case besar dr. rosa -graves opht
Post on 30-Nov-2015
135 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama Lengkap : Tn. K
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh pabrik rokok
Alamat : Bulung cangkring RT 01/RW 14, Jekulo-Kudus
Nomor RM : 260303
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (dari CM) pada tanggal 20
Oktober 2011, pukul 15:30 WIB
Keluhan utama :
Mata kiri burem.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Satu tahun yang lalu pasien mengeluh penglihatan mata kirinya mulai burem
(tanggal 15 November 2010). Saat itu pasien mengeluh matanya sering merah,
nerocos, belekan dan terasa cekot-cekot disekitar mata sejak 3 hari sebelumnya. Saat
itu pasien dirawat dengan diagnosa ulkus kornea pada mata kirinya, dan suspek
neuropaty optik pada kedua matanya.
Sembilan bulan (14 Februari 2011) yang lalu pasien kembali dirawat dan
didiagnosis menderita hipertiroid. Pasien mengaku sebelumnya sudah merasa sering
berdebar-debar, tangan gemetar, penurunan BB, gelisah dan mudah lelah. Selain itu
perlahan-lahan kedua mata pasien semakin lama semakin membesar dan menonjol
keluar, sulit untuk berkedip sehingga mata menjadi kering, penglihatan double dan
kadang matanya menjadi merah dan nerocosdan perih bila terkena angin, namun
pasien tidak memeriksakan dirinya ke dokter. Tidak ada truama pada mata. Pasien
tidak merokok.
Saat ini pasien masih mengeluhkan pengliahatan kabur, sering nerocos dan
kemeng di sekitar mata. Sakit kepala kadang dirasakan pasien tapi tidak ada mual dan
muntah. Karena penglihatan pasien tidak membaik, pasien akhirnya memutuskan
untuk berobat ke klinik RS Mardi Rahayu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat OS ulkus kornea dan ODS suspek neuropaty optik (15 November 2010).
Riwayat Hipertiroid (14 Februari 2011) mendapat pengobatan dengan propanolol,
PTU dan B complex sampai saat ini.
Riwayat trauma pada mata (-)
Riwayat penggunaan kacamata (-)
Asma (-)
Hipertensi (-) dan Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama seperti pasien.
Riwayat Sosial-ekonomi :
Pasien bekerja sebagai seorang buruh pabrik rokok, tanggungan keluarga 3
orang, berobat menggunakan Jamkesmas. Kesan ekonomi kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS (20 Oktober 2011)
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : afebris
Kepala : Normocephali, deformitas (-), rambut hitam beruban,
distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Telinga : Normotia, serumen (-), sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-)
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SN vesikuler, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen : Membuncit, supel, bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-, tremor (-)
B. STATUS OPHTHALMOLOGIS (20 Oktober 2011)
Gambar:
OD OS
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
20/70 Visus 20/60 F1
PH 20/60 F1 Koreksi PH 20/60 F2
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),
eksoftalmus (+),
Strabismus (-)
Bulbus Okuli
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),
eksoftalmus (+),
kiri>kanan
esotropia (+)
Edema superior (-)
Hiperemis (-)
Blefarospasme (-)
Lagoftalmus (+)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Palpebra
Edema superior (-)
Hiperemis (-)
Blefarospasme (-)
Lagoftalmus (+)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Edema (-)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Bangunan patologis (-)
Infiltrate (-)
Secret (-)
Konjungtiva
Edema (-)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Bangunan patologis (-)
Infiltrate (-)
Secret (-)
Warna putih Sklera Warna putih
Bulat, edema (-), infiltrate
(-), sikatrik (-), Arcus
senilis (-)
Kornea Bulat, edema (-), infiltrate
(-),makula kornea pada
arah jam 5
Arcus senilis (-)
Jernih, kedalaman cukup, Camera Okuli Jernih, kedalaman cukup,
hipopion (-), hifema (-) Anterior (COA) hipopion (-), hifema (-)
Kripta (-), warna coklat,
edema (-), sinekia (-), atrofi
(-)
Iris
Kripta (-), warna coklat,
edema (-), sinekia (-),
atrofi (-)
Reguler, letak sentral,
diameter 3 mm, refleks
pupil L/TL: +/+
Pupil
Reguler, letak sentral,
diameter 3 mm, refleks
pupil L/TL: +/+
Keruh sebagian Lensa Keruh sebagian
Jernih Vitreus Jernih
Papil pucat (+), CDR sulit
dinilai, excavasio (-)
Vaskularisasi normal,
perdarahan (-),
eksudat (-)
Retina
Papil pucat (+),CDR
sulit dinilai, excavasio (-)
Vaskularisasi normal,
perdarahan (-),
eksudat (-)
+ suram Fundus Refleks + suram
10 mmHg TIO 12 mmHg
Epifora (-), lakrimasi (-) Sistem Lakrimasi Epifora (-), lakrimasi (-)
IV. RESUME
Subyektif
Dua tahun SMRS, pasien mengeluh kedua matanya perlahan-lahan semakin
membesar dan menonjol keluar, sulit untuk berkedip sehingga mata menjadi kering,
penglihatan double. dan kadang matanya menjadi merah, namun pasien tidak
memeriksakan dirinya ke dokter. Tidak ada truama pada mata.
Satu tahun SMRS, pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri burem.
Pasien juga masih mengeluh matanya sering merah, nerocos, belekan, dan terasa
cekot-cekot disekitar mata. Saat itu diagnosa ulkus kornea pada mata kirinya, dan
suspek neuropaty optik pada kedua matanya, dirawat 3 hari di RS lalu pulang.
Saat ini pasien masih mengeluhkan pengliahatan kabur, sering nerocos dan
perih bila terkena angin, dan kemeng di sekitar mata. Sakit kepala kadang dirasakan
pasien tapi tidak ada mual dan muntah. Pasien tidak merokok.
Pasien didiagnosis menderita hipertiroid sejak bulan Februari 2011.
