budaya maritim orang pesisir (pasisir) di...
Post on 25-Mar-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │145
Budaya Maritim Orang Pesisir (Pasisir) di Indonesia
Ida Liana Tanjung
Universitas Negeri Medan email: idatanjung78@gmail.com
Received: 30-10-2019, Accepted: 17-11-2019
Abstract At present the community groups that still maintain their identity as seafarers are coastal people (waterside). They live along the coast and build maritime culture. Coastal people are the spearhead of the development of Indonesian culture. This is caused by the beach is the gateway for the entry of new culture into Indonesia. Coastal people are sailors who are able to navigate the high seas. The activity of coastal people as sailors is related to their livelihood as fishermen. Coastal people have local knowledge about fishing time and place. The maritime culture of coastal people in Indonesia has developed since the pre-colonial period. Today Indonesia's maritime glory is only a story of Indonesia's past. At present the representation of the Indonesian maritime world is the life of the poor and marginalized fishermen and the maritime strength of Indonesia which is under army superiority.
Keywords: coastal people, maritime culture, maritime glory in Indonesia. Abstrak Saat ini kelompok masyarakat yang masih mempertahankan identitasnya sebagai pelaut adalah orang-orang pesisir (pasisir). Mereka hidup di sepanjang pantai dan membangun budaya maritim. Orang-orang pesisir merupakan ujung tombak perkembangan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena pantai menjadi pintu gerbang masuknya kebudayaan baru ke Indonesia. Orang pesisir merupakan pelaut yang sanggup mengarungi lautan lepas. Aktivitas orang pesisir sebagai pelaut terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan atau penangkap ikan. Orang pesisir memiliki pengetahuan lokal tentang waktu dan tempat mencari ikan. Budaya maritim orang pesisir di Indonesia telah berkembang sejak masa prakolonial. Saat ini kejayaan maritim Indonesia hanya menjadi cerita masa lalu. Saat ini representasi dunia maritim Indonesia adalah kehidupan nelayan yang miskin dan terpinggirkan dan kekuatan maritim yang berada di bawah superioritas kekuatan darat.
Kata kunci: orang pesisir, budaya maritim, kejayaan maritim Indonesia.
Latar Belakang
Nenek moyangku seorang pelaut
merupakan sebuah lagu yang
menggambarkan identitas budaya maritim
bangsa Indonesia. Namun identitas ini mulai
memudar dan menghilang seiring dengan
perkembangan zaman. Modernisasi dan
daratisasi yang dilakukan oleh pemerintah
sejak masa kolonial hingga kemerdekaan
lambat laun menghilangkan identitas bangsa
Indonesia sebagai bangsa pelaut. Saat ini
kelompok masyarakat yang masih
mempertahankan identitasnya sebagai
146 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2
pelaut adalah orang-orang pesisir (pasisir).
Mereka hidup di sepanjang pantai dan
membangun budaya maritim.
Sejak masa prakolonial, orang-orang
pesisir merupakan ujung tombak dari
perkembangan kebudayaan Indonesia. Hal
ini dikarenakan pantai menjadi pintu gerbang
masuknya kebudayaan baru ke Indonesia.
Berbagai aspek kebudayaan seperti bahasa,
agama dan kesenian sampai ke pantai
melalui lautan. Perdagangan internasional
yang telah terjadi di Indonesia sejak awal
abad Masehi telah menjadi saluran
perkembangan agama dan kebudayaan.
Masuknya kebudayaan baru melalui
perdagangan internasional telah melahirkan
peradaban pesisir di sepanjang pantai
Indonesia. Sejak awal abad Masehi, wilayah
pesisir Indonesia telah menjadi pusat
pertemuan berbagai kebudayaan. Para
pedagang dan pelancong yang berasal dari
India, Cina, Arab, dan Eropa saling
berinteraksi dengan orang-orang Melayu,
Bugis, dan Jawa di kota-kota pelabuhan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
bahwa pada masa itu wilayah pesisir bersifat
sangat dinamis secara sosial, budaya, dan
ekonomi (Vickers, 2009: 6). Di pesisir secara
terus menerus telah terjadi dialektika antara
penduduk lokal dengan para pendatang dari
berbagai kelompok etnik. Dialektika ini
melahirkan budaya campuran atau hybrid.
