faktor-faktor..., fathir fajar sidiq, fisipui, 2012
Post on 12-Jan-2017
263 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASIPENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
TESIS
Fathir Fajar Sidiq0906 589 135
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKDEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASIPENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MagisterAdministrasi (M.A.) dalam Ilmu Administrasi
Fathir Fajar Sidiq0906 589 135
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKDEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM PASCASARJANAKekhususan: Administrasi dan Kebijakan Publik
JAKARTA2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
HALAMAN PERNY ATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama: Fathir Fajar Sidiq
NPM: 0906589 135
Tanda Tangan: ..T ••••••••••••••••••••
Tanggal: Januari 2012
ii
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
_ .._-- .... -- ..
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh .
Nama Fathir Fajar Sidiq
0906589135NPM
Program Studi
Judul
Ilmu Administrasi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi
Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagaibagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar MagisterAdministrasi (M.A.) pada Program Pascasarjana Departemen Imu AdministrasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI:
Ketua Sidang Dr. Roy V. Salomo, M. Soc, ScJ~( ~ )
Dr. Linda Darmajanti, MT
Pembimbing Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si
Penguji/
( )
Sekretaris Achmad Lutfi, M.Si
Ditetapkan di : Depok
Tanggal Januari 2012
iiiFaktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas berkat ridho Alloh SWT karya tulis ini dapat
terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW, sosok mulia pembawa pencerahan kepada umat manusia
sedunia.
Tesis yang berjudul: “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi
Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia” ini merupakan bentuk
kegelisahan penulis selaku Warga Negara Indonesia yang ingin mengetahui
perihal pengelolaan perbatasan dari garda terdepannya, yaitu kabupaten/kota di
Indonesia. Mengingat keterbatasan penulis, maka banyak pihak yang penulis
mintakan bantuannya bagi terselesaikannya tesis ini. Untuk itu ucapan terima
kasih dan penghargaan penulis sampaikan dengan tulus kepada pihak-pihak
tersebut, yaitu:
a. Pemerintah Kota Depok, dalam hal ini Bapak H. Nur Mahmudi Isma’il
dan Bapak H. Yuyun Wirasaputra beserta seluruh aparatur, khususnya
Badan Kepegawaian Daerah Kota Depok yang telah memfasilitasi penulis
dari awal hingga akhir;
b. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. yang dengan sabarnya telah
membimbing penulis;
c. Orang tuaku Bapak Mursalih dan Emak Aminah yang tiada henti-hentinya
mendoakan anaknya demi mencapai kesuksesan;
d. Istriku tercinta Eva Fachrani dan Anakku Muhammad Kafi Anggapraja
yang senantiasa menjadi motivator terdahsyat;
e. Kakak-kakak senior dan staf di Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP), khususnya Kak Amran dan Kak Amril yang telah membantu
adinda sehingga bisa menjejakkan kaki di Pulau Sebatik;
f. Mas Edi di Dirjen PUM, Hasrul di Sebatik, Yoga di Belu, Hendra di
Batam, dan seluruh aparatur pemda yang telah menerima penulis dengan
baik;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
v
g. Rekan-rekan Publik 18 yang telah memberikan warna tersendiri bagi
proses belajar yang menarik dan menyenangkan;
h. Para punggawa perpustakaan, Kampus PGT, dan Kampus Salemba yang
tidak pernah bosan untuk penulis sambangi; Pak Pur, Mas Pri, Bang Rizal,
Mas Deni, Mas Eko, dan Mba Niniek;
i. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan turut
membantu bagi terselesaikannya tesis ini dengan baik.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan permohonan maaf apabila dalam
proses penulisan tesis ini ada pihak-pihak yang kurang berkenan baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Akhirnya, semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi upaya pengembangan pengetahuan khususnya pengelolaan
perbatasan yang lebih baik.
Depok, Januari 2012
Fathir Fajar Sidiq
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
ABSTRACT
Name : Fathir Fajar SidiqProgram : Administrative ScienceTitle : FACTORS THAT INFLUENCE COORDINATION OF
BORDER MANAGEMENT IN INDONESIA
One of the problems of border management in Indonesia is weak coordination.Therefore this research will look at how the coordination of border management inIndonesia, in this case conducted by the National Board of Border Management(BNPP), Ministry of Home Affairs (KDN), and 3 (three) regional government, that isNunukan Regency of East Borneo Province, Batam Municipality of the Island ofRiau Province, and Belu Regency of Nusa Tenggara Timur Province.
To analyze the coordination of border management issues, the authors use thepositivism approach, with the type of descriptive study. The technique of collectingdata through survey, interviews and documentation study. The informant in thisresearch is District Head of Sebatik Barat of Nunukan Regency and Sub Section Headof Border Cooperation in the Border Management Section in the Secretary ofNunukan Regency of East Borneo Province.
From the research, it can be concluded that there are 4 (four) significant factors thatgive contribution in the process of border management coordination, that is authority,communication, leadership, and control. Four of the factors are related to one anotherand cannot be separated. From those four factors, authority and communication werestill not running well, meanwhile two other factors, the ability to lead and controlwere performing quite good.
Keywords:
Coordination, border, Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
vii
ABSTRAK
Nama : Fathir Fajar SidiqProgram Studi : Ilmu AdministrasiJudul : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAHNEGARA DI INDONESIA
Salah satu permasalahan pengelolaan perbatasan di Indonesia adalah lemahnyakoordinasi. Untuk itu penelitian ini akan melihat bagaimana koordinasipengelolaan batas wilayah negara di Indonesia, dalam hal ini yang dilakukan olehBadan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dengan Kementerian Dalam Negeri(KDN) dan Tiga (3) pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten NunukanProvinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau,dan Pemerintah Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Untuk menganalisis persoalan koordinasi pengelolaan perbatasan, penulismenggunakan pendekatan positivisme, dengan tipe penelitian deskriptif. Teknikpengumpulan data melalui survey, wawancara, dan studi dokumentasi. Informanyang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah Camat Sebatik BaratKabupaten Nunukan dan Kasubbag Kerjasama Perbatasan pada Bagian PenataanPerbatasan di Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur.
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapatempat (4) faktor penting yang memberikan kontribusi dalam proses koordinasipengelolaan perbatasan, yaitu kewenangan, komunikasi, kepemimpinan, dankontrol. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di antara keempat faktor tersebut, faktorkewenangan dan komunikasi belum berjalan dengan baik, sedangkan dua faktorlainnya, kemampuan memimpin dan kontrol telah terlaksana dengan cukup baik.
Kata kunci:
Koordinasi, perbatasan, Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
ix Universitas Indonesia
D A F T A R I S I
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI........................................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................... ........ 7
1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 8
1.5. Kerangka Pikir Penelitian ............................................................. 8
1. 6. Keterbatasan Studi ...................................................................... 8
BAB 2 KERANGKA TEORI
2.1. Perbatasan Negara......................................................................... 9
2.2. Pengelolaan Perbatasan................................................................. 16
2.3. Kondisi Perbatasan Indonesia ....................................................... 23
2.4. Koordinasi Pengelolaan Perbatasan .............................................. 35
2.5. Model Analisis .............................................................................. 47
2.6. Operasionalisasi Konsep ............................................................... 48
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian ................................................................... 49
3.2. Jenis/Tipe Penelitian ..................................................................... 49
3.3. Teknik Pengumpulan Data............................................................ 49
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
x Universitas Indonesia
3.4. Populasi dan Sampel .................................................................... 51
3.5. Teknik Analisa Data .................................................................... 52
BAB 4 KEBIJAKAN KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH
NEGARA DI INDONESIA
4.1. Desain Pengelolaan Perbatasan........................................................ 53
4.2. Koordinasi Lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah................. 61
4.3. Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ........................... 64
4.4. Strategi Dasar Pengelolaan Perbatasan ............................................ 66
BAB 5 FAKTOR-FAKTOR KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS
WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
5.1. Kewenangan.............................................................................. 69
5.2 Komunikasi ............................................................................... 79
5.3. Kepemimpinan.......................................................................... 86
5.4. Kontrol ...................................................................................... 90
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 97
6.2. Saran................................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 100
LAMPIRAN
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Status Batas Maritim Indonesia Dengan Negara Tetangga……… 34Tabel 2.2. Operasionalisasi Konsep ………………………………………… 48
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Teori Boundary Making............................................................. 17Gambar 4.1. Desain Manajemen Berbasis Wilayah........................................ 56Gambar 4.2. Sinergitas Pengelolaan Perbatasan............................................. 60Gambar 4.3. Empat Pilar Utama Pengelolaan Perbatasan.............................. 62Gambar 5.1. Penguasaan Permasalahan Pengelolaan Batas........................... 73Gambar 5.2. Tumpang Tindih Pelaksanaan Tugas........................................ 74Gambar 5.3. Kepentingan Sektoral Dalam Pelaksanaan Tugas...................... 75Gambar 5.4. Fasilitas Sarana Komunikasi...................................................... 80Gambar 5.5. Pertemuan Rutin Harian............................................................ 82Gambar 5.6. Pertemuan Rutin dengan Instansi Lain....................................... 83Gambar 5.7. Bagian Khusus Koordinasi......................................................... 84Gambar 5.8. Mekanisme Pertukaran Dokumen Tertulis................................. 85Gambar 5.9. Kemampuan Teknis dan Profesional Pimpinan......................... 86Gambar 5.10 Aspiratif Dalam Menampung Ide............................................... 87Gambar 5.11 Kemampuan Pimpinan Mengarahkan Bawahan........................ 88Gambar 5.12 Perbedaan Rencana Program dan Implementasi........................ 91Gambar 5.13 Mekanisme Pelaporan dan Data................................................. 92Gambar 5.14 Mekanisme Evaluasi SOP.......................................................... 92Gambar 5.15 Mekanisme Evaluasi Anggaran............................................. 93Gambar 5.16 Faktor-Faktor Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara
di Indonesia95
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
1 Universitas Indonesia
B A B 1
P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945 memiliki tujuan dan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan
pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan nasional bangsa Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Dalam pasal 25A UUD 1945 telah pula ditegaskan bahwa
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang
berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang”. Salah satu kepentingan nasional Indonesia adalah tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini mengandung makna, antara
lain perlu ditegakkannya:
a. Kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat didasarkan atas hukum,
baik kedaulatan ke dalam maupun ke luar, dan Indonesia adalah negara
hukum;
b. Integritas nasional (integritas wilayah, integritas bangsa, dan integrasi
pemerintahan);
c. Keamanan wilayah yurisdiksi nasional yang berdaya tangkal serta
terbangun pada ketangguhan dan kedaulatan segenap komponen bangsa.
