bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i ii iii.pdfkontak sosial dengan etnis lain di suatu...
Post on 05-Aug-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa tidak pernah berhenti berubah, baik ke arah perkembangan dan
kemajuan maupun ke arah kepunahannya. Hal ini dapat diamati secara jelas pada
kemunculan leksikon-leksikon baru atau punahnya leksikon-leksikon yang ada di
dalamnya. Dinamika leksikon merepresentasikan perubahan lingkungan tempat
suatu bahasa dipakai. Sebagai bukti adanya dinamika leksikon yang disebabkan
oleh adanya perubahan lingkungan, misalnya kelompok masyarakat yang
berprofesi sebagai peladang dan petani, kurang lebih empat puluh atau lima
puluh tahun yang lalu, hanya mengenal seperangkat leksikon tanaman budi daya
lama, peralatan pengolah tanah tradisional, dan pupuk kandang, kini leksikon-
leksikon, seperti pestisida, hibrida, traktor, pupuk organik/bukan organik dan
sebagainya, begitu akrab dengan mereka. Di samping itu, intensifkasi dan
ekstensifikasi di bidang perkebunan dan pertanian menyebabkan banyak
perangkat leksikon lama yang berkaitan dengan ranah-ranah perladangan dan
pertanian tradisional tergusur dan akhirnya punah (lihat Mbete dkk., 2009: 99).
Dengan kata lain, perubahan bahasa dapat terjadi sebagai akibat perubahan
lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang ditandai
dengan hilangnya leksikon-leksikon tertentu yang merepresentasikan ciri dan
kondisi lingkungan alam sebelumnya. Di samping punahnya beberapa leksikon,
perubahan bahasa (ke arah positif atau berkembang) ditandai dengan munculnya
1
2
leksikon-leksikon baru, baik yang dibentuk melalui proses peminjaman
(borrowing), inovasi penutur melalui pemajemukan (compounding), maupun
melalui pencampuran bagian unsur sebuah leksikon dengan unsur/bagian dari
leksikon yang lain (Halliday dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001)
Globalisasi budaya dan bahasa, khususnya pengaruh bahasa-bahasa
internasional dan dominasi bahasa nasional Indonesia, menguji kebertahanan
bahasa (language maintenance) yang melanda bahasa-bahasa daerah, terutama
yang tergolong kecil, di seluruh Nusantara. Gejala ini perlu dicermati dan tidak
dapat dipungkiri bahwa globalisasi membawa perubahan, khususnya terhadap
sikap bahasa (language attitude) penutur bahasa lokal atau bahasa ibu warisan
leluhur mereka. Sikap bahasa yang negatif berpengaruh buruk terhadap BD
sebagai warisan leluhur, sebaliknya sikap positif menjamin kehidupan dan
kelestarian BD. Karena pengaruh berbagai faktor, media komunikasi sehari-hari
mereka tidak lagi hanya diwahanai oleh bahasa lokal melainkan oleh bahasa lain,
dalam hal ini bahasa Indonesia. Apabila fenomena ini berlangsung terus menerus,
perlahan tetapi pasti, bahasa-bahasa lokal tidak lagi menjadi identitas
pendukungnya karena mereka telah memilih bahasa lain untuk berkomunikasi
sehari-hari. Fenomena ini oleh Holmes (1992: 56) disebut dengan pergeseran
bahasa (language shift) (bdk. Fasold, 1984; Gal, 1979).
Fenomena di atas bukan tidak mungkin juga melanda bahasa Using (yang
selanjutnya disingkat BU) sebagai salah satu bahasa daerah kecil dan terjepit di
Nusantara. BU yang merupakan lambang identitas etnis, budaya, dan alat
komunikasi dalam kehidupan sehari-hari antaranggota guyub tutur bahasa Using
3
(yang selanjutnya disingkat (GTBU) ini, tergolong bahasa daerah kecil karena
jumlah penutur di bawah satu juta orang, atau oleh Ferguson (dalam Soepomo,
1976) digolongkan “low” yaitu bahasa yang reputasinya rendah, tidak mempunyai
tradisi sastra, tidak memiliki kodifikasi, dan penguasaannya hanya melalui
keluarga dan masyarakat dalam situasi tidak formal (Soepomo, 1976: 1--3).
Kontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya
lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali, Bandar, dan sebagainya),
menyebabkan munculnya penggunaan bahasa lain sebagai bahasa pengantar
dalam berkomunikasi GTBU. Kontak sosial merupakan salah satu akibat dari
terbukanya isolasi sebuah wilayah. Apabila unsur-unsur pembatas sudah hilang,
misalnya oleh berbagai perkembangan seperti mobilitas penduduk, transportasi,
dan pendidikan, maka terjadi pertautan dengan pusat-pusat inovasi (Trudgill,
1983: 71). Budaya urban, pola hidup kota, khususnya Kota Banyuwangi dan
Pulau Bali sejak dahulu, memengaruhi kehidupan GTBU. Sebagai akibatnya,
bahasa-bahasa lokal atau dialek diperkenalkan dengan bahasa-bahasa lain. Hal ini
menyebabkan terjadinya kontak bahasa dalam suatu wilayah sehingga penuturnya
menjadi dwibahasawan atau multibahasawan yang dapat memunculkan dua
pengaruh yang saling berkaitan, yaitu pengaruh kontak bahasa terhadap penutur
dwibahasawan dan pengaruh penutur dwibahasawan terhadap masyarakat
bahasanya (Jeffers dan Lehiste, 1979: 135) sehingga dapat terdeteksi berbagai
sikap bahasa masyarakat penuturnya, seperti ambisi sosial yang memungkinkan
pemakai bahasa yang tergolong berpendidikan, mulai meninggalkan bahasa lokal
mereka (Ayatrohaedi, 1985: 44 ; Chambers dan Trudgill, 1980: 79).
4
Sebagai warga bangsa Indonesia, para penutur BU juga menggunakan
bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa nasional. Dalam
fungsinya sebagai lingua franca, keberadaan BI di tengah-tengah guyub tutur
bahasa-bahasa lokal merupakan kebijakan nasional kebahasaan dalam konteks
pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran bahasa, karena sebagai warga negara
Indonesia, guyub tutur BU harus menggunakan BI secara baik dan benar, di
samping juga ikut memelihara dan mengembangkannya. Di samping itu,
kedudukan BI sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa Negara, semakin
mendesak bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa kecil di Indonesia
apalagi pemakai bahasa-bahasa daerah mana pun tidak mengalami kesulitan
dalam mempelajari BI, karena sama-sama berasal dari rumpun bahasa yang
serumpun (Ayatrohaedi, 1985: 38). Dengan demikian, perkembangan BI yang
begitu pesat melalui jalur seperti yang disebutkan di atas, sangat tidak
menguntungkan perkembangan bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa
daerah kecil seperti BU.
Berdasarkan hasil telaah terhadap hasil-hasil penelitian seperti “Bahasa
Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Herusantosa (1987), “Fungsi dan
Kedudukan Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Subyatiningsih dkk.
(1999) dan juga hasil diskusi informal dengan masyarakat penutur BU atau yang
memiliki pengetahuan tentang BU, dan artikel-artikel seperti “Kebijakan dan Arah
Penelitian Bahasa Using di Masa Depan” oleh Kusnadi (2002) “Pola Diglosia
dalam Masyarakat Using” oleh Sariono (2002), dan sebagainya, dinyatakan bahwa
wilayah pakai dan fungsi BU ternyata semakin menyusut. Fenomena ini
5
ditunjukkan oleh perbandingan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herusantosa
(1987) dan Subyatiningsih (1999) seperti berikut.
Ranah Herusantosa Subyatiningsih
(1987) (1999)
Keluarga 75,00% 62,35%
Transaksi 50,67% 32,40%
Keagamaan 28,00% 18,65%
Seni/tradisi/budaya 73,50% 37,87%
Perbandingan kedua hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa
fungsi kultural dan natural yang diemban BU yang tercermin pada pemakaian
bahasa (language in use) dalam berbagai ranah dan ragam fungsionalnya semakin
berkurang. Perlu diingat bahwa penurunan fungsi BU dalam ranah-ranah keluarga.
transaksi, keagamaan, seni, tradisi, dan budaya yang secara kuantitatif itu terjadi
selama 12 tahun (1987-- 1999). Diasumsikan bahwa setelah berlalu 12 tahun
pula, 1999-- 2013, atau kurang lebih 14 tahun, penyusutan fungsi BU dalam
ranah-ranah tersebut tetap akan terjadi pula.
Penyusutan pemakaian BU diawali pula oleh ketidakterpakaian leksikon-
leksikon BU dalam setiap konteks pemakaian BU karena leksikon merupakan
satuan bahasa yang paling mudah berubah. Seperti diuraikan di atas, perubahan
leksikon mencerminkan adanya perubahan lingkungan alam, sosial, budaya (bdk.
Seguy dalam Lauder, 1990: 163 dan Danie, 1991: 13). Selain itu, tidak adanya
pewarisan bahasa sebagai wahana, sistem kode, dan sistem simbol verbal kepada
generasi berikutnya melalui jalur pendidikan (formal, informal) berdampak pada
hilangnya ragam atau register BU pada generasi tersebut karena dominasi bahasa
Indonesia (lihat Mbete dkk., 2009: 3) sebagai bahasa daerah besar mengitarinya.
6
Apabila fenomena ini terjadi sampai ke wilayah pedesaan, maka proses
pergeseran dan penyusutan BU dari segi leksikon akan semakin cepat terjadi dan
berdampak pada posisi BU menjadi semakin terjepit.
Fakta menunjukkan bahwa agar dapat bertahan hidup, dimana pun
manusia bertempat tinggal di muka bumi ini, disadari atau tidak mereka telah
bergantung pada lingkungan alam dan fisik tempat tinggal mereka.
Ketergantungan tersebut dapat berupa macam, kuantitas, kualitas udara, angin,
kelembaban, dan sumber-sumber alam yang digunakan sebagai makanan,
minuman, pembuatan peralatan untuk berbagai kesenangan hidup dan sebagainya.
Hubungan antara manusia dan lingkungan fisik dan alamnya tidak hanya berupa
hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga turut
menciptakan corak dan bentuk lingkungannya. Dalam lingkungan yang
diciptakannya ini, baik lingkungan nyata maupun lingkungan abstrak manusia
berinteraksi, sehingga dari satu sisi manusia menjadi bagian dari lingkungan alam
dan fisik tempatnya hidup, sedangkan dari sisi lain lingkungan fisik dan alam
tempatnya hidup menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri (Suparlan, 1980).
Keadaan lingkungan tempat tinggal guyub tutur suatu bahasa dapat
berpengaruh terhadap guyub tutur bahasa tersebut karena lingkungan tesebut turut
membentuk karakter dan budaya yang menjadi ciri atau identitas masyarakat
tesebut. Fenomena ini juga terjadi pada GTBU. Karena lingkungan mereka
memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan kaya akan sumber air, mereka
terbentuk menjadi masyarakat bermatapencaharian sebagai petani yang masih
menjaga kelestarian lingkungan alam di sekeliling mereka.
7
Di samping dapat membentuk dan memengaruhi karakter masyarakat di
sekelilingnya, lingkungan juga menentukan jenis flora dan fauna yang hidup dan
tumbuh di wilayah tersebut. Sebagai contoh, flora dan fauna yang hidup dan
tumbuh di daerah empat musim akan sangat berbeda jenisnya dengan flora dan
fauna yang tumbuh di daerah tropis. Demikian juga, jenis tanaman yang tumbuh
di daerah kurang curah hujan akan berbeda dengan flora dan fauna yang hidup dan
tumbuh di tempat yang banyak curah hujan. Fenomena yang sama juga terjadi
pada GTBU yang bertempat tinggal di beberapa kecamatan di Kabupaten
Banyuwangi yang memiliki curah hujan yang tinggi, tanah yang subur, dan
lingkungan yang masih asri karena alih fungsi lahan yang sangat sedikit. Oleh
karena itu, GTBU lebih mengenal, memahami dan berinteraksi dengan berbagai
jenis tanaman yang tumbuh di lahan subur, seperti pari „padi‟, kelapa „kelapa‟,
jajang „bambu‟, gedang „pisang‟, dan sebagainya. Di samping itu, dengan
sendirinya BU akan sangat kaya dengan leksikon-leksikon yang mengacu pada
flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di lahan yang subur seperti padi, kelapa,
pisang, dan sebagainya. Adanya perubahan keadaan lingkungan seperti
disebutkan di atas diprediksi memengaruhi karakteristik GTBU dan BU. Oleh
sebab itu, dirasa perlu untuk diadakan penelitian terkait hal tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas maka permasalahan penelitian tentang
dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur BU dapat dirumuskan
sebagai berikut.
8
1) Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon
lingkungan alam BU?
2) Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan
alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU?
3) Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon
lingkungan alam antargenerasi GTBU?
4) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan
penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada umumnya, setiap penelitian tentu memiliki tujuan yang jelas untuk
dicapai yang disesuaikan dengan topik dan permasalahan penelitian. Tujuan
penelitian ini dirinci menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kembali
kekayaan leksikon tentang lingkungan alam BU yang masih bertahan, terancam
punah, dan yang sudah punah pada guyub tutur BU di Kabupaten Banyuwangi.
Perangkat leksikon yang masih bertahan dalam arti masih diketahui dan dipahami
serta kejelasan rujukan makna referensial eksternal merupakan salah satu penanda
masih hidupnya BU, sedangkan perangkat leksikon yang terancam punah
menggambarkan dinamika dan keterancamannya. Selain itu, penggalian leksikon-
leksikon yang oleh penutur tuanya dianggap sudah punah menggambarkan bahwa
leksikon-leksikon kealaman tersebut pernah hidup, dikodekan, dan secara
9
referensial pernah ada namun kini telah punah atau tidak dikenal lagi karena
perubahan lingkungan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1) mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon
lingkungan alam BU;
2) mendeskripsikan gambaran keberagaman (diversity) leksikon
lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU;
3) mendeskripsikan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon-
leksikon lingkungan alam antargenerasiGTBU; dan
4) mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan dinamika
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Dari perspektif teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan bidang kajian linguistik, khususnya ekolinguistik bidang leksikon.
