bab ii diskursus humanisme a. humanisme sebagai peta …digilib.uinsby.ac.id/1220/5/bab 2.pdf ·...
Post on 15-Oct-2019
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB II
DISKURSUS HUMANISME
A. Humanisme Sebagai Peta Awal
1. Pengertian Humanisme
Kata humanisme berasal dari bahasa Inggris, humanism, yang berarti
kemanusiaan.1 Kata humanism dan derivasinya yang digunakan dalam
bahasa Inggris adalah terjemahan dari kata umanista (Latin) dan
umanesimo (Italia).2 Dalam The Encyclopaedia Britannica, disebutkan
bahwa kata humanism berasal dari bahasa Latin, humanus atau human
dalam bahasa Inggris. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
humanisme diartikan sebagai: Pertama, paham atau aliran yang bertujuan
menghidupkan rasa kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup
yang baik. Kedua, aliran yang menganggap manusia sebagai obyek studi
yang terpenting. Ketiga, aliran zaman Renaisans yang menjadikan sastra
klasik sebagai dasar keseluruhan peradaban manusia.3 Secara umum kata
ini digunakan untuk setiap sistem pemikiran atau aksi yang memberikan
perhatian utama terhadap hubungan antara manusia dengan kekuatan
supranatural dan hal-hal yang abstrak.4
1. James Michael Weiss, “Humanism”, dalam Hans J. Hillerbrand (ed). The Oxford Encyclopedia
of The Reformation, Vol.2 (New York, Oxford: Oxford University Press, 1996), 264-267. 2. Ibid. 3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 361. 4. The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13, (New York: The Encyclopaedia Britannica, Inc., 1911),
872.
19
Istilah humanisme baru digunakan pada zaman modern. Menurut
Remigio Sabbadini, kata itu pertama kali digunakan dalam bahasa Latin
untuk merujuk para pemikir, filsuf, ilmuwan, dan seniman yang hidup
pada masa-masa awal zaman kelahiran kembali (renaissance).5
Pengertian lain dari humanisme ialah sebuah sistem yang memusatkan
perhatian kepada kebutuhan umum manusia dan mencari jalan untuk
memecahkan permasalahan manusia yang lebih didasarkan pada akal
daripada keimanan kepada Tuhan.6
Ali Shari‟ati mendefinisikan humanisme sebagai sebuah aliran filsafat
yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya ialah untuk
keselamatan dan kesempurnaan manusia. Ia memandang manusia sebagai
makhluk mulia dan memiliki prinsip-prinsip yang didasarkan atas
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok.7
Pengertian humanisme ini dipahami sesuai dengan kecenderungan dari
pemahaman masing-masing kelompok, dengan cara pandang dan
interpretasi masing-masing yang sesuai dengan paradigma mereka. Ia bisa
berkarakter dari tradisi Kristen, Yahudi, Muslim, Hindu, Budha, atau
bahkan ateis sekalipun. Dalam hal ini, seseorang yang menganut salah satu
dari hal tersebut, ia dapat menjadi humanis atau bahkan anti-humanis
5. Remigio Sabbadini, dalam Augusto Campana, “The Origin of the Word „Humanist”, Journal of
the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 9, (1946), 60. 6. A. S. Hornby, Oxford Learner’s Dictionary of Current English (Oxford and New York: Oxford
University Press, 1995), 582. 7. Ali Shari‟ati, Humanisme Antara Islam dan MAdzhab Barat, terj. Afif Muhammad, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), 39.
20
sekaligus, tergantung bagaimana seseorang mengkaitkan keimanannya
dengan berbagai persoalan yang ada.
Namun, meskipun dipahami dengan cara yang berbeda akan tetapi
secara substantif, humanisme menempatkan harga diri manusia sebagai hal
yang mendasar dalam bentuk pengakuan yang nyata terhadap harkat dan
martabat manusia secara individual, yang akhirnya ditujukan terhadap
pengembangan dan pemberdayaan segala potensi manusia.
2. Sejarah Humanisme
Humanisme memiliki akar sejarah yang panjang dan telah tumbuh
selama berabad-abad. Dimulai dari Sokrates yang mengarahkan
perbincangan filsafatnya pada kesadaran etik, yaitu bagaimana cara
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial. Pandangan Sokrates ini dianggap sebagai awal perhatian
humanisme yang membentuk sejarah pemikian manusia dan kebudayaan
Eropa selanjutnya.8
Kemudian di Barat, gerakan humanisme sebagai gerakan filsafat dan
literatur dimulai pada abad ke-14 M di Italia yang selanjutnya menjalar ke
negara-negara Eropa lainnya. Gerakan humanisme ini mengalami puncak
ekspresinya pada pertangahan abad ke-15, ketika sekolah-sekolah dan
8. John Avery dan Hasan Askari, Menuju Humanisme Spiritual, terj. Afif Hutoro, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1995), 6.
