bab ii biomekanika
Post on 05-Dec-2014
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomekanika Kerja
Dalam bidang industri semua pekerja, karyawan atau operator harus memiliki
kekuatan yang besar khususnya otot karena dalam dunia industri yang dibutuhkan
bukan hanya operator atau karyawan yang memiliki keahlian khusus tapi kekuatan
otot juga sangat penting karena dalam dunia industry pekerja atau karyawan,
dimanapun dapat mengalami kelelahan atau fatigue. Untuk menghindari kelelahan
atau fatigue diperlukan pengetahuan yang menyangkut kekuatan tubuh manusia
khususnya otot (Biomekanika), ini sangat diperlukan oleh pekerja atau karyawan
untuk menganalisis kesehatan dan keselamatan kerja pekerja atau karyawan dalam
sistem kerja tertentu. Dalam praktikum yang saya jalani saya melakukan pengukuran
kekuatan otot untuk mengetahui apakah dengan mengangkat beban atau barang
keselamatan pekerja sudah aman atau tidak aman untuk dilakukan pengangkatan
barang. Biomekanika dan cara kerja adalah pengaturan sikap tubuh dalam bekerja.
Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula dalam
melakukan tugas. Dalam hal ini penelitian biomekanika mengukur kekuatan dan
ketahanan fisik manusia dalam melakukan pekerjaan tertentu, dengan sikap kerja
tertentu. Tujuannya untuk mendapatkan cara kerja yang lebih baik, dimana
kekuatan/ketahanan fisik maksimum dan kemungkinan cidera minimum.
Biomekanika sebagai penggunaan kaidah fisika dan konsep teknik dalam
menjelaskan pergerakan tubuh manusia dalam aktivitas kesehariannya. Definisi ini
sekurangnya menjelaskan bahwa biomekanika bersifat multi disiplin ilmu yang
memanfaatkan keilmuan fisika, faal tubuh dan perilaku manusia (behavioral
sciense). Banyak gangguan pada manusia yang disebabkan oleh aktivitas (pekerjaan,
olahraga, dst.) dapat diinterprestasikan dan dicarikan solusinya dengan menggunakan
II-2
pendekatan biomekanika (Frankel & Nordin (1980) dikutip oleh Chaffin (1999).
Pengetahuan tentang biomekanika sangat diperlukan untuk mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan kerja, yang pada akhirnya dapat dilakukan pendekatan yang
efektif dan ilmiah untuk membantu manusia bekerja dengan aman. Biomekanika yang
lebih banyak membahas kajian kapasitas fisik manusia serta performansinya dalam
sistem kerjanya disebut Biomekanika Kerja (Occuptional Biomechanics).
Biomekanika kerja dapat diartikan sebagai: “Keilmuan yang mempelajari interaksi
fisik antara pekerja dengan peralatan, mesin, dan material sehingga dicapai
performansi yang optimal dari pekerja dan meminimilisasi resiko terjadinya
gangguan musculoskeletal” (Chaffin (1999).
(elib.unikom.ac.id, diakses pada 25-03-2013, 16:01)
2.2 Konsep Biomekanika
Biomekanika diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
1. General Biomechanic
General Biomechanic adalah bagian dari Biomekanika yang berbicara
mengenai hukum–hukum dan konsep – konsep dasar yang mempengaruhi tubuh
organik manusia baik dalam posisi diam maupun bergerak. Dibagi menjadi 2,
yaitu:
a. Biostatics adalah bagian dari biomekanika umum yang hanya menganalisis
tubuh pada posisi diam atau bergerak pada garis lurus dengan kecepatan
seragam (uniform).
b. Biodinamic adalah bagian dari biomekanik umum yang berkaitan dengan
gambaran gerakan – gerakan tubuh tanpa mempertim-bangkan gaya yang
terjadi (kinematik) dan gerakan yang disebabkan gaya yang bekerja dalam
tubuh (kinetik) (Tayyari,1997).
2. Occupational Biomechanic.
Didefinisikan sebagai bagian dari biomekanik terapan yang mempelajari
interaksi fisik antara pekerja dengan mesin, material dan peralatan dengan tujuan
II-3
untuk meminimumkan keluhan pada sistem kerangka otot agar produktifitas
kerja dapat meningkat. Setelah melihat klasifikasi diatas maka dalam praktikum
kita ini dapat kita kategorikan dalam Biomekanik Occupational Biomechanic.
Untuk lebih jelasnya disini akan kita bahas tentang anatomi tubuh yang menjadi
dasar perhitungan dan penganalisaan biomekanik. Dalam biomekanik ini banyak
melibatkan bagian bagian tubuh yang berkolaborasi untuk menghasilkan gerak
yang akan dilakukan oleh organ tubuh yakni kolaborasi antara Tulang, Jaringan
penghubung (Connective Tissue) dan otot.
