estetika gadis pantai.docx
Post on 25-Oct-2015
208 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan analisis pendekatan
estetika novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini tepat pada waktunya. Analisis
ini mengarah pada analisis struktural dan feminis.
Dalam penyusunan analisis ini, saya berharap karya-karya sastra Indonesia dapat
lebih dipahami dan dapat lebih diminati di kalangan luas karena novel ini beraliran realisme
yang berisi kejadian nyata dan kejadian-kejadian sehari-hari.
Saya berharap tugas ini dapat diterima. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Bogor, 30 Oktober 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................1
Kata Pengantar ......................................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................................3
Bab I. Pendahuluan .............................................................................................4
1.1. Latar Belakang ...........................................................................................4
Bab II. Landasan Teori .......................................................................................6
2.1 Feminisme ....................................................................................................6
2.2 Teori Strukturalisme ....................................................................................6
Bab III.Pembahasan……………………………………………………………….7
3.1 Feminisme .....................................................................................................7
3.2 Analisis Menggunakan Pendekatan Struktural ...........................................13
3.2.1 Tokoh dan Penokohan..............................................................................13
3.2.2 Tema.........................................................................................................18
3.2.3 Latar.........................................................................................................18
3.2.4 Alur atau Plot...........................................................................................20
3.2.5 Amanat.....................................................................................................21
3.2.6 Sudut Pandang..........................................................................................21
Bab IV. Penutup.......................................................................................................22
4.1 Kesimpulan.................................................................................................22
Daftar Pustaka..........................................................................................................23
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan,ataupun
perasaan seseorang dari apa yang dialaminya dimana ekspresi kreatif tersebut akan
senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pada satu sisi, karya sastra
merupakan bentuk refleksi sikap seseorang terhadap gejala yang muncul dari lingkungan
sekitar, termasuk bagaimana hubungan interaksi sesama manusia, nilai dan norma yang
berkembang dan mengikat di lingkungan sekitar, tradisi masyarakat, serta kebudayaan yang
telah mengakar di suatu daerah yang mempengaruhi kehidupan antarmanusia. Singkat kata,
karya sastra dapat menggambarkan sekaligus merefleksikan realitas sosial yang berkembang
di suatu lingkungan.
Begitu pun dengan salah satu karya sastra yang berbentuk novel. Novel sebagai karya
sastra merupakan penggambaran atas realitas sosial dan budaya yang direperesentasikan
melalui cerita yang di dalamnya dimuat bagaimana interaksi masyarakat, tradisi, nilai dan
norma, tatan sosial, serta kebudayaan yang berkembang. Sastra dan realitas sosial tidak bisa
dipisahkan. Realitas sosial yang kita temukan pada karya sastra, termasuk novel, merupakan
suatu cara pandang penulis dalam meluruskan realitas sosial yang melingkupi kehidupannya.
Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas
masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan gaya penulis masing-
masing.
Nilai estetika dalam novel yang menggambarkan realitas sosial pun menjadi unsur
yang mempegaruhi nyawa dari cerita tersebut. Pembaca dapat melihat bagaimana tatan sosial
yang digambarkan tidak hanya diceritakan secara naratif seperti layaknya membaca sejarah,
tetapi dapat menikmati unsur-unsur estetika di dalamnya. Estetika sastra yang diekspresikan
sastrawan dari tatan sosial bagaimanapun mempunyai akar budaya penciptaan, yang memberi
warna lain bagi teks sastra itu. Dalam bidang novel, kita menemukan para sastrawan yang
kembali pada akar tradisi masyarakatnya. Novel-novel Ahmad Tohari, Umar Kayam,
Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, dan Pramoedya Ananta Toer, kearifan lokal telah
memberi warna pada struktur narasi: latar, penokohan, dan konflik cerita. Di samping itu,
berkembang kekhasan para penulis yang menandai ekplorasi nilai estetisnya sendiri. Lahirlah
novel-novel yang mengandung nilai realisme sosialis seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
4
Salah satu contohnya, yaitu dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang sering
mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah dan perbandingan pada
masyarakat priyayi yang disajikan dengan gaya bahasa, yang mampu menghidupkan suasana
cerita dan mudah dipahami pembaca. Pram, begitu ia biasa dipanggil, bisa melahirkan karya
yang mengangkat kesukaran hidup kaum bawah karena pengalaman hidup yang sangat
berkesan, terutama yang mengangkat tentang kemelaratan, penindasan, kebodohan, serta
ketidak berdayaan mereka keberpihakan Pram terhadap wong cilik seakan menjadi obsesinya
yang tidak pernah berujung. Pram memang terkenal sebagai seorang penulis yang secara
realistis memotret kehidupan masyarakat pribumi dalam karya-karyanya. Tema-tema
karyanya yang humanis, memperjuangkan persamaan derajat manusia, dan menentang keras
sistem feodalisme
Salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang akan dibahas di sini ialah
novelnya yang berjudul Gadis Pantai. Roman Gadis Pantai ini adalah salah satu karya Pram
yang menggambarkan tatanan sosial kemasyarakatan Jawa yang masih terbelenggu sistem
feodalisme. Cerita yang dibawakan dalam novel ini merupakan gambaran dari sebuah
kehidupan yang terjadi secara nyata di dalam kehidupan keluarga almarhum sendiri. Gadis
pantai yang digambarkan oleh almarhum disini tidak lain adalah neneknya sendiri. Novel ini
menggambarkan kehidupan nenek almarhum yang pernah dijadikan sebagai istri percobaan
oleh seorang kaya pada masanya. Dengan gaya penulisannya, almarhum membawa pembaca
ke dalam suatu jaman feodal di tanah Jawa. Dalam pembahasan akan dibahas nilai-nilai
estetika yang terkandung dalam novel Gadis Pantai ini dengan menggunakan sejumlah
pendekatan estetika.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Feminisme
Secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang dalam
bahasa Inggris diterjemahkan menjadifeminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai
perempuan. Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal
tentang perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme diartikan
sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan
pria.
