efektivitas kebijakan harga eceran tertinggi (het) …digilib.unila.ac.id/54718/1/skripsi tanpa bab...
Post on 23-Aug-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN
RANTAI PASOK BERAS MEDIUM DI PROVINSI LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh:
Nadya Putri
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ii
ABSTRACT
EFFECTIVITY OF POLICY ON HIGHEST RETAIL PRICE (HET)
AND SUPPLY CHAINS OF MEDIUM QUALITY RICE
IN LAMPUNG PROVINCE
By
Nadya Putri
Indonesia is a country that produces rice, where the majority of people consume
rice as primary food. The government stipulates the highest retail price (HET) of
rice policy to maintain the stability of rice price. The purposes of this study are to
know the effectiveness of rice HET policy in Lampung Province, to analyze the
impacts of the stipulation of the price policy, and to find out the difference
between medium rice supply chains before and after the HET Policy. This
research uses quantitative and qualitative descriptive method. Data collection
techniques used were interviews using questionnaires and also observation. The
results of this study were the policy of medium rice HET has not been effectively
implemented in Lampung Province. This caused no impact on the farmers,
distributors, retail traders, and consumers. In the previous study, the medium rice
supply chain flow in Lampung Province became four marketing channels while in
the current study was divided into six marketing channels.
Key words: effectivity, HET, rice, supply.
iii
ABSTRAK
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN
RANTAI PASOK BERAS MEDIUM DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
Nadya Putri
Indonesia merupakan negara yang memproduksi beras, dimana mayoritas
masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Pemerintah
menetapkan kebijakan HET beras untuk menjaga stabilitas harga beras. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kebijakan HET beras di
Provinsi Lampung, menganalisis dampak Kebijakan HET beras dan mengetahui
perbedaan antara rantai pasok beras medium sebelum dan sesudah Kebijakan HET
beras. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan HET beras medium belum diterapkan
secara efektif di Propinsi Lampung. Kebijakan HET beras yang belum efektif
dilaksanakan menyebabkan tidak adanya dampak terhadap petani, penyalur,
pedagang besar,dan konsumen. Pada penelitian sebelumnya, aliran produk pada
rantai pasok beras medium di Propinsi Lampung terbagi menjadi empat saluran
pemasaran sedangkan dalam penelitian saat ini aliran produk pada rantai pasok
beras medium dibagi menjadi enam saluran pemasaran.
Kata Kunci : Beras, Efektivitas, HET, Rantai Pasok
iv
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN
RANTAI PASOK BERAS MEDIUM DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh:
Nadya Putri
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 02 Mei
1996 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari bapak
Antoni, S.K.M dan ibu Yulianti, S. Pd. Pendidikan penulis
diawali dari Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi Bandar
Lampung pada tahun 2001, kemudian melanjutkan di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Rawa Laut Bandar Lampung pada tahun 2002 dan
diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun 2008 melanjutkan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada
tahun 2011. Kemudian pada tahun 2011 melanjutkan di Sekolah Menengah Atas
Swasta (SMAS) YP UNILA Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2014.
Pada tahun 2014 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi S1 Agribisnis
di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur
SNMPTN.
Selama di bangku kuliah, penulis aktif dalam Lembaga Kemahasiswaan yaitu
Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMASEPERTA) Universitas Lampung
sebagai anggota Divisi Pengembangan Akademik dan Profesi periode 2015 /
2016. Pada tahun 2015, penulis mengikuti kegiatan homestay (Praktik
viii
Pengenalan Pertanian) di Desa Wonoharjo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
Tanggamus.
ix
Pada tahun 2017 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari
di Desa Sinar Negeri Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah. Pada
tahun 2017, penulis juga melaksanakan Praktik Umum (PU) di Koperasi Gerbang
Emas Desa Cibodas Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
x
SANWACANA
Bismillahirohmanirrohim,
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul
"Efektivitas Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Sistem Manajemen Rantai
Pasok Beras Medium di Provinsi Lampung” adalah salah satu prasyarat
dalam menyelesaikan studi di Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi
ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan kerjasama berbagai pihak baik
moral maupun spiritual, lahir maupun batin, dan langsung maupun tidak
langsung. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dengan segala kerendahan dan ketulusan hati kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M. Si. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si. selaku Ketua Jurusan Agribisnis
Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Ir. R. Hanung Ismono, M. P. selaku dosen pembimbing pertama
yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan dari awal sampai
selesainya penulisan skripsi ini.
xi
4. Ibu Dr. Ir. Ktut Murniati, M. T. A. selaku dosen pembimbing kedua yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan dari awal sampai
selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ir. Agus Hudoyo. M. Sc., selaku dosen pembahas saya yang telah
bemberikan saran dan arahan dalam penulisan skripsi.
6. Prof. Dr. Ir. Ali Ibrahim Hasyim, M. Sc., selaku Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan motivasi kepada penulis selama menjalani perkuliahan.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu Antoni, SKM. dan Yulianti, S. Pd. atas doa,
dukungan, perhatian, kasih sayang dan dorongan selama ini.
8. Kedua kakakku yang kusayang, M. Alfian, S.T. dan Antarizki, S.I.P. yang
telah memberikan semangat, dukungan, dan masukan selama ini.
9. Sahabat- sahabat seperjuangan selama menimba ilmu di Universitas
Lampung yang kucintai yaitu Resti, Nate, Fira, Naul, Marina, Pingky, Pual,
Ubay, dan Riki yang selalu ada disaat suka, suka, dan suka didalam
melaksanakan perkuliahan di Universitas Lampung.
10. Teman-teman seperjuangan skripsi bimbingan Pak Hanung yang kusayangi
yaitu Alvita, Luvita, Angel, Dea, Rosi, Yani, Jessica, Dete, Razana, dan Uci
yang saling memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi.
11. Keluarga KKN Sinar Negeri yaitu Dinda, Riyan, Jodi, Anul, Fitri, dan Eko
yang kusayangi.
12. Sahabat-sahabat SMA Lusy, Kiko, Fesya, Gena, Uli, Ersya, Shalsa, Intan,
dan Desie yang telah memberikan dukungan dan selalu ada disaat dibutuhkan
selama penulisan skripsi.
13. Teman dan kakak tingkat di Jurusan Agribisnis yaitu mba Shintia, bang
xii
14. Boim, mba Putri, mba Hesti, bang Reki, dan Adi.
15. Sahabat kecilku Ayu Swartika yang telah meminjamkan anaknya untuk
menghibur disaat mulai penat dalam menyelesaikan skripsi.
16. Tante dan Om ku Ama Ema dan Ama Fery yang telah memberikan tempat
singgah dan tenaganya selama proses penelitian.
17. Responden-responden dalam penelitian yang telah bersedia memberikan
waktu untuk dimintai data dan informasi mengenai skripsi yang ditulis.
18. Agribisnis 2014 kelas c yang kusayangi yang telah memberikan kebahagiaan
selama masa perkuliahan di Universitas Lampung.
19. Agribisnis 2014 yang kubanggakan yang telah saling memberikan dukungan
selama masa perkuliahan di Universitas Lampung.
20. Almamater tercinta dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu yang telah membantu kelancaran dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan dan
pengorbanan mereka semua serta skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Aamiin.
Bandar Lampung, 23 Oktober 2018
Penulis,
Nadya Putri
xiiixiiixiii
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 50
2. Pertanian......................................................................................... 50
3. Perdagangan................................................................................... 51
B. Kecamatan Trimurjo........................................................................... 52
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 52
2. Pertanian......................................................................................... 53
C. Kota Bandar Lampung........................................................................... 56
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 56
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 15
D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 15
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka................................................................................. 17
1. Pengertian Efektivitas................................................................... 17
2. Rantai Pasok.................................................................................. 21
3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Beras..................................... 25
B. Penelitian Terdahulu............................................................................ 26
C. Kerangka Pemikiran............................................................................ 30
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian..................................................................... 33
B. Konsep Dasar dan Definisi Operasional............................................. 34
C. Lokasi, Waktu Penelitian, dan Responden.......................................... 37
D. Metode Analisis Data.......................................................................... 42
IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN
A. Provinsi Lampung............................................................................... 50
xivxiv
2. Perdagangan 58
D. Kota Metro.......................................................................................... 58
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 58
2. Perdagangan................................................................................... 59
E. Kabupaten Pringsewu...................................................................... 59
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 59
2. Perdagangan................................................................................... 60
F. Kecamatan Punggur......................................................................... 60
1. Sumber Daya Manusia................................................................... 60
2. Pertanian......................................................................................... 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Efektivitas Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras
Medium............................................................................................... 62
B. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras.................. 66
1. Dampak Terhadap Petani............................................................... 66
2. Dampak Terhadap Penyalur........................................................... 68
3. Dampak Terhadap Pedagang Eceran.............................................. 71
4. Dampak Terhadap Konsumen........................................................ 74
C. Rantai Pasok Beras Medium............................................................... 77
1. Aliran Harga................................................................................... 79
2. Aliran Produk................................................................................. 88
3. Aliran Informasi............................................................................. 91
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...................................................................................... 96
B. Saran................................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
98
LAMPIRAN...................................................................................................
101
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Produksi padi di 12 Provinsi di Indonesia dalam ton tahun 2011-2015.. 2
2. Harga beras medium 1 dan 2 di Indonesia dari Januari 2017 hingga
Agustus 2017..........................................................................................
3
3. Konsumsi per kapita per minggu beberapa macam bahan makanan
penting di Indonesia tahun 2010-2016...................................................
4
4. Daftar Harga Eceran Tertinggi beras..................................................... 6
5. Harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di
konsumen…………………………………………………………........
10
6. Produksi tanaman padi sawah dan padi ladang menurut Kabupaten/Kota
dari tahun 2011 hingga 2015...................................................................
11
7. Produksi padi sawah dan padi ladang Menurut Kecamatan di Kabupaten
Lampung Tengah tahun 2016....................................................................
12
8. Surplus/Minus Bahan Makanan Provinsi Lampung Tahun 2012-2016.. 13
9. Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung... 14
10. Penelitian Terdahulu………………………………………………… 26
11 Nama pasar tradisional di Kota Bandar Lampung, Metro, Pringsewu..
41
12 Luas lahan sawah menurut Kabupaten/Kota dan jenis pengairainnya di
Provinsi Lampung tahun 2017....................................................................
51
13 Jumlah pasar tradisional yang terdapat pada Provinsi Lampung pada
tahun 2017...................................................................................................
52
14 Jumlah penduduk menurut tingkat umur, golongan pendidikan dan
golongan jenis pekerjaan............................................................................
53
xvi
15 Pembagian luas lahan menurut penggunaannya...................................... 54
16 Luas Tanaman Untuk Komoditas Utama................................................ 56
17 Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Menurut Kelompok Umur,
Jenis Kelamin dan Sex Ratio tahun 2016………………………………
57
18 Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota
Metro, 2016…………………………………………………………….
59
19 Jumlah penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecamatan di
Kabupaten Pringsewu pada tahun 2016..................................................
60
20 Banyaknya rumah tangga dan penduduk di Kecamatan Punggur, 2016.
61
21 Produksi padi gabah dan produktivitas per hektar di Kecamatan
Punggur 2016.............................................................................................
61
22 Hasil analisis Efektifitas Kebijakan HET beras medium pada bulan
Maret hingga Desember 2017 di Provinsi Lampung..............................
63
23 Rata-rata harga jual gabah di tingkat petani di Provinsi Lampung pada
kurun waktu Januari dan Februari 2018..................................................
67
24 Rata-rata harga pendapatan penyalur di Provinsi Lampung pada kurun
waktu Juni hingga November 2017.........................................................
69
25 Rata-rata harga beras medium di Kota Bandar Lampung, Kota Metro,
dan Kabupaten Pringsewu September 2017 - Februari 2018..................
72
26 Rata-rata harga beras medium di Kota Bandar Lampung, Kota Metro,
dan Kabupaten Pringsewu pada bulan Maret - Agustus 2017................
72
27 Rata-rata pembelian beras medium oleh konsumen di Provinsi
Lampung pada kurun waktu Juli hingga November 2017......................
75
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Rantai pasok perdagangan beras di Indonesia............................................ 8
2. Kerangka Pemikiran................................................................................... 32
3. Flowchart pemecahan masalah................................................................... 49
4. Perbedaan harga beras medium pada bulan September 2017- Februari
2018 di Provinsi Lampung dan harga yang telah ditetapkan dalam
Kebijakan HET...........................................................................................
65
5. Skema saluran tataniaga beras di Provinsi Lampung tahun 2011 menurut
Fitriani, Ismono, & Rosanti........................................................................
78
6. Skema dari aliran harga beras medium di Provinsi Lampung.................... 79
7. Skema dari aliran produk beras medium di Provinsi Lampung................. 88
8. Skema dari aliran informasi beras medium di Provinsi Lampung............. 92
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan negara pengguna dan penghasil beras, sehingga beras
menjadi komoditas pangan yang utama dan hampir seluruh penduduk
Indonesia mengonsumsi beras. Bahan pangan khususnya beras adalah salah
satu dari kebutuhan primer. Di Indonesia sendiri beras adalah bahan pangan
pokok. Hal tersebut menyebabkan bagi masyarakat yang berpendapatan
rendah akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan
pangan pokoknya, terutama pangan beras. Pada saat ini permintaan akan beras
semakin meningkat sedangkan produksi beras sangat terbatas.
Produksi padi di setiap provinsi di Indonesia berbeda setiap provinsinya.
