bab ii tinjauan pustaka 2.1 puskesmas 2.1.1 pengertian
Post on 16-Oct-2021
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Puskesmas
2.1.1 Pengertian Puskesmas
Berdasarkan PMK No. 43 tahun 2019 Pusat Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di
wilayah kerjanya.
Berdasarkan PMK No. 43 tahun 2019 pasal 2 :
1. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan wilayah kerja Puskesmas yang sehat, dengan masyarakat yang:
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat;
b. mampu menjangkau Pelayanan Kesehatan bermutu;
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat.
2. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam rangka mewujudkan kecamatan sehat.
7
3. Kecamatan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan untuk
mencapai kabupaten/kota sehat.
2.1.2 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas
Berdasarkan PMK No. 43 tahun 2019 Bab 2 pasal 3 meliputi:
a. Paradigma sehat;
b. Pertanggungjawaban wilayah;
c. Kemandirian masyarakat;
d. Ketersediaan akses pelayanan kesehatan;
e. Teknologi tepat guna; dan
f. Keterpaduan dan kesinambungan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), Puskesmas memiliki fungsi:
i. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
ii. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, Puskesmas berwenang untuk:
a. Menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah
kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
8
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan
masyarakat yang bekerja sama dengan pimpinan wilayah dan sektor
lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan
pelayanan Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya
masyarakat;
f. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,
kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor
biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual;
i. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi erhadap akses,
mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan;
j. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat
kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem
kewaspadaan dini, dan respon penanggulangan penyakit;
k. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga; dan
9
l. Melakukan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui
pengoordinasian sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.
Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, Puskesmas berwenang untuk:
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan, bermutu, dan holistik yang mengintegrasikan
faktor biologis, psikologi, sosial, dan budaya dengan membina
hubungan dokter – pasien yang erat dan setara;
b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berpusat pada
individu, berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada kelompok
dan masyarakat;
d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan
kesehatan, keamanan, keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan
lingkungan kerja;
e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif
dan kerja sama inter dan antar profesi;
f. Melaksanakan penyelenggaraan rekam medis;
10
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan
akses Pelayanan Kesehatan;
h. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia Puskesmas;
i. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan
Sistem Rujukan; dan
j. Melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di wilayah kerjanya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2.1.3 Persyaratan Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 43
tahun 2019 pasal 10, persyaratan Puskesmas adalah sebagai berikut:
1. Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan.
2. Dalam kondisi tertentu, pada 1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih
dari 1 (satu) Puskesmas.
3. Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk,
dan aksesibilitas.
4. Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan, ketenagaan,
kefarmasian, dan laboratorium klinik.
11
A. Lokasi
Berdasarkan Permenkes No. 43 tahun 2019 pasal 11
1. Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4)
meliputi:
a. geografis;
b. aksesibilitas untuk jalur transportasi;
c. kontur tanah;
d. fasilitas parkir;
e. fasilitas keamanan;
f. ketersediaan utilitas publik;
g. pengelolaan kesehatan lingkungan; dan
h. tidak didirikan di area sekitar Saluran Udara Tegangan Tinggi
dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian
Puskesmas harus memperhatikan ketentuan teknis pembangunan
bangunan gedung negara.
B. Bangunan
Berdasarkan Permenkes No. 43 tahun 2019 pasal 12
12
1. Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) meliputi:
a. Persyaratan adiabetes melitusinistratif, persyaratan keselamatan
dan kesehatan kerja serta persyaratan teknis bangunan;
b. bangunan bersifat permanen dan terpisah dengan bangunan lain;
dan
c. bangunan didirikan dengan memperhatikan fungsi, keamanan,
kenyamanan, perlindungan keselamatan dan kesehatan serta
kemudahan dalam memberi pelayanan bagi semua orang
termasuk yang berkebutuhan khusus/penyandang disabilitas,
anak-anak, dan lanjut usia.
2. Persyaratan teknis bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan
fungsi di bidang pelayanan kesehatan.
C. Prasarana
1. Persyaratan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi);
b. sistem pencahayaan;
13
c. sistem air bersih, sanitasi, dan hygiene;
d. sistem kelistrikan;
e. sistem komunikasi;
f. sistem gas medik;
g. sistem proteksi petir;
h. sistem proteksi kebakaran;
i. sarana evakuasi;
j. sistem pengendalian kebisingan; dan
k. kendaraan puskesmas keliling.
