bab ii landasan teori a. penelitian...
Post on 10-Nov-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) diperoleh hasil
bahwa komposisi belanja langsung terus menurun atau belum sesuai dengan
pengharapan pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan tersebut. Faktor
yang menyebabkan ketidak sesuaian antara kejadian yang dilapangan dengan
teori yang ada ialah terlalu besarnya belanja yang dikeluarkan untuk gaji
pegawai.
Saidah (2011) dalam penelitianya diperoleh hasil bahwa variabel yang
signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah variabel belanja fungsi
pendidikan dan fungsi kesehatan (sebagai pendekatan investasi pemerintah),
serta belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya (sebagai pendekatan
konsumsi pemerintah). Variabel belanja fungsi ekonomi dan angkatan kerja
tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi..
Wibisana (2014) diperoleh hasil bahwa belanja tak langsung dan
belanja langsung memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa semakain tinggi anggaran belanja tidak
langsung dan belanja langsung, maka semakin besar pertumbuhan ekonomi dan
sebaliknya semakin kecil anggaran belanja tidak langsung dan belanja
8
langsung maka pertumbuhan ekonomi juga akan semakin kecil. Pada umumnya
pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan saat
ini, penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2013) hanya sebatas analisis
deskriptif dan hanya pada Kabupaten Humbang Hasundutan, sedangkan
penelitian yang dilakukan saat ini selain menggunakan analisis deskriptif juga
menguji hipotesis pengaruh antar variabel. Selain itu jumlah penelitian atau
sampel penelitian jauh lebih besar sehingga dapat mempresentasikan gambaran
suatu daerah.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Saidah (2011) menguji pada
variabel dari belanja daerah menurut fungsi sedangkan penelitian yang
dilakukan saat ini menguji variabel belanja daerah menurut kelompok jenis
belanja. Dan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Wibisana (2014),
sampel yang digunakan hanya sebatas Provinsi Jawa Timur sedangkan
penelitian saat ini dengan sampel seluruh populasi Kabupaten/Kota yang ada di
Provinsi Kalimantan Barat, dan adanya perbedaan alat analisis dengan
menggunakan Panel Data.
B. Tinjauan Pustaka
1. Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah.
Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli
9
barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut
(Mangkoesoebroto, 1994). Pengeluaran pemerintah mempunyai dasar teori
yang dapat dilihat dari identitas keseimbangan pendapatan nasional yaitu Y
= C + I + G + (X-M) yang merupakan sumber legitimasi pandangan kaum
Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
Dari persamaan diatas dapat ditelaah bahwa kenaikan atau penurunan
pengeluaran pemerintah akan menaikan atau menurunkan pendapatan
nasional. Banyak pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan
pemerintah dalam mengatur pengeluarannya. Pemerintah tidak cukup hanya
meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya. Tetapi juga
harus memperhitungkan sasaran antara yang akan menikmati kebijaksanaan
tersebut. Memperbesar pengeluaran dengan tujuan semata-mata untuk
meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas kesempatan kerja
adalah tidak memadai. Melainkan harus diperhitungkan siapa yang akan
terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Pemerintah pun perlu
menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak
melemahkan kegiatan pihak swasta. (Dumairy, 1997).
a. Musgrave dan Rostow
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran
Pemerintah, dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahapan-
tahapan pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan
10
tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, menurut mereka
rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relatif besar.
Hal ini dikarenakan pada tahap ini persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar sehingga pemerintah harus menyediakan
berbagai sarana dan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana
transportasi dan sebagainya.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah
tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas.
Namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin
membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh
karena peranan swasta yang semakin besar ini banyak menimbulkan
kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan
barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas
yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi
menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit.
Pada tahap lanjut, Rostow berpendapat bahwa pembangunan terjadi
peralihan aktivitas pemerintah dari penyediaan prasarana ekonomi ke
pengeluaran untuk layanan sosial seperti program kesejahteraan hari tua,
program pendidikan, program pelayanan kesehatan masyarakat dan
sebagainya. Sementara itu, Dalam satu proses pembangunan menurut
Musgrave, rasio investasi swasta terhadap GNP semakin besar. Tetapi
rasio investasi pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil.
