bab iv telaah kritis konsep hermeneutika...
Post on 10-Mar-2019
259 Views
Preview:
TRANSCRIPT
218
218
BAB IV
TELAAH KRITIS KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID
ESACK SEBAGAI METODOLOGI TAFSIR TEKS
(Aplikabilitasnya Terhadap Reinterpretasi Konsep Dzimmi)
A. TELAAH KRITIS KONSEP DZIMMI: SEBUAH KOMPARASI
WACANA ANTARA FIQIH KLASIK DAN KONSEP
HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID ESACK
Membaca kembali konsep ahl al-dzimmah (dzimmi) secara kritis
adalah sebuah keniscayaan ketika kita ingin betul-betul mengaplikasikan
gagasan Farid Esack atas tafsir pembebasannya (hermeneutika pembebasan).
Meski secara jujur, bisa jadi kita tidak akan banyak menemukan istilah dzimmi
dalam pemikiran Esack. Dalam hal ini, penulis mengambil posisi untuk
mengambil celah yang diberikan Esack dalam pembahasan posisi the
‘protected minority’ ini lewat pemosisikan ahl al-Kitab1 yang diuraikan Esack,
atau bahkan pembahasan Esack mengenai pandangan teks/nash terhadap ‘yang
lain’ (the others)2, posisi ini yang lebih penting untuk penulis bawa sebagai
landasan mengapa menampilkan istilah dzimmi dalam gugusan pemikiran
Esack.
Dengan demikian, latar belakang munculnya rumusan hermeneutika
pembebasan yang ditawarkan Esack memang tidak bisa dilepaskan dari
1 Pembahasan Esack mengenai posisi ahl al-Kitab bisa kita lihat dalam tulisannya Farid
Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islam ic Perspective of Interreligious solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 194-224.
2 Mengenai uraian legitimasi teks dalam melihat posisi the others, secara jelas dalam Farid Esack, The Qur'an & the Other, dalam www.homapagefaridesack.com
219
219
beberapa factor, yaitu situasi sosial politik serta hukum yang menindas (rezim
despotic apartheid), perjuangan politik untuk pembebasan, reaksi terhadap
gejala stagnasi wacana pemikiran Islam dan adanya fakta ko-eksistensi
keagamaan yang plural. Sehingga problem utama Esack bukan hanya sebatas
memformulasikan sebuah pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an (tentang
konsep dzimmi, misalnya), melainkan lebih dari itu, bagaimana
menyandingkan dengan teologi pembebasan Afrika Selatan, yakni dalam arti
melakukan praksis pembebasan atas doktrin yang dianggapnya masih
‘tertutup’.
Sekadar menjelaskan, dalam sistem politik, kedudukan minoritas,
merupakan masalah penting (krusial). Sebagaimana masalah individu,
problem minoritas merupakan bagian integral dari studi tentang hubungan
antara berbagai kekuasaan masyarakat serta masalah kewarganegaraan.3
Minoritas dapat didefinisikan sebagai sebuah “kelompok ras, keagamaan,
bangsa atau politik yang lebih kecil dan berbeda dengan kelompok yang lebih
besar yang mengontrolnya”.4 Minoritas yang didefinisikan dengan istilah-
istilah ras, agama, bangsa atau politik tergantung pada hakekat pembahasan
filsafat politik. Di dalam pemerintahan Islam menurut versi Ibn Taymiyah,
agama tentu saja merupakan variabel yang independen. Dalam pemerintahan
Islam yang menganut asas Syari’at sebagai paham Negara, golongan
3 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
terj. Mufid, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taymiyah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm. 107
4 Lihat dalam Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah, ibid. hlm. 107.
220
220
mayoritas mencakup semua warga yang memeluk Islam, sedang golongan
minoritas terdiri dari penduduk non-Muslim (Yahudi, dan Kristen/Nasrani).5
Untuk menyempurnakan perdebatan wacana seputar minoritas
tersebut, dalam bab ini, penulis akan menampilkan wacana dan konfigurasi
fiqh klasik sebagai upaya untuk melacak kehadiran status dzimmi.
1. Melacak Kehadiran Status Dzimmi
Di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi berbagai tantangan
baru, seperti kelompok munafik, kafir yang memusuhi dan kondisi suku-
suku yang berperang. Di level sosial-politik, Muhammad menghadapi
komunitas plural keagamaan (Yahudi, Kristen) yang dalam al-Qur’an di
sebut sebagai ahlul kitab.6
Sistem pengaturan dan penertiban komunitas tersebut (sebagai
orang-orang non-Muslim yang berada dalam naungan Negara Islam) telah
jauh-jauh hari dicantumkan dalam “Piagam Madinah” atau “Konstitusi
Madinah”7. Dalam dokumen tersebut terdapat langkah penting perdana
bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau ummah. Dalam
bahasa Esack, dengan piagam ini, membentuk mereka semua menjadi
5 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
ibid. hlm. 107. 6 Farid Esack, The Qur’an, A Short Introduction, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan,
menghidupkan al-Qur’an, Jakarta: Inisiasi Press, hlm. 53. 7 Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang
Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah. Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama tersebut sampai menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah, yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu. Lihat dalam Mohd Rumaizuddin Ghazali, Memahami Konsep Negara Islam, diambil dari http://www.fajar.co.id/news.php
221
221
komunitas tunggal orang beriman, tetapi memboleh kan perbedaan
diantara kedua agama tersebut.8 Menurut piagam itu, konsep suku tentang
pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis.
Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi prinsip saling menghormati
dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang
mengikuti, bergabung dan berjuangan bersama mereka” (Yahudi
Madinah).9 Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua
warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyrakat (pasal 1)
yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain
(pasal 1 dan 39).
Tidak ada kekhawatiran mengenai siapa yang harus memegang
tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pasal 23, 36 dan 42
secara tegas menyebutkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai
hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan
(wewenang).10
Sementara Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi menuliskan, bahwa
kalau kita hendak menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam persoalan
hubungan (relasi) dengan golongan ghairul Islam (non-Muslim)—
khususnya terkait dengan soal halal-haram—cukup kiranya kita
berpangkal pada basic foundation dua ayat dalam al-Qur’an berikut:
8 Farid Esack, The Qur’an, A Short Introduction, op.cit. hlm. 53. 9 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
ibid. hlm. 1-2 10 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
ibid. hlm. 2
222
222
☺ ☺
☺ Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahinah: 8-9)11
Ayat pertama tidak sekadar senang keadilan dan kejujuran terhadap
golongan ghairul Islam yang tidak memerangi umat Islam dan tidak
mengusir mereka, yakni orang-orang yang tidak menaruh peperangan dan
permusuhan terhadap umat Islam, bahkan ayat tersebut senang
(menghendaki) umat Islam berbuat baik kepada mereka.
11 Basis pondasi ayat di atas adalah sebagai dasar atas masalah hubungan muslim dan
non-Muslim (ghoirul islam), sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi ketika menulis buku Halal dan Haram dalam Islam terkait hubungan antara umat Islam dan ghairul islam. Lihat dalam Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 464. lihat juga Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslims Under Shari’ah (Islamic Law), Kuala Lumpur Malaysia: A.S.Noordeen, 1994, cet. II., hlm, 24.
223
223
Kata-kata birr (berbuat baik) suatu kata yang mempunyai arti
sangat luas, meliputi semua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas,
meliputi smua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil
biasa. Kata ini juga yang dipakai oleh kaum Muslimin dalam hubungannya
dengan masalah kewajiban hak-hak kemanusiaan, misalnya birr ul
walidain. Dalam ayat ini pula, Allah menjelaskan kepada orang-orang
mukmin, bahwa ia tidak melarang untuk mengadakan hubungan baik
dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan dengan orang-orang
yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.12
Ketentuan di atas berlaku untuk semua kalangan non-Muslim baik
ahli kitab13 yang berada di luar maupun dalam Negara Islam (Darul
Islam). Tetapi untuk mereka yang berada dalam naungan pemerintahan
Islam, ada satu tempat khusus.
Sampai titik ini, Islam ternyata tidak melarang untuk mengadakan
hubungan secara baik dan memberikan keadilan dengan golongan ghairul
Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala
(watsaniyyin). Maka secara khusus, Allah mempunyai pandangan khusus
terhadap status mereka (ahli kitab): Yahudi Nasrani, baik mereka di bawah
kekuasaan Islam maupun di luar kekuasaan Islam.
12 Lihat dalam Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam,
Jakarta: PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 465. 13 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, terminology Ahli Kitab berarti sebutan bagi
komunitas yang mempercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain al-Qur’an. Abdul Azis Dahlan..et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, jilid 1, hlm. 46.
224
224
Ahli Kitab yang bermukim di Darul Islam, disebut ahl al-dzimmah,
karena mereka memperoleh dzimmah dari Allah dan Rasul.14 Jika dilihat
dari pemahaman bahasa, kata dzimmah berarti ikrar (al-'ahd), jaminan (al-
daman) keselamatan (al-aman).15 Inilah yang menyebabkan kenapa
kemudian dzmmi hidup di bawah ikrar Allah, ikrar Rasul dan masyarakat
Muslim.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pembeda
antara ahl al-dzimmah dan ahl al-ahdi (Mu’ahidin). Mu’ahidin (ahl al-
ahdi) adalah mereka yang mengikat perjanjian damai dengan orang Islam,
sehingga memiliki kebebasan penuh. Bedanya dengan ahl al-dzimmah,
kalau ahl al-dzimmah, mereka baru memperoleh sikap damai dari Islam
setelah mereka memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni kewajiban
membayar jizyah, tunduk kepada ketentuan-ketentuan pemerintah dan
tunduk di bawah hukum Islam terhadap hal-hal yang memungkinkan
mereka laksanakan.16 Namun keduanya sama-sama mempunyai kebebasan
penuh.
Dasar akad dzimmah ini mendapatkan legitimasi kuat dalam al-
Qur’an dalam al-Qur’an Surat al-Taubah [9]: 29: yang artinya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah17 dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
14 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 78 15 Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 22 16 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 79 17 Jizyah bisa dikatakan sebagai pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam
dari orang-orang yang bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.
225
225
Rasul dan para khalifah telah memberikan dzimmah kepada ahli
kitab. Maksud utama pemberian dzimmah ini adalah untuk menciptakan
suasana kedamaian dan harmonis antara penduduk negeri. Suasana damai
dewasa ini seringkali diungkapkan sebagai suasana yang stabil dan
kondusif. Pemberian dzimmah untuk memberikan rasa aman dan keadilan
kepada seluruh warga penduduk, baik dia Islam ataupun dzimmi. Inilah
warna yang ingin diberikan Islam dalam membina masyarakat.18
Selanjutnya, jika kita membincangkan status kewarganegaraan
seseorang menurut syari’at, maka yang muncul adalah pemahaman
pengakuan tunduk kepada syari’at Islam, dan tidak mengingkarinya,
dengan demikian kewarganegaraan seseorang dilihat dari pengakuannya
terhadap Islam, apakah dia seorang Muslim, dzimmi, baik dia menjadi
warga negara ataupun tidak. Dalam syari’at Islam, perubahan status
kewarganegaraan seseorang terjadi bila ia berpindah memeluk agama
Islam. Seorang harbi dapat berkewarganegaraan Islam, bila ia memeluk
agama Islam dan berjanji tunduk pada ketentuan Syari’at Islam. Dengan
demikian, seorang Harbi tidak dianggap menjadi dzimmi, bila dia masih
berada di negerinya, kecuali jika seruan Islam telah sampai ke negerinya
dan penduduknya mau mengikuti Syari’at Islam.19
18 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 79 19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, ibid., hlm. 43-44
226
226
Secara lebih jelas lagi, Abul A’la Al-Maududi dalam the Islamic
Law and Constitution menuliskan bahwa Syari’at Islam membagi warga
Negara non-Muslim menjadi tiga golongan sebagai berikut:20
a. Orang-orang (non-Muslim) yang menjadi rakyat suatu Negara Islam
berdasarkan suatu perdamaian atau perjanjian.
b. Non-Muslim yang menjadi rakyat suatu Negara Islam setelah
dikalahkan oleh kaum Muslim dalam suatu peperangan,
c. Non-Muslim yang berada di dalam wilayah Negara Islam dengan
cara lainnya.
Sementara itu, dalam sebuah buku berjudul “Non-Muslim Under
Shari’ah (Islamic Law)” karangan Abdur Rahman I. Doi juga dituliskan
bahwa para ahli Fiqh Islam menggolongkan warga negara non-Muslim
dalam kategori yang berbeda:21
a. The Dhimmis (dzimmi). Mereka disebut sebagai ahl dzimmi yang
menerima peraturan (syari’ah) atau hegemoni sebuah negara Islam
yang berbagai hal persoalan diputuskan sesuai dasar kesepakatan.
Negara islam tersebut harus mentaati hasil dari perjanjian tersebut.
b. The Conquered People (orang-orang yang ditaklukkan), non-
Muslim ini adalah mereka yang dikalahkan/ditaklukkan setelah
20 Abul A’la al-Maududi, the Islamic Law and Constitution, terj. Asep Hikmat, Sistem
Politik Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1995, hlm., 502. lihat juga Dr. Syekh Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, terj. Abdul Rocim. CN, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 76-77.
21 Pembagian warga negara versi al-Maududi ini hampir sama dengan penjelasan versi Abdur Rahman I. Doi, cuma perbedaannya ada penambahan beberapa point dan abdur rahman memberi pembedaan antara muslim, dzimmi, dan non-Muslim. Lihat dalam Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 23.
227
227
terjadi perang. Mereka secara otomatis menjadi ahl al-dzimmah dan
menjadi tanggung jawab negara Islam. Mereka akan membayar
dengan jumlah yang telah ditetapkan (jizyah)—karenanya, dengan
pajak ini, hidup mereka, penghormatan hak milik (HAM), dan
tempat ibadahnya akan dilindungi oleh Negara Penakluk (Negara
Islam).
c. Those non-Muslim who clearly happen to be residing in the Muslim
State as its citizens (orang non-muslim yang kebetulan telah menetap
dan bertempat tinggal dalam wilayah tersebut. Kemudian Islam
datang dan keduanya melakukan perjanjian (kemudian ada yang
menamakan warga Negara ini sebagai ahl al-ahdi)
d. Non muslim residing temporarily in a muslim country e.g. tourist or
temporary sojourners (non-Muslim yang bertempat tinggal untuk
sementara dalam sebuah kota warga Islam—dalam bahasa abdur
rahman disebut sebagai wisatawan atau temporer sojourners).
e. Resident aliens who have opted voluntarily to live in a Muslim State
(penduduk asing yang telah dengan sukarela memilih untuk tinggal
dalam Negara Islam).22
Kemudian sebagian besar ahli Fiqh menyebut mereka semua
sebagai dzimmi, yakni kaum yang hidup dalam pemerintahan Negara Islam
yang dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban
22 Yang perlu untuk di catat adalah menghilangkan kesalahpahaman dalam pemahaman di
atas antara muslim, dzimmi, dan non-Muslim. Abdur Rahman menengarai ada beberapa sarjana yang cenderung untuk memberi analogi yang menyesatkan tentang pembedaan tersebut.
