bab 2 - bina nusantara | library & knowledge...
Post on 24-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Analisis SWOT
Menurut Keller (2009), analisis SWOT (strength, weakness, opportunity,
threat) adalah evaluasi keseluruhan dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman.
(a) Strength (Kekuatan)
Merupakan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan dibandingkan dengan
perusahaan lainnya.
(b) Weakness (Kelemahan)
Masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan dibandingkan dengan
perusahaan lain, sehingga ini menjadi kelemahan bagi perusahaan.
(c) Opportunity (Peluang)
Merupakan suatu kesempatan dimana perusahaan dapat melakukan operasi dalam
menghadapi tantangan dan untuk menjadikan kesempatan itu menjadi sebuah
keuntungan.
(d) Threat (Ancaman)
Merupakan suatu bahaya yang biasanya terjadi karena perkembangan yang
kurang menguntungkan, dimana akan memberikan dampak seperti pengurangan
laba dan penjualan jika tidak dilakukan tindakan untuk bertahan.
Lebih lanjut menurut Keller (2009), manfaat dari analisis SWOT adalah
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman organisasi sehingga mampu
menganalisis apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam
organisasi untuk mendapatkan strategi yang tepat dengan menggunakan kekuatan
dan peluang yang ada untuk mengatasi segala ancaman dan mengurangi kelemahan
yang ada sehingga organisasi dapat bertahan dan mampu untuk berkembang.
Menurut Riadi (2013), analisis SWOT memiliki fungsi untuk mendapatkan
informasi dari analisis situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal
(kekuatan dan kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman).
Analisis SWOT tersebut akan menjelaskan apakah informasi tersebut memiliki
5
5
sesuatu yang akan membantu perusahaan mencapai tujuannya atau memberikan indikasi
bahwa terdapat rintangan yang harus dihadapi atau diminimalkan untuk memenuhi
pemasukan yang diinginkan.
Lebih lanjut menurut Riadi (2013), analisis SWOT dapat digunakan dengan
berbagai cara untuk meningkatkan analisis dalam usaha penetapan strategi. Umumnya
yang sering digunakan adalah sebagai kerangka atau panduan sistematis dalam diskusi
untuk membahas kondisi alternatif dasar yang mungkin menjadi pertimbangan
perusahaan.
2.2 Green Computing
Menurut Kochhar dalam jurnalnya yang berjudul Eco-Friendly Computing: Green
Computing (2011), green computing adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
efisiensi penggunaan sumber daya dalam komputasi. Istilah ini umumnya berkaitan
dengan penggunaan sumber daya komputasi dalam hubungannya dengan meminimalkan
dampak lingkungan, memaksimalkan kelayakan ekonomi dan memastikan tugas-tugas
sosial.
Menurut Sheik dalam jurnalnya yang berjudul Green Computing-Embrace a
Secure Future (2010), green computing mengacu pada komputasi ramah lingkungan atau
TI. Ini adalah studi dan praktek merancang, manufaktur, menggunakan, dan membuang
ICT efisien dan efektif dengan meminimalkan yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Dengan demikian, green IT mencakup dimensi kelestarian lingkungan, ekonomi efisiensi
energi dan biaya total kepemilikan, yang meliputi biaya pembuangan dan daur ulang.
Menurut Webber (2009), green computing bukan masalah memperkenalkan
perubahan dalam lingkungan kerja yang statis. Sebaliknya, green computing menangani
variabel terbaru untuk persamaan di bisnis TI. Terdapat tiga karakteristik utama dari
green computing: (1) peralatan TI harus efisien, (2) kapasitas peralatan TI harus sesuai
dengan tugasnya, dan (3) biaya kepemilikan peralatan TI harus sudah termasuk biaya
pengolahan ulang yang tepat.
Menurut Murugesan (2012), green IT juga dikenal sebagai green computing
adalah studi dan praktik merancang, membuat, dan menggunakan komputer, server,
6
6
monitor, printer, perangkat penyimpanan dan jaringan secara efisien dan efektif dengan
minimalkan dampak terhadap lingkungan. Green IT juga tentang penggunaan TI untuk
mendukung, membantu, meningkatkan inisiatif lingkungan lainnya dan juga untuk
membantu menciptakan green awareness. Dengan demikian, green IT mencakup
perangkat keras, piranti lunak, peralatan, strategi, dan praktik yang dapat meningkatkan
dan mendorong kelestarian lingkungan.
Menurut Joseph dalam jurnalnya yang berjudul Optimization of Operating
Systems towards Green Computing, green computing adalah studi dan praktik sumber
daya komputasi yang efisien dan ramah lingkungan dengan konservasi energi listrik.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan di industri komputer menunjukkan minat
lebih dalam komputasi hijau karena menghemat energi dan biaya pengeluaran.
Menurut Stollenmayer (2011), manfaat green computing adalah: (a) pengurangan
konsumsi energi, (b) pengurangan penggunaan bahan baku, (c) pengurangan penggunaan
air, (d) pengurangan jumlah sampah, (e) pengurangan jumlah daur ulang, dan (f)
pengurangan polusi.
Menurut Speshock (2010), manfaat green computing adalah: (a) tanggung jawab
sosial dan praktik etis, (b) penghematan biaya, (c) kekuatan dalam persaingan, (d)
menaati peraturan pemerintah dan programnya, dan (e) green consumer demands.
2.3 Green Hardware
Menurut Murugesan (2012), green hardware tidak dapat dibangun dengan hanya
memiliki langkah tambahan dalam siklus hidup perangkat keras. Perlu ada upaya bersama
pada setiap tahap siklus hidup dari perangkat keras, dikembangkan sampai akan
digunakan dan didaur ulang atau dibuang. Green hardware perlu melakukan beberapa
tahapan sehingga perusahaan lebih mudah dalam menerapkan green.
Lebih lanjut dikatakan Murugesan (2012), green hardware merupakan konsumsi
energi dengan membuat perubahan kecil pada bagaimana perilaku menggunakan
komputer. Sebagian besar komputer desktop yang sedang berjalan banyak memakan
energi, bahkan ketika tidak menggunakannya lagi, karena pengguna terkadang selalu
meninggalkan desktop mereka dalam keadaan menyala, hal itu dapat meningkatkan
7
7
pengeluaran listrik yang berlebihan. Cara mengurangi konsumsi energi komputer dengan
mengikuti beberapa langkah berikut:
(a) Menyalakan fitur manajemen daya pada komputer. Tanpa perlu mengorbankan
kinerja, dapat juga memprogram komputer untuk secara otomatis mematikan sumber
daya saat tidak menggunakan sistem komputer.
