early goal directed therapy= rani tb=
Post on 30-Jul-2015
257 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Tugas Jurnal
EARLY GOAL DIRECTED THERAPY
Oleh :
Rani Tiyas Budiyanti
G0006020
Pembimbing :
Dr. Purwoko, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS
KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2011
1
EARLY GOAL DIRECTED TERAPI
Resusitasi pada pasien sepsis berat atau syok sepsis yang disebabkan oleh hipoperfusi
jaringan (hipotensi atau asidosis laktat) harus dimulai secepat mungkin dan tidak boleh ditunda
hingga menunggu masuk ICU. Konsentrasi laktat dalam serum yang meningkat
akan menunjukkan adanya hipoperfusi jaringan pada pasien tanpa adaya resiko
hipotensi.
Target yang dicapai selama 6 jam pertama resusitasi pada hipoperfusi yang dinduksi oleh sepsis
adalah sebagai berikut :
1. Tekanan vena sentral 8-12 mm Hg
2. Tekanan arteri (MAP) ≥ 65 mm Hg
3. Urin ≥ 0,5 mL / kg -1 / jam -1
4. Saturasi oksigen vena kava superior [ScvO2] ≥ 70% atau saturasi oksigen vena campuran
[SVO2] ≥ 65%.
5. Jika saturasi oksigen vena sentral atau vena campuran selama 6 jam resusitasi tidak dapat
mencapai 70% dengan resusitasi cairan, dan tekanan vena sentral 8-12 mm Hg, maka
dilakukan transfusi sel darah merah untuk mencapai hematokrit ≥ 30% dan / atau
diberikan infus dobutamin (hingga maksimum 20μg/kg -1 / menit -1).
Tatalaksana Resusitasi pada Sepsis
Rangkaian tatalaksana resusitasi pada sepsis berat dijabarkan dalam beberapa tahapan yang
harus segera dilakukan dan harus diselesaiakan dalam 6 jam pertama sejak pasien menunjukkan
gejala sepsis berat atau syok sepsis.Beberapa tahapan mungkin tidak akan selesai dilakukan
pada kondisi pasien tertentu, tetapi dokter harus menilai unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya. Hal ini bertujuan agar semua tahapan dapat diselesaikan 100% dalam waktu dalam 6
jam pertama setelah sepsis teridentifikasi . Tahapan tersebut adalah:
1. Mengukur serum laktat.
2. Melakukan kultur darah sebelum pemberian antibiotik.
3. Memberikan terapi antibiotik spektrum luas dalam waktu 3 jam sejak pasien
menunjukkan gejala untuk pasien gawat darurat dan 1 jam pada pasien tanpa
kegawatdaruratan ICU.
2
4. Jika terjadi hipotensi dan / atau kadar laktat> 4 mmol / L (36 mg / dL), maka
dilakukan:
a. Memberikan kristaloid minimum seawal mungkin sebesar 20 ml / kg BB(atau
koloid yang setara).
b. Memberikan terapi vasopresor untuk hipotensi yang tidak memberikan respon pada
cairan resusitasi awal untuk tetap mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP)
sebesar ≥ 65 mmHg.
5. Jika terjadi hipotensi persisten meskipun telah diberikan resusitasi cairan
(syok septik) dan / atau kadar laktat pada serum> 4 mmol / L (36 mg / dL):
a. Mencapai tekanan vena sentral (CVP) dari ≥ 8 mm Hg.
b.Mencapai saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) lebih dari ≥ 70% .*
*Mencapai saturasi oksigen vena campuran (SVO2) ≥ 65 yang merupakan alternatif
yang dapat diterima.
Bukti dan dasar pemikiran
1. Pengukuran Laktat Pada Serum
a. Latar Belakang
Hiperlaktatemia biasanya hadir pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septik dan kemungkinan terjadi metabolisme anaerobik sekunder karena terjadi
hipoperfusi. Kadar laktat dalam pasien syok sepsis cenderung meningkat, dan
biasanya bertahan dalam kadar yang tinggi. Selain itu, kadar laktat yang tinggi dalam
darah lebih memiliki kecenderungan menurunkan kadar oksigen. Mengetahui kadar
laktat pada serum penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi jaringan pada pasien
yang belum terjadi hipotensi tetapi beresiko mengalami syok septik.
b. Keterbatasan
Interpretasi dari tingkat laktat dalam darah pasien sepsis
tidak selalu mudah. Sejumlah studi telah mendeskripsikan bahwa tingkat laktat dapat
mengalami peningkatan akibat kegagalan metabolisme seluler pada sepsis dan bukan
dari hipoperfusi global. Peningkatan kadar laktat
juga merupakan hasil dari penurunan pemecahan oleh hati.
3
c. Implikasi
Mengingat risiko tinggi untuk syok septik, maka semua pasien dengan
peningkatan laktat> 4 mmol / L (36 mg / dL) akan diterapi dengan early goal
directed therapy. Tatalaksana resusitasi sepsis berat ini tanpa memperhatikan
tekanan darah. Pendekatan ini konsisten dan diarahkan kepada tujuan awal terapi
langsung.
d. Waktu Untuk Pemeriksaan
Pemeriksaan laktat serum harus tersedia di institusi Anda
dengan waktu sentrifugasi yang cepat (dalam menit) yang secara efektif berguna
untuk mengobati pasien sepsis yang parah. Analisia gas darah arteri biasanya di
lakukan di laboratorium klinik.
