bab ii teologi lokal: pendekatan teoritis a. pengantar...14 bab ii teologi lokal: pendekatan...
Post on 31-Aug-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
14
BAB II
TEOLOGI LOKAL: PENDEKATAN TEORITIS
A. Pengantar
Teologi selalu membawa manusia untuk dekat kepada Tuhan.
Karena itu melakukan teologi adalah jalan untuk mendengar suara Tuhan
yang seringkali berbisik, dan merasakan kehadiran Tuhan yang seringkali
tersembunyi.1 Dengan demikian teologi selalu terikat dengan konteks
lokal tertentu di mana manusia mendengar suara Tuhan dan merasakan
kehadiran Tuhan yang tersembuyi.
Oleh sebab itu, teologi selalu berkaitan dengan respon orang
percaya untuk menjelaskan iman mereka sesuai dengan realitas hidup
mereka di dalam suatu konteks lokal tertentu. Sehingga teologi maupun
proses berteologi selalu terikat dengan konteks lokal tertentu, konteks di
mana iman manusia dibangun dan dibentuk dengan realitas hidup yang
begitu kompleks.
Karena teologi terikat dengan konteks lokal tertentu, maka proses
berteologi atau konstruksi teologi harus dimulai dari konteks, dan tidak
hanya dimulai dengan Alkitab atau tradisi gereja semata. Dengan
demikian maka materi-materi lokal yang ada di dalam konteks lokal juga
dapat dipakai untuk berteologi atau mengkonstruksikan sebuah teologi,
1 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 6.
15
karena di dalam materi-materi lokal tersebut manusia tidak hanya
mendengar suara Tuhan, tetapi juga berjumpa dengan Tuhan.
Oleh karena itu, untuk menolong manusia supaya dapat memahami
dan menghayati Tuhan sesuai dengan konteks lokal manusia tersebut,
maka teologi dan proses berteologi harus dibangun dari bawah, dari
konteks lokal manusia tersebut. Untuk membangun teologi dari konteks
lokal manusia tertentu, maka teologi lokal menjadi pilihan berteologi.
Karena itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan apa itu teologi lokal,
siapa yang dapat berteologi lokal, bagaimana berteologi lokal, dan
bagaimana mengkonstruksikan sebuah teologi lokal.
B. Mengapa Teologi Lokal?
Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha untuk memahami dan
menghayati Tuhan. Proses pemahaman dan penghayatan tersebut
kemudian terbentuk di dalam terminologi iman. Untuk membantu manusia
memahami dan menghayati Tuhan dalam iman, para teolog kemudian
berusaha untuk mengkonstruksikan teologi yang sesuai. Dari proses
konstruksi tersebut, mula-mula lahirlah teologi tradisional.
Oleh para teolog, teologi tradisional dipahami sebagai sejenis ilmu
pengetahuan objektif tentang iman. Karena itu, sebagai sebuah
pengetahuan tentang iman, fokus teologi dalam teologi tradisional hanya
16
menyangkut kitab suci dan tradisi yang isinya tidak bisa dan tidak pernah
berubah, dan berada di atas kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan
secara historis.2
Dengan memakai teologi tradisional sebagai pintu masuk untuk
berteologi, sang teolog melihat bahwa perjumpaan Tuhan dengan manusia
hanya terjadi melalui teks-teks di dalam kita suci dan tradisi di dalam teks
maupun tradisi gereja semata, dan menutup mata terhadap ruang-ruang
perjumpaan antara Tuhan dengan manusia yang terbentuk di dalam
konteks (sosial, budaya, suku, ras, sejarah, politik, dan ekonomi) tertentu
yang begitu kompleks dan bersifat lokal yang melekat pada identitas
manusia. Oleh sebab itu untuk kurun waktu yang begitu lama, proses
berteologi tidak melihat konteks tertentu sebagai salah satu unsur yang
harus dimasukan di dalam proses berteologi.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa iman Kekristenan
adalah iman yang telah dibangun di atas teologi tradisional yang adalah
warisan Barat, entah itu teologi, dogma, maupun tradisi. Iman Kekristenan
tersebut kemudian dilabelkan pada semua orang yang mengaku beragama
Kristen.