Batas-batas budaya kelompok etnik di pesisir
sangat kabur. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Vickers (2009: 1) bahwa di balik
gambaran rapi tentang aneka budaya atau
kelompok etnik yang terpisah-pisah itu,
bersemayam suatu prinsip interaksi dinamis
atau pergerakan dan kreasi aktif
heterogenitas yang digambarkan sebagai
peradaban pesisir. Pendapat Vickers
menyiratkan bahwa antara kelompok etnik
yang satu dengan kelompok etnik yang lain
memiliki ikatan kultural yang melahirkan apa
yang disebut dengan peradaban pesisir.
Adrian Vickers melihat bahwa dalam
peradaban pesisir, orang dapat dengan
mudah berganti identitas dan budaya.
Satu hal yang menarik dari peradaban
pesisir yang mungkin dilupakan oleh Adrian
Vickers adalah proses perubahan identitas
etnik dan budaya yang dialami oleh kelompok
etnik dalam peradaban pesisir. Proses ini
akan menjelaskan mengapa ada kesamaan
unsur-unsur budaya pada kelompok etnik
yang berbeda di Asia Tenggara. Kajian Barth
(1988) tentang batas-batas etnik
memperlihatkan bahwa perubahan identitas
etnik seseorang tidak selalu diiringi dengan
perubahan budaya. Saat seseorang berganti
identitas etnik maka bersamaan ia akan
melakukan proses peminjaman budaya dari
kelompok etnik tersebut. Namun proses ini
ternyata tidak menghilangkan budaya
aslinya. Jejak-jejak budaya inilah yang
kemudian menyebabkan adanya kesamaan
budaya antara satu kelompok etnik dengan
kelompok etnik yang lain.
Proses budaya yang melahirkan
peradaban pesisir dapat dilihat dengan jelas
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │147
dalam kasus Barus dan Sibolga. Kedua kota
pelabuhan ini didiami oleh berbagai
kelompok etnik. Pada awalnya masing-
masing kelompok etnik memiliki batasan etnik
dan budaya yang jelas. Akan tetapi interaksi
ekonomi dan sosial yang terjalin antara
kelompok etnik mengakibatkan terjadinya
percampuran kelompok etnik.
Budaya pesisir yang berkembang di Barus
dan Sibolga merepresentasikan kemaritiman
Indonesia. Mereka hidup dari sektor
perdagangan maritim, menjadi penguasa
pelabuhan, hidup sebagai pelaut dan memiliki
budaya hybrid. Permasalahan yang dikaji
dalam tulisan ini adalah tentang budaya
maritim orang pesisir (pasisir) di Indonesia.
Orang Pesisir sebagai Pelaut (Nelayan), Penguasa dan Pedagang.
Orang pesisir merupakan pelaut yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Aktivitas
orang pesisir sebagai pelaut terkait dengan
mata pencaharian mereka sebagai nelayan
atau penangkap ikan. Setiap hari mereka
berlayar untuk mencari ikan di daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Biasanya
Orang pesisir memiliki pengetahuan lokal
tentang waktu dan tempat mencari ikan. Saat
bulan purnama ketika air pasang adalah
waktu yang tepat mencari ikan di daerah-
daerah beting karang. (Lapian, 2011: 128).
Potensi sumber daya laut di wilayah laut
Indonesia yang begitu besar, belum
dimanfaatkan dengan baik oleh orang pesisir.
Hal ini disebabkan karena mereka hanya
menjadi nelayan tradisional yang sangat
tergantung dengan suasana laut seperti
musim, arah angina, dan derasnya arus.
Aktivitas penangkapan ikan dilakukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Jika persediaan ikan masih cukup maka
seringkali mereka juga tidak melaut. Hal inilah
yang menyebabkan sebagian besar Orang
pesisir yang berprofesi sebagai nelayan
identik dengan kemiskinan (Retnowati, 2011:
158).