Hal ini terkait dengan teori perubahan bahasa, sehingga hasil kajian ini
diharapkan dapat menambah data dan informasi tentang leksikon-leksikon BU
yang masih bertahan dan yang sudah punah karena dampak dari perubahan
lingkungan alam, bahasa, budaya. Selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan dapat
10
dijadikan acuan, perbandingan, dan pengembangan penelitian aspek-aspek
kebahasaan dan penelitian yang serupa di tempat lain sehingga pada akhirnya
peneliti berikutnya dapat melakukan penguatan dan pembenaran teoretis,
khususnya yang berkaitan dengan teori ekolinguistik yang diterapkan dalam
kajian ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
bagi:
(1) Pusat Bahasa dan Balai Bahasa dalam merancang pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa dan sastra daerah khususnya
bahasa daerah kecil;
(2) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan harapan hasil penelitian ini
digunakan untuk pengembangan pengajaran dan pembelajaran bahasa
yang berwawasan lingkungan;
(3) Para guru (dan orangtua) dalam merancang kurikulum muatan lokal
terkait dengan pengajaran BU, ataupun bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris terutama di sekolah dasar dan lanjutan; dan
(4) bahan acuan dalam usaha revitalisasi bahasa daerah, khususnya bahasa
Using;
11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur Bahasa
Using merupakan perpaduan antara kajian bidang sosiolinguistik dan
ekolinguistik. Agar pembahasan lebih terarah maka ruang lingkup penelitian
dibatasi pada pembahasan yang sesuai dengan rumusan permasalahan, yakni (1)
bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU; (2) kategori leksikon yang
meliputi leksikon berkategori nomina dan leksikon berkategori verba karena
kedua kategori ini jumlahnya paling banyak pada semua bahasa, termasuk BU;
dan (3) cara penamaan, yakni cara penamaan flora dan dan fauna. Leksikon
yang berkategori nomina diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon flora yang
mencakup kelompok leksikon tanaman bahan pangan, tanaman buah-buahan,
tanaman sayur-sayuran, tanaman obat dan bumbu, tanaman bunga, tanaman
kelapa, tanaman bambu, dan tanaman lainnya. Sementara itu, leksikon fauna
diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon mamalia, burung, reptil, serangga,
dan ikan air tawar. Selanjutnya, keberagaman leksikon lingkungan alam verba
BU dikelompokan berdasarkan lokasi aktivitas terjadi dan objek yang dikenai oleh
aktivitas tersebut yang memunculkan kelompok leksikon verba yang mengacu
pada aktivitas di lahan pertanian dan kebun, aktivitas manusia terhadap fauna dan
isi alam lainnya, aktivitas fauna, dan aktivitas alam. Relasi semantis antara
leksikon lingkungan alam BU mencakup relasi semantis hiponimi dan relasi
semantis meronimi
Tentang dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
antargenerasi GTBU dilihat berapa jauh masing-masing kelompok umur
12
responden memahami dan menggunakan leksikon-leksikon yang semuanya
terjaring melalui kuesioner. Dari perbedaan hasil perhitungan secara kuantitatif
dari masing-masing kelompok responden dapat dianalisis dinamika tingkat
pemahaman dan penggunaan serta penjelasan secara kualitatif. Dinamika tingkat
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam oleh responden
menghasilkan leksikon-leksikon yang bertahan, bergeser, dan yang (hampir)
punah. Fenomena tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kebahasaan, faktor
penutur, dan faktor perubahan ekologi.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan untuk membantu peneliti mengkaji penelitian-
penelitian yang dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang sedang
dilakukan. Hal ini penting dilakukan agar peneliti dapat melihat perbedaan atau
persamaan antara penelitian yang sedang dilakukan dan penelitian-penelitian
sebelumnya sehingga tidak terjadi pengulangan. Kajian pustaka pada penelitian
ini dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) kajian pustaka terhadap penelitian-
penelitian lain tentang leksikon, dan (2) kajian pustaka terhadap penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan terhadap BU. Berikut adalah uraian dari masing-
masing bagian yang dimaksud.
2.1.1 Beberapa Penelitian tentang Leksikon
Penelitian tentang leksikon terkait dengan pemertahanan bahasa,
khususnya pemertahanan bahasa pada ―tingkat tutur‖ dilakukan oleh Sariono
(2002) terhadap sekelompok masyarakat penutur bahasa Jawa di Pulau Bawean,
sebuah pulau di wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dari 30 desa yang ada di
pulau tersebut, hanya satu desa yang penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan 29
desa lainnya menggunakan bahasa Madura dialek Bawean. Dalam penelitiannya,
Sariono memfokuskan kajiannya pada penguasaan leksikon tingkat tutur yang
terdiri atas leksikon kromo (kromo substandar, kromo madya, kromo inggil/kromo
13
14
andhap), leksikon bahasa Indonesia, leksikon ngoko, leksikon kromo hasil
inovasi. Kelompok-kelompok leksikon tersebut dijadikan sampel penelitian.
Data penelitian dikumpulkan melalui metode kuesioner dan metode
wawancara. Kuesioner yang berisi 155 butir pertanyaan disusun berdasarkan
daftar leksikon tingkat tuturnya yang telah diujikan penggunaannya pada penutur
bahasa Jawa Diponggo. Jumlah leksikon yang didapat melalui kuesioner itu
kemudian dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata dan masing-masing kelompok
jenis kata diambil kurang lebih 25% sebagai sampel sekaligus dipakai bahan
penyusunan kuesioner (Sariono, 2002:195).
Responden penelitain dikelompokkan berdasarkan umur, yaitu kelompok
dewasa yang berumur 46 tahun ke atas atau usia tua (+T) dan kelompok muda
berumur 20-45 tahun atau usia muda (-T). Status sosial dibedakan juga menjadi
dua kelompok, yaitu tokoh masyarakat (+Tm) dan bukan tokoh masyarakat (-Tm).
Berdasarkan pengelompokan-pengelompokan ini didapat empat kelompok
populasi dewasa, yaitu kelompok ((+T/+Tm), (+T/-Tm), (-T/+Tm), dan (-T/-Tm).
Dari masing-masing kelompok diambil lima penutur sebagai sampel dan sekaligus
sebagai informan. Kelompok populasai muda tidak ditentukan jumlah sampelnya
karena pengumpulan data pada kelompok ini dilakukan melalui pengamatan
langsung.
Dari hasil analisis data disimpulkan bahwa ditemukan tingkat
pemertahanan pemakaian tingkat tutur dari segi leksikon untuk tiap kelompok,
dengan urutan pemahaman dari tertinggi dari kelompok informan +T/+Tm,
kemudian berturut-turut disusul oleh +T/-Tm, -T/+Tm, dan –T/-Tm. Bahkan, dari
15
kelompok muda ditemukan tidak lagi memakai tingkat tutur krama kepada setiap
interlokutor. Di samping temuan di atas, penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa pemertahanan tingkat tutur bahasa Jawa Diponggo karena adanya pengaruh
faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa faktor sikap bahasa dan faktor
transmisi bahasa yang disebabkan adanya aktivitas merantau dalam jumlah besar
sehingga ada perubahan sosial penutur, sedangkan faktor eksternal yang
berpengaruh terhadap pemertahanan tingkat tutur adalah faktor lingkungan alam,
lingkungan masyarakat, dan struktur sosial. Lingkungan geografis dan
terkonsentrasi dari penduduk mayoritas seharusnya menjadikan pemertahanan
bahasa yang kuat, namun karena adanya faktor dominasi, pengaruh mayoritas
dari penutur bahasa Madura, dan pelapisan sosial masyarakat yang berdampak
pada kurangnya proses transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya,
pemertahanan bahasa Jawa Diponggo menjadi lemah.
Jika dicermati, ada perbedaan dan persamaan antara penelitian Sariono
(2002) dan penelitian ini. Perbedaannya terletak pada beberapa hal, yakni (1)
lokasi, (2) objek penelitian, dan (3) pengelompokan umur responden. Perbedaan
pertama, dari segi lokasi, yakni penelitian yang dilakukan Sariono berada di Pulau
Bawean, Kabupaten Gresik, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
berada di Kabupaten Banyuwangi. Perbedaan kedua terkait dengan objek
penelitian, yakni Sariono memperlakukan leksikon tingkat tutur bahasa Jawa
sebagai objek kajian dalam penelitiannya, tetapi penelitian ini mengkaji leksikon
lingkungan alam Bahasa Using. Perbedaan ketiga, yaitu tentang pengelompokan
umur responden. Dalam penelitiannya Sariono membagi responden menjadi dua
16
kelompok umur, yakni usia muda: 20-45 dan usia tua: 46 tahun ke atas, sedangkan
dalam penelitian ini peneliti membagi responden menjadi tiga kelompok umur,
yakni remaja: 16-30 tahun, dewasa: 31-50 tahun, dan tua: 51 tahun ke atas.
Sementara itu, persamaan antara kedua penelitian di ataranya terletak pada hasil
temuan penelitian, yaitu tingkat penguasaan leksikon berbanding lurus dengan
usia responden, artinya makin tua usia semakin tinggi tingkat penguasaan
leksikon dan begitu juga sebaliknya.
Pilgrim (2006) mengadakan penelitian dengan judul A CrosCultural Study
into Local Ecological Knowledge dengan mengambil lokasi di tiga Negara, yaitu
Inggris, India, dan Indonesia. Pilgrim (2006) mengkaji bagaimana pemahaman
masyarakat terhadap hubungan antara ketergantungan masyarakat terhadap alam
sebagai sumber penghidupan, kedekatan hubungan antara masyarakat dan
lingkungannya, pemahaman masyarakat terhadap kondisi lingkungan lokal dan
interaksi lingkungan yang kompleks atau yang disebutnya Local Ecological
Knowledge (LEK) atau ecoliteracy, yaitu sebuah pengetahuan yang dimiliki
masyarakat lokal (umumnya masyarakat tradisional) tentang alam di sekitarnya
yang dilandasi oleh pengetahuan tentang sejarah, geografi, dan budaya setempat
yang bersifat ―without being static, outdated, retrogressive” (Pilgrim, 2006: 17).
Bagaimana LEK bisa bertahan pada masyarakat tradisional, melalui
penelitiannya Pilgrim (2006:19) menemukan adanya proses transfer LEK yang
berkelanjutan kepada generasi berikutnya secara lisan melalui garis keturunan
dari orang tua dan kakek-nenek kepada anak-cucu dengan media transfer berupa
dongeng-dongeng dan nyanyian-nyanyian. Proses transfer dilakukan secara terus-
17
menerus, baik secara formal pada saat pertemuan sosial maupun secara tidak
formal, pada saat di rumah pada malam hari. Tulisan ini dijadikan acuan dalam
konsep tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi punahnya leksikon-leksikon
tentang pengetahuan lingkungan yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional
(local ecological knowledge).
Pandey (2007) dalam Jurnal Language and Ecology Vol.2: 3 dengan judul
―Lnguistic Erotion on the Chesapeak: Intergenerational Diachronic Shifts in the
Lexicalization of the Bay‖ meneliti pergeseran leksikalisasi sebuah ungkapan
lokal ―across the bridge”. Masalah penelitian tersebut adalah apakah ungkapan
lokal lisan ―across the bridge” yang merupakan ―west of the Chesapeak Bay”
yang dimuat dalam The Eastern Shore Wordbook, terbit 21 tahun lalu, masih
dipakai di daerah teluk Chesapeake di Negara Bagian Maryland. Pandey (2007)
selanjutnya memberikan alasan mengapa hanya satu ungkapan dijadikan objek
penelitian. Ini dikaitkan dengan istilah yang dikemukakan oleh Whorf bahwa
leksikalisasi mencerminkan kekuatan dan tenaga fenomena lingkungan yang
alamiah dan natural, yang dikontraskan dengan leksikalisasi ―across the bridge”
yang berorientasi dengan sesuatu yang dapat diukur yang ada hubungannya
dengan infrastruktur buatan manusia yang dibuat untuk menakhlukkan fenomena
alam. Pengkontrasan juga dilakukan terhadap kedua istilah tersebut yang mana
―across the bay” terkait dengan ―mental culture” yang dipandang sebagai ―world-
view or value orientation”, sedangkan ―across the bridge” dipandang sebagai
―the material product of beharvior”.
18
Dalam kajiannya, Pandey (2007) menyebarkan kuesioner kepada tiga
kelompok umur responden: kelompok termuda (the youngest generations)
berumur 15-30 tahun; kelompok menengah (the middle generations) berumur 31-
60 tahun; dan kelompok tertua (the oldest generations) berumur 61 tahun ke atas.
Dari masing-masing kelompok umur diambil sampel 24 orang dengan total
responden 72 orang dengan kualifikasi yakni mereka harus lahir di wilayah
tersebut dan tidak pernah meninggalkan wilayah tersebut dalam waktu 10 tahun
berturut-turut. Pertanyaan yang diajukan kepada responden mengandung empat
pilihan, yakni:
(1) Used the expression (menggunakan ungkapan tersebut);
(2) Had heard of the expression (pernah mendengar ungkapan tersebut);
(3) Never used the expression (tidak pernah menggunakan ungkapan
tersebut); dan
(4) Had never heard of the expression (tidak pernah mendengar ungkapan
tersebut).
Dari analisis data, Pandey (2007) menemukan bahwa ada pergeseran dari
makna awal ―west of Chesapeake Bay‖ menjadi makna dengan pelabelan nama
sebagai berikut:
(1) Penamaan terkait dengan alam:
a. Across the Chesapeake Bay
b. Across the Chesapeake Bay
c. Across the water
(2) Penamaan terkait dengan infrastruktur buatan manusia:
a. Over the Bridge
b. Other side of the Bridge
c. Across the Bridge
(3) Penamaan terkait dengan letak geografis:
a. Western Shore of Maryland
b. Western Shore
c. Over on the Western Shore
19
Di samping itu, Pandey (2007) juga menemukan bahwa generasi muda
lebih menggunakan ungkapan across the bridge (2c), yakni infrastruktur buatan
manusia daripada across the Chesapeake Bay (1a). Hal ini disebabkan oleh
muatan kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan.
Lokasi dan objek penelitian serta karakteristik GTBU sangat berbeda
jikalau dibandingkan dengan masyarakat di Kota Maryland, sehingga hasil dari
masing-masing penelitian pasti berbeda. Namun, pengelompokan umur
responden dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Rasna (2010) mengadakan penelitian yang berjudul ―Pengetahuan dan
Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng:
Sebuah Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang dilakukan di 9 kecamatan ini
menggunakan 125 sampel yang dibagi menjadi remaja kota dan remaja desa.
Dalam penelitannya Rasna (2010) mengetes pengetahuan leksikon dan
pengetahuan manfaat responden terhadap 11 tanaman obat. Analisis data
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja, baik yang tinggal di desa
maupun di kota, tentang tanaman obat masih kurang. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya: (1) faktor kurang bahkan tidak adanya interaksi
dengan lingkungan tempat tumbuh entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon yang
ditujukan, (2) faktor perubahan sosiokultural, tergantikannya cara pengobatan
tradisonal oleh cara pengobatan modern sehingga kebutuhan akan ramuan
tradisonal yang terbuat dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan semakin sedikit
karena fungsinya sudah digantikan oleh obat modern, (3) faktor perubahan
sosioekologi suatu wilayah seperti alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi
20
area persawahan dan pemukiman telah mempersempit ruang hidup tanaman
tersebut, (4) faktor sosial ekonomi, artinya secara ekonomi membudidayakan
tanaman obat pada lahan tertentu dianggap tidak mendatangkan keuntungan
secara ekonomi dibandingkan dengan menanaminya dengan tanaman yang
memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Karena faktor-faktor di atas, tingkat
populasi dan wilayah hidup entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon
tanaman obat semakin sedikit sehingga remaja semakin tidak mengenalnya yang
berdampak pada penyusutan pengetahuan mereka baik tentang leksikon maupun
manfaatnya. Di samping itu, hampir 40% responden tidak setuju terhadap label
kampungan yang ditujukan pada mereka yang memiliki pengetahuan tentang
tanaman obat.
Ada beberapa hal yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh Rasna
(2010) dengan penelitian ini, seperti pengelompokan usia responden, objek yang
dikaji, dan lokasi penelitian. Hal ini tentu berdampak pada hasil penelitian.
Walaupun demikian, cara analisis data yang dilakukan Rasna (2010) dipakai
pijakan dalam analisis data dalam penelitian ini.