Obyektif
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
20/70 Visus 20/60 F1
PH 20/60 F1 Koreksi PH 20/60 F2
Gerak bola mata terbatas,
eksoftalmus (+) Bulbus Okuli
Gerak bola mata terbatas,
eksoftalmus (+),
kiri>kanan
Esotropia (+)
Retraksi (+)
Lagoftalmus (+) Palpebra
Retraksi (+)
Lagoftalmus (+)
Bulat, jernih Kornea Makula kornea (+) arah
jam 5
Keruh sebagian Lensa Keruh sebagian
Papil pucat (+), CDR sulit
dinilai
Retina Papil pucat (+), CDR sulit
dinilai
10 mmHg TIO 12 mmHg
V. DIANOSIS BANDING
1. ODS Grave Ophtalmopathy
DD: Tumor retrobulbar
Hiperostosis Sphenoid
2. ODS Neuropaty Optik ec post neuritis optik
DD: Glaucomatosa
3. ODS katarak senilis imatur
DD: Katarak senilis komplikata
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. ODS Grave Ophtalmopathy
Dasar Diagnosis :
Anamnesis:
- Pengliahatan kabur, sering nerocos dan perih bila terkena angin
- kemeng di sekitar mata, sakit kepala
- kedua matanya perlahan-lahan semakin membesar dan menonjol keluar,
penglihatan double. dan kadang matanya menjadi merah sejak 2 tahun lalu.
- Riwayat menderita ulkus kornea pada mata kiri
- Riwayat hipertiroid sejak bulan Februari 2011.
Pemeriksaan opthalmologis:
- VOD 20/70, VOS 20/60 F1
- Eksoftalmus ODS
- OS esotropia
- ODS Palpebra edema, retraksi, Lagoftalmus
- OS makula kornea
- Papil pucat, CDR sulit dinilai
2. ODS Neuropaty Optik ec post neuritis optik
Dasar Diagnosis:
- Penglihatan kabur
- Grave ophtalmopaty
- Riwayat ulkus kornea
Pemeriksaan ophtalmologis:
- VOD 20/70, VOS 20/60 F1
- Papil pucat, CDR susah dinilai, excavasio (-)
- TIODS 10/12
3. Katarak senilis imatur
Dasar Diagnosis:
- Usia 42 tahun
- Keluhan penglihatan kabur
Pemeriksaan ophtalmologis:
- VOD 20/70, VOS 20/60 F1
- ODS lensa keruh sebagian
- Fundus Refleks suram
VII. PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
- Tutup mata dengan kasa saat tidur
- Opertif/dekompresiorbital bila tidak respon terhadap glukortikoid
- EKEK + IOL
Medika Mentosa
- Artificial tears
- Methyl Prednisolon 3 x 4 mg, PO
- Asetazolamid 2 x 250 mg, PO
- KCl 1 x 250 mg, PO
- Vitamin B Complex 1 x 1 tablet, PO
VIII. PROGNOSIS
Oculi Dextra Oculi Sinistra
Ad Visam Dubia ad Malam Dubia ad Malam
Ad Sanam Dubia ad Bonam Dubia ad Bonam
Ad kosmetikum Dubia ad Malam Dubia ad Malam
Ad Vitam Ad Bonam Ad Bonam
IX. USUL DAN SARAN
Usul : - Pemeriksaan laboratorium tiap 2-3 bulan ( TSH, FT3, FT4, elektrolit)
- MRI orbita
- Observasi edema periorbital, gangguan penutupan kelopak mata, lapang
pandang, epifora.
- Evaluasi ketajaman penglihatan
- Pemeriksaan TIO berkala
- Konsul/rawat bersama bagian Interna untuk penatalaksanaan hipertiroid
Saran : - Menggunakan kacamata
- Melatih otot mata ekstraokular.
- Oklusi salah satu mata untuk keluhan diplopia
- Edukasi pasien bahwa prinsip terapi adalah untuk menghambat
progresifitas penyakit.
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Grave adalah ketidaknormalan tiroid yang paling umum terjadi dikaitkan
dengan Graves oftalmopaty, tetapi gangguan lain dari tiroid bisa mempunyai manifestasi
okuli yang sama. Hal ini mencakup tiroiditis hashimoto, karsinoma tiroid, hipertiroidisme dan
irradiasi leher. Sekitar 40% pasien dengan penyakit Graves memiliki atau akan mengalami
graves oftalmopati. Dari pasien yang mengalami orbitopathy tiroid, sekitar 80% adalah
hypertiroid secara klinis dan 20% adalah eutiroid secara klinis.
Graves oftalmopati lebih sering terjadi pada wanita umumnya kulit putih (rasio 5 : 1)
antara usaia 30 sampai 50 tahun. Exophtalmus berat dan neuropati optik kompresif agak lebih
sering terjadi pada pria berusia lanjut. Hal ini menunjukan penyakit tiroid pada perokok relatif
lebih beresiko mengalami graves oftalmopati dua kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, tetapi kemungkinannya adalah
penurunan imunosupresi pada perokok dapat menyebabkan peningkatan ekspresi pada proses
imun.
Orbitopati yang dikaitkan denga tiroid (TAO) merupakan suatu gangguan peradangan
autoimunitas yang penyebabnya masih belum diketahui. Namun tanda-tanda klinis merupakan
suatu karakteristik dan mencakup kombinasi dari retraksi kelopak mata, proptosis, miopati
ekstraokuler restriktif dan neuropati optik.
Robert Graves pada tahun 1835 pertama kali melaporkan tiga penderita dengan
palpitasi, struma dan adanya eksoftalmus. Adanya kelainan mata yang menyertai
hipertiroidisme mempunyai arti penting, oleh karena hampir 100%, khususnya pada penderita
dewasa muda adalah penderita penyakit Graves. Istilah oftalmopati mempunyai arti yang luas
yaitu mencakup semua kelainan mata yang dapat menyertai hipertiroidisme. Beberapa istilah
dapat dijumpai dalam kepustakaan sehubungan dengan oftalmopati pada hipertiroidisme
seperti oftalmopati tiroid, oftalmopati Graves, penyakit mata tiroid, dan akhir-akhir ini
digunakan juga nama oftalmopati terkait tiroid (thyroid associated ophthalmopathy). Istilah
oftalmopati Graves lebih sering dipakai oleh karena sebagian dari oftalmopati ditemukan pada
penderita Graves. Hanya sebagian kecil saja dapat dijumpai pada hipertiroidisme non Graves
dan pada tiroiditis Hashimoto.
