dimensi tawassul dalam perspektif al- -sunnah dan
Post on 05-Oct-2021
27 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DIMENSI TAWASSUL DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Tarbiyah (S.Pd.i)
Oleh :
JAFAR SODIK
NIM 1111011000122
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H
i
ABSTRAK
Jafar Sodik, NIM 1111011000122, “Dimensi Tawassul dalam Perspektif Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam.” Skripsi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Dimensi Tawassul dalam Perspektif Al-
Qur’an dan As-Sunnah dan implementasinya dalam pendidikan Islam. Adapun metode
penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah metode pendekatan
deskriftif analisis, dengan mencari dan mengumpulkan data, menyusun, serta menguraikan
secara lengkap, teratur dan teliti terhadap obyek penelitian. Pendekatan yang digunakan
penelitian ini adalah pendekatan secara normatif. Pendekatan secara normatif yaitu diteliti
dengan merujuk pada teks-teks nas terkait berdasarkan al-Qur’an dan Hadis maupun
ketentuan lainnya. Serta berdasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Dalam mengumpulkan
data, peneliti menempuh langkah-langkah melalui riset kepustakaan (Library Research) yaitu
suatu riset kepustakaan atau penelitian kepustakaan murni yang berasal dari buku-buku karya
ilmiah yang terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer seperti : Tafsir At
Thabari, Tafsir Al-Asas, Tafsir Fathul Qadir dan buku-buku Tafsir lainnya. Sumber Sekunder
seperti :Shahih Bukhari-Muslim, Al-Mustadrak dan buku-buku hadis lainnya. Sumber
sekunder seperti : Empat Puluh Masalah Agama, Tawassul dan Wasilah, Meluruskan
Kesalahpahaman dalam Islam dan buku-buku yang mengulas tentang Tawassul dan
Pendidikan Islam lainnya.
Hasil penelitian ini adalah Tawassul berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dapat di
kategorikan dua golongan yaitu: Tawassul yang di syariatkan dan Tawassul yang dilarang
dan diharamkan dan Implementasi zikir dan do’a dalam bentuk tawassul dalam pendidikan
Islam artinya menanamkan nilai-nilai keislaman dapat di golongkan pada lima aspek bagi
pribadi orang yang berzikir, yaitu akidah, ibadah, akhlak, sosial (muamalat) dan ketenangan
jiwa.
ii
KATA PENGANTAR
يمه ٱلرحمن ٱلله بسم ٱلرحه Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt.
atas segala nikmat dan karunia yang tiada hentinya tercurat bagi penulis. Dan
berkat kasih dan sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
berangkaikan salam senantantiasa tercurah pada Nabi Muhammad Saw. beserta
keluarga dan sahabatnya serta yang selalu mengikutinya sampai akhir zaman
karena dari syafaat beliaulahdiharapkan umat zaman akhir ini.
Skripsi ini berjudul “Dimensi Tawassul dalam Perspektif al-Qur’an dan as-
Sunnah dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam.” Merupakan tugas akhir
selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana
Pendidikan Agama Islam.
Atas selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari upaya berbagai pihak yang
telah membantu dan memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini,
untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag selaku ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Hj. Marhamah Shaleh, Lc. MA. Selaku Sekretaris
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Akhmad Shodiq, MA. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memberikan ilmu dan tuntunannya. dan menjadi contoh panutan bagi
penulis.
4. Dr. Khalimi, MA. Selaku pembimbing skripsi dan menjadi sosok
inspirasi dan motivator bagi penulis, yang telah sabar dan selalu memberi
masukan dan arahannya dalam penulisan skripsi ini.
iii
5. Segenap Dosen dan Staf Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan ilmu dan segala bantuannya.
6. Keluarga besar tercinta orang tua yang selalu memberikan curahan kasih
sayang, do’a, perhatian dan segalanya yakni Abah Zein Yahya dan Umi
Darkinih, kakaku Syarifah Rogayah yang senantiasa memperhatikan
keluarga terutama adik-adiknya, adikku pertama Syarifah Salmah
semoga kelak menjadi kebanggan keluarga dan adiku Syarifah
Fatimatuzzahra yang semakin hari semakin lucu. Segenap keluarga besar
yang di Indramayu, Cirebon, Jakarta dan dan sekitarnya.
7. Seseorang yang selalu mendukung, menyemangati dan mendoa’kan
penulis, Syarifah Alawiyah beserta keluarga. Semoga Allah tetap
menjodohkan kita selamanya.
8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Cirebon Para
Guru tercinta, dan Ma’had Ali UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Para
Jama’ah Masjid Raya Al-Amanah Depok, Para Jama’ah Asy-
Syahadatain dan seluruh Jama’ah di seluruh Indonesia.
9. Para Guru dan teman seperjuangan dalam berdakwah, Para Habaib, Para
Kyai, Para Ustad yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa hormat dan ta’dzim saya kepada beliau-beliau.
10. Beasiswa BidikMisi yang telah membantu penulis dalam menjalani
perkuliahan dan segenap yang membantu dalam beasiswa tersebut.
11. Teman-teman penulis yang selalu bersama-sama menemani penulis di
masa perkuliahan dan di kehidupan sehari-hari. Teman-teman PAI 2011,
BM 2011, MahaSantri Ma’had 2011 dan teman-teman IKBAL Jakarta.
12. Teruntuk santi-santri TPQ Al-Amanah Depok, siswa-siswi SMP Al-
Hasra beserta keluarga besar Al-Hasra, murid-murid les privat di Depok,
Pamulang, Ciputat, Pondok Cabe dan lain-lain.
13. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa terima kasih penulis kepada semuanya yang telah
membantu dan mendukung penulis samapi selesainya skripsi ini.
Jakarta, 1 Desember 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................7
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...............................7
1. Pembatasan Masalah ....................................................................7
2. Perumusan Masalah ......................................................................8
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .......................................8
1. Tujuan Penelitian ..........................................................................8
2. Manfaat Penelitian ........................................................................8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tawassul
1. Pengertian Tawassul .....................................................................9
2. Bentuk dan Macam-macam Tawassul ........................................10
3. Pendapat Ulama tentang Tawassul ..................................................14
4. Tawassul dalam Al-Qur’an .........................................................18
5. Tawassul dalam As-Sunnah .......................................................22
6. Pendidikan Islam...........................................................................27
B. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian ...........................................................................30
B. Metode Penelitian ..........................................................................30
vi
C. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data.......................................31
D. Analisa Data ..................................................................................31
E. Teknik Penulisan ............................................................................32
BAB IV DIMENSI TAWASSUL DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
DAN AS-SUNNAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pemahaman Dalil al-Qur’an dan al-Hadis......................................33
1. Tawassul yang dilarang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ..........33
2. Tawassul yang disyari’atkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.. 45
B. Implementasi Tawassul dalam Pendidikan Islam...........................64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................74
B. Saran ..............................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, suasana kehidupan bangsa indonesia sangat memprihatinkan.
Muncul berbagai prilaku yang menyimpang dari kaidah ajaran Agama, nilai
moral, budaya bangsa yang selama ini dianut, dihormati dan dijunjung tinggi.
Hal demikian mencerminkan seperti bangsa yang tidak beradab.
Kecenderungan masyarakat berprilaku negatif ini semakin nampak muncul
dalam kehidupan sehari-hari, bukan saja di kota-kota besar, bahkan telah
melanda di masyarakat pedesaan, akademisi, masyarakat awam, pemerintah,
kelompok mahasiswa dan para siswa yang diharapkan sebagai penerus
generasi bangsa.
Perbuatan lainnya yang mencemari dan merusak kepribadian
mahasiswa/siswa seperti berbohong, kebiasaan buruk (mencontek), merokok
disembarang tempat, berkata kasar, tidak disiplin, hilangnya rasa hormat
terhadap guru/dosen, tindak kekerasan, narkoba, minuman keras, pergaulan
bebas, dan tindak kriminalitas lainnya. Padahal, di masa sebelumnya
masyarakat indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, suka gotong-
royong, puya rasa malu, saling menghormati dan disegani bangsa lain. Pada
hakikatnya krisis nilai moral dan akhlak bangsa ini adalah krisis hati nurani,
krisis sumber daya insani, masalah ini dikarenakan di pengaruhi oleh latar
belakang pendidikannya.
Seperti di ketahui kehadiran manusia di dunia ini makhluk yang
dimuliakan Tuhan. Dalam kehidupan manusia, betapapun kuatnya manusia
tetap saja adalah makhluk lemah yang memiliki ketergantungan. Makhluk ini
memiliki naluri cemas dan berharap. Naluri itu tidak dapat dielakkannya.
Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk,
betapapun kuat dan berkuasanya, sering kali tidak membuahkan hasil.1 Setelah
1M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 196.
2
terbukti ketidakmampuan makhluk yang diandalkan untuk memenuhi harapan
atau menangkal, naluri tersebut tidak pupus, karena ketika itu—diakui
sebelumnya atau tidak—manusia tadi menengadah kepada sumber yang
dirasakannya pada lubuk hatinya yang terdalam: dia menengadah ke “langit”
mengharap kiranya yang Maha Kuasa memenuhi harapan dan menghilangkan
kecemasannya dengan berdo‟a.2 Berzikir dan berdo‟a merupakan dua kegiatan
ibadah yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Hadis Nabi Saw: “Do‟a itu otaknya ibadah” (H.R. Tirmidzi). “Tak
ada sesuatu yang mulia di sisi Allah yang dapat membandingi do‟a.” (H.R.
Ibnu Majah). “Do‟a itu bermanfaat untuk apa-apa yang telah terjadi dan apa-
apa yang belum terjadi, karena itu berdo‟alah wahai hamba-hamba Allah.”
(H.R. Hakim dan Ahmad).
Do‟a merupakan bagian dari zikir. Do‟a adalah permohonan. Setiap zikir
kendati dalam redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati
dan rasa butuh kepada Allah yang selalu menghiasi pezikir, menjadikan zikir
mengandung do‟a. Ketika Nabi Yunus a.s. ditelan oleh ikan dan dan berada
dalam perutnya dalam keadaan gelap gulita, beliau menyeru kepada Allah:
ن ٱوذا ن لو نقدر علي فيادى ف لنب نغضتا فظو أ لمت ٱإذ ذ لظ ن ل
أ
ىت ستحيك إن أ إل لهي ٱ ليت نو إل ٨٧ لظ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan
marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya
(menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap:
"Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-
Anbiya [21]: 87)
Seperti terbaca di atas, beliau tidak memohon. Beliau hanya bertahlil,
bertasbih, dan mengakui kesalahan. Namun, Allah menyelamatkan beliau dari
2Ibid., h. 197.
3
perut ikan—sekali lagi—walau beliau tidak memohon.3 Dan di dalam Al-
Qur‟an, Allah Swt. berfirman:
ة وإذا جيب دعلك عتادي عن فإن قريب أ
اع سأ إذا دعن فليستجيتا ٱلد
م يرشدون ا ب لعل ١٨٦ل ولؤني
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186)
Tentu saja, kata dekat tidak dapat dipahami dalam arti dekat dari segi
tempat atau arah. Allah Swt. dekat dalam arti Maha Mengetahui, Maha
Memelihara, Maha Mendengar do‟a. Dan do‟a dalam istilah agamawan adalah
permohoman hamba kepada Tuhan agar memperoleh anugerah pemeliharaan
dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun pihak lain. Permohonan
tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan ketundukan
dan pengagungan kepada-Nya.4
Untuk merevitalisasi pendidikan nilai akhlak moral seperti yang
dijelaskan di atas, proses pendidikan dapat melibatkan aktivitas berdimensi
spiritual. Proses pendidikan berdimensi spiritual itu dilakukan dengan
pendekatan berzikir. Zikir adalah metode yang penting dalam membina dan
mengembangkan pendidikan dengan pendekatan spiritual (zikir dan do‟a).
Dengan zikir dan do‟a, diharapkan tujuan pendidikan nilai pengembangan
manusia berakhlak karimah dan berjiwa sehat. Di dalam zikir dan do‟a ada
istilah yang dikenal sebagai tawassul. Tawassul dalam arti bahasa adalah
perantara, secara umum segala sesuatu yang menggunakan perantara adalah
tawassul. Sebagai contoh: makan. Dalam praktiknya, nasi sebagai perantara
dalam mengenyangkan perut. Artinya, manusia bertawassul kepada nasi dalam
3Ibid., h. 175.
4Ibid., h. 179.
4
hal mengenyangkan perut. Sedangkan dalam arti istilah, tawassul adalah
berdo‟a (memohon) kepada Allah dengan perantara kemuliaan para shalihin.5
Namun ada pula sebagian golongan yang menganggap tawassul sebagai
bid‟ah dan syirik sekaligus melarangnya, seperti kelompok Wahabi dan
kelompok yang sepaham dengannya. Sedangkan Ibnu Taimiyah, yang
tergolong ulama besar dari kalangan Wahabi, tidak sepenuhnya melarang
tawassul kepada Rasulullah. Menurutnya, jika tawassul kepada Nabi
Muhammad dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan kecintaan
kepadanya maka diperbolehkan. Jika ucapan orang-orang dari kalangan ulama
salaf yang bertawassul kepada Rasulullah setelah beliau wafat diarahkan pada
pengertian ini (tawassul karena iman dan cinta pada Rasulullah) seperti yang
dikutip dari sebagian sahabat, tabiin, Imam Ahmad dan sebagainya, maka
hukumnya bagus dan tidak ada pertentangan.6 Adapun amalan tersebut
termasuk dalam kategori amalan yang diperintahkan, atau paling tidak ada
pilihan di dalamnya. Menggabungkan antara perbedaan amalan-amalan itu
sebagai bid’ah dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukan kewajiban,
kesunnahan, kemubahannya adalah menggabungkan antara dua hal yang saling
berlawanan.7 Timbulnya perselisihan ini dikarenakan perbedaan pendapat
tentang cara yang dilakukan sebagian masyarakat muslim yang berkewajiban
berdo‟a atau bertawassul ini merupakan perbuatan bid‟ah atau syari‟ah.
Menuturut Muhammad Nashiruddin al-Albani, tawassul merupakan praktek
ibadah yang sudah dipraktikan sejak zaman sahabat Nabi sampai sekarang
yang banyak di jumpai sekarang ini praktek-praktek tawassul yang tidak
berdasarkan sunnah bahkan justru dapat membahayakan aqidah.8 Hal ini di
karenakan Banyak umat Islam yang salah memahami hakikat tawassul.
5Abdul Hakim M., Implementasi Aswaja dalam Peribadatan kepada Allah, (Cirebon: Pustaka
Syahadat, 2009), h. 56. 6Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su‟adi Sa‟ad dengan judul
Tawassul dan Wasilah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h.119. 7Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah, diterjemahkan oleh
Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2002), h.103. 8Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Ali bin Nafi al-„Ulyayi, Tawassul dan Tabarruk,
diterjemahkan oleh Annur Rafiq dan Abdul Rassyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),
h.58
5
Dalam aspek menjaga keselamatan umat dari perpecahan yang akan
menjerumuskan mereka kepada fitnah, yaitu dengan cara menganjurkan umat
ini untuk bergabung dengan al-jama‟ah dan berpegang dengan al-Qur‟an dan
Sunnah serta menjauhkan diri dari setiap perkara yang baru (bid‟ah), baik
dalam masalah akidah, perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan, maupun manhaj
yang mengantarkan umat pada pertentangan sehingga terjadi perselisihan dan
perpecahan.9 Tentunya, pendapat-pendapat tersebut tidak lepas dari penafsiran
dari sumber utama umat Islam, yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasulullah Saw.
yang menjadi pedoman umat Islam. Firman Allah Swt. dalam Q.S. An-Nisa‟
ayat 59:
ا يأ يو ٱ ي ل ا طيع
أ ا ٱءاني طيع لل
وأ ول لرسل ٱا
مر ٱوأ
نيكم فإن ل
ء فردوه إل ٱتنزعتم ف ش لرسل ٱو لل ٱإن ليتم تؤنين ة م ٱو لل لحس لأخر ٱ
لك خي وأ ويل و ذ
٥٩تأ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Al-Qur‟an yang merupakan kitab suci umat Islam yang tidak ada
keraguan padanya dan kemurniannya dijaga sepanjang masa. Dan al-Qur‟an
merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi
Muhamad Saw. melalui Malaikat Jibril dengan jalan mutawatir sebagai
petunjuk bagi manusia sepanjang zaman. Al-Qur‟an juga dijadikan sebagai
sumber dari berbagai pengetahuan yang ada. Ajaran yang terkandung dalam al-
Qur‟an terdiri dari dua prinsip besar, yaitu: (1) hal yang berhubungan dengan
dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan (2) hal yang berhubungan
dengan amal yang disebut dengan syari‟ah.10
9Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi, Bid’ah Sumber Kebinasaan, diterjemahkan oleh Abu
Ahmad, (Solo: Pustaka As-Salaf, 1998), h. 15-16. 10
Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 19.
6
Ketika umat Islam menjauhi al-Qur‟an atau sekedar menjadikan al-
Qur‟an hanya sebagai bacaan keagamaan saja, maka sudah pasti al-Qur‟an
akan hilang relevansinya terhadap realitas-realitas alam semesta.
Kenyataannya, orang-orang di luar Islam lah yang giat mengkaji realitas alam
semesta sehingga mereka dengan mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa
lain, padahal umat Islam lah yang seharusnya memegang semangat al-
Qur‟an.11
Sedangkan as-Sunnah sebagai sumber rujukan kedua. As-Sunnah
menurut para ahli hadis identik dengan hadis, yaitu seluruh yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). As-Sunnah
menurut ahli ushul fiqh adalah “segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad Saw., berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan
dengan hukum.” Sedangkan as-Sunnah menurut para ahli fiqh, di samping
pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taqlifih, yang mengandung pengertian “perbuataan
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
medapat siksa (tidak berdosa).”12
Terkadang dengan perbuatan, Nabi Muhammad Saw. menerangkan suatu
maksud tertentu, seperti pelajaran shalat yang beliau ajarkan kepada mereka
(para sahabat) secara praktek dan juga cara-cara ibadah haji. Dan terkadang
para sahabatnya berbuat sesuatu di hadapannya atau berita-berita berupa
ucapan atau tindakan mereka yang sampai kepada beliau, tetapi hal ini tidak
diingkarinya, bahkan didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk
menolaknya (kalau tidak dibenarkan) atau nampak padanya setuju dan
senang.13
Kemudian dalam hal ini, berkaitan dengan tawassul yang sering di
lakukan masyarakat muslim atau sebagian yang belum memahami tentang
11
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan, Cet. IV, 1999), h.
21. 12
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), h. 44-46. 13
Muhammad Thalib, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Bina Ilmu, 1977), h. 67-68.