Dalam pengertian yang lebih luas, feminisme sekurang-kurangnya mencakup tiga
pengertian pokok.Pertama, feminisme merupakan pengalaman hidup, sebab ia tidak terlepas
dari sejarah munculnya, yaitu dari masyarakat patriarkhi. Dari sejarah hidup inilah kemudian
lahirlah kaum perempuan yang mempunyai kesadaran feminis. Kedua, feminisme sebagai
alat perjuangan politik bagi kebebasan manusia. Berangkat dari kesadaran feminisme inilah,
perempuan ingin melepaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan yang selama ini
dialaminya. Perjuangannya itu diletakkan dalam bentuk persamaan hukum (legal status) hak
memilih dan kesetaraan dengan laki-laki.
2.2 Teori Strukturalisme
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks
sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Strukturalisme
sebagai suatu paham menitikberatkan pada struktur. Prinsip struktural memandang bahwa
karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat.
Unsur tersebut tidaklah terpisah-pisah maupun berdiri sendiri, melainkan merupakan
hubungan antarunsur dalam keseluruhannya.
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Feminisme
Penelitian sastra feminis merupakan salah satu unsur dalam bidang interdispliner
kajian perempuan dan sastra. feminisme dapat dipahami sebagai suatu aliran pemikiran yang
menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan kaum feminis,
masyarakat pada umumnya memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah
daripada laki-laki. Dalam novel Gadis Pantai struktur dari sistem feminisme sangat terlihat
melalui iterpretasi tokoh utamanya “Gadis Pantai” disini terlihat bahwa kesetaraan gender
pada umumnya menyangkut tentang hak-hak perempuan, hak perlindungan untuk wanita
pekerja dan hak untuk menyetarakan derajat suami maupun istri ketika sudah berumah
tangga, namun dalam konteks yang di ceritakan dalam novel tersebut hal ini masih saja di
dominasi oleh kultur patriarki.
Hubungan antara Gadis Pantai yang sudah menjadi Mas Nganten dengan suaminya yang
Bendoro Bupati, bukanlah selayaknya hubungan antara suami dan isteri, melainkan hubungan
antara pelayan dengan tuannya. Gadis Pantai sudah diberi tahu beberapa aturan dan perkataan
yang harus ia ucapkan ketika berbicara dengan suaminya.
“Sahaya Bendoro” kata inilah yang sering diulanginya untuk menjawab pertanyaan
Bendoro.
Pernyataan ini pula yang sering dikatakan oleh mBok kepadanya. Jadi hubungan
antara suami isteri ini tak berjalan normal. Gadis Pantai dengan keluguannya hanya bisa
protes dan meluapkan berbagai pertanyaan pada mBok dan tak bisa ia utarakan pada
Bendoro.
Gadis Pantai sadar bahwa dirinya telah berubah, bahkan kehilangan kebebasan.
“Gadis Pantai tersadar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan tak
boleh bergerak. Ia tersedan-sedan seorang diri. Dan tak ada seorang pun peduli
padanya. (2011: 35)
Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun
yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah
beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak
7
terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka
miskin.” (2011: 41)
Mendengar ini, Gadis Pantai ingin berontak, namun ia tak berani mengatakan apapun.
Dalam narasi terdapat penjelasan yang digumamkan mBok dalam hati tentang kedudukan
Gadis Pantai sebenarnya.
Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini
membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dengan
kaum Bendoro di daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah
dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu
latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang
setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan
istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan, itu
penghinaan bila menerimanya. (2010: 80)
Dari narasi mBok pada halaman lain, dapat kita lihat kelas sosial antara Gadis Pantai
dengan Bendoro Bupati. Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak
berani. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa sedikitpun
mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai
melahirkan anak pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui
jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini
lebih menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak boleh
bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi Bendoronya, orang yang
harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya sendiri, dan dengan lemah-lembut
dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang. (2010: 98)
Dengan kedudukan yang dirasa lebih rendah, Gadis Pantai tidak memiliki kebebasan
berbicara pada siapapun. Namun, akhirnya ia sadar tentang posisinya yang sekarang.
Begitulah lama-lama ia mengerti, di sini ia menjadi seorang ratu yang memerintah
segala. Hanya ada seorang saja yang berhak memerintahnya: Bendoro, tuannya,
suaminya. (2010: 82)
Gadis Pantai juga menggugat hubungan antara suami-istri yang berbeda antara orang
kota dan kampung.
“Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara?”
8
“Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota -- dunia kepunyaan lelaki.
Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai
lelaki, Mas Nganten.(2010: 87)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Gadis Pantai dan
Bendoro bukanlah hubungan suami-istri yang normal. Melainkan hanyalah hubungan antara
majikan dan pelayan. Kelas Bendoro yang lebih tinggi membuat Gadis Pantai yang kelasnya
lebih rendah hanya sebagai pemuas seksualnya saja. Meskipun dalam ikatan pernikahan yang
syah, Gadis Pantai tetaplah seorang sahaya: istri percobaan yang bisa berganti kapan saja
Bendoro inginkan.
Perbedaan Kelas Sosial antara Bendoro Bupati dengan mBok
Narasi deskripsi fisik Bendoro Bupati dari sudut pandang Gadis Pantai ini
menunjukkan kelas sosial antara Bendoro dengan mBok.
Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan
berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera putih dan
bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis. Ia lihat orang itu
membangunkan bujang dengan kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung
tikar dengan bantal di dalamnya, merangkak mundur kemudian berdiri membungkuk, keluar
dari pintu lenyap dari pandangan. (GP 2003: 31)
Bendoro Bupati membagunkan bujang dengan kakinya. Narasi ini menunjukkan
betapa rendah kelas sosial seorang bujang di mata tuannya, bahkan untuk membangunkan
saja, tangannya tak sudi menjamah tubuh bujang itu, justru dengan kakinya. Seolah kaki
majikan ini sama rendahnya dengan harga diri pelayannya. Kaki menjadi simbol yang
menunjukkan bahwa kelas sosial pelayan lebih rendah daripada majikan.
Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan mBok
Status sosial Gadis Pantai berubah setela ia dinikahkan oleh Bendoro Bupati. Tampak
perbedaan kelas sosial antara Gadis Pantai yang sekarang dipanggil Mas Nganten atau
Bendoro Puteri dengan wanita utama yang menjadi pelayannya.
Gadis Pantai berdiri dari kursi. Bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah. Mengapa ia
membungkuk? Sebentar tadi ia masih sesamanya. Mengapa ia begitu merendahkan dirinya
sekarang? Gadis Pantai jadi bimbang, takut, curiga. Apakah semua ini? (2011: 26)
9
Seperti kata Emaknya, derajat hidup atau status sosial Gadis Pantai berubah atau
semakin meningkat karena ia telah menjadi Nyonya Bendoro Bupati. Sehingga hal ini
menimbulkan kesenjangan dalam hubungan antara Gadis Pantai dan mBok. Gadis Pantai
sudah berubah status menjadi Bendoro Putri dan mBok adalah sahayanya.
“Mengapa mBok tidur di bawah? Mengapa tak mau di sampingku sini?”
“Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah, seperti sahaya begini
menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya.”(GP 2003: 64)
Beginilah perbedaan kelas sosial antara isteri majikan dan pelayan. Perlakuan
istimewa yang ditunjukkan pelayan merupakan bentuk pengabdian. Meskipun Gadis Pantai
memiliki kedudukan lebih mulia sebagai istri majikan, namun ia sebenarnya tidak
menginginkan adanya kesenjangan. Ia membutuhkan seorang teman, ketika suaminya --
Bendoro Bupati pergi. Perbedaan kelas sosial tak memungkinkan hal itu terjadi.
Perbedaan Kelas Sosial antara dua Perempuan (Gadis Pantai dan Mardinah)
Setelah mBok diusir, datanglah seorang perempuan muda bernama Mardinah untuk
menggantikan tugas mBok melayani wanita utama. Namun, sikap Mardinah berbeda dari
patutnya sikap seorang pelayan. Mardinah justru tidak menghormati Gadis Pantai sebagai
wanita utama, ia merasa dirinya lebih mulia karena berasal dari kota yang pandai membaca
dan menulis, sehingga ia melakukan apapun yang diinginkannya. Medapati sikap yang
demikian, Gadis Pantai tidak tinggal diam.
“Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang kampung tidaklah sopan tidur di tempat
orang lain tanpa ijin.” (GP 2003: 127)
Ada satu bagian cerita ketika Gadis Pantai kembali ke kampungnya ditemani oleh
Mardinah. Mardinah masih sama dengan sifatnya sebagai orang kota yang memandang orang
kampung sebagai kelas rendah. Namun, Gadis Pantai sadar akan posisi superioritasnya yang
sekarang. Ia menyuruh Mardinah pulang ke kota.
“Kau dengar, Mardinah? Di sini, di tempat Bendoro suamiku tak ada, akulah
Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat,
kau mesti menginap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri.” (GP 2003: 161)
Konflik antara Gadis Pantai dan Mardinah terus berlangsung hingga akhirnya
terungkap kedok Mardinah yang mempunyai maksud jahat pada Gadis Pantai. Mardinah
ingin merebut posisi Gadis Pantai sebagai wanita utama, ia juga berencana akan membunuh
Gadis Pantai. Mengetahui rencana busuk ini, penduduk kampung memberikan hukuman pada
Mardinah dengan cara menikahkannya dengan pemuda kampung yang sama-sama dicurigai
10
berkhianat pada kampungnya sendiri. Di sinilah kelas sosial menjadi berbalik. Jika Gadis
Pantai menikah dengan Bendoro Bupati untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi serta
kehormatan dalam kelas bangsawan. Sementara Mardinah justru harus menerima
konsekuensi atas perbuatan jahatnya itu dan akhirnya menikah dengan pemuda kampung
yang status sosialnya lebih rendah.
Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai (yang menjadi wanita utama) dengan Emak dan
Bapak kandungnya.