Pandangan masyarakat terhadap
kehidupan nelayan di pesisir tampaknya tidak
banyak bergeser sejak masa kolonial hingga
saat ini. Di dalam novel bersetting sejarah
Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Gadis
Pantai digambarkan tentang budaya
kampung nelayan yang dianggap remeh dan
direndahkan oleh priyayi. Menurut priyayi
suami dari Gadis Pantai, kampung-kampung
di sepanjang pantai kotor, miskin, dan
orangnya tak pernah beribadah. Namun
pandangan negatif terhadap orang pesisir ini
berbanding terbalik dengan pandangan
Gadis Pantai terhadap diri dan keluarganya
yang berasal dari pesisir. Baginya para pelaut
yang berlayar mencari ikan di tengah lautan
dan menerjang ombak besar adalah sosok
yang heroik. Dibutuhkan keberanian yang
besar untuk dapat mengarungi laut dengan
segala misteri dan kekuatan yang dimilikinya.
Gambaran tentang sosok pelaut Indonesia
yang pemberani memang hanya menjadi
cerita masa lalu. Sejak Belanda mendominasi
kehidupan maritim pada awal abad ke-18,
kemiskinan, kotor, malas, dan boros seakan
148 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2
menjadi label yang telah dilekatkan pada
orang pesisir.
Para ilmuwan saat ini perlu kiranya
membangkitkan kembali nilai-nilai budaya
maritim dari para pelaut Indonesia. Pada
tahun 2010, seorang Antropolog Indonesia,
Kusnadi (2010: 6) berusaha mendekonstruksi
pandangan negatif tentang orang pesisir.
Adapun yang menjadi objek kajiannya adalah
orang pesisir pantai utara Jawa. Menurutnya,
orang pesisir memiliki nilai-nilai budaya
kepesisiran sebagai berikut:
a. Etos kerja tinggi untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan mencapai
kemakmuran.
b. Kompetitif dan mengandalkan
kemampuan diri untuk mencapai
keberhasilan.
c. Apresiasi terhadap prestasi seseorang
dan menghargai keahlian.
d. Terbuka dan ekspresif, sehingga
cenderung kasar.
e. Solidaritas sosial yang kuat dalam
emgnhadapi ancaman bersama atau
membantu sesama ketika menghadapi
musibah.
f. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup
yang tinggi.
g. Bergaya hidup konsumtif.
h. Demonstratif dalam harta benda (emas,
perabotan rumah, kendaraan, bangunan
rumah, dan sebagainya) sebagai
manifestasi keberhasilan hidup.
i. Agamis dengan sentimen keagamaan
yang tinggi.
j. Temperamental, khususnya jika terkait
dengan harga diri.
Nilai-nilai budaya orang pesisir yang
dikemukakan Kusnadi dapat digunakan untuk
membangkitkan kembali semangat dan rasa
percaya diri orang pesisir. Sejak masa
kolonial Belanda hingga kemerdekaan, rasa
percaya diri orang pesisir lambat laun mulai
memudar seiring dengan modernisasi dan
daratisasi. Orang-orang pesisir terus
menerus mengalami keterpinggiran, baik
secara sosial, ekonomi, dan budaya maupun
politis. Padahal pada masa prakolonial,
orang-orang pesisir adalah penguasa di
seluruh wilayah Indonesia. Mereka
menguasai perdagangan baik lokal maupun
internasional dan merupakan salah satu
bagian dari budaya maritim yang dimiliki oleh
orang-orang pesisir di Indonesia sejak masa
prakolonial. Bagi orang pesisir, laut menjadi
penghubung daerahnya dengan dunia luar
yang menjadi sumber mata pencaharian dan
kesejahteraanya (Ikram, 2013: 312).
Hubungan dagang Indonesia dan India telah
lebih dahulu dibandingkan dengan Cina.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa sejak
abad ke-2 Masehi sudah ada hubungan
dagang antara Indonesia dan India.
Selanjutnya sejak abad ke-5 juga sudah
mulai tercatat adanya utusan ke Cina.
Komoditi yang diperdagangkan adalah lada,
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │149
cengkih, pala, kayu cendana, beras dan kain
(Sulistiyono, 2004).
Salah satu alasan orang India berdagang
ke Indonesia adalah berkaitan dengan
hilangnya sumber perdagangan emas India
yang berasal dari Asia Tengah menjelang
abad Masehi. Oleh karena itu orang India
harus mencari sumber emas di daerah lain.