Terdapat provinsi yang menjadi sentra penghasil beras sehingga produksinya
tinggi, dan juga terdapat provinsi yang bukan merupakan setra penghasil beras
sehingga produksinya rendah. Produksi padi di 12 Provinsi di Indonesia dalam
ton tahun 2011 sampai 2015 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat
pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Produksi padi di 12 Provinsi di Indonesia dalam ton tahun 2011-2015
No
Kota
Produksi Padi (ton)
2011 2012 2013 2014 2015
1 Banda Aceh 1.772.962 1.788.738 1.956.940 1.820.062 2.331.046
2 Sumatera
Selatan
3.384.670 3.295.247 3.676.723 3.670.435 4.247.922
3 Lampung 2.807.676 3.101.455 3.207.002 3.320.064 3.641.895
4 DKI Jakarta 9.516 11.044 10.268 7.541 6.361
5 Jawa Tengah 9.391.959 10.232.934 10.344.816 9.648.104 11.301.422
6 Bali 858.316 865.553 882.092 857.944 853.710
7 Nusa Tenggara
Barat
2.067.137 2.114.231 2.193.698 2.116.537 2.417.392
8 Nusa Tenggara
Timur
591.371 698.566 729.666 825.728 948.088
9 Kalimantan
Tengah
1.372.988 1.300.100 1.441.876 1.372.695 1.275.707
10 Sulawesi
Tengah
1.041.789 1.024.316 1.031.364 1.022.054 1.015.368
11 Maluku 87.468 84.271 101.835 102.761 117.791
12 Papua 115.437 138.032 169.791 196.015 181.769
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016).
Harga beras dapat semakin meningkat dari tahun ke tahunnya seiring dengan
perubahan kualitas dan kuantitas beras. Kondisi yang demikian membuat
harga beras tidak stabil dan para distributor atau perusahaan yang bergerak
pada usaha beras menetapkan harga beras tanpa mempertimbangkan daya beli
konsumen. Beras di Indonesia dikategorikan ke dalam 3 kelas, yaitu kelas
medium, premium, dan khusus. Beras khusus dan beras premium merupakan
kelas beras yang lebih tinggi harganya dibandingkan kelas medium. Secara
tidak langsung beras medium merupakan beras yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat kelas menengah ke bawah. Dikutip dari Permendag No 57 pasal 1
beras medium adalah jenis beras yang memiliki spesifikasi derajat sosoh
minimal 95%, kadar air maksimal 14% dan butir patah maksimal 25%. Harga
beras medium 1 dan 2 di di Indonesia dari Januari 2017 hingga Agustus 2017
sebelum ditetapkannya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras pada
September 2017 dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2. Harga beras medium 1 dan 2 di Indonesia dari Januari 2017 hingga
Agustus 2017
No Bulan Harga (Rp/Kg)
Medium 1 Medium 2
1 Januari 2017 11.200 10.950
2 Februari 2017 11.200 11.000
3 Maret 2017 11.150 10.900
4 April 2017 11.050 10.800
5 Mei 2017 11.050 10.800
6 Juni 2017 11.100 10.850
7 Juli 2017 11.150 10.850
8 Agustus 2017 11.100 10.850
Sumber: Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (2017).
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2017), Beras Medium 1 merupakan
beras yang memiliki derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%,
beras kepala minimal 78%, butir patah maksimal 20%, butir menir maksimal
2%, butir merah maksimal 2%, butir kuning atau rusak maksimal 2%, butir
kapur maksimal 2%, benda asing maksimal 0,02%, dan butir gabah maksimal
1%. Beras Medium 2 yaitu beras yang memiliki derajat sosoh minimal 90%,
kadar air maksimal 14%, beras kepala minimal 73%, butir patah maksimal
25%, butir menir maksimal 2%, butir merah maksimal 3%, butir kuning atau
rusak maksimal 3%, butir kapur maksimal 3%, benda asing maksimal 0,05%,
dan butir gabah maksimal 2%.
Harga beras medium yang fluktuaktif membuat konsumen kalangan menengah
kebawah berfikir panjang untuk membeli beras. Dikutip dari publikasi yang
ditulis dalam situs The World Bank pada tahun 2017, Indonesia saat ini
setidaknya memiliki 52 juta orang penduduk yang masuk dalam kelas
menengah yang berkontribusi pada 43 persen dari total konsumsi rumah
tangga. Menurut Badan Pusat Statistik (2017), jumlah penduduk miskin di
4
Indonesia pada tahun 2017 adalah 10,64% dari total penduduk. Melihat
banyaknya penduduk menengah dan penduduk miskin di Indonesia, berarti
lebih dari 50% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras jenis medium. Hal
tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengkonsumsi
beras dan menyebabkan konsumsi beras di Indonesia masih dibawah standart.
Konsumsi perkapita per minggu beberapa macam bahan makanan di Indonesia
tahun 2010 hingga 2016 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Konsumsi perkapita per minggu beberapa macam bahan makanan
penting di Indonesia tahun 2010-2016 No Jenis Bahan
Makanan
Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Beras Kg 1,73 1.72 1,67 1,64 1,62 1,63 1,66
2 Jagung basah
dengan kulit
Kg 0,018 0,012 0,011 0,011 0,013 0,029 0,035
3 Ketela pohon Kg 0,097 0,111 0.069 0,067 0,066 0,069 0,073
4 Daging sapi Kg 0,007 0,009 0,007 0,005 0,005 0,008 0,008
5 Bawang putih Kg 0,260 0,259 0,307 0,231 0,300 0,335 0,339
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan Tabel 3, konsumsi perkapita per minggu di Indonesia menurun
dari tahun 2010 hingga 2015, kemudian mengalami kenaikan sebesar 0,03 kg
pada tahun 2016. Menurut publikasi Badan Ketahanan Pangan Kementrian
Pertanian pada tahun 2014, Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional kolompok
pangan padi-padian yaitu sebesar 275 gram per hari atau dalam seminggu
sebesar 1,925 Kg. PPH Nasional tersebut masih berada di atas konsumsi per
kapita per minggu beras lokal di Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan
masih kurangnya konsumsi beras di Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan ketetapan harga beras pemerintah mengeluarkan
peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017
5
tentang Penetapan Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang dibuat
pada tanggal 24 Agustus 2017 dan mulai diterapkan pada 01 September 2017.
Kebijakan HET beras dibuat karena ketidakstabilan harga pada saat musim
panen telah berakhir serta hal-hal lainnya. Harga beras yang melonjak tinggi
menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak mampu membeli beras.
Untuk melindungi pihak konsumen, pemerintah bermaksud untuk membuat
Kebijakan HET beras. Dengan menimbang bahwa untuk menjaga stabilitas
harga beras , menetapkan kepastian harga beras, serta keterjangkauan harga
beras di konsumen, perlu menetapkan harga eceran tertinggi.
Pemerintah mempunyai beberapa maksud tertentu dalam menetapkan HET
beras. Maksud tersebut diantaranya yaitu Kebijakan HET beras diharapkan
dapat mengontrol harga beras sesuai dengan daya beli konsumen terutama
masyarakat menengah kebawah dan dapat menekan harga beras sesuai dengan
harga acuan yang telah ditetapkan pemerintah. Kebijakan HET beras tersebut
merupakan kebijakan yang berpihak serta melindungi konsumen.Kebijakan
HET beras ditetapkan pada bulan September 2017 ini dimaksudkan agar harga
beras di pasaran tidak melebihi harga tertinggi beras yang telah ditetapkan.
Kebijakan HET beras diatur berdasarkan tiap wilayah. Seluruh provinsi di
Pulau Jawa serta Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi, Bali dan
NTB merupakan wilayah yang dianggap sebagai produsen beras. Wilayah
yang merupakan produsen beras akan memiliki HET yang berbeda dengan
wilayah yang bukan merupakan produsen beras. Wilayah yang merupakan
daerah produsen beras memiliki HET lebih rendah dibandingkan dengan
6
wilayah yang bukan merupakan produsen beras. Daftar HET beras yang telah
dicantumkan pada Kebijakan HET didalam Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar harga eceran tertinggi beras
No
Wilayah
HET Medium
(Rp/Kg)
HET Premium
(Rp/Kg)
1 Jawa, Lampung, Sumatera
Selatan
9.450 12.800
2 Sumatera, kecuali Lampung
dan Sumatera Selatan
9.950 13.300
3 Bali dan Nusa Tenggara
Barat
9.450 12.800
4 Nusa Tenggara Timur 9.950 13.300
5 Sulawesi 9.450 12.800
6 Kalimantan 9.950 13.300
7 Maluku 10.250 13.600
8 Papua 10.250 13.600
Sumber: Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 57/M-
DAG/PER/8/2017.
Setiap kebijakan dapat dikatakan berhasil apabila kebijakan tersebut telah
efektif dilaksanakan di lapangan. Menurut Zakiah Drajat (1996: 126)
efektifitas yaitu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana sesuatu yang
direncanakan atau diinginkan yang dapat terlaksana atau tercapai. Sedangkan
menurut Sedarmayanti (2009: 59) efektivitas merupakan suatu seberapa jauh
target dapat dicapai. Untuk melihat keberhasilan dari kebijakan HET beras
perlu dilakukan pengkajian efektifitas HET beras dengan tujuan untuk
menganalisis efektifitas kebijakan tersebut terhadap harga beras di pasar.
Dengan semakin tingginya biaya produksi beras, apakah kebijakan HET beras
akan dapat terlaksana dengan baik atau tidak. Kebijakan HET beras dapat
dikatakan efektif apabila harga beras di lapangan tidak melebihi harga yang
7
telah ditetapkan. Apabila harga beras di lapangan telah sesuai dengan harga
yang telah ditentukan, maka akan meringankan pihak konsumen sehingga
konsumsi beras atau pembelian beras oleh konsumen akan lebih meningkat.
Kebijakan HET beras baru akan efektif apabila seluruh pihak yang terlibat
dalam pendistribusian beras turut serta merealisasikan kebijakan HET beras
tersebut. Pihak-pihak yang dimaksud yaitu mulai dari petani, tempat
penggilingan padi, agen, distributor, hingga ke para pedagang beras eceran.
Kebijakan HET beras seharusnya akan dapat menekan harga beras. Rantai
pasok beras akan berbeda antara sebelum dan setelah ditetapkannya HET
beras. Hal tersebut terjadi karena rantai pasok merupakan suatu sistem yang
menghubungkan antara pemasok distributor hingga ke konsumen akhir.
Sebelum ditetapkannya kebijakan HET masih banyak kebocoran-kebocoran
yang terjadi dalam aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi rantai
pasok beras di Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi yaitu berita yang
dipublikasikan oleh detik.com pada tanggal 24 Agustus 2017 mengenai
penggerebekan gudang penimbunan beras. Penimbunan tersebut dimaksudkan
untuk menjual beras dengan harga yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa masih banyaknya kebocoran-kebocoran yang terjadi pada aliran produk,
aliran finansial, dan aliran informasi rantai pasok beras.
Anatan L (2000) mendefinisikan manajemen rantai pasokan sebagai integrasi
proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok yang memberikan produk,
jasa, informasi, dan bahkan peningkatan nilai untuk konsumen dan karyawan.
Melalui rantai pasokan, perusahaan dapat membangun kerjasama melalui
8
penciptaan jaringan kerja (network) yang terkoordinasi dalam penyediaan
barang maupun jasa bagi konsumen secara efisien. Salah satu hal terpenting
dalam rantai pasokan adalah saling berbagi informasi, oleh karena itu dalam
aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi merupakan keseluruhan
elemen dalam rantai pasokan yang perlu diintegrasikan. Rantai pasok
perdagangan beras di Indonesia pada tahun 2016 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rantai pasok perdagangan beras di Indonesia
Sumber: Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi (2016).
Penggilingan Importir
Distributor
Pedagang Pengumpul
Sub Dstributor
Agen
Sub Agen
Pedagang Grosir
Pedagang Eceran Supermarket
Konsumen Akhir
9
Berdasarkan uraian fenomena dan masalah yang telah dijabarkan tersebut,
muncul suatu pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Pertanyaan tersebut yaitu
bagaimana aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi rantai pasok
beras setelah ditetapkannya kebijakan HET beras. Dengan mengkaji rantai
pasok beras medium khususnya aliran produk, aliran finansial, dan aliran
informasi maka dapat dilihat apakah terjadi kebocoran atau tidak di beberapa
titik. Apakah aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi dalam rantai
pasok setelah ditetapkannya Harge Eceran Teringgi (HET) beras telah berjalan
dengan benar atau tidak. Apakah dengan adanya Kebijakan HET beras akan
dapat mengurangi pelaku-pelaku penimbunan beras atau tidak. Apabila rantai
pasok beras berubah, tentu saja akan memberikan dampak yang berbeda bagi
pelaku usaha beras dari petani hingga konsumen. HET beras merupakan
kebijakan yang diharapkan dapat membantu konsumen. Diharapkan Kebijakan
HET beras membantu konsumen sehingga memberikan dampak positif
terhadap aspek ekonomi konsumen. Dengan keberpihakannya kepada salah
satu pihak, penetapan kebijakan HET beras diperkirakan akan memberikan
dampak bagi pihak lainnya. Perubahan harga akan memberikan dampak
terhadap aspek ekonomi bagi pihak petani hingga konsumen.
