bab ii tinjauan pustakaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2825/3/bab ii_13.pdf · tujuan tersebut dapat...
Post on 03-May-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Makna Kerja
Secara sederhana bekerja dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan
manusia untuk mendapatkan penghasilan demi memenuhi tujuan tertentu.
Tujuan tersebut dapat berupa pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal,
atau kebutuhan hidup lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Franz Von
Magnis (dalam Anogara, 1998) yang mengatakan bahwa kerja merupakan
sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi, sengaja dilakukan
untuk mendapatkan penghasilan serta pengeluaran energi untuk kegiatan yang
dibutuhkan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.
Selain tujuan pokok bekerja tersebut, dalam dunia kerja (work-life),
bekerja memiliki tujuan tersendiri dalam mewujudkan rasa kemanusiannya.
Tujuan tersebut adalah makna kerja. Makna kerja adalah sekumpulan nilai-
nilai, keyakinan-keyakinan, sikap dan harapan yang orang-orang miliki dalam
hubungan dengan kerja (Siti, 2013). Mengenai pengertian makna kerja para ahli
telah mengemukakan beberapa pendapat, diantaranya:
Menurut Singh (dalam Herudiati, 2013) mendefinisikan makna kerja
merupakan penghayatan individu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dengan
melakukan bekerja dalam sebuah lingkungan kerja. Sementara itu, Chalofsky
(dalam Herudiati, 2013) mengartikan makna kerja sebagai suatu kontribusi
yang signikifikan untuk menemukan tujuan hidup seseorang. Kondisi ini
mendukung untuk melaksanakan pekerjaan dengan semangat kerja dan
8
pandangan yang menjadi dasar spiritual seorang dalam bekerja. Hal ini
kesesuaian tugas dengan motivasi diri dalam bekerja yang bertujuan untuk
mendapatkan penghargaan atas hasil kerja.
Seturut dengan Singh dan Chalofsky, Wrzesniewski (2003) mendefinisikan
makna kerja sebagai pemahaman pekerja terhadap konten atau isi di tempat
kerja dan nilai-nilai dari bekerja sebagai hasil kelanjutan dari perbuatan senang
(sense making). Dari beberapa pengertian makna kerja di atas, bisa dikatakan
bahwa makna kerja adalah penghayatan dan pemahaman individu dalam sebuah
pekerjaan dalam bentuk nilai-nilai yang bertujuan memenuhi kebutuhan dan
kebahagiaan hidup.
B. Aspek-Aspek Makna Kerja
Untuk dapat memahami makna kerja seorang pekerja, ada beberapa teori
yang bisa digunakan, di antaranya: dimensi makna kerja, aspek makna kerja
dan sumber makna kerja. Berikut akan dijelaskan ketiga teori tersebut:
1. Dimensi Makna Kerja
Makna kerja terdiri dari beberapa dimensi. Harpaz (2002)
menggambarkan makna kerja dalam beberapa dimensi, yaitu:
a. Sentralisasi Kerja, adalah dimensi yang paling mendasar, dominan,
dan paling penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan bekerja
memiliki porsi yang lebih banyak dalam kehidupan seseorang
dibanding yang lainnya. Individu dengan sentralisasi kerja yang
tinggi juga memiliki komitmen kerja yang tin ggi pula. Hal ini
9
dilakukan demi mencapai tujuan dan kepuasan dari pekerjaan
mereka.
b. Hak dan Kewajiban, norma hak adalah Individu memiliki hak dasar
dan tanggungjawab pribadi dan sosial terhadap komitmen kerja
sesuai dengan jenis pekerjaan. Sebaliknya, norma kewajiban
merupakan tugas individu untuk ikut ambil bagaian dalam
memberikan kontribusi pada organisasi dan masyarakat. Tampaknya
bahwa jika masyarakat umumnya memegang norma dan sikap
terhadap kerja yang positif, maka pekerjaan akan cenderung menjadi
pusat dan sangat dihargai.
c. Orientasi Instrumental, konsep ini mengasumsikan bahwa orang
bekerja terutama termotivasi untuk memperoleh kepentingan dari
segi ekonomi dari konteks pekerjaan mereka. Ini adalah peran paling
penting dari pekerjaan di mana orang mengidentifikasi bahwa
memberikanpenghasilan untuk menopang kehidupan dan pemenuhan
kebutuhan. Dengan demikian, tampaknya bahwa orang-orang dengan
kecenderungan tinggi terhadap nilai-nilai ekonomi yang menganggap
pekerjaan sebagai alat utama untuk memberikan pendapatan.