Namun, setiap sarana yang memerlukan waktu penyelesaian cepat biasanya
akan diterima. Hal ini penting bagi rumah sakit untuk
menggunakan peralatan yang memadai dalam rangka memenuhi standar i
perawatan pasien sepsis saat ini.
Teknik yang digunakan untuk mendapatkan laktat serum dengan punksi
vena biasanya memerlukan waktu sekitar 24-48 jam dan tidak sesuai jika digunakan
untuk perawatan pasien sepsis. Teknik ini juga membutuhkan kondisi khusus seperti
pengambilan darah tanpa menggunakan turniket sehingga menghambat pemulihan.
2. Melakukan Kultur Darah Sebelum Pemberian Terapi Antibiotik
a. Latar Belakang
Kejadian sepsis dan bakteremia pada pasien yang sakit kritis
telah meningkat selama dua dekade terakhir. Tiga puluh hingga 50 persen pasien
dengan sindrom klinis yang parah atau syok sepsis memiliki kultur darah positif. Oleh
karena itu, darah pasien harus diambil untuk mendapatkan kultur pada setiap pasien
kritis dengan sepsis.
Melakukan kultur darah sebelum pemberian antibiotik dapat memberikan
harapan terbaik untuk mengidentifikasi organisme yang menyebabkan sepsis berat
dalam individu pasien. Kegagalan dalam pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian
4
infus antibiotik mungkin akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada darah dan
mencegah kultur darah selanjutnya menjadi positif.
Strategi yang dilakukan: Dua atau lebih biakan darah dilakukan. Pada pasien
yang menggunakan kateter dan diduga terkena infeksi, kultur darah
melalui hubungan antara kateter dan bagian perifer yang
diperoleh secara bersamaan. Jika organisme yang sama diperoleh kembali dari
kedua kultur, kemungkinan bahwa organisme yang menyebabkan sepsis yang parah
mulai lebih pasti. Selain itu, jika kultur diambil dari pembuluh darah besar biasanya
menghasilkan nilai positif lebih awal dibandingkan kultur darah perifer
(yaitu > 2 jam sebelumnya), hal ini memungkinkan vaskular sebagai sumber infeksi.
Volume darah dapat juga penting untuk diagnosa.
c. Indikasi
Demam, menggigil, hipotermia, leukositosis, pergeseran neutrofil ke kiri,
neutropenia, dan pengembangan yang dinyatakan dengan disfungsi organ (misalnya
gagal ginjal atau tanda-tanda kompromi hemodinamik) yang merupakan indikasi
tertentu untuk memperoleh darah untuk kultur. Kultur darah harus diambil sesegera
mungkin setelah onset demam atau menggigil.
Meskipun masih sulit untuk memprediksi bakteremia pada pasien dengan
sepsis, sejumlah parameter klinis dan laboratorium bebas akan berhubungan dengan
hadirnya bakteri dalam darah pasien ketika dicurigai terjadi infeksi. Diantaranya
adalah keadaan menggigil, hipoalbuminemia, perkembangan gagal ginjal, dan
diagnosis infeksi saluran kemih. Kriteria lainnya diantaranya adalah demam,
hipotermia, leukositosis dan pergeseran neutrofil ke kiri, neutropenia, dan tanda-tanda
kompromi hemodinamik.
Puncak demam biasanya lebih sensitif terhadap leukositosis untuk
memprediksi terjadinya bakteremia, namun, demam dengan tingkat bakteremia yang
rendah dapat terus menerus terjadi, seperti pada pasien endokarditis.
5
3. Merencanakan Terapi Antibiotik spektrum luas dalam waktu 3 Jam dari Munculnya
Gejala pada pasien kegawatdaruratan dan 1 jam pada pasien tidak gawat darurat yang
diterima di ICU.
a. Latar Belakang
Setelah diidentifikasi apakah yang terjadi adalah sepsis berat, antibiotik harus
seceat mungkin diberikan untuk mengobati infeksi yang mendasarinya. Meskipun
pada pemberiaan awal antibiotik tampaknya menjadi pendekatan intuitif, pada
kenyataannya terapi yang efektif sering tertunda.Terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik yang tepat dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan bakterimia gram-positif dan gram-negatif. Selain itu beberapa bukti
menunjukkan bahwa pasien yang gagal menerima antibiotik yang tepat pada dasarnya
sama dengan pasien yang terlambat menerima terapi antibiotik.
Beberapa studi telah mengkonfirmasi mengenai manfaat kematian yang
berkaitan dengan dengan antimikroba yang tepat pada pasien dengan infeksi berat
yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif dan gram-positif. Selain itu, sumber
utama infeksi pada sepsis berat atau syok adalah pneumonia dan infeksi intra-
abdomen dan sumber lain umumnya sebesar <5% kasus.