Meskipun pada akhirnya negeri yang mereka
anggap sebagai penghasil emas ternyata
menghasilkan rempah-rempah, kayu
cendana, kayu gaharu, kamper, dan
kemenyan, sehingga muncul nama Barus
menjadi Karpūradvīpa atau Pulau Kapur
Barus (Coedes, 2017: 48).
Komoditi ini sangat disukai oleh India dan
Cina untuk kepentingan upacara keagamaan.
Sebaliknya komoditi dagang dari Cina yang
disenangi orang Indonesia terutama untuk
kepentingan prestise adalah porselen seperti
piring, mangkok, cangkir, dan jambangan serta
kain sutra Cina yang sangat mahal harganya
sehingga hanya para bangsawan yang dapat
membelinya. Sedangkan orang India
memperdagangkan kain mori yang berkualitas
bagus. Keterlibatan orang pesisir dalam
perdagangan dengan Cina dimulai pada abad
ke-5 yang ditandai dengan pengiriman utusan
ke Cina oleh kerajaan Tarumanegara.
Pengiriman utusan ke Cina juga dilakukan oleh
Sriwijaya pada abad ke-7. Menurut Wolters
(2011) utusan Sriwijaya membawa kapur barus
sebagai upeti. Diperkirakan kapur barus itu
berasal dari Barus, karena pada masa itu Barus
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Para penguasa pesisir pada masa
prakolonial mendominasi jalur perdagangan
dan pelayaran di Indonesia disebabkan karena
keuntungan yang diperolehnya. Mereka
membutuhkan surplus uang tunai dan
peralatan militer. Dua hal ini hanya dapat
dipenuhi dari keuntungan perdagangan.
Penguasa juga sangat tertarik dengan
perdagangan karena memudahkan mereka
untuk mendapatkan komoditi yang prestisius
yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan
dan kewibawaan. Jika penguasa pedalaman
memanfaatkan surplus kekayaan dengan
membangun monumen-monumen keagamaan
yang megah maka penguasa pesisir
mengoleksi barang-barang import yang mewah
(Chauduri, 1989, Sulistiyono, 2004).
Penguasaan agraris dengan maritim
memiliki perbedaan. Dalam dunia agraris,
penguasaan terhadap rakyat adalah
penguasaan bidang ekonomi melalui
penarikan upeti dan kedudukan sosial melalui
kerja bakti, baik untuk raja maupun para priyayi.
Rakyat dikenakan pajak dan tenaga kerja,
selain itu rakyat juga menjadi kesatuan militer
bagi penguasanya (Onghokham, 1983: 83).
Kondisi ini tidak akan ditemui pada kerajaan
maritim. Penguasaan atau perdagangan
menjadi tujuan para sultan maupun para
hulubalangnya. Dasar kekuatan dan
kekuasaannya adalah pada pajak dan cukai
perdagangan internasional, serta ekspor hasil
bumi. Sumber pendapatannya bukan berasal
dari pajak hasil bumi penduduknya, sehingga
penguasaaan atas tenaga kerja tidak penting
150 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2
dalam pandangan penguasa maritim.
Lancarnya ekspor ke luar negeri menjadi
perhatian utama, baik bangsawan maupun
penguasa. (Rinardi, 2013: 291)
Pembangunan angkatan laut baru muncul
ketika terjadi operasi pembebasan Irian Barat.
Presiden Soekarno mencoba membangun
angkatan laut untuk menandingi kekuatan
Belanda di perairan Irian yang saat itu diperkuat
kapal induk Karel Doorman. Salah satunya
adalah dengan membeli kapal penjelajah KRI
Irian, yang saat itu dianggap menjadi monster
di perairan Asia Tenggara. Upaya lainnya
adalah dengan membangun kekuatan bawah
laut dengan mendatangkan kapal selam kelas
Whiskey dari Uni Sovyet untuk mengintimidasi
Belanda. Semua itu, membuat Belanda harus
berpikir ulang ketika mencoba
mempertahankan kolonisasinya di Irian. Akan
tetapi, pembangunan matra laut itu tidak
berlangsung lama. Berkuasanya Orde Baru
yang didominasi oleh Komando Strategis
Angkatan Darat telah mendorong kembali
perhatian dan strategi Indonesia kembali ke
arah daratan (Rinardi, 2013: 291).