Tegaknya kedaulatan negara, integritas nasional dan keamanan wilayah
yurisdiksi nasional yang berdaya tangkal harus dapat diproyeksikan di seluruh
wilayah nasional, termasuk wilayah perbatasan yang saat ini seolah-olah masih
belum tersentuh. Oleh karena itu, pembangunan wilayah perbatasan sebagai
bagian dari pembangunan daerah dan bagian integral dari pembangunan nasional,
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
2
Universitas Indonesia
perlu mendapat prioritas dalam penataan strategi pembangunan nasional ke
depan.1
Secara mendasar, permasalahan perbatasan memang tidak dapat
dilepaskan dari masalah kedaulatan nasional negara yang saling berbatasan.2
Dalam pendekatan lama hubungan internasional, kedaulatan menjadi fokus
perhatian yang tidak terpisahkan dari kepentingan nasional ketika masalah mulai
muncul karena sengketa perbatasan. Namun secara logis, tidak dapat dipungkiri,
bahwa persoalan kepentingan nasional bukanlah batas wilayah secara fisik,
hukum, atau kedaulatan nasional semata, tetapi terkait dengan kepentingan
ekonomi, sumber daya alam, perdagangan lintas batas, adanya masalah
penyelundupan barang, senjata dan manusia, narkoba dan obat bius, dan kasus-
kasus transnasional lainnya. 3
Apabila ditinjau secara fisik, Indonesia merupakan negara terbesar kelima
di dunia yang dibatasi dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara, yaitu
India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia,
dan Timor Leste, dan di darat dengan 3 (tiga) negara tetangga yaitu Malaysia,
Papua New Guinea, dan Timor Leste. Karakteristik sosial dalam pendefinisian
batas negara di kedua matra tersebut sangat berbeda, demikian pula sifat
permasalahannya.4
Kondisi ini sejatinya menggambarkan betapa wilayah perbatasan
Indonesia memiliki nilai strategis, tentunya dalam mendukung pembangunan
nasional, mengingat di wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang interaksi
antar masyarakat dari kedua negara bertetangga, yang dapat berakibat positif
ataupun negatif. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah perbatasan menjadi
penting, tidak saja untuk lalu lintas orang atau barang yang masuk ke atau keluar
1 Naskah Seminar “Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan Guna MeningkatkanKesejahteraan Masyarakat Dalam Rangka Memperkokoh NKRI”, Kursus Reguler AngkatanXXXVII Lemhanas, tahun 20042 Marina Caparini and Otwin Marenin (eds), Borders and Security Governance: Managing Bordersin a Globalised World, Geneve: DCAF and Lit, 2006.3 Thomas, Caroline. In Search of Security: The Third World in International Relations. GreatBritain: Harvester Wheatsheaf, 1992.4 Hari Sabarno, “Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-PulauIndonesia di Wilayah Perbatasan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor I Tahun XXXIII,Januari-Maret 2003.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3
Universitas Indonesia
dari wilayah negara, tetapi juga untuk menghindari penggunaan wilayah
perbatasan sebagai tempat lalu lintas kegiatan yang merugikan kepentingan
nasional, seperti penyelundupan, pencurian kekayaan alam, lalu lintas kejahatan
transnasional, dan tindakan-tindakan lain yang dapat merugikan kepentingan
negara Indonesia.
Data menunjukkan, masih banyak terdapatnya perbatasan darat ataupun
laut antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang belum ditetapkan
secara final (lihat lampiran 1 s.d. 4). Kondisi ini tentu saja akan memicu
munculnya konflik jika tidak ditangani dengan baik oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini perlu merespon dengan
cepat dan tanggap, sehingga insiden-insiden yang terkait wilayah perbatasan dapat
dicegah sedini mungkin.
Rangkaian kejadian demi kejadian yang menyangkut wilayah perbatasan
Indonesia dengan negara-negara tetangga hendaknya mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah. Rakyat Indonesia tentunya masih mengenang peristiwa
getir yang terjadi pada tahun 2002, dimana melalui Sidang Mahkamah
Internasional di Den Haag, Indonesia kalah dalam sidang kasus Sipadan dan
Ligitan. Hal serupa nampaknya akan terulang kembali, jika pemerintah kita tidak
cepat merespon klaim Malaysia atas Blok Ambalat, sebuah kawasan di timur
Propinsi Kalimantan Timur, yang oleh Malaysia diklaim sebagai bagian dari
teritorinya. Bahkan, isu mengenai perbatasan menghangat kembali dengan insiden
penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di Perairan Bintan
pertengahan Agustus tahun 2010 yang lalu.5
Berdasarkan rangkaian peristiwa dan fakta di atas, serta ketertarikan
pribadi penulis terhadap pembangunan wilayah perbatasan, maka penulis
beranggapan bahwa tema perbatasan menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti.
Setidaknya ada beberapa hal penting dan signifikan, sehingga penelitian terkait
pengelolaan perbatasan perlu dilakukan:6
5 Disarikan dari berbagai surat kabar daring6 Ganewati Wuryandari. Presentasi “Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas Wilayah Negaradan Kawasan Perbatasan Darat Secara Terintegrasi Dalam Perspektif Keamanan danKesejahteraan”. Bappenas, 8 Desember 2010.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
4
Universitas Indonesia
a. Problematika kelembagaan perbatasan Indonesia. Model pengelolaan
batas wilayah dan kawasan perbatasan yang dikembangkan masih
bersifat parsial. Beberapa persoalan yang muncul terkait kelembagaan
perbatasan antara lain komite perbatasan diketuai instansi yang
berbeda, hubungan pemerintah pusat dan daerah belum memiliki
mekanisme yang jelas, persoalan kontrol dan monitoring, dan
lemahnya hubungan koordinatif;
b. Politik anggaran. Alokasi anggaran kementerian, lembaga dan
pemerintah daerah relatif minim, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat maupun dalam mengembangkan
infrastruktur kawasan perbatasan.
Semenjak era reformasi bergulir, pemerintah telah mengeluarkan beberapa
kebijakan untuk mengatasi permasalahan perbatasan yang begitu kompleks.
Beberapa kebijakan tersebut antara lain Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Undang-Undang Nomor 43 tahun
2008 tentang Wilayah Negara, serta Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010
tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Perundang-undangan sebagaimana tersebut, memiliki keterkaitan erat
dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta mencerminkan
adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan pembangunan kawasan
perbatasan dari yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi
“outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan
dengan negara tetangga. 7
Sebagai gambaran, Perpres Nomor 78 tahun 2005 merupakan jawaban atas
kesadaran terhadap eksistensi pulau-pulau kecil terluar Indonesia yang memiliki
nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam
Penetapan Wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas
Kontiten Indonesia. Sebuah kebijakan yang dirancang sebagai antisipasi terhadap
7 Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2025.BNPP, 2011.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
5
Universitas Indonesia
klaim negara lain terhadap wilayah Indonesia yang berdaulat, seperti yang pernah
terjadi pada Sipadan dan Ligitan.
Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 yang mencoba
menjawab tuntutan publik, terutama dalam kejelasan wilayah negara dan
pembagian kewenangan pengelolaan pusat dan daerah. Undang-Undang ini juga
yang mendorong untuk terbentuknya institusi khusus baru yang bertanggung
jawab atas pengelolaan perbatasan (Perpres Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan). Instansi yang baru saja terbentuk ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi yang positif dan konstruktif bagi upaya penyelesaian
permasalahan perbatasan secara sinergis dan terpadu. Hal ini tidaklah berlebihan,
sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Nomor 12 tahun 2010, BNPP mempunyai
tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan
rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan
evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan. Sebuah tugas yang cukup berat yang akan melibatkan
seluruh elemen bangsa ini, terutama lembaga-lembaga pemerintah yang terkait
secara sektoral dan teknis dalam hal pengelolaan perbatasan. Untuk itu, fungsi
koordinasi yang efektif dan efisien menjadi satu hal yang mutlak diperlukan bagi
BNNP dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini akan mengidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap koordinasi pengelolaan batas wilayah
negara di Indonesia, dalam hal ini yang dilakukan oleh BNPP dengan
Kementerian Dalam Negeri (KDN) dan pemerintah daerah yang terkait secara
langsung dalam pengelolaan perbatasan, khususnya batas wilayah negara.
Penelitian ini memang tidak membahas secara keseluruhan koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP dengan seluruh lembaga-lembaga pemerintah yang terkait
secara sektoral dan teknis dalam hal pengelolaan perbatasan di Indonesia,
mengingat keterbatasan penulis sendiri dalam melakukan penelitian. Adapun
argumen yang mendasari pemilihan Kementerian Dalam Negeri sebagai obyek
penelitian adalah bahwa dari hasil observasi awal yang penulis lakukan di BNPP,
menunjukkan bahwa KDN merupakan embrio awal dari institusi BNPP yang ada
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
6
Universitas Indonesia
sekarang, dan memang telah secara aktif melakukan koordinasi dengan BNPP.
Selain itu pula, dari sisi tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh KDN, salah
satunya adalah dalam hal pengelolaan batas wilayah negara, yang notabene juga
merupakan bagian tugas penting dari BNPP sebagai institusi pengelola
perbatasan, termasuk di dalamnya adalah pulau-pulau terluar yang berbatasan
dengan negara-negara tetangga.
Begitu pula halnya dengan pemerintah daerah, di mana penulis mengambil
sampel yaitu Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau.
Pemilihan ketiga kabupaten/kota tersebut lebih kepada pertimbangan atas
keterwakilan posisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang
membentang luas dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur.
Melalui penelitian ini, penulis juga akan melihat isu-isu strategis
pengelolaan perbatasan yang selama ini dilakukan, sehingga diharapkan peran
BNPP dapat terlihat dalam upaya mengatasai permasalahan perbatasan yang
selama ini terjadi. Terkait dengan hal tersebut, maka persoalan koordinasi dan
sinergi yang selama ini absen dalam pengeIolaan perbatasan menjadi satu hal
yang sangat penting untuk ditelaah lebih lanjut. Terkait lemahnya hubungan
koordinatif, beberapa hal yang perlu menjadi catatan adalah:
a. Masih adanya ketidakjelasan “komando”, di mana setiap tindakan
hanya menjadi bagian dari kebijakan masing-masing institusi yang
memiliki kepentingan tugas di perbatasan;
b. Pemahaman dan program yang beragam, terkait dengan visi serta tugas
pokok dan fungsi masing-masing, sehingga berakibat pada kurangnya
integrasi dan sinkronisasi cakupan dan tujuan progam antara institusi
yang satu dan lainnya.
Dua catatan yang dikemukakan di atas merupakan intisari dari
permasalahan koordinasi yang telah berlangsung hingga lahirnya BNPP sebagai
sebuah instansi yang diharapkan mampu menembus halangan dan rintangan
(barrier) dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
7
Universitas Indonesia
Atas dasar hal tersebut, penulis berpikir bahwa fungsi koordinasi
menempati posisi yang cukup vital dan signifikan dalam proses pengelolaan
perbatasan secara terpadu. Maka dari itu, diharapkan melalui penelitian ini akan
dapat terdeskripsikan secara sistematis bagaimana idealnya fungsi koordinasi itu
dilakukan oleh BNPP sehingga pengelolaan perbatasan dapat dilakukan dengan
baik sebagaimana prinsip yang dicanangkan oleh BNPP dalam menjalankan
tugasnya yaitu prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplifikasi
(KISS).
1.2. Perumusan Masalah
a. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP dalam pengelolaan perbatasan, khususnya
pengelolaan batas wilayah negara?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah dalam hal pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia.
1.4. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah
pengetahuan khususnya yang membahas koordinasi dan terkait
pengelolaan perbatasan terpadu (integrated border management);
b. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam proses evaluasi secara terus-
menerus bagi BNPP sebagai sebuah institusi pengelola perbatasan;
a. Sebagai sumbang saran bagi upaya mempertahankan kedaulatan NKRI,
khususnya bagi saudara-saudara setanah air yang saat ini di wilayah
perbatasan dan masih belum mendapatkan perhatian yang selayaknya dari
negara ini.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
8
Universitas Indonesia
1.5. Kerangka Pikir Penelitian
Dengan mengacu kepada permasalahan pengelolaan perbatasan yang
cukup kompleks, penulis melihat bahwa salah satu unsur penting pengelolaan
perbatasan adalah fungsi koordinasi. Berangkat dari hal tersebut dan
perkembangan aktual yang terjadi saat ini, penulis berpikir bahwa dengan
terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) pada tahun 2010
adalah sebuah jawaban atas pengelolaan perbatasan yang masih belum
komprehensif.
Untuk itu, penelitian ini akan mencoba melihat faktor-faktor apa yang
berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara di
Indonesia. Diharapkan melalui penelitian ini akan dapat terdeskripsikan
bagaimana idealnya koordinasi itu dapat dilakukan, sehingga kesalahan
pengelolaan perbatasan di masa lalu tidak terulang kembali.
1.6. Keterbatasan Studi
Dalam kegiatan survey di lapangan, salah satu kesulitan yang penulis hadapi
adalah tidak semua responden dari kabupaten/kota dapat penulis datangi satu
persatu. Penulis hanya dapat mendatangi Kabupaten Nunukan, sedangan dua
kabupaten/kota lainnya penulis menggunakan jejaring alumni STPDN (Sekolah
TInggi Pemerintahan Dalam Negeri) untuk memfasilitasinya. Selain itu pula,
penelitian ini memang hanya terbatas pada koordinasi yang dilakukan oleh BNPP
dengan K/L (Kementerian/Lembaga) saja dengan pemerintah daerah sebagai salah
satu komponennya.
Selain itu pula, studi ini lebih menekankan kajian pengelolaan perbatasan
darat, meskipun dicantumkan pula perihal pengelolaan perbatasan laut dan udara.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini hendaknya
dapat dilanjutkan kepada ketiga komponen pengelolaan perbatasan lainnya, yaitu
masyarakat, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
9 Universitas Indonesia
B A B 2
KERANGKA TEORI
2.1. Perbatasan Negara
Pada awalnya, perbatasan adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi
konsep sosial ketika kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau
melintasi daerah perbatasan. Sebagai konsep geografis, masalah perbatasan telah
selesai ketika kedua negara yang memiliki wilayah perbatasan yang sama
menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru muncul ketika
perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan yang
bersifat konvensional mencair.
Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu
negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan
batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan
keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh
proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu
negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.1
Menurut Riswanto Tirtosudarmo (2002), perbatasan negara atau state’s
border dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Perbatasan adalah sebuah
ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar
negara, terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas
antar negara.
Batas-batas teritorial dari suatu negara merupakan refleksi dari batas-batas
geografis suatu etnis tertentu. Lahirnya konsep negara bangsa (nation state)
memunculkan adanya kesamaan cita-cita yang tidak jarang bersifat lintas etnis.
Perbatasan negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas
tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnis
1 Lihat Laporan Akhir Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, LAN. 2004.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
10
Universitas Indonesia
yang berbeda, akan tetapi juga membelah etnis yang sama disebabkan dialaminya
sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama.