Prevalensi pneumonia sebagai penyebab sepsis sangat besar . Pada kasus in
biasanya dilakukan pengobatan sepsis dengan pemberian antibiotik dini. Dalam
sebuah penelitian terbaru tentang ventilator, infeksi pneumonia, pasien dengan
disfungsi organ yang signifikan (Kriteria yang diperlukan untuk sepsis berat) yang
menerima antibiotik prevalensi yang jauh lebih besar dengan kematian di ICU
sebesar 37% P = 0,006; kematian di rumah sakit sebesar 44%
15%, dengan P = 0,01.
b. Pilihan antibiotik
Pemilihan antibiotik harus disesuaikan dengan kerentanan dan kemungkinan
bakteri patogen yang ada dalam masyarakat dan rumah sakit,
serta pengetahuan khusus tentang pasien, termasuk obat
intoleransi, penyakit yang mendasari, dan sindrom klinis. Rejimen yang ada
6
harus mencakup semua patogen mungkin karena hanya ada batas yang kecil margin
untuk terjadi kesalahan pada pasien sakit kritis.
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa kegagalan untuk memulai
terapi yang tepat dan segera (yaitu, terapi yang aktif terhadap
patogen penyebab) memiliki konsekuensi yang merugikan pada hasil.
Meskipun penggunaan antibiotik, dan khususnya antibiotik spektrum luas telah
dibatasi, tetapi penting untuk membatasi superinfeksi dan untuk
mengurangi perkembangan bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik, pasien
dengan sepsis berat atau syok seharusnya mendapatkan terapi antibiotik spektrum
luas hinga organisme penyebab dan kerentanan antibiotik dapat
diatasi.
c. Ketersediaan
Menyediakan pasokan antibiotik dalam kedaruratan departemen atau unit
perawatan kritis untuk situasi darurat merupakan strategi yang tepat untuk
meningkatkan kemungkinan bahwa agen antimikrona dapat segera dimasukkan.
Bebebrapa agen harus dimasukkan dengan infuse dalam jangka waktu yang lama,
sedangkan yang lainnya dapat diserap lebih cepat dan dapat diberikan dengan bolus
dan diulang 48-72 jam setelah evlauasi. Setelah agen penyebab kerentanan terhadap
antibiotik diidentifikasi, maka jumlah antibiotik yang diberikan dapat dibatasi dan
pemberian terapi antimikroba dilakukan penyempitan spektrum.
Dalam 48-72 harus dilakukan evaluasi ulang berdasarkan data mikrobiologi
dan klinis dengan tujuan untuk mempersempit spektrum antibiotik dan untuk
mencegah terjadinya resistensi, mengurangi toksisitas, dan untuk mengurangi biaya.
Setelah bakteri patogen penyebab diidentifikasi, dan tidak ditemukan bukti
bahwa terapi kombinasi lebih efektif daripada monoterapi, maka durasi terapi
biasanya menjadi 7-10 hari dan dipandu oleh respon klinis.
d. Dosis
Semua pasien harus mendapatkan dosis penuh setiap mendapatkan
antimikroba. Namun, pasien dengan sepsis atau syok sepsis seringkali memiliki
fungsi ginjal dan hati yang abnormal dan mungkin memiliki volume distribusi yang
abnormal karena resusitasi cairan yang masif. ICU harus mengkonsultasikan dengan
7
ahli farmasi untuk memastikan konsentrasi dalam serum
yang dapat mencapai efek maksimal dan mempunyai toksisitas minimal.
4. Pada Keadaan Hipotensi dan / atau Laktat> 4 mmol / L (36 mg / dL)
a. Memberikan cairan awal minimal 20 ml / kg kristaloid (atau koloid
yang setara)
1) Latar Belakang
Pasien dengan sepsis berat dan syok septik dapat
mengalami perburukan sirkulasi arteri karena adanya vasodilatasi yang
disebabkan oleh infeksi atau gangguan output jantung. Perfusi buruk akibat
rusaknya jaringan yang mengakibatkan hipoksia jaringan global, akan
menyebabkan kadar \ laktat tinggi dalam serum.
Nilai serum laktat lebih besar dari 4 mmol / L (36 mg / dL) berhubungan
dengan keparahan penyakit dan bahkan ketika hipotensi belum hadir.
Dengan demikian, pasien yang mengalami hipotensi atau memiliki kadar laktat
lebih besar dari 4 mmol / L (36 g / dL) memerlukan cairan intravena atau koloid
untuk memperbesar volume sirkulasi dan perfusi mereka sehingga efektif
mengembalikan tekanan.
2) Cairan awal yang digunakan
Cairan awal yang digunakan untuk resusitasi pada sepsis berat sebesar 20 ml
/ kg kristaloid . Cairan yang memadai merupakan tantangan dalam menanganai
kasus yang dicurigai hipovolemia atau kasus aktual serum
laktat yang lebih besar dari 4 mmol / L (36 g / dL). Sebuah koloid yang setara
dapat dijadikan alternative dari kristaloid, dengan dosis berkisar antara 0,2 g / kg
hingga 0,3 g / kg tergantung pada jenis koloid yang digunakan.
