aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif … · kangkung air diduga memiliki mengandung komponen...
Post on 13-Jan-2020
65 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica Forsk.)
SABRI SUDIRMAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
RINGKASAN
SABRI SUDIRMAN. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk.). Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.
Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) merupakan tanaman air yang banyak tersebar di wilayah Asia Tenggara, India dan Cina bagian Tenggara. Kangkung air telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan di kalangan masyarakat. Tanaman ini menarik untuk diteliti komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan alami yang terkandung di dalamnya. Kangkung air diduga memiliki senyawa fitokimia atau komponen bioaktif dan antioksidan alami yang berguna bagi tubuh. Antioksidan alami memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, mengingat antioksidan sintetik yang juga berguna dalam meredam radikal bebas dikhawatirkan memberi efek samping berbahaya bagi kesehatan manusia.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan rendemen, kandungan gizi (lemak, protein, abu dan karbohidrat), komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan yang terkandung dalam kangkung air. Pada penelitian ini dilakukan (1) pengambilan dan preparasi bahan baku, (2) karakterisasi bahan baku, (3) ekstraksi komponen bioaktif dan (4) pengujian aktivitas antioksidan.
Karakteristik kangkung air (Ipomoea aquatica) yang berasal dari Desa Carang Pulang, meliputi rendemen daun, tangkai daun dan batang segar masing-masing sebesar 34,34%; 19,07% dan 46,59%. Rendemen dalam kondisi kering memiliki penurunan, yaitu rendemen daun, tangkai daun dan batang masing-masing sebesar 10,31%; 9,91% dan 6,46%. Kangkung air segar memiliki kadar air (90,00%), kadar abu (1,09%), protein kasar (2,35%), lemak (0,55%), karbohidrat (6,02%), abu tidak larut asam (0,10%), dan serat kasar (1,04%). Kangkung air memiliki komponen kimia yang banyak dibutuhkan oleh tubuh.
Uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak kangkung air larut dalam pelarut yang digunakan. Komponen bioaktif pada kangkung air, meliputi golongan alkaloid, steroid, fenol hidrokuinon dan karbohidrat. Sebagian besar komponen bioaktif pada kangkung air larut pada pelarut semi polar (etil asetat), tetapi aktivitas antioksidan tertinggi dihasilkan pada ekstrak metanol yang memiliki total rendemen ekstrak kedua setelah ekstrak etil asetat, yaitu IC50 sebesar 290,95 ppm pada bagian daun.
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica Forsk.)
SABRI SUDIRMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
Judul Skripsi : AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica Forsk.)
Nama : Sabri Sudirman
NRP : C34070079
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 1961 0410 1986 01 1 002 Tanggal Lulus: 17 Februari 2011
Pembimbing I
Dr. Ir. Nurjanah, MS.
NIP. 1959 1013 1986 01 2 002
Pembimbing II
Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.SM
NIP. 1983 0405 2005 01 2 001
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Aktivitas
Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk.)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Sabri Sudirman C34070079
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan pada tanggal 4 Juni 1988 sebagai anak
kedua dari empat bersaudara pasangan Sudirman Beda dan
Masniati.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal
di SDS Perguruan ”Cikini” Kiani, Mangkajang,
Kabupaten Berau (sampai tahun 2001), selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikan di SLTPS Perguruan ”Cikini” Kiani, Mangkajang, Kabupaten Berau
(tahun 2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis
di SMA PLUS BERAU dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama,
penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui
Jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan, seperti Pasukan Pengibar Bendera di Institut Pertanian Bogor
tahun 2007-2008, Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
(Staff Komisi Sosial Politik) dan Majelis Permusyawaatan Mahasiswa
(Koordinator Pengembangan Mutu dan Hubungan Kelembagaan)
tahun 2007-2008, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan (Staff Departemen Sosial dan Lingkungan) tahun 2008-2009,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Kepala
Departemen Sosial Lingkungan dan Kemahasiswan) tahun 2009-2010. Penulis
juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Ekologi Perairan tahun 2009-2010.
Penulis juga aktif dalam kepanitiaan di beberapa kegiatan mahasiswa
di Institut Pertanian Bogor.
Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian
yang berjudul ”Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Kangkung Air
(Ipomoea aquatica Forsk.)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, M.S dan
Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.SM.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat, hidayah dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif
Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk.)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si selaku dosen
pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan dan masukan yang telah
diberikan kepada penulis.
2. Dra Pipih Suptijah, M.BA sebagai dosen penguji pada sidang skripsi.
3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
4. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5. Dosen dan Bagian Administrasi Departemen Teknologi Hasil Perairan yang
telah membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.
6. Keluarga terutama Bapak dan Ibu yang telah memberikan semangat dan
pesan serta do’a yang dapat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bu Emma dan Mba Lastri yang telah banyak membantu penulis selama
melakukan penelitian di laboratorium.
8. Kak Ignasius Sunutri Susanto, Kak Laili Izzati, Kak Aulia Azka, Kak
Fauziyah Naryuningtyas dan Kak Zehra Khalisi yang telah membantu dalam
pelakasanaan penelitian ini.
9. Adikku yang kubanggakan (Ernayanti dan Nur Fila Sari) yang telah
memberikan semangat dan do’a sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
10. Teman-teman THP 44 yang telah memberikan banyak kritik dan saran.
v
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini, penulis
mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya dalam
penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Februari 2011
Sabri Sudirman C34070079
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………...… ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….…. xi
1 PENDAHULUAN ………………………….…………………………. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2 Tujuan …………………………………………………………….. 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 3
2.1 Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk.) ………….……………. 3
2.2 Radikal Bebas …………………………………………………….. 5
2.3 Senyawa Fitokimia ……………………………………………….. 5
2.3.1 Alkaloid …………………………………………………… 6 2.3.2 Flavonoid …………………………………………………. 7 2.3.3 Steroid/triterpenoid ……………………………………….. 8 2.3.4 Saponin …………………………………………………… 8 2.3.5 Fenol hidrokuinon ………………………………………… 8 2.3.6 Karbohidrat ……………………………………………….. 9 2.3.7 Gula pereduksi ……………………………………………. 9 2.3.8 Peptida ……………………………………………………. 10 2.3.9 Asam amino ………………………………………………. 10
2.4 Antioksidan ………………………………………………………. 11
2.4.1 Fungsi antioksidan ………………………………………. 11 2.4.2 Sumber antioksidan ………………………………………. 13 2.4.3 Mekanisme kerja antioksidan ……………………………. 14
2.5 Ekstraksi Senyawa Aktif …………………………………………. 15
2.6 Uji Aktivitas Antioksidan ………………………………………... 16
3 METODOLOGI …………………………………………………….. 18
3.1 Waktu dan Tempat ……………………………………………….. 18
3.2 Bahan dan Alat …………………………………………………… 18
3.3 Metode Penelitian ………………………………………………… 19
3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku ………………….. 19 3.3.2 Analisis proksimat ………………………………………... 20 3.3.3 Analisis antioksidan ………………………………………. 23 3.3.4 Uji fitokimia ………………………………………………. 26
viii
4 HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….... 29
4.1 Karakteristik Bahan Baku ……………………………………….... 29
4.1.1 Rendemen …………………………………………………. 30 4.1.2 Kandungan gizi ………………………………………….… 32
4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Kangkung Air …………………….... 36
4.2.1 Ekstrak kasar ……………………………………………… 40 4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar …………………… 42
4.3 Aktivitas Antioksidan …………………………………………….. 47
5 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 52
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 52
5.2 Saran ………………………………………………………………. 52
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 53
LAMPIRAN ……………………………………………………………… 58
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi kimia kangkung (Farida et al. 2004) ..…………….…… 4
2 Kandungan mineral kangkung ……………………………………... 5
3 Hasil analisis proksimat kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) 33
4 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar kangkung air ………………..…… 43
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) (Vymazalet al. 2008) .… 3
2 Sketsa bentuk molekul asam amino (Winarno 2008) …….…..…... 11
3 Reaksi umum oksidasi asam lemak (Siagian 2002) ………..…….. 12
4 Struktur DPPH: (a) DPPH dalam bentuk radikal, (b) DPPH bentuk tereduksi (Molyneux 2004) ………………………….….…. 16
5 Struktur kimia butyl hidroksi toluene (BHT) (Herawati dan Akhlus 2006) ………………………………….…... 17
6 Diagram alir proses ekstraksi kangkung air (Ipomoea aquatica) (Khusniya 2004) ……………..……………………………..….…. 25
7 Kangkung air (Ipomoea aquatica) segar yang telah dipisahkan daun, tangkai daun dan batang ………………………………...…. 29
8 Diagram batang rendemen kangkung air …………………..….…. 30
9 Diagram batang rendemen ekstrak kasar kangkung air ………...... 41
10 Grafik total rendemen ekstrak kasar kangkung air ………………. 41
11 Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar kangkung air ...………….... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Lokasi pengambilan sampel kangkung air ……………………..… 58
2 Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses pengencerannya 58
3 Perhitungan rendemen kangkung air segar ..……………………... 60
4 Perhitungan hasil uji proksimat …………………….…………….. 60
5 Ekstrak kasar kangkung air ………………………………………. 61
6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50 …………………. 62
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) merupakan tanaman air yang
banyak ditemukan di beberapa wilayah, yaitu di Asia Tenggara, India dan Cina
bagian Tenggara (Austin 2007; Wang et al. 2008). Tanaman ini banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Produksi tanaman kangkung di Indonesia
meningkat dari tahun 2003-2007, yaitu 208,45 ton menjadi 335,08 ton
(Deptan 2008).
Tanaman kangkung banyak mengandung vitamin A dan C serta mineral
terutama zat besi yang berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan tubuh manusia
(Dibiyantoro 1996). Kangkung air diduga memiliki mengandung komponen
bioaktif yang sangat berguna bagi tubuh. Kangkung telah banyak dimanfaatkan
sebagai obat tradisional di kalangan masyarakat, namun masih belum cukup
informasi untuk menjelaskan hal-hal tersebut secara ilmiah. Kangkung air
merupakan salah satu objek yang penting dan menarik untuk diuji komponen
bioaktif dan aktivitas antioksidan alami yang terkandung di dalamnya.
Antioksidan merupakan bahan atau senyawa yang dapat menghambat atau
mencegah terjadinya oksidasi pada substrat yang mudah teroksidasi dan telah
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Antioksidan dikelompokkan menjadi dua
berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan yang diperoleh secara alami
(antioksidan alami) dan sintetik (antioksidan sintetik) (Winarsi 2007;
Juniarti et al. 2009).
Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih, maka tubuh membutuhkan
antioksidan yang berasal dari luar tubuh. Adanya kekhawatiran akan
kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik
menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan
yang disebabkan senyawa oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya
penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksida lipid pada
makanan (Winarsi 2007).
2
Fitokimia merupakan senyawa bioaktif alami yang terdapat pada tanaman,
dapat berperan sebagai nutrisi dan serat alami yang dapat mencegah penyakit,
yaitu kanker, penyakit pada hati, stroke, tekanan darah tinggi, katarak,
osteoporosis dan infeksi saluran pencernaan (Hamburger dan Hostettmaun 1991;
Juniarti et al. 2009). Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat di tanaman,
yaitu golongan alkaloid, flavonoid, kuinon, tannin, polifenol, saponin, steroid dan
triterpenoid (Harborne 1987).
Beberapa penelitian sebelumnya, bagian tanaman yang diuji aktivitas
antioksidannya lebih banyak ke arah daun. Penelitian-penelitian tersebut,
misalnya yang dilakukan oleh Arifin et al. (2006), yaitu ekstrak etanol daun
Eugenia cumini Merr, Juniarti et al. (2009), yaitu antioksidan ekstrak daun saga
(Abrus precatorius L.) dan Suratmo (2009) tentang ekstrak daun sirih merah
(Piper crocatum) sebagai antioksidan. Karakterisasi bahan baku yang dilakukan
pada penelitian ini, selain menentukan rendemen, juga bertujuan menguji
komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan yang terkandung
pada masing-masing bagian, yaitu daun, tangkai daun dan batang kangkung air.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan rendemen, kandungan zat gizi
(lemak, protein, abu dan karbohidrat), aktivitas antioksidan dan komponen
bioaktif yang terkandung dalam kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) dari
Desa Carang Pulang, Bogor.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk.)
Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) merupakan tanaman air yang
banyak ditemukan di beberapa wilayah Asia Tenggara, India dan Cina bagian
Tenggara. Tanaman ini tumbuh dengan cara merambat dan dapat mengapung di
atas air (Austin 2007; Wang et al. 2008).
Klasifikasi kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) menurut
Suratman et al. (2000) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea aquatica Forsk.
Famili Covovulaceae merupakan herba atau semak berkayu, kebanyakan
merayap atau membelit, daun tunggal, duduk tersebar tanpa daun penumpu.
Famili ini memiliki sekitar 50 genus dan lebih dari 1200 spesies, 400 spesies di
antaranya termasuk genus Ipomoea (Suratman et al. 2000).