Modernisasi telah menghilangkan budaya
pesisir orang Indonesia. Pembangunan jalan-
jalan dan rumah susun bagi masyarakat pesisir
tidak mempertimbangkan adat dan budayanya.
Masyarakat pesisir yang terbiasa bertempat
tinggal di tepi pantai dan memiliki ruang untuk
memperbaiki kapal dan alat tangkap ikannya
seakan tercerabut dari akar budayanya.
Program pembangunan yang dijalankan
pemerintah juga belum banyak menyentuh
sektor maritim.
Hibriditas dan Heterogenitas sebagai
Identitas Budaya Maritim
Perdagangan bukan hanya menjadi saluran
bagi masuknya agama dan kebudayaan baru,
akan tetapi juga menghadirkan realitas budaya
hybrid di antara berbagai kelompok etnik. Salah
satu contoh berkembangnya budaya hybrid di
kalangan orang pesisir adalah percampuran
antara orang Batak dan Minangkabau.
Penduduk Sibolga dan Barus menyebut
budaya hybrid ini dengan istilah budaya Pasisir
dan pemilik dari budaya ini disebut dengan
orang Pasisir atau etnik Pasisir (Sinar, 2010:
72). Namun tidak diketahui dengan pasti kapan
istilah Pasisir dijadikan sebagai identitas di
Barus dan Sibolga. Akan tetapi dapat
diperkirakan bahwa identitas sebagai orang
pasisir muncul di Barus pada awal abad ke-16,
saat Aceh mendominasi daerah ini dan unsur-
unsur budayanya digunakan oleh penduduk di
pesisir Barus. Hal ini seperti yang digambarkan
dalam kronik Raja Barus bahwa adat yang
terpakai di kota pelabuhan ini adalah campuran
dari Batak, Minangkabau, dan Aceh yang
disesuaikan dengan Islam (Drakard, 2003:
156). Namun unsur Aceh sebagai pembentuk
dari identitas etnik Pasisir tidak tampak di
Sibolga. H. Barstra menyebutkan bahwa
orang-orang Pasisir di Sibolga merupakan
campuran dari orang Batak dan Melayu yang
beragama Islam. Orang Melayu yang
dimaksud oleh Barstra adalah orang
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │151
Minangkabau karena memiliki nama suku
Tanjung dan Chaniago.
Dalam berbagai literatur tentang Barus dan
Sibolga sebelum abad ke-20 sering
disebutkan bahwa penduduk pesisir di Barus
dan Sibolga adalah etnik Melayu Campuran
(Marsden, 2008: 337; Deutz, 1874: 156). Hal
ini disebabkan karena kecenderungan para
peneliti untuk mengategorikan penduduk
daerah pesisir yang beragama Islam sebagai
Melayu (Barnard,2001:331). Padahal etnik
Melayu yang dimaksud merupakan
percampuran dari berbagai kelompok etnik
seperti Batak, Minangkabau, dan Aceh. Pada
saat jaringan perdagangan Islam
berkembang pada awal abad ke-16,
kelompok-kelompok etnik yang dianggap
Melayu tersebut berdiam di daerah pesisir
Sumatera dan Semenanjung, sehingga
pesisir kemudian identik dengan Melayu dan
Islam. Studi Adrian Vickers (2009: 11)
tentang peradaban pesisir memperlihatkan
bahwa daerah pesisir Indonesia tidak selalu
identik dengan Islam. Realita ini juga dapat
ditemukan di Barus, dalam tradisi lisan orang
Batak, pesisir Barus dianggap sebagai
tempat bersemayamnya keturunan raja Batak
yang beragama Hindu, yaitu Raja Uti
(Tideman, 1936: 50).