Perbedaan kelas ini terjadi ketika pertengkaran antara Gadis Pantai dan
Bapaknya. Gadis Pantai mengeluh karena tidak betah dan ingin pulang ke kampungnya.
Kemudian, wanita tua yang menjadi pelayan Gadis Pantai memberi penjelasan tentang
kedudukan Mas Nganten sekarang yang telah berubah, berbeda dengan bapak dan emaknya.
“Kalau wanita utama suka,” bujang itu meneruskan, “Mas Nganten bisa usir bapak
dari kamar.”
Gadis Pantai meronta dari pelukannya di dada emak. Ia terisak-isak. Sekarang ia
berlutut merangkul kaki bapak. “Ampuni aku bapak, pukullah anakmu ini.” (GP 2003: 45)
Dari penjelasan mBok tentang perubahan kedudukan Gadis Pantai yang sekarang
yang dulu, membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi berubah. Perlakuan orang
tua terhadap anak juga berubah karena status sosial yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas sosial lebih jauh dapat meleburkan hubungan sedarah. Kelas sosial telah
mengubah hubungan sedarah antara orang tua dan anak kandungnya.
Gadis Pantai tidak hanya dimuliakan oleh kedua orang tua kandungnya, tetapi ia juga
dibanggakan penduduk kampungnya.
Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang
kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. (GP 2003: 170)
Namun, ternyata kemuliaan ini tak bertahan lama. Gadis Pantai diusir dari rumah
Bendoro Bupati setelah melahirkan anak perempuan. Karena pengusiran dan perceraiannya
dengan Bendoro Bupati, Gadis Pantai kembali ke status awal yang disandangnya. Gadis
Pantai menjadi sahaya, seperti orang kebanyakan. Dan ingatan tentang masa lalu, saat para
penduduk menghormatinya ini membuat Gadis Pantai tak kembali ke kampungnya bersama
Bapaknya. Gadis Pantai lebih memilih untuk mencari wanita tua yang melayaninya selama di
gedung. Sebelum pergi, wanita tua itu pernah bercerita bahwa mungkin saja ia pergi ke
Blora.
11
Kesadaran Perempuan (Gadis Pantai) terhadap Opresi
Opresi (Opression) secara sederhana diartikan sebagai penindasan. Bell Hooks
mendefinisikan feminisme sebagai perjuangan mengakhiri penindasan yang bersifat seksis.
(Gamble, 2010: 374). Adapun analisis Marxis mengenai kelas telah menyediakan bagi para
feminis beberapa alat konseptual yang diperlukan untuk memahami opresi terhadap
perempuan. (2010: 146). Dengan demikian, opresi bisa diartikan sebagai tekanan atau
ketimpangan yang dihadapi perempuan. Dalam beberapa hal, Gadis Pantai sebagai
perempuan sadar akan dirinya yang telah teropresi oleh aturan, oleh Bendoro Bupati, dan
oleh posisinya sekarang yang telah menjadi Bendoro Putri.
Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam direnggut dari rumpunnya. Harus
hidup seorang diri, di tengah orang yang begitu banyak. Tak boleh punya sahabat, Cuma
boleh memerintahkan. (GP 2003: 46)
Gadis Pantai juga sadar akan tubuhnya yang telah berubah. Dirinya telah menjadi
seperti yang bukan dirinya lagi, tapi dirinya yang lain yang telah terkonstruksi oleh aturan di
gedung itu.
Pada cermin Gadis Pantai melihat wajahnya sendiri: itu bukan diriku! Pekiknya dalam
hati. Wajah itu memang bukan wajahnya yang kemarin dulu. Wajah itu seperti boneka, taka
da tanda-tanda kebocahannya lagi yang kemarin dulu. (GP 2003: 49)
Apabila kita kembali merujuk pada pendekatan Feminisme Marxis, ada yang disebut
sebagai alienasi, salah satunya adalah alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin
yang diciptakan oleh sistem yang patriarkal. Gadis Pantai merasakan alienasi ini yaitu setelah
ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia dipisahkan dengan anaknya. Kuasa Bendoro
Bupati teramat kuat, dan Gadis Pantai telah diceraikan dan diusir dari rumah gedung itu.
Dengan berat hati, ia tinggalkan anaknya.
“Aku pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini berat rasanya. Biarlah ia tak perlu
tahu emaknya. Dia akan jadi seperti bapaknya. Ia akan memerintah. Dia akan tinggal di
gedung -- tak perlu melihat laut. Ah, bapak, aku harus berikan semua itu. Aku harus
berikan.”(GP 2003: 267)
Gadis Pantai dan bapaknya pulang ke kampung, namun dalam perjalanan pikiran
Gadis Pantai berubah. Ia tak ingin pulang ke kampungnya, ia ingin mencari wanita tua yang
pernah melayaninya di gedung. Seingatnya wanita tua itu pergi ke Blora. Gadis Pantai tak
sanggup kembali ke kampungnya, ia pun berpisah dengan bapaknya.
12
3.2 Analisis Menggunakan Pendekatan Struktural
3.2.1 Tokoh dan Penokohan
Mayoritas dalam sebuah cerita biasanya seorang penulis cerita memberikan nama
pada tokoh yang menjalankan cerita tersebut. Tetapi dalam novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer tokoh – tokohnya tidak diberikan nama. Sehingga para pembaca bisa
berimajinasi dengan tokoh – tokoh yang ada dalam di novel ini.