228
228
militer dan zakat, namun diwajibkan membayar pajak (jizyah)23. Dalam
bahasa W. Montgomery Watt, kelompok minoritas ini dalam tradisi
pemerintahan Islam disebut sebagai the protected minority.24 Abdur
Rahman I. Doi juga memberikan pemahaman tentang the protected
minority ini bahwa mereka (ahl al-dzimmah) adalah kelompok yang
mendapatkan perlindungan hak asasi dari Syari’ah.25
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa konsep (dzimmi) ini
muncul persis seperti yang berlaku di zaman penaklukan wilayah oleh
pemerintahan politik Islam, yang berlangsung secara besar-besaran sejak
zaman Khulafaurrasyidin, kemudian dimapankan dalam zaman Daulah
Bani Umayah dan Abasiyyah sesudahnya.26
Konsep ini hadir ketika Nabi berhasil membangun sebuah negara
agama di Madinah. Tepatnya konsep tersebut dibangun saat Nabi
melakukan ekspedisi Tabuk pada tahun 630 M. Pada ekspedisi kali ini
Nabi membuat perjanjian dengan beberapa kelompok seperti kelompok
Kristen dari Ayla (modern: Akaba, injil: Elath) kemudian kelompok
Yahudi dari Maqna (dekat Akaba) dan beberapa kelompok kecil yang
ditemui selama melakukan ekspedisi mereka yang telah sepakat membuat
perjanjian berkewajiban membayar Jizyah (pajak perlindungan) kepada
23 Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, lihat dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah
Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002, hlm., 60-61. 24 Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, lihat dalam bulletin at-Taharruriyyah
yang diterbitkan oleh eLSA (lembaga studi sosial dan agama) Semarang, bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta, edisi I/XI-XII/2005, hlm. 9. lihat juga dalam W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, terj. Hamid Fahmi Zarkasyi, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: PT. Beunebi Cipta, 1987, hlm., 59-61.
25 Abdur Rahman I. Doi, Non-Muslim Under Shariah (Islamic Law), op.cit, hlm. 22. 26 Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, ibid.
229
229
pemerintah pusat di Madinah, sedangkan pemerintah Islam di Madinah
berkewajiban memberikan perlindungan baik yang datang dari dalam
maupun kelompok-kelompok tersebut.27
Karena itu, pemerintah Islam menyebut kelompok-kelompok kecil
ini sebagai ahl al-dzimmah (dzimmi) yang secara bahasa berarti perjanjian.
Kata-kata ini memberikan isyarat bahwa mereka itu mendapatkan
perjanjian Allah, Nabi dan jama’atul muslimin untuk hidup di bawah
naungan Islam dengan aman dan tenteram. Maka mereka harus
diperlakukan sesuai dengan perjanjian.
Dalam sejarahnya, pada saat pemerintahan Islam dipimpin oleh
Nabi dan keempat Khulafaurrasyidin, mereka mendapatkan perlakuan
yang adil. Bahkan Montgomery Watt sendiri sebagai seorang orientalis
yang banyak menulis kesejarahan Islam mengakui bahwa perlakuan yang
diberikan oleh Nabi dan keempat khulafaurrasyidin kepada ahl al-
dzimmah jauh lebih baik dari pada perlakuan yang diberikan oleh
kekaisaran Sasanid dan Byzantium (Romawi Timur).28
Ketika terjadi penaklukan wilayah di zaman itu, kaum non-Muslim
diberi alternatif, yakni memeluk Islam atau tetap dalam agamanya dan rela
hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam yang menaklukkannya.
Mereka yang memilih tetap pada agamanya dan taat bersama pada
pemerintahan Islam yang berkuasa dan melindungi keamanan hidupnya,
itulah yang disebut dzimmi. Pengertian dzimmi seperti ini sebenarnya tidak
27 Dikutip dari W. Montgomery Watt, 1987: 49-50, lihat dalam Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, op.cit. hlm., 9
28 Abu Hafsin, Hak Politik Mioritas dalam Islam, ibid.
230
230
berlaku ketika Rasulullah memimpin negara Madinah, sebab meskipun
pemerintahan berada di tangan Rasulullah Saw, namun kaum non-Muslim
turut serta sebagai warga negara yang sama kedudukannya dengan kaum
muslimin. Artinya, keberadaan dan kehidupan kaum non-muslim di
Madinah bersama dengan kaum muslimin bukan merupakan hasil dari
sebuah proses penaklukan. Rasulullah Saw dan umat Islam yang berhijrah
ke Madinah bukan datang menaklukkan Madinah dan menguasai secara
politik penduduk Madinah yang sebagiannya non-Muslim. Malah, beliau
diundang bersama umat Islam berhijrah dari Makkah dan diterima secara
damai setibanya di Madinah.29
Karena itu keberadaan dan kehidupan non-Muslim di Madinah
bukanlah karena kaum muslimin melindungi mereka, melainkan non-
Muslim itu sendiri sudah berada dan hidup di Madinah sebagai negerinya
sendiri. Bahkan mereka lebih dahulu ada di sana ketimbang Rasulullah
Saw dan para Muhajirin, dan turut merestui kehadiran Rasulullah bersama
para Muhajirin. Non-Muslim di Madinah, dengan keadaannya seperti itu,
tidak disebut dzimmi, tetapi dikategorikan sebagai kelompok al-mu`ahidun
yaitu golongan non-muslim yang terikat perjanjian damai dengan muslim
dalam suatu negeri bersama. Itulah sebabnya, dalam Piagam Madinah
yang disusun bersama antara Rasulullah Saw dengan kaum non-Muslim,
disebutkan bahwa mereka saling melindungi, bahu membahu menghadapi
musuh bersama. Atau tegasnya, hubungan antara Nabi Saw, Muhajirin dan
29 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004, cet. v. hlm.
146
231
231
kaum non-muslim di Madinah jauh sama sekali dari pengertian saling
menaklukkan antara mereka. Piagam Madinah pun tidak menyebut mereka
dengan istilah dzimmi, melainkan dengan sebutan “ummat” yang sama
statusnya dengan umat Islam.
Rasulullah Saw memang pernah memberikan petunjuk bagaimana
memperlakukan non-Muslim jika kasusnya berbeda dengan yang ada di
Madinah. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad bersumber dari Sulaiman bin
Buraidah, menyangkut penaklukan politik terhadap non-muslim, antara
lain Nabi SAW menegaskan:30
“Hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah memeluk Islam, jika ia terima maka kabulkanlah dan jaminlah keamanannya; kemudian ajaklah untuk berpindah dari negerinya ke negeri muhajirin. Dan jika mereka lakukan itu niscaya mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muhajirin. Jika mereka menolak untuk pindah maka beritahukan bahwa mereka diperlakukan sebagai a`rabnya orang-orang Islam dan terhadap mereka diberlakukan hukum Islam seperti orang muslim lainnya, tetapi tidak berhak mendapatkan harta perolehan dan rampasan perang kecuali jika mereka berjihad bersama dengan muslim lain. Jika mereka tetap menolak status ini, maka mintalah dari mereka jizyah. Dan jika mereka memenuhinya maka terimalah, kemudian jaminlah keamanan mereka.“
Hadis tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan
terhadap non-muslim di Madinah dengan non-Muslim yang mengalami
penaklukan politik di luar Madinah. Non-Muslim yang ditaklukkan oleh
pasukan Islam di luar Madinah, diberi sejumlah alternatif pilihan. Salah
satu di antaranya ialah tetap menganut agamanya dan tetap berdiam di
30 Hadis ini penulis kutip seperti pada aslinya dengan tulisan terjemahan Indonesia dari
Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam, op.cit, hlm., 60-61.
232
232
negerinya, dan mereka harus membayar pajak. Mereka inilah yang disebut
kaum dzimmi, sesuai dengan definisinya dalam sejumlah buku fiqh.
Kemudian, Allah SWT membolehkan kaum muslimin memberikan
jaminan keamanan kepada warga non-Muslim, baik hal itu atas prakarsa
kaum Muslimin ataupun datang atas keinginan pihak non-Muslim. Maka
jaminan keamanan yang disetujui oleh warga muslim dan non muslim
terdiri dari:31
a. Keamanan Muaqqaat
Jaminan keamanan ini pun akhirnya dibagi menjadi dua:
1. Jaminan keamanan yang diberikan oleh pasukan tentara Islam
terhadap musuh yang terkepung dan mereka minta perlindungan
keamanan, dan dijawab: “kamu aman”. Jaminan keamanan ini
diberikan pula kepada mereka yang memintanya.
Jaminan keamanan yang diberikan ini sebenarnya bukan satu
perjanjian yang mengikat secara tetap. Namun tidak boleh dirusak
bila tidak ada satu maslahat yang menghendakinya. Jika jaminan
keamanan itu diberikan secara mutlak, dapat saja jaminan
keamanan itu dibatalkan atas keputusan panglima perang, atau atas
permintaan mereka yang terkepung yang diajukan kepda panglima,
dan dinyatakan secara resmi oleh panglima bahwa jaminan
keamanan itu sudah tidak berlaku lagi
31 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, op.cit., hlm. 66-
67
233
233
Bila mereka menemui panglima perang setelah mendapatkan
jaminan keamanan, hendaklah mereka diajak memeluk Islam.
Kalau ditolak, mereka diajak menjadi ahl al-dzimmah. Kalau
mereka tolak pula, mereka dikembalikan ke daerahnya dan mereka
kemudian diperangi untuk ditaklukkan.
Jika tawaran memeluk Islam dan tidak bersedia membayar jizyah
(pajak) dan bertahan untuk tidak kembali ke daerahnya, panglima
(kepala negara) dapat memberikan waktu (kesempatan). Mereka
dapat kembali ke daerah dalam jangka waktu yang ditetapkan. Jika
jangka waktu itu berakhir, mereka menjadi ahl al-dzimmah dan
mereka tidak mungkin kembali ke daerahnya.
2. Perjanjian gencatan senjata (penghentian perang
sementara/muwada’ah)
Perjanjian gencatan senjata yang dibuat oleh penglima perang,
tidak memerlukan persetujuan kepala Negara (panglima tertinggi),
yang menjadi pertimbangan adalah kemaslahatan umat islam.
Selama jaminan keamanan itu masih berlaku, mereka tetap
memperoleh perlindungan. Namun kepala Negara dapat
membatalkan perjanjian itu bila kemaslahatan menghendaki.
Namun pembatalan tidak boleh dilakukan secara sepihak. Pihak
yang menerima jaminan harus terlebih dahulu diberitahukan bahwa
jaminan keamanan yang mereka nikmati telah dibatalkan. Pihak
Islam dilarang mencederai perjanjian dengan menyerang mereka
234
234
kembali. Rujukan yang digunakan terhadap isi perjanjian di atas
adalah QS. Al-Anfal [8]: 62. serta perjanjian Nabi dengan kaum
Quraisy yang dilakukan pada tahun Hudaibiyah, yaitu perletakan
senjata (tidak saling menyerang) yang berlaku 10 tahun.
b. Keamanan Muabbad (akad dzimmah)
Perjanjian ini dibuat oleh kepala Negara atau wakilnya dengan
pihak dzimmi untuk tidak saling menyerang. Syarat dzimmah adalah
dia masuk ke Darul Islam untuk menetap. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi dalam perjanjian ini;
a. Mereka bukan musyrikin Arab. Terhadap musyrikin hanya ada
dua pilihan, masuk Islam atau ditaklukkan. Musyrikin Ajam
dimasukkan ke dalam golongan Ahli Kitab
b. Orang yang membuat perjanjian itu tidak murtad, karena orang
murtad tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian dengan kaum
muslimin. Mereka harus dikalahkan.
c. Jaminan itu berlaku tidak terbatas. Kalau dibatasi, akad dzimmah
tersebut tidak sah. Karena tujuan akad dzimmah adalah untuk
memberikan keamanan dan ketentraman bagi harta dan jiwa si
dzimmi.
Akad dzimmah tidak boleh dirusakkan oleh pihak Islam,
namun mereka boleh merusaknya, ada tiga cara mereka membatalkan
akad dzimmah:
b. Mereka memeluk Islam
235
235
c. Mereka pindah dan menetap di Darul Harb
d. Tempat tersebut diduduki musuh dan mereka membiarkannya.
Hal ini dipandang bahwa mereka telah merusak janji.
Adapun ukuran kemurtadan, jika disebutkan oleh Hasbi ash-
Siddiqiey adalah ketika meninggalkan agama Islam dan kembali kepada
agama sebelumnya atau kafir. Jika dia seorang laki-laki, hendaklah dia
diberi nasihat dan diberikan waktu tiga hari untuk dia berpikir. Kalau dia
bertobat, dia dianggap muslim kembali.32
Jumhur ulama mengatakan bahwa, jika ia menolak untuk bertobat,
penguasa dapat membunuhnya. Jika dia seorang perempuan, dia tidak
dibunuh, namun dipenjarakan, dan dipaksa kembali memeluk Islam, dan
did era tiap tiga hari sekali, sampai dia bertobat ataupun dia mati.
2. Konsep Dzimmi perspektif Fiqh Klasik
Jika kita telah mengurai bagaimana kehadiran status dzimmi
dengan pembacaan syari’at dan semangat al-Qur’an, lain halnya dengan
wacana fiqh terhadap kaum minoritas ini. Ternyata ada beberapa problem
yang menghinggapi wacana Fiqh klasik.
Dalam buku Dr. Abdul Karim Zaydan, seorang guru besar hukum
Islam di Universitas Baghdad, yang menulis buku berjudul ahkam ahl al-
dzimmah wa al-Musta’minin (yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
ahl al-dzimmah) yang dikutip oleh Nurcholis Madjid dalam buku Fiqh
Lintas Agama mengatakan bahwa, komunitas ahl al-dzimmah merupakan
32 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum antar Golongan, op.cit., hlm. 69-
70
236
236
cikal bakal munculnya penomorduaan terhadap non-Muslim.33 Dalam
kitab-kitab Fiqh, sebagaimana disinyalir Abdul Karim Zaydan, ahl al-
dzimmah adalah komunitas non-Muslim yang melakukan kesepakatan
untuk hidup di bawah tanggung jawab dan jaminan kaum muslim. Mereka
mendapat perlindungan dan keamanan. Mereka juga mendapatkan hak
hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim.