Sebagian besar dari penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam oleh
karena keluhan-keluhan kardiovaskular, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT oleh
karena benjolan di leher yang jelas dan sebagian kecil mengunjungi ahli mata akibat kelainan
mata khususnya eksoftalmus. Mengingat sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi
ahli penyakit dalam, khususnya mereka yang berkecimpung di bidang endokrinologi, sudah
selayaknya apabila oftalmopati Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai
yang terberat.
BAB II
PEMBASAHAN
I. KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid berfungsi mensintesis tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3).
Thyrotropin hipofisis mengatur produksi hormon tiroid. Sintesis dan sekresi TSH
dirangsang oleh Thyrotropin-releasing hormone (TRH), yang disintesis oleh hipotalamus
dan disekresi ke dalam pembuluh darah portal hypophyseal diangkut ke kelenjar hipofisis
anterior. T4 serum memodulasi konsentrasi sekresi kedua TRH dan TSH dengan cara
klasik loop umpan balik negatif.
T4 ini sebagian besar beredar terikat untuk T4-binding globulin (TBG). T4
deiodinated dalam jaringan perifer untuk T3, semakin banyak hormon tiroid bioaktif. T3
membawa 3-4 kali potensi metabolik T4, bebas masuk sel, dan berikatan ke reseptor
hormon ke dalam sel inti. Hormon tiroid memberikan efek mendalam pada pengaturan
transkripsi gen. Sebagian besar gejala klinis tindakan hormon tiroid meliputi diferensiasi
dan pemeliharaan SSP massa otot. Hormon tiroid juga mengontrol pertumbuhan tulang
dan diferensiasi dan metabolisme karbohidrat, lemak, dan vitamin.
Dalam kelenjar tiroid, iodida yang terperangkap, diangkut, dan terkonsentrasi di
lumen folikular untuk sintesis hormon tiroid. Sebelum terjebak, iodida dapat bereaksi
dengan residu tirosin, itu harus teroksidasi oleh thyroidal peroksidase. Tirosin Iodination
dari bentuk mono-iodotyrosine dan di-iodotyrosine. Dua molekul di-iodotyrosine
bergabung menjadi T4, dan satu molekul mono-iodotyrosine menggabungkan dengan
satu molekul di-iodotyrosine untuk membentuk T3. Hormon tiroid yang terbentuk
disimpan didalam thyroglobulin dalam lumen dari folikel tiroid sampai rilis. TSH
merangsang pengambilan dan organification dari iodida serta pembebasan dari T4 dan T3
dari thyroglobulin.
Fungsi utama hormon tiroid (T4 dan T3) adalah mengendalikan aktifitas
metabolik seluler. Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu umum dengan
mempercepat proses metabolisme. Efeknya pada kecepatan metabolisme sering
ditimbulkan oleh peningkatan kadar enzim-enzim spesifik yang turut berpengaruh dalam
konsumsi oksigen, dan oleh perubahan sifat responsif jaringan terhadap hormon lain.
II. DEFINISI
Graves Oftalmopati juga dikenal dengan Tyroid Associated Ophtalmopathy
(TAO), penyakit mata tiroid, dan penyakit Basedow’s (dalam bahasa Jerman), orbitopaty
dystiroid, orbitopaty tiroid adalah gangguan inflamasi autoimun dengan pencetus yang
berkesinambungan. Dengan gambaran klinis karakteristiknya satu atau lebih gambaran
berikut retraksi kelopak mata, keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata (lid lag), proptosis, myopati ekstraokuler retriksi dan neuropaty optik progresif.
Orbytopaty terkait dengan tiroid secara dasar dijelaskan sebagai bagian trias
penekanan panyakit graves dimana termasuk tanda orbita tersebut, hipertiroidisme, dan
mixedema pretibial secara tipikal dihubungkan dengan graves hipertiroid. TAO juga bisa
terjadi dengan hiroiditis Hasimoto (immune terinduksi atau tanpa adanya disfungsi
tiroid). Arah perjalanan oftlamopati tidaklah selalu bermakna paralel pada aktivitas
kelenjar tiroid atau penatalaksanaan kelainan tiroid.1,2
III. EPIDEMIOLOGI
Sudah dapat dipastikan bahwa walaupun oftalmopati sering dijumpai bersamaan
dengan penyakit Graves, defek respons imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit
Graves. Sasaran respon imun pada oftalmopati ialah otot ekstra-orbital dan mungkin
kelenjar lakrimal, sedangkan TSI pada penyakit Graves ialah sel-sel folikel tiroid. Sampai
saat ini masih merupakan pertanyaan apakah oftalmopati merupakan bagian dari penyaki
Graves, ataukah keduanya merupakan dua keadaan yang terpisah tetapi sering ditemukan
bersamaan dengan tingkat berat yang berbeda.1,2
Manifestasi klinis dari oftalmopati Graves disebabkan oleh karena bertambahnya
jaringan otot ekstra-okuler dan jaringan lemak retrobulber. Bertambahnya volum
jaringan retrobulber akan meningkatkan tekanan retrobulber, yang apabila terlalu
meningkat akan mendorong bola mata kedepan dan terjadilah eksoftalmus. Pada
pemeriksaan fisik, sekitar 50% dari penderita penyakit Graves disertai dengan berbagai
tingkat kelainan mata atau oftalmopati.3,4
Dengan pemeriksaan ultrasonografi atau CT - scan ternyata bahwa sekitar 98%
pada penderita penyakit Graves ditemukan penebalan otot mata ekstra-okuler. Oleh
karena itu prevalensi oftalmopati Graves sangat tergantung cara kita melakukan
penelitian, dengan atau tanpa alat bantu.5,6
Tidak ada korelasi antara beratnya kelainan mata dan tingkat kelainan fungsi
tiroid. Bahkan sekitar 10-20% penderita dengan oftalmopati yang jelas, dijumpai pada
mereka tanpa tanda hipertiroidisme klinis maupun laboratorium. Dari 127 penderita
dengan kelainan mata yang dilaporkan oleh Wiersinga 77% ditemukan pada penyakit
hipertiroidisme Graves, 20% pada keadaan eutiroidisme, bahkan 2% pada hipotiroidisme.