2 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores:
Penerbit Ledalero, 2002), 2.
17
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah ruang-ruang perjumpaan
antara Tuhan dan manusia hanya terjadi di dalam teks-teks kitab suci
maupun tradisi di dalam teks atau pun tradisi di dalam gereja semata?
Sehingga iman Kekristenan harus tetap dibangun di atas teks-teks kitab
suci, tradisi di dalam teks dan tradisi gereja semata? Tentu tidak.
Di dalam kehidupan manusia, manusia selalu terikat dengan
identitas konteks (sosial, budaya, suku, ras, sejarah, politik, dan ekonomi)
tertentu yang begitu kompleks dan bersifat lokal. Dalam konteks yang
begitu kompleks dan lokal tersebut, terjadi ruang-ruang perjumpaan antara
Tuhan dan manusia. Oleh sebab itu bagi teolog-teolog seperti Bevans,
Schreiter, Choan Seng Song, Eben Nuban Timo, dan Sedmark, melihat
bahwa konteks manusia yang begitu kompleks juga harus dimasukan
sebagai unsur untuk berteologi selain kitab suci dan tradisi yang dipegang
oleh teologi tradisional untuk berteologi, sehingga Sedmark misalnya
mengusulkan untuk memakai drama-drama dan patung-patung di dalam
budaya konteks lokal tertentu sebagai bahan untuk berteologi.3
Karena itu, iman Kekristenan mestilah iman yang dibangun
berdasarkan ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia yang
terbentuk di dalam konteks manusia yang begitu kompleks dan lokal
tersebut. Karena jika tidak demikian maka bagi Schreiter, iman kita adalah
3 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 12.
18
iman yang kita dengar dari orang lain (fidex ex auditu),4 dan iman tersebut
tidak dapat menolong manusia untuk memahami dan menghayati Tuhan
yang telah turun dan berjumpa dalam konteks manusia yang begitu
kompleks dan lokal dengan baik.
Setelah usulan untuk memasukan konteks manusia yang begitu
kompleks sebagai salah satu unsur untuk berteologi, maka terjadi sebuah
pergesaran yang sangat besar di dalam tradisi bergereja. Proses berteologi
yang mula-mula kaku dan hanya mementingkan kitab suci serta tradisi
sebagai unsur untuk berteologi, kini mulai membuka diri untuk melihat
konteks manusia yang begitu kompleks sebagai sebuah unsur berteologi.
Dengan wajah berteologi yang baru, yang lebih ramah terhadap
konteks yang begitu kompleks dari manusia, gereja-gereja mulai beramai-
ramai mengkonstruksi teologi gereja sesuai dengan konteks dari masing-
masing gereja. Oleh karena itu, untuk mengkonstruksikan teologi, teologi
lokal menjadi salah satu pilihan berteologi yang dapat digunakan untuk
mengusahakan suatu konstruksi teologi yang sesuai dengan konteks
manusia. Pertanyaannya mengapa teologi lokal dan bukan teologi
kontekstual?
4 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung
mulia, 2006), 37.