(apk.lab.uii.ac.id, diakses pada 25-03-201, 16:02)
Biomekanika dapat diterapkan pada [CHA91]: perancangan kembali pekerjaan
yang sudah ada, mengevaluasi pekerjaan, penanganan material secara manual,
pembebanan statis dan penentuan sistem waktu. Prinsip-prinsip biomekanika dalam
pengangkatan beban [CHA91]:
1) Sesuaikan berat dengan kemapanan pekerja dengan mempertimbangkan frekuensi
pemindahan.
2) Manfaatkan dua atau lebih pekerja untuk memindahkan barang yang berat.
3) Ubahlah aktivitas jika mungkin sehingga lebih mudah, ringan dan tidak
berbahaya.
4) Minimasi jarak horizontal gerakan antara tempat mulai dan berakhir pada
pemindahan barang.
5) Material terletak tidak lebih tinggi dari bahu.
6) Kurangi frekuensi pemindahan.
7) Berikan waktu istirahat.
8) Berlakukan rotasi kerja terhadap pekerjaan yang sedikit membutuhkan tenaga.
9) Rancang kontainer agar mempunyai pegangan yang dapat dipegang dekat dengan
tubuh.
10)Benda yang berat ditempatkan setinggi lutut agar dalam pemindahan tidak
menimbulkan cidera punggung.
II-4
2.3 Work-Related Musculoskeletal Disorder
Secara Istilah Musculoskeletal Disorder (MSD) itu sendiri merujuk kepada
kondisi yang melibatkan saraf, tendon, otot, dan struktur penyokong tubuh. MSD atau
cedera otot akibat bekerja merupakan suatu istilah yang ditujukan pada gangguan
terhadap jaringan tubuh atau kondisi yang disebut diatas, yang diakibatkan oleh
aktivitas atau paparan terkait pekerjaan. Sebagai contoh adalah postur dan gerakan
tubuh yang buruk, berulang, dipaksakan (overuse) dan terakumulasi. Selain faktor
diatas, MSD dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti vibrasi, suhu rendah,
dan lain-lain. Sebagian dari pakar ergonomi istilah MSD biasa digunakan untuk
gangguan yang diakibatkan oleh karakteristik pekerjaan yang buruk, sedangkan
Cummulative Trauma Disorder (CTD) merupakan istilah yang digunakan dikalangan
medis bila gangguan jaringan otot (Musculoskeletal Disorder) telah menjadi suatu
penyakit. Pengetahuan tentang potensi MSD diperlukan untuk menciptakan sistem
kerja yang aman, nyaman, dan tetap sehat bagi penggunanya. Dibawah ini adalah
macam-macam karakterisitk dari cidera otot akibat bekerja:
1. Proses mekanik dan fisiologis.
2. Berhubungan dengan intensitas kerja dan durasi pekerjaan.
3. Akibat akan dirasakan dalam jangka waktu yang lama.
4. Lokasi gejala sulit diidentifikasi dan tidak spesifik.
5. Proses pemulihan memakan waktu yang lama.
6. Jarang dilaporkan.
7. Disebabkan oleh faktor yang beragam (Multifaktor).
Secara umum, analisis terhadap pekerjan (task analysis) dan pengamatan terhadap
gejala lebih berarti dibandingkan pengamatan secara fisik, hal ini disebabkan karena
cedera otot akibat bekerja merupakan akumulasi dari berbagai micro trauma yang
disebabkan pemaksaan posisi tubuh yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama. Hubungan antara paparan yang berupa faktor kerja fisik dengan perkembangan
penyakit tertentu dapat dipengaruhi juga oleh faktor psiko-sosial. Oleh karena itu
II-5
dalam menyelidiki faktor resiko yang menjadi penyebab munculnya MSD, faktor ini
juga mendapat perhatian.
2.3.1 Macam-macam Faktor Penyebab Cedera
Berdasarkan studi yang dilakukan secara klinik, biomekanika, fisiologi, dan
Epidemiologi didapatkan kesimpulan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan
terjadinya cedera otot akibat bekerja (Armstrong dan Chaffin, 1979), yaitu:
1. Faktor Pribadi (Personal Factors)
Kondisi dari seseorang yang dapat menyebabkan terjadiya musculoskeletal
disorder.
2. Faktor Pekerjaan (Work Factors)
Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam
interaksinya dengan sistem kerja. Pada situasi kerja di industri akan sangat
sulit menggeneralisasi terjadinya MSD bila memakai acuan faktor pribadi.
Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa tinjauan secara biomekanik serta
data statistik menunjukkan bahwa faktor pekerjaan berkontribusi pada
terjadinya cedera otot akibat bekerja.
Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang bisa menyebabkan terjadinya cedera
pada otot atau jaringan tubuh:
a. Pekerjaan Statis (Statis Exertions): pekerjaan yang menuntut seseorang tetap
pada posisinya, perubahan posisi dalam bekerja akan menyebabkan
pekerjaan terhenti.
b. Repetisi: pengulangan gerakan kerja dengan pola yang sama. Hal ini bisa
terlihat pada dimana frekuensi pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi,
sehingga pekerjaan harus terus-menerus bekerja agar dapat menyesuaikan
diri dengan sistem.
c. Postur tubuh: posisi dari operator yang memerlukan energi berlebih
sehingga bisa menyebabkan kerusakan jaringan atau persendian.
II-6
d. Pekerjaan yang memaksakan tenaga (Forceful Exertions): beban yang berat
atau tahanan dari benda kerja yang dihadapi pekerja dapat menyebabkan
terjadinya cedera pada otot akibat bekerja.
e. Stress mekanik (Mechanical Stresses): terjadinya kontak dari anggota badan
dengan objek pekerjaan.
f. Getaran (vibrasi): timbulnya getaran-getaran di area kerja yang mengganggu
konsentrasi pekerja dalam bekerja.
g. Temperatur ekstrim: temperatur yang dingin menyebabkan berkurangnya
daya kerja sensor tubuh, aliran darah, kekuatan otot, dan keseimbangan.
Sedangkan temperatur yang panas atau lebih tinggi dari suhu normal dapat
menyebabkan pekerja merasa lelah.
Pada umumnya keluhan otot skletal juga bisa di dukung oleh faktor usia
dimana keluhan skeletal mulai dapat dirasakan pada usia kerja, yaitu 25 - 65 tahun.
Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan
terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada
umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehinggaresiko
terjadinya keluhan otot meningkat. Selain itu juga lama bekerja pun sangat
berpengaruh dimana jika seorang pekerja melakukan pekerjaan yang dibidanginya
bertahun-tahun dilakukan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
keluhan yang sangat fatal dibanding dengan pekerja yang baru pertama kali
membidanginya. Jenis cedera tersebut diatas sering berkembang pelan-pelan
sehingga tidak dilaporkan sebagai cedera yang ditimbulkan oleh pekerjaan pada
berbagai status. Diakui oleh para spesialis medis pada ortopedi dan kesehatan
kerja, bahwa bagaimanapun, penggunaan tangan yang abnormal mempercepat
cedera ini dan beberapa mempercayai bahwa pola spesifik dari aktivitas manual
adalah faktor utama penyebab cedera.
II-7
2.4 Metode – Metode Analisis Postur Kerja
2.4.1 Metode RULA
Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah sebuah metode untuk menilai
postur, gaya dan gerakan suatu aktivitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan
anggota tubuh bagian atas (upper limb). Metode ini dikembangkan untuk
menyelidiki resiko kelainan yang akan dialami oleh seorang pekerja dalam
melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan anggota tubuh bagian atas (upper
limb). Metode ini menggunakan diagram postur tubuh dan tiga tabel penilaian
untuk memberikan evaluasi terhadap faktor resiko yang akan dialami oleh pekerja.
Faktor-faktor resiko yang diselidiki dalam metode ini adalah yang telah
dideskripsikan oleh McPhee sebagai faktor bebaneksternal (external load factors),
yaitu :
1. Jumlah gerakan
2. Kerja otot statis
3. Gaya/kekuatan
4. Penentuan postur kerja oleh peralatan
5. Waktu kerja tanpa istirahat
Setiap individu pekerja pasti mempunyai perbedaan-perbedaan, yaitu postur
kerja, kecepatan gerakan, akurasi gerakan, frekuensi dan lamanya delay, umur dan
pengalaman, dan faktor sosial. Oleh sebab itu, RULA didesain untuk membahas
faktor-faktor resiko di atas terutama pada 4 faktor eksternal pertama. Adapun tujuan
dari metode ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai metode yang dapat dengan cepat mengurangi resiko cidera pada
pekerja, khususnya yang berkaitan dengan tubuh bagian atas.
2. Mengidentifikasi bagian tubuh yang mengalami kelelahan dan kemungkinan
terbesar mengalami cidera.
3. Memberikan hasil analisis dan perbaikan
II-8
Prosedur dalam pengembangan metode RULA meliputi tiga tahap, yaitu:
1. Pengembangan metode untuk merekam postur kerja
Untuk menghasilkan sebuah metode kerja yang cepat untuk digunakan, tubuh
dibagi dalam segmen-segmen yang membentuk dua kelompok atau grup yaitu grup
A dan B. Grup A meliputi bagian lengan atas dan bawah, serta pergelangan tangan.
