congenital lobar emfisema
Post on 08-Aug-2015
436 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan perkembangan bronkopulmonar merupakan kasus yang
jarang ditemukan di populasi. Termasuk dalam kelainan ini ialah congenital
lobar emphysema (CLE), yaitu anomali pada perkembangan saluran
pernapasan bagian bawah yang bermanifestasi sebagai hiperinflasi satu atau
lebih lobus paru. Angka kejadian CLE yaitu 1,4-2,2% dari seluruh kelainan
kongenital. Pada 14-40% kasus CLE, ditemukan kelainan congenital lainnya,
seperti patent ductus arteriosus, ventricle septal defect dan hernia
diafragmatika.1
CLE menjadi penyebab penting distress pernafasan pada neonatus dan
sering dibutuhkan operasi sebagai terapi definitif. Diagnosis biasanya
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penemuan pada
pemeriksaan radiologi konvensional. Namun, pada beberapa kasus, diagnosis
CLE sulit ditegakkan sehingga dibutuhkan pemeriksaan diagnostik
selanjutnya, seperti CT scan, MRI dan V/Q scintigraphy.2
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding dan
penatalaksanaan dari congenital lobar emphysema. Dalam referat ini
pembahasan terutama dititikberatkan pada peranan radiologi dalam diagnosis
dan manajemen CLE.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
penyakit dan peranan radiologi dalam diagnosis CLE. Referat ini juga
merupakan salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian
Radiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang.
1
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Sistem Pernafasan
Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, diverticulum
respiratorium (tunas paru) nampak sebagai suatu tonjolan keluar dari dinding
ventral usus depan. Karena itu, epitel lapisan dalam laring, trakea, dan bronkus,
serta lapisan epitel paru, seluruhnya berasal dari endoderm. Tetapi, unsur tulang
rawan dan otot pada trakea dan paru berasal dari mesoderm splanknik yang
mengelilingi usus depan.3
Selama pemisahannya dengan usus depan, tunas paru membentuk trakea
dan dua kantong keluar di sebelah lateral, yaitu tunas bronkialis. Pada awal
minggu ke 5, masing–masing tunas ini membesar membentuk bronkus utama
kanan dan kiri. Cabang kanan kemudian membentuk tiga cabang sekunder, dan
yang sebelah kiri membentuk dua cabang sekunder, sehingga akan membentuk
tiga lobus di sisi kanan dan dua lobus di sisi kiri.3
Gambar 2.1 Perkembangan trakea dan paru. A. 5 minggu B. 6 minggu. C. 8 minggu (Sumber: Sadler, dalam Langman’s Medical Embryology)
Dengan pertumbuhan selanjutnya ke arah kaudal dan lateral, tunas paru
menembus ke dalam rongga selom. Ruangan ini agak sempit dan dikenal sebagai
kanalis perikardioperitonealis. Saluran ini ditemukan di sisi kanan dan kiri usus
depan, dan berangsur – angsur dipenuhi oleh tunas paru yang terus berkembang.
Akhirnya, kanalis perikardioperitonealis terpisah dari rongga peritoneum dan
rongga perikardium masing–masing oleh lipatan pleuroperitoneal dan lipatan
pleuroperikardial, dan ruang yang masih tersisa adalah rongga pleura primitif.
3
Mesoderm, yang meliputi sisi luar paru, berkembang menjadi pleura viseralis.
Lapisan mesoderm somatik, yang melapisi dinding tubuh dari sebelah dalam,
menjadi pleura parietalis. Ruang di antara pleura parietalis dan viseralis adalah
rongga pleura.3
Pada perkembangan selanjutnya, bronkus sekunder terus–menerus
bercabang secara dikotomi, dengan membentuk 10 bronkus tersier (segmental) di
paru kanan dan 8 di paru kiri, sehingga menciptakan segmen–segmen
bronkopulmoner paru dewasa. Pada akhir bulan ke 6, telah terbentuk lebih kurang
17 generasi anak cabang. Akan tetapi, sebelum percabangan bronkus tersebut
mencapai bentuk akhirnya, akan terbentuk 6 anak cabang tambahan pada
kehidupan pasca lahir. Sementara semua anak cabang baru ini terbentuk dan
cabang–cabang bronkus berkembang, paru–paru bergeser kedudukannya lebih ke
kaudal, sehingga pada saat lahir, bifurkasio trakea terletak berhadapan dengan
vertebra torakalis ke 4.3
Gambar 2.2 Stadium perkembangan paru (sumber: www.embryo.chronolab.com)
2.2 Anatomi Paru
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia
tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan
jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan
implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan
resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau
partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan
4
ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus.
Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.4
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap
dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia
pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus
dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transpor mukosilier ini berperan penting
dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakea dan bronkus
memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel
goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkitis kronis
yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.4
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus
distal sampai terminal: bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.
Gambar 2.3 Anatomi jalan nafas. Laring, trakea, dan bronkus tampak ventral (Sumber: Putz et al, dalam Atlas Anatomi Sobotta)
5
Gambar 2.4 Unit pertukaran udara (sumber: www.simbryo.stanford.edu)
Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut
incissura interlobaris dalam beberapa lobus pulmonis. Pulmo dekstra dibagi
menjadi 3 lobi, yaitu: 4
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius
Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal,
posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal
6
Gambar 2.5 Lobus dan segmentasi paru (sumber: Putz et al, Atlas Anatomi Manusia Sobotta)
2.3 Definisi
Congenital lobar emphysema (CLE) adalah suatu keadaan kelainan
perkembangan pada saluran nafas bagian bawah yang ditandai oleh hiperinflasi
pada satu atau lebih lobus paru yang menyebabkan distress pernafasan pada
neonatus. Sebutan lain untuk CLE termasuk congenital lobar overinflation dan
infantile lobar emphysema.5
Congenital lobar emphysema adalah keadaan patologi yang jarang
terjadi, menyebabkan hiperinflasi lobus paru, air trapping, dan mediastinum
terdorong ke arah kontralateral. CLE merupakan penyebab terbanyak terjadinya
distress pernafasan berat dan sianosis pada periode neonatus.6
2.4 Epidemiologi
CLE merupakan kelainan kongenital yang jarang ditemukan, dengan
prevalensi 1 dalam 20.000 – 30.000 kelahiran. CLE terdiagnosis pada 10 dari 70
pasien dengan kelainan kongenital paru yang ditemukan pada tahun 1970 – 1995
pada Children's National Medical Center, Washington DC. Beberapa pusat
kesehatan tersier mengobati satu atau dua kasus per tahun.7
7
Setengah dari kasus CLE ditemukan pada 4 minggu pertama kehidupan,
dan tiga perempatnya ditemukan pada neonatus yang berusia kurang dari 6 bulan.