19
Teologi lokal dan teologi kontekstual memang pada dasarnya
sama-sama mengusahakan teologi yang sesuai dengan konteks tertentu,
namun teologi lokal lebih berusaha untuk membangun teologi dari bawah
dengan menggunakan sumber-sumber daya lokal yang terdapat di dalam
konteks tertentu, sedangkan teologi kontekstual hanya berusaha untuk
mengkontekskan warisan barat dengan konteks tertentu. Sederhananya
teologi kontekstual hanya memandang konteks sebagai ruang untuk
mengoperasikan teologi, namun teologi lokal memandang konteks sebagai
ruang untuk mengoperasikan teologi sekaligus sebagai teks untuk
mengkonstruksikan teologi. Sehingga, teologi kontekstual seperti
mengambil air dari luar dan menaruhnya di dalam wadah lokal supaya air
tersebut bercita rasa lokal, sedangkan teologi lokal mengambil air dari
dalam konteks lokal dan menaruhnya di dalam wadah lokal, sehingga air
tersebut benar-benar mempunyai cita rasa lokal. Perbedaan ini juga
ditegaskan oleh Preman Niles yang dikutip oleh Izak Lattu dalam tulisan
Kekristenan Poliponik.5
Namun di satu sisi, Bevans dengan model antropologinya6 dalam
usaha berteologi secara kontekstual, mencoba untuk mengkonstruksikan
teologi dari budaya yang pada dasarnya sejalan dengan langkah-langkah
5 Izak Lattu, Kekristenan Poliponik: Mendialogkan Teologi dan Budaya Lokal
dalam Theologia: Jurnal Teologi Interdisipliner (Volume IV, No 1, Bulan Agustus,
Tahun 2009), 97. 6 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores:
Penerbit Ledalero, 2002), 96.
20
teologi lokal yang mengkonstruksikan teologi dari sumber daya lokal,
yaitu budaya. Kendati demikian, dalam model antropologinya Bevans
selalu merujuk pada pentingnya proses budaya untuk berdialog dengan
injil (firman ALLAH) yang merupakan identitas Kekristenan dalam suatu
proses kontruksi teologi kontekstual.
Apa yang disampaikan oleh Bevans di atas benar adanya, karena
tanpa injil teolog kehilangan bingkai untuk berteologi. Namun di sisi lain,
rujukan untuk selalu mendialogkan budaya dengan injil membuat teolog
seringkali tidak dapat mengeksplor budaya lokal lebih dalam, karena
kerapkali terhalangi dan bertentangan dengan dogma-dogma injil yang
juga berinkarnasi dalam budayanya sendiri (Timur Tengah/Israel). Oleh
sebab itu, sekuat apa pun teolog mengeksplor budaya lokal, nilai yang
didapat bukanlah murni dari budaya lokal, melainkan nilai di dalam injil
yang berinkarnasi di dalam budayanya yakni Timur Tengah/Israel.
Lebih jauh, dengan selalu merujuk kepada injil, teolog seolah-olah
disugesti bahwa injil (firman ALLAH) yang otentik hanya berinkarnasi di
dalam budaya injil itu ditemukan (Timur Tengah/Israel) dan tidak
berinkarnasi dalam budaya mana pun. Sugesti seperti ini membuat
sehingga semua teologi yang dikonstruksikan dari budaya, titik dasarnya
selalu berpusat pada karya keselamatan yang ALLAH lakukan di Israel,
21
dan menutup mata terhadap karya keselamatan yang ALLAH lakukan
pada tiap-tiap budaya di luar Israel.
Sedikit berbeda dari model antropologi yang ditawarkan oleh
Bevans dalam kerangka teologi kontekstual, teologi lokal yang ditawarkan
oleh Sedmark justru memberikan keluasan kepada teolog untuk dapat
mengeksplor budaya lokal dengan lebih leluasa, karena di dalam budaya
lokal juga terdapat injil yang telah berinkarnasi. Oleh sebab itu, bagi
Sedmark penting untuk menemukan pesan Yesus (injil) di dalam budaya
lokal, dan pesan Yesus itu yang kemudian menjadi sebuah nilai untuk
mengkonstruksikan sebuah teologi lokal.7 Pada proses menemukan pesan
Yesus tersebut, Alkitab dipakai sebagai sebuah bingkai untuk melihat
apakah pesan Yesus yang ditemukan di dalam budaya lokal tersebut
benar-benar selaras dengan iman kristen.
Karena itu, teologi kontekstual, salah satunya termasuk model
antropologi yang ditawarkan oleh Bevans dalam usaha berteologi
kontekstual, pada dasarnya mengkonsepkan seorang teolog adalah seorang
yang turun dengan banyak prasangka, sehingga ketika mengkonstruksikan
sebuah teologi, prasangka itu menghalangi teolog tersebut untuk dapat
mendengarkan budaya lokal secara leluasa. Berbeda dengan teologi lokal
yang ditawarkan oleh Sedmark, yang memberikan keluasan bagi teolog
7 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 44.
