bab iii hasil penelitian dan pembahasan€¦ · 01-7-2014 uang tunai rp.30.000.000. dititip utk...
Post on 27-Oct-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Penyelesaian perkara Tindak Pidana Penggelapan di Polrestabes
Semarang.
Di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Besar Semarang
(Polrestabes Semarang) perkara penggelapan kususnya di unit III
Penyidikan Sat Reskrim periode Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014
laporan yang masuk mencapai 30 laporan, 6 laporan pelapor menghendaki
proses penyidikanya di tangguhkan dengan pertimbangan kedua belah pihak
yang berperkara telah menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh
pelapor, sedangkan sisanya perkara-perkara tersebut masih dalam tahap
penyelidikan (belum diselesaikan) dan hanya satu laporan yang di
limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Obyek perkara yang sering di laporkan ke Polrestabes Semarang,
berbentuk kerugian materiel berupa BPKB, Kendaraan roda 4, kendaraan
roda 2, sertifikat tanah, uang hasil penjualan barang, perkara penggelapan
ini sering terjadi karena adanya rasa saling percaya pelapor/korban sehingga
bersedia menyerahkan barang tersebut kepada orang yang sudah dipercaya,
karena pelaku sebelumnya sudah mempunyai niat jahat sehingga terjadilah
perbuatan penggelapan yakni dengan maksud memiliki sesuatu barang
dengan melawan hak atau tanpa seijin pemiliknya/yang berhak , data yang
diperoleh sebagai berikut :
2
Tabel1
Jumlah kasus/perkara penggelapan periode Januari 2014 s/d Agustus 2014:
No Nomor & tanggal
Laporan
Obyek Perkara
Nilai kerugian
Modus Operandi Hub. dgn
pelapor
Pekerjaan
terlapor
Tindak
lanjut
1 LP/B/08/I/2014, 10-
2-2014
Daihatsu Xenia
Rp.150.000.000.
Pinjam Teman Swasta Lidik
2 LP/B/225/II/2014, 7-
2-2014
Honda Vario
Rp.11.000.000
Pinjam Kenalan Swasta Lidik
3 LP/B/673/IV/2014,
04-4-2014
Toyota Avanza
Rp.150.000.000
Sewa Teman
Swasta Lidik
4 LP/B/603/IV/2014,
10-4-2014
Izusu Truck
Rp.200.000.000
Dititipkan Karyawan Sopir Lidik
5
LP/B/616/IV/2014,
13-4-2014
Yamaha Jupiter
Rp.8.000.000.
Pinjam Teman Swasta Lidik
6 LP/B/576/IV/2014,
4-4-2014
Ford Fiesta
Rp.200.000.000
Sewa Teman Swasta Lidik
7
LP/B/679/IV/2014,
24-4-2014
Toyota Inova
Rp.200.000.000
Titip untuk dijual Teman Swasta Lidik
8 LP/B/712/V/2014,
02-5-20114
Yamaha Jupiter
Rp.9.000.000.
Pinjam Teman Swasta Lidik
9 LP/B/734/V/2014,
06-5-2014
Kia Rio
Rp.190.000.000
Pinjam Teman
Swasta
Lidik
10 LP/B/927/VI/2014,
6-6-2014
Toyota Avanza
Rp.109.000.000
Sewa Teman Swasta Lidik
11 LP/B/928/VI/2014,
6-6-2014
Daihatsu Espas
Rp.100.000.000
Digadaikan Kenalan Swasta Lidik
12 LP/B/1017/VI/2014,
24-6-2014
Yamaha Vega
Rp.8.000.000.
Pinjam Kenalan Swasta Lidik
13 LP/B/1032/VI/2014,
27-6-2014
Besi
Rp.8.000.000.
Pinjam Karyawan Sopir Lidik
14 LP/B/1043/VI/2014,
29-6-2014
Uang tunai
Rp.8.500.000.
Dititip utk di kirim Karyawan Sopir Lidik
15
LP/B/1054/VII/2014,
01-7-2014
Uang tunai
Rp.30.000.000.
Dititip utk disetor Karyawan Swasta
Lidik
16 LP/B/1164/VII/2014,
18-7-2014
Sertifikat tanah
Rp.90.000.000.
Dititip tdk
diserahkan
Keponakan Swasta Lidik
17 LP/B/1242/VIII/2014
, 6-8-2014
Uang tunai
Rp.563.000.000
Titip utk di
setorkan
Teman Swasta Lidik
18 LP/B/1267/VIII/2014
, 9-8-2014
Yamaha RX
Rp.5000.000.
Pinjam Teman Swasta Lidik
19 LP/B/1274/VIII/2014
, 10-8-2014
Yamaha Mio.
Rp.9000.000.
Pinjam Teman Swasta Lidik
20 LP/B/1287/VIII/2014
, 11-8-2014
Izusu Elf
Rp.200.000.000
Sewa Nasabah Swasta Lidik
21 LP/B/1366/VIII/2014
, 27-8-2014
Uang tunai
Rp.75.000.000
Dititp untuk di
setor
Karyawan Swasta Lidik
22 LP/B/1338/VIII/2014
, 28-8-2014
Daihatsu Xenia
Rp.100.000.000
Digadaikan Teman Swasta Lidik
23 LP/B/1345/VIII/2014
, 28-8-2014
Uang tunai
Rp.72.000.000
Dititip untuk di
setor
Karyawan Swasta Lidik
24 LP/B/125/I/2014,
22 -1-1014
KBM Toyota
Avanza,
Rp.150.000.000
Pinjam Kenalan
Swasta
Limpah
Kejaksaan
25 LP/B/296/II/2014,
19 -2-2014
BPKB Yamaha
Rp.9.000.000.