Namun dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, ahl al-dzimmah
tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana komunitas Muslim. Mereka
tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, dan juga
tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota Majelis
Permusyawaratan.34 Mereka tidak mempunyai hak suara, bahkan
diwajibkan membayar pajak berupa jizyah. Dalam kitab-kitab Fiqh, ahl al-
dzimmah merupakan kalangan yang dituntut dengan sejumlah kewajiban,
tapi tidak mendapatkan hak yang sejajar dan setara, sebagaimana
komunitas Muslim. Atas dasar ini, ahl al-dzimmah sering disebut sebagai
kelompok kelas dua (al-muwahin bi al-darajah al-tsaniyah).
Praktis, munculnya pandangan para ulama Fiqh terhadap ahl al-
dzimmah telah mewarnai sikap kebanyakan umat Islam terhadap agama
lain (yang lain/the others). Ahl al-dzimmah dianggap sebagai kelompok
minoritas, dan karenanya harus tunduk kepada mayoritas. Dalam kitab
33 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit. 34 Diantara tokoh Muslim yang mempunyai pandangan seperti ini adalah Abul A’la al-
Maududi. Ia menulis sebuah buku Nazhariyyatu al-Islam wa Hudahu. Ia berpandangan, bahwa ahl al-dzimmah tidak boleh menjadi pemimpin eksekutif dan legislative. Karena dalam Negara Islam peberlakuan hukum Islam adalah mutlak. Dan ahl al-dzimmah sebagai komunitas yang sama sekali tidak mengetahui Syari’at Islam sudah barang tentu tidak akan mampu menduduki posisi tersebut. Lihat dalam Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 189.
237
237
Fiqh klasik, mereka tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan
sebagaimana umat Islam. Dan ini sejalan dengan karakter Fiqh klasik,
yang mana secara eksplisit ditulis untuk kepentingan umat Islam semata.
Sedangkan Fiqh yang berkaitan dengan agama lain hampir tidak
dijelaskan secara panjang lebar. Di sinilah, amat terkesan bahwa Fiqh
klasik telah menelantarkan dan mendiskriminasikan non-Muslim.
Problem ini kemudian ditangkap dengan baik oleh Esack, bahkan
dengan latar belakang ko-eksistensi pluralitas agama serta penindasan khas
negeri kulit hitam, Afrika Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: apakah konsep ahl al-dzimmah masih relevan untuk saat ini?
Mungkinkah ahl al-dzimmah menjadi warga biasa dan mendapatkan hak
yang setara dengan warga muslim lainnya? Bagaimanakah al-Qur’an dan
hadis Nabi berbicara tentang ahl al-dzimmah.
Beberapa pertanyaan di atas akan menjadi ukuran dalam uji materi
terhadap teks yang membahas tentang pluralitas agama, terutama dalam
karya tulis ini. Dan pada gilirannya, Fiqh sebagai tata aturan secara teknis
kehidupan manusia perlu mengadakan peninjauan kembali konsep dzimmi.
Karena, membaca latar belakang historisnya secara detail di atas ternyata
terdapat perbedaan yang tajam antara semangat yang dibawa al-Qur’an
dan hadits Nabi Muhammad SAW. Untuk memberikan perlindungan
terhadap ahl al-dzimmah di satu sisi, dan di sisi lain nuansa fiqh yang
cenderung menomorduakan mereka. Perlakuan yang bersifat diskriminatif
terhadap ahl al-dzimmah seringkali menggunakan analogi (qiyas) terhadap
238
238
kewajiban bagi non-Muslim untuk membayar jizyah. Dan ini merupakan
pandangan mazhab Syafi’i. Beberapa ulama kontemporer, seperti Abu al-
A’la al-Maududi, masjid Khadrawi dan Hisyam Syarabi merujuk kepada
para ulama Fiqh yang beraliran Syafi’iah.35
Sedangkan mazhab Hanafi misalnya terlihat memberikan ruang
bagi ahl al-dzimmah. Menurut mazhab ini, mereka diperbolehkan
melaksanakan ritual-ritual dan hukum yang sesuai dengan ajaran mereka,
walaupun ajaran-ajaran tersebut diharamkan bagi umat Islam, seperti
mendirikan gereja, mendapatkan tempat penyembelihan babi dan lain-lain.
Mereka mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan
mereka secara terbuka.36
Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam ahkam ahl al-dzimmah justru
memberikan pandangan yang relatif progresif. Dalam dialog dengan
seorang muslim yang menikahi perempuan ahl al-kitab, ia berpendapat,
bahwa sang suami mesti menghargai sang istri yang hendak meminum
khamr. Sang suami berhak untuk memperingati sang istri untuk tidak
meminum khamr. Tetapi apabila sang istri tidak menerimanya, maka sang
suami tidak boleh memaksa sang istri untuk tidak meminum khamr.37
Pandangan tersebut, menunjukkan bahwa sikap terhadap non-
Muslim relatif lebih toleran dan terbuka. Perbedaan agama tidak
menyebabkan adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap agama lain.
35 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 36 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 37 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-147
239
239
Mereka justru diberikan kebebasan untuk melaksanakan ritual
keagamaannya sesuai dengan ajaran yang diyakini.
Sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahl al-dzimmah memang
sebenarnya telah dipraktikkan oleh para ulama terdahulu di tengah
pemerintahan Islam. Dalam sebuah kisah yang sangat menarik, tatkala
Qatlushah, raja Tatar hanya ingin membebaskan tawanan Muslim, Ibn
Taymiyah langsung menginterupsi dan menolak sikap diskriminatif raja
Tatar tersebut. Ibn Taymiyahmeminta agar raja membebaskan semua
tawanan, termasuk di dalamnya tawanan orang-orang Yahudi-Kristen,
karena mereka sebagai ahl al-dzimmah.38
Dalam dinasti Utsmaniyah pun terdapat kisah yang menarik
disimak, yaitu tatkala raja hendak membunuh orang-orang Kristen, karena
mereka bertarung dengan penduduk Bunduqiyah saat itu. Kemudian As’ad
Zamah, seorang mufti pada waktu itu menentang keras kebijakan raja.
Bahkan raja bersikeras akan membunuh orang-orang Kristen. Sang Mufti
mengancam akan mendongkel kekuasaan raja jika bersikeras untuk
membunuh orang-orang Kristen, karena telah melangar hak perlindungan
kaum Muslim terhadap ahl al-dzimmah.39
Pembelaan terhadap mereka membuktikan, bahwa konsep ahl al-
dzimmah bukan untuk menomorduakan non-Muslim, melainkan
memberikan perlindungan dan pembelaan yang bersifat total terhadap non-
Muslim. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi setiap muslim
38 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 146-148 39 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 148
240
240
untuk membela dan memberikan perlindungan hak terhadap kaum
minoritas.
Sekali lagi penulis katakan bahwa sudah saatnya kita
mengembalikan konsep ahl al-dzimmah pada semangat awal yang telah
dibangun al-Qur’an. Rasulullah pun juga telah mengingatkan lewat
beberapa hadisnya berikut ini:
Berikut ini beberapa hadits Rasulullah yang berkenaan dengan
masalah ini:
)رواه الطبرانى(من اذى ذميا فقد اذاني ومن اذني فقد اذى اهللا
Artinya: Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya dan barangsiapa mengganggu saya, maka sunguh ia mengganggu saya, dan barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah. (HR. Thabrani)
حصمه خصمته يوم القيمة من اذى ذميا فأتا جصمه، ومن آنت
)رواه الخطيب باءسنا وحسن (Artinya: Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa memusuhi saya, maka saya akan memusuhinya nanti di hari kiamat. (HR. al-Khatib)
Di samping itu, secara politis, sikap kooperatif dan simpatik
terhadap ahl al-dzimmah sebenarnya telah mendapatkan legalitas dalam
Piagam Madinah, yaitu tatkala Rasulullah Saw. menyebut orang-orang
non-Muslim (Yahudi dan Kristiani) sebagai ummatun wahidah, umat yang
satu. Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya
warga Muslim lainnya. Saat itu, sesuai dengan rekaman sejarah, bahwa
kota Madinah adalah masyarakat dan negara Islam pertama yang dipimpin
241
241
oleh Nabi Muhammad. Hamidullah Muhammad (1975) menamai Kota
Madinah sebagai La Cite Etat Islamique. Konstitusinya—yang merupakan
konstitusi tertulis pertama dalam sejarah ketatanegaraan dunia—
ditandatangani perwakilan berbagai suku bangsa dan penganut agama.
Baik wakil kaum Muslimin (Muhajirin dan Anshar), bangsa dan penganut
agama Yahudi, penganut agama Kristen Orthodoks, dan kaum musyrikin
Arab.40
Penduduk Madinah ketika itu berjumlah sekitar 10 ribu jiwa.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, kaum Muslimin
di Madinah hanya 1.500 orang. Sekitar separuh penduduk Kota Madinah
adalah penganut agama Yahudi. Kaum Muslimin—gabungan Muhajirin
dan Anshar hanya—15 persen dari total jumlah penduduk. Kaum
Muslimin merupakan golongan minoritas di tengah masyarakat multisuku
dan agama.41
Dasar masyarakat multisuku dan agama bergabung ke dalam
Negara Madinah yang dipimpin Rasulullah adalah ''pilihan''. Mereka ikut
mendeklarasikan Piagam Madinah bukan karena paksaan, kesamaan ras,
agama, atau budaya. Memang, faktor terlibatnya mereka dalam
peperangan berkepanjangan antarsuku ikut mendorong mereka mencari
pemimpin baru yang kuat. Dan mereka sepakat dengan kepemimpinan
Rasulullah yang memimpin dengan wahyu Allah.
40 Lihat tulisan ini dalam Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama, diterbitkan
pada tanggal 24 Oktober 2005, diambil dari internet. 41 Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama,ibid.
242
242
Kalau terjadi sengketa antarsuku atau antaragama, Rasulullah yang
menyelesaikan. Kalau ada sengketa intern suku atau agama, kepala suku
dan pemuka agama itu sendiri yang menyelesaikan. Walaupun demikian,
banyak pula umat beragama dan suku lain yang memilih berhakim kepada
Rasulullah karena disaksikan lebih adil. Masyarakat Madinah menikmati
kebebasan menganut agama dan beribadat menurut agamanya (dikutip dari
Muhammad, Le Prophete de l'Islam. Sa Vie et Son Oevre, 1975, jilid II,
halaman 177 dan 798).42 Dalam salah satu pasal dalam Piagam Madinah
berbunyi:43
Ahli Kitab, Sebagaimana Tertera Dalam Naskah ini (piagam madinah) mempunyai hak kewarganegaraan yang utuh. Mereka dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan bebas. Mereka juga dapa menasehati orang-orang muslim, mereka membela untuk mempertahankan Negara dan mereka saling bagu membahu. Setiap mereka dapat hidup tentang di tempat tinggal masing-masing.
Nilai-nilai dan praktik kooperatif yang terdapat dalam al-Qur’an,
hadis dan sejarah awal Islam bisa dijadikan modal dasar untuk mengambil
langkah yang lebih jauh, bahwa tidak ada pertentangan antara konsep
Islam mengenai ahl al-dzimmah dengan konsep kewarganegaraan (al-
muwathanah). Bahkan, bila dilihat secara substansial, maka konsep ahl al-
dzimmah sejalan dengan konsep kewarganegaraan, yang mana setiap
penganut agama dan aliran kepercayaan mesti mendapat perlindungan
sebagaimana mestinya, sesuai dengan undang-undang dan konsensus
bersama.
42 Bustanuddin Agus, Islam dan Pluralisme Agama,ibid. 43 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 146-148
243
243
Dengan demikian perlakuan diskriminatif terhadap ahl al-dzimmah
sama sekali tidak dibenarkan, seperti digambarkan dalam hadis Rasul di
atas. Apalagi jika diterapkan di negara yang telah menganut sistem
demokrasi, yang mana setiap warga negara mempunyai hak yang sama,
tidak ada pembedaan oleh sekat-sekat ideolog, ras dan suku mana ia
berasal. Karenanya, di posisi inilah Esack berdiri dalam tonggak
pemikirannya untuk mencoba merekonstruksi wacana Fiqh klasik yang
amat tidak memadai terhadap pengangkatan harkat dan martabat ahl al-
dzimmah agar setara dengan kaum Muslim. Meski Esack tidak menyebut
secara banyak dalam pembahasan pemikirannya (karena Ia lebih sering
menyebut bahasan ahl al-kitab), namun dari semangat yang diambil adalah
sama, yakni berupaya untuk mereformasi dan merujuk kepada semangat
awal fiqh yang mempunyai komitmen untuk membangun toleransi,
kesepahaman dan kesetaraan antara penganut agama. Inilah fenomena
terkini yang musti di jawab oleh fiqh, fenomena pluralisme dan
multikulturalisme. Pembahasan berikutnya adalah melihat celah-celah fiqh
yang menjadi titik rawan sehingga, dari proses ini menjadi keberangkatan
beberapa pemikiran Islam, terutama Esack untuk menutup (‘bolong-
bolong’)nya.
Konsep Jizyah: sebuah Titik Rawan Fiqh
Kenapa penulis menyebut konsep Jizyah merupakan titik rawan,
terutama dalam fiqh hubungan antar agama? Titik rawan ini bisa kita lihat
dalam realitas kitab-kitab fiqh klasik yang selalu menampilkan pandangan-
244
244
pandangan seragam dan bernada diskriminatif terhadap kaum Yahudi-
Nasrani-Majusi (ahl al-kitab), yakni dengan mewajibkan membayar
Jizyah.44 Jizyah merupakan pajak yang diberikan non-Muslim (ahl al-
kitab, termasuk ahl al-dzimmah) sebagai imbalan atas pembebasan mereka
dari kewajiban untuk mempertahankan negara; atau imbalan atas jaminan
keamanan perlindungan mereka serta berbagai hak sipil sebagai warga
negara yang sejajar dengan kaum Muslimin
Para ulama fiqh sering menggunakan konsep ‘wajib pajak’ bagi
non-Muslim ini sebagai satu hal yang perlu dan wajib, karena pajak ini
menjadi jaminan bagi ‘nyawa’ mereka, kalau tidak ingin di jadikan objek
perintah perang bagi non-Muslim seperti tercantum dalam QS. Al-Taubah
[9]: 29:
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
44 Secara umum, jizyah ditujukan kepada non-Muslim. Ada banyak pendapat mengenai
latar belakang pewajiban jizyah, termasuk kalangan yang wajib membayar. Mazhab Hanafi beralasan, bahwa pewajiban jizyah karena ahl al-kitab ikut serta dalam membela Negara Islam. Sedangkan mazhab syafi’i, Hambali dan Syi’ah Imamiyah berpandangan, bahwa jizyah diwajibkan bagi non-Muslim sebagai jaminan hak hidup mereka di tengah-tengah komunitas Muslim dan agar tidak membunuh mereka. Dan mazhab maliki berpendapat, bahwa kewajiban jizyah sebagai jaminan untuk tidak membunuh mereka.