Hanya 5% dari semua kasus yang terjadi pada usia lebih dari 6 bulan, biasanya
merupakan infeksi saluran nafas yang berulang atau ditemukan secara tidak
sengaja pada pemeriksaan rontgen toraks. Sering salah diagnosis sebagai suatu
pneumotoraks. Jika diterapi dengan thoracostomy dapat mengurangi angka
kesakitan secara signifikan.8
CLE lebih banyak terdapat pada laki–laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:1. Alasan mengapa lebih banyak pada laki–laki
dibandingkan pada perempuan masih belum diketahui. 8
CLE biasanya hanya mengenai satu lobus, dan ini biasanya pada lobus
superior paru. Frekuensi terbanyak yaitu pada lobus superior sinistra (43%) yang
kemudian diikuti dengan lobus medial dextra (32%), terakhir pada lobus superior
dextra (20%).9
2.5 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab CLE yang paling sering ditemukan ialah obstruksi pada jalan
nafas yang sedang dalam perkembangan. Hal ini terjadi pada 25% kasus.
Obstruksi jalan nafas ini dapat berupa obstruksi instrinsik ataupun ekstrinsik,
meskipun obstruksi intrinsik lebih sering ditemukan. Hal ini menyebabkan
obstruksi tipe check-valve yang menyebabkan terperangkapnya udara (air
trapping) di alveoli.10,11
Obstruksi intrinsik dapat berupa defek pada dinding bronkus, seperti
defisiensi kartilago bronkus. Pada tahun 1939, Overstreet melaporkan seorang
pasien bayi berumur 1 bulan yang meninggal akibat emfisema pada lobus superior
sinistra. Pada autopsi, ditemukan bahwa kondisi ini disebabkan oleh defisiensi
cincin kartilago pada bronkus yang terkena. Tahun 1945, Gross dan Lewis
melaporkan kasus pasien berumur 4 tahun dengan emfisema obstrutif pada lobus
superior sinistra yang juga disebabkan tidak terdapatnya cincin kartilago pada
bronkus yang dikenai.12
Keterlibatan chondromalacia cabang-cabang bronkus pada kasus CLE
diperkuat oleh penemuan Fischer dkk pada tahun 1952 dan Sloan pada tahun
8
berikutnya. Pada pasien-pasien CLE yang akan dioperasi, dilakukan bronkoskopi
yang memperlihatkan kolaps dinding bronkus pada saat ekspirasi. Binet dkk juga
menemukan atrofi dan fragmentasi kartilago bronkus utama pada 3 kasus CLE.
Dalam sebuah review, dibahas 50 kasus CLE, dan mendapatkan 50% kasus
berkaitan dengan kelainan kartilago bronkus. Hanya sedikit yang disebabkan
sumbatan mukosa atau anomali pembuluh darah.12
Berkurangnya rigiditas bronkus akan menyebabkan berlebihnya produksi
mukosa yang bersama-sama dengan bronkus yang kolaps akan berakibat
mekanisme obstruksi focal ball-valve. Anomaly bronkus congenital lain termasuk
atresia, stenosis, bronkomalasia difus, dan bronkiektasia.10,13
Obstruksi bronkus didapat disebabkan oleh mekonium, plak mucus, benda
asing, jaringan granulasi, torsi bronkus, atau lipatan mukosa bronkus
abnormal.10,13 Pada tahun 1938, Royes menemukan adanya oklusi pada 5/8
diameter lumen bronkus oleh lipatan mukosa dan menduga membran tersebut
bertindak sebagai katup yang menyebabkan CLE. Penyebab terbentuknya lipatan
mukosa tidak diketahui; diduga hal ini akibat inflamasi peribronkial, namun hanya
sedikit yang terbukti. Lipatan mukosa bronchial ini terjadi pada 13% kasus. Pada
tahun 1951, Robertson dan James melaporkan 5 kasus CLE dan yakin bahwa
penyebabnya adalah sumbatan mukosa ataupun kelemahan dinding bronkus, yang
nantinya akan menyebabkan mekanisme check-valve.12,14
Kompresi ekstrinsik dapat disebabkan beberapa kelainan struktural seperti
anomali vaskular dan masa intratorakal. Beberapa diantaranya yaitu artery sling,
anomalous venous return, kista foregut, dan teratoma. Emfisema lobus mungkin
juga disebabkan oleh kompresi pada bronkus lobus superior kiri oleh suatu PDA,
anomali arteri pulmonalis sinistra atau pembesaran kelenjar getah bening.10,15
Balonde dkk menduga bahwa situs abnormal CLE terdapat pada alveolus
itu sendiri. Mereka menemukan bahwa pada sebagian besar stroma dinding
alveoli pasien dengan CLE akan menebal. Di dalam stroma itu terdapat sel-sel
berbentuk lonjong yang melekat pada matriks fibril refraktil. Mereka
menginterpretasikan observasi mikroskopik tersebut sebagai jaringan kolagen
imatur, yang dengan pewarnaan aniline Mallory, akan terlihat berwarna biru. Paru
normal juga diteliti sebagai pembanding dan ternyata tidak ada atau hanya sedikit
9
yang berubah biru. Peningkatan jumlah jaringan penunjang ini akan menyebabkan
“alveolar fibrosis”. Selama inspirasi alveolus fibrotik ini akan meregang, namun
sewaktu ekspirasi, alveolus tersebut tidak dapat mengecil secara efektif
dikarenakan meningkatnya rigiditas alveoli sehingga terbentuk emfisema.16
CLE lebih sering mengenai lobus superior. Lobus inferior jarang terkena,
dimana kejadiannya <1%. Menurut Fischer, CLE lebih sering mengenai lobus
superior karena gaya yang bekerja pada lobus inferior lebih besar saat ekspirasi
dibandingkan pada lobus superior. Naiknya diafragma dan pergerakan muskulus
interkostalis yang lebih kuat pada bagian inferior menyebabkan udara di lobus
inferior lebih banyak dikeluarkan dan dapat melewati obstruksi parsial, sedangkan
lobus superior pergerakannya lebih pasif.16
Secara ringkas, penyebab CLE dapat dilihat pada table berikut:
