3/1986 yang terkenal dalam pencana-ngan PHT sebagai program nasional pengendalian hama(Winarto dan Choesin 2001; 97)
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
Internasional. Petani mendapatkan keuntungan dari fasilitas dan dukungan penuh yang
diberikan sehingga dalam kurun waktu kurang lebih dari satu dekade, menjadi salah satu daya
sentrifugal dari pemahaman-pemahaman petani yang memungkinkan mereka untuk
mengembangkan cara-cara kreatif dalam menjadi tuan tanah di lahan mereka (lihat Winarto,
2002).
Penelitian Ratnawati (2012) di Klaten memperlihatkan pelaksanaan SLPHT setelah
terjadinya serangan hama wereng batang coklat (WBC)2 di lahan petani. Ratnawati
menemukan bahwa alumni SLPHT melakukan alih pengetahuan kepada petani non-PHT.
Namun, minimnya petani non-PHT yang tertarik menerima dan mewujudkan pengetahuan
yang dialihkan petani PHT, menunjukkan bahwa potensi daya sentrifugal yang mendorong
perubahan pengetahuan dan praktik masih terjadi pada tataran individual (lihat Ratnawati,
2012).
Dari kelima contoh penelitian yang tersebut, penulis melihat bahwa individu petani
sebagai aktor yang menjalankan pertaniannya, dinamis dalam menginternalisasi pengetahuan
yang diberikan. Tetapi, cara mempertahankan dan melanjutkan internalisasi pengetahuan baru
tersebut menjadi permasalahan di setiap lokasi penelitian. Kajian penelitian tulisan ini,
melihat perubahan introduksi pengetahuan yang mereka terima belum kuat untuk mendorong
individu mempertahankan praktik baru yang mereka lakukan. Potensi daya sentripetal dan
daya sentrifugal mendasari perubahan dan keberlanjutan dari pengetahuan dan praktik
individu melakukan pengayaan terhadap skema pengetahuan petani. Selain itu, berusaha
melihat dimensi intrapersonal secara mendalam yang memasukkan pemikiran adanya
“motivation” yang didukung juga dengan pendampingan secara berkelanjutan.
Pada akhir tahun 2010 hingga pertengahan tahun 2011, Provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi dengan angka serangan yang tinggi oleh hama WBC dan virus (virus
kerdil hampa dan virus kerdil rumput). Kabupaten yang disinyalir paling parah terserang
adalah Lamongan, Bojonegoro, dan Tuban (Sumber: Laboratorium POPT Bojonegoro 2011 &
Workshop RTL 20-4-2011, Lamongan dalam Winarto dkk 2011). Ketiga kabupaten tersebut
merupakan kabupaten yang saling berdekatan dan salah satunya (Bojonegoro) merupakan
kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Akibat serangan ini, produktivitas
2 Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) adalah serangga yang memiliki kesuburan tinggi dan mobilitas tinggi untuk menyerang sawah. Wereng betina dapat menghasilkan sampai 400 telur dalam satu generasi selama 20 hari. Wereng batang coklat dapat terbang berpindah-pindah tempat dan tersebar dalam radius 20 km. Dalam jumlah besar, wereng batang coklat dapat menghancurkan tanaman padi dalam satu hari dan menyebabkan gagal penen (Fox 2012)
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
padi di Provinsi Jawa Timur, khususnya di ketiga kabupaten tersebut mengalami penyusutan
yang sangat drastis.
Menghadapi situasi tersebut, pemerintah Lamongan melalui SLPHT memperkenalkan
adanya upaya penyelamatan padi dengan introduksi agen hayati yang sesuai dalam
mengendalikan hama dan penyakit. Beauveria bassiana (B.bassiana) merupakan salah satu
agen hayati yang disosialisasikan melalui SLPHT kepada petani, sebagai cara yang aman dan
alami dalam menangani serangan WBC. Semangat petani terus terlihat untuk
mengembangkan pengetahuan mereka tentang pertanian yang kemudian terwujud dalam
pembentukan Pusat Pelayanan Agen Hayati (PPAH) Bumi Lestari. Menarik untuk melihat
para petani di Dusun Telogo Rejo ini secara bersama maupun individual ingin terus maju
serta bangga terhadap keberhasilan mereka menangani hama dan penyakit menggunakan
B.bassiana dengan meninggalkan penggunaan pestisida kimia.
Melihat beberapa penelitian mengenai pengayaan skema pengetahuan sebelumnya,
penelitian yang penulis lakukan di Dusun Telogo Rejo ini pun melihat mengenai skema
pengetahuan yang terbentuk oleh petani. Potensi yang mendukung daya sentrifugal dan daya
sentripetal diperlihatkan dalam pemahaman-pemahaman introduksi pengetahuan baru petani.
Perbedaan tingkat keberhasilan pengetahuan yang diserap dan dipraktikkan pada SLPHT
tahun 2009 sangat berbeda jauh dengan pelaksanaan sebelumnya. Mengapa hal tersebut bisa
terjadi? Dalam tulisan ini, introduksi agen hayati B.bassiana menjadi fokus utama yang
menjadi potensi utama daya sentrifugal dalam pengayaan skema pengetahuan petani. Apakah
pelaksanaan SLPHT dengan tanggapan positif petani ini membuat introduksi yang diberikan
pemandu dapat membawa perubahan yang berkelanjutan terhadap praktik dan pengetahuan
petani?