Masuknya Minangkabau dan Aceh
sebagai bagian dari identitas Melayu di Barus
tidak terlepas dari proses historis yang
dialaminya. Barus merupakan koloni dari
orang Minangkabau dan Aceh di pesisir
Tapanuli. Selain orang-orang Melayu dan
Aceh, orang-orang Batak yang beragama
Islam di Barus juga dimasukkan dalam
kelompok etnik Melayu. Seperti yang
tergambar dalam pantun Melayu berikut ini:
Bukan kampak sembarang kampak, Kampak bisa jadi pembelah kayu, Bukan Batak sembarang Batak Tapi Batak yang telah jadi Melayu (Sinar, 2010: 73).
Pada pertengahan abad ke-19, fenomena
masuknya Batak menjadi Melayu mendorong
penguasa di pesisir membuat peraturan,
yang mengatur hubungan antara Melayu di
pesisir dan Batak di pedalaman Tapanuli.
Peraturan tersebut termuat dalam Hikajat
Tjarita Baros Pasal 17 sebagai berikut:
Kapan orang malaijoe pergie di negerie batak tida boleh dinijanja melainkan radja mistie tolong. Kapan batak datang di negeri Malaijoe bagitoe djoega.
Kapan orang Malaijoe masoek djadie batak tida boleh diganggoe kapan batak masoek djadie malaijoe bagitoe djoega. Kapan itoe orang poenja soeka sendirie dan tida boleh ditarek atau djadie parkara.
Adapoen tandanja orang batak kapan dija poenya soeka sendirie mau djadi Malaijoe (Islam) dija masoek di masdjied dija poekel Taboeh djaemäat dija kasie taú dija mau masoek Islam kamoedijan maka dija pergie kapada Imam dija minta masoek oegama Islam dan lantas dija dimasoekan dalam oegama Islam. Kamoedijan darie itoe miskie apa djoega dija poenja parkara die negerie Batak dan batak tida boleh boeka lagie, atau darie parkara kawien sekalipoen sabab tida lagie berlakoe adat Batak kepadanja lain derie oetang pioetang, dan tida boleh ditarek lagie dija kanegerie Batak.
Adapoen malaijoe tanda dija poenja soeka sendirie djadie batak, ija itoe dija pergie di negeri batak dija kawien di sana dengan parampoean batak dan dija toeroet bagaima oegama Batak. Tapie Batak kapan dija soeda masoek Islam kamoedijan dalam itoe negeri malaijoe djoega dija koembalike djadie Batak kanai hoekoem 1 karbaue 8 ringiet 20 soekat bras salah kepada negerie parlilipan namanja. Kapan orang mau lapas
152 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2
derie soedaranja atau mau lapaskan soedaranja bagitoe joega salanya (Chambert-Loir, 2015: 526).
Hikayat di atas menyiratkan bahwa
identitas etnik di Barus bersifat fleksibel dan
cair. Fenomena orang Batak dapat menjadi
Melayu sepertinya telah berlangsung sejak
sebelum abad ke-19. Saat Barus dikuasai
Aceh pada abad ke-16, Raja Aceh Alau’d-Din
Ri’ayat Shah mengawinkan penguasa Barus
keturunan Batak dengan adik perempuannya
dan memberinya gelar Sultan (Kathirithamby
Wells, 1969: 457). Secara tidak langsung,
orang-orang Aceh telah berperan dalam
menjadikan orang-orang Batak menjadi Islam
dan sekaligus menjadi Melayu melalui
perkawinan. Tidak berbeda dengan orang
Aceh, orang-orang Minangkabau juga
berusaha menjadikan orang-orang Batak
menjadi Melayu melalui perkawinan. Dalam
kronik Raja Barus pernah digambarkan
tentang perkawinan penguasa Barus, Sultan
Ibrahim yang berasal dari keturunan
Minangkabau dengan puteri dari Raja Batak
di Bakkara dan memperkenalkan agama
Islam. Sebagian besar dari mereka menolak
Islam, akan tetapi mereka mengakui
kekuasaan Sultan Ibrahim yang ditandai
dengan pengiriman upeti ke Barus. Saat
meninggalkan Bakkara, Sultan Ibrahim tidak
membawa istrinya tersebut ke Barus. Ia
meninggalkan istrinya di Bakkara dalam
kondisi mengandung. Pesan Sultan Ibrahim
kepada istrinya jika anak itu lahir maka harus
diberi nama Singa Maharaja dan anak itu
akan memerintah di seluruh daerah Batak
(James, 1902).