Peneliti lain yang juga mengkaji leksikon adalah Sukharani (2010) dengan
penelitiannya yang berjudul ―Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan
Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang berlokasi di empat
kecamatan yang mengelilingi Danau Lut Tawar ini melibatkan 72 responden
dengan rentangan umur dari 15 tahun sampai 60 tahun. Data penelitian diperoleh
melalui penyebaran kuesioner yang berisi 360 leksikon nomina tentang
lingkungan ragawi Danau Lut Tawar. Butir-butir pertanyaan dalam kuesioner
21
menguji tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu
oleh: (1) nama-nama ikan dan hewan yang hidup di dalam danau dan alirannya,
(2) nama-nama burung, hewan, dan padi di lingkungan danau, (4) nama-nama
benda-benda mati yang ditemukan di dalam dan lingkungan danau, (5) nama-
nama alat penangkap ikan tradisional dan penggemukan ikan di lingkungan
danau, dan (6) kebertahanan bahasa dan budaya Gayo yang terkait dengan
kelestarian lingkungan Danau Lut Tawar. Dari hasil analisis data ditemukan
bahwa penutur bahasa Gayo yang terdiri atas respoden pria dan wanita masih
mengenal, mengakrabi, mendengar serta menggunakan leksikon-leksikon
nomina kedanauan Lut Tawar dalam Bahasa Gayo. Hal ini disebabkan oleh
pengetahuan mereka tentang lingkungan danau dan peralatan penangkap ikan
tradisional. Akan tetapi, ada sejumlah leksikon yang kurang dikenal oleh
responden yang disebabkan oleh perbedaan topografi yang berdampak pada tidak
ditemukannya tumbuhan, hewan, dan alat penangkap serta penggemukan ikan di
wilayah tersebut.
Perbedaan lokasi penelitian, objek kajian, serta rentangan usia responden
dari penelitian tersebut menyebabkan hasil yang dicapai pasti berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Walaupun demikian, penelitian Sukharani
(2010) menjadi inspirasi peneliti untuk melakukan penelitian yang serupa di
tempat yang berbeda.
Sementara itu, peneliti lain yang mengkaji pemahaman dan pengetahuan
leksikon komunitas remaja sebagai bagian dari penelitiannya adalah Saputra
(2010) dengan judul penelitian ―Penyusutan Fungsi Sosio-Budaya Bahasa Melayu
22
Langkat di Stabat di Kabupaten Langkat‖. Pada salah satu bagian dari
penelitiannya, Saputra (2010) menguji kompetensi leksion responden melalui
kuesioner yang berisi 150 leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) yang
disebarkan kepada 230 orang responden. Leksikon-leksikon yang diujikan di
antaranya tentang bagian-bagian tubuh manusia, sapaan kekerabatan, alat
tradisional, perangkat adat, perangkat rumah, dan sebagainya.
Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa telah terjadi disfungsi sosial
budaya di kalangan komunitas remaja, khususnya pada lingkungan yang
berorientasi pada geografis sungai, disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
berubahnya lingkungan alam, menyusutnya lahan pertanian karena adanya alih
fungsi, berkurangnya sumber daya alam, munculnya bahan-bahan dan peralatan
modern, serta munculnya pola hidup masyarakat yang bersifat praktis dan instan.
Di samping itu, ditemukan juga bahwa semakin menyusutnya konseptual remaja
tentang ekologi Melayu yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya
interaksi remaja dengan entitas yang bercirikan Melayu, langka atau punahnya
beberapa entitas sehingga tidak terkonsep dalam pikiran penutur, dan konsepsi
leksikon penutur tentang entitas-entitas tersebut bukan lagi dalam BML melainkan
dalam bahasa lain.
Jika kedua penelitian dibandingkan, ditemukan adanya persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah kedua penelitian mengkaji leksikon dengan
menerapkan teori ekolinguistik untuk mengkaji masalah penelitian. Sementara
itu, perbedaannya terletak pada umur responden, jenis keksikon yang diteliti, serta
lokasi penelitian sehingga hasil kajian tentunya berbeda pula.
23
Penelitian lain yang juga tentang leksikon dilakukan oleh Baru (2012)
yang mengkaji leksikon Bahasa Karoon di Kampung Senopi, Distrik Senopi,
Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Dalam penelitian yang berjudul
―Khasanah Leksikon Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal‖, Baru
(2012) mengumpulkan data penelitian dengan menyebarkan kuesioner kepada 100
responden yang berisi 217 leksikon nama-nama tumbuhan dan hewan. Baru
(2012) menguji pengetahuan responden tentang leksikon nama-nama tumbuhan
dan hewan yang ditemukan hidup dan tumbuh di lingkungan mereka melalui
enam indikator, sedangkan untuk mengetahui pengetahuan leksikon dan
pemahaman manfaat responden terhadap entitas-entitas tersebut dihitung dengan
menggunakan persentase.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengetahuan leksikon dan
pemahaman manfaat responden generasi muda dan generasi tua terhadap jenis
tumbuhan liar pada umumnya baik dan sangat baik dengan persentase pada
kisaran 70% sampai dengan 100%. Demikian halnya pengetahuan dan
penegetahuan manfaat terhadap leksikon-leksikon tanaman untuk bahan makanan,
sayuran dan obat-obatan persentasenya juga mencapai kisaran di atas 85% ke atas
kecuali untuk tanaman liar yang bermanfaat sebagai obat-obatan pada responden
muda persentasenya sangat rendah karena hampir 80% dari mereka tidak tahu
manfaat tanaman dan hewan tersebut. Dari temuan penelitian ini terlihat bahwa
leksikon-leksikon bahasa Karoon ada yang bertahan dan ada pula yang menyusut.
Bertahannya sejumlah leksikon-leksikon tersebut disebabkan oleh entitas-entitas
acuannya merupakan sumber hidup dan penghidupan GTK, di samping karena
24
tingkat populasinya masih banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal
mereka sehingga leksikon-leksikon tersebut masih ada dalam kognisi mereka.
Sementara itu, menyusutnya leksikon-leksikon tertentu dari bahasa tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak adanya transfer pengetahuan dari
generasi pendahulu ke generasi berikutnya, tergantikannya leksikon-leksikon
tersebut oleh bahasa lain, tergantikannya entitas-entitas acuan leksikon-leksikon
tersebut oleh tanaman lain, serta berbedanya lingkungan hidup dari entitas-entitas
dari acuan leksikon-leksikon yang menyusut tersebut.
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan
oleh Baru (2012) dan penelitian ini. Persamaannya, keduanya menjadikan
leksikon tentang hewan dan tumbuhan sebagai objek kajian dan menerapkan teori
ekolinguistik untuk membedah permasalahan penelitian. Sementara itu, perbedaan
keduanya terletak pada lokasi penelitian dan pengelompokan dan jumlah
responden. Di samping itu, perbedaan lainnya adalah bahwa dalam penelitian ini
leksikon-leksikon lingkungan alam didasarkan pada beberapa hal, seperti
berdasarkan manfaatannya bagi GTBU, berdasarkan jenisnya yakni leksikon
generik dan spesifik, serta berdasarkan kelas kata yakni kelompok leksikon
nomina dan kelompok leksikon verba. Karena perbedaan-perbedaan tersebut,
dapat dipastikan hasil kedua penelitian juga berbeda.
2.1.2 Beberapa Penelitian tentang Bahasa Using
Bahasa Using dan masyarakat tuturnya sangat menarik untuk dikaji. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah penelitian yang telah dilakukan, baik dalam bidang
25
linguistik maupun bidang sastra dan budayanya, sejak zaman penjajahan hingga
saat ini. Penelitian tidak saja dilakukan oleh peneliti dari beberapa instansi di
dalam negeri, tetapi juga beberapa peneliti dari mancanegara. Berikut
dipaparkan beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap BU beserta
masyarakat tutur dan budayanya.
Prijangga mengadakan penelitian dengan judul ―Sedikit tentang Bahasa
Banyuwangi‖ (1957). Dalam penelitiannya, Prijangga antara lain mengemukakan
bahwa BU adalah bahasa yang dipakai oleh rakyat Banyuwangi, termasuk
perbedaan-perbedaannya dengan BJ. Tim Peneliti FKSS IKIP Malang dengan
penelitiannya yang berjudul ―Struktur Dialek Bahasa Banyuwangi‘ menguraikan
secara cermat dialek Banyuwangi dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Dalam penelilitian yang dilakukan pada tahun 1979 itu disebutkan bahwa
penduduk Banyuwangi menamai bahasa mereka ―Bahasa Using‖ dengan jumlah
penutur hanya sekitar 30%.
Herusantosa pada tahun 1987 mengadakan penelitian yang berjudul
―Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi‖. Penelitian ini memiliki dua tujuan
umum, yaitu: (1) untuk memperoleh gambaran umum tentang keadaan BU; dan
(2) untuk memberikan wawasan baru kepada penutur BU, khususnya dalam
hubungannya dengan penelitian bahasa daerah dalam rangka mencapai tujuan
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan daerah. Tujuan khusus dari
penelitian Herusantosa (1987) adalah untuk mendeskripsikan variasi–variasi
kebahasaan BU dalam keadaannya sekarang berdasarkan kajian dialek geografi
yang bermanfaat untuk membagi tingkat-tingkat wilayah pakai BU hingga
26
menjadi Daerah Kunoan, Daerah Peralihan, dan Daerah Baruan dengan
menggunakan peta-peta bahasa sebagai alat bantu. Penelitian ini menghasilkan
beberapa temuan, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) jumlah penutur BU
sebanyak 703.903 orang ( 51,87%) dari seluruh penduduk Kabupaten
Banyuwangi; (2) wilayah pakai BU meliputi 126 desa dari 175 desa yang ada di
Kabupaten Banyuwangi; (3) persentase pemakaian BU dalam enam ranah pakai
bahasa masing-masing : ranah kekeluargaan =72,00%, ranah keagamaan
=28,00%, ranah pendidikan =39,50%, ranah perekonomian =50,67%, ranah
kesenian =73,50%, dan ranah hubungan formal =09,00%; (4) dalam BU (murni)
tidak dikenal ragam ngoko dan ragam kromo karena kedua ragam tersebut dikenal
setelah persentuhannya dengan BJ dan BM: (5) Kesusastraan Using hanya dalam
bentuk lisan; (6) keadaan umum wilayah pakai BU (murni) yaitu wilayah kunoan
terdapat di 10 desa dari 176 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, sedangkan
desa-desa lainnya ada dalam proses peralihan ke desa-desa baruan; dan (7) jumlah
penutur BU yang menggunakan BU sebagai bahasa pengantar untuk kebudayaan
yang oleh masyarakat dianggap tinggi makin berkurang.
Subyatingsih dkk. (1999) mengadakan penelitian dengan judul ―Fungsi
dan Kedudukan Bahasa Using di Banyuwangi‖. Dalam penelitiannya yang
bersifat deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif, Subyatiningsish dkk.
menggunakan teknik obeservasi tidak sistematis, teknik wawancara terarah, dan
teknik angket untuk mengumpulkan data penelitian. Penentuan sampel penelitian
dilakukan dengan menggunakan purposive sampling technique dengan kriteria,
yakni: tempat tinggal penutur (desa-kota); generasi penutur (tua-muda); dan
27
mobilitas penutur (mobil-tak mobil). Dari analisis data ditemukan bahwa secara
umum fungsi BU sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah masih cukup
dominan. Temuan penelitian ini dipakai sebagai indikasi adanya penyusutan
fungsi dan penggunaan BU selama rentangan waktu 12 tahun (1987-1999).
Sariono pada tahun 2007 menulis desertasi dengan judul ―Pemilihan
Bahasa dalam Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di
Kelurahan Singotrunyan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi‖.
Penelitian yang bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi bahasa dan variasi bahasa
yang terdapat dalam khasanah bahasa masyarakat Using di Desa Singotrunyan
(MUS) beserta penanda dan pemarkah kodenya masing-masing; (b)
mendeskripsikan pola pemilihan bahasa yang mencakup di dalamnya tunggal
kode, alih kode, dan campur kode; dan (c) mendeskripsikan faktor-faktor yang
mendasari pemilihan bahasa dalam MUS. Penelitian yang berada dalam lingkup
kajian sosiolinguistik tersebut menggunakan pendekatan etnografi komunikasi
dari Hymes (1972). Data penelitian dikumpulkan dengan menerapkan teknik dasar
berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak
bebas libat cakap, rekam dan catat. Di samping itu, teknik observasi dan
wawancara juga dipakai utamanya untuk mendapatkan data dari tuturan lisan.
Terkait dengan masalah yang diteliti, Sariono menyimpulkan beberapa hal
tentang masyarakat tutur Using di Kelurahan Singotrunyan (MTUS), yakni (1)
MUS memiliki kode BJU (Bahasa Jawa dialek Using), BJN (Bahasa Jawa dialek
Ngoko), BJK (Bahasa Jawa dialek Krama), BIF (Bahasa Indonesia ragam formal)
dan BIIf (Bahasa Indonesia ragam informal) dalam khasanah kodenya; (2)
28
Karakter MTUS yang soft shelled, mengakibatkan terjadinya kontinum dialek
antara BJU, BJN, BJN dengan BJK, dan BJU dengan BJK dan batasnya
ditentukan berdasarkan penanda dan pemarkah kode masing-masing dan
berdasarkan ada atau tidak adanya perubahan komponen tutur; (3) MTUS
memiliki dua tingkat tutur, yakni tingkat tutur ngoko (BJNg) dan tingkat tutur
kromo (BJK) dan pada keduanya terjadi kontinum tingkat tutur dengan pemarkah
kata-kata kromo menurut kriteria MTUS; (4) faktor penentu pemilihan kode
adalah faktor partisipan (hubungan sosial yang akrab, sesama etnis Using,
orientasi pada budaya Using), dan isi pesan (bersifat pribadi; (5) Terjadi peristiwa
alih kode yang dilatarbelakangi oleh faktor komponen tutur, di antaranya:
pergantian mitra tutur, perubahan isi pesan, berbicara pada diri sendiri, mengutip
pembicaraan, melucu, mengutip pembicaraan lawan tutur, dan menyesuaikan kode
dengan lawan tutur; dan (6) terjadi peristiwa campur kode karena faktor-faktor, di
antaranya: keterbatasan penguasaan kode, istilah populer, kata atau istilah lebih
ringkas, pemakaian istilah penjelas, dan terpengaruh oleh konteks tuturan
sebelumnya
Apabila judul dan permasalahan masing-masing penelitian di atas
dicermati, terdapat perbedaan yang cukup jauh dibandingkan dengan topik dan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, karena tak satu pun di antara
keempatnya mengkaji BU pada tataran leksikon, khususnya leksikon-leksikon
tentang lingkungan alam.
29
2.2. Konsep
2.2.1 Dinamika
Istilah dinamika banyak ditemukan dalam ilmu fisika, khususnya ilmu
gaya yang mempelajari hubungan antara gerakan benda-benda (Salim, 2000: 288).
Crystal (1985: 103) mengatakan bahwa dinamika (dynamic) adalah sebuah istilah
yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mendeskripsikan pandangan terhadap
bahasa yang menerapkan dimensi temporal (waktu) penelitian variasi
bahasa/bahasa bersifat diakronik: variasi bahasa/bahasa diteliti berdasarkan
perkembangan sejarahnya, misalnya karakter leksikon bahasa Indonesia sebelum
proklamasi kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Terkait dengan kajian ini,
yang dimaksud dinamika adalah perkembangan (development), pergeseran,
pemertahanan, dan kebertahanan bahasa (secara khusus pada tataran leksikon)
yang disebabkan oleh perubahan lingkungan alam dan sosial tempat guyub tutur
bahasa itu bermukim.
Pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah akibat panjang dari pilihan
bahasa secara kolektif yang dilakukan oleh suatu atau beberapa guyup tutur suatu
bahasa. Fasold (1984:213) mendefinisikan pergeseran bahasa sebagai suatu
fenomena yang ditandai oleh sebuah guyub tutur yang berhenti sama sekali
memakai suatu bahasa dan memilih memakai bahasa lain atau ketika pergeseran
bahasa itu telah terjadi, sebuah guyub tutur secara bersama-sama memilih bahasa
baru dan meninggalkan bahasa lama sebagai media komunikasi. Fasold (1984)
mengatakan bahwa ketika sebuah guyub tutur mulai memilih bahasa baru dalam
sebuah domain yang dulunya memakai bahasa yang lama, itu menandakan bahwa
30
sebuah pergeseran bahasa sedang berlangsung. Di samping faktor masyarakat
yang dwibahasawan, faktor migrasi, ekonomi, dan pendidikan adalah faktor-faktor
lain penyebab terjadinya pergeseran bahasa.
Sebaliknya, pemertahanan bahasa terjadi apabila sebuah masyarakat/guyub
tutur secara kolektif menentukan untuk melanjutkan menggunakan bahasa-bahasa
yang mereka pakai selama ini dalam komunikasi mereka. Konsep pemertahanan
bahasa adalah konsep yang terkait erat dengan perencanaan bahasa (Kaplan,
1991:146) karena hal ini terkait dengan tujuan perencanaan bahasa, yang salah
satu tujuannya adalah untuk pemertahanan bahasa, khususnya bahasa-bahasa
kecil. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai reaksi adanya problema
kebahasaan akibat adanya kebijakan bahasa nasional terutama di negara-negara
yang baru merdeka (Kaplan, 1991:143).
Di samping fenomena pergeseran dan pemertahanan bahasa, dikenal juga
fenomnena kebertahanan bahasa minoritas (kecil) oleh penuturnya. Fenomena ini
terjadi secara tidak sengaja dan tidak terencana. Bertahannya pemakaian sebuah
bahasa oleh penutur dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya
adalah faktor`sosial budaya psikologis penuturnya, faktor latar geografis, dan
faktor demografis. Yang termasuk dalam faktor sosial budaya psikologis penutur
suatu bahasa, di antaranya, ialah kekuatan ikatan etnis, pola pemukiman, agama,
sistem kekeluargaan, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi (Suhadi, 1990:195).
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kebertahanan bahasa terjadi secara
alamiah, karena anggota-anggota sebuah guyub tutur mempertahankan bahasanya
secara tidak sadar melalui nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tersebut.
31
Fasold (1984:181) mengaitkan hal ini dengan fungsi bahasa sebagai contrastive
self identification , yaitu bahasa memiliki fungsi sebagai alat pemersatu atau
pemisah diri dari kelompok lain.
2.2.2 Leksikon
Ada beberapa ahli bahasa yang mengemukakan konsepnya tentang
leksikon dengan berbagai penekanan. Salah satunya adalah Spencer (1993: 47),
yang menyatakan:
“The term lexicon means simply „dictionary‟ is a list of words together
with their meaning and other useful bits of linguistic information…
Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa leksikon adalah daftar kata yang
mengandung makna yang sedikit disertai dengan keterangan-keterangan yang
berkaitan dengan informasi linguistik. Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan
leksikon sebagai kosakata suatu bahasa atau kosakata yang dimiliki oleh seorang
penutur bahasa, atau seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Kata-
kata yang dimaksudkan oleh Elson dan Picket (1987) bukanlah kata-kata yang
hanya mengandung makna secara terpisah, melainkan maknanya dipengaruhi oleh
konteks situasi, kata-kata yang menyertainya, posisinya dalam pola gramatikal,
serta cara penggunaannya secara sosial. Sementara itu, Martin Haspelmath (2002:
39) menjelaskan leksikon sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kamus
mental dan aturan-aturan gramatikal tentang bahasanya yang harus dimiliki oleh
penutur suatu bahasa. Selain itu, Crystal (1985:78) mengatakan bahwa leksikon
merupakan komponen yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam
suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaktis, dan fonologis.
32
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:805) tercantum bahwa
leksikon merupakan kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi
tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki
suatu bahasa.
Sementara itu, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikon sebagai berikut:
(1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan
pemakaian kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang
pembicara, penulis, atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata; (3) daftar
kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan
praktis.
Berdasarkan konsep-konsep leksikon yang telah dipaparkan di atas, maka
dalam kajian ini diterapkan konsep leksikon yang dikemukakan oleh Kridalaksana
(1982) karena leksikon yang dimaksud dalam kajian ini adalah sejumlah daftar
kata-kata tentang lingkungan alam yang disertai dengan penjelasannya dan juga
mengacu pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang, dalam hal ini responden
penelitian.
2.2.3 Lingkungan
Pengertian lingkungan dalam kajian ini mengacu pada pendapat Sapir
(dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001:14), yaitu lingkungan ragawi dan sosial.
Lingkungan ragawi berhubungan dengan geografi yang terdiri atas lingkungan
fisik yang (dalam penelitian ini) difokuskan pada lingkungan ragawi sebagai
33
penopang masyarakat Using secara ekonomis yang menyangkut kehidupan
manusia yang terdiri atas flora dan fauna.
2.3 Landasan Teori
Keterkaitan antara bahasa dan lingkungannnya, baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial, dapat menghasilkan berbagai bidang kajian dengan
menerapkan berbagai pendekatan dan teori. Kajian khazanah leksikon lingkungan
alam adalah salah satu kajian yang mengkaji hubungan bahasa (pada tataran
leksikon) dengan lingkungannya melalui penerapan berbagai macam teori yang
diterapkan secara eklektik. Sejalan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini
diterapkan teori ekolinguistik sebagai teori payung dan didukung oleh tiga teori
lain, yakni teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan teori semantik.
2.3.1 Teori Ekolinguistik
Perubahan bahasa, terutama pada tataran leksikon, tidak dapat dipisahkan
dari perubahan lingkungan alam karena bahasa dan lingkungannya merupakan
dua hal yang saling memengaruhi. Fenomena ini merupakan bidang kajian
ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya
dan menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2008:1).
Gagasan tentang ekologi bahasa dalam kajian sosiolinguistik
sesungguhnya telah disinggung oleh Gumperz (1962). Gumperz (1962:137)
berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal
yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya
34
mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi. Dengan
demikian, ekolinguistik diartikan sebagai interaksi antara bahasa dan
lingkungannya lewat penutur bahasa tersebut. Haugen (dalam Dil, 1972: 325--
329), mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut.
“The true environment of a language is the society that uses it as one of its
codes. Language exists only in the minds of its speaker, and it only
functions in relating the users to one another to nature, i.e. their social
natural environment… The ecology of a language is determined primely
by those who learn it, use it, and transmit it to others‖.
Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa lingkungan suatu bahasa
adalah panutur bahasa yang berbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar
fisik semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya.
Perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa (khususnya dalam
tataran leksikon) dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan
budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan BU
yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari
perubahan, di antaranya karena modernisasi dan globalisasi. Perubahan yang
melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap
BU, khususnya dalam tataran leksikon.
Haugen (dalam Garner, 2005) lebih jauh menegaskan bahwa lingkungan
bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen
sosiologis. Komponen psikologis yang terkait dengan kompetensi, performasi,
dan komunikasi penutur mencakup: (1) keberadaan suatu bahasa ada dalam
pikiran penuturnya ; (2) bagaimana penuturnya menggunakan suatu bahasa untuk
memaknai diri dan dunia sekelilingnya (performasi); (3) bagaimana suatu bahasa
35
berinteraksi dengan bahasa lain dalam pikiran penuturnya; dan (4) bagaimana
sikap penutur terhadap bahasa tersebut. Komponen sosiologis mencakup: (1)
keadaan bahasa sebagaimana dia ada di tengah-tengah pendukungnya; (2)
bagaimana bahasa tersebut digunakan di tengah-tengah penuturnya; (3) kapan, di
mana, mengapa bahasa tersebut digunakan/tidak digunakan lagi oleh penuturnya;
dan (4) bagaimana komponen keadaan bahasa di tengah-tengah penuturnya,
komponen penggunaan bahasa, serta komponen kapan, di mana, dan kenapa
bahasa tersebut digunakan oleh penuturnnya terkait dengan pola-pola tingkah
laku penuturnya.
Berdasarkan pengertian tentang lingkungan bahasa di atas, ada tiga hal
yang dijelaskan oleh Haugen (1972) tentang ekolinguistik, yakni (1) bahasa
hanya ada dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi pada saat penuturnya
berhubungan secara alami antara penutur satu dengan lainnya; (2) bagian dari
lingkungan bahasa selanjutnya adalah lingkungan psikologis, yaitu interaksi
bahasa tersebut dengan bahasa lain dalam pikiran penutur yang
dwi/multibahasawan; dan (3) lingkungan sosiologis, yakni interaksi bahasa
dengan masyarakat dalam fungsinya sebagai alat komunikasi.
Bahasa yang hidup (digunakan secara lisan atupun tertulis)
merepresentasikan fakta-fakta tentang alam, sosial, dan budaya yang ada di
lingkungannya (Fill dan Muhlhausler, 2001) sehingga selain menjadi fakta sosial,
bahasa juga merupakan rekaman tentang fakta-fakta alamiah sebagai tanda adanya
hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang terekam dalam leksikon
36
suatu bahasa, seperti tersirat dalam pernyataan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler,
ed., 2001:14) berikut.
“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical
and social environment of its speakers.The complete vocabulary of a
language may indeed be looked upon as acomplex inventory of all ideas,
interests, and occupations that take up the attention of the community, and
were such a comlete thesaurus of the language of a given tribe at our
disposal , we might to a large extent infer the character of the physical
environment and the characteristic of the peole making use of it. It is not
difficult to find the examples of languages whose vocabulary thus bears
the stamp of the physical enviroment in which the speakers are placed”
Dari pernyataan di atas jelaslah tampak bahwa kekayaan leksikon suatu
bahasa mencerminkan kekayaan gagasan termasuk ide dan ideologi, kepentingan,
dan aktivitas-aktivitas penting terkait dengan profesi dan pekerjaan untuk mencari
penghidupan yang dilakukan oleh sebuah guyub tutur sebuah bahasa, di samping
mencerminkan lingkungan ragawi (seperti lingkungan kesungaian, kedanauan,
pegunungan, persawahan, dan sebagainya) bahasa tersebut dan karakter para
penuturnya. Guyub tutur suatu bahasa di lingkungan alam tertentu, karena
berinteraksi dan bergantung pada lingkungan tersebut, akhirnya mereka memiliki
pengalaman tentang lingkungannya, dan hal ini terekam bahasa, terurai/terjabar
dalam wujud leksikon-leksikon bahasanya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Pada
bagian lain, Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001: 2) menegaskan ―… this
interrelationship exists merely on the level of the vocabulary and not, for example,
on that of phonology or morphology”, artinya bahwa dalam lingkup kajian
ekolinguistik hubungan antara bahasa dan lingkungannya hanya ada dalam tataran
leksikon bukan, misalnya, dalam tataran fonologi atau morfologi.
37
Lingkungan alam berubah, bahasa yang dipakai dalam guyub tutur itu pun
berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti telah disinggung pada bagian
sebelumnya bahwa perubahan bahasa pada tataran leksikonlah yang paling cepat
terjadi dan paling mudah dicermati.
Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed., 2000:10—11)
mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari sebuah aktivitas sosial yang
terkandung dan mengandung praksis sosial (social praxis), yakni sebuah konsep
yang mengacu pada semua tindakan, aktivitas, perilaku masyarakat, baik sesama
anggota masyarakat (lingkungan sosial) maupun terhadap lingkungan alamnya.
Bahasa dan praksis sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan. Dalam hal
ini praksis sosial merupakan aspek yang mendominasi, sedangkan bahasa
merupakan aspek yang didominasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan
praksis sosial (perubahan tindakan, aktivitas dan perilaku manusia terhadap
sesama dan juga terhadap lingkungan alamnya) menimbulkan perubahan pada
bahasa. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa perubahan praksis sosial
merupakan penyebab perubahan bahasa dan yang paling mudah diamati adalah
perubahan pada tataran leksikon.
Praksis sosial melingkupi tiga dimensi (triple dimensions), yakni (1)
dimensi ideologis, yaitu ideologi yang berhubungan dengan tatanan mental
individu atau masyarakat, kognitif, dan psikis yang melekat pada guyub tutur; (2)
dimensi sosiologis adalah dimensi yang berkaitan dengan bagaimana guyub tutur
menata, mengorganisasikan, dan mengomunikasikan interaksi mereka dengan
sesama sehingga muncul rasa kebersamaan, saling mengasihi, saling
38
membutuhkan dan pada akhirnya memunculkan rasa penghargaan terhadap
sesama; dan (3) dimensi biologis adalah dimensi yang berkenaan dengan
keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain, yang identik
dengan adanya keberagaman (diversity) baik hewan maupun tumbuhan, secara
berimbang dalam sebuah ekosistem yang secara verbal terekam dalam leksikon
bahasa (dalam hal ini bahasa Using) sehingga entitas-entitas itu tertandakan,
dikenal, dan kemudian dipahami. Di samping, itu ketiga dimensi di atas dibentuk
dan sekaligus membentuk bahasa dan ketiganya saling berinteraksi (dialektikal).
Hubungan dari ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Bagan 2.1
Hubungan Antara Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis Terkait
dengan Perubahan Bahasa
S1 : pembuat teks S3 : konteks
S2 : penikmat teks O : objek yang diacu dalam komunikasi
ideologis
sosiologis
MM
LINGKUNGAN
biologis
S1 S2
O S3
39
(Diadopsi dari Bagan Dialogue Model oleh Bang & Door (dalam Lindo dan
Bundesgaard, ed.,2000:10)
Jikalau dikaitkan dengan sebuah komunikasi, praksis sosial merupakan
faktor penentu dalam peristiwa tersebut karena praksis sosial dapat terjadi tanpa
adanya bahasa, sedangkan bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya fraksis sosial.
Sementara itu komunikasi alamiah manusia melibatkan tanda-tanda linguistik di
dalamnya. Tanda-tanda itu dihasilkan dan dinterpretasikan oleh pelibat dalam
sebuah situasi dan dialog yang terjadi secara dialektis dan paling sedikit
melibatkan empat unsur, yaitu (1) orang yang mengucapkan tanda (S1= pembuat
teks), (2) orang kepada siapa tanda itu ditujukan (S2= penikmat teks), (3) sesuatu
yang menjadi bagian dari situasi dan komunikasi (S3= konteks), dan (4) objek
yang dibicarakan (O). Keempat unsur ini menentukan secara dialektis, yakni (1)
apa yang akan dipertimbangkan menjadi tanda linguistik, (2) apa yang akan
dipertimbangkan sebagai hubungan antartanda linguistik, (3) apa yang
dipertimbangkan sebagai tanda yang bermakna, dan (4) apa yang dipertimbangkan
dari makna tanda itu (Bang and Door dalam Lindo dan Bundesgaard,
ed.,2000:57). Tanda-tanda linguistik akan dimaknai sama jikalau ada kesamaan
konsep antarpenutur dalam sebuah komunikasi. Sebaliknya, jikalau tanda-tanda
linguistik tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, maka tanda-tanda tersebut
menjadi sesuatu yang tidak bermakna.