Dari jumlah penderita tersebut, dilihat hubungan manifestasi klinik oftalmopati dan
kejadian hipertiroidisme, tampak bahwa 39,4% oftalmopati ditemukan bersamaan dengan
hipertiriodisme, 19,6% kelainan mata mendahului hipertiroidisme, dan 41,0% kelainan
mata ditemukan setelah adanya hipertiroidisme. Walaupun oftalmopati Graves dapat
ditemukan pada semua umur, tetapi oftalmopati berat lebih sering ditemukan pada umur
tua.2,7,8
IV. Etiologi
Beberapa keadaan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit oftalmopati Graves
yaitu:
- Perlangsungan hipertiroidisme yang berat dan lama
- Pengobatan dengan I 131 dapat memperburuk oftalmopati yang sudah ada
- Merokok
Penelitian kahir-kahir ini membuktian bahwa merokok merupakan salah satu
prediktor penting bukan hanya terhadap perjalanan oftalmopati tetapi juga
terhadap respons obat immunomodulator. Dari suatu penelitian sekitar 70% dari
mereka yang merokok mengalami respons buruk baik dengan terapi
glukokortikoid maupun radioterapi.
- Pengobatan kelainan mata yang terlambat atau tidak tepat
- Mereka dengan titer TsH yang tinggi
- Polimorphism genetik (CTLA-4 A/G)
- Anatomi orbita yang sempit
a. Pada penderita graves terdapat sel limfosit T yang berlebihan dan sensitive terhadap
preparat tiroid (antigen)
b. Sel limfosit pada penderita penyait graves mampu memproduksi LATS-IgG non
spesifik, sehingga diduga terdapat interaksi antara limfosit T dan B dalam
memproduksi IgG. Selain itu, dari sumber lain dijelaskan sebagai berikut :
Pemicu untuk auto-produksi antibodi tidak diketahui. Tampaknya ada sebuah genetik
predisposisi untuk penyakit Graves, menunjukkan bahwa beberapa orang lebih rentan
daripada orang lain untuk mengembangkan mengaktifkan antibodi reseptor TSH
karena penyebab genetik. HLA DR (terutama DR3) tampaknya memainkan peran
penting.
V. PATOGENESIS
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pada jaringan ikat di dalam
rongga mata. Jaringan ikat dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik sehingga bola
mata terdorong keluar dan otot mata terjepit. Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat
menyebabkan rusaknya bola mata akibat keratitis. Gangguan faal otot mata yang
menyebabkan strabismus.
Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh reaksi inflammatory
sel mononuklear, ini khas tetapi tidak ada arti terbatas, suatu mekanisme penyakit
immunologi. Endapan dari glycosaminoglikan (GAGs) seperti asam hyaluronad
bersamaan dengan edema intertisial dan sel inflamatory dipertimbangkan menjadi
penyebab dari pembengkakan berbagia jaringan di orbita dan disfungsi otot ekstraokuler
pada tiroid oftalmopati. Pembengkakan jaringan orbita menghasilkan edema kelopak
mata, khemosis, proptosis, penebalan otot ekstraokuler dan tanda lain dari tiroid
oftalmopati. Berikut ini skema dari patogenesis graves oftalmpati.4,8
Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secara langsung melawan antigen pada sel-
sel folikular tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblast tibial dan pretibial (dan
mungkin myosit ekstraokular). Bagaimana lymfosit ini datang secara langsung
melawan self antigen. Penghapusannya oleh sistem imun tidak diketahui secara pasti.
Kemudian sel T menginfasi orbita dan kulit pretibial. Interaksi antar CD4 T sel yang
teraktifasi dan fibroblast menghasilkan pengeluaran sitokin ke jaringan sekitarnya,
khususnya interferon-interleukin-1 dan TNF.
Sitokin-sitokin ini atau yang lainnya kemudian merangsang ekspresi dari protei-
protein immunomodulatory (72 kd heat shock protein molekul adhesi interseluler dan
HLA-DR) di dalam fibroblas orbital seterusnya mengabadikan respon autoimun pada
jaringan ikat orbita.
Lebih lanjut, sitokin-sitokin khusus (interferon-interleukin-1, Transforming Growth
Factor, dan insulin like growth factor 1) merangsang produksi glycosaminoglikan
oleh fibroblast kemudian merangsang proliferasi dan fibroblast atau keduanya, yang
menyebabkan terjadinya akumulasi glycosaminoglikan dan edema pada jaringan ikat
orbita. Reseptor tyrotropin atau antibosy yang lain mempunyai hubungan biologik
langsung terhadap fibroblast orbital atau miosit. Kemungkinan lain, antibodi ini
mewakili ke proses imun.
Peningkatan volume jaringan ikat dan pengurangan pergerakan otot-otot ekstraokuler
dihasilkan dari stimulasi fibroblast untuk menimbulkan manifestasi klinis oftalmopaty.
Proses yang sama juga terjadi di kulit pretibial akibat pengembangan jaringan ikat
kulit, yang mana menyebabkan timbulnya pretibial dermopathy dengan karakteristik
berupa nodul-nodul atau penebalan kulit.
VI. KLASIFIKASI
Pada tahun 1960 Dr. Sidney C. Werner, seorang internis-endokrinologis, pertama-
tama memperkenalkan klasifikasi kelainan mata pada penyakit Graves yang terdiri atas
dua kelas yaitu oftalmopati non-infiltratif dan infiltratif. Bentuk infiltratif untuk jenis
kelainan mata yang berat sedang non-infiltratif untuk kelainan mata yang ringan.