(b) Mematikan sistem ketika tidak digunakan. Hal ini merupakan penghematan energi
paling mendasar, dengan melakukan hal tersebut, dapat mengurangi pemakaian
energi.
(c) Menggunakan screensaver. Screensaver kosong lebih menghemat daya daripada
menampilkan gambar bergerak yang terus-menerus memakan daya dari komputer.
Tetapi ini hanya mengurangi konsumsi energi monitor sebagian kecil saja.
2.4 Green Software
Menurut Twente Research and Education on Software Engineering (TRESE)
(2013), green computing dapat dicapai pada software dan dengan software. Melakukan
penghijauan melalui software memiliki tujuan untuk menghemat energi dengan bantuan
software. Penghijauan pada software memiliki tujuan untuk menghemat energi dengan
bantuan software. Penghijauan pada software bertujuan untuk mengurangi dampak pada
lingkungan yang disebabkan oleh software itu sendiri.
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012), green software merupakan
software ramah lingkungan yang dapat membantu menjaga kestabilan lingkungan. Cara
bagaimana sebuah software dikembangkan dan ditambahkan atributnya dapat
memberikan dampak bagi lingkungan. Pengembangan tersebut dapat berupa
modifiability, reusability, portability, dan performance attributes. Murugesan dan
Gangadharan juga membuat klasifikasi pada green software dan membaginya menjadi
empat kategori, yaitu:
(a) Software yang lebih ”hijau” dan mengonsumsi energi lebih sedikit.
(b) Software terintegrasi yang membantu hal-hal lain menjadi ”hijau”.
(c) Software pelaporan ketahanan atau Carbon Management Software (CMS).
8
8
(d) Software yang dapat beradaptasi pada perubahan cuaca, memperkirakan implikasi dan
membentuk respon yang baik dan bijaksana.
Menurut jurnal yang berjudul International Journal of Software Engineering and
Its Applications (2013), green software adalah software yang bertanggung jawab untuk
emisi CO2 sebagai komponen hardware. Green software memiliki efek yang tidak
langsung pada lingkungan dengan mengoperasikan dan mengelola hardware yang
mendasari berjalannya software. Green Software memiliki andil dalam mendukung
kelestarian lingkungan.
2.5 Green Data Center
Menurut Bullock (2009), Green data center adalah data center yang dapat
beroperasi dengan efisien, energi maksimal, dan dampak lingkungan minimal. Termasuk
mesin, listrik, pencahayaan, elektrisitas, dan peralatan TI (server, jaringan, media
penyimpanan).
Menurut Toledo (2011), green data center serupa dengan data center biasa yang
digunakan untuk media penyimpanan, manajemen, dan distribusi data. Yang
membedakannya adalah hardware, elektrisitas, dan sistem komputer. Semuanya didesain
untuk mencapai efisiensi maksimal, dan meminimalkan dampak lingkungan.
Menurut Dell dalam jurnalnya yang berjudul Managing The Data Center By
Efficient Use of IT Resouces (2012), green data center ditentukan dengan efisien dimana
data center mengubah sumber daya ke dalam perhitungan. Pengelolaan fasilitas ini akan
fokus dalam meminimalkan limbah TI dan memecahkan masalah buruknya pemanfaatan
TI dan alokasi sumber daya untuk peralatan yang relatif kurang produktif.
Menurut Milojkovic (2010), green data center berarti data center berkelanjutan
secara efisien dalam proses, energi, dan peralatan yang digunakan. Perusahaan mulai
beralih ke green data center dikarenakan tingginya biaya listrik sehubungan dengan
operasional data center. Ini adalah cara untuk mengurangi biaya operasional perusahaan
dalam infrastruktur TI.
2.6 E-Waste
9
9
Menurut Jehan dalam YLKI online (2012), e-waste adalah barang elektronik yang
dibuang karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste
perlu diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan
sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti logam berat (merkuri, timbal,
kromium, cadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga, dan lainnya).
Menurut Himpalaunas online (2011), e-waste adalah sampah atau limbah berupa
perangkat keras atau barang elektronik yang dibuang karena usang atau rusak. Sampah
ini harus mendapat perhatian lebih karena mengandung bahan beracun dan berbahaya
(B3). Limbah elektronik setiap tahunnya mengalami peningkatan mengingat tumbuh
pesatnya penggunaan barang elektronik seperti ponsel, televisi, atau komputer. Menurut
data PBB, setiap tahunnya antara 20-50 juta ton e-waste dibuang tanpa diproses dengan
cara ramah lingkungan. Apabila dibuang secara langsung tanpa melalui pengolahan, zat
dari e-waste yang ada dapat meresap ke dalam tanah, air, dan akhirnya dapat mencemari
lingkungan sekitar.
Menurut Chatterjee dan Kumar dalam jurnalnya yang berjudul Effective
Electronic Waste Management and Recycling Process Involving Formal and Non-Formal
Sectors (2009), e-waste adalah limbah yang paling cepat berkembang di dunia industri
dan urban. Dengan pertumbuhan besar di sektor elektronik dan hardware, permintaan
produk elektronik telah ditingkatkan pula. Perubahan fitur lebih cepat dalam perangkat
elektronik dan ketersediaan produk ditingkatkan sehingga memaksa konsumen untuk
membuang produk elektronik dengan cepat. Generasi ini telah menimbulkan
kekhawatiran terhadap e-waste.
Lebih lanjut menurut Chatterjee dan Kumar dalam jurnalnya yang berjudul
Effective Electronic Waste Management and Recycling Process Involving Formal and
Non-Formal Sectors (2009), sumber utama dari e-waste adalah hardware disposal dan
barang-barang elektronik dari kantor pemerintah, sektor publik dan swasta, akademis
serta lembaga penelitian. Konsumen rumah tangga juga memberikan kontribusi volume
yang signifikan dalam produk elektronik.
2.7 Green IT Policy
10
10
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012), organisasi harus mengembangkan
Green IT policy selaras dengan kebijakan lingkungan secara keseluruhan dan inisiatif.
Green IT policy meliputi kerangka organisasi yang ditempatkan untuk menerapkan
kriteria lingkungan dalam kegiatan TI. Hal ini mendefinisikan sejauh mana green issues
yang dikemas dalam prosedur organisasi membimbing penggunaan, sumber dan
pembuangan infrastruktur teknis TI, kegiatan infrastruktur TI, dan penggunaan TI di
perusahaan yang lebih luas.
Masih dalam sumber yang sama, menurut Murugesan dan Gangadharan (2012),
jatuh tempo Green IT policy mencerminkan pertimbangan lingkungan secara sistematik,
menyerap value chain aktivitas TI secara berulang atau tidak teratur dan didasarkan pada
upaya yang tidak terkoordinasi. Kebijakan (policy) membuat organisasi untuk melakukan
Green IT. Namun, tidak semua policy diharapkan dapat dilaksanakan dengan lancar dan
tidak semua praktik diharapkan menjadi policy.