Sebuah tabel kesetraan untuk berbagai jenis koloid dan kristaloid dapat
dilihat pada di bawah ini :
8
Resusitasi cairan harus dimulai sedini mungkin dalam syok septik (bahkan
sebelum pasien masuk dalam unit perawatan intensif). Persyaratan untuk infus cairan
yang tidak mudah ditentukan sehingga pemberian cairan ulang harus dilakukan.
Tatatalaksana ini tidak membatasi jumlah dan tingkat cairan yang digunakan tetapi hanya
membatasi jumlah cairan minimal. Tindakan ini hanya digunakan untuk hipotensi tidak
untuk rehidrasi atau peninggian kadar serum laktat seperti di atas.
3) Cairan reusitasi dan cairan pemeliharaan
Pemberian jumlah cairan pemeliharaan yang ditingkatkan harus dibedakan dengan
cairan resusitasi. Cairan resusitasi merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan volume awal di mana pasien memberikan respon terhadap terapi cairan.
Selama proses ini, cairan dapat diberikan dalam jumlah yang besar dalam periode waktu
yang singkat di bawah pemantauan untuk mengevaluasi respon pasien.
Pertimbangan pemberian cairan resusitasi terdiri dari dari empat komponen:
a). Jenis cairan yang akan diberikan (misalnya, koloid alami atau buatan,
kristaloid).
b).Laju infus cairan (misalnya, 500-1000 mL lebih dari 30
menit).
9
c). Titik akhir (misalnya, tekanan arteri> 70 mm Hg, detak jantung dari <110 denyut /
menit).
d) Batas keselamatan (misalnya adanya resiko terjadinya oedem paru)
Peningkatan jumlah cairan pemeliharaan biasanya hanya terjadi pada perubahan cara
pemberian cairan yang dilakukan terus menerus.
4) Kristaloid dan koloid
Terdapat penelitian mengenai cairan resusitasi pilihan pada pasien dengan syok
septik dengan penelitian prospektif, acak, double blind, terkontrol, yang membandingkan
penggunaan solusio albumin 4% dan natrium klorida 0,9% (saline) pada pasien sakit
kritis yang memerlukan resusitasi cairan baru-baru ini telah selesai dilakukan pada 7.000
pasien. Hasil penelitian ini menunjukkan angka kematian yang identik antara pasien yang
menerima albumin atau natrium klorida 0,9%.
Analisis subgroup menunjukkan bahwa albumin memiliki beberapa manfaat
(meskipun tidak signifikan secara statistik) pada pasien dengan sepsis berat.
Selain itu, meta-analisis dari studi klinis akan membandingkan resusitasi kristaloid dan
koloid pada populasi pasien umum dan bedah
yang menunjukkan tidak adanya perbedaan hasil klinis antara koloid dan kristal-
loids dan mulai digeneralisasikan untuk populasi sepsis. Karena mempunyai volume
distribusi yang lebih besar, kristaloid dapat membuat edema.
5) Titik Akhir dari resusitasi cairan
Berdasarkan rangkaian tatalaksana resusitasi sepsis, cairan resusitasi minimal yang
diberikan untuk menghindari hipotensi. Cairan tambahan selanjutnya tidak dibatasi
Namun demikian pasien dengan hipotensi yang tidak berespon terhadap cairan atau laktat
serum yang lebih besar dari 4 mmol / L (36 g / dL), harus diawasi
tekanan vena sentral serta pusat dan campuran oksigen vena
saturasi. Target ini berdasarkan literatur terbaik yang ada. Analisis terbaru mendukung
SVO 65% hampir sama dengan saturasi ScvO2 70 %.
Menurut Rivers dkk, terjadi kematian di rumah sakit sebesar 30,5% pada kelompok
yang mendapatkan early goal directed therapy dibandingkan dengan kelompok control
dengan terapi standar sebesar 46,5% (p = 0,009). Rivers dkk menggunakan restorasi dari
saturasi vena oksigen > 70% sebagai 95% terjadi pada kelompok yang yang
10
mendapatkan early goal directed therapy hanya sebesar 60%
(p <.001).
6) Batas keamanan
Pasien harus berhati-hati mengamati terjadinya edema paru dan sistemik selama
resusitasi cairan. Tingkat deficit volume intravaskular pada pasien dengan sepsis berat
bervariasi.Dengan venodilatasi dan kebocoran kapiler yang sedang berlangsung,
kebanyakan pasien memerlukan resusitasi cairan agresif selama 24 jam pertama. Input
biasanya jauh lebih besar dari output
b. Penggunaan Vasopresosr Untuk Hipotensi Yang Tidak Berespon Terhadap Cairan Resusitasi
untuk Menjaga Tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mm Hg
1). Latar Belakang
Resusitasi cairan yang cukup dan tepat merupakan prasyarat untuk
mendapatkan keberhasilan penggunaan vasopressor pada pasien dengan syok sepsis.
Secara umum, titik akhir dari resusitasi cairan adalah sama dengan pasien yang
mengalami gangguan hemodinamik, yaitu MAP ≥ 65 mmHg. Terkadang, cairan resusitasi
saja sudah cukup untuk mencapainya.