Anggota genus Ipomoea banyak dikenal, antara lain Ipomoea aquatica
(kangkung air) dan Ipomoea reptans (kangkung darat). Kedua jenis kangkung ini
Gambar 1 Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) (Sumber: Vymazal et al. 2008)
4
berhabitat sebagai herba. Ipomoea aquatica memiliki daun panjang, ujung agak
tumpul, berwarna hijau tua, bunga putih kekuningan atau kemerah-merahan,
sedangkan Ipomoea reptans memiliki daun panjang, ujung agak runcing, warna
hijau keputih-putihan dan bunga putih. Kangkung merupakan tanaman menetap
yang dapat tumbuh lebih dari satu tahun, di dataran rendah sampai dataran tinggi
2000 m di atas permukaan laut (Rukmana 1994). Kangkung air termasuk tanaman
yang mampu melakukan adaptasi dengan baik pada kondisi tanah atau lingkungan
dengan kisaran toleransi yang luas. Tanaman kangkung dapat tumbuh pada
kondisi dengan sumber nitrogen sangat terbatas (Djukri 2005).
Nilai gizi atau komposisi kimia masing-masing organisme berbeda-beda.
Hal ini ditentukan oleh jenis dan habibat organisme tersebut. Kangkung dapat
menghasilkan energi sebesar 475 kalori/gram (Farida et al. 2004). Komposisi
kimia kangkung menurut Farida et al. (2004) dapat dilihat pada Tabel 1 dan
beberapa mineral yang terkandung dalam kangkung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Komposisi kimia kangkung
Parameter Kandungan (% bb)
Kadar air 89,01
Protein kasar 2,06
Lemak kasar 0,15
Karbohidrat 5,84
Serat kasar 1,80
Abu 1,14
Kangkung air merupakan tanaman yang mengandung serat tinggi. Serat
makanan (diatery fiber) merupakan komponen dalam tanaman yang tidak dicerna
secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap saluran pencernaan.
Serat terdiri atas berbagai substansi yang kebanyakan di antaranya adalah
karbohidrat kompleks. Serat makanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu serat
larut (soluble fiber) dan serat tidak larut (insoluble fiber). Tanaman mengandung
kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak. Serat larut
merupakan serat yang larut di dalam air, antara lain pektin, getah tanaman dan
beberapa hemiselulosa, sedangkan serat tidak larut adalah lignin dan selulosa.
5
Serat dalam tubuh dapat bermanfaat sebagai bahan pencegah kanker, menurunkan
kolesterol, mencegah sembelit, mengontrol kadar gula darah dan mengontrol
berat badan (Gunawan 2002).
Tabel 2 Kandungan mineral kangkung
Mineral Satuan Kandungan Kalsium (Ca) mg 72 Besi (Fe) mg 0,9 Magnesium (Mg) mg 18 Phospor (P) mg 28 Potassium (K) mg 228 Sodium (Na) mg 23 Seng (Zn) mg 0,24 Mangan (Mn) mg 0,416 Selenium (Se) mcg 0,9
(Sumber: Gusyana 2010)
2.2 Radikal bebas
Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau
lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak
berpasangan menyebabkan senyawa tersebut reaktif mencari pasangan dengan
cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya.
Senyawa yang mudah teroksidasi secara umum adalah senyawa yang berikatan
kovalen. Ikatan kovalen akan sangat berbahaya karena ikatan yang digunakan
secara bersama-sama pada orbital terluarnya. Senyawa yang memiliki ikatan
kovalen umumnya merupakan molekul-molekul besar (biomakromolekul), yaitu
lipid, protein maupun DNA. Target utama radikal bebas adalah protein, asam
lemak tak jenuh dan lipoprotein serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Asam
lemak tak jenuh merupakan molekul yang paling rentan terhadap serangan radikal
bebas. Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi, yaitu sifatnya yang segera
menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Senyawa radikal bebas juga
dapat mengubah suatu molekul menjadi radikal bebas (Winarsi 2007). Senyawa
radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda
pada membran sel yang mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa
radikal bebas ini berpotensi merusak DNA sehingga mengacaukan
6
sistem info genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker. Jaringan lipid
juga akan dirusak oleh senyawa radikal bebas sehingga terbentuk peroksida yang
memicu munculnya penyakit degeneratif (Winarsi 2007; Juniarti et al. 2009).
2.3 Senyawa Fitokimia
Senyawa fitokimia merupakan senyawa bioaktif alami yang terdapat
pada tanaman yang dapat berperan sebagai nutrisi dan serat alami yang dapat
mencegah penyakit (Harborne 1987). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
fitokimia terdapat pada nutrisi yang terkandung dalam buah-buahan, sayur-
sayuran dan kacang-kacangan. Komponen bioaktif tersebut dapat menghambat
proses penuaan dini dan menurunkan resiko terhadap berbagai penyakit, misalnya
kanker, penyakit pada hati, stroke, tekanan darah tinggi, katarak, osteoporosis dan
infeksi saluran pencernaan (Hamburger dan Hastettmaun 1991).
Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat pada tanaman, yaitu golongan
alkaloid, flavoniod, kuinon, tanin dan polifenol, saponin, steroid dan triterpenoid
(Harborne 1987). Senyawa fitokimia berperan dalam menjaga kesehatan.
Senyawa-senyawa tersebut saling melengkapi dalam mekanisme kerja yang
terjadi dalam tubuh, termasuk di dalamnya adalah antioksidan, detoksifikasi oleh
enzim, stimulasi dari sistem imun, metabolisme hormon dan antibakteri serta
antivirus (Hamburger dan Hastettmaun 1991).
2.3.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid
adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal dan hanya sedikit
yang berbentuk cairan pada suhu kamar, contohnya pada nikotina.
Senyawa-senyawa golongan alkaloid misalnya caffeine, theobromine dan
theophylline (Sirait 2007). Kelompok senyawa alkaloid terdiri dari alkaloid
sesungguhnya, protoalkaloid dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah
racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas,
hampir tanpa terkecuali bersifat basa, mengandung nitrogen dalam cincin
7
heterosiklis, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat
dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin
yang relatif sederhana, nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis,
dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya
senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996).
2.3.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok besar fitokimia yang bersifat melindungi
dan banyak terdapat pada buah dan sayuran. Flavonoid sering dikenal
sebagai bioflavonoid yang berperan sebagai antioksidan. Antioksidan
dapat menetralkan atau menginaktifkan reaksi yang tidak stabil pada molekul
yang disebut sebagai radikal bebas yang dapat menyerang sel tubuh. Flavonoid
terdapat beberapa jenis dan masing-masing berperan dalam menjaga kesehatan.
Senyawa-senyawa flavonoid termasuk di dalamnya adalah resveratrol,
anthocyanin, quercetin, hesperidin, tangeritin, kaemferol, myricetin dan apigenin.
Flavonoid telah ditemukan pada jeruk, kiwi, apel, anggur merah, brokoli dan
teh hijau. Flavonoid adalah bagian dari senyawa fenolik yang terdapat
pada pigmen tumbuh-tumbuhan. Kesehatan manusia sangat tergantung
pada flavonoid sebagai antioksidan untuk mencegah kanker. Manfaat utama
flavonoid adalah untuk melindungi struktur sel, membantu memaksimalkan
manfaat vitamin C, mencegah keropos tulang, sebagai antibiotik dan
anti-inflamasi (Winarsi 2007).
Kehidupan dan fungsi sel mikroorganisme (virus dan bakteri)
dapat terancam karena keberadaan flavonoid yang bertindak langsung
sebagai antibiotik, bahkan keefektifan flavonoid dapat melemahkan virus HIV
penyebab penyakit mematikan AIDS. Virus herpes pun dapat lumpuh dengan
flavonoid. Flavonoid juga dapat berperan dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit umum lainnya, yaitu periodontitis, wasir (ambeien), encok, rematik,
diabetes melitus, katarak dan asma. Istilah flavonoida diberikan untuk senyawa-
senyawa fenol yang berasal dari kata flavon yaitu nama dari salah satu flavonoida
yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan (Harborne 1987).
8
2.3.3 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari
hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit,
kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Sterol atau steroid
adalah triterpenoid yang kerangka dasarnya cincin siklopentana
perhidrofenantren. Senyawa sterol pada tumbuhan disebut dengan fitosterol, yang
umum terdapat pada tumbuhan tinggi adalah sitosterol, stigmasterol dan
kampesterol. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom
karbon lebih dari 21, yaitu sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.
Senyawa ini dapat digunakan dalam pembuatan obat (Harborne 1987).
2.3.4 Saponin
Saponin atau glikosida sapogenin adalah salah satu tipe glikosida yang
tersebar luas dalam tanaman. Tiap saponin terdiri dari sapogenin yang merupakan
molekul aglikon dan sebuah gula. Saponin merupakan senyawa yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah
sering menyebabkan hemolisis sel darah merah, sering digunakan sebagai
deterjen. Saponin dapat digunakan untuk meningkatkan diuretika serta
merangsang kerja ginjal. Saponin dapat menyebabkan iritasi pada selaput lendir,
bersifat toksik pada binatang berdarah dingin yaitu ikan (Harborne 1987).
Terdapat dua senyawa saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan
glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal.
Kedua jenis ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter.
Aglikonnya yang disebut sapogenin diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana
asam atau hidrolisis memakai enzim dan tanpa bagian gula ciri kelarutannya sama
dengan ciri sterol lain (Robinson 1995).
2.3.5 Fenol hidrokuinon
Senyawa fenolik meliputi bermacam senyawa yang memiliki ciri, yaitu
berupa senyawa aromatis. Beberapa senyawa yang termasuk dalam golongan
fenolik, antara lain fenol sederhana, lignin, antrakuinon, flavonoid, tanin dan fenil
propanoid. Fenol sederhana memiliki kelarutan yang terbatas dalam air dan
9
bersifat asam. Identifikasi senyawa fenol secara umum dapat menggunakan FeCl3,
akan dihasilkan larutan berwarna merah, violet atau merah-ungu (Harborne 1987).
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar,
yaitu kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Dalam identifikasi
umumnya kuninon dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidrolisasi dan bersifat senyawa fenol (Harbone 1987).
2.3.6 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang
berasal tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman dengan
sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbondioksida (CO2) yang
berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat
sederhana glukosa dan oksigen yang dilepaskan ke udara (Winarno 2008).
Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida dan
polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri atas lima
atau enam atom C, sedangkan oligosakrida merupakan polimer dari gabungan
2-10 monosakrida. Polisakarida umumnya merupakan polimer yang terdiri lebih
dari 10 monomer monosakarida. Komponen tersebut aktif secara optis, merupakan
alifatik polihidroksil yang biasanya sangat larut dalam air. Komponen ini sukar
untuk mengkristal bahkan dalam keadaan murni sekalipun dan biasanya diisolasi
dengan mereaksikannya dengan komponen lain (Harborne 1987). Peranan
karbohidrat dalam tubuh manusia dapat berguna untuk mencegah ketosis,
pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna dalam
membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).
2.3.7 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul ditentukan oleh ada atau tidaknya gugus
hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa
(aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada
fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya saling terikat, sedangkan laktosa
10
mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya
(Winarno 2008).
Gula pereduksi merupakan kelompok gula atau karbohidrat yang mampu
mereduksi senyawa pengoksidasi. Monosakarida akan segera mereduksi
senyawa-senyawa pengoksidasi, yaitu ferisianida, hidrogen peroksida atau
ion kupri (Cu2+). Gula dioksidasi pada gugus karbonil dan senyawa pengoksidasi
menjadi tereduksi pada reaksi ini. Sifat gula pereduksi ini dapat berguna
dalam analisis gula, yaitu dengan mengukur jumlah dari senyawa pengoksidasi
yang tereduksi oleh suatu larutan gula tertentu (Lehninger 1988).
2.3.8 Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
senyawa H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino
dari molekul lain dengan reaksi kondensasi yang kuat. Dua molekul asam amino
yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipetida, tiga molekul asam amino
yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida dan seterusnya.
Istilah oligopetida digunakan untuk kelompok yang memiliki ≤ 10 residu asam
amino. Jika terdapat banyak asam amino yang bergabung dengan cara demikian,
maka akan menghasilkan struktur yang disebut polipeptida (Lehninger 1988).
Peptida dengan panjang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisis sebagian
dari rantai polipeptida yang panjang dari protein dan dapat mengandung ratusan
asam amino (Lehninger 1988). Pembentukan ikatan peptida memerlukan energi
yang besar, sedangkan hidrolisis praktis tidak memerlukan energi.
Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung berjalan ke arah hidrolisis daripada
sintesis (Winarno 2008).
2.3.9 Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar protein dengan ikatan peptida
sebagai penghubung antara masing-masing asam amino. Meskipun demikian,
pada awal pembentukan protein hanya tersusun dari 20 asam amino yang dikenal
sebagai asam amino dasar atau asam amino baku. Struktur asam amino
secara umum adalah satu atom kabon (C) yang mengikat empat gugus, yaitu
11
gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H) dan satu gugus
sisa (R dari residu) (Winarno 2008). Semua asam amino berkonfigurasi alpha (α)
dan mempunyai konfigurasi L, kecuali glisin yang tidak mempunyai
atom C asimetrik. Hanya asam amino yang berkonfigurasi L yang merupakan
komponen protein (Fennema 1996). Sketsa bentuk molekul asam amino
secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Sketsa bentuk molekul asam amino (Sumber: Winarno 2008)
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas tersebut dapat
terhambat. Antioksidan juga dapat diartikan sebagai bahan atau senyawa yang
dapat menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi pada substrat atau bahan
yang dapat teroksidasi, walaupun memiliki jumlah yang sedikit dalam makanan
atau tubuh jika dibandingkan dengan substrat yang akan teroksidasi. Antioksidan
merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan.
Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil, tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi 2007).