Dalam tradisi lisan yang berkembang di
Sibolga juga digambarkan bagaimana
terjadinya perkawinan campuran antara
orang-orang Minangkabau dan Batak.
Alkisah, tersebutlah seorang pemuda
Melayu Minangkabau yang berdiam di pulau
Poncan mencintai seorang gadis (boru) Batak
yang berdiam di Sibolga. Keduanya
mempuyai hakikat adat yang berbeda,
walaupun sama-sama memeluk agama
Islam. Sang pemuda berhari-hari menunggu
jemputan dari si pemudi, sedangkan si
pemudi setiap waktu menanti pinangan dari
sang pujaan. Ada penantian yang melelahkan
dari masing-masing pihak yang tak kunjung
tiba.
Bahkan ketika langkah-langkah pergaulan
lebih jauh hendak ditempuh pernikahan tidak
dapat dilangsungkan, karena pihak pemuda
menganut adat Minangkabau yang matriarkat.
Akhirnya diadakanlah musyawarah di antara
orangtua kedua belah pihak, guna mencari
jalan keluar dari kesulitan-kesulitan teknis yang
ada. Kedua pihak menganut sistem adat yang
ketat dan tentu sulit bagi seseorang untuk
mengalah penuh.
Akhirnya, toleransi tercapai dengan
mengendurkan beberapa ketegangan teknis
adat dari kedua belah pihak, yang melahirkan
adat Sumando, yang merupakan campuran
dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat
Batak. Hal-hal yang baik diterima dan yang tak
sesuai dengan tata karma dan sikap hidup
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │153
sehari-hari diabaikan. Itulah yang disebut adat
bersendi sara’ dan sara bersendi kitabullah
(Panggabean, 1995: 192).
Tradisi lisan di atas merupakan gambaran
realita perkawinan campuran yang terjadi di
Sibolga. Seperti perkawinan yang terjadi antara
puteri Datuk Itam yang yang menikah dengan
Raja Sibolga pada tahun 1888. Datuk Itam
merupakan keturunan penguasa di Pulau
Poncan yang berasal dari Minangkabau. Saat
Belanda memindahkan pelabuhan Tapanuli
dari Pulan Poncan Ketek ke Sibolga pada
tahun 1841, ia beserta penduduk Poncan
pindah ke Sibolga. Sejak saat itu, banyak orang
Minangkabau yang menikah dengan orang
Batak di Sibolga (Sinar, 2010: 81).
Kesimpulan
Budaya maritim orang pesisir di Indonesia
telah berkembang sejak masa prakolonial.
Orang-orang pesisir telah menjadi pelaut ulung
di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya menjadi
representasi kejayaan maritim Indonesia.
Kekuatan armada maritim Sriwijaya dipercaya
mampu menaklukkan seluruh kepulauan di
Nusantara pada abad ke-7. Pada masa itu,
kota-kota pelabuhan berkembang akibat dari
kegiatan pelayaran dan perdagangan yang
dilakukan oleh orang-orang pesisir. Mereka
berpindah satu pulau ke pulau lain membawa
komoditi yang sedang dibutuhkan di pasaran
lokal dan internasional. Kegiatan ini bukan
hanya melibatkan para nelayan, tetapi juga
para pedagang dan penguasa. Pada akhirnya
aktivitas perdagangan menjadi saluran agama
dan kebudayaan, selain itu interaksi antara
orang-orang pesisir dengan berbagai kelompok
etnik telah melahirkan budaya dan generasi
hybrid.