Istilah penokohan atau perwatakan adalah mencangkup masalah pelukisan tokoh
cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya,
adat-istiadat, dan sebagainya.Yang diangkat pengarang dalam karyanya adalah manusia dan
kehidupannya. Adapun tokoh sentral dalam novel Gadis Pantai yaitu Gadis Pantai dan
Bendoro. Tak hanya tokoh sentral, adapun tokoh pendukung yaitu Emak, Bapak, mBok, dan
Mardinah.
A. Gadis Pantai
Gadis Pantai merupakan wanita muda dengan usia yang belum menginjak masa
dewasa. Ia berkulit kuning langsat, tubuh kecil mungil, mata sipit, dan hidung ala kadarnya
yang menjdikan dia seorang kembang desa di perkampungan nelayan. Dalam gambaran
hidupnya Gadis Pantai tidak pernah hidup neko – neko, penuh dengan kesederhanaan, dan tak
pernah terpintas ia hidup berkelimang harta dan kemewahan.
Dalam usianya yang sedang beranjak remaja, Gadis Pantai dipersunting oleh seorang
priyayi yang kehidupannya 180 derajat berbeda dengannya. Sejak menikah dengan priyayi
tersebut kehidupan Gadis Pantai berubah dan ia menjadi wanita utama dengan sebutan Mas
Nganten yang dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?”
Bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Dipandanginya majikannya yang baru dan
terlampau muda itu, dibelainya dagunya yang licin seperti ikan lele. Dan akhirnya dengan
empu jari ia menuding ke dada orang yang dilawannya bicara.
“Sahaya?”
Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditahan. Membenarkan. “Pada aku ini Mas
Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas
Nganten.”
Hari – hari yang dilalui di gedung mewah itu membuat ia kesepian. Setiap hari ia
selalu ditemani oleh bujangnya yang senantiasa menemani. Meskipun Gadis Pantai dianggap
13
majikan oleh bujang yang mengurusnya, Gadis Pantai tidaklah sombong dan tinggi hati. Ia
malah ingin sekali membagi kebahagiaan dan harta yang telah dimilikinya kepada mBok
yang mengurusinya.
“mBok sayang padaku, mBok?”
“Bukan sayang lagi, Mas Nganten.”
“Ambillah gelang itu! Atau kalung.”
“Jangan ulangi lagi, Mas Nganten. Kalau sahaya diusir dari sini, ke mana lagi sahaya mesti
pergi? Dunia memang luas, Mas Nganten, tapi mau kemana? Susah.”
Semakin lama setelah mBok diusir pergi oleh Bendoro suaminya, di rumah tersebut ia
merasa sendirian. Tak ada yang memperhatikannya begitu pula suaminya sendiri. Suaminya
jarang sekali mengunjunginya biarpun Gadis Pantai senantiasa beruusaha memjadi istri yang
berbakti pada suaminya. Di pernikahannya yang menginjak usia kedua, Gadis Pantai
mengandung. Tetapi suaminya masih saja acuh tak acuh terhadapnya.
Akhirnya Gadis Pantai melahirkan anak pertamanya dengan jenis kelamin perempuan.
Semenjak kelahiran anak yang dikandung adalah perempuan, Bendoro suami Gadis Pantai
semakin tak peduli dengan keadaannya. Lebih dari itu, setelah usia anak perempuannya
beranjak tiga setengah bulan Gadis Pantai di ceraikan dan diusir tak memperbolehkan
membawa bayinya. Pada saat yang benar – benar menyakitkan Gadis Pantai berusaha tegar
dan masih memikirkan keadaan Bapak dan Emaknya.
“Jangan jala dulu, man!”
“Mengapa kau nak?”
“Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!”
“Nak.”
Gadis Pantai bersimpuh mencium kaki bapak. Kainnya bergelimangan pasir basah.
“Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para tetangga, dan semuanya.
Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi bawa diriku sendiri.”
“Kau sudah janji takkan balik ke kota, nak?”
“Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok aku pergi ke selatan.”
“Kau mau ke mana?”
“Ke Blora, bapak.”
“Kau mau ikut siapa?”
“Dulu aku punya pelayan. Dia sudah diusir. Mungkin ke sana dia pergi, bapak.”
14
B. Bendoro
Tokoh sentral lainnya adalah Bendoro. Laki-laki bertubuh tinggi kuning langsat
berwajah agak tipis dan berhidung mancung hidup dengan keadaan tanpa kekurangan sedikit
pun, rumah mewah, barang – barang berharga, santri yang menurut orang lain alim,
berpendidikan, tekun, taat beribadah, dan sudah dua kali naik haji. Ia adalah anak seorang
priyayi Jawa yang disegani oleh kebanyakan orang.
“Bendoro sudah bangun,” Kepala kampung memperingatkan.
Semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi
berat sayup terseret – seret di lantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar.
Tidak hanya itu, semua perintah yang diperintahkan oleh Bendoro pun harus
dilaksanakan tanpa alasan. Disini akan terlihat jelas siapakah sebenarnya Bendoro terdapat
pada kutipan
“Mulai hari ini nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah
pembicaraan: “Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali naik haji, entah berapa kali
khatam Quran. Perempuan nak, kalai sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki
baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?”
Hari – hari Bendoro sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tak ada yang berani
menanyai apa kesibukan yang ia lakukan. Sampai – sampai ia jarang sekali di rumah dan
meninggalkan Gadis Pantai berhari – hari tanpanya. Pada awal pernikahan Bendoro bersifat
baik, perhatian, berwibawa, penuh kasih sayang terhadap Gadis Pantai. Dapat terlihat dalam
kutipan ini.