7
polemik seputar tawassul dan pendapat-pendapat ulama antara bid‟ah atau
syari‟ah atau bahkan bisa menuju kedalam kemusyrikan dan apa saja
implementasinya dalam pendidikan Islam. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
berupaya untuk menggali nilai-nilai zikir dan do‟a dalam bentuk tawassul
untuk membina dan mengembangkan kepribadian dan diharapkan dapat
bermanfaat sebagai pedoman model pembelajaran bagi para guru/pendidik dan
siswa, khususnya pengajar Pendidikan Agama Islam. Dan penulis tertarik ingin
mengkaji mengenai: “DIMENSI TAWASSUL DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN DAN AS-SUNNAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PENDIDIKAN ISLAM.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengidentifikasikan masalah-
masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran manusia dalam mengenal pentingnya zikir dan do‟a
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Rendahnya minat manusia dalam dalam zikir dan do‟a.
3. Minimnya pengetahuan manusia tentang arti tawassul.
4. Rendahnya pemahaman tentang tawassul dalam perspektif al-Qur‟an dan
as-Sunnah dan implementasinya dalam pendidikan Islam.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasi di atas, agar penelitian
ini lebih terarah, maka ruang lingkup masalah penelitian dibatasi pada
perihal yang menyangkut tawassul dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah
berdasarkan dalil-dalil yang melarang tawassul dan dalil-dalil yang
membolehkan tawassul dan Implementasi zikir dan do‟a (tawassul) dalam
pendidikan Islam.
8
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah di atas,
maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana tawassul dalam perspektif al-Qur‟an dan as-Sunnah?
2. Bagaimana implementasi tawassul dalam pendidikan Islam?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan ini lebih diorientasikan pada satu
tujuan pokok, yaitu untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sistematis,
obyektif, dan komperehensif tentang tawassul dalam perspektif al-Qur‟an
dan as-Sunnah dan Implementasinya dalam pendidikan Islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan dan
wawasan dan menjadi bahan bacaan bagi penulis khususnya, mahasiswa
dan pembaca pada umumnya, serta dapat memberikan informasi tentang
betapa pentingnya mengkaji dan memahami tawasul untuk kemudian
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di zaman yang semakin berat
tantangannya.
b. Sebagai sebuah sumbangan pemikiran, penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam memberikan gambaran yang utuh tentang konsep,
macam-macam, makna, hukum, dan penerapannya dalam masyarakat
muslim sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tawassul
1. Pengertian Tawassul
Kata tawassul secara bahasa dalam kamus al-Munawir menyebutkan:
وسيلة - لوس artinya memohon, beramal (sebagai wasilah) untuk mendekatkan
diri kepada Allah.1
Kata tawassul didefinisikan oleh Syekh Abdul Halim Mahmud—
seorang maha guru yang merupakan mantan pemimpin tertinggi lembaga-
lembaga Al-Azhar, Mesir—sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah
Swt. dengan menggunakan wasilah, karena memang kata tawassul seakar
dengan kata wasilah.2
Kata wasilah mirip maknanya dengan kata washilah, yakni ―Sesuatu
yang menyambung sesuatu dengan yang lain.‖ Wasilah dalam pengertian
agama adalah ―sesuatu yang menyambung dan mendekatkan seseorang
dengan Allah, atas dasar keinginan yang kuat dari yang bersangkutan untuk
mendekat kepada-Nya”. Tawassul dalam pengertian di atas dibenarkan oleh
seluruh ulama, karena secara jelas ditemukan perintah Allah dalam al-
Qur‘an untuk melakukannya.3
Al-wasilah artinya pendekatan, perantara, dan sesuatu yang dapat
dijadikan untuk menyampaikan serta mendekatkan diri kepada Allah dan
ada yang berpendapat wasilah mengandung arti tempat yang tinggi di dalam
surga, suatu tempat yang paling dekat dengan Arsy.4
1Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1559. 2M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an tentang Zikir dan Do‟a , (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 305-306. 3Ibid, h. 226.
4Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 370.
10
Wasilah dalam al-Qur‘an ialah cara mendekatkan diri kepada Allah
dengan melaksanakan segala sesuatu yang wajib. Wasilah yang harus dicari
kaum Mu‘minin, mencakup segala hal yang wajib dan mustahab
(disunnatkan). Sedangkan segala hal yang diharamkan, dimakruhkan, dan
dibolehkan (mubah) tidak termasuk dalam kategori wasilah tersebut. Dalam
hadis, wasilah hanya khusus untuk Rasulullah dan kita diperintahkan untuk
memohonkannya kepada Allah. Beliau memberitahukan bahwa wasilah
hanya dikhususkan untuk salah seorang hamba Allah, dan diharapkan beliau
lah hamba tersebut. Kita diperintahkan memohonkan wasilah untuk
Rasululah. Dan dinyatakan bahwa barangsiapa memohonkan untuknya
wasilah, maka ia akan memperoleh syafaat di Hari Kiamat, sebab pahala itu
setimpal dengan amal yang dilakukan. Ketika mereka mendo‘akan Nabi
Saw. mereka berhak untuk dido‘akan oleh Nabi Saw, dan syafa‘at itu
semacam do‘a. Wasilah menurut sahabat. Tawassul melalui Nabi Saw.
menurut para sahabat adalah bertawassul dengan do‘a dan syafa‘at beliau.
Wasilah menurut ulama muta‟akhirin. Tawassul menurut pengertian orang-
orang setelah para sahabat (muta‟akkhirin) berarti bersumpah dan memohon
dengan nama Nabi Saw., seperti mereka yang terdahulu bersumpah dengan
nama-nama nabi, para shalihin, dan orang-orang yang dianggap baik.5
Dari definisi tawassul dan wasilah diatas, maka dapat disimpulkan
bahwasanya tawassul adalah segala sesuatu yang diupayakan dan dilakukan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan jalan wasilah yaitu
dengan perantara, penghubung sesuatu yang Allah cintai dan hakikatnya
ditujukan kepada Allah swt.
a. Sejarah tawassul
Awal mula tawassul terjadi sebelum alam semesta mendapat
kehormatan menerima kehadirannya. Oleh sebab itu, yang terpenting
bagi sahnya tawassul ialah bahwa yang digunakan sebagai perantara
(mutawassal bih) haruslah memiliki kedudukan tinggi di sisi Tuhannya.
5Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su‘adi Sa‘ad dengan judul
Tawassul dan Wasilah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 63-65.
11
Jadi sama sekali tidak disyaratkan bahwa ia harus masih hidup di dunia
ini.6
Imam Hakim an-Naisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa
Nabi Saw. bersabda:
كال الل ل يرش وش يي ع الل صلى يا كال ئث طي ل ا آدم ف اقت ا لالل لال ف ل فرت غ ا ل د م بق لم
شأ
أ إن :رب نيف آدم يا
ع ل ي خأ ل و ا د م ج :كال رف بيدك لخن ي خ ا ل م
ل رب يا
اىعرش ائ ك عل ج ي
فرأ س
رأ ج رفع روحم ف ج خ ف ون ج ي فع الل ل رش د م الل إل له إ ل با هخ إل حضف ل م
أ
الل لال ف لم إ يق ل ا ب حأ إل :اشم ب ح
ل إ آدم يا ج صدك
إل يق ل ا لخم ي خ ا د م ل ل و لم فرت غ لد ف ل ب دعن ااىصخدرك) ف ك لحا ا (وصحح أخرج
“Rasulullah bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia
berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum
Aku ciptakan?” Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, ketika Engkau ciptakan diriku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau hembuskan ke
dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis kalimat “Laa ilaaha illallaah muhamadur Rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau
tidak akan mencantumkan sesuatu dengan nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar
Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, berdoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku
menciptakanmu‖. (HR. Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanadnya)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Hafizd As-Sayuty dalam
kitabnya Al-Kasha‖ish Al-Nubuwwah. Juga oleh Baihaqy dalam Dalail
6Ibid., h. 152.
12
Al-Nubuwwah. Hadis tersebut di shahihkan pula oleh Al-Qasthalany, Al-
Zaraqani dan Syeikh Ibnu Jauzi. Namun ada pula yang berpendapat
mengenai kedudukan derajat hadis ada yang menolak hadis tersebut juga
ada yang memandang palsu, seperti: Az-Zahaby dan ulama lainnya.
Sebagian lagi menilainya lemah (dhaif), dan sebagian yang lainnya
menilai mungkar (bagian dari hadis dhaif).jadi penilaian mereka tentang
hadis tersebut berbeda-beda.7
b. Pentingnya tawassul
Pertama, tawassul termasuk salah satu cara berdo‘a dan salah satu
pintu untuk menghadap Allah Swt. Jadi, yang menjadi sasaran atau
tujuan asli yang sebenarnya dalam bertawassul adalah Allah Swt.
Sedangkan yang ditawassuli (al mutawassal bih) hanya sekedar perantara
(wasithah dan wasilah) untuk taqarrub dan mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian,
sungguh ia telah menyekutukan Allah. Kedua, sesungguhnya yang
bertawassul itu tidak bertawassul dengan menggunakan perantara,
kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa
Allah Swt. pun mencintai perantara tersebut. Ketiga, jika yang
bertawassul berkeyakinan bahwa yang ditawassuli atau yang menjadi
perantara itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudarat
dengan kekuasaannya sendiri seperti Allah atau lebih rendah sedikit
maka ia telah menyekutukan Allah Swt. Keempat, bertawassul itu bukan
merupakan sesuatu yang lazim atau pokok. Dan ijabah do‘a itu justru
lebih ditentukan oleh berdoa kepada Allah secara mutlak, meskipun
tanpa tawassul.8
2. Bentuk dan Macam-macam Tawassul
a. Secara umum Al-Wasilah (tawassul) dapat dibagi dua bagian:
7Muhammad Alawy Al Maliky, Op. Cit., h. 146.
8Muhammad Alawy Al Maliky, Mafahim Yajib An Tushahhah , diterjemahkan oleh Muhammad
Al-Baqir dengan judul Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid‟ah, Syafaat, Takfir, Tasawuf,
Tawassul, dan Ta‟zim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 1, h. 101-102.
13
1) Wasilah Kauniyah
Wasilah Kauniyah ialah tiap-tiap sebab alami atau natural atau
kauni yang menyampaikan kepada tujuan dengan watak kemakhlukannya
yang telah Allah ciptakan, dan menghantarkan kepada yang dinginkan
dengan fitrahnya yang telah Allah tetapkan kepadanya. Wasilah ini
berlaku bagi orang mukmin dan kafir, tanpa perbedaan. Contohnya: Air
adalah wasilah (sarana) untuk menghilangan dahaga manusia, makan
adalah wasilah untuk mengenyangkannya, pakaian adalah wasilah untuk
melindungi dari panas dan dingin, mobil adalah wasilah untuk
transportasi dari satu tempat ke tempat lain, dan lain sebagainya.9
2) Wasilah Syar‘iyah
Wasilah Syar‘iyah ialah setiap sebab yang menghantarkan kepada
tujuan melalui cara yang telah disyariatkan Allah dan dijelaskan dalam
kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Wasilah ini khusus bagi orang mukmin
yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Contohnya: mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan keikhlasan dan memahami artinya
merupakan wasilah untuk masuk surga dan keselamatan dari kekekalan
di dalam nereka. mengucapkan do‘a yang ma‟tsur (diajarkan Nabi Saw.)
setelah adzan adalah wasilah untuk memperoleh syafa‘at Nabi Saw.,10
Bertaubat adalah wasilah untuk terhapusnya dosa, silaturahim adalah
wasilah untuk memperpanjang umur dan meluaskan rizki, dan lain
sebagainya.11
b. Macam-macam Tawassul
Tawassul dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1) Tawassul dengan perantara para Nabi
9Muhammad Nashiruddin Al-Albani, At Tawassul An Wa‟uhu Wa Ahkamuhu ,
diterjemahkan oleh Annur Rafiq Shaleh dengan judul Tawassul, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1993), h. 27. 10
Ibid., h. 28. 11
Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 372.
14
Ath-Thabari di dalam Mu‘jamnya yang agung dengan dengan sanad
orang-orang yang benar seperti Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Anas ra.
yang berkata, ―Tatkala Fathimah binti Asad ibunda ‗Ali bin Abi Thalib
wafat, Rasulullah SAW. masuk ke rumahnya....‖ dan seterusnya, hingga
pada akhir hadis dikisahkan :
ج ة ث ط فا مل فر اغ ت ي ل ح و ج يي و يي ي ال لل
أ
شدأ بياء
وال م بي بق ا ي دخ ا يي ع ع ووش ا خ ج ح ا ل وى
احي لر ا رحأ فإم قتلى ي (ال ف عي واة اىطبران ه روا
نس ا ع لاء الو ييث )ح
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup,
tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad,
tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq
Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat
yang paling mengasihi‖. (HR al-Thabrani dan Abu Nuaim dari
Anas).12
Dalam hadis di atas kita bisa melihat betapa Rasulullah SAW.
bertawassul kepada Tuhannya dengan perantara dirinya sendiri yang
memang memiliki kedudukan yang tertinggi dan diri saudara-saudaranya
sesama Nabi yang semuanya telah wafat.
2) Tawassul dengan perantara amal-amal baik yang pernah dilakukan
Ini seperti yang terjadi pada tiga orang lelaki yang memasuki sebuah
gua sehingga ketiganya tidak bisa keluar. Kisah ini dimuat dalam shahih
al-Bukhari dan lain-lain. Penjelasannya adalah sebagai berikut : Salah
satu berkata : ―Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali bila
kalian memohon kepada Allah dengan amal-amal sholeh yang telah
kalian lakukan. Maka masing-masing berdo‘a dengan menggunakan
12
Musa Muhammad Ali, Hakekat Tawassul dan Wasilah ,(Tasikmalaya: Pondok Pesantren
Suryalaya,2000) h.47.
15
perantaraan amal shalehnya seraya memohon agar hal itu bisa diterima
oleh Allah SWT. ternyata Allah mengabulkan do‘a mereka.
3) Bertawassul dengan perantara orang-orang sholeh
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Anas ra. bahwa telah memohon
dengannya pada suatu tahun yang kering. Permohonannya dikabulkan
dan hujan pun turun. Demikian pula Hamzah bin Al-Qasim Al-Hasyimi
di Baghdad pernah shalat Istisqa dan berdo‘a ―Ya Allah aku adalah
putera orang yang melakukan shalat Istisqa dengan kedudukan Umar bin
Khattab yang dituangkan, maka turunkanlah hujan.
3. Pendapat Ulama tentang Tawassul
a. M. Quraish Shihab
Dalam bukunya Tafsir Al-Misbah, Vol. 3. Quraish Shihab
berpendapat bahwa tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah
dengan menyebut nama Nabi dan para wali atau orang yang dekat
dengan-Nya, dengan cara berdo‘a kepada Allah guna meraih keinginan
yang dimaksud demi para Nabi atau orang-orang shalih yang dicintai
Allah SWT.13
b. KH. Siradjuddin Abbas
Dalam bukunya ―40 Masalah Agama‖ berpendapat bahwa
Tawassul adalah mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri
kita kepada Tuhan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa
tawassul atau washilah adalah berdo‘a kepada Allah SWT melalui
perantara para Nabi, para wali, atau orang sholeh agar do‘a kita cepat
dikabulkan oleh Allah Swt.14
c. Syekh Abu Saif al-Hamamy
Tawassul sebagai praktek ubudiyyah yang membawa anbiya dan
aulia sebagai wasilah (perantara). Namun pada kenyataannya banyak
yang secara dzohir manusia tersebut memohon dan mengadu bukan
13
M.Quraish Shihab, Tafsir Al misbah , Vol 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2001) h.82. 14
Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), h. 130.
16
kepada Allah malainkan mereka memohon dan mengadu kepada Anbiya
dan Aulia yang menjadi wasilahnya. Tawassul seperti ini disebut
musyrik.15
d. Syekh Abdullah Zaini Adzdzimawi
Tawassul adalah do‘a/permintaan yang diajukan kepada Allah Swt.
dengan perantara kebesaran/keagungan orang-orang yang dekat dengan
Allah Swt. Bahwa bertawassul kepada anbiya dan aulia itu dibenarkan
adanya, diperbolehkan untuk dilaksanakan.16
e. Syeikh Muhammad bin Ali Al Syaukany
Beliau telah menyatakan dalam Risalahnya, ―Al-Dur Al-Nahdid Fi
Ikhlash Al Tauhid‖ (permata yang tersusun untuk memurnikan tauhid),
bahwa tawassul kepada allah dengan salah satu ciptaan-Nya, dengan
suatu yang permohonan yang ditujukan manusia kepada tuhannya,
menurut Syeikh bin Abdus Salam tidak dibenarkan, kecuali bertawassul
dengan Nabi Saw.17
f. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang tergolong ulama besar dari kalangan Wahabi
tidak sepenuhnya melarang tawassul dengan Rasulullah atau dengan
yang lain. Menurutnya, jika tawassul kepada Nabi Muhammad
dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan kecintaan kepadanya
maka diperbolehkan.18
g. Muhammad bin Abdul Wahab
Pada abad ke-8 H. tawassul ditolak oleh Ibnu Taimiyah. Dua abad
kemudian Muhammad bin Abdul Wahab lebih memperluas penolakan
ini. Tawassul diperkenalkan sebagai melanggar hukum serta bid‘ah dan
15
Abdul Hakim M., Op. Cit., h. 206. 16
Ibid., h. 207. 17
Muhammad Alawy Al Maliky, Mafahim Yajib An Tushahhah, diterjemahkan oleh Indri
Mahally Fikry dengan judul Paham-paham yang perlu diluruskan, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska,
1994), h. 165. 18
Ibnu Taimiyah., Op. Cit., h.119.
17
kadang kala diberi label sebagai penyembah para wali ilahiah. Secara
umum ulama Wahabi membolehkan tawassul pada nama Allah dan sifat-
sifat-Nya dan atas amal baik seseorang atau pada orang yang soleh yang
masih hidup dan melarang tawasul pada orang yang sudah mati walaupun
kepada Nabi Muhammad sendiri apalagi tawasul kepada para wali.
Pendapat kalangan Wahabi dalam soal ini mengikuti pada pandangan
Ibnu Taimiyah. 19
h. Madzhab Hanafi
Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya ―tidak boleh‖ memohon
kepada sesama makhluk. Mereka mengatakan: ―Tak boleh memohon
kepada sesama makhluk, tak boleh seorang berkata: aku memohon
kepada-Mu atas nama Nabi-Mu.‖ Abul Husain al-Quduri dalam bukunya
yang sangat terkenal (dalam fiqh), Syarh al-Karkhi, menyatakan makruh,
yang juga dianut oleh sebagian pengikut Imam Hanafi. Basyar bin Walid
mengungkapkan riwayat Abu Yusuf bahwa Abu Hanifah berkata: tak
layaknya seseorang berdo‘a kepada Allah kecuali dengannya.20
i. Mazhab Maliki
Ibnul Haj dalam kitabnya Al-Madkhal 1/259-260 menyatakan:
tawasul kepada Nabi Muhammad adalah tempat untuk menghapus
tanggungan dosa dan kesalahan. Karena barakah syafa‘at Nabi dan
keagungan Nabi di sisi Tuhannya tidak bisa dikalahkan oleh dosa.