21
perguruan tinggi di Eropa mewajibkan mata kuliah studia humanitas yang
terdiri dari tatabahasa, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral.9
Humanisme ketika itu merupakan gerakan untuk menghidupkan ilmu-
ilmu kemanusiaan atau biasa disebut humaniora. Gerakan untuk
menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karya
Yunani, yang berusaha melampaui semangat abad pertengahan yang lebih
banyak berfokus pada teologi dan metafisika.10
Karya-karya sastra yang
tak mendapatkan perhatian selama „abad kegelapan‟ itu dihidupkan dan
digeluti dengan penuh gelora. Surat-surat Cicero dan naskah-naskah pidato
yang tak pernah digubris para filsuf Kristen sebelumnya diterbitkan
kembali dan dipelajari secara serius.11
Pada zaman Yunani Kuno,
pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas dan ketentuan ini hanya
dipandang layak untuk manusia karena ia berbeda dengan binatang. Para
pemikir humanis berusaha mengembalikan manusia kepada spirit
kebebasan yang pernah dimilikinya di era klasik dan musnah pada Abad
Pertengahan.
Sejarah mencatat bahwa Abad Pertengahan dianggap sebagai Abad
Kegelapan (Dark Ages) dalam sejarah perkembangan peradaban Barat
(Eropa), yang ditandai dengan dominasi gereja pada semua aspek
kehidupan. Sebelum abad ke-15, bangsa Eropa hidup dalam era kegelapan
9. Askari, Menuju Humanisme Spiritual, 7.
10. Encyclopedia of Philosophy, ed. Donald M. Borchert, (New York: Thomas Gale, 2006), 477.
11. Ibid., 479.
22
Istilah „medieval‟ yang digunakan untuk merujuk zaman itu tak hanya
diartikan sebagai „abad pertengahan‟ tapi juga dimaknai sebagai mentalitas
kolot di mana iman dan dogma menguasai manusia.12
Hal ini bertolak belakang dengan peradaban Islam yang mencapai
puncak keemasan terutama peradaban Islam yang berada di Barat, yakni di
Andalusia (Spanyol). Tidak mengherankan jika banyak kaum terpelajar
Kristen Barat yang belajar di berbagai perguruan tinggi Islam, terutama di
Cordova. Disinilah terjadinya kontak langsung antara peradaban Islam dan
Barat selain melalui Perang Salib yang berlangsung kurang lebih selama
dua abad.
Kebebasan merupakan salah satu wacana penting yang menjadi pusat
perhatian kaum humanis. Pada Abad Pertengahan, bentuk kebebasan
berseberangan dengan cara berpikir pihak gereja dan prinsip-prinsip feodal
para penguasa. Keberadaan manusia di dunia pada dasarnya untuk
melayani Tuhan. Tugas penting mereka di dunia ini adalah menyiapkan
diri sebaik-baiknya (dengan berbuat amal saleh) demi mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di akhirat nanti. Begitu sentralnya peran Tuhan,
manusia sesungguhnya tidak memiliki pilihan. Semua nasib, masa depan,
dan peruntungan mereka sudah ditulis dan ditakdirkan sejak sebelum lahir.
Manusia juga tidak memiliki kebebasan, karena selain dikekang oleh
12
. John R. Hale, Zaman Renaisans, terj. Suwargono Wirono (Jakarta: Tiara Pustaka, 1984), 13.
23
penguasa politik yang semena-mena, mereka juga diikat oleh teosentrisme
lewat kuasa agama dan para agamawan Gereja.
Humanisme menjadi sebuah solusi untuk menghadapi intimidasi dan
despotisme para pemuka gereja di Abad Pertengahan. Humanisme
bertekad mengembalikan kebebasan yang telah dibelenggu total oleh para
elit agama yang ada di gereja.
Disamping itu, humanisme menjadi sebuah bentuk protes terhadap
elitisme filsafat yang hanya peduli pada tema-tema abstrak yang tak punya
dampak langsung kepada masyarakat. Kaum humanis mengkritik para
filsuf yang cenderung abai terhadap persoalan-persoalan nyata yang
dihadapi manusia. Bagi mereka, tugas ilmuwan bukan hanya duduk manis
di menara gading, tapi juga harus memiliki semangat aktifisme. Intelektual
sejati adalah orang yang bisa menggabungkan antara kontemplasi dan aksi.
Pada awal kebangkitannya, kaum humanis berjuang untuk
menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dan bumi, akan tetapi pada
saat yang sama, mereka mempraktikkan ketidakadilan dengan memberikan
secara ekstrim, otoritas total terhadap diri manusia, dengan menegaskan
sentralitas manusia, bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bisa
mengatur, mengontrol, dan menentukan nasibnya sendiri. Kaum humanis
menolak segala bentuk supernatural dan menganggapnya sebagai mitos.
Dalam pandangan mereka, manusia adalah produk evolusi alamiah, akal
pikiran tak bisa dipisah-pisahkan dari fungsi otak, dan tidak ada kelanjutan
24
kesadaran setelah manusia mati. Manusia memiliki kekuatan dan potensi
untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri, dengan terutama
berpegang pada akal dan metode ilmiah yang digunakan secara berani dan
bertanggung jawab.