Introduksi dan Praktik Penggunaan Agen Hayati Sebagai Upaya Pengendalian Hama
Terpadu
Serangan WBC pada musim hujan 2009/2010 hingga musim hujan 2010/2011 telah
menimbulkan kerusakan tanaman padi yang luas dan hilangnya/gagalnya panen
(hopperburn3) ditindaklajuti pemerintah dengan pelaksanaan SLPHT. Pelaksanaan SLPHT
3 Kondisi tanaman padi yang mongering seolah-olah terbakar sering disebut puso (Hopperburn) disebabkan oleh kemampuan serangan siklus hidup WBC (Nilaparvata lugens) berkisar (+/-) 28 hari dengan kemampuan menyerang yang ganas dan penyebarannya cepat. Bae dan Pathak (1970) menjelaskan bahwa: “...populations concentrate at the base of the plant and reach maximum density after canopy closure (Reissig et al., 1986). Heavy infestations can cause the complete drying and wilting of rice plants, a condition known as “hopperburn” (Bottrell dan Schoenly, 2011: 124). Populasi WBC berkonsentrasi di dasar tanaman padi yang dapat menyebabkan pengeringan tanaman karena WBC memasukkan stylets ke dalam jaringan pembuluh dari daun
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
tersebut berlangsung selama 16 kali pertemuan, memuat harapan utama petani untuk
memperoleh introduksi pengetahuan baru mengenai cara tepat mengatasi serangan WBC.
Menurut Lave (1996:6) bahwa “....participation in everyday life may be thought of as a
process of changing understanding in practice, that is, as learning”. Apakah melalui
partisipasi petani selama 16 kali pertemuan SLPHT “process of changing understanding”
yang dikemukakan Lave tersebut dapat terwujud? Sejauhmanakah cara belajar melalui
praktik langsung dalam kegiatan sehari-hari bercocok tanam dapat memudahkan petani untuk
memahami introduksi gagasan baru?
Pelaksanaan SLPHT: Introduksi dan Aplikasi Pengetahuan Baru
Introduksi pengetahuan baru SLPHT dapat mengaktifkan pengetahuan yang sudah ada dan
dapat juga mewujudkan pengetahuan baru yang telah dimodifikasi atau dikombinasikan
dengan pengetahuan lama (lihat Choesin 2002; lihat pula Winarto 2004). Pengetahuan petani
akan semakin banyak ‘penyakit4’, semakin sering pula petani ‘menyemprot obat’ pesitisida
kimia berusaha diperbaiki secara perlahan melalui pelaksanaan SLPHT. Dalam paket materi
pembelajaran SLPHT, terdapat materi yang mencoba mengubah pengetahuan petani terhadap
pestisida, yakni dari ‘obat’ menjadi racun. Pengetahuan bahwa pestisida berperan sebagai
racun yang merusak lingkungan dan kesehatan petani, merupakan hal yang tidak mudah untuk
dipahami semua petani PHT (lihat Winarto 2004; 2006, Vayda dan Setyawati 1998, Winarto
dan Choesin 2001, Choesin 2002, Ratnawati 2012).
Kehadiran SLPHT yang diintroduksikan melalui pemandu dinas pertanian oleh
Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) / Pengamat Hama dan Penyakit (PHP)
dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)5 berusaha membenahi “budaya cocok tanam padi”
petani dalam hal penggunaan pestisida. Selain melalui pengalaman pribadi petani di sawah
yang menyadari kehadiran pestisida sebagai racun, Pemandu tersebut juga menjelaskan
mengenai bahaya dari pestisida terhadap populasi WBC. Bu Sam salah satu petani peserta dan menelan getah., “BPH feeds by inserting its stylets into the vascular tissue of plant leaf blades and leaf sheaths and ingesting the sap (Sōgawa, 1982)” (dalam Bottrell dan Schoenly, 2011: 124). 4 Penyakit yang dimaksudkan di sini tidak selalu mengacu pada pemaknaan disease yang merupakan penyakit. Penyakit yang digunakan di sini merujuk pula pada istilah yang digunakan petani untuk memperlihatkan adanya tanda-tanda tanaman padi tidak sehat karena serangan hama atau penyakit (disease)(lihat Winarto 2004). 5 POPT adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan pengendalian OPT. Bersama dengan PPL yang merupakan pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Dalam pelaksanaan SLPHT, POPT dan PPL bersama melakukan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pengamatan, peramalan, pemeriksaan, pengasingan, dan operasional pengendalian/tindakan karantina, analisis dan evaluasi hasil pengendalian OPT, bimbingan pengendalian OPT, pengembangan metode pengamatan dan budidaya tanaman secara terpadu yang mengedepankan kondisi ekostem yang sehat. (lihat Permentan No.73 Tahun 2007)
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
PHT, mengungkapkan pendapatnya mengenai pestisida kimia sebelum mengikuti SLPHT
bahwa, “Pestisida yang ampuh itu pestisida yang langsung mbunuh werengnya pas
disemprot...”. Bu Sam menambahkan,
“....nah itu mba, kalo misal nih mba gak ada sekolah ya masih nganggepnya pestisida itu ya obatnya wereng mba. Eh gak taunya emang obat sih mba, tapi obat yang buat werengnya itu makin kebel mba sama yang kimia. Itu loh mba Pak Kha kan ngasih tau ya mba, kalo itu pestisida semakin banyak kita nyemprot semakin kuat nanti anak cucunya makin gak mati mati mba. Waktu itu gimana ya Pak Kha gampangnya jelasinnya, emmm pokoknya itu mba kalo semakin sering dan banyak disemprot pestisida malah kuat lah itu wereng, makin gak mempan juga itu jadinya.”
(Catatan Lapangan Rahayu, 26 Desember 2011)
Pak Kha merupakan POPT yang setia melakukan pendampingan petani sejak awal SLPHT.
Walaupun penggunaan kata ‘obat’ di Telogo Rejo sudah tidak selalu dikaitkan dengan
pestisida kimia, masih ada peserta PHT yang memahami keberadaan pestisida sebagai ‘obat’
yang tetap ‘ampuh’ mengatasi ‘penyakit’ tanaman dan harus digunakan dalam kegiatan
pertanian mereka. Petani-petani PHT yang masih menganggap pestisida sebagai ‘obat’
menyuarakan hal yang sama ketika ditanya mengenai alasan mereka memahami hal tersebut
walaupun telah diadakan SLPHT. Mereka menganggap bahwa pestisida kimia yang mereka
gunakan merupakan hal yang wajib bagi petani seperti manusia yang gak afdol kalau tidak
makan nasi. Ada atau tidak adanya ‘penyakit’, penggunaan pestisida kimia sebagai ‘obat’
menjadi kebutuhan yang wajib walaupun dalam penggunaan yang sesuai dosis pemakaian
yang tertera dalam kemasan. Lihat Tabel 1 tentang pendapat petani PHT yang masih
memahami penggunaan pestisida kimia sebagai ‘obat’.
