bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. 1. a.repository.stitradenwijaya.ac.id/258/5/bab 4.pdf ·...
Post on 04-Apr-2020
35 Views
Preview:
TRANSCRIPT
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Obyek Penelitian
a. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah
Pondok Pesantren yang telah berdiri bagai batu karang di laut,
tetap tegar walau ombak menghempas datang. Di tengah-tengah
gelombang juang bangsa Indonesia meneriakkan kata merdeka pada saat
itulah generasi muda meledakkan dadanya, mereka hanya mempunyai satu
tujuan, Indonesia harus merdeka.
Pesantren ini pun tidak pernah tertinggal dalam perjuangan meski
dalam bentuk gerakan yang lain. Sepeninggalan tokoh-tokoh tua, muncul
Kyai Yahdi sebagai tokoh muda yang baru menyelesaikan studinya di
Pondok Pesantren. Kyai Yahdi menimba Ilmu dibeberapa Pondok
Pesantren, mula-mula pondok pesantren yang dijadikan tujuan adalah
Pesantren Seblak Jombang dibawah asuhan Kyai Maksum Ali adik ipar
Hadrotu Syeh Kyai Hasyim Asy’ari ro’is akbar NU, beliau adalah seorang
ulama yang pakar dalam ilmu falak (astronomi) dan ilmu alat (nahwu-
shorof). Namun meskipun statusnya sebagai santri asuhan Kyai Maksum
Ali tapi Kyai Yahdi kecil menyempatkan waktunya untuk menimba ilmu
61
di pesantren Salafiyah yang diasuh oleh Kyai Hasyim Asy’ari, tapi sayang
waktu belajar kurang bisa maksimal karena waktu itu Indonesia masih
dalam cengkraman penjajahan Belanda.
Tahun 1937 Kyai Yahdi kecil keluar dari pesantren Seblak
namun hati kecilnya masih belum hasrat untuk pulang, akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Darul
Ulum di bawah asuhan Kyai Dahlan serta Kyai Romli Tamim seorang
mursyid Am Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Dari sana Kyai
Yahdi banyak bertambah ilmu serta pengalamannya, bahkan di pesantren
itulah Kyai Yahdi kecil menghatamkan hafalan al-Qur’annya 30 juz
selama kurun waktu satu tahun, kemudian pada tahun 1939 Kyai Yahdi
kecil pulang kampung karena sudah dirasa pantas untuk mengamalkan
ilmunya yang diperoleh selama ini. Namun sebelum pulang dan terjun di
masyarakat Kyai Yahdi mencari berkah (Tabarrukan) ke Pondok Mojosari
Nganjuk karena dikalangan para Kyai kharismatik khusunya Jawa Timur
ada pameo yang patut untuk disimak yaitu: “seorang santri belum
sempurna kesantriannya sebelum terlebih dahulu menjadi santri Pondok
Mojosari Nganjuk”. Maka dipesantren inilah Kyai Yahdi mengikuti jejak
para seniornya untuk tabarrukan di pondok yang didirikan Kyai Imron
beratus-ratus tahun yang lalu. Saat Kyai Yahdi tabarrukan pondok
Mojosari sudah di bawah asuhan Kyai Zainuddin pengasuh periode ke
lima yang tidak diragukan lagi sifat kewaliannya.
62
Sebelum Kyai Yahdi pulang dari Pesantren di Mojogeneng waktu
itu sudah ada kegiatan pengajian yang diasuh oleh para orang-orang tua
diantaranya Kyai Idris, Kyai Ahmad, Kyai Tolhah, Kyai Dzuriyat dan para
tokoh yang lain namun sistemnya masih sangat sederhana dan tradisional.
Sekitar tahun 1939 Kyai Yahdi kecil yang sudah lama meninggalkan
rumah dalam rangka mencari ilmu akhirnya pulang. Pulangnya Kyai
Yahdi diharapkan bisa menjadi penerus perjuangan para sesepuh desa.
Sejak pulang dari pesantren Kyai Yahdi tidak langsung terjun di
masyarakat sehingga tidak punya kegiatan, keadaan ini berjalan sampai
dua tahun. Aktifitas sehari-harinya diisi dengan membantu orang tua dan
menyendiri baca al-Qur’an di Musholla. Hal ini sudah menjadi hal yang
biasa bagi santri yang baru pulang dari pesantren masih merasa canggung
untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Namun karena dedikasi
Kyai Yahdi pada dunia pendidikan agama sangat tinggi, akhirnya dengan
bismillah pada tahun 1942 Kyai Yahdi mulai menggunakan waktunya
untuk mengabdi dan meneruskan madrasah, sedangkan tempatnya masih
di Musholla dan sistemnya juga masih sangat sederhana, sementara kitab
yang diajarkan adalah kitab-kitab yang sangat dasar seperti kitab sulam
safinah, kasyifah dll. Waktu itu masih ada 4 murid.
Mengingat fasilitas pendidikan madrasah tersebut kurang
mendukung sehingga kurang bisa berkembang secara maksimal, akhirnya
pada tanggal 25 November 1943 Kyai Yahdi mendapat wakaf sebidang
63
tanah dari bapak H. Sofi’i kemudian tanah tersebut dibangun Kyai Yahdi
menjadi gedung madrasah yang sangat sederhana dari bambu dan
madrasah itu diberi nama SRI Diniyah (Sekolah RakyatIslami “Diniyah”).
Akhirnya pendidikan yang dirintis bisa berkembang, kemudian pada tahun
1945 fasilitas di rehab dan mulai berkembang pesat hingga menambah
beberapa guru. Pada tahun 1951 madrasah mengalami krisis murid sampai
tahun 1955 hal ini disebabkan banyaknya tenaga guru yang keluar dan
beberapa meninggal dunia. Akhirnya madrasah yang awalnya bernama
SRI dirubah menjadi MI (Madrasah Ibtida’iyah).
Setelah para staf pengajar tertata, lambat laun murid yang belajar
di madrasah mulai stabil hingga mencapai 180 anak. Mengingat banyak
siswa yang merasa betah di Mojogeneng dan ingin melanjutkan kejenjang
lebih tinggi sementara di sana belum tersedia, akhirnya pada tahun 1955
muncul gagasan mendirikan madrasah setingkat SLTP yaitu MTs
(Madrasah Tsanawiyah) yang diberi nama MTs Salafiyah. Berdirinya
MTs mendapat respon positif dari masyarakat, meskipun keadaan
bangunannya masih sangat sederhana karena terbuat dari bambu, tapi
perkembangan MTs sangat menggembirakan. Hal ini terbukti dalam
waktu tidak lama mempunyai murid sekitar 184 anak.
Masih ditahun 1955 ketika siswa sekolah sudah mulai banyak
Kyai Yahdi mempunyai inisiatif untuk membuat Madrasah al-Qur’an, dari
sinilah nanti banyak mencetak para penghafal al-Qur’an (hafiz-hafiẓah).
64
Pada tahun 1956 Kyai Yahdi kedatangan 3 santri asal Sumatra yang
bermaksud ingin berguru menghafal al-Qur’an, dan tahun 1958
kedatangan 5 santri dari Magelang. Karena waktu itu belum ada fasilitas
bagi santri yang mukim maka para santri ditempatkan di serambi langgar
tengah. Kemudian pada tahun 1959 Kyai Yahdi berniat membuat kamar
sebagai tempat singgah santri berupa kamar kecil berukuran 4x12 dibuat 3
lokal yang terbuat dari bambu dan meterialnya atas swadaya masyarakat
Mojogeneng dan sekitarnya sebagai cikal bakal asrama al-Ghozali.
Pada tahun 1960 setelah mendirikan asrama sederhana dari
bambu yang diperuntukkan untuk santri putra, perjalanan lembaga
pendidikan dan pesantren semakin menunjukkan tanda-tanda positif,
akhirnya pada tahun 1969 merehab asrama al-Khodijah yang diasuh Kyai
Dimyati yang merupakan adik ipar, dan masih dalam tahun yang sama
juga didirikan asrama ar-Ruhamaiyah yang kemudian diasuh oleh
menantunya Kyai Nur Hasan. Tahun 1970 berdiri asrama ar-Robi’iyyah
yang diasuh oleh Kyai Dawam Dzurriyat sepupu Kyai Yahdi, tiga tahun
kemudian pada tahun 1973 berdiri asrama al-Karimah yang diasuh oleh
Kyai Muskinah adik kandung Kyai Yahdi. Tahun 1976 berdiri asrama as-
Shomadiyah dan asrama as-Syifa’iyyah yang diasuh Kyai Yahdi sendiri
dan pada 1990 berdirilah asrama Ahlul Quro yang diasuh oleh agus
Shobiri.
65
Meskipun Kyai Yahdi adalah seorang Kyai yang berhaluan salaf,
namun beliau mempunyai sifat yang sangat inklusif (terbuka) dan visioner
(berpikiran maju). Hal ini terbukti demi kemajuan sumber daya manusia,
maka diadakannya pendidikan formal di lingkungan pondok pesantren.
Beliau menyadari bahwa pendidikan merupakan segalanya mengenai
sistem formal maupun nonformal, hal tersebut sebagai instrument dalam
mengembangkan pendidikan, sehingga di pesantren Bidayatul Hidayah,
tidak hanya mengadakan kegiatan pengajian kitab kuning, namun juga
tersedia pendidikan formal berupa Madrasah Ibtida’iyah dan Madrasah
Tsanawiyah. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwasannya Kyai
Yahdi adalah seorang ulama’ yang visioner atau memiliki pandangan jauh
ke depan. Sampai pada tahun 1977 Kyai Yahdi mendirikan Madrasah
Diniyah dan Madrsah Aliyah Salafiyah sebagai jenjang yang lebih tinggi
untuk menampung santri yang telah tamat dari Madrsah Tsanawiyah
namun kurikulumnya hanya terbatas kurikulum muatan lokal. Setelah
Kyai Yahdi wafat dan zaman terus berkembang sementara pendidikan
dirasa sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar maka pada tahun
2000 diputuskan secara kolektif untuk didirikannya sekolah Aliyah formal
bernama Madrsah Aliyah Bidayatul Hidayah.
Perkembangan pendidikan di pondok pesantren Bidayatul
Hidayah semakin tahun semakin maju, dan kemajuan inilah yang
membuat banyak santri yang berdatangan di pondok mulai dari santri
66
terdekat hingga santri luar daerah bahkan luar pulau berbondong-bondong
menimba ilmu di pesantren ini. Sampai tahun ini tercatat ada 12 asrama
yang menampung para santri putra dan putri. 5 asrama khusus putra
meliputi: al-Ghazali, as-Syifaiyah, ar-Ruhamaiyah, Kun Aliman dan
Baitul Qur’an. Sedangkan 7 asrama khusus putri yang meliputi: as-
Shomadiyah, Ahlul Quro, al-Khodijah, al-Mathlabi, Darul Qur’an, ar-
Robi’iyah, dan al-Karimah.
b. Profil Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah
1) Nama Pondok Pesantren : Bidayatul Hidayah
2) Alamat : Jl. KH.Moh.Yahdi Mathlab
Mojogeneng, jatirejo,
Mojokerto, Jawa Timur,
Indonesia 61373.
3) Tahun Berdiri : 1942
4) Nama Pendiri : KH. Moh. Yahdi Mathlab
5) Nama Pengasuh Sekarang : KH. Nur Hasan
6) Unit Pendidikan : a) Formal:
• Roudlotul Athfal
• Madrasah Ibtida’iyah
• Madrasah Tsanawiyah
• Madrasah Aliyah
67
b) Nonformal:
• Madrasah Diniyah
• Pendalaman Kitab Kuning
• Tahfidzul Qur’an
c) Ekstrakurikuler:
• Seni Baca al-Qur’an
• Seni Kaligrafi Arab
• Orasi Keagamaan
• Musyawarah Kitab Kuning
• Al-Banjari
• Seni Bela Diri
7) Visi
“Membentuk generasi Islam yang kuat, beriman dan bertakwa
serta mengamalkan al-Qur’an dalam segala aspek kehidupannya.”
8) Misi
a) Menumbuhkan kecintaan dan keinginan kuat dalam
mempelajari dan mengkaji kandungan al-Qur’an.
b) Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara optimal
dengan cara Qur’ani.
68
c) Mendorong seluruh santri untuk mengenal, memahami dan
mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.1
c. Keadaan Masyarakat Kedung Peluk Desa Kuripan Sari
Kecamatan Pacet Mojokerto
Dusun Kedung peluk adalah salah satu dusun kecil di desa
Kuripan sari, desa ini terletak di tengah-tengah pedesaan yang jauh
dari keramaian kota, jalanannya masih sepi tidak begitu banyak
kendaraan yang hilir mudik, desa ini masih dikelilingi hutan dan rawa-
rawa, persawahan masih terbentang luas, pohon-pohon bambu seakan
menjadi pagar di setiap jalan. Sungai-sungai kecil dan besar masih
jernih airnya. Tapi meskipun begitu desa ini termasuk pedesaan yang
padat penduduk, karena jarak rumah satu dengan rumah yang lain
berdekatan, bahkan tak jarang di antara rumah-rumah tersebut ada
yang berdempetan.