2.4.1 Fungsi antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Hal tersebut
dapat menghambat kerusakan sel. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh,
status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan
seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal
reaktivitas radikal bebas, yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh.
12
Jika jumlah senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh,
kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein maupun DNA sehingga
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stress oksidatif
(Winarsi 2007).
Mekanisme kerja antioksidan pada umumnya dapat dipahami setelah
mekanisme proses oksidasi lemak dalam bahan makanan atau pada sistem
biologis dipahami dengan baik. Oksidasi lemak terdiri dari 3 tahapan utama, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal
asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan lemak yang bersifat tidak stabil dan
sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hidrogen. Pada tahap selanjutnya, yaitu
propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal
peroksi. Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak baru
(Winarsi 2007). Pada tahap terminasi terjadi reaksi antara radikal bebas
membentuk kompleks nonradikal. Adapun mekanisme reaksi tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Reaksi umum oksidasi asam lemak
(Sumber: Siagian 2002)
Antioksidan dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan fungsinya (Siagian 2002;
Hariyatmi 2004), yaitu:
1. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas dengan cara
menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E.
2. Tipe pereduksi yang mampu mentransfer atom H atau oksigen dan
bersifat pemulung, contohnya vitamin C.
3. Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe2+ dan
Cu2+), contohnya flavonoid, asam sitrat dan EDTA.
13
4. Antioksidan selular yang mampu mendekomposisi hidrogen peroksida
menjadi bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal superoksida
dismutase, katalase dan glitation peroksidase.
Antioksidan mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan
spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta
mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan (Winarsi 2007).
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting
untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan,
yaitu ketengikan, perubahan gizi, perubahan warna dan aroma serta kerusakan
fisik lain pada produk pangan karena oksidasi. Proses oksidasi tersebut dapat
dihambat oleh antioksidan (Hernani dan Raharjo 2005).
2.4.2 Sumber antioksidan
Antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan
sumbernya, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami
merupakan antioksidan hasil ekstraksi dari bahan-bahan alami, sedangkan
antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa
reaksi kimia. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan dan
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan
pada makanan sebagai bahan tambahan pangan (Winarno 2008).
Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami berasal
dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan angiospermae memiliki kira-kira 250.000
sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies yang telah
dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah
dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang
dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman,
yaitu pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk sari. Bahan-
bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, yaitu rempah-
rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran
dan tumbuhan (alga laut). Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang
memiliki aktivitas antioksidan, yaitu asam-asam amino, asam askorbat,
14
golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tanin, peptida, melanoidin,
produk-produk reduksi dan asam-asam organik lain (Pratt 1992).
Antioksidan sintetik ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mencegah
terjadinya ketengikan. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan
adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya dapat beracun. Penambahan
antioksidan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, misalnya tidak berbahaya
bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif
pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah diperoleh dan ekonomis.
Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima
antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar di seluruh dunia, yaitu
butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluene (BHT), propil galat (PG),
tert-butil hidroksi quinon (TBHQ) dan tokoferol (Buck 1991; Winarno 2008).
2.4.3 Mekanisme kerja antioksidan
Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan
reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan
oleh 4 mekanisme reaksi, yaitu 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan,
2) pelepasan elektron dari antioksidan, 3) adisi lemak ke dalam cincin aromatik
pada antioksidan dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin
aromatik dari antioksidan (Ketaren 2008).
Antioksidan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan
mekanisme reaksinya, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan
primer disebut juga antioksidan endogenous atau enzimatis. Suatu senyawa
dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen
secara cepat kepada radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera
menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim
superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase.
Enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus
reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Antioksidan sekunder disebut juga sebagai antioksidan eksogeneus atau
non-enzimatis. Antioksidan kelompok ini juga disebut sistem pertahanan
preventif, yaitu terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan
cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Kerja antioksidan sekunder
15
yaitu dengan cara memotong reaksi berantai dari radikal bebas atau dengan
cara menangkapnya. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C,
β-karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin dan albumin. Kelompok antioksidan
tersier meliputi sistem DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase.
Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat
reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang tereduksi senyawa radikal bebas
dicirikan oleh oleh rusaknya struktur pada gugus non-basa maupun basa (Winarsi
2007). Mekanisme kerja serta kemampuan antioksidan sangat bervariasi.
Kombinasi beberapa antioksidan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik
terhadap oksidasi dibandingkan satu jenis antioksidan saja (Siagian 2002).
2.5 Ekstraksi Senyawa Aktif
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi juga dapat diartikan
sebagai proses penarikan komponen atau zat aktif menggunakan pelarut tertentu.
Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang
mengandung komponen bioaktif (Harborne 1987).
Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor,
antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen-komponen
yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat
dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ekstraksi dengan pelarut, destilasi,
supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan dan sublimasi. Metode
yang banyak digunakan adalah destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut
(Houghton dan Raman 1998).
Suatu senyawa memiliki kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif
sama kepolarannya. Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa
alkaloid, fenolat dan flavonoid. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung
pada beberapa faktor, antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode
ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel bahan ekstrak, kondisi dan waktu
penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap
sampel (Darusman et al. 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan
menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat
16
melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih rendah, murah dan mudah
didapat, tidak toksik dan mudah terbakar (Ketaren 2008).
2.6 Uji Aktivitas Antioksidan
Metode yang digunakan pada penentuan aktivitas antioksidan kangkung air
pada penelitian ini adalah metode DPPH. Radikal bebas DPPH stabil dalam
larutan berair atau metanol. Metode DPPH merupakan metode yang sering
digunakan untuk penentuan aktivitas antioksidan dengan penggunaan radikal
bebas DPPH yang stabil dan memiliki warna ungu yang ditunjukkan oleh pita
absorbsi dalam pelarut metanol pada panjang gelombang sekitar 517 nm. Radikal
bebas DPPH bersifat peka terhadap cahaya, oksigen dan pH, tetapi bersifat stabil
dalam bentuk radikal sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran
antioksidan (Molyneux 2004). Radikal bebas DPPH dapat menangkap atom
hidrogen dari komponen aktif ekstrak yang dicampurkan kemudian bereaksi
menjadi bentuk tereduksinya yaitu yang terlihat pada Gambar 4.
Berdasarkan reaksi tersebut, senyawa antioksidan (AH) melepas atom
hidrogen menjadi radikal senyawa antioksidan (A*). DPPH merupakan radikal
bebas yang direaksikan dengan senyawa antioksidan dan menjadi DPPH bentuk
tereduksi (DPPH2). Mekanisme penangkapan radikal DPPH, yaitu melalui donor
atom H dari senyawa antioksidan yang menyebabkan peredaman warna radikal
pikrilhidrazil yang berwarna ungu menjadi pikrilhidrazil berwarna kuning
yang nonradikal (Molyneux 2004).
Penelitian ini menggunakan senyawa antioksidan sintetik BHT
yang digunakan sebagai kontrol positif karena diharapkan dapat memberikan
aktivitas antioksidan lebih besar dibandingkan antioksidan alami.
Gambar 4 Struktur DPPH: (a) DPPH bentuk radikal, (b) DPPH bentuk tereduksi
(Sumber: Molyneux 2004)
(a) (b)
17
BHT memiliki nama kimia 2,6-bis (1,1-dimetiletil)-4-metilfenol dan rumus
kimianya C15H24O dengan bobot molekul 220,35 g/mol. Struktur BHT dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur kimia butil hidroksi toluene (BHT) (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)
Butil hidroksi toluene (BHT) digunakan sebagai zat aktif antioksidan pada
makanan, kosmetik, farmasi dan produk karet. Fungsi BHT hampir sama yaitu
vitamin E, yaitu sebagai zat yang mencegah reaksi autooksidasi atau oksidasi
yang disebabkan oleh O2 dari udara. Mekanisme reaksi BHT sebagai senyawa
antioksidan adalah sebagai berikut:
RO2* + ArOH ROOH + ArO*
Dengan peroksi (RO2*) sebagai radikal bebas direaksikan dengan BHT (ArOH)
menjadi hidroperoksida (ROOH) yang nonradikal sedangkan BHT menjadi
bentuk radikalnya (ArO*). Larutan DPPH yang berisi ekstrak sampel diukur
serapan cahayanya dan dihitung aktivitas antioksidannya dengan persen inhibisi,
yaitu banyaknya aktivitas senyawa antioksidan yang dapat menangkap radikal
bebas DPPH. Parameter yang umum digunakan untuk mengetahui besarnya
aktivitas antioksidan pada suatu ekstrak bahan adalah dengan menentukan
nilai inhibitor concentration 50% (IC50) bahan antioksidan tersebut. IC50
merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang mampu
menghambat aktivitas radikal sebesar 50% (Molyneux 2004).
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2009 hingga Mei 2010.
Sampel diambil di Desa Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang,
Kecamatan Dramaga, Bogor (Lampiran 1). Proses preparasi sampel dilakukan
di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, sedangkan analisis aktivitas
antioksidan, uji fitokimia dan kadar abu serta kadar abu tidak larut asam dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil
Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Analisis proksimat (kadar air, lemak dan protein) dilakukan
di Laboratorium Konservasi Satwa Langkah dan Harapan, Pusat Antar Universitas
(PAU), Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah kangkung air
(Ipomoea aquatica Forsk). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi kristal K2SO4, kjeltab (katalis selenium), larutan H2SO4 pekat,
larutan H2O2, asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcresol
green 0,1% dan methyl red 0,1%, larutan NaOH 1,25%, larutan HCl 0,10 N,
larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0,1 N, pelarut lemak (n-heksana), larutan
H2SO4 1,25% dan akuades. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas
antioksidan, yaitu ekstrak kasar kangkung air, radikal bebas
1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), butylated hydroxyltoluene (BHT) sebagai
antioksidan pembanding. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia
meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff (uji alkaloid),
kloroform, anhidrat asetat, asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil
alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%,
larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon), pereaksi Molisch, larutan H2SO4 pekat
(uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict), pereaksi Biuret (uji Biuret) dan
larutan Ninhidrin 0,1% (uji Ninhidrin).
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan
porselen, timbangan digital, alumunium foil, gegep, desikator, oven,
19
kompor listrik, tanur pengabuan, kapas bebas lemak, labu lemak, tabung Soxhlet,
penangas air, labu Kjeldahl, alat destilasi, labu erlenmeyer, buret, pipet
volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, blender, sentrifuse,
rotary vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas piala, pipet tetes,
tabung reaksi, vortex, kertas saring Whatman (�: 10 dan 42) bebas abu,
corong Buchner, labu takar dan spektrofotometer UV-Vis.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dari data yang diperoleh dan terdiri atas
beberapa tahapan, yaitu tahap pengambilan sampel, tahap perhitungan rendemen
(daun, tangkai daun dan batang), tahap pembuatan ekstrak kasar kangkung air,
tahap analisis komposisi kimia kangkung air berupa analisis proksimat (kadar air,
lemak, protein, abu, abu tak larut asam dan serat kasar), uji fitokimia dan
uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak kasar kangkung air.
3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku
Sampel kangkung air dilakukan di Desa Carang Pulang, Kelurahan
Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor. Sampel dipetik secara langsung dalam
area yang dibatasi transek kuadrat (1 m2). Kangkung tersebut kemudian
dimasukkan dalam plastik dan segera dipreparasi di Laboratorium Karakterisasi
Bahan Baku, Departemen Teknologi Hasil Perairan. Semua bagian kangkung
dibersihkan dari kotoran seperti tanah, pasir dan lumpur. Kemudian sampel
dihitung rendemennya dengan perumusan sebagai berikut:
Kangkung dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan bagian
yang akan diuji kadar air, lemak, protein, kadar abu, abu tidak larut asam dan
serat kasat (uji proksimat) dalam keadaan utuh dan segar. Kangkung dikecilkan
ukurannya dengan pisau untuk mempermudah proses uji. Bagian kedua
merupakan bagian yang akan dikeringkan dan diekstrak untuk diuji aktivitas
antioksidan dan fitokimia yang terkandung di dalamnya, yaitu bagian daun,
tangkai daun dan batang. Kangkung yang telah kering dihancurkan
20
dengan blender sehingga diperoleh bentuk serbuk halus. Serbuk halus tersebut
akan diekstraksi dengan pelarut yang telah disiapkan dan selanjutnya akan diuji
secara fitokimia dan uji aktivitas antioksidan.
3.3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan
untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis
kadar air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam dan serat kasar.
1) Kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air
adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) atau
dibiarkan hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh
dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Cawan tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai beratnya konstan,
selanjutnya ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air :
2) Kadar lemak (AOAC 2005)
Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan
ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan
dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan
dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor
tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Kemudian
dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak
didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan
tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali
21
ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan
(W3).
Perhitungan kadar lemak kangkung air:
Keterangan : W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak kosong (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
3) Kadar protein (AOAC 1980)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,
yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram dimasukkan
ke dalam labu Kjeldahl 100 ml. Sebanyak 0,25 gram Selenium dan 3 ml H2SO4
pekat serta sampel didekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) pada suhu
410 oC selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml
aquades dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi dengan suhu destilator 100 oC.
Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml
H3BO3 2% dan 2 tetes indikator bromcherol green-methyl red berwarna merah
muda (1:2). Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 40 ml dan
berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan
HCl 0,10 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga
terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:
*) Faktor konversi alat = 2,5
**) Faktor konversi = 6,25
22
4) Kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam
pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator
hingga didapatkan berat yang konstan dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram
dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen
hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan
dengan suhu 400 oC selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam desikator hingga
didapatkan berat yang konstan dan ditimbang.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
5) Kadar abu tidak larut asam menurut SNI 01-3836-2000 (BSN 2000)
Abu hasil penetapan kadar abu total dilarutkan dalam 25 ml HCl 10% dan
dididihkan selama 5 menit. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas
saring bebas abu dan dicuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kertas saring
kemudian dikeringkan dalam oven. Abu yang telah kering kemudian diabukan
kembali dalam tanur dengan menggunakan wadah cawan porselen.
Cawan porselen tersebut kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang
hingga beratnya tetap.
Kadar abu tidak larut asam ditentukan dengan rumus:
6) Kadar serat kasar (AOAC 1980)
Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1,25%
dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit.
Kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman (�: 10) dan dengan
bantuan corong Buncher. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml
23
air mendidih dan dengan air sebanyak 3 kali. Residu dekstruksi kembali dengan
100 ml NaOH 1,25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara sama seperti
di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1,25% mendidih, 2,5 ml air
sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan
ke cawan porselin dan porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam
tanur 600 oC selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B).
Kadar serat kasar dapat dihitung dengan perumusan sebagai berikut:
Keterangan:
W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A – (bobot kertas saring + cawan) Wo = B – (bobot cawan) A = bobot residu + kertas saring + cawan B = bobot residu + cawan
3.3.3 Analisis antioksidan
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988 diacu dalam Darusman et al. 1995)
Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak kasar menggunakan dua uji,
yaitu uji aktivitas antioksidan (metode DPPH) untuk mengetahui aktivitas
antioksidan dari ekstrak masing-masing pelarut dan uji fitokimia
untuk menentukan senyawa kimia yang terdapat dalam kangkung air.
Tahapan analisis antioksidan terdiri atas beberapa langkah, yaitu persiapan
sampel dan ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, bagian kangkung
air (daun, tangkai daun dan batang) yang telah diambil segera dikeringkan
dengan panas matahari selama 3 hari.
Bagian kangkung air yang telah kering kemudian dihaluskan
dengan blender, sehingga diperoleh serbuk halus. Ukuran sampel yang kecil
(serbuk halus) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang kontak
langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif
dapat berjalan dengan maksimal.
24
Langkah selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah metode Quinn (1988) diacu dalam Darusman et al. (1995) yang
telah dimodifikasi oleh Khusniya (2004). Pada metode ini digunakan tiga macam
pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu kloroform (non polar), etil asetat
(semi polar) dan metanol (polar).
Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan
orbital shaker dengan kecepatan 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan
kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga diperoleh filtrat
dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat
sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan yang sama
dengan maserasi sebelumnya, sedangkan filtrat yang diperoleh dievaporasi
menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 50 oC.
Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol sebanyak 100 ml
dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital
shaker dengan kecepatan 8 rpm. Filtrat kemudian dievaporasi menggunakan
rotary vacuum evaporator pada suhu 50 oC.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol kemudian disaring dengan
kertas saring Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievaporasi
menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 50 oC, sedangkan residu yang
tersisa dibuang. Berdasarkan proses ini, diperoleh ekstrak pelarut kloroform,
ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Hasil ekstrak yang diperoleh kemudian
digunakan untuk uji fitokimia dan analisis aktivitas antioksidan. Adapun proses
ekstraksi bertingkat tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
2) Uji aktivitas antioksidan (Blois 1958 diacu dalam Hanani et al. 2005)
Aktivitas antioksidan ekstrak kasar kangkung air ditentukan dengan metode
DPPH seperti yang dinyatakan oleh Blois (1958) diacu dalam
Hanani et al. (2005). Ekstrak kasar kangkung air diuji dalam beberapa
konsentrasi, yaitu 200, 400, 600 dan 800 ppm. Larutan DPPH yang digunakan
dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan
konsentrasi 1 mM yang dilakukan pada suhu rendah serta terlindung dari cahaya.
25
Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dibuat
dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Perhitungan larutan stok dan proses
pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 6 Diagram alir proses ekstraksi kangkung air (Ipomoea aquatica)
(Sumber: Khusniya 2004)
Larutan ekstrak dan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat,
masing-masing sebanyak 4,5 ml direaksikan dengan 0,5 ml larutan DPPH 1 mM
dalam tabung reaksi dan diberi penanda (label). Campuran tersebut diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi larutan
blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko
dibuat dengan mencampurkan 4,5 ml metanol dengan 0,5 ml larutan DPPH 1 mM
dalam tabung reaksi.
26
Aktivitas antioksidan masing-masing sampel ekstrak dan BHT dinyatakan
dengan persentase penghambatan radikal bebas (persen inhibisi) yang dapat
dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak kangkung air ataupun antioksidan
pembanding BHT) dan hambatan ekstrak (persen inhibisi) diplot masing-masing
pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang
diperoleh dalam bentuk persamaan: y = b(x) + a, digunakan untuk mencari nilai
IC50 (inhibitor concentration 50%) masing-masing sampel, dengan menyatakan
nilai y sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi
larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50%.
3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1987)
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar kangkung air yang memiliki
aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid,
uji steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch,
uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin.
1) Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian
diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer,
dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer
terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan
endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1 ml HgCl2 dengan
0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml
dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan
cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram
kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml
dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat
dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan
27
40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium
iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan
dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air.
Pereaksi ini berwarna jingga.
2) Steroid/Triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Kemudian ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan
3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama
kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
3) Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)
dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
4) Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
5) Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya
senyawa fenol dalam bahan.
6) Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml asam
sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu di antara
2 lapisan cairan.
7) Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna
hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.
28
8) Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret. Campuran
dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan
hasil uji positif adanya peptida.
9) Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan
Ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit.
Larutan berwarna biru yang terbentuk menunjukkan reaksi positif terhadap adanya
asam amino.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kangkung air
(Ipomoea aquatica Forsk.). Sampel yang telah diambil segera dipreparasi dan
dikurangi kadar airnya melalui proses pengeringan. Pengeringan dilakukan
untuk menambah daya awet produk sebelum dianalisis dan mempermudah
penyimpanan. Kangkung air segar yang telah dipisahkan daun, tangkai daun dan
batangnya yang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Kangkung air segar yang telah dipisahkan bagian daun, tangkai daun
dan batang
Kangkung air yang telah kering memiliki bobot yang lebih ringan
dibandingkan kangkung air segar. Hal ini terjadi karena sebagian air dalam
kangkung air telah teruapkan oleh panas saat proses pengeringan. Kadar air
tersebut merupakan air bebas yang mudah dihilangkan, misalnya dengan proses
pengeringan (Winarno 2008). Ketiga bagian tersebut masing-masing dihancurkan
sehingga diperoleh bentuk serbuk halus. Bahan baku yang berbentuk serbuk halus
tersebut dapat mempermudah saat proses analisis maupun proses ekstraksi.
Permukaan bahan baku yang dapat kontak langsung dengan pelarut lebih luas.
Serbuk halus tersebut kemudian disimpan dalam wadah tertutup untuk melindungi
30
bahan baku dari pengaruh lingkungan sekitar. Karakterisasi bahan baku dilakukan
untuk menentukan sifat dari bahan baku yang digunakan. Suatu bahan baku
memiliki sifat kimia yang berbeda dengan yang lainnya. Karakterisasi yang
dilakukan pada penelitian ini meliputi pengukuran rendemen dan analisis
kandungan gizi bahan baku (uji proksimat).
4.1.1 Rendemen
Rendemen merupakan persentase bagian bahan baku yang dapat digunakan
atau dimanfaatkan dengan total bahan baku. Rendemen yang semakin besar
menandakan bahwa bahan baku tersebut memiliki peluang untuk dimanfaatkan
lebih besar dibandingkan bahan baku yang memiliki nilai rendemen rendah atau
kecil (Kusumawati et al. 2008). Kangkung air ditimbang beratnya sebelum dan
sesudah pemisahan bagian daun, tangkai daun dan batang. Persentase rendemen
kangkung air merupakan perbandingan antara berat bagian-bagian kangkung air
segar dengan berat utuh kangkung air yang digunakan. Perhitungan rendemen
kangkung air dilakukan dalam keadaan segar dan setelah proses pengeringan.
Diagram batang hasil perhitungan rendemen tersebut dapat dilihat pada Gambar 8
dan contoh perhitungannya pada Lampiran 3.
Gambar 8 Diagram batang rendemen kangkung air: ( ) segar; ( ) kering
Rendemen kangkung air segar, yaitu daun sebesar 34,34%, tangkai daun
sebesar 19,07% dan batang sebesar 46,59%. Rendemen terbesar terdapat
pada batang dan terkecil pada tangkai daun. Batang kangkung air berukuran
31
lebih besar daripada tangkai daun dan berongga. Batang tersebut juga sebagian
besar bersentuhan langsung dan terapung air, sehingga memiliki kadar yang cukup
banyak dibandingkan bagian-bagian lainnya. Penimbangan dalam keadaan segar
menyebabkan batang kangkung air memiliki rendemen yang paling besar.
Tangkai daun merupakan bagian di antara batang dan daun. Tangkai daun
berukuran lebih kecil daripada batang. Sebagian atau seluruh bagian tangkai daun
dapat terendam dalam air, namun bentuknya yang kecil dan tipis serta berongga
sehingga saat penimbangan menghasilkan rendemen yang paling kecil. Daun
kangkung air secara umumnya terdapat di atas permukaan yang yang ditopang
oleh tangkai daun. Rendemen daun berada di antara rendemen batang dan
tangkai daun.
Pengeringan dilakukan untuk menghilangkan sebagian kadar air dalam
bahan untuk memperlancar proses analisis dan menambah daya awet
bahan tersebut. Proses pengeringan dilakukan secara langsung di bawah sinar
matahari. Pengeringan yang baik ditandai dengan penyusutan berat bahan
yang dikeringkan. Proses pengeringan yang dilakukan menggunakan sinar
matahari. Setelah pengeringan kangkung air mengalami penurunan bobot pada
masing-masing bagian kangkung air yang dikeringkan, sehingga rendemen
masing-masing bagian kangkung air pun menurun.
Rendemen terbesar setelah pengeringan dihasilkan oleh daun, yaitu
sebesar 10,31% dan terendah pada rendemen batang yaitu sebesar 6,46%,
sedangkan rendemen pada tangkai daun sebesar 9,91%. Batang kangkung air
menyebar menjalar di permukaan air, sehingga kadar air pada batang lebih banyak
daripada bagian-bagian kangkung air lainnya. Oleh karena itu, selama
proses pengeringan dengan sinar matahari, kadar air bebas yang hilang memiliki
persentase yang lebih besar. Rendemen yang dihasilkan setelah pengeringan
lebih kecil.
Berbeda dengan batang kangkung air, daun kangkung air yang telah
dikeringkan memiliki rendemen yang terbesar. Dilihat dari luas penampang,
proses penguapan pada daun kangkung air memiliki peluang yang lebih besar
karena memiliki luas penampang yang lebih luas dibandingkan bagian-bagian
kangkung air yang lainnya. Kandungan air bebas pada daun tersebut lebih kecil.
32
Penyusutan berat pada daun kangkung air lebih kecil, sehingga memiliki
rendemen dalam bentuk kering yang besar. Tangkai daun pada kangkung air
memiliki rendemen yang berada di antara daun dan batang kangkung air setelah
dikeringkan. Penampang tangkai daun yang lebih kecil daripada kedua bagian
lainnya menyebabkan bagian ini tidak banyak mengalami penguapan sehingga
tidak banyak mengalami penyusutan.
Hasil perhitungan rendemen kangkung air setelah dikeringkan tidak
memiliki jumlah 100%. Hal ini disebabkan adanya kadar air bebas yang hilang
pada saat proses pengeringan. Kadar air bebas merupakan sejumlah air yang
secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan, yaitu membran, kapiler dan serat
yang memiliki sifat air bebas dan mudah diuapkan (Winarno 2008).
4.1.2 Kandungan gizi
Kandungan gizi antara bahan baku berbeda-beda tergantung dari jenis bahan
baku, habitat dan fase serta umur bahan baku tersebut. Zat gizi merupakan
senyawa kimia yang sangat dibutuhkan dalam tubuh. Zat gizi berperan dalam
penyediaan energi, proses pertumbuhan, perbaikan jaringan, pengaturan serta
pemeliharaan proses fisiologis dan biokimiawi di dalam tubuh. Zat gizi
diklasifikasikan dalam 6 kelompok besar, yaitu karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral dan air (Winarno 2008).
Komponen non gizi merupakan komponen selain gizi. Berbeda dengan
komponen gizi, jika kekurangan komponen non gizi tidak menyebabkan
kekurangan gizi. Kekurangan komponen non gizi dapat mengganggu kelancaran
proses fisiologis dalam tubuh, yaitu proses pencernaan (Gunawan 2002).
Kelancaran proses pencernaan merupakan hal yang diinginkan. Keberadaan
komponen non gizi dalam tubuh juga diperlukan.
Kandungan gizi pada kangkung air dapat ditentukan melalui uji proksimat.
Uji proksimat dilakukan untuk memperoleh data kasar tentang komposisi kimia
bahan baku yang diuji. Zat gizi pada kangkung air yang diuji meliputi kadar air,
kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar protein dan kadar lemak serta kadar
serat kasar (komponen non gizi). Kadar karbohidrat diperoleh dengan perhitungan
by difference. Hasil uji proksimat kangkung air segar dapat dilihat pada Tabel 3.