Tabel 1. Pendapat Petani PHT yang Masih Memahami Pestisida Sebagai ‘Obat’
Nama Umur Alasan Nur 61 “Ya gimana ya mba, namanya tani kalau gak pakai pestisida itu yang gak
tenang gitu. Kayak ada yang kurang mba, padinya kayak gak ada yang jagain”
Muk 71 “Udah ngerti kok mba kalau pestisida itu sebenernya bukan ‘obat’ kan udah dijelasin di sekolah. Tapi ya kan saya ini wong tua, paling tua di sekolah, kok ya rasanya aneh kalau tiba-tiba gak pakai pestisida. Lah wong udah dari orang tua saya pakai terus, kok tiba-tiba berhenti. Ya yang penting sekarang ini udah gak terlalu banyak makainya, seperlunya saja mba”
Kas 63 “Racun kan ya mba pestisida itu. Tapi ya buat beberapa kali maké aja kan gak apa-apa asal sesuai aturan. Pestisidanya tetep bisa jadi ‘obat’ yang nolongin petani kok mba. Toh dari dulu maké juga baru kali ini aja gak mempan-mempan bunuh wereng makanya nyampe ada sekolah”
(Sumber: Catatan Lapangan Rahayu, Juli 2011)
Pelaksanaan PHT dengan menggunakan proses diskusi dan argumentasi di antara petani dan
pemandu pada minggu-minggu pertama pelatihan SLPHT diwarnai dengan kecenderungan
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
petani untuk sesegera mungkin mendapatkan solusi cepat dan tepat dari pemandu mengenai
cara mengatasi WBC. Pemandu secara bersama dengan petani PHT mendiskusikan cara
penyelesaian masalah WBC dalam pelaksanaan SLPHT yang masih berada di tengah
serangan WBC tahun 2010. Pelaksanaan materi SLPHT pada awalnya disampaikan secara
perlahan oleh pemandu untuk memberikan gagasan baru dan penjelasan bahwa pestisida
bukan sebagai ‘obat’ tetapi racun. Introduksi mengenai gagasan baru tersebut menimbulkan
rasa khawatir yang besar bahwa tanaman mereka tidak akan terlindungi bila tidak ‘disemprot
obat’ (lihat Winarto, 1998). Pernyataan-pernyataan yang diutarakan ketiga petani PHT pada
tabel 1 merupakan pernyataan oleh petani PHT yang dianggap sesepuh (orang yang
dituakan/paling tua/dihormati/petani senior). Pemahaman yang tertanam pada petani PHT
yang sepuh, pengalaman mereka selama bertani berpuluh-puluh tahun dengan pengetahuan
turun-termurun yang mereka peroleh adalah pengetahuan yang “benar” dan masih bisa tetap
digunakan. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai daya sentripetal dalam skema
pengetahuan seseorang.
Walaupun telah dilakukan diskusi dengan pemandu, gagasan tersebut masih
menimbulkan keraguan bagi beberapa petani PHT untuk langsung meninggalkan penggunaan
pestisida kimia. Keyakinan yang dihasilkan dari bukti nyata yang tidak hanya berupa
‘katanya’ merupakan hal yang bisa menghapuskan keraguan petani (lihat Winarto 1998).
Selama berlangsungnya introduksi pengetahuan baru pada musim kemarau 2010 yang masih
disertai dengan serangan WBC hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan khususnya
Dusun Telogorejo, sejumlah petani PHT mulai melakukan uji coba dengan tidak melakukan
penyemprotan untuk memantabkan keyakinan atas gagasan baru pestisida kimia sebagai
racun.
Setelah pengetahuan mengenai bahaya pestisida kimia dan melakukan uji coba tanpa
penggunaan pestisida kimia, pelaksanaan SLPHT dilanjutkan dengan introduksi gagasan lain.
Introduksi alternatif lain apakah yang mengarah pada praktik nyata untuk mengatasi serangan
WBC dan hama lainnya tanpa menggunakan pestisida kimia?
“Waktu itu kan kita udah ngerti mba kalau pakai pestida itu banyak bahayanya daripada baiknya, jadi kitanya pengen belajar cara apa yang bisa dipakai buat ngobatin penyakit di sawah, terutama buat masalah wereng di padi. Jadinya kita mulai belajar itu masalah pestisida alami atau agen hayati,” kata Pak Cip.
(Catatan Lapangan Rahayu, 5 Juli 2011)
Begitulah pernyataan Pak Cip ketika penulis menanyakan introduksi gagasan apa yang
diperolehnya setelah mengetahui akibat negatif pestisida kimia dari diskusi PHT dan
pengalamannya sendiri. Pak Cip menerima introduksi gagasan lain sebagai alternatif sehingga
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
lebih selektif dalam mengambil keputusan terbaik apa yang harus dilakukan untuk
mendapatkan hasil panen yang maksimal. Penentuan atas pilihan-pilihan atau alternatif-
alternatif yang ada menurut Williams (1985 dalam Purwanto 1998) memiliki kriteria dan
penilaian baik buruk sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan (lihat Bennett 1980).
Pak Cip mengungkapkan bahwa petani PHT pada waktu itu (pelaksanaan SLPHT tahun 2010)
mulai mendapat penjelasan dari pemandu bahwa ada gagasan lain yang bisa dilakukan petani
dalam budi daya tanaman secara sehat. Pemandu mulai memperkenalkan fungsi agen hayati
sebagai alternatif mengatasi serangan WBC yang disajikan dalam program PHT. Menurut
pemandu, agen hayati adalah setiap organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan,
atau menyebabkan OPT sakit atau mati. Agen hayati digunakan dalam program PHT untuk
mengembalikan keseimbangan ekosistem yang rusak akibat penggunaan kimia, karena pada
dasarnya agen hayati ini merupakan hewan atau tumbuhan yang dapat mengendalikan
serangan hama.