2. Selain kendaraan puskesmas keliling sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf k, Puskesmas dapat dilengkapi dengan ambulans dan
kendaraan lainnya.
D. Sumber Daya Manusia
Berdasarkan Permenkes No. 34 tahun 2019 pasal 17
1. Persyaratan ketenagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) meliputi dokter dan/atau dokter layanan primer.Dokter atau
dokter layanan primer
2. Selain dokter dan/atau dokter layanan primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Puskesmas harus memiliki:
a. dokter gigi;
b. Tenaga Kesehatan lainnya;dan
14
c. tenaga nonkesehatan.
3. Jenis Tenaga Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. Perawat;
b. Bidan;
c. Tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku;
d. Tenaga sanitasi lingkungan;
e. Nutrisionis;
f. Tenaga apoteker dan/atau tenaga teknis kefarmasian; dan
g. Ahli teknologi laboratorium medik.
4. Dalam kondisi tertentu, Puskesmas dapat menambah jenis tenaga
kesehatan lainnya meliputi terapis gigi dan mulut, epidemiolog
kesehatan, entomolog kesehatan, perekam medis dan informasi
kesehatan, dan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan.
5. Dokter dan/atau dokter layanan primer, dokter gigi, dan Tenaga
Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) bertugas untuk memberikan Pelayanan Kesehatan di wilayah
kerjanya.
6. Tenaga nonkesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
harus mendukung kegiatan ketatausahaan, adiabetes melitusinistrasi
15
keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di
Puskesmas.
7. Dalam hal jumlah dan jenis dokter dan/atau dokter layanan primer,
dokter gigi, dan Tenaga Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) telah memenuhi kebutuhan ideal, dokter dan/atau
dokter layanan primer, dokter gigi, dan Tenaga Kesehatan lainnya
dapat diberikan tugas lain.
2.1.4 Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Berdasarkan PMK 74 tahun 2016 :
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan
b. Permintaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pendistribusian
f. Pengendalian
g. Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
16
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. Pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
c. Konseling
d. Ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
e. Pemantauan dan pelaporan efek samping Obat
f. Pemantauan terapi Obat; dan
g. Evaluasi penggunaan Obat.
Sumber daya kefarmasian di Puskesmas meliputi:
1. Sumber Daya Manusia
Berdasarkan Permenkes No.74 tahun 2016 Bab IV bagian A, tentang
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai
penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan Apoteker di
Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat
inap maupun rawat jalan serta memperhatikan pengembangan
Puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas
adalah 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari. Semua
17
tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi dan surat
izin praktek untuk melaksanakan Pelayanan Kefarmasian di fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk Puskesmas, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan
2. Sarana dan Prasarana
Berdasarkan Permenkes No.74 tahun 2016 Bab IV bagian B, Sarana
yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi:
a. Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1
(satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komPasundan, jika
memungkinkan. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada
bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas) Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi
sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan
meja peracikan. Di ruang peracikan disediakan peralatan
peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk
pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin,
termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label obat,
buku catatan pelayanan resep, buku-buku referensi/standar sesuai
kebutuhan, serta alat tulis secukupnya. Ruang ini diatur agar
18
mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup. Jika
memungkinkan disediakan pendingin ruangan (air conditioner)
sesuai kebutuhan.
c. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan obat meliputi konter penyerahan obat, buku
pencatatan penyerahan dan pengeluaran obat. Ruang penyerahan
obat dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling,
lemari buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet,
poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling, formulir
jadwal konsumsi obat (lampiran), formulir catatan pengobatan
pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling cabinet), serta 1 (satu)
set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis
Pakai Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin
mutu produk dan keamanan petugas. Selain itu juga
memungkinkan masuknya cahaya yang cukup. Ruang
penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari obat,
pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
19
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai
dan Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Ruang
arsip memerlukan ruangan khusus yang memadai dan aman untuk
memelihara dan menyimpan dokumen dalam rangka untuk
menjamin penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan
teknik manajemen yang baik.
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan”, dan
melitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Diabetes
Melitus merupakan suatu penyakit kronis dengan gangguan metabolisme yang
ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan tidak normalnya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap
insulin. Pemeriksaan yang digunakan untuk diagnosis diabetes melitus adalah
pemeriksaan glukosa plasma puasa atau fasting plasma glucose (FPG) dan
pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral glukose tolerance test (OGTT).