Lebih lanjut menurut Murugesan dan Gangadharan (2012), Green IT policy tidak
hanya mengenai penggunaan TI di perusahaan tetapi juga dapat mencakup kebijakan
mengenai pengelolaan setelah TI tidak dapat digunakan. Hal ini termasuk kebijakan
mengenai pengelolaan e-waste salah satunya yaitu proses recycling. Proses recycling
adalah proses daur ulang TI yang sudah tidak dapat digunakan. Proses Green IT policy
yaitu recycling dapat menjadi panduan kebijakan recycling TI yang tidak dapat
digunakan lagi di dalam suatu perusahaan dan melibatkan pihak-pihak yang bersangkutan
dalam melakukan recycling tersebut.
2.8 Balanced Scorecard
Menurut Kaelani (2010) Balanced Scorecard (BSC) terdiri dari dua kata:
scorecard dan balanced. Awalnya BSC adalah kartu skor yang digunakan untuk mencatat
skor dari hasil kerja eksekutif. Dalam kartu skor ini kelak skor kinerja aktual akan
dibandingkan dengan skor kinerja yang direncanakan. Hasil perbandingan kemudian
digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari eksekutif.
Lebih lanjut menurut Kaelani (2010), Kata balanced atau berimbang
dimaksudkan bahwa kinerja eksekutif harus diukur secara berimbang, yaitu dari aspek
11
11
keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, serta interen dan
eksteren. Oleh karena kinerja eksekutif dinilai berdasarkan kartu skor yang dirumuskan
secara berimbang, diharapkan eksekutif akan memusatkan perhatian dan usahanya pada
ukuran kinerja non keuangan dan yang bersifat jangka panjang.
Menurut Gaspersz (2011), BSC adalah suatu konsep manajemen yang membantu
menerjemahkan strategi kedalam tindakan yang lebih dari sekedar suatu sistem
pengukuran operasional yang taktis. BSC dapat membantu organisasi untuk
menerjemahkan visi dan strategi kedalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan
indikator yang semuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat.
Menurut Kaplan dan Norton yang diterjemahkan oleh Rangkuti (2011) BSC
merupakan satu set ukuran yang memungkinkan manajer senior mendapatkan pandangan
bisnis yang cepat tetapi menyeluruh termasuk ukuran keuangan yang memuat hasil
program yang telah dilaksanakan untuk melengkapi ukuran keuangan dan ukuran
operasional tentang kepuasan pelanggan, proses internal dan inovasi dan ukuran operasi
dari aktivitas perbaikan organisasi yang merupakan pemacu kinerja keuangan di masa
depan.
Sementara, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young yang diterjemahkan oleh
Rangkuti (2011) mendefinisikan BSC sebagai ukuran dan sistem manajemen yang
menunjukkan kinerja suatu unit bisnis dari empat perspektif: Keuangan, pelanggan,
proses bisnis internal, dan pertumbuhan.
Menurut Atkinson, Banker dan Young yang diterjemahkan oleh Rangkuti (2011)
definisi BSC adalah ukuran dan sistem manajemen yang memandang kinerja suatu unit
bisnis dari empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta
pembelajaran dan pertumbuhan.
Metode ini dikemukakan oleh Kaplan dari Harvard Business School dan Norton,
Presiden Renaissance Solution Inc dalam Umar dalam buku Uha (2013), mengukur
kinerja perusahaan dengan menggunakan BSC. Istilah balanced berarti keseimbangan,
sedangkan scorecard adalah kartu yang dipakai untuk mencatat skor hasil kinerja
seseorang atau kelompok. BSC adalah metode untuk mengukur kinerja seseorang atau
kelompok/organisasi dengan menggunakan kartu untuk mencatat skor hasil kinerja. BSC
12
12
merupakan ide untuk menyeimbangkan aspek keuangan dan non keuangan serta aspek
internal dan eksternal organisasi/perusahaan.
Masih dalam sumber yang sama, menurut Kaplan dari Harvard Business School
dan Norton, Presiden Renaissance Solution Inc dalam Umar dalam buku Uha (2013),
BSC juga merupakan alat yang sangat menekankan budaya partisipasi setiap anggota
organisasi atau komunitas. Alat ini juga memastikan bahwa semua program senantiasa
hadir dan dikembangkan untuk menopang pencapaian visi dan misi organisasi atau
komunitas. Melalui BSC lalu dilakukan pendekatan untuk mengukur kinerja
organisasi/perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atas perspektif, yaitu: (a)
perspektif keuangan, (b) perspektif pelanggan, (c) perspektif proses bisnis internal, dan
(d) perspektif proses belajar dan berkembang.
Gambar 2.1 Model BSC (Traditional BSC)
Sumber : Kaelani (2010)
Menurut Rangkuti (2011), terdapat beberapa tujuan utama dari pembuatan BSC,
yaitu:
(a) Menerjemahkan misi dan strategi ke dalam berbagai tujuan dan ukuran.
13
13
(b) Melakukan pengukuran untuk memberi informasi kepada karyawan tentang faktor
pendorong keberhasilan perusahaan saat ini dan akan datang.
(c) Menyalurkan energi para senior untuk membawa perusahaan menuju ke arah
tercapainya tujuan jangka panjang.
Masih dalam sumber yang sama, menurut Rangkuti (2011) ada beberapa manfaat
utama sistem BSC dalam mendukung proses manajemen strategis antara lain:
(a) Memotivasi personel untuk berpikir dan bertindak strategis.
Untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, personel perlu menempuh
langkah-langkah strategis dalam hal permodalan yang memerlukan langkah besar
berjangka panjang. Selain itu sistem ini juga menuntut personel untuk mencari
inisiatif-inisiatif strategis dalam mewujudkan sasaran yang telah ditetapkan.
(b) Menghasilkan program kerja yang menyeluruh.
Sistem BSC merumuskan sasaran strategis melalui keempat perspektif. Ketiga
perspektif non-keuangan hendaknya dipicu dari aspek keuangan.
(c) Menghasilkan business plan yang terintegrasi.
Sistem BSC dapat menghasilkan dua macam integrasi:
Integrasi antara visi dan misi perusahaan dengan program.
Integrasi program dengan meningkatkan profit bersih.
14
14
Gambar 2.2 Peta strategi BSC
Sumber: Moeheriono (2012)
Menurut Gaspersz (2013), terdapat empat faktor penghambat dalam implementasi
rencana-rencana bisnis strategis, yaitu:
a) Hambatan visi (vision barrier).