Wilayah perbatasan negara dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu
perbatasan darat, laut, dan udara. Berikut ini dijelaskan mengenai pengertian dari
masing-masing bentuk perbatasan.
1. Perbatasan Darat
Perbatasan darat adalah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis batas
yang memisahkan daratan atau bagiannya ke dalam dua atau lebih wilayah
kekuasaan yang berbeda. Perbatasan mempunyai sifat ganda, artinya bahwa garis
batas tersebut mengikat kedua belah pihak pada sebelah menyebelah perbatasan
tersebut. Jadi apabila terjadi perubahan pada satu pihak, akan menimbulkan
perubahan pada pihak lain, demikian pula hak-haknya (Hak Bersama/Res
communis).
Pada umumnya tindakan sepihak atas perbatasan tidak dapat dilakukan,
kecuali dalam hal-hal tertentu, seperti yang terjadi dengan keputusan-keputusan
Belanda atas kekuasaannya di Irian sebelah Barat. Karena wilayah kekuasaan
yang dimaksud adalah dua wilayah kekuasaan negara yang berbeda maka
pengertian perbatasan ini tidak akan meliputi perbatasan yang memisahkan
wilayah-wilayah dengan subyek hukum orang atau badan hukum dan juga tidak
termasuk perbatasan yang memisahkan wilayah-wilayah dengan hak-hak yang
berbeda di atasnya. Perbatasan darat di sini dipergunakan untuk membedakan
dengan perbatasan laut.
Unsur terpenting dari perbatasan adalah tempat kedudukan dari perbatasan
tersebut, yaitu harus jelas, tegas, dan dapat diukur. Keragu-raguan terhadap letak
sebenarnya dari perbatasan yang mungkin disebabkan oleh tidak jelasnya atau
tidak tegasnya perjanjian yang merumuskan perbatasan tersebut akan
mengundang berbagai masalah dan sengketa.
Adakalanya suatu perbatasan itu sudah jelas dan tegas, namun tidak dapat
dilihat dengan nyata, misalnya perbatasan darat yang berupa aliran sungai atau
perbatasan darat itu memotong sebuah danau. Tidak dapat dilihatnya perbatasan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
11
Universitas Indonesia
secara fisik, akan memudahkan munculnya sengketa antara kedua belah pihak di
dalam mempergunakan sungai atau danau tersebut. Tidak dapat diukurnya suatu
perbatasan juga akan menimbulkan permasalahan yang sama. Pada beberapa
kasus, sebagai akibat dari tidak stabilnya pantai, maka baik perbatasan darat
maupun perbatasan laut di sekitar pantai-seperti perbatasan laut antara Bangladesh
dan India-akan sulit diterapkan.
Perbatasan pada umumnya adalah dua dimensional, dalam arti bahwa yang
dibatasi bukan hanya keadaan toografi di atas permukaan tetapi perbatasan itu
sendiri juga membagi tanah dan kerak bumi di bawahnya serta ruang udara di
atasnya. Karena perbatasan banyak menimbulkan persoalan-persoalan
administratif antara kedua negara, maka pada umumnya bagian perbatasan di
permukaan tanah diberi lagi jalur-jalur perbatasan yang lain (zona) pada sebelah
menyebelah perbatasan yang mempunyai jarak tertentu dari perbatasan
sesungguhnya.
Zona ini kadang-kadang disebut dengan Free Zone, Safety Zone,
Demilitary Zone, no man’s land dan seterusnya, yang masing-masing istilah
sesuai dengan tekanan fungsinya. Akan tetapi dengan adanya zona bebas ini tidak
berarti bahwa kedudukan perbatasan yang sebenarnya itu berubah.
Pengertian no man’s land tidak berarti bahwa tidak ada pemiliknya, tetapi
berarti bahwa kawasan tersebut harus dibebaskan dari hak-hak perdata. Di daerah
itu tidak diperbolehkan terdapat perkebunan, pertanian, rumah dan seterusnya.
Lebar zona-zona tersebut bervariasi ada yang 9 mil, 10 mil, bahkan sampai 20
mil, dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dalam menentukan batas negara dapat dibedakan menjadi dua, yakni
secara alamiah dan artifisial (buatan). Penetapan batas secara alamiah dilakukan
dengan mengikuti kontur alam di daerah perbatasan, seperti misalnya aliran
sungai dan pegunungan. Sedangkan penetapan secara artifisial dapat dilakukan
dengan mendirikan atau membangun pagar pemisah/patok batas negara di
sepanjang titik-titik perbatasan yang disepakati oleh negara-negara yang
berbatasan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12
Universitas Indonesia
Bentuk-bentuk perbatasan yang ditetapkan secara alamiah yaitu batas
negara berupa sungai dan batas negara yang berupa pegunungan. Pegunungan
sebagai perbatasan alam antara dua negara merupakan hal yang lazim terjadi.
Bagian dari pegunungan yang menjadi perbatasan pada umumnya adalah bagian-
bagian tertinggi pada pegunungan tersebut. Perbatasan yang demikian sering
disebut dengan “Watershed” yang artinya bahwa bagian-bagian tertinggi dari
pegunungan itu merupakan pemisah dari semua aliran sungai-sungai yang
mengalirkan kejurusan-jurusan yang berlawanan.
Perbatasan Kalimantan Indonesia dan Kalimantan Malaysia merupakan
jenis perbatasan alam yang disebut sebagai watershed. Watershed merupakan
perbatasan alam terbaik, sebab tidak dapat diragukan lagi kedudukannya, bersifat
abadi dan merupakan pemisah yang paling efisien.
Penduduk yang tinggal pada sebelah-menyebelah pegunungan itu hanya
mampu membangun pemukiman-pemukiman sepanjang sungai sampai pada
lereng-lereng gunung dimana keadaan tanah sudah tidak memungkinkan lagi
untuk bercocok tanam, oleh karena itu makin tinggi kedudukan watershed,
pemukiman penduduk juga makin sedikit, sehingga watershed pada umumnya
juga merupakan perbatasan kelompok-kelompok etnis.
Meskipun watershed merupakan perbatasan alamiah yang sempurna, akan
tetapi pelaksanaan penetapan perbatasan pada watershed itu secara fisik adalah
tidak mudah. Kondisi ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan perjanjian
perbatasan antara kedua negara untuk menetapkan kedudukan watershed harus
dilakukan secara terestris, yaitu langsung di lapangan, sedangkan cara-cara
fotogrammetris (pemotretan udara) mudah menimbulkan kekeliruan. Lebih lanjut
karena perbatasan itu adalah watershed, maka sudah tentu bahwa perbatasan itu
tidak boleh memotong sungai, dan hal ini merupakan pedoman bagi para
surveyor.
Kesulitan yang dihadapi dalam masalah pembuatan perjanjian perbatasan
ialah bahwa isi perjanjian itu harus dapat dilaksanakan secara benar di lapangan
dan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan. Oleh sebab itu para penyusun teks
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
13
Universitas Indonesia
perjanjian harus menyesuaikan isi perjanjian tersebut dengan apa yang diharapkan
oleh masing-masing negara dan sesuai dengan keadaan di lapangan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penyusunan perjanjian-perjanjian
perbatasan alamiah lebih sulit dibandingkan dengan perjanjian perbatasan buatan,
karena perbatasan buatan tidak begitu banyak memerlukan pengetahuan atau
pengenalan tentang medan dimana perbatasan itu terletak.
2. Perbatasan Laut
Sama halnya dengan perbatasan darat, perbatasan laut merupakan tempat
kedudukan titik-titik koordinat atau garis-garis batas yang memisahkan perairan
(laut) ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda.
Batas wilayah laut teritorial suatu negara sudah diatur melalui pranata-
pranata hukum laut yang telah disepakati secara internasional, seperti laut
teritorial, perairan pedalaman, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif dan landas
kontinen. Pranata-pranata hukum tersebut diperoleh berdasarkan konvensi-
konvensi mengenai hukum laut yang dilakukan secara internasional. Seperti
Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun tidak semua
negara menghadiri konvensi-konvensi tersebut, banyak negara di dunia yang
dapat menerima hasilnya dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan
batas wilayah lautnya.
Perundingan batas laut antara suatu negara dengan negara lain baru
dilakukan apabila laut yang memisahkan antara dua atau lebih negara tersebut
saling berimpit atau bersinggungan, dengan berpedoman pada pranata-pranata
hukum laut seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil perundingan yang berupa
kesepakatan batas wilayah laut (biasanya disertai dengan penjelasan titik-titik
koordinat) tersebut kemudian didepositkan ke PBB untuk kemudian dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya oleh negara-negara yang menyepakati.