20
a. Kadar FPG antara 100 dan 125 mg/dl mengindikasikan pradiabetes, dan
kadar FPG 126 mg/dL atau lebih dianggap diabetes.
b. Sedangkan untuk OGTT, gula darah individu diukur setelah puasa dan dua
jam setelah minum minuman manis. OGTT dua jam antara 140 mg/dl
sampai 199 mg/dL mengindikasikan pradiabetes dan kadar 200 mg/dL atau
lebih mengindikasikan diabetes.
Adanya rentang nilai pradiabetes memungkinkan untuk intervensi dini
pada pasien yng beresiko mengidap diabetes pasti. Intervensi dini sangat
penting karena pada saat didiagnosis diabetes tipe 2, 20% pasien sudah
mengalami kerusakan retina, 8% mengalami disfungsi ginjal, dan 9%
mengalami gejala neurologik (Corwin, 2009).
2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes
Association (ADA) 2016 dibagi dalam empat jenis, yaitu :
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM)
Diabetes melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan
absolut insulin, oleh karena itu individu pengidap tipe ini harus mendapat insulin
pengganti dan biasanya dijumpai pada individu yang tidak gemuk berusia kurang
dari 30 tahun dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
Diabetes tipe I diperkirakan terjadi akibat destruksi autoimun sel-sel beta pulau
Langerhans (Corwin, 2009). diabetes melitus tipe I merupakan 10% dari semua
21
kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dan
biasanya muncul dari perusakan sel β pankreas yang dimediasi sistem imun,
sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Ada periode praklinis yang panjang
(sampai 9-13 tahun) yang ditandai oleh kehadiran penanda imun ketika
perusakan sel β diperkirakan terjadi. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel β
hancur. Faktor yang memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi
prosesnya dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang
tersirkulasi ke berbagai antigen sel β (seperti antibodi islet cell, antibodi insulin)
(Dipiro, 2008).
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes
Melitus/NIDDM)
Diabetes melitus tipe 2 merupakan 90% kasus dari semua kasus diabetes
melitus dan biasanya ditandai dengan resistensi terhadap insulin dan defisiensi
insulin. Resistensi insulin manifestasinya berupa peningkatan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan
penurunan asupan glukosa ke otot rangka. Disfungsi sel β terjadi secara
progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan berjalannya
waktu. diabetes melitus tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan
kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan kegemukan) yang memperburuk
genotip tertentu (Dipiro, 2008).
Pada penderita diabetes melitus tipe ini terjadi hiperinsulinemia, tetapi
insulin tidak bisa membawa glukosa masuk kedalam jaringan karena terjadi
22
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Oleh karena itu terjadinya resistensi insulin
(reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi
dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama
bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami
desentisasi terhadap adanya glukosa. Onset diabetes melitus tipe ini terjadi
perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi
perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa
berkurang (ADA, 2016).
3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan dan biasanya
terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Diabetes melitus gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita diabetes
melitus tipe ini memiliki resiko lebih besar untuk menderita diabetes melitus
yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (ADA, 2016).
4. Diabetes Melitus Tipe Lain
23
Diabetes melitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
penyakit metabolik endokrin lain, infeksi firus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain (ADA, 2016).
Gambar 2. 1 Klasifikasi diabetes melitus menurut IDF 2013
2.2.3 Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah sekelompok gangguan metabolit kronik akibat
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berakibat pada komplikasi mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati untuk jangka panjang. Diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut
Perkeni 2019, komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu :
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah normal (<50
mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus
24
tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga
tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
b. Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara
lain ketoasidosis diabetik, Koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan
kemolakto asidosis.
2. Komplikasi Kronik
a. Makrovaskular, yang umum berkembang pada DIABETES MELITUS
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
b. Mikrovaskular, komplikasi ini terutama terjadi pada pasien diabetes melitus
tipe 1 seperi nefropati, diabetik retinopati, neuropati, dan amputasi (Fatimah,
2019).
2.2.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. Cara Pemberian OHO :
a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
b. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.
c. Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
25
d. Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan.
e. Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama.
f. Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
g. DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
A. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat Antidiabetika oral dibagi menjadi :
1. Pemicu Sekresi Insulin : Sulfonilurea dan Glinid
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin : Metformin dan Tiazolidindion.