Karena syafa‘atnya lebih besar dari semuanya. Maka bergembiralah
orang yang berziarah ke makamnya dan berdoa pada Allah dengan
syafa‘at Nabi-Nya. Adapun orang yang belum mengunjungi makam
Rasulullah semoga Allah tidak menghalangi syafatnya dengan
19
Ja‘far subhani, wahabism, diterjemahkan oleh Arif M. dan Nainul Aksa dengan judul
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ajarannya (Jakarta: Pustaka Citra, 2007), h. 107. 20
Ibnu Taimiyah., op.cit., h. 67.
18
kehormatannya di sisimu. Siapa yang berkeyakinan berbeda dengan ini,
maka dia orang yang terhalang (mahrum).
j. Madzhab Syafi'i
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk, "Kitab Sifat Haji: Bab
Ziarah Kubur Nabi", halaman 8/274 berkata: Peziarah (kubur Nabi)
hendaknya kembali ke tempatnya yang pertama dengan menghadap
wajah Rasulullah dan bertawassul dengannya dalam hak dirinya dan
meminta syafaat Nabi pada Tuhannya.
k. Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hambali, membolehkan
tawassul yang dinukil oleh Al-Mardawi dalam Al-Inshaf "Kitab Shalat
Istisqo", halaman 2/456: "Faidah: Boleh tawasul dengan orang soleh
menurut pandangan yang sahih dari madzhab. Dikatakan: Disunnahkan.
Imam Ahmad Al-Mardawi berkata: Boleh bertawasul dengan Nabi dalam
doanya. Pendapat ini ditetapkan oleh Al-Mardawi dalam Al-Mustaw'ab
dan lainnya.
l. Muhammad bin Sholeh Al-Uthaimin
Ibnu Usaimin membagi tawasul menjadi dua yaitu tawasul yang
benar (sahih) berdasarkan syariah dan tawasul yang tidak benar atau
bid'ah. Pertama, tawasul yang benar yaitu tawasul yang menggunakan
wasilah (perantara) yang benar yang dapat mengantarkan pada tujuan
yang diinginkan. Tawasul yang benar menurut Ibnu Usaimin ada enam,
yaitu:
a) Tawasul dengan memakai asma atau nama Allah.
b) Tawasul pada Allah dengan sifat Allah
c) Tawasul pada Allah dengan iman pada Allah dan Rasul-Nya.
d) Tawassul pada Allah dengan amal salih yang pernah dilakukannya.
e) Tawassul pada Allah dengan menyebut keadaan dan kebutuhan orang
yang berdoa.
19
f) Tawassul pada Allah dengan doa dari orang salih yang diharapkan
terkabul.
Kedua, tawasul yang tidak benar yaitu tawasul pada Allah dengan
perantara atau wasilah yang tidak diakui syariah. Dalam hal ini ada dua,
yaitu:
a) Tawassul pada Allah dengan berdoa pada orang mati dengan harapan
orang mati ini dapat berdoa untuknya.
b) Tawasul dengan Nabi Muhammad.
m. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Dalam salah satu fatwanya, Bin Baz berkata: Tidak boleh tawasul
pada dzat Nabi Muhammad, nabi-nabi yang lain dan para orang sholeh
yang sudah meninggal. Dan tidak boleh tawasul ke hadapan Nabi
Muhammad dan lainnya karena hal itu adalah bid'ah yang tidak ada
dalilnya dari Nabi atau Sahabat Nabi. Yang boleh adalah tawassul
dengan menunjukkan cinta pada Nabi Muhammad dan beriman padanya
dan mengikuti syariatnya pada masa hidup dan wafatnya Nabi.21
4. Tawasul dalam al-Qur‘an
a. Pengertian al-Qur‘an
Pengertian al-Qur‘an secara etimologi adalah bacaan. Kata dasarnya
qa-ra-a, yang artinya membaca. Al-Qur‘an bukan hanya untuk dibaca,
akan tetapi isinya harus diamalkan. Oleh karena itu al-Qur‘an dinamakan
kitab, yang ditetapkan atau diwajibkan untuk dilaksanakan. Adapun
pengertian dari segi istilah, para ahli memberikan definisi sebagai
berikut:22 Qara‘a juga memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun.
Qira‘ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang
lainnya dalam satu ungkapan yang teratur. Secara khusus, al-Qur‘an
21
Http://www.alkhoirot.net/2014/08/tawassul-dalam-Islam. yang diakses pada tanggal 4
oktober 2015. A.n. M.Ilham. 22
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
h.171.
20
menjadi nama nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi
muhammad Saw. maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri.23
Al-Qur‘an adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan
utama. Menurut keyakinan umat Islam yang diakui kebenaranya oleh
penelitian ilmiah, al-Quran adalah kitab suci yeng memuat firman-firman
(wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampaikan oleh Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit
selama 22 tahun 2 bulan 22 hati, mula-mula di Mekkah kemudian di
Madinah.24 Al-Qur‘an merupakan sumber utama dalam segala hal yang
meliputi: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, dan Konsepsi. Al-Qur‘an
adalah firman Allah yang merupakan sebaik-baik perkataan. Firman
Allah di atas segala perkataan manusia dari golongan manapun.25
Tawassul dalam al-Qur‘an diantaranya:
a. Tawassul kepada Nama-nama Allah Swt. (Asma‟ul Husna)
Dengan memahami dan menghayati asma-ul husna ini, maka
akan jelaslah bagi kita bahwa kita adalah makhluk.26 Dengan nama-
nama-Nya yang baik dan atau sifat-sifat-Nya yang mulia. Sebagaiman
Firman-Nya:
اءولل شأ نهٱلأ صأ لحأ هفٱ ع دأ ٱ وذروا ا ة ي ٱل ئ م شأ
أ ف حدون يأ ي ۦ
ن ي يعأ ا ك ا ن زوأ جأ ١٨٠شي
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A‘raf [7]:180)
23
Syaikh Manna‘ al-Qaththan, pengantar studi ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar: 2011), cet. 6 h. 16. 24
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Jaya, 2008)
h.93. 25
Darwis Abu Ubaidah, Panduan Ahlu Sunnah Waljama‟ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2012), h. 192. 26
Zuardin Azzaino, Asma-ul Husna, (Jakarta: Pustaka Al-Hidayah), h. 187.
21
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah
untuk berdo‘a kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya.
Karena do‘a yang menggunakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya
mudah dan lebih dekat dikabulkan. Dalam praktiknya, Rasulullah
memberikan contoh yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh umat
ini. Anas bin malik menyebutkan setiap kali Nabi merasa diberatkan
atau disedihkan oleh suatu persoalan, maka beliau mengucapkan:
حي ةرحيا م قي ديا اشخغي خم
“Wahai Dzat yang maha hidup, Wahai Dzat yang terus menerus mengurus makhluk-Nya (Maha Mandiri), dengan Rahmat-Mu aku
memohon pertolongan.‖ (HR. At-Tirmidzi)27
Maksud dari tawassul adalah kepada Allah Swt. sedangkan
sesuatu yang dijadikan hanyalah berfungsi sebagai pengantar dan atau
mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.. Artinya,
tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdo‘a dan merupakan
salah satu pintu dari pintu-pintu terhadap Allah Swt.28
b. Tawassul dengan Wali Allah
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan boleh tidaknya
bertawassul dengan wali Allah. Ulama syari‘ah berpendapat bahwa
tawassul kepada wali tidak dibolehkan, karena menurut mereka wali
Allah tersebut tidak berhak memberi syafa‘at kepada manusia dan
juga mereka itu tidak maksum dari kesalahan-kesalahan. Sementara
para ulama thariqah29 membolehkan tawassul dengan wali Allah,
27
Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 373. 28
Abdul Hakim M., Implementasi Aswaja dalam Peribadatan kepada Allah (Cirebon:
Pustaka Syahadat, 2009), h. 57. 29
Thariqah mengajarkan para pengikutnya tentang hal-hal teknis yang menyangkut sikap
dan prilaku sehari-hari, mencakup masalah ibadah, mencakup masalah ibadah, akhlak, wirid dan
dzikir. Lebih lanjut lihat, buku Ahlussunnah wal Jama‟ah dalam Persepsi Tradisi NU, Muhammad
Tholhah Hasan, h. 154
22
karena mereka adalah orang-orang yang dikasihi Allah, sehingga
melalui perantara (tawassul) mereka Allah akan menerima do‘a.30
ول شبيو ف خو لأ ي ل ا ل ل ت ٱلل ل هل ول ياء حأأ ةوأ هت و أ
أ عرون ١٥٤تشأ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya‖. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 154)
ول تأصب ي ٱل شبيو ف ا ي كخ ٱلل أ رب عد ياء حأأ ةوأ ا هح و أ
أزك يرأ ١٦٩ن
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. (Q.S. Ali-Imran [3]: 169)
Tawassul dengan kekasih Allah artinya menjadikan para kekasih
Allah sebagai perantara menuju Allah dalam mencapai hajat, karena
kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai
kenyakinan, bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah Swt.
yang dijadikan oleh-Nya sebagai aspek segala kebaikan, barakah dan
kunci pembuka setiap rahmat. Pada hakikatnya, orang yang
bertawassul itu tidak meminta hajatnya terkabulkan kecuali kepada
Allah dan tetap berkenyakinan bahwa Allah lah yang Maha Pemberi
dan Maha Menolak, bukan lainnya. Ia menuju kepada Allah dengan
orang-orang yang dicintai Allah, karena mereka lebih dekat kepada-
Nya, dan Dia menerima do‘a mereka dan syafa‘atnya dan karena
kecintaan-Nya kepada mereka dan karena cinta mereka kepada-Nya.
Allah itu mencintai orang-orang baik dan orang bertakwa.31
30
Ahmad Mufid A. R., Op. Cit., h. 97-98. 31
Zaenal Abidin Al-Maliki Al-Husaini, Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi‟Aqidah al-Firqah an-
Najiyah diterjemahkan oleh H.M. Fadlil Sa‘id An-Nadwi dengan judul Tanya Jawab Akidah
Ahlussunnah Wal Jama‟ah, (Surabaya: Khalista, 2009), Cet. 1, h. 74.
23
5. Tawasul dalam As-Sunnah
a. Pengertian Sunnah
Sunnah atau hadist adalah sumber kedua ajaran Islam. Sunnah secara
harfiah berarti suatu sarana, suatu jalan, aturan, dan cara untuk berbuat
atau cara hidup. Ia juga berarti metode atau contoh. Dalam persetujuan
yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.32 As-Sunnah petunjuk bagi
umat manusia setelah kitab suci al-Qur‘an. ketinggian dan kemuliaannya
dapat dilihat dari berbagai ketetapan hukum dalam syari‘at Islam, bahkan
as-Sunnah merupakan kunci untuk memahami agama Allah yang mulia
ini.33
Ada tiga jenis sunnah. Pertama adalah qawl atau perkataan Nabi
SAW. Kedua adalah fi‟li atau tindakan atau perbuatan Nabi SAW. Ketiga
adalah taqrir atau sikap diam Rasulullah sebagai persetujuan dari
tindakan atau amal perbuatan orang lain.
Tawassul dalam as-Sunnah diantaranya:
a. Tawassul dengan Nabi Muhammad Saw.
Tawassul (berperantara) dengan jalan beriman kepada apa yang
dibawa oleh Nabi Saw. dengan jalan ber-taqarrub (mendekatkan diri)
kepada-Nya dengan melaksanakan yang wajib dan yang sunat–sunat.
Jadi, dengan jalan beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. dan melaksanakan segala yang wajib dan yang
sunat–sunat, maka orang akan sampai kepada keridhaan Ilahi dan
kelak akan sampai pula ke surga-Nya. Tawassul dengan Nabi
sebagaimana yang lazim dilakukan para sahabat, yaitu tawassul
dengan do'a beliau Saw., ketika beliau masih hidup, dan tawassul
dengan syafaat beliau, dan ini pun dalam bentuk do'a langsung kepada
Allah Swt.
Dan sabda Nabi Saw.:
32
Muhammad Alim, Op.Cit. h.188. 33
Darwis Abu Ubaidah, Op.Cit. h. 195.
24
اء لد ا ع يص حي كال : ي ل ا ث لتا ا ة ع الد ه هذ رب
ا د م شيدا ت آ ث لائ اى ة لا لص نوا وابعث يث فضي واى يث شي ل اد م ا لا وعدح ى ال فاعتا ش ل ج ي الربعث.ح ه روا
"Barangsiapa ketika mendengar azan mengucapkan: „Ya
Allah, Tuhan bagi seruan sempurna ini, dan (Tuhan bagi)
shalat yang akan didirikan ini, berilah kepada Muhammad
wasilah dan fadilah dan derajat yang terpuji yang telah
Engkau janjikan baginya‟, niscaya akan berhaklah baginya
syafaatku pada hari Kiamat.” (H.R. Imam Empat)
Maka kedua wasilah di atas adalah khusus untuk Rasulullah Saw.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Saw., wasilah adalah satu derajat
di surga yang tidak diperoleh kecuali oleh seorang hamba dari hamba
Allah, dan kata Nabi Saw. dan aku berharap, bahwa akulah hamba
tersebut. Jadi, siapa saja yang memohon (berdo'a) kepada Allah agar
Nabi Saw. menjadi wasilahnya, maka berhaklah ia atas syafa'atnya di
akhirat nanti. Maka bentuk tawassul ini adalah berupa do'a. Dan
tawassulnya para shahabat dengan Nabi Saw. dan tawajjuh
(menghadap) mereka dengan Nabi Saw. dalam pengertian mereka dan
perkataan-perkataan mereka, adalah tawassul dengan do'a dan syafaat
Nabi, seperti diuraikan diatas.34
b. Tawassul dengan Amal Shaleh
Dalam memahami tawassul, terdapat beberapa pendapat yang
mengharamkan tawassul dengan alasan tawassul tersebut identik
memohon pertolongan kepada selain Allah, dalam hal ini dihukumi
musyrik. Namun mereka tidak menyalahkan orang yang bertawassul
dengan amal shaleh. Orang yang berpuasa, sholat, membaca al-
Qur‘an, berarti dia bertawassul dengan puasanya, sholatnya, dan
bacaan al-Qur‘annya untuk mendapatkan ridha Allah. Bahkan,
34
Http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/12/macam-macam-tawassul. Diakses tanggal
3 oktober 2015. Abdul Aziz.
25
tawassul dimaksud lebih memberi optimisme untuk diterima dan
tercapainya tujuan.35
Bertawassul dengan perantara amal shaleh merupakan tawassul
yang diperbolehkan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis panjang yang
diriwayatkan al-Bukhari dalam kitabnya Juz 3 Halaman 37. Dalil yang
dijadikan hujjah adalah hadits tentang tiga orang yang tertutup oleh
mulut gua ketika mereka berada di dalamnya. Salah seorang diantara
mereka bertawassul kepada Allah dengan birrul walidain-nya, yang
kedua bertawassul kepada Allah dengan sikapnya yang menjauhi
kemungkaran dan yang ketiga bertawassul dengan sikap amanahnya
dalam memelihara harta orang lain, sehingga Allah meringankan atau
membuka mulut gua itu.36
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya faidah amal kelakuan
yang tulus ikhlas, hingga dapat dipergunakan bertawasul kepada Allah
dalam usaha menghindarkan bahaya yang sedang menimpa. Juga
menunjukkan bahwa manusia harus mengutamakan orang tua dari
anak istri. Juga menunjukkan kebesaran pengertian dari penahanan
hawa nafsu, dan kerakusan terhadap harta upah buruh.37
6. Contoh-contoh tawassul
Kaidah-kaidah dalam tawassul dengan asma‟ul husna dan dzat-dzat
yang mulia, seperti Nabi Saw, para nabi dan hamba-hamba Allah yang
shaleh:
a. Memohon dengan perantara asma‟ul husna, contoh: ―Ya Allah dengan
kasih sayangmu, dan dengan kekuasaanmu, kami mohon kesembuhan
pada diri kami.38
35
Abdul Hakim, Op. Cit., h. 57. 36
Ahmad Mufid A. R., Risalah Kematian (Merawat jenazah, Tawassul, Ta‟ziyah, dan
Ziarah Kubur) (Jakarta: Total Media, 2007), h. 94. 37
Abu Zakaria Yahya bin Syarif, Riadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreijs
dengan judul Tarjamah Riadhus Shalihin , (Bandung: Alma‘arif, 1986), h. 22. 38
Abdul Hakim M., Mencari Ridho Allah, (Cirebon: FKPI, 2009), h. 207.
26
b. Memohon (berdo‘a) kepada Allah dengan bantuan mereka, contoh:
―Ya Allah, saya memohon kepadamu melalui nabi-Mu Muhammad
Saw. atau dengan hak beliau atas Kamu atau saya menghadap kepada-
Mu dengan Nabi Saw. untuk...‖
c. Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon
kepada Allah untuknya dalam terpenuhi hajat hajatnya, seperti: ―Ya
Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah swt. agar Dia menurunkan
hujan kepada kami atau...‖
d. Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah, dan menyakininya
hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena
pertolongan orang yang dijadikan wasilah dan karena do‘anya pula.39
Contoh-contoh do‘a dalam bertawassul lainnya:
a. Mendatangi seorang ulama atau yang di anggap mulia dan dikasihi
Allah, lalu dikatakan kepada beliau: ―Saya akan berdoa memohonkan
sesuatu kepada Allah, tetapi saya berharap pula Tuan Guru
mendoakan kepada Allah bersama saya, supaya permintaan saya ini
dikabulkan-Nya.‖ Lalu kedua orang itu berdoa. Inilah namanya berdoa
dengan bertawassul.
b. Berziarah kepada Nabi, pada ketika beliau hidup atau pada ketika
beliau telah meninggal, kemudian berdoa di situ dan mengharapkan
agar Nabi Muhammad Saw. mendoakan kita kepada Allah. Ini
namanya berdoa dengan tawassul, dengan orang yang masih hidup
atau yang telah wafat.
c. Berziarah ke maqam Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang ulama
tasawwuf yang besar di Baghdad, lantas berdoa di situ kepada Allah:
―Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, saya
mohon ampunan dan keridhaan-Mu berkat beliau yang ber-maqam di
sini karena beliau ini saya tahu seorang ulama besar yang Engkau
39
Zaenal Abidin, Op. Cit., h. 88.