Klasifikasi ini kurang memuaskan oleh karena bentuk yng berat sangat bervariasi dari
yang ringan sampai yang paling berat seperti oftalmopati maligna yang membutuhkan
tindakan pengobatan segera.
Pada tahun 1969 kembali Werner membuat klasifikasi yang lebih terinci.
Klasifikasi ini kemudian dikenal sebagai klasifikasi kelainan mata tiroid dari Werner,
suatu sistem skor indeks oftalmopati untuk memungkinkan evaluasi kuantitatif tingkat
keganasan oftalmopati dari masing-masing kelas. Oleh karena kemudian diakui oleh
American Thyroid Association (ATA) maka dikenal juga sebagai klasifikasi kelainan
mata dari ATA (tabel 1). 3
Klasifikasi Werner ATA terdiri atas dua bagian yaitu bentuk singkatan (abridged
classifiacation) dan bentuk terinci (detailed classification). Bentuk singkatan disebut juga
bentuk NO SPECS yang merupakan singkatan dari setiap huruf pertama dari tiap kelas.
Selain singkatan ini mudah diingat, juga dapat sangat membantu dalam klasifikasi oleh
karena NO ( N = no, O = only) menunjukkan kelas nol dan kelas I yang tidak berbahaya
atau bentuk non-infiltratif sedang SPECS bentuk infiltratif yaitu kelas II - IV. Pada tahun
1977 ATA diketuai oleh Werner sendiri yang melakukan modifikasi pada klasifikasi
1969. Pada klasifikasi 1969 kelas I atau only signs termasuk di dalamnya ialah proptosis
atau eksoftalmos tanpa keluhan. Pada klasifikasi 1977 proptosis dengan ataupun tanpa
keluhan dimasukkan ke kelas III (9) (tabel 2). Klasifikasi ini sampai saat ini dipakai oleh
para internis / endokrinologis maupun oftalmologis.
CLASS GRADE SUGGESTIONS FOR GRADING
0 No physical signs or symptoms
I Only signs
II
0
a
b
c
Soft-tissue involvement with symptoms and signs
Resistance to retrodisplacement of eye
Edema of conjunctiva/caruncle
Lacrimal gland enlargement
Injection of conjunctiva, focal or diffuse
Edema of lids
Fullness of lids
Absent
Minimal
Moderate
Marked
III0abc
Proptosis 3 mm or more in excess of upper normal limit, with or without symptoms Absent 3-4 mm increase over upper normal 5-7 mm increase 8 mm increase
IV0abc
Extraocular muscle involvement; usually eith diplopia; other symptoms, and other signs Absent Limitation of motion, and of gaze Evident restriction of motion Fixation of a globe or globes
V0abc
Corneal involvement (primarily caused by lagophthalmos) Absent Stippling of cornea Ulceration Clouding, necrosis, perforation
VI0a
bc
Slight loss causedd by optic nerve involvement Absent Disc pallor or choking, or visual field defect; acuity, 6/6 (20/20) – 6/18 (20/60) Same, acuity 6/22 (20/70) – 6/60 (20/200) Blindness (failure to perceive light), acuity less than 6/60 (20/200)
Manifestasi klinis tiap kelas
Mengenal kelainan mata pada tiap kelas tidaklah terlalu sulit. Dengan sedikit
latihan ditambah dengan peralatan eksoftamometer Hertel(nilai normal: 20 mm pada ras
Caucasia, 18 mm pada ras Cinae, dan 22 mm pada kulit hitam), pemeriksaan ketajaman
penglihatan dan funduskopi maka semua kelainan mata pada tiap kelas dapat didiagnosis.
Khususnya mengenai eksoftalmus atau proptosis harus dilakukan pengukuran untuk
mengetahui dengan pasti
1. Kelas I
Karena tidak ada keluhan maka sering lebih cepat diketahui oleh orang lain
atau dokter dari pada si penderita sendiri. Tanda paling sering pada kelainan ini ialah
retraksi palpebra superior atau disebut tanda Dalrymple. Pada orang normal apabila
mata melihat lurus ke depan maka palpebra superior akan melintas diatas baian atas
limbus (antara jam 10 sampai 2 ), sehingga bagian atas sklera akan tidak terlihat.
Menurut pengalaman kami tanda Dalrymple ini sering tidak simetris antara kedua
mata, satu mata biasanya lebih menonjol. Selain tanda Dalrymple, akibat retraksi
palpebra superior sering ditemukan juga fenomena “lid lag” atau tanda von Graefe.
Perlu kiranya diingat bahwa pada keadaan retraksi palpebra yang mencolok, mata
akan tampak melotot (stare) dan gambaran demikian sering disalah tafsirkan sebagai
eksoftalmus, suatu penilaian yang salah.
2. Kelas II
Pada kelainan kelas II, yang mencolok ialah keikutsertaan kelainan jaringan
lunak baik palpebra, konjunktiva maupun kelenjar lakrimal. Keluhan-keluhan yang
biasa ditemukan ialah lakrimasi berlebihan, perasaan berpasir pada mata, fotofobi, rasa
penuh pada palpebra atau pada seluruh mata. Keluhan-keluhan ini bisa sangat ringan
sehingga pada anamnesis harus ditanyakan dengan baik. Tanda yang paling sering kita
jumpai ialah edema pada palpebra superior, khususnya pada bagain temporal sehingga
menyerupai palpebra petinju. Edema dan injeksi pembuluh darah pada konjunktiva
sampai kemosis, dan kelenjar lakrimal yang membengkak.
3. Kelas III
Tanda penting pada kelas III ialah eksoftalmus atau proptosis. Untuk mengetahui
adanya proptosis dan untuk menyingkirkan salah tafsir dengan mata melotot akibat
retraksi palbepra superior (stare gaze atau apparent exophthalmus), sebaiknya diukur
dengan eksoftalmometer. Di dalam kepustakaan Barat disebut proptosis apabila
penonjolan bola mata > 22 mm, atau perbedaan antara kedua mata > 2 mm, walaupun
penonjolan tidak mencapai 22 mm, misalnya mata kanan 20 mm, mata kiri 17 mm.11,12
4. Kelas IV
Kelainann mata kelas IV didasarkan pada terjadinya kelainan otot mata eksterna.