Kaum humanis juga menolak segala bentuk determinisme dan
fatalisme. Manusia adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja yang
dia suka. Manusia adalah penentu nasibnya sendiri.13
Pada 1933, sejumlah
intelektual, sarjana, dan aktivis di Amerika membuat sebuah pernyataan
bersama yang dikenal sebagai “Manifesto Kaum Humanis” (Humanist
Manifesto). Manifesto yang berisi 15 butir ini kemudian diterbitkan oleh
jurnal The New Humanist.14
Menurut Ali Shari‟ati, teori humanisme yang berkembang di barat ini
dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno
yang memandang bahwa, antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan
alam manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai
muncul kebencian dan kedengkian antara keduanya.15
Para dewa adalah
penguasa yang memiliki kekuatan absolut dan berlaku sewenang-wenang
terhadap manusia yang terbelenggu oleh kebodohan dan kelemahan. Di
sisi lainnya manusia selalu berusaha memberontak dari belenggu para
13
. Corliss Lamont. The Philosophy of Humanism. (New York: Humanist Press, 1997), 13-14. 14
. The New Humanist, (Vol. VI, No. 3, 1933). Pada 1973, Manifesto ini diperbaharui dan
ditambahkan beberapa butir baru yang lebih detil.
Manifesto ini diterbitkan dalam jurnal The Humanist (September/October 1973). 15
. Ali Shari‟ati, Humanisme Antara Islam dan MAdzhab Barat, terj. Afif Muhammad, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), 40.
25
dewa. Untuk bisa bebas dan merdeka, manusia harus merebut kekuasaan
para dewa, dan selanjutnya menggeser tahta para dewa, sehingga mereka
bebas menentukan nasib dan kehendaknya sendiri.
3. Tipologi Humanisme
Klaim sebagai kelompok humanis dapat muncul di berbagai
kelompok, dengan karakteristik masing-masing sesuai dengan latar
belakang dan paradigma berpikir kelompok tersebut. Meski demikian
secara umum, humanisme dapat dikategorikan kedalam dua kelompok,
yakni humanisme yang bercorak ateis, yang menafikan unsur-unsur
supranatural dalam kehidupan atau sekuler, dan humanisme yang tetap
mengakui keberadaan Tuhan atau humanisme religius.
Humanisme sekuler, sebagaimana yang diutarakan oleh Anthony
Flew, ialah humanisme yang menolak seluruh pandangan religius dan
menegaskan bahwa manusia secara eksklusif hanya berhubungan dengan
yang ada di dunia ini. Sedangkan humanisme religius, merupakan
humanisme intelektual yang dicirikan oleh budaya dan masih
mempercayai otoritas supranatural. Renaisans termasuk kedalam
kelompok ini, khususnya Kristen dan Katolik Romawi.16
1. Humanisme Sekuler
Humanisme sekuler timbul sejak munculnya gerakan Renaisans di
Eropa, meskipun embrionya dapat ditelusuri dalam berbagai peradaban
16
. Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, (London: Capuye Place, 1979) 142.
26
umat manusia jauh sebelum itu. Seperti pada pemikiran para filosof,
ilmuwan dan penyair Yunani.
Pada abad Pertengahan, humanisme di Eropa menjadi tidak berdaya
karena dominasi gereja dalam bidang spiritual dan kehidupan duniawi
manusia begitu dominan. Akibat dari dominasi ini, manusia menjadi
kehilangan kepercayaan atas kemampuan dirinya sendiri untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Humanisme sekuler mengemukakan sepuluh pokok poin sebagai
deklarasi mereka, sebagai berikut:17
1. Humanisme sekuler atau bisa juga mereka sebut Humanisme Sekuler
Demokratik punya komitmen kepada penyelidikan bebas. Penyelidikan
bebas adalah manifestasi dari pemikiran bebas. Para humanis sekuler
melawan segala macam tirani atas pikiran manusia, dari manapun
arahnya, termasuk perlawanan mereka terhadap intervensi wahyu,
ideologi dan segala macam institusi baik swasta maupun Negara. Pada
intinya mereka ingin memiliki kebebasan mutlak. Premis pokok
mereka tentang penyelidikan bebas ialah kebenaran lebih mungkin
ditentukan manakala peluang tersedia untuk pertukaran bebas dan
pendapat-pendapat yang berlawanan.
2. Humanisme sekuler percaya pada prinsip pemisahan gereja dan
Negara. Karena itu mereka berpendapat, sumpah-sumpah dan doa-doa
17
. Dikutip M. Amin Rais dan A. Syafii Ma‟arif, Orientalisme dan Humanisme Sekuler, Sebuah
Tantangan, (Yoyakarta: Salahuddin Press, !983), 31-35.
