bab ii seminar sejarah arsitektur kendal
Post on 17-Jan-2016
28 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ruang Terbuka Pulik
2.1.1. Pengertian Ruang Terbuka Publik
Ruang terbuka publik saat ini menjadi sebuah kebutuhan publik
yang cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengertian ruang
terbuka sendiri bermacam-macam dikemukakan oleh beberapa ahli
perencanaan kota. Beberapa pengertian ruang terbuka publik tersebut
adalah sebagai berikut:
Ruang terbuka merupakan elemen vital dalam sebuah kota karena
keberadaannya dikawasan berintensitas kegiatan tinggi. Sebagai lahan
tidak terbangun, ruang terbuka biasanya berada di lokasi strategis dan
banyak dilalui orang (Nazarudin, 1994).
Ruang Terbuka adalah lahan tidak terbangun didalam kota dengan
penggunaan tertentu. Pertama : ruang terbuka didefinisikan secara
umum sebagai bagian dari lahan kota yang tidak ditempati oleh
bangunan dan hanya dapat dirasakan keberadaannya jika sebagian
atau seluruh lahannyadikelilingi pagar. Kedua: ruang terbuka kota
didefinisikan sebagai lahan dengan pengguna spesifik yang fungsi
atau kualitasya terlihat dalam komposisinya (Rapuano, 1964).
Ruang Terbuka merupakan aktivitas sosial yang melayani dan juga
mempengaruhi kehidupan masyarakat kota. Ruang terbuka merupakan
wadah kegiatan fungsional maupun aktivitas ritual normal kehidupan
sehari-hari maupaun dalam kegiatan-kegiatan periodik. Fungsi ruang
1
2
terbuka dapat berubah sejalan dengan berubahnya kebutuhan
penngguna. Ruang terbuka menyediakan kerangka kerja sebaik
mungkin untuk mengantisipasi perkembangan dan perubahan dalam
masyarakat. Sebaliknya ruang terbuka umum merupakan ungkapan
drama kehidupan manusia yang juga memberikan pengaruh pada
perubahan kehidupan manusia (Carr, 1992).
Ruang umum adalah ruang yang timbul karena adanya kebutuhan
akan tempat-tempat pertemuan bersama. Dengan adanya pertemuan
bersama dan relasi antara orang banyak kemungkinan akan timbul
bermacam-macam kegiatan di ruang umum terbuka atau dapat
dikatakan pula bahwa ruang terbuka ini pada dasarnya merupakan
suatu wadah yang dapat menampung kegiatan aktivitas tertentu dari
warga tersebut baik secara individu atau secara kelompok. Sehingga
dapat dirangkaikan pengertian dan batasan pola ruang umum terbuka
adalah bentuk dasar ruang terbuka di luar bangunan, yang dapat
digunakan oleh publik (setiap orang), dan memberikan kesempatan
bagi timbulnya bermacam-macam kegiatan (Hakim, 1993).
Berdasarkan beberapa pengertian ruang terbuka diatas, maka dalam
studi ini istilah ruang terbuka publik adalah sebuah ruang atau lahan tidak
terbangun didalam kota yang dapat digunakan oleh publik (setiap orang),
dan memberikan kesempatan bagi timbulnya bermacam-macam kegiatan.
Contoh ruang terbuka publik, seperti : alun-alun, taman, lapangan olah
raga, plaza, jalur pedestrian, pemakaman, lapangan terbang, dan jalan.
3
2.1.2. Klasifikasi Ruang Terbuka Publik
Sebagaimana keragaman definisinya, jenis ruang terbuka
bermacam-macam sesuai karakteristiknya. Pengkategorian jenis ruang
terbuka dapat dilihat sebagai berikut:
1. Ruang Terbuka skala lingkungan dengan luas dan lingkup pelayanan
kecil, seperti:
Ruang sekitar tempat tinggal (home-oriented space), disebut
sebagai ruang privat (Gold, 1980).
Ruang dalam perumahan, merupakan bagian luas penggunaan
lahan dalam suatu unit lingkungan yang terdiri dari jalan, fasilitas
rekreasi serta area lain seperti taman dan penyangga (Rapuano,
1964).