Ketika cairan resusitasi gagal memberikan perbaikan tekanan arteri dan perfusi
organ, maka terapi dengan agen vasopressor harus segera dimulai. Terapi vasopressor
diperlukan mempertahankan kehidupan dan gangguan perfusi akibat hipotensi,
hipovolemia bahkan ketika cairan resustiasti belum selesai diberikan sepenuhnya.
2). Peringatan
Meskipun semua agen vasopressor pada umumnya mengakibatkan
peningkatan tekanan darah, akan tetapi dalam praktek klinis tidak perlu mengkhawatirkan
potensi kerugian yang ditimbulkan:
a). Salah satunya yang paling jelas adalah tidak adanya hubungan yang baik antara
penggunaan vasopresor pada pasien untuk mendapatkan volume yang cukup, bahkan
penggunaan vasopresor dapat memperburuk perfusi organ.
11
b). Ketika resusitasi volume dilakukan, maish diperdebatkan apakah agen vasopressor
dapat meningkatkan tekanan darah dan mengesampingkan perfusi organ yang rentan
terutama ginjal dan usus.
c). Jika penggunaan berlebihan, terutama jika tekanan darah yang ditetapkan terlalu
tinggi maka dapat meningkatkan kerja ventrikel kiri ke tingkat yang tidak
berkelanjutan sehingga memperburuk cardiac output dan perfusi organ. Hal ini
berbahaya bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung.
3). Pemantauan
Karena hipotensi merupakan fitur utama dari syok septik
, maka meningkatkan tekanan darah merupakan tujuan terapi yang utama, pengukuran
tekanan darah secara kontinu dan akurat merupakan hal yang sangat penting. Oleh
karena itu biasanya digunakan kateter arteri untuk memantau tekanan darah secara
kontinu.
A.radialis merupakan daerah yang paling sering dipilih, tetapi kadangkala
dilakukan pula pada arteri femoralis. Hal tersebut penting untuk memperhatikan adanya
perbedaan dalam tekanan darah pada kedua lokasi, terutama pada pasien yang syok, yang
telah mendapatkan terapi vasopressor, dan masih mengalami hipovolemia.
4) Pilihan vasopressor
Baik norepinefrin maupun dopamin yang diberikan melalui kateter pusat sesegera
mungkin merupakan agen vasopresor pilihan pertama hipotensi dalam dalam syok septik.
Epinefrin atau fenilefrin tidak boleh digunakan sebagai lini pertama vaso-
pressors sebagai bagian dari pengobatan syok septik. Epinefrin akan menyebabkan
penurunan aliran darah splanknikus, dan meningkatkan PCO mukosa lambung,
meningkatkan produksi asam lambung, dan penurunan pHi, sehingga obat tersebut akan
mempengaruhi pasokan oksigen dalam sirkulasi splanknikus. Fenilefrin dapat
mengurangi aliran darah splanknikus dan menghambat pengiriman oksigen dalam syok
septik. Penggunaan vasopressin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan syok refrakter
meskipun resusitasi cairan yang adekuat dan dosis konvensional yang tinggi .
12
a) Dopamin
Dopamin akan meningkatkan tekanan arteri terutama oleh
adanya peningkatan cardiac index dengan efek minimal pada pembuluh darah
sistemik. Kenaikan indeks jantung karena adanya peningkatan
stroke volume dan peningkatan denyut jantung.
Perfusi splanknikus dan integritas mukosa usus dapat memainkan
peranan penting dalam patogenesis kegagalan organ yang multipel. Efek dopamin
pada splanknikus telah dievaluasi dengan hasil yang beragam. Pada dosis rendah,
dopamine dapat meningkatkan kadar oksigen pada splanknikus sebesar 65% tetapi
konsumsi oksigen splanknikus hanya sebesar 16%. Meskipun demikian, dopamin
dapat menurunkan pH, dan dapat berefek langsung pada sel mukosa lambung.
Efek dari dopamin pada pasokan oksigen seluler di usus tetap tidaklah
sempurna. Studi terbaru menunjukkan bahwa dopamin dapat mengubah inflamasi
respon pada syok septik dengan mengurangi pelepasan sejumlah
hormon, termasuk prolaktin yang berpotensi mebahayakan endokrin lainnya
Efek ini telah dibuktikan pada pasien trauma. Pada sebuah studi pada 12 pasien
yang menggunakan ventilasi mekanik pasien yang stabil, manometri usus
digunakan untuk menunjukkan dopamin yang dapat mengakibatkan gangguan
motilitas saluran cerna.
b). Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis alfa-adrenergik ampuh
dengan beberapa efek agonis beta-adrenergik. Terapi norepinefrin dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah yang signifikan secara statistik dan klinis
karena adanya efek vasokonstriksi, dengan sedikit perubahan
denyut jantung atau cardiac output, yang menyebabkan resistensi pembuluh darah
sistemik meningkat.