Dititipkan Teman Swasta Di cabut
26 LP/B/654/IV/2014,
21-4-2014
Uang tunai
Rp.270.000.000
Titip membeli
barang
Kenalan PNS Di cabut
27 LP/B/793/V/2014,
13-5-2014
Uang tunai
Rp.38.000.000.
Dititip untuk setor Karyawan Karyawan Di cabut
28
LP/B/818/V/2014,
19-5-2014
Uang tunai
Rp.68.000.000.
Gunakan uang
perusahaan
Karyawan Karyawan Di cabut
29 LP/B/1195/VII/2014,
25-7 -2014
Uang tunai
Rp.101.000.000
Dititip utk setor Karyawan Karyawan Di cabut
30
LP/B/1237/VIII/2014
6-8 -2014
Uang tunai
Rp.11.500.000.
Titip utk
disetorkan
Teman Swasta Di cabut
1 Data Unit III Sat Reskrim Polrestabes Semarang
3
Data diatas adalah jumlah perkara yang belum dan yang
terselesaikan pada akhir Agustus 2014, dan perkara yang belum
terselesaikan seiring perkembangan waktu dapat di selesaikan walaupun
tidak mencapai 100% dengan cara pendekatan Restoratif Justice atau
dengan melimpahkanya pada Penuntut Umum.
Penyelesaian perkara yang penting untuk diperhatikan adalah
perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa
kejahatan. Keadilan restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung
jawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat,
jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa
telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka
pemidanaan (ultimumremedium) dapat dihindari. Telah menjadi pendapat
umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan
konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak dilindungi ialah hak-hak
umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi
dominan.
Sistem Restorative Justice merupakan suatu bentuk dari proses
penyelesaian yang merupakan jalan keluar dari permasalahan antara
beberapa pihak yang mengalami kerugian, dan sistem Restorative Justice
tersebut dalam pelaksanaannya lebih bersifat mudah karena pihak korban
maupun pelaku melakukan musyawarah secara kekeluargaan yang disertai
oleh pihak fasilitator untuk mendapatkan hasil yang cepat, mudah, dan tidak
adanya proses ke Pengadilan.
4
Restorative Justice mengandung prinsip – prinsip dasar meliputi :
1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung
jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak
pidana yang dilakukannya
3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku
tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan
dan kesepakatan diantara para pihak.
Dalam penggunaan dan mengoperasionalisasikan progarm restoratif,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Program keadilan restoratif harus tersedia secara umum pada semua tahap
proses peradilan pidana
b. Proses restoratif harus dapat menarik persetujuan atau menghentikan proses
tersebut setiap saat selama proses tersebut berlangsung. Kesepakatan harus
diperoleh dengan sukarela oleh para pihak dan hanya berisi kewajiban yang
wajar dan proporsional
c. Semua pihak harus mengakui fakta – fakta dasar dari kasus sebagai dasar
untuk berpartisipasi dalam proses restoratif. Partisipasi tidak boleh
digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah dalam proses hukum
selanjutnya
d. Faktor – faktor seperti ketidakseimbangan kekuatan dan usia para pihak,
jatuh tempo atau kapasitas intelektual merupakan hal yang harus
dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Demikian pula,
5
ancaman yang jelas untuk setiap keselamatan para pihak juga harus
dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Pandangan dari para
pihak sendiri tentang bersesuaian dengan hasil dari proses restoratif, dan
e. Bilamana proses tidak dapat berlanjut atau hasil tidak mungkin tercapai,
maka pejabat peradilan pidana melakukan semua yang mereka bisa untuk
mendorong pelaku untuk bertanggung jawab kepada korban dan masyarakat
yang terkena dampak, serta mengupayakan reintegrasi korban dan/atau
pelaku ke masyarakat.
Terkait dengan restorative justice, sebagai upaya menyelesaikan
perkara tindak pidana penggelapan secara damai diluar pengadilan dengan
mengembalikan kerugian korban dan memulihkan hubungan antara korban
dan pelaku serta dengan masyarakat. Maka polisi dalam posisi bekerja sama
dalam rangka menyelesaikan masalah dan harus memahami kemauan warga
masyarakat yang dilayaninya. Namun pelaksanaan restorative justice
keberadaannya belum diakui oleh negara, sehingga pada situasi seperti
inilah maka polisi menentukan pilihan dan munculnya tindakan diskresi
kepolisian.