11
b. Teori Adolf Wagner ( Hukum Wagner )
Pengamatan empiris yang dilakukan oleh Adolf Wagner terhadap
negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke 19
menunjukan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung
semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran
pemerintah terhadap PDB dengan mengemukakan suatu teori mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam
persentase terhadap PDB. Wagner menyatakan bahwa dalam suatu
perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama disebabkan
karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
c. Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori
mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Peacock
dan Wiseman mengemukakan pendapat lain dalam menerangkan perilaku
perkembangan pemerintah. Mereka mendasarkannya pada suatu analisis
penerimaan pengeluaran pemerintah. Pemerintah selalu berusaha
memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan memperbesar
penerimaan dari pajak. Padahal masyarakat tidak menyukai pembayaran
pajak yang besar. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada
suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak,
yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya
12
pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah
membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga
mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar
pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk
menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Menurut Peacock
dan Wiseman pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak
semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan
meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah
juga semakin meningkat.
Jadi dalam keadaan normal, kenaikan PDB menyebabkan kenaikan
penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal
jadi terganggu katakanlah karena perang atau eksternalitas lain, maka
pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk
mengatasi gangguan tersebut. Konsekuensinya timbul tuntutan untuk
memperoleh penerimaan pajak lebih besar. Pungutan pajak yang lebih
besar menyebabkan dana swasta untuk berinvestasi dan modal kerja
menjadi berkurang. Efek ini disebut efek penggantian (displacement
effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta
dialihkan pada aktivitas pemerintah.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, APBD adalah
rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
13
Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun
anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan
Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah
bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian
pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang
ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Menurut Mardiasmo (2002), “APBD merupakan instrumen
kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah”. Sebagai instrumen
kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas. Anggaran daerah digunakan
sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, otorisasi
pengeluaran di masa-masa yang akan datang, alat untuk membantu
mengambil keputusan dan perencanaan pembangunan, alat untuk
memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja.
Struktur APBD dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
14
Gambar. 2.1. Struktur APBD
APBD
Pendapatan Daerah Belanja Daerah Pembiayaan Daerah
PAD Belanja Tidak
Langsung Penerimaan Pembiayaan
1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah 3. Hasil penjualan
kekayaan daerah yg dipisahkan
4. Lain-lain PAD yg sah.
Dana Perimbangan
1. DAU 2. DBH 3. DAK
1. Belanja Pegawai
2. Bunga 3. Subsidi 4. Hibah 5. Bantuan Sosial 6. Belanja Bagi
Hasil 7. Bantuan
Keuangan 8. Belanja Tidak
Terduga
Belanja
Langsung
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang dan Jasa
3. Belanja Modal
1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun sebelumnya (SiLPA)
2. Pencairan dana cadangan 3. Hasil penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan 4. Penerimaan pinjaman daerah 5. Penerimaan kembali
pemberi pinjaman 6. Penerimaan piutang daerah
1. Hibah tidak mengikat 2. Dana darurat dari
pemerintah 3. Dana bagi hasil pajak
dari provinsi ke kab/kota 4. Dana penyesuaian dan
dana otonomi khusus 5. Bantuan keuangan dari
provinsi atau daerah lainya
Lain-Lain Pendapatan
Daerah yg Sah
Pengeluaran Pembiayaan
1. Pembentukan dana cadangan 2. Penyertaan modal (investasi)
pemerintah 3. Pembayaran hutang pada
daerah 4. Pemberian pinjaman
15
3. Belanja Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang
bersangkutan. Sedangkan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa Belanja daerah dipergunakan
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja
penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya
memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum
yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam
pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah “pengeluaran yang
dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut
Ahmad Yani (2002),“belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari
rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang
16
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayaran kembali oleh daerah”. Dari semua definisi tersebut,
terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja daerah
adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai kekayaan
bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah dilakukan
berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung jawab
pelaksanaan pelayanan publik.
Menurut Halim (2004), belanja daerah digolongkan menjadi 4
(empat) yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja
bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja
aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/
pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni
belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja
modal. Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu
program atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari
belanja tidak langsung dan belanja langsung.
a. Klasifikasi Belanja Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
menetapkan klasifikasi belanja sebagai berikut:
1) Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program
dan kegiatan serta jenis belanja;
17
2) Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah
3) Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
a) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan
manajerial pemerintahan daerah;
b) Klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara
untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka
pengelolaan keuangan negara.
b. Klasifikasi Belanja Daerah Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1) Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
2) Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja
terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan,
pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda
18
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan
“agama” karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan
yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak
didesentralisasikan.
3) Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung
dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan
kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan
program/kegiatan atau tidak. Belanja yang berkaitan langsung
dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja
barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin
Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung,
sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan
program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan,
belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan
sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.
c. Klasifikasi Belanja Daerah Menurut Kelompok Belanja.
1) Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak langsung atau belanja non publik yang cukup
dominan untuk biaya rutin seperti gaji PNS, listrik, air, jasa
komunikasi, perwatan kantor atau gedung, pengadaan perlengkapan,
biaya rapat, dinas luar kota, dan konsumsi. Pengalokasian belanja
tidak langsung idealnya adalah 30 % untuk belanja rutin dan gaji
19
pegawai Menurut Mahmudi (2009), “Belanja tidak langsung, yaitu
belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan.”
Belanja tidak langsung meliputi :
a) Belanja pegawai, yaitu belanja kompensasi baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS, dan
pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus
PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan
kecuali yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Belanja pegawai meliputi:
Gaji dan Tunjangan
Tambahan Penghasilan PNS
Belanja Penerimaan Lainnya Pimpinan dan Anggota DPRD
Biaya Pemungutan Pajak Daerah
b) Belanja bunga, yaitu pengeluaran pemerintah untuk pembayaran
bunga (interest) atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal
outstanding) yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka
pendek atau jangka panjang.
c) Belanja subsidi, yaitu alokasi anggran yang diberikan kepada
perusahaan/lembaga yang meproduksi, menjual, atau mengimport
barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau
masyarakat.
20
d) Belanja hibah, yaitu digunakan untuk menganggarkan pemberian
hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada Pemerintah
atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok
masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya.
e) Belanja bantuan social, yaitu transfer uang atau barang yang
diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan
terjadinya resiko sosial.
f) Belanja bagi hasil, yaitu digunakan untuk menganggarkan dana
bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah
desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada
pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
g) Bantuan keuangan, yaitu digunakan untuk menganggarkan bantuan
keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada
kabupaten/kota, pemerintah desa dan kepada pemerintah daerah
lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah
desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan
dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
h) Belanja tidak terduga, yaitu pengeluaran anggaran untuk kegiatan
yang bersifat tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti
penanggulangan bencana alam, bencana social, dan pengeluaran
21
tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah
2) Belanja Langsung
Belanja langsung dipergunakan dalam rangka memenuhi
kepentingan masyarakat dan merupakan suatu tindakan untuk
menciptakan pembangunan yang nantinya berguna untuk
kesejahteraan masyarakat, dan pengalokasian belanja langsung harus
lebih besar dari pengalokasian belanja tidak langsung yaitu dilakukan
dengan menekan pengeluaran anggaran belanja tidak langsung
seminimal mungkin, sehingga alokasi anggaran belanja langsung bisa
lebih besar. Komposisi belanja langsung idealnya adalah 70 % untuk
pembangunan. Menurut Mahmudi (2009), “Belanja langsung, yaitu
belanja yang terkait langsung dengan program dan kegiatan”. Belanja
langsung meliputi :
a) Belanja pegawai, yaitu belanja kompensasi baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang diberikan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang
belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan
pembentukan modal.
Belanja pegawai meliputi:
Honorarium PNS
22
Honorarium Non-PNS
Uang Lembur
Belanja Beasiswa Pendidikan PNS
Belanja Kursus, Pelatihan, Sosialisasi, dan Bimbingan Teknis
PNS
b) Belanja barang dan jasa, yaitu pengeluaran untuk menampung
pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi
barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan
pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual
kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
Belanja barang dan jasa meliputi:
Belanja Bahan Pakai Habis
Belanja Bahan/Material
Belanja Jasa Kantor
Belanja Premi Asuransi
Belanja Perawatan Kendaraan Bermotor
Belanja Cetak dan Penggandaan
Belanja Sewa Rumah/Gedung/Gudang parker
Belanja Sewa Sarana Mobilitas
Belanja Sewa Alat Berat
Belanja Sewa Perlengkapan dan Peralatan Kantor
Belanja Makanan dan Minuman
Belanja Pakaian Dinas dan atribut
23
Belanja Pakaian Kerja
Belanja Pakaian Khusus dan Hari-hari tertentu
Belanja Perjalanan Dinas
Belanja Pemulangan Pegawai
c) Belanja modal, yaitu pengeluaran anggaran untuk perolehan asset
tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu
periode akuntansi.