“Ah, kau bukan sahayaku. Kau temanku. Mari, nak, mari nak berdiri.” Tapi Gadis
Pantai tetap berjongkok di atas lantai. Bendoro mengusap – ngusap rambutnya, turun dari
ranjang, mengangkatnya dari bawah kedua belah ketiaknya. Dan bangunlah Gadis Pantai.
“Mari, nak, mari.”
“Sahaya, Bandoro.”
“Aku terlalu lelah, Mas Nganten. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur.”
“Inilah sahaya Bendoro.”
“Naiklah ke ranjang, Mas Nganten.”
“Sahaya, Bendoro.” Dan naiklah Gadis Pantai ke atas kasur.
15
Seiring berjalannya waktu, sifat asli Bendoro mulai terlihat. Dengan kedudukan yang
ia meliki, Bendoro semena – mena mengusir orang tanpa ada alasan yang jelas. Itu pun
terjadi pada Gadis Pantai. Ketika pernikahannya masuk tahun ke dua Bendoro mulai dingin
dengan Gadis Pantai. Terlebih ketika mengetahui bahwa Gadis Pantai sedang mengandung
anak dari Bendoro dan anak tersebut adalah anak perempuan.
Dan malam itu waktu tamu yang diharapkan datang, ia tergeletak tanpa daya di dalam
kamar. Kepalanya dirasainya sangat berat seakan tak mau diangkat lagi buat selama –
lamanya. Dan waktu Bendoro masuk ke dalam kamarnya untuk menegurnya, ia hanya
menutup wajahnya dengan bantal. Bendoro mengangkat bantal itu dan meraba keningnya.
“Kau mengandung,” bisiknya kemudian dan segera meninggalkan kamar.
C. Emak dan Bapak
Emak dan bapak adalah orang tua dari Gadis Pantai yang ingin sekali melihat
kehidupan anaknya lebih layak dari kehidupannya. Dan dia selalu meyakinkan bahwa Gadis
Pantai akan baik – baik saja dan hidup bahagia.
“Ssst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar.”
Ia tak tahu apa yang di hadapinya. Ia hanya tahu ia kehilangan seluruh hidupnya.
Kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal dimana ia suka, di antara
orang – orang yang tersayang dan dicinta, di bmi dengan pantai dan ombaknya yang amis.
“Ssst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di
gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tetapi sutera
nak:Sst, sst. Jangan nangis.”
.........”Bapakmu benar, nak. Mana ada orangtua mau lemparkan anaknya pada singa?
Dia ingin kau senang seumur hidup, nak. Lihat aku, nak, dari kecil sampai setua ini, tidak
pernah punya kain seperti yang kau pakai.”
D. mBok
mBok adalah seorang bujang wanita yang sudah tua. Dalam cerita ini dia pendamping
Gadis Pantai. Sejak kedatangan awal Gadis Pantai mBok selalu memberikan yang terbaik
bagi Gadis Pantai. mBok mendongengkan cerita kehidupan pada masa itu, mendongengkan
kisahnya sewaktu masa kompeni penjajahan Belanda, hingga mengajarkan Gadis Pantai
menjadi wanita besar. Disini mBok menyayanyi Gadis Pantai bagai putrinya sendiri.
Terdapat pada kutipan berikut ini.
16
“Sekarang Mas Nganten seorang wanita utaman tinggal di gedung sebesar ini. Tak
ada orang berani gangu bapak, sekali pun bapak tinggal di kampung nelayan di tepi pantai.
Bendoro – bendoro priyayi tak berani ganggu, kompeni juga tak berani ganggu. Bapak tak
perlu lagi lari dengan perahu, tinggal di pulau – pulau karang anak – beranak. Tidak. Bapak
sekarang jadi orang terpandang di kampung. Setiap orang bakal dengar katanya. Senang –
senangkan hati Mas Nganten.”
“Bagaimana bisa tahu semua itu, Mbok?”
“Sahaya banyak tahu, Mas Nganten. Terlalu banyak Bendoro sendiri kadang –
kadang tanya pada sahaya.”
“mBok sayang padaku, mBok?”
“bukan sayang lagi, Mas Nganten.”
E. Mardinah
Mardinah adalah perempuan yang hadir ditengah – tengah gelisahnya Gadis Pantai
ditinggal orang yang dekat sekali dengannya yaitu mBok. Sebut saja Mardinah yaitu
perempuan yang dikirimnya untuk menjadi pelayan Mas Nganten yang dikirimkan dari
Bendoro Putri Demak. Sifat dan sikapnya berbanding terbalik dengan mBok. Dia berani dan
tidak memiliki sopan santun kepada Gadis Pantai.
“Lantas siapa Bendoromu?”
“Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri.”
“Dan aku?”
“Ah, Mas Nganteng. Mas Nganten kan orang kampung?”
Jantung Gadis Pantai terguncang. Dengan sendirinya ia bangkit dan duduk,
menantang wajah Mardinah. Tapi ternyata Mardinah membalas tatapan matanya tanpa
sedikit pun ragu – ragu. Melihat mata yang berapi – api, Gadis Pantai menjadi takut,
menyesal diri.
“Benar aku orang kampung, dan aku tidak menyesal bersal dari kampung. Siapa kau
sebenarnya?”