3. Penghambat Glukoneogenesis : Metformin
4. Penghambat Glukosidase Alfa : Acarbose
5. DPP IV Inhibitor
1. Pemicu Sekresi Insulin
a. Sulfonilurea
Terdiri dari : Glibenklamid, Glikazid, Glikuidon, Glipizid, Klorpropamid,
dan Tolbutamid.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunan sulfonilurea kerja panjang.
26
b. Glinid : Repaglinid dan Nateglinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
a. Biguanid (Metformin)
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah metformin.
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin nerupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia dan resistensi insulin. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 2.5 mg/dl) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
sereberovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan
27
efek samping mual, sehingga untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk
memantau efek samping obat tersebut.
b. Tiazolidindion
Termasuk golongan obat ini yaitu Pioglitazon dan Rosiglitazon (sudah
dilarang beredar oleh Badan POM).
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
3. Penghambat Glukoneogenesis Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin nerupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia dan resistensi insulin. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
28
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 2.5 mg/dl) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
sereberovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan
efek samping mual, sehingga untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk
memantau efek samping obat tersebut.
4. Penghambat Glukosidase Alfa Acarbose
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
5. DPP - IV Inhibitor
a. Sitagliptin
b. Vildagliptin
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
29
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP4), menjadi metabolit GLP-1 (9,36) amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada diabetes melitus tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan diabetes melitus tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat
DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin = GLP-1
agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat
kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat pelepasan
glukagon.
B. Suntikan
1. Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis yang sesuai,
insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik.
Tidak seperti antihiperglikemia lain, insulin tidak memiliki dosis maksimal.
Terapi insulin berkaitan dengan penurunan berat badan dan hipoglikemia. Insulin
diperlukan pada keadaan :
a. Penurunan berat badan yang cepat.
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
30
c. Ketoasidosis diabetik.
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke).
h. Kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan.
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
k. Berdasarkan lama kerja insulin dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu :
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin), Insulin kerja pendek (short acting
insulin), Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) Insulin kerja
panjang (long acting insulin), Insulin campuran tetap, kerja pendek dan
menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin :
a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Cara Penyuntikan insulin :
a. Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
31
b. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus
atau drip.
c. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja
pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu.
Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara
kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku
panduan tentang insulin.
d. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
e. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin
dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes
yang sama.
f. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah
unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit).
Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya
U100, artinya 100 unit/mL (Perkeni, 2019).
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DIABETES MELITUS. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang peng lepasan insulin yang tidak menimbulkan
32
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan
mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah.
C. Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
33
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin (Perkeni,
2019).
Golongan Generik Nama
mg/tab
Dosis Lama Kerj Frek/
Waktu Dagang
Harian (jam) hari
(mg)
Sulfonilurea
Glibenclamide
Condiabet 5
2,5 - 20
12-24
1-2
Sebelum
makan
Glidanil 5
Renabetic 5
Harmida 2,5 – 5
Daonil 5
Gluconic 5
Padonil 5
Glipizide Glucotrol-XL 5-10 5-20 12-16 1
Gliclazide
Diamicron MR 30 – 60 30-120 24 1
Diamicron
80
40-320
10-20
1-2
Glucored