Menurut harian kompas pada tanggal 7 Desember 2017, harga gabah kering di
pabrik yaitu sebesar Rp. 6.800/kg sehingga para penggilingan kecil tidak
sanggup untuk membeli gabah dan kemudian diolah menjadi beras dikarenakan
keuntungan yang kecil. Hal tersebut dikarenakan harga gabah yang telah
diolah menjadi beras tersebut pada akhirnya ditawar dengan harga yang
rendah. Kondisi yang demikian akan menyebabkan banyak penggilingan kecil
10
yang akan sulit beroperasi. Dengan ditetapkannya Harga Tertinggi Beras
(HET) akan menyebabkan harga beras yang tidak boleh melebihi ketetapan
yang telah dibuat. Penetapan harga beras tersebut diduga akan menekan pihak
petani, penggilingan skala kecil, dan pedagang beras. Hal yang dipertanyakan
yaitu apakah dengan adanya kebijakan HET beras akan menyebabkan harga
pembelian beras dari petani akan sesuai kebijakan Harga Pokok Penjualan
(HPP) atau tidak. Harga Acuan Pembelian di Petani menurut Peraturan
Menteri Perdagangan RI No 27/MDAG/PER/5/ 2017 tentang harga acuan
pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di
konsumen
No Komoditi Harga Acuan
Pembelian di
petani
Harga Acuan
Penjualan di
Konsumen
1 Gabah Kering Panen Rp.3.700/kg -
2 Gabah Kering Giling Rp.4.600/kg -
3 Beras medium Rp.7.300/kg Rp.9.500/kg
Sumber: Permendag No 27/M-DAG/PER/5/2017.
Apabila beras telah ditetapkan harga tertingginya, produsen maupun distributor
beras harus menekan harga jual. Untuk dapat melihat dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan HET beras ini diperlukan pengkajian mengenai
aliran barang, aliran uang, dan juga aliran informasi yang ditimbulkan dari
diberlakukannya kebijakan HET beras terhadap pelaku-pelaku usaha beras
mulai dari petani hingga ke para pedagang beras.
Kondisi produksi beras di Propinsi Lampung rata-rata per tahun lebih besar
daripada kebutuhan konsumsinya (surplus) (Fitriani, Ismono, & Rosanti, 2011).
11
Untuk melihat efektifitas Kebijakan HET, rantai pasok serta dampak yang
ditimbulkan dari Kebijakan HET beras, perlu dilakukan penelitian di daerah
produsen beras atau padi atau dengan kata lain surplus beras. Salah satu
provinsi di Indonesia yang merupakan 10 terbesar produsen padi dan memiliki
produksi padi yang besar adalah Provinsi Lampung. Provinsi lampung sendiri
memiliki 15 kabupaten/Kota dengan produksi padi yang berbeda-beda.
Kabupaten yang memiliki produksi padi terbesar dari tahun 2011 hingga 2015
yaitu Kabupaten Lampung Tengah, maka dari itu Kabupaten Lampung Tengah
dapat dijadikan lokasi penelitian. Produksi tanaman padi sawah dan ladang
menurut kabupaten atau kota tahun 2011 - 2015 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Produksi tanaman padi sawah dan padi ladang menurut
kabupaten/kota dari tahun 2011 hingga 2015
Wilayah Produksi Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang(Ton)
2011 2012 2013 2014 2015
Lampung Barat 175853 187942 116771 121848 112075
Tanggamus 207604 221193 232543 229756 291708
Lampung Selatan 424276 428965 471085 469457 512888
Lampung Timur 460359 509726 526213 507010 573888
Lampung Tengah 700944 711153 719201 807569 828487
Lampung Utara 166836 169988 175146 172631 188767
Way Kanan 174391 161713 170564 175344 165694
Tulang Bawang 191570 191441 189706 228409 242875
Pesawaran 152019 156057 159923 148561 177140
Pringsewu 114272 119663 120959 134561 137245
Mesuji 87731 145357 129981 133767 189462
Tulang Bawang Barat 51197 68826 76115 80816 90171
Pesisir Barat 0 0 82421 82761 87123
Bandar Lampung 8755 6876 9304 8996 10008
Metro 24988 22555 27070 18297 34410
Provinsi Lampung 2940795 3101455 3207002 3320064 3641895
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016).
12
Kabupaten Lampung Tengah memiliki 28 Kecamatan. Seluruh Kecamatan
yang terdapat di Kabupaten Lampung Tengah menghasilkan produksi padi
yang bebeda-beda tiap kecamatannya. Produksi padi sawah dan padi ladang
menurut Kecamatan di Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2016 dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Produksi padi sawah dan padi ladang menurut Kecamatan di
Kabupaten Lampung Tengah tahun 2016
No Kecamatan Produksi
1 Padang Ratu 21.630
2 Selagai Lingga 9.226
3 Pubian 22.051
4 Anak Tuha 26.883
5 Anak Ratu Aji 24.105
6 Kalirejo 11.024
7 Sendang Agung 12.834
8 Bangun Rejo 24.004
9 Gunung Sugih 54.845
10 Bekri 19.900
11 Bumi Ratu Nuban 32.905
12 Trimurjo 49.231
13 Punggur 26.922
14 Kota Gajah 30.819
15 Seputih Raman 86.871
16 Terbanggi Besar 44.635
17 Seputih Agung 36.078
18 Way Pangubuan 6.351
19 Terusan Nyunyai 3.060
20 Seputih Mataram 30.776
21 Bandar Mataram 25.566
22 Seputih Banyak 30.894
23 Way Seputih 23,731
24 Rumbia 19.738
25 Bumi Nabung 18.222
26 Putra Rumbia 20.559
27 Seputih Surabaya 33.389
28 Bandar Surabaya 27.334
Lampung Tengah 773.583
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017.
13
Produksi padi di Provinsi Lampung dapat dibilang cukup tinggi. Apabila
produksi padi lebih tinggi daripada konsumsi beras, maka beras di Provinsi
Lampung terbilang surplus. Sebaliknya, apabila produksi beras lebih rendah
daripada konsumsi beras di Provinsi Lampung maka beras dinyatakan minus.
Apabila beras dinyatakan surplus atau dengan kata lain dapat menutupi
konsumsi beras masyarakat Provinsi Lampung, harga beras seharusnya dapat
lebih stabil. Surplus atau minus bahan makanan Provinsi Lampung Tahun
2012 hingga 2016 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Surplus/ Minus Bahan Makanan Provinsi Lampung Th. 2012-2016
No Komoditas Surplus (+)/ Minus (-) (ton)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Beras 889.523 952.622 780.725 873.967 1.020.287
2 Jagung 1.508.442 1.506.991 1.557.589 1.509.246 1.315.733
3 Kedelai -87.733 -91.857 -85.814 -80.588 -87.702
4 Kacang
Tanah
1.671 1.442 274 7.257 2.440
5 Kacang
Hijau
-2.796 -3.469 -77 -9 -1
6 Ubi Kayu 6.810.249 6.752.862 8.122.537 6.657.508 6.101.486
7 Ubi Jalar 11.125 8.367 19.889 14.042 1.337
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2017.
Penelitian ini akan meneliti salah satu dari tiga Kecamatan yang memiliki
produksi padi tinggi di Lampung Tengah. Kecamatan yang mimiliki produksi
padi 3 terbesar di Kabupaten Lampung Tengah yaitu Kecamatan Trimurjo.
Seputih Raman, dan Gunung Sugih. Kecamatan Trimurjo akan dipilih sebagai
lokasi penelitian dalam meneliti Rantai Pasok beras medium sekaligus melihat
dampak yang ditimbulkan dari Kebijakan HET beras.
Untuk melihat efektifitas dari Kebijakan HET beras medium diperlukan
wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga
14
terdapat banyak pasar atau tempat perdagangan beras medium. Kepadatan
penduduk menurut Kabupaten atau Kota pada seluruh Provinsi Lampung tahun
2015 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
tahun 2015
Wilayah Persentase Penduduk Kepadatan Penduduk
per km2
Lampung Barat 3.61 136.79
Tanggamus 7.07 189.99
Lampung Selatan 11.98 1388.76
Lampung Timur 12.43 189.44
Lampung Tengah 15.26 325.85
Lampung Utara 7.47 222.35
Way Kanan 5.33 110.39
Tulang Bawang 5.29 123.91
Pesawaran 5.25 190.05
Pringsewu 4.77 619.03
Mesuji 2.41 89.6
Tulang Bawang Barat 3.26 220.41
Pesisir Barat 1.85 51.56
Bandar Lampung 12.06 3308.4
Metro 1.95 2563.76
Provinsi Lampung 100 234.44
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016).
Menurut Tabel 8, Kota Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten
Pringsewu merupakan Kota/Kabupaten yang termasuk kedalam kepadatan
penduduk 5 tertinggi di Provinsi Lampung. Berkenaan dengan hal tersebut
Kota Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu merupakan
lokasi yang dipilih untuk dijadikan lokasi penelitian dalam melihat efektifitas
Kebijakan HET beras khususnya beras medium.
15
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini bermaksud
merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi titik fokus penelitian, yaitu:
1. Bagaimana efektivitas Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras
terhadap harga beras di Provinsi Lampung?
2. Bagaimana dampak Kebijakan HET beras dari sudut pandang petani,
penggilingan padi, pedagang besar, pedagang eceran, serta konsumen
terhadap aspek ekonomi?
3. Bagaimana perbedaan rantai pasok beras medium sebelum dan setelah
Kebijakan HET?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui efektivitas Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras
terhadap harga beras di Provinsi Lampung
2. Menganalisis dampak Kebijakan HET beras dari sudut pandang petani,
penggilingan padi, penggilingan padi, pedagang besar, pedagang eceran,
serta konsumen terhadap aspek ekonomi
3. Mengetahui perbedaan rantai pasok beras medium sebelum dan setelah
Kebijakan HET
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, dapat menjadi pertimbangan untuk melihat keefektifan
16
Kebijakan HET beras serta melihat dampak yang ditimbulkan dari
kebijakan tersebut dan sebagai bahan pertimbangan untuk
pembuatan kebijakan terkait dengan rantai pasok beras.
2. Bagi peneliti lain, dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dalam
melakukan penelitian sejenis.
17
II. TINJAUAN PUTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Efektivitas
Efektivitas berarti terjadinya suatu efek atau akibat seperti yang
dikehendaki atau diinginkan. Pengertian tersebut berarti bahwa sesuatu
dapat dikatakan efisien atau efektif apabila fungsi, bentuk dan isi dari
suatu kegiatan bisa bermanfaat untuk pelaksanaan, pengendalian,
penyempurnaan, dan perencanaan kembali (Lubis, 1984, dalam Saputra,
2015).
Menurut Mahmudi (2005) efektivitas adalah unsur pokok untuk dapat
mencapai suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan atau
dikehendaki di dalam suatu organisasi, kegiatan, maupun program.
Program dikatakan telah efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran
seperti yang telah ditentukan sebelumnya. Efektivitas merupakan
hubungan antara output atau kejadian sebenarnya dengan tujuan.
Semakin mendekati suatu output dengan tujuan tujuan yang diinginkan,
maka akan semakin efektif organisasi, program, atau kegiatan.
Menurut Batinggi, A. dan B Ahmad (2014) terdapat 4 faktor utama yang
dianggap memiliki hubungan dengan efektifitas, yaitu sebagai berikut:
18
1. Ciri Organisasi
Organisasi sebagai wadah atau alat tempat sekelompok orang bekerja
sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Ciri Lingkungan
Lingkungan dapat dilihat dari 2 segi, yaitu lingkungan luar yang
mempengaruhi suatu organisasi yang berada diluar organisasi,
contohnya kondisi pasar, kondisi ekonomi dan seterusnya. Ciri utama
lingkungan luar yaitu gejala objektif (taraf pengangguran, saham
dalam pasar, peraturan pemerintah), sedangkan lingkungan dalam
yaitu faktor-faktor yang ada di dalam organisasi yang menciptakan
kultural dan sosial tempat berlangsungnya kegiatan ke arah suatu
tujuan. Ciri lingkungan dalam yaitu bersifat persepsi dalam organisasi.
3. Ciri Pekerja
Ciri pekerja, yaitu orang yang bekerja di dalam suatu organisasi dan
ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan keahlian orang tersebut
sehingga semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
4. Kebijakan dan Praktik Manajemen
Aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi harus diikuti seluruhnya
oleh semua anggota organisasi.
Kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada 3 pendekatan
yang dapat digunakan, yaitu:
a) Pendekatan Sumber (resource approach) yaitu kekuatan dengan
mengukur efektivitas dari input. Pendekatan ini mengutamakan
19
keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya (fisik maupun
non fisik) yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.
b) Pendekatan proses (process approach) yaitu pendekatan untuk melihat
sejauh mana efektivitas pelaksanaan suatu program dari semua
kegiatan (proses internal atau mekanisme) organisasi.
c) Pendekatan sasaran(goals approach) yaitu pendekatan yang dimana
pusat perhatian berada pada output, dengan mengukur keberhasilan
organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana.
(Martani dan Lubis, 1987, dalam Dianti, 2017)
Menurut Batinggi, A. dan B Ahmad (2014) masalah-masalah dalam
pengukuran efektifitas organisasi yaitu sebagai berikut:
1. Masalah kesahihan susunan
Susunan berartu suatu hipotesis yang abstrak mengenai hubungan antara
beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang masing-masing
saling berhubungan.
2. Masalah stabilitas kriteria
Masalah stabilitas kriteria yaitu masalah besar yang kedua yang dihadapi
dalam usaha mengukur efektifitas organisasi. Masalah tersebut yaitu
bahwa banyak dari kriteria evaluasi yang digunakan relatif tidak stabil
setelah beberapa minggu, yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur
efektivitas pada suatu waktu mungkin tidak sesuai lagi atau menyesatkan
pada waktu yang lainnya.
3. Masalah perspektif waktu
20
Masalah yang ada hubungannya dengan hal di atas adalah perspektif
waktu yang dipakai orang pada waktu menilai suatu efektifitas.