Tidak banyak orang dalam organisasi yang memahami strategi organisasi itu sendiri.
Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% karyawan yang memahami strategi perusahaan
internal.
b) Hambatan orang (people barrier).
Banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi
organisasi. Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manajer yang memiliki insetif
terkait dengan strategi perusahaan.
c) Hambatan sumber daya (resource barrier).
Waktu, energi, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam
organisasi. Misalnya, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi bisnis, sehingga
menghasilkan permborosan sumber daya. Berdasarkan survei, sekitar 60% organisasi
tidak mengaitkan anggarannya dengan strategi perusahaan.
d) Hambatan manajemen (management barrier).
Manajemen menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk strategi organisasi dan terlalu
banyak waktu untuk pembuatan keputusan taktis jangka pendek. Berdasarkan survei,
sekitar 86% tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk
mendiskusikan strategi perusahaan mereka.
2.9 Balanced Scorecard: Key Performance Indicator (KPI)
Menurut Parmenter (2010), key performance indicator (KPI) adalah metrik
finansial atau pun non-finansial yang digunakan untuk membantu suatu organisasi
menentukan dan mengukur kemajuan terhadap sasaran organisasi. KPI digunakan dalam
intelijen bisnis untuk menilai keadaan suatu bisnis dan menentukan suatu tindakan
terhadap keadaan tersebut. KPI sering digunakan untuk menilai aktivitas-aktivitas yang
15
15
sulit diukur seperti keuntungan pengembangan kepemimpinan, perjanjian, layanan, dan
kepuasan.
Menurut Soemohadiwidjojo (2015), KPI harus dilakukan secara cermat untuk
mencerminkan indikator kinerja kunci yang sesuai dengan sasaran strategis dan critical
success factor organisasi. Indikator kinerja yang terpilih tersebut juga harus dapat
diimplementasikan dalam kegiatan operasional organisasi, divisi, serta aktivitas individu.
Untuk menguji apakah indikator kinerja tersebut cukup sederhana, mudah dipahami,
dimonitor serta dikelola sehingga cocok untuk dijadikan KPI, indikator kinerja tersebut
harus memenuhi kriteria SMART-C sebagai berikut:
(a) Specific (spesifik): Indikator kinerja harus dapat didefinisikan secara spesifik.
(b) Measureable (terukur): indikator kinerja harus dapat diukur secara objektif, baik yang
bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
(c) Attainable (realistis/dapat dicapai): sasaran/target yang ditetapkan untuk indikator
kinerja harus masuk akal dan memungkinkan untuk dicapai.
(d) Relevant (relevan): indikator kinerja yang dipilih sesuai dengan lingkup bisnis dan
aktivitas atau proses bisnis organisasi/divisi terkait.
(e) Time-Bound (batasan waktu): pencapaian sasaran/target indikator kinerja memiliki
batasan waktu yang jelas.
(f) Challenging (menantang): sasaran/target indikator kinerja yang ditetapkan merupakan
peningkatan dari pencapaian periode sebelumnya dan menjadi tantangan manajemen
untuk meningkatkan kinerja organisasi.
16
16
Gambar 2.3 Ilustrasi Proses Cascading KPI dalam Organisasi
Sumber : Soemohadiwidjojo (2015)
Lebih lanjut menurut Soemohadiwidjojo (2015), cascading KPI dapat dilakukan
dengan beberapa cara berikut:
(a) Identical.
Cascading secara identical dicirikan dengan definisi, ukuran, dan sasaran KPI unit
kerja yang identik dengan KPI level diatasnya. Namun, dalam penyelarasan secara
horisontal masing-masing unit kerja diberikan nilai target yang berbeda-beda. Cara
ini cocok untuk diterapkan pada unit kerja/divisi dengan struktur regional atau
geografis.
(b) Contributory.
Cascading secara contributory dicirikan dengan definisi, ukuran, dan sasaran KPI
pada level yang lebih rendah memberikan kontribusi pada KPI level diatasnya. Cara
ini cocok untuk diterapkan pada divisi dengan struktur berbasis proses. Cascading
secara contributory juga merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menyelaraskan KPI antar unit kerja yang berbeda secara horisontal.
(c) Shared.
17
17
Cascading secara shared dicirikan dengan ukuran dan sasaran KPI yang sama antara
level yang lebih rendah dan level diatasnya. Cara ini cocok untuk diterapkan pada
kelompok kerja yang memiliki tanggung jawab dan lingkup kerja yang sama.
(d) Support.
Terkadang terdapat KPI organisasi yang pencapaiannya harus didukung oleh divisi
terkait. Namun, karena sifat dari KPI tersebut, divisi terkait harus mengembangkan
KPI yang tidak sama persis dengan KPI organisasi. Dengan cara cascading seperti ini
ada kemungkinan KPI level divisi yang menjadi hasil cascade memiliki deskripsi,
ukuran, dan sasaran yang tidak terkait langsung dengan KPI organisasi, tetapi KPI
divisi tersebut tetap mencerminkan kinerja utama divisi terkait. Inilah cara cascading
KPI yang dikategorikan sebagai support.
Menurut Velimirovic et al (2011), bahwa KPI memberitahu performa
sebelumnya, performa sekarang, dan yang paling berguna untuk memprediksi performa
kedepannya. KPI digunakan dalam intelijen bisnis untuk menilai keadaan kini suatu
bisnis dan menentukan suatu tindakan terhadap keadaan tersebut.
2.10 IT Balanced Scorecard
IT Balanced Scorecard (IT BSC) merupakan hasil adopsi yang dilakukan oleh
Grembergen (2000) dari BSC yang dipopulerkan sebelumnya oleh Kaplan dan Norton. IT
BSC melihat bahwa customer dari departemen TI adalah user dan kontribusi dari
departemen TI dilihat dari pandangan manajemen, Sementara internal business process
melihat bagaimana aplikasi yang diolah oleh TI disampaikan ke pengguna. Secara garis
besar, hasil adopsi BSC menjadi IT BSC adalah:
Tabel 2.1 Adopsi BSC menjadi IT BSC
Traditional BSC IT BSC
Financial Corporate Contribution
Customer User Orientation
18
18
Internal Business Process Operational Excellence
Learning and Growth Future Orientation
Sumber: Grembergen (2000)
Menurut Grembergen (2000), penggunaan IT BSC merupakan cara untuk
membantu penyelarasan antara TI dan bisnis. Tujuannya adalah untuk membuat sebuah
fasilitas yang memadai bagi pelapor manajemen, menumbuhkan kesepakatan antara
stakeholder mengenai tujuan strategis TI, menunjukan kegunaan dan nilai tambah TI dan
mengkomunikasikan kinerja, risiko, dan kemampuan TI.