Masyarakat di desa ini mayoritas bekerja di ladang sebagai
petani, dan seluruhnya beragama Islam. Di dusun ini ada satu masjid
yang biasa digunakan untuk pusat kegiatan Islam seperti sholat hari
raya, sholat jum’at dan kegiatan lainnya. Karena dusun ini termasuk
daerah yang padat penduduk maka di dusun ini jumlah musholla
mencapai tiga musholla yang terletak disetiap sudut desa. Sedangkan
1 Administrasi Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng pada Tanggal 30 Maret 2018.
69
jumlah TPQ hanya ada satu, yaitu TPQ Baitul Muslimin yang
bertempat di Masjid seluruh anak-anak di dusun ini mengaji belajar al-
Qur’an di TPQ tersebut. Berikut ini struktur kepengurusan TPQ Baitul
Muslimin Kedung peluk2
Kegiatan keagamaan di desa ini meliputi kegiatan tahlil putra
dan putri, manaqib putra dan putri, diba’iyah putri, khotmil Qur’an
jum’at legi, Hadrah putra, Istighosah, Tahlil Kubro, Banjari IPPNU,
Serta kegiatan keagamaan tahunan pada u mumnya yang dilaksanakan
2 Dokumentasi kepengurusan TPQ Baitul Muslimin dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet pada hari
Jum’at 06 April 2018
Kepala TPQ
Lutfiyah
Bendahara TPQ
Isnanik
Sekretaris TPQ
Siti Mushofiyah
Daftar Guru TPQ
1. Sukhatul Laili
2. Maslukha
3. Khudrotul
Imamah
4. Nur Aini
5. Muawiyah
6. Ummu Athiya
70
oleh umat Islam.3 Berikut ini susunan kepengurusan kegiatan
keagamaan masyarakat dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet.4
d. Keadaan Masyarakat Ngudi Desa Pesanggrahan Kecamatan
Kutorejo Mojokerto
Dusun Ngudi adalah salah satu dusun yang ikut kelurahan
Pesanggrahan kecamatan Kutorejo, dusun ini terletak di pinggiran
jalan raya Mojosari-Pacet, jadi dusun ini bisa dikatakan daerah yang
ramai, penduduknya juga padat. Masyarakatnya mayoritas beragama
3 Observasi penulis, di Dusun Kedung Peluk Desa Kuripan Sari Kecamatan Pacet Mojokerto pada hari
Jum’at 06 April 2018.
4 Dokumentasi kepengurusan TPQ Baitul Muslimin dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet pada hari
Jum’at 06 April 2018
Ketua
Ibu Marwiyah
Sekretaris
Lutfiyah
Bendahara
Ummu Athiyah
Anggota
Seluruh Ibu-Ibu
masyarakat dusun
Kedung peluk
71
Islam kebanyakan mereka bekerja di industri tapi lebih banyak mereka
yang bekerja di ladang sebagai petani.
Di dusun Ngudi karena termasuk wilayah masyarakat yang
padat penduduk maka ada 2 Musholla yang aktif digunakan untuk
tempat peribadatan dan satu Masjid. Serta terdapat 2 TPQ yang satu
sudah terdaftar dalam sebuah lembaga serta tersedia pendidikan
lanjutannya yang berupa Madrasah Diniyah dan Tahfidzul Qur’an.
Berikut struktur kepengurusan Lembaga Pendidikan Islam dan Sosial
“Bustanut Tarbiyah” Ngudi – Pesanggrahan – Kutorejo.5
1. Pelindung : Kepala Desa Pesanggrahan
Kepala Dusun Ngudi
2. Penasehat : Ibu Nyai Lilik Mahmudah
Bapak H.M.Ma’sum
Bapak Muhlason
Bapak H.Munadi
3. Ketua : Abdul Ghofar Fathoni
4. Sekretaris : Moh. Hakim Amrullah
5. Bendahara : Siti Masyrufah
6. Seksi Pendidikan : Umrotul Husniyah
Masruroh
7. Seksi Kegiatan : Nur Qomari
Qomari (Ngudi)
8. Sarana Prasarana : Makinun Amin
M.Amin
9. Humasy : M.Rohmatulloh
M.Mansyur
5 Dokumentasi kepengurusan LPIS dusun Ngudi, Pesanggrahan, Kutorejo pada hari Ahad 15 April
2018
72
Kegiatan keagamaan di dusun ini sama seperti kegiatan
keagamaan pada umumnya yang meliputi Tahlil putra putri,
Diba’iyah putri, dan khotmil Qur’an bi nadhor. Ada kegiatan
keagamaan lain namun hanya dilakukan di salah satu lembaga di
dusun ini yang diikuti oleh para orang tua sampai santri TPQ dan
Madin yang belajar di sini, kegiatannya meliputi Manaqib,
Tahlilan di maqbaroh, Muhadloroh, Sholwat banjari (Burdah),
Istighosah bulanan, Rotibul Haddad, pengajian weton mingguan.
Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan di Lembaga Pendidikan
Islam dan Sosial (LPIS) Bustanut Tarbiyah.6 Berikut schedule
Kegiatan ritual keagamaan yang diadakan di LPIS Bustanut
Tarbiyah Ngudi Pesanggrahan Kutorejo.7
Kegiatan Harian : • Taman Pendidikan Al-
Qur’an (TPQ)
• Madrasah Diniyah
• Hifdzul Qur’an
• Pengajian Tafsir Jalalain
• Sorogan Kitab Kuning
Kegiatan Mingguan : • Pengajian Weton
• Manaqib
• Tahlilan
6 Observasi penulis, di Dusun Ngudi Desa Pesanggrahan Kecamatan Kutorejo Mojokerto pada hari
Sabtu 14 April 2018.
7 Dokumentasi kepengurusan LPIS dusun Ngudi, Pesanggrahan, Kutorejo pada hari Ahad 15 April
2018
73
• Muhadloroh
• Sholawat Banjari (Burdah)
Kegiatan Bulanan : • Pengajian Kitab Ahad
Pertama
• Istighosah dan Sholat-Sholat
Sunnah
• Rotibul Hadad
Koordinator Kegiatan :
Taman Pend Al-Qur’an : Umrotul Husniyah
Madrasah Diniyah : Abdul Ghoffar
Pengajian Rabuan : Hj. Umi Sa’diyah
Pengajian Minggu Pertama : H. Munadi
Tahfidzul Qur’an : Siti Masyrufah
Istighosah : Nur Qomari
Manaqib : M. Amin
Muhadloroh : M. Hakim Amrullah
Khozanah : M. Munadi
e. Keadaan Masyarakat Treceh Desa Sajen Kecamatan Pacet
Mojokerto
Dusun Treceh adalah salah satu dusun yang terbilang luas yang
ikut kelurahan Sejen kecamatan Pacet. Terbilang luas karena dusun
Treceh ini memiliki 12 RT, meskipun jalanan masuk ke dusun ini kecil
dan seperti hampir tidak bisa dilewati oleh kendaraan roda 4 serta
jalannya pun naik turun, namun pedesaan ini tergolong pedesaan yang
padat penduduk, jarak dari rumah satu kerumah yang lain hanya
berkisar 2 sampai 3 meter.
74
Mayoritas penduduk di dusun ini bekerja sebagai petani,
sebagian besar beragama Islam namun ada 1 keluarga di dusun ini
yang beragama Kristen. Karena terbilang dusun yang besar jumlah
Mushollanya mencapai 9, dan 1 Masjid. Di dusun ini pun ada 2
Yayasan Pendidikan yaitu yayasan Thoriqul Ulum mulai dari
pendidikan Paud, TK, MI, MTs, MA dan Madrasah Diniyah, kedua
yayasan Darun Najah jenjang pendidikannya hampir sama mulai Paud,
TK, MI, MTs, SMA. Dan pendidikan TPQ sampai mencapai 4 TPQ
namun untuk wisuda khatam al-Qur’an tetap dijadikan 1 di TPQ
Syifa’ul Jinan.
Kegiatan keagamaan di dusun ini sangat kompak dan mendapat
dukungan penuh dari seluruh masyarakat seluruhnya ikut
berpartisipasi dalam mensukseskannya. Kegiatan keagamaan di dusun
ini meliputi Muslimat putra-putri, Diba’iyah putra-putri, Banjari
putra, Tahlil putra-putri, Istighosah putra-putri, Yasin sedusun putri,
Pengajian kitab putra di Musholla, Khotmil Qur’an bin nadhor,
Khotmil Qur’an bil ghoib 1 bulan sekali yang diikuti oleh anak-anak
remaja dusun Treceh yang sudah khatam dalam menghafal al-Qur’an,
karena mayoritas anak-anak di dusun ini setelah wisuda TPQ
mengikuti program Tahfidz yang diadakan oleh lembaga di dusun
75
ini.8 Kegiatan organisasi yang aktif di dusun ini adalah organisasi
Fatayat NU, organisasi ini juga ikut mensukseskan beberapa kegiatan
ritual keagamaan Islam yang ada di dusun Treceh, Sajen, Pacet.
Berikut susunan pengurus pimpinan ranting Fatayat NU desa Sajen
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto masa khidmah 2016 – 2021.9
Pembina : Ibu Istiqomah
Pengurus Harian :
Ketua I : Nur Latifah
Ketua II : Syafa’atu Dzikriyah
Sekretaris : Zaenatul Mukaromah
Bendahara : Farikhatul Makiyah
Humas : Hana Nur Rahmah
Robi’atul Adawiyah
Isnaini Yulianti
Eva Ernawati
Nurul Wahidatul Amanah
Departemen – Departemen : Regita Cahyani dkk.
8 Observasi penulis, di Dusun Treceh Desa Sajen Kecamatan Pacet Mojokerto pada hari Selasa 10
April 2018.
9 Dokumentasi pimpinan ranting Fatayat NU desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto pada
hari Rabu 11 April 2018
76
2. Paparan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara. Data yang tidak terungkap melalui wawancara, dilengkapi dengan
data hasil observasi langsung secara partisipatif yang dilakukan dalam rentang
waktu kurang lebih 3 bulan terhitung sejak bulan Maret hingga bulan Mei.
Untuk memperkuat substansi data hasil wawancara dan observasi, maka
dilakukanlah penelusuran terhadap dokumen dan arsip yang ada. Semua data
hasil penelitian ini diuraikan dalam bentuk deskriptif terhadap permasalahan
tentang peranan para hafiẓah alumni pondok pesantren Bidayatul Hidayah
dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat.
a. Hasil Wawancara
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dilaksanakan
dengan menggunakan teknik purposive. Peneliti menggali informasi
dengan melakukan wawancara terhadap 6 orang narasumber, yaitu para
hafiẓah alumni tahun 2010, 2011, 2012. Narasumber yang berhasil
diwawancarai secara intensif yaitu Lutfiyah, Siti Masyrufah dan Syafa’atu
Dzikriyah, Roudlotul Lutfiyah, Anik Indayati dan Nur Latifah. Dari 6
orang narasumber tersebut, maka hasil wawancaranya dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Lamanya Para Hafizah di Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah.
Pengalaman seorang hafiẓah tak lepas dari seberapa banyak
waktu yang mereka tempuh untuk melaksanakan sebuah pendidikan di
77
pondok pesantren. Dengan pengalaman pendidikan yang mumpuni
tentunya para hafiẓah nantinya mampu mengaplikasikan ilmunya di
masyarakat setelah apa yang mereka peroleh di pondok pesantren.
Dengan kata lain semakin banyak pengalaman pendidikan yang
diperoleh para hafiẓah ketika berada di pondok pesantren, maka
mereka akan mampu berperan dalam masyarakat khusunya dalam
pemberdayaan ritual keagamaan disana.
Dari hasil wawancara 6 responden mengenai lamanya para
hafiẓah di pondok pesantren Bidayatul Hidayah, dapat ditarik sebuah
inforamasi bahwa sebagian besar para hafiẓah telah menghabiskan
waktu 5 tahun dalam melakukan pendidikan di pondok pesantren
Bidayatul Hidayah. Hal tersebut telah mampu membuat para hafiẓah
memiliki pengalaman pendidikan untuk diterapkan ketika berada di
lingkungan masyarakat terutama ditempat tinggalnya untuk
memberdayakan kegiatan keagamaan disana.
2) Motivasi dan Tujuan Para Hafizah Menghafal Al-Qur’an.
Menghafal Al-Qur’an merupakan suatu keutamaan yang
besar, dan posisi itu selalu menjadi idaman bagi orang yang bercita-
cita tulus, serta berharap pada kenikmatan duniawi dan ukhrowi agar
manusia nanti menjadi warga Allah dan dihormati dengan
penghormatan yang sempurna. Dalam menghafalkan Al-Qur’an
tentunya perlu adanya suatu proses yang cukup panjang dan tidak
78
mudah untuk menyelesaikan hafalannya terhadap Al-Qur’an. Tentunya
perlu adanya suatu motivasi kuat dan tujuan yang jelas agar dalam
melaksanakan suatu hafalan al-Qur’an dapat dengan mudah dikuasai.
Dari hasil wawancara 6 responden mengenai motivasi dan
tujuan mereka dalam menghafal al-Qur’an, didapatkan sebuah
informasi bahwasanya para hafiẓah termotivasi untuk menghafalkan
al-Qur’an karena adanya dukungan dan dorongan dari orang tuanya.
Orang tua para hafiẓah memberikan arahan dan bimbingan kepada
para hafiẓah untuk menghafalkan al-Qur’an, para orang tua tersebut
berdalih menginginkan para hafiẓah menjadi orang dapat bermanfaat
bagi orang lain dan lingkungannya. Hal itu menunjukkan bahwa
motivasi yang timbul dalam diri para hafiẓah dipengaruhi oleh faktor
eksternal yaitu adanya dorongan dan dukungan dari orang tua.
Sementara itu, para hafiẓah dalam menghafal al-Qur’an
bertujuan untuk membahagiakan orang tua mereka, karena
bagaimanapun harapannya orang tua akan bahagia ketika melihat
putra-putrinya dapat menghfal al-Qur’an. Karena dengan
menghafalkan al-Qur’an para hafiẓah dapat lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
79
3) Keadaan Kegiatan Keagamaan di Masyarakat Sebelum Para
Hafizah Pulang dari Pondok Pesantren.
Keadaan kegiatan keagamaan di masyarakat sebelum adanya
peran para hafiẓah, kegiatan keagamaan di sana pada umunya yaitu
berupa kegiatan Diba’iyah, Tahlil, Khotmil Qur’an, hingga TPQ.
Kegiatan keagamaan tersebut memang sangat lazim didapati di
lingkungan masayarakat umum. Belum lagi partisipasi yang semakin
lama semakin berkurang membuat kegiatan keagamaan tersebut
kurang peminat dan dikhawatirkan akan vakum kegiatan. Maka dari
itu perlu suatu adanya pemberdayaan ritual kegiatan keagamaan yang
ada di masyarakat agar tetap berjalan dan terus meningkatkan
peminatnya terutama dari kalangan remaja. Agar kegiatan keagamaan
tersebut tetap ada dan eksis, maka diperlukan suatu inisiatif dari
tokoh-tokoh masyarakat yang mampu mengembangkan dan
memperdayakan ritual keagamaan yang ada dimasyarkat.