Dengan adanya penghargaan, ini bisa menjadi sebuah alat untuk
meningkatkan motivasi kerja individu.
d. Orientasi Intrisik, konsep ini menekankan kebutuhan individu,
termasuk evaluasi kompetensi individu dan ketertarikan terhadap
pekerjaan yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dimotivasi oleh
perasaan ingin mengaktualisasikan diri.
10
e. Relasi Interpersonal, manusia adalah mahkluk sosial dan adanya
interaksi antar manusia bisa menjadi penting untuk peningkatan
kesehatan mental mereka dan meningkatkan makna hidup dalam diri
mereka.
Dari dimensi makna kerja yang sudah tercantum diatas, dapat
disimpulkan bahwa dimensi yang mendasari individu dalam memaknai
pekerjaannya yaitu bagaimana individu menganggap pentingnya sebuah
pekerjaan dilihat dari orientasi dan tujuan serta penghayatan dalam
melakukan pekerjaannya. Selain itu pekerjaan bisa dilihat dari dimensi kerja,
bahwa bekerja sebagai alat untuk membangun relasi sosial, pekerjaan
memiliki porsi yang besar dalam diri seseorang, sebagai alat pemenuhan
pada segi ekonomi, dan sebagai alat untuk aktualisasi diri, peningkatkan
makna hidup seseorang, dan kerja dipandang sebagai pemenuhan hak dan
kewajiban sebagai manusia.
2. Aspek Makna Kerja
Menurut Wrzesniewski (1999) dalam penelitian menyebutkan bahwa
persepsi para pegawai terhadap pekerjaan mereka memiliki dampak yang dalam
pada aspek atau orientasi penting pekerjaan mereka. Aspek penting tersebut
yaitu:
a. Pekerjaan sebagai sebuah pekerjaan (job). Pekerjaan dianggap
sebagai pendapatan pokok dan sebagai sebuah sarana untuk
mencapai tujuan dan ketika tidak memeliki pendapatan akan
berhenti. Dalam aspek ini, orientasi yang diutamakan adalah
keuntungan ekonomi.
11
b. Pekerjaan sebagai sebuah karir (career). Pekerjaan dipandang
sebagai motivasi untuk berprestasi, stimulus kebutuhan untuk
bersaing atau meningkatkan prestis dan kepuasan. Orientasi dalam
aspek ini adalah jabatan atau karir. Individu melihat pekerjaan
sebagai tajap bertingkat atau pencapaian dilihat dari gaji yang tinggi,
status atau kedudukan di tempat kerja dan tanggung jawab yang lebih
besar. Kepuasan kerja dilihat dari adanya peningkatan gaji atau
jabatan yang berkesinambungan. Individu yang melihat pekerjaan
sebagai sebuah karir akan senantiasa mendedikasikan waktu,
kemampuan dan usahanya untuk bekerja sepanjang waktu demi
mencapai karir dengan berfokus pada prestise dan kekuasan yang
lebih tinggi dan diasosiasikan dengan kenaikan gaji.
c. Pekerjaan sebagai sebuah panggilan (call). Pekerjaan adalah sumber
kebermaknaan diri. Individu yang memandang pekerjaan sebagai
sebuah panggilan akan mengenali dan percaya bahwa pekerjaan yang
mereka lakukukan mampu memberikan kontribusi kepada
lingkungan sosial atau pekerjaan sebagai sarana untuk melayani diri
sendiri dan orang lain. Dalam aspek ini, orientasi kerjanya adalah
pekerjaan itu sendiri. Individu merasakan motivasi untuk bekerja
berasal dari dalam diri dan individu dengan orientasi kerja ini merasa
bahagia dengan pekerjaan yang ia lakukan. Kepentingan utama
dalam bekerja individu tersebut adalah karena panggilan hidup.
12
3. Sumber Makna Kerja
Menurut Rosso, dkk (2010) sumber-sumber makna kerja mempunyai
variasi dan faktor yang mempengaruhi persepsi makna dan pemaknaan, mulai
dari sikap individu terhadap nilai organisasi hingga hubungan spiritual. Salah
satu cara berpikir tentang faktor-faktor yang berbeda-beda adalah bahwa
mereka semua sumber potensi makna dan kebermaknaan dalam pekerjaan. Di
bawah ini adalah macam-macam sumber makna kerja:
a. Diri Sendiri
1) Nilai (values)
Untuk dapat menjadikan pekerjaan itu bermakna, maka dibutuhkan
nilai dalam pekerjaan tersebut. Nilai itu adalah tahapan terahkir
seseorang dalam menginginkan dan merasakan dirinya seharusnya
mampu menyadari saat-saat individu bekerja. Pengalaman kerja yang
berkesinambungan makna kerja akan membentuk nilai kerja. Oleh
karena itu, menurut Rosso, individu cenderung memilih pekerjaan
yang sesuai dengan nilai-nilai personalnya.