4. Masalah kriteria ganda
Sifat yang komprehensif dalam efektivitas mencampurkan beberapa
faktor ke dalam suatu kerangka yang kompak, sehingga menimbulkan
masalah apabila kriteria tersebut bertentangan satu sama lain.
5. Masalah ketelitian pengukuran
Pengukuran efektivitas organisasi dianggap memiliki kemungkinan
menentukan kualitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Akan
tetapi, penentuan kuantitas dan pengukuran demikian sering sulit
dikarenakan konsep yang diteliti rumit dan luas.
6. Masalah kemungkinan generalisasi
Apabila berbagai masalah pengukuran di atas dapat dipecahkan, masih
terdapat persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan
kriteria evaluasi yang dihasilkannya berlaku juga pada organisasi lainnya.
7. Masalah relevansi teoritis
Dalam sudut pandang teoritis, harus diajukan pernyataan logis
sehubungan dengan relevansi model-model tersebut untuk studi tingkah
laku organisasi. Tujuan apa yang dipenuhi dengan adanya modeal
efektivitas, dan lain sebagainya.
8. Masalah tingkat analisis
Jika ingin meningkatkan pengertian mengenai proses organisasi dan
membuat rekomendasi yang berarti mengenai efektivitas pada para
manajer maka, langkah yang harus dilakukan adalah mengembangkan
21
model-model potensi yang berusaha memperinci atau setidaknya
memperhitungkan hubungan antara proses-proses (makro maupun mikro).
2. Rantai Pasok
a. Rantai Pasok
Rantai pasok merupakan suatu tempat untuk sistem tempat suatu
organisasi menyalurkan barang produksi maupun jasanya kepada para
pelanggan atau pembeli. Rantai pasok ini juga merupakan jaringan dari
berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan
yang sama, yaitu untuk sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan
atau penyaluran suatu barang tersebut. Rantai pasok pada hakikatnya
adalah jaringan organisasi yang menyangkut hubungan dari hulu ke hilir
maupun sebaliknya, dalam proses kegiatan yang berbeda yang
menghasilkan nilai yang terwujud dalam suatu barang dan jasa pada
pelanggan akhir (Indrajit Djokopranoto, 2002).
Rantai pasok terdapat 3 macam aliran yang harus dikelola, yaitu:
1. Aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir
(downstream). Contohnya yaitu bahan baku yang dikirim dari
pemasok ke pabrik. Setelah produk selesai diproduksi, produk dikirim
ke distributor lalu ke pengecer atau ritel, selanjutnya ke konsumen
akhir.
2. Aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu.
3. Aliran informasi yang dapat terjadi dari hulu ke hilir ataupun
sebaliknya. Informasi mengenai persediaan produk yang masih ada di
22
masing-masing outlet penjualan dibutuhkan oleh para distributor
maupun pabrik. Informasi mengenai ketersediaan kapasitas produksi
yang dimiliki oleh pemasok juga dibutuhkan oleh pabrik. Informasi
tentang status pengiriman bahan baku dibutuhkan oleh perusahaan
yang mengirim ataupun menerima (Pujawan, 2005 dalam Lestari
2015).
b. Sistem Manajemen Rantai Pasok
Indrajit dan Djokopranoto (2002) mengatakan bahwa pemain utama yang
memiliki kepentingan dalam manajemen rantai pasokan yaitu sebagai
berikut:
1. Rantai 1: Pemasok
Rantai pertama yaitu sumber yang menyediakan bahan pertama
dimana mata rantai penyaluran akan dimulai. Bahan pertama ini bisa
dalam bentuk bahan baku, bahan penolong, bahan mentah, dan bahan
dagangan.
2. Rantai 1-2: Pemasok-Manufaktur
Rantai pertama dihubungkan dengan rantai kedua, yaitu manufaktur
atau pabrik atau perakitan atau bentuk lainnya yang melakukan
pekerjaan membuat, mempabrikasi, mengubah, merakit,
mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang. Hubungan dengan
mata rantai pertama ini sudah memiliki potensi untuk melakukan
penghematan.
23
3. Rantai 1-2-3: Pemasok-Manufaktur-Distribusi
Pada rantai selanjutnya, barang yang sudah jadi yang dihasilkan oleh
manufaktur sudah mulai harus disalurkan kepada pelanggan.
Walaupun terdapat banyak cara untuk penyaluran barang ke
pelanggan, umumnya digunakan melalui distributor dan biasanya
dilakukan oleh sebagian besar rantai pasokan.
4. Rantai 1-2-3-4: Pemasok-Manufaktur-Distribusi-Ritel
Para pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau
menyewa dari pihak lain. Terdapat kesempatan untuk memperoleh
penghematan yaitu dalam bentuk jumlah persediaan dan biaya gudang
dengan melakukan desain kembali pola-pola suatu pengiriman barang
baik dari gudang manufaktur maupun dari pedagang-pedagang
pengecer.
5. Rantai 1-2-3-4-5: Pemasok-Manufaktur-Distribusi-Ritel-Konsumen
Para pengecer atau ritel menawarkan barangnya langsung kepada para
pelanggan atau konsumen atau pengguna barang tersebut. Mata rantai
pasokan berhenti pada setelah barang tersebut sampai di pemakai
langsung.
Implikasi yang perlu dipertimbangkan, diperhatikan, dan dilakukan
sebagai pelaksana strategi dari manajemen rantai pasok yaitu sebagai
berikut:
1. Pengembangan manajemen logistik
Manajemen rantai pasok pada dasarnya merupakan pengembangan
lebih lanjut dari manajemen logistik. Dalam manajemen logistik,
24
pengurusan termasuk distribusi barang hanya menyangkut di dalam
perusahaan sendiri saja, namun dalam manajemen rantai pasok
pengurusan menyangkut arus barang sejak bahan baku sampai barang
jadi yang diterima oleh pelanggan akhir, jadi menyangkut seluruh
jaringan organisasi perusahaan dari yang paling hulu sampai ke yang
hilir.
2. Bertahap
Pada dasarnya tahapan dimulai dari integrasi (internal) lalu kemudian
membentuk jaringan atau networking (eksternal).
3. Perubahan sikap mental
Kesulitan utama terletak pada waktu peralihan dari tahap integrasi
internal ke pembentukan jaringan eksternal yang perlu perubahan
mental secara dramatis.
4. Pemanfaatan teknologi informasi
Teknologi informasi dapat digunakan sebagai suatu katalisator
percepatan dan keberhasilan rantai pasok. Intranet, internet, ekstranet,
dan yang lainnya pada umumnya banyak digunakan dalam hubungan
ini.
5. Menciptakan keunggulan kompetitif
Tujuan langsung dari pengembangan manajemen rantai pasok yaitu
meningkatkan atau menciptakan keunggulan kompetitif. Persaingan
tidak lagi antar peusahaan satu dengan perusahaan lainnya, namun
antar rantai pasok yang satu dengan rantai pasok yang lainnya.
(Indrajit dan Djokopranoto, 2002).
25
3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Beras
a. Beras
Beras merupakan bahan makanan yang berasal dari padi yang telah
diolah. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, beras dapat digantikan
atau disubstitusikan oleh bahan makanan lainnya seperti umbi-umbian,
namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi
dan tidak dapat mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya
(Suparyono dan Agus, 1993, dalam Mukti, 2017).
b. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan Nomor 57/M-
DAG/PER/8/2017 menetapkan HET untuk beras medium dan beras
premium yang berlaku untuk pasar rakyat dan toko modern. Di wilayah
Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Sulawesi, HET beras medium ditetapkan sebesar Rp9.450/kg dan beras
premium sebesar Rp12.800/kg. Pada daerah Sumatra (kecuali Lampung
dan Sumatera Selatan), Kalimantan, serta Nusa Tenggara Timur diberikan
kelonggaran biaya distribusi dari wilayah produsen ke wilayahnya
sebesar Rp500/kg. Dengan demikian, HET beras medium di wilayah
tersebut menjadi Rp9.950/kg dan premium menjadi Rp13.300/kg.
Sementara di Maluku dan Papua diberikan kelonggaran biaya distribusi
ke wilayahnya sebesar Rp800/kg, sehingga HET beras medium
Rp10.250/kg dan HET beras premium Rp 13.600/kg.
26
Dengan HET ini, konsumen mendapat kepastian harga dan terjaga daya
belinya. Mendag menegaskan bahwa penetapan HET ini juga dengan
memperhatikan kepentingan petani dan mengakomodasi pelaku usaha.
Ketentuan ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan yang
akan segera ditandatangani dan akan mulai diberlakukan 1 September
2017. Pelaku usaha wajib mencantumkan label jenis beras medium atau
premium, serta label harga HET pada kemasan. Ketentuan HET
dikecualikan terhadap beras sebagai beras khusus. Sanksi bagi yang
melanggar adalah pencabutan izin usaha setelah mendapat dua kali
peringatan tertulis dari pejabat penerbit izin usaha.
Kriteria beras medium yaitu beras yang memiliki spesifikasi derajat sosoh
minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan butir patah maksimal 25%,
sedangkan beras premium adalah beras yang memiliki spesifikasi derajat
sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan butir patah maksimal
15%. Dengan berlakunya peraturan ini nantinya, maka ketentuan Harga
Acuan Pembelian dan Penjualan untuk Komoditas beras pada Permendag
No. 27 Tahun 2017 dicabut (Kementrian Perdagangan, 2017).
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Dianti, I. A (2017), Irsa, R. (2017), Aprilia, D. (2017),
Rafles, F. A. (2017), Fitriana, L (2010), Sari, P. N (2012), Budiarti, A. (2017),
Yuniar, A. R. (2012), Novianti, K. (2015), dan Riwanti, W. (2011). Secara
lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 10.
27
Tabel 10. Penelitian Terdahulu
No Pengarang
(Tahun)
Judul Penelitian Metodologi Temuan Utama
1 Andriati
dan
Sudana.
W (2011)
Efektivitas
Kebijakan Harga
Input dan Output
Usahatani
Tanaman Pangan
pada Berbagai
Agroekosistem
di Indonesia.
Metode
Statistik.
Kebijakan Harga Eceran
Tertinggi pupuk urea
belum efektif karena
harga pupuk urea yang
dibayar petani hamper
semua di atas HET di
kelima provinsi.
2 Irsa, R.
(2017)
Persepsi petani
dan efektifitas
kelompok tani
dalam program
upsus pajale di
Kecamatan
Banjar Baru
Kabupaten
Tulang Bawang.
Metode
Analisis
Deskriptif ,
menggunak
an Uji
Realibilitas
dan Uji
Validitas.
Efektifitas kelompok
tani dalam program
upsus pajale di
Kecamatan Banjar Baru
termasuk dalam
klasifikasi tinggi atau
efektif.
3 Aprilia, D.
(2017)
Keefektifan
komunikasi
kelompok dalam
penerapan
program
jarwbangplus di
Kecamatan
Gading Rejo
Kabupaten
Pringsewu.
Metode
analisis
deskriptif
menggunak
an Uji
Realibilitas
dan Uji
Validitas.
Terdapat hubungan
nyata antara keefektifan
komunikasi kelompok
tani dengan penerapan
program jarwbangplus
di Kecamatan
Gadingrejo dengan nilai
korelasi 0,233.
4 Rafles, F.
A. (2017)
Efektifitas
program dan
pendapatan
usaha tani kakao
peserta program
Sekolah Lapang
Pengendalian
Hama Terpadu
(SL-PHT).
Metode
deskriptif
dan untuk
melanjutan
uji
hipotesis
digunakan
analisis
statiska.
Tingkat efektifitas SL-
PHT yang dilakukan
dalam budidaya
tanaman kakao di Desa
Sukoharjo 1 Kecamatan
Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu
diklasifikasikan cukup
tinggi.
5 Fitriana, L
(2010)
Analisis rantai
pasokan dan
kinerja anggota
rantai pasokan
beras bebas
pestisida di
bogor.
Analisis
kualitatif
dan analisis
kuantitatif
menggunak
an metode
Hayami,
DEA dan
analisis
Anggota primer rantai
pasokan beras bebas
pestisida adalah
Kelompok Tani di Desa
Ciburuy sebagai
pemasok, Gapoktan
Silih Asih sebagai
pengolah, Lembaga
Pertanian Sehat sebagai
28
deskriptif. pemasar, dan agen/ritel
sebagai konsumen.
Anggota sekunder rantai
pasokan beras bebas
pestisida adalah
penyedia sarana
produksi mulai dari
bahan baku budidaya
hingga pengemasan.
Aliran dalam kegiatan
rantai pasokan beras
bebas pestisida yaitu
aliran komoditas, aliran
informasi dan aliran
finansial.
6 Sari, P. N
(2012)
Analisis network
supply chain dan
pengendalian
persediaan beras
organik (Studi
Kasus Rantai
Pasok Tani
Sejahtera Farm,
Kab. Bogor)
Metode
penentuan
sampel
yaitu
metode
probability
sampling,
purposive
sampling,
dan
snowball
sampling.
Metode
yang
digunakan
dalam
pengolahan
data yaitu
metode
kualitatif
dan
kuantitatif.
Rantai pasok beras
organik di Kabupaten
Bogor berbentuk
jaringan (network
supply chain). Rantai
pasok ini memiliki
sasaran rantai pasok
yang jelas. Struktur
rantai pasok terdiri dari
petani mitra, Tani
Sejahtera Farm, ritel
produk organik, dan
konsumen akhir.
Penerapan manajemen
rantai pasok belum
berjalan dengan baik
karena sistem transaksi
yang ditetapkan ritel
merugikan Tani
Sejahtera Farm.
Sumber daya yang
dimiliki rantai pasok
beras organik sudah
sesuai dengan
kebutuhan rantai pasok.