27
secara agama pada lembaga-lembaga umum, politik atau pendidikan
sebagai pelanggaran terhadap prinsip ini. Alasan mereka ketika suatu
agama atau ideology telah mapan dalam suatu negara atau diberi posisi
dominan, maka pikiran-pikiran minoritas berada dalam bahaya.
3. Humanisme sekuler mempertahankan secara konsisten apa yang
mereka sebut konsepsi sempurna tentang kebebasan. Bebas bukan saja
dalam kesadaran batin, kepercayaan dan kepentingan-kepentingan
gereja, politik serta ekonomi yang berusaha menindasnya, tetapi juga
kemerdekaan dan kontrol pemerintah yang linguistik. Mereka tampil
ke depan mempertahankan hak-hak asasi manusia (HAM)
sebagaimana yang mereka definisikan.
4. Dalam bidang etik, mereka berprinsip bahwa pertimbangan-
pertimbangan etik haruslah bebas dari agama wahyu dan harus
merupakan suatu wilayah otonom serta penyelidikan bebas. Inilah
yang mereka sebut prinsip etik berdasarkan atas kecerdasan intelegensi
yang kritis. Dengan demikian, di mata mereka orang yang tidak
mendukung suatu doktrin agama bukanlah seorang yang immoral.
Mereka percaya bahwa kepentingan sentral mulai kebahagiaan
manusia adalah disini, dan kini segala prinsip moralitas yang absolut
harus ditolak karena berlawanan dengan prinsip otonomi manusia.
5. Humanisme sekuler menekankan bahwa pendidikan moral harus
diberikan pada anak-anak dan orang-orang muda dewasa, tetapi
28
pendidikan tersebut harus bebas dari doktrinasi agama sampai mereka
cukup matang untuk itu.
6. Para humanis sekuler umumnya bersikap skeptis terhadap klaim-klaim
supranatural. Mereka meragukan pendapat-pendapat tradisional
tentang Tuhan dan ketuhanan. Mereka menolak ketuhanan Yesus
sebagaimana dipercaya oleh umat Kristen dan juga menolak untuk
percaya pada misi ketuhanan Nabi Musa, Nabi Muhammad dan
lainnya.
7. Mereka percaya sepenuhnya pada penggunaan metode penyelidikan
rasional, penggunaan logika dan bukti dalam pengembangan
pengetahuan dalam menguji klaim kebenaran. Dalam pada itu mereka
juga tidak begitu naïf untuk mempercayai bahwa akal dan ilmu akan
dengan mudah saja dapat menyelesaikan segala persoalan manusia,
tetapi bahwa akal dan ilmu dapat memberikan sumbangan besar bagi
pengetahuan dan manfaatnya kepada manusia.
8. Mereka percaya pada metode ilmiah, betapapun itu tidak sempurna,
karena menurut mereka metode ilmiah adalah cara yang paling dapat
dipercaya memahami manusia. Oleh sebab itu, secara prinsip mereka
menentang usaha apapun yang dilakukan untuk menyensor atau
membatasi penelitian ilmiah tanpa suatu alas an yang kuat. Disamping
itu mereka juga menentang penyalahgunaan teknologi yang merusak
lingkungan hidup manusia yang alamiah.
29
9. Humanisme sekuler memprihatinkan kaum fundamentalis agama yang
telah melakukan serangan terhadap teori evolusi. Menurut mereka jika
serangan itu berhasil, maka boleh jadi akan merusak kepercayaan
orang terhadap ilmu. Namun tidak berarti mereka menyatakan bahwa
teori evolusi itu telah mencapai formulasi yang final atau telah menjadi
prinsip ilmu yang sempurna.
10. Dalam pendidikan, mereka berpendapat bahwa pendidikan haruslah
merupakan metode esensial untuk membina masyarakat yang
manusiawi, bebas dan demokratis. Mereka sangat prihatin melihat
perkembangan dan pengaruh media di Amerika Serikat yang sangat
berpengaruh atas pendidikan yang dikuasai oleh apa yang mereka
sebut “pro religious bias”. Sebagai bukti, kata mereka, ialah pendapat-
pendapat para penyebar agama, dukun-dukun agama dan penjaga-
penjaga agama berkeliaran dengan bebas sementara penyebaran
pandangan hidup sekuler tidak diberikan kesempatan untuk didengar
secara wajar. Karena itu, mereka meminta kepada direktur-direktur dan
produser-produser televisi untuk mengubah dan memperbaiki program
mereka. Mereka ingin melancarkan program jangka panjang bagi
pendidikan umum dan pencerahan dengan isi pokok tentang
keterkaitan antara pandangan hidup sekuler dengan kondisi manusia.
Sepuluh pokok pikiran yang dikemukakan para humanis sekuler
tersebut merupakan sikap reaksioner terhadap kekuasan dan dominasi
30
gereja abad Pertengahan yang dianggap telah membelenggu kebebasan
manusia. Karena itu apa yang dikemukakan dalam pokok pikiran tersebut
merupakan sikap oposisi terhadap agama, dan tentu saja tidak hanya
kepada agama Kristen, akan tetapi terhadap semua agama.