Untuk membedah sebuah teks atau sebuah leksikon baru juga harus
melibatkan keempat unsur di atas. Misalnya, munculnya leksikon baru benur
‗benih udang windu‘ ketika tambak udang booming di wilayah Kabupaten
40
Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo pada tahun 1990an. Adanya perubahan
lingkungan sosial masyarakat pesisir dari masyarakat nelayan tradisional menjadi
masyarakat petani tambak yang lebih terbuka telah menimbulkan persoalan dalam
pemberian nama benih udang yang pada masa itu disebut nener. Sementara itu, di
tempat yang sama leksikon nener juga memiliki makna wanita tuna susila.
Karena adanya perkembangan pada konteks (S3) dan objeks (O), maka pembuat
teks (S1) harus menyesuaikan diri. Untuk mewadahi perubahan itu diciptakanlah
sebuah leksikon baru untuk menamai benih udang baru tersebut menjadi benur
yang berasal dari pemotongan dan penggambungan (blending process) dua
leksikon BJ benih dan urang sehingga pada alam pikiran penikmat teks (S2)
terkonsep leksikon benur mengacu pada entitas benih udang, sedangkan leksikon
nener mengacu pada pada entitas wanita tuna susila.
2.3.2 Teori Perubahan Bahasa
Ada sejumlah fenomena kebahasaan yang dapat muncul karena tingkah
laku pemakai bahasa yang berubah-ubah. Fenomena seperti ini sering diawali oleh
penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma baku pemakaian bahasa.
Sebuah perubahan biasanya terjadi secara perlahan-lahan (evolutive) dan diawali
oleh sesuatu yang kecil yang terjadi saat ini. Labov (1994) mengistilahkannya
dengan language change in progress.
Ada beberapa ahli bahasa mengemukakan pendapatnya tentang perubahan
bahasa itu, di antaranya adalah Labov (1994) dan Aitchison (1991). Menurut
Labov (1994), ada tiga cara yang dapat diterapkan untuk mengkaji perubahan
41
bahasa. Pertama, menelusuri unsur-unsur bahasa yang berubah secara evolutif,
yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk yang sekarang dengan yang
sebelumnya. Kedua, menganalisis hubungan antara kategori sosial dan tingkah
laku berbahasa penutur yang terindikasi mengalami perubahan sehingga pada
akhirnya dapat ditemukan hubungan antara perubahan unsur-unsur bahasa secara
internal dan perubahan unsur-unsur bahasa karena faktor sosial. Ketiga,
menemukan sikap penutur terhadap perubahan bahasa yang sedang terjadi.
Dari paparan Labov (1994) di atas, tergambar bagaimana mekanisme
penyebaran perubahan bahasa. Penyebaran ini dapat ditinjau dari dua segi, yakni
penyebaran yang berkaitan dengan internal kebahasaan dan penyebaran yang
berhubungan dengan penuturnya. Penyebaran perubahan kebahasaan secara
internal menyangkut perubahan unsur-unsur kebahasaan, seperti unsur bunyi,
morfologi, leksikon, dan sintaksis. Contoh yang dapat diamati berdasarkan fakta
adalah terjadinya difusi bunyi dan difusi leksikon pada bahasa tertentu yang
biasanya diawali oleh perubahan yang kecil dan perlahan. Begitu perubahan ini
menyusup ke dalam beberapa kata, akan terjadi fluktuasi pemakaian antara bentuk
baru dan bentuk lama oleh masyarakat tutur dan secara perlahan bentuk lama akan
ditinggalkan. Jika penyebaran perubahan bahasa ini terjadi pada kata dengan
jumlah yang cukup banyak, maka perubahan akan terjadi secara cepat dalam
waktu yang singkat (Suastra, 2004:8—15).
Penyebaran perubahan bahasa terkait dengan penuturnya dapat
dikelompokkan menjadi penyebaran secara alamiah dan penyebaran secara sadar.
Penyebaran perubahan bahasa secara alamiah terjadi secara sistematis dan
42
biasanya dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat tutur yang secara tidak
sadar memakai unsur-unsur kebahasaan tertentu yang berbeda dari kaidah-kaidah
yang berlaku selama ini yang pada akhirnya memunculkan variasi baru. Jika
variasi baru ini terpakai oleh masyarakat tutur dan digeneralisasi serta
pemakaiannya sudah mencapai batas tertentu dalam penyebarannya, maka variasi
ini akan menjadi kaidah yang berterima, dan akhirnya semua anggota masyarakat
tutur akan memakainya sehingga menjadi marker guyup tutur tersebut. Perubahan
seperti ini oleh Labov (1994) disebut change from below. Adakalanya pemakaian
variasi baru itu mengalami adaptasi dengan unsur-unsur kebahasaan lainnya.
Penyebaran perubahan bahasa secara sadar dilakukan secara sadar, artinya
anggota masyarakat tutur secara sengaja atau nyata menyerap unsur-unsur bahasa
yang menyimpang dari kaidah yang berlaku. Penyebaran tipe ini biasanya
dilakukan oleh anggota masyarakat tutur yang dianggap memiliki prestise ,
kekuasaan, dan status sosial tinggi yang kemudian ditiru oleh kelompok
―subordinate‖ sebagai model.
Selain Labov (1994), ahli bahasa lain yang juga membahas tentang
perubahan bahasa adalah Aitchison (1991). Aitchison (1991:105-160) menyoroti
penyebab perubahan bahasa dikarenakan oleh dua faktor: faktor internal
psikolinguistik dan faktor sosial. Faktor pertama terkait dengan sistem bahasa itu
sendiri dan keadaan psikologis penutur, sedangkan faktor kedua terkait dengan
faktor luar sistem kebahasaan.
43
a. Faktor internal kebahasaan
Seperti telah diuraikan di bagian terdahulu bahwa setiap bahasa akan
mengalami perubahan apabila bahasa tersebut memiliki perangkat untuk
perubahan tersebut yang dapat mengakibatkan adanya penyimpangan-
penyimpangan dalam pemakaian bahasa sehingga muncul variasi-variasi baru.
Misalnya, adanya asimilasi dalam bidang bunyi antara dua bahasa yang berbeda.
Pada kasus seperti ini berlaku ‖push and drag chain theory” yang menjelaskan
adanya pergeseran bahasa dalam dikotomi push dan drag karena adanya
penyusupan unsur satu bahasa ke bahasa lainnya sehingga menggeser unsur
bahasa yang asli. Unsur bahasa asli yang tergeser akan meninggalkan celah dan
celah ini akan diisi oleh unsur bahasa yang lain pula.
Di samping karena asimilasi, perubahan bahasa dapat terjadi karena
adanya kontak bahasa yang dapat mengakibatkan adanya proses peminjaman
(borrowing proses) unsur –unsur satu bahasa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini
biasanya unsur-unsur bahasa pendonor akan disesuaikan dengan norma-norma
yang telah ada pada bahasa peminjam. Fenomena ini merupakan awal dari
perubahan sebuah bahasa.
Berkaitan dengan fenomena peminjaman ini, Aitchison (1991)
mengemukakan bahwa ada empat ciri utama dalam fenomena peminjaman bahasa
ini, yakni (1) unsur-unsur bahasa pijaman berbeda dengan unsur-unsur bahasa
peminjam dan tidak memengaruhi struktur bahasa peminjam. Unsur-unsur
pinjaman ini biasanya berupa unsur-unsur yang ditemukan padanannya dalan
bahasa peminjam; (2) bentuk unsur-unsur bahasa pinjaman biasanya disesuaikan
44
dengan bentuk bahasa peminjam. Hal ini dapat dilihat pada kasus peminjaman
oleh bahasa Indonesia dari salah satu bahasa asing, bahasa Inggris, seperti bentuk
organization dan function masing-masing berubah menjadi ―organisasi‖ dan
―fungsi‖, dan sebagainya; (3) bahasa peminjam cenderung memilih bentuk yang
memiliki kedekatan bentuk dengan bahasa pendonor, seperti kasus pinjaman oleh
bahasa Prancis dari bahasa Jerman; dan (4) bahasa peminjam mengadakan
penyesesuaian dengan bahasa pendonor, seperti bentuk-bentuk pinjaman dalam
bahasa Indonesia radio (bahasa Inggris) dibaca [radio], photo (bahasa Inggris)
dibaca [poto].
b. Faktor eksternal kebahasaan
Di samping faktor internal, faktor eksternal kebahasaan turut memengaruhi
arah perubahan bahasa. Untuk melihat arah perubahan bahasa karena faktor
eksternal, peneropongan harus dilakukan melalui perubahan kehidupan sosial
penuturnya karena perubahan bahasa saat ini (change in prosess) akan terkait
dengan faktor-faktor sosial yang memengaruhinya. Mengenai hal ini, Labov
(1994) menyebutkan beberapa faktor sosial yang dapat memepengaruhi variasi
bahasa, yakni status sosial penutur yang mencakup stratifikasi sosial, pekerjaan,
jenis kelamin, umur, dan ras penutur. Kelompok-kelompok sosial yang terbentuk
karena status sosial penutur ditengarai sebagai kelompok yang mengawali
proses perubahan bahasa. Dengan kata lain, orang-orang dengan etnis, pekerjaan,
jenis kelamin, dan umur yang berbeda akan menggunakan variasi bahasa yang
berbeda. Misalnya, dari segi umur bagi penutur bahasa Indonesia, penutur yang
lebih muda cenderung menggunakan variasi yang menyimpang dari kaidah baku
45
bahasa dibandingkan dengan penutur yang berusia lebih tua. apabila dikaitkan
dengan jenis kelamin sebagai salah satu variabel sosial, menurut Lakof (1973),
secara morfologis, sintaksis, dan leksikon variasi bahasa yang digunakan oleh
perempuan dan laki-laki menunjukkan perbedaan (bdk. Holmes, 1992:164—181).
2.3.3 Teori Morfologi
Berbicara tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU
merupakan bagian dari kajian morfologi, yakni ilmu bahasa yang menelaah
struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem serta isyarat
perubahan yang menyertainya, yakni perubahan kelas kata dan perubahan makna.
Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu bahasa yang
mempelajari seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan
struktur kata terhadap golongan dan makna kata (lihat Ramlan, l979:2 dan Crystal,
1980:232—233). Sementara itu, menurut Bauer (1083:33), morfologi merupakan
bidang linguistik yang membahas struktur internal bentu kata dan Verhaar (2012:
97) mengemukakan bahwa morfologi adalah cabang linguistik yang
mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan grmatikal. Dari
semua pendapat di atas dapat disebutkan bahwa kata atau morfem adalah objek
dasar kajian morfologi.
Berdasarkan jenisnya, morfem dibendakan menjadi dua, yakni morfem
bebas dan morfem terikat. Terkait dengan hal ini, ada sejumlah ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Menurut Verhaar (2012:97), morfem bebas adalah
satuan atau bentuk bebas dalam tuturan. Yang dimaksud bentuk bebas dalam hal
46
ini adalah sebuah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya bentuk yang tidak
membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkann dari
bentuk-bentuk bebas lainnya (bdk. Crystal, 1980: 383—385). Sebaliknya, morfem
terikat menurut Verhaar (2012: 97—98) adalah morfem yang tidak dapat berdiri
sendiri dan yang hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain. Semua afiks
adalah morfem terikat (lihat Akmajian, 1984: 68). Di samping itu, morfem terikat
juga ada berbentuk kata yang disebut bentuk pradasar (prakategorial), yaitu
sebuah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pemajemukan untuk
menjadi bentuk bebas (lihat Verhaar, 2012:99).
Sementara itu, terkait dengan pembentukan kata (word formation), Bauer
(1983: 201) mengatakan bahwa pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses
morfologis (morphological process) yang dapat terjadi melalui sembilan proses,
yaitu (1) compounding (2) affixation, (3) conversion, (4) back formation, (5)
clipping, (6) blending, (7) acronyms, (8) words manufacture, dan (9) mixed
formation. Sementara itu, menurut Kridalaksana (1996:12), proses morfologis
mencakup tujuh proses, yakni (1) derivasi zero (kosong), (2) afiksasi, (3)
reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan), (6) derivasi
balik, dan (7) metatesis. Melalui proses-proses morfologis di atas terbentuk tiga
kelompok kata, yakni (1) proses afiksasi menghasilkan kata berafiks; (2) proses
reduplikasi menghasilkan kata ulang; dan proses kompositum menghasilkan kata
majemuk.
47
2.3.4 Teori Semantik
Secara teoritis, hal yang paling mendasar pada anggota masyarakat dalam
penguasaan nomenkaltur ialah mengenali dan/atau memahami nama-nama flora
dan fauna dalam guyub tuturnya sendiri. Pengenalan/pemahaman tersebut tersebut
paling tepat dibedah dengan menggunakan teori ―Segitiga makna‖ dari Ogden dan
Richardas (periksa Ullmann, 1985: 55). Sebab, gagasan teori makna itu bertolak
dari penunjukan nama-nama (nomenklatur) flora dan fauna itu dengan hal di luar
nama (lambang), yakni benda-benda (things) itu sendiri. Dengan kata lain,
penunjukkan nama-nama itu bersifat ostensif, menunjuk dengan telunjuk jari.
Oleh karen itu, teori makna yang demikian dinamakan Teori Referensial (Saeed,
2000:67).
Penegenalan/ pemahaman terhadap nomenklatur itu berjalan berjalan
sampai usia (penutur) tertentu. Jadi, setiap anak yang memulai mengenali benda-
benda di sekelilingnya, ia melihat benda itu, atau ada orang lain yang menunjuk
dengan telunjuk jarinya (ostention) benda tertentu dengan nama tertentu pula
(lihat teori Penamaan berikut). Hal itu terjadi berulang, yang pada akhirnya,
penutur menjadi terbiasa dalam mengenali dan memahami nomenklatur flora
ataupun fauna tadi.
Kebiasaan yang dimaksud itu didasarkan pada asumsi bahwa penutur
sudah menempatkan nomenklatur itu dalam benaknya. Jadi baik citra bunyi
(acoustic image) maupun makna (meaning) sudah tersimpan dalam otak penutur
ataupun sudah ―membatin‖ (in mind). Oleh karena itu, seseorang yang sudah
mengetahui nama benda tertentu ia tidak perlu lagi melihat atau ada orang lain
48
yang menunjukkan benda tertentu itu padanya. Dengan kata lain, nama-nama
benda itu sudah menjadi pengetahuan (cognition) baginya. de Saussure menyebut
hubungan nama (lambang) dengan konsep (makna) itu bersifat resiprokal:
lambang langsung berhubungan dengan konsep tanpa perantara objek (referent).
Jadi, apabila penutur ingat akan benda tertentu, misalnya ―bambu‖ sebagai
konsep, ia akan mengucapkan bambu. Secara teknis, berbeda dari Ogden dan
Richards di atas, teori makna dari de Saussure dinamakan Teori Representasinal
(Saeed, 2000:89).
Apabila dihubungkan dengan dinamika pemahaman dan penggunaan
antargenerasi GTBU terhadap kelompok leksikon flora dan fauna BU maka secara
teoritis yang berperan adalah nama-nama benda yang sudah menjadi pengetahuan
itu. Jadi, kajian teoritis dari sudut pemahaman makna atas leksikon flora dan
fauna BU tidak membutuhkan waktu lama saat seorang anak mulai dalam
pemerolehan nomenklatur yang menjadi objek penelitian ini. Persoalannya ialah
nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan mereka meskipun entitas
acuannya sudah tidak ditemukan lagi di sekliling mereka.