22
untuk mendengar suara budaya lokal secara leluasa tanpa dipengaruhi oleh
banyak prasangka.
Dengan demikian, teologi lokal dapat menjadi pintu masuk untuk
merancang teologi yang sesuai dengan konteks tertentu. Sehingga iman
Kekristenan bukan lagi iman yamg kaku dan juga bukan iman yang
dibangun berdasarkan warisan Tmur Tengah/Israel yang kemudian
dibawa, dan diinterpretasi di Barat dan disebarluaskan pada zaman
kolonial oleh para misionaris atau zending, melainkan iman yang
dibangun berdasarkan ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia
yang terbentuk di dalam konteks manusia yang begitu kompleks dan lokal,
supaya manusia dapat memahami dan menghayati Tuhan dengan baik.
C. Apa Itu Teologi Lokal, Siapa Yang Dapat Melakukan Teologi
Lokal, dan Bagaimana Berteologi Lokal
Ada begitu banyak teolog yang berbicara tentang teologi lokal,8
salah satunya adalah Clemens Sedmark. Menurut Sedmark, teologi
berbicara tentang identitas manusia dalam terang yang adalah ALLAH itu
sendiri. Di samping itu, teologi juga harus berbicara tentang kehidupan
manusia yang adalah terang dari ciptaan Tuhan, dan membahas ciptaan
8 Robert J. Schreiter, Choan Seng Song dan Eben Nuban Timo misalnya.
23
Tuhan dalam terang dari kehidupan Tuhan dengan manusia. Karena itu
teologi berbicara tentang hidup.9
Karena teologi berbicara tentang hidup, maka teologi juga harus
berbicara tentang konteks lokal tertentu di mana manusia hidup. Sebab tak
dapat dipungkiri bahwa hidup manusia, baik itu individu maupun
kelompok terbentuk dan terikat di dalam konteks lokal (sosial, budaya,
suku, ras, sejarah, ekonomi, dan politik) tertentu. Sehingga ketika manusia
diajak untuk berteologi, manusia tidak dapat menutup mata dari konteks
lokal manusia itu sendiri. Sehingga proses berteologi mesti berangkat dari
konteks lokal tersebut yang telah mengambil andil untuk membentuk
hidup manusia tersebut, baik itu individu maupun kelompok.
Di sisi lain, ketika melakukan teologi secara lokal, maka teologi
tersebut dapat menjadi sebuah respon iman dan juga dapat melayani iman
Kristen masyarakat lokal dan gereja lokal dengan konteks lokal tertentu.
Pertanyaan selanjutnya ialah, siapa yang dapat melakukan teologi lokal?
Apakah teologi lokal hanya dapat dilakukan oleh para teolog atau kaum
klerus saja?
Dalam kerangka teologi tradisional yang melihat bentuk teologi
sebagai yang diskursus dan akademis, tugas untuk melakukan teologi
9 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 7.
24
hanya dimiliki oleh seorang teolog yang pakar, seorang akademisi,
seorang spesialis yang berpendidikan tinggi, dengan pengetahuan yang
luas menyangkut tradisi Kristen, sejarah doktrin, serta sejumlah
ketrampilan Bahasa dan hermeneutika,10
atau dalam bahasa sederhananya
hanya kaum klerus (rohaniawan) yang dapat melakukan teologi. Dalam
kerangka pemahaman seperti ini, tanpa sadar gereja telah membentuk
sebuah hierarkhi di dalam tubuh teologi gereja.
Di satu sisi, ada kaum klerus yang bertugas untuk berteologi dan di
sisi lain ada kaum awam yang bertugas untuk mengikuti teologi yang
dikonstruksikan oleh kaum klerus. Padahal proses berteologi adalah suatu
bentuk proses beriman manusia kepada Tuhan. Bagaimana mungkin
proses beriman satu manusia harus ditentukan oleh proses beriman
manusia lain, bahkan benar dan salah iman satu manusia harus ditentukan
oleh manusia lain? Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan.