Sementara grup B meliputi leher, punggung, dan kaki. Hal ini untuk memastikan
bahwa seluruh postur tubuh terekam, sehingga segala kejanggalan atau batasan
postur oleh kaki, punggung atau leher yang mungkin saja mempengaruhi postur
anggota tubuh bagian atas dapat tercakup dalam penilaian.
a. Grup A
1) Lengan bagian atas
Jangkauan gerakan untuk lengan bagian atas (upper arm) dinilai dan
diberi skor berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Tichauer, Chaffin,
Herberts et al, Schuldt et al, dan Harms-Ringdahl & Schuldt. Skornya sebagai
berikut :
a) 1 untuk ekstensi 20° dan fleksi 20°
b) 2 untuk ekstensi lebih dari 20° atau fleksi antara 20-45°
c) 3 untuk fleksi antara 45-90°
d) 4 untuk fleksi lebih dari 90°
Jika bahu terangkat, skor dari postur di atas ditambahkan 1. Jika lengan
bagian atas abduksi maka skor postur juga ditambahkan 1. Sedangkan bila
operator bersandar atau berat lengan disangga atau diberi penyangga, skor
postur di atas dikurangkan 1.
Gambar 2.1 Standar RULA untuk postur lengan bagian atas
II-9
2) Lengan bagian bawah
Jangkauan untuk lengan bagian bawah (lower arm) dikembangkan
berdasarkan penelitian Grandjean dan Tichauer. Skornya sebagai berikut:
a) 1 untuk fleksi 60-100°
b) 2 untuk fleksi kurang dari 60° atau lebih dari 100°
Jika lengan bagian bawah bekerja melewati garis tengah (midline) tubuh
atau berada di luar sisi tubuh, maka skor postur di atas ditambahkan 1.
Gambar 2.2 Standar RULA untuk postur lengan bagian bawah
3) Pergelangan tangan
Panduan untuk pergelangan tangan (wrist) yang diterbitkan oleh Health
and Safety Executive digunakan untuk menghasilkan skor postur berikut:
a) 1 jika pada posisi netral
b) 2 untuk fleksi dan ekstensi 0-15°
c) 3 untuk fleksi dan ekstensi lebih dari 15°
Jika pergelangan tangan dalam gerakan ulnar maupun radial, maka skor
postur ditambahkan 1.
Gambar 2.3 Standar RULA untuk postur pergelangan tangan
II-10
Pronasi dan supinasi pergelangan tangan ditentukan menyertai postur
netral. Skornya sebagai berikut :
a) 1 jika pergelangan tangan berputar dalam jangkauan tengah
b) 2 jika pergelangan tangan berputar dekat atau pada akhir jangkauan
b. Grup B
1) Leher
Jangkauan postur untuk leher (neck) didasarkan pada studi yang
dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom et al. Skor dan jangkauannya sebagai
berikut:
a) 1 untuk fleksi 0-10°
b) 2 untuk fleksi 10-20°
c) 3 untuk fleksi lebih dari 20°
d) 4 bila dalam posisi ekstensi
Jika leher berputar, skor postur ditambahkan 1. Jika leher bergerak ke
samping, skor postur ditambahkan 1.
Gambar 2.4 Standar RULA untuk postur leher
2) Jangkauan gerakan punggung (trunk) dikembangkan dari Drury,
Grandjean dan Grandjean et al. Skor posturnya sebagai berikut :
a) 1 jika duduk dan tersangga baik dengan sudut antara pinggul dan
punggung 90° atau lebih.
b) 2 untuk fleksi 0-20°
II-11
c) 3 untuk fleksi 20-60°
d) 4 untuk fleksi lebih dari 60°
Jika punggung memuntir, maka skor postur ditambahkan 1. Jika
punggung melentur ke samping, maka skor postur ditambahkan 1.
Gambar 2.5 Standar RULA untuk postur punggung
3) Skor postur kaki (legs) ditentukan sebagai berikut :
a) 1 jika kaki dan telapak kaki tersangga dengan baik ketika duduk
dengan berat yang seimbang.
b) 1 jika berdiri dengan berat tubuh terdistribusi secara merata pada
kedua kaki, dengan ruang untuk mengganti posisi.
c) 2 jika kaki dan telapak kaki tidak tersangga atau berat tidak merata
seimbang.
2. Pengembangan sistem skor untuk pengelompokan bagian tubuh.
Sebuah skor tunggal dibutuhkan dari Grup A dan B yang dapat mewakili
tingkat pembebanan postur dari sistem muskuloskeletal kaitannya dengan
kombinasi postur bagian tubuh. Rekaman video yang dihasilkan dari postur Grup A
yang meliputi lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran
pergelangan tangan diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur.
Kemudian skor tersebut dimasukkan dalam tabel A untuk memperoleh skor
A.Rekaman video yang dihasilkan dari postur Grup B yaitu leher, punggung dan
kaki diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur. Kemudian skor
tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk memperoleh skor B. Sistem penilaian
II-12
dilanjutkan dengan melibatkan otot (mucle) dan tenaga (force) yang digunakan.