Dalam uji coba, norepinefrin telah terbukti meningkatkan
tekanan arteri pada pasien dengan hipotensi terhadap cairan
13
resusitasi dan dopamin. Di masa lalu, ada kekhawatiran bahwa epinefrin mungkin
memiliki efek negatif pada aliran darah di splanknikus
dan pembuluh darah ginjal, dengan iskemia daerah yang dihasilkan. Sehingga
dahulu epinefrin digunakan sebagai pilihan terakhir.
Akan tetapi berdasarkan penelitian baru-baru ini, norepinefrin pada pasien
dengan syok septik menunjukkan bahwa obat tersebut dapat meningkatkan tekanan
darah tanpa menyebabkan penurunan fungsi organ. Norepinefrin tampaknya
lebih efektif digunakan pada hipotensi syok sepsis dibandingkan dengan dopamin.
Efek yang mengkhawatirkan dari epinefrin adalah pengaruhnya pada ginjal. Pada
pasien dengan hipotensi dan hipovolemia selama syok hemoragik, misalnya
norepinefrin dan agen vasokonstriktor lainnya memiliki efek merugikan terhadap
hemodinamik ginjal.
Meskipun terjadi peningkatan dalam tekanan darah, aliran darah di ginjal
tidak meningkat, dan resistensi vaskular ginjal terus
naik. Namun, dalam syok septik hiperdinamik, di mana aliran urin
menurun terutama karena tekanan perfusi glomerulus ginjal menurun maka
situasinya akan berbeda. Norepinefrin dapat meningkatkan tekanan arteri rata-rata
dan filtrasi glomerulus. Hal ini terutama berlaku dalam output tinggi, dan resistensi
yang rendah pada pasien syok septik. Setelah restorasi
hemodinamik sistemik kembali , dan aliran urin muncul kembali dan
fungsi ginjal membaik.Fakta ini mendukung hipotesis bahwa
iskemia ginjal yang diamati selama hiperdinamik syok septik hiperdinamik tidak
akan diperparah oleh pemberian epinefrin bahkan obat ini dalam meningkatkan
aliran darah ginjal dan resistensi vaskular ginjal.
c) Kombinasi terapi
Efek dari dopamin pada pasokan oksigen seluler
usus tidak dapat dijelaskan secara pasti, dan efek dari
norepinefrin sendiri pada sirkulasi splanknikus sangat sulit untuk
diprediksi. Kombinasi antara norepinefrin dan dobutamin
14
lebih mudah diprediksi dan lebih sesuai dengan tujuan
terapi syok septik dibandingkan dengan dopamin atau norepinefrin
saja.
5. Ketika Terjadi Hipotensi Persisten Meskipun Telah Diberikan Cairam Resusitasi (pada
Syok septik) dan / atau Laktat> 4 mmol / L (36 mg / dL)
a. Mencapai tekanan vena sentral (CVP) dari ≥ 8 mm Hg
1). Latar Belakang
Early Goal Directed Therapy merupakan upaya untuk meresusitasi pasien
hingga titik akhir syok sepsis .Titik akhir yang digunakan bervariasi sesuai dengan
studi klinis tetapi upaya dilakukan berguna untuk menyesuaikan preload jantung,
kontraktilitas, dan afterload untuk menyeimbangkan pengiriman oksigen sistemik
sesuai dengan permintaan.
Dua langkah penting dari Early Goal Directed Therapy meliputi:
a). Mempertahankan tekanan vena pusat yang memadai (CVP) untuk
menyesuaikan dengan kondisi hemodinamik lainnya.
b). Memaksimalkan saturasi oksigen vena campuran atau pusat.
Setelah tatalaksana resusitasi sepsis, dengan laktat serum > 4 mmol / L
(36 mg / dL), atau hipotensi yang dapat diatasi dengan resusitasi cairan awal
kristaloid sebanyak 20 mL / kg atau koloid yang setara, kemudian CVP pasien
harus dipertahankan ≥ 8 mm Hg. Berdasarkan catatan pasien mendapatkan cairan
resusitasi minimal 20 mL / Kg sebelum pemasangan kateter vena pusat dan dapat
memaksimalkan CVP. Rekomendasi ini sesuai dengan metode yang digunakan oleh
Rivers dkk.
2). Menjaga CVP
Teknik yang paling umum digunakan untuk mempertahankan
CVP yang tepat adalah memasang kateter vena sentral dan memberikan
cairan resusitasi yang diulang hingga nilai target tercapai.
3). Mempertimbangkan komponen darah
Dalam melaksanakan Early Goal Directed Therapy tujuan utama yang
dilakukan tidak hanya memelihara tekanan vena sentral, tetapi juga
mempertahankan target saturasi oksigen vena sentral atau campuran. Jika
15
pasien mengalami hipovolemik dengan anemia dan kadar hematokrit kurang dari
30% volume darah, maka yang dilakukan adalah transfusi darah merah(PRC). Hal
ini bertujuan untuk menjaga perfusi oksigen dan menjaga tekanan vena sentral ≥8
mm Hg.
4) Pertimbangan khusus
Pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik
Target tekanan vena utama lebih tinggi menjadi 12-15 mmHg agar terjadi tekanan
ekspirasi akhir yang positif dan terjadi peningkatan tekanan intratoraks.