Apabila perundingan antara kedua negara menemui jalan buntu, negara-
negara tersebut dapat menyerahkan perselisihan batas wilayahnya ke Mahkamah
Internasional yang bermarkas di Den Haag.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
14
Universitas Indonesia
3. Perbatasan Udara
Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara
yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas wilayah perairan.
Batas wilayah udara suatu negara terletak di batas terluar dari laut teritorialnya.
Dengan demikian mencakup udara di atas wilayah daratan, perairan pedalaman,
perairan kepulauan, dan laut teritorial. Sedangkan mengenai batas luar dari ruang
udara yang merupakan bagian dari wilayah negara, hingga saat ini belum ada
kesepakatan secara internasional. Berbagai teori untuk menjawab permasalahan
batas maupun luasnya kedaulatan negara di udara pernah bermunculan, namun
masing-masing teori tersebut memiliki kelemahan. Di antara teori-teori tersebut,
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu
mereka yang berpendapat bahwa udara memiliki sifat yang bebas (penganut teori
udara bebas/”The Air Freedom Theory”) dan mereka yang berpendapat bahwa
negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya (The
Air Sovereignty Theory).
Pandangan pertama tersebut nampaknya tidak dianut oleh negara-negara di
dunia saat ini. sedangkan pandangan yang berpendapat bahwa negara kolong
memiliki kedaulatan atas ruang udara di atas wilayah negaranya. Hal diterima
untuk pertama kali dalam sebuah konvensi yaitu Konvensi Paris 1919 tentang
Navigasi di Udara (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation,
October 13, 1919). Dalam pasal 1 Konvensi Paris 1919 dinyatakan: “The High
Contracting Parties recognize that every power has complete and exclusive
sovereignty over the airspace above its territory” (Pihak-pihak utama yang
menjadi peserta dari konvensi ini mengakui bahwa setiap negara memiliki
kedaulatan yang penuh dan ekslusif atas ruang udara di atas wilayahnya).
Demikian halnya dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil
Internasional (the International Civil Aviation Convention) di dalam pasal 1
menegaskan hal yang serupa dengan pasal 1 Konvensi Paris 1919, yakni: “The
Contracting States recognize that every state has complete and exclusive
sovereignty in the air space above its territory” (Negara-negara yang terikat
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
15
Universitas Indonesia
dalam perjanjian ini mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang
penuh dan ekslusif di dalam ruang udara di atas wilayahnya).
Meskipun tidak semua negara ikut menjadi peserta pada kedua konvensi di
atas, namun adanya pengakuan atas kedaulatan negara terhadap ruang udara di
atas wilayahnya (wilayah daratan dan perairan) serta praktek negara-negara yang
menghormati isi dan jiwa dari pasal-pasal pada kedua konvensi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hal ini dapat diterima secara umum. Dengan kata lain,
kedaulatan udara di ruang udara di atas wilayah daratan dan perairannya sudah
menjadi hukum kebiasaan internasional.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
16
Universitas Indonesia
2.2. Pengelolaan Perbatasan
Pengelolaan perbatasan pada dasarnya memuat berbagai langkah strategis
untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas wilayah negara serta batas-batas
terluar perairan yurisdiksi dengan negara tetangga, pengamanan batas wilayah di
darat dan di laut, serta reformasi manajemen pengelolaan lintas batas. Sedangkan
pengelolaan kawasan perbatasan pada dasarnya terkait dengan berbagai langkah
strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui
pembangunan wilayah secara berimbang dan berkelanjutan.
Sasaran wilayah (geographical target) pengelolaan batas wilayah darat
dapat diarahkan pada segmen-segmen batas darat dengan negara tetangga
(Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste) baik yang sudah disepakati maupun
yang belum disepakati. Sedangkan pengelolaan batas maritim diarahkan pada
Batas Laut Teritorial (BLT) dan batas-batas perairan yurisdiksi, yakni Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen (BLK). Penetapan prioritas
pengelolaan batas wilayah dilakukan dengan memperhatikan batas-batas yang
belum disepakati atau disengketakan dengan Negara tetangga serta isu-isu
strategis terkait dengan aspek lintas batas negara.
Menurut naskah seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan
Nasional Republik Indonesia tahun 2004, Wilayah Perbatasan adalah batas terluar
wilayah darat, laut, dan udara suatu negara yang memisahkan kedaulatan negara
dengan negara lain, baik yang dibatasi oleh garis batas negara atau garis batas
imajiner. Dapat pula dikatakan sebagai wilayah terdepan yang menghadapi garis
batas dengan negara tetangga atau wilayah internasional.
Stephen B. Jones (1945) merumuskan sebuah teori terkait pengelolaan
perbatasan. Di dalam teorinya tersebut, Jones membagi ruang lingkup pengelolaan
ke dalam empat bagian, yaitu Allocation, Delimitation, Demarcation, dan
Administration. Khusus untuk lingkup yang keempat (administration), dalam
perkembangannya telah bergeser ke arah pengelolaan perbatasan atau
management (Pratt, 2006). Keempat ruang lingkup tersebut saling terkait satu
sama lainnya, menandakan bahwa keempatnya merupakan satu rangkaian
pengambilan keputusan yang saling berkaitan dalam pelaksanaannya.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
17
Universitas Indonesia
Gambar 2.1
Teori Boundary Making
Sumber:Ludiro Madu dkk, 2010
2.2.1. Konsep dan Praktik Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Negara
Lain
Di saat negara Indonesia masih sibuk untuk menentukan batas wilayah
negara dan kawasan perbatasannya, negara-negara lain di dunia telah sedemikian
majunya sehingga tidak lagi mempersoalkan pengelolaan batas secara fisik, akan
tetapi telah bergerak maju menuju manajemen perbatasan yang terpadu
(integrated border management) di antara negara-negara di dunia.
Hal ini tentu saja tidaklah berlebihan, mengingat tingkat perjalanan global
yang semakin meningkat tiap tahunnya, dan semakin bertambahnya pintu masuk
dari setiap negara, sehingga membuat sistem manajemen perbatasan menjadi
sangat terbebani. Data menunjukkan dari Migration Policy Institute (2011), total
turis yang berkunjung di seluruh dunia telah meningkat sangat signifikan tiap
tahunnya; 69,3 juta pada tahun 1960, 165,8 juta pada tahun 1970, 278,1 juta pada
tahun 1980, 439,5 juta pada tahun 1990, dan 687 juta pada tahun 2000.
Allocation Delimitation demarcation Administration/management
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
18
Universitas Indonesia
Sebuah angka statistik yang fantastis, terlebih pada saat yang sama, risiko
pengelolalaan perbatasan menjadi lebih meningkat dengan ancaman teroris,
perdagangan manusia, imigran gelap, dan banyak persoalan lainnya yang telah
mengganggu efektivitas pengelolaan perbatasan sebuah negara.
Oleh karena itu, di bawah ini penulis hanya akan merinci perjalanan
pengelolaan perbatasan di negara-negara maju secara sistematis dalam hal
program pengelolaan perbatasan semenjak tahun 1995, seperti Amerika Serikat,
Uni Eropa, dan Canada2. Hal ini penulis lakukan mengingat negara Indonesia
sudah seharusnya belajar untuk maju dalam hal pengelolaan perbatasan yang tidak
lagi berkutat pada penentuan batas secara fisik, akan tetapi lebih kepada
manajemen perbatasan yang terintegrasi.
Namun perlu diingat, bahwa negara-negara maju sekalipun masih
menemui kesulitan dalam hal pengkoordinasian dan pengkonsolidasian dalam hal
pengelolaan perbatasan negaranya, sehingga mengurangi efektivitas dari tujuan
pengelolaan perbatasan itu sendiri. Hal ini tidak lain disebabkan oleh banyaknya
instansi yang berkecimpung dalam urusan perbatasan. Seiring berjalannya waktu
dan proses evaluasi yang dilakukan, manajemen pengelolaan perbatasan pun
menjadi lebih terpadu dengan terbentuknya single-agency management yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan, pengkoordinasian, dan pengawasan
perbatasan yang terpadu, atau dikenal pula dengan ungkapan fungsi-fungsi CIQS3
(Custom, Immigration, Quarantine, and Security. Beberapa instansi di negara-
negara maju yang dapat dilhat antara lain US Department of Homeland Security
(DHS) di Amerika Serikat, Canada Border Services Agency (CBSA) di Kanada,
UK Border Agency di Inggris, dan Australian Department of Immigration and
Citizenship di Australia. Hal serupa pun telah dilakukan oleh Indonesia dengan
membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang secara garis besar
memilki fungsi yang sama sebagaimana di negara-negara maju.