Menurut Iptu Slamet Widodo bahwa di wilayah hukum Polrestabes
Semarang dalam waktu satu bulan di Unitnya menangani laporan tentang
penggelapan sebanyak 5 (lima) laporan dengan obyek perkara berupa uang
dan barang berharga lainya, dan para pelakunya teridentifikasi dengan jelas
karena saling mengenal dengan latar belakang pendidikan pelaku dan
6
korban menengah keatas dan rata-rata dalam kehidupan sehari-hari
tergolong mampu.2
Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan
restorative justice di Polrestabes Semarang dilakukan intinya perkara
tersebut dapat di selesaikan diluar pengadilan, karena adanya kehendak
bersama antara pihak korban dengan pelaku. Selanjutnya kesepakatan
tersebut disampaikan kepada Penyidik di Polrestabes Semarang, dengan
mengajukan permohonan, menyatakan mencabut pengaduan dan/atau
menyatakan kehendak mereka agar kasus tersebut diselesaikan secara
damai, tidak diteruskan ke pengadilan.
Lebih lanjut, menurut Iptu Slamet tindakan penyelesaian perkara
dengan kesepakatan kedua belah pihak yang dilakukan oleh Penyidik
termasuk tindakan Diskresi Kepolisian.3 Ditambahkan bahwa selama ia
menyelesaikan perkara dengan pendekatan Restoratif Justice, tidak pernah
mendapat komplin dikemudian hari dan sebagian besar merasa sangat
terbantu dengan penyelesaian tersebut.
Berkaitan dengan diskresi kepolisian sampai dengan saat ini
pelaksanaan diskresi hanya berdasarkan pada penilaian dan pengambilan
keputusan secara pribadi, ini terkait belum adanya pedoman yang jelas
tentang diskresi yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh anggota
dalam melakukan diskresi. Karena penyelesaian dengan diluar pengadilan
dapat diterima oleh semua pihak, dengan menyelesaikannya dengan segera
2 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo.
Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016 3 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo
Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016
7
maka dapat mencegah konflik yang lebih besar. Keadilan yang dihasilkan
juga dapat mencerminkan kepentingan semua pihak. Sebenarnya, hal ini
sesuai dengan falsafah hukum budaya indonesia dimana masyarakat
Indonesia sejak dahulu lebih senang damai dan tentram serta menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan cara-cara damai. Menurut Iptu Slamet
Widodo, bahwa landasan hukum dalam penyelesaian perkara penggelapan di
kepolisian adalah Perkap No 7 tahun 2008 Pasal 14 huruf f tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.4
Penerapan penyelesaian perkara dengan cara perdamaian, umum
menyebutnya Alternatif Disput Resolution (ADR), disebabkan adanya
beberapa kelemahan dalam proses penyelesaian permasalahan
sosial/permasalahan pidana melalui lembaga-lembaga penegak hukum.
Kelemahan tersebut antara lain: (a) lambannya penyelesaian perkara; (b)
mahalnya biaya perkara; (c) timbulnya masalah baru; (d) peradilan tidak
tanggap dan tidak responsif; (e) putusan pengadilan tidak mampu
menyelesaiakan masalah secara tuntas; (f) kemampuan dan pengetahuan
hakim yang bersifat generalis; dan (g) untuk kepentingan yang lebih baik
bagi yang berperkara agar tercipta situasi kamtibmas yang kondusif di
dalam masyarakat.
Penyelesaian tindak pidana dengan cara perdamaian sebagai bagian
dari Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan langkah yang tepat
dan sangat diperlukan untuk mencapai penyelesaian terbaik. Manfaat bagi
4 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo
Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016
8
pelaku dan korban adalah memperbaiki hubungan sosial dan kekeluargaan
yang lebih harmonis. Dalam pelaksanaan penyelesaian kasus pidana dengan
cara perdamaian, bisa bersumber dari pelaku dan korban serta dari pihak
luar (pihak ketiga). Dari pihak pelaku dan korban, misalnya, saat menjelang
waktu yang ditentukan, kesepakatan tersebut diingkari sehingga
memunculkan masalah baru.5
Surat Kapolri No : B/3022/XII/2009/SDE OPS, tanggal 14
Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui ADR yang ditindak
lanjuti dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri Nomor :
STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012, yang menjelaskan mengenai
rambu-rambu hukum Implementasi Restoratif Justice oleh Penyidik Jajaran
Reskrim.6
Bagi polisi, manfaat penyelesaian kasus pidana dengan cara
perdamaian pada tingkat penyidikan antara lain adalah (a) perkara tersebut
cepat selesai/Crime Clier (CC); (b) mempersingkat waktu penahanan
sehingga risiko jiwa dapat dikurangi; (c) prosesnya cepat dan tidak adanya
tunggakan kasus serta memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan serta
menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat: (d) situasi tidak
berkembang menjadi konflik komunal yang mengganggu masyarakat; (e)
mengurangi biaya penyidikan dan pemberkasan perkara; (f) terciptanya
situasi yang kondusif; (g) silaturahmi antar masyarakat tetap terjalin dengan
baik serta terciptanya situasi kamtibmas yang aman kondusif; dan (h)
dengan mengingat kedudukanya polisi sebagai ujung tombak yang
5 Sumber: Omang Suparman, Bagian Reskrim, Polres Cirebon Kota , 31 Oktober 2013 6 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo
Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016
9
menyentuh langsung masyarakat, maka polisi dapat memerankan diri
sebagai babinkamtibmas di samping sebagai penegak hukum.