Introduksi gagasan baru dalam menghadapi serangan wereng dengan menggunakan
agen hayati yang pertama kali diperkenalkan adalah B.bassiana. Agen hayati yang ditemukan
pada tahun 1835 oleh ilmuan Italia Agostino Bassi de Lodi merupakan salah satu spesies
jamur yang membunuh hama melalui infeksi jamurnya (lihat DeBach dan Rosen 1991, Yadav
dan Neeraj 2012). B. Bassiana juga sering dikenal sebagai penyakit white muscardine karena
hama yang terinfeksi akan berwarna putih (lihat Gambar 1).
Gambar 1. WBC yang terkena B.bassiana (Sumber: jinsectscience.oxfordjournals.org, diakses pada 20 November 2014)
Mulailah petani PHT beranjak dari tahap mengenal menjadi mencoba agen hayati. Setelah
mengikuti sekolah selama sebulan, petani PHT pada saat itu (musim kemarau 2010) sepakat
untuk mencoba B.bassiana di kala populasi WBC masih tinggi. Peserta SLPHT pun sepakat
untuk mencoba menggunankan B. bassiana di lahan masing-masing yang dibeli dari hasil
produksi Pusat Pengembangan Agen Hayati (PPAH) desa lain. Untuk uji coba pertama kali,
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
petani PHT membutuhkan 300 liter yang akan dibagikan kepada 20 petani, dengan masing-
masing petani memperoleh 15 liter. Petani PHT memahami betul pentingnya praktik uji coba
untuk menjawab keraguan mereka atas ide dan gagasan B.bassiana.
Praktik gagasan baru petani melalui uji coba B.bassiana yang pertama kali pada
musim kemarau pertama tahun 2010 ternyata berakhir dengan hasil panen yang diperoleh
sekitar 7—8 ton/ha dibandingkan dengan hasil panen yang hanya sekitar 3—5 ton/ha pada
akhir tahun 20096. Peningkatan hasil panen yang dialami oleh petani PHT yang menggunakan
B.bassiana sebagai ‘obat’ ternyata tidak dialami oleh petani non-PHT yang tidak
menggunakan B.bassiana. Hasil panen petani non-PHT yang tetap mengandalkan pestisida
kimia sebagai ‘obat’ hanya dapat memetik hasil panen sekitar 30-50% di musim yang sama
(lihat Winarto dkk, 2012). Penggunaan B.bassiana yang berjadwal seperti yang disebutkan di
atas hanya dilakukan petani ketika serangan WBC sudah terlalu banyak.
Praktik penggunaan B.bassiana pertama kali yang disertai dengan peningkatan hasil
panen, dapat menghilangkan keraguan petani sedikit demi sedikit atas gagasan baru agen
hayati. Keberhasilan gagasan baru yang mereka ketahui telah dibuktikan kebenarannya atau
dipraktikkan, menyebabkan tejadi pengayaan skema pengetahuan petani budi daya tanaman
padi (lihat Winarto dan Choesin 2001). Perbandingan hasil panen yang signifikan antara
petani yang menggunakan B.bassiana dan tidak, mendorong petani PHT bertekad
menggunakan penggunaan B.bassiana secara berkelanjutan di musim tanam selanjutnya.
Agen hayati dan B.bassiana secara khusus mulai menjadi bagian dari skema pengetahuan
mereka. (lihat Strauss dan Quinn 1997; Winarto 2004). Bagaimanakah kelanjutan dari
praktik atas ide dan gagasan tersebut? Apakah petani PHT melanjutkan penggunaan
B.bassiana sebagai pengganti pestisida kimia pada musim-musim tanam selanjutnya?
Keberlanjutan SLPHT: Petani yang Terus Belajar “....kan kitanya waktu itu tuh udah nyobain B.bassiana, ternyata berhasil toh mba, ...masa iya kita stop berhenti belajar cuma karena sekolahnya waktu itu udahan. Kan kitanya masih pengen sekolah lagi toh mba, masih banyak toh mba yang belum kita tau, waktunya itu kan cuma bentar, ya kitanya aja yang pengen lah itu ada lagi sekolah mba. Biar bisa berhasil lagi gitu toh mba panen nya, kan nyenengin toh klo panen nya banyak. Lagian yo mba, petaninya sini seneng mba klo diajarin yang baru baru asal yo gak ribet ribet banget mba yang diajarinnya”
(Catatan Lapangan Rahayu, 27 Agustus 2011)
Keinginan petani di atas terkait dengan keinginan petani PHT yang masih ingin belajar
mengenai budi daya tanaman. Momentum yang digunakan sebagai dasar terlaksananya 6 Perhitungan rata-rata hasil panen dari data lapangan Rahayu 2011 terhadap 20 petani PHT .
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
‘sekolah’ lanjutan adalah keberhasilan B.bassiana dalam mengatasi wereng. Namun,
sejumlah petani PHT merasa ‘kurang puas’ dengan kualitas B.bassiana yang mereka beli dari
PPAH yang terdapat di desa yang lain. Ketidakpuasan atas B.bassiana yang diproduksi oleh
PPAH desa lain membuat petani PHT di Dusun Telogo Rejo sepakat untuk menghentikan
pembelian B.bassiana tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh persepsi petani bahwa
B.bassiana yang dihasilkan terlalu cair, tidak berbau, dan tidak tahan lama sehingga tidak
terlalu ‘mempan’ mengatasi wereng. Menghadapi kondisi demikian, petani PHT memutuskan
untuk belajar memproduksi sendiri B.bassiana.
Pada bulan Agustus 2010, petani PHT sepakat untuk mendirikan PPAH yang dinamai
Bumi Lestari dengan pendampingan Pak Kha sebagai POPT yang sejak SLPHT mendampingi
petani PHT Dusun Telogo Rejo. Pada bulan pertama didirikannya, anggotanya yang
berjumlah 30 orang mempelajari tahap-tahap produksi B.bassiana mulai dari persiapan
ruangan produksi yang menumpang pada rumah ketua PPAH, pembelian alat-alat produksi,
hingga proses pembuatan B.bassiana. Tidak adanya bantuan dana dari dinas pertanian juga
membuat masing-masing anggota PPAH memberikan sumbangan modal secara sukarela
sejumlah Rp925.000,00 dalam proses pembuatan B.bassiana. Produksi B.bassiana dimulai
pada bulan September 2010 dengan produksi sebanyak 114 liter dalam rentang waktu 15 hari
(lihat Winaro dkk, 2012).