Pada 1933, sejumlah intelektual, sarjana, dan aktivis di Amerika
membuat sebuah pernyataan bersama yang dikenal sebagai “Manifesto
Kaum Humanis” (Humanist Manifesto). Manifesto yang berisi 15 butir ini
kemudian diterbitkan oleh jurnal The New Humanist,.18
Humanisme adalah perjuangan untuk menegaskan sentralitas manusia,
bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bisa mengatur, mengontrol,
dan menentukan nasibnya sendiri. Berbeda dari keyakinan abad
pertengahan yang menekankan peran Tuhan, kaum humanis menolak
segala bentuk supernatural dan menganggapnya sebagai mitos. Dalam
pandangan mereka, manusia adalah produk evolusi alamiah, akal pikiran
tak bisa dipisah-pisahkan dari fungsi otak, dan tidak ada kelanjutan
kesadaran setelah manusia mati. Manusia memiliki kekuatan dan potensi
untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri, dengan terutama
berpegang pada akal dan metode ilmiah yang digunakan secara berani dan
bertanggung jawab.
18.
Pada 1973, Manifesto ini diperbaharui dan ditambahkan beberapa butir baru yang lebih detil.
Manifesto ini diterbitkan dalam jurnal The Humanist (September/October 1973).
31
Kaum humanis juga menolak segala bentuk determinisme dan
fatalisme. Manusia adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja yang
dia suka. Manusia adalah penentu nasibnya sendiri
2. Humanisme Religius
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan terjadinya
globalisasi di segala bidang kehidupan termasuk didalamnya kehidupan
intelektual, terdapat kecenderungan baru di kalangan pemikir-pemikir
agama. Terutama bagi mereka yang mendapatkan pendidikan modern di
Barat untuk melihat perpaduan antara humanisme di Barat pada abad
Pertengahan. Pada masa-masa awal kemunculannya, para humanis tidak
mengingkari adanya realitas mutlak atau yang transenden (Tuhan).
Humanisme pada awal kemunculannya bertujuan untuk menyempurnakan
pandangan hidup Kristiani yang dilaksanakan dengan mengaitkan hikmah
klasik dengan wahyu dengan memberikan kepastian kepada gereja, bahwa
sifat-sifat pemikiran klasik itu tidak dapat dihilangkan.
Dalam Islam juga terdapat usaha yang sama yang dilakukan oleh para
filosof muslim yang dengan gigih ingin memadukan antara wahyu dan
akal. Tradisi seperti inilah yang ingin dihidupkan oleh para pemikir agama.
Diantara tokoh-tokoh Islam yang mewakili kecenderungan dan
memfokuskan perhatian pada humanisme religious antara lain Muhammad
Iqbal, „Ali Shari‟ati Muhammad Arkoun dan lainnya. Para pemikir
humanism religius ini menyadari bahwa apa yang dicapai oleh humanisme
32
sekuler sebagaimana yang dapat disaksikan dalam peradaban modern
merupakan prestasi yang luar biasa. Tetapi dibalik kegemilangan capaian
tersebut telah melahirkan kekhawatiran baru akan kelestarian umat
manusia di muka bumi ini. Prestasi yang dicapai peradaban modern
tersebut, membawa manusia kepada kondisi yang semakin individualistik.
dan semakin terasing dengan sesamanya. Kemajuan teknologi yang
mempesona telah melahirkan keberanian serta para pengguna teknologi
yang tidak selamnya digunakan kepada hal-hal yang positif, akan tetapi
juga digunakan pada hal-hal yang justru mengancam kelestarian umat
manusia. Kegemilangan tersebut telah menggiring manusia pada jurang
keterasingan, sekuler dan kering akan nilai-nilai spiritual.
Kesadaran akan pentingnya spiritualitas pada diri manusia muncul
dalam peradaban Barat dewasa ini yang diistilahkan oleh banyak kalangan
sebagai gerakan “New Age”. Yaitu zaman yang ditandai dengan maraknya
perhatian terhadap dunia mistik spiritual.
Kepopuleran gerakan New Age dewasa ini karena telah meyakinkan
banyak kalangan mengenai cara yang paling tepat dalam menyelesaikan
berbagai persoalan individu dan social, yang merupakan bagian dari krisis
kebudayaan Barat, dan krisis epistemologi kemanusiaan tersebut akan
33
selesai apabila orang-orang Barat dapat mencapai apa yang disebut dengan
kesadaran tertinggi (high consciousness).19
Para penggagas humanisme religius ingin tetap melestarikan prestasi
peradaban modern sekaligus menjinakkan capaian-capaian peradaban
tersebut dengan suatu esensi dan agama, yaitu spiritualitas. Humanisme
religius ingin menjembatani antara ekstrimisme peradaban modern yang
dihasilkan oleh humanisme sekuler dengan ekstrimisme agama yang hanya
memusatkan perhatian pada dimensi spiritualitas agama semata.
Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa humanisme religius adalah
humanisme yang didasarkan pada nilai-nilai serta paham ketuhanan atau
paham keagamaan. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia lebih
didasarkan pada penghargaan atas petunjuk yang diberikan Tuhan melalui
tata nilai agama dan wahyu.
Humanisme religius yang kemudian berkembang sebagai paham yang
bernada keagamaan muncul dari kalangan Kristen, Katolik maupun di
kalangan Islam. Sebagai contoh, dapat dilihat penilaian positif tentang
konsep-konsep khusus dalam kemanusiaan, keadilan, bentuk sosial,
toleransi terhadap pihak lain dalam agama khususnya Islam, mempunyai
konotasi yang sangat religius. Kenyataan ganda bahwa Islam tetap
memberikan pandangan teosentrik tentang alam dan menekankan
19. Budi Munawwar Rahman, “New Age: Gagasan-gagasan Mistik Spiritual Dewasa ini” dalam
Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renunngan Religius Islam (Jakarta:
Paramadina, 1996), 46.
34
hubungan yang erat antara bidang spiritual dan material.20
Hal ini
menunjukkan bahwa pandangan alam harus berkaitan dan sejalan dengan
gagasan ketuhanan.
Hal pokok yang membedakan antara humanisme religius dan
humanisme sekuler ialah bahwa humanisme religius mengakui dan
menekankan adanya kehidupan di luar dunia ini. Penghargaan kepada
manusia tidak hanya dianggap dan terhenti sebagai makhluk penghuni
dunia saja, akan tetapi sebagai makhluk yang akan hidup setelah
kehidupan di dunia ini. Manusia menganggap dirinya sebagai makhluk dan
bagian dari ciptaan Ilahi, suatu pandangan yang tidak ditemukan dalam
humanism sekuler. Karena itu, humanisme religius mengakui keagungan
manusia sekaligus meyakini bahwa keagungan yang dimiliki manusia
adalah pemberian dari Tuhan dan harus dimanfaatkan sesuai dengan
kapasitas manusia sebagai khali>fah Allah fi al-ard}.
B. Humanisme, antara Islam dan Barat.
Ada perbedaan mendasar antara gerakan humanisme di dunia Islam
dan di Barat. Di dunia Islam, gerakan humanisme adalah konsekuensi dan
perluasan dari institusi-institusi penyebaran agama, sementara di Barat
(Eropa), humanisme justru merupakan perlawanan dari lembaga-lembaga
semacam itu.
20
. Marcel A Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
33-34.
35
Penggunaan kata „manusia‟ pada humanism menunjukkan karakternya
sendiri yang unik. Humanisme adalah gerakan pemberdayaan peran dan
status manusia yang sebelumnya terpinggirkan.
Humanisme adalah sebuah gerakan untuk melawan semua kondisi
keterkalahan itu. Humanisme adalah upaya untuk mendorong posisi manusia
ke pusat perhatian sambil meminggirkan peran Tuhan dan metafisika yang
sebelumnya sangat dominan. Islam tidak berangkat dari pengalaman seperti
itu. Pada awal-awal sejarahnya, Islam tidak punya persoalan dengan Tuhan
dan metafisika, seperti terjadi di Eropa. Bagi para humanis Muslim, Tuhan
dan metafisika selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan
tema-tema pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Kaum
Muslim juga tak merasakan adanya peminggiran status dan peran manusia
seperti yang dialami kaum humanis di Eropa.
Selain itu, berbeda dari kaum humanis di Eropa, para sarjana Muslim
tidak punya masalah dengan posisi manusia dalam berhadapan dengan Tuhan
maupun kekuasaan. Tuhan dan kekuasaan adalah dua entitas yang selalu
akrab dengan mereka. Ateisme adalah gagasan yang asing bagi para filsuf dan
sarjana Muslim. Begitu juga, melawan pemerintah merupakan sesuatu yang
absurd yang tak pernah terbersit di benak mereka yang sebagian besar hidup
di lingkungan istana. Bagi para filsuf dan ulama ketika itu, kemajuan
pengetahuan bukan dengan cara memusuhi agama dan penguasa, tapi justru
dengan cara mendekati dan memberdayakannya.
36
Mungkin karena perbedaan dalam mempersepsi posisi Tuhan dan
manusia inilah, humanisme dalam Islam berkembang dan memiliki trajektori
yang agak berbeda dari pengalaman Eropa. Kita tahu bahwa gerakan
pembudidayaan ilmu pengetahuan dalam Islam terhenti memasuki abad ke-
12, seiring dengan menangnya kecenderungan fatalis (diwakili kaum
Ash’a>riyah dan Sunnisme). Sementara di Eropa, gerakan humanisme
melahirkan pencerahan dan revolusi industri. Namun, terlepas dari perbedaan
itu, ada satu kesamaan semangat antara humanisme Islam dan Barat, yakni
upaya untuk menekankan pentingnya akal budi dan ilmu pengetahuan.