Bagi pelaku, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan
perdamaian, antara lain (a) dapat segera bebas dan tidak masuk lapas; (b)
penanganan kasusnya tidak terlalu lama dan pelaku mendapatkan efek jera
atas kejadian tersebut; (c) adanya kesempatan untuk dapat berbuat baik dan
tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain serta tidak melanggar
hukum; dan (d) perkara tidak sampai ke pengadilan.
Bagi korban, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan
perdamaian antara lain: (a) kerugian yang diderita oleh korban bisa kembali,
tidak ada perasaan saling dendam; (b) dapat menuntut ganti rugi kepada
pelaku sesuai dengan kerugiannya; (c) penanganan kasusnya tidak terlalu
lama dan mendapatkan keadilan karena apa yang ia inginkan sudah ia
dapatkan; (d) penyelesaian tersebut bermanfaat kembali pada kehidupan di
masyarakat dengan saling gotong royong dan saling membantu; (e) dapat
menuntut ganti rugi kepada pelaku sehingga punya daya tawar yang jelas
apabila pelaku mengharapkan perdamaian; dan (f) adanya kepuasan apabila
kasusnya segera ditangani oleh polisi dan terpenuhinya kerugian yang
dialami.
Di masa datang, penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian
perlu diatur dengan Undang-Undang sehingga tidak ada kebimbangan bagi
polisi. Dasar dasar hukum sekarang berlaku berada di bawah Undang-
Undang. Apabila permintaan penyelesaian kasus pidana dengan cara
10
perdamaian merupakan permintaan masyarakat dan ada dasar hukumnya,
hal itu lebih baik
Dalam penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian perlu
diatur dengan Undang-Undang, supaya ada dasar yang jelas sebagai
alternatif penyelesaian kasus. Dengan adanya penyelesaian kasus pidana
melalui cara perdamaian, di masa datang pihak pelaku dan korban tidak
mempunyai rasa dendam yang berkelanjutan, membuat suasana lingkungan
nyaman dan hubungan bermasyarakat menjadi harmonis.
Dengan melihat beberapa peristiwa yang terjadi; seperti kasus-kasus
yang ada di masyarakat, kasus pidana dengan kerugian yang sangat kecil
menjadi sorotan media masa, masyarakat dan aparat terkesan kaku dalam
penegakan hukun serta sudah adanya langkah kepolisian dalam
menyelesaikan masalah melaui jalur ADR, sangatlah perlu diatur dalam
Undang-Undang untuk memberikan kepastian hukum dan sebagai
dasar/acuan penyidik dalam penyelesaian perkara.
Hambatan dalam penyelesaian kasus pidana dengan perdamaian
adalah (1) memerlukan waktu untuk mencapai suatu kesepakatan damai dari
kedua belah pihak ; dan (2) menunggu adanya orang-orang yang dipercaya
atau tokoh-tokoh masyarakat yang bisa menyelesaikan suatu kesepakatan
damai dari kedua belah hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan
penyelesaian kasus pidana penggelapan dengan cara perdamaian adalah
meskipun korban telah mufakat berdamai dengan korban dan pelaku
bersedia memberikan ganti rugi, terkadang keluarga korban belum
11
menerima ganti rugi atau ganti rugi yang diterimanya tidak sesuai dengan
kerugian yang dialami oleh korban.
Dalam versi penyidik secara umum manfaat penyelesaian kasus
pidana dengan cara perdamaian pada tingkat penyidikan: (a) prosesnya lebih
cepat; (b) biaya lebih murah; (c) sifatnya informal karena segala sesuatunya
ditentukan oleh pihak yang bersangkutan/bersengketa; (d) menjaga
hubungan baik; (e) mudah mengadakan perbaikan; (f) bersifat final sesuai
dengan kesepakatan; (g) adanya pertemuan/tatap muka pihak yang
bersengketa; dan (h) tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para
pihak yang bersengketa.
B. Analisis
1. Problematika/Permasalahan Hukum.
Keadilan restoratif (restoratif justice) adalah sebuah upaya atau
pendekatan model baru di Indonesia yang sangat dekat dengan asas
Musyawarah yang merupakan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pemidanaan
adalah sebagai upaya hukum terakhir (ultimumremedium) dapat dihindari,
jika konflik yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan oleh kedua
pihak dengan mengutamakan rasa keadilan dari kedua pihak yang
bersengketa. Keadilan restorative memberikan solusi terbaik dalam
menyelesaikan kasus kejahatan yang bersifat privaat antara orang-orang
(natuurlijkepersonen) atau pun badan hukum (recht personen) yaitu dengan
memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.
12
Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah perbaikan tatanan
sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan.7
Keadilan restoratif tidak hanya ditujukan pada pelaku tindak pidana
(dader) saja tetapi sebaliknya merehabilitasi konflik terhadap keadilan dan
hukum yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana tersebut.8 Keadilan
restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung jawaban pidana secara
langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat, jika pelaku dan korban
serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu
keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka pemidanaan
(ultimumremedium) dapat dihindari. Hal ini menunjukan bahwa pelaku
bukanlah objek utama dari pendekatan keadilan restorative melainkan rasa
keadilan serta pemulihan konflik itu sendiri yang menjadi objek utamanya.9
Sehingga pendekatan keadilan restoratif adalah cara yang cocok dalam
proses penyelesaian perkara pidana, dengan pendekatan keadilan restorative
dapat memenuhi asas pengadilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Telah
menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari
hukum publik. Dengan konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak
dilindungi ialah hak-hak umum, sehingga kedudukan negara dengan alat
penegak hukumnya menjadi dominan. Dalam hal mediasi adalah usaha-
usaha yang hanya diterapkan dalam perkara-perkara perdata sedangkan
dalam perkara pidana mediasi dianggap tidak bisa.