Selama periode pasca produksi B.bassiana bulan Agustus 2010, pemandu tetap
melakukan pendampingan ‘sekolah’ lanjutan PPAH. Petani yang melihat kehadiran pemandu
sebagai agen pengubah pengetahuan dan praktik pengendalian hama terpadu, semakin
memperlihatkan dedikasi yang tinggi dalam membantu kemajuan pertanian di Dusun Telogo
Rejo. Memasuki musim kemarau kedua 2010, pendampingan pemandu yang terus
mengingatkan petani untuk tidak lengah terhadap serangan WBC dengan menerapkan
penggunaan B.bassiana. Pemandu juga membantu petani meningkatkan pengetahuannya
tentang agen hayati yang lain. Pada musim kemarau kedua itu, pengaplikasian B.bassiana
untuk pertama kalinya dilakukan dari hasil produksi PPAH Bumi Lestari sendiri. Namun,
karena keterbatasan jumlah produksi dan keraguan beberapa anggota atas B.bassiana
produksi mereka, tidak seluruh anggota PPAH mengaplikasikan agen hayati itu.
Keteguhan sejumlah petani yang mengaplikasikan B.bassiana hasil produksinya
sendiri tanpa menggunakan pestisida kimia ternyata berdampak nyata pada hasil panen musim
itu. Hasil panen yang lebih banyak dapat diraih oleh mereka, dibandingkan dengan non-PHT
yang masih menggunakan pestisida kimia dan tidak menggunakan agen hayati (lihat Tabel 2).
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
Lihat gambar 2 untuk perbandingan penampilan pertumbuhan padi di dua lahan bersebelahan:
kiri dengan perlakuan B.bassiana, dan kanan dengan perlakuan pestisida.
Gambar 2 Penampilan padi sebelum panen dari dua lahan dengan perlakuan berbeda Foto oleh Rahayu, 2011
Gambar 2 memperlihatkan bahwa sawah yang tetap disemprot dengan pestisida kimia tanpa
aplikasi agen hayati ternyata masih mengalami serangan WBC. Hasil perbandingan itu
memperkuat keyakinan petani PPAH atas pentingnya gagasan baru pengendalian WBC
dengan agen hayati. Lihat tabel 2 untuk perbandingan hasil panen petani yang menggunakan
B.bassiana dan yang tidak.
Tabel 2 Perbandingan Hasil B.bassina dan Pestisida pada Musim Kemarau Pertama
Tahun 2011
Beauveria bassiana Pestisida Keterangan Jumlah/ha Keterangan Jumlah/ha
Pengeluaran Benih 150,000 Pengeluaran Bibit 150,000 Pemupukan 2,000,000 Pemupukan 2,000,000 Aplikasi Agen Hayati 200,000 Penyemprotan Pestisida 500,000
Biaya Operasional (Pengolahan Lahan, Pembibitan, Penyiangan, Pemupukan, Pengairan, Panen, Pasca Panen)
4,500,000
Biaya Operasional (Pengolahan Lahan, Pembibitan, Penyiangan, Pemupukan, Pengairan, Panen, Pasca Panen)
4,500,000
Total Pengeluaran 6,850,000 Total Pengeluaran 7,150,000
Pemasukan Hasil Panen 8 ton x 3800/kg 30,400,000 Pemasukan Hasil Panen 6 ton x
3800/kg 22,800,000
Total Keuntungan 23,550,000 Total Keuntungan 15,650,000
Sumber: Data Lapangan, Rahayu 2011
Kenyataan mengenai keberhasilan peningkatan produksi padi oleh anggota PPAH
yang telah dialami dalam 2 musim itu pun menjadi bagian dari skema pengetahuan petani di
dan seputar Dusun Telogo Rejo, Desa Gampang Sejati (lihat Winarto dkk 2012). Skema
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
pengetahuan tersebut disebarluaskan dari petani-ke-petani secara gethok tular7. Pemantaban
pengetahuan itu, menunjukkan dimensi struktur ekstrapersonal. Keberhasilan atas uji coba
yang dilakukan petani-petani lain, menjadi pengetahuan bersama yang lebih luas.
Pengetahuan tersebut secara teknis terus disebarluaskan dan dimantabkan.
Hasil panen ini merupakan kriteria yang sangat penting dalam menilai keberhasilan
strategi budidaya seseorang (lihat Winarto 1998, 2004). Hal tersebut menjadikan petani
PPAH memiliki rasa percaya diri untuk mengajak petani lain menggunakan agen hayati.
Keberhasilan PPAH Bumi Lestasi juga meningkatkan popularitasnya di kalangan PPAH Desa
Lain hingga Dinas Pertanian Lamongan. Rasa percaya diri yang tinggi didukung dengan
popularitas, meningkatkan motivasi anggota PPAH Bumi Lestari untuk lebih memajukan
usahanya dalam pengembangan agen hayati di Dusun Telogorejo. Dalam pemantaban skema
pengetahuan, motivasi dan emosi yang dimiliki oleh petani merupakan hal yang berperan
penting untuk menunjukkan dimensi skema intrapersonal (lihat Strauss dan Quinn 1997).
Perhatian atas mental individu-individu petani menjadi tolak ukur melihat keyakinan yang
semakin “terpupuk” dengan baik. Keinginan untuk maju, keinginan untuk lebih tahu lebih
banyak, keinginan untuk mendapatkan hasil panen yang lebih baik, keinginan untuk lebih
pintar dari petani-petani lain, menjadi alasan yang dikemukakan individu-individu dalam
upayanya memantabkan pengetahuannya secara intrapersonal.