245
245
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah [9]: 29)
Dalam konteks yang lebih luas, jizyah merupakan cikal-bakal
lahirnya konsep ahl al-dzimmah dalam Islam, yaitu adanya perlakuan
khusus terhadap kelompok minoritas (non-Muslim).
Berkaitan ayat di atas, ada beberapa hal yang mesti dicermati
secara serius. Pertama, ayat tersebut tidak serta-merta bisa digunakan
sebagai legitimasi bagi pewajiban jizyah bagi non-Muslim. Karena ayat
tersebut mempunyai latar belakang historis (asbab an-nuzul). Ayat terebut
turun tatkala kaum Muslim sedang dalam peperangan (ekspedisi) melawan
Romawi di Tabuk, tahun 630 M.45 Perang ini berawal dari sikap keras
yang dilakukan orang-orang non-Muslim terhadap ketertiban dan
keamanana kaum Muslimin. Maka, ketika umat Islam mampu memenangi
perang tersebut, mereka mewajibkan bagi orang-orang non-Muslim untuk
membayar jizyah dan mereka pun tunduk. Lalu, oleh sebagian ulama fiqh,
ayat ini digunakan sebagai sumber untuk mewajibkan jizyah bagi non-
Muslim. Dikisahkan bahwa orang-orang Nasrani Najran adalah mereka
yang pertama kali membayar jizyah, sebelum wafatnya Nabi.46 Bukan
hanya itu, ayat ini juga menjelaskan ketundukan dan kepatuhan non-
Muslim untuk membayar jizyah.47
45 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, terj. Hamid Fahmi Zarkasyi,
Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: PT. Beunebi Cipta, 1987, hlm., 58-59. 46 Dr. M. Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihad fil Islam Kaifa Nafhamuhu? Wa kaifa
Numarisuhu?, terj. M. Abdul Ghofar, Fiqh Jihad; Upaya Mewujudkan Darul Islam antara Konsep dan Pelaksanaannya, Jakarta: Pustaka an-Nabaa’, 2001, hlm. 123.
47 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 150-151
246
246
Bila dicermati secara mendalam, ayat tersebut mempunyai latar
belakang historis tertentu, yaitu perang. Dan karenanya, tidak bisa
diberlakukan dalam situasi normal. Pertanyaannya apakah pembayaran
jizyah masih berlaku dalam sebuah situasi damai? Dalam masyarakat yang
tidak lagi berperang?
Kedua, membayar jizyah bukanlah ajaran Islam, melainkan tradisi
umat-umat terdahulu. Dalam banyak kitab dijelaskan, bahwa istilah
“jizyah” merupakan hasil dari pengaraban istilah dari Persia yaitu
“Kazayt”. Rasyid Ridha dan al-Thabari seperti yang dikutip dalam buku
Fiqh Lintas Agama, sama-sama memberikan pembenaran bahwa konsep
Jizyah merupakan tradisi raja-raja Persia.48
Dari penjelasan tersebut, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
konsep jizyah merupakan konsep politik yang digunakan penguasa sebagai
denda bagi mereka yang memerangi Islam. Dalam konsep jizyah,
sebagaimana disinyalir al-Qur’an, Islam sebenarnya hanya melanjutkan
tradisi-tradisi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah konsep jizyah ini masih
bisa berlaku di zaman kita sekarang?
Sebelum kita membandingkan dengan konsep pemikiran Esack,
sejatinya, Mazhab Hanafi telah mempelopori proses pembaruan hukum
Islam terhadap konsep jizyah, yakni jizyah diwajibkan saat itu karena
pemerintahan Islam telah melindungi mereka sebagai ganti atas
dibebaskannya mereka untuk berjihad di jalan Allah. Ibn Rusyd dalam al-
48 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 152
247
247
Muqaddimat juga menjelaskan bahwa jizyah diambil dari tahun ke tahun
sebagai imbalan atas pengamanan dan penjagaan agama mereka. Mereka
pun dapat hidup berdampingan dengna kaum muslimin dan mendapatkan
perlindungan. Kaum-kaum Muslimin berperang untuk keamanan mereka,
dan mereka tidak diwajibkan melaksanakan hal-hal sebagaimana kaum
Muslim.49
Jadi konsep jizyah merupakan konsep yang kehadirannya
mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala umat Muslim dan umat
non-Muslim berada dalam peperangan. Dan dalam kondisi seperti ini,
diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu
stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah satu cara
yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras
dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk
membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Dalam
buku Fiqh Lintas Agama ada kutipan menarik yang diambil dari tulisan
Abu Yusuf (al-Kharaj, hal. 138):
Ketika kesepakatan dilakukan antara kaum Muslimin dan ahl al-dzimmah dalam pemberlakuan jizyah, lalu dibukalah beberapa kota, dengan catatan kesepakatan tersebut terus berlangsung. Dan orang-orang Muslim melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh atau orang-orang yang ingin memerangi ahl al-dzimmah. Atas dasar ini, konsep jizyah diberlakukan, sehingga kota Syam dapat dibuka keseluruhan.
Semangat pembaruan tersebut yang nampaknya ingin
dikembangkan oleh Esack dalam pemikirannya. Berikut ini mari kita
bandingkan dengan karya pemikirannya, disandingkan dengan konsep
49 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 153
248
248
Fiqh, karena otomatis sebelum dia berangkat melakukan ‘pengembaraan’
pemikirannya, Esack terlebih dahulu melihat kekurangan Fiqh (seperti
telah diurai di atas) sebagai acuan dalam menelorkan pemikirannya.
3. Membandingkan dengan Tafsir Esack
Dalam tema pembahasan kali ini, sebenarnya telah sedikit banyak
diungkap dalam bab III. Namun sekadar untuk lebih meneguhkan kembali
bagaimana pemikiran Esack dan semangat Esack untuk bicara status non-
Muslim ini, maka penulis akan coba uraikan kembali lebih tajam
bagaimana konteks genealogi pemikirannya, hingga kemudian
menghasilkan (produk) tafsir yang berkesimpulan bahwa konsep dzimmi
(ahl al-kitab) menjadi hal yang perlu ditinjau kembali titik relevansinya
(reinterpretasi).
Faktor mendasar yang melatarbelakangi kenapa konsep ahl-kitab,
dzimmi maupun pendefinisian the others di kalangan Muslim Afrika
Selatan begitu signifikan, adalah karena semua itu menunjang perjuangan
menuju pembebasan. Perjuangan ini memberi jalan pada terlibatnya kunci-
kuci hermeneutika sebagai perangkat pembebasan dan sebagai cara untuk
mendekati dan memahami tek/nash (al-Qur’an). Dan merefleksikan teks
al-Qur’an dengan menggunakan kunci-kunci ini memungkinkan kelompok
Islamis progresif membentuk apresiasi dan penghargaan baru terhadap Din
dan kaum Lain.50
50 Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
solidarity againts Oppression, lihat terj. Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 231
249
249
Bagaimana tergambar dalam Bab III bahwa sebelum menuju
pemikirannya, Esack terlebih dahulu mendefinisikan iman, Islam dan kufr
sebagai pembacaan awal secara komprehensif siapa ‘diri sendiri’ dan
‘orang lain’. Esack akan memperbarui wacana tersebut agar terbangun
kategori-kategori yang lebih inklusif. Karena dalam berbagai
pernyataannya, al-Qur’an tidak pernah membedakan status komunitas satu
agama dengan yang lainnya. Di sinilah bermula Esack mempunyai etos
kerja besar dalam upaya melakukan proses tafsir (hermeneutika)
pembebasan.
Pertama, pendefinisian kembali konsep Iman. Esack memakai QS.
Al-Anfal [8]: 2-4 untuk mengawali pendefinisian kembali konsep iman ini.
Iman yang dalam akar kata merujuk pada arti “aman”, “mempercayakan”,
“berpaling kepada”, yang dari situ diperoleh makna “keyakinan yang
baik”, “ketulusan”, “ketaatan” atau “kesetiaan”, menurut al-Qur’an
dipahami sebagai tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada
Tuhan dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng
terhadap cobaan. (seperti dikutip Esack pada Fazlur Rahman 1983, h.
171).
Esack ingin merefleksikan konsep iman yang terkait dengan amal
shaleh. Karena dalam QS. Al-Anfal [8]: 2-4, terdapat tiga tema saling
terkait; watak dinamis iman, kesalingterkaitan antara iman dan amal
shaleh, serta iman sebagai respon personal terhadap Tuhan. Persoalan
yang paling signifikan adalah bahwa iman merupakan pengakuan pribadi
250
250
akan, dan respons aktif terhadap, kehadiran Tuhan di alam semesta dan di
dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi iman ini mengimplikasikan bahwa
ia berfluktuasi dan dinamis (bertambah dan berkurang).
Esack kemudian merangkum, tiga alasan utama bagi argumen
bahwa Iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah: 1). Bagaimanapun
iman didefinisikan, kita amati bahwa iman dipandang oleh al-Qur’an dan
kaum Muslim awal sebagai lebih dari satu jenis dan ada dalam berbagai
tingkatan51; 2). Ketika al-Qur’an mengimbau para pemeluk Islam awal
sebagai “wahai orang-orang yang beriman”, imbauan itu mengajak mereka
untuk membawa diri ke arah tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di
dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan. Mereka dituntut bertindak
dengan cara tertentu bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik
substansi khusus yang disebut iman itu; 3). Pemahaman bahwa iman
merupakan sebuah atribut karakter yang aktif, juga didukung oleh fakta
dari lawan katanya, yaitu kufr. Seperti yang akan Esack tunjukkan,
“konteks dari istilah ‘mereka mengingkari’ (kufr) memperlihatkan bahwa
menurut al-Qur’an, ‘tidak mempercayai’ merupakan sikap aktif terhadap
kehidupan secara keseluruhan…lawan dari iman adalah suatu atribut
karakter aktif, yaitu sikap tidak peduli, mencela dan berbangga diri.
51 Beberapa penafsir, merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Iman akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti” dan “iman itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh (70) cabang”. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan tingkatan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Al-Qur’an menyebutkan berbagai tingkatan iman. Teks yang berbunyi “mu’minuna haqqan” menunjukkan tafsir sebagai “mukmin yang sempurna”. Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, ibid., hlm. 161-162.
251
251
Penting untuk dicatat, bahwa yang menjadi ganjalan Esack, bahwa
apapun perbedaan dalam hubungan antara iman dan amal shaleh,
pemikiran tradisional biasanya menafsirkannya secara sempit, yaitu
sebagai bagian dari ritual Islam baku. Meski iman sering dikaitkan dengan
ibadah seperti di dalam QS. Al-Anfal [8]: 2-4, kasusnya tidak senantiasa
demikian. Lebih jauh, al-Qur’an cukup tegas bahwa amal shaleh sekecil
apapun akan memperoleh balasannya, tanpa menuntut iman sebagai
syarat.52
Menurut Esack, diskusi iman dan amal shaleh ini akan membawa
pada beberapa isu penting: 1). Status orang-orang yang beriman dalam arti
pengakuan, namun tidak “beramal shaleh”, sekalipun yang terakhir itu
diartikan sebagai ibadah-ibadah Islam baku; 2). Nilai amal shaleh yang
tidak disertai iman dalam arti pengakuan atau persaksian seperti dibahas
dalam teologi islam, dan 3). Kemungkinan bagi iman yang tak disertai
pengakuan seperti dibahas dalam teologi islam. Pertanyaan tersebut sangat
relevan dengan konteks Afrika Selatan selama tahun 1980-an. Di kalangan
muslim yang terlihat bekerja untuk apartheid dan enggan untuk menyebut
dirinya sebagai “kaum beriman”, ia hanya menyebutkan bahwa ia sedang
dalam arus politik, maka untuk sementara “mungkar secara politis” atau
“muslim” dalam tanda kutip.
Akhirnya, meski iman juga merupakan respon pribadi kepada
Tuhan, ia tak dapat dibatasi pada komunitas sosioreligius tertentu. Usaha
52 Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 281; ali Imran [3]: 24; al-Nisa’ [4]: 40, 85; Yusuf [12]:
56; al-Nahl [16]: 111; al-Qashash [28]: 84.
252
252
seperti ini akan mengarah pada penolakan universalitas Tuhan itu sendiri.
Inilah alasan mengapa al-Qur’an begitu eksplisit soal iman orang-orang
yang berada di luar komunitas sosioreligius mukminun (termasuk Ahli
Kitab dan ahl al-dzimmah). Apabila iman bisa mencakup tindakan
memungut kulit pisang dari jalanan, mengapa iman tidak bisa mencakup
pula tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara
Tuhan sebagaimana dipersepsinya dan mewujudkannya dalam bentuk
pelayanan kepada orang-orang yang dengannya Tuhan sendiri telah
mengidentifikasi diri, yaitu kaum marginal dan tertindas?
Kedua, adalah mendefinisikan kembali Islam. Esack mengutip QS.
Ali ‘Imran [3]: 19 dalam menggambarkan definisi Islam yang yang sering
dijadikan sebagai bentuk klaim kebenaran bahwa satu-satunya ekspresi
keagamaan yang dapat diterima Tuhan sejak kenabian Muhammad adalah
Islam, yakni agama yang dibawa Muhammad.
Dalam pendefinisiannya tentang Islam sebagai din, Esack banyak
memakai referensi tafsir para ilmuan Islam, hingga pada satu penjelasan
bahwa setidaknya ada 3 kelompok makna kata din dalam bahasa Arab: 1).
Konsep agama sistematik;53 2). Kata benda verbal, “menilai”, “melakukan
penilaian”, “menetapkan keputusan”: dan, bersamaan dengan ini,
“penilaian”, “keputusan”; 3). Kata benda verbal “mengarahkan diri”,
53 Dalam hlm ini Esack mengutip Cantwell-Smith bahwa Konsep agama sistemik yang
dimaksudkan adalah sebagai bentuk penyempurnaan serakan-serakan kebudayaan, kultur dan kebiasaan serta orientasi masyarakat Arab. Sehingga pemahaman ini menunjukkan bahwa kehidupan Arab memiliki berbagai ciri yang oleh parap pemikir modern dijuluki ‘agama’ arab pra-islam. Namun dengan kebudayaan, kultur, kebiasaan, serta orientasi yang belum terstruktur, tersistem menjadi satu agama. Maka, dalam hlm ini Islam datang untuk mensistematisasikannya. Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit., hlm. 189.