A. Obstruksi bronkus ekstrinsik1. Kardiovaskular
a. Patent Ductus Arteriosusb. Aneurisma vena bronkusc. Pembuluh darah aberrantd. Kardiomegali
2. Tidak terbentuknya mediastinum3. Pembesaran kelenjar getah bening
B. Obstruksi bronkus intrinsik1. Defisiensi kartilago bronkus2. Stenosis bronkus3. Mukosa bronkus berlebih
C. Emfisema non-obstruktif1. Fibrosis alveolar
Tabel 2.1 Etiologi congenital lobar emphysema (sumber: Leape, dalam Infantile Lobar Emphysema)
2.6 Patologi
Makroskopis, lobus yang terkena akan tampak hiperekspansi dengan
parenkim yang pucat. Kelainan histologis akan bervariasi, mulai dari jalan nafas
yang berdilatasi secara seragam sampai bentuk polialveolar. Bronkus berukuran
kecil dari normal, kartilago berkurang atau tidak tampak. Pada paru normal,
kartilago ditemukan sampai pada dinding bronkus berdiameter 1 mm. Pada bentuk
alveolar, jalan nafas kecil memiliki ukuran dan bentuk yang normal namun alveoli
membesar dan bertambah banyak. Walaupun demikian, perubahan emfisematosa
10
tidak terlalu tampak pada kedua tipe, sehingga penyakit ini lebih cocok dinamai
congenital hyperinflation daripada lobar emphysema.10,14,15
Gambar 2.6 Histopatologi jaringan paru perifer pada CLE. Alveolus berdilatasi 3-10 kali normal. (sumber: Ankermann et al, dalam Congenital Masses of the Lung)
2.7 Gejala Klinis
Gejala pada CLE tergantung pada perubahan fisiologik yang disebabkan
oleh lobus yang distensi. Jika distensinya ringan dan tidak progresif, pasien
mungkin menunjukkan gejala ringan. Fungsi yang menurun dari satu lobus
mungkin akan dikompensasi oleh lobus lainnya yang masih berfungsi dengan
baik. Sayangnya, pada sebagian besar kasus, distensi unilobar biasanya progresif.
Ukurannya akan bertambah besar sehingga mendesak lobus pada sisi yang sama
dan mendorong mediastinum sehingga paru kontralateral juga terdesak.
Selanjutnya, fungsi pernafasan akan semakin memburuk dengan terdorongnya
diafragma ke bawah karena peningkatan tekanan intratorakal. Akhirnya,
pergeseran mediastinum dan peningkatan tekanan intratorakal akan menghambat
aliran balik vena ke jantung.14,17
Gejala muncul dalam hari-hari pertama kehidupan pada 50% kasus. Pada
23-30% kasus, gejala muncul saat lahir. Hampir seluruh kasus menjadi
simptomatik dalam waktu 6 bulan. Tingkat keparahan dan onset timbulnya gejala
bervariasi, tergantung pada derajat distensi parenkim. Distress pernafasan
progresif berkembang secara cepat pada beberapa bayi, sedangkan pada bayi
11
lainnya secara perlahan dan tersembunyi. Beberapa pasien bahkan asimptomatik
selama beberapa tahun.10
Berdasarkan onset munculnya gejala, Myers membagi CLE menjadi 3
tipe:18
Tipe I jika gejala muncul pada masa bayi
Tipe II jika gejala muncul pada masa anak-anak
Tipe III jika pasien asimtomatik
Leape dkk mengklasifikasikan CLE sebagai berikut:14
1. Sekitar setengah pasien menunjukkan gejala pada hari pertama atau kedua
kehidupan. Pada umumnya, pasien-pasien ini memiliki gejala yang lebih berat
dan menjalani operasi dalam beberapa minggu. Gejalanya sesuai dengan
distress pernafasan. Dispnea dan sianosis merupakan gejala yang paling
sering. Batuk dan wheezing mungkin menonjol.
2. Pada kasus yang jarang, bayi baru lahir menderita bentuk yang berat dari
panyakit ini dimana distensi lobus progresif dengan gangguan pernafasan
yang berat, dan pada akhirnya mengganggu fungsi jantung. Pasien ini akan
menderita distress berat, takipnea, dan retraksi, dan sianosis. Kadar oksigen
menurun, dan pasien ini bisa meninggal hanya dalam beberapa jam.
Lobektomi emergensi diperlukan untuk life-saving. Namun, ini merupakan
kasus yang sangat jarang.
3. Sebagian pasien lainnya tidak menunjukkan gejala sampai usia 1-4 bulan.
Gejalanya hampir sama seperti yang ditemukan pada neonatus tapi lebih
beragam dan biasanya lebih ringan. Sepertiga dari tipe ini biasanya dioperasi
1 bulan setelah onset gejala. Gejala paling sering ialah dispnea, jarang
ditemukan sianosis. Infeksi saluran nafas atas berulang atau berat badan yang
tidak kunjung bertambah, ditambah batuk dan wheezing mungkin dikeluhkan
pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nafas cuping hidung, retraksi kartilago
kostal, perkusi hipersonor pada hemitoraks yang sakit. Suara nafas melemah pada
daerah yang sakit. Ronchi terdengar pada kedua sisi paru. Apeks kordis mungkin
bergeser tergantung beratnya mediastinal shift. Terjadi penonjolan dinding dada
pada hemitoraks yang terkena dan pergerakan dinding dada terbatas. Bayi
12
mungkin mengalami infeksi saluran nafas berulang atau kurang gizi sehingga
terjadi failure to thrive. Bisa juga ditemukan batuk, wheezing, merintih, dan
apnea.10,13,16
Anomali kongenital lain bisa ditemukan bersamaan dengan CLE. Seperti
telah disebutkan, kelainan kardiovaskular paling sering yaitu pada 20% kasus, tapi
kelainan renal, gastrointestinal, muskuloskeletal dan kulit juga dapat terjadi.10
2.8 Diagnosis
Menegakkan diagnosis CLE merupakan suatu diagnostic challenge bagi
banyak klinisi. Selain jarang ditemukan, CLE juga membutuhkan diagnosis dan
tatalaksana yang cepat karena dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien.