Di sisi lain, bagi Sedmark teologi adalah bagian alami dari
tindakan religius manusia untuk mengekspresikan imannya.11
Dengan
demikian jika bertolak dari pemikiran Sedmark, maka semua orang
beragama dapat melakukan teologi dan tidak hanya terbatas pada teolog
profesional. Oleh sebab itu teologi lokal membuka diri untuk dipakai oleh
10
Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores:
Penerbit Ledalero, 2002), 30. 11
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 14
25
semua orang beragama di dalam kebutuhan mereka demi
mengkonstruksikan teologi yang tepat untuk merespon dan
mengekspresikan iman mereka kepada Tuhan dalam konteks lokal
mereka.
Kendati demikian, supaya tidak mengalami kekacauan karena
teologi lokal membuka diri untuk dapat dipakai oleh semua orang
beragama, maka Sedmark mengusulkan tujuh kriteria12
yang harus diikuti
ketika hendak melakukan teologi lokal, sama seperti menyiapkan makanan
lokal:
1. Bagi Sedmark, kita makan karena kita lapar, demikian juga
ketika melakukan teologi. Kita melakukan teologi karena kita
butuh.
2. Sama seperti makanan yang berfungsi untuk disajikan, teologi
yang dikonstruksikan juga harus memiliki fungsi untuk
melayani konteks tertentu.
3. Makanan itu penting, tetapi selalu temukan makanan dengan
konteks budaya, sama dengan melakukan teologi adalah alami,
tetapi selalu mengambil bentuk budaya tertentu.
12
Sedmark, Doing Local Theology, 19.
26
4. Makanan memberi nutrisi dan energi, begitu juga dengan teologi
yang dikonstruksi.
5. Sama seperti berbagi makanan dapat berbagi tujuan, demikian
juga dengan berbagi teologi yang dikonstruksi.
6. Teologi adalah bangunan komunitas, sama seperti makanan
yang mengikat komunitas menjadi satu.
7. Setiap masakan memiliki resep favorit, demikian juga dengan
teologi lokal. Teologi lokal yang dikonstruksi juga memiliki
nuansa tersendiri dan rasa tersendiri.
Dengan tujuh kriteria di atas, maka semua orang yang melakukan
teologi lokal mendapat bingkai untuk bagaimana membangun sebuah
teologi lokal, sehingga walaupun teologi lokal membuka diri untuk dapat
dilakukan oleh semua orang, tidak akan terjadi kekacauan.
Pernyataan Sedmark di atas tentang semua orang beragama dapat
melakukan teologi, juga didukung oleh Schreiter yang menegaskan bahwa
teologi yang muncul dari konteks-konteks baru seperti teologi pembebasan
misalnya, juga menekankan peranan keseluruhan komunitas orang percaya
dalam pengembangan suatu teologi lokal.13
Bahkan bagi Schreiter
pengalaman komunitas-komunitas Kristen yang telah menyaksikan
13
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung
mulia, 2006), 29.
27
wawasan dan kuasa yang muncul dari refleksi rakyat terhadap pengalaman
mereka dan kitab suci, telah mendorong komunitas itu sendiri untuk
menjadi penyusun utama teologi dalam konteks-konteks lokal,14
sehingga
komunitas tersebut mempunyai peran untuk membentuk dan
mengembangkan sebuah teologi lokal.
Lebih jauh, karena teologi harus berangkat dari kelokalan tertentu,
maka Sedmark mengusulkan agar teologi lokal dilakukan dengan
menggunakan materi-materi dan juga sumber daya lokal yang terbentuk di
dalam konteks lokal masyarakat tertentu, seperti patung-patung, dan
drama-drama sebagai sebuah acuan membangun teologi.15
Usulan
Sedmark juga disetujui oleh Choan Seng Song yang adalah seorang teolog
Asia yang mengkonstruksi teologi dari sumber daya lokal seperti cerita-
cerita lokal di Asia. Bagi Choan Seng Song, cerita-cerita tentang rakyat
kaya akan makna, melampaui bahasanya yang sederhana, skenarionya
yang mengharukan, dan moralnya yang jelas. Bahkan cerita-cerita ini
merupakan sumber yang sangat berharga untuk berteologi.16
Setelah mendapatkan sumber daya lokal untuk mengkonstruksikan
teologi lokal, maka sang teolog perlu untuk menilai kembali sumber daya
14
Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, 29 15
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 12. 16
C.S Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif
Asia”, prakata xi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989).