Ruang terbuka lingkungan (neighbourhood space), biasanya
didekat sekolah dasar dan berorientasi pada kegiatan aktif dan pasif
(Gold, 1964).
2. Ruang Terbuka skala bagian kota yang melayani beberapa unit
lingkungan, seperti:
Taman, yang mencakup sarana bermain dan olahraga serta tempat
interaksi masyarakat. Taman (park) adalah area yang disediakan
untuk penggunaan estetika, pendidikan, rekreasi, atau budaya.
Sistem taman kota pada prinsipnya terkait dengan kebutuhan
rekreasi aktif, termasuk taman kecil yang indah dan taman kota
yang lebih besar yang umumnya berkarakter alami (Rapuano,
1964).
4
Taman Umum ( Public Park), yang dikembangkan dan dikelola
sebagai bagian dari sistem ruang terbuka ruang kota, seringkali
berlokasi dekat pusat kota dan lebih besar dari taman lingkungan.
Termasuk jenis ini adalah central park, downtown park, commons,
neighbourhood park, dan mini/vest-pocket park (Carr, 1992).
Ruang Terbuka untuk masyarakat luas (community space),
melayani 20.000 penduduk (3 sampai 6 lingkungan) dan
berorientasi pada pejalan kaki dan pengguna kendaraan. Ruang
terbuka ini berlokasi didekat sekolah menengah dan pusat
keramaian / perbelanjaan (Gold, 1980).
3. Ruang Terbuka skala kota yang lingkup pelayanannya sampai
keseluruh bagian kota ruang terbuka skala kota (citywide space),
melayani seluruh masyarakat (1.000 penduduk atau lebih) (Gold,
1980).
4. Ruang Terbuka skala wilayah dengan lingkup pelayanan untuk
beberapa kota dalam wilayah tertentu. ruang terbuka skala wilayah
(regional space), melayani kebutuhan kota dan umumnya merupakan
area yang berorientasi pada sumber daya. Akses untuk
menjangkaunya menggunakan kendaraan pribadi atau umum (Gold,
1980).
Ruang Terbuka di Indonesia sering disebut denagn Alun-alun.
Bentuk dari ruang terbuka ini biasanya berbentuk segi-empat. Arah
4 mata angin ini dipegang orang Jawa dalam hubungannya dengan
4 unsur pembentuk keberadaan bhuwana yaitu : air, bumi, udara,
5
dan api. Pada waktu itu alun-alun dihunakan sebagai tempat
upacara kerajaan. Bisa dikatakan ada kesan bahwa alun-alun
mempunyai makna spiritual. Tetapi perubahan konsep Alun-alun
sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota
berlangsung di Bandung sejak tahun 1967 pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda (Wiryomartono, 1995).
5. Ruang Terbuka ditinjau dari kegiatannya, dapat dikelompokan
menjadi 2, yaitu (Hakim, 1993) :
Ruang Terbuaka Aktif, adalah ruang terbuka yang mengundang
unsur-unsur kegiatan didalamnya, antara lain : bermain, olahraga,
upacara, berkomunikasi, berjalan-jalan, tempat bermain,
penghijauan ditepi sungai sebagai tempat rekreasi, dll.
Ruang Terbuka Pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak
mengandung kegiatan manusia antara lain berupa penghijauan/
taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan, penghijauan
sebagai jarak terhadap rel kereta api, dll.
1.2.3. Fungsi Ruang Terbuka Publik
Ruang terbuka memiliki fungsi sosial dan ekologi (Hakim, 1993).