7 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu
Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal 107 8 Ibid, hal 106. 9 ibid
13
Diperoleh data bahwa penyelesaian perkara tindak pidana
penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang
lebih banyak jumlahnya di banding dengan penyelesaian yang lanjut
dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum :
Namun permasalahan yang di hadapi oleh Penyidik Polri dalam
menyelesaikan perkara tindak pidana Penggelapan dengan pendekatan
Restoratif Justice, meliputi :
a. Belum ada Skep Kapolri yang mengatur tentang Restoratif Justice.
b. Belum ada penegasan dalam KUHAP tentang Penyelesaian dengan
Pendekatan Restoratif Justice.
c. Dalam KUHP Perkara Penggelapan adalah Delik Biasa
d. Undang-undang Kepolisian sepanjang memenuhi sarat sarat yang telah
ditentukan.
e. Belum ada Undang-undang perlindungan terhadap korban yang
mengatur tentang ganti rugi atau pengembalian kerugian.
Dan dari proses peradilan yang dilaksanakan ternyata ditemui berbagai
kendala, antara lain:
1. Sistim peradilan tidak mampu menangani semua masalah pidana,
2. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan korban,
3. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan pelaku, yakni setelah pelaku
diputus kemudian jalani hukuman di lembaga kemudian selesai jalani
hukuman, pada saat dia kembali ke masyarakat maka kehidupannya tidak
akan normal lagi.
4. Tidak mampu penuhi rasa keadilan masyarakat.
14
Disis lain dalam proses penyidikan Polri terdapat kendala dalam
penanganan perkara penggelapan diantaranya minimnya anggaran
operasional di Kepolisian dan pelaku yang melarikan diri. Sedangkan syarat
penyelesaian perkara penggelapan yang ditempuh selama ini adalah adanya
kesepakatan ganti rugi yang dialami oleh korban, dan perkara penggelapan
dapat di selesaikan dengan cepat. Mengapa di Polrestabes Semarang semua
perkara tindak pidana penggelapan tidak di selesaikan dengan pendekatan
restoratif Justice, Menurut Iptu Slamet karena pelaku tidak punya
kemampuan untuk mengembalikan kerugian yang dialami korban, pihak
korban menolak penyelesaian secara damai dan menghendaki perkara
tersebut di sidangkan dimeja hijau sampai mendapat putusan hukum yang
tetap dan menjadi pembelajaran hukum bagi pelakunya10
Secara sosiologis permasalahan hukum mengenai penyelesaian
perkara tindak pidana penggelapan dapat dilakukan dengan tindakan
Diskresi Kepolisian. Peran Polisi secara umum dikenal sebagai pemelihara
Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi
adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan
masyarakat dan pelaku tindak pidana. Dalam pasal 2 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.Dan pasal 4
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara
10 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo
Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016
15
Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri
yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib,
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari bunyi Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri
dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi
menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif.
Kemudian istilah Diskresi Kepolisian menurut Pasal 15 Ayat 2 huruf
k dikenal dengan “kewenangan lain”, menurut Pasal 16 Ayat (1) huruf l
dikenal dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan
menurut Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dikenal dengan istilah “tindakan apa
saja menurut hukum yang bertanggung jawab”.
Dalam tugas- tugas kepolisian khususnya tindakan penyelidikan dan
penyidikan maka tindakan Diskresi Kepolisian harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
Artinya berjalan sesuai dengan hukum positif maupun hukum lainnya yang
berlaku ditempat dimana Diskresi Kepolisian diambil oleh seorang petugas.
Dalam system hukum di Indonesia dikenal 4 (empat) macam sumber hukum
antara lain adalah hukum Negara atau hukum positif, hukum adat istiadat,
hukum agama, dan kebiasan- kebiasaan.
16
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan; artinya tindakan yang diambil diatur dalam aturan tertentu
sebagai suatu kewajiban hukum untuk wajib ditegakkan.
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
artinya dapat diterima dengan akal yang sehat bagi lingkungan dimana
tindakan itu diambil.
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
artinya pada pelaksanaannya atau cara penyampaian dilapangan dilakukan
berdasarkan kejadian yang hanya pada saat–saat tertentu (emergencies)
tanpa pengamatan ataupun penelitian yang mendalam tentang apa yang
diputuskannya tersebut.
e. menghormati HAM. Artinya sesuai dengan ketentuan HAM dan tidak
melanggar ketentuan HAM tersebut.
Pasal 16 ayat 1 Undang- undang No. 2 Tahun 2002, pasal 18
Undang-undang No. 2 tahun 2002 dan pasal 7 ayat 1 sub j KUHAP bila
tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas, dapat disalah artikan
pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus pada tindakan penyimpangan
diskresi kepolisian.