Belanja modal meliputi:
Belanja Modal Pengadaan Tanah
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Berat
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan Darat Bermotor
dan Tidak Bermotor
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan di Air Bermotor
dan Tidak Bermotor
Belanja Modal pengadaan Alat-alat Angkutan Udara
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Bengkel
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Pengelolaan Pertanian dan
Peternakan
Belanja Modal Pengadaan Peralatan Kantor
Belanja Modal Pengadaan Perlengkapan Kantor
Belanja Modal Pengadaan Komputer
Belanja Modal Pengadaan Mebel
Belanja Modal Pengadaan Peralatan Dapur
24
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Studio
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Komunikasi
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Ukur
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Kedokteran
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Laboratorium
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jembatan
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan
Belanja Modal Pengadaan konstruksi Jaringan Air
Belanja Modal Pengadaan Jalan,Taman, dan Hutan Kota
Belanja Modal Pengadaan Instalasi Listrik dan Telepon
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/Pembelian Bangunan
Belanja Modal Pengadaan Buku/Kepustakaan
Belanja Modal Pengadaan Barang Bercorak Kesenian,
Kebudayaan
Belanja Modal Pengadaan Hewan/Ternak dan Tanaman
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Persenjataan/Keamanan
4. Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
Salah satu tujuan pembangunan sacara makro adalah meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berhubungan dengan proses
peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat
dan dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menyangkut
perkembanganyang berdimensi tunggal dan diukur dengan peningkatan
hasil produksi dan pendapatan.
25
Menurut Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi sebagai ”kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara
untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada
penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi,
dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi
ini mempunyai 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang;
kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang
menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka
macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas
dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan
idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat
manusia dapat dimanfaatkan secara tepat (Jhingan, 2000)
Menurut Sirojuzilam dan Mahalli (2010) pertumbuhan ekonomi
merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah
yang dilaksanakan khususnya dalam bidang bidang ekonomi. Dalam teori
ekonomi pembangunan, dikemukakan ada enam karakteristik pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
a) Terdapatnya laju kenaikan produksi perkapita yang tinggi untuk
mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat.
b) Semakin meningkatnya laju produksi perkapita terutama akibat adanya
perbaikan teknologi dan kualitas input yang digunakan.
26
c) Adanya perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor
industri dan jasa.
d) Meningkatnya jumlah penduduk yang berpindah dari pedesaan ke
daerah perkotaan (urbanisasi).
e) Pertumbuhan ekonomi terjadi akibat adanya ekspansi negara maju dan
adanya kekuatan hubungan internasional.
f) Meningkatnya arus barang dan modal dalam perdagangan
internasional. (Jhingan, 1995).
Data ekonomi merupakan sumber informasi sistematik untuk
dapat mengukur sejauh mana perkembangan aktivitas ekonomi suatu negara.
Suatu data yang akurat diharapkan dapat menggambarkan suatu kondisi
statistik perekonomian. Statistik ini digunakan oleh para ahli ekonomi untuk
mempelajari perekonomian dan oleh para pengambil keputusan untuk
mengawasi pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan
yang tepat. Dalam konsep dasar ekonomi makro indikator yang digunakan
dalam mengukur pertumbuhan ekonomi, adalah produk domestik bruto
(PDB). PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi
dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu (Mankiw, 2006). Dalam
konsep regional Produk Domestik Bruto dikenal sebagai Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan indikator ekonomi makro suatu
daerah, yang menggambarkan ada atau tidaknya perkembangan
perekonomian daerah. Dengan menghitung PDRB secara teliti dan akurat
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dapat diambil
27
beberapa kesimpulan mengenai keberhasilan pembangunan di suatu daerah,
yang memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang mewakili
peningkatan produksi di berbagai sektor lapangan usaha yang ada (Saggaf,
1999). Berdasarkan rumusan pengertian di atas, maka dalam konsep
regional, pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang ditunjukkan oleh
besarnya tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto suatu daerah
yang diukur atas dasar harga konstan. Bagi suatu daerah provinsi,
kabupaten/kota gambaran PDRB yang mencerminkan adanya laju
pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam data sector-sektor ekonomi yang
meliputi pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan,
listrik gas dan air bersih, bangunan, perdagangan hotel dan restoran,
pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan
dan jasa-jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari data
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto,
perubahan persediaan, ekspor dan impor. Sedangkan pertumbuhan ekonomi
daerah dirumuskan sebagai berikut:
𝑃𝐸𝐷 = 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1 × 100 %
Di mana:
PED = Pertumbuhan Ekonomi Daerah
PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto Periode Tertentu
PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto Periode
Sebelumnya.