Fungsi Sosial ruang terbuka :
1) Tempat bermain, berolahraga
2) Tempat bersantai
3) Tempat komunikasi sosial
4) Tempat peralihan, tempat menunggu
5) Tempat mendapatkan udara segar dari lingkungan
6
6) Pembatas atau jarak antar massa bangunan
Fungsi Ekologi ruang terbuka :
1) Penyegaran udara
2) Menyerap air hujan
3) Pengendalian banjir
4) Pemeliharaan ekosistem
5) Pelembut arsitektur bangunan
1.2.4. Manfaat Ruang Terbuka Publik
Manfaat ruang terbuka dapat dirasakan dalam berbagai fungsi dan
lingkup pelayanannya. Sebuah ruang terbuka selalu menjadi kebutuhan,
baik dalam fungsinya sebagai ruang terbuka umum maupun sebagai
sarana rekreasi. Dalam lingkup pelayanan kecil maupun yang lebih luas,
ruang terbuka selalu dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan berbagai
aktivitas. Beberapa manfaat yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
Ruang terbuka melayani kebutuhan sosial masyarakat kota dan
memberikan pengetahuan kepada pengunjungnya. Ruang terbuka
umum dimanfaatkan untuk melakukan berbagai aktivitas dalam
kehidupan masyarakat. Pemanfaatannya biasanya untuk aktivitas kerja
maupun aktivitas di waktu senggang (Carr, 1992).
Ruang terbuka dapat memperkenalkan hal-hal dan pengalaman baru
melalui interaksi, memberi makna, serta kekuatan dalam kehidupan
masyarakat, menjadi penawar setelah sibuk bekerja, memberikan
kesempatan bersantai, hiburan dan kontak sosial lain yang menjadi
program dari fungsi ruang terbuka tersebut (Carr, 1992).
7
Masyarakat dapat memanfaatkan ruang terbuka untuk aneka
keperluan, sebagai tempat bersantai, berjalan-jalan, dan membaca
(Nazaruddin, 1994).
Ruang terbuka merupakan pengikat sosial untuk menciptakan
interaksi antara kelompok masyarakat, sebagai tempat berkumpul
sehari-hari dan pada kesempatan khusus (Carr, 1992).
Semua ruang terbuka didalam kota menyampaikan pesan secara
fungsional, sebagai simbolis mengkomunikasikan arti ruang tersebut
(Trancik, 1986).
Peran yang dimiliki sebuah ruang terbuka umum dapat
mengungkapkan nilai/arti ruang terbuka tersebut bagi masyarakat,
diantaranya menyampaikan nilai-nilai budaya (Carr, 1992).
Ruang terbuka yang lebih mengkomunikasikan nilai budaya
memberikan lebih banyak manfaat kepada masyarakat (Trancik,
1986).
2.2. Alun-Alun
2.2.1. Pengertian Alun-Alun
Kata halun-halun berasal dari bahasa Jawa kuno (Kawi) bukan
Sansekerta. Dapat dikatakan bahwa alun-alun merupakan lapangan
terbuka orisinil Jawa (Wiryomartono, 1995). Lapangan terbuka yang
berfungsi sebagai tempat pertemuan masyarakat selain dalam upacara
besar, ialah alun-alun yang biasanya terdapat dalam keraton
(Tjandrasasmita, 2000).
8
Van Romondt (Haryoto, 1986:386) menjelaskan pada dasarnya
alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran
yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja,bupati, wedana dan camat
bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan
Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai
pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan
militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan.
Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun
merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara
bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung
merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi
terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang
dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan
merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa,
kecamatan, kota maupun pusat kabupaten.
Bentuk fisik alun-alun antara lain berupa keberadaan pohon
beringin, jaringan jalan, yaitu keberadaan alun-alun selalu dekat
dengan adanya dua beringin kurung pada sumbu yang ditarik dari
kabupaten atau kadipatennya (Wiryomartono, 1995) dan biasanya
merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang
menghubungkan keraton dengan bagian barat, utara dan timur dari
kota (Handinoto, 1992).
Handitono (1992) mengatakan adanya alun-alun tidak bisa
dilepaskan dari bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Di
9
sebelah selatan alun-alun terletak keraton raja yang ada atau penguasa
setempat. Di sebelah barat terdapat Masjid Agung, sedangkan
sejumlah bangunan resmi lainnya didirikan di sisi barat atau timur.
Daerah sebelah selatan Keraton merupakan daerah tempat tinggal
keluarga raja dan pengikut pengikutnya.