Berbagai aktivitas pun dilakukan, misalnya peningkatan kemampuan berorganisasi
dengan dampingan LSM, dan peningkatan produksi B. bassiana (dari 6 menjadi 20 galon),
dan beberapa agen hayati yang lain seperti Trichoderma8 (12 galon), PGPR (10 galon, lihat
Gambar 3), serta perangsang buah (200 liter). Semuanya itu tidak terlepas dari peran POPT
setempat yang sejak awal pengenalan SLPHT hingga keberhasilan produksi PPAH itu
senantiasa melakukan pendampingan, sehingga menjadi sosok “pahlawan” bagi petani
setempat (lihat Winarto dkk. 2012).
Produksi agen hayati kemudian menjadi peluang bisnis yang memberikan keuntungan
bagi PPAH Bumi Lestari melalui pesanan hingga 200 liter B.bassiana, baik dari kalangan
kelompok tani di desa atau kabupaten lain, maupun dari Dinas Pertanian untuk contoh dalam
pelaksanaan unit-unit SLPHT Kabupaten Lamongan. Pak Kha sebagai pemandu memegang
peranan penting sebagai perantara bagi pemesanan produksi agen hayati PPAH Bumi Lestari.
7 Gethok tular merupakan cara menyebarkan informasi secara verbal dari mulut-ke-mulut, dari orang-ke-orang. Gethok tular biasanya dilakukan dalam forum diskusi yang tidak formal seperti kumpul-kumpul di warung, silaturahmi ke saudara atau tetangga. 8 Agen hayati ini mampu mengendalikan layu fusarium pada tanaman hortikultura. Agen hayati ini juga mampu mengendalikan jamur pada tanaman padi
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
Produksi yang diperjualbelikan oleh PPAH pada tahun 2011 terbatas pada B.bassiana seharga
Rp20.000,00/liter.
Gambar 3 Kegiatan Produksi dan Distribusi PGPR
Foto oleh Rahayu, 2011 Keuntungan yang diperoleh PPAH dari penjualan hasil produksi B.bassiana tidak
dinikmati secara pribadi, tetapi diolah bersama untuk meningkatkan pengembangan agen
hayati yang lain. Contoh nyata dari penggunaan keuntungan produksi adalah pembangunan
sekretariat PPAH yang diguanakan sebagai tempat pembuatan dan penyimpanan agen hayati ,
dan pembelian alat-alat produksi lainnya. Berdirinya sekretariat PPAH yang semakin
mendukung berbagai kegiatan belajar PPAH memberikan kemungkinan semakin
berkembangnya pengetahuan petani di tahun-tahun selanjutnya. Semangat praktik
pengendalian hama terpadu dan ketekunan petani mempelajari, menunjukkan dinamika
pengetahuan petani dusun Telogo Rejo. Sejauhmana semangat petani dalam mengembangkan
pengetahuannya itu untuk dapat tumbuh dan berkembang, menarik untuk terus disimak.
Perubahan dan Keberlanjutan Praktik Pengendalian Hama Petani Dusun Telogo Rejo
Tahun 2014
Pengetahuan baru mengenai agen hayati yang tetap dibarengi dengan pemakaian pestisida
“sesekali” pada penelitian penulis tahun 2012, ternyata masih penulis jumpai di tahun 2014.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah keberlanjutan praktik penggunaan pestisida kimia
yang dilakukan menandakan tidak adanya pemahaman untuk memabtabkan pengetahuan yang
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
dilakukan individu-individu petani PHT di Dusun Telogo Rejo dalam rentang waktu 2 tahun?
Bu Sam sebagai salah satu petani yang “sesekali” menggunakan pestisida kimia mengatakan,
“...ya sebelumnya kalo masih bisa ketolong disemprot pestisida ya disemprot dulu, kalo lagi punya ya pake biveria. Kalo saya sendiri ya waktu itu karena gak punya biveria ya akhirnya pake pestisida mba.... ya gimana mau nyetok mba, lah dari PPAHnya kayaknya gak nyediain biveria, gak ada itu kayaknya biveria di gudangnya.
(Catatan Lapangan Rahayu, 28 April 2014) Pernyataan Bu Ama mengenai ketidaktersediaan B.bassiana menjadi alasan utama untuk
mengaktifkan pengetahuan lamanya dengan menggunakan pestisida dalam mengatasi wereng.
Pemahaman petani untuk mengaktifkan penggunaan pestisida kimia “saat dibutuhkan”
merupakan bagian skema pengetahuan petani. Menurut D’Andrade (1992:31), skema
pengetahuan setiap individu itu,
“...needs to udnderstand what leads them to act as they do, and to understand what leads them to act as they do one needs to know their goals, and to understand their goals, and to understand their interpretive system-their schemas-one must understand something about hierarchical among these schemas”.
Pemahaman pestisida kimia sebagai racun, menjadi satu bagian dari “hierarchical schemas”
yang merupakan tingkatan lain dari skema pengetahuan yang ada dengan keberlanjutan
penggunaan pestisida kimia. Pada tingkatan skema pengetahuan Bu Ama, pemahaman
mengenai pestisida kimia menempati posisi yang lebih tinggi dari pemahaman mengenai agen
hayati. Perubahan dalam memaknai pestisida kimia sebagai racun, tidak memiliki
kemungkinan faktor-faktor kontekstual daya sentrifugal lain yang kuat dan mampu
mendorong Bu Ama melakukan praktik penggunaan agen hayati. Ketersediaan agen hayati
yang menurut Bu Ama “kayaknya” tidak tersedia, dapat dipahami sebagai kelemahan daya
sentrifugal pemahaman agen hayati dalam skema pengetahuan Bu Ama. Pengambilan
keputusan Bu Ama untuk menggunakan pestisida kimia yang berdasarkan “dugaan” bahwa
agen hayati tidak tersedia, dapat dipahami bahwa praktik pengendalian hama secara
konvensional yang telah terjadi selama tiga dasa warsa (lihat Winarto dan Choesin 2001)
memiliki daya sentripetal yang sangat kuat dan menempati posisi tinggi dalam “hierarchical
schemas”.