7 Budiarti,
A. (2017)
Analisis rantai
pasok dan harga
pokok penjualan
daging ayam
broiler pada
rumah potong
ayam
bersertifikat di
Metode
analisis
deskriptif
kualitatif
dan
kuantitatif
Daging ayam broiler
mengalir dari pemasok,
melalui rumah potong
ayam, retail atau rumah
makan hingga kepada
konsumen akhir. Arus
finansial mengalir dari
konsumen akhir melalui
29
Provinsi
Lampung.
retail atau restoran,
rumah potong
hinggakepada pemasok.
Arus informasi mengalir
secara timbal balik antar
mata rantai
8 Yuniar, A.
R. (2012)
Analisis
manajemen
rantai pasok
melon di
Kabupaten
karang Anyar.
Metode
analisis
deskriptif
kualitatif
Model rantai pasok
melon dibagi menjadi 2
yaitu melon berdaging
buah merah
permintaannya lebih
besar baik dari dalam
maupun luar negri
dibandingkan melon
berdaging putih. Pola
rantai pasok melon yaitu
pola rantai pasok sky
rocket dengan tujuan
pasar tradisional dan
pola rantai pasok rock
melon dengan tujuan
pasar modern dan
ekspor.
9 Triyani. R
dan
Yusuf. R.
(2015)
Analisis
manajemen
rantai pasok
lobster (Studi
Kasus di
Kabupaten
Simeulue, Aceh).
Metode
teori
manajemen
rantai
pasok.
Penentuan harga oleh
satu pelaku dapat diatasi
dengan cara membuka
peluang untuk pemain
baru serta teknologi
budidaya yang rendah
menyebabkan daya
saing produk rendah.
10 Riwanti,
W. (2011)
Manajemen
rantai pasokan
brokoli organik
(Studi kasus
Agro Lestari di
Cibogo,
Kabupaten
Bogor, Jawa
Barat)
Metode
analisis
deskriptif
Pengelolaan
Manajemen Rantai
Pasokan brokoli
organik yang
melibatkan petani, PT
Agro Lestari, PT X, dan
supermarket belum
sepenuhnya dijalankan
secara terpadu.
Pelaksanaan
manajemen pasokan
brokoli organik masih
belum memiliki kinerja
yang baik dalam hal
efisiensi maupun
kemitraan
30
Kesimpulan dari seluruh penelitian terdahulu pada Gambar 1 yaitu metode
yang digunakan dalam keseluruh penelitian tersebut yaitu metode analisis
deskriptif kualitatif, metode analisis deskriptif kuantitatif, serta metode
campuran antara analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Persamaan
penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada jenis
metode yang digunakan yaitu metode campuran. Perbedaan penelitian yang
akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitin ini akan
dilakukan analisa terhadap kebijakan pemerintah yang baru yaitu Kebijakan
Harga Eceran Tertinggi (HET) beras.
C. Kerangka Pemikiran
Beras medium merupakan jenis beras yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat menengah kebawah. Beberapa tahun terakhir ini harga beras di
Indonesia tidak stabil dan melonjak naik. Akibat dari harga beras yang naik
tersebut khususnya beras medium menyebabkan konsumsi beras di Indonesia
menjadi rendah dan dibawah standart akibat daya beli konsumen terhadap
beras yang yang rendah. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah
menetapkan Kebijakan HET beras.
Setiap kebijakan akan dikatakan berhasil apabila kebijakan tersebut telah
efektif atau berjalan dengan baik di lapangan. Keefektifan Kebijakan HET
tersebut akan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif.
Untuk melihat keefektifan Kebijakan HET beras medium, perlu dilihat harga
beras yang ada di lapangan. Selanjutnya harga yang telah ditetapkan dalam
Kebijakan HET akan dibandingkan dengan harga di lapangan dengan
31
menggunakan rumus efektivitas menurut Schemerhon John R (1986). Hasil
dari perbandingan tersebut menjadi dasar analisis Kebijakan HET beras
medium. Hasil analisis tersebut akan menunjukkan efektif atau tidaknya
Kebijakan HET beras medium.
Untuk dapat mencapai efektivitas Kebijakan HET beras, seluruh pihak dari
produsen hingga konsumen harus ikut serta merealisasikan dan mendukung
Kebijakan HET beras agar berjalan efektif dan dapat menekan harga beras.
Perubahan harga beras akan menyebabkan berubahnya rantai pasok beras
antara sebelum dan setelah ditetapkannya HET beras. Rantai pasok beras
setelah adanya Kebijakan HET beras dapat dilihat dengan melakukan analisis
terhadap berbagai macam elemen, seperti analisis aliran barang, analisis
aliran uang, analisis aliran informasi rantai pasok beras medium. Rantai
pasok beras medium tersebut dapat dilihat dengan melakukan analisis
deskriptif kualitatif menurut Milles dan Huberman (1992) dengan prosedur
mereduksi data, melakukan penyajian data dan menarik kesimpulan.
Kebijakan HET akan memberikan dampak bagi seluruh pelaku dalam
pendistribusian beras medium, tidak hanya kepada konsumen. Para petani,
pengepul, dan distributor beras khususnya beras medium merupakan suatu
sistem rantai pasok yang mendapat dampak dari Kebijakan HET tersebut.
Untuk melihat dampak tersebut dilakukan analisis uji beda dengan
membandingkan kondisi ekonomi sebelum dan setelah ditetapkannya
Kebijakan HET Secara paradigma kerangka pemikiran penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 2.
32
Gambar 2. Kerangka paradigma efektivitas Kebijakan Harga Eceran Tertinggi
(HET) dan rantai pasok beras medium di Provinsi Lampung.
Beras Medium
Harga tinggi
Penetapan Kebijakan HET
Beras
Efektif Tidak Efektif
Petani Penyalur
Analisis Deskriptif
Kualitatif
Harga Ecern
Tertinggi
Beras Medium
Harga Beras
Medium di
Lapangan
Efektifitas Kebijakan HET Beras
Medium
1. Reduksi Data
2. Penyajian Data
3. Menarik
Kesimpulan
Aliran Produk,
Aliran Uang,
Aliran Informasi
rantai pasok beras
medium
Analisis Deskriptif
Kuantitatif
Pedagang
Eceran Konsumen
Perbedaan sebelum
dan setelah adanya
Kebijakan HET pada
aspek ekonomi
pelaku usaha
beras/gabah
T-Test
Dampak
Kebijakan HET
terhadap aspek
ekonomi
33
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu merupakan
metode yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan melakukan
metode wawancara terstruktur dan juga metode observasi. Menurut
Arikunto (2010) dalam menggunakan metode observasi cara yang paling
efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan
sebagai instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian
atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi. Kemudian menurut
Widi (2010) dalam metode wawancara terstuktur peneliti memberikan
pertanyaan yang isi dan strukturnya telah ditentukan, dirancang dan ditulis
oleh peneliti. Peneliti menggunakan pertanyaan dengan kalimat dan urutan
yang sama dan tercatat dalam daftar wawancara.
Penelitian wawancara dilakukan dengan mewawancara responden
penelitian untuk memperoleh jawaban dari tujuan penelitian yang kedua
dan ketiga. Dalam meneliti, peneliti menanyatan daftar pertanyaan yang
telah dibuat sebelumnya yang berhubungan dengan tujuan penelitian serta
memberikan kuisioner yang telah disediakan yang kemudian akan diisi
oleh responden. Sedangkan penelitian observasi yang dilakukan untuk
34
menjawab tujuan penelitian yang pertama. Dalam meneliti hal tersebut,
peneliti mencatat data observasi dari sampel dari suatu populasi.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengamatan langsung,
serta melalui kuisioner yang telah disediakan. Data sekunder diperoleh melalui
penelaahan dokumen, yaitu dengan cara mencari data dan informasi yang
didapatkan dari buku-buku, laporan mahasiswa sebelumnya, serta melalui
instansi-instasi yang terkait dengan penelitian seperti Badan Pusat Statistik
(BPS), Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Trimurjo, Badan Koperasi
Perindustrian Perdagangan Provinsi Lampung, Dinas Perdagangan Provinsi
Lampung, BULOG Provinsi Lampung dan lain-lain.
B. Konsep Dasar dan Definisi Operasional
Konsep dasar dan definisi operasinal akan membahas mengenai istilah-istilah
yang digunakan dalam melakukan analisa-analisa untuk menjawab tujuan-
tujuan penelitian yang akan dilakukan.
Beras merupakan bahan makanan yang dihasilkan dari padi.
Beras medium adalah jenis beras yang memiliki spesifikasi derajat sosoh
minimal 95%, kadar air maksimal 14% dan butir patah maksimal 25%.
(Kementrian Perdagangan, 2017).
Beras Medium 1 merupakan beras yang memiliki derajat sosoh minimal 95%,
kadar air maksimal 14%, beras kepala minimal 78%, butir patah maksimal
35
20%, butir menir maksimal 2%, butir merah maksimal 2%, butir kuning atau
rusak maksimal 2%, butir kapur maksimal 2%, benda asing maksimal 0,02%,
dan butir gabah maksimal 1% (Badan Standarisasi Nasional, 2017).
Beras Medium 2 yaitu beras yang memiliki derajat sosoh minimal 90%, kadar
air maksimal 14%, beras kepala minimal 73%, butir patah maksimal 25%,
butir menir maksimal 2%, butir merah maksimal 3%, butir kuning atau rusak
maksimal 3%, butir kapur maksimal 3%, benda asing maksimal 0,05%, dan
butir gabah maksimal 2%. (Badan Standarisasi Nasional, 2017).
Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras merupakan kebijakan yang
dibuat pemerintah dengan tujuan melindungi pihak konsumen.
Harga beras medium di tingkat pedagang eceran adalah harga jual produk
beras medium yang dijual oleh masing-masing pedagang beras medium
eceran per satu kilogram yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah harga yang telah ditetapkan pemerintah
dalam Permendag RI No 57/M-DAG/PER/8/2017 diukur dalam satuan rupiah.
Efektifitas HET adalah tingkat efektifitas dari Kebijakan Harga Eceran
Tertinggi (HET) yang diukur dalam satuan persen (%).
Sistem manajemen rantai pasok beras merupakan sistem organisasi,
teknologi, informasi, kegiatan dan sumber daya yang terlibat dalam
pemindahan padi atau beras. Sistem manajemen rantai pasok yang akan
dibahas pada penelitian ini yaitu sistem manajemen rantai pasok dari petani
hingga ke konsumen.
36
Petani padi adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya
dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan memelihara tanaman khususnya tanaman padi dengan
harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan
sendiri ataupun dijual.
Tengkulak adalah pedagang yang berkembang secara tradisional di Indonesia
dalam membeli komoditas dari petani, dengan cara berperan sebagai
pengumpul (gatherer), pembeli (buyer), pialang (broker), pedagang (trader),
pemasaran (marketer) dan kadang sebagai kreditor secara sekaligus
Pedagang Besar adalah pengusaha / pedagang yang membeli dan menjual
barang dalam jumlah besar untuk setiap jenis barang yang diperdagangkan.
Pedagang eceran, adalah pedagang yang disebut juga pengecer, menjual
produk komoditas langsung ke konsumen.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait
baik dengan topik maupun komoditas penelitian berupa data publikasi
mengenai padi.
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui wawancara) melalui wawancara
dengan responden yang berkaitan dengan penelitian, yaitu petani padi,
tengkulak atau pengepul, pedagang besar, serta pedagang eceran.
37
C. Lokasi, Waktu Penelitian dan Responden
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah
Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Pringsewu, Kecamatan
Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah, dan Kecamatan Punggur Kabupaten
Lampung Tengah. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan alasan Kabupaten Lampung Tengah merupakan Kabupaten
dengan produksi padi paling tinggi diantara seluruh Kabupaten yang ada di
Provinsi Lampung. Kecamatan Trimurjo juga dipilih secara sengaja
(purposive) dengan alasan Kecamatan Trimurjo merupakan Kecamatan yang
mempunyai produksi padi yang tinggi di Kabupaten Lampung Tengah. Lokasi
penelitian di kota Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu
juga dipilih secara sengaja (purposive) dengan alasan ketiga lokasi tersebut
merupakan Kota/Kabupaten yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi dan
juga merupakan pusat-pusat kegiatan ekonomi di Provinsi Lampung.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2018.
Penentuan responden dipilih secara sengaja (purposive). Responden yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu seluruh pelaku yang terlibat dalam kegiatan
rantai pasok beras. Terdapat 4 jenis pengambilan sampel dalam penelitian ini.
Pengambilan sampel tersebut dibedakan menjadi empat yaitu sampel petani,
sampel penyalur, sampel pedagang pengecer, dan sampel konsumen.
1. Sampel Petani
Pengambilan sampel petani menggunakan data populasi petani padi di Desa
Simbar Waringin dan Desa Purwodadi. Populasi petani padi di Desa Simbar
38
Waringin adalah 547 orang dan petani padi di Purwodadi adalah 502 orang.
Jumlah dari seluruh populasi di kedua Desa tersebut adalah 1049 orang.