Contoh perhitungan uji proksimat kangkung air dapat dilihat pada Lampiran 4.
33
Tabel 3 Hasil analisis proksimat kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.)
Parameter Kandungan (% bb)
Kadar air 90,00 ± 0,05
Kadar abu 1,09 ± 0,15
Protein kasar 2,35 ± 0,28
Kadar lemak 0,55 ± 0,01
Karbohidrat 6,02 ± 0,07
Kadar abu tidak larut asam 0,10 ± 0,00
Serat kasar 1,04 ± 0,01
1) Kadar air
Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda,
baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan
pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan.
Kadar air pada kangkung air segar dapat ditentukan menggunakan uji proksimat.
Hasil uji proksimat kadar air kangkung air dapat dilihat pada Tabel 3.
Kadar air kangkung air tergolong tinggi, yaitu mencapai (90,00 ± 0,05)%.
Persentase kadar air tersebut didukung oleh penelitian yang telah dilakukan
oleh Farida et al. (2004) dengan komposisi kadar air sebesar 89,01%. Kadar air
pada bahan pangan dapat dipengaruhi oleh habitat atau lingkungan. Prinsip
analisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur berat air
bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan
panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III. Air tipe III ini biasa disebut
air bebas dan merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan
matriks bahan yaitu membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi
(Winarno 2008).
2) Kadar Lemak
Analisis kadar lemak pada bagian-bagian kangkung air dilakukan
untuk menentukan kandungan kadar lemak pada kangkung air. Lemak merupakan
komponen yang tersusun dari unit struktural yang bersifat hidrofobik. Penelitian
ini digunakan n-heksana untuk mengekstrak lemak. Kangkung air mengandung
34
lemak yang rendah, yaitu sebesar (0,55 ± 0,01)%. Nilai ini tidak jauh berbeda
dengan hasil pengujian kadar lemak yang dilakukan oleh Farida et al. (2004),
yaitu 0,15%. Hasil tersebut juga didukukng oleh hasil penelitian Gusyana (2010)
yang menyatakan bahwa kadar lemak kangkung, yaitu sebesar 0,40%.
Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan oleh kandungan air yang tinggi,
sehingga secara proporsional kadar lemak akan menurun. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yunizal et al. (1998) yang menyatakan bahwa kadar air
umumnya berbanding terbalik dengan kadar lemak. Hubungan tersebut
mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang
terkandung pada bahan memiliki jumlah yang tinggi.
3) Kadar protein
Protein merupakan komponen utama dalam sel hidup, baik tumbuhan
maupun hewan. Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian
besar jaringan tubuh. Kadar protein kangkung air segar tergolong rendah,
yaitu (2,35 ± 0,28)%. Hasil pengukuran ini tidak jauh berbeda dengan kadar
protein kasar yang telah diuji oleh Farida et al. (2004) yaitu kadar protein kasar
pada kangkung air adalah 2,06%.
Asam amino-asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan
makanan disebut sebagai asam amino pembatas. Tumbuhan serelia asam amino
pembatasnya adalah lisin, sedangkan pada kacang-kacangan biasanya asam amino
metionin. Protein yang kekurangan satu atau lebih asam amino esensial
mempunyai mutu yang rendah. Kadar protein pada tumbuhan secara umum
memiliki mutu yang lebih rendah daripada kadar protein hewani. Protein hewani
lebih banyak menyediakan asam amino-asam amino esensial dan karenanya
disebut protein bermutu tinggi (Parman 2007, Winarno 2008).
4) Kadar abu
Bahan makanan terdiri atas 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya
terdiri atas unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik
atau kadar abu. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar,
tetapi zat anorganiknya tidak terbakar, karena itulah disebut sebagai abu
(Winarno 2008).
35
Kandungan mineral kangkung air segar, yaitu (1,09 ± 0,15)%. Nilai tersebut
tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Farida et al. (2004) dengan nilai kadar abu sebesar 1,14%. Mineral berupa besi
(Fe), mangan (Mn) dan seng (Zn) terdapat dalam jumlah yang besar, yaitu
masing-masing sebesar 0,9 mg, 0,42 mg dan 0,24 mg dalam 100 g kangkung
(Gusyana 2010). Ketiga logam tersebut merupakan logam kofaktor enzim
superoksida dismutase (SOD) dalam bentuk Fe-SOD, Mn-SOD dan Zn-SOD.
Fe-SOD terdapat dalam kloroplas, Mn-SOD dalam mitokondria dan peroksisom
dan Zn-SOD dalam kloroplas, sitoplasma dan di luar sel (ekstraselular)
(Winarsi 2007).
Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat atau
lingkungan hidup yang berbeda. Selain itu, masing-masing organisme memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral,
sehingga hal ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap nilai kadar abu pada
masing-masing bahan (Winarno 2008).
5) Kadar abu tidak larut asam
Abu tidak larut asam merupakan garam-garam klorida yang tidak larut
asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu
tidak larut asam menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam
yang tidak dapat larut asam pada suatu bahan. Kadar abu tidak larut asam juga
digunakan sebagai indikator kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk
(Basmal et al. 2003). Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan
bahwa kangkung air mengandung residu sebesar 0,10%. Hasil tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian Arifin et al. (2006) untuk kadar abu tidak larut
asam pada ekstrak etanol daun Eugenia cumini Merr., yaitu sebesar 0,13%.
Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%
yang dipersyaratkan Food Chemical Codex (1991) yang diacu
oleh Basmal et al. (2003) untuk produk kappa-karaginan food grade. Kadar abu
tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material abu yang tidak dapat
larut asam yang terdapat di perairan tempat kangkung air hidup, yaitu pasir,
lumpur, silika dan batu.
36
6) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk
dunia dan sumber kalori yang murah dibandingkan dengan protein dan lemak.
Karbohidrat berperan dalam metabolisme tumbuhan dan hewan. Karbohidrat
menghasilkan kalori sebanyak 4,2 kalori setiap 1 gram (Ketaren 2008).
Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain
(Winarno 2008).
Kadar karbohidrat (by difference) kangkung air, yaitu (6,02 ± 0,07)%.
Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Gusyana (2010), yaitu sebesar
5,84%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by defference ini merupakan
metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan secara kasar, serat kasar juga
dihitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008).
7) Serat kasar
Beberapa golongan karbohidrat menghasilkan serat-serat (diatery fiber)
yang berperan bagi pencernaan. Serat merupakan komponen dalam jaringan
tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan
usus kecil. Serat terdiri atas substansi yang kebanyakan di antaranya adalah
karbohidrat kompleks (Gunawan 2002; Winarno 2008).
Serat kasar kangkung air cukup tinggi, yaitu (1,04 ± 0,01)%. Nilai tersebut
tidak jauh berbeda dengan pengujian yang telah dilakukan
oleh Farida et al. (2004), yaitu kadar serat kasar pada kangkung air segar sebesar
1,80%. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Gusyana (2010),
yang menyatakan bahwa kadar serat kasar kangkung sebesar 2,00%. Serat kasar
yang tinggi diduga berasal dari dinding sel kangkung air. Dinding sel tersebut atas
beberapa jenis karbohidrat, yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, dan
nonkarbohidrat, yaitu polimer lignin. Oleh karena itu, diatery fiber pada
umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan
nabati pada umumnya banyak mengandung diatery fiber (Winarno 2008).
4.3 Ekstrak Komponen Bioaktif Kangkung Air
Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif
dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Tujuan dari proses ini adalah
37
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung
komponen-komponen bioaktif (Harborne 1987). Proses ekstraksi pada penelitian
ini meliputi proses pengeringan sampel, penghancuran sampel menjadi serbuk
halus, maserasi dalam pelarut dengan penggoyangan, penyaringan dan evaporasi
dengan rotary vacuum evaporator.
Sampel yang digunakan merupakan keseluruhan kangkung air
(daun, tangkai daun dan batang). Penelitian ini menggunakan tiga pelarut
yang berbeda tingkat kepolarannya. Pelarut non polar digunakan kloroform,
pelarut semipolar digunakan etil asetat dan pelarut polar digunakan adalah
metanol. Penggunaan ketiga pelarut ini bertujuan menentukan rendemen dan sifat
komponen bioaktif kangkung air pada tingkat kepolaran yang berbeda. Kangkung
air diekstrak dalam bentuk serbuk halus. Ukuran partikel yang kecil tersebut
diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin
banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan
memecah sel-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang
akan diekstrak dapat dengan cepat keluar dari bahan yang akan mempercepat
proses ekstraksi.
Metode ekstraksi yang digunakan penelitian ini adalah ekstraksi
tipe solvent extraction atau ekstraksi dengan menggunakan pelarut dengan metode
maserasi. Proses maserasi dibantu dengan pengadukan dimaksudkan untuk
memperbesar kemungkinan tumbukan antara bahan pelarut dengan senyawa
bioaktif yang dapat terlarut ke dalam pelarut tersebut. Proses maserasi ini
dilakukan selama 48 jam. Hal ini bertujuan memperbanyak senyawa-senyawa
bioaktif kangkung air yang terlarut dalam pelarut tersebut. Metode ini dipilih
karena cukup mudah diterapkan dan murah, pelarut yang digunakan tidak terlalu
banyak serta dapat memberikan hasil ekstrak yang baik dan selektif.
Metode ekstraksi tipe solvent extraxtion pada prinsipnya dibagi menjadi
3 tahap utama. Tahap awal, pelarut diasumsikan memiliki solubilitas yang cukup
akan merusak membran permukaan bahan dan melarutkan komponen bioaktif
yang bebas (tidak berikatan dengan komponen lain). Tahap kedua, pelarut akan
masuk ke dalam material sampel dan memutus matrix effect (komponen bioaktif
yang berikatan dengan komponen-komponen lain) sehingga komponen bioaktif
38
akan terbebas dan larut dalam pelarut. Tahap kedua ini juga membuat membran
menjadi lebih permeabel. Tahap akhir, komponen bioaktif yang terdapat
pada bagian terdalam bahan akan berdifusi secara perlahan karena membran
menjadi lebih bersifat permeabel (Beek 1999). Sebelum dilakukan proses
ekstraksi, sampel kangkung air dikeringkan terlebih dahulu selama 3 hari dan
dihancurkan menjadi serbuk yang halus yang berwarna hijau. Tujuan dari proses
pengeringan ini adalah mengurangi kadar air dalam bahan.
Air bebas yang berada dalam bahan mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia.
Bila sebagian air tipe ini dihilangkan, maka aktivitas air (aw) pada bahan akan
turun maksimal hingga 0,80 sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan
reaksi-reaksi kimia bersifat merusak, yaitu hidrolisis dan oksidasi asam lemak
dapat dihindari (Winarno 2008).
Proses pengeringan dapat membuat kangkung air menjadi lebih mudah
untuk dihancurkan, sehingga penepungan untuk menghasilkan serbuk halus
kangkung air menjadi lebih mudah. Ukuran sampel yang lebih kecil (serbuk
halus) diharapkan dapat memperluas kontak langsung antara permukaan bahan
yang akan diekstrak dengan pelarut yang digunakan, sehingga proses ekstraksi
komponen bioaktif dapat berjalan maksimal.
Kadar air yang berkurang dalam sampel juga dapat berguna dalam proses
evaporasi. Proses ekstraksi yang dilakukan pada sampel yang segar, air akan
berpindah dari bahan ke lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang cukup banyak.
Air yang memiliki titik didih daripada pelarut, akan sangat sukar dan lama untuk
dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu rendah
(sesuai dengan titik didih pelarut).
Pemanasan yang dilakukan menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 oC,
tekanan 1 atm (760 mmHg), dikhawatirkan akan merusak komponen bioaktif yang
memiliki sifat sebagai antioksidan karena panas. Penelitian ini menggunakan
sampel kering berupa serbuk halus dalam proses ekstraksi dan
alat rotary vacuum evaporator dalam proses pemekatan ekstrak. Sampel yang
kering akan menyumbangkan air dalam jumlah yang kecil pada larutan ekstrak.
39
Rotary vacuum evaporator bekerja berdasarkan prinsip diagram fase air,
yaitu ketika tekanan udara diturunkan, maka titik didih akan turun. Tekanan yang
digunakan adalah tekanan vacuum (500 mmHg), sehingga suhu ± 50 oC dapat
digunakan untuk menguapkan pelarut. Kondisi demikian merupakan kondisi yang
diinginkan. Hal ini karena pada saat kondisi tersebut lebih dari 95% kandungan
nutrisi, vitamin, ferment, dan komponen bioaktif lainnya dapat terselamatkan.
Pemanasan dengan suhu rendah ini dapat mengurangi terjadinya proses oksidasi
(Orsat dan Raghavan 2006). Proses evaporasi yang dilakukan pada penelitian ini
digunakan rotary vacuum evaporator dengan suhu 50 oC.
Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan proses ekstraksi bertingkat.
Ekstraksi bertingkat didefinisikan sebagai proses ekstraksi yang dilakukan secara
berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, semi polar dan pelarut polar
ataupun sebaliknya (Salamah et al. 2008). Pelarut yang dipilih dalam penelitian
ini, meliputi kloroform sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi
polar, dan metanol sebagai pelarut polar. Ketiga pelarut ini dipilih karena
memiliki titik didih yang lebih rendah daripada titik didih air, sehingga dapat
dengan mudah diuapkan saat proses vacuum evaporasi (500 mmHg, 50 oC).