Petani PHT yang berjumlah 25 orang, memiliki “hierarchical schemas” yang
berbeda-beda. Semakin bervariasinya pengetahuan terhadap agen hayati yang diperoleh,
semakin tinggi pula keinginan petani untuk mendiskusikan, mempraktikkan, mengevaluasi,
dan kemudian melakukan alih pengetahuan terhadap petani yang lain. Penanggung jawab
produksi agen hayati Pak Guf menjelaskan bahwa kegiatan produksi saja tidak cukup
memberikan pengetahuan kepada anggota. Pemahaman dan alih pengetahuan dilakukannya
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
secara bertahap kepada sesama petani PHT. Pak Guf menjelaskan kepada teman-teman PHT
mengenai tahap-tahap yang dilakukan dalam kegiatan produksi, melakukan kontrol terhadap
produksi, dan mengevaluasi hasil produksi agen hayati. Hal tersebut dilakukan Pak Guf untuk
menjaga kualitas agen hayati yang baik dan berkualiatas dalam meningkatkan budi daya
tanaman.
Keberlanjutan beberapa petani menggunakan pestisida kimia sesuai dengan tingkatan
prioritas skema pengetahuan yang dimilikinya tidak menutupi keberhasilan beberapa petani
Dusun Telogo Rejo dalam perubahan praktik menggunakan agen hayati. PPAH Bumi Lestari
yang popularitasnya meningkat sebagai produsen agen hayati, semakin banyak melakukan
kegiatan pengenalan diri ke luar desa. PPAH Bumi Lestari melakukan beberapa kali studi
banding mengenai PHT dan PAH ke Malang dan Jombang. Kegiatan tersebut terlaksana
dengan menggunakan kas PPAH yang diperoleh dari iuran rutin anggota setiap minggu.
Pelaksanaan tersebut digagas oleh pemandu Pak Kha yang melihat kemungkinan terpacunya
motivasi petani Dusun Telogo Rejo jika melhat keberhasilan pertanian di daerah lain. Hal
tersebut juga dilaksanakan sebagai sarana diskusi antarpetani antardaerah mengenai kondisi
pertanian mereka.
Popularitas PPAH Bumi Lestari ternyata juga menarik perhatian mahasiswa dari
Universitas Brawijaya dan siswa SMA sekitar. Kedatangan mahasiswa dan siswa tersebut
untuk melihat kegiatan belajar petani PPAH dan kondisi pertanian di Dusun Telogo Rejo.
Bagi siswa SMA dijadikan materi lomba karya tulis dan bagi mahasiswa dijadikan tempat
kuliah lapangan mengenai kegiatan bercocok tanam yang mandiri. Selain itu, Dinas Pertanian
Lamongan melakukan kunjungan di pertengahan tahun 2013 ke Dusun Telogo Rejo untuk
melihat kondisi pertanian di sana. Dinas Pertanian yang melihat antusiasme petani untuk terus
belajar, memutuskan untuk memberikan dana bantuan pendirian klinik tanaman. Klinik
tanaman didirikan sebagai tempat ‘curhat’ petani mengenai permasalahan pertaniannya.
Pembangunan klinik yang juga disertai dengan bantuan peralatan klinik, menitikberatkan
pada pengamatan, pengayaan, dan perolehan solusi atas ‘curhat’ petani. Petani yang datang
ke klinik tersebut akan menyampaikan keluhan dengan membawa contoh hama atau penyakit
dan diteliti bersama. Di klinik ini akan diketahui hama atau penyakit apa yang menyerang
tanaman serta cara terbaik untuk menanganinya.
Pelaksanaan klinik ini tidak terpisah dengan PPAH yang merupakan ‘apotik’ bagi
klinik. Selanjutnya, petani dapat mengidentifikasikan hama atau penyakit dan menemukan
resep yang tepat untuk menyembuhkannya dengan produksi PPAH. Klinik tanaman yang
merupakan struktur ektrapersonal bagi petani lain ini diharapkan mampu membantu petani
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai hama dan penyakit serta semakin
memantabkan skema pengetahuan melakukan budi daya tanaman hortikultura dan tanaman
pangan yang sesuai dengan prinsip PHT. Perubahan dan keberlanjutan pengetahuan dan
praktik yang terjadi secara kolektif di Dusun Telogo Rejo juga disertai dengan adanya
intervensi agen eksternal.
Kesimpulan
Pelaksanaan SLPHT tahun 2010 Dusun Telogo Rejo yang berlangsung di tengah situasi
serangan WBC, ternyata dapat membantu petani memahami praktik pengendalian hama
secara tepadu. Melalui SLPHT, petani belajar pengetahuan baru dalam menggunaan agen
hayati menjadi sebuah skema pengetahuan yang baru dalam pengendalikan organisme
pengganggu tanaman. Praktik pengendalian hama melalui SLPHT ditanggapi dengan positif
oleh petani karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi kondisi tanaman padi
mereka yang teserang WBC. Praktik pengendalian hama yang ditanggapi positif adalah
pengetahuan baru mengenai agen hayati, pengenalan musuh alami, dan pemahaman siklus
hidup hama.
Pestisida sebagai pengetahuan lama dan agen hayati sebagai pengetahuan baru,
keduanya dipahami sebagai ‘obat’ untuk meyelamatkan tanaman dari penyakit. Namun,
dengan introduksi pengetahuan baru SLHT pemahaman ‘obat’ dialihkan hanya pada
pemahaman agen hayati, sedangkan pestisida kimia diberikan pemahaman baru sebagai racun.
Pembentukan skema pengetahuan baru tersebut terwujud melalui pengamatan dan praktik
penggunaan agen hayati yang langsung dilakukan petani. Hasil pengamatan dan praktik
tersebut memperlihatkan perbandingan hasil panen petani PHT yang rata-rata mencapai 8
ton/ha dibandingkan dengan panen petani non-PHT rata-rata hanya 6 ton/ha. Penggunaan
agen hayati selain memberikan hasil panen cukup banyak ternyata juga menghemat biaya
yang dikeluarkan petani dalam menggunakan agen hayati dibandingkan dengan pestisida
kimia. Biaya yang tinggi dalam penggunaan pestisida seringkali dirasakan tidak sebanding
dengan hasil panen yang diperoleh petani. Hal-hal tersebutlah yang mendorong petani PHT
semakin giat untuk belajar dan mempraktikkan pengetahuan baru yang diintroduksikan
melalui SLPHT.