Setiap wajah kawasan bersejarah kota tidak bisa lepas dari
pemahaman bangunan spasialnya. Bangunan di kawasan itu
mempunyai satu keterkaitan, yakni Alun-alun – Kraton - Masjid
Agung - Pasar. Alun-alun terdapat di sebelah utara Kraton, dan Masjid
Agung berada di sebelah barat, sedangkan pasar berada di sebelah
utara alun-alun. Bangunan tersebut menyebabkan danya fungsi
kawasan sebagai kegiatan perdagangan, pusat pemerintahan dan
peribadatan, sehingga menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat
kota.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa alun-alun
merupakan sebuah ruang terbuka publik yang memiliki keterkaitan
dengan lingkungan sekitarnya, serta memiliki nilai historis yang patut
dilestarikan.
1.2.2. Peran dan Fungsi Alun-alun
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur &
Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena
menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan
ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu,
sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata
10
(mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi
sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat
mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan
merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktekkan kekuasaan
sakral dari sang penguasa.
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa
keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka
dimana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat pada raja.
Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat
untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan
istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota,
disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik:
Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010)
sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna
yang dahulunya adalah alun-alun.
B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik
(2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza
yang semula adalah Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang
dinamis sbb: “ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas
komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’
sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa
masyarakat itu adalah konsumen belaka”.
11
1.2.3. Perkembangan Alun-Alun
Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial.
Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk phisik alun-alunnya
sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang
mendasari bentuk phisiknya sejak jaman prakolonial sampai
sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah
yang sebetulnya menentukan peran dan fungsi alun-alun dalam
suatu kota di Jawa.
Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang
mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai
pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang
sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi
keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’.
Alun-Alun Pada Zaman Pra Kolonialis
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa
keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman Majapahit (Hindu-
Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Menurut Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca,
disebutkan bahwa pada zaman Majapahit, alun-alun memiliki fungsi
sakral dan fungsi profan. Yang dimaksudkan fungsi sakral adalah
upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan.
Sementara fungsi profan adalah untuk kegiatan pesta rakyat dan
12
perayaan-perayaan tahunan. Ada dua alun-alun yang menjalankan
kedua fungsi di atas yaitu Alun-alun Bubat (menjalankan fungsi
profan) dan Alun-alun Wiguntur (menjalankan fungsi sakral).
Gambar 2.1 Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont
(1924) berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.
Sumber : http://carasejarah.blogspot.com/2011_07_01_archive.html (2011)
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik
Yogyakarta maupun Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu
Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alun-alun Yogyakarta
ditempatkan pohon beringin kembar yang dinamai Kyai Dewa Ndharu
dan Kiai Jana Ndharu. Di zaman Mataram Islam ditambahkan
keberadaan Masjid sebagai pengganti candi.
13
14
Alun-Alun Pada Zaman Kolonialis
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari
sebuah keraton yang dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para
bupati sebagai bawahan raja.
Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara
selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal,
Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga
menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan
rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur
pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja
(yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah
Inlandsch Bestuur).
Gambar 2.2 Sketsa alun-alun pada zaman kolonoalis
15
Sumber : http://carasejarah.blogspot.com/2011_07_01_archive.html (2011)
Dalam sistim pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi
yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang
membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu
dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan
Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang
berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh
para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau
Yogyakarta.
Alun-Alun Pada Zaman Paska Kolonialis
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai
eksistensi alun-alun paska kolonialisme, “Pada awal abad ke 20,
terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’,
yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara,kelihatan
menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh
para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20
inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota
di Jawa”.
Handinoto juga mengungkapkan keprihatanannya sbb: “Sesudah
kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi.
Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-
ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-
alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat
16
olah raga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang
difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak
jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi.
Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor
untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya
ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas
secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam
menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau
timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti
apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan
pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang
mantap. Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti
‘hidup segan matipun enggan”.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Alun-alun memiliki
makna sakral dan profan, maka keberadaannya tidak lepas dengan
sejumlah filosofi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Suwardjoko P Warpani SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota
menuliskan, “Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka
kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan
ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang
barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya
memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak
bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil
kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat
17
yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham
berhak melakukan apa saja”.