Kloroform memiliki titik didih sebesar 61 oC, etil asetat dan metanol
masing-masing sebesar 77 oC dan 65 oC pada tekanan 760 mmHg. Pelarut etanol
tidak dipilih sebagai pelarut polar karena memiliki titik didih yang lebih tinggi
daripada metanol, yaitu 78 oC (Lehninger 1988).
Proses ekstraksi bertingkat memiliki kekurangan dalam hal rendemen
ekstrak yang dihasilkan. Rendemen ekstrak yang dihasilkan pada ekstraksi
bertingkat lebih kecil daripada dengan ekstraksi tunggal. Ekstraksi bertingkat
tetap digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini bertujuan menentukan
aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang terdapat pada kangkung air
berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi beritngkat ini diharapkan dapat
memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat
kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut dalam pelarut lain
yang bukan merupakan pelarutnya. Hal yaitu ini diduga akan terjadi pada proses
ekstraksi tunggal dengan metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang juga
dapat melarutkan komponen non polar dan semi polar di dalamnya.
40
Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari dengan melakukan proses
ekstraksi bertingkat yang diawali dengan ekstraksi menggunakan pelarut non
polar terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pelarut semi polar kemudian pelarut
polar. Proses ekstraksi (maserasi) pada penelitian ini dilakukan selama 48 jam.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rita et al. (2005) menunjukkan bahwa
proses ekstraksi yang dilakukan pada waktu yang berbeda menghasilkan
rendemen ekstraksi yang berbeda pula, tetapi hal ini terjadi pada waktu
30-90 menit. Berbeda dengan hasil penelitian Salamah et al. (2008), yang
menunjukkan bahwa lamanya waktu maserasi untuk 1, 2 dan 3 hari tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah rendemen ekstrak
yang dihasilkan.
4.2.1 Ekstrak kasar
Proses evaporasi terhadap filtrat kangkung air dengan ketiga bagian
kangkung dan pelarut masing-masing menghasilkan ekstrak kasar yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Bagian ekstrak kasar yang berbentuk pasta pada
daun kangkung air memiliki warna hijau yang lebih pekat dibandingkan tangkai
daun dan batang. Jenis pelarut yang digunakan tidak memberikan perbedaan
warna terhadap masing-masing bagian kangkung air. Warna yang terdapat
pada ekstrak kangkung air dipengaruhi oleh warna awal sampel ketika sebelum
diekstrak (serbuk halus). Hasil ekstrak kasar dapat dilihat Lampiran 5.
Ekstrak kasar menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran
yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda pula. Rendemen ekstrak
merupakan perbandingan bobot ekstrak kasar yang dihasilkan dengan bobot awal
yang digunakan. Nilai rendemen ekstrak dinyatakan dalam bentuk persen.
Rendemen ekstrak kasar kangkung air dari ketiga pelarut dapat dilihat
pada Gambar 9.
Ekstraksi dengan pelarut etil asetat memiliki rendemen yang paling tinggi
dibandingkan dengan kloroform dan metanol. Hasil tersebut terdapat
pada ketiga bagian kangkung air yang diekstrak. Rendemen ekstrak kasar dengan
pelarut kloroform memiliki rendemen yang paling kecil baik pada daun, tangkai
daun maupun batang. Komponen bioaktif kangkung air diduga lebih banyak yang
41
bersifat semipolar yang ditunjukkan oleh besarnya rendemen ekstrak kasar pada
pelarut etil asetat dibandingkan dengan yang bersifat polar maupun non polar.
Daun, tangkai daun dan batang yang diekstrak memiliki nilai rendemen
yang berbeda-beda. Total ekstrak kasar daun, tangkai daun dan batang kangkung
air dapat dilihat pada Gambar 10. Daun kangkung air memiliki rendemen ekstrak
yang paling tinggi, kemudian ekstrak batang dan yang terendah adalah ekstrak
tangkai daun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daun memiliki komponen
bioaktif yang dapat larut dalam ketiga jenis pelarut memiliki jumlah yang besar.
Gambar 9 Diagram batang rendemen ekstrak kasar kangkung air: ( ) kloroform;
( ) etil asetat; ( ) metanol
Gambar 10 Grafik total rendemen ekstrak kasar kangkung air
42
Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor,
yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta
perbandingan jumlah pelarut dan sampel (Harborne 1987; Darusman et al. 1995;
Rita et al. 2009). Hasil penelitian Salamah et al. (2008) menunjukkan
bahwa maserasi dengan jenis pelarut berbeda akan menghasilkan rendemen
ekstrak yang berbeda pula.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang bersifat
non polar, semi polar dan polar terdapat dalam jumlah yang berbeda. Hal ini
dikarenakan pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang
berbeda pula bergantung tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediaannya dalam
bahan yang diekstrak.
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar
Ekstrak kasar yang diperoleh diuji komponen bioaktifnya dengan
metode fitokimia. Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen
bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga
terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional,
yaitu protein dan peptida. Uji fitokimia tersebut meliputi pengujian pada
kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit
primer, sedangkan metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid, flavonoid,
saponin dan fenol hirdokuinon (Harborne 1987).
Ekstrak kasar daun kangkung air terdeteksi beberapa senyawa fitokimia,
yaitu alkaloid, steroid, fenol hidrokuinon dan karbohidrat. Hasil uji fitokimia
ekstrak kasar kangkung air dapat dilihat pada Tabel 4. Senyawa alkaloid
terdeteksi pada pereaksi Dragendorff pada ekstrak kloroform dan etil asetat,
sedangkan dengan perekasi Wagner, senyawa alkaloid hanya terdeteksi
pada ekstrak kloroform. Senyawa steroid dan karbohidrat terdeteksi
pada masing-masing ekstrak yang diuji, sedangkan fenol hidrokuinon hanya
terdeteksi pada ekstrak metanol.
Ekstrak kasar tangkai daun kangkung air terdeteksi senyawa alkaloid,
steroid, fenol hidrokuinon dan karbohidrat. Senyawa alkaloid dengan pereaksi
Dragendorff terdeteksi pada ekstrak kloroform dan etil asetat, sedangkan dengan
43
pereaksi Wagner terdeteksi pada semua ekstrak yang diuji. Senyawa steroid dan
karbohidrat terdeteksi pada masing-masing ekstrak tangkai daun yang diuji,
sedangkan senyawa fenol hidrokuinon terdeteksi pada ekstrak etil asestat dan
metanol tangkai daun.
Tabel 4 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar kangkung air
Uji fitokimia EKD EKTD EKB
Standar (warna) Kl EA Me Kl EA Me Kl EA Me
Meyer - - - - - - - - - Endapan putih kekuningan Dragendorff - + + - + + - - - Endapan merah sampai jinggaWagner - - + - + + - - - Endapan cokelat Steroid + + + + + + + + + Perubahan merah menjadi biru/hijau
Flavonoid - - - - - - - - - Lapisan amil alkohol berwarna merah/ kuning/hijau
Fenol hidrokuinon - - ++ - + + - - + Warna hijau hingga hijau biru Saponin - - - - - - - - - Terbentuk busa Molisch ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ Warna ungu di antara dua lapisan
Benedict - - - - - - - - - Warna hijau/kuning endapan/merah bata
Biuret - - - - - - - - - Warna ungu Ninhidrin - - - - - - - - - Warna biru
Keterangan: (EKD) ekstrak kasar daun; (EKTD) ekstrak kasar tangkai daun; (EKB) ekstrak kasar batang; (Kl) Kloroform; (EA) etil asetat; (Me) metanol; (++) kuat; (+) lemah; (-) tidak terdeteksi
Ekstrak kasar batang kangkung air memberikan hasil yang sedikit berbeda
dengan ekstrak daun dan tangkai daun. Ekstrak batang kangkung air tidak
terdeteksi senyawa alkaloid. Senyawa golongan steroid dan karbohidrat terdeteksi
pada masing-masing ekstrak batang kangkung air, sedangkan senyawa
fenol hidrokuinon hanya terdeteksi pada ekstrak metanol batang kangkung air.
1) Alkaloid
Alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom
nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis, yaitu
cincin heterosiklik (Harborne 1987). Komponen alkaloid dtemukan di daun dan
tangkai daun masing-masing ekstrak baik pada ekstrak kloroform, etil asetat,
maupun metanol. Senyawa golongan alkaloid tidak ditemukan pada ekstrak kasar
batang kangkung air. Alkaloid umumnya merupakan senyawa yang larut dalam
pelarut non polar, sedangkan beberapa kelompok pseudoalkaloid dan
protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Hasil pengujian ditemukan
44
senyawa alkaloid baik pada ekstrak kloroform (non polar) dan metanol (polar)
serta etil asestat yang bersifat semi polar.
Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah
kalium-alkaloid. Pada pembuatan pereaksi Wagner, iodin berekasi dengan ion I-
dari kalium iodida menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji Wagner,
ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Hasil positif
pada uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda
sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada pembuatan
pereaksi Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam asam asetat agar tidak terjadi
reaksi hidrolisis karena garam-garam bismuth mudah terdidrolisis membentuk ion
bismutil (BiO+). Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan tersebut
ditambah asam sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Ion Bi3+ dari
bismuth nitrat bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut
(III) iodida yang kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk
kalium tetraiodobismutat. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff, nitrogen
digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion K+
yang merupakan ion logam (Marliana et al. 2005).
Alkaloid banyak ditemukan pada pelarut metanol (polar) dan tidak
ditemukan pada pelarut kloroform (non polar). Hal ini karena golongan senyawa
alkaloid yang berpotensi sebagai antioksidan merupakan senyawa-senyawa polar,
yang akan terekstraksi pada pelarut metanol yang bersifat polar (Suratmo 2009).
Senyawa alkaloid tidak ditemukan pada ekstrak kasar batang kangkung air.
Hal ini diduga karena pada batang kangkung air hanya terdapat pseudoalkaloid
atau protoalkaloid, sehingga akan larut bersama air di habitatnya.
Batang kangkung merupakan bagian yang menjalar dan bersentuhan langusng
dengan air. Alkaloid yang ditemukan pada ekstrak kangkung air ini dapat
digolongkan sebagai senyawa metabolit sekunder dari kangkung air. Senyawa
alkaloid tersebar sekitar 15-20% pada tumbuhan. Jumlah tersebut tergantung dari
habitat tumbuhan yang menyebabkan adanya metabolit sekunder tersebut.
45
Alkaloid ada yang bersifat racun dan ada pula memiliki aktivitas fisiologis
pada kesehatan manusia, sehingga dapat digunakan secara luas dalam pengobatan
(Harborne 1987). Alkaloid pada ekstrak kangkung air ini juga memiliki aktivitas
antioksidan. Hal ini didukung oleh penelitian Porto et al. (1990) pada daun
Psycotria brachyceras yaitu brachycerene yang memiliki aktivitas antioksidan
dan juga berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
Penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) juga mendukung hasil
penelitian ini. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa senyawa yang
mempunyai aktivitas antioksidan pada Callyspongia sp. adalah senyawa golongan
alkaloid.
2) Steroid/triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang tersusun atas
6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon
asiklin). Senyawa tersebut tidak berwarna, sering mempunyai titik lebur tinggi
dan umumnya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif.
Triterpenoid dapat dibagi menjadi beberapa kelompok senyawa, yaitu triterpen
sebenarnya, steroid dan glikosida jantung (cardiac glycoside) (Harborne 1987).
Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Steroid berupa padatan
kristal yang berwarna putih dan dapat berbentuk jarum kecil, lembaran,
lempengan atau partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan
dalam kristalisasi. Senyawa steroid pada mulanya hanya dipertimbangkan hanya
sebagai substansi pada hewan saja, akan tetapi akhir-akhir ini juga ditemukan
pada tumbuhan (Harborne 1987).
Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa komponen steroid
(triterpenoid) terdeteksi pada ekstrak masing-masing bagian kangkung air.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) yang menyatakan bahwa
steroid juga ditemukan pada tumbuhan. Senyawa tersebut terdeteksi
pada masing-masing pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda.
Prekursor pembentukan steroid/triterpenoid bersifat non polar, yaitu kolesterol
(Harborne 1987). Metanol merupakan pelarut polar dapat mengekstrak komponen
lainnya yang bersifat non polar ataupun semi polar. Steroid yang terdeteksi pada
ekstrak kangkung air diduga lebih berfungsi efek peningkat stamina tubuh
46
(aprodisiaka) dan anti-inflamasi dibandingkan sebagai antioksidan. Dugaan
tersebut didukung oleh hasil penelitian Juniarti et al. (2009) bahwa hasil ekstrak
daun saga (Arbus precatorius L.) yang mengandung senyawa steroid tidak
memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas anti-inflamasi ditunjukkan oleh hasil
penelitian Silva et al. (2002) bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun
Agave attenuate memiliki aktivitas anti-inflamasi.
3) Fenol hidrokuinon
Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan
mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau
dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar. Selain itu,
juga terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik.
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, yaitu
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil
yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987).
Hasil pengujian fitokimia diperoleh senyawa fenol pada ekstrak kangkung air.
Hasil tersebut dapat dideteksi pada ekstrak metanol pada masing-masing ekstrak
bagian-bagian kangkung air (daun, tangkai daun, dan batang) dan juga pada
ektraks etil asetat pada tangkai daun.
Senyawa fenol merupakan senyawa yang dapat larut dalam senyawa polar
dan sedikit polar. Senyawa fenol yang terdapat pada ekstrak kangkung air
memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Escudero et al. (2008) bahwa komponen polifenol yang diisolasi dari
daun Piper aduncum L. memiliki aktivitas antioksidan dan menurunkan kadar
hidrogen peroksida secara in-vivo.