Kasus penelitian tulisan ini memperlihatkan bahwa petani Dusun Telogo Rejo yang
terus melakukan kegiatan belajar, pembinaan diri, perkembangan pengetahuan, dan perubahan
perilaku itu terjadi sebagai hasil upaya penggarapan dalam memperkaya dan mengubah
pengetahuan yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam suatu wadah PPAH yang
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
memungkinkan hal itu terwujud. Pemahaman dalam diri individu terbentuk secara lebih
mantap, dan pemahaman baru dalam lingkup komunitas pun terjadi dalam tahapan-tahapan
panjang (lihat Winarto, Maidi dan Darmowiyoto 1999). Dalam tahapan yang panjang itu pula,
introduksi atas hal-hal baru memperlihatkan perubahan dan keberlanjutan atas pengetahuan
dan praktik akan selalu dinamis. Pestisida kimia dan agen hayati yang kini disertai dengan
budi daya melon, menjadi bagian dari hierarchical schemas memiliki potensi daya sentripetal
dan daya sentrifugal tiap-tiap petani atau kelompok di Telogo Rejo.
Daftar Pustaka Bennet, J W.
1980 “Human Ecology as Human Behavior: A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”, dalam Altman, I.et al, eds. Human Behavior and Environment: Advances in Theory and Research. New York: Plenum Press.Hlm 242—278.
Bottrell, D. G. dan K. G. Schoenly 2011 “Ressurecting The Ghost of Green Revolutions Past: The Brown Planthopper
as A Recurring Threat to High-Yielding Rice Production in Tropical Asia”. Journal of Asia-Pacific Entomology 15(2012:122—140.
Choesin, E. M. 2002 “Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal
dalam Globalisasi”. Antropologi Indonesia 21(69):1—9. D’Andrade, R. G.
1992 Schemas and Motivation, dalam Roy D’ Andrade dan ClaudiaStrauss (peny.) Human Motives and Cultural Models. Cambridge University Press. Hlm. 23—44.
D'Andrade, R., dan Strauss, C. (peny.) 1992 Human Motives and Cultural Models. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
DeBach, P. dan D. Rosen 1991 Biological Control by Natural Enemies. Cambridge, UK: Cambridge
University Press. Fox, J.J.
1991 “Managing the Ecology of Rice Production in Indonesia”, dalam J. Hardjono (peny.) Indonesia: Resources , Ecology, and Environment. Singapore: Oxford University Press.Hlm.61—84.
Lave, J. 1996 “The Practice of Learning,” S. Chaiklin dan J. Lave (peny.). Understanding
Practice: Perspectives on Activity and Context. New York: Cambridge University Press. Hlm.3—32.
Purwanto, S. A. 1998 “Menanam Padi: Kajian Pengambilan Keputusan dalam Menentukan Varietas
Padi”. Antropologi Indonesia 55(22)69—82.
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
Ratnawati, S. 2012 Introduksi Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu Pasca Ledakan Hama
Wereng Batang Coklat: Apakah Terjadi Perubahan Praktik Pada Petani di Desa Kebonharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah?. Skripsi Sarjana Strata Satu. Tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia.
Strauss, C dan N. Quinn. 1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge University Press.
Vayda, A. P dan I. Setyawati 1998 “Question about Culture-Related Consideration in Research on Cognition and
Agro-Ecological Change: Illustrations From Studies Of Agricultural Pessts Management in Java” Antropologi Indonesia 55(22)):41—52.
Winarto, Y.T
1998 “Hama dan Musuh Alami,” “Obat dan Racun”: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama.” Antropologi Indonesia 55(22):53—68.
1999 “Creating Knowledge: Scientific Knowledge and Local Adoption in Rice Integrated Pest Management in Indonesia (A Case Study from Subang, West Java)”. dalam S. Toussaint dan J. Taylor (peny.) Applied Anthropology in Australasia. Perth: University of Western Australia. Hlm.162—192
2002 “From Farmers to Farmers. The Seeds of Empowerment: The Farmer’s Self-Governance in Central Lampung”, dalam Minako Sakai (peny.) Beyond Jakarta: Regional Anutonomy and Local Societies in Indonesia. Belair.SA: Crawford Publishing House. Hlm. 270—290
2004 Seed Of Knowldege: The Beginning Of Integrated Pest Management In Java. Yale University Press.
2006 “Pengendalian hama terpadu setelah lima belas tahun berlalu: adakah perubahan dan kemandirian?‟ Jurnal Analisis Sosial11(1):26—55
Winarto, Y.T., B. Dwisatrio, S. Ratnawati, dan M.K. Rahayu 2012 “Sawah Tangguh di Tangan Petani: Upaya Memulihkan Ekosistem Padi.
Dalam Ananto, Eko. Kemandirian Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. IAARD Press: Jakarta. Hlm:243—277.
Winarto, Y. T. dan E.M. Choesin 2001 “Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan
Sumberdaya Alam dalam Kemitraan.” Antropologi Indonesia 25(64):91—106. Winarto, Y.T., J.J.Fox, B.Dwisatrio, M.Nugraha, J.Avessina, dan N.Kinanti
2011 “Brown Planthopper Infestations in Lamongan, East Java, Indonesia”, http://ricehoppers.net/ 2011/06/brown-planthopper-infestations-in-lamongan-east-java/. diakses 14 September 2012.
Winarto Y.T., Maidi dan Damowiyoto.
1999 “Pembangunan Pertanian: Pemasungan Kebebasan Petani. Antropologi Indonesia 23(59):66—78.
Yadav, S. dan Neeraj
2012 “Beauveria bassiana (Bals.-Criv.) Vulliemin–use as a Magical Biocontrol Agent.” Int. J. Adv. Biol. Res. (IJABR) 2(1):159—162.
Agen hayati dan pestisida ..., Mephy Kusminardiela Rahayu, FISIP UI, 2014
top related