Menurut praktiknya, ada beberapa pertimbangan umum yang
menjadi tujuan dan/atau pegangan dalam penerapan diskresi kepolisian,
yaitu untuk :
1) Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat
melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam
jangka waktu lama.
17
2) Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Sebab tugas dan tanggung
jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin
bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang
efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.
3) Adanya keinginan korban, pelaku dan pihak keluarga agar perkara
diselesaikan secara damai, mengingat melalui cara-cara formal dapat
dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;
4) Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban terhadap pelaku,
sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.
2. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak
Pidana Penggelapan
Konsep pendekatan restorative merupakan perkembangan dari
pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi bangsa Arab purba,
bangsa Yunani, dan bangsa Romawi di mana asas-asasnya sesuai dengan
asas-asas yang ada dalam kebudayaan Indonesia juga dalam menyelesaikan
masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.11
Di Indonesia penerapan keadilan restoratif berdasarkan pada jiwa
bangsa (Volksgeist) Indonesia sendiri yang tercantum dalam Pancasila
sebagai ideology dari negara Indonesia sendiri bahwa hukum itu berasal dari
jiwa bangsa (volksgeist) Indonesia sendiri. Di mana diberikan kesempatan
pada musyawarah hingga menuju pada mufakat dalam menemukan titik
temu yang adil bagi kedua belah pihak.
11 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 103
18
Dalam penyelesaian tindak pidana melalui keadilan restoratif
terhadap suatu konflik atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindak
pidana, antara hubungan-hubungan sosial anggota masyarakat tersebut yang
harus diselesaikan dan dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama,
di mana asas musyawarah untuk mencapai mufakat bersama guna
menemukan jati diri keadilan itu sendiri yang ada di dalam batin tiap orang,
proses penyelesaiannya dengan pemberian kesempatan kepada kedua belah
pihak untuk berperan dalam proses penyelesaian tindak pidana tersebut.
Umbreit sebagaimana dikutip Rufinus Hutahuruk menjelaskan
bahwa:
restoratif justice is a “victim-centered response to crime that allows
the victim, the offender, their families, and representatives of the
community to address the harm caused by the crime”. (keadilan
restoratif adalah sebuah “respon tindak pidana yang berpusat pada
korban yang mengijinkan korban, pelaku tindak pidana, pihak
keluarga mereka, dan perwakilan komunitas masyarakat untuk
menyelesaikan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak
pidana”.)12
Dasar utama dari penyelesaian tindak pidana melalui keadilan
restorative merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat
untuk mendorong kedua belah pihak untuk bermediasi penal dalam hal
menemukan suatu kesepakatan, tetapi keadilan restoratif bertujuan untuk
menembus hati dan pikiran dari kedua belah pihak yang terlibat konflik agar
dapat memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu pemulihan dan
sanksi yang diterapkan adalah sanksi pemulihan yang bersifat mencegah.
Penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan dalam
kewenangan Kepolisian Republik Indonesia, dapat dilihat dari sudut hukum,
12 Ibid, h. 106
19
pekerjaan kepolisian tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum,
dengan kata lain polisi menjadi status quo dari hukum.13 Dari hal ini
menunjukan bahwa tugas kepolisian wajib sejalan dengan apa yang diminta
oleh hukum pidana materil dan hukum pidana formil, sehingga hukum
menjadi titik sentral dan menjadikan Kepolisian sebagai hamba hukum itu
sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo gaya pemolisian seperti itu, dikenal
dengan sebutan “Polisi Antagonis” yaitu polisi yang memposisikan dirinya
berhadapan dengan rakyat.14 Dari hal ini kepolisian perlu melihat asas-asas
yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga polisi dapat
menempatkan rakyat sebagai pusatnya bukan hanya berpatokan pada hukum
saja.
Ketika polisi memang menjadi pelindung, penganyom, dan pelayan
dari masyarakat sesungguhnya, maka hukum tidak dijadikan patokan utama.
Tanpa melihat sifat batiniah, melihat dari hati nurani. Sehingga polisi tidak
lagi terkurung dengan rumusan formal perundang-undangan yang
mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tetapi melihat kasus itu
sesuai dengan hati dan pikirannya.15 Di mana ia melihat lebih dalam lagi
kepada kebiasaan-kebiasaan yang melekat sejak dahulu di dalam kehidupan
rakyat itu sendiri. Sehingga polisi di sini memiliki keberanian untuk keluar
dari lingkaran hukum tertulis yang selama ini.
Sehingga penerapan keadilan restorative di kepolisian berlandaskan
pada diskresi atau kebijakan, hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan
13 Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, AswajaPresindo, Jogjakarta, 2013, h. 25 14 Ibid., h. 26 15 Ibid., h. 27
20
dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam pasal 16 ayat 1 huruf i , mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan pasal 16 ayat 2 huruf c
bahwa dalam hal penyelidikan dan penyidikan memenuhi syarat “ harus
patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya”.
