analisis hubungan pemanfaatan pelayanan … · suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit. ntuk...
Post on 14-Mar-2019
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS HUBUNGAN PEMANFAATAN
PELAYANAN KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI ANAK BATITA
M A ‘ R I F A T
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batitaadalah benar merupakan hasil karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.Hidayat Syarief, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS serta tidak pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2010
Ma’rifat
NRP: I151080221
ABSTRACT
MA’RIFAT. The Analysis of Relation Health Services Utilization to Nutritional Status of Children Under Three Years of Age. Under direction of HIDAYAT SYARIEF and YAYAT HERYATNO.
Under three years of age is a critical in growth and development. During
the period health service is very important to maintain health and nutritional status of children. The objective of the study was to analyze health services utilization to nutritional status of children under three years of age. The crossectional study was applied in this research. Data collected from DI Yogyakarta, Sumatera Selatan and Nusa Tenggara Timur Provinces trought Riskesdas (Basic Health Research) 2007 had been used for study. In this study weight-for-height (WHZ), weight-for-age (WAZ) and height-for-age (HAZ) were used as an indicator of nutritional status of children under three years of age . Health services include weighting, health extension, immunitiation, mother and child health, medicare, complementary feeding, suplementary nutrien and consultation risk of disease. It was found that WHZ indicator correlated significantly to weighting service (χ2=9.328, p=0.025), health extention (χ2=8.290, p=0.040), complementary feeding (χ2=6.470, p=0.009) and medicare service (χ2=7.597, p=0.055) in health service. It showed that weight-for-age (WAZ) correlated significantly with weighting service (χ2=6.698, p=0.082), health extension (χ2=7.182, p=0.066), complementary feeding (χ2=5.563, p=0.051). While height-fo-age (HAZ) correlated significantly with weighting service (χ2=7.046, p=0.030) and supplementary nutrient service (χ2
=5.387, p=0.068). Moreover study showed that indicator WHZ was significantly affected by number of family member and health services utilization. Both the WAZ and HAZ indicators were significantly influenced by duration of mother‘s education, infectious diseases as well as health services utilization.
Keywords: health services, nutritional status, children under 3 years of age
RINGKASAN
MA’RIFAT. Analisis Hubungan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Batita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan YAYAT HERYATNO.
Umur di bawah tiga tahun merupakan masa yang sangat penting dan kritis dalam proses pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita. Penelitian ini bersifat crossectional design yang menggunakan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 merupakan data primer yang telah mengalami verifikasi, editing dan cleaning oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Penelitian ini mengambil lokasi di tiga Provinsi yaitu: Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Contoh adalah anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dan berasal dari kuintil 1 dan 2. Dalam penelitian ini berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), berat badan menurut umur (BB/U) dan tinggi badan menurut umur (TB/U) digunakan sebagai indikator status gizi. Pelayanan kesehatan meliputi: penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengobatan, pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit. Untuk melihat keragaan umum analisis disajikan dalam bentuk tabel univariat, sedangkan untuk melihat hubungan antar variabel digunakan uji statistik chi-square tes dan moment pearson correlation test. Untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi dengan menggunakan regresi linier berganda pada data gabungan ketiga provinsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD, BB/U -0.88 ± 2.8 SD dan TB/U -0.78 ± 1.76 SD. Secara keseluruhan di ketiga wilayah penelitian angka prevalensi wasting, underweight dan stunting berturut-turut adalah sebesar 20.4%, 41.2% dan 22.7%. Prevalensi wasting, underweight dan stunting pada batita terbanyak terjadi pada keluarga dengan ibu berpendidikan hanya tamat SD, dan berumur antara 26-40 tahun dengan jumlah anggota 5-7 orang. Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan status gizi batita indikator BB/TB, BB/U dan TB/U. Jumlah anggota keluarga berkorelasi negatif dengan status gizi batita indikator BB/TB. Status gizi batita memiliki hubungan negatif dengan penyakit infeksi, BB/TB (r=-0.061, p=0.011), BB/U (r=-0.061, p=0.011) dan TB/U (r=-0.105, p=0.000).
Akses ke pelayanan kesehatan diukur dengan waktu dan jarak tempuh, sebagian besar (74.6%) waktu tempuh < 15 menit dengan jarak tempuh < 1 km (72.8%). Keberadaan transportasi umum yang tersedia ke pelayanan kesehatan hanya ada pada 43.5% rumah tangga batita di ketiga wilayah penelitian. Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan memiliki hubungan yang negatif dengan jarak (r=-0.202, p=0.000) dan waktu tempuh (r=-0.060, p=0.014), serta berhubungan positif dengan lama pendidikan ibu (r=0.058, p=0.017) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (r=0.304, p=0.000). Dari 843 rumah tangga batita yang memberikan penilaian terhadap ketanggapan pelayanan kesehatan hampir semuanya mengangap baik (96.7%), selebihnya 3.3% ibu mengatakan kurang baik. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh batita secara umum rata-rata di
Sumsel 2.8 + 2.8 jenis pelayanan, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 jenis pelayanan dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 jenis pelayanan dan secara keseluruhan 3.6 + 2.9 jenis pelayanan, skor tertinggi 8 dan terendah 0. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan moment pearson correlation test terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan (r=0.304, p=0.000).
Status gizi batita BB/TB memiliki hubungan dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan p<0.05 (χ2=9.328, p=0.025), penyuluhan (χ2=8.290, p=0.040), PMT (χ2=6.470, p=0.009) dan pengobatan (χ2=7.597, p=0.055).Status gizi BB/U berhubungan nyata dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan (χ2=6.698, p=0.082), penyuluhan (χ2=7.187, p=0.066) dan PMT (χ2=5.563, p=0.051). Sementara TB/U berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan (χ2=7.046, p=0.030) dan suplemen gizi (χ2
=5.387, p=0.068). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB adalah jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sedangkan indikator BB/U dan TB/U berpengaruh dengan lama pendidikan ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi.
Kata kunci: pelayanan kesehatan, status gizi anak batita
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS HUBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN
KESEHATAN DENGAN STATUS GIZI ANAK BATITA
MA’RIFAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2010
Judul Tesis : Analisis Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita Nama : MA’RIFAT NRP : I 151 080 221
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS
Anggota Yayat Heryatno, SP, MPS
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 23 Juni 2010 Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang”
Ar-Ra’du: 23
Special for
My husband: Kiagus Aziz Ahmad
My Parents
Thaib Rahman Nurbaiti
My children:
Khodijah Rahmadesfa Aisyah Aulia Ulfa
Kiagus Abdurrahman Fauzan Hanifa
PRAKATA
Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang berkat
Rahmat dan Hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Hidayat Syarief, MS selaku
ketua dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS selaku anggota komisi pembimbing
yang telah berkenan meluangkan waktu, perhatian dan dengan penuh kesabaran
membimbing dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat sehingga tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Kepada Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS, penulis mengucapkan
terima kasih atas kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drh. M. Rizal
M. Damanik MRepSc, PhD sebagai Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
merangkap moderator pada ujian tesis, Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MSi selaku
Ketua Departemen Gizi Masyarakat, jajaran civitas akademika Departemen Gizi
Masyarakat IPB khususnya Program Studi Pascasarjana Gizi Masyarakat yang
telah memberikan dukungan moril dan pengalaman berharga dalam proses belajar
mengajar untuk dapat menyelesaikan studi ini.
Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Program NICE
Departemen Kesehatan Dirjen Gizi Mayarakat yang telah membiayai studi ini.
Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI yang telah berkenan memberikan data-
data yang diperlukan untuk dapat membuat tesis ini, terutama kepada Ibu Hapsari,
Ibu Rofi dan Ibu Suparmi.
Kepada semua rekan-rekan satu angkatan GMS-2008 terima kasih atas
perhatian dan kerjasamanya. Bagi teman-teman NICE Sakri Sab’atmaja, Merry
Aitonam, Arpansyah, Terati, Kusriadi, Anwar Musadat dan Didik Haryadi semoga
persaudaraan dan pertemanan kita dapat terus berlanjut.
Atas dukungan doa, semangat dan bantuan baik moril maupun materil dari
Bapak Thaib Rahman dan Ibu Nurbaiti orang tuaku tercinta, Kiagus Aziz Achmad
suami tersayang dan yang terkasih anak-anakku Khodijah Rahmadesfa, Aisyah
Aulia Ulfa, Kiagus Abdurrahman Fauzan serta Hanifa atas dukungan dan
kesabarannya, kakakku tersayang Budiman, Akratuaini dan Syafuan sekeluarga,
serta adik-adikku tercinta Syarmaini, Muhardi sekeluarga dan Semidang
kuucapkan Jazakumullah Sukron Katsiron. Semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Saya menyadari betul sebagai hamba Allah yang lemah tentu masih banyak
kekurangan dari hasil karya ilmiah saya, sehingga masukan dan saran sungguh
sangat berharga untuk kesempurnaan karya ini.
Bogor, Juni 2010
Ma’rifat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Palembang ibu kota Provinsi Sumatera Selatan
pada tanggal 25 Juli 1971, sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara pasangan
Bapak Thaib Rahman dan Ibu Nurbaiti.
Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di SMAN 6
Palembang tahun 1990. Penulis melanjutkan ke Diploma 1 Gizi di Sekolah
Pembantu Ahli Gizi (SPAG) Departemen Kesehatan Palembang dan selesai pada
tahun 1991. Penulis mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 1993 di
Puskesmas Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Pada
tahun 1999 berkesempatan melanjutkan sekolah di Akademi Gizi Jakarta dan
lulus tahun 2001. Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Gizi penulis
bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas. Pada tahun 2004 mengambil
kuliah S1 Gizi Masyarakat pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Abdi
Nusa di Palembang dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2008 mendapatkan
kesempatan lagi beasiswa dari Nutrition Improvement through Community
Empowerment (NICE) untuk memperdalam ilmu gizi di Fakultas Ekologi
Manusia Program Studi Gizi Masyarakat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRACT................................................................................................ RINGKASAN............................................................................................. HAK CIPTA............................................................................................... JUDUL........................................................................................................ HALAMAN PENGUJI LUAR KOMISI.................................................... HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... PERSEMBAHAN ..................................................................................... PRAKATA ................................................................................................ RIWAYAT HIDUP ................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................ DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR..................................................................................
iii iv vi
vii ix x
xi xiii xiv xvi
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Kesehatan .................................................................... Akses terhadap Pelayanan Kesehatan ........................................... Status Gizi Balita............................................................................ Karakteristik Sosial .......................................................................
5 9
11 16
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran...................................................................... Hipotesis .......................................................................................
21 23
METODE Sumber data, Desain, Waktu dan Tempat .................................... Cara Pengambilan Sampel ............................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................ Pengolahan Data ...........................................................................
Analisis Data ................................................................................ Keterbatasan Penelitian ................................................................ Batasan Operasional ....................................................................
24 24 24 25 27 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian .......................................... Status Gizi Batita .......................................................................... Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan............................................ Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan........................................ ............. Hubungan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan.................................... Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status Batita............................................................................... Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Batita...
30 36 45
47
49
49 53
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. DAFTAR PUSTAKA................................................................................ LAMPIRAN ..............................................................................................
57 59 66
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
15.
Kriteria status gizi anak balita berdasarkan anthropometri menurut WHO 2006 ............................................................. Sebaran penduduk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin.................................... Sebaran penduduk provinsi Sumatera Selatan menurut kelompok umur dan jenis kelamin..................................................................... Sebaran penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur dan jenis kelamin.................................................... Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare menurut karakteristik umur............................................................... Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/TB di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur................................................................................. Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/TB.................................................................... Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi berdasarkan indikator BB/TB................................................. Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/U di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur.................................................................................. Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/U .................................................................... Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator BB/U.................................................................................... Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator TB/U di Provinsi DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur.................................................................................. Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dengan status gizi indikator TB/U.................................................................... Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator TB/U................................................................................... Persentase rumah tangga batita yang memanfaatkan jenis-jenis pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur......................................................
15
32
33
34
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Hubungan karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan ke kesahatan.......................................... Hubungan akses ke pelayanan kesehatan dan ketanggapan pelayanan kesehatan terhadap frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan............................................................................... Hubungan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/TB............................................. Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/U ........................................................... Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator TB/U ............................................................. Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita wasting di ketiga wilayah penelitian................................................. Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita underweight di ketiga wilayah penelitian ........................................ Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita stunting di ketiga wilayah penelitian................................................
47 48
50
51
52
53
54
55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. 2.
Dampak kekurangan gizi pada siklus kehidupan ......................... Kerangka pikir analisis determinan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita di ketiga wilayah penelitian (Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur)........................
12
22
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Riset Kesehatan Dasar 2007 Pertanyaan rumah tangga dan individu............................................ Kategori variabel yang berhubungan dengan rumah tangga batita ............................................................................................................. Kategori variabel yang berhubungan dengan batita ........................ Skor ketanggapan pelayanan kesehatan .......................................... Skor pemanfaatan pelayanan kesehatan ......................................... Skor penyakit infeksi ........................................................................
66
75 76
77
78
79
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan
nasional yang bertujuan mewujudkan bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera
lahir batin. Pembangunan manusia seutuhnya mencakup aspek jasmani dan
kejiwaan, di samping aspek spiritual dan kepribadian. Pembangunan kesehatan
ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, produktif dan
mempunyai daya saing tinggi (Depkes 1998).
Keadaan kesehatan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator
derajat kesehatan, indikator umum dan lingkungan, serta indikator upaya
kesehatan. Indikator derajat kesehatan dinilai dengan melihat angka kesakitan
(sesaat jatuh sakit, penyakit khusus, kelompok umur), kematian (bayi, ibu, dan
sebab khusus), kecacatan dan angka harapan hidup (Anwar 2006).
Menurut UU RI No. 23 tahun 1992, yang dimaksud dengan keadaan sehat
adalah keadaan meliputi kesehatan badan, rohani ( mental ) dan sosial dan bukan
hanya keadaan yang bebas penyakit, cacat dan kelemahan sehingga dapat hidup
produktif secara sosial ekonomi. Sasaran pembangunan kesehatan tahun 2004 -
2009 yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah adalah
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, yang salah satunya tercermin dari
menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 25,8 % menjadi 20 %
(Eko et al. 2008).
Kekurangan gizi pada anak umur di bawah lima tahun (balita) merupakan
masalah yang perlu segera ditangani karena kekurangan gizi pada balita
berkontribusi sekitar 54 % terhadap penyebab kematian balita di dunia tahun 2004
(Chessa and Juan 2006). Usia balita merupakan masa yang sangat menentukan
hari depan anak. Kekurangan gizi pada saat tersebut akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental sehingga perlu perhatian
khusus (Berg 1986; Syarief 1997; Soekirman 2000). Selain itu, balita yang
mengalami kekurangan gizi akan terhambat pertumbuhannya sehingga ketika
dewasa dia akan mempunyai kesehatan dan produktivitas yang lebih rendah
daripada anak yang pertumbuhannya normal.
2
Penyebab timbulnya masalah gizi bersifat multifaktor yang terdiri dari
faktor langsung yaitu: asupan makanan dan infeksi dan faktor tidak langsung
yaitu: ketahanan pangan, pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan
(Uncef 1998).
Upaya pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan
dan status gizi anak sehingga terhindar dari kematian dini dan mutu fisik yang
rendah (Utari 2006). Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk
memperbaiki status gizi. Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan
oleh karena itu perlu adanya penanganan yang cepat terhadap masalah kesehatan
terutama masalah gizi. Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat
akan sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan (Trisnantoro 1996).
Dalam rangka perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia
dalam hal ini Departemen Kesehatan telah menyediakan fasilitas kesehatan
masyarakat dalam bentuk pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas).
Tidak kurang dari 7.000 puskesmas tersebar diseluruh Indonesia. Namun
pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat belum optimal (Utari 2006)
Pada akhir tahun 2006, sarana pelayanan kesehatan dasar yang tersedia
meliputi 8.015 puskesmas, 22.000 puskesmas pembantu dan 6.132 puskesmas
keliling. disamping itu, hampir seluruh kabupaten/kota telah memiliki rumah
sakit, baik milik pemerintah maupun swasta. Jumlah sarana kesehatan dasar
tersebut telah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan pada tahun 2007
diperkirakan akan terus bertambah. Meskipun demikian sebagian masyarakat
terutama penduduk miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan
kesehatan karena kendala jarak dan biaya transportasi (Bappenas 2008).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan secara umum yang meliputi:
penimbangan, penyuluhan, kesehatan ibu dan anak, imunisasi, pengobatan,
pemberian makanan tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit
masih sangat rendah. Cakupan pelayanan kesehatan di Sumatera Selatan 25.9%,
DI Yogyakarta 23.8% dan Nusa Tenggara Timur 42.9% berdasarkan data
Riskesdas 2007. Provinsi yang mempunyai prevalensi kurang gizi (underweight)
terendah adalah DI Yogyakarta (10.9%) dan tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur (33.6%), sedangkan Sumatera Selatan (18.2%) hampir sama pencapaiannya
dengan nasional.
3
Anak bawah tiga tahun (batita) merupakan masa-masa pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat, jika terjadi kekurangan gizi pada saat itu maka
akan mempengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan organ-organ dan sel-sel
tubuh serta akan mengganggu metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta
hormon dalam sel. Keadaan ini tidak dapat terulang kembali (irreversible). Oleh
karena itu pada anak batita perlu perhatian khusus untuk mencegah terjadinya
kekurangan gizi (Soekirman 2000). Oleh karena itu perlu penelitian yang lebih
mendalam mengenai hubungan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi
anak batita.