Dalam menentukan sampel petani, dipilih teknik pengambilan sampel
purposive sampling. Menurut Dantes (2012), purposive sampling merupakan
teknik penarikan sampel yang didasarkan pada cirri atau karakteristik (tujuan)
yang ditetapkan sebelumnya. Asumsi dasar dari sampling purposive ini
adalah pertimbangan yang cermat dan strategis dalam menentukan kasus
untuk dimasukkan ke dalam sampel. Dengan demikian, sampel akan sesuai
dengan apa yang diperlukan. Jadi sampel petani yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada teori Isaac dan Michael dalam Sugiarto dkk
(2003), yaitu:
Keterangan:
n = Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian
N= Populasi populasi
Z = Derajat kepercayaan (90% = 1,645)
S2= Varian sampel (5% = 0,05)
d = Derajat penyimpangan (5% =0,05)
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel petani dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
( ) ( )
( ) ( ) ( )
39
Jadi, petani yang akan menjadi sampel atau responden pada penelitian ini
yaitu sebanyak 51 orang. Sampel tersebut akan dibagi dari 2 Desa. Untuk
menentukan sampel tiap desa, maka akan digunakan rumus proporsional
sampling.
Rumus proporsional sampling yaitu:
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel pada masing-masing desa
yaitu:
Berdasarkan perhitungan diatas, responden pada Desa Purwodadi yaitu
sebanyak 24 responden, dan pada Desa Simbar Waringin sebanyak 27
responden.
2. Sampel Penyalur.
Responden/Sampel penyalur beras yaitu penggilingan padi dan agen. Dalam
pengambilan sampel responden tersebut digunakan teknik snowball
sampling. Dalam snowball sampling peneliti memilih responden secara
berantai. Jika pengumpulan data dari responden ke-1 sudah selesai, peneliti
minta agar responden tersebut memberikan rekomendasi untuk responden
ke-2, lalu yang ke-2 juga memberikan rekomendasi untuk responden ke-3,
an selanjutnya. Proses bola salju ini berlangsung terus sampai peneliti
40
memperoleh data yang cukup sesuai kebutuhan (Arikunto, 2010). Pada
penelitian ini, untuk dapat memperoleh informasi yang diperlukan
responden pertama yang akan dijadikan sampel yaitu petani yang telah
ditentukan. Selanjutnya petani tersebut yang akan memberikan rekomendasi
responden selanjutnya pada saat proses penelitian. Responden pertama
dalam penelitian ini yaitu 51 petani padi di Kecamatan Trimurjo.
Selanjutnya petani mengarahkan ke responden selanjutnya hingga responden
terakhir.
3. Sampel Pedagang Eceran Beras Medium
Pemilihan responden pedagang beras medium menggunakan multiphase
Sampling. Menurut Sangadji dan Sopiah (2010) multiphase sampling sering
disebut pula sampel berjenjang atau sampel multitahap. Misalnya, kita mau
melakukan penelitian terhadap kinerja guru SD di Kota “X”. Tahap pertama
yang dilakukan adalah menentukan sekolah yang akan menjadi sampel
keseluruhan SD di Kota “X”. Tahap kedua adalah menentukan sampel
individu, yaitu guru yang akan dijadikan subjek atau objek peneliutian.
Untuk pemilihan sampel pedagang beras medium tahap pertama yang akan
dilakukan yaitu memilih pasar yang akan dijadikan sampel dalam penelitian.
Pasar yang akan dipilih yaitu seluruh pasar tradisional Kota Bandar
Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu. Daftar nama pasar
tradisional yang ada di Kota Bandar Lampung dapat, Kota Metro, dan
Kabupaten Pringsewu dapat dilihat pada Tabel 11.
41
Tabel 11. Nama pasar tradisional di Kota Bandar Lampung, Metro, dan
Pringsewu
No Nama Kota / Kabupaten Nama Pasar
1 Kota Bandar Lampung Pasar Bambu Kuning, Pasar Gudang Lelang,
Pasar Kangkung/Mambo, Pasir Gintung,
Pasar Cimeng, Pasar Way Kandis, Pasar
Panjang, Pasar Induk Tamin, Pasar Tugu,
Perumnas Way Halim, Pasar Bawah, Pasar
Beringin Raya (Langkapura), Pasar Baru
(SMEP), Pasar Koga, Pasar Cimeng, Pasar
Terminal Kemiling, Pasar Korpri, Pasar
Permata Biru, Pasar Perum BKP, Pasar
Ambon, Pasar Untung, Pasar Perum
Bataranila, Pasar Way Dadi, Pasar Tempel
Gotong Royong, Pasar Tempel Stasiun, Pasar
Tempel Wayhalim, Pasar Tempel Cahaya,
Pasar Tempel Sukarame 2, Pasar Tempel
Waykandis, Pasar Rajabasa. 2 Kota Metro Pasar Shopping Center dan Mall, Pasar Kopindo,
Pasar Cendrawasih, Pasar Sumur Bendung, Pasar
Teto Agung, Pasar Margorejo, Pasar Sumbersari,
Pasar Ganjar Agung, Pasar Ruko Bertingkat,
Pasar Nuban Ria, Pasar Terminal Kota.
3 Kabupaten Pringsewu Pasar Pagelaran, Pasar Pringsewu, Pasar Pagi
Fajaresuk, Pasar Sukoharjo, Pasar Banyumas,
Pasar Adiluwih, Pasar Gading Rejo, Pasar
Perdasuka, Pasar Baru, Pasar Masrgomulya,
Pasar Sarinongko, Pasar Bulog, Pasar Yogya,
Pasar Banyuwangi, Pasar Pandan Sari, Pasar
Bandung Baru. Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi Lampung (2017).
Berdasarkan Tabel 11, terdapat 56 pasar tradisional yang terdapat di Kota
Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu yang akan
dijadikan sampel dalam penelitian. Tahap kedua yaitu menentukan sampel
pedagang beras medium eceran pada setiap pasar tradisional. Pada setiap
pasar tradisional, akan dipilih 1 pedagang beras medium eceran. Dengan
demikian terdapat 56 sampel pedagang beras medium eceran yang akan
dijadikan sampel pedagang beras medium eceran pada penelitian ini.
42
4. Sampel Konsumen
Responden/sampel Sampel selanjutnya yaitu konsumen. Dalam pengambilan
sampel responden tersebut digunakan multiphase Sampling. Pada tahap
pertama dipilih 3 tempat yang akan dijadikan sampel yaitu Kota Bandar
Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu. Pada tahap kedua yaitu
ditetapkan jumlah sampel individu yang akan dijadikan responden.
Konsumen beras medium di Kota Bandar Lampung dipilih sebanyak 10
orang, konsumen beras medium di Kota Metro dipilih sebanyak 10 orang,
dan konsumen beras medium di Kabupaten Pringsewu dipilih sebanyak 10
orang. Total keseluruhan sampel konsumen yaitu sebanyak 30 orang.
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Menurut Bungin
(2007) Analisis deskriptif kualitatif berkaitan erat dengan metode
pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara ataupun focus group
discussion. Sedangkan Analisis deskriptif kuantitatif menurut Bungin
(2005) bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang
menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian
mengangkat ke permukaan gambaran tentang kondisi, situasi, dan variabel.
43
1. Metode Analisis Tujuan 1
Analisis data yang digunakan dalam menjawab tujuan penelitian yang
pertama yaitu mengetahui tingkat efektivitas Kebijakan Harga Eceran
Tertinggi (HET) beras terhadap harga beras di lapangan adalah analisis
deskriptif kuantitatif. Analisis efektivitas dilakukan secara statistik dengan
menggunakan program Microsoft Excell 2010. Hasil perhitungan statistik
akan ditampilkan dalam bentuk tabel serta grafik. Menurut Schemerhon
John R (1986) dalam Sucahyowati (2017), efektifitas adalah pencapaian
target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran
atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS).
Menurut pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan efektifitas dapat
dihitung dengan cara sebagai berikut:
Berdasarkan rumus diatas, rumus yang digunakan untuk menghitung
efektifitas HET beras medium, yaitu sebagai berikut:
( )
Hasil perhitungan rumus diatas yang nantinya akan menjadi dasar dari
keefektifan Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium
terhadap harga beras medium di lapangan. Apabila hasil perhitungan
efektifitas HET kurang dari atau sama dengan (≤) 1 maka Kebijakan Harga
Eceran Tertinggi (HET) beras medium dinyatakan efektif. Sebaliknya,
44
apabila hasil perhitungan efektifitas HET lebih dari (>) 1 maka Kebijakan
Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium dinyatakan tidak efektif.
Efektivitas Kebijakan HET beras yang akan dianalisis yaitu harga beras
medium eceran di pasar tradisional dari bulan September 2017 hingga
Februari 2018. Hasil dari efektifitas Kebijakan HET beras tersebut akan
dikelompokkan ke dalam dua kelas yang berfungsi untuk meringkas atau
memadatkan data dengan mencatat poin-poin data yang ada pada masing-
masing kelas tersebut sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.
2. Metode Analisis Tujuan 2.
Analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan kedua yaitu
mengetahui dampak dari ditetapkannya Kebijakan Harga Eceran Tertinggi
(HET) beras dari sudut pandang petani, penyalur, pedagang eceran dan
konsumen terhadap aspek ekonomi adalah analisis deskriptif kuantitatif.
Analisis yang digunakan merupakan analisis deskripsf kuantitatif dengan
melakukan wawancara menggunakan kuisioner yang telah disiapkan.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui dampak Kebijakan HET beras
terhadap aspek ekonomi. Dampak yang akan diteliti yaitu dengan
membandingkan faktor yang telah ditentukan saat sebelum dan sesudah
diberlakukannya Kebijakan HET beras.
Data mengenai harga jual beras, harga jual gabah, konsumsi beras
konsumen, dan omset penjualan gabah atau beras oleh responden saat
sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET beras diperoleh dengan
menggunakan metode wawancara serta mencari data sekunder di instansi
45
terkait. Selanjutnya data yang dikumpulkan, disusun, dan dideskripsikan
sebagai suatu perbandingan dengan membandingkan rata-rata nilai
sebelum dan sesudah diberlakukannya Kebijakan HET beras. Setelah nilai
disusun di dalam tabel, selanjutnya dilakukan analisis uji paired sample t-
test dan independent sample t-test menggunakan SPSS untuk melihat
dampak dari Kebijakan HET.
Menurut Duwi Priyatno (2010), Kriteria pengambilan keputusan
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Jika nilai signifikansi atau Sig.(2-tailed) lebih kecil (<) daripada 0,05
maka Ho ditolak
b. Jika nilai signifikansi atau Sig.(2-tailed) lebih besar (>) daripada 0,05
maka Ho diterima
Hipotesis yang digunakan untuk mengetaui dampak dari Kebijakan HET
beras dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Petani
Ho = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata harga
jual gabah sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
Hi = Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata harga jual
gabah sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
2. Penyalur
Ho = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan
penyalur sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
Hi = Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan penyalur
46
sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
3. Pedagang Eceran
Ho = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara harga jual beras
eceran sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
Hi = Terdapat perbedaan yang signifikan antara harga jual beras
eceran sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
4. Konsumen
Ho = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pembelian
beras sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
Hi = Terdapat perbedaan yang signifikan antara pembelian beras
sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
Untuk melihat persentase pengaruh perubahan jumlah barang yang diminta
apabila terjadi perubahan harga, digunakan rumus elastisitas harga
permintaan. Menurut Agung dkk (2013), elastisitas permintaan terhadap
harga merupakan keofisien yang menjelaskan jumlah barang yang diminta
sebagai akibat dari persentase perubahan harga yang secara matematis
dirumuskan sebagai berikut:
Ed
Keterangan:
Ed : Koefisien elastisitas permintaan terhadap harga
: Perubahan jumlah barang yang diminta
: Perubahan harga
47
: Jumlah barang yang diminta
: Harga
3. Metode Analisis Data Tujuan 3.
Analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu
mengetahui sistem manajemen rantai pasok beras medium setelah
dijalankannya kebijakan HET beras. Rantai pasok beras medium adalah
sistem yang menghubungkan padi atau beras medium dari petani hingga
ke konsumen. Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif,
mengenai bagaimana proses padi atau beras medium dapat sampai kepada
konsumen akhir. Sebagai perbandingan, digunakan data sekunder
mengenai sistem manajemen rantai pasok sebelum adanya Kebijakan
HET. Hasil yang menjadi tujuan dari analisis ini adalah bagaimana arus
atau aliran beras medium setelah adanya Kebijakan HET, apakah terdapat
perubahan atau tidak. Untuk menjawab tujuan penelitian ke-3 dengan cara:
1. Mencari data sekunder mengenai rantai pasok beras sebelum adanya
Kebijakan HET.
2. Menganalisa aliran produk pada sistem manajemen rantai pasok beras
medium di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
3. Menganalisa aliran finansial pada sistem manajemen rantai pasok
beras medium di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
4. Menganalisa aliran informasi pada sistem manajemen rantai pasok
beras medium pada Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung
Tengah.
48
Analisis data tujuan 3 ini menggunakan analisis data menurut Miles dan
Huberman (1992) dengan prosedur yaitu:
1. Reduksi Aliran Finansial, Aliran Produk dan Aliran Informasi Beras
Data diperoleh dilokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam
uraian atau laporan yang lengkap dan terinci mengenai aliran produk,
aliran finansial, dan aliran informasi beras medium di Kecamatan
Trimurjo. Data yang diperoleh direduksi, dirangkum, dan dipilih hal-hal
pokok, difokuskan kepada hal-hal yang penting lalu dicari polanya.
Kemudian diadakan tahap reduksi yaitu membuat ringkasan dengan
menggolongkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu.
2. Penyajian Aliran Finansial, Aliran Produk dan Aliran Informasi Beras
Penyajian data dilakukan untuk memudahkan melihat gambar secara
keseluruhan aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi beras
medium di Kecamatan Trimurjo.