Saat ini, kejayaan maritim Indonesia hanya
menjadi cerita masa lalu Indonesia. Saat ini
representasi dunia maritim Indonesia adalah
kehidupan nelayan yang miskin dan
terpinggirkan dan kekuatan maritim Indonesia
yang berada di bawah superioritas kekuatan
darat. Nilai-nilai budaya maritim orang pesisir
mulai memudar sejak kejatuhan Sriwijaya pada
abad ke-10 dan menguatnya dominasi Belanda
di kota-kota pelabuhan Indonesia pada awal
abad ke-18. Orang-orang pesisir sebagai agen
dari budaya maritim mulai terpinggirkan dan
diabaikan oleh pemerintah kolonial. Kondisi ini
semakin diperparah dengan meningkatnya
eksploitasi di bidang perkebunan pada abad
ke-19. Sejak saat itu, dunia dan budaya maritim
orang pesisir hanya menjadi bagian pelengkap
dari negara Hindia Belanda. Orang-orang
pesisir mulai hilang kepercayaan diri karena
yang ditampilkan dari mereka hanya sisi
negatifnya. Mereka dianggap miskin, kotor, dan
malas. Gambaran suram tentang kehidupan
orang pesisir masih tetap bertahan. Hingga
kemerdekaan. Pemerintah Indonesia juga tidak
menempatkan maritim sebagai primadona
dalam pembangunan. Baru pada tahun 2014,
saat Presiden Joko Widodo menyampaikan visi
poros maritim dunia sehingga kehidupan dan
budaya maritim Indonesia mulai bangkit
kembali.
Referensi
154 │Jurnal Maritim Indonesia│Desember 2019, Volume 7 Nomor 2
Barnard, Timothy P. 2001. Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century. Journal of Southeast Asian Studies, Volume 32, No. 3.
Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Universitas Indonesia.
Chambert-Loir, Henri. 2015. Syair Sultan Fansuri dalam Daniel Perret dan Heddy Surachman: Barus Negeri Kamper, Sejarah dari abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-17. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional.
Chauduri, K.N. 1989. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University Press.
Coedes, George. 2017. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.
Deutz, G.J.J. 1874. Baros. TBG, Vol. 22
Dhakard, Jane. 2003. Sejarah Raja-raja Barus; Dua Naskah dari Barus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Ecole française d’Extrême-Orient.
Heddy Surachman. 2015. Barus Negeri Kamper, Sejarah dari abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-17. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional.
Ikram, Achadiati. 2013. ‘Indonesia dengan Lautnya dalam Sastra Daerah’ dalam Dhanang Respatih Puguh (ed) Membedah Sejarah dan Budaya Maritim Merajut Keindonesiaan, Semarang.
James, K.A. 1902. De Geboorte van Singa Maharaja en het ontstaan van de Koeria (District) Ilir in de Onderafdeeling Baroes. TBG.
Kathirithamby-Wells, J. 1969. Achehnese Control over West Sumatra up to the
Treaty of Painan of 1663. Journal of Southeast Asian History, Vol. 10. No. 3. International Trade and Politics in Southeast Asia 1500-1800.
Kusnadi (makalah). 2010. Jelajah Budaya Tahun 2019 dengan tema ‘Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa’ yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Yogyakarta, 12-15 Juli 2010.
Lapian, Adrian B. 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Jakarta: Komunitas Bambu.
Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu.
Onghokham. 1983. Sejarah Pembesar di Indonesia (Onghokham, Negara dan Rakyat). Jakarta: Sinar Harapan.
Panggabean, M. 1992. Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Purwanto, Bambang. 2009. “Kata Pengantar” dalam Adrian Vickers, Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan.
Retnowati, Endang. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Jurnal Perspektif, Vol. XVI, No. 3.
Rinardi, Haryono. 2013. Hilang Ditelan Daratan: Terpinggirnya Budaya Maritim dalam Historiografi Indonesia’ dalam Dhanang Respatih Puguh (ed): Membedah Sejarah dan Budaya Maritim Merajut Keindonesiaan. Semarang.
Sinar, Luckman dkk. 2010. Mengenal Adat dan Budaya Pesisir Tapanuli Tengah – Sibolga. Medan: Forkala Sumut.
Sulistiyono, Singgih Tri. 2004. Sejarah Maritim Indonesia (Program Hibah Penulisan Buku Teks, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Budaya Maritim Orang Pesisir …..│ Ida Liana Tanjung │155
Tideman, J. 1936. Hindoe-invloed in Noordelijk Batakland, Uitgaven van het Bataksch Instituut No. 23. Amsterdam: N. V.De Valk.
Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia
Tenggara. Denpasar: Pustaka Larasan.
Wolters. O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III – Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.
top related