Klinisi sering salah mendiagnosis CLE tahap awal dikarenakan butuh waktu bagi
lobus terkait untuk menampilkan gejala penekanan karena hiperaerasi. Sebagian
besar kasus muncul pada 1-10 bulan pertama kehidupan dengan jumlah kasus
tertinggi terdeteksi pada 6 bulan pertama. Gejala tersering adalah sesak nafas, baik
disertai ataupun tanpa sianosis. Dapat ditemukan pula adanya wheezing, suara
nafas yang asimetris dan pergeseran bunyi jantung pada kondisi lanjut. Tidak
adanya demam dan leukositosis pada bayi dengan kesulitan bernafas dapat
mengarahkan klinisi ke arah diagnosis ini. Penegakan diagnosis biasanya
dilakukan dengan didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan bantuan foto
toraks.19,20
Walaupun pemeriksaan darah rutin, kultur dan pemeriksaan laboratorium
lainnya bermanfaat dalam memberikan petunjuk tidak adanya infeksi, prosedur
diagnostik terpenting adalah melakukan foto roentgen dada dengan posisi
posteroanterior dan lateral. Pentingnya mendapatkan foto rontgen dada yang baik
pada anak dengan distress pernafasan tidak dapat digantikan dengan modalitas
lain. Temuan dalam pemeriksaan fisik kadang didapatkan dengan akurat pada
anak dengan dispnea dan interpretasinya sering membingungkan. Gambaran pada
film dada dapat membantu karena anak tak pernah terlalu sakit untuk melakukan
pemeriksaan roentgen. Dengan persiapan selama beberapa menit, anak dapat
dibawa keluar dari ruang perawatan dan dibawa menuju instalasi radiologi
menggunakan oksigen dengan portable tank.14
13
Pada beberapa persen kasus, diagnosis ternyata tidak dapat ditegakkan di
awal karena beberapa hal yang menghambat proses diagnosis. Klinisi terkadang
kurang memikirkan kemungkinan diagnosis CLE dan lebih mengarahkan
diagnosis ke arah emfisema menyeluruh ataupun pneumatocele. Kualitas hasil X
ray yang kurang juga dapat mengganggu proses diagnostik. Kesalahan
memposisikan pasien, exposure yang tidak adekuat dan pergerakan pasien saat
proses pengambilan foto dapat mengaburkan gambaran penting yang dibutuhkan
dalam diagnostik. Perlu dilakukan foto ulang pada keadaan tersebut. Tatalaksana
yang telah dilaksanakan sebelumnya, baik itu sesuai ataupun tidak sesuai
diagnosis, dapat mengaburkan gambaran diagnostik. Sebagai contoh, kesalahan
mendiagnosis CLE dengan pneumothoraks akan berujung pada needle
thoracentesis yang akan membingungkan gambaran radiologis.14
Gambar 2.7 Alur diagnosis CLE (sumber: Behrman et al, dalam Nelson Textbook of Pediatrics)
2.9 Pemeriksaan Radiologis
2.9.1 Foto Thorax
Gambaran radiologis pada foto thorax pasien CLE bergantung pada
usia pasien, lokasi lobus yang terkena CLE, derajat overdistensi lobus paru
dan kandungan cairan paru yang tedapat pada lobus tersebut.14
14
Gambar 2.8 CLE pada lobus medial dextra. A. Foto rontgen thorax PA menunjukkan emfisema pada lobus medial dextra. Perhatikan pergeseran mediastinum ke kiri dan lobus superior dan inferior dextra yang atelektatik. B. Pasien yang sama 11 bulan setelah lobektomi medial dextra. Tampak gambaran lapangan paru normal (sumber: Leape, dalam Infantile Lobar Emphysema)
Pada minggu pertama neonatal, lobus yang terpapar CLE akan
menunjukkan gambaran massa opaq dikarenakan retensi cairan amnion pada
bagian distal dari obstruksi. Tertumpuknya cairan pada paru berhubungan dengan
subtipe histologik polialveolar pada penderita CLE. Seiring berjalannya waktu,
cairan akan diserap oleh vaskularisasi dan sitem limfe, selanjutnya hemitoraks
yang terpapar tampak hiperlusen secara progresif.21,22
Gambaran radiografi yang didapatkan pada masa neonatal menunjukkan
hiperlusen dan overekspansi lobus dengan hemidiafragma ipsilateral tertekan dan
pergeseran mediastinum ke arah kontralateral. Derajat pergeseran mediastinum
akan meningkat saat ekspirasi. Dapat ditemukan berbagai derajat atelektasis pada
lobus ipsilateral atau lobus yang berhubungan dengan pergeseran
mediastinum.11,21,22
Kunci temuan X Ray pada CLE adalah distensi lobaris dan mediastinal
shift. Keberadaan corakan bronkovaskular, meskipun mengalami atenuasi, pada
area radiolusen menunjukkan bahwa area tersebut adalah jaringan paru. CLE
biasanya terbatas pada lobus atas dan tengah saja, tetapi pada kasus yang ekstrem
dapat ditemukan gambaran emfisematous pada seluruh paru. Juga dapat
ditemukan sebuah segitiga kecil dengan densitas yang meningkat pada batas
bawah jantung sisi ipsilateral. Gambaran tersebut menunjukkan lobus bawah yang
terkompresi dan atelektatik.14
15
Gambar 2.9 Perbandingan gambaran foto thorax CLE pada umur 1 dan 12 hari (A). Foto thorax pada usia 1 hari memperlihatkan lesi opak yang difus dan pembesaran lobus medial dextra. (B). Foto thorax pada usia 12 hari yang memperlihatkan lobus medial dextra hiperlusen dan hiperekspansi. Perhatikan pergeseran mediastinum (sumber: Donelly et al, dalam Localized Radiolucent Chest Lesions In Neonate: Causes And Differentiation)
Mediastinal shift meningkat pada ekspirasi karena lobus yang emfisema
tidak kosong. Diafragma tertekan dan akan mengalami sedikit perubahan pada
ekspirasi. Jika distensinya terlalu besar akan tampak defek pada anterior
mediastinum dan muncul herniasi lobus ke kontralateral. Foto posisi lateral akan
bermanfaat untuk menunjukkan hal tersebut.14,23
Pada foto lateral, akan tampak jantung terdorong ke posterior dengan
gambaran radiolusen luas pada retrosternal yang dapat disertai herniasi anterior
lobus paru. Lobus yang mengalami CLE tidak mengalami perubahan pada
ekspirasi ataupun posisi ipsilateral dekubitus.7
16
Gambar 2.10 CLE lobus superior dextra posisi PA. Lobus superior dextra distensi menyebabkan kolaps lobus medial dan inferior dan pergeseran mediastinum ke kiri. Corak vascular yang berkurang dan bayangan kabur lobus superior dextra mengisi hemitoraks dextra (sumber: Franken EA, dalam Infantile Lobar Emphysema: Report of Two Cases with Unusual Roentgenographic Manifestations).