Tujuan Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status
gizi pada anak batita (0-3 tahun) di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan
Nusa Tenggara Timur.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi status gizi batita dengan indikator BB/TB, BB/U dan TB/U
di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
2. Mengidentifikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera
Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan.
4. Menganalisis hubungan status gizi batita dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan.
Manfaat
1. Sebagai bahan informasi yang bermanfaat bagi kemajuan perkembangan
pelayanan kesehatan khususnya dibidang gizi masyarakat dan diharapkan
dapat memberikan masukan atau informasi tentang kelemahan dan kekuatan
pelayanan kesehatan khususnya di bidang gizi, sehingga bisa memberikan
masukan bagi penentu kebijakan dalam menentukan pelaksanaan program gizi
yang lebih efektif, tepat sasaran dan dapat berkesinambungan.
4
2. Adanya publikasi hasil penelitian ini sehingga dapat memberikan kontribusi
pengembangan iptek dan pengayaan serta pendalaman informasi terkait bagi
masyarakat ilmiah dan pengguna.
3. Dari segi riset, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi
yang berarti bagi penelitian sejenis khususnya yang terkait dengan penelitian
tentang faktor–faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan
dan status gizi balita.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan Kesehatan
Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau
bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang,
keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Utari 2006).
Somers dan Somers (1974) dalam Azwar (1996) mengemukakan pelayanan
kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa strata,
sebagai:
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health services), yaitu
pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic). Ada 6 pelayanan yang
bersifat pokok (basic six) dengan 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga,
perbaikan gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja, kesehatan jiwa, pemberantasan penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat,
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat aditif,
kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pengobatan tradisional dan kesehatan
matra, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan bernilai
strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya
pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa perawatan rawat jalan
(ambulatory/out patient services)
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (secondary health service) yaitu
pelayanan kesehatan lebih lanjut, biasanya bersifat rawat inap (in patient
services) dan untuk penyelenggaraannya dibutuhkan tenaga-tenaga spesialis di
bidang kesehatan.
3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (tertiary health services) yaitu pelayanan
kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh
tenaga-tenaga spesialis di bidang kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai
dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal
6
deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di
seluruh wilayah Indonesia.
Dalam melaksanakan program kesehatan masyarakat, pemerintah telah
menggunakan suatu cara pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD) untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu Indonesia Sehat 2010.
PKMD adalah suatu bentuk operasional dari Primary Health Care (PHC) di
Indonesia. PKMD mencakup serangkaian kegiatan swadaya masyarakat
berazaskan gotong royong yang didukung oleh pemerintah melalui koordinasi
lintas sektoral dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan atau yang
terkait dengan kesehatan agar masyarakat hidup sehat guna mencapai kualitas
hidup dan kesejahteraan yang lebih baik.(Depkes 2006).
Ciri utama PKMD adalah keterlibataan dan peran serta aktif masyarakat
dalam pembangunan kesehatan. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan,
pengorganisasian, dan pengelolaan upaya kesehatan termasuk upaya perawatan
diri yang pada akhirnya akan menjadi tumpuan kemandirian masyarakat dalam hal
kesehatan. Jadi, pendekatan dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai
kesehatan bagi semua, tidak lagi didasari oleh hubungan pemberi-penerima
tradisional, melainkan berdasarkan hubungan mitra sejajar atau hubungan
kerjasama antara instansi pemerintah dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care/PHC) dicetuskan pada
Konferensi Alma Ata (WHO 1978) yang menyatakan bahwa: “PHC adalah upaya
kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau oleh perorangan dan
keluarga dalam masyarakat, dengan cara yang dapat diterima oleh mereka, dengan
peran serta penuh dan dengan biaya yang dapat ditanggung oleh masyarakat dan
negara yang bersangkutan. Upaya kesehatan esensial tersebut sekurang-kurangnya
mencakup upaya perbaikan gizi, penyediaan air bersih, dan sanitasi dasar,
kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit
infeksi utama, pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat,
pendidikan tentang masalah kesehatan dan cara-cara mencegah atau
mengatasinya, dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit umum serta cedera”.
Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia
dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Poskesdes dan bidan desa yang
7
kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang
menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk
yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan.
Jenis-Jenis Pelayanan Kesehatan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata,
dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif
masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan
masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan
kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang
optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pelayanan yang
ada di Puskesmas mencakup 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga, perbaikan
gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja,
kesehatan jiwa, pemberantasan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan
alat kesehatan, pengamanan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga,
pengobatan tradisional dan kesehatan matra, pengelolaan Puskesmas umumnya
berada di bawah Dinas Kesehatan.
Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan kegiatan utama dari Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat
yang didukung oleh kegiatan lintas sektor, dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Posyandu dilaksanakan oleh PKK yang kemudian
dilengkapi dengan pelayanan KB dan kesehatan. Posyandu sebagai pusat kegiatan
masyarakat dalam bidang kesehatan melaksanakan pelayanan KB, gizi, imunisasi,
penanggulangan diare dan KIA. Upaya keterpaduan pelayanan ini merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Dengan keterpaduan 5 program tersebut baik dari segi lokasi, sarana
maupun kegiatan dalam diri petugas, akan sangat memudahkan dalam
memberikan pelayanan. Karena itu, Posyandu berada pada tempat yang mudah
didatangi masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri seperti ditempat
8
pertemuan RT/RW atau tempat khusus yang dibangun masyarakat (Harianto
1992).
Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan
dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada
masyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan
semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di
pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan
pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, posyandu akan menjadi
ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi.
Kegiatan pelayanan gizi di posyandu meliputi : 1) Pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan anak balita antara lain dengan penimbangan berat badan secara
teratur sebulan sekali.2) Pemberian paket pertolongan gizi berupa tablet tambah
darah untuk ibu hamildan pemberian kapsul yodium untuk ibu hamil, ibu nifas
(menyusui) dan anak balita pada daerah rawan GAKY serta pemeberian vitamin A
pada bayi, balita dan ibu nifas (menyusui). 3) Pemberian makanan tambahan
(PMT) sumber energi dan protein bagi anak balita KEP, jenis makanan tambahan
disesuaikan dengan keadaan setempat dan sejauh mungkin menjadi tanggung
jawab keluarga dan masyarakat. 4) Pemantauan dini terhadap perkembangan
kehamilan dan persiapan persalinan terutama mengenai pemanfaatan ASI untuk
kebutuhan gizi bayi. 5) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kesehatan dan
gizi.
Kegiatan diatas dilaksanakan sebulan sekali, khusus meja 1 sampai meja 5
merupakan kegiatan UPGK di Posyandu. Sedangkan kegiatan UPGK di luar
jadwal Posyandu seperti kegiatan pemanfaatan pekarangan, motivasi dan
penggerakkan UPGK melalui jalur agama dan BKKBN, PMT dan pemberian ASI
dalam keluarga dapat dilaksanakan sebagai kegiatan sehari-hari UPGK dalam
keluarga.
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yaitu usaha kesehatan berbasis masyarakat
(UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/ menyediakan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Sumberdaya poskesdes meliputi
tenaga, bangunan, sarana dan pembiayaan. Tenaga poskesdes minimal seorang
bidan dan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 orang kader. Bangunan poskesdes
9
dapat berasal dari pondok bersalin desa (polindes), balai desa, balai RW/ dusun,
balai pertemuan atau bangunan lain yang sudah ada, dan dapat juga bangunan
baru. Sarana poskesdes meliputi sarana medis, sarana non medis dan obat dalam
upaya pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya promotif, preventif dan
kuratif. Pembiayaan poskesdes sebaiknya merupakan swadaya masyarakat desa
setempat.
Pembentukan Poskesdes didahulukan pada desa yang tidak memiliki rumah
sakit, puskesmas, puskesmas pembantu (Pustu), dan bukan ibu kota kecamatan
atau ibu kota kabupaten. Poskesdes diharapkan sebagai pusat pengembangan dan
koordinator berbagai UKBM yang dibutuhkan masyarakat desa, misalnya pos
pelayanan terpadu (posyandu) dan warung obat desa (WOD).
Akses terhadap Pelayanan Kesehatan
Akses ke pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang
menentukan tingkat partisipasi masyarakat ke pelayanan kesehatan. Perilaku
masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan di mana masyarakat yang
menderita sakit tidak akan bertindak terhadap dirinya karena merasa dirinya tidak
sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan beranggapan bahwa
gejala penyakitnya akan hilang walaupun tidak di obati. Berbagai alasan
dikemukakan mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap petugas yang kurang
simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Orisinal 2003).
Banyak faktor yang menyebabkan tidak dapat dimanfaatkannya fasilitas
kesehatan yang tersedia diantaranya: jarak fasilitas kesehatan, waktu yang di
tempuh ke pelayanan kesehatan, biaya yang tidak mencukupi untuk menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan petugas
yang tidak ramah atau tidak ada ditempat saat dibutuhkan ( Nnyepi 2007; Eko et
al. 2008).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari usaha petugas
kesehatan untuk mendorong masyarakat dalam rangka mensosialisasikan
kegiatan-kegiatan yang ada di pelayanan kesehatan baik usaha promosi kesehatan,
pencegahan penyakit, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Pemeliharaan
kesehatan individu, keluarga dan akhirnya masyarakat sangat memerlukan
10
partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama
kesehatan keluarga. (Notoatmodjo 1997).
Pelayanan kesehatan dapat dikembangkan melalui peran serta masyarakat
sebagai kader kesehatan masyarakat. Kader yang berperan untuk konseling dalam
masyarakat dengan memberikan informasi berkaitan dengan masalah status gizi
anak balita yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaaan. Pelatihan kader
untuk pelayanan kesehatan sebagai upaya pemerintah meningkatkan partisipasi
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi masyarakat itu
sendiri terutama anak-anak.
Hasil penelitian Tuti (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak
hadiran ibu balita dalam penggunaan pelayanan kesehatan khususnya posyandu di
kecamatan Bogor Barat membuktikan bahwa persepsi ibu tentang perilaku kader
merupakan faktor yang menyebabkan ibu untuk datang menimbangkan anaknya
ke posyandu. Pada penelitian yang lain oleh Thaha (1990) tentang hubungan
pengetahuan, sikap dengan praktek penggunaan posyandu oleh balita di
kotamadya Ujung Pandang didapatkan hasil bahwa perilaku petugas kesehatan
mampu memberikan perubahan dan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk
menimbangkan anak ke posyandu. Persepsi ibu terhadap kelengkapan posyandu
mempunyai hubungan yang bermakna (Hutagalung 1992) yang berarti semakin
lengkap kelengkapan posyandu maka semakin sering ibu menimbangkan anaknya
ke posyandu demikian juga untuk sarana pelayanan kesehatan yang lain.
Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai
akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien dengan
membandingkan apa yang diterima dengan apa yang diharapkannya. Ketanggapan
pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan
kepuasan pelayanan yang berkualitas kepada pasien sehingga dapat terus
berkunjung. Menurut Parasuraman dan kawan-kawan (1990) dapat dilakukan
cara-cara sebagai berikut: 1) Menunjukan adanya fasilitas fisik, peralatan yang
lengkap personil yang menarik serta fasilitas komunikasi yang baik. 2)
Mengupayakan pemberian pelayanan secara akurat, tepat waktu dan dapat
dipercaya. 3) Menunjukan kemauan untuk membantu pelanggan dengan
11
memberikan pelayanan yang baik dan cepat. 4) Berusaha untuk mengetahui dan
mengerti kebutuhan pelanggan secara individual.
Status Gizi Balita
Pengertian
Status gizi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan
RI adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat
gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi merupakan
hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Bila terjadi
gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu. Status gizi
juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sumberdaya keluarga.
Usia balita merupakan masa kehidupan yang sangat menentukan kualitas
sumberdaya manusia masa mendatang. Anak balita yang bergizi lebih baik dan
sehat lebih berpeluang mempunyai kemampuan mental dan intelektual yang lebih
baik dan mempunyai usia harapan hidup dan waktu produktif yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, perhatian akan pemenuhan kecukupan gizi dan kesehatan anak
balita menjadi semakin penting. Cukup beralasan bahwa salah satu tujuan
kebijakan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbaikan mutu gizi makanan
penduduk, khususnya golongan rawan gizi seperti anak balita.
Dampak Kurang Gizi pada Balita
Kekurangan gizi yang dimulai pada saat janin dalam kandungan ibu dapat
mengakibatkan terjadinya berat badan lair rendah (BBLR) pada bayi. Tingginya
angka bayi yang lahir dengan berat badan rendah akibat ibunya menderita kurang
energi dan protein waktu hamil. BBLR berkaitan dengan tingginya angka
kematian bayi dan balita. BBLR juga dapat berpengaruh pada gangguan
pertumbuhan fisik dan mental anak. Gizi buruk pada anak balita juga dapat
berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak bergizi buruk
mempunyai resiko kehilangan IQ 10-13 poin
Kekurangan gizi pada anak prasekolah (usia di bawah 3 tahun) biasanya
dikarenakan asupan makannya yang kurang sebagai sebab akibat dari
kecendrungan anak yang selektif terhadap makanan, jika tidak cepat di atasi akan
12
berdampak pada terjadinya kasus gizi buruk kronis wasting dan stunting (Seifert
& Hoffnung 1997; Grantham 1999).
Gambar 2 Alur dampak terjadnya kurang gizi pada siklus kehidupan (Depkes
2009).
Kekurangan gizi dilihat dari anak yang pendek (stunting) memiliki sejumlah
kekurangan fungsional yang berlangsung selama masa kanak-kanak. Hambatan
pertumbuhan linier atau stunting stunting umumnya terjadi pada usia 2-3 tahun
pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruh-pengaruh yang saling
berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta infeksi (Martorell et al.
1994). Hasil penelitian di Guatemalan (Martorell et al. 1992 dalam Grantham
1999), mengungkapkan bahwa tinggi anak pada usia 3 tahun memprediksi
kemampuan mereka ketika remaja dalam tes berhitung, membaca, pengetahuan
umum dan pencapaian prestasi di sekolah. Sama halnya dengan penelitian di
Kenya (Sigman et al. 1991) tinggi badan anak antara 18-30 bulan dapat
memprediksi skor kognitif pada usia 5 tahun.
Keterangan istilah dalam gambar: BBLR: bayi berat lahir rendah, WUS KEK: wanita usia subur
kurang energi kronik, KEP: kurang energi protein, MMR: mother mortality rate,
IMR: Insiden morbidity rate,.
WUS KEKWUS KEK
BUMIL KEKBUMIL KEK(KENAIKAN(KENAIKAN BBBBRENDAH)RENDAH)
BBLRBBLR
BALITA KEPBALITA KEP
REMAJA &REMAJA &USIA SEKOLAHUSIA SEKOLAH
GANGGUANGANGGUANPERTUMBUHANPERTUMBUHAN
USIA LANJUTUSIA LANJUTKURANG GIZIKURANG GIZI
IMR, perkembanganmental terhambat, risiko penyakit kronispada usia dewasa
ProsesPertumbuhanlambat, ASIekslusif kurang,MP-ASI tidak benar
Kurang makan,sering terkenainfeksi, pelayanan kesehatan kurang,pola asuh tidakmemadai
Konsumsigizi tidak cukup,pola asuh kurang
Tumbuhkembangterhambat
Produktivitasfisik berkurang/rendah
Pelayanankesehatan tidakmemadai
MMRKonsumsi Kurang
PelayananKesehatan kurangmemadaiKonsumsi tidakseimbang
Gizi janintidak baik
WUS KEKWUS KEK
BUMIL KEKBUMIL KEK(KENAIKAN(KENAIKAN BBBBRENDAH)RENDAH)
BBLRBBLR
BALITA KEPBALITA KEP
REMAJA &REMAJA &USIA SEKOLAHUSIA SEKOLAH
GANGGUANGANGGUANPERTUMBUHANPERTUMBUHAN
USIA LANJUTUSIA LANJUTKURANG GIZIKURANG GIZI
IMR, perkembanganmental terhambat, risiko penyakit kronispada usia dewasa
ProsesPertumbuhanlambat, ASIekslusif kurang,MP-ASI tidak benar
Kurang makan,sering terkenainfeksi, pelayanan kesehatan kurang,pola asuh tidakmemadai
Konsumsigizi tidak cukup,pola asuh kurang
Tumbuhkembangterhambat
Produktivitasfisik berkurang/rendah
Pelayanankesehatan tidakmemadai
MMRKonsumsi Kurang
PelayananKesehatan kurangmemadaiKonsumsi tidakseimbang
Gizi janintidak baik
13
Metode Penilaian
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara mana yang
akan digunakan sangat tergantung pada tahapan dan keadaan gizi dari balita yang
yang dinilai status gizinya. Penilaian tersebut dapat dilakukan dengan empat cara,
yaitu:
a. Penilaian secara klinis, yaitu mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang
ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi.