Menurut Grembergen (2000), ada empat perspektif dalam IT BSC yaitu:
(a) Business/corporate contribution perspective.
Mengevaluasi kinerja TI dan sistem informasi berdasarkan pandangan dari
manajemen eksekutif para direktur dan shareholder dan menangkap nilai bisnis dari
investasi TI.
(b) User orientation perspective.
Mengevaluasi kinerja TI dan sistem informasi berdasarkan pandangan dari pengguna
dengan tujuan untuk melakukan evaluasi penggunaan TI demi kemajuan perusahaan
di masa yang akan datang dengan terus menekankan pada kepuasan dan kepentingan
pengguna.
(c) Operational excellence perspective.
Menilai kinerja TI, efektivitas dan efisiensi proses TI yang digunakan. Berfokus pada
proses TI yang digunakan untuk mendukung proses bisnis.
(d) Future orientation perspective.
Menggambarkan seberapa baik TI memposisikan diri untuk kebutuhan-kebutuhan di
masa mendatang. Mewakili manusia dan sumber daya teknologi yang dibutuhkan
oleh TI untuk memberikan layanannya.
19
19
Gambar 2.4 Model IT Balanced Scorecard (IT BSC)
Sumber : Kaelani (2010)
Menurut Grembergen dan Bruggen (1997), ada beberapa tujuan dari pembuatan
IT BSC, yaitu:
(a) Untuk mendapatkan kontribusi bisnis yang beralasan dan baik dari investasi TI.
(b) Menjadi penyedia pilihan dalam menjalankan proses sistem informasi.
(c) Untuk mengukur kinerja internal maupun eksternal TI untuk memenuhi kebutuhan
jangka panjang.
Menurut Keyes (2005), ada beberapa manfaat dari IT BSC antara lain:
(a) Perusahaan dapat mengembangkan analisis kinerja TI secara luas dan spesifik.
(b) Meningkatkan efektivitas proyek TI untuk memenuhi kebutuhan strategis perusahaan.
(c) Memberikan pengertian yang lebih luas dan penerimaan dari inisiatif TI.
(d) Meningkatkan hubungan dan dialog antara TI dengan perusahaan serta unit bisnis
pelanggan.
(e) Teknologi lebih diposisikan untuk meningkatkan keunggulan bersaing.
20
20
Gambar 2.5 Contoh peta strategi departemen TI
Sumber: Luis dan Biromo (2013)
Menurut Rangkuti (2013), sebuah tujuan strategis adalah pernyataan tentang apa
yang akan diwujudkan sebagai penjabaran visi dan misi organisasi. Dalam penentuan
tujuan strategis menggunakan BSC, tujuan strategis perlu dijabarkan ke dalam seluruh
perspektif yang ada. Tujuan strategi menunjukkan bagaimana tindakan-tindakan yang
harus dilakukan untuk melaksanakan strategi demi kemajuan suatu organisasi atau
perusahaan.
Lebih lanjut menurut Rangkuti (2013), tujuan strategis harus dinyatakan dalam
bentuk SMART, yaitu spesifik, dapat diukur (measurable), dapat dicapai (attainable),
berorientasi pada hasil (realistic), serta memiliki batas waktu pencapaian (timely).
Sementara sasaran harus mendukung tujuan strategis yang ingin dicapai menggunakan
21
21
alat ukur untuk mengukur sasaran yang ada. Tolak ukur ini merupakan key performance
indicator. Seperti tujuan strategis, sasaran strategi juga dijabarkan ke dalam seluruh
perspektif BSC.
Tabel 2.2 Ukuran/Parameter Perspektif Orientasi Pengguna
Ukuran/Parameter
1. Preferred IT supplier
% aplikasi yang diatur TI.
% aplikasi yang disediakan TI.
% aplikasi in-house.
2. Partnership with user
Indeks keterlibatan pengguna dalam pembuatan aplikasi strategis baru.
Indeks keterlibatan pengguna dalam pengembangan aplikasi baru.
Frekuensi rapat komite pengendali TI.
3. User Satisfaction
Indeks user friendliness of applications
Indeks kepuasan pengguna.
Indeks ketersediaan aplikasi dan sistem.
Indeks fungsionalitas aplikasi.
% pengembangan aplikasi dan operasi di dalam Service Level Agreement (SLA).
Sumber: Grembergen, Van, Bruggen, dan Rik Van (2002)
Menurut Grembergen (2000), perspektif orientasi pengguna memiliki tiga fokus
yang harus diperhatikan, yaitu: (a) menjadi penyedia aplikasi, (b) kerjasama dengan
pengguna, dan (c) kepuasan pengguna. Pengukuran terhadap pengguna seharusnya
22
22
memiliki peran yang penting dalam mengevaluasi fungsi TI secara keseluruhan.
Pengguna utama harus dilibatkan dan diikutsertakan dalam pengukuran dan pengambilan
keputusan ini sehingga semua dapat berjalan baik, lancar dan sesuai rencana.
Tabel 2.3 Ukuran/Parameter Perspektif Keunggulan Operasional
Ukuran/Parameter
1. Efisiensi pengembangan piranti lunak
% perubahan dan penyesuaian yang dilakukan sepanjang tahap pengembangan.
Jumlah kerusakan per poin fungsi pada tahun pertama produksi.
Jumlah poin fungsi per orang per bulan.
Rata-rata jumlah hari keterlambatan dalam menyediakan software.
Rata-rata peningkatan budget yang tidak diharapkan.
% proyek dijalankan di dalam SLA.
% kode yang digunakan ulang.
% aktivitas pemeliharaan.
Penumpukan kerja yang terlihat dan yang tidak terlihat.
2. Efisiensi operasi
% tidak tersedianya mainframe.
% tidak tersedianya jaringan.
Waktu respon per kategori pengguna.
% pekerjaan yang terselesaikan pada waktu yang ditetapkan.
% of reruns.
Waktu rata-rata antara kegagalan sistem.
Rasio biaya operasional.
3. Kemahiran PC dan PC software
Rata-rata waktu untuk penyediaan.
4. Manajemen masalah
Rata-rata waktu jawaban help desk.
23
23
% pertanyaan terjawab dalam waktu yang ditetapkan.
% solusi dalam SLA.
5. Pendidikan pengguna
% pengguna yang telah mendapatkan pendidikan (per-teknologi/aplikasi).
Kualitas indeks pendidikan
6. Pengaturan staf TI
Jumlah waktu orang yang dapat ditugaskan secara internal atau eksternal.
% waktu orang yang ditugaskan pada proyek.
Indeks kepuasan staf TI.
7. Penggunaan software komunikasi
% staf TI yang dapat mengakses fasilitas groupware (internet atau intranet).