2) Motivasi (motivation)
Selain nilai (values), motivasi dari dalam diri juga menyebabkan
terbentuknya makna kerja. Motivasi seseorang dalam bekerja
mempengaruhi pemaknaan kerja seseorang ketika melakukan bekerja.
Oleh karenanya, ketika seseorang merasa bekerja adalah suatu yang
bermakna, maka motivasi dalama dirinya akan tumbuh. Sehingga
dengan adanya motivasi tersebut, maka muncullah makna kerja pada
dirinya.
13
3) Kepercayaan (beliefs)
Seorang pekerja perlu kepercayaan pada dirinya bahwa pekerjaan
mereka adalah pusat kehidupan mereka atau pekerjaan mereka
merupakan bagian dari kehidupan mereka. Oleh karenanya,
kepercayaan merupakan salah satu sumber makna kerja. Semakin
terlibat seseorang dengan pekerjaannya, maka akan semakin sulit
baginya untuk memisahkan diri sendiri atau harga diri seseorang dari
pekerjaan itu, dan pada akhirnya pekerjaan yang ia lakukan akan
memunculkan makna kerja yang lebih berarti.
b. Orang lain
1) Pegawai selevel (coworkers)
Tempat kerja adalah arena di mana beragam hubungan
interpersonal terbentuk. Para ahli teori telah menyatakan bahwa
hubungan interpersonal yang erat dengan rekan kerja mungkin
memiliki dampak positif pada persepsi kebermaknaan jika mereka
memberikan peluang bagi karyawan untuk mengekspresikan dan
memperkuat identitas yang dihargai dalam pekerjaan.
2) Pemimpin
Pemimpin juga memainkan peran penting dalam membentuk atau
mempengaruhi makna kerja. Pertama, pemimpin membingkai misi,
tujuan, tujuan, dan identitas organisasi untuk karyawan dengan cara
yang mempengaruhi persepsi mereka tentang makna pekerjaan
mereka.
14
3) Komunitas/grup
Penelitian tentang teori identitas sosial menunjukkan bahwa
individu mengkategorikan diri mereka sesuai dengan kelompok sosial
yang mereka anggap sebagai anggota.
4) Keluarga
Para ahli telah meneliti arti pekerjaan dalam kaitannya dengan
keluarga untuk populasi tertentu, khususnya imigran. Pertanyaan
tentang arti pekerjaan bisa lebih menonjol bagi imigran daripada orang
lain, karena imigran sering menemukan diri mereka dalam status
pekerjaan yang lebih rendah di negara baru mereka daripada yang
mereka pegang di negara asal mereka. Keluarga juga dapat
meningkatkan makna positif dari pekerjaan dengan menawarkan
lingkungan yang mendukung dan santai di mana seseorang dapat pulih
dari tuntutan pekerjaan. Mengungkapkan kekaguman, rasa hormat, dan
cinta dari keluarga terhadap seseorang dapat mempengaruhi munculnya
kebermaknaannya dalam bekerja.
Selain keempat sumber makna kerja di atas, Rosso dkk juga
memberikan beberapa arahan masa depan terkait sumber makna kerja
yang berasal dari orang lain, yaitu: Pertama, meskipun ada cukup
banyak penelitian tentang peran berbagai orang lain tentang makna
kerja, literatur ini sangat terbelakang dibandingkan dengan penelitian
yang masih ada pada sumber-sumber lain dari makna kerja. Kedua,
Rosso dkk mendorong para peneliti yang tertarik pada orang lain
sebagai sumber makna kerja untuk memperluas kerangka kerja dari
15
mana mereka menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini. Ketiga, Rosso
dkk mendorong para peneliti untuk lebih memperhatikan pengaruh
hubungan internasional dyadic pada arti pekerjaan.
c. Konteks Pekerjaan (The work context)
1) Desain Pekerjaan (Design of job task)
Pekerjaan terbaru lainnya dalam domain ini memperluas asumsi
penelitian desain pekerjaan tradisional untuk menunjukkan bahwa
karyawan tidak hanya mengartikan makna dari karakteristik pekerjaan
mereka, tetapi sebaliknya secara proaktif mendesain (atau mendesain
ulang) tugas dan batas-batas relasional pekerjaan mereka untuk
membentuk arti pekerjaan mereka.
2) Misi Organisasi (organizational mission)
Misi organisasi adalah representasi dari tujuan dasar, nilai, dan
tujuan yang didedikasikan organisasi. Makna kerja peneliti telah
mengusulkan bahwa misi organisasi berfungsi sebagai sumber makna
sejauh karyawan merasakan keselarasan antara nilai-nilai inti dan
ideologi mereka dan orang-orang dari organisasi mereka.