4) Kegiatan yang Dilakukan Para Hafizah Setelah Pulang dari
Pondok Pesantren.
Para hafiẓah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat untuk bisa memulai dan memberikan peranannya di dalam
kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat. Para hafiẓah juga
berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan yang sudah
berjalan pada umumnya. Para hafiẓah bersama tokoh masyarakat lain
80
berupaya memberikan perubahan dan perkembangan dalam kegiatan
keagamaan tersebut.
Perubahan yang dilakukan oleh para hafiẓah diterima dengan
baik dimata masyarakat. Perubahan tersebut berupa:
a) Mengembangkan kegiatan keagamaan
sebuah kegiatan yang sudah ada di masyarakat kemudian
dikembangkan dengan menambahkan jawal baru pada kegiatan
yang ada di masyarakat, seperti kegiatan Diba’iyah, Tahlil,
Khotmil Qur’an, Hadrah Putra, Istighosah yang sudah ada di
masyarakat, terdapat penambahan jadwal yang berupa kegiatan
keagaman yaitu Tahlil Kubro ranting setiap 3 bulan sekali, hingga
program lanjutan bagi santri TPQ yang telah khatam atau
diwisuda bi nadhor yaitu berupa Madrasah Diniyah dan Tahfidzul
Qur’an.
b) Mengaktifkan kembali kegiatan yang telah lama vakum
Sementara itu upaya mengaktifkan kembali kegiatan keagaamaan
yang telah lama vakum yaitu kegiatan banjari IPPNU kembali
kembali diaktifkan setelah beberapa tahun lalu tidak ada kegiatan
sama sekali.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa para hafiẓah
telah mampu memerankan dengan baik di dalam masyarakat untuk
memberdayakan kegiatan keagamaan di sana sepulang mereka dari
81
pondok pesantren. Potensi yang ada dalam diri para hafiẓah, mereka
tuangkan agar mampu mendongkrak kembali eksistensi kegiatan-
kegiatan yang telah berjalan dan mengaktifkan lagi kegiatan
keagamaan yang sempat vakum dalam waktu yang cukup lama.
5) Peran Para Hafizah di Masyarakat.
Selepas kepulangan para hafiẓah dari pondok pesantren, para
hafiẓah tidak butuh waktu lama untuk memerankan diri mereka dalam
memberdayakan kegiatan keagamaan yang ada di dalam masyarakat.
Para hafiẓah tidak langsung menjalankan peran mereka, namun
mereka merangkul tokoh-tokoh masayarakat yang turut ikut andil
dalam kegiatan keagamaan tersebut. Hal tersebut dilakukan supaya
menjaga kondusifitas d imasyarakat agar tidak ada tokoh masyarakat
yang merasa digantikan peranannya.
Disisi lain masyarakat menerima dengan baik kehadiran para
hafiẓah dalam peranannya memberdayakan ritual keagamaan yang ada
dimasyarakat. Masyarakat sendiri juga membutuhkan seorang yang
mampu memberdayakan kegiatan keagamaan yang sudah ada dan
mengembangkan kegiatan tersebut hingga mengadakan kegiatan
keagamaan lainnya yang mampu menarik minat berbagai kalangan
masyarakat khusunya para remaja disana.
Peran para hafiẓah dalam pemberdayaan ritual keagamaan di
masyarakat berupa partisipasi aktif mereka dalam mengikuti kegiatan
82
seperti Tahlil, Diba’iyah, dan Khotmil Qur’an. Selain itu mereka juga
memiliki peran sebagai berikut:
a) Pengajar di beberapa TPQ yang ada masyarakat.
b) Mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk berperan dalam
kepengurusan organisasi seperti muslimat NU, fatayat NU, hingga
Jam'iyatul Qurra wal-Huffadz (JHQ).
6) Peran Para Hafizah dalam Kegiatan Keagamaan di Mayarakat.
Peran para hafiẓah dalam kegiatan keagamaan tersebut adalah
diberi amanah oleh beberapa tokoh masyarakat untuk menjadi
pengurus kegiatan bahkan ditunjuk sebagai ketua dalam beberapa
kegiatan yang ada seperti istighosah dan program tahfidzul Qur’an,
hingga ikut andil dalam mempersatukan TPQ yang awalnya ada dua
dan memindahkanya ke Masjid. Setelah itu diberi amanah untuk
mengelolanya dan ditunjuk sebagai kepala TPQ. Kemudian bersama
tokoh masyarakat yang lain mampu membentuk kegiatan baru yaitu
Istighosah bergilir dan Tahlil kubro ranting.
Penjelasan diata menunjukkan bahwa para hafiẓah telah
mendapatkan tempat tersendiri di dalam masyarakat, dimana mereka
telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mengelola
berbagai kegiatan yang ada hingga menjadi pengurus dan tunjuk
sebagai pimpinan dalam beberapa organisasi dan lembaga.
83
7) Usaha dan Peran Para Hafizah untuk Memberdayakan Cinta Al-
Qur’an di Masyarakat Terlebih untuk Menghafal Al-Qur’an.
Peran para hafiẓah tidak hanya berpartisipasi dalam kegiatan
keagamaan di masyarakat, namun lebih dari itu, dalam meningkatkan
minat baca al-Qur’an dan menghafal al-Qur’an, mereka memberikan
pemahaman dan motivasi kepada setiap anak-anak disana, tidak hanya
itu mereka juga memberikan motivasi dan penerangan kepada orang
tua, bahwasannya pendidikan al-Qur’an bagi anak-anak usia dini
sangatlah penting.
Tidak sampai disana peran para hafiẓah untuk
memberdayakan cinta al-Qur’an di masyarakat terlebih untuk
menghafal al-Qur’an, pembinaan dan pengecekkan keatifan para
pendidik juga dilakukan untuk memperbaiki sistem pengajaran di
dalam TPQ. Berkat pengalaman ketika di Pondok Pesantren serta
keikhlasan, ketekunan dan ketelatenan mereka, dapat membuahkan
hasil yang ditunjukkan dengan banyaknya anak-anak dan remaja yang
mulai belajar mengaji di TPQ, dimana sebelumnya anak-anak yang
merasa malas untuk mengaji al-Qur’an dan tidak ada dukungan dari
orang tua mereka.
Para hafiẓah juga menunjukkan totalitas mereka dalam
peranannya, para hafiẓah mengadakan pengajaran di tempat tinggal
mereka untuk belajar Ilmu Qiro’at. Hal ini juga mendapatkan respon
84
yang baik, dimana sebanyak 7 anak yang secara rutin mengikuti
pembelajaran Ilmu Qiro’at tersebut.
8) Respon Masyarakat Terhadap Peran yang Para Hafizah Berikan
kepada Kegiatan Ritual Keagamaan di Masyarakat.
Respon masyarakat terhadap para hafiẓah, masyarakat sangat
mendukung dan mengapresiasi setiap keikutsertaan para hafiẓah dalam
kegiatan keagamaan di sana mereka diberikan amanah oleh beberapa
tokoh masyarakat untuk menjadi pengurus kegiatan, bahkan ditunjuk
sebagai ketua dalam kepengurusan kegiatan tersebut hingga diberikan
amanah untuk mengelola TPQ. Dalam beberapa kesempatan terakhir
para hafiẓah diberi amanah oleh tokoh masyarakat untuk
mengembangkan program tahfidzul Qur’an, dengan target mampu
menarik minat para remaja disini, untuk mau belajar menghafalkan al-
Qur’an. Selain itu para hafiẓah dalam kegiatan istighosah, dipercaya
untuk ikut andil dalam kepengurusan kegiatan tersebut.
9) Usulan Para Hafizah untuk Kemajuan Kegiatan Ritual
Keagamaan di Masyarakat.
Memang tidaklah mudah dalam memberdayakan dan
memajukan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat. Para hafiẓah
memberikan usulan bahwasanya kegiatan ritual keagamaan di
masyarakat dapat mengalami kemajuan, hendaknya tokoh-tokoh
masyarakat saling berkoordinasi satu sama lain untuk terus
85
memberikan kontribusi dalam rangka memberdayakan kegiatan ritual
keagamaan yang telah berjalan hingga membuat program kegiatan
yang baru.
Tidak hanya tokoh-tokoh masyarakat yang diperhatikan,
namun dari kalangan pemuda atau remaja juga dapat mengisi
kontribusi tersebut, diharapkan mereka mampu meneruskan dan
memiliki konsep yang lebih baru untuk terus memberdayakan kegiatan
ritual keagamaan di masayarakat, karena tak selamanya tokoh-tokoh
masyarakat yang ada memegang peran tersebut. Kalau hanya terfokus
pada satu orang saja, meskipun peranannya cukup besar, akan terasa
sulit untuk terus memberdayakan dan memajukan kegiatan ritual
keagamaan disana, dan bersama-sama memperbaiki pengelolaan
kegiatan ritual keagamaan yang ada sekarang.
10) Kendala yang Para Hafizah Alami Saat Berusaha
Memberdayakan Kegiatan Ritual Keagamaan.
Ada beberapa kendala yang dialami para hafiẓah dalam usaha
mereka memberdayakan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat.
para hafiẓah mendapatkan penolakan dan perlawanan dari orang-orang
yang lebih tua, sebab mereka yang merasa lebih tua dan memiliki
pengaruh dalam kegiatan-kegiatan keagamaan tersebut. Mereka belum
bisa menerima jika para hafiẓah yang dirasa lebih muda dan juga
termasuk orang baru mengatur atau memberdayakan kegiatan tersebut.
86
Para hafiẓah juga mendapatakan kendala ketika menjalankan
perannya sebagai pengajar menghafal al-Qur’an dan Qiro’ah. Kendala
tersebut berupa:
a) Ketidak rutinan para peserta didiknya khusunya anak-anak disana
dalam mengikuti pengajaran tersebut.
b) Peserta didik memiliki sifat malas untuk belajar menghafal al-
Qur’an dan Qiro’ah.
c) Kurangnya minat untuk belajar.
d) Banyak tugas sepulang sekolah.
e) Terlalu asyik memainkan gadget (handphone) hingga lupa untuk
berangkat mengaji.
f) Kemudian Kebanyakan para hafiẓah memiliki buah hati yang
masih belita, sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya dapat
menjalani peranannya dalam memberdayakan ketiatan ritual
keagmaan di masyarakat.
Hal ini lah yang menghambat mereka untuk dapat
memaksimalkan potensi yang ada di dalam diri mereka, karena
keterbatasan waktu dan tenaga.
87
b. Hasil Observasi
Metode observasi ini digunakan peneliti untuk mengamati secara
langsung tentang keadaan obyek penelitian yang bertempat di lingkungan
masyarakat tempat tinggal para hafiẓah alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah, mengamati secara langsung para hafiẓah alumni
Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah yang sedang melaksanakan kegiatan
pemberdayaan ritual keagamaan di tempatnya, bagaimana kegiatan para
hafiẓah itu berlangsung di lingkungan mereka.
Dari hasil observasi penulis terhadap 6 responden, peranan para
hafiẓah dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Para Hafiẓah alumni pondok pesantren Bidayatul Hidayah
berperan aktif dalam kegiatan keagamaan di masyarakat.
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, menjumpai para
hafiẓah melakukan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat, maka
dapat disimpulkan bahwa para hafiẓah sebagian besar telah berperan
aktif dalam kegiatan ritual keagamaan di masyarakat sekitar. Mereka
telah memiliki peran dan tugas masing-masing masyarakat. Peneliti
menjumpai peran para hafiẓah, diantaranya adalah:
a) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Kepala Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) Baitul
Muslimin.
88
b) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Pengurus Muslimat Ranting dusun Kedung peluk, Kuripan
sari, Pacet.
c) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai pimpinan acara beberapa kegiatan keagamaan di
masyarakat seperti: tahlil, diba’iyah, dan istighosah.
d) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Ustadzah di TPQ dan Madrasah Diniyah Bustanut
Tarbiyah.
e) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Pengurus Lembaga Pendidikan Islam dan Sosial (LPIS)
Bustanut Tarbiyah.
f) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Koordinator Program Tahfidzul Qur’an di LPIS Bustanut
Tarbiyah.
g) Dijumpai hafiẓah Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan
di masyarakat sebagai Pengurus JHQ Pacet.
h) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai Ustadzah madrasah Diniyah dan TPQ.
i) Berperan dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
sebagai ustadzah seni baca al-Qur’an (Qiro’ah) di TPQ dusun
Treceh, Sajen, Pacet.
89
2) Para Hafiẓah alumni pondok pesantren Bidayatul Hidayah
memiliki inisiatif untuk memberdayakan kegiatan keagamaan di
masyarakat.
Inisiatif merupaka hal positif pada karakter seseorang,
kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu ide yang baru, atau
menghasilkan sebuah pemecahan masalah. Dari hasil observasi yang
peneliti lakukan, menjumpai bahwa sebagian besar dari para hafiẓah
telah memiliki inisiatif untuk memberdayakan ritual keagamaan di
masyarakat, mereka memiliki ide - ide baru untuk mengembangkan
kegiatan di masyarakat. Inisiatif para hafiẓah juga sangat diperlukan
dalam menjalankan peranannya umtuk pemberdayaan kegiatan ritual
keagamaan di masyarakat.
Inisiatif para hafiẓah mulai dari bekerja sama dengan tokoh
masyarakat untuk memberdayakan kegiatan pembelajaran ilmu al-
Qur’an di TPQ Baitul Muslimin, dengan mengatur metode hingga
tenaga guru yang digunakan di sana, serta bersama pengurus kegiatan
desa hafiẓah mengembangkan kegiatan ritual keagamaan yang berupa
kegiatan Tahlil Kubro yang sebelumnya belum ada. Kemudian hafiẓah
memiliki inisiatif untuk memberikan fasilitas pembelajaran lanjutan
berupa program Tahfidzul Qur’an bagi santri yang sudah khatam dan
lancar membaca al-Qur’an, dan sudah terealisasi. Sampai inisiatif
hafiẓah untuk membuka pembelajaran untuk anak-anak yang ingin
90
belajar ilmu baca al-Qur’an (Qiro’ah) di rumah. Bahkan para hafiẓah
dengan inisiatif sendiri mengajar di tempat tinggal mereka.