253
253
“menjaga diri”, “menjalankan praktik tertentu”, “mengikuti tradisi” dan,
setelah itu, kata benda abstrak, “kesesuaian”, “kepatuhan”, “ketaatan”,
“kebiasaan” dan “perilaku standard”.
Dari kajian dan pembacaan Esack tentang Islam di dalam al-
Qur’an, ada satu upaya dan semangat besar untuk membebaskan diri dari
kungkungan abad pertengahan yang sering berlindung di bawah naungan
teks dalam memaknai Islam, seperti dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 85:
“barang siapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima pilihannya itu”.
Dari teks tersebut, kalimat “apakah mereka mencari din selain din
Allah” akan dimaknai secara inklusiv bila konteksnya (dalam hal ini yang
dimaksud Esack adalah konteks lokal Afsel) juga dipertimbangkan.
Kontribusi dari pemakanaan Islam ini, bagi realitas penindasan
Afrika Selatan cukup menjadi acuan penting. Kenyataannya tidak sedikit
juga aktifitas penindasan dilakukan oleh orang-orang yang berlabel
Muslim. Di lain pihak ada orang-orang dengan label agama lain terlibat
dalam lingkaran pembebasan maupun upaya penindasan (rezim apartheid)
serta yang kelompok menolak untuk menggunakan label agama di sisi lain
menjadi satu faktor penting bagi proses pemaknaan kembali Islam agar
tidak mengangkat isu primordial dan mengutamakan satu golongan saja
dalam perjuangan melawan penindasan apartheid di Afrika Selatan54
54 Farid Esack, ibid., hlm. 176-177.
254
254
Ketiga, mendefinisikan kembali konsep kufr. Dalam merefleksikan
pemakaian istilah kufr, Esack menggunakan QS. Ali ‘Imran [3]: 21-22.
Melalui kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” dalam ayat
tersebut, adalah salah satu cara al-Qur’an menggambarkan “kaum lain”, di
samping wacana muslim yang telah menstigmakan bahwa Kufr menjadi
istilah yang paling penuh dengan celaan sebagai kaum lain yang tertolak
(non muslim). Farid Esack mengutip Leonard Thompson, seorang
sejarawan Afrika Selatan yang mengisahkan ketertindasan “kaum lain” ini
ketika disebut-sebut sebagai Cafres karena dianggap tidak memiliki
keyakinan dan kepercayaan di antara mereka.
Jadi al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai faktor yang
membentuk perasaan dan identitas kebencian kepada ‘kaum lain’ yang
tergolong lemah secara ekonomi. Seperti yang dijelaskan Izutsu, menurut
al-Qur’an kufr sebagai penyangkalan terhadap Tuhan dan keesaan-Nya
”mewujud dalam bentuk sikap angkuh, sombong dan arogan” dan
pandangan bahwa kekayaan, kemakmuran dan tingkat ekonomi yang
mapan bisa membawa pada sikap kufr.55
Dalam hal ini Esack memang di satu sisi, masih meyakini bahwa
kufr juga terkait dengan penolakan terhadap dogma dan ketentuan agama,
seperti keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan
dan para nabi. Secara lebih spesifik, al-Qur’an menyebut kufr, pernyatan
tentang ketuhanan Isa.
55 Toshihiko Izutsu, God and Man in The Koran: Semantic of the Koranic
Weltanscauung, op.cit., hlm 115.
255
255
Maka kemudian, agar tidak terjadi salah paham soal istilah kufr
dan menghindari sikap tidak adil terhadap mereka yang berlabel “di luar
Muslim” ini dalam al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.56
Pertama, ketika al-Qur’an mengaitkan kufr dengan doktrin
(termasuk pencelaan terhadapnya), itu sebenarnya terkait dengan konteks
sosiohistoris (kondisi awal sejarah Nabi) yang real dan yakin bahwa
kepercayaan tulus pada keesaan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir
kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya masyarakat yang adil.
Kedua, al-Qur’an menggambarkan kufr sebagai sosok yang
mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, namun
memilih untuk menolak mengakuinya.
Ketiga, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku
bermusuhan terhadap Islam dan Muslim.
Keempat, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kuffar untuk
menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, kata
al-Qur’an, karena pertimbangan material (QS. Al-Anbiya [21]: 53; al-
Syu’ara’ [26]: 74; Luqman [31]: 21), ikatan kesukuan (QS. Al-Zukhruf
[43]: 22), dan karena Islam akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak
adil (karena perintah untuk menzakatkan hartanya pada kaum miskin dan
lemah) (QS. Ali ‘Imran [3]: 21).
Dari penafsiran ulang terhadap istilah kufr Esack tersebut di atas,
yang ingin ditampilkan adalah ada kaitan kuat antara pencelaan al-Qur’an
56 Farid Esack, op.cit., hlm. 182
256
256
terhadap kufr dengan perilaku personal dan sosial musuh-musuh Nabi
Muhammad sebagai individu atau kelompok di Makkah dan Madinah.
Semangat yang ditampilkan Esack ini sekaligus mengawali kerja-kerja
hermeneutika (penafsiran) terhadap ayat-ayat yang bersentuhan dengan
pengakuan Islam terhadap “kaum lain”. Sehingga, kita mencoba
menemukan di mana kita melihat perilaku semacam ini terhadap Islam dan
pola perilaku sosiopolitik seperti itu agar dapat membangun aplikasi
kontemporer bagi istilah kufr dan bukan semata mentransfer label kufr
yang telah terjadi 14 abad yang lalu untuk diterapkan pada masa kini
dengan perilaku dan pemahaman yang sama terhadap ‘mereka’.
Setelah melakukan proses pelacakan terhadap beberapa istilah yang
cukup rawan dan sensitif dalam pemahaman umat Islam tersebut, dan juga
sebelumnya telah ditampilkan konfigurasi wacana Fiqh klasik sebagai
pembanding yang mengetengahkan bagaimana pandangan mendasar Fiqh
mengenai konsep ahl al-dzimmah, maka kita sedikit demi sedikit menangkap
apa yang tengah dimaksudkan Esack sekarang, terutama terkait dengan sikap
Fiqh Islam menyikapi konsep-konsep modern seperti demokrasi, pluralisme,
dan kewarganegaraan (status dzimmi).
Lebih mengkerucut lagi, bagaimana Esack menyentuh wilayah yang
cukup sensitif dalam perbincangan umat Islam, yakni tentang pengakuan
‘yang lain’ (non-Muslim). Sampai disini, penulis membaca Esack ingin
melakukan proses dekonstruksi (al-qathi’ah al-ma’rafiyah) dan rekonstruksi
(al-tawashul al-ma’rafi) wacana yang terkait dengan pengakuan terhadap non-
257
257
Muslim (lebih khusus pada dzimmi), yang nantinya, ujungnya adalah
membangun wacana baru mengenai konsep kewarganegaraan (status dzimmi)
di tengah situasi kontemporer seperti sekarang ini. ‘Tembakan Esack’ kali ini
adalah Fiqh, bagaimana Fiqh kewarganegaraan yang mengakui kesamaan hak
non-Muslim.
Mengapa tawarannya demikian? Karena melihat kondisi Fiqh saat ini,
rasanya ‘tak mungkin’ untuk mengatakan bahwa Fiqh kita peka terhadap
zaman. Satu hal yang tak bisa dibantah, bahwa Fiqh tak bisa dipisahkan dari
struktur dan sosio kultur yang membentuk kognisi dan psikologi historis. Fiqh
sejak awalnya terikat dengan karakter awal kedatangan Islam yang
menghadapi budaya ketauhidan yang politis dan ateis. Karena itu,
pemandangan yang mengemuka adalah bahwa Islam tampil dalam wajahnya
yang politis dan ekspansionis.
Adalah Abdullahi Ahmed an-Na’im, tokoh pemikir Islam asal Sudan
menjelaskan realitas tersebut di atas. Penjelasan yang dikemukakannya adalah
bahwa periode Makkah dan Madinah adalah cermin yang terpampang secara
transparan untuk melihat historisitas Fiqh yang membedakan antara ruang dan
waktunya.57
Pada periode Makkah, doktrin-doktrin yang muncul terlihat egaliter,
pluralis dan demokratis. Nabi Muhammad hadir dalam sosok sebagai manusia
biasa. Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada periode Makkah
57 Pemikiran an-Na’im ini penulis ambil dari kutipan Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih
Lintas Agama, op.cit., hlm. 141-142
258
258
disimbolisasikan dengan ungkapan “manusia” sebagai pandangan universal
yang tidak membedakan agama, ras dan suku.
Sedangkan pada periode Madinah, doktrin-doktrin tampil dengan
ajaran yang eksklusif dan homogen. Ayat-ayat yang diturunkan pada periode
Madinah seakan mengukuhkan primordial keagamaan yang disimbolisasikan
dengan “Muslim” dan “non-Muslim”. Karena itu, teks-teks yang turun pada
periode Madinah sangat diskriminatif, eksklusif dan fundamentalistik.58
Sehingga orang acapkali mengangkat pijakan ini sebagai justifikasi kebenaran
“Negara Islam”.
Berangkat dari sini, Esack ingin meneguhkan bahwa Fiqh benar-benar
merupakan proses, bukan hasil yang musti disakralkan. Pemikirannya semakin
diteguhkan dengan bantuan hermeneutika pembebasan guna melacak dan
melakukan psikologisasi maksud Tuhan dalam menurunkan Syari’at-Nya.
Pada gilirannya, aplikabilitasnya semakin kentara ketika Ia berada dalam
konteks Afrika Selatan yang menjadi latar Esack berteologi (locus
theologicus). Maka wajar jika produk pemikirannya kerapkali
menggemborkan isu tentang pluralisme, terutama berkaitan dengan masalah
hubungan mayoritas dengan minoritas, hubungan Muslim dengan non-
Muslim.
Dari pembacaan terhadap pemikiran Esack yang terdapat dalam buku
Qur’an, liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
solidarity againts Oppression, dapat diangkat analisa, bahwa ternyata Esack
58 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 142-143
259
259
menggunakan metodologi Fazlur Rahman dalam rangka melihat bagaimana
historisitas ayat-ayat yang menjadi perhatiannya, terkhusus ayat-ayat tentang
pengakuan non-Muslim. Berikut ini penulis coba uraikan alur kerja secara
teknis analisa Esack atas pembacaan baru terhadap dzimmi yang memakai
pembacaan double movement Fazlur Rahman:
Perang antar suku (muslim & non muslim) Penaklukan wilayah sejak Khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abasyiyah
Mengeneralisasi Jawaban Spesifik
Menentukan tujuan moral sosial al-Qur’an
Penjelasan diagram:
1. Situasi Historis:
Teori Fazlur Rahman yang menjadi pisau analisis Esack dalam
membaca status dzimmi diawali dengan membaca bagaimana situasi
Menghagai kaum di luar Islam (toleransi), tolong menolong,di samping turun QS. Al-Taubah [9]: 29 Perlindungan Nabi terhadap hak kaum Yahudi Nasrani (non Muslim): muncul hadis…… من اذى ذميا
Menjaga stabilitas keamanan negara Membangun kesepakatan dan kontrak sosial
Situasi Historis
Situasi Kontemporer Nilai-nilai Universal
Masyarakat Islam
Nation state, multikulturalisme Paham demokrasi, Multiagama Pluralisme dan pengakuan HAM
Keadilan (al’adalah) al-Musawah (persamaan) Taat pada pemerintah yang berdaulat
Perlindungan hukum bagi kelompok minoritas Masyarakat tanpa status dzimmi Qabulul Akhar (meminjam bahasa Milad Hanna) Membangun fiqh yang emansipatoris:
Nilai keadilan Kemanusiaan Kesetaraan Pembebasan Pluralisme Non diskriminatif
Konsep dzimmi
260
260
historis kehadiran konsep dzimmi ini. Dalam QS. Al-Taubah [9]: 29
dijelaskan (asbab an-nuzul) bahwa kondisi saat itu, terutama awal kali
konsep dzimmi muncul adalah tatkala terjadi peperangan (ekspedisi)
melawan Romawi di Tabuk, tahun 630 M. Perang ini berawal dari sikap
keras yang dilakukan orang-orang non-Muslim terhadap ketertiban dan
keamanana kaum Muslimin. Maka, ketika umat Islam mampu memenangi
perang tersebut, mereka mewajibkan bagi orang-orang non-Muslim untuk
membayar jizyah dan mereka pun tunduk.
Bila dicermati secara mendalam, ayat tersebut mempunyai latar
belakang historis tertentu, yaitu perang. Dan karenanya, tidak bisa
diberlakukan dalam situasi normal. Sehingga konsep jizyah merupakan
konsep yang kehadirannya mempunyai konteksnya tersendiri, terutama
tatkala umat Muslim dan umat non-Muslim berada dalam peperangan. Dan
dalam kondisi seperti ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas,
sehingga tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah
merupakan salah satu cara yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan
Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain, melainkan
sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua
belah pihak.
2. Respon Al-Qur’an (Tradisi Nabi) :
Karena al-Qur’an turun sebagai tanggapan atas kondisi saat itu,
maka ketika ada situasi historis peperangan melawan romawi (non-
261
261
Muslim) dikarenakan persoalan ketertiban dan keamanan, maka al-Qur’an
turun lewat jelmaan QS. Al-Taubah [9]: 29, yang berbunyi:
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah [9]: 29).
Ibn Taymiyah menambahkan statemen yang lebih bijak, bahwa ia
sendiri mencela konsep perang seperti ditujukan ayat-ayat perang dalam
teks (nash) yang sering dijadikan legitimasi sebagai agresifitas kaum
muslim terhadap non-Muslim. Ibn Taymiyah tidak sepakat dengan konsep
perang permanent antara dunia Islam dengan dunia orang-orang kafir
(non-Muslim), sehingga ia melihat konsep jihad sebagai suatu prinsip
defensive, bukan agresif.59
3. Mengeneralisir jawaban-jawaban spesifik & menentukan tujuan
moral sosial al-Qur’an
Dalam hal ini, ada satu premis awal yang menjadi dasar jawaban
sekaligus tujuan moral sosial al-Qur’an mengapa menurunkan QS. Al-
59 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
terj. Mufid, Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taymiyah, op.cit, hlm., 116
262
262
Taubah [9]: 29, bahwa dengan turunnya ayat ini bukan untuk
menomorduakan atau melegitimasi status dzimmi menjadi second class
seperti yang diwacanakan oleh para ahli fiqh, namun Tuhan menurunkan
ayat ini sebagai jawaban saat kondisi perang, dan dalam kondisi seperti
ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu
stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah satu cara
yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras
dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk
membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Inilah
jawaban spesifik yang menjadi tujuan moral sosial al-Qur’an dalam
menurunkan ayat tersebut.