% staf TI yang menggunakan fasilitas groupware secara efektif.
Sumber: Grembergen, Van, Bruggen, dan Rik Van (2002)
Menurut Grembergen (2000), perspektif ini untuk mengetahui seberapa efektif
dan efisien proses TI. Perspektif ini berfokus pada pengukuran dan peningkatan dua
proses dasar divisi TI, yaitu proses pengembangan aplikasi TI yang baru dan operasi
komputer. TI harus mampu memberikan layanan yang bermutu tinggi kepada
penggunanya dengan biaya serendah mungkin. Hal ini hanya dapat dicapai dengan
melakukan pengaturan terhadap proses dan dapat ditingkatkan dengan mengikuti ukuran
operasional yang telah ditetapkan.
Tabel 2.4 Ukuran/Parameter Perspektif Orientasi Masa Depan
Ukuran/Parameter
1. Pendidikan tetap karyawan
Jumlah hari pendidikan/pelatihan per-orang
24
24
Budget pendidikan sebagai suati persentase total IT budget.
2. Keahlian staf TI
Jumlah tahun keahlian TI per anggota staf.
Piramida usia staf TI.
3. Usia portofolio aplikasi
Jumlah aplikasi per kategori usia
Jumlah aplikasi kurang dari lima tahun.
4. Penempatan dalam teknologi baru
% budget yang dikeluarkan untuk penelitian TI.
Sumber: Grembergen, Van, Bruggen, dan Rik Van (2002)
Menurut Grembergen (2000), perspektif orientasi masa depan mengevaluasi
kinerja TI dari sudut pandang organisasi TI itu sendiri: (a) proses kepemilikan, (b)
praktisi, dan (3) dukungan dari para profesional. Perspektif orientasi masa depan
menyediakan jawaban bagi para stakeholder mengenai kesiapan TI dalam menghadapi
tantangan masa depan.
Tabel 2.5 Ukuran/Parameter Perspektif Kontribusi Perusahaan
Ukuran/Parameter
1. Kontribusi biaya-biaya TI
Persentase di atas atau di dalam budget.
Alokasi budget items yang berbeda.
IT budget sebagai suatu persentase turnover.
Biaya TI per anggota staf.
2. Menjual pada pihak ketiga
Keuntungan finansial yang berasal dari penjualan produk dan layanan.
25
25
3. Nilai bisnis proyek TI yang baru
Evaluasi finansial berdasarkan ROI, NPV, IRR, dan PB.
Evaluasi bisnis berdasarkan information economics.
4. Nilai bisnis fungsi TI
Persentase kapasitas pengembangan yang digunakan pada proyek strategis.
Hubungan antara pengembangan baru/investasi infrastruktur/investasi
penggantian atau penempatan ulang.
Sumber: Grembergen, Van, Bruggen, dan Rik Van (2002)
Menurut Grembergen (2000), perspektif ini mengevaluasi kinerja TI dari sudut
pandang manajer eksekutif, dewan direksi, dan para pemegang saham, dan menyediakan
jawaban atas pertanyaan kunci dari pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan
(stakeholders) mengenai nilai TI. Perspektif ini mencakup dua hal yaitu evaluasi
financial jangka pendek dan panjang terhadap proyek dan fungsi TI. Evaluasi financial
jangka pendek meliputi pengendalian biaya TI dan penjualan produk TI, sedangkan untuk
jangka panjang meliputi pengukuran nilai bisnis proyek TI baru dan nilai bisnis fungsi TI.
Dari penjelasan tentang IT BSC maka dapat dilihat bahwa perspektif-perspektif yang ada
merupakan hasil penyesuaian dari tradisional BSC.
Masih dalam sumber yang sama, menurut Grembergen (2000), penting untuk
mengembangkan hubungan sebab akibat dalam IT BSC yang menjelaskan pengukuran
hasil dan performance drivers. IT BSC yang baik membutuhkan perpaduan yang baik
dari dua tipe pengukuran. Hubungan sebab akibat ini perlu didefinisikan ke dalam kartu
skor.
26
26
Gambar 2.6 Diagram Sebab Akibat
Sumber: Diana et al (2000)
Tabel 2.6 Hubungan Sebab Akibat Antara Keempat Perspektif
JIKA
Keahlian staf TI ditingkatkan.
(Perspektif orientasi masa depan)
MAKA
Akan menghasilkan kualitas pengembangan sistem/aplikasi yang lebih baik.
(Perspektif penyempurnaan operasional)
MAKA
27
27
Akan memenuhi kebutuhan pengguna.
(Perspektif operasi pengguna)
MAKA
Akan meningkatkan dukungan terhadap proses bisnis.
(Perspektif kontribusi perusahaan)
Sumber: Diana dan et al (2000)
Menurut Grembergen (2000), hubungan sebab akibat ini harus dapat
menggambarkan keseluruhan dari BSC. Lebih sering diadakannya pelatihan terhadap staf
TI dan proses pelatihan yang lebih baik (perspektif orientasi masa depan) akan menjadi
pemicu kinerja untuk menghasilkan kualitas pengembangan sistem yang lebih baik
(perspektif penyempurnaan operasional) sehingga akan meningkatkan kepuasan
pengguna (perspektif orientasi pengguna).
2.11 Green IT Balanced Scorecard
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), salah satu
isu penting yang terkait dengan teknologi lingkungan adalah kemungkinan efek rebound.
Artinya sementara teknologi seharusnya membantu dalam mempromosikan sebuah
masyarakat dimana dimungkinkan untuk menyimpan atau memperkuat standar hidup saat
ini, di saat yang sama, penggunaan ini dapat menyebabkan peningkatan penggunaan
sumber daya. Umumnya rebound digambarkan sebagai peningkatan sumber daya energi.
Lebih lanjut menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An
Introduction to the Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System
(2011), secara kuantitatif rebound menunjukan berapa persen dari potensi penghematan
yang mungkin hilang karena pertumbuhan sebagai akibat dari peningkatan efisiensi. Ini
membantu untuk menjelaskan mengapa investasi TI tidak selalu memiliki dampak positif.
Dengan demikian, tercetus BSC untuk membantu perusahaan mendapatkan solusi untuk
lingkungan secara berkelanjutan. Green IT BSC dapat dipandang sebagai alat bantu
28
28
manajemen untuk menyelaraskan strategi TI dengan strategi bisnis dari perspektif
kelestarian lingkungan dalam rangka untuk mencapai keunggulan kompetitif. Berikut
perbedaan antara IT BSC dengan Green IT BSC:
Tabel 2.7 Perbedaan IT BSC dengan Green IT BSC
IT BSC Green IT BSC
Kontribusi bisnis
Misi: Untuk mendapatkan bisnis yang
wajar dan berkontribusi untuk investasi TI.