Menciptakan suasana cinta al-Qur’an dikalangan anak-anak hingga
masyarakat dewasa.
3) Para Hafiẓah alumni pondok pesantren Bidayatul Hidayah dapat
diterima dengan baik di masyakat dalam rangka pemberdayaan
kegiatan keagamaan.
Sesuatu yang diniatkan dengan tujuan yang baik maka akan
mendapatkan balasan dan penerimaan yang baik pula. Begitu pula
dengan peran para hafiẓah di masyarakat, dari hasil oberservasi yang
telah peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa keseluruhan
masyarakat menerima dengan baik kehadiran para hafiẓah di tengah-
tengah mereka, alasan mereka diterima di mata masyarakat bermacam-
macam, salah satunya karena hafiẓah memiliki jiwa kepemimpinan
serta bertanggung jawab membuat hafiẓah dipercaya oleh masyarakat
untuk memimipin jalannya kegiatan ritual keagamaan di masyarakat.
Hal ini terbukti dengan adanya masyarakat mempercayakan putra-
putrinya untuk menimba ilmu kepada hafiẓah, mempercayakan hafiẓah
untuk mendidik mereka dengan sepenuh hati.
Kemudian dibuktikan kembali dengan adanya hafiẓah yang
menjadi kepercayaan masyarakat untuk memimpin kegiatan
keagamaan di desanya, terlebih saat ada acara rutinan keagamaan
91
Islam maupun acara keluarga hafiẓah paling sering ditunjuk untuk
membacakan ayat suci al-Qur’an dalam kegiatan tersebut, karena
suaranya yang indah dan berbakat dibidang ilmu seni baca al-Qur’an
4) Potensi dan pengalaman para Hafiẓah alumni pondok pesantren
Bidayatul Hidayah digunakan untuk pemberdayaan kegiatan
keagamaan di masyarakat.
Setiap orang tentu akan memiliki potensi di dalam dirinya,
meski mungkin saja jumlah potensi ini tidak pernah sama antara satu
dengan yang lainnya. Berbagai macam potensi diri inilah yang
kemudian akan membantu kita untuk memiliki kemampuan yang baik
dalam berbagai hal, termasuk dalam mengatasi berbagai masalah dan
kendala yang kita temui di dalam kehidupan kita. Dari hasil observasi
yang peneliti lakukan pada 6 responden, dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan dari hafiẓah telah memiliki kemampuan dan potensi yang
ada pada diri mereka, dan potensi itulah yang digunakan para hafiẓah
untuk memberdayakan ritual keagamaan di masyarakat.
Beberapa pengalaman dan potensi yang dimiliki para hafiẓah
adalah sebagai berikut, memiliki jiwa kepemimpinan yang bijak serta
bertanggung jawab, baik dan lancar hafalan al-Qur’annya, hafiẓah
terbiasa tampil di depan masyarakat, dengan adab dan tata krama,
sopan santun yang dipelajarinya dari pondok pesantren. Serta memiliki
pengalaman mengajar saat di pondok pesantren, dengan bekal hafalan
92
al-Qur’an yang fasih dan lancar. Dan juga memiliki potensi dan bakat
dalam bidang seni baca al-Qur’an, sehinggan mendorong hafiẓah
untuk membuka fasilitas pembelajaran untuk anak-anak sekitar yang
ingin belajar Qiro’ah, mereka bisa datang ke rumah hafiẓah untuk
belajar ilmu seni baca al-Qur’an.
B. Pembahasan
1. Peranan Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah
Mojogeneng Dalam Pemberdayaan Ritual Keagamaan Di Masyarakat
Terdapat dua amalan yang dapat menjadikan seorang Muslim atau
Muslimah menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya dari sesama
Muslim lainnya, yaitu belajar al-Qur`an dan mengajarkan al-Qur`an. Tentu,
baik belajar ataupun mengajar yang dapat membuat seseorang menjadi yang
terbaik di sini, tidak bisa lepas dari keutamaan al-Qur`an itu sendiri.
Begitu juga para hafiẓah alumni Pondok Pesantren Bidayatul
Hidayah Mojogeneng, mereka telah berusaha semaksimal mungkin untuk
mempelajari serta menghafalkan al-Qur`an, dimana tujuan dari perbuatan
tersebut adalah dengan mengajarkan dan mengamalkannya kepada
sesemanya. Para hafiẓah menjadi termotivasi, sebab ada hadits riwayat Al-
Bukhari dari Utsman bin Affan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:
93
إن أفضلكم من تعلم القرآن وعلمه
“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah
yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”10
Dengan adanya keterangan langsung dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, menjadikan seorang hafiẓah memiliki tugas penting dalam
mengajarkan Al-Qur’an kepada sesamanya terlebih pada masyarakat, dimana
fenomena yang ada masyarakat kurang mendapatkan pengajaran keagamaan
terutama masyarakat yang beragama Islam. Hal tersebut terjadi, karena
kemajuan zaman yang menjadi masyarakat semakin termanjakan akan
teknologi dan informasi yang canggih, sehingga mereka seakan melupakan
tugas dan kewajiban beribadahnya dalam agama Islam.
Suatu peranan dapat dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan
suatu posisi dan status dalam suatu organisasi ataupun dalam suatu kedudukan
dalam masyarakat. Seseorang yang mendapatkan peranan dan kedudukan
dalam suatu masyarakat, tentunya mempunyai sebuah tugas untuk dapat
memajukan dan mengembangkan masyarakat baik dari sisi ukhuwah maupun
ritual keagamaan khususnya.
Peran para hafiẓah ketika berada dalam masyarakat, tidak hanya
mengajarkan ilmu membaca Al-Qur’an saja, namun lebih luas peranannya di
dalam masyarakat telebih ketika mereka telah mendapat kepercayaan oleh
masyarakat dalam rangka memberdayakan kegiatan ritual keagamaan yang
10 Moh Fathoni Dimyati, Agar Tidak Merugi sebagai Huffadh Al-Qur’an, 64.
94
ada di lingkungannya. Kepengurusan maupun keanggotaan dalam berbagai
kegiatan keagamaan di masyarakat, telah menjadi peran mereka di
masyarakat. Selain itu, para hafiẓah juga telah memerankan dirinya sebagai,
pembimbing, fasilitator dan motivator baik dalam rangka mendidik anak-anak
maupun membina para pendidik TPQ yang ada di dalam masyarakat.
Peran penting telah didapatkan para hafiẓah ketika sudah
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, berikut beberapa peran para
hafiẓah dalam kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat:
a. Peran hafiẓah sebagai pengajar
Para hafiẓah sebagai pengajar adalah upaya dan usaha mereka
dalam menyampaikan/memberikan/mentransfer ilmu pengetahuan kepada
peserta didiknya yang ada di dalam masyarakat. Pengajaran dalam hal ini,
adalah bagaimana hafiẓah menyampaikan atau mentransfer pengetahuan
mereka yaitu berupa ilmu seni baca Al-Qur’an. Pengajaran yang mereka
lakukan telah dilaksanakan pada lembaga TPQ yang ada di masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan hafiẓah alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah tahun 2012 saat dilakukan wawancara,
berikut pernyataannya:
“…... Kemudian kegiatan setiap harinya saya mengajar
Madrasah Diniyah dan TPQ sebagai ustadzah al-Qur’an dan guru
seni baca Al-Qur’an. Di desa jika ada acara pernikahan atau
acara keluarga lainnya saya dipercaya untuk membacakan ayat
95
suci al-Qur’an (Qiro’ah), bersyukur Alhamdulillah bisa
bermanfaat untuk orang lain terutama di masyarakat” 11
Diperkuat dengan pernyataan hafiẓah alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah tahun 2010, beliau menyatakan:
“Di lingkungan TPQ Alhamdulillah saya dipercaya mewakili
tokoh masyarakat untuk ikut andil dalam mempersatukan TPQ
yang awalnya ada dua dan memindahkanya ke Masjid. Setlah
TPQ bersatu saya di beri amanah untuk mengelolanya dan
ditunjuk sebagai kepala TPQ.”12
Dilanjutkan dengan pernyataan hasil wawancara dengan hafiẓah
alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah tahun 2011, berikut
pernyataannya:
“Dalam kegiatan keagamaan saya paling aktif di lembaga, kerena
selain lembaga ini keluarga besar saya yang mendirikan, saya
juga diberi amanah untuk mengembangkan program tahfidzul
Qur’an, yakni mengajak anak anak remaja di kampung untuk
mau menghafal al-Qur’an”13
b. Peran hafiẓah sebagai motivator
Tidak hanya mengajarkan ilmu kepada masyarakat, para hafiẓah
juga memiliki peran sebagai motivator dalam melaksanakan peranannya.
Mereka memberikan suatu semangat kepada orang tua perserta didiknya
11 Wawancara dengan Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012) pada hari minggu tanggal 11 April 2018 pukul 10.43 WIB
12 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB
13 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
96
untuk selalu mendukung kegiatan mereka dalam memberdayakan kegiatan
keagamaan di sana. Para hafiẓah ingin menyakinkan kepada masyarakat
bahwa pendidikan tentang agama terutama mempelajari Al-Qur’an
merupakan sebuah urgensitas bagi anak-anak hingga remaja pada masa
perkembangan dan pertumbuhan. Hal tersebut harus diseimbangkan dalam
diri anak-anak supaya tidak melulu dengan kecanggihan teknologi dimana
hal tersebut dapat melupakan mereka akan pendidikan beragamanya.
Seperti pernyataan hafiẓah alumni Pondok Pesantren Bidayatul
Hidayah tahun 2010, beliau menyatakan:
“Yang paling utama adalah memberikan motivasi, penerangan,
pencerahan kepada para orang tua. Setelah itu saya berusaha
memperbaiki system pengajaran di dalam TPQ mulai dari
melakukan pembinaan kepada para pendidik setiap satu minggu
sekali sampai melakukan pengecekan keaktifan para pendidik
TPQ” 14
Diperkuat dengan pernyataan hafiẓah alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah tahun 2011, beliau juga menyatakan:
“Pada mulanya saya mengumpulkan anak anak yang sudah
khatam al-Qur’an bi nadhor, kemudia disitu saya memberikan
pemahaman bahwa dengan menghafal al-Qur’an hidup menjadi
lebih berkah, memanfaatkan usia yang masih muda untuk hal
yang lebih manfaat. Setelah ada kemauan dari sang anak saya
menemui orang tuanya untuk memahamkan kedua orang tuanya
juga. Setelah keduanya setuju barulah bisa dimulai kegiatan
tahfidzul Qur’an tersebut.”15
14 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB
15 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
97
c. Peran hafiẓah sebagai pengarah
Sebagai pengarah, para hafiẓah memiliki peran untuk mengarahkan
masyarakat untuk mengembalikan semangat belajar agama, terutama para
remaja yang ada di sana yang masih duduk di sekolah menengah. Para
remaja tersebut perlu diarahkan, sebab permasalahan yang ada mereka
cenderung memiliki rasa malas ketika dituntut untuk belajar agama
terutama belajar baca Al-Qur’an. Permasalah tersebut dapat diminimalisir
oleh para hafiẓah, hal itu ditunjukkan dengan banyaknya peserta didik
yang mengikuti kegiatan belajar baca Al-Qur’an di TPQ.
Seperti pernyataan hafiẓah alumni Pondok Pesantren Bidayatul
Hidayah tahun 2010, beliau menyatakan:
“Yang paling utama adalah memberikan motivasi, penerangan,
pencerahan kepada para orang tua. Setelah itu saya berusaha
memperbaiki system pengajaran di dalam TPQ mulai dari
melakukan pembinaan kepada para pendidik setiap satu minggu
sekali sampai melakukan pengecekan keaktifan para pendidik
TPQ. Alhamdulillah selama saya menjabat sebagai kepala TPQ
ditahun kedua kami bisa mentashih santri sebanyak 9 anak. Maka
dari sana para orang tua yang lain termotivasi dan mendorong
anak anaknya untuk rajin mengaji. Hingga pada akhirnya anak-
anak di desa saya seluruhnya mengaji tanpa terkecuali mulai dari
usia 5 tahun hingga kelas SMA, padahal sebelumnya banyak
anak yang tidak mengaji karena malas dan tidak ada dukungan
dari orang tuanya.” 16
16 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB
98
d. Peran hafiẓah sebagai fasilitator
Berperan sebagai fasilitator sangat sesuai dengan sebutan tersebuat
utnuk para hafiẓah. Fasilitas yang diberikan yaitu berupa kemudahan
dalam belajar mengajar. Belajar mengajar di sini adalah mengajarkan
mereka tentang seni baca Al-Qur’an dan cara menghafal Al-Qur’an. Para
hafiẓah memberikan fasilitas untuk siapapun yang mau belajar mendalami
Ilmu al-Qur’an, yang pada mulanya mereka mengalami kendala pada
kondisi anak-anak yang ada di masyarakat yang cenderung merasa malas.
Namun dengan dorongan yang diberikan oleh para hafiẓah, akhirnya
banyak yang berminat untuk belajar. Tidak hanya dilakukan pembelajaran
di TPQ, namun juga ada yang meminta untuk di privat dalam belajar
Qiro’at.