Gambar 2.11 CLE lobus superior dextra posisi lateral. Pada foto lateral, tampak lobus superior dextra mengalami herniasi ke mediastinum anterior. (sumber: Franken EA, dalam Infantile Lobar Emphysema: Report of Two Cases with Unusual Roentgenographic Manifestations).
Keseluruhan temuan radiologis tersebut dapat dibagi menjadi tanda lobus
yang terdistensi dan tanda penekanan daerah sekitar. Dimana tanda distensi
meliputi pelebaran lobus, atenuasi corakan vascular dan gambaran hiperlusen.
Sedangkan tanda penekanan adalah kolaps lobus sekitarnya, pergeseran jantung
17
dan mediastinum kontralateral, pendataran pada diafragma, bertambahnya jarak
antar iga dan herniasi paru ke anterior mediastinum.24
2.9.2 CT Scan
Computed Tomography Scanning (CT-scan) memberikan gambaran yang
lebih jelas meliputi lobus paru dan pembuluh darahnya.25
CT–scan merupakan prosedur diagnostik yang penting pada kasus ini
karena tidak hanya memperlihatkan bronkus yang menyempit secara abnormal,
lobus atas kiri yang hiperinflasi dan lobus bawah yang kolaps tapi juga
memperlihatkan meskipun paru kanan tertekan tetap terdiri dari 3 lobus, sehingga
menyingkirkan kemungkinan hipoplastik paru kanan sebagai gambaran kelainan.
CT–scan juga menyingkirkan kelainan vaskular dan kondisi lain yang mungkin
mirip dengan CLE seperti pneumotoraks, pneumatocele, herniasi diafragma atau
kistik adematoid malformasi.2
Gambar 2.12 CT Scan CLE potongan thorax atas. Perhatikan hiperaerasi dan overdistensi lobus superior dextra dengan pergeseran mediastinum dan kompresi dengan hipoventilasi lobus superior sinistra. (sumber: Popescu et al, dalam Congenital Lobar Emphysema Radiologic and Imagistic Diagnostic)
18
Gambar 2.13 CT Scan thorax CLE potongan tengah. Perhatikan hiperaerasi dan overdistensi lobus superior dextra dengan pergeseran mediastinum dan kompresi dengan hipoventilasi lobus superior sinistra. (sumber: Popescu et al, dalam Congenital Lobar Emphysema Radiologic and Imagistic Diagnostic)
Gambar 2.14 Hiperaerasi dan pergeseran mediastinum. CT – scan pada pasien ini menunjukan tanda hiperaerasi pada lobus atas paru kiri dan pendorongan mediastinum ke arah kanan (sumber: www.emedicine.medscape.com)
19
Gambar 2.15 Hiperaerasi sedang pada lobus tengah paru kanan (sumber: www.emedicine.medscape.com)
Gambar 2.16 Polyalveolar congenital lobar emphysema. CT–scan memperlihatkan gambaran polyalveolar congenital lobar emphysema dari lobus tengah paru kanan. Overdistensi yang ringan dan vaskular yang berkembang baik. Paru kiri mengalami pendesakan tetapi tidak terjadi hipoplasi. (sumber: www.emedicine.medscape.com)
Gambar 2.17 Kompresi dada kontralateral pada CLE. CT scan menunjukan gambaran hiperlusen, perluasan lobus dengan pergeseran midline dan kompresi pada paru yang sehat. Mediastinum secara signifikan terlihat menjauhi paru yang sakit.(sumber: Datta et al, dalam Congenital Lobar Emphysema: a case report)
20
Gambar 2.18 CT scan menunjukan gambaran hiperlusen, pendesakan lobus paru sehat dengan gambaran vaskular yang intak (sumber: Datta et al, dalam Congenital Lobar Emphysema: a case report)
2.9.3 MRI
MRI dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan untuk menilai
vaskularisasi ke lobus yang terkena, namun pemeriksaan ini tidak rutin
dikerjakan. Pada CLE, lobus yang terkena biasanya mempunyai vaskularisasi
yang normal.
(A) (B)Gambar 2.19 MRI Congenital lobar emphysema. (A) potongan axial MRI menunjukkan hemitoraks dextra yang distensi, dan memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan paru kontralateral. (B) potongan sagital memperlihatkan overdistensi lobus superior dengan lobus inferior yang kolaps. (sumber: www.emedicine.medscape.com)
2.9.4 USG
Pemeriksaan USG dapat mengidentifikasi lesi paru kongenital di masa
prenatal. Namun, diagnosis pasti prenatal untuk CLE jarang ditegakkan, mungkin
disebabkan oleh prevalensinya yang rendah atau peningkatan echogenisitas pada
paru yang tidak terlalu jelas sehingga tidak diperhatikan.26
21
Gambaran CLE pada pemeriksaan USG fetus ialah tampaknya paru yang
sedikit echogenik dengan atau tanpa lesi kistik atau lesi kistik campuran.
Peningkatan echogenisitas ini disebabkan cairan berlebihan di alveoli.