4. Situasi Kontemporer
Membaca situasi kontemporer dalam bahasan dzimmi maka kita
akan melihat bagaimana konsep Negara saat ini, yang telah menganut
system Negara bangsa (nation state). Pun paham demokrasi yang kian
merebak sebagai tuntutan hak masyarakat juga semakin menjangkiti
Negara-negara di era sekarang ini. Konsekuensinya, penegakan hak asasi
manusia menjadi satu hal yang tak bisa di tawar-tawar lagi, bukan malah
melegalkan system rasial, apalagi membedakan status warga (muslim dan
non-Muslim).
5. Nilai-nilai al-Qur’an
Sementara, membaca nilai-nilai al-Qur’an terkait dengan ayat
tersebut di atas, adalah munculnya konsep hukum berupa ketaatan pada
263
263
pemerintah (ulul amr). Kemudian juga muncul konsep keadilan (al-
‘adalah) dan persamaan (al-Musawah). Nilai-nilai ini adalah yang menjadi
rujukan tertinggi bagi penentuan status hukum tentang konsep dzimmi.
6. Masyarakat Islam
Terwujudnya masyarakat yang adil damai dan sejahtera adalah
dambaan. Maka dalam konteks ini, sebagai akhir dari jawaban, adalah
mewujudkan masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai pluralisme,
menghargai perbedaan dan pada gilirannya, membawa pada konsep fiqh
emansipatoris yakni konsep fiqh yang memiliki komitmen pada perubahan
struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia Islam (misalnya)
yang kemudian menimbulkan status dzimmi. Pada gilirannya visi
transformatif dalam fiqh akan berujung pada aksi pembebasan, yakni
terbebasnya masyarakat kita dari belenggu diskriminasi, baik ras, agama,
politik budaya maupun ekonomi.
Sampai di sini kiranya penulis membaca beberapa item gagasan Tafsir
Esack terhadap Ahli Kitab (termasuk di dalamnya dzimmi) atau pengakuan
kelompok non-Muslim. Dalam hal ini, Esack meminjam pembacaan double
movement-nya Fazlur Rahman. Memang diakui ada beberapa analisa lain yang
digunakan Esack, dan juga dengan memakai pisau analisa lain pula (seperti
memakai analisa hermeneutika Arkoun). Namun penulis memandang untuk
lebih fokus melihat kerja pembacaan dari Fazlur Rahman daripada Arkoun,
karena memang secara tersirat, Esack melihat persoalan dzimmi lebih
264
264
workable (lebih pas/bisa dikerjakan) jika dibaca menggunakan pisau analisa
Fazlur Rahman daripada Arkoun.
B. IMPLIKASI TAFSIR KONSEP DZIMMI FARID ESACK TERHADAP
REKONSTRUKSI FIQH
Realitas dan fakta ko-eksistensi keagamaan yang plural di Afrika
Selatan jelas membawa nuansa tersendiri bagi karakter dan kecenderungan
Tafsir (kerja hermeneutika) Esack terhadap beberapa persoalan hukum,
termasuk dalam hal ini adalah persoalan status dzimmi dalam era sekarang.
Dalam arti yang lebih dalam, Esack membawa semangat besar yang tersimpan
dalam kerja hermeneutika-nya terhadap status dzimmi dengan melakukan
proses psikologisasi (membaca psikologi dan maksud) pengarang (Tuhan).
Hal ini bukan bermaksud ‘lancang’ dengan menelanjangi maksud Tuhan.
Karena jika kita mau membandingkan, dalam Islam sendiri, telah hidup tradisi
untuk membaca maksud Tuhan dalam menurunkan hukum (syari’ah)-Nya
lewat konsep yang ditelorkan oleh al-Syathibi Maqashid al-Syari’ah. Di
wilayah inilah Esack memainkan kerangka kerjanya untuk membawa tafsir
dzimmi pada dimensi pembebasan.
Maka, dalam ‘angan-angan’ besarnya, Esack mendambakan proses ini
secara praksis dapat menuju pada: Pertama, dengan mentode tafsir
pembebasan ini membawa pada petunjuk bahwa sangat mungkin hidup dalam
keimanan terhadap al-Qur’an di satu sisi dan dalam satu konteks yang hadir
(kontemporer) bersama umat lain, bekerjasama dengan mereka guna
265
265
membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Kedua, mengedepankan ide
tentang hermeneutika al-Qur’an sebagai kontribusi terhadap bangunan teologi
pluralisme dalam Islam. Ketiga, mengkaji ulang cara al-Qur’an mengkaji ‘diri
sendiri‘ dan ‘orang lain’, baik yang beriman atau tidak beriman, untuk
memberi ruang kebenaran bagi orang lain dalam teologi pluralisme demi
pembebasan. Keempat, mencari hubungan antara eksklusivisme keagamaan
dengan satu bentuk konservatisme politik (pendukung apartheid) di satu sisi,
serta inklusivisme keagamaan dengan satu bentuk politik progresif
(pendukung pembebasan) di sisi lain, serta untuk memberikan alasan-alasan
bagi yang terakhir.60
Dari empat tujuan (‘angan-angan’) Esack tersebut, tampaknya penulis
melihat ada satu benang merah yang bisa kita tarik menjadi seperangkat nilai-
nilai (visi) leberatif—atau meminjam bahasa Masdar Farid Mas’udi adalah
visi yang emansipatoris61. Berikut ini penjabaran visinya:62
a. Al-Qur’an menjadi Kitab ‘Terbuka’
Al-Qur’an sebagai kitab terbuka—seperti yang diungkap oleh
Arkoun dalam bukunya Nalar Islami Nalar Modern—meniscayakan
60 Ibid, hlm 72-73, lihat juga A. Rafiq Zainul Mun’im, op.cit, hlm. 23 61 Mengapa penulis memakai istilah emansipatoris? Barangklali secara obsesi terkesan
ambisius, namun jika kita cermati mendalam etimologinya, kita bisa temukan bahwa visi emansipatoris adalah sebuah semangat untuk membawa fiqh pada kuasa liberatifnya. Dalam arti, model fiqh yang emansipatoris berarti sangat menggarisbawahi apa yang disebut dengan dimensi praksis, yang tentu saja lebih dari sekedar wacana fiqh, namun praksis fiqh yang membebaskan. Lihat dalam Masdar Farid Mas’udi, Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris, makalah dalam pendidikan Islam emansipatoris (ma’had al-Islam al-Taharruri) yang diadakan oleh JIE-P3Mdi Pusdiklat Depdiknas, Sawangan, Senin-Sabtu, 19-24 Mei 2003.
62 Visi yang penulis ambil ini merupakan prinsip-prinsip dasar paradigmatik Islam Emansipatoris, lihat dalam Masdar Farid Mas’udi, ibid, lihat juga Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004, cet. I, hlm, 125-145
266
266
adanya penafsiran yang akan menghadirkan makna baru yang lebih hidup
guna menyelesaikan problem kemanusiaan. Namun sebaliknya, ketika al-
Qur’an diposisikan sebagai kitab tertutup, akan muncul di kalangan Islam
pemahamna terhadap al-Qur’an yang bersifat tekstualistik, yaitu
pemahaman tentang Islam yang mempertaruhkan segalanya pada bunyi
atua huruf-huruf teks (nash) keagamaan.63
Kalau dikontekskan dengan nash/ayat tentang hubungan dengan
non-Muslim, yakni teks yang menegaskan kehalalan/kebolehan dan
keharaman Muslim berhubungan (bekerjasama) dengan ‘the others”
seperti dalam al-Qur’an Surat al-Taubah [9]: 29, misalnya, maka, dalam
sikap yang tekstualistik ini, bahwa apa yang baik (al-hasan) dan yang
buruk (al-qabih) adalah yang ditentukan oleh teks tersebut.
Karena itu, sikap tekstualistik pada dirinya menyimpan sikap
legalistik, yakni karena perintah teks adalah memerangi, maka
kecenderungan teks itu diteruskan untuk segala tempat dan waktu (zaman),
termasuk untuk saat ini. Agama adalah hukum, hukum adalah ancaman
atau sanksi. Keberagamaan yang kering, adalah keberagamaan yang keras
yang selalu cenderung mencari siapa yang salah, siapa yang harus
diancam, dikutuk, dan kalau perlu di perangi seperti maksud tersurat
dalam QS. al-Taubah [9]: 29 tersebut. Hal inilah konsekuensi logis ketika
al-Qur’an diposisikan sebagai kitab tertutup, sekaligus posisi Farid Esack
63 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
ibid., hlm, 126
267
267
dalam menempatkan metodologi tafsir (hermeneutika) pembebasannya
memperoleh titik relevansi.
b. Keadilan (al-‘adalah)
Sudah mafhum bahwa keadilan menurut ahli ushul fiqh menjadi
tujuan dan pelabuhan terakhir Syari’at.64 Berkaitan dengan kesadaran
keadilan ini, Asghar Ali Enginer mempunyai pemahaman yang cukup
menarik, yakni merevisi konsep kafir dan mukmin. Kafir yang
sesungguhnya, menurut Asghar, adalah “… orang-orang yang menumpuk
kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta
merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat…”.65
Dengan kata lain, jika ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan
melawan kezaliman serta penindasan, apalagi justru mendukung system
dan struktur masyarakat yang tidak adil (apartheid, misalnya), meski ia
tetap percaya kepada Allah, dalam pandangan Asghar, ia belum dapat
disebut sebagai mukmin. Asghar mengatakan bahwa “orang kafir yang
sesungguhnya adalah orang yang arogan (mustakbirin) dan penguasa yang
menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah, dan tidak
menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar.
Sebaliknya, orang mukmin sejati bukan hanya mereka yang mengucapkan
syahadat, melainkan juga dipersyaratkan melakukan perjuangan
menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah
64 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
ibid., hlm, 128. 65 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
ibid., hlm, 130.
268
268
(mustadl’afin), yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan
mereka, tidak pernah menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain,
dan menegakkan kebaikan serta menolak kejahatan.
Di sini jelaslah, keadilan merupakan kepentingan utama
pembebasan dalam Islam. Islam berusaha menekankan kembali titik
perhatiannya yang paling esensial, yakni keadilan sosial dengan prioritas
utama pada pembebasan kelompok-kelompok lemah dan massa tertindas.
Dan yang terpenting, dalam konteks permasalahan ini adalah
membebaskan masyarakat dari kepentingan-kepentingan primordialistik.
Pembebasan bermuara pada terciptanya masyarakat “tanpa kelas” (tanpa
status dzimmi) yang menjadi tujuan sejati dari masyarakat tauhid.
c. Kesetaraan
Kesetaraan mengindikasikan adanya kehidupan umat manusia yang
menghargai kesamaan asal-muasalnya sebagai manusia dan kesamaan
pembebanan, dimana setiap manusia dikaruniai akal untuk berpikir.
Karenanya kesetaraan menjadi landasan paradigmatik untuk meneguhkan
visi (fiqh) emansipatoris.66
Salah satu yang membedakan Islam, dengan agama serumpun
Ibrahim seperti Yahudi dan Kristen, adalah al-Musawah (persamaan-
kesetaraan). Jika Kristen lebih kental dengan aura “kasih sayang”, dan
Yahudi dengan kekuatan hukum legal formal, maka Islam berada di garda
paling depan membawa bendera al-Musawah dalam harkat kemanusiaan.
66 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,
ibid., hlm, 131
269
269
Sebagaimana diketahui, saat Muhammad diutus, bangsa Arab
Jahiliyah terkotak pada label kaya-miskin (level ekonomi), budak majikan
(sosial), sampai pada pembedaan di level agama (muslim-non-muslim).
Dengan demikian Islam hadir adalah untuk mewujudkan masyarakat
egaliter, bersederajat, dan beremansipasi.
Dalam konteks status dzimmi, maka dengan semangat al-musawah
ini, status dzimmi adalah sebuah semangat yang hidup pada zamannya,
yang kehadirannya mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala
umat Muslim dan umat non-Muslim berada dalam peperangan. Dan dalam
kondisi seperti ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga
tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep dzimmi yang
dibebani jizyah merupakan salah satu cara yang digunakan al-Qur’an dan
diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama
lain, melainkan sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak
merugikan kedua belah pihak.
Di sisi inilah relevansi pemikiran Esack ketika melacak tafsir
pembebasan atas status dzimmi menuju semangat al-Qur’an yang
mengarusutamakan takwa, bukan status yang terjebak pada pembedaan
diskriminasi baik secara ekonomi, politik, maupun agama (termasuk
munculnya status dzimmi), seperti yang tercantum dalam QS. Al-Hujarat:
1367. Untuk menopang semangat ini, Nabi acapkali menegaskan tentang
67 “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang
270
270
umat manusia yang bak gerigi sisir (kaasyani al-musth), sederajat,tanpa
melihat suku, ras apalagi agamanya.
d. Pembebasan
Pembebasan memberikan keyakinan baru akan pentingnya
transformasi sosial. Kita bisa melihat definisi Esack dalam melihat
‘Teologi Pembebasan’ sebagai teologi yang bekerja ke arah pembebasan
agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang didasarkan
pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat
dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan
agama.68
Ketika diterapkan dalam konteks dzimmi, maka fiqh dengan
semangat pembebasan ketika memandang status the protected minority
tidak lagi seperti yang selama ini merasuki Fiqh yakni memversuskan kafir
dzimmi dengan Islam; menomorduakan status warga dzimmi di bawah
pemerintahan Negara Islam.
e. Kemanusiaan
Visi kemanusiaan di sini hendak mengetengahkan dimensi yang
akan mengangkat harkat manusia, tanpa melihat perbedaan agama, ras dan
suku. Begitu juga dengan status dzimmi, Esack membawa masyarakat
tanpa status dalam perjuangan Afrika Selatan adalah ingin meraih mimpi
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal” (QS. Al-Hujarat: 13)
68 Bebeda dengan Asghar, ‘Teologi Pembebasan’ ala Esack lebih memiliki aksentuasi pada pluralisme, lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, judul terj. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung: Mizan, 2000, cet. I, hlm. 120
271
271
besar bahwa dalam sebuah perjuangan untuk pembebasan tidak lagi
memandang status apalagi membedakan ras, agama maupun golongan
tertentu.
f. Pluralisme
Visi ini barangkali lebih memiliki tingkat relevansi yang tinggi,
karena bagaimana visi ini membawa pada semangat untuk hidup di
tengah-tengah kelompok lain yang berbeda baik secara kultur, ideology,
iman maupun yang lainnya. Di samping nalar fiqh kita yang tidak cukup
bersahabat ketika mendapati “kelompok lain” seperti yang telah dijelaskan
di muka, kita juga secara jelas menjumpai beberapa statemen provokatif
dalam al-Qur’an yang secara tekstual membawa semangat permusuhan,
kekerasan dan penghancuran pada umat lain yang berbeda secara agama
(non-Muslim).69
Di sini kiranya perlu cara pandang baru terhadap agama. Bahwa
semua agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) itu bersumber dari satu
Tuhan. Tidak ada tujuan lain dari semua agama itu kecuali untuk
menciptakan keadilan di muka bumi. Perbedaan agama terjadi karena
perbedaan millah70 yang dianut oleh Islam, Yahudi, ataupun Kristen.