Perspektif keuangan
Misi: Untuk menyelidiki kontribusi
implementasi Green IT dari perspektif
keuangan.
Orientasi pengguna
Misi: Untuk menjadi pemasok andal
dalam sistem informasi.
Orientasi pemangku kepentingan
Misi: Untuk mengukur efisiensi dan
efektivitas Green IT dalam mendukung
kebutuhan pemangku kepentingan.
Orientasi masa depan
Misi: Untuk mengembangkan kesempatan
untuk menjawab tantangan masa depan.
Orientasi masa depan
Misi: Untuk mengintegrasikan lingkungan
dan aspek teknologi demi mencapai
pembangungan berkelanjutan.
Keunggulan operasional
Misi: Untuk memberikan aplikasi dan
layanan TI yang efektif dan efisien.
Perspektif proses
Misi: Untuk mengoptimalkan pemanfaatan
Green IT sesuai dengan siklus hidupnya.
Sumber: Wati dan Koo (2011)
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul A Presentation of the
Green IT Balanced Scorecard from an Environmental Perspective (2011), Green IT BSC
terdiri dari dua pilar yang berbeda yaitu aspek teknologi lingkungan dan keunggulan
kompetitif implementasi Green IT. Kedua faktor tersebut menjadi dasar bagi perumusan
metrik lanjut kartu skor.
29
29
Pengukuran pada BSC harus terdiri dari satu kesatuan yang terkait tujuan dan
pengukuran yang konsisten dan saling memperkuat. Meskipun berbagai pendekatan
untuk IT BSC telah diadopsi, peneliti dan praktisi TI harus menyadari penerapan yang
dilakukan harus sejalan dengan keselarasan teknologi lingkungan. Penerepan yang dapat
dilakukan yaitu berupa Green IT yang memadukan teknologi dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. Green IT harus melakukan pendekatan dengan
lingkungan mengingat pentingya kelestarian dan keberlanjutan ekosistem yang ada di
muka bumi (Molla, 2009).
Gambar 2.7 Green IT BSC
Sumber: Wati dan Koo (2011)
30
30
Dibandingkan dengan IT BSC, Green IT BSC menekankan aspek lingkungan TI
bersama dengan perspektif keuangan, orientasi pemangku kepentingan, orientasi masa
depan, dan operasional. Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An
Introduction to the Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System
(2011), tujuan dari Green IT BSC adalah:
(a) Untuk mengevaluasi kinerja teknologi dengan mengintegrasikan aspek lingkungan
secara efektif.
(b) Untuk menyelidiki aset berwujud dan tidak berwujud dari investasi Green IT.
(c) Untuk menyelaraskan kinerja dan bisnis TI dan mengubah hasil menjadi keuntungan
kompetitif.
2.12 Pengukuran Green IT Balanced Scorecard
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), untuk
meningkatkan kinerja, top level manajemen telah mengakui bahwa perlu untuk
memahami biaya yang dikeluarkan, pendapatan perusahaan, serta tindakan-tindakan yang
dapat mempengaruhi perusahaan. Beberapa pertanyaan yang harus diperhatikan sebelum
berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan adalah:
(a) Bagaimana top level manajemen mendapatkan investasi pada Green IT untuk
mengembalikan beberapa nilai bisnis?
(b) Bagaimana top level manajemen memastikan bahwa investasi dalam Green IT adalah
keputusan yang tepat, tidak hanya mematuhi peraturan pemerintah, tapi juga untuk
mencapai dan mengubah investasi menjadi keunggulan kompetitif?
(c) Bagaimana top level manajemen mengatur perusahaan dalam investasi Green IT?
Masih dalam sumber yang sama, menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang
berjudul An Introduction to the Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT
Management System (2011), usulan green IT BSC dapat ditunjukkan dalam beberapa
figur antara lain:
31
31
(a) Sebagai penilaian teknologi, green IT BSC mengevaluasi risiko lingkungan, dampak
proyek-proyek tertentu dan fasilitas, potensi limbah dan biaya siklus.
(b) Terdiri dari: (1) Green IT Infrastructure Scorecard, (2) Green IT Usage Scorecard,
dan (3) Green IT Strategic Scorecard. Ketiga driver ini yang membuat Green IT BSC
terus bertahan.
2.13 Pengukuran Green IT Balanced Scorecard: Perspektif Proses
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), perspektif
pada sisi proses mewakili proses pada Green IT yang dapat digunakan untuk membuat
dan memberikan dukungan kepada aplikasi secara berkelanjutan. Fokus penting dari
teknologi lingkungan adalah untuk meningkatkan proses produksi dengan
mengedepankan aspek lingkungan.
Tabel 2.8 Metrik Perspektif Proses
Perspektif Perspektif Proses
Key issue Untuk mengoptimalkan pemakaian Green IT dalam proses
berkelanjutan.
Objektif Menurunkan jumlah dari polusi teknologi/carbon footprint/
efek gas rumah kaca untuk melakukan proses operasional.
Pengukuran:
Pollution control index.
Transportation efficiency assesment.
Emission ratio.
Corporate report (ISO 14001, global reporting
initiative, EMAS version).
Mengurangi pemakaian energi dan sumber untuk melakukan
32
32
proses operasional.
Pengukuran:
Management system project scores.
Corporate report (ISO 14001, global reporting
initiative, EMAS version).
Mengurangi risiko yang berhubungan dengan lingkungan.
Hazardous waste ratings.
Risk technology assesment.
Corporate report (ISO 14001, global reporting
initiative, EMAS version).
Analisis dampak lingkungan.
Mudah untuk recycle, reuse, dan menguraikan di akhir
proses teknologi.
Pengukuran:
Life-cycle assesment.
Material investigation.
E-waste ratio.
Corporate report (ISO 14001, global reporting
initiative, EMAS version).
Sumber: Wati dan Koo (2011)
Lebih lanjut menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An
Introduction to the Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System
(2011), fokus penting dari teknologi lingkungan adalah meningkatkan kinerja proses
manufaktur dari sisi ekologi. Hal ini dapat dicapai melalui desain ulang sistem produksi
untuk mengurangi dampak lingkungan secara berkelanjutan, penggunaan teknologi yang
lebih bersih, meminimalkan limbah, dan memaksimalkan penghematan bahan bakar dan
energi.
33
33
2.14 Pengukuran Green IT Balanced Scorecard: Perspektif Stakeholder
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), perspektif
stakeholder merupakan evaluasi Green IT. Green IT BSC menunjukkan bahwa
stakeholder memiliki peranan sangat penting dalam lingkungan dan lingkup bisnis
“hijau”.