Penilaian dengan cara ini sulit dalam pembakuannya, sering sangat subyektif
dan tergolong mahal.
b. Penilaian secara biokimia gizi, yaitu menilai status gizi seseorang dengan tes
labolatorium terhadap darah, urin, tinja atau jaringan tubuh seperti hati dan
otot, untuk mendeteksi tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu
atau lebih zat gizi dalam tubuh secara spesifik. Cara ini paling obyektif dan
teliti, tetapi biayanya mahal dan tergantung pula pada fasilitas labolatorium.
c. Penilaian antropometri, yaitu menilai status gizi seseorang berdasarkan
ukuran fisiknya, cara ini diakui sebagai indeks yang baik dan dapat
diandalkan, biayanya murah dan peralatannya sederhana. Penilaian ini
meliputi pengukuran berat terhadap umur, tinggi badan terhadap umur,
lingkar lengan atas, lingkar dada, dan lingkar kepala. Dalam hal ini
Sediaoetama (1996) menambahkan tebal lipatan kulit di bawah lengan atas
dan di tempat-tempat tertentu tubuh dapat juga digunakan sebagai indikator
untuk menilai status gizi seseorang.
d. Penilaian secara biofisik yaitu menilai status gizi seseorang dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta
senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes
adaptasi gelap
Dari keempat cara penilaian tersebut, antropometri merupakan cara yang
paling sederhana dan praktis (Khumaidi 1997). Hal ini disebabkan pengukuran
dengan antropometri tidak memerlukan peralatan yang kompleks, prosedur
pemeriksaan yang mudah dan harga peralatan yang murah.
14
Status gizi anthropometri
Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung
dan yang paling umum digunakan untuk menilai dua masalah gizi utama yaitu
masalah gizi kurang (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi
lebih pada semua kelompok umur (Jelliffe & Jelliffe 1989). Pengukuran ini
merefleksikan pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran
antropometri juga digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan dan
perkembangan fisik khususnya pada anak-anak berusia muda dan merupakan
indikator yang paling luas digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat
(WHO 1990b). Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), pengukuran status gizi
dengan menggunakan antropometri dapat memberikan gambaran tentang status
konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering
digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang
energi-protein.
Indikator antropometri yang sering dipergunakan adalah: berat badan untuk
mengetahui massa tubuh, tinggi badan untuk mengetahui dimensi linier
panjang/tinggi tubuh dan tebal lipatan kulit untuk mengetahui komposisi dalam
tubuh, cadangan energi dan protein. Indikator antropometri selalu dibandingkan
dengan umur dari orang yang akan diukur. Atas dasar itu, maka untuk pengukuran
status gizi dengan menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut
tinggi (BB/TB) (WHO 1995).
Berat badan mencerminkan massa tubuh, seperti otot dan lemak yang peka
terhadap perubahan sesaat karena adanya kekurangan gizi dan penyakit. Oleh
karena itu, indeks BB/U menggambarkan keadaan gizi saat ini. Tinggi badan
menggambarkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan
tidak begitu peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu, indeks TB/U lebih
banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Indeks BB/TB
mencerminkan perkembangan massa tumbuh dan pertumbuhan skeletal yang
menggambarkan status gizi saat itu. Indeks BB/TB sangat berguna apabila umur
yang diukur sulit diketahui.
15
Pada indikator BB/TB istilah kurang gizi sering disebut wasting (sangat
kurus dan kurus) dengan z-score < -2 SD. Untuk indikator BB/U dikenal istilah
kurang gizi underweight yaitu status gizi balita gizi buruk dan gizi kurang (dengan
z-score <-2 SD), gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun (Nency 2005). Istilah kurang gizi yang sering
digunakan pada indikator TB/U adalah stunting (sangat pendek dan pendek)
dengan z-score < -2 SD. Dan menurut tingkat keparahannya wasting, underweight
dan stunting dapat dikategorikan lagi ke dalam tingkat ringan (mild), sedang
(moderate) dan berat (severe) dalam Soekirman (2000).
Berdasarkan pada standar baku WHO (2006) pengukuran status gizi
menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Indeks BB/U dan BB/TB
digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indeks TB/U
digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Batas ambang atau cut of
point status gizi berdasarkan nilai z-score yaitu:
Tabel 1 Kriteria status gizi balita berdasarkan standar antropometri menurut
WHO 2006
Indeks Range Z-score Status Gizi
BB/TB z-score > 2.0 SD z-score ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD z-score < -2 SD s.d ≥ -3 SD z-score < -3.0 SD z-score < -2 SD
Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus Wasting
BB/U
z-score > +2 SD z-score ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD z-score < -2 SD s.d ≥ -3 SD z-score < -3 SD z-score < -2 SD
Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Underweight
TB/U
z-score > -2.0 SD z-score < -2.0 SD s.d ≥ -3 SD z-score < -3.0 SD z-score < -2 SD
Normal Pendek Sangat pendek Stunting
Sumber Depkes 2008
16
Karakteristik Sosial
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya
yang sama. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan, jumlah pangan
yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga.
Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi
keluarga dan individu (Sanjur 1982; Suhardjo 1989).
Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada
anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu
terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya,
pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anak-
anaknya dengan lebih baik sehingga dapat cepat mengambil tindakan jika terjadi
masalah kesehatan pada anaknya (Suhardjo 1989).
Pendidikan Ibu
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan
kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan,
pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan
anak pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena
turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih
tinggi pada ibu membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan
bertambah baik (Leslie 1985; Soekirman 1990; Madihah 2002; Atmarita & Fallah
2004). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima
pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 1996).
Umur Ibu
Menurut Hurlock (1997) ibu yang berumur muda cenderung kurang
memperhatikan kebutuhan anaknya. Ibu yang berusia muda masih miskin
pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari ibunya sehingga masih
mengalami ketergantungan pada ibunya dalam perawatan dan dalam
17
memperhatikan anaknya. Sebaliknya ibu yang berumur lebih tua lebih dapat
memainkan perannya dalam petumbuhan dan perkembangan anak.
Penyakit Infeksi
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk
maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun ini berarti kemampuan tubuh
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu
setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan
merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit
infeksi (Rohde 1979; Moehyi 2001) Anak kurang gizi sering berasal dari keluarga
miskin, dengan rumah yang sesak dan kurang higienis, sehingga mereka terpapar
lebih banyak infeksi (King & Burgess 1995).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA.) Penyakit sistem saluran pernafasan
terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan akut fungsi normal dan yang
menyebabkan perubahan kronis. Penyakit infeksi sistem pernafasan akut
berhubungan dengan gejala sistemik, seperti: anoreksia, kelelahan dan tidak enak
badan. Jika disertai dengan batuk dan sesak nafas maka akan mengganggu asupan
makanan (Johnson, Chin & Haponik 1999). Komplikasi ISPA akan terjadi pada
orang yang mengalami kurang gizi (Giner et al. 1996). Sedangkan menurut
Johnson & Haponik (1999) yang melakukan penelitian laboratorium dan klinis
menunjukkan bahwa dampak utama gizi kurang terhadap sistem pernafasan
adalah dalam hal struktur dan fungsi pernafasan serta daya tahan tubuh.
Diare. Bayi dan balita dinyatakan menderita diare apabila buang air besar
tidak normal atau bentuk tinja encer dengan frekuensi buang air besar lebih dari 3
kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi kronis. Diare akut yaitu diare
yang berlangsung secara mendadak, tanpa gejala gizi kurang dan demam serta
berlangsung beberapa hari. Sedangkan yang dimaksud diare kronik yaitu diare
yang berlanjut sampai lebih dari 2 minggu, biasanya disertai dehidrasi (penderita
banyak kehilangan dan elektrolit tubuh).
Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui
bahwa sulit menentukan kelainan yang mana yang terjadi lebih dulu, gizi kurang,
diare atau sebaliknya. Akibat diare yaitu tubuh banyak mengeluarkan cairan
18
(dehidrasi) dan mineral, terjadi gangguan gizi karena makanan yang diserap
kurang, sedangkan pengeluaran energi bertambah, kadar gula darah dalam tubuh
menurun (dibawah normal) atau hipoglikemia dan sirkulasi darah terganggu (Dina
dan Maria 2003: 58).
Pada negara-negara berkembang diare merupakan salah satu penyebab
kematian yang paling utama dikalangan anak-anak kecil akibat adanya infeksi
pada usus dan kurang energi protein (Suhardjo 1990). Demikian pula di Indonesia
diare merupakan faktor tertinggi yang menyebabkan kematian bayi (Winarno
1990). Penyakit diare mempunyai pengaruh besar terhadap nafsu makan anak dan
dapat menyebabkan kurus sebagaimana yang dikemukakan oleh Akre (1994);
Shulman, Phair & Sommer (1994) bahwa anak-anak akan berkurang makannya
jika sedang menderita penyakit diare. Dari sini dapatlah dipahami bahwa anak
yang menderita penyakit diare akibat berkurang konsumsi pangannya, sehingga
zat gizi yang diasup juga akan turut berkurang, hal ini sesuai dengan pendapat
Suhardjo (1990) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara diare dengan gizi
kurang. Diare tidak boleh dianggap sepele, diare berat harus segera ditanggulangi
karena akan menyebabkan dehidrasi dan akan berakibat pada kematian.
Pneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri,
virus maupun jamur. Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah: batuk berdahak
(dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti nanah), nyeri dada (bisa tajam
atau tumpul dan bertambah hebat jika penderita menarik nafas dalam atau
terbatuk), menggigil, demam, mudah merasa lelah, sesak nafas, sakit kepala,
nafsu makan berkurang, mual dan muntah, merasa tidak enak badan, kekakuan
sendi dan otot. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: kulit lembab, batuk
darah, pernafasan yang cepat, cemas, stres, tegang, nyeri perut.
Diagnosa, pa
Campak adalah sSalah satu gangguan kesehatan yang ditakuti oleh orang
tua pada bayi adalah campak atau sering disebut dengan penyakit cacar. panyakit
campak ini dapat dicegah dengan imunisasi. Campak merupakan penyakit yang
disebabkan oleh
da pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan
terdengar suara ronki dan pemeriksaan penunjang: rontgen dada, pembiakan
dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri (anonim 2010a).
virus rubela. Penularan virus rubela ini dapat melalui beberapa
19
cara diantaranya bisa melalui percikan ludah baik dari hidung, mulut tenggorokan
penderita campak. Biasanya orang yang tertulari virus campak akan menunjukkan
gejala demam, batuk , konjuntivitis (peradangan pada selaput ikat mata) dan ruam
kulit.
Gejala-gejala tersebut memang tidak secara langsung menyerang seorang
penderita campak. Biasanya membutuhkan waktu antara 2-4 hari. Setelah lewat 4
hari maka tubuh seorang yang terkena infeksi virus ini akan berangsur-angsur
menunjukkan gejala seperti timbulnya bercak kemerahan (rash) yang berbentuk
makolupapular. Bercak ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan akan berubah
menjadi kehitaman dan bersisik. Munculnya bercak ini juga diikuti dengan
peningkatan suhu tubuh, biasanya lebih dari 38o
TB Paru adalah penyakit tuberkulosis atau lazim disebut TBC atau TB Paru
karena menyerang organ paru-paru merupakan suatu penyakit menular yang dapat
menyerang semua kelompok masyarakat. Semua orang dari berbagai golongan
umur, status sosial ekonomi, ras maupun suku bangsa dan tempat tinggal memiliki
resiko untuk terkena penyakit TB Paru (Prabu 1998).
C dan timbulnya gejala lain
misalnya batuk, pilek, mata merah dan kopliks spot( bercak kemerahan dengan
warna putih di tengahnya) (anonim 2010b). Penyakit Campak dapat menyebabkan
nafsu makan berkurang sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terinfeksi
penyakit yang lain.
Individu dengan gizi buruk atau dibawah standar, kehidupan yang penuh
sesak dan penderita dengan silikosis, kanker, diabetes melitus atau infeksi
bersama HIV dan orang-orang yang mendapat imunosupresif kartikosteroid atau
obat sitotoksik terutama rentan terhadap tuberkulosis. Insiden kematian yang
disebabkan tuberkulosis sudah jauh menurun sesudah ditemukannya kemoterapi.
Akan tetapi akhir-akhir tahun ini cenderung mengalami peningkatan kematian.
Hal ini disebabkan oleh memburuknya keadaan sosial ekonomi dan kesehatan
individu seperti kemiskinan dan gizi yang kurang memadai (Andersen 1995)
Infeksi TB Paru jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan
gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi TB Paru yang
berat dan progresif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila
penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup
20
biasanya ditemukan infeksi TB Paru dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak
langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu
keadaan undernutrisi selama 2–3 minggu berikutnya. Dengan demikian keadaan
gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran basil TBC dalam tubuh sehingga
terjadi TBC miliaris.
21
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran
Kekurangan gizi pada usia dini mempunyai dampak buruk pada masa
dewasa yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat
produktifitas yang lebih rendah (Kodyat 1998).
Menurut Unicef (1998) dalam Azwar (2004) terjadinya kurang gizi
disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor langsung maupun faktor tidak
langsung. Faktor langsung penyebab masalah gizi yaitu asupan makanan yang
kurang dan adanya penyakit infeksi dalam Soekirman (2000). Asupan makanan
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga sedangkan
ketersediaan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh sosial ekonomi keluarga,
selain pola asuh dalam pemberian makanan oleh keluarga. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan memberikan kontribusi dalam
penyediaan makanan yang berkualitas pada batita. Penyakit infeksi dapat terjadi
apabila batita yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering terinfeksi
penyakit akhirnya akan menderita kurang gizi, demikian juga pada anak yang
tidak baik status gizinya, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dalam
kondisi ini akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan
akhirnya menderita kurang gizi (Depkes 2003).
Penyebab tidak langsung terjadinya masalah gizi salah satunya adalah
pelayanan kesehatan yang kurang baik. Pelayanan kesehatan dasar yang ada di
Puskesmas, Posyandu, Polindes, Poskesdes dan bidan di desa yaitu: penimbangan,
penyuluhan gizi, pengobatan, distribusi suplemen gizi, pemberian makanan
tambahan (PMT) bagi batita kurang gizi, imunisasi dan konsultasi resiko penyakit.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang optimal dapat mendeteksi gejala dini
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada batita.
22
Keterangan: Hubungan yang dianalisis Hubungan tidak dianalisis
Variabel yang dianalisis Variabel tidak di analisis Gambar 1 Kerangka pikir analisis hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita di ketiga wilayah penelitian (Provinsi Sumatera
Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur) berdasarkan data Riskesdas 2007.
Konsumsi Makanan Batita
Asupan Zat Gizi
Karakteristik keluarga - Jumlah anggota - Tk. Pendidikan ibu - Umur ibu
Status Gizi Batita BB/TB, BB/U, TB/U
Pemanfaatan pelayanan kesehatan
Frekuensi kunjungan
Karakteristik Batita - Penyakit infeksi
Akses ke pelayanan kesehatan - Waktu tempuh ke
fasilitas kesehatan - Jarak tempuh - Keterjangkauan
transportasi
Ketanggapan Pelayanan Kesehatan
Variabel
Variabel
23
Hipotesis
1. Terdapat hubungan status gizi batita dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan.
2. Terdapat hubungan keluarga (umur ibu, pendidikan ibu & jumlah anggota)
dan karakteristik batita (penyakit infeksi), akses ke pelayanan kesehatan serta
ketanggapan pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan
kesehatan.
24
METODE
Sumber data, Desain, Waktu dan Tempat
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007 yang telah mengalami editing dan cleaning oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan (Balitbangkes
Depkes) dengan desain penelitian adalah cross-sectional design. Pengolahan dan
analisis data dilakukan pada Februari-Mei 2010.
Penelitian ini memilih tiga provinsi sebagai contoh yaitu provinsi
Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
Cara Pengambilan Contoh
Berdasarkan data yang diperoleh dari Balitbangkes Depkes ada sebanyak
3866 batita contoh dari ketiga wilayah penelitian. Kemudian ditetapkan kriteria
inklusi yaitu batita yang termasuk dalam kuintil 1 dan 2 sebagai proxi indikator
tingkat konsumsi dan status sosial ekonomi yang rendah karena pelayanan
kesehatan di Puskesmas, posyandu, polindes dan poskesdes lebih banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah,
mempunyai berat badan, tinggi badan, umur dalam bulan, jenis kelamin,
pendidikan ibu dan umur ibu serta jumlah anggota keluarga. Kemudian dilakukan
pengeluaran contoh berdasarkan kriteria eksklusi yaitu nilai z-score yang
diperoleh melewati batasan antrho 2005 yaitu BB/U z-score -6 sampai dengan +
5, BB/TB z-score -5 sampai dengan +5 dan TB/U -6 sampai dengan +6. Dari
ketiga wilayah penelitian tersebut, akhirnya di dapat contoh sebanyak 1724 batita.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data penelitian ini merupakan data primer Riskesdas yang telah mengalami
proses coding, editing dan cleaning dari Balitbangkes Depkes. Data-data yang
diambil dari kuesioner Riskesdas disesuaikan dengan kebutuhan penelitian
meliputi:
1. Data karakteristik batita meliputi: berat badan, tinggi badan/panjang badan,
umur batita dan jenis kelamin dan keluarga: umur ibu, tingkat pendidikan ibu,
dan jumlah anggota.
25
2. Data penyakit infeksi balita ISPA, Pneumonia, Diare, Campak dan TB Paru.
3. Akses ke pelayanan kesehatan: jarak dan waktu tempuh terdekat, transportasi
ke sarana pelayanan kesehatan.
4. Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan 6 bulan terakhir.
5. Pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi: penimbangan, penyuluhan,
imunisasi, kesehatan ibu dan anak (KIA), pengobatan, pemberian makanan
tambahan (PMT), suplemen gizi, dan konsultasi resiko penyakit.