27
kasihi. Berilah permohonan saya, ya Allah ya Rahman dan Rahim.‖
Doa macam ini namanya doa dengan tawassul.
d. Berdoa kepada Allah: ―Ya Allah, berkat ‗Jah‘ (kelebihan) Nabi
Muhammad Saw. berilah permohonan saya.‖ Ini namanya doa dengan
tawassul dengan ‗Jah‘ (tuah atau kelebihan) Nabi.
e. Berdoa : ―Ya Allah, saya ada mengerjakan amalan yang baik yaitu
tetap hormat kepada ibu bapak saya, tak pernah saya durhaka. Ya
Allah Yang Maha Mengetahui, kalau amal itu diterima oleh-Mu, maka
terimalah permohonan saya ini.‖ Ini namanya doa bertawassul dengan
amal ibadat.
f. Berdoa kepada Allah: ―Ya Allah, berkat nama-Mu yang besar, berilah
saya dan itu.‖ Ini namanya berdoa dengan bertawassul dengan nama
Allah.40
7. Pendidikan Islam
Sebelum mengetahui makna pendidikan Islam, terlebih dahulu
dikemukakan arti pendidikan pada umumnya. Istilah pendidikan berasal dari
kata didik dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan" mengandung
arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula
berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan.
Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang
berarti pendidikan.41 Menurut Marimba mengatakan bahwa pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.42 Ketika kata Islam dimasukkan
dalam pendidikan ia memiliki makna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan
40
Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996),
hal. 284-287. 41
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), Cet. 4, h. 1. 42
Ahmad D. Marimba, Metodik Khusus Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1981), Cet. 5,
h. 19.
28
yang didasarkan kepada ajaran Islam yaitu al-Qur‘an dan al-Hadits. Kata
Islam berasal dari bahasa Arab ; aslama, yuslimu, islaman, yang berarti
berserah diri, patuh dan tunduk.43
Menurut Zuhairini pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan
kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau
suatu upaya dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan dan berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-
nilai Islam.44 Zakiah Daradjat mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan individual dan masyarakat, karena di dalam ajaran Islam berisi
tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan
hidup perorangan dan bersama serta lebih banyak menekankan kepada
perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan sendiri maupun orang lain.45
Sedangkan menurut M. Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip Azra
pengertian pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal
dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena
itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan
damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis, dan pahitnya.46
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam adalah sebuah upaya terencana dalam membentuk kepribadian
manusia muslim untuk mengubah tingkah lakunya ke arah yang lebih baik
atas dasar nilai-nilai ajaran Islam (al-Qur‘an dan al- Hadits).
Yang dimaksud dengan penerapan tawassul dalam pendidikan Islam
adalah pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dan
43
Muchotob Hamzah dan M. Imam Aziz, Tafsir Maudhu'i al-Muntaha, (Yogyakarta: PT
LKIS Pelangi Aksara, 2004), h. 82. 44
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. 1, h. 152. 45
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 28. 46
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru ,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 5.
29
penginternalisasian nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Tawassul
artinya artinya penghubung atau hubungan. Baik hubungan kepada Allah,
maupun dengan sesama manusia atau dengan alam sekitarnya.
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Setelah penulis meneliti, ternyata judul skripsi ternyata judul skripsi
―Dimensi tawassul dalam perspektif al-Qur‟an dan as-Sunnah dan
Implementasinya dalam pendidikan Islam.‖ Belum pernah dikaji meskipun
terdapat judul skripsi seperti dibawah ini:
1. Konsep Ibadah dalam al-Qur‟an, oleh Irvan (809011000009) PAI Tahun
2014.
Skripsi ini ada beberapa persamaan dengan skripsi yang penulis kaji,
dalam skripsi ini menjelaskan konsep ibadah menurut al-Qur‘an. Namun,
berbeda dalam skripsi yang penulis kaji meneliti bentuk ibadah yang lebih
spesifik yaitu ibadah dalam bentuk berdo‘a yaitu tawassul.
2. Metode Pendidikan Keimanan dalam al-Qur‟an, oleh Lukmanul Hakim
(208011000074) PAI Tahun 2013.
Skripsi tersebut berbeda dengan skripsi penulis, karena dalam skripsi
tersebut meneliti di dalam al-Qur‘an yang berkaitan dengan pendidikan
keimanan yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah Rasul, dan meneliti
metode dalam mengajar dalam al-Qur‘an karena dalam pendidikan tidak
terlepas dari metode pembelajaran untuk mendukung terlaksananya aktivitas
belajar yang efektif dan efisien.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Dimensi Tawassul dalam Perspektif Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam.” ini dilakukan
dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan
Oktober digunakan untuk pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan, internet serta sumber
lainnya yang mendukung penelitian. Kemudian menyusun data-data dalam bentuk
penelitian (laporan) dari sumber-sumber yang telah ditemukan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif bukanlah sekedar menuliskan pengalaman, yaitu bercerita atau
mendeskripsikan tentang apa yang dilakukan, dilihat atau didengar, tetapi harus
mengulas dan membahas penemuannya berdasarkan kajian ilmu dengan teknik
yang benar.1
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka (library
research). Kajian pustaka umumnya dimaknai berupa ringkasan atau rangkuman
dan teori yang ditemukan dari sumber bacaan (literatur) yang ada kaitannya
dengan tema yang akan diangkat dalam penelitian. Kajian pustaka membatasi
kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan
riset lapangan. Kajian pustaka tidak hanya sekedar urusan membaca dan mencatat
literatur atau buku-buku sebagaimana yang sering dipahami banyak orang selama
ini. Apa yang disebut dengan kajian pustaka adalah serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian.2
Dalam penyusunan skripsi ini adalah metode pendekatan deskriftif analisis,
dengan mencari dan mengumpulkan data, menyusun, serta menguraikan secara
lengkap, teratur dan teliti terhadap obyek penelitian. Pendekatan yang digunakan
penelitian ini adalah pendekatan secara normatif. Pendekatan secara normatif yaitu
1Amin Abdullah, Metedologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta, 2006), h.140. 2Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan , (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 1-3.
31
diteliti dengan merujuk pada tafsir-tafsir terkait berdasarkan al-Qur’an dan Hadis
maupun ketentuan lainnya.
C. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan (library research) yaitu
kepustakaan murni dengan mencari buku-buku dan kitab yang relevan dengan
judul skripsi.3 Langkah yang di tempuh Untuk pengumpulan data-data dilakukan
dengan cara membaca, menelaah, buku-buku, majalah, surat kabar dan bahan-
bahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan tawassul dan beberapa
sumber diantaranya sebagai berikut :
Pertama, sumber primer dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Tafsir Tabhari, Tafsir al-Asas (tematik), Tafsir Fathul Qadir, dan buku-buku
tafsir lainnya.
b. Shahih Bukhari-Muslim, Shahih Al-Mustadrak dan buku-buku hadis
lainnya.
Kedua, data sekunder berupa dokumen-dokumen dan buku-buku yang
mengulas tentang tawassul seperti: Tawassul dan Wasilah, Meluruskan
Kesalahpahaman, Empat Puluh Masalah Agama, Dasar Membid’ahkan
Seseorang, Inilah Syari’ah Islam.
2. Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklarifikasi data-
data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya
penulis bandingkan, analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Analisa Data
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah
karena dengan analisa tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian.4 Setelah data yang dibutuhkan terkumpul,
selanjutnya diadakan klasifikasi dari beberapa bagian masih terpencar maka
dilakukan penalaran dan pemikiran, kemudian disajikan dengan metode deskriptif
analisis yang kemudian, disusun menjadi sebuah kesatuan yang utuh juga mudah
3Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach Jilid 2, (Yogyakarta: Andi Iffiset, 1987), h. 9.
4Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 405.
32
dipahami dan dimengerti. Dalam teknik analisa data di sini peneliti menggunakan
metode content analiysis, yang artinya menganalisa isi buku yang relevan dengan
judul dan bersumber dari hasil pengumpulan data kepustakaan. Content analysis
atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan
dengan bembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang
kemudian dideskripsikan, dibahas, dan dikritik. Selanjunya dikategorisasikan
(dikelompokan) data yang sejenis, dan dianalisis isinya secara kritis guna
mendapatkan formulasi yang konkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya
dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah yang ada.5
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
5Ibid., h. 163.
33
BAB IV
DIMENSI TAWASSUL DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
DAN AS-SUNNAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pemahaman Dalil al-Qur’an dan al-Hadis
1. Tawassul yang dilarang dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah
a. Q.S. Az-Zumar [39]: 3
لاااأ الل الع ااٱلي اوااٱلخ ي ااٱل ذوا ااٱت ادو اللرباااۦا اإل خ تد ااجهخ ا لاء وخ
أ
اإلا ااٱلل ا٣زىخف“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): „Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 3)
Menurut Ibnu Taimiyah, memaknai ayat diatas bahwa orang-orang kafir
yang menyembah orang-orang dulu mengatakan bahwa ia menyembahnya
karena akan mendekatkan dirinya kepada kepada Allah Swt.. Halnya dengan
orang-orang yang mendo‟a dengan bertawassul sama dengan orang-orang kafir
karena membawa nama-nama nabi, nama wali untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Karena itu, orang yang mendo‟a dengan bertawassul adalah musyrik,
kata Ibnu Taimiyah. Pendeknya, Ibnu Taimiyah berfatwa bahwa orang-orang
Islam yang mendo‟a dengan tawassul, baik kepada orang yang hidup maupun
atau kepada orang yang telah mati adalah kafir, sama dengan orang kafir yang
menyembah berhala dengan i‟tiqad-nya agar menghampirkan diri kepada Allah,
sebagai tersebut dalam surat az-Zumar ayat 3 ini.1
Maksudnya adalah, orang-orang yang menjadikan penolong-penolong lain
selain Allah untuk menolong diri mereka, menyembah selain Allah, mereka
berkata kepada penolong-penolong itu, Wahai tuhan-tuhan, kami menyembah
kamu hanyalah agar kamu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
1Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah , (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996), h.
287.
34
dekatnya. Agar tempat kami dengan-Nya. Agar kamu memberikan pertolongan
kepada kami dari sisi-Nya dalam setiap keperluan kami.”2
Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim
menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al-Harits
menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia
berkata: Warqa menceritakan kepada kami, semua dari Ibnu Abi Najih, dari
Mujahid, tentang ayat, ازىخفا اإلاٱلل اللربااإل خ تد اااجهخ , “Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya,” ia berkata, “Orang-orang Quraisy mengucapkan kalimat ini
kepada berhala-berhala mereka. Sedangkan orang sebelum mereka
mengucapkan kalimat seperti kepada malaikat, Isa putra Maryam, dan Uzair.”3
Di dalam ayat ini dikatakan syirik seandainya mereka menyekutukan Allah,
begitupun dalam berdo‟a kalau meminta kepada selain Allah dan seandainya
dalam bertawassul ber-i‟tiqad atau berkeyakinan yang menjadi perantara yang
akan mengabulkan do‟anya dan menganggap Allah membutuhkan selain-Nya
bisa dikatakan itu musyrik.
Tawassul yang bid‟ah dan dilarang, yaitu orang bertawassul dan ber-i‟tiqad
bahwa yang akan mengabulkan kehendaknya adalah yang menjadi perantara
permohonannya. Atau memohon kepada si mayit untuk memenuhi permohonan
seseorang, atau minta do‟a dan pertolongan kepadanya, atau berdo‟a di dekat
kuburannya dengan kenyakinan bahwa akan dikabulkan oleh perantara tersebut
dan itu adalah haram dan dilarang. Dan orang yang mengerjakan hal itu akan
mendapat murka dan laknat dari Allah Swt.
2Syaikh Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Al Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi Al
Qur‟an, diterjemahkan oleh Anshari Taslim dkk. Dengan judul Tafsir Al Thabari, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 276. 3Ibid., h. 277.
35
2. Q.S. Yunus [10]: 106
ااولا ادون ا ع احدخ ااٱلل ا اإذا افإم اذهيخج افإن ك ايض اول ايفهم ال ا
ييا اا١٠٦اٱىظ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. Yunus [10]: 106)
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada
yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dan Dia lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut faham Wahabi4 dalam Kitab Tauhid Imam Abdul Wahab,
menafsirkan ayat tersebut bahwa sandaran do‟a dalam permohonan pertolongan
termasuk penyandaran yang umum kepada yang khusus. Penjelasan firman
Allah “Jangan kamu sembah selain Allah yang tidak memberikan kemanfaatan
kepadamu dan juga tidak bisa mendatangkan kemudharatan kepadamu”. Bahwa
penyembahan kepada selain Allah ini adalah syirik besar dan menyembah
kepada selain Allah itu tidaklah berguna di dunia di samping memang hal itu
merupakan kekufuran serta manusia paling shaleh, jika menggunakan
keshalehannya itu untuk mencari keridhaan dari selain Allah maka orang itu
termasuk zhalim.
Abu Ja‟far berkata: Allah berfirman, “Wahai Muhammad, janganlah kamu
menyeru selain Allah berupa sembahan yang tidak bisa memberi manfaat di
dunia dan di akhirat, yaitu para berhala. Di sini Allah seolah-olah berfirman,”
Janganlah kamu sembah mereka demi mengharap manfaat manfaatnya atau takut
4Ajaran dan dasar pemikiran Salafi Wahabi bahwa ajaran tersebut adalah ajaran kenyakinan dan
tauhid. Dan materi inti dari pemikiran Salafi Wahabi yaitu tentang tasybih (meyerupakan Allah dengan
makhluk) dan tajsim (menyakini bahwa Allah bertubuh) yang diistilahkan oleh kaum Wahabi dengan
nama Tauhid Asma dan Sifat Allah Swt. Lihat Mini Ensklopedi Wahabi, Sayyid Hasan Al Saqqaf, h.
120.
36
akan bahayanya, karena sesungguhnya berhala itu tidak membahayakan atau
tidak pula memberi manfaat. Bila kamu lakukan itu, maka berdo‟a kepada
mereka masuk dalam perbuatan orang-orang zhalim—musyrik kepada Allah—
yang menzhalimi dirinya sendiri.”5
3. Q.S. Al-Ahqaf [46]: 5
خا ادونااو ا ا ن ايدخ ام ؽواأ خجيبالااٱلل ايصخ ال ااۥا م خ اي ثاإل ااٱىخلي خ و
ا فين اغ خ ادعن ااوإذاا٥ن ااٱلناساخش خ اةهتادح ا اوك داء نخ
اأ خ ال ا ك
ا فري اا٦ك
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah
sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai Hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa
mereka.” (Q.S. Al-Ahqaf [46]: 5)
Bahwasanya Allah tidak menyesatkan orang yang menyembah selain Allah,
(perbuatannya lah yang telah menyesatkan dirinya), dan yang melalaikan do‟a
orang yang menyerukan-Nya, ia memang tidak mengetahui (tidak mau tahu)
tentang do‟a itu. Dan bahwa seruan (kepada orang yang melalaikan seruan orang
yang menyerun-Nya) itu adalah penyebab kemurkaan dan kebencian yang diseru
kepada yang menyerun-Nya, penanaman seruan (do‟a) itu dengan
penghambaan/peribadatan kepada yang diserunya (yang selain Allah itu),
penolakan yang diseru (selain Allah itu) dengan penghambaan itu, bahwa
masalah-masalah (peribadataan kepada Allah) ini adalah penyebab tersesatnya
manusia.6
Firman Allah ta‟ala, اأؽوا خ Dan siapakah yang lebih sesat,” yakni tidak“ و
ada seorangpun yang lebih dan lebih bodoh, ا ا ن ايدخ ام اإل ۥ خجيبال ايصخ ال ا اٱلل ادون
ث اٱىخلي خم Daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah“ ي
5Ath-Thabari., Op, Cit., h. 771.
6Muhammad bin Abdul Wahab, At-Tauhid: al-Ladzi Huwa Haqqullah „Ala al-„Abid,
diterjemahkan oleh Abdul Qadir dan Bachrun Bunyamin dengan judul Tauhid Imam Abdul Wahab ,
(Bandung: Pustaka, 1987), h. 50-53.
37
yang tiada dapat memperkenankan (do‟a)nya sampai hari kiamat ,” yakni
berhala-berhala, اغفينا خ ادعن ان خ Dan mereka lalai dari (memperhatikan)“ و
do‟a mereka?” maksudnya, mereka tidak dapat mendengar dan tidak pula
mengerti. Allah mengumpamakan berhala-berhala yang nota bene benda mati itu
sebagai seorang laki-laki dari anak cucu Adam, sebab para penyembah berhala-
berhala itu mengumpamakan mereka sebagai raja dan pemimpin yang harus
dilayani.7
Sesungguhnya dalam permohonan kepada sesama makhluk terdapat tiga hal
yang dapat merusak keimanan dalam diri seseorang. Yang pertama, adalah
permohonan kepada sesuatu selain Allah. Apabila hal itu dilakukan maka akan
menyebabkan kemusyrikan. Karena yang terjadi adalah menggantungkan diri
kepada orang lain, yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah Swt. Yang
kedua, mendatangkan kesusahan dan kesempitan kepada orang lain yang minta
pertolongan. Ini merupakan bentukpenganiyaan terhadap orang lain, yakni
tergolong perbuatan zhalim yang dilarang oleh agama. Yang ketiga, adalah sikap
menghinakan diri kepada orang lain. Hal ini tergolong menzhalimi diri sendiri,
yang dilarang agama. Semua bentuk permohonan kepada kepada orang lain
tersebut dapat mendatangkan kerusakan-kerusakan, maka Allah dan Rasul-Nya
memperingatkan supaya menghindari bentuk permohonan secara keseluruhan.8
Telah jelas bahwa Allah Swt. melarang untuk hamba-hambanya
menyembah selain Allah dan memohon pertolongan kepada selain-Nya, dalam
ayat ini Allah mencontohkan orang-orang kafir yang menyembah berhala dan
mereka berkenyakinan bahwa berhala-berhala tersebut dapat mengabulkan
segala permohonannya dan dapat memberikan pertolongan serta keselamatan
baginya, tentunya hal ini merupakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-
Nya. Makna dari ayat ini bahwa ketika manusia berdo‟a berkenyakinan bahwa
yang maha melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Menerima dan yang
7 Syaikh Imam Al Qurtubi, Al Jami‟ li Ahkaam, diterjemahkan oleh Sudi Rosadi dkk. dengan
judul Tafsir Al Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 375. 8Ibnu Taimiyah, Qaidah Jalilah Fi At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Misbahul
Munir dkk. dengan judul Ibadah tanpa Perantara kaidah-kaidah tawassul, (Jakarta: Pustaka As-
Sunnah, 2006), h. 117-118.