Seperti yang dikemukakan oleh hafiẓah alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah tahun 2012, beliau menyatakan:
“Alhamdulillah berbekal dari ilmu yang saya dapat dipondok
pesantren berupa ilmu Qiro’at seni baca al-Qur’an saat ini ada
7 anak yang istiqomah datang ke rumah setiap seminggu 2 kali
untuk belajar Ilmu Qiro’at. Selain mengajar Qiro’at di rumah
saya juga diberi kepercayaan untuk mengajar Qiro’at di 3 TPQ
desa sebelah setiap seminggu sekali.”17
Kemudia diperkuat dengan wawancara hafiẓah alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah tahun 2011, berikut pernyataannya:
17 Wawancara dengan Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012) pada hari minggu tanggal 11 April 2018 pukul 10.43 WIB
99
“Pada mulanya saya mengumpulkan anak anak yang sudah
khatam al-Qur’an bi nadhor, kemudian disitu saya memberikan
pemahaman bahwa dengan menghafal al-Qur’an hidup menjadi
lebih berkah, memanfaatkan usia yang masih muda untuk hal
yang lebih manfaat. Setelah ada kemauan dari sang anak saya
menemui orang tuanya untuk memahamkan kedua orang tuanya
juga. Setelah keduanya setuju barulah bisa dimulai kegiatan
tahfidzul Qur’an tersebut.” 18
Pernyataan di atas juga membicarakan tentang peran hafiẓah
sebagai fasilitator, dimana para hafiẓah berupaya untuk mewadahi
kemauan dan potensi yang ada dalam pada diri perserta didiknya berupa
pembelajaran Qiro’at dan program menghafal al-Qur’an.
e. Peran hafiẓah sebagai mediator
Hafiẓah sebagai mediator adalah peran hafiẓah dalam memeberikan
sebuah jalan keluar atau menengahi ketika ada suatu permasalahan yang
ada dimasyarakat. Hal ini ditunjukkan ketika rendahnya minat dan
semangat anak-anak dan remaja di sana untuk mempelajari ilmu baca Al-
Qur’an. Dengan adanya pengarahan dan dorongan yang dilakukan oleh
hafiẓah kepada orang tua dan anak-anak, hal itu membuahkan hasil berupa
respon positif para orang tua. Banyak anak-anak dan remaja yang ingin
belajar tentang Al-Qur’an.
Seperti yang sudah dikemukakan oleh hafiẓah alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah tahun 2010, beliau menyatakan:
18 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
100
“Yang paling utama adalah memberikan motivasi, penerangan,
pencerahan kepada para orang tua. Setelah itu saya berusaha
memperbaiki system pengajaran di dalam TPQ mulai dari
melakukan pembinaan kepada para pendidik setiap satu
minggu sekali sampai melakukan pengecekan keaktifan para
pendidik TPQ. Alhamdulillah selama saya menjabat sebagai
kepala TPQ ditahun kedua kami bisa mentashih santri
sebanyak 9 anak. Maka dari sana para orang tua yang lain
termotivasi dan mendorong anak anaknya untuk rajin mengaji.
Hingga pada akhirnya anak-anak di desa saya seluruhnya
mengaji tanpa terkecuali mulai dari usia 5 tahun hingga kelas
SMA, padahal sebelumnya banyak anak yang tidak mengaji
karena malas dan tidak ada dukungan dari orang tuanya.”
Pernyataan tersebut menjelaskan peran hafiẓah sebagai mediator,
hafiẓah memberikan jalan keluar untuk masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat.
Peranan memiliki aspek dinamis dalam kedudukan seseorang.
Peranan lebih banyak menunjuk satu fungsi, penyesuaian diri dan sebagai
suatu proses. Dari pembahasan di atas menunjukkan sebuah temuan bahwa
peranan yang dilaksanakan oleh para hafiẓah tidak hanya keikutsertaannya
dalam suatu lembaga pendidikan agama di masyarakat saja, namun lebih
memaksimalkan fungsinya dalam memberdayakan ritual keagamaan di
masyarakat. Serta dalam kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di
masyarakat, para hafiẓah tidak hanya mengaktifkan kembali kegiatan-kegiatan
keagamaan Islam yang telah vakum sebelumnya, tetapi mereka juga harus
memiliki suatu motivasi untuk terus mengembangkan kegiatan tersebut
supaya tetap diminati para pemuda dan masyarakat di sana. Sebab dalam
keterangannya Carver dan Clatter Back mendefinisikan pemberdayaan
101
sebagai berikut “upaya memberi keberanian dan kesempatan pada individu
untuk mengambil tanggung jawab perorangan guna meningkatkan dan
memberikan kontribusi pada tujuan organisasi”. Sementara Shardlow
mengatakan pada intinya “pemberdayaan membahas bagaimana individu,
kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri
dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan
mereka”.19
Temuan selanjutnya tentang peran para hafiẓah adalah bahwa dalam
menjalankan peranannya di dalam masyarakat terutama pemberdayaan ritual
keagamaan Islam, para hafiẓah tidak hanya mengandalkan pengetahuan yang
mereka peroleh dari riwayat pendidikan mereka di pondok pesantren. Namun
fungsi para hafiẓah lebih luas, mereka nantinya akan dihadapkan pada suatu
pemecahan masalah, dimana mereka harus berperan tidak hanya sekedar
sebagai “alumni pondok pesantren”. Hal ini sesuai dengan teori yang telah
dikemukakn oleh Prof Sjamsudhuha bahwa: “Manusia benar-benar telah
dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi manusia yang harus hidup
bermasyarakat. Dalam pergaulan sosial, terjadi kontak-kontak sosial satu
terhadap yang lain yang memungkinkan timbulnya ikatan-ikatan batin dalam
pertemanan. Ikatan batin itu akan menumbuhkan perasaan simpati satu
terhadap yang lain.”20
19 Risyanti Riza, Roesmidi, Pemberdayaan Masyarakat, (Sumedang: alqaprint jatinangor, 2006), 12. 20 Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam Pencerahan Baru Tatanan Masyarakat Muslim,21.
102
Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari
luar dan bersifat stabil. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran
seorang hafizah dalam menjalankan peranannya. Faktor yang dapat
mempengaruhi peran tersebut berupa faktor pendukung dan faktor
penghambat.
Faktor pendukung peran para hafizah adalah hal-hal yang dapat
memudahkan para hafizah untuk menjalankan perananya, berapa faktor
pendukung peran para hafizah adalah sebagai berikut:
a. Motivasi dalam menjalankan peran
Motivasi ternyata sangat penting peranannya dalam meningkatkan
kualitas seorang manusia. Dengan motivasi orang bisa gemilang dan
berhasil dalam menjalani hidup dan kehidupan. Motivasi diri berawal dari
dorongan keyakinan dalam diri sendiri untuk menang. Ini dibentuk oleh
cita-cita dan impian besar yang akan memotivasi orang untuk meraihnya.
Orang-orang sukses bermula dari sebuah impian yang diimplementasikan
dalam serangkaian aktivitas sehari-hari. Impian pun akan bermanfaat juga
untuk orang banyak. Nilai-nilai spiritualitas memancar dengan baik dalam
diri orang tersebut dan menambah keyakinan bahwa Allah dekat dengan
dirinya.
Maka untuk memerankan dirinya di tengah masyarakat seorang
hafizah harus mampu memotivasi dirinya sendiri, kemudian selain
motivasi dari dirinya sendiri juga harus mendapatkan motivasi dari orang
103
lain semisal keluarga dan segenap tokoh masyarakat setempat, hal iniakan
menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan para hafizah dalam
memerankan dirinya di masyarakat. Seperti jawaban salah satu hafizah
saat diwawancarai, sebagai berikut:
“Masyarakat disini cukup mengapresiasi, mereka tampaknya
cukup menerima dengan peran saya dalam beberapa kegiatan
keagamaan disana. Dalam beberapa kesempatan terakhir saya
diberi amanah oleh tokoh masyarakat untuk mengembangkan
program tahfidzul Qur’an, dengan target mampu menarik minat
para remaja disini, untuk mau belajar menghafalkan al-Qur’an.”21
Bentuk apresiasi yang diberikan masyarakat mampu memotivasi
hafizah untuk memerankan dirinya dalam kegiatan pemberdayaan ritual
keagamaan di masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori menurut Sudarwan
Danim dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius
(IQ+EQ) Etika, Perilaku, Motivasi, dan Mitos, bahwa: Motivasi
merupakan panggilan jiwa, keikhlasan, kesiapan mental yang tulus,
ageksi nuraniah, aktualisasi potensi, alami dan rangsangan internal yang
muncul dari dalam diri seseorang untuk mengemban tugasnya dan fungsi
secara kreatif, efisien, produktif, dan kontinyu22
21 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
22 Sudarwan Danim, Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ) Etika, Perilaku,
Motivasi, dan Mitos, (Bandung: Alfabeta, 2010), 117
104
b. Kemampuan dalam menjalankan peran
Kemampuan merupakan suatu karakter yang dimiliki seseorang
atau yang diperoleh melalui belajar, yang menyebabkan seseorang dapat
melakukan sesuatu secara mental atau fisik. Kemampuan berkenaan
dengan kapasitas setiap orang untuk melakuakan beberapa tugas dalam
suatu pekerjaan. Kemampuan juga adalah penilaian terhadap pekerjaan
yang dilakukan. Kesanggupan dan kecakapan seorang hafizah sangat
diperlukan dalam menguasai suatu keahlihan atau pengetahuan yang
digunakan untuk mengerjakan berbagai tugas dan suatu peranan.
Dari hasil observasi, peneliti mendapati hafizah memiliki
kemampuan dan potensi, hafizah yang Memiliki jiwa kepemimpinan yang
bijak serta bertanggung jawab, baik dan lancar hafalan al-Qur’annya,
kemampuan dan potensi tersebutlah yang digunakan hafizah untuk
memberdayakan kegiatan ritual keagamaan , beliau terbiasa tampil di
depan masyarakat, dengan adab dan tata krama, sopan santun yang
dipelajarinya dari pondok pesantren. Serta ditambah diperkuat dengan
wawancara terhadap masyarakat, sebagai berikut:
“Sejauh ini beliau selalu ikut serta dalam seluruh kegiatan
keagamaan di masyarakat, meski menjadi anggota biasa dalam arti
tidak menjadi pengurus kegiatan karena usianya yang masih
muda, tetapi beliau sering ditunjuk untuk diminta memimpin
jalannya kegiatan tersebut. Bahkan jika ada acara desa yang
105
membutuhkan sang Qori’ maka beliaulah yang pasti ditunjuk oleh
masyarakat, karena memang sudah ahlinya Qiro’ah.”23
Dari hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa hafizah
memiliki kemampuan yang dia bawa dari pondok pesantren kemudian
dikembangkan di masyarakat setempat, sehingga kemampuannya menjadi
salah satu faktor pendukung perannya dalam kegiatan pemberdayaan
ritual keagamaan di masyarakat. Hal ini sesuai dengan teor dari Stephen
P. Robbins dan Timothy A. Judge, bahwa kemampuan keseluruhan
seseorang pada dasarnya terdiri dari dua faktor yaitu: 1) kemampuan
intelektual, dimana suatu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
berbagai aktivitas mental (berpikir, menalar, dan memecahkan masalah),
2) kemampuan fisik, suatu kemampuan melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, keterampilan, kekuatan.24
c. Dukungan dalam menjalankan peran
Dukungan merupakan sebuah bentuk perhatian, penghargaan,
semangat, penerimaan yang bersumber dari orang yang mempunyai
hubungan sosial dekat, seperti orang tua, saudara, anak, sahabat, teman
maupun orang lain yang bertujuan membantu seseorang ketika terjadi
permasalahan. Bentuk dukungan sosial tersebut bisa dalam bentuk
23 Wawancara dengan Kepala Dusun Treceh, Sajen, Pacet, Ibu Suyoso, pada tanggal 13 Mei 2018,
Pukul 09.28 WI
24 Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour, Pearson Education, Upper Saddle River, New
Jersey, 2009, 57-61
106
informasi, perilaku tertentu atuapun materi yang dapat dijadikan agar
individu bisa merasa ada yang menyanyangi, ada perhatian, dan bernilai.
Dukungan juga amat dibutuhkan oleh para hafizah, baik dukungan
dari keluarga, teman dekat dan tokoh masyarakat sekitar, agar hafizah bisa
secara maksimal memerankan dirinya dalam kegiatan pemberdayaan ritual
keagamaan di masyarakat, sebab tanpa dukungan maka hafizah tidak akan
mampu memerankan dirinya di tengah-tengah masyarakat dengan baik,
seperti hasil wawancara salah satu hafizah berikut ini:
“Respon masyarakat terhadap peran saya, Alhamdulillah
masyarakat disini sangat mendukung dan mengapresiasi setiap
keikutsertaan saya dalam kegiatan keagamaan. Saya diberikan
amanah oleh beberapa tokoh masyarakat untuk menjadi pengurus
kegiatan bahkan ditunjuk sebagai ketua dalam kepengurusan
kegiatan tersebut. Selain itu, saya juga dipercaya mewakili tokoh
masyarakat untuk menyatukan dua TPQ kemudian dipusatkan
dalam masjid, setelah dipersatukan saya diberikan kepercayaan
untuk mengelolahnya dengan ditunjuk sebagai kepala TPQ.”
Dari wawancara tersebut memberikan bukti bahwa dukungan
masyarakat sangat dominan dalam keberhasilan para hafizah memerankan
dirinya di tengah-tengah masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan ritual
keagamaan di desa. Hal ini sesuai dengan teori menurut Albrecht, T dan
Adelman, bahwa: Dukungan yang berupa dukungan sosial, dimana
tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian
informasi baik secara verbal maupun nonverbal, pemberian bantuan
tingkah laku atau materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab,
107
yang membuat seseorang merasa diperhatikan, bernilai, sehingga dapat
menguntungkan bagi seorang tersebut.25
Selain faktor pendukung peran ada juga beberapa faktor penghambat
yang membuat hafizah tidak optimal dalam memerankan dirinya di
masyarakat. Faktor penghambat adalah hal-hal yang dapat mempersulit para
hafizah dalam menjalankan peranannya di masyarakat. Faktor penghambat
tersebut meliputi:
a) Adanya Kesalahpahaman
Di dalam suatu komunikasi yang dilakukan oleh dua orang yang
berbeda latar belakang sering kali terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman merupakan ketidaksimetrisan kenyataan mengenai siapa
yang benar dan siapa yang salah. Kesalahpahaman sendiri berasal dari
permasalah penafsiran di dalam suatu proses interaksi.
Kesalah pahaman juga sering dialami oleh para hafizah dengan
tokoh masyarakat yang sudah ada, kehadiran hafizah seakan membuat
para tokoh masyarakat merasa tersaingi kemampuannya, seperti
peernyataan salah satu hafizah berikut:
“Tentunya banyak sekali kendala yang saya hadapi dalam
memberdayakan kegiatan ini di masyarakat, terutama adalah
penolakan dan perlawanan dari orang-orang yang lebih tua.