Pertimbangan di atas dapat digunakan ketika tekanan intraabdominal
meningkat. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis dapat multifaktorial,
akan tetapi penurunan denyut jantung dapat ditingkatkan dengan resusitasi cairan
sebagai pertanda bahwa ruang intravaskular telah terisi.
5) Protokol Rivers
Rivers dkk melakukan penelitian secara acak, terkontrol, dan blinded pada
pusat rujukan tersier dalam waktu 3 tahun. Penelitian ini dilakukan pada
departemen gawat darurat di rumah sakit dan pasien yang terdaftar dengan
sepsis berat atau syok septik yang memenuhi dua dari empat criteria sistemik
sindrom inflamasi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg atau konsentrasi
laktat darah> 4 mmol / l (36 g / dL).
Setelah mendapatkan terapi kristaloid sebesar 20-30 mL / kg.
Para pasien secara acak menerima terapi standar selama 6 jam atau early goal
directed therapy pada 6 jam awal diarahkan pada tujuan terapi sebelum masuk ke
unit perawatan intensif. Dokter yang kemudian terlibat dalam
perawatan pasien tersebut blinded terhadap penelitian.
Perawatan Kelompok kontrol diarahkan sesuai dengan protokol untuk
mendukung kondisi hemodinamik. Tujuan protokol ini adalah untuk memastikan
bahwa tekanan arteri rata-rata> 65 mm Hg, dan output urin
> 0,5 mL / kg -1 ° min -1. Tujuan ini dicapai dengan penggunaan bolus krisaloid
atau koloid sebesar 500ml dan agen vasopressor diperlukan.
Para pasien dibagi menjadi beberapa kelompok yang dipasang
kateter vena sentral sehingga dapat diukur kadar ScvO2.
16
Pengobatan yang diberikan mempunyai tujuan yang sama kelompok kontrol,
kecuali target ScvO2 yang harus dicapai yaitu lebih dari 70%.
Hal ini dapat dicapai dengan terapi transfusi sel darah merah, kemudian terapi
inotropik, dan jika tujuan ini tidak tercapai, diberikan sedasi
dan ventilasi mekanik untuk mengurangi kebutuhan oksigen.
Penelitian ini dilakukan pada 263 pasien yang dibagi sama rata antara kedua
kelompok. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada awal.
Selama 6 jam awal terapi, kelompok yang mendapatkan early goal directed therapy
menerima carian intravena lebih banyak (5,0 vs 3,5 L, p <.001), transfusi sel darah
merah (p <.001), dan terapi inotropik (p <.001). Selama 6 jam berikutnya,
kelompok kontrol menerima transfusi sel darah merah lebih banyak (p <.001),
vasopressor (p = .03), dan persyaratan untuk ventilasi mekanik (p <.001) serta
kateterisasi a.pulmonalis (p = 04). Hal ini sebagian mencerminkan fakta bahwa
pasien kelompok kontrol relatif tidak mendapatkan terapi pada tahap awal, sehingga
pengobatan dilakukan oleh dokter di kemudian hari. Kematian di rumah sakit
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok
yang mendapatkan early goal directed therapy (46,5% vs 30,5%, p = 0,009).
Perbedaan ini hingga mencapai 28 dan 60 hari
(P=0.01) dan (p = .03).
b. Mencapai Saturasi Oksigen Vena Central (ScvO2) Lebih dari 70%
1). Latar Belakang
Early Goal Directed Therapy merupakan upaya untuk meresusitasi pasien
hingga titik akhir syok sepsis .Titik akhir yang digunakan bervariasi sesuai dengan
studi klinis tetapi upaya dilakukan berguna untuk menyesuaikan preload jantung,
kontraktilitas, dan afterload untuk menyeimbangkan pengiriman oksigen sistemik
sesuai dengan permintaan.
Setelah tatalaksana resusitasi sepsis, dengan laktat serum > 4 mmol / L
(36 mg / dL), atau hipotensi yang dapat diatasi dengan resusitasi cairan awal
kristaloid sebanyak 20 mL / kg atau koloid yang setara, kemudian CVP pasien
harus dipertahankan ≥ 8 mm Hg. Rekomendasi ini sesuai dengan percobaan early
17
goal directed therapy yang menggunakan ScvO2 sebagai salah satu poin utama
akhir.
2) Pentingnya terapi dini
Pada resusitasi sepsis berat, individu dengan kadar laktat pada serum > 4
mmol (36 mg / dl) atau syok septik harus medapat cairan resusitasi awal. Semakin
lama menunda resusitasi maka efek yang kurang menguntungkan akan bertambah.
Hal ini dikarenakan tindakan awal yang cepat akan mencegah disfungsi organ lebih
lanjut, maka perlu dilakukan tatalaksana yang membantu oksigenasi sel-sel.
Mekanisme disfungsi seluler baik reversibel maupun ireversibel tidak jelas. Saat
ini, satu-satunya strategi yang bisa dilakukan adalah memberikan resusitasi pada
tahap sedini mungkin mempertahankan ScvO2.