2 Rangkuman program pengelolaan perbatasan diterjemahkan secara bebas dari Demerios GPapademetriou dan Elizabeth Collet. A New Architecture for Border Management. MigrationPolicy Institute, 20113 Rizal Darma Putra, “Manajemen Pengelolaan Perbatasan Laut dan Keamanan Perbatasan”,LESPERSSI, Jakarta 2010.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
19
Universitas Indonesia
2.2.1.1. Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Amerika Serikat
Program Fungsi
Secure Electronic Network for
Travelers Rapid Inspection
(SENTRI), 1995
Melakukan inspeksi bagi wisatawan secara
acak. Difokuskan pada perbatasan darat
antara Amerika-Meksiko, utamanya di
California, Texas, dan Arizona
Smart Border Action Plan, Meksiko
(2002)
Menjaga 22 titik perbatasan krusial untuk
mengatasi imigran gelap, namun lemah di
tahap implementasi
Container Security Initiative (CSI),
2002
Pemeriksaan awal bagi kontainer komersial
sebelum diberangkatkan ke negara tujuan
United States Visitor and
Immigrant Status Indicator
Technology (US-VISIT), 2003
Sistem yang diterapkan oleh DHS untuk
mengumpulkan data biometrik berupa foto
dan sidik jari yang dikumpulkan dari para
wisatawan bagi kepentingan keamanan dan
dari ancaman teroris.
Global Entry, 2003 Progam yang mengkonsolidasikan berbagai
sistem registrasi perjalanan, seperti Nexus
(Kanada), SENTRI (Meksiko), dan FAST
(Amerika Utara); dan juga dapat diterapkan
bagi pemegang paspor Inggris dan AS.
Secure Borders Initiative, 2006.
Dibatalkan Januari 2011
Jaringan digital yang mengintegrasikan
infrastruktur, personel, dan teknologi
sepanjang perbatasan utara dan selatan.
Tujuannya adalah mencegah aktivitas-
aktivitas ilegal, termasuk di dalamnya
peralatan komunikasi, pengintaian, analisis
komputer, dan tim reaksi cepat. Dibatalkan
saat pemerintahan Obama terkait besarnya
biaya dan kritik dari Kongres
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
20
Universitas Indonesia
US-EU Passenger Name Records
(PNR) Agreement, 2004, 2007
Uni Eropa mengizinkan AS untuk
mengakses Data Nama Penumpang dari
penerbangan komersial Eropa
Eletctronic System for Travel
Authorization (ESTA), 2007
Otorisasi keberangkatan terhadap orang-
orang yang dianggap mencurigakan atas
alasan keamanan. Informasi digunakan oleh
DHS, Biro Sensus, dan Departemen
Perdagangan
FLUX, 2009 Kemitraan antara Global Entry dari Amerika
Serikat dan Program Privium dari Belanda,
untuk akses masuk ke wilayah Schengen.
2.2.1.2. Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Uni Eropa
Program Fungsi
Schengen Information System,
1995
Sistem pertukaran informasi yang
membolehkan aparat hukum untuk
memperoleh informasi atas orang dan obyek
tertentu
European Dactyloscopy
(EURODAC), 2000
Database sidik jari
Advanced Passenger Information
(API), 2004
Informasi biografis yang diambil dari mesin
pada paspor dan dikomunikasikan oleh
maskapai penerbangan pada petugas
perbatasan
Integrated Border Management
Agency (FRONTEX), 2005
Instansi yang bertugas mendukung
kerjasama perbatasan eksternal di dalam Uni
Eropa
Schengen Borders Code, 2006 Aturan dasar bagi manajemen perbatasan
eksternal Uni Eropa
PNR Agreements, 2006 Perjanjian untuk mentransfer informasi
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
21
Universitas Indonesia
penumpang dan dikumpulkan oleh maskapai
untuk pemesanan tiket
Rapid Border Intervention Teams
(RABIT), 2007
Tim dari pakar nasional yang menyediakan
bantuan teknis dan operasional terhadap
permintaan pejabat negara, dikoordinasikan
oleh FRONTEX
Visa Information System, 2010 Sistem yang memberikan ruang bagi
pertukaran informasi atas pembuatan visa
dan pembatalan visa untuk mencegah aksi
terorise dan tindak kejahatan lainnya
2.2.1.3. Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Kanada
Program Fungsi
Partners in Protection (PIP), 1995 Komitmen untuk secara sukarela
menerapkan standar yang tinggi terhadap isu
keamanan untuk menciptakan perdagangan
yang terpercaya
Integrated Border Enforcement
Teams (IBET), 1996
Intansi hukum lintas sektor antara Kanada
dan AS untuk mengatasi penyelundupan,
ancaman teror, dan imigran ilegal.
Joint facilities (”one-stop” or
”single-window” border crossings),
2000
Untuk meningkatkan efisiensi dan
menurunkan biaya dengan membangun
sarana bersama perbatasan
Smart Border Action Plan, 2001 Sistem perbatasan di abad ke-21 yang
mencoba mengatasi permasalahan
perbatasan dengan tetap memperhatikan
keamanan nasional dan tujuan ekonomi
Advanced Passenger Information
(API) / Passenger Name Record
(PNR)
Informasi yang disediakan oleh maskapai
sebelum para penumpang memasuki
Kanada. API: data personal; tanggal lahir,
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
22
Universitas Indonesia
jenis kelamin. PNR: data perjalanan;
informasi tiket
NEXUS, 2002 Mempercepat penyeberangan perbatasan
bagi para wisatawan yang telah disetujui
Free and Secure Trade (FAST),
2003
Program penyeberangan perbatasan bagi
tujuan komersial dan perdagangan
Canadian Border Services Agency
(CBSA) Arming Initiative, 2006
Mempersenjatai petugas perbatasan Kanada
Border Information Flow
Architecture, 2006
Mendanai program yang berupaya untuk
mensosialisasikan interaksi yang efektif atas
penggunaan teknologi
Advance Commercial Information,
2004, 2006
Menyediakan petugas CBSA akan informasi
sebelum kedatangan barang atau kargo
Five Country Conference (FCC)
High Value Data Sharing Protocol,
2009
Informasi Biometrik (utamanya sidik jari)
program bersama untuk manajemen
perbatasan dan pengungsi
Canada-US Action Plan for Critical
Infrastructure, 2010
Dirancang untuk melindungi infrastruktur
kedua negara melalui peningkatan
manajemen risiko dan sharing informasi
Sumber: Migration Policy Institute, 2011
Beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dari ketiga negara tersebut
adalah:
a. Pada awalnya fungsi koordinasi menjadi kendala yang cukup signifikan
dalam pengelolaan perbatasan, akan tetapi secara bertahap negara-negara
tersebut memperbaikinya dengan sistem dan manajemen perbatasan
terpadu;
b. Teknologi menjadi kunci utama dalam meningkatkan kinerja pengelolaan
perbatasan;
c. Kerjasama bilateral ataupun multilateral nampaknya menjadi suatu hal
yang tidak dapat dielakkan dalam membangun perbatasan yang lebih baik,
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
23
Universitas Indonesia
seperti halnya AS dan Kanada yang mampu membangun sarana perbatasan
bersama demi efisiensi;
d. Ancaman teroris, imigran ilegal, dan penyelundupan narkoba menjadi
perhatian utama dalam pengelolaan perbatasan.
2.3. Kondisi Perbatasan Indonesia
Indonesia memiliki perbatasan darat internasional dengan 3 negara
tetangga yaitu Malaysia, PNG, dan Timor Leste. Perbatasan darat tersebut tersebar
di tiga pulau (Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara), serta empat provinsi
(Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur).
Sedangkan di laut, perairan Indonesia berbatasan kedaulatan dan atau hak
berdaulat dengan 10 negara tetangga yaitu Malaysia, PNG, Timor Leste, India,
Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, dan Australia.
a. Batas Darat
1. Batas Darat RI-Malaysia
Perbatasan darat antara RI dengan Malaysia memiliki panjang
2.004 km membentang dari Tanjung Datu di sebelah barat hingga ke
pantai timur pulau Sebatik di sebelah timur. Garis batas ini melintasi 8
(delapan) kabupaten di dua provinsi, yaitu Kabupaten Sanggau,
Sambas, Sintang, Kapuas Hulu, dan Bengkayang (Provinsi Kalimantan
Barat) dan Kabupaten Malinau, Kutai Barat, dan Nunukan
(Kalimantan Timur). Garis perbatasan darat di Provinsi Kalimantan
Barat sepanjang 966 kilometer memisahkan wilayah NKRI dengan
wilayah Sarawak, Malaysia. Sedangkan garis perbatasan darat di
Provinsi Kalimantan Timur sepanjang 1.038 kilometer memisahkan
wilayah NKRI dengan negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia.