Skor yang melibatkan penggunaan otot dikembangkan berdasarkan penelitian
Drury, yaitu tambahkan (+) 1 jika postur statis (dipertahankan dalam waktu 1
menit) atau penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit.
Skor untuk penggunaan tenaga (beban) dikembangkan berdasarkan penelitian
Putz-Anderson dan Stevenson dan Baida, yaitu sebagai berikut:
a) Jika pembebanan sesekali atau tenaga kurang dari 2 Kg dan ditahan maka
skor tidak ditambah.
b) Tambahkan (+) 1 jika beban sesekali antara 2 – 10 Kg.
c) Tambahkan (+) 2 jika beban 2 – 10 Kg bersifat statis atau berulang-ulang
atau beban sesekali namun lebih dari 10 Kg.
d) Tambahkan (+) 3 jika beban (tenaga) lebih dari 10 Kg dialami secara statis
atau berulang dan atau jika pembebanan seberapapun besarnya dialami
dengan sentakan cepat.
Skor penggunaan otot (muscle) dan skor tenaga (force) pada Grup tubuh
bagian A dan B diukur dan dicatat dalam kotak-kotak yang tersedia kemudian
ditambahkan dengan skor yang berasal dari tabel A dan B seperti pada lembar skor
berikut :
Gambar 2.6 Diagram penilaian RULA
II-13
Hasil penjumlahan skor penggunaan otot (muscle) dan tenaga (force) dengan
Skor Postur A menghasilkan Skor C. Sedangkan penjumlahan dengan Skor Postur
B menghasilkan Skor D.
3. Pengembangan Grand Score dan Action List
Tahap ini bertujuan untuk menggabungkan Skor C dan Skor D menjadi suatu
grand score tunggal yang dapat memberikan panduan terhadap prioritas
penyelidikan / investigasi berikutnya. Tiap kemungkinan kombinasi Skor C dan
Skor D telah diberikan peringkat, yang disebut grand score dari 1-7 berdasarkan
estimasi resiko cidera yang berkaitan dengan pembebanan musculoskeletal.
Berdasarkan grand score dari Tabel C, tindakan yang akan dilakukan dapat
dibedakan menjadi 4 action level berikut :
a. Action Level 1
Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama tidak dijaga
atau berulang untuk waktu yang lama.
b. Action Level 2
Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan
mungkin saja perubahan diperlukan.
c. Action Level 3
Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan
segera.
d. Action Level 4
Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan sesegera
mungkin (mendesak).
ActionLevel Nilai Tingkat kepentingan Perbaikan
12
3
4
1 atau 23 atau 4
5 atau 6
7
- Tidak Perlu Perbaikan- Diperlukan perbaikan- Implementasi dari perbaikan- Dilakukan perbaikan- Implementasi dan perbaikan dilaksanakan
secepatnya- Dilakukan perbaikan- Implementasikan dan perbaikan mendesak
untuk dilaksanakan
II-14
Tabel 2.1 Action Level
Aplikasi Metode RULA adalah sebagai berikut:
1. Alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh
risiko pekerja untuk terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera,yaitu:
a. Postur
b. Kontraksi otot statis
c. Gerakan repetitive
d. Gaya
2. Menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera. Hal ini
dilakukan dengan membandingkan nilai tugas-tugas yang berbeda yang
dievaluasi menggunakan RULA.
3. Menemukan tindakan yang paling efektif untuk pekerjaan yang memiliki
risiko relatif tinggi. Analisis dapat menentukan kontribusi tiap faktor terhadap
suatu pekerjaan secara keseluruhan dengan cara melalui nilai tiap faktor
risiko.
4. Menemukan sejauh mana penngaruh suatu modifikasi atas pekerjaan.
Perbaikan secara kuantitatif dapat diukur dengan cara membandingkan
penilaian sebelum dan sesudah modifikasi diterapkan.
II-15
Gambar 2.7 RULA Employee Assesment Worksheet
2.4.2 Metode REBA
Sebuah metode dalam bidang ergonomi yang digunakan secara cepat untuk
menilai postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang
pekerja luka-luka yang dialami di tempat kerja dikenal sebagai Musculoskeletal
Disorder (MSDS). MSDS juga didefinisikan sebagai gangguan dan penyakit pada
otot yang telah terbukti atau dihipotesa yang disebabkan dengan pekerjaan. REBA
merupakan suatu metode penelitian untuk penilaian tubuh dengan cepat secara
keseluruhan. Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penilaian
postur punggung, leher, kaki, dan lengan tangan dan pergelangan tangan. Setiap
pergerakan diberi dengan skor yang telah ditetapkan. REBA dikembangkan sebagai
suatu metode untuk menilai postur kerja yang merupakan faktor resiko (risk factor).
Metode ini didesain untuk menilai pekerja dan mengetahui Musculoskeletalyang
kemungkinan dapat menimbulkan gangguan pada anggota tubuh.