33
2.3. Studi-studi Terdahulu
Tinjauan yang dilihat dari sumber-sumber pustaka dan studi-studi yang pernah dilakukan oleh para peneliti dapat dijadikan
sebagai bahan kajian dalam proses penelitian. Adapun studi–studi yang pernah dilakukan dapat dijelaskan melalui table dibawah
ini:
Tabel 2.1 Tabe Studi-studi Terdahulu
No. Nama
PenelitiJudul Penelitian Tujuan Penelitian
Metode yang
digunakanHasil Penelitian
1. Samuel
Hartono
dan
Handinoto
Alun-alun dan
Revitalisasi Identitas
Kota Tuban
Mengidentifikasi elemen-
elemen utama yang
bersejarah sebagai identitas
pembentuk ruang Kota
Tuban
Mengetahuai usaha yang
dapat dilakukan untuk
memperkuat identitas
Analisis diakronik
untuk melihat
jenis elemen apa
yang muncul dan
menjadi bagain
penting Kota
Tuban pada suatu
Terdapat elemen pembentuk
ruang kota Tuban yang tidak
berubah sepanjang perjalanan
sejarah, yaitu alun-alun dan
bangunan pendukung
disekitarnya.
Usaha untuk merevitalisasi alun-
alun sebagai identitas kota adalah
34
kawasan Alun-alun Tuban waktu tertentu. sangat tepat.
2. Wulandari Studi Pengembangan
Kawasan alun-alun
Semarang
Mengetahui
perkembangan kawasan
alun-alun
Metode
Diachronic
Metode Syncronic
Kawasan sudah berdiri sebelum
masuknya kolonial di kawasan
Adanya pengaruh kolonial pada
perkembangan kawasan, dilihat
dari perubahan struktur tata
ruang kawasan.
Perkembangan kawasan yang
terjadi pada masa pascakolonial
lebih ke arah kepentingan
ekonomi
3. Arief Budi
Ananta
Studi Revitalisasi
kawasan
alun-alun Malang
Mempertahankan wajah
kawasan pusat kota Malang
Metode
Diachronic
Metode Syncronic
Adanya konsep pelestarian
padabangunan dan lingkungan
kawasan
pusat kota Malang
35
4. Astri
Anindya
Sari
Transformasi Spasial
- Teritorial Kawasan
Alun-Alun Malang:
Sebuah Produk
Budaya Akibat
Perkembangan
Jaman
Untuk memetakan
transformasi pasial dan
teritorial yang terjadi pada
kawasan alun-alun Malang
sejak masa dibangunnya
hingga saat ini.
Pembahasan
mengenai teritorial dibagi
atas transformasi unsur fisik
dan non fisik meliputi fungsi
aktivitas yang merupakan
satu kesatuan penanda teritori
yang membentuk citra
kawasan.
studi kualitatif
dengan analisis
sinkronik-
diakronik
Transformasi alun-alun Malang
saat ini kerap kali dinilai negatif
karena kehilangan unsur
kesejarahannya.
Namun dari sisi fungsional,
transformasi yang terjadi justru
merupakan usaha untuk mengikuti
perkembangan kebutuhan dan
preferensi masyarakat saat ini,
sehingga alun-alun Malang tetap
dapat memenuhi persyaratan
ruang publik yang baik yakni
meaningful, responsive, dan
democratic
5. Edi penataan kawasan Memberikan usulan studi kualitatif Memberikan usulan perencanaan
36
Santoso alun-alun kota
Banjarnegara
erencanaan urban desain
berupa kebutuhan-kebutuhan
baik
fisik maupun non fisik yang
diperlukan pada kawasan
alun-alun Banjarnegara untuk
mendukung kawasan sebagai
tempat festival kota yang
nyaman, aman dan rekreatif,
yang diwujudkan dalam
perancangan desain arsitektur
yang menguntungkan semua
pihak dan
tepat sasaran.
dengan analisis
dan sintesa
urban desain berupa kebutuhan-
kebutuhan baik fisik maupun non
fisik yang diperlukan pada
kawasan alun-alun Banjarnegara
untuk mendukung kawasan
sebagai tempat festival kota yang
nyaman, aman dan rekreatif, yang
diwujudkan dalam perancangan
desain arsitektur yang
menguntungkan semua pihak dan
tepat sasaran.
top related