3) Kondisi Keuangan (financial circumstance)
Aliran penelitian lain mempertimbangkan konteks kerja dengan
memeriksa peran keadaan keuangan individu dalam cara mereka
menentukan makna pekerjaan mereka. Peran imbalan uang adalah area
yang saat ini menikmati kebangkitan minat penelitian dalam perilaku
organisasi.
16
4) Domain non-pekerjaan (non-work domains)
Individu berusaha untuk membuat lingkungan kerjanya menjadi
mirip seperti hobi dan kegiatan-kegiatan sosial yang individu sukai.
5) Budaya Pekerjaan (National culture)
Beberapa tulisan yang paling awal tentang makna kerja berakar
pada perspektif bahwa kekuatan sosial dan budaya yang luas memiliki
pengaruh yang kuat pada makna yang dibuat orang dari pekerjaan.
Dengan demikian, kesimpulan penting dari penelitian ini adalah bahwa
setidaknya untuk negara-negara industri yang diteliti, ada
kemungkinan lebih banyak perbedaan dalam makna kerja dalam
budaya daripada antar budaya. Hasil serupa ditemukan dalam
penelitian penelitian lintas-budaya besar lainnya yang berfokus pada
nilai-nilai dan makna kerja di antara para pekerja di sebelas negara.
d. Kehidupan Spiritual
1) Spiritualitas (Spirituallity)
Spiritualitas adalah aspirasi menuju koneksi ke sakral, termasuk
kekuatan yang lebih tinggi, kekuatan membimbing atau energi, atau
sistem kepercayaan. Bagi banyak teoretisi, spiritualitas tidak dapat
dipahami tanpa pertanyaan pertanyaan. Dengan sifat alami mereka,
pencarian spiritual tampaknya memunculkan transendensi-diri,
menghubungkan ego dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri
atau menggantikan ego sepenuhnya.
17
2) Panggilan Sakral (Sacred calling)
Sebagian besar penelitian teoretis dan empiris tentang peran
kehidupan spiritual dalam arti pekerjaan berfokus pada konstruksi
panggilan dan panggilan sakral. Dalam tinjauan kami tentang diri
sebagai sumber makna, kami mendeskripsikan penelitian yang meneliti
pemanggilan dari perspektif sekuler, di mana panggilan itu muncul dari
isyarat internal ke jenis pekerjaan tertentu. Namun demikian, panggilan
suci didefinisikan sangat berbeda: sebagai undangan dari Tuhan untuk
panggilan, di mana kehendak Tuhan dilakukan.
Dari ketiga teori di atas, dalam penelitian ini hanya akan berfokus pada
teori dimensi makna kerja yang dikemukakan oleh Harpaz. Sedangkan teori aspek
makna kerja dan sumber makna kerja digunkan untuk mendukung dan membantu
analisis data.
C. Guru Khidmah di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah
1. Pengertian Guru Khidmah
Suparlan dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Efektif
mendefinisikan guru sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan
emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Namun, Suparlan (2001)
juga menambahkan bahwa secara legal formal, guru adalah seseorang yang
memperoleh surat keputusan (SK), baik dari pemerintah maupun pihak swasta
untuk mengajar. Selain pengertian tersebut, terdapat pula pengertian yang lebih
sempit yaitu guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar atau memberikan
18
pelajaran di sekolah atau di dalam kelas. Akan tetapi tidak semua guru
menganggap guru adalah sebuah pekerjaan. Seperti misalnya di pondok
pesantren.
Di pondok pesantren tradisional (salaf) masih terdapat budaya-budaya
pengabdian guru untuk mengajar dan mendidik para santri di pesantren. Di
pondok pesantren benar-benar menanamkan nilai pengabdian dan keikhlasan.
Pengabdian dalam kamus agama disebut khidmah di pondok pesantren. Istilah
tersebut bagi kaum santri tidaklah merupakan sesuatu yang hina, karenanya arti
dalam kamus umum istilah pengabdian sering diartikan dengan hal-hal yang
menurunkan derajat diri seseorang dan merupakan sesuatu yang hina, karena
dia harus menjadi hambah seseorang yang lebih tinggi derajatnya. Namun bagi
kaum santri pengabdian merupakan salah satu usaha positif yang justru dengan
pengabdian akan mengangkat derajat dirinya sebagai manusia yang hina
menjadi manusia yang kamil dan dengan melakukan pengabdian itu akan
mendatangkan barakah dalam kehidupan (Sa’diyah, 2015).