28
Menurut Todaro (2000) terdapat tiga faktor atau komponen
utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, ketiganya adalah:
Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru
yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya
manusia, Pertumbuhan penduduk beberapa tahun selanjutnya yang akan
memperbanyak jumlah akumulasi kapital, kemajuan teknologi Model
pertumbuhan neoklasik dipelopori oleh Robert M. Solow pada tahun 1950-
an. Model pertumbuhan ini telah diterapkan dalam berbagai studi empiris di
banyak negara. Asumsi dasar yang dipakai dalam model ini antara lain,
keluaran dihasilkan dari penggunaan dua jenis masukan yaitu modal dan
tenaga kerja, perekonomian berada pada kondisi penggunaan tenaga kerja
penuh, perekonomian berada dalam kondisi persaingan sempurna. Ada dua
hal utama yang dibahas dalam model ini, yaitu peranan modal dan
perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Namun untuk sementara
perubahan teknologi dianggap konstan sehingga akan diketahui bagaimana
peran modal dalam proses pertumbuhan. Akumulasi modal dan kedalaman
modal terjadi pada saat pertumbuhan persediaan (stock) modal lebih cepat
daripada pertumbuhan tenaga kerja. Dalam kondisi tanpa perubahan
teknologi, akumulasi modal akan mendorong pertumbuhan keluaran per
tenaga kerja, meningkatkan marginal product tenaga kerja serta
meningkatkan upah. Namun akumulasi modal juga akan mendorong
berkurangnya pengembalian modal (return of capital) dan menurunkan
tingkat suku bunga riil
29
5. Hubungan Belanja Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Belanja daerah yang terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja
langsung merupakan bentuk dari pengeluaran Pemerintah. Apabila
pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain
pendapatan daerah yang sah meningkat maka belanja daerah yang terdiri
dari belanja tidak langsung dan belanja langsung akan meningkat. Hal ini
sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Wagner yang menyatakan
bahwa apabila dalam suatu perekonomian pendapatan perkapita meningkat
maka secara relative pengeluaran pemerintah akan meningkat.
Kenaikan belanja daerah yang terdiri dari belanja tidak langsung dan
belanja langsung akan berdampak pada kenaikan presentase PDRB. Nilai
pertumbuhan PDRB merupakan reprentase dari pertumbuhan ekonomi
suatu daerah. Penelitian yang dilakukan Wibisana (2014) membuktikan
bahwa belanja tak langsung dan belanja langsung memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa
setiap terjadi kenaikan pada belanja tidak langsung dan belanja langsung
akan berdampak kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
C. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa dari
realisasi APBD pemerintah kabupaten/kota di provinsi Kalimantan barat
terdapat realisasi belanja daerah yang akan dianalisis perkembangan dan
pertumbuhanya dari tahun 2010 sampai dengan 2014. Dalam realisasi belanja
30
daerah terdiri dari kelompok belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai dan belanja non pegawai
termasuk di dalamnya yaitu : belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan
belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang/jasa dan belanja modal. Kedua jenis belanja tersebut kemudian
dianalis untuk diketahui berapa proporsinya terhadap belanja daerah dan
manakah yang memiliki proporsi lebih besar terhadap belanja daerah. Setelah
itu antara belanja tidak langsung dan belanja langsung kemudian diregresikan
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota di provinsi Kalimantan barat tahun
2010-2014. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2. dibawah ini.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Realisasi APBD
Belanja Daerah
Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung
Belanja Pegawai
Belanja Non
Pegawai
Belanja Pegawai
Belanja Barang
dan Jasa
Belanja Modal
Pertumbuhan Ekonomi
31
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai bukti melalui data terkumpul. Berdasarkan
kerangka pemikiran di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
H1:Belanja tidak langsung diduga berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Barat
selama tahun 2010-2014.
H2: Belanja langsung diduga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi pada kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Barat selama tahun
2010-2014.
top related