3) Teknik untuk mempertahankan ScvO2
Teknik ini meliputi dua strategi utama. Jika
pasien menderita hipovolemik dan hematokrit kurang dari 30%, maka transfusi sel
darah merah akan dilakukan hingga CVP mencapai ≥ 8. Jika CVP belum mencapai
≥ 8 , maka dibutuhkan cairan tambahan. Dan dilakukan tambahan darah untuk
meningkatkan ScvO2 karena pengiriman oksigen ke jaringan iskemik akan
meningkat dan tetap menjaga tekanan vena sentral ≥ 8 mm Hg dalam waktu yang
lebih lama dibandingkan hanya dengan menggunakan cairan saja.
Strategi kedua akan memperbaiki keadaan hemodinamik profil dengan
inotropik. Jika pasien ≥ 8 mm Hg, mungkin output jantung tetap tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik jaringan tertentu meskipun volume sirkulasi yang
memadai. Pada beberapa kasus, cardiac output sendiri mungkin berkurang karena
induksi sepsis sehingga menyebabkan disfungsi jantung. Pada kasus ini diberikan
infus dobutamin (sampai maksimal 20 ug / kg -1 / menit -1) yang digunakan untuk
meningkatkandistribusi oksigen ke perifer dan mencegah disfungsi organ lebih
lanjut karena hipoperfusi dan iskemia.
Jika infus dobutamin menyebabkan hipotensi, norepinephrine harus
digunakan untuk menangkal vasodilatasi yang terjadi karena efek dobutamin.
18
4) Pertimbangan khusus
Terdapat bukti percobaan yang tidak dapat disimpulkan bahwa peningkatan
cardiac index pasien hingga ke tingkat atas normal untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan oksigen, kelainan pada ekstraksi oksigen, dan depresi miokard yang
berhubungan dengan sepsis. Oleh karena itu, peningkatan indeks jantung dapat
mencapai standar melebihi standar yang dianjurkan.
Sebelum mencoba untuk menggunakan inotropik untuk memaksimalkan
saturasi oksigen vena sentral saturasi pada pasien ventilasi mekanik, target
tekanan vena sentral sebesar 12-15 mmHg dianjurkan untuk menghasilkan
tekanan ekspirasi akhir positif dan peningkatan tekanan intrathorax .
5) Protokol Rivers
Rivers dkk melakukan penelitian secara acak, terkontrol, dan blinded pada
pusat rujukan tersier dalam waktu 3 tahun. Penelitian ini dilakukan pada
departemen gawat darurat di rumah sakit dan pasien yang terdaftar dengan
sepsis berat atau syok septik yang memenuhi dua dari empat criteria sistemik
sindrom inflamasi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg atau konsentrasi
laktat darah> 4 mmol / l (36 g / dL) setelah mendapatkan terapi kristaloid sebesar
20-30 mL / kg.
Para pasien secara acak menerima terapi standar selama 6 jam atau early
goal directed therapy pada 6 jam awal diarahkan pada tujuan terapi sebelum
masuk ke unit perawatan intensif. Dokter yang kemudian terlibat dalam
perawatan pasien tersebut blinded terhadap penelitian.
Perawatan Kelompok kontrol diarahkan sesuai dengan protokol untuk
mendukung kondisi hemodinamik. Tujuan protokol ini adalah untuk memastikan
bahwa tekanan arteri rata-rata> 65 mm Hg, dan output urin
> 0,5 mL / kg -1 ° min -1. Tujuan ini dicapai dengan penggunaan bolus krisaloid
atau koloid sebesar 500ml dan agen vasopressor diperlukan. Para pasien dibagi
menjadi beberapa kelompok yang dipasang
kateter vena sentral sehingga dapat diukur kadar ScvO2.
19
Pengobatan yang diberikan mempunyai tujuan yang sama kelompok kontrol,
kecuali target ScvO2 yang harus dicapai yaitu lebih dari 70%.
Hal ini dapat dicapai dengan terapi transfusi sel darah merah, kemudian
terapi inotropik, dan jika tujuan ini tidak tercapai, diberikan sedasi
dan ventilasi mekanik untuk mengurangi kebutuhan oksigen.
Penelitian ini dilakukan pada 263 pasien yang dibagi sama rata antara kedua
kelompok. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada awal.
Selama 6 jam awal terapi, kelompok yang mendapatkan early goal directed
therapy menerima carian intravena lebih banyak (5,0 vs 3,5 L, p <.001), transfusi
sel darah merah (p <.001), dan terapi inotropik (p <.001). Selama 6 jam
berikutnya, kelompok kontrol menerima transfusi sel darah merah lebih banyak (p
<.001), vasopressor (p = .03), dan persyaratan untuk ventilasi mekanik (p <.001)
serta kateterisasi a.pulmonalis (p = 04).
Hal ini sebagian mencerminkan fakta bahwa
pasien kelompok kontrol relatif tidak mendapatkan terapi pada tahap awal,
sehingga pengobatan dilakukan oleh dokter di kemudian hari. Kematian di rumah
sakit secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan pada
kelompok yang mendapatkan early goal directed therapy (46,5% vs 30,5%, p =
0,009). Perbedaan ini hingga mencapai 28 dan 60 hari
(P=0.01) dan (p = .03).
20
21
22
23
24
top related