Mereka yang merasa lebih tua dan punya pengaruh tidak terima
jika saya yang lebih muda dan juga termasuk orang baru mengatur
atau memberdayakan kegiatan tersebut. Namun pada akhirnya
25 Albrecht, T dan Adelman, M. 1987. Communicating Social Support. Newbury Park: Sage, 182
108
karena lebih banyak yg mendukung dari pada yang menolak,
Alhamdulillah saya bisa memerankan diri saya dengan baik dan
diterima di masyarakat.”26
Pentingnya komunikasi efektif yang terjalin antara hafizah dengan
tokoh agama yang lebih tua, dimana hal tersebut tidak menimbulkan
kesenjangan atau kesalahpahaman salah satu dari kedua unsur tersebut
ketika hafizah melaksanakan pernannya. Hal ini sesuai dengan teori Alo
Liliweri, bahwa: Sebab dengan komunikasi yang efektif, seseorang
memiliki kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar dalam
melaksanakan peranannya tanpa menimbulkan kesalahpahaman dengan
menekan sekecil mungkin kesalahpahaman tersebut.27
b) Kesibukan Hafizah
Hambatan yang dihadapi Hafizah dalam melaksakanan peranannya
adalah ketika mereka disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, sebab
sebagian besar hafizah yang berperan telah menjadi seorang ibu rumah
tangga. Selain itu para hafizah juga disibukkan dengan ekonomi keluarga
yang minus, saat peneliti melakukan observasi menjumpai beberapa
hafizah yang tidak berperan dimasyarakat karena terkendala ekonomi,
mereka sibuk bekerja di rumah, ada yang bekerja sebagai penjahit dan
26 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB
27 Alo Liliweri. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. (Yogjakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2002) 12.
109
penjual kopi, faktor inilah yang menjadi hambatan para hafizah belum
bisa memerankan dirinya di tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, mereka memiliki peran sebagai ibu dimana, Dalam
peran ini wanita sangatlah berat karena tugas wanita mendidik anak
bukanlah merupakan pekerjaan sambilan tetapi amanah dari Allah.
Seperti pernyataan salah satu hafizah di bawah ini:
“….Namun jika kendala dalam memberdayakan kegiatan kegamaan
adalah saya masih memiliki balita yang belum bisa terlalu lama
apalagi jika diajak untuk mengikuti kegiatan keagamaan yang
seluruhnya dilakukan pada malam hari. Karena alasan inilah saya
belum bisa aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.”28
Kemudian, diperkuat dengan pernyataan hafizah yang lain:
“….Kendala saat saya memberdayakan kegiatan keagamaan salah
satunya si kecil, sejak ada anak saya yang sekarang sudah berusia 8
bulan, saya sering absen dalam kegiatan keagamaan karena
kegiatannya dilaksanakan pada malam hari.”29
Para hafizah lebih mengedepankan tugasnya sebgai seorang ibu,
dengan memberikan kasih sayang dan pendidikan yang terbaik untuk
anaknya, karena peran seorang ibu menentukan masa depan anak-
anaknya. Hal ini sesuai dengan teori Dadang Anshori, bahwa:
keberhasilan ibu dalam mendidik anak bukan karena tercapainya titel
28 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
29 Wawancara dengan Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012) pada hari minggu tanggal 11 April 2018 pukul 10.43 WIB
110
yang tinggi. Tetapi keberhasilan yang hakiki adalah keberhasilannya anak
dalam mendapatkan keberhasilan dunia akhirat.30
c) Kurangnya respon Masyarakat terhadap Peran Hafizah
Tidak mudah seorang hafizah dalam menjalankan peranannya di
masyarakat. Ada berbagai hambatan dan permasalahan yang mereka
hadapi dalam menjalankan tugasnya. Mereka membutuhkan suatu
dorongan dan pengakuan dari masyarakat dalam menjalankan
peranannya. Seperti pernyataan salah satu hafizah beriku ini:
“kurangnya dukungan dari orang tua kepada putra-putrinya untuk
belajar seni baca al-Qur’an, saya juga menyadari kesulitannya
dalam belajar Qiro’at. Tidak semua anak suka dengan pelajaran
ini.”31
Saat kurangnya dukungan dari orang tua anak didik, maka
keberadaan hafizah di tengah-tengah mereka seakan tidak dibutuhkan lagi
oleh masyarakat, peran hafizah akan terhambat karena kejadian tersebut.
Hal ini sesuai dengan teori menurut Sondang Siagian dalam bukunya
yang berjudul Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa: seseorang akan
semakin bersemangat dan termotivasi dalam menjalankan perananya
ketika keberadaan mereka didalam masayarakat mendapatkan pengakuan
dan dukungan.32
30 Dadang S. Anshori. Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) 203. 31 Wawancara dengan Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012) pada hari minggu tanggal 11 April 2018 pukul 10.43 WIB 32 Sondang P, Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) 107.
111
Kesuksesan peran para hafizah tidak bisa terlepas dari beberapa
faktor pendukung, serta ketidakberhasilan sebuah peran juga didasari oleh
beberapa faktor penghambat, seseorang mungkin tidak memandang suatu
peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat
kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran
tersebut.
Ahlul Qur’an atau seseorang yang ahli dalam membaca al-Qur’an,
meghafal al-Qur’an dan keilmuan tentang al-Qur’an adalah orang-orang
pilihan, penghargaan Allah kepada orang-orang Ahlul Qur’an sungguh luar
biasa, antara lain: sebagai keluarga Allah, sebagai pembawa bendera Islam,
dikumpulkan dengan malaikat Muqorrobin, dan dianggap sederajat dengan
kenabian.33 Maka sudah seharusnya seseorang yang memiliki julukan sebagai
Ahlul Qur’an bisa mencerminkan sifat-sifat yang baik dalam dirinya. Karena
itu sebagai seorang hafiz-hafizah haruslah mempelajari tentang akhlak-akhlak
yang baik, mencontoh akhlak Rasulullah, akhlak para sahabat dan akhlak para
ulama’ yang sholih, niscaya Allah akan semakin mencintainya dan
mengangkat derajatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Setelah melakukan pengamatan dan wawancara kepada beberapa
para hafizah yang sudah terjun di masyarakat, peneliti menemukan bahwa
pada dasarnya para penghafal al-Qur’an berusaha mencerminkan kepribadian
33 33Moh Fathoni Dimyati, Kiat Menjadi Qurro’ & Huffadh Yang Berkualitas. (Mojokerto: Unit
Roudlotul Qur’an PPBH, 2010) 4.
112
yang baik dari dalam dirinya. Namun pada kenyataanya masih ada beberapa
hafizah yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain bahkan cenderung
merendahkan terhadap yang lain, meskipun pada awalnya orang menghafal al-
Qur’an murni karena Allah, akan tetapi nantinya bila sudah hafal dan terbiasa
sering tampil membaca di tengah-tengah masyarakat mulailah hatinya
berubah-ubah, kadang ikhlas, kadang ingin dipuji, kadang suka menuntut
penghormatan materi yang layak, dan kadang muncul sifat hasud dan
sombong karena persaingan lahan undangan. Sebab, potensi sifat riya’ pada
diri hafiz-hafizah cukup besar, mereka memiliki banyak hal yang bisa
dipamerkan di hadapan orang banyak, di antaranya adalah: kelancaran
hafalannya, keindahan lagu dan suaranya, kematangan tajwidnya dan prestasi-
prestasi lainnya.
Jadi, fenomena tersebut berasal dari hati setiap para hafizah, maka
dari itu seorang hafizah haruslah pandai pandai untuk menjaga hatinya dari
segala macam sifat yang dapat membuatnya menjadi seseorang penghafal al-
Qur’an yang merugi, karena tidak meniatkan segala sesuatu karena ridlo
Allah, melainkan karena ingin mendapatkan pujian dari manusia. Maka dapat
disimpulkan bahwa psikologis para hafizah dilihat dari beberapa faktor
sebagai berikut:
a) Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah hal yang paling utama dalam membentuk suatu
akhlak manusia, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi Tingkat
113
pendalaman agama maka akan semakin luas wawasan seseorang dalam
berfikir dan berbuat, mereka akan lebih berhati hati dalam bertindak,
menjaga agar perbuatannya tidak sampai menyalahi aturan yang ada.
Maka seorang hafizah yang sejak kecil dididik untuk memiliki sifat-sifat
yang terpuji akan membawa didikan tersebut sampai dia dewasa.
b) Faktor Keluarga
Lingkungan keluarga adalah wadah atau tempat pendidikan pertama
yang diterima oleh seorang anak, hafizah yang dicetak dari keluarga yang
seluruhnya juga menghafal al-Qur’an cenderung akan belajar dari kedua
orang tuanya, tentang tata cara dan akhlak yang harus dimiliki oleh para
penghafal al-Qur’an, sedangkan para penghafal al-Qur’an yang dicetak
bukan dari orang tua yang hafal al-Qur’an biasanya belajar dari gurunya.
Maka faktor keluarga sangat berperan penting dalam enetukan psikologis
parapenghafal al-Qur’an.
Selanjutnya, agar hafizah dapat mencapai ketenangan dalam
menghafal al-Qur’an dan tidak malah merugi sebesar-besarnya, sangat baik
kaau hafizah memperbaiki diri dengan cara sebagai berikut:
a) Ikhlas karena Allah
Ikhlas dalam beramal ibarat ruh di dalam jasad. Jasad tanpa ruh
berarti mati, karena itu sebaik apapun amal seseorang apabila tidak
disertai dengan niat yang ikhlas karena, maka sia-sialah amal tersebut.
Menghafal al-Qur’an dan membacanya adalah ibadah tingkat tinggi.
114
Barang siapa yang dengan susah payah menghafal al-Qur’an atau
membaca sebanyak-banyaknya akan tetapi niatnya tidak murni karena
Allah, maka sungguh dia telah merugi dengan kerugian yang besar,
bahkan kerugian yang fatal. Maka hendaknya para hafizah mampu
menjaga hatinya agar selalu diniatkan kepada Allah
b) Mensyukuri ni’mat hafal al-Qur’an
Orang yang menghafal al-Qur’an wajib mensyukuri nikmat yang
agung ini walaupun kadang-kadang diuji dengan kemiskinan, ekonomi
yang rendah, namun apabila hafizahtetap mensyukuri pasti Allah akan
menambahkan kenikmatan ini dengan semakin baiknya hafalan mereka
dan mendapat lipatan pahala yang lebih banyak.
c) Berakhlak mulia
Kalau sekiranya setiap orang Islam dituntut untuk berakhlak mulia, maka
sudah barang tentu kalua orang yang menyimpan al-Qur’an di dalam
dadanya lebih dituntut, karena llebih dari sepertiga kandungan al-Qur’an
adalah tentang akhlak yang mulia, jangan sampai sebaliknya, setelah
hafal al-Qur’an maka timbul dalam dirinya akhlak yang jelek, seperti
sombong, dengki, riya’, dan suka dipuji.
d) Memahami dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an
Seseorang yang hafal al-Qur’an alangkah lebih baik jika tidak
hanya menghafal, namun juga mampu memahami dan mengamalkan isi
kandungan al-Qur’an, karena hal ini akan menjadikan hafizah bisa lebih
115
berhati-hati dalam bersikap, lebih menjaga hatinya dari segala sifat yang
buruk, dan berusaha mengamalkan agar prilakunya tak sampai bertolak
belakang dengan isi al-Qur’an
Jika, hal tersebut telah dilakukan dan di amalkan oleh para
penghafaal al-Qur’an, maka mereka akan dijauhkan dari kerugian menghafal
al-Qur’an, dijauhkan dari sifat-sifat yang tak pantas diemban oleh seorang
yang dalam dirinya hafal kalam-kalam illahiyah. Hal tersebut sesuai dengan
teori KH. Moh Fathoni Dimyati, Lc dalam bukunya yang berjudul Agar Tidak
Merugi Menjadi Huffadz Al-Qur’an.34
2. Kegiatan Pemberdayaan Ritual Keagamaan Di Masyarakat Kecamatan
Pacet Dan Kutorejo
Kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat merupakan
suatu upaya-upaya penguatan kegiatan yang telah ada sebelumnya kemudian
dipertahankan keberadaannya serta dikembangkan mengikuti
perkembangannya. Masyarakat sudah membiasakan kegiatan tersebut sebgai
tanda kebersamaan dan keterikatan sosialnya, selain anjuran dari agama Islam
itu sendiri. Hal tersebut menandakan bahwa persatuan harus dijalin antar
masyarakat dengan menjadikan kegiatan seperti diba’iyah, tahlil, khotmil
Qur’an sebagai wadah untuk mempererat tali silaturrahmi.
34Moh Fathoni Dimyati, Agar Tidak Merugi sebagai Huffadh Al-Qur’an, (Mojokerto: Unit Roudlotul
Qur’an PPBH, 2010) 62.
116
Dengan kehadiran para hafiẓah di tengah-tengah masyarakat,
menjadikan kegiatan-kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat
semakin matang dan terorganisir bahkan bisa berkembang. Adapun kegiatan-
kegiatan yang sudah ada namun kurang mendapatkan perhatian dari kalangan
masyarakat, kemudian diaktifkan lagi oleh para hafiẓah, untuk memperkaya
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang ada di masyarakat.
Dari paparan data serta temuan yang telah dikemukakan maka kegiatan
pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat Pacet dan Kutorejo dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Mempertahankan kegiatan ritual keagamaan yang sudah ada
Kegiatan pemberdayaan yang pertama dilakukan oleh masyarakat
adalah mempertahankan kegiatan yang sudah ada, kegiatan yang sudah
berjalan di masyarakat dipertahankan keberadaannya dan diteruskan oleh
masyarakat sesuai dengan aturan dan tata cara yang sudah berlaku. Kegiatan
yang sudah ada di masyarakat Pacet dan Kutorejo pada umumnya adalah
kegiatan tahlil, diba’iyah dan khotmil Qur’an, kegiatan ritual keagamaan
tersebut sudah ada sejak lama dan kini tetap berjalan dengan baik di tengah-
tengah masyarakat.