4) Karbohidrat (Uji Molisch)
Uji Molisch digunakan untuk mengidentifikasi suatu bahan yang
mengandung karbohidrat. Pereaksi Molisch berdasarkan pembentukan turunan
dari karbohidrat yang didehidrasi oleh asam pekat akan membentuk α-naftol yang
menjadikan persenyawaan berwarna (Lehninger 1988; Winarno 2008).
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman
dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbondioksida (CO2)
47
yang berasal dari udara dan air dari tanah. Karbohidrat berperan
dalam penyimpanan energi (pati), transportasi energi (sukrosa) serta pembangun
dinding sel (selolusa) (Harborne 1987).
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kangkung air positif
mengandung karbohidrat. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian
Vasu et al.(2009) dan Sivarman dan Muralidaran (2010) bahwa Ipomoea aquatica
mengandung karbohidrat. Hasil pengujian tersebut mendukung hasil analisis
proksimat karbohidrat kangkung air, yaitu sebesar 6,02%. Karbohidrat banyak
terdapat dalam bahan nabati, baik berupa sederhana, heksosa, pentose maupun
karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi, yaitu pati, pektin, selulosa dan
lignin.
Karbohidrat oleh asam anorganik pekat akan dihidrolisis menjadi
monosakarida. Dehidrasi monosakarida jenis pentose oleh asam sulfat pekat
menjadi furfural dan golongan heksosa menghasilkan hidroksi-metilfurfural.
Pereaksi Molisch yang terdiri atas α-naftol dalam alkohol akan bereaksi dengan
furfural membentuk senyawa kompleks berwarna ungu (Winarno 2008).
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,
perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing
(Harborne 1987). Karbohidrat berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan
protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme
lemak dan protein dalam tubuh (Winarno 2008).
4.3 Aktivitas Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa
ini memiliki berat molekul yang kecil, tetapi mampu menghambat
berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Kerusakan sel
dapat dihambat (Winarsi 2007). Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu
bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas
antioksidan pada ekstrak kangkung air yang memiliki tingkat kepolaran berbeda
dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH.
48
Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efektivitas kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan
pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas.
Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH).
Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan
larut dalam pelarut polar yaitu metanol dan etanol (Molyneux 2004). Sifat stabil
tersebut dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir
dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana
radikal bebas lain. Delokasilisasi ini akan memberikan warna gelap dengan
absorbansi maksimum pada panjang gelombang 517 nm dalam larutan metanol
ataupun etanol (Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006).
Metode uji aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas DPPH dipilih
karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit
sampel. Metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal
DPPH (Molyneux 2004) dan memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non
polar di dalamnya, mengingat ekstrak kangkung air yang diuji memiliki tingkat
kepolaran yang berbeda-beda. Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas
antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya
pada radikal bebas DPPH. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna
ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Perubahan warna tesebut terjadi
pada larutan BHT yang diberi larutan DPPH 1mM dan diinkubasi selama
30 menit pada suhu 37 oC. Perubahan warna juga terjadi pada seluruh ekstrak
kangkung air yang diuji. Perubahan warna yang terjadi pada ekstrak tersebut
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan pada kangkung air.
Persen inhibisi pada peredaman radikal bebas merupakan kemampuan suatu
bahan dalam menghambat radikal bebas yang berhubungan dengan konsentrasi
bahan yang diuji, sedangkan IC50 merupakan parameter yang sering digunakan
dalam menyatakan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 dapat didefinisikan
sebagai besarnya konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas,
yaitu menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50
yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan
49
yang diuji semakin besar (Molyneux 2004). Nilai IC50 BHT diperoleh
sebesar 4,91 ppm. Antioksidan BHT merupakan antioksidan yang memiliki
aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi Blois (1958)
diacu dalam Molyneux (2004). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat
pada Lampiran 6.
Aktivitas antioksidan ekstrak kasar kangkung diperoleh hasil yang tinggi
pada konsentrasi 800 ppm dan rendah pada 200 ppm dengan nilai IC50
yang dihasilkan masing-masing ekstrak (Lampiran 6). Konsentrasi ekstrak
yang ditambahkan mempengaruhi kemampuan ekstrak dalam merendam radikal
bebas semakin besar pula atau dapat dikatakan bahwa aktivitas antioskidan bahan
tersebut semakin besar yang ditandai dengan persen inhibisinya yang semakin
besar. Hasil ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh
Hanani et al. (2005) yang menyatakan bahwa persentase penghambatan
(persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan ikut meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi. Persen inhibisi tertinggi terjadi pada ekstrak
kasar daun kangkung air dan terendah pada ekstrak kasar batang kangkung air.
Aktivitas antioksidan pada daun kangkung air lebih tinggi dibandingkan tangkai
daun dan batang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa bagian tumbuhan yang memiliki aktivitas komponen bioaktif tinggi
terletak pada bagian daun dan pucuknya yang masih muda (Djukri 2005).
Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar masing-masing bagian kangkung air
(daun, tangkai daun dan batang) pada tingkat kepolaran yang berbeda, dapat lihat
pada Gambar 11. Ekstrak metanol kangkung air memiliki rata-rata nilai IC50
paling kecil pada seluruh ekstrak kangkung air, yaitu pada ekstrak kasar daun,
tangkai daun dan batang masing-masing sebesar 290,95 ppm, 367,81 ppm dan
488,96 ppm. Nilai rata-rata yang kecil tersebut menginterpretasikan tingginya
aktivitas antioksidan pada ekstrak tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC50, maka aktivitas antioksidannya
semakin tinggi (Molyneux 2004). Ekstrak kasar kangkung air dengan pelarut
metanol memiliki nilai aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan ekstrak kasar
dengan pelarut kloroform maupun etil asetat. Pelarut yang digunakan
untuk melarutkan ekstrak dari kristal DPPH pada penelitian ini adalah metanol
50
yang bersifat polar, sehingga diduga komponen yang bersifat non polar pada
ekstrak ekstrak kloroform (non polar) dan etil asetat (semi polar) tidak
sepenuhnya terlarut dalam pelarut ini, sehingga perlu dilakukan pengujian
aktivitas antioksidan menggunakan metode pengujian lainnya yang lebih bersifat
universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar dan non
polar. Metode uji DPPH merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan yang
paling cocok bagi komponen bioaktif yang bersifat polar. Kristal DPPH hanya
dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut metanol maupun
etanol (Molyneux 2004).
Gambar 11 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar kangkung air: ( ) kloroform;
( ) etil asetat; ( ) metanol
Tingginya aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol diduga karena
pada ekstrak tersebut terdapat komponen fenol hidrokuinon yang terdeteksi
melalui uji fitokimia. Senyawa fenol yang terdapat pada ekstrak kangkung air
memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Hal ini juga didukung oleh hasil
penelitian Escudero et al. (2008) bahwa komponen polifenol yang diisolasi
dari daun Piper aduncum L. memiliki aktivitas antioksidan dan menurunkan kadar
hidrogen peroksida secara in-vivo. Kehadiran senyawa golongan hidrokuinon
pada ekstrak metanol juga diduga memperkuat aktivitas antioksidan
pada ekstrak tersebut. Senyawa hidrokuinon berperan sebagai antioksidan
51
dengan mendonorkan atom hidrogen (H) pada senyawa tersebut (Winarno 2008),
kemudian terdeteksi pada pengujian dengan metode DPPH. Aktivitas antioksidan
yang terdapat pada kangkung air juga dapat disebabkan oleh adanya antioksidan
yang bersifat enzimatis yang tidak dapat terdeteksi dengan metode DPPH,
yaitu superoksida dismutase (SOD). Jenis SOD tersebut, yaitu Fe-SOD dan Zn-
SOD yang terdapat pada kloroplas serta Mn-SOD yang terdapat pada mitokondria
dan peroksisom (Winarsi 2007).
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila memiliki
nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,
sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila
nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 diacu dalam Molyneux
2004). Menurut klasifikasi ini, semua ekstrak kasar kangkung air yang diuji masih
memiliki aktivitas antioksidan yang lemah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai
IC50 pada ekstrak tersebut lebih dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm dengan IC50 paling
efektif pada ekstrak daun kangkung air dengan pelarut metanol, yaitu 290,95 ppm.
Aktivitas antioksidan yang lemah tersebut karena ekstrak kangkung air yang
diuji masih berupa ekstrak kasar (crude). Akan tetapi, hasil jauh lebih efektif
dibandingkan dengan ekstrak kasar pada umumnya, misalnya pada ekstrak kasar
daun saga (Abrus precotarius L.) yang tidak aktif sebagai antioksidan
(Juniarti et al. 2009) dan pada penelitian yang dilakukan oleh Andriyanti (2009),
yaitu IC50 paling efektik pada ekstrak kasar lintah laut (Discodoris sp.)
yang diekstrak dengan metanol sebesar 1527,37 ppm. Nilai IC50 yang diperoleh
pada ekstrak kasar kangkung air tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh
oleh Suratmo (2009), yaitu nilai IC50 paling efektif pada ekstrak daun sirih merah
(Piper crocatum) yang diekstrak menggunakan pelarut n-heksana
sebesar 267,82 ppm. Ekstrak kasar ini masih mengandung komponen yang bukan
merupakan senyawa antioksidan. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan
rendemen ekstrak yang dihasilkan, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan, sehingga perlu dilakukan permurnian terhadap ekstrak kasar tersebut.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni, sehingga ketika
dilakukan pengujian antioksidan diharapkan mampu meningkatkan aktivitas
antioksidan pada ekstrak yang telah dimurnikan tersebut.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk) yang berasal dari
Desa Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor
memiliki rendemen daun (34,34%), tangkai daun (19,07%) dan batang (46,59%)
yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Kangkung
air dalam bentuk segar mengandung air yang tinggi (90,00%), lemak rendah
(0,55%), protein rendah (2,35%), karbohidrat (6,02%), abu (1,09%) dan abu tidak
larut asam (0,10%).
Ekstrak kasar kangkung air terdeteksi mengandung beberapa komponen
bioaktif, yaitu alkaloid, steroid, fenol hidrokuinon dan karbohidrat. Komponen-
komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis yang positif
bagi tubuh manusia. Ekstrak kasar kangkung air memiliki aktivitas antioksidan
yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik BHT
dengan metode DPPH, namun nilai ini tergolong tinggi jika dibandingkan
yang diuji dengan ekstrak kasar biota perairan pada umumnya, yaitu
dengan IC50 paling efektif sebesar 290,95 ppm. Kangkung air dapat menjadi salah
satu alternatif untuk memperoleh bahan baku antioksidan alami dan
produk-produk lain yang dapat bermanfaat bagi kesehatan setelah
proses pemurnian ekstrak kasar.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak kasar, identifikasi senyawa-senyawa
bioaktif lainnya dalam ekstrak kangkung air menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC), pengujian aktivitas antioksidan ekstrak murni
tersebut, penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada ekstrak murni
dengan spektrum UV, IR dan NMR, ekstraksi komponen bioaktif untuk pengujian
aktivitas antioksidan dengan metode DPPH sebaiknya menggunakan pelarut
polar, yaitu metanol.
DAFTAR PUSTAKA Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Seribu. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Arifin H, Anggraini N, Handayani D, Rasyid R. 2006. Standarisasi ekstrak etanol
daun Eugenia cumini Merr. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi 11(2):88-93.
Austin DF. 2007. Water spinach (Ipomoea aquatica,Convolvulacea) a food gone
wild. Ethnobotany Research and Applications 5:123-146. Basmal J, Syarifudin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potassium
hidroksida terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(5):95-103.
Beek TAV. 1999. Modern Methods of Secondary Product Isolation and Analysis.
Di dalam: Walton NJ, Brown DE, editor. Chemical from Plants: Prespectives on Plant Secondary Products. London: Imperial College Press. hlm 91-186.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. The Kering dalam Kemasan,
SNI.01-3836-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith Editor. Food Additive User’s. Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Naskah Seminar:
Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Buletin Kimia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[Deptan] Depatemen Pertanian Republik Indonesia. 2008. Produksi tanaman
sayuran di Indonesia periode 2003-2007. [terhubung berkala]. http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content& task=view&id=124&Itemid=2. [8 Des 2009].
Dibiyantoro ALH. 1996. Rampai-rampai Tentang Kangkung. Bandung: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Puslitbang Hortikultura. Balitbang Pertanian.
54
Djukri. 2005. Pertumbuhan dan produksi kangkung pada berbagai dosis hara makro dan mikro. Environmental 5(1):34-37.
Escudero MR, Escudero FR, Remsberg CM, Takemoto JK, Davies NM, Yanez
JA. 2008. Identification of polyphenols and antioxidant capacity of Piper aduncum. The Open Bioactive Compounds Journal 1:18-21.
Farida WS, Nurjaeni, Mutia R, Diapari D. 2004. Kemampuan cerna kuskus
beruang (Ailurops ursinus) terhadap pakan alternatif di penangkaran. Biosmart 6(1):65-70.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel
Dekker, Inc . Gunawan A. 2002. Kombinasi Makanan Serasi. Jakarta: Gramedia. Gusyana D. 2010. Kangkung bukan sayuran penyebab kantuk. [terhubung
berkala]. http://netsains.com/2010/05/kangkung-bukan-sayuran-penyebab-kantuk/. [10 Okt 2010].