Linodiab
Pedab
Glikamel
Glukolos
Meltika
Glicab
Gliquidone (30) Glurenorm 30 15-120 6-8 1-3
Glimepiride
Actaryl 1-2-3-4
1-8
24
1
Amaryl 1-2-3-4
Diaglime 1-2-3-4
Gluvas 1-2-3-4
Metrix 1-2-3-4
Orimaryl 2-3
Simryl 2-3
Versibet 1-2-3
Amadiab 1-2-3-4
Anpiride 1-2-3-4
Glimetic 2
Mapryl 1-2
Paride 1-2
Relide 2-4
Velacom2/
Velacom 3 2-3
Glinid Repaglinide Dexanorm 0,5-1-2 1-16 4 2-4
Nateglinide Starlix 60-120 180-360 4 3
34
Thiazolidine-
dione
Pioglitazone
Actos 15-30
15-45
24
1
Tidak
bergantung
jawal makan
Gliabetes 30
Pravetic 15-30
Deculin 15-30
Pionix 15-30
Penghambat
Alfa -
Glukosidase
Acarbose
Acrios 50-100
100-300
3
Bersama
suapan
pertama
Glubose
Eclid
Glucobay
Adecco 500
Biguanid
Metformin
Efomet 500-850 500- 3000
6-8
1-3
Bersam
a/
sesudah
makan
Formell 500-850
Gludepatic 500
Gradiab 500-850
Metphar 500
Zendiab 500
Diafac 500
Forbetes 500-850
Glucophage 500-850-
1000
Glucotika 500-850
Glufor 500-850
Glunor 500-850
Heskopaq 500-850
Nevox 500
Glumin 500
Penghambat
DPP-4
Vildagliptin Galvus 50 50-100 12-24 1-2 Tidak
bergantun
g jadwal makan
Sitagliptin Januvia 25-50-100 25-100 24
1 Saxagliptin Onlyza
5 5 Linagliptin Trajenta
Penghambat SGLT-2
Dapaglifozin Empagliflozin
Forxigra Jardiance
5-10 10-25
5-10 10-25
24 1
Obat
kombinasi
tetap
Glibenclamide +
Metformin
Glucovance
1,25/250 2,5/500 5/500
Mengatur
dosis maksimum
masing –
masing
komponen
12-24
1-2
Bersam
a/
sesudah
makan
Glimepirid
e +
Metformin
Amaryl M 1/250 2/500
Velacom plus 1/250 2/500
Pioglitazon
e + Metformin
Actosmet 15/850 18-24
Pionix-M 15/500 15/850
Sitaglipti
n +
Metformi
n
Janumet 50/500
50/850 50/1000
12-24
2
Vildagliptin +
Metformin
Galvusmet 50/500 50/850
50/1000
Saxagliptin + Metformin
Kombiglyze XR 5/500 1
Linaglipti
n + Metformi
n
Trajento Duo 2,5/500 2,5/850
2,5/1000
2
Dapaglifozin-
Metformin HCl
XR
Xigduo XR
2,5/1000 5/500
5/1000 10/500
1-2
35
Tabel 2. 1 Obat hipoglikemik oral ( perkeni 2019 )
2.2.5 Argoritma Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 menurut American
Diabetes Association 2016
Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi
individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan
mempertahankan kadar A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin
bila target glikemik tidak tercapai.
1. Langkah Pertama : Intervensi Pola Hidup dan Metformin
Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang
bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan maka konsensus ini
menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah
pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru. Intervensi pola hidup juga
untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau
setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari
pengelolaan pasien diabetes tipe 2, bahkan bila telah diberi obat-obatan.
Untuk pasien yang tidak obesitas, modifikasi komposisi diet dan tingkat
aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan. Oleh sebab itu pada
konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan
dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin direkomendasikan
sebagai terapi farmakologik awal, pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik,
36
karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan
hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh
pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah
yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik
persisten.
2. Menggunakan Obat Kedua (Dual Terapi)
Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang
dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan,
sebaiknya ditambah obat lain setelah 3 bulan memulai pengobatan atau setiap
saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap
metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan
obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea yang
menentukan obat mana yang dipilih adalah keadaan pasien dan keadaan
penyakitnya.
3. Menggunakan Obat ketiga (Tripel Terapi)
Bila dengan dual terapi target A1C tidak tercapai setelah 3 bulan, maka
pertimbangkan penggunaan kombinasi Metformin dan salah satu dari pilihan
obat-obat Sulfonilurea, Thiazolidindion, DPP-4 inhibitor, Inhibitor SGLT2,
GLP-1 reseptor agonis, atau Insulin basal. Pemilihan obat didasarkan pada
prioritas pasien, penyakit dan karakteristik obat dengan tujuan mengurangi kadar
glukosa darah sementara dan mengurangi efek samping, terutama hipoglikemia.
4. Kombinasi Terapi Injeksi
37
Bila dengan dual terapi target A1C tidak tercapai setelah 3 bulan dengan
menggunakan tripel terapi dan pasien dengan kombinasi OHO, gunakan terapi
suntikan. Terai yang digunakan adalah GLP-1 dan insulin basal, atau
mengoptimalkan titrasi insulin basal + GLP-1 Inhibitor atau mealtime insulin
(ADA, 2016).
Gambar 2. 2 Argoritma Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2
menurut American Diabetes Association 2016
38
2.2.6 Argoritma Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 menurut Perkeni
2019
39
Gambar 2. 3 Algoritma pengobatan diabetes melitus tipe 2 (Perkeni 2019)
top related