II-16
Dalam usaha untuk penilaian 4 (empat) faktor beban eksternal, jumlah
gerakan, kerja otot statis, tenaga/ kekuatan, dan postur, REBA dikembangkan
untuk:
1. Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja yang beresiko
menyebabkan gangguan pada anggota tubuh,
2. Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja,
penggunaan tenaga dan kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan
kelelahan (fatigue) otot,
3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian
ergonomi, yaitu fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.
melalui tahapan–tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney, 2000) :
a. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci
dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini
dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail
(valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data
akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
b. Penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan
hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan
besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung
(batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan
kaki. Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung
(batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas,
lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh
pada masing–masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan
skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B
untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing–masing tabel.
II-17
Langkah-langkah yang diperlukan dalam menerapkan metode REBA, antara lain:
1) Mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja.
2) Menentukan bagian-bagian tubuh yang akan diamati, antara lain batang tubuh,
pergelangan tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah.
3) Penentuan nilai untuk masing-masing postur tubuh dan penentuan
activityscore.
4) Penjumlahan nilai dari masing-masing kategori untuk memperoleh nilai
REBA.
5) Penentuan level resiko dan pengambilan keputusan untuk perbaikan.
6) Membuat desain metode, fasilitas dan lingkungan kerja.
7) Implementasi dan evaluasi desain metode, fasilitas, dan lingkungan kerja.
8) Penilaian ulang dengan menggunakan metode REBA untuk desain baru yang
telah diimplementasikan.
9) Evaluasi perbandingan nilai REBA untuk kondisi sebelum dan setelah
implementasi desain perbaikan.
Keuntungan dari metode REBA, antara lain:
1. Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh dengan
cepat.
2. Menganalisa faktor-faktor resiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.
3. Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja
berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja.
4. Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang
kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan bidang-bidang
geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
II-18
Gambar 2.8 REBA Employee Assesment Worksheet
2.4.3 Metode Owas
Ovako Work Posture Analysis System (OWAS) dimulai pada tahun tujuh
puluhan di perusahaan Ovako Oy Finlandia (sekarang Fundia Wire). Metode ini
dikembangkan oleh Karhu dan kawan-kawannya di Laboratorium Kesehatan Buruh
Finlandia (Institute of Occupational Health). Lembaga ini mengkaji tentang
pengaruh sikap kerja terhadap gangguan kesehatan seperti sakit pada punggung,
leher, bahu, kaki, lengan, dan rematik. Penelitian tersebut memfokuskan hubungan
antara postur kerja dengan berat beban. Metode ini sesuai dengan penelitian tentang
sikap kerja yang mencakup pergerakan tubuh secara keseluruhan (Darmawan dan
Hermawati, 2004). Metode OWAS juga sesuai dengan penelitian yang
mengidentifikasi sikap kerja dinamis yang berbahaya ketika para pekerja sedang
melakukan pekerjaan (Coutney Dkk, 1998). Sehingga dapat dikatakan bahwa
II-19
metode OWAS ini berguna untuk memperbaiki kondisi pekerja dalam bekerja,
sehingga perfomance kerja dapat ditingkatkan terus . Hasil yang diperoleh dari
metode OWAS digunakan untuk merancang metode perbaikan kerja guna
meningkatkan produktifitas. Metode ini dapat diterapkan pada suatu area :
1. Pembangunan stasiun kerja atau sebuah metode kerja, untuk mengurangi
beban gangguan otot (musculoskeletal) agar lebih nyaman dan lebih produktif.
2. Pengukuran ergonomi untuk beban postur
3. Pelayanan kesehatan yang mengalami sakit dalam suatu pekerjaan Prosedur
OWAS dilakukan dengan melakukan observasi untuk mengambil data postur,
beban, fase kerja untuk kemudian dibuat kode berdasarkan data tersebut.
Evaluasi penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang
ada dan selanjutnya dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus
diambil.
Metode ini mengkodekan sikap (postur) kerja pada bagian punggung
(belakang), tangan, kaki, dan berat beban. Setiap postur tubuh tersebut terdiri dari 4
postur bagian belakang, 3 posturlengan, 7 postur kaki, sedangkan berat beban yang
dikerjakan juga dilakukan penilaian mengandung 3 skala poin. Klasifikasi sikap dan
kriteria OWAS tersebut digambarkan seperti gambar di bawah ini:
1. Bagian Belakang (Back)
Membungkuk : Penilaian sikap kerja diklasifikasikan membungkuk jika
terjadi sudut yang terbentuk pada punggung minimal sebesar 20° atau lebih. Begitu
pula sebaliknya jika perubahan sudut kurang dari 20°, maka dinilai tidak
membungkuk. Adapun posisi leher dan kaki tidak termasuk dalam penilaian batang
tubuh (punggung).Berikut ini gambar postur tubuh bagian belakang :
II-20
Gambar 2.9 Postur tubuh bagian belakang (Back)
2. Bagian Lengan (Arms)
Yang dimaksud sebagai lengan adalah dari lengan atas sampai tangan.