Delimitasi batas darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan
Pulau Sebatik mengacu kepada perjanjian batas antara Pemerintah
Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda (Traktat 1891, Konvensi 1915
dan 1928) serta MOU batas darat antara Indonesia dan Malaysia tahun
1973-2006. Sedangkan penegasan batas (demarkasi) secara bersama di
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
24
Universitas Indonesia
antara kedua negara telah dimulai sejak tahun 1973, di mana hingga
tahun 2009 telah dihasilkan tugu batas sebanyak 19.328 buah lengkap
dengan koordinatnya. Delimitasi batas darat RI-Malaysia yang
sebagian besar berupa watershed (punggung gunung/bukit, atau garis
pemisah air) ini sudah selesai, tetapi secara demarkasi masih tersisa 9
(sembilan) titik bermasalah (outstanding boundary problems). Kondisi
keberadaan patok batas antar negara di darat antara RI-Malaysia perlu
untuk menjadi perhatian, dimana pergeseran patok batas sering terjadi
karena adanya aktivitas di sekitar kawasan perbatasan, bahkan
bergesernya patok batas darat ini seringkali dilakukan secara sengaja.
Kondisi ini juga terkait dengan lemahnya kontrol atau pengawasan
terhadap batas negara. Penuntasan permasalahan batas darat RI-
Malaysia selama ini ditangani melalui tiga lembaga yaitu: (1) General
Border Committee (GBC) RI-Malaysia dikoordinasikan oleh
Kementerian Pertahanan; (2) Joint Commission Meeting (JCM) RI-
Malaysia, dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri; dan (3) Sub
Komisi Teknis Survey dan Demarkasi dikoordinasikan oleh
Kementerian Dalam Negeri. Adapun untuk penanganan masalah
outstanding border problems (OBP) telah dibentuk Kelompok Kerja
Bersama (Joint Working Group) antara kedua negara. Untuk tahap
awal telah disepakati untuk dibahas 5 (lima) permasalahan di sektor
Timur (Kalimantan Timur-Sabah).
2. Batas Darat RI-Papua Nugini
Perbatasan darat antara Indonesia dan PNG memiliki panjang 820
Km membentang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara
sungai Bensbach, Merauke di sebelah selatan. Garis batas ini melintasi
5 (lima) kabupaten di Provinsi Papua, yaitu Kabupaten Keerom,
Merauke, Boven Digoel, Pegunungan Bintang, dan Kota Jayapura.
Delimitasi batas RI dengan Papua Nugini di Pulau Papua mengacu
kepada perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-Garis
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
25
Universitas Indonesia
Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini tanggal 12 Februari
1973, yang diratifikasi dengan UU No. 6 tahun 1973, serta deklarasi
bersama Indonesia dan Papua Nugini tahun 1989-1994. Koordinasi
dan lokasi pilar batas darat dengan negara PNG tersebar dalam 52 titik
pilar batas yang telah disepakati dalam perjanjian RI-PNG 12 Februari
1973.
Pemasangan tanda batas atau demarkasi batas RI-PNG sudah
dimulai sejak tahun 1966, dimana hingga saat ini jumlah tugu utama
(MM) yang tersedia berjumlah 55 buah, sedangkan tugu perapatan
berjumlah 1792 buah.
Kasus lain yang muncul akibat ketidakjelasan batas di lapangan
adalah adanya daerah yang berada di wilayah Indonesia, tetapi secara
administrasi pemerintahan yang berjalan efektif selama ini adalah PNG
(kasus Warasmoll dan Marantikin di Kabupaten Pegunungan Bintang).
Pengelolaan batas negara RI-PNG saat ini ditangani dua lembaga yaitu
Joint Border Committee (JBC) RI-PNG yang dikoordinasikan oleh
Kementerian Dalam Negeri, serta Sub Komisi Teknis Survey
Penegasan dan Penetapan Batas RI-PNG yang dikoordinasikan oleh
Kementerian Pertahanan.
3. Batas Darat RI-Timor Leste
Perbatasan darat antara RI dengan Timor Leste memiliki panjang
268,8 km, melintasi 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
yaitu Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, dan Kupang. Perbatasan
darat RI dengan Timor Leste terbagi atas dua sektor, yaitu: (1) Sektor
Timur (sektor utama/main sector) di Kabupaten Belu yang berbatasan
langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro di Timor
Leste sepanjang 149,1 km; dan (2) Sektor Barat (Kabupaten Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan
Distrik Oecussi yang merupakan wilayah enclave Timor Leste
sepanjang 119,7 km. Hampir sebagian besar (99%) batas darat kedua
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
26
Universitas Indonesia
negara berupa batas alam berupa watershed dan thalweg (bagian
terdalam sungai). Delimitasi batas RI dengan Timor Leste di
PulauTimor mengacu kepada perjanjian antara Pemerintah Hindia
Belanda dan Portugis pada tahun 1904 dan Permanent Court Award
(PCA) 1914, serta Perjanjian Sementara antara Indonesia dan Timor
Leste pada tanggal 8 April 2005. Perundingan perbatasan antara RI dan
Timor Leste mulai dilaksanakan sejak tahun 2001 dengan diadakannya
pertemuan pertama Technical Sub-Committee on Border Demarcation
and Regulation (TSCBDR) RI-UNTAET (United NationsTransitional
Administration for East Timor). Batas negara antara RI dan Timor
Leste sebanyak 907 titik-titik koordinat telah ditetapkan dalam
persetujuan tentang Perbatasan Darat (Provisional Agreement) yang
ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Timor Leste pada tanggal 8
Juni 2005 di Dili namun masih ada segmen yang belum terselesaikan
dan yang belum disurvey/diukur oleh Tim Survey kedua negara.
Sampai saat ini telah dilakukan demarkasi berupa pemasangan 42
pilar batas di sektor timur dan 8 pilar batas di sektor barat. Sedangkan
panjang garis yang selesai dilacak (delineasi) sekitar 95% dari total
panjang batas. Selain itu telah dilakukan kegiatan CBDRF dan
pemetaan bersama di sepanjang garis batas. Permasalahan batas RI-
Timor Leste yaitu adanya ketidakcocokan antara kesepakatan yang
tertera dalam Dasar Hukum (Traktat 1904 dan PCA 1914) dengan
kenyataan di lapangan maupun yang diketahui oleh masyarakat sekitar
saat ini. Penjelasan yang disampaikan oleh warga Indonesia dan warga
Timor Leste terkadang saling berlawanan. Selain itu masih ada
sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan yang berbeda.
Mereka secara tradisional memiliki “batas” yang diakui secara turun
temurun oleh suku-suku yang berada di kedua negara yang berbeda
dengan yang tertuang dalam kedua dasar hukum tersebut di atas. Di
sisi lain tidak ditemukan bukti-bukti yang dapat mendukung “klaim”
masyarakat tersebut sehingga para perunding tidak dapat membawa
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
27
Universitas Indonesia
“klaim” tersebut dalam pertemuan-pertemuan kedua negara.
Permasalahan ini sangat terasa di sektor barat, khususnya kawasan
Manusasi. Penanganan batas negara RI-Timor Leste selama ini
ditangani oleh 2 (dua) lembaga yaitu Joint Border Committee (JBC)
RI-RDTL yang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri, serta
Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation RI-RDTL
yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertahanan dan Bakosurtanal.
b. Batas Laut
1. Batas Laut RI-India
Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas KontinenRI
berbatasan dengan Negara India di Laut Andaman. Delimitasi Batas
Zona Ekonomi Eksklusif RI-India hingga saat ini belum disepakati,
sedangkan Batas Landas Kontinen telah disepakati melalui beberapa
perjanjian yakni:
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik India
tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara kedua
negara pada tanggal 8 Agustus 1974 (Keppres No. 51/1974).
Persetujuan ini menetapkan garis batas landas kontinen di daerah
perairan antara Sumatera, Indonesia, dengan Nicobar Besar, India.
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik India
tentang Perpanjangan Garis Batas Landas Kontinen di Laut
Andaman dan Samudera Hindia pada tanggal 14 Januari 1977
(Keppres No. 26/1977).
Persetujuan antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India, dan
Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan
Tiga Garis Batas (tri junction point) dan Penetapan Garis Batas
Ketiga Negara di Laut Andaman pada tanggal 22 Juni 1978
(Keppres No. 24 tahun 1978).