6. Ketanggapan pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan rawat jalan.
Pengolahan Data
Dalam tahap pengolahan data digunakan program komputer software
microsoft Ecxel 2007, kemudian dilakukan kegiatan-kegiatan pengkodean, editing
dan cleaning. Cleaning dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya data yang
salah atau missing, apabila data yang diambil terdapat data yang hilang (missing),
maka dilakukan kembali konfirmasi, dan dicek ulang apakah diambil atau di
buang.
Status gizi batita diolah dengan program software anthro 2005, dianalisis secara statistik dan deskriptif disajikan dalam 3 (tiga) indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Data antropometri anak 0-3 tahun untuk melihat secara deskriptif dibuat kategori sesuai dengan standar anthropometri WHO 2006 (Riskesdas 2007) dengan klasifikasi nilai terstandar (z-score) seperti telah dijelaskan pada tinjauan pustaka. Skala pengukuran ordinal dan rasio.
Pendidikan ibu diolah secara deskriptif dengan melihat kategori tingkat
pendidikan ibu dari pendidikan formal yang ditamatkan, kemudian dikategorikan
menjadi tidak sekolah 0 tahun, tidak tamat SD = 5 tahun, tamat SD 6 tahun,
tamat SMP 9 tahun, tamat SMA 12 tahun dan PT 16 tahun dengan skala rasio dan
ordinal. Umur ibu dibuat kategori 16-25 tahun, 26-40 tahun dan >40 tahun, skala
rasio dan ordinal. Jumlah anggota keluarga dihitung dari jumlah anggota keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya. Kemudian
dikategorikan menjadi kecil < 4 orang, sedang 5-7 orang dan besar >7 orang
dengan skala rasio dan ordinal. Akses ke pelayanan kesehatan diukur dengan
melihat waktu, jarak tempuh dan transportasi (dengan kategori ada dan tidak ada
26
transportasi). Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan diolah dengan melihat
berapa kali dalam 6 bulan terakhir orang tua batita ke pelayanan kesehatan
terdekat (Puskesmas, Posyandu/Poskesdes maupun di Polindes atau bidan desa)
untuk menimbang (memantau pertumbuhan) anaknya. Dibuat kategori baik jika
>4 kali kunjungan, sedang jika 1-3 kali kunjungan dan buruk jika tidak pernah
kunjungan, skala pengukuran ordinal dan rasio.
Ketanggapan pelayanan kesehatan diukur dengan melihat jawaban 1) sangat
baik, 2) baik, 3) sedang, 4) buruk dan sangat buruk. Kemudian dibuat skor untuk
jawaban 1= 4, 2=3, 3=2, 2=1 dan 5=0. Dengan skor tertinggi 20 dan dibuat
kategori baik jika skor >12 (>60%) dan kurang jika skor <12 (<60%) untuk
jelasnya dapat dilihat pada lampiran 3.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan diukur dengan melihat jenis-jenis
pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan dalam 6 bulan terakhir baik di
Puskesmas, Posyandu/Poskesdes maupun di Polindes atau bidan desa terdekat.
Program-program pelayanan kesehatan tersebut meliputi: penimbangan,
penyuluhan, imunisasi, KIA, KB, pengobatan, PMT suplemen gizi, dan
konsultasi resiko penyakit. Jenis-jenis pelayanan kesehatan ini diolah dengan
memberikan kategori jawaban ya (memanfaatkan) dan tidak (tidak
memanfaatkan), kemudian diskors dengan menjumlahkan jenis pelayanan yang
dimanfaatkan. Setiap jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan diberi skor 1
(satu) dan nol (0) untuk jenis pelayanan kesehatan yang tidak dimanfaatkan. Skala
pengukuran ordinal untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan dan rasio untuk
variabel pelayanan kesehatan (skor pada lampiran 5)
Penyakit infeksi diukur dengan kuesioner diagnosa dan atau gejala spesifik
dari penyakit yang pernah di derita batita selama 1 bulan terakhir untuk penyakit
ISPA, Pneumonia dan Diare sedangkan penyakit Campak dan TB Paru 12 bulan
terakhir. Dikatakan infeksi jika berdasarkan diagnosa terkena penyakit tersebut
dan atau hanya gejala spesifik dari penyakit infeksi tersebut. Penyakit infeksi
diolah dengan pengkategorian infeksi (jika jawaban ya) diberi skor 1 (satu) untuk
penyakit yang jawabannya tidak infeksi jika jawaban tidak skor 0 (nol) , kemudian
secara keseluruhan dijumlahkan skornya dan dibuat variabel penyakit infeksi
(skor pada lampiran 6).
27
Analisis Data
Pada tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer
software SPSS for windows versi 16,0. Untuk melihat secara umum dilakukan
analisis univariat, untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji
statistik chi-square test dan moment pearson correlation test. Dan untuk menguji
pengaruh berbagai variabel independen terhadap suatu variabel dependen
digunakan uji statistik regresi linier berganda ( Syarief 1992; Hastono 2001).
Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
kesehatan yaitu umur ibu, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, penyakit
infeksi dan ketanggapan pelayanan kesehatan. Model persamaan Regresi linier
berganda adalah sebagai berikut :
Ŷ1= Ŷ2= Ŷ3 = β0+β1X1+ β2 X2+ ......................... + βn XnKeterangan:
+ €
Ŷ1Ŷ
= Variabel terikat status gizi batita BB/TB 2
Ŷ = Variabel terikat status gizi batita BB/U 3
= Variabel terikat status gizi batita TB/U
β1, β2,.......... βn β
= Koefisien Regresi € = Galat 0 = Intercept X1,X2 ....... Xn
= Variabel bebas
Variabel bebas: Kode X1X
: Umur ibu 2
X: Lama pendidikan ibu
3 X
: Jumlah anggota keluarga 4
X: Penyakit infeksi
5
: Pemanfaatan pelayanan kesehatan
28
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, sehingga hubungan
atau perbedaan yang ditemukan antara variabel independen dan variabel dependen
bukan merupakan sebab akibat. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut
diukur pada saat yang bersamaan. Pada analisis univariat dan bivariat hubungan
yang ditunjukkan hanyalah kecendrungan hubungan antar variabel. Namun
dengan dilakukannya analisis multivariat diharapkan dapat memberikan hasil
yang baik untuk mengetahui hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan
status gizi batita.
Penelitian ini melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
batita baik dari segi karakteristik keluarga maupun dari segi pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Pada kerangka Unicef (1998) banyak faktor yang
mempengaruhi status gizi batita di luar variabel yang diteliti seperti pola asuh,
sanitasi ketersediaan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Namun
penelitian ini difokuskan pada variabel yang terlihat pada kerangka pemikiran.
Data primer yang diperoleh dari Balitbangkes Depkes RI telah melalui
proses verifikasi, editing dan cleaning sehingga bias penelitian baik pada saat
pengumpulan data sampai dengan cleaning data dapat terjadi karena peneliti tidak
terlibat langsung dalam survey ini.
Batasan Operasional
Status Gizi Batita
Keadaan gizi anak batita yang diamati berdasarkan nilai z-score indikator
berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut panjang/tinggi
badan (BB/TB) dan panjang/tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan
standart antropometri WHO 2006.
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas
kesehatan di tempat pelayanan kesehatan seperti: Puskesmas, Polindes,
Poskesdes, Posyandu dan bidan desa.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang
dimanfaatkan oleh batita baik preventif maupun kuratif yang meliputi:
29
penimbangan, penyuluhan, kesehatan ibu dan anak, pemberian makanan
tambahan, pengobatan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit di
pelayanan kesehatan.
Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga pada penelitian ini meliputi: umur ibu, pendidikan
ibu dan jumlah anggota keluarga.
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi yang pernah diderita oleh batita yang dinilai berdasarkan
penyakit TB Paru dan Campak pernah diderita dalam 12 bulan terakhir dan
penyakit Diare, ISPA dan Pneumonia yang pernah diderita dalam 1 bulan
terakhir yang diukur melalui wawancara dengan orang tua anak.
Dikategorikan menjadi dua yaitu pernah menderita infeksi dan tidak infeksi.
Akses ke Pelayanan Kesehatan
Tingkat kemudahan dalam mengakses dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu serta adanya
transportasi yang diperlukan agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang
tersedia baik pemerintah maupun UKBM yang ada.
Ketanggapan pelayanan kesehatan
Penilaian yang diberikan rumah tangga batita yang memanfaatkan
pelayanan kesehatan terdekat untuk rawat jalan di pelayanan kesehatan (RS
Pemerintah, RS swasta, Rumah bersalin, Puskesmas, Pustu, Pusling,
Posyandu, Poliklinik/balai pengobatan swasta, praktek tenaga kesehatan)
yang diukur dengan beberapa kuesioner Riskesdas pada lembar pertanyaan
rumah tangga dan individu yang dibuat kategori baik dan kurang baik.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Geografi
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di
wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa
Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian
timur laut, tenggara, barat, dan barat laut dibatasi oleh wilayah provinsi Jawa
Tengah yang meliputi: Kabupaten Klaten di sebelah Timur Laut, Kabupaten
Wonogiri di sebelah Tenggara, Kabupaten Purworejo di sebelah Barat, Kabupaten
Magelang di sebelah Barat Laut (BPS 2007)
Posisi DI Yogyakarta yang terletak antara 7°33’- 8°12’ Lintang Selatan dan
110°00’-110°50’ Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3 185.80 km² atau 0.17
persen dari luas Indonesia (1 860 359.67 km²), merupakan provinsi terkecil
setelah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan
Nasional, dari 3 185.80 km² luas DIY sebagian besar wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta terletak pada ketinggian antara 100m–499m dari permukaan laut
tercatat sebesar 65.65%, ketinggian kurang dari 100 m sebesar 28.84%, ketinggian
antara 500m–999m sebesar 5.04% dan ketinggian di atas 1000 m sebesar 0.47%.
Posisi geografis Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebelah Utara
berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan dengan lautan Hindia, sebelah
Timur dengan Negara Timor Lorosae dan Laut Timor dan sebelah Barat dengan
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kedudukan Astronomis terletak pada 80 - 120
Lintang Selatan dan 1180 - 1250 Bujur Timur. Selanjutnya Nusa Tenggara Timur
memiliki kondisi geografis yang bervariasi, seperti Pulau Flores, Alor, Komodo,
Solor, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya di jalur utara terbentuk secara
vulkanik. Sedangkan Pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor dan pulau-pulau
sekitarnya di selatan merupakan daerah karang, karena terbentuk dari dasar laut
yang terangkat ke permukaan (BPS 2007)
Dengan kondisi seperti ini maka pulau-pulau yang terletak pada jalur
vulkanik dapat dikategorikan sebagai daerah yang subur, sedangkan daerah
karang pada umumnya kurang subur. Wilayah administratif Pemerintah Provinsi
NTT telah berkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan
31
kependudukan. Provinsi NTT terdiri dari 19 Kabupaten, 1 Kota, 273 Kecamatan
dan 2796 Desa/Kelurahan. Luas wilayah masing-masing kabupaten cukup
bervariasi, dimana Kabupaten Sumba Timur memiliki luas terbesar yaitu 7 000.50
km2 dan yang terkecil adalah Kota Kupang dengan luas 160.34 km2.
Propinsi Sumatera Selatan terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa
pada 10 - 40 derajat lintang Selatan dan 102 - 108 derajat Bujur Timur dengan
luas wilayah 8 701 742 ha. Bagian daratan propinsi ini berbatasan dengan
Propinsi Jambi di sebelah Utara, Propinsi Lampung di Selatan dan Propinsi
Bengkulu di bagian Barat. Sedang di bagian Timur berbatasan dengan Pulau
Bangka dan Belitung. Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Bumi
Sriwijaya karena wilayah ini dalam abad 712 Masehi merupakan pusat kerajaan
maritim terbesar dan terkuat di Indonesia yang berpengaruh sampai ke Formosa
dan Cina di Asia serta Madagaskar di Afrika (Profil Sumsel 2007).
Disamping itu, Sumatra Selatan sering pula disebut sebagai Daerah
Batanghari Sembilan karena di kawasan ini terdapat 9 sungai besar yang dapat
dilayari sampai jauh ke hulu, yakni: sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang,
Kelingi, Rawas, Batanghari Leko dan Lalan serta puluhan lagi cabang-cabangnya.
Wilayah ini beriklim tropis dan basah. Sepanjang tahun propinsi ini hanya
dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Suhu
udaranya bervariasi antara 24.7oC sampai 32.9 o
C dengan tingkat kelembaban
udara berkisar antara 82% sampai 88%.
Demografi Berdasarkan hasil Hasil Proyeksi SUPAS 2005, tahun 2007 jumlah
penduduk Provinsi DI Yogyakarta tercatat 3 434 534 jiwa, dengan persentase
jumlah penduduk laki-laki 50.16% dan penduduk perempuan 49.84%. Menurut
daerah, persentase penduduk kota mencapai 60.57% dan penduduk desa mencapai
39.31% (Susenas 2007). Pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 sebesar 1.01%
relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya.
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki angka
pertumbuhan di atas angka provinsi, masing-masing sebesar 1.46 persen, 1.34
persen dan 1.32 persen. Dengan luas wilayah 3 185.80 km2, kepadatan penduduk
di DI Yogyakarta tercatat 1.079 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota
Yogyakarta yakni 13.881 jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar 1
32
persen dari luas Provinsi DI Yogyakarta. Sedangkan Kabupaten Gunung Kidul
yang memiliki wilayah terluas mencapai 46.63% memiliki kepadatan penduduk
terendah yang dihuni rata-rata 461 jiwa per km2 (BPS 2007).
Tabel 2 Sebaran penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut
kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok Umur
Daerah Istimewa Yogyakarta Laki-laki % Perempuan % Jumlah %
0-4 108 200 52 100 900 48 209 100 100 4-9 102 600 51 97 900 49 200 500 100
10-14 116 600 51 111 000 49 227 600 100 15-19 141 100 52 130 900 48 272 000 100 20-24 179 400 53 159 900 47 339 300 100 25-29 197 000 54 171 000 46 368 000 100 30-34 161 800 52 150 900 48 312 700 100 35-39 126 400 49 131 900 51 258 300 100 40-44 119 100 48 128 000 52 247 100 100 45-49 109 900 49 115 000 51 224 900 100 50-54 92 700 49 95 000 51 187 700 100 55-59 71 400 48 76 100 52 147 500 100 60-64 56 300 46 65 000 54 121 300 100 65-69 50 200 46 59 000 54 109 200 100 70-74 40 900 44 51 100 56 92 000 100 75+ 49 200 42 68 100 58 117 300 100
Jumlah 1 722 800 50 1 711 700 50 3 434 500 100 Sumber BPS tahun 2007
Komposisi kelompok umur penduduk DI Yogyakarta didominasi oleh
kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 10.71 persen. Kelompok
umur 0-24 tahun tercatat 36.35%, kelompok umur 25-59 tahun 50.84%, dan lanjut
usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 12.81%. Besarnya proporsi mereka yang
berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DI
Yogyakarta.
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 berjumlah 7 019 964 jiwa yang
terdiri dari 3 571 271 penduduk laki-laki dan 3 448 693 penduduk perempuan.
Penduduk Sumatera Selatan bertambah dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar
1.74% pertahun. Tingkat kepadatan penduduk provinsi Sumatera Selatan sekitar
80.67 km2. Dari 14 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, Kota
Palembang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi sebesar 3 729.52 orang
33
per km2. Sedangkan kepadatan penduduk paling kecil adalah Kabupaten Musi
Banyuasin yaitu 34.39 orang per km2
.
Tabel 3 Sebaran penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok
Umur Sumatera Selatan
Laki-laki % Perempuan % Jumlah % 0-4 406 265 51 384 294 49 790 559 100 4-9 355 177 52 328 064 48 683 181 100
10-14 381 532 52 354 448 48 735 980 100 15-19 371 115 53 333 996 47 705 111 100 20-24 319 789 51 308 258 49 628 047 100 25-29 303 929 49 319 078 51 623 007 100 30-34 266 372 49 275 893 51 542 265 100 35-39 271 913 51 257 567 49 529 480 100 40-44 234 743 50 236 291 50 471 034 100 45-49 204 783 50 204 730 50 409 513 100 50-54 174 228 52 161 551 48 335 779 100 55-59 112 953 54 95 022 46 207 975 100 60-64 232 238 48 252 106 52 484 344 100
Jumlah 3 635 037 51 3 511 298 49 7 146 275 Sumber BPS tahun 2007
Penduduk Sumatera Selatan menurut kelompok umur menunjukkan bahwa
29.68% berusia muda (0-14 tahun), 63.42% berusia produktif (umur 15-59 tahun)
dan hanya 6.9% yang berumur 60 tahun lebih.
Untuk Provinsi NTT berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk tahun
2007 sebanyak 4 448 873 jiwa yang tersebar di seluruh NTT, dengan tingkat
kepadatan 93.96 jiwa per km² dan angka pertumbuhan penduduk sebesar 2.10%.
Kabupaten/Kota pada tahun 2007 yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi
adalah Kota Kupang, yaitu sebesar 1 785.57 jiwa per km² dan Kabupaten Belu
sebesar 170.92 jiwa per km². Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Sumba
Timur, yaitu sebesar 31.87 jiwa per km², disusul Kabupaten Alor dan Kabupaten
Kupang, masing-masing sebesar 62.47 jiwa per km² dan 68.24 jiwa per km².