Penilaian terhadap posisi lengan yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan.
Gambar 2.10 Postur tubuh bagian lengan (Arms)
3. Bagian Kaki (Legs)
Berikut sikap :
1) Duduk, pada sikap ini adalah duduk dikursi dan semacamnya.
2) Berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus adalah kedua kaki dalam posisi
lurus atau tidak bengkok dimana beban tubuh menumpu kedua kaki.
3) Berdiri bertumpu pada satu kaki lurus adalah beban tubuh bertumpu pada
satu kaki yang lurus (menggunakan saru pusat gravitasi lurus), dan satu
kaki yang lain dalam keadaan menggantung (tidak menyentuh lantai).
II-21
Dalam hal ini kaki yang menggantung untuk menyeimbangkan tubuh dan
bila jari kaki yang menyentuh lantai termasuk sikap ini.
4) Berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk Pada sikap ini
adalah keadaan
5) postur setengah duduk yang yelah umum diketahui yaitu keadaan lutut
ditekuk dan beban tubuh bertumpu pada kedua kaki.
6) Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk Pada sikap ini
dalam keadaan ini berat tubuh bertumpu pada satu kaki dengan lutut
ditekuk (menggunakan pusat gravitasi pada satu kaki dengan lutut
ditekuk).
7) Berlutut pada satu atau kedua lutut, pada sikap ini dalam keadaan satu
atau kedua lutut menempel pada lantai.
8) Berjalan, pada sikap ini adalah gerakan kaki yang dilakukan termasuk
gerakan ke depan, belakang, menyamping, dan naik turun tangga.
Gambar 2.11 Postur tubuh bagian kaki (Legs)
Beban Skor
<10 kg (kurang dari 10 kilogram) 1
<20 kg (lebih dari 10 kilogram dan kurang dari 20 kilogram) 2
>20 kg (lebih dari 20 kilogram) 3
II-22
4. Beban (Load)
Dalam hal ini yang membedakan adalah berat beban yang diterima dalam
satuan kilogram (Kg). Berat beban yang diangkat lebih kecil atau sama
dengan 10 kg lebih besar dari 10 Kg dan lebih kecil atau sama dengan 20 Kg,
lebih besar dari 20 Kg.
Tabel 2.2Skor Berat Beban (Load)
Hasil dari analisa sikap kerja OWAS terdiri dari empat level skala sikap
kerja yang berbahaya bagi para pekerja. Berikut ini merupakan kategori
tindakan kerja OWAS secara keseluruhan, berdasarkan kombinasi klasifikasi
sikap dari punggung, lengan, kaki, dan beban berat :
a. Kategori 1 : Pada sikap ini tidak menimbulkan masalah pada sistem
musculoskeletal dan tidak diperlukan perbaikan.
b. Kategori 2 : Pada sikap ini berbahaya pada sistem musculoskeletal (sikap
kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang signifikan) dan perlu
dilakukan perbaikan di masa yang akan datang.
c. Kategori 3: Pada sikap ini berbahaya bagi sistem musculoskeletal (sikap
kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang sangat signifikan) dan
perlu perbaikan sesegera mungkin.
d. Kategori 4: Pada sikap ini berbahaya bagi sistem musculoskeletal (sikap
ini mengakibatkan resiko yang jelas) dan perlu perbaikan secara langsung
atau saat itu juga. Berikut merupakan contoh tabel untuk menganalisa
pergerakan :
II-23
Tabel 2.3 Kategori Tindakan Kerja OWAS
Tabel di atas menjelaskan mengenai klasifikasi postur-postur kerja ke
dalam kategori tindakan. Sebagai contoh postur kerja dengan kode 2352,
maka postur kerja ini merupakan postur kerja dengan kategori tindakan
dengan derajat perbaikan level 4, yaitu pada sikap ini berbahaya bagi sistem
musculoskeletal (sikap kerja ini mengakibatkan resiko yang jelas). Perlu
perbaikan secara langsung/saat ini.
(http://id.scribd.com, diakses pada 25-03-2013, 16:10)
2.4.4 Metode Niosh
Pada tahun 1981, Nasional Institute for Occupational Safety and Health
(NIOSH) mengidentifikasi adanya problem back injuries yang dipublikasikan
dalam The Work Practises Guide for Manual Lifting (Henry, et al, 1993). Metode
ini untuk mengetahui gaya yang terjadi di punggung (L5S1). Ada 2 metode dalam
NIOSH yaitu:
1. Action Limit (AL) dan Maximum Permissible Limit (MPL)
Rekomendasi NIOSH didasarkan pada perbaikan atas persamaan NIOSH
yang dikeluarkan pada tahun 1981. Persamaan terdahulu dibagi menjadi dua level
batas pembebanan :
II-24
a. Action Limit (AL), yaitu yang memuat batas pembebanan untuk sebagian
besar individu.
b. Maximum Permissible Limit (MPL), yaitu yang memuat batas pembebanan
maksimum dimana di atas limit tersebut makin banyak individu akan
mengalami kecelakaan.