“Yang jelas, sahaya bukan berasal dari kampung.”
“Apa hinanya orang kampung?”
“Setidak – tidaknya dia sebangsa kuli.”
Tidak hanya tak memiliki sopan santun tetapi Mardinah termasuk perempuan yang
sombong. Dia menganggap dirinya bukan berasal dari kampung.
17
“Buat apa kau dekat aku?”
“Takut.”
“Kau! Cuma aku tak kau takuti.”
“Sahaya benci pada kampung. Kampung mana saja.”
“Pergi, cepat!”
3.2.2 Tema
Novel Gadis Pantai sempat dicekal pada zaman orde baru tak hanya dicekal tetapi
mendapatkan kritikan pedas karena alur ceritanya. novel ini mengangkat tema tentang
penindasan akibat kesenjangan sosial yang terjadi pada masa itu.
3.2.3 Latar
Setiap karya sastra secara umum pasti ada unsur latar. Baik novel maupun cerpen
dituntut untuk memuat penceritaan yang dipusatkan pada sebuah tokoh, alur yang sistematik
dan menarik serta adanya latar yang mendukung setiap kejadian. Latar adalah sebagai
landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Adapun unsur – unsur latar itu ada tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Ketiga unsur tersebut memiliki permasalahan yang berbeda – beda. Akan tetapi ketiganya
saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam alur cerita. Di dalam novel
Gadis Pantai telah tergambar bahwa terdapat tiga latar.
A. Latar Tempat
Ada beberapa latar tempat yang ada dalam cerita novel Gadis Pantai. Yang pertama
terdapat di derah kampung nelayan dimana terdapat di daerah Jepara Rembang. Di tempat
itulah seorang kembang desa dengan sebutan Gadis Pantai oleh si penulis dilahirkan.
Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara
Rembang. Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangnya oleh perahu – perahu
yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan
ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka.
Si penulis pun menggambarkan kehidupan dan keadaan di desa Gadis Pantai dengan
tersurat. Gambaran tersebut terlihat dari kutipan di dalam novel.
“Tak perlu kalau tak suka. Aku tahu kampung – kampung sepanjang pantai ini. Sama
saja. Sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor miskin,
18
orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu
agama. Dimana banyak terdapat kotoran, orang – orang di situ kena murka Tuhan, rezeki
mereka tidak lancar, mereka miskin.”
Kehidupan Gadis Pantai berubah semenjak ia dipersunting oleh seorang priyayi Jawa.
Ia mengenal kota dan dia memulai hidup di dengan kenyamanan di sebuah rumah yang
mewah. Kehidupan kota dan kehidupan baru di gedung-gedung mewah dan gagah itu dapat
kita lihat dalam kutipan.
Dokar mulai memasuki halaman dengan deretan toko orang Tionghoa. Semua itu
pernah dilihatnya dua tahun yang lalu, waktu dengan orang – orang sekampung datang
beramai ke kota, nonton pasar mala. Ia masih ingat buaya yang dipajang di atas pintu toko
sepatu. Ia masih ingat toko pabrik tegel dengan bunga – bunganya yang berwarna – warna. Ia
masih ingat gedung – gedung besar dengan tiang – tiang yang tak dapat dipeluknya, putih,
tinggi, bulat.
Bujang itu pergi masuk ke dalam pntu yang menganga dari pagar tembok agar rendah.
Barang kemana mata ditunjukkan, bila tak ke atas, yang nampak hanya warna putih kapur
tembok. Sedang di samping kanan iringan pengantin, di gedung utama, membubung lantai
setinggi pinggang, kemudian sebuah pendopo dengan tiga baris tiang putih. Gadis Pantai
takkan bisa memeluknya, bapak pun barangkali tidak. Tiang – tiang itu lebih besar dari
pelukan tangan manusia. Setiap baris terdiri dari enam tiang.
Dari cerita tersebut kehidupan orang kota dengan kehidupan orang desa sangat berbeda.
Kehidupan orang kota adalah kehidupan orang – orang kaya yang hidupanya penuh dengan
kemewahan dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Dan orang desa dinilai orang yang kotor
dan orang miskin.
B. Latar Waktu
Latar waktu yang terjadi dalam novel Gadis Pantai adalah pada memasuki abad
duapuluh. Disini dapat kita lihat dari kutipan yang terdapat pada halaman pertama.
Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kuning langsat....... Ia telah tinggalkan abad
sembilan belas dan memasuki abad duapuluh. Angin yang bersuling di puncak pohon –
pohon cemara tidak membuat pertumbuhannya lebih baik.
Dalam novel Gadis Pantai ini sempat sekilas diceritakannya pada masa Raden Ajeng
Kartini yaitu sosok perempuan dari golongan priyayi yang ingin membebaskan perempuan –
perempuan dari golongan masyarakat kecil untuk dapat mendapatkan ilmu seperti yang ia
selalu dapatkan. Dan tak hanya sekilas tentang kehidupan sewaktu jaman RA Kartini saja
19
yang diceritakan tetapi sewaktu jaman kompeni yang keji yang tak mengenal gender disini
pun sempat dicerikan.