Otot mata yang paling sering terganggu ialah otot mata rektus inferior, sehingga yang
ditemukan ialah hambatan pada melihat keatas dan ke lateral. Diduga kelainan otot
mata eksterna disebabkan oleh proses radang sehingga mengurangi elastisitas otot.
Apabila tidak segera diobati dapat terjadi fibrosis, ini merupakan alasan mengapa
prednison harus segera dimulai.11,13
5. Kelas V
Kelainan mata kelas ini ditandai oleh kelainan pada kornea berupa kornea
kering, keratitis dan ulserasi, sampai perforasi. Kelainan kornea disebabkan oleh trias
retraksi palpebra superior, tidak dapat mengangkat bola mata dan eksoftalmus.
6. Kelas VI
Kelainan mata kelas VI ditandai oleh keikutsertaan saraf optik, berupa edema
papil, papilitis, neuritis retrobulbar.
VII. MANIFESTASI KLINIS
Evaluasi pasien tergantung pada keadaan klinis. Pasien yang datang dengan
orbitopati tiroid bisa dengan atau tanpa diagnosis penyakit grave. Pasien yang datang
dengan proptosis bilateral atau unilateral yang didiagnosis kemungkinan graves
oftalmopati tetapi penyakit orbital lainnya harus disingkirkan. Terakhir pasien dengan
kondisi tertentu yang diketahui berkaitan dengan penyakit tiroid seperti keratitis limbik
superior atau myasthenia gravis dan diikuti dengan mendeteksi tanda-tanda awal dari
graves oftalmopati.
Gejala dan Tanda
- Retraksi kelopak mata dan edema kelopak mata, nyeri orbital
Retraksi kelopak mata bagian atas sering merupakan salah satu tanda terjadinya
TAO, muncul secara unilateral atau bilateral pada sekita 90% pasien. Retraksi
kelopak mata bagian atas pada graves oftalmopati dapat disebabkan karena
tindakan berlebihan dari adrenergik dari otot muller atau pada fibrosis dan
pemendekan fungsional otot levator. Retraksi kelpak mata bagian atas pada
penyakit graves memiliki karakteristik kilauan temporal dengan jumlah sklera
yang banyak terlihar secara lateral dibandingkan secara merata.3
- Diplopia (17,5% )
Diplopia disebabkan karena fibrosis otot okuler mencegah ekstensi penuh
ketika otot antagonisnya berkontraksi. Dengan demikian, penglihatan ganda
paling sering ditemukan ketika pasien mencoba melihat keatas atau keluar karena
otot yang terpengaruh ini mengikat mata, menyebabkan pergerakan yang tidak
sempurna dan ketidaksejajaran.3,8
- Lakrimasi atau fotofobia (15-20% )
- Penglihatan kabur (75%). Penurunan daya penglihatan yang disebabkan oleh
neuropati optik muncul kurang dari 2% mata saat diagnosis TAO.8
- Proptosis
Graves ophtalmopaty merupakan penyebab paling umum dari proptosis
bilateral dan unilateral mempengaruhi sekitar 60%. Biasanya proptosis pada
graves oftalmopati adalah bilateral mungkin juga asimetris.3,7
Pasien yang diduga mengalami penyakit mata tiroid harus diperiksa
eksophtalmusnya dengan menggunakan eksohtalmometer hertel. Pada proptosis
berat, penutupan kelopak mata yang tidak sempurna dapat menyebabkan
kekeringan kornea disertai ketidaknyamanan dan penglihatannya menjadi buram.
- Mixedema pretibial dan acropachy menyertai TAO sekitar 4% dan 1% dari pasien
secara berurutan dan juga dikaitkan dengan prognosis yang buruk untuk
orbitopaty.
- Myastenia gravis muncul kurang dari 1%.
- Myopaty Ekstraokuler
Myopaty ekstraokuler restriktif tampak jelas pada 40% pasien. Pembesaran
otot ekstraokuler sering membatasi rotasi okuler. Secara klinis, otot rectus inferior
biasanya terlibat diikuti rectus lateral dan rectus superior.6,7
- Neuropaty Optic (<5%)
Kebanyakan kasus neuropaty optik disebabkan karena penekanan saraf optik oleh
pembesaran otot ekstraokuler pada apex orbital. Disfungsi saraf optik biasanya
memberikan gangguan penglihatan (kabur, redup, dan penglihatan gelap),
penurunan akuitas snellen, penglihatan warna dan sensitivitas kontras, juga
hilangnya penglihatan peripheral.3,7,9
VIII. PEMERIKSAAN
1) Tes fungsi tiroid, termasuk serum T3, T4, TSH dan perkiraan dari iodine radioaktif.
2) Bidang visual / penglihatan, dilakukan pada semua pasien yang diduga mengalami
neuropati optik dan berguna ketika menyertai pasien setelah permulaan
penanganan.
3) Ultrasonografi, dapat mendeteksi perubahan pada otot ekstraokuler yang terjadi
pada kasus kelas 0 dan kelas 1 dan membantu diagnosis yang cepat. Disamping
dari ketebalan otot, erosi dinding temporal dari orbita, penekanan lemak pada
retroorbita dan inflamasi perineural dari saraf optik dapat juga diperlihatakan pada
beberapa kasus cepat.
4) Tomografy komputer, dapat terlihat proptosis, otot lebih tebal, saraf optik menebal
dan prolaps anterior dari septum orbital (termasuk kelebihan lemak orbital dan /
atau pembengkakan otot)
5) MRI, beberapa pihak beranggapan MRI sebagai modalitas yang paling baik untuk
melihat neuropati optik kompresif yang masih ringan.