Melalui kebijakan ini pihak kepolisian diberikan kewenangan untuk
menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dalam hal melakukan
penyidikan, apakah perkara ini dapat diselesaikan pada tahap pertama dalam
sistem peradilan yaitu penyidikan, ataukah patut dilanjutkan dan diperiksa
pada tahap penuntutan. Namun diskresi ini sering kali takut digunakan oleh
pihak kepolisian karena kurangnnya pengetahuan dan ketakutannya akan
hukum positif, dan menjadi ketakutan oleh kepolisian akan penilaian
masyarakat awam yang beranggapan bahwa diskresi kepolisian ini adalah
acara ilegal yang merupakan akal-akalan dari pihak kepolisian guna
mengambil untung dari pihak-pihak yang berperkara. Padahal dalam praktik
pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak
berasal dari pihak yang berperkara, khususnya pihak korban.16
Sehingga dasar daripada penerapan keadilan restoratif pada
kepolisian berdasarkan pada diskresi yang diberikan oleh undang-undang.
Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, mengartikan
diskresi kepolisian yaitu:
“an authority conferred by law to act in certain condition or
situation; in accordance with official’s or an official agency’s own
considered judgement and conscience. It is an idea of morals,
belonging to the twilight zone between law and morals”, jika
16 Lembaga Pendidikan POLRI, Diskresi Kepolisian, Opcit., h. 41
21
diterjemahkan dalam terjemahan bebas: (otoritas yang diberikan oleh
hukum untuk bertindak dalam situasi tertentu atau; dengan sesuai
pejabat atau badan resmi memiliki pertimbangan dan hati nuraninya
sendiri. Itu adalah ide dari moral, dan berasal dari zona seimbang
antara hokum dan moral).17
Dan sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, bahwa :
“Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang
berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan
kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya”.18
Dalam tugas kejaksaan sebagai penuntut umum, diberikan pula tugas
oleh undang-undang dalam hal kewenangan untuk menghentikan suatu
perkara melalui apa yang disebut dengan Deponeering atau penghentian
penuntutan. Kata Deponeering sendiri berasal dari bahasa Belanda, di mana
dalam bahasa Belanda sendiri terdapat 2 istilah yang digunakan terkait
dengan Deponeering yaitu Deponeren dan Seponeren.19 van Der Tas dalam
kamus hukum Belanda-Indonesia memberikan pengertian Deponeren, yaitu
tidak menuntut, mengesampingkan. Sedangkan Seponeren juga memiliki
arti yang sama yaitu tidak menuntut, mengesampingkan.20
Pengadilan sebagai suatu institusi terakhir dalam hal menentukan
putusan akan nasib seseorang dari hal ini menurut Mahrus Ali mengatakan
bahwa “Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem
hukum formal yang terlepas dari masyarakat”,21
Seperti yang dijelaskan dalam perkara penggelapan dalam Pasal 372
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yaitu: “Barang siapa
dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
17 Ibid., h. 41 18 Ibid., h. 42 19 O. C. Kaligis, Deponeering Praktek dan Teori, Alumni, Bandung, 2011, h. 4 20 Ibid., 21 Mahrus Ali, Op Cit, h. 35
22
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan....”
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari Pasal
372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tentang penggelapan
ialah:
1. Barang siapa
2. Sengaja
3. Melawan hukum
4. Menguasai barang seluruh atau sebagian milik orang lain.
Perkara penggelapan lebih cocok jika dilakukan pengaduan bukan
laporan yaitu di mana dasar utama dari pengajuan perkara tersebut ialah
kerugian sebagai hasil dari penggelapan tersebut. Sehingga tidak cocoklah
jika dikatakan perkara penggelapan pada umumnya, murni harus
diselesaikan dengan suatu proses peradilan konvensional. Dari pengertian
ini menunjukan bahwa tindak pidana penggelapan tidak perlu dibagi
menjadi dua delik seperti yang kita kenal yaitu delik aduan dan delik umum.
Sedangkan dasar utama dari tindak pidana penggelapan ialah kerugian yang
dialami oleh pihak korban. Pertanggungjawabannya tidak menghilangkan
unsur publiknya namun proses perbaikan morilnya dapat langsung dinilai
oleh masyarakat dan korban dari tindak pidana penggelapan itu sendiri.
Konsep sanksi pemidanaan dalam keadilan restoratif tidak mengenal
pemidanaan yang bertujuan untuk membalas, tetapi lebih mengarah pada
konsep pemulihan konflik antara pihak yang menjadi korban dengan pihak
yang melakukan suatu tindak pidana, beberapa konsep sanksi pidana yang
dapat di terapkan dalam keadilan restoratif yaitu:
23
1. Restitusi (Ganti Rugi)
Restitusi ialah suatu proses penggantian kerugian, di mana
pelaku tindak pidana melakukan ganti rugi kepada korban dari pelaku
tindak pidana atas segala perbuatan yang mengakibatkan kerugian
tersebut pada korban tindak pidana.
Menurut Weitekamp sebagaimana yang dikutip oleh Rufinus
Hutahuruk, Restitusi secara proaktif melibatkan pelanggar dan korban
dalam memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditujukan kepada
korban.22
2. Kompensasi terhadap Korban
Kompensasi menjadikan suatu proses wujud
pertanggungjawaban pidana yang dapat menyelesaikan konflik yang
bersifat batiniah. Bahwa konsep kompensasi ini adalah wujud lanjut
dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana penggelapan yang
sifatnya yaitu untuk mengobati luka batin akan hak dan rasa
kepercayaan yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana. Konsep
penerapan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penggelapan
lebih baik dari sistem pemidanaan dan proses peradilan konvensional
yang memakan waktu yang begitu lama serta biaya yang tidak sedikit
baik dari korban maupun pemerintah sendiri dalam hal memfasilitasi
proses pemeriksaan, hingga pada proses eksekusi dari pada perkara
penggelapan itu sendiri.