Selama gerakan humanisme berlangsung di dunia Islam (abad ke-8 hingga
12), berbagai disiplin ilmu pengetahuan baru diciptakan, lembaga-lembaga
ilmiah didirikan, dan lingkar-lingkar budaya dan seni digalakkan. Selama
rentang masa ini, kerajaan Islam begitu antusias mendatangkan ilmuwan-
ilmuwan terbaik untuk dipekerjakan di istana atau di perpustakaan-
perspustakaan kerajaan. Buku-buku asing dari Yunani dan negara lain
didatangkan dan diterjemahkan. Kehidupan akademis dan kesarjanaan
mengalami puncak yang tak pernah diulang lagi dalam sejarah kaum Muslim
yang panjang, baik sebelum maupun sesudahnya.
Manusia dalam Islam, ditempatkan dalam posisi yang amat mulia. Ia
ditempatkan sebagai khalifah di muka bumi. Al-Qur‟an, yang menjadi dasar
pokok dari ajaran-ajaran Islam.
37
Humanisme Islam sebagai humanisme-religius bersumber dari ajaran
Islam. Nurcholish Madjid mencatat 13 dasar humanisme Islam yang
semuanya bertolak dari ikatan manusia terhadap suatu perjanjian primordial
dengan Tuhan yang menurut Iqbal disebut sebagai puncak realitas (the
Ultimate Reality).21
Pengakuan Allah sebagai pusat orientasi hidup manusia
dilakukan sejak awal kehidupannya. Manusia mengakui Allah sebagai
Tuhannya.22
Karena perjanjian itu, setiap manusia terlahir dalam fitrah,
kesucian asal.23
Orientasi ketuhanan itulah yang menurut Shariati harus
dimasukkan dalam jiwa hidup manusia, baik dalam tradisi, adat-istiadat dan
tata krama masyarakat untuk diaplikasikan dalam ideologi materialisme,
sosialisme, dan ekonomisme. Inilah yang membedakan konsep humanisme
Islam dengan Barat.
Konsep humanisme ini didasakan pada pandangan bahwa manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mendapatkan Ru>h Ilahi>.24
Ruh ilahi
sebagai penyebab manusia memiliki akal yang membedakannya dari makhluk
lain. Ruh Ilahi-lah yang menyatu dengan jasad atau fisik manusia membentuk
kesatuan manusia dinyatakan sebagai puncak segala makhluk Allah yang
diciptakan oleh-Nya dalam bentuk sebaik-baiknya ciptaan.25
21
. Seperti dikutip M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of
Other Disciplines and the Modern Renaissnce in Muslims Lands, (Germany: Otto Harraso witz-
Wiesbaden, 1966), jilid 2, h. 1625. 22
. Q.S. al-A‘ra>f/7: 172. 23
. Q.S. al-Ru>m/30: 30. 24
. Q.S. al-Hijr/15: 29 25
. Q.S. al-T{i>n/95: 4.
38
Realitas manusia tersebut menjadi dasar pemikiran humanisme Islam
yang bersifat religius-transendental. Transendensi Tuhan dalam Islam tidak
menjauhkan rahmat dan inayah-Nya dari manusia. Tuhan dalam konsepsi
Islam itu tidak terisolir, tapi justru bisa dihubungi. Allah selalu berbuat
memenuhi kebutuhan manusia.26
Nilai kemanusiaan manusia ditentukan jiwanya, yaitu penyucian diri
sehingga tidak menuruti keinginan nafsu jahat.27
Menurut Machasin, badan
manusia sebagai tempat melaksanakan maksud jiwanya dalam kehidupan.
Jiwa manusia harus mampu membebaskan badannya untuk bisa kembali
kepada Tuhan.28
Hubungan kemanusiaan yang baik dapat terwujud manakala
manusia mampu membebaskan dirinya dari tawanan orang lain dan bisa
meniadakan perbudakan pada dirinya sendiri. Caranya adalah manusia
disuruh berperilaku seperti akhlak yang dimiliki Allah, yaitu mengamalkan
sifat-sifat-Nya yang terformulasi dalam al-asma>’ al-h}usna> (nama-nama yang
bagus).
Akhlak bukanlah sesuatu yang kita “pakaikan” pada diri kita. Akhlak
adalah sifat Allah yang kita “serap” dan kemudian mengubah kita secara
ontologis. Setiap kali kita menyerap asma (sifat) Allah, esensi kemanusiaan
kita berubah sehingga mengalami tranformasi. Penyerapan sifat Allah akan
mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa sehingga memunculkan
26
. Q.S. al-Rahma>n/55: 29. 27
. Q.S. al-Syams/91: 9-10 28
. Machasin, ‚The Concept of Human Being in Islam‛, International Seminar on Islam and
Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity, IAIN Walisongo
Seamrang, 5-8 November 2000, 7.
39
kebenaran dalam berpikir, keteguhan dalam bersikap,dan kebaikan dalam
berperilaku (akhlak).