38
mengabulkan do‟a selain Allah Swt., maka ia telah melakukan bid‟ah, bahkan
dosa yang sangat besar yaitu syirik. Karena apa pun bentuk do‟a yang amalkan
seperti ziarah kubur, tawassul, istighosah, dan lain-lain. Kalau diamalkan
berdasarkan kenyakinan, rasa iman dan ketakwaan kepada Allah Swt. akan
menjadi akan menjadi perantara untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Hadis larangan bertawassul kepada yang sudah wafat
نسااأ ارضيا)ا;وخ ر اخ ن
اسااأ ايصتصقاةاىهت ا اكدف اكناإذا اللانيبا ف اال اختد اا:وكالاا.ة اافتصلي اانصتصقاإلماةنتي اإاان
وإااا,الينا اافيصل اافاشل ابي واإلماةه ش خاريارواهاالاا (جخ
“Dari Anas bahwa Umar Radliyallaahu 'anhu bila orang-orang
ditimpa kemarau ia memohon hujan dengan tawasul (perantaraan Abbas Ibnu Abdul Mutholib. Ia berdoa: Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu memohon hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami,
lalu Engkau beri kami hujan, dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan. Lalu
diturunkan hujan kepada mereka.” (H.R Bukhari)
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahih-nya sebuah riwayat dari
anas, bahwa Umar bin Khatab, bila datang kemarau, memohon hujan dengan
perantara Abbas bin Abdul Muthalib.Umar berkata (artinya):
“Ya Allah dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, maka engkau turunkan hujan untuk kami, maka kini kami bertawassul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami.”
Ibnu Zubair dalam kitabnya al-Ansab menyatakan pula kisah ini dari sisi
lain, dengan lebih luas dan panjang. Ringkasnya sebagai berikut:
“Diceritakan dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khatab telah minta
hujan melalui Abbas Ibn „Abd Muthalib pada tahun debu9 Umar berkhutbah: “Hai manusia, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. memandang Abbas sebagai orang tuanya sendiri, maka hendaklah
kalian meminta bantuan dengan Rasulullah melalui abbas. Jadikan dia washilah kepada Allah. Berdo‟alah, hai Abbas!” Maka Abbas pun
berdo‟a.
9Disebut tahun debu karena banyaknya debu beterbangan karena lama tidak turun hujan.
39
Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa
tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina „Umar
bertawassul dengan Sayidina „Abbas radhiyallahu „anhu yang masih hidup.
Adalah hak umar untuk mengimami orang dalam shalat istisqa‟ itu, tetapi beliau
mundur dari haknya itu kemudian ia memajukan Abbas. Tindakan itu dilakukan
selain untuk menghormati Nabi dan menghargai keluarga beliau. Juga
dimaksudkan untuk mendahulukan paman beliau atas dirinya. Hal itu juga
merupakan tindakan nyata dari tawassulnya Umar dengan Rasulullah dengan
segala cara yang mungkin. 10
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Dari kisah abbas ini dapat diambil faidah
bahwa disukai (disunnahkan) meminta syafa‟at kepada ahli kebaikan, orang-
orang shaleh dan ahli bait Nabi. Dalam hadis ini juga terdapat keutamaan Abbas
dan keutamaan Umar bin Khatab karena ketawadhu‟annya di hadapan Abbas.11
Dalam kaitannya dengan hadis ini sebenarnya bisa juga termasuk
tawassul/perantara yang bersifat umum seperti dalam halnya sholat istisqa‟ yang
dulu Umar bin Khatab bertawassul dengan Nabi Saw. dalam hal memimpin
pelaksanaan sholat istisqa‟, imam, berkhutbah, dan do‟a yang semuanya itu
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup saja dan ketika Nabi
Saw. wafat hal tersebut dilakukan oleh paman Nabi dan itupun Umar bin Khatab
lakukan karena bentuk ketawadhu‟annya kepada Ahlul Bait Nabi dan
bertawassul/perantara Abbas bib Abdul Muthalib dalam pelaksanaan sholat
istisqa‟dan juga menjadi contoh bertawassul kepada orang shaleh yang
dimuliakan Allah Swt.
Menurut Ibnu Taimiyah, bertawassul dengan iman dan taat kepadanya (Nabi
Muhammad Saw.) wajib atas setiap orang dalam keadaan apa pun, lahir dan
batin. ketika Rasulullah hidup atau sudah wafat, sewaktu beliau ada atau tidak
ada. Tak ada alasan dan keberatan apapun pada setiap orang untuk tidak
bertawassul. Tak ada alternatif lain untuk mencapai kemuliaan dan kasih Allah
10
Muhammad Alawy Al Maliky, Mafahim Yajib An Tushahhah , diterjemahkan oleh indri
mahally fikry dengan judul Paham-paham yang perlu diluruskan, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 1994),
h. 183-185. 11
Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 376.
40
serta menyelamatkan diri dari adzab-Nya, kecuali dengan iman dan taat kepada-
Nya.12
Dalam hal berziarah ada namanya ziarah bid‟iyah adalah ziarah yang
dimaksudkan memohon kepada si mayit untuk memenuhi hajat seseorang, atau
minta do‟a dan syafa‟at kepadanya, atau berdo‟a di dekat kuburannya dengan
kenyakinan bahwa dengan itu akan lebih di kabulkan do‟anya. Semua bentuk
ziarah seperti itu adalah mubtada‟ah (diada-adakan) dan tidak diajarkan oleh
Nabi Muhammad Saw. serta tidak dilakukan para sahabat beliau, baik di
kuburan beliau sendiri maupun di kuburan orang lain. Tindakan seperti itu
termasuk jenis syirik dan menyebabkan timbulnya syirik. Shalat di kuburan para
nabi dan orang-orang shalih tanpa maksud berdo‟a dan mohon do‟a mereka
(seperti menjadikan kuburan mereka sebagai masjid) adalah haram dan dilarang.
Dan orang yang mengerjakan hal itu akan mendapat murka dan laknat dari Allah
Swt.13
Memohon kepada orang mati tidak diajarkan dalam syari‟at. Tidak wajib,
tidak dianjurkan dan tidak dibolehkan. Tak seorangpun sahabat Nabi Saw. dan
tabi‟in yang melakukannya dan tak ada salaf yang menganjurkannya. Sebab
tidak mengandung kemaslahatan, kerusakan. Syari‟at Islam hanya menyuruh
hal-hal yang mengandung kemaslahatan. Tak ada kemaslahatan dalam hal
memohon kepada orang mati, bahkan yang ada kerusakan sederhana maupun
kompleks. Dan itu tidak dianjurkan syari‟at. 14 dan malaikat itu memintakan
ampunan untuk orang beriman tanpa diminta. Menurut hadis dikatakan bahwa
sekalian nabi-nabi itu terutama Nabi Muhammad Saw. akan mendo‟akan dan
akan memberi syafa‟at umat yang baik-baik. Baru boleh mendo‟akan setelah
diizinkan oleh Allah Swt. apabila tidak di syari‟atkan do‟a malaikat maka juga
tidak di syari‟atkan do‟a nabi-nabi yang telah wafat. Karena itu mereka tidak
diminta mendo‟akan dan memberi syafa‟at.15
12
Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su‟adi Sa‟ad dengan judul
Tawassul dan Wasilah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 1. 13 Ibid., h. 18. 14
Ibid., h. 56. 15
Ibid., h. 59.
41
Kaum Wahabi berpendapat bahwa memuliakan hari kelahiran dan kematian
dari para wali adalah dilarang dan haram.16 Dan tawassul kepada wali Allah
adalah soal yang digemari dikalangan umat Islam di dunia. Sejak awal syari‟at
Islam disampaikan melalui Rasulullah Saw. legalitasnya juga telah dinyatakan
melalui hadis-hadis.17 Kaum musyrikin yang diungkapkan Allah dan Rasul-Nya
dapat dibagi jadi dua kategori: kaum Nabi Nuh dan kaum Nabi Ibrahim. Sumber
kesyirikan kaum Nabi Nuh karena beribadat di kuburan para shalihin, kemudian
mereka membentuk patung-patung lalu menyembahnya. Sedangkan pada kaum
Nabi Ibrahim karena penyembahan kepada bintang-bintang, matahari dan bulan.
Mereka semua (kaum Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim) sama-sama menyembah jin.
Setan telah mengusik dan membantu mereka dalam melaksanakan sesuatu yang
tak difahami. Mereka yakin menyembah malaikat, di mana sebenarnya mereka
menyembah jin. Jin lah yang menolong dan menghendaki kesyirikan mereka itu.
Karena setan berhasil membisikkan ke telingnya dan menggoda mereka.18
Sebagian ulama menganggap tawassul adalah perbuatan bid‟ah, namun
terdapat kontroversi di antara para ulama sejak dulu hingga kini dalam
memahami masalah bid‟ah. Kontroversi ini tidak saja berimbas pada perbedaan
sikap dan prilaku di kalangan umat Islam, tetapi juga dalam penerimaan dan
penolakan terhadap tradisi-tradisi lokal dan penyerapan budaya-budaya luar.
Ada di antara mereka yang sangat ketat, ada yang longgar, dan ada yang lebih
liberal. Semua pendapat tersebut tidak lepas dari pemahaman terhadap hadis ini:
اا اةدنثااكافإن مدذث , ىثاةدنثاؽلااوكاا
“Sungguh, semua yang baru diadakan adalah bid‟ah. Dan setiap bid‟ah adalah sesat.”
16
Muhammad bin Abdul Wahab, Op. Cit., h. 107. 17
Ibid., h. 125. 18
Ibid., h. 27.
42
Titik perbedaan dalam memahami hadis di atas terletak pada kata “كا”. Satu
pihak memahami kata “كا” bermakna “seluruh” sehingga seluruh bentuk bid‟ah
adalah sesat. Pihak yang lain memahami kata “ كا” bermakna “sebagian besar”.19
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, seorang tokoh wahabi, secara tegas
menyatakan bahwa redaksi tersebut (اؽلىثا اةدنث berbentuk kulliyah „ammah (وك
(umum dan mencakup) yang dibatasi oleh kata alat yang menunjukan
komprehensifitas dan keumuman, yaitu kata “كا”. Mengingat redaksi tersebut
dari Nabi Saw. yang—dalam konteks ini—memiliki tiga kesempurnaan: nasihat
dan kemauan yang sempurna, penjelasan dan kefasihan yang sempurna, dan
ilmu pengetahuan yang sempurna, maka redaksi di atas tiada lain menunjukan
kepada apa yang dimaksud oleh makna-makna hadis itu sendiri. Lantas, apakah
bid‟ah terbagi menjadi tiga bagian atau lima bagian selamanya tidak benar.
Demikian pula apakah semua yang diklaim oleh sebagian ulama bahwa di sana
ada bid‟ah hasanah (bid‟ah yang baik). Maka, jawabannya tidak lepas dari dua
hal. Pertama, bukan bid‟ah tetapi disangka bid‟ah. Kedua, Bid‟ah yang buruk
tetapi diketahui keburukannya. 20
Al-Habib Zainal „Abidin Al-„Alawy menolak keras pandangan di atas. Para
ulama memberikan penjelasan bahwa hadis ini termasuk hadis umum yang di-
takhshish. Yang dimaksud hal-hal yang diadakan (muhdatsat) dalam hadis di
atas adalah hal-hal baru yang dibuat-buat yang bathil dan bid‟ah-bid‟ah yang
tercela yang tidak memiliki dasar dalam hukum syara‟. Bid‟ah inilah yang
dilarang. Berbeda dengan bid‟ah yang memiliki dasar dalam hukum syara‟.
Bid‟ah ini adalah bid‟ah terpuji, karena ia adalah bid‟ah hasanah dan termasuk
19
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama‟ah dalam Persepsi Tradisi NU, (Jakarta:
Lantabora Press, 2006), h. 231-237. 20
Muhammad Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama‟ah, diterjemahkan oleh
Rosidin dengan judul Risalah Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama‟ah, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2015), h.
47.
43
sunnah Khulafaur Rasyidin serta sunnah imam-imam yang mendapatkan
petunjuk.21
Bid‟ah yang tidak diwajibkan maupun dianjurkan adalah bid‟ah yang buruk,
dan suatu kesesatan (dlalalah). Jika ada yang mengatakan sebagian bid‟ah itu
baik (hasanah). Artinya bid‟ah itu punya dalil syar‟i bahwa ia dianjurkan.
Sedangkan bid‟ah yang tidak diwajibkan maupun dianjurkan, tidak seorang pun
dari kaum muslimin yang menganggapnya kebaikan untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Orang yang mengerjakannya sesat dan mengikuti jalan syetan.22
Segala perbuatan yang tidak disyari‟atkan dalam Islam adalah perbuatan
yang tertolak. Sebagian ulama menganggap tawassul adalah perbuatan bid‟ah,
kontroversi di antara para ulama dalam memahami masalah bid‟ah.
Ulama-ulama Wahabi selalu memfatwakan bahwa mendo‟a dengan
tawassul adalah bid‟ah, bahkan Syirik/Haram. Hal ini tidak heran karena faham
Wahabi itu adalah penerus yang fanatik dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah.23
Pembangun faham ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu,
orang menamakan gerakan atau fahamnya dengan Wahabiyah24, Sekalipun ada
di antara mereka berbeda pandangan dalam sejumlah masalah hukum Islam.25
Menurut Ibnu Taimiyah, berdo‟a kepada para nabi dan para malaikat lalu
meminta syafa‟at merupakan bentuk yang tak disyari‟atkan oleh Allah Swt..
Rasul Saw. pun tak diutus untuk itu dan al-Qur‟an tak diturunkan karenanya.
Para sahabat dan para tabi‟in pun tak ada yang melakukannya, juga tak
diperintahkan oleh para ulama. Jika hal itu dilakukan kebanyakan orang yang
tekun beribadah serta zuhud, lalu beralasan dengan hikayat-hikayat atau mimpi,
maka jelas ini dari syetan.
21
Zaenal Abidin Al-Maliki Al-Husaini, Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi‟Aqidah al-Firqah an-Najiyah
diterjemahkan oleh H.M. Fadlil Sa‟id An-Nadwi dengan judul Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah Wal
Jama‟ah, (Surabaya: Khalista, 2009), Cet. 1, h. 47-48. 22
Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su‟adi Sa‟ad dengan judul
Tawassul dan Wasilah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 13. 23
Siradjuddin Abbas., Op. Cit. h. 2. 24
Penamaan golongan ini dibangsakan kepada Abdul Wahab, bapak Muhammad bin Abdul
Wahab. Sebenarnya menamakan gerakan ini dengan “Wahabiyah”. Lebih lanjut lihat I‟tiqad
Ahlussunnah Wal Jama‟ah, Siradjuddin Abbas, h. 309. 25
Sayyid Hasan al Saqqaf, as-Salaffiyah al-Wahahaabiyyah, Afkaaruha al-Asaasiyyah wa
Judzuuruha al-Taariikhiyyah diterjemahkan oleh Ahmad Anis dengan judul Mini Ensiklopedi Wahabi,
(Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2015), h. 4.
44
Rasulullah Saw. bersabda:
ا ارداا اذ ااىيسا ذاا ا مراخدثافاأ
أ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR.
Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Maksud dari hadis diatas adalah suatu perkara yang baru tidak ada asalnya
di dalam asalnya atau sumber utama umat Islam, yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis.
Pendapat golongan yang mengartikan bid‟ah secara umum yaitu segala sesuatu
yang tidak dilakukan Nabi itu keliru. Bid‟ah bukan berarti sesuatu yang baru
yang tidak dilakukan Nabi, tapi sesuatu yang baru yang bertentangan dengan al-
Qur‟an dan Hadis Nabi Saw. Kalau memang bid‟ah itu sesuatu yang baru yang
tidak dilakukan Nabi Saw. berarti para sahabat banyak melakukan perbuatan
bid‟ah karena sahabat banyak melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh
Nabi Saw. Contohnya: sholat tarawih ditetapkan waktunya, rakaatnya, dengan
berjamah, satu waktu. Berarti apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah
bid‟ah. Tentunya sahabat tidak akan melakukan itu, kecuali dikatakan bid‟ah
hasanah. Utsman bin Affan membuat adzan pertama ada di setiap Sholat
Jum‟at, padahal zaman Nabi tidak dilakukan. Ali bin Abi Thalib menulis Ilmu
Nahwu berarti bid‟ah, kemudian kalau misalkan sahabat tidak tidak termasuk.
Kemudian tabi‟in atau tabi‟it-tabi‟in melakukan sesuatu yang baru dan tidak
dilakukan oleh Nabi dan sahabat, adanya madzhab zaman sahabat tidak ada
madzhab berarti bid‟ah. Itu berarti madzhab adalah bid‟ah: Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hanbal, kalau generasi setelahnya
tidak termasuk, kalau begitu Imam Bukhari dan Imam Muslim dan Imam Hadis
yang lain bid‟ah mengumpulkan hadis, kitab-kitab tafsir bid‟ah, ilmu ushul, fiqh,
dan lain-lain. Tentunya kalau bid‟ah adalah semua perkara yang baru banyak
bid‟ah yang terjadi.
45
2. Tawassul yang disyari‟atkan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah
1. Q.S. Al-Maidah [5]:35
اشبييۦا اف دوا اوج ثشيي خ اٱل اإلخ ا خغ اوٱبخ اٱلل ا ل اٱت ا اءا ي اٱل ا ح
أ ي
يدنا اتفخ خ ا.ىهيس
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Abu Wail, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah, As-Suddi, dan Ibnu Zaid, serta
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Atha, dan Abdullah bin Katsir, شييثا خ adalah ٱل
pendekatan yang diupayakan.26 شييثا خ ditafsirkan oleh Imam Qatadhah yaitu ٱل
dekatkanlah diri kalian kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepadanya
dan beramal shaleh karena hal tersebut yang menjadi perantara kepada Allah
Swt. Dan di athf-kannya ayat: شييثا خ اٱل اإلخ ا اوٱبخخغ (Dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya) kepada ayat: ا اٱلل ا اٱتل ا اءا ي اٱل ا حأ اي (Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah), mengindikasikasikan bahwa
wasilah adalah selain ketakwaan. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah
ketakwaan, karena wasilah adalah penguasaan perkara dan semua kebaikan.
Berdasarkan makna ini, maka redaksi kedua merupakan penafsiran yang
pertama.27
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dengan
mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan juga
memerintahkan untuk mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan
jalan yang di ridhoi serta di cintai-Nya, sesuai dengan syariat Islam.
26
Syaikh Asy-Syanqithi, Adhwa‟ Al Bayan fi Idhah Al-Qur‟an bi Al Qur‟an, diterjemahkan oleh
M.Fauzun dkk. dengan judul Tafsir Adhwa‟ul Bayan,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 366. 27
Ibid., h. 66.
46
2. Q.S. Al-A‟raf [7]:180
ا اءااولل شخ نااٱلخ صخ نهافااٱلخ ااٱدخ اوذروا ا اة ي ااٱل ه م شخ
اأ اف اييخددون ناا ۦ زوخ شيجخ
ينا ااحهخ ااك اا١٨٠
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A‟raf [7]:180)
Ayat ini memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo‟a kepada-Nya
dengan menggunakan nama-nama-Nya. Karena do‟a yang menggunakan nama-
nama dan sifat-sifat-Nya mudah dan lebih dekat dikabulkan.