Khidmah sendiri dalam bahasa pesantren umumnya dan pesantren
Luqmaniyah khususnya lebih sering diterjemahkan dengan kata “pengabdian”.
Khidmah dalam epistomologi sendiri bermakna melayani. Khidmah yang
dimaksud oleh para ulama dan kitab-kitab klasik itu ditujukan kepada ahlul
ilmi, yaitu kepada seorang Mu’allim atau orang yang mentransfer ilmu kepada
kita, dengan kata lain para guru kita. Pengabdian adalah loyalitas secara total
kepada seorang guru, yang dalam hal ini adaah kyai dan para guru. Pemberian
segala upaya, loyalitas tanpa batas kita berikan kepada mereka (Sa’diyah:
2015).
19
Pengabdian santri dalam pondok pesantren Al-Luqmaniyah bisa dilihat
dalam beberapa tradisi-tradisi yang masih ada hingga sekarang, seperti
misalnya tradisi mujahadah. Tradisi Mujahadah merupakain rangkaian kegiatan
santri yang berhubungan dengan spiritual keagamaan di dalam setiap individu.
Kegiatan ini rutin dilakukan setiap Senin Legi malam di pondok. Tradisi ini
berisi rangkaian kegiatan spiritual untuk memperkuat iman dan cinta kepada
Nabi Muhammad, seperti shalawat, dzikir, mauidlatul hasanah, mahalulqiyam,
dan doa. Dalam rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut, santri-santri maupun
alumni ikut membantu kelancaran acara tersebut dengan sukarela (khidmah).
Ada yang bagian mengurusi masyarakat, mengurusi makan (nyinom), mengisi
acara (Kasiono, 2010).
Tradisi lain selain tradisi mujahadah adalah tradisi sorogan. Tradisi lain
yang mencerminkan bentuk pengabdian dalam Pesantren Al-Luqmaniyyah
adalah diskusi kegiatan diskusi sorogan setiap hari Senin dan Selasa malam.
Kegiatan belajar sorogan adalah kegiatan belajar dalam bentuk diskusi, saling
menanggapi dan saling berinteraksi secara langsung terkait suatu tema. Dalam
kegiatan tersebut peran seorang guru menjadi seorang pengarah adalah penting
agar tidak terjadi debat kusir antar santri. Guru yang bertugas dalam kegiatan
sorogan tersebut selalu merupakan seorang guru yang mengabdi atau guru
khidmah (Rozak, 2017).
Dengan adanya tradisi-tradisi tersebut, maka bisa dikatakan bahwa jenis-
jenis khidmah yang ada di lingkungan pesantren Al-Luqmaniyyah ada tiga
macam. Pertama, khidmah layanan masyarakat (eksternal pondok) yang
mengabdi pada masyarakat lingkungan sekitar pondok dan terjun langsung
20
untuk membantu masyarakat. Kedua, khidmah Kiai (abdi dalem/internal
pondok) yang mengabdi di wilayah internal pondok pesantren. Ketiga, khidmah
guru yang mengabdi di wilayah pengajaran, pendidikan dan kegiatan belajar
mengajar santri. Khidmah-khidmah yang dilakukan santri tersebut tidak ada
unsur paksaan dan berasal dari keinginan santri itu sendiri (Sa’diyah, 2015)
Pengabdian jauh dari kesan materialistis dalam mengerjakan sesuatu
karena besarnya arti keikhlasan dalam pengabdian yang telah tertanam pada
jiwa santri, seorang santri dibina dan ditempa menjadi pribadi yang tangguh
namun penuh kelembutan hati dan keikhlasan serta dihiasi dengan akhlakul
karimah dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin ummat di masa yang akan
mendatang. Budaya pengabdian akan menumbuhkan pola pikir yang peduli
terhadap sesama. Dalam hal ini menjalankan tugas sebagai kader agama dan
masyarakat akan mampu menciptakan rasa peduli terhadap sesama. Karenanya
seorang santri telah terpupuk dan mengakar ajaran yang didapat di pesantren
serta mengaktualisasikannya dalam bingkai ta’awanu ‘alal birri wat taqwa
(saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa) (Sa’diyah, 2015).
Dari uraian di atas guru khidmah adalah orang yang berupaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan
emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya dengan tujuan untuk
melayani dengan ikhlas sebagai bentuk loyalitas secara total kepada
Kiai/pondok pesantren. Tugas utama sebagai guru khidmah di pesantren adalah
bertanggung jawab dalam bidang pengajaran dan kegiatan belajar mengajar
seperti sorogan, wetonan dan diniyah.