Tabel 2.9 Metrik Orientasi Stakeholder
Perspektif Orientasi Stakeholder
Key issue Untuk mengukur efisiensi dan efektivitas dari Green IT
untuk membangun stakeholder.
Objektif Kepuasan stakeholder.
Pengukuran:
Survei kepuasan stakeholder.
Jumlah keluhan stakeholder.
Mengatur keinginan stakeholder.
Pengukuran:
Jumlah pertemuan dengan stakeholder.
Jumlah pertemuan dengan service license aggrement.
Level komunikasi dengan CIO, CEO, dan
stakeholder kunci.
Capital accesstability.
Mitigasi yang layak dan legal.
Pengukuran:
Tersedianya prosedur teknologi lingkungan.
Jumlah penghargaan lingkungan TI.
Pencatatan kinerja perusahaan yang berkelanjutan.
Sumber: Wati dan Koo (2011)
34
34
Menurut Funk (2003), melaporkan dan mengevaluasi bahwa ”perusahaan yang
secara aktif mengelola indikator sustainability lebih mampu menciptakan nilai jangka
panjang bagi seluruh stakeholder”. Dengan demikian reaksi stakeholder merupakan
bagian yang sangat penting dan vital, karena reaksi tersebut dapat mempengaruhi
pendapat jangka panjang. Reaksi stakeholder juga merupakan elemen sangat penting,
karena dapat mempengaruhi pendapat jangka pendek dan biaya kinerja perusahaan dalam
jangka panjang yang nantinya akan berdampak luas dan baik terutama pada perusahaan
tersebut.
2.15 Pengukuran Green IT Balanced Scorecard: Perspektif Keuangan
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), bahwa
setiap organisasi tentu ingin mengurangi pemakaian energi karena dapat mempengaruhi
pengeluaran pada perusahaan yang nantinya dapat meningkatkan pendapatan perusahaan
dan juga menurunkan emisi karbon. Green IT BSC menunjukkan pengaruh pada
penerapan teknologi green jika dilihat dari perspektif keuangan. Hal ini mewakili biaya
usaha yang dikeluarkan dan nilai yang diciptakan melalui investasi Green IT.
Tabel 2.10 Metrik Perspektif Keuangan
Perspektif Perspektif Keuangan
Key issue Untuk memeriksa kontribusi penerapan Green IT dari
perspektif keuangan.
Objektif Meningkatkan pertumbuhan penghasilan melalui
implementasi Green IT.
Pengukuran:
Actual cost versus budgeted expenses.
Cost recovery versus expense.
Mengurangi risiko biaya lingkungan.
Pengukuran:
35
35
Rata-rata dari risiko biaya.
Nilai bisnis dari proyek Green IT
Pengukuran:
Return of Investment, return of assets, return on
equity.
Informasi ekonomi.
Analisis pengeluaran.
Manajemen dari penanaman modal Green IT.
Pengukuran:
Laju penanaman modal pokok.
Sumber: Wati dan Koo (2011)
Menurut Viederman (1993), dimensi lingkungan dapat secara alami
dipertimbangkan dalam pembangunan berkelanjutan perusahaan dan biasanya dianggap
termasuk sebagai biaya bagi perusahaan.
Menurut Christmann (2000), praktek manajemen lingkungan seperti teknologi
pencegahan polusi dan inovasi teknologi lingkungan dapat mengurangi siklus waktu dan
mengurangi emisi jauh di bawah tingkat yang diperlukan, sehingga dapat memenuhi
biaya yang diwajibkan.
Menurut Claver (2007), ketika perusahaan memutuskan untuk mengintegrasikan
pengelolaan lingkungan ke dalam proses bisnis, maka sumber daya dan kemampuan
dapat dimanfaatkan dalam organisasi tersebut.
2.16 Pengukuran Green IT Balanced Scorecard: Perspektif Future Orientation
Menurut Wati dan Koo dalam jurnalnya yang berjudul An Introduction to the
Green IT Balanced Scorecard as a Strategic IT Management System (2011), future
orientation melibatkan sumber daya dan kemampuan yang diperlukan oleh TI untuk
memberikan layanan yang berkelanjutan.
Menurut Sarmento (2007), inovasi green telah menjadi target utama perusahaan
yang ingin mempertahankan keunggulan kompetitif di masa depan. Selain karena
36
36
menghemat biaya, perusahaan juga dapat berperan menekan dampak buruk yang dapat
terjadi dan akan merusak lingkungan.
Tabel 2.11 Metrik Future Orientation
Perspektif Future Orientation
Key issue Untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dari teknologi
untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Objektif Penelitian dan pengembangan Green IT.
Pengukuran:
Jumlah inovasi baru.
Jumlah hak cipta.
Nilai (%) anggaran belanja yang dialokasikan untuk
penelitian dan pengembangan baru.
Meningkatkan tingkat Green IT dalam komitmen dan
motivasi organisasi.
Pengukuran:
Employees green satisfaction index.
Jumlah sertifikat lingkungan TI.
Perbaikan proses internal.
Menyempurnakan aksesibilitas dari Green IT berhubungan
dengan ilmu yang berkembang.
Pengukuran:
Jumlah kerja sama dengan asosiasi lingkungan
internasional (ISO, restriction of hazardous
substances directive).
Jumlah pelatihan yang berhubungan dengan
pemakaian Green IT.
Sumber: Wati dan Koo (2011)
37
37
Menurut Rennings (2000), inovasi green telah secara luas didefinisikan sebagai
proses mengembangkan ide-ide baru, perilaku, produk, dan proses yang berkontribusi
terhadap pengurangan beban lingkungan atau target berkelanjutan yang telah ditentukan
secara ekologis. Perlu ada kerjasama yang konsisten dari banyak pihak demi tercapainya
inovasi green yang akan berdampak baik bagi perusahaan maupun lingkungan.
Menurut Hart (2005), inovasi green terdiri dari inovasi perangkat keras atau
perangkat lunak yang berhubungan dengan green product atau proses, termasuk inovasi
dalam teknologi yang terlibat dalam pemeliharaan energi, penelitian energi alternatif,
pencegahan polusi, daur ulang limbah, desain produk, atau pengolahan lingkungan
perusahaan. Inovasi dapat dilihat sebagai pemaknaan, peningkatan, atau memperbaharui
ide-ide dan praktek yang sudah ada dan perlu untuk dipahami, khususnya kesesuaian
antara ide-ide baru dan praktek baru yang sesuai.
38
38
2.17 Kerangka Pikir
Gambar 2.8 Kerangka pikir
Menemukan Masalah
Mencari dan Membuat Landasan
Teori
Menyusun Metodologi
- Wawancara- Survey- Studi Pustaka
Melakukan Analisis
- KPI- SWOT- BSC
Simpulan39
39
top related