3. Q.S. An-Nisa [4]:64
نا الفاعابإذخ اإل ارشل ا ا رخشيخاأ ا او اجاءوكااٱلل خ فص
اأ ا ي اإذاك خ ج
اأ خ ول
افا فروا خغخ ااٱشخ فراوااٱلل خغخ ااٱشخ جدواااٱلرشلال ال اااٱلل اةاارخي ٦٤ح
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa [4]:64)
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya Rasulullah Saw. sebagai
wasilah kepada Allah Swt. bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur
mereka, dan arwah mereka di sisi Allah Swt.. Barangsiapa bertawassul dengan
mereka da menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah
dalam rangka tercapainya permintaannya. Para nabi dan para wali tidak memiliki
kekuasaan apapun, mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena
kedudukan mereka sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah swt.28
Ayat ini mengandung pemberitahuan dari Allah Swt. bahwa Allah
memiliki nama-nama secara global dan tanpa dirincikan. نا صخ اٱلخ adalah bentuk
28Zainal Abidin., Op. Cit., h. 78.
47
ta‟nits dari al ahsan (yang paling baik) yakni, nama-nama yang paling baik
karena menunjukan kepada sebutan yang paling baik dan paling mulia.
Kemudian Allah memerintahkan agar memohon kepada-Nya dengan nama-nama
itu ketika ada kebutuhan, karena sesungguhnya apabila Allah diseru dengan
nama-nama-Nya yang paling baik itu, maka itu termasuk sebab-sebab
dikabulkannya permohonan itu. Penyimpangan dalam hal nama-nama Allah
Swt. ada tiga macam, yaitu: dengan mengubah, sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik, yang mana mereka mengambil nama Laata dari nama
Allah, „Uzzaa dari Al‟Aziz, dan Manaat dari Al Mannan. Atau dengan
menambahinya, yaitu dengan mereka nama-nama dari mereka sendiri yang tidak
diizinkan Allah. Atau dengan menguranginya, yaitu menyeru-Nya dengan
potongannya saja tanpa menyertakan potongan lainya.29
Firman Allah ini adalah perintah Allah agar manusia melakukan ibadah
dengan ikhlas karena-Nya. Selain itu, ayat ini merupakan perintah untuk
menghindari orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sesat.30
Allah Swt. mempunyai 99 nama-nama yang merupakan nama-nama yang
mulia dan Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memohon
kepada-Nya dengan nama-nama Allah Swt. dan dengan izin Allah, hal tersebut
bisa menjadi wasilah terkabulnya do‟a kita dan kita juga diperintahkan untuk
selalu mengingat Allah dengan nama-nama-Nya yang mulia dan menjauhi dari
perbuatan-perbuatan syirik kepada-Nya.
Penjelasan dari ayat ini, اأرخشيخا ا ارشلاو ا اا (Dan Kami tidak mengutus
seorang Rasul), ا di sini adalah tambahan untuk penegasan: الفاعا اإل
(melainkan untuk ditaati) apa yang diperintahkannya dan apa yang dilarangnya
ا اٱلل ابإذخن (dengan izin Allah), yakni: Dengan sepengetahuan Allah. Ada juga yang
mengatakan, yakni dengan petunjuk Allah. خا اأفص ا ي اك اإذ خ اأج خ Sesungguhnya) ول
29
Asy-Syanqithi., Op. Cit., h. 326-327. 30
Al Qurtubi, Op. Cit., h. 819.
48
jikalau mereka menganiaya dirinya) dengan tidak mentaatimu dan berhakim
kepada selainmu, جاءوكاا (datang kepadamu) meminta wasilah (perantara)
kepadamu dengan mengakui kejahatan dan penyelisihan mereka, ا اٱلل فروا خغخ افٱشخ(lalu memohon ampun kepada Allah) atas dosa-dosa mereka, dan meminta maaf
kepadamu agar engkau memintakan syafa‟at bagi mereka, lalu engkau
memintakan ampun bagi mereka. Disini Allah menyebutkan dengan
redaksi:ا اٱلرشل ال فر خغخ (dan Rasul pun memohonkan ampun kepada mereka) وٱشخ
dalam bentuk pemalingan karena mengandung maksud pengagungan perihal
Rasul Saw, ا اٱلل جدوا ال ارخي اةا ااح (tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang), yakni: Banyak memberikan taubat dan
rahmat kepada mereka.31
Dari ayat ini, Allah menyuruh hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya yaitu
Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah dan ketika memohon kepada Rasul,
Rasulpun akan memohonkan kepada Allah dan tidak akan diterima permohonan
tersebut tanpa izin dari Allah karena pada hakikatnya Allah yang Maha
Menerima do‟a serta maha penyanyang dan penerima taubat.
ا ه اربخ اعل خ اتل اول ةدااأ ات ا خ ا خد
اأ اعل احػو اول ااۦ اة
ازفروا خ اإج اٱللصلنااۦورشلا اف خ ااو اح ٨٤و
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di
kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik .” (Q.S. At-Taubah [9]: 84).
Allah melarang Nabi Saw. menyembahyangkan dan mendo‟akan mereka
karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam
kekafiran. Jika Allah melarang hal itu karena satu sebab (kekufuran), maka
larangan itu tak berlaku jika tidak ada sebabnya. Ini juga membuktikan bahwa
31
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As -Syaukani, Fathul Qadir diterjemahkan oleh
Amir hamzah dkk. dengan judul Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.912-913.
49
selain mereka (orang kafir) boleh disembahyangkan jenazahnya dan dido‟akan
di atas kuburannya. Dengan demikian, melaksanakan atas mayat orang Mukmin
dan berdo‟a atas kuburannya adalah tuntunan sunnah yang mutawatir. Nabi
Muhammad Saw. menyembahyangkan orang Muslim yang mati dan
mensyariatkannya bagi umatnya, dan jika dikuburkan seseorang diri umatnya.
Bentuk ziarah ke kuburan kaum Mukmin ini dimaksudkan untuk berdo‟a. Ada
juga ziarah umum yang dibolehkan walaupun ziarah itu ke kuburan orang kafir.
Sebagaimana tersebut dalam Sahih Muslim dan Abu Dawud, Nasa‟i dan Ibnu
Majah, dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah datang ke kuburan ibunya lalu
menangis, dan orang di sekelilingnya ikut menangis. Lalu bersabda (yang
artinya):
“Saya minta izin kepada Allah untuk memintakan ampun baginya tapi Ia
tidak memberi izin. Maka saya minta izin untuk menziarahi kuburannya,
dan Ia mengizinkan. Maka, berziarah kuburlah kamu sekalian, sebab Ia
akan mengingatkan kepada Hari Akhirat.”
Ziarah seperti ini—untuk mengingatkan kematian—adalah masyur‟
(dibolehkan agama), walaupun yang dikubur orang kafir. Sebaliknya, jika ziarah
dimaksud untuk mendo‟akan si mayit—itu hanya dibolehkan hanya untuk orang-
orang mu‟min.32
Berpegang dengan pendapat Ahlussunnah wal Jamaah33 itu, K. H.
Sirajuddin Abbas, seorang ulama Indonesia telah menerangkan jenis tawassul
yang dibolehkan. “Tawassul” artinya mengerjakan sesuatu amal yang dapat
mendekatkan diri kepada tuhan. Di dalam al-Qur‟an ada tersebut perkataan
“wasilah” dalam dua tempat yaitu:
32
Ibnu Taimiyah, Op. Cit., h. 16-17. 33
Golongan ini lahir pada akhir abad ke III Hijriyah Sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat
maka timbullah golongan yang bernama kaum Ahlussunnah wal Jama‟ah, yang dikepalai oleh yaitu
syeikh Abu Hasan „Ali al Asy‟ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal
Jama‟ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunnah saja, atau sunny saja dan
kadang-kadang disebut „Asy‟ari atau Asya‟iriah, dikaitkan kepada guru besarnya yang bernama pertama
syeikh Abu Hasan „Ali al Asy‟ari.
50
Pertama, pada surat al-Maidah ayat 35.34 Dalam ayat ini ada tiga hukum
yang dikeluarkan, yaitu: (1) kita wajib patuh (ta‟at) kepada Allah, (2) kita
disuruh mencari jalan yang mendekatkan diri kepada Allah, dan (3) kita disuruh
berjuang (perang) di jalan Allah. Kalau yang tiga ini dikerjakan maka kita ada
jaminan untuk mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat. Dan kedua, pada
surat al Isra‟ ayat 57 yang berbunyi:
شييثا خ اٱل ارب .يبخخغناإل
“Mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah).”
Demikian arti wasilah dalam al-Qur‟an. Maka mendo‟a dengan
bertawassul ialah mendo‟a kepada Tuhan, maka sekali lagi mendo‟a kepada
Tuhan dengan wasilah yaitu memperingatkan sesuatu yang dikasihi Tuhan.
Kalau dicontohkan kepada situasi keduniaan, umpamanya kita akan meminta
pekerjaan kepada sesuatu jawatan, tetapi kita terlalu begitu dikenal oleh kepala
kantor itu, maka lalu kita mencari jalan, yaitu menghubungi sahabat kita yang
bekerja pada kantor itu dan dengan pertolongannya permintaan kita untuk
bekerja terkabul. Ini permohonan dengan “wasilah” namanya. Atau dalam soal
ini kita langsung menemui kepala kantor dan dan langsung memohon kepadanya
untuk minta bekerja, dengan memperingatkan kepadanya bahwa kita yang
memohon ini adalah teman dari anaknya. Ini juga minta dengan “wasilah”
namanya.Wasilah macam ini hanya untuk sekedar untuk lebih memudahkan
terkabulnya permintaan yang memang pada dasarnya juga dapat dikabulkan.
Jangan keliru faham. Kita memohon hanya kepada kepala kantor, tidak kepada
kawan kita tadi dan bukan pula kepada anaknya itu, tetapi kawan kita atau
34
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
دواافاشبييۦاىهيسا شييثاوج لخاٱلخ خغااإ اوٱبخ لااٱلل ااٱت اءا ياٱل ا ح
يدنايأ اتفخ ا.خ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
51
anaknya itu sekedar membuka jalan untuk mendapatkan fasilitas. Begitu juga
mendo‟a dengan wasilah atau tawassul kepada Allah.35
Tawassul dengan kekasih Allah artinya menjadikan para kekasih Allah
sebagai perantara menuju Allah dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan
kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai kenyakinan, bahwa mereka
adalah hamba dan makhluk Allah Swt. yang dijadikan oleh-Nya sebagai aspek
segala kebaikan, barakah dan kunci pembuka setiap rahmat. Pada hakikatnya,
orang yang bertawassul itu tidak meminta hajatnya terkabulkan kecuali kepada
Allah dan tetap berkenyakinan bahwa Allah lah yang Maha Pemberi dan Maha
Menolak, bukan lainnya. Ia menuju kepada Allah dengan orang-orang yang
dicintai Allah, karena mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima do‟a
mereka dan syafa‟atnya dan karena kecintaan-Nya kepada mereka dan karena
cinta mereka kepada-Nya. Allah itu mencintai orang-orang baik dan orang
bertakwa.36
Di dalam berziarah juga di kenal dengan ziarah syar‟iyah, jika dalam
berziarah yang bermaksud untuk mendo‟akan si mayit, seperti shalat jenazah
yang dimaksudkan sebagai do‟a baginya. Berdiri (berdo‟a) di atas kuburannya
termasuk shalat atasnya.
Sebagian golongan ulama juga menganggap tawassul adalah perbuatan
yang disyari‟atkan. “Syariah” berasal dari kata bahasa Arab yang berarti jalan
yang harus diikuti. Secara harfiah ia berarti “jalan ke sebuah mata air.” Ia bukan
hanya jalan menuju keridhaan Allah yang Mahaagung, melainkan juga jalan
yang diimani oleh seluruh kaum muslimin sebagai jalan yang dibentangkan oleh
Allah, Sang Pencipta itu sendiri, melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad Saw.
Dalam Islam, hanya Allah Mahakuasa, dan Dia semata lah yang berhak
menetapkan jalan sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Dengan demikian, maka
hanya syariah semata yang yang membebaskan manusia dari penghambaan
kepada selain Allah. Inilah sebabnya mengapa kaum muslimin diwajibkan
35
Siradjuddin Abbas, Op. Cit., 284-286. 36
Zaenal Abidin, Op. Cit., h. 74.
52
berusaha untuk mengimplementasikan jalan tersebut dalam kehidupan, bukan
yang selainnya.37
Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik
berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia. Dilihat dari segi hukum, syariat merupakan norma hukum
dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan
iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah
maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum
dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi sebagai Rasul-Nya.
Karena itu, syariat terdapat di dalam al-Qur‟an dan di kitab-kitab hadis. Menurut
Sunnah (al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah
akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang
teguh atau berpedoman kepada al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.38
Dalil-dalil Hadis sebagai dasar disyari‟atkannya tawassul adalah:
4. Tawassul dengan Nabi Muhammad Saw.
1. Sebelum Nabi Saw. lahir
Imam Hakim an-Naisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa
Nabi Saw. bersabda:
االلا كالا ل اوشي رش ا غلىااللانيي اكالاياارب فيئث اال ااارتفاآدم لا ا ال د ام ابق لم
شأاأ االلاإن اذلال ال انرفجاا:دفرت انيف اآدم يا
ا خيلاأ اول دا اا:كالا م ا اف اوجفخج ابيدك اخيلخن ا ال م
ال ارب يا
ا اإل اإل ال با هخ ا ااىهرش ان اكاعل يج
افرأ س
ارأ ارذهج اللااروخم
يقاإلما اال خباأ احؾفاإلااشماإل مال
جاأ لااللاذهي دارش م
االلا اإلاا:ذلال يق اال خبال اإ ايااآدم اذلدادفرتا غدكج ادننابل
ااخيلخما دا لام ا(وغدد أخرجاالازافااىصخدرك)الماول
37
Abdur Rahman I. Doi, The Islamic Law, diterjemahkan oleh Usman Efendi dan Abdul Khaliq
dengan judul Inilah Syaria‟ah Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1990), h. 1. 38
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia) (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 47.
53
“Rasulullah bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia
berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum Aku
ciptakan?” Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, ketika Engkau ciptakan diriku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau hembuskan ke
dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis kalimat “Laa ilaaha illallaah muhamadur Rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau
tidak akan mencantumkan sesuatu dengan nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar Adam,
sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, berdoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”. (HR.
Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanadnya)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Hafizd As-Sayuty dalam
kitabnya Al-Kasha”ish Al-Nubuwwah. Juga oleh Baihaqy dalam Dalail
Al-Nubuwwah. Hadis tersebut di shahihkan pula oleh Al-Qasthalany, Al-
Zaraqani dan Syeikh Ibnu Jauzi. Namun ada pula yang berpendapat
mengenai kedudukan derajat hadis ada yang menolak hadis tersebut juga
ada yang memandang palsu, seperti: Az-Zahaby dan ulama lainnya.
Sebagian lagi menilainya lemah (dhaif), dan sebagian yang lainnya menilai
mungkar (bagian dari hadis dhaif).jadi penilaian mereka tentang hadis
tersebut berbeda-beda.39
Dalam hadis ini, tawassul dengan Nabi terjadi sebelum alam semesta
mendapat kehormatan menerima kehadirannya. Oleh sebab itu, yang
terpenting bagi sahnya tawassul ialah bahwa yang digunakan sebagai
perantara (mutawassal bih) haruslah memiliki kedudukan tinggi di sisi
Tuhannya. Jadi sama sekali tidak disyaratkan bahwa ia harus masih hidup
di dunia ini.40
Rasulullah yang merupakan Makhluk-Nya yang paling dicintai
mendapat kedudukan yang mulia disisi-Nya, tentunya hal ini membuat
39
Muhammad Alawy Al Maliky, Op. Cit., h. 146. 40
Ibid., h. 152.
54
segala apa yang berkaitan dengannya merupakan sesuatu yang paling di
cintai. Tawassul merupakan memohon kepada Allah Swt. dengan
menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah Swt.
2. Nabi Saw. ketika masih hidup
Rasulullah mengajarkan doa bertawassul dengan menyebut nama
beliau, tidak hanya berlaku bagi orang buta tersebut dan di masa Rasul
hidup saja, sebab Rasulullah tidak membatasinya. Dan seandainya
tawassul setelah Rasulullah wafat dilarang, maka sudah pasti Rasulullah
akan melarangnya dan menyatakan bahwa doa ini hanya boleh dibaca oleh
orang buta tersebut ketika Rasul masih hidup.
Rasulullah Saw. bersabda:
يفا اخ اة ان اخر االنبا خ ت
اأ االص اضير ارجل ن
غلىااللانييا أ
ا وشي االلاعل ايرد اة دناأ ادعء ن لااللاني ةصياذلالاذلالاياارش
اكدا اإن د ام ايا ث االرح اب م تياةن اإلم ج ح
اوأ لم
شأاأ اإن االي اكو ل
عءا اال ذا افدعاة اجفس اف هن اوطف اف ه اطف لياأ ارب اةماإل ج ج ح
ةصاذلا .اماوكداأ
“Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang
kepada Rasulullah berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan
saya”. Rasulullah berkata:“Bacalah doa (artinya): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya
aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah
aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat”. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak).
Atas dasar hadis ini, maka Syeikh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad
menulis dalam kitabnya. Akan tetapi orang lain berkata bahwa tawassul itu
adalah bersumpah kepada Allah dengan Nabi. Padahal seseorang tidak
boleh bersumpah kepada Allah dengan Makhluk. Namun, Imam Ahmad
55
dan Ibnu Taimiyah dalam salah satu riwayat membolehkan bersumpah
dengan Nabi.41
Doa tersebut memang benar-benar dibaca oleh orang yang buta, bukan
didoakan oleh Rasulullah Saw. Sementara Nasiruddin al-Albani (ulama
Wahhabi) berpendapat bahwa orang buta tadi sembuh karena didoakan
oleh Rasulullah. Pendapat ini sama sekali tidak ada dasarnya dan
bertentangan dengan riwayat al-Hakim diatas. Hal ini dikarenakan setelah
al-Albani tidak mampu melemahkan hadits ini secara sanad, lantas al-
Albani dan kelompoknya berupaya untuk mengaburkan makna teks hadits
tersebut dengan menyatakan bahwa doa itu dibacakan oleh Rasulullah.
Hali itu dilakukan karena ia telah terlanjur melarang tawassul, sehingga ia
memalingkan makna hadits di atas dengan berdasarkan nafsunya.