Di sinilah pentingnya penelusuran terhadap persoalan yang paling
inti dalam setiap agama (maqashid al-syari’ah) serta penafsiran yang
69 Lihatlah QS. Al-Baqarah: 120: “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
membiarkanmu, hingga kamu mengikuti ajaran mereka. Padahal jika kita teliti lebih dalam, ayat tersebut lebih berbicara pada penentuan arah kiblat, sebab dalam ayat sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 115) menyebutkan: “Allah adalah penguasa Timur dan Barat. Kemanapun kamu menghada, maka akan menatap wajah (kekuasaan) Tuhan”.
70 Millah sering diartikan sebagai syari’at, dimana Nabi membawa syari’at yang tidak sama polanya dengan yang dibawa oleh nabi lainnya.
272
272
terbuka terhadap agama lain. Sikap ini bukan berarti kita ingin bersikap
kompromi terhadap syari’ah, namun ingin meraih mashlahat, yakni
menghindari benturan antarumat agama.
Akhirnya pluralisme menjadi sebuah keniscayaan, khususnya
dalam membangun hubungan antara masyarakat, hubungan agama yang
lebih toleran—meminjam istilah Millad Hanna, Intelektual Koptik asal
Mesir: Menyongsong yang Lain (Qabulul Akhar)71—dan dialogis.
Bukankah relevansi bagi pemahaman soal konsep dzimmi bisa berangkat
dari titik kesadaran ini?
g. Non Diskriminatif
Diskriminasi benar-benar menjadi hambatan serius dalam
bermasyarakat, karena dalam diskriminasi mengindikasikan adanya
penindasan, peminggiran dan ketidakadilan. Karena itu, diharapkan agar
setiap tafsir (kerja hermeneutik) dalam upaya memproduksi hukum harus
menjauhi penafiran yang diskriminatif.
Ada banyak faktor mengapa hubungan mayoritas-minoritas sering
ditampilkan dalam corak diskriminatif, sehingga dalam banyak hal
merugikan kalangan minoritas (dalam hal ini status dzimmi, misalnya).
Salah satunya adalah adanya klaim kebenaran (truth claim) yang tidak
disertai kedewasaan ekspresi keberagamaan. Beberapa sikap
keberagamaan seperti absolutisme adalah kesombongan intelektual,
eksklusivisme adalah kesombongan social, fanatisme adalah kesombongan
71 Milad Hanna, Qabulul Akhar; Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat, terj. M. Guntur
Romli, Menyongsong yang Lain Membela Pluralisme, Jakarta: JIL, 2005. hlm. 1
273
273
emosional, ekstrimisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan
agresifisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga
penyakit pertama merupakan representasi dari kesombongan (‘Ujub) dan
dua penyakit terakhir adalah representasi dari sikap berlebih-lebihan
(tatharruf).72
Di samping menampilkan visi liberatif (yang kemudian terkenal
dengan visi emansipatoris ini), penulis telah mencantumkan dalam diagram,
bahwa implikasi yang paling penting dari penafsiran kembali (reinterpretasi)
konsep dzimmi adalah adanya perlindungan hukum bagi kelompok minoritas,
dalam hal ini bagi kelompok dzimmi agar mereka sama-sama merasakan hak
dan kewajiban yang sama.
Menuju Fiqh Yang Peka Terhadap Pluralisme
Rumusan visi emansipatoris di atas selanjutnya menjadi ‘pelabuhan
terakhir’ dalam menghasilkan produk hukum berupa status baru bagi dzimmi.
Penulis lebih sepakat untuk menamakan tema ini dalam kerangka “Menuju
Fiqh Yang Peka Terhadap Pluralisme”.73 Secara metodologis, penulis
cenderung untuk membawa analisa ini pada pembaruan fiqh yang peka
terhadap pluralisme ini dengan alasan keberangkatan problema fiqh yang
sampai saat ini masih terdapat “kepincangan” dalam memposisikan hubungan
antar agama, seperti tergambar dalam pembacaan Fiqh klasik terhadap dzimmi
72 Dikutip dari Sahli Zain, Perlindungan Hak Minoritas, dalam Buletin Jum’at an-
Nadhar, Edisi 32/14 Nopember 2003, hlm. 1. lihat dalam Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris; Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan,op.cit., hlm, 145
73 Analisa ini dapat dilihat dalam rumusan buku Fiqih Lintas Agama, Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 167-176.
274
274
di atas. Fiqh klasik tampaknya belum mampu menjawab tantangan zaman
secara sempurna. Dalam Fiqh hubungan antar agama terlihat adanya
kegagapan dalam melihat agama lain. Kritik sangat menonjol terutama mesti
ditujukan pada Fiqh mazhab Syafi’i. Karena saking kuatnya paradigma
teosentris yang dipedomani Imam Syafi’I, terutama dalam konsep ahl al-
dzimmah, maka terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain. Syafi’I
seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai ‘sapi perahan’ yang dituntut
dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak
yang setimpal. Bukan hanya itu, seruling jihad pun ditiupkan kepada
kelompok-kelompok non-Muslim. Hamper dalam seluruh kitab fiqh ada bab
tersendiri yang membahas masalah jihad.74
Di sinilah pentingnya membaca kembali fiqh klasik secara kritis dalam
hal pembacaan dzimmi. Pasalnya, dalam Fiqh Klasik sangat kental nuansa
diskriminatif terhadap kaum the protected minority ini. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, bahwa pandangannya terhadap dzimmi:75
1. Golongan dzimmi tidak diperkenankan (diberi kesempatan) menduduki
pos-pos penting dalam pemerintahan dan administrasi.
2. Perumahan (rumah hunian) kelompok dzimmi tidak diperbolehkan
melebihi perumahan umat Islam.
3. Golongan dzimmi diharuskan memakai pakaian (atau identitas fisik)
yang berbeda dengan busana yang dipakai oleh umat Islam.
74 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, ibid., hlm. 167-176. 75 Khalid Ibrahim Jindan, the Islamic Theory of Government according to Ibn Taymiyah,
op.cit. hlm. 109-110.
275
275
4. Tidak ada gereja atau sinagoge yang diizinkan untuk dibangun di
wilayah yang ditaklukan Islam (‘unwah).
5. Warga non-Muslim boleh memelihara tempat-tempat suci mereka yang
terletak di kawasan Islam yang diperoleh dari umat lain dengan cara
damai, namun mereka harus mematuhi perjanjian gencatan senjata
(sulh). Hanya saja, mereka tidak diperkenankan untuk mendirikan
tempat ibadah baru.
6. Warga non-Muslim tidak diperbolehkan mempraktikkan ibadah atau
menyebarkan symbol-simbol mereka di kawasan yang khusus dihuni
penduduk muslim kecuali jika merupakan salah pasal dalam perjanjian.
Maka, yang diperlukan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai
universal, seperti kemashlahatan umum, egalitarianisme, rasionalisme,
pluralisme (seperti yang terinci dalam visi emansipatoris di atas) sebagai
prinsip-prinsip paradigmatik Fiqh sehingga tidak terjebak dalam kubang
literalisme, fundamentalisme dan konservatisme.
Apa yang dilakukan Farid Esack di Afsel, di samping ingin
memberikan kontribusi dalam menutup kekurangan Fiqh, Ia juga
menunjukkan bahwa hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan
dialogis dan bukan hubungan konfrontatif. Agama adalah persoalan keyakinan
yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Keimanan adalah masalah
‘hidayah’ yang tak boleh dipaksakan. Dalam hermeneutikanya Esack juga
menekankan dimensi progresivitas wahyu yang berangkat dari asumsi-asumsi
penafsir.
276
276
Kasus Afrika Selatan membuktikan, bahwa dalam hermeneutika,
mereka tidak berangkat dari asumsi salaf al-shalih, akan tetapi berangkat dari
realitas politik dan budaya. Kekuasaan despotic (lalim dan menindas) rezim
Apartheid menjadi pijakan Esack untuk menggalang kekuatan bersama
(interfaith solidarity) dengan masyarakat dari pelbagai agama untuk
melakukan perlawanan.
Fiqh dalam hal ini telah berubah jenis kelamin, dari wataknya yang
teosentris menjadi antroposentris dan progresif. Perlawanan masyarakat
terhadap kekuasaan politik tidak serta merta bermula dari teks, akan tetapi
dimulai dari realitas dan problem kemanusiaan dengan melandasi setiap
pemikirannya pada komitmen pembebasan.
Dengan kerangka metodologi yang demikian, maka harapannya ada
satu perubahan mendasar pada nalar Fiqh dalam menyikapi kaum dzimmi ini
agar terbebas dari belenggu teks yang mengungkung mereka.
Adalah Fahmi Huwaidy, seorang intelektual Mesir yang mewakili
kalangan enlightened Islamist, berjudul "Muwathinun La Dzimmiyyun"
(Warga Negara, Bukan Orang-Orang Dzimmi). Ulil Abshar Abdallah yang
menimbang buku ini dalam situs Islam liberal menilai, ada ijtihad mutakhir
tentang pokok masalah yang amat penting dalam konsep politik modern, yaitu
soal kewarganegaraan (dalam Islam, tidak ada padanan yang baik bagi istilah
citizenship sebagaimana dikenal dalam pengertian modern). 76
76 Dikutip dari tulisan Ulil Abshar Abdallah, Fahmi Huwaidi dan Konsep "Dzimmah",
lihat dalam www.islamlib.com, edisi 1 Juni 2003.
277
277
Tanpa tedeng aling-aling, Huwaidy mengatakan bahwa konsep klasik
tentang dzimmi (warga negara non-Muslim yang dilindungi), meskipun
workable (dapat di jalankan) pada zamannya, sudah tidak bisa lagi dipakai
sekarang ini. Umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang
sama sekali berbeda di mana dasar "keanggotaan dalam sebuah negara"
ditentukan bukan oleh agama, tetapi oleh prinsip muwathanah, atau
nasionalitas. Yang menghubungkan antara satu dan lain orang dalam sebuah
negara bukan karena mereka satu agama, tetapi karena kesatuan nasionalitas.
Dengan nada yang sama Asghar juga mengingatkan bahwa di dunia
demokratis modern tidak ada lagi status ‘political other’. Semua memiliki hak
warga Negara yang sama. Secara politik, bukan secara agama, sebuah
kewarganegaraan menjadi penting. Dan warga Negara bukan ditentukan dari
agama seseorang. Dzimmi hendaknya dicatat, sebagai penggolongan politik
dan kategori yang ada pada zamannya. Rasulullah mempertaruhkan dirinya
untuk memelihara dzimmi dan mendesak muslim berulangkali untuk
memperlakukan mereka dengan tanggung jawab penuh.77 Karena itu, bagi
Djohan Effendi, kita dituntut untuk bersikap toleran, bukan hanya kepada
pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini agama.
Alasannya sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa ‘hidayah’ Tuhan
tak bisa dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara pemaksaan hanya
77 Asghar Ali Engineer, on Developing Theology of Peace in Islam, terj. Rizqon
Khamami, Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai dalam Islam, Yogyakarta: Alenia, 2004, hlm. 154-157
278
278
akan memunculkan hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang sangat
dikecam Islam.78
Dalam konteks yang lebih riil, adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi yang
mengajukan alternatif pemikiran agar Fiqh direformasi menjadi Fiqh Realitas
(Fiqh al-Waqi’) dan Fiqh Prioritas (Fiqh al-Awlawiyat)79, yaitu fiqh yang
dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di
tengah masyarakat. Dalam hal ini konsep syari’at diharapkan tidak lagi hanya
bercorak vertikalistik (teosentris), yang hanya mengupas hubungan manusia
dengan Tuhannya, melainkan mencoba merambah masalah-masalah
kemanusiaan. Fiqh di desak untuk menyentuh isu-isu kesetaraan gender (fiqh
al-Mar’ah), dan wabil khusus ketatanegaraan (fiqh al-dawlah),
kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lainnya.
Sampai di sini, terlihat bahwa mendinamisasikan fiqh merupakan
langkah awal guna mendekonstruksi Syari’at dari wajahnya yang statis,
eksklusif dan diskriminatif menjadi syari’at yang dinamis, inklusif dan
egalitarianistik. Untuk itu, yang mesti di angkat ke permukaan adalah syari’at
dalam arti sebagai sumber kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya
kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa an sich, melainkan kemaslahatan
bagi manusia di seantero alam, apapun agama, suku dan rasnya. Di sinilah
relevansi fiqh maqashid, yaitu fiqh yang lebih mengutamakan nilai-nilai
kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan
daripada hukum-hukum yang bersifat particular.
78 Lihat tulisan ini dalam Luthfi Assyaukanie, Dari Taksonomi (Model) Lama ke Islam Liberal Pemikiran Islam Modern, dalam www.islamlib.com (kolom)
79 Nurcholis Madjid, et.all., Fiqih Lintas Agama, op.cit., hlm. 7-10.
279
279
Apa yang telah dilakukan oleh Farid Esack menurut penulis,
merupakan salah satu upaya dari perwujudan idealisasi tersebut, pembaruan
fiqh dan penciptaan tatanan kedilan di muka bumi dengan tanpa adanya
diskriminasi, pembedaan ras, agama, politik sosial dan kebudayaan lewat
sebuah upaya pembongkaran tafsir (hermeneutika) terhadap teks/nash agar
mempunyai semangat yang membebaskan.
Mengingat konsep dzimmi ini terkait dengan status seseorang atau
kelompok terkait dengan kekuasaan Negara—yang berbeda dengan ahli kitab
yang sangat lekat dengan dimensi teologis (karena terpaut dengan golongan
yang diberi kitab)—maka tentu jelas, menurut penulis, kita tidak bisa
menerapkan status hukum (perspektif fiqh) yang sama pada setiap wilayah.
Dalam arti, status hukum yang dikeluarkan terkait dengan status dzimmi dalam
hal ini akan sangat tergantung bagaimana kesepakatan suatu wilayah. Hal ini
sesuai dengan maksud Tuhan ketika menurunkan QS. Al-Taubah di atas
adalah sebagai dasar agar ada kesepakatan antar satu golongan dengan
golongan yang lain.