Tabel 4 Sebaran penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok
Umur Nusa Tenggara Timur
Laki-laki % Perempuan % Jumlah %
34
0-4 258 800 51 246 300 49 505 100 100 4-9 241 300 51 229 300 49 470 600 100
10-14 261 300 51 250 300 49 511 600 100 15-19 248 200 52 233 300 48 481 500 100 20-24 209 600 51 203 300 49 412 900 100 25-29 173 000 49 183 200 51 356 200 100 30-34 144 800 46 167 200 54 312 000 100 35-39 134 600 47 151 200 53 285 800 100 40-44 125 500 48 134 100 52 259 600 100 45-49 110 200 49 113 200 51 223 400 100 50-54 88 200 49 90 100 51 178 300 100 55-59 68 100 49 71 100 51 139 200 100 60-64 52 000 49 55 100 51 107 100 100 65-69 40 000 48 43 000 52 83 000 100 70-74 28 800 47 32 100 53 60 900 100 75+ 28 600 46 33 100 54 61 700 100
Jumlah 2 213 000 50 2 235 900 50 4 448 900 100 Sumber BPS tahun 2007
Sebaran penduduk NTT menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa
penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 33.43%, yang berusia produktif
(15-64 tahun) sebesar 61.95% dan yang berusia tua ( ≥ 65 tahun) sebesar 4.62%.
Pendidikan
Sumber daya manusia akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
seseorang. Dari data Susenas 2007 data pendidikan disajikan dalam data tingkat
pendidikan penduduk. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki penduduk merupakan
indikator pokok kualitas pendidikan formal. Semakin tinggi ijazah/STTB yang
dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara mencerminkan semakin tingginya
taraf intelektualitas bangsa dan negara tersebut.
Di Provinsi DI Yogyakarta, pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk
umur 10 tahun keatas terbanyak adalah tamat SD (23.81%), sedang penduduk
yang tamat SMU ke atas 31.04%. Bila dilihat menurut Kab/Kota, jenjang
pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak adalah SD, kecuali di Kabupaten
Sleman dan Kota Yogyakarta pendidikan tertinggi yang ditamatkan terbanyak
adalah SMU masing-masing sebanyak 23.92% dan 32.96% laporan Riskesdas
DIY (2007)
35
Di NTT tahun 2006, persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang
tidak/belum memiliki ijazah/surat tanda tamat belajar (STTB) sebanyak 42.04%.
Sedangkan yang sudah memiliki ijazah terdiri atas tamatan SD/MI (32.27%),
tamat SLTP/MTs (11.59%), tamat SMU/SMK (11.28%), dan tamat Diploma I
sampai dengan Universitas (2.90%). Dengan demikian maka persentase penduduk
berumur 10 tahun keatas yang memiliki ijazah SMU/SMK atau pendidikan yang
lebih tinggi (14.18%). Kabupaten/kota dengan persentase tertinggi penduduknya
berpendidikan SMU/SMK atau lebih tinggi adalah Kota Kupang (43.10%) dan
Ende (15.77%). Sedangkan yang terendah di Kabupaten Timor Tengah Selatan
(7.01%) dan Timor Tengah Utara (7.76%). Dilihat dari jenis kelamin,
ijazah/STTB yang dimiliki oleh penduduk laki-laki lebih baik bila dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk yang
mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki sebesar 15.84% dan
pada perempuan sebesar 12.28% (BPS 2007).
Di Sumatera Selatan penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang
tidak/belum memiliki ijazah sebesar 21.43%, tamat SD/MI sederajat sebesar
27.23%, SLTP/MTs sederajat sebesar 14.49%, SMU/SMA sederajat sebesar
14.3%, Diploma hingga Perguruan Tinggi sebesar 3.27%. Dilihat dari jenis
kelamin, ijazah/STTB yang dimiliki oleh penduduk laki-laki masih lebih baik bila
dibandingkan yang dimiliki perempuan. Hal ini dapat dilihat dari persentase
penduduk yang mempunyai ijazah SMU/SMK atau lebih tinggi pada laki-laki
sebesar 8.1% dan pada perempuan sebesar 6.28% (BPS 2007).
Keadaan Kesehatan di Wilayah Penelitian
Sarana pelayanan kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan yang
sangat penting mendapat perhatian dalam menjaga kesehatan masyarakat. Di
Provinsi Sumatera Selatan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia ada 40
RSU/RSUD, 265 puskesmas, 920 puskesmas pembantu, 1 713 poskesdes, 6 289
poyandu. Sarana pelayanan kesehatan yang ada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah 277 puskesmas, 5 306 posyandu, 1 499 polindes. Dan yang
ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur 253 puskesmas, 866 pustu, 19 566
posyandu dan 1 051 polindes sumber Pusdatin-Depkes (2007).
36
Data prevalensi penyakit ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare yang diderita oleh batita di ketiga wilayah penelitian dari data Riskesdas 2007. Tabel 5 Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB Paru, Campak dan Diare menurut
karakteristik umur Kelompok Umur (th)
ISPA Pneumonia TB Paru Campak Diare D DG D DG D DG D DG D DG
DIY < 1 1-4
35.5 48.3
20.4 21.3
3.9 2.7
0.7 0.7
-
3.6
-
2.2
2.0 1.6
1.3 0.7
7.2 4.0
50.0 54.8
Sumsel < 1 1-4
16.2 19.4
28.4 33.4
1.4 1.2
2.1 1.9
0.5 0.2
0.5 0.3
2.4 1.9
3.1 2.2
17.7 14.7
69.9 67.1
NTT < 1 1-4
57.1 58.3
22.9 20.4
4.6 5.9
21.1 19.9
-
0.7
-
0.1
2.1 2.9
1.5 1.1
14.0 13.6
59.8 67.0
Nasional < 1 1-4
14.9 16.1
35.92 42.53
0.76 1.00
2.20 3.02
0.17 0.38
0.47 0.76
1.81 2.36
2.44 3.41
16.5 16.7
52.8 55.5
Sumber Riskesdas Nasional, DI Yogyakarta, Sumsel dan NTT 2007
Keadaan kesehatan di ketiga wilayah penelitian dilihat dari prevalensi kejadian 5 penyakit (ISPA, Pneumonia, Diare, Campak dan TB Paru) adalah prevalensi kejadian ISPA (diagnosa) tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur 57.1% untuk anak < 1 tahun dan 58.3% untuk anak umur 1-4 tahun. Sedangkan untuk ISPA (dengan gejala) tertinggi di provinsi Sumatera Selatan terdapat 28.4% pada anak < 1 tahun dan 33.4% pada anak 1-4 tahun. Prevalensi kejadian
Pneumonia diagnosa dan dengan gejala juga tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk penyakit TB Paru baik diagnosa maupun dengan gejala tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, akan tetapi kasus untu anak <1 tahun hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur. Penyakit Campak (diagnosa) tertinggi di Nusa Tenggara Timur, tetapi untuk Campak dengan gejala tertinggi di Sumatera
Selatan. Prevalensi Diare diagnosa dan dengan gejala untuk anak <1 tahun tertinggi di Sumatera Selatan dibandingkan dengan ke dua provinsi yang lain.
Status Gizi Batita
Penilaian status gizi anak dinilai dari berat badan dan panjang atau tinggi
badan serta umur kemudian dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar z-score
37
berdasarkan standar baku WHO (2006). Pengukuran status gizi menggunakan
indikator BB/U, BB/TB dan TB/U. Indikator BB/U dan BB/TB digunakan untuk
mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indikator TB/U digunakan
untuk menggambarkan status gizi masa lalu.
Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai
akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada kondisi
dengan adanya penyakit infeksi dan kurang gizi berat badan anak akan cepat turun
sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya sehingga anak menjadi
kurus. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam
manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai z-
score < -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurus dengan istilah wasting
untuk gabungan kategori sangat kurus dan kurus. Besarnya masalah wasting pada
balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health
problem) adalah jika prevalensi wasting 10,1% s/d 15,0% sudah dianggap serius,
dan dianggap kritis bila prevalensi wasting sudah > 15,0% (UNHCR). Rata-rata
z-score status gizi batita contoh dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2 SD.
Tabel 6 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/TB di Provinsi
Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur
Provinsi Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/TB Jumlah Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % n %
DIY Sumsel NTT
6 96 108
3.1 13.7 13.1
13 43 85
6.7 6.1 10.3
150 412 562
76.9 58.7 68
26 151 72
13.3 21.5 8.7
195 702 827
100 100 100
Total 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.1 1724 100
Tabel 6 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator
BB/TB di ketiga wilayah penelitian. Prevalensi wasting tertinggi di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yaitu 23.4% dan Sumatera Selatan yaitu 19.8% merupakan
masalah gizi kronis yang sangat kritis (>15%), dan terendah di Provinsi DI
yogyakarta (9.8%) termasuk masalah gizi sedang. Pada penelitian ini diperoleh
hasil prevalensi wasting adalah 20.4%, sedangkan prevalensi nasional 19.8%. Hal
38
ini menunjukkaan bahwa masalah wasting merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang kritis pada batita.
Tabel 7 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator
BB/TB
Karakteristik Keluarga
Indikator BB/TB Jumlah Sangat
Kurus Kurus Normal Gemuk
n % n % n % n % n % Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah 6 0.3 5 0.3 42 2.4 5 0.3 58 3.4 -Tidak Tamat SD 38 2.2 25 1.5 197 11.4 41 2.4 301 17.5 -Tamat SD 90 5.2 66 3.8 479 27.8 83 4.8 718 41.6 -Tamat SMP 38 2.2 20 1.2 196 11.4 61 3.5 315 18.3 -Tamat SMA 31 1.8 24 1.4 196 11.4 53 3.1 304 17.6 -Tamat PT 7 0.4 1 0.1 14 0.8 6 0.3 28 1.6
Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 Umur Ibu 16-25 tahun 62 3.6 35 2.0 302 17.5 76 4.4 475 27.6 26-40 tahun 133 7.7 97 5.6 746 43.3 153 8.9 1129 65.5 >40 tahun 15 0.9 9 0.5 76 4.4 20 1.2 120 7.0
Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100 Jumlah anggota < 4 orang 63 3.7 44 2.6 388 22.5 83 4.8 578 33.5 5-7 orang 107 6.2 83 4.8 599 34.7 131 7.6 920 53.4 >7 orang 40 2.3 14 0.8 137 7.9 35 2.0 226 13.1
Jumlah 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100
Berdasarkan Tabel 7, ibu yang berpendidikan formal tertinggi hanya tamat
SD (41.6%) dari tabulasi silang memiliki batita yang berstatus gizi wasting dan
status gizi gemuk terbanyak yaitu sebesar 9% dan 4.8%. Hasil analisis statistik
moment pearson correlation test diperoleh nilai p < 0.05 yang menunjukkan
bahwa lama pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan status gizi
batita indikator BB/TB (r=0.083, p=0.001). Ini memperlihatkan bahwa pendidikan
ibu merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki ibu untuk meningkatkan
kemampuan dalam pengasuhan anak, di mana pengasuhan adalah suatu proses,
baik atau rendahnyanya kualitas pola asuh salah satunya ditentukan oleh
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki ibu, sehingga hasilnya dapat dilihat
dari baik buruknya status gizi anaknya. Semakin lama masa pendidikan ibu maka
status gizi anaknya cendrung baik.
39
Ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%) dari tabulasi silang memiliki batita
dengan status gizi wasting dan gemuk terbanyak yaitu sebesar 13.3% dan 8.9%
dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan status gizi batita indikator
BB/TB.
Keluarga batita dengan jumlah anggota 5-7 orang (53.4%) dari tabulasi silang terbanyak memiliki batita dengan status gizi wasting dan gemuk yaitu sebesar 11% dan 7.6%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik moment pearson correlation test didapat nilai p<0.05 (r=-0.047, p=0.049) yang berarti terdapat korelasi negatif antara status gizi indikator BB/TB dengan jumlah anggota keluarga. Logikanya dengan jumlah anggota yang banyak akan mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi akan semakin sedikit, jika makanan yang dikonsumsi tidak sesuai atau kurang dari kebutuhan maka dalam jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan kurang gizi pada batita. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhardjo (1989) dan Sanjur (1982) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan jumlah anggota keluarga dengan status gizi anak.
Tabel 8 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi berdasarkan
indikator BB/TB
Penyakit Infeksi
Indikator BB/TB Jumlah Sangat
Kurus Kurus Normal Gemuk
n % n % n % n % n %
- Pernah Infeksi - Tidak Infeksi
114 96
6.6 5.6
82 59
4.8 3.4
452 672
39
26.2
128 121
7.4 7.0
996 728
57.8 42.2
Total 210 12.2 141 8.2 1124 65.2 249 14.4 1724 100
Sebaran batita dengan status gizi BB/TB berdasarkan infeksi penyakit
disajikan pada Tabel 8. Prevalensi wasting pada batita yang didiagnosa atau
mengalami gejala penyakit infeksi terdapat sebanyak 13.4%. Berdasarkan uji
statistik terdapat korelasi negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita
indikator BB/TB (r=-0.061 p=0.011) yang berarti bahwa batita yang mengalami
penyakit infeksi lebih dari satu penyakit cendrung mengalami status gizi wasting
dibandingkan dengan batita yang hanya mengalami satu penyakit. Hasil penelitian
40
ini sejalan dengan pendapat Moehyi (1996) yang menyatakan bahwa status gizi
anak mempunyai hubungan yang timbal balik dengan penyakit infeksi. Anak yang
terinfeksi penyakit biasanya akan mempengaruhi status gizinya.
Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Indikator BB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya umum dan tidak
spesifik. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam
manajemen gizi buruk adalah indikator gizi buruk yaitu anak dengan nilai z-score
< -3,0 SD. Selanjutnya digunakan masalah kurang gizi dengan istilah underweight
untuk gabungan kategori gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya masalah kurang
gizi pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public
health problem) adalah jika prevalensi underweight <10% (rendah), 10-19.9%
(sedang), 20-29.9% (tinggi) dan sangat tinggi jika >30% (WHO 1995).
Tabel 9 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator BB/U di Provinsi
Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur
Provinsi Status Gizi Batita berdasarkan Indikator BB/U Jumlah Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % n %
DIY Sumsel NTT
20 140 225
10.3 19.9 27.2
38 104 184
19.5 14.8 22.2
116 302 312
59.5 43 37.7
21 156 106
10.8 22.2 12.8
195 702 827
100 100 100
Total 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100
Rata-rata z-score status gizi batita dengan indikator BB/U adalah -0.88 ± 2.8
SD. Masalah kurang gizi pada batita sangat rawan sekali ini terlihat dari tingginya
angka prevalensi di ke tiga wilayah penelitan. Prevalensi underweight berturut-
turut di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta
yaitu 49.4% (sangat tinggi), 34.7% (tinggi) dan 19.8% (sedang). Prevalensi
underweight hasil penelitian ini adalah 41.2%, hal ini menunjukkaan bahwa
masalah underweight merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
tinggi pada anak batita (Tabel 9).
41
Tabel 10 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dan status gizi indikator BB/U
Karakteristik Keluarga
Indikator BB/U Jumlah
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi lebih n % n % n % n % n %
Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah 12 0.7 7 0.4 30 1.7 9 0.5 58 3.4
-Tidak Tamat SD 73 4.2 55 3.2 120 7.0 53 3.1 301 1.5
-Tamat SD 184 10.7 160 9.3 270 15.7 104 6.0 718 41.6 -Tamat SMP 62 3.6 50 2.9 147 8.5 56 3.2 315 18.3 -Tamat SMA 49 2.8 51 3.0 147 8.5 57 3.3 304 17.6 -Tamat PT 5 0.3 3 0.2 16 0.9 4 0.2 28 1.6
Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Umur Ibu 16-25 tahun 107 6.2 78 4.5 203 11.8 87 5.0 475 27.6 26-40 tahun 244 14.2 234 13.6 480 27.8 171 9.9 1129 65.5 >40 tahun 34 2.0 14 0.8 47 2.7 25 1.5 120 7.0
Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100 Jumlah anggota < 4 orang 118 6.8 113 6.6 251 14.6 96 5.6 578 33.5 5-7 orang 206 11.9 176 10.2 391 22.7 147 8.5 920 53.4 >7 orang 61 3.5 37 2.1 88 5.1 40 2.3 226 13.1
Jumlah 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebaran batita berdasarkan lama pendidikan ibu dari tabulasi silang adalah ibu batita yang berpendidikan hanya tamat SD (41.6%) mempunyai 20% batita yang berstatus gizi underweight dan status gizi lebih (6.0%). Hasil uji statistik moment pearson correlation test memperlihatkan hubungan yang positif antara status gizi batita indikator BB/U dengan lama pendidikan ibu p<0.05 (r=0.062, p=0.010). Semakin lama ibu mendapatkan pendidikan maka status gizi anaknya cendrung baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Soekirman (1990); Amine et al.(1996); Madanijah (2003); Leslie (1985) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak.
Dilihat dari tabulasi silang, ibu yang berumur 26-40 tahun (65.5%)
mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gizi lebih terbanyak yaitu
sebesar 27.8% dan 9.9%, dengan uji ststistik korelasi pearson didapat hasil tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U dengan
42
umur ibu (p>0.05). Dari 53.4% rumah tangga batita dengan jumlah anggota 5-7
orang mempunyai batita dengan status gizi underweight dan gemuk terbanyak
berturut-turut sebesar 22.1% dan 8.5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 10. Hasil analisis statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
status gizi batita indikator BB/U dengan jumlah anggota keluarga.