3. Nabi Saw. sesudah wafat
Walaupun Rasulullah wafat, umat Islam meyakini bahwa Rasulullah
tetap bisa mendo‟akan kepada umatnya. Sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadis:
اوشي كالا انيي االل ا غلى ج ا ااأ افإذا اىس اخي ات اوم اخي خيات
احدتا ا اخي يجارأ افإن اىس خ
اأ اعل اتهرض اىس ا اخي اوفات كج
ااوإنارأ اتهال االل ااشخغفرتاىس ا رواهااةاشهداناةسراةا( يجاش )نتدااللامرشل
“Hidupku lebih baik dan matiku juga lebih baik bagi kalian. Jika aku wafat maka kematianku lebih baik bagi kalian. Amal-amal kalian
diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat amal baik, maka aku memuji kepada Allah. Dan jika aku melihat amal buruk, maka aku
mintakan ampunan bagimu kepada Allah”. (HR. Ibnu Sa‟d dari Bakar bin Abdullah secara mursal)
Maka semakin jelaslah bahwa Nabi Muhammad Saw. selalu
memohon ampun bagi umatnya, dan istigfar merupakan do‟a yang sangat
bermanfaat bagi umat (lantaran mereka mengambil manfaat daripadanya).
41
Ibid., h. 165.
56
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda (artinya):
“Tidaklah seorang memberi salam atasku kecuali Allah mengembalikan ruhku sampai aku membalas salam mereka.” (H.R.
Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Menurut Imam Nawawy, hadis ini sanadnya sahih. Memperhatikan
hadis ini, maka jelas sekali bahwa Nabi Saw. selalu menjawab salam atas
umat Islam.42 Maksud hakiki dari tawassul adalah Allah Swt. sedangkan
sesuatu yang dijadikan sebagai perantara hanyalah berfungsi sebagai
pengantar dan atau mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
artinya tawassul merupakan salah satu cara atau atau jalan berdo‟a dan
merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu menghadap Allah Swt.43
Seseorang yang mulia disisi Allah pastilah ketika hidupnya sangat
memberikan manfaat bagi makhluk yang lain dalam berbuat kebaikan dan
apakah setelah dia wafat hal tersebut tidak bermanfaat lagi seperti
“bangkai” yang di buang di sungai? Tentunya tidak. Jasad makhluk Allah
yang mulia pastinya mendapatkan kemuliaan dan keutamaan di
bandingkan makhluk-makhluk Allah yang lainnya dan tetap bisa
memberikan manfaat dan kebaikan dengan izin Allah Swt.
4. Tawassul yang dilakukan sahabat
Utsman bin Hunaif juga telah mengajarkan tawassul kepada orang lain
setelah Rasulullah wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah
dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat
akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah ,
karena ia hidup di kurun waktu terbaik, yaitu sebagai sahabat Nabi.
Rasulullah Saw. bersabda:
يفا اخ اة ان اخر انا خ اخف اة ان
اخر اإل ايخيف اكن ارجل نفا أ
ا ااب افيق اخاجخ اف احلر اول اإل اييخفج ال ان اخر اوكن خاجخ
42
Ibid., h. 163. 43
Abdul Hakim M., Implementasi Aswaja dalam Peribadatan kepada Allah (Cirebon: Pustaka
Syahadat, 2009), h. 57.
57
اأ ؽ اذخ ة
يفاائجااليؾأ اخ اناب اخر اذلالال افظكاذلماإل يف خ
ا اذياركهخي صجدافػو اائجاال ااث اإلماةنتي ج ح
لماوأ
شأاأ اإن الي
اوحذنرا اخاجت ال اذيلض م ارب اإل اةم ج حاأ اإن د ام ايا ث االرح ب
اثا ال اكال ا ا م افػ االرجو افاجفيق هم ا روحاأ اخت اةاباخاجخم ت
اأ
انا اخف اة ان ا خر اناة
اخر اعل دخيافأ ابيده خذ
اأ اخت اب اال فجاءه
اا اوكؾا اذلالاخاجخمافذنراخاجخ فصث ااىف اعل ه ا جيصافأ ان خف
)يقافادلئواالنتةرواهااىفبانافااىهجاالهتياوال(لا
“Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif (perawi hadis yang
menyaksikan orang buta bertawassul kepada Rasulullah) bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke
arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu
kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu
melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu
melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para
penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata:
Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)
Hadis tersebut dishahihkan oleh Al-Hafiz Thabarany, Al-Hafiz Abu
Abdullah Al-Maqdisi. Dan dinukil oleh Al-Hafiz Al-Munziri, Al-Hafiz
Nuruddin. Dan dari cerita hadis tersebut adalah bahwa usman bin hunaif,
sang perawi hadis, dan yang menyaksikan kisah itu, berkenan mengajarkan
kepada orang yang mengadu kepadanya tentang kelambanan khalifah
dalam menunaikan hajatnya, suatu do‟a yang didalamnya berisi tawassul
dan seruan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan sikap memohon
58
pertolongan kepada Allah dengan perantara Nabi setelah ia wafat. Pada
waktu itu orang tersebut mengira hajatnya ditunaikan oleh khalifah karena
usman bin hunaif telah menemui dan bercakap lebih dulu dengan khalifah
sebelum orang itu menghadap, maka segera usman bin hunaif menolak
persangkaan itu dengan menceritakan hadis yang pernah dia dengar dan
saksikan langsung untuk menetapkan bahwa hajat orang itu memang
sungguh ditunaikan karena tawassulnya dan seruannya kepada Nabi
Muhammad Saw. serta sikap mohon tolongnya dengan perantara beliau.
Dimana penolakannya itu dikuatkan dengan sumpah, bahwa dia tidak
pernah berbicara sebelumnya dengan khalifah dalam masalah hajat itu.44
Dari hadis ini merupakan contoh dari pengamalan sahabat tentang
adanya tawassul yang dilakukan Nabi Saw. dan di contoh oleh sahabat
Utsman bin hunaif yang menyaksikan langsung kejadian yang dilakukan
Nabi Saw. semasa hidupnya dan amalkan ketika Rasulullah telah wafat.
5. Tawassul dengan kubur Nabi Saw.
Imam Al-Darimi menyatakan dalam kitabnya al-sunan (pada bab
penghormatan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. setelah wafat):
ا اب اشهيد ا ث اخد ان االنه ةاأ ا ث الماخد ا اب رو اخ ا ث اخد زيد
اطديداا اكدفا ث دح اال و اأ اكدؿ االل اختد اب وس
اأ ا ث اخد النهري
االنبا ارب اذلاىجااجلروا اإلاعنظث ا اا فظه غلىااللانيياوشيفاجهياء االص اإل ى ان اشلفاا اء االص اوبي اةي ن ايس ال كالاا.خت
ا لجا اتفخ ةواخت جاال ااىهظباوش اجتج اخت فرا ا فرا اذ ا ذفهياعمااىفخقا افصم د )رواهاالارمي( الظ
“Dari Aus bin Abdullah: “Suatu hari kota Madinah mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madinah ke Aisyah
(janda Rasulullah ) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad lalu bukalah sehingga
tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”,
44
Muhammad Alawy Al Maliky, Op. Cit., h. 158.
59
lantas mereka pun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat
sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk.”(HR. Imam Darimi)
Inilah tawassul dengan kubur Nabi, yang semata-mata bukan dengan
keadaannya sebagai kubur, tetapi kubur itu menyimpan jasad dari makhluk
yang paling mulia di kolong jagad ini, seorang kekasih Allah. Sehingga
kuburan tersebut menjadi mulia lantaran menyimpan jasad tersebut, dan
menjadi pantas disifatkan dengan sifat mulia.45
Salah satu hikmah disyar‟iatkannya ziarah kubur oleh Rasulullah
adalah untuk mengingat mati dan alam akhirat bahwasanya setiap yang
bernyawa pasti akan merasa kematian dan Rasulpun memerintahkan untuk
mendo‟akan orang-orang yang telah wafat dan bertawassul dengan
berziarah kubur bukan berarti sebuah kuburan tersebut memiliki
keistimewaan tapi sesuatu di dalam kubur tersebut terdapat makhluk Allah
yang mulia dan dicintai-Nya.
6. Tawassul dengan Wali Allah
Rasulullah juga membolehkan bertawassul dengan orang yang telah
wafat. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al Kabir dan al-
Ausath pada redaksi hadits yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika
Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka
Rasulullah turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk ke dalam
liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan beliau
berdoa:
شدااأ اةج ث ـ افا مي
ال ااغفر ت اح ال اح او اوييج ايي ي اال لل
أ
اوىلا ارتلى ا ح اال بياءماوال ابي اابق
دخي ا ا مانيي ااووش خ اخج ا احيا االر رخ
اأ انا( فإم االولاء اخييث اف اهي اواة ااىفبان رواه )انس
45
Ibid., h. 179.
60
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup, tidak
akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi”. (HR
al-Thabrani dan Abu Nuaim dari Anas)
Dalam riwayat terdapat nama Rauh bin Shalah, salah seorang perawi
yang di akui tsiqahnya46 oleh Ibnu Hiban dan Hakim. Mereka
meriwayatkan hadis tersebut dari Ibnu Abbas dan memandangnya shahih.
Dengan demikian hadis tersebut kalau kita perhatikan bahwa para
Nabi, dimana Nabi kita bertawassul kepada Allah dengan Hak mereka itu,
semuanya telah wafat. Maka tetaplah kebolehan bertawassul kepada Allah
dengan Hak dan pemilik hak yang masih hidup maupun yang sudah mati.47
Rasulullah memohonkan kepada Allah untuk Fatimah binti Asad
dengan wasilah atau perantara hak Nabi Allah dan para Nabi Allah
sebelumnya karena para utusan Allah tersebut, tentunya adalah makhluk-
makhluk Allah yang dicintai-Nya dan dengan izin Allah lebih besar untuk
terkabul-Nya do‟a tersebut.
7. Tawassul dengan Amal Perbuatan
Sabda Rasulullah Saw:
ا االل ارضي ارضي فاب اال اة ر اخ ااة االل اختد االرح اختد باأ ن
ااكالا لاا:خ احل انيياوشي االل اغلى لاالل اجفيقاذلذثاا:شهجارشارا اكن ام افاندرتاجفر ه افدخي ااىغار اال تيج
اال اآوا اخت تيساانا اال الحجيس اا ا اذلال ااىغار ي
اني ت افصد ا تو اال ا غخرةا االي ااكالارجوا اىس خ
اأ اةػاىح ااالل اناطيخانااحدن كنالااة
ا افي ا اي ا جر االظ بي ـ ا ىاب
أ اذ ل اا ا ارتي ا الاغتق اوكج ان نتي
ا هراف ي اان ا جدت اف ا ذ ادت ا ال افديتج ا اا اخت ا ي
اني رحأ
اوا ا ااوكل ايدىاان اعل اواىلدح افيترج ال ااوا ا ل اا ا ارتي نتقاأ ان
46
Daftar perawi yang yang adil dan dapat dipercaya. 47
Muhammad Alawy Al Maliky, Op. Cit., h. 178.
61
اا اكدمي اند ن احخؾان يتث اوالػ ااىفجر اةرق اخت ا ااشتيلاك اجخلراذا اذهيج انج اان االي ا ذ ادت ا افشب اوجمافاشتيلق ااةخغاء لم
نا افاجفرججاطيئااليصخفيه خرة ذهاالػ ا ا ا اذي ا ان ا ا اخ ذفرجا روجا ا.ال االناساال اكجااخب ثاخم اكنالااب اا االي كالاالخر
ااوفىاروايثانا. اجفص ااعل ردتاالرجالااىنصاءافأ اايب ا ااكطد جااخت
اا افاؽهفيخ افجاءحن ني االص ا ث اش ا اة ج لاأ اخت ان هج خ ا
فاجا ا اوبي اةين لى
ات اان اعل ار ادح اوائث ااذاانشي اخت اذفهيج ا فصا االل ااحق اكاىج ا ارجيي ابي ا ارهدت ا افي اروايث اووفى انيي كدرتاوحركجاا االناساال خب
اأ ااوه اخ افاصفج ابل اال اح اال ولتفؼ
خفياىاأ اال ب اذلمااةخغاءاوجماذفرجاال اذهيج انج اان
االي ا خاا روجا ناال اليصخفيه ااج ادي خرة ااذيافاجفرججاالػ ان ا ا خ
خفيخااوأ ا جراء
اأ جرت
شخأاأ االي ا االثاىد اوكال ادي ادي جر
اأ ا
الافجاءا االم ا انثتا اخت جرهاأ رت اذر ب اوذ ىال اال احرك واخد
ا احراىا ا ا اك اذليج اأجرىا اال داأ ا االل اختد ايا اذلال اخي ابهد ن
ا االة ا جركاذليجاأ زئ التصخ االل اذلال اوالرريق اواىغ اواللر و
اطيئا كا احت اافي افاشخاك زئااةمافاخذهااك شخاانانجاا.لأ الي
انا ا ا اخ افافرج اوجم ااةخغاء اذلم خرةاذهيج االػ افاجفرجج اذي ا نا ظ اح ا خفقانيي.فخرج
“Abdullah bin Umar r.a berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Terjadi pada masa dahulu sebelum kamu, tiga orang
berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam dalam gua. Tiba-tiba, ketika mereka sedang dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkata
mereka: „Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kami dari bahaya ini, kecuali jika tawassul kepada Allah dengan amal-amal
shalih yang pernah kamu lakukan dahulu kala. Maka berkata seorang
62
dari mereka: „Ya Allah dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya
biasa tidak memberi minuman susu pada seorang pun sebelum keduanya (ayah-ibu ), baik pada keluarga atau hamba sahaya, maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku mengembalakan ternak, hingga
tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya
dan saya pun segan untuk membangun keduanya, dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapa pun sebelum ayah bunda itu. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah
keduanya dan minum dari susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu anak-anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat
kakiku. Ya Allah, jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar
daripadanya‟. Berdo‟a yang kedua: „Ya Allah, dahulu saya pernah terikat cinta kasih
pada anak gadis pamanku, maka karena cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta
bantuan kepadaku, maka saya berikan padanya uang seratus dua puluh dinar, tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya
kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: „Takutlah kepada Allah dan janganlah engkau pecahkan tutup kecuali dengan halal‟. Maka saya
segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkanya, dan saya tinggalkan dinar mas yang telah saya berikan kepadanya itu.
Ya Allah, jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini.‟ Maka bergeraklah batu itu, menyisih sedikit tetapi mereka belum dapat keluar
daripadanya. Berdo‟a yang ketiga: „Ya Allah, saya dulu sebagai majikan,
mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segera ia pergi meninggalkan upah dan
terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya gunakan upah itu hingga berkembang dan berbuah hingga merupakan kekayaan.
Kemudian setelah lama sekali datanglah buruh itu dan berkata: „Hai Abdullah, berikan kepadaku upahku dulu itu?‟ Jawabku, ‟Semua kekayaan yang kamu lihat di depanmu itu; mulai unta, sapi dan
kambing itu adalah upahmu‟. Buruh itu berkata, „Wahai Abdullah, kamu jangan mengejekku.‟ Jawabku, „Aku tidak mengejek kepadamu‟.
Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tidak meninggalkan sedikitpun darinya. Ya Allah, jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini.
Tiba-tiba menyisihlah batu itu, hingga mereka keluar dengan selmat.” (H.R. Bukhari-Muslim)
63
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya faidah amal kelakuan yang
tulus ikhlas, hingga dapat dipergunakan bertawasul kepada Allah dalam usaha
menghindarkan bahaya yang sedang menimpa. Juga menunjukkan bahwa
manusia harus mengutamakan orang tua dari anak istri. Juga menunjukkan
kebesaran pengertian dari penahanan hawa nafsu, dan kerakusan terhadap
harta upah buruh.48
Dari hadis ini, kalau kita perhatikan bahwasanya Allah swt. mencintai
orang-orang yang mentaati perintah Allah dan berbuat amar ma‟ruf nahi
munkar yang merupakan sesuatu hal yang Allah perintahkan dan melalui
Amal yang dilakukan menjadi perantra bagi makhluknya untuk terkabulnya
do‟a tersebut. Tiga orang yang terjebak di dalam gua. Kemudian pintu
keluarnya tertutup oleh batu besar, sehingga terjebak didalamnya, kemudian
mereka bertawassul dengan amalnya yang pertama, dengan baktinya kepada
orang tua. Kedua, memunaikan amanah terhadap orang lain yaitu upah
buruhnya. Ketiga dengan menghindari kemaksiatan berzina. Dengan amal
shaleh dan beribadah secara khusyu, tekun, dan istiqamah juga dapat menjadi
wasilah datangnya kasih sayang Allah bagi para pelakunya. Tentunya apa
yang dilakukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah dengan berusaha
mencari keridhaan Alah Swt.
Tawassul yang syariah bisa menjadi suatu perbuatan yang bernilai
ibadah kepada Allah Swt.yaitu amalan yang berlandaskan al-Qur‟an dan al-
Hadis. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya,
baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup
dan kehidupan manusia.49
48
Abu Zakaria Yahya bin Syarif, Riadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreis dengan
judul Tarjamah Riadhus Shalihin , (Bandung: Alma‟arif, 1986), h. 22. 49
Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 46.
64
C. Implementasi Tawassul dalam Pendidikan Islam
Azumardi Azra mengemukakan bahwa karakteristik pendidikan Islam
menekankan kepada; pertama, pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan
pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah Swt. setiap muslim diwajibkan
untuk mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami dan dikembangkan dalam
kerangka ibadah guna kemaslahatan umat manusia sebagai suatu proses yang
berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hayat (life long education). Kedua,
nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini kejujuran, tawadlu‟, menghormati sumber-
sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip yang perlu
dipegang setiap pencari ilmu. Ketiga, pengakuan akan potensi dan kemampuan
seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian setiap pencari ilmu
dipandang sebagai makhluk tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-
potensinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Keempat, pengamalan ilmu
pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada tuhan dan masyarakat. Disini
pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus
dipraktikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.50
Secara sederhana, Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam al-
Qur‟an dan al-Hadis serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah
umat Islam.51 Pendidikan berarti juga proses perubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.52 Sebagaimana telah diungkapkan oleh M. Arifin,
bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan
kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita
50
Azumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru , (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 10. 51
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia ,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), h.161. 52
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), h. 263.