“Ya Mas Nganten. Begitulah cerita orang kebanyakan seperti sahay ini. Sahaya
kawin, dan karena udah kawin lantas dianggap dewasa oleh lurah. Lantas saya dikirim ke
Jepara sana buat kerja rodi, tanam coklat. Suami sahaya ikut. Empat bulan lamanya, Mas
Nganten. Anak sahaya gugur sebelum dapat menghirup udara, Mas Nganten. Perut sahaya
disepak mandor. Ya, apa mau dikata. Waktu itu kepala sahaya pening, duduk berteduh di
bawah pohon. Dia datang. Tiba – tiba datang pembesar Belanda dengan beberapa kompeni.
Mandor menarik – narik tangan sahaya supaya kerja lagi. Tapi sahaya sudah lemas. Dia sepak
perut sahaya. Pemandangan sahaya berputar – putar. Tapi masih sahaya dengar laki sahaya
datang berlari – larian, memekik sahaya seperti orang gila. Lantas sahaya tak sadarkan diri.”
Perubahan – perubahan yang positif sebetulnya baru menyentuh terhadap golongan
masyarakat terpelajar, priyayi, dan masyarakat menengah keatas. Perubahan tersebut belum
menyentuh pada masyarakat menengah kebawah seperti Gadis Pantai yang diceritakan dalam
novel Pram. Dengan latar waktu abad 20an telah tergambar bagaimana kondisi budaya pada
jaman itu. Sangat jelas sekali ada dua golongan yang terpampang yaitu golongan priyayi
dengan golongan masyarakat kebanyakan atau wong cilik. Golongan priyayi memiliki
kekuasaan besar yang bertindak semena – mena dan golongan wong cilik tidak boleh
mengelak apa yang diperintahkan oleh golongan priyayi tersebut
C. Latar Sosial dan Budaya
Latar sosial dalam novel Gadis Pantai disini yaitu terdapat pada perbedaan dua
golongan yaitu golongan priyayi dengan golongan orang – orang bawahan atau bisa disebut
dengan wong cilik. Golongan priyayi disini digambarkan sebagai pemegang kekuasaan atas
segala hal dan ia dapat memerintah sesuka hatinya kepada wong cilik dan tak boleh ada yang
membantahnya. Mereka merasa pemegang kekuasaan karena ia merasa dirinya memiliki
kekayaan, dan ilmu yang dapat mengangkat derajatnya. Novel Gadis Pantai ini terlihat jelas
ada sistem feodalisme Jawa.
3.2.4 Alur atau Plot
Alur cerita yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang
berjudul Gadis Pantai adalah alur maju. Dengan memiliki alur maju, lebih mudah untuk
menganalisis menggunakan pendekatan struktural yang sesuai dengan kaidahnya.
20
Cerita dimulai dari suatu desa yang berada di pesisir utara tepatnya di kampung
nelayan hidup seorang remaja Gadis Pantai yang akan dinikahi oleh seorang priyayi tanpa
adanya pertemuan dan cinta yang mereka jalin terlebih dahulu. Kemudian si gadis dibawa
oleh bujang – bujang untuk tinggal di Kota yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan
Gadis Pantai. Disana lah kehidupan baru dimulai. Dibagian kedua Gadis Pantai telah
memasuki tahun kedua dalam pernikahannya. Dia mulai terbiasa bagaimana kehidupan para
petinggi priyayi. Disana ia mulai mengenal agama, keterampilan, dan etika sebagai wanita
utama. Dan tak hanya itu secara psikologi Gadis Pantai semakin dewasa dan mengerti
bagaimana mengurus suami yang baik. Dibagian yang ketiga, muncul konflik-konflik dimana
kerabat Bendoro ingiin menyingkirkan Gadis Pantai dengan wanita sederajatnya. Pada tahun
kedua pernikahan ternyata Gadis Pantai mengandung anak dari pertama dari Bendoro tetapi
diluar dugaan setelah anak Gadis Pantai berusia tiga bulan, Bendoro tega mengusir Gadis
Pantai tanpa membawa anaknya. Dan pada akhirnya karena Gadis Pantai tidak ingin
membuat orang tuanya malu dia pergi ke Blora dan memulai kehidupan baru disana.
3.2.5 Amanat
Amanat merupakan pesan dalam dongeng yang disampaikan oleh para pengarang kepada
pembacanya. Setelah kita membaca novel ini penulis ingin menyampaikan amanatnya yaitu
kebudayaan ditanah Jawa merupakan kebudayaan yang diturunkan hasil dari penjajahan
Belanda yang sebagian besar ada unsur feodalisme dimana kalangan pribumi selalu
dirugikan.
3.2.6 Sudut Pandang
Berdasarkan alur ceritanya novel Gadis Pantai ini menggunakan sudut pandang orang ketiga
maha tahu yang dapat kita liat melalui cara pendeskripsiannya.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Objek analisis struktural dan feminisme ini adalah novel ‘’Gadis Pantai’’ karya
Pramoedya Ananta Toer . Novel ini banyak membongkar realita kehidupan priyai Jawa pada
abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh. Pramoedya Ananta Toer bercerita dalam
novel Gadis Pantai ini menggunakan alur maju atau lurus. Kisah pernikahan percobaan Gadis
Pantai ini tidak lebih merupakan praktik poligami. Poligami disini merupakan sebuah dunia
yang diciptakan dan dimainkan oleh laki-laki. Selain itu dominasi antara laki-laki dan
perempuan juga jelas terlihat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
http://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/novel-gadis-pantai-karya-pramoedya-ananta-toer-analisis-struktural-levi-strauss-siminto.pdf
http://www.atradista.com/e-book-novel-gadis-pantai-pramoedya-ananta-toer/
23
top related