Selanjutnya, pembesaran paru dan penurunan diafragma membuktikan produksi
cairan paru lebih besar dibandingkan pertambahan volume paru. Dengan
demikian, bertambahnya cairan paru seiring waktu, echogenisitas dan ukuran lesi
seharusnya bertambah. Pergeseran mediastinum juga bisa terlihat. peningkatan
tekanan intratorakal menyebabkan gangguan sirkulasi janin dan gangguan
menelan sehingga terjadi polihidramnion dan fetal hydrops.17,26,27
Lesi echogenik pada paru biasanya baru bisa terlihat pada usia kehamilan
17-24 minggu. Hal ini dapat dijelaskan dengan proses perkembangan paru
intrauterine. Pada periode pseudoglandular (8-16 minggu), saluran nafas
berkembang sampai ke level bronkiolus terminal bersamaan dengan kelenjar-
kelenjar bronchial dan sel-sel goblet. Perkembangan ini akan selesai pada usia 16
minggu. Saccula, yang terdiri dari bronkioli, duktus alveoli dan alveoli, baru
dibentuk pada periode canalicular (17-24 minggu). Jadi, meskipun cairan paru
sudah diproduksi sejak usia kehamilan 10 minggu, jumlahnya tidak cukup untuk
membuat gambaran echogenic pada USG. Dan karena CLE menyebabkan
overdistensi pada alveoli, yang baru terbentuk pada periode canaliculer, gambaran
paru echogenic tidak akan terlihat sebelum usia kehamilan 17-24 minggu.27
Gambar 2.20 USG CLE prenatal potongan axial. Potongan axial thorax memperlihatkan sebuah massa paru echogenik, pergeseran posisi jantung ke kanan, dan penekanan jantung oleh massa paru echogenik (sumber: Pariente, dalam: Prenatal Diagnosis of Congenital Lobar Emphysema)
22
Gambar 2.21 USG CLE prenatal potongan sagital. Potongan sagital thorax memperlihatkan sebuah massa paru echogenik, pergeseran posisi jantung ke kanan, dan penekanan jantung oleh massa paru echogenik (sumber: Pariente, dalam: Prenatal Diagnosis of Congenital Lobar Emphysema)
Ukuran CLE dapat berkurang selama kehamilan. Pada CLE yang
disebabkan displasia kartilago bronkus atau plak mukus, meningkatnya tekanan
yang disebabkan cairan terperangkap yang bertambah banyak, akan menyebabkan
bronkus tetap paten, sehingga cairan bisa keluar dari paru. Quinton dan Smoleniec
melaporkan fetus berusia 18 minggu masa gestasi yang memiliki gambaran massa
echogenik pada parunya. Gambaran tersebut menghilang seutuhnya pada usia
kehamilan 29 minggu. Diagnosis CLE kemudian ditegakkan postnatal. Hal ini
menunjukkan pentingnya investigasi postnatal berkelanjutan dari kelainan USG
yang ditemukan prenatal walaupun gambarannya menghilang dalam masa
kehamilan.26,27
2.10 Diagnosis Banding
Gambaran hemitoraks hiperlusen unilateral (unilateral hiperlucent
hemithorax) merupakan temuan yang sering didapatkan pada radiografi dada
neonatus, juga dapat terlihat pada CT scan. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh
kondisi kongenital ataupun didapat setelah lahir yang melibatkan parenkim paru,
vaskular paru, rongga pleura dan dinding dada. Penyebab lain yang sering terjadi
adalah faktor teknis seperti rotasi pada posisi pasien. Unilateral hiperlucent
hemithorax memiliki banyak diagnosis banding diantaranya unilateral
23
emphysematous atau bullous disease, pneumatocele, pneumothoraks, aspirasi
benda asing, sindrom Swyer-James, congenital lobar emphysema, massa
endobronchial, unilateral pulmonary agenesis, gangguan arteri pulmonalis pada
segmen proksimal, scimitar syndrome, hernia diaphragmatika, and Poland
syndrome. Beberapa penyebab unilateral hiperlucent hemithorax dapat
mengancam keselamatan pasien tetapi ada pula beberapa penyebab yang tidak
signifikan dan membahayakan. Saat mengevaluasi pasien dengan keadaan ini,
sangatlah penting untuk meyakinkan apakah unilateral hiperlucent hemithorax
benar-benar timbul karena hemitoraks yang terlalu lusen (hypoattenuating)
ataupun hemitoraks kontralateralnya yang terlalu opaque (hyperattenuating).28
a. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah akumulasi udara pada ruang antara parietal dan
visceral pleura dan merupakan permasalahan yang sangat serius, terutama apabila
terjadi pada periode neonatal. Data yang didapatkan tentang insiden pneumotoraks
pada neonatal sangatlah terbatas. Sekitar 1-2% insiden pneumotoraks terjadi pada
neonatal dan biasanya banyak yang terjadi secara asimptomatik (sekitar 98%
kasus). Pneumotoraks banyak terjadi pada bayi prematur, 5-7% pada bayi dengan
berat badan di bawah 1500 grams. Frekuensi pneumotoraks meningkat pada bayi
dengan makrosomia (> 5000 gram) dan sebagian besar disebabkan oleh distosia.29
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, analisa gas
darah (hipoksia dan asidosis respiratorik) serta radiografi dada. Pada kasus yang
meragukan, dapat dilakukan CT scan dan ultrasound.29
Gambar 2.22 Diagram pneumotoraks neonatal. A. pneumotoraks anteromedial kecil. B. Seiring meluasnya pneumotoraks, udara mengelilingi tepi lateral paru. C. Pneumotoraks yang luas akan mendorong paru ke posterior dengan sedikit atau tanpa udara di lateral paru. (sumber: Dordevic et al, dalam: Influence Of Risk Factors On Frequency And Prognosis Of Neonatal Pneumothorax, Five-Year Experience)
24
CLE dapat dibedakan dengan pneumotoraks melalui transluminasi dan
pengamatan gambaran vaskular pulmo yang meluas sampai ke bagian tepi paru
yang overinflasi. Tidak ada gambaran garis pleura pada CLE. Untuk
membedakan dapat digunakan posisi dekubitus dan cross lateral radiograph.
Selain itu dapat pula dilakukan CT scan thoraks.7,30
Gambar 2.23 Pneumotoraks dextra sedang. A. Posisi AP supine (lihat panah). B. Posisi lateral. Pneumotoraks anterior dan inferior menekan paru. Jelas bahwa posisi AP tidak memperlihatkan udara inter pleura dan kompresi paru. (sumber: Quigley et al, Pulmonary Pneumatocele: Pathology and Pathogenesis)
Membedakan antara CLE dan pneumothoraks sangatlah penting karena
needle decompression ataupun tube thoracostomy pada CLE dapat menimbulkan
efek merusak. Tension pneumotoraks biasanya memiliki onset yang mendadak
dengan progresivitas yang cepat ke arah hipoksia dan hemodinamik instabilitas.