Maka dari itu, meski pelacakan tafsir hukum Esack menghendaki
adanya penghilangan status dzimmi, namun dalam penjelasan bab ini, penulis
akan menjabarkan tafsil (penjelasan) hukum dari penafsiran dzimmi Farid
Esack sebagai titik implikasi hukumnya.
1. Untuk Negara yang menganut asas demokrasi, dan telah menganut sistem
nation state: barangkali, proses tafsir atau pelacakan (kerja hermeneutika)
untuk menafsirkan kembali, seperti yang dilakukan oleh Farid Esack tidak
280
280
mempunyai titik relevansi yang tinggi. Karena, maksud tertinggi tafsir
yang diinginkan atas pembacaan kembali status dzimmi adalah hilangnya
diskriminasi sistem kelas (penomorduaan) terhadap warga Negara.
Sementara dalam karakter Negara ini telah ada pengakuan yang sama atas
hak-hak warga Negara dengan tidak memandang suku, ras, agama atau
golongan.
2. Untuk Negara yang menganut asas Islam: untuk karakter Negara inilah
(kerja tafsir ini) mempunyai titik relevansi tinggi. Karena dengan asumsi
bahwa pemahaman selama ini memakai legitimasi bahwa status dzimmi
dalam Islam tetap dipertahankan. Padahal di pojok-pojok Negara ini, tentu
ada segelintir orang yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Dalam hal
ini, proses tafsir ulang terhadap status dzimmi menjadi kebutuhan yang tak
bisa dielakkan lagi.
Namun yang jelas, hasil dari perumusan konsep Fiqh terhadap problem
status dzimmi tetap harus bertumpu pada ide dan nilai-nilai universal
(kesetaraan, keadilan dan non diskriminatif), guna menuju konsep ummah
wahidah (satu komunitas politik), menikmati hak politik, agama dan budaya
yang sama. Sehingga Fiqh yang pluralis ini akan menuju pada penghargaan
‘religious other’ dan ‘political other’.
C. KRITIK ATAS KONSEP HERMENEUTIKA PEMBEBASAN FARID
ESACK SEBAGAI METODOLOGI TAFSIR TEKS
281
281
Mengakhiri pembahasan karya tulis ini, sebagai unsur objektifitas
penelitian, penulis tampilkan kritik yang paling signifikan atas konsep
hermeneutika pembebasan Farid Esack (terutama terkait dengan
pembacaannya kembali terhadap konsep pengakuan non-muslim/dzimmi),
dengan catatan bahwa kritik yang penulis tampilkan tidak jauh dari
pemahaman penulis terhadap pemikiran Farid Esack.
Pokok pikiran yang pertama dari “hermenetika pembebasan” adalah
bahwa si penafsir masuk ke dalam teks tidak dengan “pikiran yang kosong”
tetapi dengan “pikiran yang terisi”, yang merupakan hasil keterlibatannya—
melalui aktivitasnya—dengan realitas. Jadi terdapat semacam pra-teks
sebelum masuk ke dalam (menafsirkan) teks/nash. Jika Fazlur Rahman
menyatakan bahwa solusi seseorang bisa menggapai “makna obyektif” dari
teks Qur'an hanya dengan menggunakan “iman” dan “ketulusan”, maka dalam
hal ini Esack melakukan kritik, bahwa kesimpulan Rahman didasarkan atas
anggapannya tentang pengetahuan yang hanya berdasarkan kognisi saja,
sehingga mengabaikan dialektika di antara kognisi dan praksis.
Pokok pikiran yang kedua adalah bahwa teks memiliki konteksnya
sendiri. Di sini dijelaskan bahwa wahyu (al-Qur'an) bukanlah sesuatu yang
murni terletak di luar sejarah. Ia merupakan hasil komunikasi di antara Allah
dengan manusia yang berlangsung di dalam sejarah, sehingga dikondisikan
olehnya. Ia merupakan komentar-komentar Allah terhadap kebutuhan
masyarakat Arab pada masa Nabi, yang turun secara bertahap selama dua
282
282
puluh tiga tahun.80 Meskipun begitu, ia tetap memiliki makna-makna yang
universal—yang mana untuk menggapai makna-makna ini diperlukan usaha
untuk menembus "partikularitas" teks. Di sinilah signifikansi dari disiplin
asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) dan naskh (pembatalan), selain
daripada kondisi-kondisi si penafsir sendiri, seperti yang telah disebutkan di
atas.
Pokok pikiran yang ketiga adalah bahwa penafsiran atas teks kemudian
harus diikuti dengan aksi, karena hal ini berhubungan dengan validitas dari
tafsir.
Sampai di sini, sekadar untuk menjelaskan posisi hermeneutika Farid
Esack yang sebenarnya, ternyata mempunyai irisan dengan gugusan pemikir
lain, seperti Hasan Hanafi. Menurut Hassan Hanafi, validitas interpretasi
terletak di dalam "kekuatannya" yang ada pada realitas. Sementara Esack
mengatakan bahwa praksis pembebasan dapat mengarah kepada otentisitas
yang lebih besar. Farid mengatakan: “…but argues that liberating-praxis leads
to greater authenticity”. Selain itu, Esack juga mengatakan bahwa karena
fokus dari teologi pembebasan adalah kaum tertindas, maka mereka
merupakan penentu dari otentisitas yang didasarkan atas kepentingan mereka.
Ia mengatakan: “Given that the focus of liberation theology is the 'non-
80 Esack menggunakan dua ayat untuk membenarkan hal ini, yaitu ayat 17:82 yang berbunyi:
"Kami turunkan (setahap demi setahap) dalam Qur'an apa yang menjadi obat dan rahmat bagi orang beriman; tetapi bagi orang durjana hanya akan menambah kerugian" dan ayat 17:106 yang berbunyi: “Qur'an yang Kami bagi (ke dalam bagian-bagian dari waktu ke waktu), supaya dapat kaubacakan kepada manusia berangsur-angsur. Kami wahyukan itu bertahap-tahap.” Lihat Farid Esack, Qur’an, liberation & Pluralism, op.cit., hlm. 53; Rahman juga memiliki pendapat yang sama, ia mengatakan: “Tetapi agaknya ia diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur selaras dengan kebutuhan-kebutuhan situasi.” Baik Esack dan Rahman sama-sama berpendapat bahwa al-Qur'an bukanlah sebuah “kitab” dalam artian umum istilah tersebut, karena ia lebih merupakan sebuah “diskursus”.
283
283
subjects' of history, the marginalized, they were the determiners of
authenticity based on their interests”. Selain itu, untuk memperkuat pendapat
bahwa manusia bisa dijadikan sebuah "kriteria kebenaran," bahkan untuk
menilai Islam sendiri, ia menggunakan argumen bahwa manusia adalah tempat
“ruh Tuhan” bersemayam, memiliki peran sebagai wakil Tuhan di bumi, dan
merupakan “the family of God”.81
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa “hermenetika
pembebasan” Farid Esack di samping memiliki gugusan pemikiran yang
hampir sama dengan Hasan Hanafi, juga memiliki asumsi epistemologis yang
identik dengan epistemologi Marx. Dalam pokok pikiran yang pertama,
kemiripan dengan epistemologi Marx terlihat pada hubungan antara si penafsir
dengan realitas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi teks, di mana si
penafsir memiliki pikiran-pikiran tertentu (pra teks) sebagai hasil dari
keterlibatannya dengan realitas—melalui aktivitasnya—dan “memaknai” teks
dengan pikiran-pikiran tersebut. Itulah kenapa Farid kemudian mengusulkan
praxis-pembebasan sebagai pra-teks, karena dengan praxis-pembebasan,
diharapkan akan muncul “pikiran-pikiran pembebasan”, yang pada gilirannya
akan ikut mempengaruhi makna teks. Gagasan “komitmen keberpihakan”
sosial-politik dari Hassan Hanafi juga identik dengan epistemologi Marx di
dalam hal memprioritaskan realitas sosial—sebagai arena dari kepentingan-
kepentingan sosial-politik—daripada teks “pada dirinya”.
81 Tulisan ini dikutip dari Zaki Muhammad Husein, Mempertemukan Epistemologi Marx
dengan Agama (Islam) melalui Hermeneutika Pembebasan, lihat dalam fahmina@fahmina.org
284
284
Selanjutnya dalam pokok pikiran yang kedua, kemiripan dengan
epistemologi Marx terlihat dari pengkondisian sejarah terhadap teks, di mana
realitas diprioritaskan daripada teks.82 Adapun dalam pokok pikiran yang
ketiga, kemiripan dengan epistemologi Marx terlihat dari gagasan bahwa
validitas tafsir “ditentukan” oleh aksi atau praxis.
Mungkin keberatan yang akan diajukan terhadap “hermenetika
pembebasan” ini adalah karena sifatnya yang “relatif”. Tetapi menurut Zaki
Muhammad Husein, bahwa “relativitas” di dalam Islam dibolehkan selama
tidak menutup ruang untuk kebenaran yang absolut. “Hermenetika
pembebasan” tidak menutup ruang untuk kebenaran absolut, karena ia juga
memiliki asumsi-asumsi tertentu yang sudah dianggap sebagai “kebenaran
absolut”, seperti “Tuhan ada”, “Wahyu berasal dari Tuhan”,”Wahyu memiliki
relevansi yang abadi”83, dll. Mengenai masalah solusi yang bersifat relatif—
bisa terus berganti-ganti—terhadap permasalahan-permasalahan dalam
kehidupan sosial, maka menurut hemat penulis, hal itu sudah merupakan
konsekuensi logis dari realitas yang terus bergerak. Hanya dengan cara inilah
teks bisa menemukan relevansi “keduniawian”-nya, untuk terus berdialog
dengan realitas dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekarang, untuk terus
mendorong perubahan-perubahan yang “progresif” dalam realitas seraya juga
merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam realitas itu sendiri.
82 Menurut Hassan Hanafi, tema lama dari Asbab al-Nuzul menunjukkan adanya prioritas
terhadap realitas daripada teks. Ia mengatakan: ”This is the old theme of Asbab al-Nuzul, the priority of reality on the text, of the question on the answer. The stimulus comes before the response”. Lihat Zaki Muhammad Husein, ibid, hlm. 418.
83 Di dalam hal ini Farid Esack mengatakan: “Belief in the eternal relevance of the Qur'an is not the same as belief in a text which is timeless and spaceless”, lihat Farid Esack, op. cit., hlm. 49.
285
285
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
“titik pertemuan” diantara epistemologi Farid Esack, Hasan Hanafi, juga Marx
pada “hermenetika pembebasan”, yang merupakan sebuah hermenetika
wahyu. Meskipun hermenetika ini bersifat “relatif”, tetapi menurut penulis
hermenetika ini tetap dapat dibenarkan dari sudut pandang Islam, karena ia
tetap membuka ruang untuk kebenaran yang absolut—ia memiliki asumsi-
asumsi tertentu yang sudah dianggap sebagai “kebenaran absolut”, seperti
“Tuhan ada”, “Wahyu berasal dari Tuhan”, “Wahyu memiliki relevansi yang
abadi”, dll. Adapun tetap terbukanya ruang untuk kebenaran absolut di dalam
hermenetika pembebasan mengimplikasikan adanya sedikit modifikasi
terhadap epistemologi Marx yang “diterima”
Akhirnya, bagi penulis, dari temuan titik-titik persamaan di atas, dapat
ditarik beberapa catatan kritis tentang pemikiran Esack atas metodologi
hermeneutika pembebasannya sebagai metodologi tafsir atas teks:
1. Secara jujur, apa yang telah dilakukan oleh Esack melalui “Hermeneutika
Pembebasan”, sejatinya bukanlah hal yang baru. Membandingkan proses
‘hermeneutika’ yang berasumsi pada hadirnya konteks atas teks yang
ditafsirkan, maka hal ini telah jauh sebelumnya ter-cover dalam
metodologi tafsir Islam Klasik. Dalam khazanah Ullumul Qur’an sebagai
sebentuk metodologi untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan
terhadap al-Qur’an harus diakui telah memiliki tingkat sofistikiasi yang
luar biasa. Bagaimana tidak, tingkat sofistikasi ini telah menghasilkan
berlimpah karya tafsir dengan berbagai pola, mulai tahlili sampai
286
286
maudhu’i dan mulai yang sekadar menafsirkan dengan mencari sinonim
kata dan ayat hingga yang melakukan ta’wil secara intuitif dan
menafsirkan secara ilmiah. Kalau melihat proses ini, maka kita harus akui
bahwa komprehensifnya Ullumul Qur’an telah menjembatani jarak antara
mufasir dengan al-Qur’an sehingga melahirkan berbagai khazanah tafsir.
Dan orientasi yang cukup kaya ini memang telah hadir jauh-jauh hari
dengan menampilkan tema seperti Makki-Madani, Asbab an-Nuzul, juga
Nasikh Mansukh.
2. Penulis melihat betapa unsur lokalitas pada pemikiran Esack luar biasa
besar. Meski kalau mau jujur penulis sedikit kerepotan untuk mengatakan
bahwa ide-ide pembebasan Esack tidak applicable dan mempunyai tingkat
progresifitas tinggi, namun kelebihan itu sedikit ‘terambil’ nilainya ketika
unsur lokalitas Afrika Selatan sebagai ‘locus teologicus’ cukup
ditonjolkan. Hal ini dibuktikan dengan genealogi munculnya karya-karya
Esack tak lepas dari historisitas serta setting sosial politik yang terjadi di
Afrika Selatan (Qur’an, liberation & Pluralism, atau On Being Muslim,
misalnya).
3. Terkait dengan dengan tema ahl al-dzimmah, penulis melihat bahwa Esack
tidak secara rigid mengusung ide ini. Pasalnya, tawaran yang dimunculkan
sangat terlalu umum, yakni tema besar “pluralisme”. Esack memang telah
menyinggung tema dzimmi ini dalam pembahasan relasi dengan non-
Muslim (bahasan ahl kitab misalnya). Namun keseriusan itu tidak
diteruskan untuk meninjau lebih jauh bagaimana posisi dan status dzimmi,
287
287
sebagai bagian turunan tema dari ahl al kitab dilihat dari perspektif
Hukum Islam (fiqh).
288
288
4. Terakhir, terkait dengan titik temu yang menemukan gugusan pemikiran
Esack dengan beberapa pemikir lain (seperti yang telah disebut di muka),
menandakan bahwa ada unsur otentisitas pemikiran yang sedikit terkikis.
Padahal jika hal ini tidak terjadi, maka pemikiran Esack menjadi
fenomenal, dengan banyak menyokong ide-ide pluralisme, sekaligus
turunan-turunannya, seperti pembahasan relasi hubungan muslim dan non-
Muslim.
top related