22 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op Cit, h. 184
24
Sedangkan penyelesaian sengketa yang melalui lembaga non
peradilan yaitu lembaga khusus yang menangani masalah penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution
(ADR) melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli. Akan
tetapi, biasanya penyelesaian sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam
bidang bisnis.23 ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus
perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana.
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau
”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate
Dispute Resolution”. tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun
dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di
luar pengadilan.
Mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang
dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman
disebut “Der AußergerichtlicheTatausgleich” (disingkat ATA24) dan dalam
istilah Perancis disebut “de mediation pénale”.35 Mediasi pidana yang
dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles)
sebagai berikut:25
1. Penanganan konflik (Conflict Handling Konfliktbearbeitung)
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan
kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses
23Siti Juwariyah, S.HI. Potret Mediasi dalam Islam 24 Di Austria terdiri dari ATA-J (AußergerichtlicherTatausgleichfürJugendliche) untuk anak, dan
ATA-E (AußergerichtlicherTatausgleichfürErwachsene) untuk orang dewasa. 25 www.academia.edu.com (mediasi penal), 3 April 2016
25
komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah
menimbulkan konflik. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2. Berorientasi pada proses (Process Orientation (Prozessorientierung))
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari hasil
yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,
kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa
takut.
3. Proses informal (Informal Proceeding -Informalität)
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak
bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous
Participation –ParteiautonomiSubjektivierung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari
prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai
tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka
diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini
(hukum positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di
luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus di luar pengadilan.26
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan
hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus
pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak
26https://idid.facebook.com/media/set/?set=a.341434969250056.78560.336216119771941&type=3
, 3 April 2016
26
hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya.
Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini
memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi
suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui
mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai
hukum positif yang berlaku.27
Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan
pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat
untuk menggunakan mediasi pidana sebagai salah satu alternatif
penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, inilah yang dikenal dengan
mediasi penal. Hal ini diatur dalam Surat Kapolri No Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan
Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
Namun surat edaran Kapolri tersebut rupanya belum cukup kuat
untuk menjadi dasar hukum mediasi penal. Akan lebih efekif apabila
substansi dari kebijakan Kapolri tersebut di kodifikasikan dalam sebuah
regulasi positif, sehingga tidak ada keraguan dari Penyidik untuk
menyelenggarakan mediasi dalam penanganan perkara pidana.
Tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang
memberikan kerugian bagi korbannya, dimana hal ini terjadi karena adanya
27http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&taSk=view&id=140&Itemid=36, 3
April 2016
27
sebab yang dapat menimbulkan akibat. Bagi pelaku tindak pidana
penggelapan, penyebab dari adanya suatu tindak pidana penggelapan lebih
kepada kesalahan penyalahgunaan kepercayaan sebagaimana telah diatur
dalam pasal 372 KUHP. Adapun isi dari Pasal 372 KUHP adalah sebagai
berikut ;
Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena
kejahatan, dihukum karena penggelapn, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.900,-
Sehingga dengan mediasi penal memungkinkan perkara tindak
pidana penggelapan secara umumnya untuk dipakai keadilan rertoratif
melalui mediasi penal dalam penyelesaian perkaranya. Sebagaimana yang
tercantum dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang
berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen
A/CONF.169/6) “...it is possible that some of the serious problems that
complex and lengthy cases involving fraud....” yang dalam terjemahan bebas
Bahasa Indonesia: “itu memungkinkan beberapa masalah yang serius yang
merupakan kasus yang rumit dan panjang yang melibatkan Fraud
(penipuan, penggelapan, atau kecurangan”. sehingga dari hal ini pula
memungkinkan terwujudnya apa yang diamanatkan dalam Undang-undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang
dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi: “Peradilan dilakukan
28
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”,28 yang di mana dalam
penjelasannya:
“ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari
keadilan.Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan
dan penyelesain perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan
efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara
yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam
pemeriksaan dan penyelesain perkara tidak mengorbankan ketelitian
dalam mencari kebenaran dan keadilan”.29
Dari apa yang dijelaskan dalam penjelasan dari Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menjelaskan
arti cepat namun sebagaimana yang di artikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia cepat ialah : “Dalam waktu singkat, segera”.30 Maka mediasi
penal ini sebagai bagian dari keadilan restoratif dapat menjadi sarana
penyelesaian yang cepat, sederhana dan memakan biaya ringan dimana
memungkinkan dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana
penggelapan sebagai suatu delik yang berdimensi privat antara korban dan
pelaku tindak pidana itu.
28 www.komisiyudiasial.go.id, (Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman), 5 oktober 2014, h. 1, pasal 2 29 Ibid, h. 11, lihat penjelasan pasal 2 30 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Opcit., h. 115.
top related