Hamburger M, Hostettmaun K. 1991. Bioactivity in plants: The link between
phytochemistry and medicine. Phytochemical 30(12):3864-3874. Hanani E, Mun’im B, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callispongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):127-133.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke-2. Padmawinata K, Soediro I,
penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal
bebas pada lanjut usia. MIPA 14(1):52-60. Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT sebagai antioksidan minyak sawit pada
perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8. Hernani, Raharjo M. 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar
Swadya. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation
of Natutal Extracts. London: Chapman and Hall. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl-2-picrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrusprecatorius L.). Makara Sains 13(1):50-54.
55
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.
Khusniya T. 2004. Penapisan awal senyawa antibakteri dan antioksidan dari kulit
batang sentigi (Pemphis acidula). [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Kusumawati R, Tazwir, Wawasto A. 2008. Pengaruh rendemen dalam asam
klorida terhadap kualitas gelatin tulang kakap merah (Lutjanus sp.). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3(1):63-68.
Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenil propanoida dan alkaloida. [makalah].
Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Marliana SD, Suryanti V, Suyono. 2005. Skrining fitokimia dan analisis
kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam (Sechium edule Jacq. Swartz) dalam ekstrak etanol. Biofarmasi 3(1):26-31.
Molyneux P. 2004.The use of the stable free radikal diphenylpicrylhydrazyl
(DPPH) for estimating antioxidant activity. Journal Science of Technology 26(2):211-219.
Orsat V, Raghavan GSV. 2006. Dehydration Technologies to Retain Bioactive
Components. Di dalam: Shi J, editor. Functional Food Ingredients and Nutraceuticals: Processing Technologies. Boca Raton: CRC Press. hlm 173-191.
Parman S. 2007. Kandungan protein dan abu tanaman alfafa (Medicago sativa L).
Bioma 9(2):38-44. Pratt D.E. 1992. Natural Antioxidants from Plant Material. Di dalam: M.T.
Huang, C.T. Ho, dan Lee CY. Editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health. American Society. Washington DC.
Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive Compounds Journal 2:29-36.
Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari
daun simpur (Dilleniaindica) menggunakan metode ekstraksi tekanan tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI 2009. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. Bandung, 19-20 Oktober 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8.
56
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants.
Rukmana R. 1994. Bertanam Kangkung. Yogyakarta: Kanisius. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen
bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132.
Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Silva BP, Sousa AC, Silva GM, Mendes TP, Parente JP. 2002. A new bioactive
steroidal saponin from Agave attenuata. Zeitschrift für Naturforschung 57C:423-428.
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung. Sivaraman D, Muralidaran P. 2010. Nootropic effect of Ipomoea aquatica Forsk
in rat hippocampus. International Journal of Pharma Technology Research 2(1):475-579.
Suratman, Priyanto D, Setyawan AD. 2000. Analisis keragaman genus Ipomoea
berdasarkan karakter morfologi. Biodiversitas 1(2):72-79. Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai
antioksidan. [terhubung berkala]. http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub /PDF%20FILES/ BSS_205_1.pdf. [28 Sept 2010].
Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality.
Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor. Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press. hlm 229-251.
Vasu K, Goud JV, Suryam A, Charya MAS. 2009. Biomolecular and
phytochemical analyses of three aquatic angiosperms. African Journal of Microbiology Research 3(8):418-421.
Vymazal J, Kropfelova L. 2008. Wastewater treatment in constructed wetlands
with horizontal sub-surface flow. Environmental Pollution 14:135-136. Wang KS, Huang LC, Lee HS, Chen PY, Chang SH. 2008. Phytoextraction of
cadmium by Ipomoea aquatica (water spinach) in hydroponic solution: Effects of cadmium speciation. Chemosphere 72:666-672.
57
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998.
Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
59
Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel kangkung air
Lampiran 2 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya
a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr DPPH = 394 g/mol)
Konsentrasi =
0,001 M =
berat DPPH =
DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml
Stok BHT 250 ppm =
= 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
• BHT 2 ppm =
=
=
0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• BHT 4 ppm =
=
=
0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• BHT 6 ppm =
=
60
=
0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• BHT 8 ppm =
=
=
0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml
Stok ekstrak 1000 ppm =
= 50 mg = 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
• Ekstrak 200 ppm =
=
=
2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• Ekstrak 400 ppm =
=
=
4 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• Ekstrak 600 ppm =
=
=
6 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
• Ekstrak 800 ppm =
=
=
8 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
61
Lampiran 3 Perhitungan rendemen kangkung air segar
Ulangan 1
Berat total : 1438 gram Berat tangkai daun : 268 gram
Berat daun : 498 gram Berat batang : 672 gram
a. % Rendemen daun =
b. % Rendemen tangkai daun =
c. % Rendemen batang =
Ulangan 2
Berat total : 1630 gram Berat tangkai daun : 318 gram
Berat daun : 555 gram Berat batang : 757 gram
a. % Rendemen daun =
b. % Rendemen tangkai daun =
c. % Rendemen batang =
Rata-rata rendemen kangkung air segar
a. % Rendemen daun =
b. % Rendemen tangkai daun =
c. % Rendemen batang =
Lampiran 4 Perhitungan hasil uji proksimat
a. Kadar air
% Kadar air U1 =
% Kadar air U2 =
% Kadar air rata-rata =
b. Kadar lemak
% Kadar lemak U1 =
% Kadar lemak U2 =
% Kadar lemak rata-rata =
62
c. Kadar protein
% Kadar protein U1 =
% Kadar protein U2 =
% Kadar protein rata-rata =
d. Kadar abu
% Kadar abu U1 =
% Kadar abu U2 =
% Kadar abu rata-rata =
e. Kadar abu tidak laru tasam
% Kadar abu tidak larut asam U1 =
% Kadar abu tidak larut asam U2 =
% Kadar abu tidak larut asam rata-rata =
f. Kadar karbohidrat (KH) (by difference)
% Kadar KH U1 = 100% - (89,96 + 0,98 + 2,55 + 0,54)% = 5,97%
% Kadar KH U1 = 100% - (90,03 + 1,19 + 2,15 + 0,56)% = 6,07%
% Kadar karbohidrat rata-rata =
Lampiran 5 Ekstrak kasar kangkung air
(a) Ekstrak kloroform (b) Ekstrak etil asetat
(c) Ekstrak metanol
63
Lampiran 6 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50
1) Persen inhibisi dan IC50 pada BHT
Sampel Konsentrasi (ppm) A % inhibisi Persamaan garis IC50 (ppm)
Blanko 0 1,052
4,91 BHT
2 0,920 12,55
y = 14,32x – 20,34 4 0,803 23,67 6 0,217 79,37 8 0,111 89,45
1) Persen inhibisi BHT 2 ppm =
BHT 4 ppm =
BHT 6 ppm =
BHT 8 ppm =
2) IC50 y = 14,32x – 20,34 50 = 14,32x – 20,34 70,34 = 14,32x x = 4,91 ppm IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm.
2) Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak kloroform kangkung air
Ulangan 1
Konsentrasi (ppm) Ekstrak Kloroform Kangkung
Daun Tangkai daun Batang A % inh A % inh A % inh
Blanko (A) 0,768 200 0,590 23,12 0,597 22,23 0,591 23,00 400 0,514 33,01 0,538 29,98 0,530 30,93 600 0,469 38,89 0,492 35,89 0,473 38,45 800 0,407 47,02 0,407 47,05 0,412 46,32
Ulangan 2
Konsentrasi (ppm) Ekstrak Kloroform Kangkung
Daun Tangkai daun Batang A % inh A % inh A % inh
Blanko (A) 0,755 200 0,560 25,83 0,568 24,79 0,562 25,62 400 0,496 34,30 0,512 32,13 0,501 33,68 600 0,442 41,43 0,466 38,22 0,452 40,08 800 0,388 48,55 0,380 49,69 0,378 49,90
64
Rata-rata persen inhibisi ekstrak kloroform kangkung air
Konsentrasi (ppm) Ekstrak Kloroform Kangkung
Daun TangkaiDaun Batang % inh % inh % inh
200 24,47 24,31 23,51 400 33,65 32,30 31,05 600 40,16 39,27 37,06 800 47,79 48,11 48,37
Persamaan garis y = 0,0382 + 17,4 y = 0,0392 + 16,405 y = 0,0403 + 14,85 IC50 853,40 ppm 857,02 ppm 872,21 ppm
IC50 ekstrak kloroform
1) ekstrak daun y = 0,0382x + 17,4 50 = 0,0382x + 17,4 32,6 = 0,0382x x = 853,40 ppm IC50 untuk ekstrak kloroform daun kangkung adalah 853,40 ppm.
2) ekstrak tangkai daun y = 0,0392x + 16,405 50 = 0,0392x + 16,405 33,595 = 0,0392x x = 857,02 ppm IC50 untuk ekstrak kloroform tangkai daun kangkung adalah 857,02 ppm.
3) ekstrak batang y = 0,0403x + 14,85 50 = 0,0403x + 14,85 35,15 = 0,0403x x = 872,21 ppm IC50 untuk ekstrak kloroform batang kangkung adalah 872,21 ppm.
3) Persen inhibisidan IC50 pada ekstrak etil asetat kangkung air
Ulangan 1
Konsentrasi (ppm)
Ekstrak Etil Asetat Kangkung Daun Tangkai daun Batang
A % inh A % inh A % inh Blanko (A) 0,836
200 0,542 35,14 0,567 32,20 0,545 34,78 400 0,502 39,90 0,535 35,98 0,517 38,12 600 0,433 48,23 0,396 52,61 0,502 39,95 800 0,337 59,70 0,362 56,68 0,337 59,67
65
Ulangan 2
Konsentrasi (ppm)
Ekstrak Etil Asetat Kangkung Daun Tangkai daun Batang
A % inh A % inh A % inh Blanko (A) 0.812
200 0.505 37.81 0.535 34.09 0.513 36.78 400 0.477 41.22 0.501 38.33 0.487 40.08 600 0.395 51.34 0.367 54.75 0.386 52.48 800 0.319 60.74 0.330 59.40 0.323 60.23
Rata-rata persen inhibisi ekstrak etil asetat kangkung air
Konsentrasi (ppm) Ekstrak Etil Asetat Kangkung
Daun Tangkai daun Batang % inh % inh % inh
200 36,47 33,15 35,78 400 40,56 37,15 39,10 600 49,79 53,68 46,21 800 60,22 58,04 59,95
Persamaan garis y = 0,0402 + 26,64 y = 0,0456 + 22,705 y = 0,0398 + 25,355 IC50 581,09 ppm 598,57 ppm 619,22 ppm
IC50 ekstrak etil asetat
1) ekstrak daun y = 0,0402x + 26,64 50 = 0,0402x + 26,64 23,36 = 0,0402x x = 581,09 ppm IC50 untuk ekstrak etil asetat daun kangkung adalah 581,09 ppm.
2) ekstrak tangkai daun
y = 0,0456x + 22,705 50 = 0,0456x + 22,705 27,295 = 0,0456x x = 598,57 ppm IC50 untuk ekstrak etil asetat tangkai daun kangkung adalah 598,57 ppm.
3) ekstrak batang y = 0,0398x + 25,355 50 = 0,0398x + 25,355 24,645 = 0,0398x x = 619,22 ppm IC50 untuk ekstrak metanol batang kangkung adalah 619,22 ppm.
66
4) Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak metanol kangkung air
Ulangan 1
Konsentrasi (ppm)
Ekstrak Metanol Kangkung Daun Tangkai daun Batang
A % inh A % inh A % inh Blanko (A) 0,939
200 0,519 44,75 0,593 36,89 0,562 40,10 400 0,442 52,89 0,500 46,78 0,442 52,98 600 0,365 61,09 0,435 53,65 0,373 60,30 800 0,354 62,34 0,374 60,12 0,339 63,93
Ulangan 2
Konsentrasi (ppm)
Ekstrak Metanol Kangkung Daun Tangkai daun Batang
A % inh A % inh A % inh Blanko (A) 0,968
200 0,515 46,80 0,582 39,88 0,562 41,94 400 0,426 55,99 0,510 47,31 0,434 55,17 600 0,358 63,02 0,428 55,79 0,378 60,95 800 0,314 67,56 0,360 62,81 0,328 66,12
Rata-rata persen inhibisi ekstrak metanol kangkung air
Konsentrasi (ppm) Ekstrak Metanol Kangkung
Daun Tangkai daun Batang % inh % inh % inh
200 45,77 41,02 38,38 400 54,44 54,07 47,05 600 62,05 60,63 54,72 800 64,95 65,02 61,46
Persamaan garis y = 0,0326x + 40,515 y = 0,0393x + 35,545 y = 0,0385x + 31,175 IC50 290, 95 ppm 367,81 ppm 488,96 ppm
IC50 ekstrak metanol
1) ekstrak daun y = 0,0326x + 40,515 50 = 0,0326x + 40,515 9,485 = 0,0326x x = 290,95 ppm IC50 untuk ekstrak metanol daun kangkung adalah 290,95 ppm.
67
2) ekstrak tangkai daun y = 0,0393x + 35,545 50 = 0,0393x + 35,545 14,455 = 0,0393x x = 367,81 ppm IC50 untuk ekstrak metanol tangkai daun kangkung adalah 367,81 ppm.
3) ekstrak batang
y = 0,0385x + 31,175 50 = 0,0385x + 31,175 18,825 = 0,0385x x = 488,96 ppm IC50 untuk ekstrak metanol batang kangkung adalah 488,96 ppm.
top related