IX. DIAGNOSA BANDING
Pemeriksaan klinis dimana kemungkinan dari orbitopattiroid sering diabaikan
termasuk iritasi okuler, lakrimasi, dan retraksi kelopak mata minimal pada orbitopati
awal. Orbitopaty tiroid dapat dikaburkan dengan kelumpuhan oblique superior terlihat
pada myastenia gravis. Ketika orbitopati tiroid muncul sebagai peradangan orbital akut
maka harus dibedakan dari myositis, cellilitis orbital atau skleritis. Myositis tampak lebih
unilaterla, melibatkan otot tunggal dengan keterlibatan tendon yang tampak pada
ultrasonografi atau CT.3
Orbitopaty tiroid dapat muncul sebagai proptosis dan CT dapat menunjukkan satu
atau lebih otot. Sejauh ini penyebab yang paling umum dari pembesaran otot ekstraokuler
pada CT adalah penyakit tiroid. Penyebab lain termasuk invasi tumor primer atau lokal
termasuk limfoma, rhabdomiosarkoma, meningioma (26%), myositis (25%), tumor
metastasis (20%).3
X. DIAGNOSIS
Diagnosis oftalmopati Graves pada umumnya mudah dilakukan apabila ditemukan
bersamaan dengan adanya hipertiroidisme. Akan menjadi kesulitan apabila kelainan mata
ditemukan pada seseorang tanpa adanya gejala klinis hipertiroidisme, dan akan lebih sulit
lagi apabila kelainana mata hanya unilateral, dan hasil pemeriksaan laboratorium fungsi
tiroid dalam batas normal. Walaupun kelainan mata umumnya disebabkan oleh penyakit
tiroid, perlu diingat juga penyebab lainnya seperti tumor belakang mata. Pada keadaan
demikian pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan CT-scan mata akan membantu
apabila ditemukan adanya penebalan otot mata.ekstra-okuler. Pemeriksaan yang baru
seperti OctreoScan, cara scintigrafi dengan menggunakan radiolabel octreotide - pada
oftalmopati Graves baru dikembangkan dengan tujuan untuk menentukan jenis
pengobatan bahkan untuk memprediksi keberhasilan pengobatan masih dalam taraf
penelitian.
Diagnosis dibuat apabila terdapat 2 dari 3 tanda berikut ini:
1. Mendapat penanganan dengan terapi immune yang berkaitan dengan disfungsi tiroid
(satu atau lebih dari tanda berikut)
Graves hipertiroidisme
Hashimoto tiroiditis
Adanya antibosy tiroid dalam sirkulasi yang tidak didukung stadium dystiroid
(memberikan pertimbangan sementara), antibody TSH reseptor (TSH-R),
ikatan tiroid-immunoglobulin inhibitor (TBH), tiroid stimulating
immunoglobulin (TSI), antibody antimikrosom.
2. Tanda typikal dari orbital (satu atau lebih dari tanda di bawah ini)
Retraksi kelopak mata unilateral atau bilateral dengan flare temporal typikal
(dengan atau tanpa lagoftalmus)
Proptosis bilateral (sebagai bukti perbandingan gambaran pasien tua)
Strabismus restriksit sebagai pola typikal
Penekanan neuropty optik
Edema kelopak mata fluktuasi/erytema
Khemosis / edema karunkula
3. Gambaran radiografi / TAO unilateral atau bilateral dengan adanya pembesaran (dari
satu atau lebih di bawah ini)
Otot rectus medial
Otot rectus inferior
Otot rectus superior / kompleks levator
Jika hanya tanda orbital yang muncul, pasien harus diamati secara
berkesinambungan untuk penyakit-penyakit orbita lain dan perkembangan ke depan dari
stadium distyroid.
XI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan graves oftalmopati adalah penatalaksanaan untuk hipertiroidisme
sendiri yang mutlak dilakukan dan penatalaksanaan terhadap kelainan mata / oftalmopati.
Penatalaksanaan oftalmopati terdiri atas pengobatan medis, operasi, dan penyinaran.7,9,10
1) Medika mentosa
Pada keadaan ringan bisa menunggu sampai keadaan eutiroid tercapai, dimana
pada sebagian besar penderita akan mengalami perbaikan, walaupun tidak merupakan
perbaikan total. Orbitopati fase akut menonjolkan neuropati optik kompresif biasanya
ditangani dengan kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison.
Dosis ini dipertahankan selama 2 hingga 4 minggu sampai respon klinis dirasakan.
Dosis kemudian dikurangi sesuai dengan kemampuan pasien, berdasarkan respon
klinis dari fungsi saraf optik.
Walaupun efekstif pada pembalikan kompresi saraf optik prednison pada tahap
ini tidak ditoleransi dengan baik. Pada kasus yang berat kortikosteroid masih
merupakan pilihan pertama baik oral, suntikan IV (methylprednisolon), suntikan
periorbital triamcinolon. Beberapa obat imunosupresif juga telah dicoba pada kasus
berat seperti cyclosporine, azatioprin, siklofosfamid. Cyclosporin digunakan
bersamaan dengan kortikosteroid diberikan sebagai pencegahan memburuknya
oftalmopati pada penderita yang akan mendapat pengobatan I 131 telah dilaporkan
lebih unggul dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid tunggal saja.10
2) Radiasi
Seperti kortikosteroid terapi radiasi paling efektif dalam tahun pertama ketika
perubahan fibrotik yang signifikan belum terjadi. Iradiasi retrobulber (tidak boleh
pada penderita diabetes melitus) sering diakukan pada penderita oftalmopati Graves
yang aktif dengan protrusis yang berat. Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien
memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25%
pasien. Perbaikan diharapkan selama 2 minggu hingga 3 bulan setelah terapi radiasi
tetapi dapat berlanjut hingga 1 tahun.3
3) Operasi
Sekitar 20% pasien dengan TAO mengalami penanganan bedah. Suatu
tinjauan, 7% pasien menjalani dekompresi orbital, 9% pembedahan strabismus dan
13% pembedahan kelopak mata. Hanya 2,5% yang membutuhkan semua 3 tipe
pembedahan. Laki-laku dan pasien usia lanjut tampaknya lebih sering mengalami
orbitopati berat yang membutuhkan intervensi bedah. Pembedahan harus ditunda
hingga penyakit telah stabil, kecuali jika intervensi daruraut dibutuhkan untuk
membalikkan hilangnya responsive pada pengukuran medis maksimal. Pembedahan
strabismus dan perbaikan retraksi kelopak mata biasanya tidak dipertimbangkan
hingga keadaan eutiroid telah dipertakan dan tanda-tanda optalmik dikonfirmasi stabil
selama 6-9 bulan.7
Berbagai jenis operasi yang dilakukan pada penderita dengan graves
otalmopati. Dekompresi orbital khusus untuk proptosis berat, operasi otot mata untuk
memperbaiki adanya diplopia, operasi kelopak mata untuk kepentingan kosmetik.