3. Menarik kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian diperoleh selama proses pengumpulan data
aliran finansial, aliran produk dan aliran informasi yang dilakukan
secara terus menerus. Pada saat proses penelitian berlangsung,
dilakukan analisis dan pencarian makna terhadap pola aliran produk,
aliran finansial, dan aliran informasi beras medium di Kecamatan
Trimurjo. Dari pola yang sudah terbentuk, ditulis kesimpulan dari rantai
pasok beras medium di Kecamatan Trimurjo. Setelah pola rantai pasok
terbentuk, pola tersebut dibandingkan apakah terdapat perbedaan
sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET.
49
Agar penelitian berjalan secara sistematis, maka dibuat perancangan
tentang langkah-langkah pemecahan masalah yang akan digunakan.
Flowchart pemecahan masalah tujuan 3 dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Flowchart Pemecahan Masalah.
Studi Lapangan
Pembuatan Daftar Pertanyaan
Pengumpulan data ke petani
Pengumpulan data ke pedagang besar
Pengumpulan data ke pedagang eceran
Pengumpulan data ke pengepul
Pengumpulan data ke penggilingan padi
Studi Literatur
Pengumpulan data ke konsumen
Penyajian Data
Penarikan kesimpulan
50
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Provinsi Lampung
1. Sumber Daya Manusia
Berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 penduduk Provinsi Lampung
terdapat sebanyak 8.289.577 jiwa yang terdiri dari 4.247.121 jiwa
penduduk laki-laki dan 4.042.456 jiwa penduduk perempuan. Provinsi
Lampung memiliki kepadatan penduduk pada tahun 2017 sebesar 239
jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 15 kabupaten/ kota berbeda-beda dan
kepadatan penduduk yang paling tinggi yaituu terletak di Kota Bandar
Lampung dengan kepadatan sebesar 3.432 jiwa/km2 serta kepadatan
penduduk yang paling rendah yaitu Kabupaten Pesisir Barat sebesar 52
jiwa/Km2. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung ditahun 2017
mengalami penurunan dari tahun 2016, dari 1.169,60 ribu turun menjadi
1.131,73 di tahun 2017.
2. Pertanian
Produksi tanaman padi sawah di Provinsi Lampung yaitu sebesar 4,09 Juta
ton selama tahun 2017. Produksi tertinggi terdapat pada Kabupaten
Lampung Tengah yaitu sebesar 733,03 ribu ton. Produktivitas tanaman
51
padi sawah tertinggi ada di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 59,86
kwintal/hektar. Luas lahan sawah menurut Kabupaten/Kota dan jenis
pengairan di Provinsi Lampung tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas Lahan Sawah Menurut Kabupaten/Kota Dan Jenis
Pengairan di Provinsi Lampung Tahun 2017
Kabupaten/Kota Irigasi Non Irigasi Jumlah
Bandar
Lampung
409 527 936
Metro 2926 58 2984
Lampung Barat 11011 2433 13443
Tanggamus 20396 2684 23080
Lampung
Selatan
9330 36304 45634
Lampung Timur 33017 30404 63421
Lampung
Tengah
57513 24732 82245
Lampung Utara 12633 6659 19292
Way Kanan 13723 9252 22975
Tulang Bawang - 51722 51722
Pesawaran 9219 6636 15855
Pringsewu 8801 4877 13678
Mesuji - 32164 32164
Tulang Bawang
Barat
8127 4051 12178
Pesisir Barat 4821 3957 8778
Lampung 191925 216460 408385
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018
3. Perdagangan
Terdapat beberapa tempat perdagangan di Provinsi Lampung, mulai dari
pasar tradisional hingga pasar modern. Jumlah pasar yang terdapat di
Provinsi Lampung dibagi menjadi pasar pemda dan pasar desa. Jumlah
pasar tradisional yang terdapat pada Provinsi Lampung menurut Dinas
Perdagangan Provinsi Lampung pada tahun 2017 dapat dilihat pada tabel
13.
52
Tabel 13. Jumlah pasar tradisional yang terdapat pada Provinsi Lampung
pada tahun 2017 No Kabupaten/
Kota
Jumlah
Pasar
Jumlah
Pasar
Pemda
Jumlah
Pasar
Desa
Jumlah
Pedagang
Jumlah
Kios
Jumlah
Luas
Pasar
1 Bandar
Lampung
29 18 11 4591 2486 139675
2 Metro 11 11 - 3003 907 118988
3 Lampung
Barat
32 9 23 5182 5182 45611
4 Tanggamus 38 10 28 6696 6696 88273
5 Lampung
Selatan
58 10 48 18080 12748 436250
6 Lampung
Timur
8 8 - 3615 1717 114810
7 Lampung
Tengah
84 9 75 14220 7567 601473
8 Lampung
Utara
37 7 30 11050 840 200350
9 Way Kanan 58 4 54 4925 3956 815000
10 Tulang
Bawang
61 4 57 6274 3626 73000
11 Pesawaran 26 5 21 4564 4564 116488
12 Pringsewu 16 7 9 2722 781 57458
13 Mesuji 56 6 50 2426 2984 80200
14 Tulang
Bawang
Barat
20 3 17 1215 1215 304000
15 Pesisir Barat 28 8 20 2616 2616 144763
Jumlah 562 119 443 91179 57885 3336339
Suumber: Dinas Perdagangan,2018.
B. Kecamatan Trimurjo
1. Sumber Daya Manusia
Jumlah penduduk di Kecamatan Trimurjo dibagi sesuai tingkat umur dan
juga dibagi menjadi beberapa golongan pendidikan serta jenis pekerjaan.
Jumlah penduduk menurut tingkat umur, golongan pendidikan, dan
golongan jenis pekerjaan menurut Badan Penyuluh Pertanian (BPP)
Kecamatan Trimurjo dapat dilihat pada Tabel 14.
53
Tabel 14. Jumlah penduduk menurut tingkat umur, golongan pendidikan,
dan golongan jenis pekerjaan No Penduduk Klasifikasi Jumlah penduduk
(jiwa)
1 Umur 0-5 5.198
6-10 8.868
11-15 3.197
16-20 2.965
21-30 11.572
31-60 11.613
>60 3.574
2 Golongan TK 3.100
Pendidikan SD 17.997
Tidak Tamat SD 88.469
SMP sederajat 11.455
SMA 8.655
SMK 1.344
Sarjana 613
3 Jenis Petani tanaman pangan 21.786
Pekerjaan Petani berkebun 752
Petani berternak 855
Lain-lain 3.628
Sumber: Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Trimurjo, 2017.
2. Pertanian
A. Karakteristik Tanah dan Air
Wilayah Kecamatan Trimurjo memiliki jenis tanah yaitu sebagian besar
(90%) podselik merah kuning dengan drainase cukup baik hingga
sedang dan keadaan lapisan tanah kedalamnya 15cm-20cm. Tekstur
tanah yaitu lempung, struktur tanah remah hingga gempal, reaksi tanah
masam dengan PH 4,8 - 5,6, kesuburan tanah rendah hingga sedang.
B. Curah Hujan dan Suhu Rata - Rata Pada Tahun 2016
Keadaan curah hujan dari Januari - Desember 2016 di Kecamatan
Trimurjo memiliki jumlah hari hujan yaitu sebanyak 149 hari dan
54
sebesar 2.718 mm serta rata-rata hujan yaitu sebesar 216,1 mm. Suhu
yang terdapat pada Kecamatan Trimurjo yaitu sekitar 28oC sampai
dengan 32oC. Suhu rata-rata yang terdapat di Kecamatan Trimurjo yaitu
sebesar 30oC.
C. Luas Lahan Menurut Penggunaannya
Luas lahan di Kecamatan Trimurjo dibagi menjadi beberapa jenis lahan.
Lahan tersebut terdiri atas lahan sawah irigasi teknis, lahan kering atau
lading, lahan pekarangan, hutan rakyat, dan lain – lain. Pembagian luas
lahan menurut penggunaannya dibagi menjadi 9 jenis lahan. Tabel luas
lahan menurut penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Pembagian luas lahan menurut penggunaannya
No Jenis Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha)
1 Sawah irigasi teknis 4.209
2 Sawah tadah hujan -
3 Sawah irigasi kampong -
4 Rawa -
5 Lahan kering/ lading 161, 27
6 Kolam/Empang 6, 69
7 Hutan rakyat -
8 Pekarangan 1.205, 64
9 Lain-lain 199,91
Sumber: Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Trimurjo, 2017.
D. Pola Tanam Lahan Sawah
Pola tanam lahan sawah pada Kecamatan Trimurjo dibagi menjadi 3
pola. Pola tanam lahan sawah tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Lahan sawah yang mendapat gadu
Padi - Padi – PaIawija
55
b. Lahan sawah tidak:mendapat gadu
Padi - PaIawija - PaIawija
c. Lahan kering/lading
Padi gogo - Palawija – Palawija
E. Kelompok Tani
Terdapat 125 kelompok tani di Kecamatan Trimurjo dengan jumlah
seluruh anggota yaitu 5.673 orang. Kelompok tani tersebut dibagi
menjadi 4 karakteristik yaitu kelas pemula, kelas madya, kelas lanjut,
dan kelas utama. Pada kelas pemula terdapat 40 kelompok tani dengan
jumlah anggota 1.482 orang. Kelas madya terdapat 47 kelompok tani
dengan jumlah anggota 2.312 orang. Kelas lanjut terdapat 38 kelompok
tani dengan jumlah anggota 1.879 orang. Selanjutnya pada kelas utama
terdapat 0 kelompok tani. Berdasarkan status kepemilikan usaha tani,
petani yang terdapat pada Kecamatan Trimurjo dibagi menjadi 3 jenis
yaitu petani pemilik penggarap sebanyak 17.107 orang, petani
penggarap sebanyak 3.845 orang, dan petani sebagai buruh tani
sebanyak 2.188 orang.
F. Luas Tanaman Untuk Komoditas Utama
Luas tanaman untuk komoditas utama di Kecamatan Trimurjo dibagi
menjadi 10 komoditas. Setiap komoditas memiliki luas lahan yang
berbeda-beda. Luas Tanaman untuk komoditas utama pada Kecamatan
Trimurjo dapat dilihat pada Tabel 16.
56
Tabel 16. Luas Tanaman Untuk Komoditas Utama
No Nama Komoditas Luas Lahan (Ha)
1 Komoditas padi sawah 5.213,50
2 Komoditas pagi gogo 80
3 Komoditas jagung 4.031
4 Komoditas kedelai 30
5 Komoditas kacang tanah 167
6 Komoditas kacang hijau 213
7 Komoditas ubi kayu 50
8 Komoditas ubi jalar 50
9 Komoditas cabai besar 25
10 Komoditas semangka 67
Sumber: Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Trimurjo, 2017.
G. Penerapan Teknologi Ditingkat Petani
Teknologi merupakan suatu kebutuhan dalam memelihara dan
membudidayakan tanaman. Pada tingkat petani, terdapat beberapa
macam tanaman yang sudah menggunakan teknologi modern dalam
membudidayakannya. Tanaman yang sudah diterapkan teknologi
dalam membudidayanya antara lain padi sawah, padi gogo, jagung, ubi
kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah. Teknologi
modern seperti alat penyemprot pupuk serta alat perontok padi tersebut
dapat lebih meningkatkan kualitas maupun juga kuantitas dari suatu
tanaman.
C. Kota Bandar Lampung
1. Sumber Daya Manusia
Kepadatan penduduk paling besar di Kota Bandar Lampung terdapat pada
Kecamatan Tanjung Karang Timur yaitu sebanyak 18.628 jiwa/km2.
Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut kelompok umur, jenis
57
kelamin dan sex ratio menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2016 dapat
dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung menurut kelompok
umur, jenis kelamin dan sex ratio tahun 2016
Kelompok Umur
Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
0-4 47.007 45.410 92.417 104
5-9 47.458 44.967 92.425 106
10-14 40.623 39.234 79.857 104
15-19 45.056 49.315 94.371 91
20-24 51.789 50.715 102.504 102
25-29 45.741 42.919 88.660 107
30-34 40.954 39.078 80.032 105
35-39 38.405 38.669 77.074 99
40-44 37.467 36.784 74.251 102
45-49 31.681 30.648 62.329 103
50-54 26.706 26.027 52.733 103
55-59 19.563 19.527 39.090 100
60-64 13.588 12.477 26.065 109
65+ 16.380 19.540 35.920 84
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2017.
Kecamatan yang paling kecil kepadatan penduduknya adalah Kecamatan
Sukabumi yaitu sebanyak 2.476 jiwa/km2. Pada Tahun 2016, penduduk
Kota Bandar Lampung berjumlah sebanyak 997.728 jiwa dengan sex ratio
yaitu 101. Jumlah penduduk laki-laki di Kota Bandar Lampung lebih
banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Kelompok umur yang
memiliki jumlah penduduk paling tinggi yaitu pada kelompok umur 20
tahun hingga 24 tahun. Kelompok umur yang yang memiliki jumlah
penduduk paling rendah yaitu kelompok umur 60 tahun sampai dengan 64
tahun.
58
2. Perdagangan
Terdapat beberapa tempat perdagangan di Kota Bandar Lampung, mulai
dari pasar tradisional hingga pasar modern. Pasar tradisional yang terdapat
pada Kota Bandar Lampung menurut Dinas Perdagangan Provinsi
Lampung pada tahun 2018 terdapat 29 pasar yaitu pasar Bambu Kuning,
pasar Gudang Lelang, pasar Kangkung/Mambo, Pasir Gintung, pasar
Cimeng, pasar Panjang, pasar Induk Tamin, pasar Tugu, PERUMNAS
Way Halim, pasar Bawah, pasar Beringin Raya (Langkapura), pasar Baru
(SMEP), pasar Koga, pasar Cimeng, pasar Terminal Kemiling, pasar
Korpri, pasar Permata Biru, pasar Perum BKP, pasar Ambon, pasar
Untung, pasar Perum Bataranila, pasar Way Dadi, pasar Tempel Gotong
Royong, pasar Tempel Stasiun, pasar Tempel Wayhalim, pasar Tempel
Cahaya, pasar Tempel Sukarame 2, pasar Tempel Waykandis, dan juga
pasar Rajabasa.