28
lokal itu, baik itu tradisi maupun budaya, dan melihat apakah sumber daya
lokal tersebut dapat dipakai sebagai sumber untuk mengkonstruksikan
teologi lokal. Ada dua alasan yang mendasari Sedmark mengatakan untuk
menilai kembali sumber daya lokal di dalam lokalitas manusia sebagai
sumber untuk berteologi:
Pertama, karena tradisi manusia yang mengaku percaya kepada
Yesus terbentuk di dalam agama, maka sang teolog mesti menilai kembali
tradisi-tradisi tersebut. Karena tradisi-tradisi tersebut memberikan manusia
banyak ide dan konsep, bahkan beberapa tradisi terlihat sukar dan susah
dipahami. Karena itu bagi Sedmark, dari pada berbicara tentang tradisi
Kristen, lebih nyaman berbicara tentang banyak tradisi kecil yang
membentuk Kekristenan.17
Kedua, dengan menilai kembali sumber daya lokal, maka sang
teolog akan menemukan pesan Yesus di dalam tradisi dan budaya lokal
yang akan memberikan relevansi bagi manusia dengan konteks lokal
mereka.18
Dalam budaya Cina, anak-anak Cina sangat menghormati orang
tua mereka. Budaya anak-anak Cina yang sangat menghargai orang tua
17
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books,
2002), 43. 18
Ibid, 44.
29
mereka dapat digunakan untuk melakukan Cina teologi.19
Karena di dalam
budaya Cina, tersirat pesan Yesus untuk harus menghargai orang tua.
Dengan demikian, teologi dapat mempunyai makna lokal yang
mempunyai relevansi bagi masyarakat lokal yang membangun teologi
lokal tersebut berdasarkan materi-materi lokal dalam konteks mereka.
Karena itu berteologi lokal harus sama seperti memasak sebuah masakan
dengan bahan-bahan lokal di dalam kelokalan tertentu sehingga masakan
teologi itu terasa sesuai dengan lidah lokal tersebut, dan tepat pada hidup
dan dengan identitas kelokalan individu maupun kelompok.
Di sisi lain untuk mencontohkan sebuah proses teologi lokal,
Sedmark memakai hidup Yesus sebagai contohnya. bagi Sedmark Yesus
adalah guru teologi, karena dalam hidup-Nya, Yesus berbicara tentang
ALLAH.20
Di samping itu, dalam melakukan teologi, kategori lokal selalu
melekat di dalam diri Yesus. Bahkan di dalam kitab injil, Yesus secara
jelas digambarkan sebagai manusia yang hidup di dalam konteks lokal
tertentu, yang mana di dalam konteks lokal itu juga terdapat budaya lokal
tertentu.21
Oleh karena itu, di dalam hidup-Nya, Yesus selalu melakukan
teologi lokal, karena pada hakikatnya kehidupan Yesus sendiri adalah
sebuah kehidupan yang penuh dengan pertemuan lokal.
19
Sedmark, Doing Local Theology, 45. 20
Ibid, 21. 21
Ibid, 23.
30
Teologi yang dilakukan Yesus adalah sebuah teologi pragmatis22
yang memberi manfaat yang baik secara langsung bagi orang yang
menerima teologi Yesus, dan tak dapat dipungkiri bahwa teologi Yesus
yang pragmatis itu bersumber pada sumber daya teologi lokal sesuai
dengan kelokalan Yesus. Kelokalan teologi Yesus dapat di lihat dalam
cerita ketika Yesus menyembuhkan mata seorang yang buta dengan
menggunakan tanah dan ludah.23
Bagi orang Yahudi yang adalah
keturunan Israel, memahami bahwa tanah dan air ludah itu mengandung
suatu kekuatan untuk menyembuhkan. Oleh sebab itu Yesus memakai
pemahaman lokal yang berada di dalam budaya lokal dalam konteks
Yesus untuk menyembuhkan orang yang buta tersebut.