21
2. Tugas dan Tujuan Guru Khidmah
Pengabdian atau khidmah dalam bidang pendidikan sebagai guru tidak
hanya bertugas untuk dan mengajar saja. Guru khidmah harus memiliki
kedalaman ilmu pengetahuan. Guru khidmah juga mesti seorang yang bertakwa
dan berakhlak atau berkelakuan baik. Hal tersebut dikarenakan secara langsung
atau tidak langsung, perilaku atau sikap dari guru khidmah mempunyai
pengaruh terhadap motivasi belajar siswa/santri, baik yang positif maupun yang
negatif. Jika kepribadian yang kepribadian yang ditampilkan guru khidmah
sesuai dengan segala tutur sapa, sikap, dan perilaku, maka santri akan
termotivasi untuk belajar dengan baik (Khalid, 2017).
Menjadi guru khidmah yang baik saat mengajar adalah sama seperti
menjadi guru pada umumnya yaitu bukan soal sifat guru profesional tersebut,
melainkan soal kemampuan mengatur irama pembelajaran. Guru Khidmah
lebih mementingkan tanggung jawab atas segala keputusannya baik intelektual
maupun sikap. Guru khidmah diharapkan memiliki rasa kesejawatan
menjunjung tinggi etika profesi dalam suatu pondok pesantren. Hal itu
tercermin dari kegiatan belajar sorogan atau wetonan (Rozak, 2017)
Yang menjadi ciri khas konsep kerja guru khidmah adalah tujuan guru
khidmah lebih mengutamakan pengabdiannya kepada agama. Guru khidmah
juga memiliki peran penting dalam berdakwa, mengajarkan dan menyebarkan
syari’at agama Islam bagi para santri. Guru khidmah juga memiliki tanggungan
dunia akhirat, yaitu selain menjadikan santri lebih pintar dan mempunyai masa
depan yang cerah, guru khidmah juga harus mampu menjadikan santri menjadi
manusia yang ber-akhlaqul karimah serta meningkatkan iman dan taqwa
22
kepada Allah SWT. Sehingga tujuan guru khidmah dalam melakukan
pekerjaannya sebagai guru khidmah adalah memebentuk kepribadian seorang
santri menjadi insan kamil yaitu manusia yang utuh secara rohani dan jasmani
serta menjadi manusia yang dapat berkembang secara wajar dan normal
(Darajat, 2002).
3. Karakteristik Guru Khidmah
Seorang guru bisa dikatan sebagai guru apabila seseorang tersebut
mempunyai kompetensi dalam mengajar, mau menggali dan menyalurkan ilmu
kepada peserta didik dengan cara penyampaian yang tepat. Begitu pula dengan
guru khidmah. Akan tetapi, terdapat beberapa karakteristik yang terdapat dari
guru khidmah yang tidak terdapat pada guru pada umumnya. Karakteristik
tersebut diantaranya adalah:
a. Mengajar sebagai Bentuk Ibadah
Guru khidmah adalah salah satu bentuk ibadah. semua yang disukai
dan diridhai oleh Allah SWT baik berupa perkataan maupun perbuatan
yang tersembunyi dan yang terangterangan, seperti Shalat, Zakat, Puasa,
dan Haji, juga berbicara benar, menunaikan amanah, berbakti kepada
kedua orang tua dan menyambung silaturrahim. Sebagai bentuk ibadah,
seorang guru khidmah harus ahli di bidang teori dan praktik Agama Islam.
Guru khidmah tidak hanya guru yang menguasai ilmu pengetahuan agama
Islam tapi juga harus mampu mempraktekkannya. Hal tersebut karena guru
khidmah sebagai pendidik, hidup bersama dengan santri sebagai peserta
didik serta mengajar adalah salah satu bentuk ibadah yang disukai dan
23
diridhai Allah swt. Jadi, sikap, prilaku, dan tingkah laku (akhlaq) guru
khidmah dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan salah satu bentuk
pendidikan dengan cara langsung mempraktekkannya. Seperti yang
diucapkan Khalid (2017) bahwa niat utama menjadi guru khidmah adalah
ibadah dan mengharap barakah agar supaya selamat dunia akhirat.
b. Mengajar Sebagai bentuk pengabdian
Guru Khidmah sebagai bentuk pengabdian. Guru khidmah sebagai
bentuk pengabdian tentunya mereka lebih memiliki rasa kepedulian
terhadap pesantren. Pada awalnya, sebelum menjadi guru khidmah dalam
pesantren ia adalah santri dari pesantren tersebut. Ia hidup dalam pesantren
selama beberapa tahun, belajar, tidur dan makan di pondok. Oleh karena
itu, guru khidmah harus mempunyai rasa peduli dan rasa memiliki terhadap
pesantren, seperti semboyan umumnya bagi para santri dari pondok untuk
pondok. Seperti yang dikatakan oleh Khalid (2017), bahwa ciri utama dari
guru khidmah adalah dia tulus mengabdi kepada pesantren dan untuk
melihat ketulusan tersebut adalah dengan adanya rasa memiliki dan perduli
terhadap pesantren.
c. Tidak memperdulikan gaji.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, guru khidmah lebih
mementingkan tanggung jawab dan amanah dari Kiai untuk menjadi
pendidik di lingkungan pesantren. Hal ini juga berlaku kepada jenis
khidmah-khidmah yang lain, seperti khidmah abdi dalem dan Lamasta.