4) Lain-lain
Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati tidak menjadi
lebih berat. Kontol penyakit tiroid merupakan langkah pertama, dan pasien merokok
sebaikny ditekankan untuk berhenti merokok. Oleh karena merokok ternyata
memperburuk oftalmopati. Pada mereka dengan proptosis sebaiknya harus diproteksi
misalnya dengan kacamata, atau cairan tetes ta khusus agar kornea selalu basah
(artificial teas).10
XII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin ditimbulkan antara lain:
- Ulkus kornea
- Penurunan visus
- Myopaty ekstraokular
- Neuropaty optik
- Strabismus
- Diplopia
- Keratitis
XIII. PROGNOSIS
Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi oleh beberapa faktor dan usia
juga berperan penting. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki penyakit yang
ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa
manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering menyebabkan perubahan struktur
disebabkan oleh karena gangguan fungsional dan juga merubah gambaran kosmetik.
Diagnosis dini orbitopaty dan laporan pasien dengan resiko berat, progresifitas
penyakit diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses penyakit dan
mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakit dan
mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu lama.
BAB III
PENUTUP
Walaupun oftalmopati Graves sering ditemukan bersamaan dengan penyakit Graves,
sampai saat ini patogenesis oftalmopati belum jelas benar. Bukti - bukti menunjukkan bahwa
efek respons imun pada oftalmopati berbeda dari pada penyakit Graves. Berbagai kelainan
mata dapat terjadi, dari yang paling ringan sampai yang berat. Kelainan-kelainan tersebut oleh
American Thyroid Association diklasifikasikan dalam enam kelas yang ditulis secara singkat
sebagai NO SPECS.
Kelainan mata kelas II - IV disebut juga bentuk infiltratif yang perlu dikenal dengan
baik, oleh karena kelainan mata ini dapat cepat memburuk sehingga pengobatan intensif perlu
segera diberikan. Eksoftalmus perlu diukur, selain untuk memastikan, juga untuk pengamatan
lanjut apakah membaik atau memburuk setelah mendapat terapi. Retraksi palpebra superior,
oftalmoplegi dan eksoftalmus merupakan penyebab terjadinya kelainan kornea. Edema papil
dengan penurunan visus berat sebagai tanda kelainan saraf optik, merupakan gambaran klasik
kelas VI.
Penatalaksanaan terdiri atas penatalaksnaan untuk hipertiroidisme dan khusus untuk
oftalmopati. Penatalaksanaan untuk oftalmopati terdiri atas medikamentosa, iradiasi
retrobulber, dan tindakan pembedahan. Kortikosteroid masih merupakan pilihan pertama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gossage AAR, Munro DS: The pathogenesis of Graves disease. Clinics in
Endocrinology and Metabolism 14:199, 1985.
2. Kendall-Taylor P: The pathogenesis of Graves disease. Clinics In Endocrinology and
Metabolism 14:331-346, 1985.
3. Adam Sampelan MJ, Adam JMF : Tiroid oftalmopati, penelitian pada 32 penderita
hipertiroid. Opthalmologica Indonesia 13:1-4, 1984
4. Jacoson H, Gorman CA: Diagnosis and management of endocrine ophthalmopathy.
Med Clin N. Amer 68:973-984, 1985.
5. Forrester J, Sutherland GR, McDougall IR: Dysthyroid ophthalmopathy Orbital
evaluation with B-scan ultrasonography. J. Clin Endocrinol Metab. 45:221-4, 1977.
6. Werner SC, Coleman DJ, Frauzen LA: Ultrasonographic evidence of a consistent
orbital involvement in Graves disease. N Engl. J. Med. 290:1447-50. 1974.
7. Wiersinga WM, Smit T, Vander Gaag R, Koornneef L. Temporal relationship between
onset of Graves opthalmopathy and onset of thyroid Graves disease. J Endocrinol
Invest 1988; 11: 615-9.
8. Van Dijk HJL: Orbital Graves disease. A modification of the NO SPECS
classification. Ophthalmology 488:479-483, 1981.
9. Wiersinga WM, Smit T, van der Gaag R, Koornneef L. Clinical presentation of
Graves ophthalmopathy.Ophthalmic Res 1989; 21:73-82.
10. Day RM: Eye Changes. Clinical manifestation. In Thyroid, a fundamental and clinical
text. Eds. Sidney C. Werner, Sidney H. Ingbar, 4th ed. Harper & Row Pub.
Hagerstown, 676-79.
11. Gorman GA: The presentation and management of endocrine ophthalmopathy. Clinics
in Endocrinology and Metabolism 7:67-89, 1978.
12. Werner SC, Medical treatment. In Sidney C Werner and Sidney H. Ingbar (eds) : The
Thyroid, a fundamental and Clinical text. Hagerstown, Harper & Row Pub. 1987, 676-
9.
13. Ebner R, Devoto MH,Weil D, Bordaberry M, Mir C, Martinez H, Bonelli L,
Niepomniszeze H. Treatment of thyroid associated opyhalmopathy with periocular
injections of triamcinolone. Br J Opthalmol 2004; 88 (11): 1380-6.
14. Hennemann G, Krenning EP (eds). Graves Ophthalmopathy. Thyroid International
1997; 3: 3-15.
Tugas:
1. Mobius Sign : ketidakmampuan seseorang untuk mempertahankan konvergensi bola mata.
2.
top related