Dengan bertolak dari kehidupan Yesus sebagai sebuah contoh
proses berteologi lokal, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa teologi
lokal sangat berkaitan dengan sebuah konteks lokal tertentu dan selalu
menggunakan bahan-bahan dalam konteks lokal tertentu sebagai sebuah
acuan untuk membangun sebuah proses teologi, sehingga teologi yang
dibangun dapat menolong gereja dan juga komunitas orang percaya dalam
konteks lokal tertentu.
22
Sedmark, Doing Local Theology, 28. 23
Ibid, 30.
31
D. Cara Mengkonstruksikan Teologi Lokal
Bertolak dari uraian di atas dapat terlihat bahwa konteks lokal
sangat berpengaruh terhadap sebuah teologi lokal tertentu, sehingga di
dalam proses konstruksi sebuah teologi lokal, para teolog sangat
menekankan konteks lokal tertentu, salah satunya Clemens Sedmark.
Karena itu, setelah menelaah dan menyerdehanakan pikiran Sedmark
tentang teologi lokal dan cara mengkonstruksikan teologi lokal, ada
beberapa poin penting menurut penulis yang diusulkan Sedmark untuk
bagaimana merancang sebuah teologi lokal:
Poin pertama, bagi Sedmark kapan pun teologi dilakukan, teologi
harus dilakukan dari suatu tempat,24
dan tempat itu adalah lingkungan
kerja teologi yang berkaitan dengan situasi manusia.25
Oleh sebab itu
dalam mengkostruksikan sebuah teologi lokal, maka sang teolog harus
berangkat dari suatu konteks (sosial, sejarah, budaya dan politik) lokal
tertentu yang merupakan situasi manusia tertentu, karena sang teolog tidak
dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal di awan-awan atau tanpa
adanya konteks lokal sebagai wadah tempat teologi lokal dikonstruksi.
Usulan Sedmark di atas juga didukung oleh Schreiter dengan
menegaskan bahwa teologi jenis baru atau teologi lokal dimulai dengan
24
Sedmark, Doing Local Theology, 3. 25
Ibid, 7.
32
suatu pengujian terhadap konteks, karena bagaimana mungkin gereja
dapat terlibat dalam refleksi teologis apa pun tanpa pertama-tama
mempelajari konteks terlebih dahulu.26
Dengan demikian, konteks lokal
menjadi salah satu poin yang berpengaruh dalam konstruksi sebuah
teologi lokal.
Poin kedua, menurut Sedmark untuk mengkonstruksikan sebuah
teologi lokal, maka teologi itu memerlukan sumber daya dan materi-materi
lokal yang terdapat di dalam kelokalan tertentu untuk membangun teologi
lokal, misalnya patung-patung dan drama-drama.27
Sehingga menurut
Sedmark, melakukan teologi lokal seperti memasak dengan bahan-bahan
lokal.28
Usulan Sedmark untuk mengkonstruksi sebuah teologi lokal
menggunakan sumber daya lokal juga didukung oleh C.S. Song. Bahkan
di dalam buku Sebutkanlah Nama-Nama Kami “Teologi Cerita dari
Perspektif Asia”, C.S. Song telah menawarkan sebuah paham berteologi
yang dikonstruksi dari cerita-cerita rakyat dan dongeng-dongeng,29
salah
satunya tawaran untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal Cina
26
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung
mulia, 2006), 9. 27
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 12. 28
Ibid, 17. 29
C.S Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif
Asia”, prakata xi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989).
33
dengan menggunakan cerita “cermin” yang merupakan sumber daya lokal
Cina.30
Dengan demikian, sumber daya lokal menjadi salah satu sumber
pengkonstruksian sebuah teologi lokal.