Masyarakat sudah membiasakan kegiatan tersebut sebagai tanda
kebersamaan dan keterikatan sosialnya, selain anjuran dari agama Islam
itu sendiri. Hal tersebut menandakan bahwa persatuan harus dijalin antar
117
masyarakat dengan menjadikan kegiatan seperti diba’iyah, tahlil, khotmil
Qur’an sebagai wadah untuk mempererat tali silaturrahmi.
b. Mengembangkan kegiatan ritual keagamaan
Kegiatan pemberdayaan selanjutnya yang dilakukan oleh
masyarakat adalah mengembangkan kegiatan ritual keagamaan di
masyarakat, jadi kegiatan yang sudah ada kemudian dikembangkan sesuai
dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
“………Perubahan yang signifikan ada pada TPQ, setelah saya
mulai terjun dan ambil peran di TPQ, saat ini ada program
lanjutan bagi santri TPQ yang telah khatam atau diwisuda bi
nadhor yaitu berupa Madrasah Diniyah dan Tahfidzul Qur’an.
Madrasah diniyah dengan santri kurang lebih berjumlah 50 santri,
sedangkan untuk santri Tahfidzul Qur’an kurang lebih berjumlah
20 santri sebagian ada yang bermukim di sini dan sebagian dari
santri kampung sekitar”35
Kegiatan ritual keagamaan di masyarakat Ngudi, Pesanggrahan,
Kutorejo, mengalami perubahan ketika salah satu hafiẓah alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng, terjun di sana. Perubahan itu
berupa program lanjutan bagi santri TPQ yang telah khatam atau diwisuda
bi nadhor yaitu berupa Madrasah Diniyah dan Tahfidzul Qur’an.
“Kegiatan keagamaan tetap seperti yang dulu, hanya saja ada
tambahan kegiatan yaitu istighosah, di sini saya mulai
memerankan diri saya sepulang dari pondok pesantren. Kegiatan
35 Wawancara dengan Ibu Siti Masrufah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2011) pada hari minggu tanggal 15 April 2018 pukul 10.14 WIB
118
istighosah juga dilaksanakan pada malam hari digilir dari rumah
ke rumah seperti halnya kegiatan keagamaan yang lain.”36
Sementara itu kegitan ritual keagamaan di masyarakat Treceh,
Sajen, Pacet, juga mengindikasikan suatu perubahan. Hal ini ditujukkan
dengan adanya tambahan kegiatan ritual keagamaan yaitu berupa kegiatan
istighosah. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada setiap malam selasa
secara rutin dan bergilir dari rumah ke rumah.
“…….Kegiatan keagamaan di desa saya sekarang meliputi:
Diba’iyah, Tahlil, Khotmil Qur’an, Hadrah Putra, Istighosah
setiap hari kamis yang digilir di musholla-musholla, Tahlil Kubro
ranting setiap 3 bulan sekali……”37
Selain itu kegiatan ritual keagmaan di masyarakat Kedung peluk,
Kuripan sari, Pacet juga berkembang dari waktu kewaktu, terbukti dengan
adanya pengembanga kegiatan Tahlil, yang sebelumnya hanya ada Tahlil
dusun kini berkembang menjadi kegiatan Tahlil Kubro yang dilakukan
setiap 3 bulan sekali digilir setiap dusun yang bertempat di Musholla,
Tahlil Kubro diikuti oleh anggota ibu-ibu dewasa satu desa Kuripan sari.
Hal tersebut telah menunjukan bahwa kegiatan pemberdayaan
ritual keagamaaan di masyarakat telah berkembang dari waktu ke waktu
sesuai dengan kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat.
36 Wawancara dengan Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012) pada hari minggu tanggal 11 April 2018 pukul 10.43 WIB
37 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB
119
c. Mengaktifkan kembali kegiatan ritual keagamaan di masyarakat
Kegiatan pemberdayaan yang terakhir dilakukan oleh masyarakat
adalah mengaktifkan kembali kegiatan ritual kegamaan di masyarakat yang
pernah ada untuk memperkaya kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang
ada di masyarakat.
“……..Kegiatan keagamaan di desa saya sekarang meliputi:
Diba’iyah, Tahlil, Khotmil Qur’an, Hadrah Putra, Istighosah
setiap hari kamis yang digilir di musholla-musholla, Tahlil Kubro
ranting setiap 3 bulan sekali, Banjari IPPNU kembali hidup
setelah beberapa tahun lalu mati. Dan TPQ yang awalnya ada
dua, kini menjadi 1 dengan metode dan system yang sudah tertata
dan dipindahkan ke Masjid.”38
Ada kegiatan Banjari IPPNU di Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet,
yang mulai diaktifkan kembali kegiataannya, setelah beberapa tahun terakhir
mengalami nihil kegiatan. Hal tersebut membuktikan bahwa kegiatan
pemberdayaan ritual keagamaan tidak hanya mempertahankan dan
mengembangkan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat saja tapi juga
mengaktifkan kegiatan ritual keagmaan yang sudah lama mati.
Menurut Sri Najiati Terdapat empat prinsip yang sering digunakan
untuk suksesnya program kegiatan pemberdayaan, yaitu prinsip kesetaraan,
partisipasi, keswadayaan atau kemandirian, dan berkelanjutan.39 Adapun lebih
jelasnya adalah sebagai berikut:
38 Wawancara dengan Ibu Lutfiyah (Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren
Bidayatul Hidayah Tahun 2010) pada hari minggu tanggal 8 April 2018 pukul 09.28 WIB 39 Sri Najiati, Agus Asmana, I Nyoman N. Suryadiputra, Pemberdayaan Masyarakat di Lahan
Gambut, (Bogor: Wetlands International – 1P, 2005), 54.
120
a. Prinsip Kesetaraan
“Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara
masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program
pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dinamika
yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan
mekanisme berbagai pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama
lain. Masing-masing saling mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga
terjadi proses saling belajar.”
Sesuai teori tersebut para hafiẓah memiliki kesetaraan yang sama
dengan masyarakat di desanya, para hafiẓah berperan aktif dalam kegiatan
pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat sehingga dapat tercipta
kebersamaan dan kekompakan antara para hafiẓah dan masyarakat untuk
bersama-sama menjalankan kegiatan ritual keagamaan dengan baik, hal ini
ditunjukkan dengan hasil wawancara dengan masyarakat berikut ini:
“Alhamdulillah Kegiatan keagamaan di masyarakat ini
semakin tahun semakin menunjukkan kemajuan, dulu kegiatan
keagamaan hanya diminati oleh para orang tua, namun kini
kaum muda pun mau ikut serta mengikuti kegiatan tersebut
sejak berdirinya lembaga pendidikan Islam Bustanut Tarbiyah,
karena banyak kegiatan yang dilakukan di sana mulai dari
kegiatan rutinan mingguan hingga bulanan.”40
Lembaga Pendidikan Bustanut Tarbiyah adalah lembaga yang di
dalamnya ada banyak peran dari hafiẓah, karena hafiẓah menjadi salah satu
pengurus dan pengelola kegiatan di lembaga tersebut, jadi di antara para
hafiẓah dengan masyarakat saling mengakui adanya kekurangan dan
40 Wawancara dengan Kepala Dusun Ngudi, Pesanggrahan, Kutorejo, Bapak Mukhlason, pada tanggal
12 Mei 2018, Pukul 08.58 WIB
121
kelebihan pada dirinya sehingga terjadi proses saling belajar tentang ilmu
keagamaan dan sosial di antara mereka.
b. Prinsip Partisipasi
“Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
masyarakat adalah program yang sifatnya partisipastif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun, untuk
sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses pendampingan yang
melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan
masyarakat.”
Prinsip partisipasi mengharuskan para hafiẓah untuk langsung
terjun berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di
masyarakat. Seperti pernyataan masyarakat saat diwawancarai berikut ini:
“Sejak kepulangannya dari pondok pesantren, kehadiran bu
lutfiyah benar-benar membawa dampak positif bagi
masyarakat. Sifatnya yang tegas dan berani membuat beliau
banyak dipercayai oleh tokoh masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan keagamaan sekaligus pendidikan
yang ada di dusun ini yaitu TPQ. sejauh ini beliau ditunjuk
sebagai pemimpin dalam berbagai kegiatan serta menjadi
kepala TPQ di dusun ini’.41
Hal ini sesuai dengan prinsip yang sudah dijalankan para hafiẓah
bahwa mereka telah berperan aktif, partisipatif dan ikut andil dalam
berbagai kegiatan keagamaan (Islam) yang ada di dalam masyarakat sejak
mereka pulang dari Pondok Pesantren.
c. Prinsip Keswadayaan atau Kemandirian
“Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakatnya sendiri dari pada bantuan pihak lain. Mereka
41 Wawancara dengan Kepala Dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet, Bapak Ahmad Sudar, pada
tanggal 10 Mei 2018, Pukul 10.42 WIB
122
memiliki kemampuan untuk menabung, pengetahuan yang mendalam
tentang kendala-kendala usahanya, mengetahui kondisi lingkungannya,
memiliki tenaga kerja dan kemauan, serta memiliki norma-norma
bermasyarakat yang sudah lama dipatuhi. Semua itu harus digali dan
dijadikan modal dasar bagi proses pemberdayaan.”
Para hafiẓah yang berperan dalam kegiatan pemberdayaan ritual
keagamaan telah memegang erat prinsip kemandirian, mereka berani tampil
dengan ketegasan dan tanggung jawab yang dimilikinya. Sesuai dengan
hasil wawancara dengan masyarakat berikut ini:
“Peran para hafiẓah selalu ditunggu oleh masyarakat, terutama
hafiẓah yang mempunyai keberanian tampil dihadapan
masyarakat namun tetap rendah hati, mbak riyah dalam
kesehariannya mengajar ilmu seni baca al-Qur’an di beberapa
TPQ bahkan ada yang privat setiap 2 kali dalam seminggu
datang ke rumahnya, beliau tetap mengajarnya dengan penuh
kesungguhan, sabar dan telaten, di kampung beliau terkenal
orang yang sopan dan lemah lembut.”42
Selain itu, masyarakat juga telah memberikan peluang kepada para
hafiẓah agar bisa memerankan dirinya dengan baik, hal ini menunjukan
bahwa masyarakat telah menggunakan prinsip keswadayaan, mereka
menghargai dan mengedepankan kemampuan para hafiẓah untuk mengelola
serta memimpin kegiatan ritual keagamaan di masyarakat.
d. Prinsip Berkelanjutan
“Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan
makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat sudah
mampu mengelola kegiatannya sendiri.”
42 Wawancara dengan Kepala Dusun Treceh, Sajen, Pacet, Ibu Suyoso, pada tanggal 13 Mei 2018,
Pukul 09.28 WIB
123
Kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat dusun
Kedung peluk, dusun Ngudi dan dusun Treceh telah berjalan dengan baik,
serta antusias dari masyarakat pada kegiatan tersebut sangat kompak dan
mendukung, seperti pernyataan hasil wawancara dari masyarakat dusun
Kedung peluk, beliau menyatakan bahwa:
“Sejauh ini kegiatan keagamaan di masyarakat berjalan dengan
baik, masyarakat kompak dan saling mendukung ulur tangan,
karena seluruh penduduk di dusun ini beragama Islam.”43
Kemudia diperkuat dengan masyarakat dusun Ngudi, yang
menyatakan bahwa”
“Alhamdulillah Kegiatan keagamaan di masyarakat ini
semakin tahun semakin menunjukkan kemajuan, dulu kegiatan
keagamaan hanya diminati oleh para orang tua, namun kini
kaum muda pun mau ikut serta mengikuti kegiatan tersebut
sejak berdirinya lembaga pendidikan Islam Bustanut Tarbiyah,
karena banyak kegiatan yang dilakukan di sana mulai dari
kegiatan rutinan mingguan hingga bulanan.”44
Hal senada diungkapkan oleh masyarakat dusun Treceh, beliau
menyatakan bahwa:
“Gambaran umum kondisi kegiatan keagamaan di masyarakat
ini sangatlah kompak, baik kegiatan putra maupun putri sama
sama berjalan dengan baik. Karena dusun ini sangat luas terdiri
dari 12 RT, maka kegiatan keagamaan di sini sangatlah padat,
mulai dari kegiatan mingguan hingga bulanan.”45
43 Wawancara dengan Kepala Dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet, Bapak Ahmad Sudar, pada
tanggal 10 Mei 2018, Pukul 10.42 WIB 44 Wawancara dengan Kepala Dusun Ngudi, Pesanggrahan, Kutorejo, Bapak Mukhlason, pada tanggal
12 Mei 2018, Pukul 08.58 WIB 45 Wawancara dengan Kepala Dusun Treceh, Sajen, Pacet, Ibu Suyoso, pada tanggal 13 Mei 2018,
Pukul 09.28 WIB
124
kegiatan tersebut bisa terus berlangsung dan berkelanjutan
meskipun pada nantinya para hafiẓah telah vakum dari kegiatan tersebut,
sebab kegiatan tersebut telah memiliki dasar dan pondasi yang kuat serta
masyarakat telah membiasakan kegiatan tersebut sebagai tanda
kebersamaan dan keterikatan sosialnya.
Beberapa prinsip itulah yang sudah digunakan di masyarakat untuk
mensukseskan program kegiatan pemberdayaan ritual keagamaan di desanya.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sri Najiati dalam bukunya
yang berjudul Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut.46
3. Persepsi Masyarakat Terhadap Peran Para Hafiẓah Alumni Pondok
Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng Dalam Pemberdayaan Ritual
Keagamaan Di Masyarakat
Persepsi dalam hal ini adalah suatu penilaian yang diberikan
masyarakat terhadap peran para Hafiẓah dalam memberdayakan ritual
keagamaan yang ada di masyarakat. Mengetahui persepsi masyarakat
merupakan hal yang perlu mengingat peranan para hafiẓah tidak hanya
berperan untuk dirinya sendiri namun juga berperan di dalam masyarakat desa
bahkan tidak menutup kemungkinan peranannya sampai dalam cakupan yang
lebih luas lagi. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk
para hafiẓah agar bisa mengetahui kekurangannya, mana yang harus mereka
46 Sri Najiati, Agus Asmana, I Nyoman N. Suryadiputra, Pemberdayaan Masyarakat di Lahan
Gambut, (Bogor: Wetlands International – 1P, 2005), 54.