2. RWL (Recommended Weigh Limit).
RWL merupakan persamaan pembebasan yang direkomendasikan oleh
NIOSH (National Institude Ochupational Safety and Health) pada tahun 1991 di
Amerika Serikat. RWL adalah batas beban yang dapat dipindahkan oleh pekerja
industri dalam jangka waktu tertentu (tidak lebih dari 8 jam) tanpa menimbulkan
resiko terjadinya cedera tulang belakang. Persamaan NIOSH berlaku pada keadaan
(Waters, et al: 1994):
1. Beban yang diberikan adalah beban statis, tidak ada penambahan, ataupun
pengurangan beban di tengah-tengah pekerjaan.
2. Beban diangkat dengan kedua tangan.
3. Pengangkatan atau penurunan beban dilakukan dalam jangka waktu maximal
8 jam.
4. Pengangkatan atau penurunan beban tidak boleh dilakukan saat duduk /
berlutut.
5. Tempat kerja tidak sempit.
Persamaan untuk menentukan beban yang direkomendasikan untuk diangkat
seorang pekerja dalam kondisi tertentu menurut NIOSH adalah sebagai berikut
(Waters, et al: 1994):
RWL = LC x HM x VM x DM x AM x FM x CM
LC : (Lifting Constanta) konstanta pembebanan = 23 kg
HM : (Horizontal Multiplier) faktor pengali horizontal = 25/H
VM : (Vertical Multiplier) faktor pengali vertical = 1-0,003[V-75]
II-25
DM : (Distance Multiplier) faktor pengali perpindahan = 0,82+4,5/D
AM : (Asymmetric Multiplier) faktor pengali asimetrik = 1-0,0032A(°)
FM : (Frequency Multiplier) faktor pengali frekuensi
CM : (Coupling Multiplier) faktor pengali kompling (handle)
Catatan:
H : Jarak horizontal posisi tangan yang memegang beban dengan titik pusat tubuh
V : Jarak vertikal posisi tangan yang memegang beban terhadap lantai
D : Jarak perpindahan secara vertical antara tempat asal sanpai tujuan
A : Sudut simetri putaran yang dibentuk antara tangan dan kaki
Perhitungan Lifting Index, untuk mengetahui index pengangkatan yang
tidak mengandung resiko cidera tulang belakang. Lifting indeks merupakan
perbandingan antara berat beban (load target dengan RWL). Lifting index (Li)
merupakan nilai relatif dari tingkat tegangan fisik dalam suatu kegiatan
pengangkatan manual nilai estimasi tingkat tegangan fisik tersebut dinyatakan
sebagai hasil bagi antara nilai beban angkatan dengan nilai RWL, dengan
persamaan:
LI = L/ RWL
Dimana:
LI : Lifting Index
L : Berat Beban
RWL :Recommended Weight Limit
Interpretasi dari nilai LI:
1) LI dapat digunakan untuk memprioritaskan perancangan ulang secara
ergonomis dengan cara mengurutkan pekerjaan berdasarkan besaran LI dan
dapat digunakan untuk mengestimasi besaran relatif dari tekanan fisik suatu
tugas.
2) Tugas-tugas dengan nilai LI > 1.0 mengakibatkan peningkatan risiko cidera
punggung bawah (akibat pengangkatan) pada sebagian pekerja.
II-26
3) RWL dapat digunakan untuk merekomendasikan berat beban yang akan
membuat pekerjaan menjadi lebih aman.
Semua elemen kerja yang telah terhitung LI-nya, diklasifikasi dalam tiga
bagian, yaitu:
1) LI < 1 : Low Stressful Task. Pekerja relatif aman
2) LI ≤ 1 :Moderate Stressful Task. Mempunyai resiko nyeri pinggang
(low back pain)
3) LI ≥ 3 : High Stressful Task. Mempunyai resiko cidera pinggang
(low back injury)
Standart metode RWL adalah LI ≤ 1, maka aktivitas tersebut tidak
mengandung resikocidera tulang belakang sedangkan jika LI >1, maka aktivitas
tersebut mengandung resiko cidera tulang belakang. Kelemahan metode ini adalah
postur kerja tidak diperhatikan secara detail hanya gaya dan beban yang dianalisa,
untuk penggunaan tenaga otot (statis/repetitif) dan postur leher belum dianalisa.
top related