Poin ketiga, bagi Sedmark, setelah menemukan sumber daya dan
materi-materi lokal di dalam konteks lokal yang akan digunakan untuk
mengkonstruksikan teologi lokal, maka sang teolog perlu menilai kembali
sumber daya dan materi-materi lokal tersebut untuk menemukan pesan
Yesus yang terkandung di dalamnya, dan dari pesan Yesus tersebut, sang
teolog dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal yang membawa
relevansi secara langsung bagi kehidupan masyarakat lokal tersebut.31
Disamping itu, nilai yang ditemukan tersebut harus sejalan dengan inti
dari ajaran agama Kristen.32
Sehingga pada tahap ini, Injil (Alkitab)
sebagai identitas Kekristenan menjadi bingkai untuk melihat apakah nilai
yang ditemukan selaras dengan iman Kristen.
Pernyataan Sedmark untuk menilai kembali sumber daya lokal dan
menemukan pesan Yesus yang mempunyai relevansi dalam proses
berteologi juga didukung oleh Choan Seng Song. Bagi C.S. Song, Yesus
sendiri sering menggunakan cerita-cerita untuk menyampaikan pesan
30
Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, 47-48. 31
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 44. 32
Ibid, 45.
34
ALLAH kepada para pendengarnya.33
Dengan demikian, jika bertolak dari
pemikiran C.S. Song, maka para teolog perlu kembali menilai drama-
drama maupun cerita-cerita yang merupakan sumber daya lokal untuk
menemukan pesan Yesus yang dapat membawa relevansi dalam proses
berteologi.
Lebih jauh, C.S. Song menulis tentang sebuah cerita yang berjudul
“cermin”. Cerita ini terkenal di Cina sejak zaman dinasti T’ang (618-
906).34
Bagi C.S. Song, cerita “cermin” merupakan sebuah cerita rakyat
yang sederhana, namun mempunyai arti yang relevan untuk berteologi di
kawasan Asia, terutama Cina. Karena sebuah “cermin” yang bernama
teologi telah diberikan kepada masyarakat Cina untuk menggambarkan
gambar ALLAH sendiri yang terdapat di dalam diri masyarakat Cina.35
Berdasarkan uraian di atas, C.S. Song ingin mengatakan kepada
pembaca bahwa di dalam cerita “cermin” yang merupakan sumber daya
lokal, terdapat pesan Yesus bagi masyarakat Cina. Pesan Yesus tersebut
ialah masyarakat Cina itu adalah Gambar ALLAH itu sendiri, dan pesan
Yesus tersebut memberikan relevansi terhadap proses berteologi di Cina.
Oleh sebab itu, tugas para teolog ketika ingin mengkonstruksikan sebuah
33
C.S Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif
Asia”, prakata x, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989). 34
Ibid, 47-48. 35
Ibid, 48.
35
teologi lokal ialah harus menilai kembali sumber daya lokal yang akan
dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal.
Poin keempat, menurut Sedmark, teologi lokal dibentuk untuk
meresponi iman komunitas lokal dan gereja lokal tertentu.36
Dengan
demikian, teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk dapat merespon
iman Kristen, dan dapat melayani iman Kristen, baik itu individu maupun
kelompok dalam konteks lokal tertentu.
E. Kesimpulan
Kesadaran bahwa bagaimana konteks lokal begitu berperan dalam
membentuk refleksi iman manusia terhadap Tuhan, maka konteks lokal
harus menjadi salah satu unsur yang dipakai dalam mengkonstruksikan
sebuah teologi, disamping Alkitab dan tradisi gereja. Oleh sebab itu para
teolog harus membuka diri untuk mendengar suara Tuhan dan berjumpa
dengan Tuhan di dalam ruang-ruang lokal yang begitu kompleks dalam
konteks tertentu, karena Tuhan telah lebih dulu menjumpakan diri dengan
manusia di dalam konteks lokal yang terbentuk di dalam ruang-ruang lokal
yang begitu kompleks.
36
Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis
Books, 2002), 97.
top related