125
perbaiki, agar para hafiẓah bisa menempatkan posisinya dengan baik di
tengah- tengah masyarakat.
Persepsi positif yang diberikan oleh masyarakat mengacu pada hasil
wawancara yang peneliti lakukan kepada beberapa masyarakat mengenai
persepsi masyarakat terhadap para hafiẓah alumni pondok pesantren bidayatul
hidayah mojogeneng dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat.
Berikut pernyataan yang diperoleh dari informan:
“Peran bu lutfiyah dalam memberdayakan ritual keagamaan di
masyarakat selalu mendapat respon positif, beliau orang yang
amanah, tekun dan ulet dalam mendidik anak anak di TPQ. Sejak
TPQ dalam pimpinannya dalam jangka 1.5 tahun untuk yang
pertama kalinya berhasil mentashih al-Qur’an sebanyak 9 anak.
Jadi, pada intinya hadirnya para penghafal al-Qur’an di tengah
masyarakat kita benar-benar sangat dibutuhkan dan banyak sekali
kemanfaatannya.”47
Selanjutnya informan yang kedua juga menyatakan persepsinya
pada hasil wawancara berikut
“Persepsi saya tentang para penghafal al-Qur’an seperti neng
rufah dalam memberdayakan ritual keagamaan di masyarakat
adalah bahwa kehadirannya, keikutsertaannya dalam kegiatan
tersebut sangat perlu. Mengingat bahwa selama ini beliau sangat
telaten merawat santri yang menghafal al-Qur’an termasuk putri
saya sendiri, keistiqomahan serta kesabarannya dalam mendidik
anak anak patut diacungi jempol.”48
47 Wawancara dengan Kepala Dusun Kedung peluk, Kuripan sari, Pacet, Bapak Ahmad Sudar, pada
tanggal 10 Mei 2018, Pukul 10.42 WIB mengenai persepsi masyarakat terhadap peran Ibu Lutfiyah
(Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2010)
48 Wawancara dengan Kepala Dusun Ngudi, Pesanggrahan, Kutorejo, Bapak Mukhlason, pada tanggal
12 Mei 2018, Pukul 08.58 WIB mengenai persepsi masyarakat terhadap peran Ibu Siti Masrufah
(Ketua Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2011)
126
Informan ketiga juga menyampaikan persepsinya terhadap peran
para hafiẓah
“Peran para hafiẓah selalu ditunggu oleh masyarakat, terutama
hafiẓah yang mempunyai keberanian tampil dihadapan
masyarakat namun tetap rendah hati, mbak riyah dalam
kesehariannya mengajar ilmu seni baca al-Qur’an di beberapa
TPQ bahkan ada yang privat setiap 2 kali dalam seminggu datang
ke rumahnya, beliau tetap mengajarnya dengan penuh
kesungguhan, sabar dan telaten, di kampung beliau terkenal
orang yang sopan dan lemah lembut.”49
Dari paparan hasil penelitian di atas peneliti mendapatkan sebuah
temuan bahwa peran para hafiẓah akan mendapatkan persepsi yang baik dan
positif ketika peran mereka dalam pemberdayaan ritual keagamaan, tentunya
harus aktif, partisipatif dan ikut andil dalam berbagai kegiatan keagamaan
(Islam) yang ada di dalam masyarakat. Selain keaktifan dalam berpartisipasi,
para hafiẓah memiliki suatu perilaku dan sikap yang baik, sopan, santun, ulet
dan tekun serta bertanggung jawab. Sebab masyarakat sangat membutuhkan
sosok tersebut untuk terus memberdayakan kegiatan ritual keagamaan yang
masih berjalan. Hal ini sesuai dengan teori Menurut Dr. Thohir Luth, MA.
bahwa “masyarakat Islam seperti ini juga menyadari bahwa bekerja adalah
bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga dalam bekerja perlu ketulusan,
kemauan, dan kecintaan terhadap pekerjaan, disiplin dan bertanggung jawab.
49 Wawancara dengan Kepala Dusun Treceh, Sajen, Pacet, Ibu Suyoso, pada tanggal 13 Mei 2018,
Pukul 09.28 WIB mengenai persepsi masyarakat terhadap peran Ibu Syafa’atu Dzikriyah (Ketua
Koordinator Para Hafiẓah Alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Tahun 2012)
127
Masyarakat Islam hanya mau melakukan tolong menolong dalam hal kebajikan
dan ketakwaan, bukan menolong dalam menimbulkan dosa dan permusuhan.”50
Persepsi yang diberikan oleh masyarakat mayoritas mendukung dan
menilai apa yang dilakukan oleh para hafiẓah, menurut masyarakat peran para
hafiẓah merupakan hal yang positif dan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Bahkan masyarakat telah mempercayakan kepada para hafiẓah untuk
menjalankan beberapa kegiatan dan lembaga pendidikan di sana, sehingga tak
segan masyarakat untuk mengikutsertakan anak-anak mereka dalam kegiatan
tersebut. Aspek pengetahuan tentang agama juga harus dimiliki dan dikuasai,
karena para hafiẓah telah diberikan sebuah amanah oleh masyarakat, selain
memberdayakan kegiatan ritual keagamaan, namun juga para hafiẓah
memiliki peran untuk mendidik dan mencerdaskan para generasi muda agar
memperoleh ilmu mengenai agama Islam. Masyarakat seakan sadar akan
pentingnya pendidikan agama dalam diri seorang anak, untuk menjadi bekal
mereka dalam mejalankan kehidupan sehari-hari kelak dan tak lupa untuk
selalu beribadah kepada Allah SWT.
Temuan selanjutnya yang peneliti dapatkan adalah suatu peranan
yang ada di masyarakat apabila dilaksanakan dengan ketulusan dan sesuai
dengan kemampuannya, akan memunculkan suatu persepsi yang positif dari
masyarakat, begitu juga sebaliknya. Seperti teori menurut Anton Moelyono
50 Thohir Luth, Masyarakat Madani solusi damai dalam perbedaan, (Makasar: PT. Media Cita, 2002)
45.
128
(1949), bahwa “peranan adalah sesuatu yang dapat diartikan memiliki arti
positif yang diharapkan akan mempengaruhi sesuatu yang lain.”51 Jadi pada
intinya segala yang dilakukan dengan niat baik maka akan mendapatkan respon
dan tanggapan yang baik pula dari orang-orang disekitar kita.
C. PENGECEKAN KEABSAHAN DATA
Selama pelaksanaan penelitian, suatu kesalahan dimungkinkan dapat
timbul. Entah itu berasal dari diri peneliti atau dari pihak informan. Untuk
mengurangi dan meniadakan kesalahan data tersebut, maka perlu mengadakan
pengecekan kembali data dengan cara 4 teknik di bawah ini dengan harapan
laporan yang disajikan nanti tidak mengalami kesalahan.
1. Uji Credibility (Validitas Internal)
Untuk menguji derajat kepercayaan terhadap hasil penelitian
kualitatif mengenai peranan para hafiẓah alumni Pondok Pesantren Bidayatul
Hidayah Mojogeneng dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat.
Peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data yaitu metode
pengumpulan data wawancara, observasi dan dokumentasi. Setelah diperoleh
hasil penelitiannya, maka dilakukan triangulasi sumber data. Triangulasi ini
dilakukan dengan cara:
a. Membandingkan hasil pengumpulan data mengenai peranan para hafiẓah
alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng dalam
51 Soleman B. Taneko, Mengenal Arti Peran, (Surabaya: Dinar press, 1986), 23.
129
pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat menurut masyarakat umum
dengan apa yang dikatakan para hafiẓah secara pribadi.
b. Membandingkan hasil wawancara mengenai peranan para hafiẓah alumni
Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng dalam pemberdayaan
ritual keagamaan di masyarakat dengan hasil dokumentasi dilapangan
yang saling berkaitan.
c. Mengadakan perbincangan dengan banyak pihak terkait peranan para
hafiẓah dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat.
Dari hasil wawancara dengan para hafiẓah diperoleh informasi
bahwasannya para hafiẓah telah memiliki peranan dalam kegiatan ritual
keagamaan di masyarakat. Dari pernyataan para hafiẓah, ada berbagai
kegiatan ritual keagamaan dimasyarakat mereka masing-masing, mulai dari
keikutsertaan dalam kegiatan Diba’iyah, Tahlil, Khotmil Qur’an, mengajar di
TPQ, mengajar Qiro’ah, terlibat dalam kepengurusan beberapa organisasi
(Fatayat NU, muslimat NU, Jami'yyatul Qurra wal-Huffadz), hingga
pembuatan program lanjutan selepas dari TPQ berupa Madrasah Diniyah dan
Tahfidzul Qur’an. Hal tersebut menunjukkan adanya peranan para hafiẓah
dalam pemberdayaan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat mereka
masing-masing.
Setelah melakukan wawancara dengan para hafiẓah, perlu dilakukan
wawancara lagi dengan masyarakat masing-masing dimana para hafiẓah
melakukan peranannya tersebut, untuk memastikan keabsahan data hasil
130
wawancara dengan para hafiẓah. Hasil wawancara dengan masyarakat
masing-masing tempat para hafiẓah, masyarakat menguatkan pernyataan para
hafiẓah sebelumnya, dimana para hafiẓah telah melakukan peranannya dengan
berpartisipasi aktif dalam mengikuti kegiatan ritual keagamaan disana.
Mereka juga mendapat kepercayaan masyarakat untuk mengelola langsung
sebuah TPQ agar dapat berkembang. Dan juga mereka ditunjuk sebagai ketua
koordinator program Tahfidzul Qur’an, serta menjadi orang kepercayaan
masyarakat ketika membutuhkan sang Qori’ dalam beberapa kegiatan
keagamaan ditempat mereka. Pada intinya mesarakat sangat mengapresiasi
kepada para hafiẓah dalam peranan mereka memberdayakan kegiatan ritual
kegamaan di masyarakat.
Kemudian, peneliti juga melakukan observasi dan dokumentasi
mengenai peranan para hafiẓah alumni Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah
Mojogeneng dalam pemberdayaan ritual keagamaan di masyarakat.
Kesimpulan hasil observasi menjelaskan bahwa peneliti mengamati langsung
peran para hafiẓah dalam beberapa kegiatan keagamaan yang ada disana.
Peneliti menjumpai para hafiẓah aktif dalam beberapa kegiatan seperti
menjadi Pengurus JHQ, Pengurus Muslimat Ranting, Ustadzah di TPQ dan
Madrasah Diniyah.
Hasil observasi tersebut peneliti kuatkan dengan data hasil
dokumentasi, dimana peneliti telah melampirkan hasil dokumentasi mengenai
kegiatan-kegiatan para hafiẓah dalam melakukan peranannya, seperti
131
dokumentasi para hafiẓah mengajar di TPQ, dokumentasi para hafiẓah
mengajar Qiro’ah, dokumentasi para hafiẓah mengajar tahfidzul Qur’an, dan
dokumentasi para hafiẓah mengikuti kegiatan muslimat, fatayat dan JHQ
hingga dokumentasi susunan kepengurusan organisasi mengenai keterlibatan
para hafiẓah dalam organisasi tersebut.
2. Uji Transferability (Validitas Eksternal)
Peran yang diemban oleh para hafiẓah tidaklah semata mengikuti
kegiatan keagamaan disana, melainkan peran para hafiẓah lebih luas
pembahasannya. Para hafiẓah tidak hanya melakukan partisipasi aktif dalam
kegiatan ritual keagamaan tersebut, mereka memiliki andil untuk mengelola
langsung kegiatan-kegiatan ritual keagamaan dimasyarakat tersebut. Dengan
bekal pengalaman dan pendidikan mereka selepas dari pondok pesantren
Bidayatul Hidayah, masyarakat mampu melihat potensi yang ada di dalam diri
para hafiẓah, sehingga masyarakat tak segan untuk menunjuknya langsung
untuk mengisi kepengurusan beberapa kegiatan dan organisasi keagamaan
disana.
Inisiatif para hafiẓah juga sangat diperlukan dalam menjalankan
peranannya umtuk pemberdayaan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat.
Para hafiẓah memiliki inisiatif ketika melakukan penananya, hal tersebut
dilakukan karena para hafiẓah melihat adanya permasalahan yang perlu diatasi
untuk memudahkan mereka dalam melakukan perananya. Para hafiẓah
memotivasi, mengarahkan dan mebimbing baik para orang tua dan anak-anak
132
di sana, betapa pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak dalam rangka
pemberdayaan kegiatan ritual keagamaan di masyarakat. Bahkan para hafiẓah
dengan inisiatif sendiri mengajar di tempat tinggal mereka.
Maka dapat disimpulkan bahwa peranan para hafiẓah untuk
memberdayakan kegiatan ritual keagamaan dimasyarakat, diperlukan bekal
pengalaman pendidikan pondok pesantren yang cukup, memiliki semangat
yang tinggi, hingga memiliki kemauan untuk dapat menjalankan peranannya
dengan baik di masyarakat.
3. Uji Dependability (Reabilitas)
Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap
keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor/pembimbing
untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.
Dan dalam penelitian ini pembimbing atau auditor telah melakukan koreksi
terhadap aktivitas dan data-data yang telah diperoleh oleh peneliti, serta
peneliti bisa menunjukkan semua proses jejak aktivitas lapangannya selama
pengumpulan data. Maka dependabilitas dalam penelitian ini bisa diterima.
4. Uji Confirmability (Obyektifitas)
Uji confirmability dengan uji dependability pengujiannya dapat
dilakukan secara bersamaan. Menguji konfirmability berarti menguji hasil
penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Maka dalam penelitian
ini hasil penelitian telah diuji oleh pembimbing, dari mulai awal proses
pengumpulan data, mengolah data sampai penyimpulan hasil penelitian,
133
pengujian tersebut membuktikan bahwa hasil penelitian ini merupaka fungsi
dari proses penelitian yang sudah dilakukan. Maka hal tersebut menunjukkan
bahwa penelitian ini sudah memenuhi standar konfirmability.
top related