Sebaliknya, pasien dengan CLE biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda
gangguan hemodinamik ataupun hipoksia yang progresif seperti pneumotoraks.7
Insersi tube sebagai tatalaksana pneumothoraks dapat berakibat pada
mortalitas dan morbiditas yang serius. Penggunaan chest tube tanpa melakukan
reseksi lobus berhubungan dengan 50% mortalitas karena terbentuknya fistula
bronchopleural dan tertusuknya jaringan paru. Pada pasien dengan temuan
rontgen dada seperti pneumothoraks tetapi mengalami distress pernapasan
minimal, pikirkanlah CLE dan hindari melakukan tube thorakostomy.7
b. Pneumatocele
Pneumatocele adalah ruang dengan dinding tipis yang berisi udara di
dalam paru yang biasanya berhubungan dengan kejadian pneumonia akut dan
25
biasanya bersifat sementara. Karena lesi dapat menghilang secara spontan dan
pasien jarang yang mengalami kematian dalam keadaan akut, patogenesis dan
patofisiologi yang pasti tentang keadaan ini masih belum jelas.30
Ada tiga teori yang telah dikembangkan tentang proses pembentukan
pneumatocele. Teori pertama mengemukakan bahwa area dimana terjadi
overinflamasi (emfisema) disebabkan oleh obstruksi sementara bronkus ataupun
bronkiolus dengan check-valve type. Obstruksi dipercayai diakibatkan oleh
eksudat akibat proses inflamasi di dalam lumen saluran udara atau pada
dindingnya yang akan menyebabkan penurunan volume paru. Selama inspirasi,
udara masuk ke dalam area tersebut tetapi tidak dapat meninggalkannya. 30
Teori lain mengatakan bahwa pneumatocele dibentuk dari drainase
parenkim paru yang nekrotik dan pelebarannya juga disebabkan oleh mekanisme
check-valve karena obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan ataupun intra lumen eksudat.30
Teori ketiga mempostulatkan pneumatocele terbentuk karena
pengumpulan udara yang berasal dari jaringan interstisial, biasanya pleura.
Inflamasi dan neksrosis jalan nafas yang membentuk hubungan langsung antara
interstisial bronkovaskular dengan jaringan paru. Udara kemudian mengumpul
dan meluas ke arah pleura yang akan membentuk pneumatocele yang luas dan
dapat diidentifikasi lewat pemeriksaan radiologis. 30
Gambar 2.24 Foto Thorax Pneumocele (sumber: Quigley et al, Pulmonary Pneumatocele: Pathology and Pathogenesis)
26
Agen penyebab pneumatocele biasanya adalah Staphylococcus aureus
tetapi dapat juga diakibatkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, group A streptococci, Serratia marcescens,
Klebsiella pneumoniae, adenovirus, dan tuberculosis. Penyebab non infeksi
pneumatocele adalah ingesti hidrokarbon, trauma dan ventilasi tekanan positif.31
27
Gambar 2.25 Foto thorax posisi PA dan lateral Pneumatocele yang didahului staphylococcal pneumonia (sumber: www.emedicine.medscape.com)
Trauma menyebabkan pneumatocele dengan mekanisme yang berbeda
daripada pneumatokel jenis infeksi. Ada dua tahap yang dilalui yaitu tahap
pertama terjadi kompresi paru oleh tekanan dari luar yang diikuti oleh tahapan
dekompresi cepat karena peningkatan tekanan negative intrathoraks. Sebuah burst
lesion terbentuk di dalam paru yang mengarah kepada proses pembentukan
pneumatocele.31
Insiden pneumatocele post infeksi berkisar pada 2-8% dari seluruh insiden
pneumonia pada anak. Frekuensi meningkat menjadi 85% pada pneumonia
staphylococcus.31
Anak dengan usia dibawah 1 tahun merupakan ¾ penderita stapilokokal
pneumonia. Karena pneumatocele adalah komplikasi tersering dari stapilokokal
pneumonia, maka pneumatocele lebih sering ditemukan pada anak ataupun bayi.
Sebuah studi melaporkan bahwa 70% pneumatocele terjadi pada anak dengan usia
di bawah 3 tahun.31
Gambar 2.26 Perkembangan pneumatocele. A. Foto toraks pada umur 19 hari menunjukkan perkembangan awal pneumatocele multiple di paru. Lesi lebih banyak terdapat di bagian kanan. Pneumonia berkembang dan terjadi penebalan pleura di daerah apex paru dextra. B. Pada hari ke
28
42, pembesaran pneumatocele tampak jelas. Lesi menempati hampir seluruh hemitoraks dan menyebabkan kompresi pada lobus inferior dan pendorongan mediastinum ke kiri. Terdapat pneumatocele kecil di paru kiri. (sumber: Quigley et al, Pulmonary Pneumatocele: Pathology and Pathogenesis)
Secara ringkas, diagnosis banding untuk CLE disajikan pada tabel berikut:
LESI EPIDEMIOLOGI FAKTOR RESIKO
GAMBARAN RADIOLOGIS
Congenital Lobar Emphysema(CLE)
1 dalam 20.000-30.000 kelahiran.Pria 3 kali wanita.Terdiagnosa usia < 6 bulan.
Tidak ditemukan. Hiperlusen dan overekspansi lobus.
Hemidiapragma ipsilateral tertekan
Mediastimun shift (meningkat saat ekspirasi)
Herniasi lobus ke kontralateral (anterior mediastinum)
Jantung terdorong ke posterior
. Radiolusent retrosternal. Perubahan ekspirasi dan
inspirasi minimal. Bronkovaskular marking (+)Terbaik dilihat dengan Foto posisi lateral dan posisi ipsilateral dekubitus.
Pneumothoraks 1-2% dari total insiden pneumothorak.
Premature, BBL < 1500 gram, makrosomia > 5000 gram, riwayat distosia.
Pleural line (+) Hiperlusent antara pleural
line dan dinding dada Gambaran paru kolaps (+) Bronkovascular marking (-)
pada daerah hiperlusent.Terbaik dilihat dengan Posisi Lateral dekubitus dengan sisi yang sakit kearah atas dan cross table position.
Pneumatocele 2-8% dari seluruh total insiden pneumonia.70% terjadi pada usia < 3 tahun.
Pneumonia staphilokokkal, ingesti hidrokarbon, trauma, ventilasi tekanan positif.
Area hiperlusent, soliter ataupun multiple dengan berbagai ukuran
Lesi cavitasi berdinding tipis dalam wilayah parenkim paru.
Tabel 2.2 Diagnosis banding CLE
2.11 PenatalaksanaanUntuk kasus-kasus tanpa gejala ataupun dengan gejala yang ringan
pengobatan tidak selalu dibutuhkan. Namun untuk kasus yang lebih berat,
tindakan lobectomi harus dilakukan untuk mengangkat lobus yang terkena.
Penanganan congenital lobar emphysema terdiri dari :25
1. Penanganan suportif
Tindakan suportif mencakup thoracentesis untuk menangani distress
pernafasan.