Jika mereka mendapatkan gaji mereka bersyukur, jika tidak mereka tidak
meminta. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Khalid (2017), bahwa
24
gaji guru khidmah tidak pernah pasti. Kalau ada gaji, diterima.Kalau tidak
ada gaji, tidak masalah.
D. Makna Kerja Guru Khidmah
Dimensi makna kerja yang mendasari individu dalam memaknai
pekerjaannya terlihat dari bagaimana individu menganggap pentingnya sebuah
pekerjaan. Selain itu pekerjaan bisa dilihat dari dimensi kerja, bahwa bekerja
sebagai alat untuk membangun relasi sosial, pekerjaan memiliki porsi yang
besar dalam diri seseorang, sebagai alat pemenuhan pada segi ekonomi, dan
sebagai alat untuk aktualisasi diri, peningkatkan makna hidup seseorang, dan
kerja dipandang sebagai pemenuhan hak dan kewajiban sebagai manusia. Hal
ini juga berlaku bagi guru khidmah di Pesantren Al-Luqmaniyyah.
Aspek yang mendasari makna kerja guru khidmah adalah pekerjaan
sebagai sebuah panggilan (call). Menjadi guru khidmah adalah sumber
kebermaknaan diri. Guru khidmah percaya bahwa pekerjaan yang mereka
lakukukan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan sosial sebagai
sarana untuk melayani diri sendiri dan orang lain. Guru khidmah merasakan
motivasi untuk bekerja berasal dari dalam diri dan merasa bahagia dengan
pekerjaan yang ia lakukan. Kepentingan utama dalam bekerja individu adalah
karena panggilan hidup.
Sedangkan dimensi yang mendasari guru khidmah dalam memaknai
pekerjaannya ada lima. Pertama, dimensi sentralisasi kerja. Selain sebagai
pengajar dan pendidik, pada umumnya guru juga mempunyai tugas sebagai
membentuk karakter dan kepribadian masyarakat. Menurut DEPDIKBUD tugas
25
utama guru selain mengajar tugas guru juga terdapat tugas manusiawi dan tugas
kemasyarakat. Tugas manusiawi yaitu membina peserta didik dalam rangka
meningkatkan dan mengembangkan martabat diri sendiri, kemampuan manusia
yang optimal serta pribadi yang mandiri. Sedangkan tugas kemasyarakatan,
yaitu dalam rangka mengembangkan terbentuknya masyarakat Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Darmadi, 2009).
Dengan demikian tugas menjadi seorang guru bukanlah merupakan tugas yang
mudah yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Setidaknya seorang guru
harus mempunyai pengalaman dan keinginan kuat untuk mengajar.
Berkaitan dengan tugas guru sebagai seorang pendidik dan pengajar, guru
khidmah juga mempunyai tugas dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, jika
melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru khidmah di pesantren Al-
Luqmaniyyah (Kasiono, 2017) maka guru khidmah tidak harus mempunyai
pengalaman kerja menjadi guru atau keinginan dan motivasi menjadi guru.
Guru khidmah cenderung tidak mempunyai niatan atau motivasi untuk menjadi
pengajar.
Kedua, dimensi hak dan kwajiban. Secara umum guru mempunyai hak
untuk memperoleh upah dan penghargaan serta pengembangan diri dalam
rangka meningkatkan kualitas kinerjanya. Secara umum, guru berkewajiban
melaksanakan seluruh tugas dengan baik sesuai dengan aturan dan bersedia
menerima sanksi atas kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan. Guru
wajib memperjuangkan kemajuan lembaganya di mana guru tersebut bekerja
dan berjuang untuk merencanakan dan melaksanakan pembelajaran secara
berkualitas sehingga lulusannya menjadi warga masyarakat yang handal dalam
26
melaksanakan tugas di masyarakat. Namun, hal tersebut berbeda dengan guru
khidmah (Sa’diyah, 2015).
Guru khidmah tidak begitu memikirkan haknya, terutama hak terkait upah.