Tabel 11 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator BB/U
Penyakit Infeksi Indikator BB/U
Jumlah Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih n % n % n % n % n %
- Pernah Infeksi - Tidak Infeksi
221 164
12.8 9.5
206 120
11.9
7
426 304
24.7 17.6
143 140
8.3 8.1
996 728
57.8 42.2
Total 385 22.3 326 18.9 730 42.3 283 16.4 1724 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tabulasi silang prevalensi
underweight pada kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah
sebesar 24.7%. Dari analisis statistik diperoleh hasil r=-0.061 p=0.011, hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penyakit infeksi dengan
status gizi batita indikator BB/U. Artinya semakin banyak penyakit infeksi yang
diderita batita maka status gizinya akan cendrung underweight. Hal ini didukung
oleh pendapat Scrimshaw (1986) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat
berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh karena dapat menurunkan nafsu
makan sehingga konsumsi makanan menurun. Lebih lanjut infeksi membuat
ketidakseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Status gizi berdasarkan indikator TB/U merupakan gambaran status gizi
dalam jangka waktu yang lama (kronis), artinya muncul sebagai akibat dari
keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, pola asuh yang
tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi
yang kurang baik. Status gizi sangat pendek dan pendek dalam pembahasan
selanjutnya disebut stunting. Prevalensi stunting merupakan masalah kesehatan
43
masyarakat jika < 20% (rendah), 20-29.9% (sedang), 30-39.9% (tinggi/serius)
dan > 40% (sangat tinggi/kritis). Rata-rata z-score status gizi indikator TB/U
adalah -0.78 ± 1.76 SD.
Tabel 12 Sebaran batita berdasarkan status gizi indikator TB/U di Provinsi
Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur
Provinsi Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U
Total Sangat Pendek Pendek Normal
n % n % n % n %
DIY Sumsel NTT
2 33 78
1 4.7 9.4
20 72 186
10.3 10.3 22.5
173 597 563
88.7 85 68.1
195 702 827
100 100 100
Total 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100
Tabel 12 menyajikan prevalensi status gizi batita berdasarkan indikator
TB/U di ketiga provinsi wilayah penelitian. Prevalensi stunting berturut-turut
Provinsi Nusa Tenggara Timur 31.9% (tinggi/serius), Sumatera Selatan 15% dan
DI Yogyakarta 11.3% termasuk kategori masalah stunting yang rendah. Hasil
penelitian ini prevalensi stunting 22.7% (tinggi/serius). Penyebab kejadian
stunting terjadi pada saat prenatal dan post natal terutama pada dua tahun pertama
(ACC/SCN 1997). Menurut Scmidth et al. (2003), status gizi dan pertumbuhan
linier pada bayi hingga usia 12 bulan merupakan determinan dari lingkungan
prenatal. Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan terbatasnya
kapasitas kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh (Haas et al. 1996)
Berdasarkan beberapa studi menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan linier
disebabkan karena defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro seperti seng,
vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al. 1988; Angeles et
al. 1993).
Gangguan Pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak
mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak
kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan
yang tidak memadai (ACC/SCN 1997).
44
Tabel 13 Sebaran batita menurut karakteristik keluarga dengan status gizi indikator TB/U
Karakteristik Keluarga
Indikator TB/U Jumlah Sangat Pendek Pendek Normal
n % n % n % n %
Pendidikan Ibu -Tidak Sekolah 4 0.2 10 0.6 44 2.6 58 3.4 -Tidak Tamat SD 22 1.3 53 3.1 226 13.1 301 17.5 -Tamat SD 56 3.2 142 8.2 520 30.2 718 41.6 -Tamat SMP 19 1.1 36 2.1 260 15.1 315 18.3 -Tamat SMA 11 0.6 36 2.1 257 14.9 304 17.6 -Tamat PT 1 0.1 1 0.1 26 1.5 28 1.6
Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100
Umur Ibu
16-25 tahun 32 1.9 62 3.6 381 22.1 475 27.6 26-40 tahun 73 4.2 195 11.3 861 49.9 1129 65.5
>40 tahun 8 0.5 21 1.2 91 5.3 120 7.0
Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100
Jumlah anggota
< 4 orang 31 1.8 83 4.8 464 26.9 578 33.5 5-7 orang 66 3.8 151 8.8 703 40.8 920 53.4
>7 orang 16 0.9 44 2.6 166 9.6 226 13.1
Jumlah 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100
Berdasarkan Tabel 13 hasil tabulasi silang, ibu yang berpendidikan formal
tamat SD (41.6%) terdapat batita dengan status gizi stunting terbanyak yaitu
sebesar 11.4%. Dan hasil uji statistik diperoleh nilai p<0.05 (r=0.140, p=0.000),
memperlihatkan bahwa status gizi indikator TB/U terdapat hubungan yang positif
dengan lama pendidikan ibu. Di mana tingkat pendidikan ibu memegang peranan
penting dalam menentukan pola pengasuhan anak sehingga anak dapat memiliki
status gizi yang baik.
Pada ibu yang bermur 26-40 tahun Status gizi stunting terbanyak yaitu
sebesar 15.5%. Hasil analisis statistik status gizi indikator TB/U memiliki
hubungan yang signifikan dengan umur ibu pada α < 10% (r= -0.040, p=0.096)
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hurlock (1999) yang
menyatakan semakin dewasa ibu maka akan semakin berpengalaman dalam
45
pengasuhan anak sehingga dapat menjaga kesehatan dan status gizi anak lebih
baik, dibandingkan dengan ibu yang umurnya masih muda.
Batita yang berstatus gizi stunting terbanyak pada keluarga dengan jumlah
anggota 5-7 orang yaitu sebesar 12.6% pada Tabel 13 dapat dilihat lebih jelas dan
hasil uji statistik ternyata tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status
gizi indikator TB/U dengan jumlah anggota keluarga.
Tabel 14 Sebaran batita menurut penyakit infeksi dan status gizi indikator TB/U
Penyakit Infeksi Status Gizi Batita berdasarkan Indikator TB/U
Total Sangat Pendek Pendek Normal
n % n % n % n % - Pernah Infeksi - Tidak Infeksi
71 42
4.1 2.4
171 107
9.9 6.2
754 579
43.7 33.6
996 728
57.8 42.2
Total 113 6.6 278 16.1 1333 77.3 1724 100 Tabel 14 menyajikan hasil tabulasi silang prevalensi stunting pada
kelompok batita yang pernah menderita penyakit infeksi adalah sebesar 14% lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi. Dari analisis statistik
diperoleh hasil r=-0.105 p=0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
negatif antara penyakit infeksi dengan status gizi batita indikator TB/U. Artinya
semakin banyak penyakit infeksi yang diderita batita maka status gizinya akan
cendrung stunting. Hal ini didukung oleh pendapat Martorell et al. (1994) yang
menyatakan bahwa hambatan pertumbuhan linier atau stunting, umumnya terjadi
pada usia 2-3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruh-
pengaruh yang saling berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta
infeksi penyakit.
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
derajat kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan,
ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat
mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan
salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam
penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan dilihat hubungannya dengan
status gizi pada batita di ketiga wilayah penelitian.
46
Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah pelayanan kesehatan yang diadakan di setiap sarana pelayanan kesehatan
baik yang berbasis masyarakat (posyandu, poskesdes atau POD/WOD) maupun
yang dikelola langsung oleh pemerintah (RS, puskesmas, pustu, polindes dan
bides) yang terdiri dari penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan
anak (KIA), pengobatan, pemberian makanan tambahan (PMT), suplemen gizi
dan konsultasi resiko penyakit.
Secara umum berdasarkan pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan
kesehatan pada batita rata-rata skor pemanfaatan pelayanan kesehatan di Sumsel
2.8 + 2.8 SD, DI Yogyakarta 4.4 + 2.6 SD dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 SD
dan secara keseluruhan rata-rata pemanfaatan pelayanan kesehatan di ketiga
wilayah penelitan adalah 3.6 + 2.9 SD, skor tertinggi 8 dan terendah 0.
Persentase batita yang memanfaatkan masing-masing pelayanan kesehatan di
ketiga wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Persentase rumah tangga batita yang memanfaatkan jenis-jenis
pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur
No. Jenis Pelayanan Kesehatan SPM*
Sumsel DI Yogyakarta
NTT Total GAP Total
n % n % n % n % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penimbangan Penyuluhan Imunisasi KIA Pengobatan PMT Suplemen Gizi Konsultasi Resiko Penyakit
8080
Ϯ
100^ Ϯ
100^ 100^ 10080
Ϯ
80 Ϯ
Ϯ
393 180 332 187 238 529 499 66
56 25.5 47.3 26.6 33.9 75.4 71.1 9.4
174 119 67 75 74 42 127 49
89.2 61 34.4 38.5 37.9 21.5 65.1 25.1
684 414 438 294 376 533 464 140
82.7 50.1 53 35.6 45.5 64.4 56.1 16.9
1251 713 837 556 688 1104 1090 255
72.6 41.4 48.5 32.2 40 64 63.2 14.8
-8.4 -38.6 -42.5 -67.7 -60 -36 -16.8 -65.2
Keterangan: *SPM (Standar Pelayanan Minimal) Ϯ n= 1724
sampai tahun 2010 ^sampai tahun 2015
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang
standar pelayanan minimal (SPM) 2010-2015 di Kabupaten/Kota, maka dapat
dilihat bahwa pemanfaatan masing-masing jenis pelayanan kesehatan pada batita
di ketiga wilayah penelitian masih jauh untuk mencapai target SPM. GAP
tertinggi pada penelitian ini terdapat pada pelayanan kesehatan ibu dan anak
(67.7%), sedangkan terendah pada penimbangan (8.4%). Untuk meningkatkan
47
pencapaian target pelayanan kesehatan tersebut pemerintah telah membuat
program desa siaga dan Poskesdes (pos kesehatan desa) yang melibatkan semua
lapisan masyarakat (Depkes 2006)
Dengan meliha hasil cakupan pelayanan kesehatan ini, menunjukkan bahwa
masyarakat belum termotivasi dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan secara
optimal untuk menjaga kesehatan batitanya, sehingga diharapkan peran serta aktif
petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan yang baik dan benar tentang
keuntungan-keuntungan yang didapat dari pemanfaatan program-program yang
ada di fasilitas pelayanan kesehatan.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan ke
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes
dan bidan di desa diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai sarana untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak. Pemanfaatan
Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan bidan di desa sebagai sarana
pelayanan kesehatan yang sederhana dalam masyarakat dapat dilihat dari berapa
sering masyarakat tersebut menggunakannya baik untuk usaha untuk pencegahan
maupun untuk pengobatan terhadap suatu penyakit, kunjungan ke pelayanan
kesehatan oleh masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal
maupun eksternal.
Tabel 16 Hubungan karakteristik keluarga dan batita dengan frekuensi kunjungan
ke pelayanan ke kesahatan Variabel
Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan
r p Umur ibu (tahun)Lama pendidikan ibu (tahun)
a
Jumlah anggota keluargaa
Penyakit infeksi a
0.001 0.058 -0.014 0.075
0.964
0.017* 0.555
0.002** Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah).
*Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a
r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita
Untuk melihat hubungan variabel karakteristik keluarga dan batita dengan
frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan maka digunakan uji statistik moment
pearson correlation test. Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan
48
frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan p < 0.05 (r=0.058, p=0.017) artinya
semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan mempengaruhi pengetahuannya
tentang kesehatan terutama pola pengasuhan yang baik, hal ini dapat dilihat dari
semakin tinggi pendidikan ibu cendrung partisipasinya untuk berkunjung ke
pelayanan kesehatan semakin sering baik untuk usaha pencegahan maupun
pengobatan dalam rangka menjaga kesehatan batitanya. Frekuensi kunjungan
memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit infeksi yang diderita oleh
batita p<0.05 (r=0.075 p=0.002) artinya frekuensi kunjungan ke pelayanan
kesehatan merupakan upaya rumah tangga dalam rangka memperoleh pelayanan
pengobatan untuk kesembuhan penyakit yang diderita oleh batitanya (Tabel 16).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat masih bersifat kuratif.
Masyarakat masih menganut paradigma sakit yaitu mengobati setelah menderita
suatu penyakit. Sedangkan misi pelayanan kesehatan adalah paradigma sehat yaitu
lebih baik mencegah daripada mengobati, maka sangat diperlukan kebijakan
pemerintah untuk mendukung usaha sosialisasi misi tersebut terutama untuk
masyarakat dengan ekonomi rendah.
Tabel 17 Hubungan akses ke pelayanan kesehatan dan ketanggapan pelayanan
kesehatan terhadap frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan Variabel
Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan
r p Akses terhadap Yankes- Waktu tempuh terdekat (menit)
a
- Jarak tempuh terdekat (m) Ketanggapan pelayanan kesehatan
b
-0.06
-0.202 0.055
0,014* 0,000**
0.108
Keterangan: **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-arah). *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-arah). a
Jumlah contoh (n) = 1724 rumah tangga batita b
r koefisien korelasi, p signifikansi, n jumlah contoh Jumlah contoh (n) = 843 rumah tangga batita
Tabel 17 menyajikan akses ke pelayanan kesehatan (waktu dan jarak
tempuh) dan ketanggapan pelayanan kesehatan dengan frekuensi kunjungan ke
pelayanan kesehatan. Dari hasil analisis statistik terdapat korelasi negatif
frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan dengan waktu dan jarak tempuh
dengan nilai p<0.05 berturut-turut (r=-0.060, p=0.014) dan (r=-0.202, p=0.000)
artinya semakin lama waktu dan jarak tempuh ke pelayanan kesehatan maka akan
49
semakin sulit akses ke pelayanan kesehatan sehingga akan menurunkan frekuensi
kunjungan ke pelayanan kesehatan. Sedangkan keberadaan transportasi ke
pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan frekuensi
kunjungan ke pelayanan kesehatan (p>0.05).
Hubungan Frekuensi Kunjungan ke Pelayanan Kesehatan dengan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Frekuensi kunjungan ke Puskesmas, Posyandu, Poskesdes, Polindes dan
bidan di desa merupakan indikator tingkat partisipasi dari masyarakat terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Untuk melihat hubungan frekuensi kunjungan
ke pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan
digunakan uji statistik moment pearson correlation test dan didapatkan hasil
(r=0.304, p=0.000) menunjukkan hubungan yang positif. Artinya semakin sering
rumah tangga batita memanfaatkan pelayanan kesehatan maka akan semakin
mudah mendeteksi masalah gizi dan kesehatannya sehingga akan mudah pula
mencegah dan menanggulanginya sejak dini. Hasil ini mendukung pernyataan ibu
yang rajin ke pelayanan kesehatan akan dapat mencegah anaknya menjadi kurang
gizi (Depkes 2005).
Hubungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dengan Status gizi Batita
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
derajat kesehatan seseorang (Blum 1974). Dengan fasilitas kesehatan,
ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat
mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Status gizi merupakan
salah satu indikator dari derajat kesehatan, terutama status gizi balita. Dalam
penelitian ini pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terdiri dari: penimbangan,
penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pengobatan, pemberian makanan
tambahan, suplemen gizi dan konsultasi resiko penyakit dilihat hubungannya
dengan status gizi pada batita.
Hubungan frekuensi kunjungan batita ke pelayanan kesehatan khususnya
untuk mendapatkan pelayanan penimbangan dilihat dari status gizinya dalam
penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara
frekuensi penimbangan dengan status gizi batita indikator BB/TB (r=0.043
50
p=0.071), BB/U (r=0.054 p=0.026) dan TB/U (r=0.086 p=0.000). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin sering batita memanfaatkan pelayanan
penimbangan maka akan semakin cepat diketahui permasalahan kesehatannya
sehingga dapat menjaga status gizinya agar tetap baik. Tabel 18 Hubungan pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan dengan status
gizi batita indikator BB/TB
Jenis Pelayanan Kesehatan
Indikator BB/TB Jumlah
Uji Statistik Sangat
kurus Kurus Normal Gemuk
n % n % n % n % n % Penimbangan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
64 146
3.7 8.5
114 27
6.6 1.6
301 823
17.5 47.7
81 168
4.7 9.7
473 1251
27.4 72.6
χ2
p=0.025** =9.328
Penyuluhan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
137 73
7.9 4.2
72 69
4.2 4.0
649 475
37.6 27.6
153 96
8.9 5.6
1011 713
58.6 41.4
χ2
p=0.040** =8.290
Imunisasi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
107 103
6.2 6.0
65 76
3.8 4.4
596 528
34.6 30.6
119 130
6.9 7.5
887 837
51.5 48.5
χ2
p=0.252 =4.087
KIA -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
142 68
8.2 3.9
88 53
5.1 3.1
773 351
44.8 20.4
165 84
9.6 4.9
1168 556
67.7 32.3
χ2
p=0.452 =2.630
Pengobatan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
116 94
6.7 5.5
73 68
4.2 3.9
693 431
40.2 25
154 95
8.9 5.5
1036 688
60.1 39.9
χ2
p=0.055* =7.597
PMT -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
60 150
3.5 8.7
48 93
2.8 5.4
416 708
24.1 41.1
96 153
5.6 8.9
620 1104
36.0 64.0
χ2
p=0.009** =6.470
Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
138 72
8.0 4.2
78 63
4.5 3.7
662 462
38.4 26.8
153 96
8.9 5.6
1031 693
59.8 40.2
χ2
p=0.180 =4.895
Konsultasi Resiko Penyakit -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
176 34
10.2 2.0
119 22
6.9 1.3
962 162
55.8 9.4
212 37
12.3 2.1
1469 255
85.2 14.8
χ2
p=0.913 =0.529
**Signifikan α< 5% *Signifikan α<10%
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 18 ternyata status gizi batita indikator
BB/TB terdapat hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan pelayanan
penimbangan p<0.05 (χ2=9.328, p=0.025), penyuluhan (χ2=8.290, p=0.040) dan PMT
(χ2=6.470, p=0.009), serta pelayanan pengobatan (χ2=7.597, p=0.055) pada p<0.10.