Nama dari sudut pandang linguistik dapat dideskripsikan secara
gramatikal yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori nomina (noun). Dari segi
bentuknya, nomina dibedakan menjadi nomina generik (common nouns) dan
nomina spesifik (proper nouns). Nomina generik mengacu pada semua nomina
yang terkait dengan nama-nama benda pada umumnya, baik nomina yang dapat
dihitung dan bersifat konkrit (countable nouns), seperti pohon, bunga, daun,
binatang, dan sebagainya, maupun yang tak dapat dihitung dan bersifat abstrak
49
(uncountable nouns), seperti air, awan, mendung, petir dan sebagainya.
Sementara itu, nomina spesifik digunakan untuk mengacu pada nama-nama, di
antaranya: (1) untuk nama-nama manusia, seperti Widia, Sentanu, Hapsari, dan
sebagainya; (2) nama-nama pulau, seperti Bali, Lombok, Halmahera, dan
sebagainya; dan nama-nama negara, seperti Indonesia, Singapura, Spanyol, dan
sebagainya.
Dari sudut pandang filsafat, menurut Mill (dalam Martinich, 1996: 245-
247), nama dapat dikaji berdasarkan fungsi dan maknanya. Terkait dengan hal ini
Mill mengatakan bahwa ada dua macam nama, yakni nama yang berkonotasi
(connotative names) dan nama yang tidak berkonotasi (non-connotative names).
Nama berkonotasi terkait dengan kata-kata seperti manusia, kucing, jambu, padi,
tawon, dan sebagainya. Sementara itu, nama yang tidak berkonotasi adalah semua
nomina yang tergolong nama diri (proper names), seperti nama orang: George,
Mona, Susan, Tyson, dan sebagainya; nama kota: Denpasar, Jakarta, Surabaya,
dan sebagainya; dan nama pulau: Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan sebagainya.
Saeed (2000:27) mengatakan bahwa nama pada dasarnya merupakan
label-label untuk manusia, tempat, dan sebagainya dan kelihatannya memiliki
sedikit arti yang berbeda dan konteks yang perlu diperhitungkan di dalam
penggunaan nama tersebut. Nama bersifat takrif (definite) karena nama-nama
yang diberikan terhadap entitas-entitas acuannya mengandung asumsi si pemberi
nama sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi/mengenali acuannya.
Sebagai contoh, pemberian nama gedhang agung untuk satu jenis pisang
mengindikasikan bahwa di dalam entitas tersebut ada sesuatu yang mengandung
50
hal-hal yang ada kaitannya dengan agung „besar‘. Berdasarkan ciri-ciri/deskripsi
yang dimiliki entitas acuan, pendengar dapat mengidentifikasi entitas yang
dimaksud yaitu satu jenis pisang yang memiliki ukuran yang besarnya melebihi
ukuran pisang pada umumnya.
Ada dua teori yang dapat diterapkan dalam mengkaji nama menurut Saeed
(2000), yakni teori deskripsi (description theory) dan teori kausal (causal theory).
Menurut teori deskripsi, nama merupakan sebuah label untuk pengetahuan
(deskripsi khusus) tentang entitas acuan karena pemahaman dan
pengidentifikasian entitas acuan, dua-duanya tergantung pada pengasosiasian
nama dengan deskripsi yang benar. Sementara itu, teori kausal (causal theory)
didasarkan pada ide bahwa nama-nama yang mengacu pada entitas-entitas
acuannya secara sosial bersifat warisan dan pinjaman, artinya nama tidak terkait
makna yang dikandung oleh entitas acuannya karena nama hanya merupakan
persetujuan (agreement) secara turun-temurun di dalam sebuah masyarakat.
Sementara itu, Evans (dalam Martinich, 1996:247 dan 271-283)
mengemukakan dua teori tentang nama. Teori pertama adalah Teori Deskriptif
Nama (The Descriptive Theory of Name). Teori ini dibedakan lagi menjadi dua,
yakni Teori Denotasi Penutur (The Description Theory of Speaker‟s Denotation)
dan Teori Denotasi Nama (The Description Theory of Name Denotation) yang
keduanya mengabaikan fungsi-fungsi sosial pemaknaan sebuah nama. Menurut
Teori Denotasi Penutur bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan sesuatu
hanya jika nama tersebut dapat memunculkan sebuah deskripsi tentang entitas
yang diacunya pada saat digunakan, sedangkan Teori Denotasi Nama menjelaskan
51
bahwa sebuah nama dapat dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika
nama tersebut dimaknai secara bersama oleh sekelompok orang sesuai dengan apa
yang diacu oleh nama tersebut. Teori kedua, yaitu Teori Kausal Nama (The
Causal Theory of Name) yang mengemukakan bahwa sebuah nama dianggap
mendenotasikan suatu entitas hanya jika terdapat hubungan sebab-akibat yang
dapat ditelusuri dari pemakaian nama tersebut hingga entitas yang dinamainya.
Jika pendapat kedua ahli di atas dicermati, terlihat ada perbedaan di antara
keduanya. Dari pendapat Saeed (2000) dapat disimpulkan, di satu pihak, bahwa
nama bukanlah sebuah kata tanpa makna yang muncul begitu saja, tetapi sebuah
kata yang mengandung makna, yaitu berupa deskripsi khusus tentang acuannya.
Sementara itu, di pihak lain, dalam teorinya yang kedua (causal theory), Saeed
(2000) mengemukakan bahwa nama tidak memiliki kaitan makna dengan entitas
acuannya, melainkan hanyalah sebuah persetujuan antara anggota masyarakat
tempat nama-nama itu muncul. Teori Saeed (2000) yang kedua ini berarti hampir
sama dengan teori yang dikemukakan oleh Evans (seperti yang dikutip oleh
Martinich, 1996) yang juga menganggap bahwa nama merupakan sebuah
kesepakatan dalam masyarakat.
Terkait dengan penelitian ini, teori yang diterapkan untuk mengkaji
keberagaman penamaan flora dan fauna dalam BU adalah teori yang dikemukan
oleh Saeed (2000) dengan alasan bahwa penamaan terhadap beberapa entitas ada
yang bisa ditelusuri maknanya, namun ada yang tidak bisa ditelusuri. Untuk jenis
yang kedua ini, nama-nama beberapa entitas dianggap merupakan kesepakatan
52
yang muncul antara anggota masyarakat untuk memberi nama tertentu terhadap
entitas tertentu pula.
1) Klasifikasi makna nama
Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa nama merupakan
leksikon yang secara gramatikal berkategori nomina yang bentuknya dibedakan
menjadi nomina yang dapat dihitung (countable nouns) dan nomina yang tak
dapat dihitung (uncountable nouns). Pada bagian ini nama yang dianalisis adalah
nama yang tergolong nomina yang dapat dihitung, yakni nama-nama flora dan
fauna yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU.
Terkait dengan makna yang terkandung di balik nama-nama flora dan
fauna pada tulisan ini, ada dua pendapat ahli yang dikutip. Pendapat pertama
dikemukakan oleh Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, 1971:92-93) yang
mengklasifikasikan makna yang ada di balik nama-nama binatang. Menurut
Jacobs, sejumlah binatang dinamai berdasarkan hal-hal berikut.
(1) Asal (place of origin), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan
dengan asal dari entitas tersebut, seperti Pekingese, jenis anjing yang
berasal dari Kota Peking (Cina), Scotty berasal dari Skotlandia, dan
Spaniel berasal dari Spanyol (Spanish).
(2) Ukuran (size), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan
ukuran dari entitas tersebut, seperti horsefly (lalat kuda, ukurannya
sangat besar) dan bumblebee (tawon besar).
(3) Jenis makanan (means of sustenance), yaitu pemberian nama sebuah
entitas yang dikaitkan dengan jenis makanan yang dimakan oleh entitas
53
tersebut, seperti linnet yaitu sejenis burung pemakan biji flax (dalam
bahasa Latin linum)
(4) Jenis suara (characteristic of sounds emitted), yaitu pemberian nama
sebuah entitas yang dikaitkan dengan suara yang dikeluarkan, seperti
binatang kucing di beberapa daerah disebut meong, binatang anjing
disebut gukguk, dan binatang sapi disebut embek.
(5) Bentuk (shape), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan
dengan bentuk dari entitas tersebut, seperti ringworm ‗cacing gelang‘ yaitu
sejenis cacing yang bentuknya seperti gelang, fiddler crab (kepiting bola),
yaitu sejenis kepiting berjepit besar dan ketika jepitnya diangkat
menyerupai seorang pemain yang memegang bola.
(6) Cara bergerak (method of locomotion), yaitu pemberian nama sebuah
entitas yang dikaitkan dengan cara bergerak dari entitas tersebut, seperti
grasshopper yaitu sejenis belalang yang bergerak dengan cara melompat-
lompat, dove ‗burung‘ yang bergeraknya seperti orang diving ‗menyelam‘,
dan sebagainya.
(7) Warna (colour), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan
dengan warna dari entitas tersebut, seperti redbreast yaitu sejenis burung
yang dadanya berwarna merah, jalak putih yaitu salah satu jenis burung
jalak yang seluruh bulunya berwarna putih, dan sebagainya.
(8) Ekspresi wajah (facial expression), yaitu pemberian nama sebuah entitas
yang dikaitkan dengan ekspresi wajah dari entitas tersebut, seperti dodo
(bahasa Portugis doudo ‗bodoh‘) sejenis burung yang tidak bisa terbang.
54
(9) Cara menggaruk (mode of scratching), yaitu pemberian nama sebuah
entitas yang dikaitkan dengan cara menggaruk pada saat entitas merasa
gatal pada bagian-bagian badan tertentu dari entitas tersebut, seperti
raccoon (bahasa Algon, Arathcone ‗menggaruk dengan tangan‘, yaitu
binatang yang menyerupai kucing.
(10) Cara membuang kotoran (mode of excretion), yaitu pemberian nama
sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara suatu entitas membuang
kotoran, seperti butterfly ‗kupu-kupu‘ yaitu serangga yang kotorannya
berbentuk seperti mentega yang keluar dari kemasannya yang di-pencet.
Sementara itu, Verheijen (1984) yang mengkaji nama beberapa tumbuhan
di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengelompokan penamaan
tumbuhan berdasarkan hal-hal berikut.
(1) Penamaan yang ada kaitannya dengan sejarah (historical name.)
(2) Nama pinjaman (borrowed names) dari bahasa lain.
(3) Nama aetiologis (aetiological names).
(4) Nama-nama deskriptif (descriptive names): gedhang agung (pisang
berukuran besar), ketan cemeng (ketan yang berwarna hitam), dan
sebagainya.
Terkait dengan cara-cara penamaan yang dipaparkan pada bagian terdahulu,
pada penelitian ini diterapkan model penamaan kombinasi antara keduanya.
Namun untuk mendapatkan kajian yang komprehensif perlu diadakan modifikasi
yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2) Motivasi dalam penamaan
55
Fenomena tentang makna yang terkandung di balik sebuah kata/leksikon
sudah menjadi perdebatan sejak zaman Yunani Kuno. Perdebatan itu akhirnya
bermuara pada dua aliran, yakni aliran konvensionalis dan aliran naturalis.
Aliran konvensionalis berpendapat bahwa makna kata/leksikon adalah bersifat
tradisi dan konvensi (perjanjian), sedangkan aliran naturalis percaya bahwa kata
mempunyai makna secara alami dalam arti bahwa ada suatu hubungan atau
korespondensi intrinsik antara bunyi dan makna (Ullmann, 1985: 80). Lebih
lanjut Ullmann mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa ada leksikon
yang hubungan maknanya jelas tetapi ada pula yang kabur atau bahkan arbitrer
(sewenang-wenang). Untuk leksikon-leksikon yang hubungan maknanya jelas,
Ullmann (1985:81) mengatakan bahwa ada tiga motivasi yang melandasi
hubungan antara bentuk dan makna leksikon-leksikon tersebut. Motivasi-motivasi
yang dimaksud meliputi motivasi fonologis, motivasi morfologis, dan motivasi
semantis. Berikut adalah uraian dari masing-masing motivasi yang dimaksud.
(1) Motivasi fonetis/bunyi (onomatope), yaitu makna yang dikandung oleh
sebuah leksikon berhubungan dengan bunyi fonetis yang dimiliki oleh
leksikon tersebut. Ullmann (1985) membedakan motivasi fonetis ini
menjadi dua, yakni onomatope pertama ialah tiruan bunyi atas bunyi,
yaitu bunyi yang betul-betul merupakan gema atas makna yang mana
referennya sendiri adalah suatu pengalaman akustik yang sedikit banyak
sangat mirip dengan struktur fonetik kata seperti contoh dalam BI di
antaranya adalah dengung, ketik, bum, pang, desis, decak. Onomatope
kedua, yakni bunyi-bunyi yang membangkitkan suatu gerakan
56
(movement), seperti contoh dalam BI, di antaranya adalah leksikon
gemetar, geletar, geletuk, geretak atau membangkitkan kualitas fisik atau
moral (biasanya yang bersifat tidak mengenakkan) seperti yang ditemukan
pada leksikon-leksikon gloomy (suram), mawkish (muak), sloopy (becek).
Di samping itu, Ullmann (1985) mengatakan bahwa leksikon-leksikon
onomatope memiliki unsur-unsur tertentu yang ada pada semua kata.
Bloomfield, seperti dikutip oleh Ullmann (1985) mengistilahkannya
bahwa ada ―sistem morfem pembentuk akar pada bagian awal atau akhir,
ada sistem signifikasi (makna) yang samar-samar‖, dengan sistem itu,
―konotasi yang intens dan simbolik‖ yang ada pada kata-kata itu
dihubungkan. Bloomfield (1933) memberi contoh dalam bahasa Inggris
bahwa leksikon-leksikon yang diawali dengan bunyi awal /sn-/ dapat
mengekspresikan tiga jenis pengalaman, yakni berisik-nafas (sniff
‗mengendus‘, snuff ‗menghirup‘, snore ‗mendengkur‘, snort ‗mendengus‘;
pemisahan atau gerak cepat (snap ‗mencakup untuk cangkang kerang‘,
snatch ‗merenggut‘, snip ‗memotong dengan cepat‘ ; dan melata (snake
‗ular‘, snail ‗siput‘, sneak ‗bergerak dengan cara mengendap-endap). Hal
ini dapat dibandingkan dengan fenomena yang terjadi dalam BI dengan
bersuku kata akhir pada kata-kata yang mengandung makna suasana hati
yang tidak tenang, seperti susah, gelisah, resah, keluh kesah, desah atau
kata-kata yang mengandung makna tidak lebar, pit, seperti apit, sepit,
sempit, jepit, kempit (Sumarsono,1985:111).
(2) Motivasi morfologis
57
Banyak leksikon yang cara terbentuknya dimotivasi oleh struktur
morfologis. Dalam bahasa Inggris khususnya, leksikon-leksikon seperti
driver, teacher, dan writer termasuk leksikon-leksikon yang dengan
mudah dapat dianalisis menjadi dua morfem komponen pembentuknya
yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri, yakni dari verba
drive, teach, write, dan sufiks –er yang membentuk nomina yang
merupakan pelaku dari verba drive, teach, dan write. Penutur non-Inggris
yang mendengar leksikon-leksikon tersebut untuk
pertama kalinya akan mengetahui maknanya jika mereka mengetahui
verba dan sufiks komponen pembentuknya. Contoh dalam BI dapat dilihat
pada leksikon-leksikon, seperti pembaca, penabur, dan penipu. Begitu
melihat nomina-nomina tersebut, penutur BI akan segera mengetahui
bahwa leksikon-leksikon tersebut dibentuk oleh verba baca, tabur, dan
tipu serta prifiks peNg- Fenomena yang sama juga terjadi pada leksikon
majemuk. Beberapa leksikon BI, seperti tata kalimat, tata hukum, tata
boga, dan tata busana yang mengandung unsur tata yang bermakna
aturan yang bergabung dengan unsur-unsur kalimat, hukum, boga, busana,
sehingga pendengar atau pembaca dengan mudah akan mengetahui bahwa
leksikon-leksikon tersebut mengacu pada aturan tentang unsur-unsur yang
menerangkannya (modifier).