Unsur teosentrisme dalam humanisme Islam tersebut berupaya
membentuk manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan menjadi khali>fah Alla>h
fi> al-ard sebagai bukti kemuliaan manusia. Karena kemuliaan itu, Mutahhari
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-
duniawi.29
Kemuliaan manusia dalam kajian Islam diwujudkan dengan nilai-
nilai moral yang abadi dan asli tentang fitrah kebaikan yang suci dan asas
manusia yang kreatif dan luhur.
Dengan demikian, humanisme Islam memiliki dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Humanisme ini bertolak dari faham teoantroposentrisme.
Dimensi vertikal (h}ablun min Alla>h) berupa hubungan baik kepada Allah
dengan cara mengabdi pada kekuasaan tertinggi untuk membangun hati
yang baik guna mencegah kesombongan. Dimensi vertikal ini mengharuskan
manusia mengabdi kepada Allah sedangkan dimensi horizontal (h}ablun min
al-na>s) berupa hubungan baik kepada sesama manusia dan alam semesta
sehingga muncul nilai keadilan, kasih sayang, dan nilai lain sebagai akhlak
mulia. Itulah sebabnya akhlak menjadi inti ajaran humanisme Islam.
Humanisme Islam adalah jalan tengah, yaitu harmonisasi antara
dimensi material dan dimensi spiritual, dimensi fisik dan psikis, dimensi
dunia dan akhirat. Melupakan kehidupan duniawi itu tidak menonjolkan
29
. Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan
1992), 133.
40
materi tetapi menghancurkan diri sehingga menjadi miskin dan bodoh. Hal ini
merupakan tindakan dehumanis. Dimensi spiritual menjadi pengendali nafsu
manusia untuk tidak berpikir, bersikap, dan berbuat yang menghancurkan
harkat dan martabat manusia. Dari sinilah ditentukan nilai-nilai humanisme
dalam Islam.
C. Nilai-Nilai Humanisme dalam Islam
Nilai-nilai kemanusiaan dalam humanisme Islam memiliki kesamaan
dengan humanisme Barat karena sumbernya memang sama. Akan tetapi
menurut Moussa, Humanisme Barat itu berutang budi terhadap prinsip
kebebasan (liberty), persaudaraan (fraternity), dan persamaan (equality)
dalam Islam.30
Lebih dari itu, Iqbal menyatakan ketiga prinsip tersebut
merupakan inti ajaran Islam. Dalam bukunya, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, dinyatakan bahwa intisari tauhid adalah
persamaan, solidaritas, dan kebebasan.31
Konsep tauhid berimplikasi kepada
upaya mewujudkan persamaan. Adanya persamaan itu akan menumbuhkan
solidaritas atau persaudaraan. Selanjutnya, solidaritas menuntut pemberian
kebebasan kepada manusia dalam hidupnya. Kebebasan, persudaraan, dan
persamaan inilah yang menjadi nilai humanisme Islam.
Nilai-nilai humanisme dalam Islam dapat ditemukan sejak awal
datangnya Islam, tepatnya ketika Nabi Muhammad mengeluarkan Piagam
30
. Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It, (Cairo: The Supreme Council
for Islamic Affairs, 1379 H), 55. 31
. Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Asyraf
Publication, 1971), 154.
41
Madinah. Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah yang terdiri 47
point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara
Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman
perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas
yang hidup bersama-sama di Madinah.32
Adapun ajaran pokok dalam Piagam Madinah itu adalah: Pertama,
interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam maupun non
Muslim. Kedua, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Ketiga, membela mereka yang teraniaya. Keempat, saling menasihati. Dan
kelima menghormati kebebasan beragama. Satu dasar itu yang telah
diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara
untuk masyarakat majemuk di Madinah. Tentunya kehidupan Madinah yang
sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia tersebut, terlampau modern
untuk ukuran zaman itu.
Nilai-nilai humanisme yang lebih spesifik lagi dapat ditemukan dalam
sebuah deklarasi yang dihasilkan dalam sebuah konferensi Islam ke-19 yang
diadakan di Cairo.33
Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia (The
Cairo Declaration on Human Rights in Islam) ini memuat ketentuan HAM
yakni Hak Persamaan dan Kebebasan. Hak Hidup. Hak Perlindungan Diri.
Hak Kehormatan Pribadi. Hak Keluarga. Hak Keseteraan Wanita dan Pria.
32
. Husein Haikal, Si>rah Nabawiyyah, (Kairo: Maktabah al-‘Arabiyyah, 1960), 57. 33
. The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of Peace, Interdependence
and Development), held in Cairo, Arab Republic of Egypt, from 9-14 Muharram 1411H (31 July
to 5 August 1990)
42
Hak Anak dari Orangtua. Hak Mendapatkan Pendidikan. Hak Kebebasan
Beragama. Hak Kebebasan Mencari Suaka. Hak Memperoleh Pekerjaan. Hak
Memperoleh Perlakuan yang Sama. Hak Kepemilikan. Dan Hak Tahanan.
Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun deklarasi
Cairo, betapa besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak
Islam ada sehingga Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama,
suku, budaya, strata sosial dan sebagainya.
top related