65
Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.53
Zakiah Darajat menyebutkan bahwa inti pendidikan Islam adalah
pembentukan kepribadian muslim. Bahkan istilah tersebut dapat diterima pada
masa Nabi Muhammad Saw. yang telah berusaha mengubah kepribadian kafir
menjadi kepribadian muslim, dan membentuk masyarakat islam. Pendidikan
merupakan alat yang sangat efektif dalam memajukan dan mengembangkan
intelektual manusia, membantu untuk memantapkan penghayatan dan pengamalan
etika yang sangat tinggi dalam agama dan akhlak. Bahkan, syari‟ah sendiri tidak
akan dihayati dan diamalkan manusia jika hanya diajarkan saja. Akan tetapi harus
dididik melalui proses pendidikan.54
Ayat-ayat al-Qur‟an banyak memberikan prinsip-prinsip yang berkenaan
dengan pendidikan Islam, antara lain terdapat dalam surat Luqman ayat 12-19:
اا افإج هرخ ايظخ او الل هرخ اٱطخ ناأ ث هخ اٱلخ م اىلخ اءاحيخا وىلدخ
احيدا اغن اٱلل ازفرافإن او صۦ هرالنفخ اا١٢يظخ م وإذخاكالاىلخخا اٱلش اإن اةٱلل كخ الاتشخ ۥايتن ايهل ۦاو الةخ انلي ا١٣كاىليخ
ۥافا اوفصي خ او اعل ا خ او ۥ
اأ احيخخ يخ ل اةو نس
اٱلخ يخا ووغػيا خ اٱل يخماإل ل الاوىو هرخ ناٱطخ
اأ يخ ناا١٤ع
اأ داكاعل وإناج
ااىيخسالماةۦانيخا ابا ك جخيااتشخ اافاٱل اوغاختخ ا افلاحفهخ
بئساافأ خ امرخجهس اإل اإل اث اب
اأ خ ا اشبيو اوٱحتمخ هخروفا
ا ين اتهخ خ انخ ا دلاا١٥ة اخرخ خ ا ث ااإناحمارخلالاخت اإج يتناذخسافاغخخا اإن ااٱلل تاة
خرضايأ
افاٱلخ وختاأ مو افاٱلص وخ
اأ رة
53
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 10. 54
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 20.
66
ا اىفيفاختي اا١٦ٱلل ان هخروفاوٱخخ اةٱل مرخ
خاوأ ة ي اٱلػ ك
اأ يتن
ا مر اٱلخ انزخم خ ا لم اذ اإن غاةم
اأ ا ا اعل بخ اوٱغخ هر
خ اولاا١٧ٱلا الايب اٱلل اإن رضامرخا
خضافاٱلخ اساولات الي ك اخد حػهرخا خر
اف امخخال اا١٨ك حم اإن خ ااغ يماوٱغخؾؼخ افامظخ وٱكخػدخيا ختاٱلخ تالػ و غخ
سراٱلخ ا١٩أ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam
bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai.
67
Ayat-ayat di atas, menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari
iman, akhlak, ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut juga menjelaskan
tujuan hidup dan tentang nilai suatu kegiatan dan amal sholeh, artinya, kegiatan
pendidikan harus menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber utama dalam
merumuskan berbagai macam teori tentang pendidikan Islam.55 Islam sebagai
Agama tentunya memiliki tujuan, ajaran pokok/materi, metode dan evaluasi. Maka,
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi
muslim seutuhnya, memajukan dan mengembangkan seluruh potensi manusia baik
dalam bentuk jasmaniah maupun rohaniah. Menumbuhkan hubungan yang
harmonis setiap pribadi dengan Allah Swt.
Secara garis besar tawassul dapat dilihat dari beberapa dimensi. Setiap
dimensi mengacu kepada tujuan pokok yang khusus atas dasar pandangan yang
demikian, yaitu:
a. Dimensi sumber hukum
Berdasarkan dimensi ini, tujuan tawassul diarahkan pada sumber hukum
utama Islam adalah al-qur‟an dan hadis. Maka dari sudut pandang ini tawassul
yang dilakukan berlandaskan apa yang diperitahkan Allah dan apa yang
disampaikan melalui Rasul-Nya. Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa [4]: ayat 59.
ا حأ ااي ي يهاااٱل ـ
اأ ا اءا يهاااٱلل ـ
شلاوأ ولااٱلر
مخراوأ
اٱلخا اإل وه افرد ء اشخ اف خ خ احنزخخ افإن خ س شلاوااٱلل إنااٱلر
ا اة احؤخن خ نخ خماوااٱلل صااٱلأخر ااٱلخ خخاوأ لماخيخ ويلاااذ
خحأ
اا٥٩“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
55
Ibid., h. 20.
68
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
b. Dimensi hakikat penciptaan Manusia
Dalam dimensi ini, maka tujuan tawassul adalah yang berkaitan dengan
hakikat penciptaan manusia oleh Allah Swt. Dengan demikian maka tujuan
tawassul adalah untuk membimbing agar menjadi pengabdi kepada Allah dengan
setia. Seperti firman Allah dalam Q.S. Ad-Dzariyaat [51]: ayat 56.
ا جااو اخيلخ نساوااٱلخ
تدونااٱلخ الهخ اا٥٦إل“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
c. Dimensi Tauhid
Berdasarkan dimensi ini, maka tujuan tawassul diarahkan kepada upaya
pembentukan sikap takwa. Dengan demikian tawassul ditujukan kepada upaya
membimbing dan mengembangkan menjadi pribadi yang bertakwa kepada Allah
Swt. sebagaimana firman Allah Q.S. Al-Ma‟idah [5]: ayat 35.
ا حأ ااي ي ااٱل ا لااءا ااٱت ااوااٱلل ااٱبخخغ شييثاإلخ خ دواٱل افاوج ا
يدنااۦشبيي خاتفخ س اا٣٥ىهي“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
d. Dimensi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan
hidup untuk berkelompok serta bersama-sama di dalam masyarakat. Oleh karena
itu dimensi sosial mengacu kepada kepentingan makhluk hidup sebagai makhluk
sosial, yang didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat.
Tawassul dalam konteks ini adalah merupakan usaha untuk membimbing dan
69
mengembangkan kehidupan bermasyarakat dalam lingkungannya. Hal tersebut
sejalan dengan perintah Allah Q.S. Al-Hujurat[49]: ayat 13.
ا حأ اطهبااإااخااٱلناسااي خ اوجهيخنس ث
اوأ اذنر نسا يلخ
اندا خ س ر زخاأ اإن ا الهارف ورتانو ااٱلل اإن خ س تخلى
اأ ااٱلل نيي
اا١٣ختيا“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
e. Dimensi Pendidikan
Berdasarkan dimensi pendidikan ini, tawassul dalam pelaksanaan
pendidikan ditujukan kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang
bermoral. Tujuan pendidikan di titik beratkan pada upaya pengenalan terhadap
nilai-nilai yang baik dan kemudian menginternalisasikannya, serta
mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam sikap dan prilaku melalui
pembiasaan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nahl [16] ayat 125.
ااٱدخعا اة اشبيواربم ثإل هخ خنلثوااٱلخ خ صث ااٱل ااٱلخ اةخ تاوجدل ااٱى ه
اناشبيي اؽو اة ي نخاأ اربما اإن ص خخ
ااۦأ اة ي نخ
اأ او خدي خ خ اٱل
اا١٢٥“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat di pahami bahwa dimensi tawassul dan
implementasinya pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan
membina fitrah peserta didik sebagai pribadi muslim yang paripurna. Melalui
70
sosok pribadi yang demikian, peserta didik di harapkan mampu memadukan
iman, ilmu dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis,
baik dunia dan akhirat, serta menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah, yakni
mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala yang di larang-Nya.
Diantara nilai-nilai pendidikan dalam zikir dan do‟a (tawassul) adalah
Pendidikan karakter yaitu pendidikan manusia yang berakhlakul karimah. Nilai-
nilai yang ada pada Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. itu
hendaknya terealisasikan dalam diri setiap peserta didik.
Karakter yang sesuai dengan ajaran Islam tentunya adalah karakter yang
berdasarkan al-qur‟an dan hadis, di bawah ini penulis menyajikan beberapa
contoh karakter yang dapat diterapkan dalam Islam:
1) Religius
Sikap dan prilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala yang
dilarang-Nya. Q.S. Ali-Imran [3]: 102.
خااوأ اإل ت اولات اتلاحۦ اخق اٱلل لا اٱت ا اءا ي اٱل ا ح
أ يصخا نا ا١٠٢ي
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-
benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.
2) Tolong-menolong
اولاتهاواا ى لخ اوٱل باٱىخ لااوتهاوااعل ون اوٱت اوٱىخهدخ ذخ
اٱلخ ااعلاطديداٱىخهلابا اٱلل اإن ا٢ٱلل
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
71
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Ma‟idah [2] ayat 152)
3) Rajin bekerja keras dalam kebaikan (amal saleh)
ااافا ايب اوٱلل اٱلأخرة اب اذ اوخصخ جخيا اٱل اب اذ اٱلل احىصنيا دخ خ ا١٤٨ٱل
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan
pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan. (Q.S. Ali Imran [3] ayat 148)
4) Bersyukur
فرونا هرواالاولاحسخ اوٱطخ خ ذخنرخزاأ ا١٥٢فٱذخنرون
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 152)
5) Sikap menghormati
ا زلاٱللااأ اكالاا اإذخ رهۦ اكدخ اخق اكدروااٱلل ا ء او اشخ ا اش اعل
اس ا دىاىي او ارا امس اةۦ ياجاء اٱل اٱىخهتب زلاأ خ ا كوخ
اا ي اتهخ خ ال ا ا خ خ اوتخفنانريااوني ا ـيساتتخدوج اكرا ۥ تخهيا خاكواٱلل خاولاءاةاؤز خ
خاييخهتنااأ خؽ افاخ خ اذرخ ا٩١ث
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang
semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan
sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya
dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran
kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan
kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan
72
kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak
mengetahui(nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)",
kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatanny. (Q.S. Al-An‟am
[6] ayat 91)
6) Tidak putus asa
اٱ ايتن اولاحايخ خيصااايشفاوأ تااذخدص حاااذخ وخ صااار
ا ۥالايايخ اإ فروناااٱلل خماٱىخ اٱىخل اإل حاٱلل وخ ا٨٧ساار“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf
dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir. (Q.S. Yusuf [12] ayat 87)
7) Bertangung jawab
كاشدىا ناحتخاأ نس
يخصباٱلخ ا٣٦أ
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban). (Q.S. Qiyamah ayat 36)
8) Menjaga harga diri
Al-Hadis:
“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga dirimu.”
(H.R. Asakir dari Abdullah bin Basri)
9) Sabar dan optimis
لا و خ اٱلخ ا ع اوجلخ ع اوٱلخ خف اٱلخ ا ء اشخ س ولنتخي
ا بي اٱىص رت اوش فساوٱلث ا١٥٥وٱلخ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
73
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-
Baqarah [2] ayat 155)
Implementasi akhlak dalam Islam tergambar dalam karakter pribadi
Rasulullah Saw. dalam pribadi Rasul, terdapat nilai-nilai akhlak yang agung dan
mulia. Al-Qur‟an dalam surat Al-Ahzab ayat 21: “ Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.”
Akhlak memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak
di mulai dari individu, kemudian menyebar ke individu-individu lainya.
Selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat,
sehingga akan tercipta masyarakat yang tentram dan sejahtera. Implementasi
tawassul dalam pendidikan Islam dalam hal ini yang terpenting dalam hal
praktik kegiatan sehari-hari. Jika terhenti pada kegiatan ritual semata, tidak akan
membantu perkembangan individu tersebut.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian dan mengkaji Dimensi Tawassul dalam
Perspektif al-Qur’an dan as-Sunnah, maka diperoleh kesimpulan dari hasil penelitian
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tawassul berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dapat di kategorikan dua
golongan, yaitu:
a Tawassul yang di syariatkan
1) Menurut kesepakatan Ulama, yaitu terdiri dari tiga macam:
a) Bertawassul dengan nama-nama Allah (Asmaul Husna) atau sifat-sifat-
Nya yang mulia.
b) Bertawassul dengan Nabi Saw.
c) Bertawassul dengan amal sholeh
2. Tawassul yang diperselisihkan kebolehannya ada dua macam, yaitu:
a. Bertawassul dengan derajat (Jah) Nabi Saw.
b. Bertawassul kepada selain Nabi Muhammad Saw.
b. Tawassul yang dilarang dan diharamkan
2. Implementasi zikir dan do’a dalam bentuk tawassul dalam pendidikan Islam
artinya menanamkan nilai-nilai keislaman dapat di golongkan pada lima aspek
bagi pribadi orang yang berzikir, yaitu akidah, ibadah, akhlak, sosial (muamalat)
dan ketenangan jiwa. Hal ini sesuai dengan keterangan al-qur’an dan hadis
bahwa do’a dan zikir berperan positif pada pribadi yang mengamalkannya.
Aktivitas berzikir tersebut bila dilakukan dengan sungguh-sungguh selanjutnya
akan mengalami hubungan dekat dengan Allah Swt. kedekatan tersebut akan
membawa mereka pada perubahan prilaku dalam kehidupan sehari-hari dan
nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai insan kamil yang
bermanfaat dalam kehidupannya.
75
B. Saran
Semoga karya ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Kepada pembaca,
penulis menganjurkan agar biasa mempelajari, memahami sendiri makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa memahami
Tawassul dan Wasilah lebih mendalam, Kepada pembaca diharapkan
bisa mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.
1. Berdo’a dengan tawassul dan mempergunakan wasilah (perantara), baik denga
iman, amal shaleh atau orang-orang shaleh yang dekat kepada Allah Swt. jelas
dibenarkan dan tidak disalahkan oleh agama. Lalu, bertawassul bukan berarti kita
meminta agar yang dijadikan wasilah untuk mengabulkan permohonan kita, tetapi
memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima
do’a para pemohonnya, atau bertawassul dengan wasilah yang dicintai Allah, atau
bertawassul dengan menyebut sesuatu yang dicintai Allah, tentu Allah akan
menyenangi dan meridhoi kita. Maka seyogyanya apa yang disenangi Allah kita
sebut dalam do’a.
2. Pendapat mayoritas ulama berkaitan dengan tawassul boleh, namun beberapa
ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih mendalam
dan detail, perbedaan tersebut hanya bersifat lahiriyah bukan bersifat mendasar.
Maka tentunya apapun berpedaan dikalangan ulama harus kita sikapi secara arif
dan bijak dan dijadikan Rahmatalil ‘Alamin.
3.Pentingnya penerapan metode pendekatan secara spiritual dalam pendidikan
supaya dapat menumbuhkan nilai-nilai yang positif dalam keberlangsungan
hidupnya di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
76
Dan tentunya dalam penulisan ini yang penulis kutip juga belum tentu benar,
ada kemungkinan salah baca atau salah ketik. Oleh karena itu para pembaca agar
dapat menelaah kembali lebih mendalam mengenai tulisan ini. Terima Kasih.
77
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a. Jakarta: Lentera
Hati, 2006.
Hakim, M. Abdul. Implementasi Aswaja dalam Peribadatan kepada Allah. Cirebon:
Pustaka Syahadat, 2009.
Taimiyah, Ibnu. At Tawassul wa al Wasilah/ Tawassul dan Wasilah. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1987.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2014
Al-Qahtani, Said bin Ali bin Wahf. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah. Jakarta:
Darul Haq, 2002.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin dan Al-‘Ulyayi Ali bin Nafi. Tawassul dan
Tabarruk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Al Maliky, Muhammad Alawy, Mafahim Yajib An Tushahhah/Paham-paham yang
perlu diluruskan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 1, 2001.
Drajat,Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Fath, Amir Faishol. The Unity of Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Al-Faqihi, Ali bin Muhammad Nashir. Bid’ah Sumber Kebinasaan.Solo: Pustaka As-
Salaf, 1998.
Shihab, M. Quraish. Lentera al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Al-Ghazali, Muhammad. Berdialog dengan Al-Qur’an . Bandung: Mizan, 1999.
Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. At Tawassul An Wa’uhu Wa Ahkamuhu/
Tawassul. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993.
Thalib, Muhammad. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Bina Ilmu, 1977.
Ubaidah, Darwis Abu. Tafsir Al-Asas. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.
Mufid A. R., Ahmad. Risalah Kematian (Merawat jenazah, Tawassul, Ta’ziyah, dan
Ziarah Kubur). Jakarta: Total Media, 2007.
Azzaino,Zuardin. Asma-ul Husna. Jakarta: Pustaka Al-Hidayah.
Http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/12/macam-macam-tawassul.
78
Yahya bin Syarif, Abu Zakaria, Riadhus Shalihin/Tarjamah Riadhus Shalihin.
Bandung: Alma’arif, 1986.
Al-Husaini, Zaenal Abidin Al-Maliki. Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi’Aqidah al-Firqah
an-Najiyah/Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Surabaya:
Khalista, 2009.
Hakim, M Abdul. Mencari Ridho Allah. Cirebon: FKPI, 2009.
Subhani, Ja’far. Wahabism. Jakarta: Pustaka Citra, 2007.
Http://www.alkhoirot.net/2014/08/tawassul-dalam-Islam.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. pengantar studi ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar: 2011.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Jaya,
2008.
Ubaidah, Darwis Abu. Panduan Ahlu Sunnah Waljama’ah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2012.
Hatta, Ahmad. Tafsir Al-Qur’an Per Kata dilengkapi dengan Asbabul Nuzul &
Terjemah Jakarta: Maghfirah Pustaka,2010.
Usman, Husaini dan Akbar. Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2008.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.
Hadi,Sutrisno. Metodologi Reseach Jilid 2. Yogyakarta: Andi Iffiset, 1987.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi Tradisi NU.
Jakarta: Lantabora Press, 2006.
Asy’ari, Muhammad Hasyim. Risalah Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Yogyakarta: Ar
Ruzz Media, 2015.
Abbas,Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1996.
Al Saqqaf, Sayyid Hasan. As-Salaffiyah al-Wahahaabiyyah, Afkaaruha al-Asaasiyyah
wa Judzuuruha al-Taariikhiyyah/Mini Ensiklopedi Wahabi. Yogyakarta: Ar
Ruzz Media, 2015.
79
Wahab, Muhammad bin Abdul. At-Tauhid: al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘Ala al-‘Abid/
Tauhid Imam Abdul Wahab. Bandung: Pustaka, 1987.
Doi, Abdur Rahman I. The Islamic Law/Inilah Syaria’ah Islam. Jakarta: Pustaka
Panjimas,1990.
Ath-Thabari, Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Al Jami’ Al Bayan an Ta’wil
Ayi Al Qur’an/Tafsir Al Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Al Qurtubi, Syaikh Imam. Al Jami’ li Ahkaam/Tafsir Al Qurtubi. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Taimiyah, Ibnu. Qaidah Jalilah Fi At Tawassul wa al Wasilah/Ibadah tanpa
Perantara kaidah-kaidah tawassul. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Asy-Syanqithi, Syaikh. Adhwa’ Al Bayan fi Idhah Al-Qur’an bi Al Qur’an/ Tafsir
Adhwa’ul Bayan. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
As-Syaukani, Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fathul Qadir. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Thalib, Muhammad. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Bina Ilmu, 1977. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Marimba, Ahmad D., Metodik Khusus Islam. Bandung: PT. Al-Maarif, 1981.
Hamzah, Muchotob dan Aziz. M. Imam, Tafsir Maudhu'i al-Muntaha. Yogyakarta:
PT LKIS Pelangi Aksara, 2004.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2008.
Nata,Abuddin. Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai
Pustaka, 2001.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
top related