Penimbangan merupakan pemantauan pertumbuhan batita untuk mengetahui masalah
gizi secara dini, penyuluhan dapat memberikan tambahan wawasan kepada rumah
51
tangga batita dalam perawatan dan peningkatan status gizi batita, pengobatan adalah
usaha yang diberikan pelayanan kesehatan untuk membantu menyembuhkan penyakit
infeksi yang diderita batita, sedangkan PMT adalah upaya pelayanan kesehatan dalam
rangka membantu perbaikan gizi batita yang mengalami kurang gizi. Dalam penelitian
Lutter et al. (2003) PMT dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan
pertumbuhan terjadi pada dua periode usia 3-6 bulan, dan periode yang memiliki
respon terbesar terhadap makanan tambahan pada usia 9-12 bulan yaitu periode
puncak kejadian penyakit Diare. Menurut penelitian di Botswana dan beberapa
penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa status gizi dan pemberian makanan
tambahan anak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan anak (Gobotswang 1998;
Tharakan and Suchindran 1999, Yosnelli 2008).
Tabel 19 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian
Jenis Pelayanan Kesehatan
Indikator BB/U Jumlah Uji Statistik Buruk Kurang Baik Lebih
n % n % n % n % n % Penimbangan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
99 286
5.7 16.6
74 252
4.3 14.6
215 515
12.5 29.9
85 198
4.9 11.5
473 1251
27.4 72.6
χ2
p=0.082* =6.698
Penyuluhan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
221 164
12.8 9.5
178 148
10.3 8.6
428 302
24.8 17.5
184 99
10.7 5.7
1011 713
58.6 41.4
χ2
p=0.066* =7.182
Imunisasi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
191 194
11.1 11.3
168 158
9.7 9.2
391 339
22.7 19.7
137 146
7.9 8.5
887 837
51.5 48.5
χ2
p=0.412 =2.873
KIA -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
264 121
15.3 7.0
222 104
12.9 6.0
493 237
28.6 13.7
189 94
11.0 5.5
1168 556
67.7 32.3
χ2
p=0.965 =0.273
Pengobatan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
230 155
13.3 9.0
203 123
11.8 7.1
443 287
25.7 16.6
160 123
9.3 7.1
1036 688
60.1 39.9
χ2
p=0.520 =2.263
PMT -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
141 244
8.2 14.2
131 195
7.6 11.3
260 470
15.1 27.3
195 88
11.3 5.1
620 1104
36.0 64.0
χ2
p=0.051* =5.563
Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
227 158
13.2 9.2
181 145
10.5 8.4
446 284
25.9 16.5
177 106
10.3 6.1
1031 693
59.8 40.2
χ2
p=0.262 =3.992
Konsultasi Resiko Penyakit -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
332 53
19.3 3.1
277 49
16.1 2.8
619 111
35.9 6.4
241 42
14 2.4
1469 255
85.2 14.8
χ2
p=0.933 =0.436
*Signifikan pada α < 10%
Pada Tabel 19 dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa status gizi batita
indikator BB/U pada α<10% terdapat hubungan yang signifikan dengan pelayanan
52
penimbangan (χ2=6.698, p=0.082), penyuluhan (χ2=7.187, p=0.066) dan PMT
(χ2
=5.563, p=0.051). Dalam hubungan PMT dengan status gizi underweight
menurut Waterlow (1993) bahwa pada kondisi tingkat sirkulasi Insulin-Like
Growth Factor (IGF-1) menurun dan akan meningkat dengan cepat apabila
tersedia energi dan zat gizi. Tubuh akan mempertahankan tingkat IGF-1 dalam
beberapa waktu sebelum menunjukkan hasil pada peningkatan massa otot sebelum
pada peningkatan pertumbuhan linier. Dengan kata lain bahwa pemberian
makanan tambahan pada batita yang underweight dengan cepat dapat
meningkatkan berat badannya tetapi tidak demikian untuk peningkatan tinggi
badan.
Tabel 20 Hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi batita indikator TB/U di ketiga wilayah penelitian
Jenis Pelayanan Kesehatan
Indikator TB/U Jumlah Uji Statistik Sangat pendek Pendek Normal n % n % n % n %
Penimbangan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
27 86
1.6 5.0
60 218
3.5 12.6
386 947
22.4 54.9
473 1251
27.4 72.6
χ2
p=0.030** =7.046
Penyuluhan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
62 51
3.6 3.0
153 125
8.9 7.3
796 537
46.2 31.1
1011 713
58.6 41.4
χ2
p=0.248 =2.787
Imunisasi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
55 58
3.2 3.4
139 139
8.1 8.1
693 640
40.2 37.1
887 837
51.5 48.5
χ 2
p=0.692 =0.737
KIA -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
72 41
4.2 2.4
180 98
10.4 5.7
916 417
53.1 24.2
1168 556
67.7 32.3
χ 2
p=0.278 =2.558
Pengobatan -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
61 52
3.5 3.0
173 105
10.0 6.1
802 531
46.5 30.8
1036 688
60.1 39.9
χ 2
p=0.318 =2.292
PMT -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
40 73
2.3 4.2
105 173
6.1 10
475 858
27.6 49.8
620 1104
36.0 64.0
χ 2
p=0.790 =0.472
Suplemen Gizi -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
58 55
3.4 3.2
158 120
9.2 7.0
815 518
47.3 30.0
1031 693
59.8 40.2
χ 2
p=0.068* =5.387
Konsultasi Resiko Penyakit -Tidak memanfaatkan -Memanfaatkan
96 17
5.6 1.0
241 37
14.0 2.1
1132 201
77.1 78.8
1469 255
85.2 14.8
χ 2
p=0.749 =0.578
**Signifikan α< 5% *Signifikan α< 10%
Pemanfaatan pelayanan penimbangan dan suplemen gizi memiliki
hubungan yang signifikan dengan status gizi indikator TB/U. Pelayanan
penimbangan signifikan pada α <5% (χ2=7.046, p=0.030) dan suplemen gizi
53
signifikan pada α <10% (χ2
=5.387, p=0.068) untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Tabel 20. Dari hasil analisis ini suplemen gizi pada batita di pelayanan kesehatan
cukup bermanfaat, berdasarkan studi yang menyatakan bahwa gangguan
pertumbuhan linier disebabkan oleh defisiensi tunggal atau gabungan zat mikro
seperti seng, vitamin A, Besi (Allen 1994; Rivera et al. 1998; Muhilal et al.
1988; Angeles et al. 1993), maka program suplementasi dapat ditambahkan
multivitamin Seng, Calcium, Vitamin D dan Fosfor. Hasil penelitian meta
analisis membuktikan bahwa suplementasi Seng, Calcium, Vitamin D dan
Fosfor pada balita berhubungan nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan
linier (TB/U) pada anak balita (Kenneth HB et al. 2002).
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Batita
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi
batita dalam penelitian ini dianalisis dengan uji statistik regresi linier berganda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai
status gizi indikator BB/TB. Meskipun secara umum terdapat faktor-faktor yang
signifikan berpengaruh terhadap nilai keragaman status gizi batita (F=2.711,
p=0.019), nilai R2
=0.005 menunjukkan bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan
oleh hubungan liniernya dengan faktor-faktor tersebut, selebihnya dijelaskan
oleh faktor-faktor yang lain (Tabel 21). Menurut Suhardjo (1989) besarnya
jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah
anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak
pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis
makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota
keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas
sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-
masing anggota keluarga.
Tabel 21 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/TB di ketiga wilayah penelitian
Variabel Independen β t Sig XX
3 Jumlah anggota keluarga 5 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
-0.044 0.045
-2.132 2.209
0.03 0.027
Keterangan: R2 = 0.005 F = 2.711 (p=0.019)
54
Hasil uji statistik regresi linier berganda untuk faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi batita di ketiga wilayah indikator BB/U menunjukkan
bahwa lama pendidikan ibu, penyakit infeksi dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap keragaman nilai status gizi
indikator BB/U. Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang
signifikan berpengaruh terhadap keragaman status gizi batita di ketiga wilayah
penelitian indikator BB/U (F=2.091, p=0.005), nilai R2
=0.005 menunjukkan
bahwa hanya 0.5% yang dapat dijelaskan hubungan liniernya oleh faktor-faktor
tersebut, sedangkan 99.5% dimungkinkan dari faktor lain (Tabel 22). Status gizi
indikator BB/U merupakan indikator yang dapat melihat masalah gizi pada anak
tetapi tidak diketahui apakah bersifat akut atau kronis. Unicef (1998)
mengemukakan bahwa status gizi balita dipengaruhi secara langsung oleh 2
faktor yaitu konsumsi dan penyakit infeksi. Dua faktor ini yang mengakibatkan
masalah gizi akut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang baik oleh batita dapat
membantu memperbaiki status gizi batita melalui beberapa pelayanan kesehatan
yang tersedia.
Tabel 22 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator BB/U di ketiga wilayah penelitian
Variabel Independen β t Sig
XX
2
X4
Lama pendidikan ibu
5 Penyakit infeksi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
0.060 -0.084 1.206
3.630 -0.639 2.238
0.092 0.069 0.025
Keterangan: R2
=0.005 F =2.091 (p=0.005)
Status gizi indikator TB/U merupakan indikator masalah gizi kronis
sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama (Depkes 2009). Hasil
analisis menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu, penyakit infeksi dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap
keragaman nilai status gizi batita di ketiga wilayah penelitian indikator TB/U.
Meskipun secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang signifikan berpengaruh
terhadap keragaman status gizi indikator TB/U (F=2.079, p=0.044), nilai
R2=0.014 menunjukkan bahwa hanya 1.4% yang dapat dijelaskan hubungan
liniernya oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan 98.6% dimungkinkan dari faktor
lain (Tabel 23).
55
Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan pengetahuan ibu
terhadap masalah kesehatan dan gizi. Dengan pengetahuan, seorang ibu dapat
melakukan hipotesa mengenai praktek pengasuhan anak yang baik, melakukan
interaksi yang efektif dengan tenaga kesehatan di dalam perawatan kesehatan
anak (Joshi 1994).
Tabel 23 Regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi batita indikator TB/U di ketiga wilayah penelitian
Variabel Independen β t Sig
XX
2
X4
Lama pendidikan ibu
5 Penyakit infeksi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
0.157 -0.181 0.046
3.568 -3.072 2.280
0.000 0.002 0.023
Keterangan: R2
= 0.014 F =2.079, (p=0.044)
Status gizi batita indikator BB/TB, BB/U dan TB/U merupakan indikator
yang paling praktis, cukup teliti, mudah dilakukan siapa saja dengan bekal
latihan yang sederhana (Suhardjo 1990). Berat badan merupakan salah satu
indikator antropometri yang dapat menggambarkan massa tubuh seseorang
(tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan
mendadak, misalnya penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi yang menyebabkan berat badan
dapat turun, maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka indeks berat badan menurut umur
(BB/U) digunakan sebagai indikator status gizi masa kini. Dari hasil penelitian
ini ternyata status gizi batita indikator BB/U memiliki hubungan yang signifikan
dengan penyakit infeksi, pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan dan
pemberian makanan tambahan serta dipengaruhi oleh lama pendidikan ibu dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dilihat dari status gizi underweight (BB/U)
pada batita saat dilakukan survey tidak diketahui apakah disebabkan oleh
penyakit infeksi atau faktor lain. Pemberian makanan tambahan di pelayanan
kesehatan merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan untuk batita yang
mengalami status gizi underweight. PMT belum tentu menunjukkan terjadinya
kekurangan konsumsi makanan pada keluarga batita.
Indikator BB/U belum begitu menggambarkan penyebab terjadinya
status gizi batita yang sebenarnya, maka untuk lebih valid lagi dalam menilai
56
status gizi batita digunakan kombinasi dengan pengukuran tinggi badan. Tinggi
badan (TB) atau panjang badan (PB) merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan kerangka tulang. Dalam keadaan normal
TB bertambah bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan TB relatif
kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi dalam waktu yang pendek,
tetapi pengaruh defisiensi zat gizi baru akan kelihatan pada waktu yang cukup
lama. Berdasarkan sifat tersebut maka status gizi batita BB/TB dapat digunakan
untuk menelusuri kekurangan gizi batita pada masa sekarang dan pada batita
yang tidak diketahui umurnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi
batita indikator BB/TB memiliki hubungan yang signifikan dengan jumlah
anggota keluarga, penyakit infeksi, pemanfaatan pelayanan penimbangan,
penyuluhan, pengobatan dan pemberian makanan tambahan. Di sini terlihat
bahwa kejadian kurang gizi pada batita ternyata disebabkan oleh penyakit
infeksi dan kurangnya konsumsi makanan. Hal ini terjadi karena faktor jumlah
anggota keluarga yang besar dengan penghasilan keluarga yang rendah serta
pengetahuan ibu yang terbatas tentang masalah kesehatan dan gizi.
Dan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan indikator
yang tepat untuk mengukur riwayat kekurangan gizi masa lampau dengan
mengukur pencebolan seorang anak dibandingkan dengan anak lain yang seumur
setelah kekurangan gizi berjalan beberapa waktu. Kemungkinan anak mengalami
pencebolan dapat dimulai sejak umur tiga bulan. Pada penelitian ini ditemukan
prevalensi status gizi BB/U lebih tinggi dibandingkan dengan BB/TB dan TB/U,
sedangkan prevalensi BB/TB hampir sama dengan prevalensi TB/U,
menunjukkan bahwa batita dalam penelitian ini banyak yang berstatus gizi
stunting. Batita yang berstatus gizi underweight belum tentu dia wasting, tetapi
kemungkinan dia juga stunting.
57
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Prevalensi status gizi batita wasting di Provinsi Nusa Tenggara Timur
23.4%, Sumatera Selatan 19.8% dan DI Yogyakarta 9.8% dengan rata-rata
z-score status gizi batita contoh dengan indikator BB/TB adalah -0.36 ± 2.2
SD. Prevalensi underweight berturut-turut di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta yaitu 49.4% (sangat tinggi),
34.7% (tinggi) dan 19.8% (sedang). Rata-rata z-score status gizi batita
dengan indikator BB/U adalah -0.88 ± 2.8 SD. Prevalensi stunting berturut-
turut Provinsi Nusa Tenggara Timur 31.9% (tinggi/serius), Sumatera
Selatan 15% dan DI Yogyakarta 11.3% termasuk kategori masalah stunting
yang rendah. Rata-rata z-score status gizi indikator TB/U adalah
-0.78 ± 1.76 SD.
2. Rata-rata skor pemanfaatan pelayanan kesehatan di Sumsel 2.8 + 2.8 SD, DI
Yogyakarta 4.4 + 2.6 SD dan Nusa Tenggara Timur 3.6 + 2.6 SD dan secara
keseluruhan adalah 3.6+2.9 SD, skor tertinggi 8 dan terendah 0. Dari hasil
penlitian ini jenis pemanfaatan pelayanan kesehatan yang memiliki GAP
tertinggi dengan standar pelayanan minimal adalah kesehatan ibu dan anak
(67.7%), sedangkan terendah pada penimbangan (8.4%).
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kunjungan ke pelayanan
kesehatan adalah Lama pendidikan ibu berkorelasi positif dengan frekuensi
kunjungan ke pelayanan kesehatan p < 0.05 (r=0.058, p=0.017), ,penyakit
infeksi yang diderita oleh batita p<0.05 (r=0.075 p=0.002), waktu dan jarak
tempuh dengan nilai p<0.05 berturut-turut (r=-0.060, p=0.014) dan
(r=-0.202, p=0.000).
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi batita indikator BB/U
dengan pemanfaatan pelayanan penimbangan, penyuluhan dan pemberian
makanan tambahan. Sementara untuk status gizi batita indikator TB/U
hubungan yang signifikan hanya terjadi dengan pemanfaatan pelayanan
penimbangan dan suplementasi gizi. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap status gizi batita indikator BB/TB adalah jumlah anggota keluarga
58
dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sedangkan terhadap status gizi batita
indikator BB/U dan TB/U adalah lama pendidikan ibu, pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi.
Saran Perlu sosialisasi dan pengembangan program-program pelayanan
kesehatan terutama pada ibu-ibu batita dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD) untuk memantau pertumbuhan anaknya secara rutin bukan pada saat sakit saja terutama yang berumur dibawah tiga tahun.
Pengembangan strategi untuk meningkatkan pemanfaatan program pelayanan kesehatan yang bertujuan memperbaiki dan mencegah masalah gizi pada balita sebagai investasi terus ditingkatkan dengan pemberian pengetahuan dan pendidikan ibu tentang pola asuh dan makanan yang bergizi untuk balitanya.