D. Kota Metro
1. Sumber Daya Manusia
Penduduk Kota Metro pada tahun 2016 yaitu sebanyak 160.729 jiwa yang
terdiri dari sebanyak 80.429 jiwa penduduk perempuan dan 80.300 jiwa
penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk di Kota Metro pada tahun 2016
yaitu sebesar 2.338 jiwa/km2. Jumlah penduduk, kepadatan penduduk
menurut kecamatan di Kota Metro pada tahun 2016 dapat dilihat pada
tabel 18.
59
Tabel 18. Jumlah penduduk, kepadatan penduduk menurut kecamatan di
Kota Metro, 2016
No Kecamatan Jumlah Penduduk
(jiwa)
Kepadatan Penduduk
(jiwa/km2)
1 Metro Selatan 15.104 1.054
2 Metro Barat 27.947 2.478
3 Metro Timur 39.344 3.340
4 Metro Pusat 50.820 4.340
5 Metro Utara 27.514 1.401
Metro 160.729 2.338
Sumber: Kota Metro Dalam Angka, 2017.
2. Perdagangan
Terdapat beberapa tempat perdagangan di Kota Metro, mulai dari pasar
tradisional hingga pasar modern. Pasar tradisional yang terdapat pada
Kota Metro menurut Dinas Perdagangan Provinsi Lampung pada tahun
2018 terdapat 11 pasar. Pasar tersebut yaitu pasar Shopping Center Dan
Mall, pasar Kopindo, pasar Cendrawasih, pasar Sumur Bendung, pasar
Teto Agung, pasar Margorejo, pasar Sumbersari, pasar Ganjar Agung,
pasar Ruko Bertingkat, pasar Nuban Ria, dan pasar Terminal Kota.
E. Kabupaten Pringsewu
1. Sumber Daya Manusia
Kabupaten Pringsewu memiliki sebanyak 390.486 jiwa penduduk pada
tahun 2016 dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 200.092 jiwa dan
jumlah penduduk perempuan sebanyak 190.394 jiwa. Jumlah penduduk
dan rasio jenis kelamin menurut kecamatan di Kabupaten Pringsewu pada
tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 19.
60
Tabel 19. Jumlah penduduk dan rasio jenis kelamin menurut kecamatan di
Kabupaten Pringsewu pada tahun 2016
No Kecamatan Jenis Kelamin Rasio Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Pardasuka 17.932 16.509 34.441 109
2 Ambarawa 17.506 16.817 34.323 104
3 Pagelaran 24.066 22.531 46.597 107
4 Pagelaran Utara 8.037 7.498 15.535 107
5 Pringsewu 41.624 40.703 82.327 102
6 Gading Rejo 37.730 35.701 73.431 106
7 Sukoharjo 24.652 23.650 48.302 104
8 Banyumas 10.612 9.916 20.528 107
9 Adiluwih 17.933 17.069 35.002 105
Pringsewu 200.092 190.394 390.486 105
Sumber : Kabupaten Pringsewu Dalam Angka, 2017.
2. Perdagangan
Terdapat beberapa tempat perdagangan di Kabupaten Pringsewu, yaitu pasar
tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional yang terdapat di Kabupaten
Pringsewu menurut Dinas Perdagangan Provinsi Lampung terdapat 16
pasar, yaitu pasar pagelaran, pasar pringsewu, pasar pagi fajaresuk, pasar
sukoharjo, pasar banyumas, pasar adiluwih, pasar gading rejo, pasar
perdasuka, pasar baru, pasar margomulya, pasar sarinongko, pasar bulog,
pasar yogya, pasar banyuwangi, pasar pandan sari, dan pasar bandung baru.
E. Kecamatan Punggur
1. Sumber Daya Manusia
Jumlah penduduk Kecamatan Punggur pada tahun 2016 yaitu terdapat
sebanyak 38.510 jiwa. Jumlah penduduk pada Kecamatan dibagi sesuai
masing-masing desa. Banyaknya rumah tangga dan penduduk di Kecamatan
Punggur pada tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 20.
61
Tabel 20. Banyaknya rumah tangga dan penduduk di Kecamatan Punggur,
2016
No
Desa
Rumah
Tangga
Penduduk Jumlah
Laki-Laki Perempuan
1 Nunggal Rejo 1.186 2.384 2.321 4.705
2 Badran Sari 471 845 849 1.694
3 Sri Sawahan 662 1.190 1.153 2.343
4 Toto Katon 1.432 2.774 2.642 5.416
5 Tanggul Angin 1.596 3.329 3.127 6.456
6 Ngesti Rahayu 846 1.386 1.381 2.767
7 Mojopahit 922 1.673 1.579 3.252
8 Asto Mulyo 1.937 3.670 3.470 7.140
9 Sido Mulyo 1.165 3.525 2.382 4.737
Jumlah 10.217 19.603 18.907 38.510
Sumber: Punggur Dalam Angka, 2017.
2. Pertanian
Kecamatan Punggur merupakan salah satu Kecamatan di Lampung Tengah
yang memiliki produksi padi yang tinggi. Produksi padi gabah dan
produktivitas per hektar di Kecamatan Punggur pada tahun 2016 dapat
dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Produksi Padi Gabah Dan Produktivitas Per Hektar di Kecamatan
Punggur 2016.
Kampung Padi Sawah
(Ton)
Padi Ladang
(Ton)
Jumlah (Ton) Produktivitas
(Ton/Ha)
Nunggal Rejo 1.650 52 1.702 5,50
Badran Sari 1.824 - 1.824 6,00
Sri Sawahan 3.084 84 3.168 5,92
Toto Katon 6.504 - 6.504 6,00
Tanggul Angin 3.716 - 3.716 5,97
Ngesti Rahayu 5.188 32 5.220 5,93
Mojopahit 1.864 - 1.864 5,91
Aston Mulyo 8.138 12 8.150 5,98
Sido Mulyo 4.462 - 4.462 5,95
Jumlah 36.430 180 36.610 6,74
Sumber: Punggur dalam angka, 2017
96
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan HET beras medium belum efektif dilaksanakan di Provinsi
Lampung.pada bulan September 2017 hingga Februari 2018 dikarenakan
rata-rata harga beras medium di Provinsi Lampung sebesar
Rp.11.113,00/kg (di atas HET yang telah ditentukan).
2. Dampak dari Kebijakan HET beras yaitu sebagai berikut:
a. Kebijakan HET beras yang belum efektif dilaksanakan menyebabkan
Kebijakan tersebut tidak berdampak terhadap petani. Pada tingkat
petani terdapat perbedaan rata-rata harga jual gabah sebesar Rp.305/kg.
b. Kebijakan HET beras yang belum efektif dilaksanakan menyebabkan
Kebijakan tersebut tidak berdampak terhadap penyalur. Penyalur tetap
menjual beras di atas HET dikarenakan ketersediaan beras yang masih
kurang.
3. Rantai pasok beras medium sebelum dan setelah adanya Kebijakan HET
beras hanya terjadi perubahan pada aliran harga yaitu pada saat bulog
mengalirkan beras ke konsumen. Perbedaan aliran rantai pasok beras
penelitian sebelumnya dengan penelitian saat ini yaitu terdapat pada
jumlah saluran saluran pada aliran produk yang terbentuk. Pada penelitian
97
sebelumnya saluran pemasaran pada aliran produk rantai pasok beras
medium di Provinsi Lampung dibagi menjadi 4 saluran pemasaran
sedangkan dalam penelitian saat ini rantai pasok dibagi menjadi 6 saluran
pemasaran.
B. Saran
Saran dari skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah sebaiknya lebih banyak lagi melakukan sosialisasi mengenai
Kebijakan HET beras kepada para pelaku usaha beras khususnya
pedagang beras medium eceran dalam rangka meningkatkan efektifitas
Kebijakan HET beras.
2. Pedagang-pedagang beras eceran sebaiknya turut menjual beras bulog agar
konsumen yang membutuhkan dapat membeli beras dengan harga yang
relatif stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. R, dkk. 2013. Ekonomi Mikro edisi 2. Mitra Wacana Media. Jakarta.
Ali, M, N. dan D, Harsa. 2016. Produksi Tanaman Padi Provinsi Lampung 2011-
2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Lampung.
Anatan Lina. 2000. Supply Chain Management. Alfabeta. Bandung.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktik). Rineka Cipta.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2016. Rata-rata Harga Eceran Beras di Pasar Tradisional di
33 Kota 2011-2016. https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/954.
Diakses pada tanggal 26 Oktober 2017.
Badan Pusat Statistik. 2015. Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, 2015.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/387. Diakses pada tanggal
01 Desember 2017.
Badan Pusat Statistik. 2016. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat
Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kota Bandar Lampung dalam Angka 2017. BPS Kota
Bandar Lampung. Bandar lampung.
Badan Pusat Statistik. 2017. Lampung Tengah Dalam Angka (Lampung Tengah
Regency in Figures 2017). Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah.
Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2017. Punggur Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lampung Tengah. Gunung Sugih.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kota Metro Dalam Angka 2017. BPS Kota Metro.
Metro.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Pringsewu Dalam Angka 2017. BPS
Kabupaten Pringsewu. Pringsewu.
Badan Pusat Statistik. 2018. Provinsi Lampung Dalam Angka 2018. BPS Provinsi
Lampung. Lampung
99
Batinggi, A. dan B, Ahmad. 2014. Manajemen Pelayanan Umum. Universitas
Terbuka. Tangerang Selatan.
Bungin, B. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial lainnya). Kencana. Jakarta.
Bungin, B. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial lainnya). Kencana. Jakarta.
Dantes, N. 2012. Metode Penelitian. Andi. Yogyakarta.
Duwi Priyatno, 2010. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data
Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran. Gaya Media,
Yogyakarta.
Fitriani, Ismono, H., & Rosanti, N. (2011). Produksi dan tataniaga beras di
propinsi lampung. J-Sep, 5(1), 1–11.
Hakiki, G. 2017. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Harga pangan.id. 2017. Harga beras medium. https://hargapangan.id/. Diakses
pada tanggal 6 November 2017
Indrajit,R. dan R,Djokopranoto. 2002. Konsep manajemen supply Chain: Cara
Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Grassindo. Jakarta.
Kementrian Perdagangan. 2017. Mendag Tetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras
Medium dan Premium.
http://www.kemendag.go.id/id/news/2017/08/24/mendag-tetapkan-het-beras-
medium-dan-premium. Diakses pada tanggal 13 November 2017.
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 2017. Harga Eceran Tertinggi
(HET) beras http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2017/08/24/57m-
dagper82017-id-1504324387.pdf. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2017.
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 2017. Harga Acuan Pembelian.
http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2017/05/05/27m-dagper52017-id-
1496025997.pdf. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 2017.
Diakses pada tanggal 6 November 2017
Kuncoro, E, A. dan riduwan. 2008. cara menggunakan dan memaknai analisis
jalur path analysis. alfabeta. Bandung.
Lubis, I. 1984. Pengendalian dan pengawasan Proyek dalam Manajemen. Dalam
Saputra, H. 2015. Keefektifan Program Gerakan Serentak Membangun
Kampung (GSMK) Dalam Memberdayakan Pedesaan Di Kecamatan Rawa
100
Pitu Kabupaten Tulang Bawang. Skripsi Program Studi Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.
Mahmudi. 2015. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Unit Penerbit dan Percetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (YKPN). Yogyakarta.
Marimin, Djatna, dkk. 2013. Teknik dan Analisis Pengambilan keputusan Fuzzy
Dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor.
Martani, Lubis. 1987. Teori Organisasi. Dalam Dianti, I, A. 2017. Efektifitas
program Peningkatan Penghidupan masyarakat berbasis Komunitas (PPK)
dalam meningkatkan pendapatan anggota Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM). Skripsi Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP.
Pujawan, I. N. 2005. Supply Chain Management. Dalam Lestari, S. 2015. Analisis
Kinerja Rantai Pasok dan Nilai Tambah Produk Olahan Kelompok Wanita Tani
(KWT) Melati di Desa Tribudisyukur Kecamatan Kebun Tebu Lampung Barat.
Skripsi Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Lampung.
Republika.co.id.2016. Penduduk menengah kebawah di Indonesia.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/04/16/n447av-kelas-
menengah-di-indonesia-capai-567-persen. Diakses pada 6 November 2017.
Sangadji, E, M. Dan Sopiah. 2010. Netodologi Penelitian (Pendekatan Praktis
Dalam Penelitian). Andi. Yogyakarta.
Sarwono, J. 2011. Mixed Methods. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sedarmayanti.2009.Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.
Bandung: Mandar Maju.
Silalahi,U. 1996. Asas-Asas Manajemen.Mandar Maju. Bandung
Sujarweni, V, W. 2014. SPSS Untuk Penelitian. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Suparyono dan Agus, S. 1993. Dalam Mukti, N. 2017. Analisis Preferensi
Konsumen Terhadap Beras Siger. Skripsi Program Studi Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.
Schemerhon, J, R. 1986. Dalam Sucahyowati, H. 2017.Manajemen Sebuah
Pengantar. Wilis.
Widi, R, K. 2010. Asas Metodologi Penelitian (Sebuah Pengenalan dan Penuntun
Langkah Pelaksanaan Penelitian). Graha Ilmu. Yogyakarta.
top related