29
2. Pembedahan
Tindakan bedah yang dilakukan berupa lobektomi yaitu dengan
melakukan reseksi terhadap lobus yang terkena. Lobektomi sukses
pertama kali dilakukan oleh Gross pada tahun 1945.14
Urgensi dilakukannya operasi berbeda pada setiap kasus. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, pasien yang membutuhkan lobektomi emergensi
yang disebabkan oleh distress pernafasan yang progresif dan berat sangat jarang.
Dokter yang menangani kasus seperti ini tidak boleh ragu-ragu untuk
merekomendasikan operasi emergensi jika keadaan bayi memburuk. Di sisi lain,
pasien yang terlihat stabil selama beberapa hari mungkin meninggal secara tiba-
tiba karena distress pernafasan. Untuk lebih amannya, lobektomi sebaiknya
dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan terutama dalam 24 jam pertama.
Pada kasus yang jarang pasien dengan gejala ringan yang disertai infeksi sekunder
bisa ditunda dilakukan operasi sampai proses infeksi tenang.14
Jika CLE ditemukan pada anak yang lebih tua secara tidak sengaja
biasanya pasien asimptomatik dan operasi tidak diindikasikan. Jika kemudian
gejala berkembang atau terjadi infeksi maka dapat menjadi indikasi lobektomi. 14
Lobektomi memiliki resiko yang kecil jika dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman. Insisi torakotomi standar dilakukan dengan pasien berada pada
posisi lateral. Intubasi diperlukan, namun ahli anestesiologi tidak boleh
memberikan tekanan positif sebelum rongga dada terbuka karena dapat terjadi
pengembangan lobus tiba-tiba dengan pergeseran mediastinum dan henti jantung.
Meskipun berbagai obat telah dicobakan kami menggunakan cyclopropane dan
kadang-kadang eter dengan hasil yang cukup memuaskan. 14
Saat rongga dada terbuka, lobus yang terkena mungkin akan mengembang
keluar dari rongga pleura. Biasanya berwarna merah muda bergelembung.
Emfisema biasanya terdistribusi pada lobus namun terkadang bisa terdapat bula
subpleura. Lobus yang lain akan tertekan oleh mediastinum, dan akan
mengembang dan mengempis sesuai dengan pernafasan buatan. Sedangkan pada
lobus yang emfisema lobus akan mengempis sedikit pada saat ekspirasi. 14
Pasien biasanya akan membaik post operasi meskipun terdapat luka bekas
torakotomi. Proses penyembuhan berlangsung singkat, rata-rata dalam sepuluh
30
hari. Lobus yang tersisa akan mengisi rongga pleura dan gambaran rontgen dada
normal akan terlihat dalam 1 atau 2 bulan. Tidak terdapat komplikasi yang
signifikan setelah pembedahan. 14
Gambar 2.27 Thorakotomi pada CLE. Lobus medial dextra menonjol ke luar pada insisi torakotomi. Lobus itu tetap overinflasi saat ekspirasi meskipun lobus lainnya kolaps. (sumber: Leape, dalam: Infantile Lobar Emphysema)
Terapi medikamentosa hanya sedikit membantu dan seringkali tidak
efektif untuk neonatus. Aspirasi dengan menggunakan jarum harus dihindari
karena ditakutkan akan terjadi tension pneumothorax yang sering berakibat fatal.14
Pengobatan alternative yang mungkin bermanfaat untuk congenital lobar
emphysema ditujukan untuk menunjang fungsi respirasi pasien. Suplemen berupa
vitamin dan mineral bisa diberikan sebagai pengobatan herbal contohnya lobelia
(lobelia inflate) yang memperkuat paru dan mempertahankan elastisitasnya.32
31
2.12 Komplikasi
Congestive heart disease
Komplikasi pada jantung dapat timbul akibat terhambatnya aliran balik
vena ke jantung karena peningkatan tekanan intrathorakal dan
pendorongan mediastinum.
Tension emphysema/pneumothorax
Hal ini dapat timbul sebagai komplikasi dari tindakan needle aspiration
dalam penatalaksanaan.14
2.13 Prognosis
Kasus yang ditatalaksana dengan lobektomi biasanya memberikan hasil
yang memuaskan. Tanpa tindakan pembedahan, angka kematian pasien dengan
CLE berkisar 50%, dan 75% pasien yang bertahan akan mengalami distress
pernafasan persisten, namun anak yang memiliki gejala ringan ataupun sedang
biasanya dapat bertahan tanpa penyulit dengan terapi konservatif.33,34,35
Angka kematian pasien yang mendapat tindakan bedah kurang dari 5%.
Kebanyakan kematian ini disebabkan oleh kelainan jantung dan kerusakan otak
karena hipoksia. Pada beberapa pasien, emfisema difus yang fatal berkembang
setelah operasi dan pada beberapa pasien ini ditemukan wheezing. Pada evaluasi
jangka panjang terhadap fungsi paru pasien CLE setelah dilakukan tindakan
lobektomi, beberapa penelitian menunjukkan adanya perkembangan paru sebagai
kompensasi terhadap CLE. Penelitian lain mengungkapkan adanya defek yang
menetap dengan peningkatan volume residu, kapasitas paru total, dan penurunan
ekspirasi. Terlepas dari kelainan fungsi paru yang ditemukan pada pemeriksaan
anak yang dioperasi, kebanyakan anak ini hidup tanpa gejala dan tumbuh
kembangnya berlangsung baik.33,36
32
BAB III
PENUTUP
3.1 KesimpulanCLE merupakan salah satu penyebab distress pernafasan pada neonatus.
Gejalanya mungkin tampak saat lahir, terkadang bersifat progresif. Diagnosis
harus dipikirkan pada bayi dengan dispnea yang disertai dengan atau tanpa
sianosis. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan foto thorax biasa dan
pemeriksaan diagnostik lainnya. Penatalaksanaan ialah dengan reseksi lobus yang
terkena. Banyak factor yang diduga menyebabkan CLE, diantaranya
bronkomalasia, stenosis bronkial, plak mukosa, dan bentuk obstruksi bronkus
lainnya. Namun, pada kebanyakan kasus etiologinya tetap tidak diketahui.
3.2 Saran
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan primer yang
akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan,
kemampuan dalam pemanfaatan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
radiologis guna membantu menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan
yang optimal bagi pasien.
33
top related