Pemanfaatan pelayanan PMT berhubungan secara signifikan dengan status gizi batita indikator BB/TB (wasting) dan indikator BB/U (underweight) pada
keluarga status ekonomi rendah (kuintil 1 dan 2). Oleh karena itu program ini perlu dilanjutkan, bisa dalam bentuk lain dengan mendistribusikan bahan pangan pokok dan sumber protein dalam rangka menjaga ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada keluarga yang sangat miskin terutama yang mempunyai anggota keluarga batita yang rawan gizi, sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya masalah gizi.
59
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN, 1997. 3rd Report on The World Nutrition Situation, Geneva Akre, James 1994. Pemberian Makanan Untuk Bayi, Dasar-Dasar Fisiologis,
Penerjemah: Sri Durjati Boedihardjo. Jakarta: Perinasia. Allen LH, 1994. Nutritional Influences on Linear Growth: A general review. Di
dalam Water JC dan Schurch, editor. Causes and mechanisms of linear Growth Redardation. Proceedings of an International Dietary Energy Consultative Group (IDECG). 216p.
Amine EK & Al-Wadi FA. 1996. Nutritional Status Survey of Preschool
Children in Kuwait. Volume 2 Issue 3 : 386-395. Andersen, R (1995), Revisiting the Behavioral Model and Acces to Medical
Care? Does it matter? Journal of Health and Social Behaviour 36 (3): 1-40
Angeles IT, Schultink WJ, Matulessi P, Gross r, Sastroamidjojo S. 1993.
Decreased rate of stunting among anemic Indonesian preschool children through iron suplementation. Am J Clin Nutr 58, 339-42. [Abstract].
Anwar, Khairul. 2006. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Atmarita & Fallah TS, 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di
dalam: Widiyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.
Azwar A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara. Jakarta. Azwar A. 2000. Gizi Bayi adalah Investasi Masa Depan. Dalam Kompas (26
Januari 2000). Jakarta. Anonim 2010a. Medicastore. Pneumonia (Radang Paru). Media Informasi Obat-
Penyakit.www.medicasore.com/pneumonia/html. [2 Juni 2010]. Anonim 2010b. Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Penyakit Campak pada
Anak. Media Humas RSI SA.www.rsisultanagung.co.id/penyakit campak/html [2 Juni 2010].
[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional 2008. Manajemen
Database Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat.
60
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Sumatera Selatan. BPS.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Nusa
Tenggara Timur. BPS Berg, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Noer ZD, penerjemah.
Jakarta. Terjemahan dari: The Nutrition Factor: Its Role in National Development.
Bissai, Mallick. 2009. Growth Pattern and Prevalence of Underweight, Stunting
and Wasting Among Infants of Kolkata, West Bengal. India. Internet Journal of Biological Anthropology 2009. Vol.3 Nb 2
Chessa K.L and Juan A.R, 2003, Nutritional Status of Infants and Young
Children an Characteristics of Their Diets. Organization, Washington D.C. 20007 and Institute of Public Health of Mexico, Cuernavaca, Morelos, Mexico.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1997. Profil kesehatan
Indonesia. Pusat Data Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1998. Pembangunan
Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Depkes. RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2003. Sistem Informasi
Kesehatan Nasional Pengelolaan Program Pemberantasan Penyakit Diare, Depkes RI.
Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2005. Pemantauan Pertumbuhan Balita, Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006. Pengembangan dan
Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa
, Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi DI Yogyakarta Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
61
2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Buku Saku Gizi.
Kapankah Masalah Ini Berakhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Dewey, KG, Brown KH. 2003. Update on Technical Issues Concerning
Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries and Implications for Intervensi Programs. Food Nutr. Bull 24: 5 -28.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil Sumatera selatan 2007. Eko, Najib & Sartono (2008). Pengembangan Model Perbaikan Gizi Masyarakat
Wilayah Agropolitan menuju Sumsel sehat 2008. Laporan hasil penelitian tahap I, II dan III. Politeknik Kesehatan Sumsel.
Gobotswang K. 1998. Determinants of The Nutritional Status of Children in A
Rural African Setting: The Case In Chobe District. Botswana. Food Nutr. Bull. 19(1): 42-45
Grantham-Mc Gregor SM, Fernald LC, Sethuraman K, 1999. The effects of
health and nutrition on cognitive and behavioural development in children in the first three years of life. Part 2: Infection and micronutrien deficiencies: iodine, iron and zinc. Food Nutr Bull 20: 76-99.
Haas, JD, Murdoch S, Rivera J, Martorell R, 1996. Early Nutrition and later
physical work capacity. Nutr Rev 54: S41-8.
Hurlock EB. 1997. Perkembangan anak. Gramedia. Jakarta Jellife, DB (1996). Assessment of The Nutritional Status of The Community,
Geneva. WHO. Jellife, DB (1989), Community Nutritional Assessment, New York, Oxford
University Press. Johnson MM, Chin RJr, Haponik F. 1999. Nutrition, Respiratory Function and
disease. Di dalam: Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke-9 (Shils ME, et al, eds). Baltimore: Williams & Wilkins. Hlmn 1439-1472.
62
Kenneth H Brown, Janet M Peerson, Juan Rivera, and Lindsay H Allen (2002). Effect of supplemental zinc on the growth and serum zinc concentrations of prepubertal children: a meta-analysis of randomized controlled trials1–3 Am J Clin Nutr 2002;75:1062–71
King FS, Burgess A. 1995. Nutrition for Developing Countries. New York:
Oxford University Press. Khumaidi, M (1997). Gizi, Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia. Bogor.
Program Pascasarjana IPB Kodyat BA. 1998. Overview Masalah dan Program Kesehatan di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Bogor 18-30 agustus.
Kodyat BA, Thaha AR, Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang di
dalam Winarno FG editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.Serpong 17-20 Februari 1998. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 755-757.
Leslie. 1985. Women Role in Food Chain Activities and the Implication for
Nutrition United Nation.
Lutter CK, Mora JO, Habiccht JP, Rasmussen KM, Robson DS, Herrera MG 1991. Age-specific responsiveness of weight and length to nutritional suplementation. Am J Clin Nutr 51:359-364 [Abstrak]
Madihah. 2002. Faktor-Faktor Predisposisi yang Berhubungan dengan Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi) di Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan tahun 2002 [Skripsi] FKM UI. Depok
Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “ GI-PSI-SEHAT” bagi Ibu serta Dampaknya Terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Martianto, D (2003). Pemberdayaan Masyarakat dalam Menunjang Posyandu,
makalah disampaikan pada acara Workshop Perbaikan Kesehatan dan Gizi Keluarga melalui Posyandu. Hotel Permata. Bandung.
Martorell R, Khan LK, Schroeder DG 1994. Reversibility of stunting:
epidemiological findings in children from developing country. Euro J. Clin. Nutr. 48 (Suppl.1), S45-S57. Di dalam Causes Mechanism of Linear Growth Retardation Proceedings of an I/D/E/C/G Workshop held in London January 15-18. 1993 Waterlow CJ, Schȕrch B, editor. London: Macmillan.
63
Moehyi S. 1996. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Anak. Bhatara Jakarta. Moehyi S. 2001. Gizi Dalam Daur Kehidupan, Mencegah Gizi Kurang pada
Berbagai Tahap Usia. Jakarta. Muhilal, Parmaesih D, Idjradinata YR, Muherdiyantiningsih, Karyadi D,1988.
Vitamin A-fortified monosodium glutamate and health, growth and survival of children: controlled field trial. Am J Clin Nutr 48: 1271-1276 [Abstrak].
Nency Y, Muhammad TA. 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang.
INOVASI, Vol. 5/XVII. Nnyepi, MS. 2007. Household Factors Are Strong Indicators Of Children’s
Nutritional Status In Children With Access To Primary Health Care In The Greater Gaborone Area. Scientific Research and Essay. Vol. 2 (2), pp. 055 – 061
Notoadmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2007. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan ilmu Perilaku.
Andi Offset. Yogyakarta. Orisinal 2003, Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di
Sumatera Barat [Tesis], Pascasarjana IKM UI, Depok. Parasuraman A, Zeithalm V, Berry L. 1988. SERVQUAL: A Multiple Item
Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailling.
Prabu BDR. 1998. Penyakit-penyakit Infeksi Umum. Widya Medika.
Yogyakarta. Rahmawati, 1996. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Menyusui Eksklusif
dan Hubungan Menyusui Eksklusif dengan Status Gizi Bayi Usia 4-6 Bulan [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Rivera JA, Ruel MT, Santizo MC, Lonnerdal B, Brown KH, 1998. Zinc
suplementation improves the growth of stunted rural Guatemalan infants. J Nutr 128: 556-62.
Rohde JE, 1979. Prioritas Pediatri di Negara Sedang Berkembang. Essentia
Medica. Yogyakarta.
64
Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New York.
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Pengamatan Anak Umur 0
sampai 18 bulan di Kecamatan Mlongo Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Scmidth MK. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesiaa infants in
West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factor.
Schultz, T. Paul. 1994. Studying the Impact of Household Economic and
Community Variable on Child Mortality. Population and Development Review. 10 (Suppl) : 215 – 235.
Seifert KL, Hoffnung RJ. 1997. Child and Adolescent Development. Boston:
Houghton Mifflin. Shulman ST, Phair JP, & Sommers HM. 1994. Dasar Biologis dan Klinis
Penyakit infeksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sigman M, Mac Donald MA, Neumann C, Bwibo N. 1991 Prediction of cognitive competence in Kenyan children from toddler nutrition, family characteristiks and abilities. J Child Psychol Psychiatr: 32:307-20.
Sediaoetama. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat
Jakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat
Ditjen Dikti. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Soekirman. 1990. Prevention of Protein-Energy Malnutrition Through Socio
Economic Development and Community Participation. Dalam Nestle Nutrition Workshop Series Vol. 19.359-367. Nestle Ltd. New York.
Suhardjo, 1989. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo. 1990. Petunjuk Laboratorium Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Suhardjo dan Riyadi (2000), Pengukuran Anthropometri . Bogor. Institut
Pertanian Bogor. Syarief, H (1992). Metode Statistika untuk Pangan dan Gizi, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidiknn Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institit Pertanian Bogor.
65
Syarief, H 1997. Membangun Sumber Daya Berkualitas, Suatu Telaahan Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Tharakan CT., Suchindra CM. 1999. Determinants Of Child Malnutrition: An
Intervention Model for Botswana. Nutr. Res. 19(6): 843-860. Trisnantoro L. 1996. Prinsip-Prinsip Manajemen Pelayanan Kesehatan. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta. Jurnal Manajemen Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Tuti, Pradianto. 1989. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi ibu
Balita ke Posyandu di Kecamatan Bogor Barat [Tesis] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Thaha, Ridwan M. 1990. Perilaku, Sikap dan Praktek ke Posyandu oleh Ibu
Balita di Kotamadya ujung Pandang [Tesis] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Utari Brotojoyo (2006). Manajemen Pelayanan Kesehatan sebagai upaya
Peningkatan Ekonomi. Skripsi Manajemen dan Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
UNICEF. 1998. The State of The World’s Children 1998: Focus of Nutrition.
Oxford University Press. UK WHO (1978). Primary Health Care. Alma Ata 1978, WHO. Geneva. WHO 1995. Physical Status: The Use anf Interpretation of Anthropometry.
Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Series 854. Geneva: WHO.
WHO 1998. Complementary feeding of Young children in Developing
countries: A review of Current Scientific Knowledge. Geneva.WHO. Winarno FG. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta.
Pustaka Harapan. Yosnelli (2008). Analisis Hubungan Karakteristik Keluarga dan Pemanfaatan
Program Gizi di Posyandu dengan Status Gizi Baduta (6 -24 bulan) di Kecamatan Pariaman Tengah Kota Pariaman Tahun 2006 [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.
66
Lampiran 2
Variabel yang berhubungan dengan rumah tangga batita Variabel Kategori Pengukuran Skala Tingkat/Lama pendidikan ibu
7. Tidak sekolah = 0 tahun 8. Tidak tamat SD = 5 tahun 9. Tamat SD = 6 tahun 10. Tamat SMP = 9 tahun 11. Tamat SMA = 12 tahun 12. Tamat Perguruan Tinggi = 16 tahun
Ordinal/ Rasio
Umur ibu 13. 16 – 25 tahun 14. 26 – 40 tahun 15. > 40 tahun
Ordinal/ Rasio
Jumlah anggota keluarga - Besar jika jumlahnya > 7 orang - Sedang jika 5 – 7 orang - Kecil jika ≤ 4 orang
Ordinal/ Rasio
Ketanggapan pelayanan kesehatan
- Baik jika > 60% a - Kurang baik < 60% Ordinal
Akses ke pelayanan kesehatan
Berdasarkan : Jarak tempuh terdekat ke pelayanan kesehatan - Dekat jika < 1 km - Sedang 1- 5 km - Jauh > 5 km Waktu tempuh terdekat ke pelayanan kesehatan - Dekat jika < 15 menit - Sedang 16-30 menit - Jauh > 30 menit Transportasi - Ada - Tidak ada
Ordinal/ Rasio Ordinal/ Rasio Ordinal
a
Skor lampiran 3
67
Lampiran 3 Skor Ketanggapan Pelayanan Kesehatan
No Macam dan indikator Skor
1 Berapa lama waktu menunggu sebelum mendapatkan pelayanan berobat jalan?
- Sangat baik - Baik - Sedang - Buruk - Sangat buruk
4 3 2 1 0
2 Bagaimana menilai keramahan dari petugas kesehatan dalam menyapa dan berbicara?
- Sangat baik - Baik - Sedang - Buruk - Sangat buruk
4 3 2 1 0
3 Bagaimana menilai ikut dalam pengambilan keputusan tentang perawatan kesehatan atau penyakitnya?
- Sangat baik - Baik - Sedang - Buruk - Sangat buruk
4 3 2 1 0
4 Bagaimana menilai cara pelayanan kesehatan menjamin kerahasiaan atau dapat berbicara secara pribadi mengenai penyakitnya?
- Sangat baik - Baik - Sedang - Buruk - Sangat buruk
4 3 2 1 0
5 Bagaimana menilai kebersihan ruang pelayanan berobat jalan termasuk kamar mandi?
- Sangat baik - Baik - Sedang - Buruk - Sangat buruk
4 3 2 1 0
Skor tertinggi = 20 Baik jika skor > 60% dari total yaitu > 12 Kurang baik jika skor < 60% dari total yaitu < 12
68
Lampiran 4 Pengkategorian variabel yang berhubungan dengan batita Umur batita - 0-11 bulan
- 12-24 bulan - 25-36 bulan
Ordinal/ Rasio
Jenis kelamin batita - Laki-laki - Perempuan Nominal
Pemanfaatan pelayanan kesehatan
Berdasarkan jenis pelayanan kesehatan b 1.Penimbangan
- Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 2. Penyuluhan - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 3.Imunisasi - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 4.KIA - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 5.Pengobatan - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 6.PMT - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 7.Suplemen gizi - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan 8.Konsultasi resiko penyakit - Memanfaatkan - Tidak memanfaatkan
Ordinal/ Rasio
Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan
- Tidak pernah - 1-3 kali - > 4 kali
Ordinal/ Rasio
Status Gizi Batita 1.Berdasarkan indikator BB/U – Gizi Buruk z-score < -3,0 – Gizi Kurang z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Gizi Baik z-score ≥ -2,0 s/d z-score ≤ 2,0 – Gizi Lebih z-score >2,0 – Underweight z-score <-2,0 2.Berdasarkan indikator BB/TB: – Sangat Kurus z-score < -3,0 – Kurus z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Normal z-score ≥-2,0 s/d z-score ≤ 2,0 – Gemuk z-score >2,0 – Wasting z-score <-2 3.Berdasarkan indikator TB/U: – Sangat Pendek z-score < -3,0 – Pendek z-score ≥ -3,0 s/d z-score <-2,0 – Normal z-score ≥ -2,0 – Stunting z-score <-2,0
Ordinal/ Rasio Ordinal/ Rasio Ordinal/ Rasio
Penyakit infeksi - Infeksi jika pernah menderita penyakit ISPA, Diare, Pneumonia, Campak atau TB Paru
c
- Tidak infeksi jika tidak pernah terkena infeksi penyakit ISPA, Diare, Pneumonia, Campak atau TB Paru
Ordinal/ Rasio
b c Skor lampiran 5 dan 6
69
Lampiran 5 Skor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
No Macam dan indikator Skor
1 Penimbangan - Ya - Tidak
1 0
2 Penyuluhan - Ya - Tidak
1 0
3 Kesehatan Ibu dan anak - Ya - Tidak
1 0
4 Imunisasi - Ya - Tidak
1 0
5 Pengobatan - Ya - Tidak
1 0
6
Pemberian makanan tambahan - Ya - Tidak
1 0
7 Suplemen gizi - Ya - Tidak
1 0
8 Konsultasi resiko penyakit - Ya - Tidak
1 0
Total skor paling tinggi = 8 Memanfaatkan jika total nilai < 1 Tidak memanfaatkan jika total nilai = 0
70
Lampiran 6 Skor Penyakit Infeksi
No Macam dan indikator Skor
1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut - Infeksi - Tidak infeksi
1 0
2 Diare - Infeksi - Tidak infeksi
1 0
3 Pneumonia - Infeksi - Tidak infeksi
1 0
4 Campak - Infeksi - Tidak infeksi
1 0
5 TB Paru - Infeksi - Tidak infeksi
1 0
Skor tertinggi = 5 Infeksi jika skor < 1 Tidak infeksi jika total skor = 0
top related