Hal itu tak lain karena guru khidmah di Pesantren al-Luqmaniyya mempunyai
status seperti santri biasa dan berstatus sebagai pengabdi. Guru khidmah di
pesantren al-Luqmaniyyah lebih mementingkan kewajiban mereka untuk
menemani santri dalam proses belajar. Hal ini seperti yang diucapkan salah satu
guru Khidmah di Pesantren al-Luqmaniyyah, bahwa kebanyakan guru khidmah
lebih mementingkan kewajiban mereka dibanding haknya. Karena menjadi
guru khidmah bukan tugas yang mudah. Itu adalah amanat dari Kiai (Khalid,
2017).
Ketiga, dimensi Orientasi Instrumental. Orang bekerja terutama
termotivasi untuk memperoleh kepentingan dari segi ekonomi dari konteks
pekerjaan mereka. Ini adalah peran paling penting dari pekerjaan di mana orang
mengidentifikasi bahwa memberikanpenghasilan untuk menopang kehidupan
dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, tampaknya bahwa orang-orang
dengan kecenderungan tinggi terhadap nilai-nilai ekonomi yang menganggap
pekerjaan sebagai alat utama untuk memberikan pendapatan. Dengan adanya
penghargaan, ini bisa menjadi sebuah alat untuk meningkatkan motivasi kerja
individu (Harpaz, 2002).
Orientasi instrumental guru khidmah mempunyai kecenderungan yang
berbeda dari orientasi instrumental kerja pada umumnya. Orientasi instrumental
guru khidmah tidak mengedepankan nilai-nilai ekonomi, melainkan lebih pada
nilai-nilai religius. Hal tersebut terlihat dari kegiatan-kegiatan belajar mengajar
27
yang dilakukan guru khidmah pada saat mujahadah, wetonan atau sorogan
dimana guru khidmah mempunyai motivasi tinggi mengajar santri (Rozak,
2017).
Keempat, dimensi Orientasi Intrinsik. Dimensi orientasi intrinsik
menekankan kebutuhan individu, termasuk evaluasi kompetensi individu dan
ketertarikan terhadap pekerjaan yang memiliki tingkat kesulitan tinggi
dimotivasi oleh perasaan ingin mengaktualisasikan diri. Sebagian besar guru
khidmah pada awalnya tidak mampu dan tidak mempunyai ketertarikan
terhadap bidang pekerjaan yang diminatinya. Namun karena adanya permintaan
dari sang Kiai untuk melakukan pekerjaan sebagai guru, maka guru khidmah
tersebut mau tak mau harus belajar dan melakukan evaluasi pembelajaran. Hal
ini terlihat dari bagaimana sistem pembelajaran wetonan dan sorogan di
pesantren yang lebih mengutamakan metode diskusi/sharing. Dari metode
tersebut, guru dan murid bisa saling belajar dan saling mengajar bersama
(Rozak, 2017).
Kelima, dimensi Relasi Interpersonal. Pekerjaan guru khidmah
dilingkungan pesantren merupakan suatu posisi yang terhormat. Saifuddin
Zuhri (2001) mengatakan bahwa guru dalam lingkungan pesantren adalah
perpanjangan tangan dari Kiai. Jika santri ingin mendapat berkah dari Kiai,
maka santri tersebut harus menghormati guru. Dengan demikian, guru khidmah
mempunyai kelekatan relasi dengan santri-santri, pengurus pondok, sesama
khidmah dan Kiai.
28
E. Pertanyaan Penelitian
Jika mengacu pada Wrzesniewski dkk (2003) dan Rosso, et all (2010)
bahwa pekerjaan dianggap sebagai pendapatan pokok dan sebuah sarana
mencapai tujuan ekonomi. Seseorang yang mempunyai kebutuhan ekonomi
yang besar akan lebih fokus pada nilai ekonomi daripada pekerjaan. Dari teori-
teori di atas menggambarkan bahwa hal yang utama dalam bekerja adalah
mencari dan memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari untuk menafkahi
keluarga atau diri sendiri. Akan tetapi, pekerjaan sebagai guru khidmah di
pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta tidak menitikberatkan segi orientasi
instrumental.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat tema makna kerja bagi
guru khidmah di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta karena
kegiatan bekerja yang mereka lakukan memiliki dimensi yang tidak hanya
menjadikan suatu pekerjaan sebagai alat untuk bertahan hidup semata akan
tetapi juga untuk mendapatkan nilai-nilai lain yang dianggap dapat memberikan
ketentraman hidup bagi para Guru khidmah di Pondok Pesantren dan
masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian maka pertanyaan dalam penelitian
ini adalah bagaimana dimensi makna kerja guru khidmah di Pondok Pesantren
Al-Luqmaniyyah Yogyakarta?
top related