(3) Motivasi semantis
Jika seseorang mendengar ungkapan puncak acara, puncak prestasi, atau
puncak kenikmatan maka ekspresi ini dimotivasi oleh kesamaan antara
58
puncak gunung dan leksikon puncak pada leksikon majemuk di atas.
Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa si gajah untuk yang
gemuk, si dalang untuk yang pintar dan pandai memainkan kata-kata, atau
si keledai untuk yang bodoh maka dalam bentuk-bentuk tersebut ada
motivasi semantik, yang apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa
bentuk-bentuk nomina (gajah, dalang, keledai) mempunyai hubungan yang
erat dengan sifat-sifat orang yang diacu tersebut (besar, banyak bicara,
bodoh) karena gajah bertubuh besar, dalang biasanya banyak bicara, dan
keledai itu identik dengan kebodohan. Walaupun ketiga bentuk tersebut
bersifat figuratif (kias), ada perbedaan antara ketiganya. Jenis pertama
bersifat metonimis karena didasarkan pada suatu hubungan eksternal,
sedangkan jenis kedua dan ketiga bersifat metaforis karena didasarkan atas
persamaan karakter antara unsur-unsurnya
Penamaan yang dimotivasi karena adanya keterkaitan makna tersebut
kadang-kadang tumpang tindih dengan penamaan yang dimotivasi secara
morfologis. Pada beberapa kasus sebuah kata di samping dimotivasi secara
morfologis, juga dimotivasi secara semantik (makna). Pada leksikon kumis
kucing, misalnya, terdapat motivasi campuran. Leksikon ini merupakan bentuk
majemuk yang juga ada unsur metaforanya, karena bentuk bunga tumbuhan ini
memang menyerupai kumis kucing. Selanjutnya, redbreast ‗si dada merah‘ (nama
salah satu jenis burung dalam bahasa Inggris) yang namanya dimotivasi oleh
struktur morfologis dan juga oleh metonimi yang mendasarinya, yakni burung itu
dinamai demikian karena dadanya merah.
59
Sementara itu, teori yang diterapkan untuk membedah permasalahan
penelitian tentang bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam
BU, adalah teori pembentukan katayang dikemukakan oleh Kridalaksana (1996).
Hal ini dilaarbelakangi oleh adanya kemiripan cara pembentukan kata antara
pembentukan kata dalam BI dan dalam BU, yakni di antaranya melalaui proses
afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (Kridalaksana, 1996: 32—99).
Untuk melihat hubungan antara permasalahan penelitian dan teori yang
diterapkan untuk mengkajinya dapat dilihat pada bagan berikut
No. Masalah
Penelitian
Teori Pendukung Keterangan
1. Bagaimanakah
bentuk-bentuk
lingual
keberagaman
leksikon
lingkungan alam
BU?
1. Teori
Morfo-logi
2. Teori Eko-
linguistik
Teori proses pembentukan kata adalah teori
yang menjabarkan bagaimana bentuk sebuah
kata (bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk
ulang, atau bentuk majemuk) dan bagaimana
sebuah kata dibentuk apakah melalui proses
afiksasi, proses pengulangan, atau proses
pemajemukan. Sementara itu, penerapan teori
ekolinguistik untuk mengkaji keberagaman
bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam
BU dikaitkan dengan keberagaman entitas
bambu dan kelapa beserta bagian-bagian yang
terkait dengan kedua entitas tersebut yang
diwadahi oleh leksikon-leksikon, baik yang
berwujud bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk
ulang, maupun bentuk majemuk.
2. Bagaimanakah
gambaran
keberagaman
(diversity)
leksikon
lingkungan alam
BU yang
mewadahi
pengetahuan
GTBU?
1. Teori Eko-
linguistik
2. Teori
Semantik
Penerapan teori ekolinguistik untuk membedah
keberagaman leksikon lingkungan alam yang
mewadahi pengetahuan GTBU karena konsep
dasar teori ini, yakni tentang interelasi,
interaksi, interdependensi, di samping tentang
keberagaman. Pengetahuan tentang sumber daya
lingkungan yang dimiliki GTBU, seperti
memahami karakter masing-masing entitas,
menciptakan entitas baru dari entitas lama, dan
memanfaatkan entitas-entitas di lingkungan
tersebut untuk kehidupan mereka. Semua hasil
kreasi dan semua aktivitas yang terjadi diwadahi
oleh leksikon sehingga tercipta yang beragam
eksikon nomina dan leksikon verba BU.
Sementara itu, penerapan teori semantik,
khususnya teori tentang penamaan entitas
acuan, karena nama pada dasarnya merupakan
label-label untuk sesuatu, termasuk flora dan
60
fauna. Nama bersifat takrif (definite) karena
nama-nama yang diberikan terhadap entitas-
entitas acuannya mengandung makna tertentu
sehingga pembaca/pendengar dapat
mengidentifikasi atau mengenali acuannya.
3. Bagaimanakah
dinamika
pemahaman dan
penggunaan
leksikon
lingkungan alam
antargenerasi
GTBU?
1. Teori Eko-
linguistik
2. Teori
Peruba-han
Bahasa
Adanya perbedaan interaksi, interelasi, dan
intedependensi GTBU pada sumber daya
lingkungan yang di dalamnya terdapat beragama
entitas acuan leksikon menimbulkan perbedaan
pengetahuan mereka, baik terhadap entitas
acuan maupun leksikonnya sehingga terjadi
dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan
GTBU terhadap leksikon lingkungan alam BU.
Hal ini berakibat pada adanya leksikon yang
bertahan, bergeser, hampir punah/punah, atau
kemunculan leksikon-leksikon baru. Fenomena
di atas menimbulkan terjadinya perubahan pada
BU pada tataran leksikon yang merupakan
bidang kajian teori perubahan bahasa.
4. Faktor-faktor
apakah yang
menyebabkan
dinamika
pemahaman dan
penggunaan
leksikon
lingkungan alam
antargenerasi
GTBU?
1. Teori Eko-
linguistik
Teori ekolinguistik mengkaji hubungan antara
bahasa dan lingkungannya. Berdasarkan analisis
dan temuan di lapangan bahwa faktor-faktor
penyebab terjadinya dinamika tingkat
pemahaman dan tingkat penggunaan adalah
karena adanya perubahan lingkungan fisik dan
lingkungan sosial tempat BU dipakai.
Bagan 2.2
Hubungan Antara Masalah Penelitian dan
Teori yang Diterapkan
61
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini merupkan sebuah kajian ekolinguistik yang secara umum
mengkaji khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU dengan
empat masalah penelitian, yakni (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual
keberagaman leksikon lingkungan alam BU; (2) Bagaimanakah gambaran
keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi
pengetahuan GTBU?; Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan
leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?; dan Faktor-faktor apakah yang
menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
antargenerasi GTBU?. Sementara itu, tujuan penelitian ini adalah untuk (1)
mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam
BU; (2) mendeskripsikan gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan
alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU; (3) mendeskripsikan dinamika
pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon lingkungan alam antargenerasi
GTBU; dan (4) mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan dinamika
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU.
Selanjutnya, untuk merealisasikan tujuan penelitian ini diterapkan satu
teori payung, yakni teori ekolinguistik, sedangkan teori perubahan bahasa, teori
morfogi, dan teori semantik merupakan teori pendukung. Data dan fakta yang
diperoleh dengan menerapkan keempat teori secara integratif memberikan
gambaran bagaimana profil khazanah leksikon lingkungan alam BU dalam
dinamika komunitas tuturnya yang merupakan temuan dalam penelitian ini.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut.
62
Bagan 2.3
Model Penelitian Leksikon Lingkungan Alam BU
Bahasa Using
Leksikon Lingkungan Alam
Bahasa Using
Bentuk-bentuk
lingual leksikon
lingkungan alam BU
Keberagaman
leksikon lingkungan
alam BU
Dinamika
pemahaman dan
penggunaan leksikon
lingkungan alam
antargenerasi GTBU
Faktor-faktor penyebab dinamika pemahaman dan
penggunaan leksikon
lingkungan alam antargenerasi GTBU
TEMUAN
Teori Semantik Teori Morfologi Teori Perubahan
Bahasa
Teori Ekolinguistik
63
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Landasan Filosofis
Penelitianini didasarkan pada perspektif fenomenologis. Fenomenologi
merupakan landasan filsafat yang penerapannya melalui berbagai tahapan berpikir
kritis dan ilmiah yang dimulai dari berpikir secara induktif, yaitu peneliti
menangkap sejumlah fenomena sosial di lapangan, dilanjutkan dengan
menganalisis fenomena-fenomena tersebut, kemudian mencoba melakukan
teorisasi berdasarkan fenomena-fenomena yang diamati (lih.Bungin, 2008: 2—3).
Filsafat fenomenologis memandang bahwa kesadaran manusia tidak
terisolasi satu sama lain, melainkan saling terkait satu sama lain secara dialektis.
Bungin (2008:8) menegaskan bahwa menurut persepektif fenomenologis sesuatu
yang nampak itu pasti memiliki makna bagi subjek yang menampakkan fenomena
itu karena setiap fenomena dalam pandangan fenomenologis dianggap merupakan
kesadaran manusia.
Data penelitian ini semuanya merupakan data verbal dalam bentuk
leksikon lingkungan alam BU dan juga dalam bentuk persentase, serta dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis quantitatif.
Penerapan teknik qualitatif berlandaskan pada konsepsi epistimologis
fenomenologis yang dikemukakan oleh Husserl (dalam Muhadjir, 1996:12) yang
menegasan bahwa objek ilmu objek ilmu tidak hanya terbatas pada data-data
63
64
empirik, melainkan juga mencakup fenomena yang berupa persepsi, kemauan, dan
keyakinan subjek tentang hal-hal di luar subjek.
Sejalan dengan paparan di atas dan juga berdasarkan rumusan
permasalahan yang telah dikemukakan di depan, maka pendekatan yang paling
tepat diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitati
dengan format deskriptif dengan tiga pertimbangan, yakni (1) penelitian ini
mengkaji sejumlah leksikon lingkungan alam yang dipahami dan digunakan olen
GTBU yang merupakan perilaku sosial; (2) pemahaman dan penggunaan
leksikon-leksikon tersebut di atas yang merupakan perilaku sosial itu terkandung
tindakan dan aktivitas penutur sebagai pengguna bahasa yang merupakan subjek
utama, dan (3) leksikon-leksikon yang dikaji pemahaman dan penggunaannya
oleh GTBU mengandung beberapa fenomena kebahasaan, seperti bentuk, fungsi,
dan makna karena seperti disebutkan sebelumnya bahwa sesuatu yang tampak itu
pastu memiliki makna, khususnya bagi yang menampakan fenomena tersebut.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi. Pemilihan
Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi penelitian, selain terkait dengan masalah
penelitian, juga didasarkan pada berapa pertimbangan, yaitu terkait dengan
kesejarahan BU, karakter lingkungan alam, dan karakter GTBU. Seperti
diketahui dari berbagai hasil penelitian terdahulu dan berdasarkan pengamatan
terhadap bentuk-bentuk leksikonnya bahwa BU banyak menyerap leksikon-
leksikon BJ Kuna, BJ, dan BB. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang historis
65
Kabupaten Banyuwangi yang dahulunya bernama Blambangan. Seperti telah
disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa wilayah Blambangan pernah menjadi
jajahan kerajaan-kerajaan Bali dan Mataram Islam sehingga diperkirakan pada
zaman kekuasaan kerajaan-kerajaan inilah Blambangan bersentuhan dengan
bahasa Bali dan bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dari segi karakter, GTBU
adalah masyarakat egaliter dan terbuka sehingga mereka sangat mudah menerima
pengaruh luar dan kemudian mempelajari dan mengolaborasikannya dengan
budaya mereka sehingga terciptalah budaya Using yang baru (hasil wawancara
dengan Singodimayan, budayawan Using, pada bulan Oktober 2009). Di samping
itu, BU juga merupakan salah satu bahasa kecil nusantara dengan jumlah penutur
di bawah satu juta orang (Soepomo, 1976:1--2), sehingga dipandang perlu adanya
usaha-usaha revitalisasi yang diperoleh dari temuan-temuan penelitian yang
dilakukan terhadapnya. Dengan demikian BU dapat dijaga eksistensinya sebagai
salah satu kebudayaan nasional yang harus dilindungi oleh negara sesuai dengan
bunyi penjelasan Pasal 36, BAB XV, UUD 1945.
Dari 24 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, ada 13 kecamatan tempat
ditemukan kantong-kantong GTBU. Akan tetapi, dalam kajian ini hanya dipilih
tiga kecamatan sebagai tempat penelitian karena di kecamatan-kecamatan ini
penduduk beretnik Using jauh lebih banyak dibandingkan dengan di 11
kecamatan lainnya. Di antara 13 kecamatan yang terdapat kantong-kantong entnik
Using, tiga kecamatan diantaranya dengan desa yang penduduknya paling
homogen beretnik Using. Adapun nama-nama desa yang dijadikan lokasi
pengambilan data penelitian adalah sebagai berikut.
66
1) Desa Kalipuro adalah salah satu desa di Kecamatan Kalipuro dengan
ecoregion yang memiliki banyak kebun kelapa dan sedikit lahan
persawahan, serta pemukiman etnik Using berbaur dengan etnik Madura.
2) Desa Glagah, Kecamatan Glagah, adalah desa yang merupakan lokasi ibu
kota kecamatan dengan ecoregion yang terdiri dari lahan persawahan,
kebun kelapa, dan ladang dengan penduduk mayoritas bermatapencaharian
petani.
3) Desa Kemiren, Kecamatan Glgah, adalah sebuah desa yang hampir seluruh
penduduknya beretnik Using. Secara geografis, desa ini merupakan
perbatasan antara dataran tinggi dan dataran rendah sehingga cuaca sejuk,
di samping sangat kaya dengan mata air. Desa ini juga merupakan pusat
budaya, seperti kesenian dan adat-istiadat Using sehingga dipakai sebagai
icon budaya Using. Wilayah desa yang menuju objek wisata Kawah Ijen
banyak ditumbuhi berbagai jenis bambu dan kelapa.
4) Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan ecoregion
persawahan dan kebun kelapa yang luas, juga merupakan pusat Kesenian
Tradisional dan Sakral Using, yakni Seblang yang dipentaskan hari ke dua
Idul Fitri. Desa ini dihuni oleh 80% etnik Using yang sebagian besar
bermatapencaharian petani.
5) Desa Bakungan dan Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, adalah dua desa
yang berbatasan dengan Kecamatan Banyuwangi (Banyuwangi Kota)
dengan penduduk 50% bermatapencaharian petani dan 50% non-petani,
seperti pedagang, buruh bangunan, pekerja pabrik, dan pegawai
67
negeri/swasta. Lingkungan ragawi desa itu berbeda dengan dua desa yang
disebutkan belakangan dengan hampir tidak ada lahan sawah namun masih
terdapat kebun kelapa.
6) Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan luas wilayah
pertanian, kebun, dan ladang 80% dari luas desa ini yang penduduknya
75% bermatapencaharian petani. Lingkungan ragawi desa ini masih asri
karena letaknya 5 km dari Pegunungan Ijen dengan kemiringan 300 dan
sumber air yang melimpah. Wilayah desa ini juga banyak ditumbuhi
berbagai jenis bambu, pisang, dan mangga.
7) Desa Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, adalah desa yang terletak di
kaki Gunung Ijen dengan kemiringan 450
dengan ecoregion sebagian besar
berupa hutan, semak-semak, dan kebun, seperti kebun papaya, jati
belanda, jati mas, sengon, dan sebagainya. Di desa ini juga banyak
ditemukan berbagai jenis bambu yang tumbuh di daerah perbukitan.
8) Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang terletak di pinggir
jalan raya Banyuwangi-Jember dengan penduduk mayoritas bermata-
pencaharian petani, buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang. Ecoregion
desa ini seluruhnya berupa dataran rendah yang sebagian besar berupa
lahan sawah.
9) Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang lingkungan
geografis dan topografisnya hampir sama dengan Desa Mangir denga jarak
kurang lebih 5 km dari jalan raya Banyuwangi-Jember. Penduduknya
mayoritas bertani. Kecintaan dan penghormatan mereka terhadap
68
lingkungan dan anugrah Tuhan direpresentasikan lewat kesenian kebo-
keboan yang digelar berdasarkan kepercayaan mereka bahwa apabila
sawah tempat upacara kebo-keboan diadakan akan menghasilkan hasil
panen yang berlimpah. Sawah, petani, kerbau, dan benih padi harus
“mendapat” tempat dan penghormatan sesuai dengan peran dan fungsinya
agar terjadi harmonisasi antara semuanya yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan mereka (Sutarto, 2010:111).
3.3 Responden (Subjek) Penelitian
Dalam penelitian kualitatif istilah populasi dan sampel tidak digunakan.
Sugiyono (2007:49) dengan mengutip pendapat Spradley (1980) mengatakan
populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (social situation)
yang terdiri dari tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activities) yang
ketiganya berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial ini peneliti dapat
mengamati secara mendalam aktivitas (activities) orang-orang (actors) yang ada
pada tempat (place) tertentu. Di samping itu, tidak digunakannya populasi dalam
penelitian kualitatif karena penelitian jenis ini berangkat dari kasus tertentu yang
ditemukan pada situasi sosial tertentu (dalam hal ini, khazanah leksikon
lingkungan alam dalam dinamika GTBU di Kabupaten Banyuwangi).
Untuk mendapatkan data penelitian yang reliable maka dilakukan
pemilihan responden untuk menjawab kuesioner dan juga informan sebagai
narasumber dalam wawancara. Respoden penelitian yang dipilih berdasarkan usia
atau generasi responden dan juga jumlahnya. erdasarkann usianya, responden
69
penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yakni usia remaja (15-30 tahun), dewasa
(31-50 tahun), dan tua (51 tahun ke atas).
Agar keadaan responden representatif untuk semua lokasi penelitian,
persentasenya didasarkan pada masing-masing desa. Semakin besar jumlah
populasi beretnik Using pada satu desa, semakin banyak responden yang diambil.
Rincian jumlah responden untuk tiap kecamatan dan di masing-masing desa
tempat pengambilan sampel penelitian adalah sebagai berikut.
Tabel 3.1
Rincian Responden Penelitian
No Nama Kecamatan Nama Desa Jumlah Resonden/Desa
1 Kalipuro Kalipuro 2
2 Glagah Glagah 6
Kemiren 10
Olehsari 11
Bakungan 3
Banjarsari 3
Taman Suruh 6
Kampung Anyar 4
3 Rogojampi Mangir 8
Aliyan 8
Jumlah 63
Informan kunci penelitian berjumlah 5 orang diambil dari responden
penelitian yang berjumlah 63 orang. Pemilihan informan penelitian merujuk pada
kriteria yang dikemukakan oleh Mahsun (2005:141-142) dan Keraf (1984: 157)
yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Adapun syarat-syarat informan yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut.
1) lahir, dibesarkan, dan berdomisili di desa lokasi penelitian;
2) sehat jasmani dan rohani;
3) jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dalam waktu yang lama;
70
4) memiliki kebanggaan terhadap bahasanya;
5) berpendidikan sekurang-kurangnya SD;
6) berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
7) menguasai dan mengenal bahasa dan budaya Using dengan baik;
8) dapat berbahasa Indonesia; dan
9) bersedia menjadi informan dan sanggup memberikan data yang valid.
Berdasarkan persyaratan di atas maka ditemukan lima orang nara
sumber yang terdiri atas dua orang sesepuh desa yang sekaligus berprofesi tetua
adat dan ahli dalam tanaman obat, 1 orang kepala desa, 1 orang budayawan, dan 1
orang pemerhati lingkungan yang juga seorang fotografer.
3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yakni data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif adalah data utama atau yang disebut juga dengan data
primer, sedangkan data kualitatif adalah data pendukung atau data sekunder. Data
primer diperoleh dari kompetensi leksikon responden yang terkait dengan
lingkungan alam BU yang berjumlah 728 buah yang terdiri dari leksikon
berkategori nomina sebanyak 633 buah dan leksikon berktegori verba sebanyak
95 buah. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner.
Sebagai data sekunder, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan data
kuantitatif yang dikumpulkan melalui kuesioner. Di samping itu, data kualitatif
juga digunakan untuk menjelaskan dinamika tingkat pemahaman dan tingkat
penggunaan lelsikon lingkungan alam antargenerasi GTBU yang tercermin
71
melalui leksikon lingkungan alam yang bertahan, leksikon yang mengalami
penurunan, leksikon yang hampir punah, serta lkesikon yang mengalami
pergeseran. Data ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara terhadap
informan kunci dan juga beberapa responden.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human
insitrument). Sebagai instrument utama, penelitilah yang menentukan fokus
penelitian, memilih informan yang tepat, melalukan pengumpulan data, menilai
kualitas data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas temuan penelitiannya
(Sugiyono, 2010:59). Di samping diri peneliti sendiri (human instrument),
penelitian ini juga menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data kuantitatif.
Kuesioner ini berisi sebaran leksikon lingkungan alam BU yang terdiri dari
leksikon yang berkategori nomina dan berkategori verba. Jawaban responden
dalam kuesioner yang merupakan data kuantitatif penelitian ini merepresentasikan
tingkat interelasi dan interaksi responden dengan lingkungan alam tempat tinggal
mereka yang berorientasi pertanian. Adapun sebaran leksikon lingkungan alam
BU dalam kuesioner dikelompokkan sebagai berikut.
Leksikon lingkungan alam BU secara garis besar dikelompokan berdasarkan
kategori kata, yakni leksikon lingkungan alam berkategori nomina dan leksikon
lingkungan alam berkategori verba. Selanjutnya leksikon yang berkategori nomina
dipilah menjadi leksikon flora dan leksikon fauna. Leksikon flora BU dipilah-
72
pilah lagi berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia sehingga
terbentuk kelompok leksikon tentang hal-hal sebagi berikut.
(1) leksikon tanaman bahan pangan.
(2) leksikon tanaman buah-buahan.
(3) leksikon tanaman sayur-sayuran.
(4) leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat.
(5) leksikon tanaman bunga.
(6) leksikon tanaman kelapa.
(7) leksikon tanaman bambu.
(8) leksikon tanaman lain.
Selanjutnya, leksikon fauna BU dikelompokan berdasarkan klasifikasi
dalam bidang ilmu Biologi sehingga terbentuk kelompok sebagai berikut.
(1) leksikon mamalia.
(2) leksikon unggas.
(3) leksikon burung.
(4) leksikon reptil.
(5) leksikon serangga.
(6) leksikon ikan air tawar.
Sementara itu, pengelompokan leksikon verba BU didasarkan pada subjek
aktivitas, tempat aktivitas dilakukan dan objek suatu aktivitas sehingga terbentuk
kelompok leksikon verba sebagai berikut.
(1) aktivitas di lahan pertanian dan kebun
(2) aktivitas sosial
73
(3) aktivitas fauna
(4) aktivitas alam
Jikalau sebaran leksikon di atas diringkas, maka terlihat seperti pada tabel
berikut.
Tabel 3.2
Sebaran Leksikon Lingkungan Alam BU
Leksikon lingkungan alam
bahasa Using
Laksikon
berkategori
nomina
Flora
Tanaman bahan pangan
Tanaman buah-buahan
Tanaman sayur-sayuran
Tanaman bumbu dan tanaman
obat
Tanaman bunga
Tanaman kelapa
Tanaman bambu
Tanaman lain
Fauna
Mamalia
Unggas
Burung
Reptil
Serangga
Ikan air tawar
Leksikon berkategori
verba
Aktivitas manusia
Aktivitas sosial
Aktivitas fauna
Aktivitas alam
Pada kuesioner terdapat 728 leksikon lingkungan alam BU yang terdiri
dari 633 butir leksikon berkategori nomina dan 95 butir leksikon yang berkategori
verba. Responden harus menjawab/memilih jwaban yang terkait dengan
pengetahuan mereka tentang leksikon lingkungan alam BU dengan pilihan tahu/
tidak tahu dan penggunaan leksikon lingkungan alam BU tersebut dengan
memilih pernah/tidak pernah. Keseluruhan leksikon yang tercantum dalam
kuesioner merupakan hasil studi pustaka, wawancara dengan informan dan
pengamatan lapangan yang dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh informan.
74
Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman
wawancara sebagai alat untuk mengumpulkan data kualitatif. Wawancara
dilakukan terhadap lima orang informan kunci untuk mendapatkan informasi
keadaan lingkungan alam, kehidupan petani, dan entitas-entitas yang menjadi
acuan leksikon yang ada dalam kuesioner.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Ada empat metode yang ditempuh untuk mengumpulkan data penelitian
agar data penelitian bersifat valid. Metode-metode yang dimaksud meliputi: (1)
metode dokumentasi, (2) metode wawancara, (3) metode pengamatan
berpartisipasi, dan (4) metode kuesioner (angket).
Metode dokumentasi diterapkan untuk mendapatkan data dari berbagai
sumber tertulis. Sumber tersebut berasal dari kamus, dokumen-dokumen adat,
buku bacaan, surat kabar, jurnal, catatan-catatan, dan berbagai sumber tertulis
lainnya. Melalui penerapan metode dokumentasi dengan teknik catat ini untuk
mengetahui karakteristik lokasi penelitian dan karakteristik GTBU. Pencatan
dilakukan untuk mengumpulkan data yang muncul di luar data yang dikumpulkan
melalaui kuesioner, namun masih ada kaitannya dengan topik atau permasalahan
penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan keterangan tambahan
ketika analisis data berlangsung.
Metode lain yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian adalah
metode wawancara, khususnya wawancara tak terstruktur. Data yang diperoleh
melalui penerapan metode ini digunakan untuk mendukung data yang diperoleh
75
melalui kuesioner, metode survei dan pengamatan berpartisipasi. Wawancara
dilakukan terhadap lima orang narasumber atau informan kunci yang sudah
ditentukan, di samping juga terhadap beberapa responden. Wawancara terhadap
wakil responden bertujuan untuk mengkonfirmasikan jawaban mereka dengan
jawaban yang diberikan pada kuesioner, di samping untuk memberikan pendapat
mereka tentang lingkungan alam tempat tinggal mereka.
Proses wawancara dilakukan secara bersemuka dengan teknik tanya-
jawab untuk mendapatkan data kualitatif tentang kebahasaan, khususnya terkait
dengan leksikon lingkungan alam BU setelah adanya perubahan lingkungan alam
(lingkungan ragawi) dan sosial tempat tinggal GTBU bermukim. Agar wawancara
terjadi secara natural dan data yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan,
peneliti telah menciptakan hubungan baik dengan para narasumber. Wawancara,
khususnya terhadap informan kunci, dilakukakan beberapa kali untuk mendapat
data yang betul-betul valid.
Sementara itu, metode observasi yang diterapkan dalam pengumpulan data
penelitian ini adalah metode observasi berpartisipasi (participant observation),
yang artinya bahwa peneliti melibatkan diri dalam kegiatan sehari-hari orang yang
diteliti sambil melakukan pengamatan., peneliti ikut melakukan kegiatan yang
dilakukan oleh responden. Penerapan metode observasi teraga (overt observation)
dan tak teraga (covert observation) dilakukan oleh peneliti dengan mengatakan
secara berterus terang kepada nara sumber bahwa peneliti sedang melakukan
penelitian. Akan tetapi dalam suatu kesempatan, peneliti tidak berterus terang atau
tersamar tentang jati diri dan tujuannya. Metode ini diterapkan untuk
76
mendapatkan data faktual dan otentik tentang leksikon yang muncul dalam
percakapan golongan remaja, golongan dewasa, dan golongan tua yang berupa
topik yang terkait dengan eksistensi leksikon yang terdapat dalam kuesioner.
Selanjutnya, metode kuesioner adalah metode yang diterapkan untuk medapatkan
data utama (data primer), data kuantitatif, penelitian ini. Metode ini diterapkan
untuk mendapatkan data tentang kompetensi leksikon responden, dinamika
tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam mereka. Dalam
menerapkan metode ini, peneliti dibantu oleh tujuh orang pembantu peneliti
untuk memudahkan dan memepercepat proses penyebaran kuesioner
3.7 Metode Analisis Data
Setelah data penelitian terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan
tabulasi data, yakni dengan cara memeriksa dan mengklasifikasikan data secara
rinci berdasarkan klasifikasi dan aspek yang diteliti. Data yang diperoleh melalaui
kuesioner yang telah ditabulasi kemudian dihitung frekuwensi dari masing-masing
kelompok responden, baik yang menunjukkan tingkat pemahaman maupun yang
menunjukkan tingkat penggunaan. Masing-masing frekuensi pemahaman dan
penggunaan setiap leksikon kemudian dibagi dengan jumlah responden setiap
kelompok responden maka ditemukan persentase tingkat pemahaman dan
penggunaan setiap butir leksikon. Perbedaan persentase pemahaman dan
penggunaan tiap butir leksikon pada setiap kelompok responden mencerminkan
dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
77
antargenerasi GTBU. Hasil analis ini kemudian dicocokkan dengan data hasil
pengamatan dan wawancara terhadap responden.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Kajian khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU adalah
sebuah penelitian tentang bahasa. Sebagaiamana lazimnya penelitian bahasa yang
datanya berupa data kuantitatif dan data kualitatif, maka penerapan metode
formal dan metode informal sering dilakukan dalam menyajikan hasil analisis data
(bdk.Fatimah, 1993:68; Sudaryanto, 1993:145). Penerapan metode formal
digunakan untuk menyajikan analisis data dengan menggunakan rumus, bagan,
diagram, tabel, atau lambing-lambang tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Sementara itu, penyajian hasil analisis data dengan menggunakan metode
informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat secara verbal.
Penelitian ini adalah penelitian yang menerapkan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif secara terpadu, sehingga deskripsi data hasil penelitian juga
ditampilkan secara terpadu. Setiap data yang disajikan saling mendukung, artinya
penyajian data kuantitatif didukung oleh penyajian data kualitatif, demikian juga
sebaliknya.
Penyajian data secara formal dalam penelitian ini berbentuk tabel yang
sebagian besar pada bagian analisis sehingga sangat mudah mencocokkan antar
penyajian data pada tabel dananalisis yang mendukung data dalam tabel-tabel
sebelum atau sesudahnya.
top related