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
28
Universitas Indonesia
2. Batas Laut RI-Thailand
Wilayah ZEE dan Landas Kontinen RI berbatasan dengan Negara
Thailand di Laut Andaman dan Selat Malaka bagian utara. Delimitasi
batas ZEE RI-Thailand hingga saat ini masih dalam proses
perundingan batas dan belum disepakati. Sedangkan BLK telah
disepakati melalui beberapa perjanjian, antara lain melalui:
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia,
dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penerapan Garis Batas
Dasar Landas Kontinen di Bagian Selat Malaka pada tanggal 17
Desember 1971 (Keppres No. 20 tahun 1972).
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penerapan Garis Batas Landas Kontinen
antara Kedua Negara di Bagian Utara Selat Malaka dan di Laut
Andaman pada tanggal 11 Maret 1972 (Keppres No. 21 tahun
1972).
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan
Thailand tentang Penerapan Garis Batas Dasar Laut Antara Kedua
Negara di Laut Andaman pada tanggal 11 Desember 1975
(Keppres No. 1 tahun 1977).
Persetujuan antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India, dan
Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan
Tiga Garis Batas (tri junction point) dan Penetapan Garis Batas
Ketiga Negara di Laut Andaman pada tanggal 22 Juni 1978
(Keppres No. 24 tahun 1978).
3. Batas Laut RI-Vietnam
Wilayah ZEE dan Landas Kontinen RI berbatasan dengan Negara
Vietnam di Laut Cina Selatan. Delimitasi batas ZEE RI-Vietnam
hingga saat ini belum disepakati, sedangkan Batas Landas Kontinen
telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 melalui Perjanjian
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
29
Universitas Indonesia
Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen
dan telah diratifikasi melalui UU No. 18 tahun 2007. Perundingan
BLK RI-Vietnam tersebut memakan waktu sekitar 25 tahun terhitung
sejak pemerintahan baru Vietnam sampai akhirnya disepakati.
4. Batas Laut RI-Malaysia
Indonesia memiliki tiga lokasi yang berpotensi memerlukan
delimitasi batas maritim dengan Malaysia. Ketiga lokasi tersebut
adalah Selat Malaka antara Semenanjung Malaysia, Laut Cina Selatan,
serta Laut Sulawesi. Batas maritim ini meliputi Laut Teritorial, Landas
Kontinen, dan ZEE. Batas Laut Teritorial Indonesia-Malaysia di Selat
Malaka telah disepakati melalui Perjanjian Antara Republik Indonesia
dan Malaysia tentang Penerapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua
Negara di Selat Malaka yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret
1970 dan telah diratifikasi melalui UU No. 2 tahun 1971. Batas Landas
Kontinen RI-Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur telah
disepakati melalui Persetujuan Antara Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia tentang Penerapan Garis Batas Landas Kontinen
Antara Kedua Negara pada tanggal 27 Oktober 1969 dan disahkan
pemberlakuannya dengan Keppres No. 89 tahun 1969. Sedangkan
BLK antara RI-Malaysia-Thailand di bagian utara Selat Malaka
disepakati pada tanggal 17 Desember 1971 melalui Keppres No. 20
tahun 1972. Beberapa segmen batas maritim antara Indonesia-
Malaysia hingga saat ini belum disepakati yang disebabkan klaim
sepihak Malaysia berdasarkan Peta 1979. Malaysia mengklaim
wilayah maritim yang sangat eksesif mencakup wilayah maritim yang
belum disepakati batasnya seperti di Laut Sulawesi. Hal ini disebabkan
Malaysia menerapkan prinsip-prinsip penarikan garis pangkal lurus
kepulauan padahal Malaysia bukan merupakan negara kepulauan
menurut Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982. Hal tersebut
mengakibatkan sebagian ZEE Indonesia di Laut Sulawesi masuk
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
30
Universitas Indonesia
menjadi laut teritorial Malaysia. Permasalahan batas maritim
Indonesia-Malaysia juga terjadi di Selat Singapura antara Pulau Bintan
dan Johor Timur, yang disebabkan oleh penggunaan suar Horsburg
yang terletak pada pintu masuk Selat Singapura dari arah timur sebagai
titik dasar.
5. Batas Laut RI-Singapura
Indonesia berbatasan laut wilayah dengan Singapura di Selat
Singapura. Pada tanggal 26 Mei tahun 1973, RI-Singapura telah
menyepakati 6 titik koordinat Batas Laut Teritorial dan telah
diratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1973. Pada tanggal 10 Maret 2009,
RI dan Singapura kembali menandatangani perjanjian mengenai
penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat Selat
Singapura.
Secara keseluruhan, perbatasan laut antara Indonesia dengan
Singapura hingga saat ini baru menyepakati segmen barat, sedang
segmen timur di Selat Singapura masih harus diselesaikan antara
Indonesia dengan Singapura. Penyelesaian di segmen timur masih
menunggu penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh/Pedra
Branca antara Malaysia dan Singapura.
6. Batas Laut RI-Filipina
Indonesia memiliki ZEE yang berbatasan dengan Negara Filipina
di Laut Sulawesi, namun hingga saat ini belum dapat didelimitasi
batasnya antar kedua negara. Pada awalnya, permasalahan utama
dalam delimitasi batas maritim antara RI-Filipina adalah berlaku dan
dianutnya Traktat Paris 1898 dan Traktat 1930 oleh Filipina yang
menyebabkan wilayah maritim Filipina berupa kotak, tidak menganut
prinsip jarak dari garis pangkal seperti ditegaskan oleh hukum
internasional. Hal ini menyulitkan negosiasi karena dasar hukum yang
digunakan Filipina berbeda dengan Indonesia yang mengacu kepada
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
31
Universitas Indonesia
UNCLOS. Permasalahan lainnya adalah kepemilikan Pulau Palmas
atau Pulau Mianggas. Namun kedua persoalan ini telah terselesaikan
dimana Pulau Mianggas terbukti merupakan wilayah kedaulatan
Pemerintah Hindia Belanda sehingga sesuai TZMKO 1939 Pulau
Mianggas menjadi wilayah kedaulatan RI. Filipina juga sudah
menyepakati untuk mengacu kepada UNCLOS dalam menyelesaikan
batas maritim dengan Indonesia. Hingga saat ini negosiasi batas
maritim RI-Filipina sudah pada tingkat teknis.
7. Batas Laut RI-Palau
Hingga saat ini Indonesia belum menyepakati batas-batas ZEE dengan
Palau di Samudera Pasifik. Salah satu alasan utama adalah belum
terbentuknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Palau.
Meski demikian, Indonesia sudah menyatakan klaimnya melewati
garis tengah antara Indonesia dengan Palau, sehingga Indonesia
menguasai 37.500 mil laut wilayah maritim di sisi Palau dilihat dari
sisi simulasi garis meridian murni dengan mempertimbangkan titik
pangkal relevan antara kedua negara.
8. Batas Laut RI-Timor Leste
Penyelesaian batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste, baik
Batas Laut Teritorial, Batas Landas Kontinen, maupun Batas ZEE
masih harus menunggu penyelesaian batas darat antara kedua negara.
Mengingat saat ini batas darat yang terselesaikan baru 97 persen, maka
negosiasi batas maritim belum dapat dimulai. Hal ini karena batas laut
pada dasarnya adalah kelanjutan dari batas darat.
9. Batas Laut RI-Australia
Indonesia dan Australia telah menyepakati enam perjanjian batas
maritim. Perjanjian pertama tanggal 18 Mei 1971 adalah tentang Batas
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
32
Universitas Indonesia
Landas Kontinen di Laut Arafura dan Laut Timor. Perjanjian ini telah
diratifikasi melalui Keppres No. 42 tahun 1971 tentang Persetujuan
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Commonwealth Australia tentang Penerapan Batas-Batas Dasar Laut
Tertentu. Perjanjian tahun 1971 dilanjutkan dengan perjanjian kedua
tanggal 9 Oktober 1972 dilanjutkan dengan perjanjian kedua tanggal 9
Oktober 1972 tentang batas maritim di sebelah selatan Pulau Tanimbar
(Laut Arafura) dan sebelah selatan Pulau Rote dan Pulau Timor.
Perjanjian ini diratifikasi melalui Keppres No. 66 tahun 1972 tentang
Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah RI dengan Pemerintah
Commonwealth Australia tentang Penerapan Garis Batas Landas
Kontinen Antara Kedua Negara. Perjanjian ketiga dilakukan oleh
Australia atas nama PNG tentang batas maritim di Samudera Pasifik.
Perjanjian keempat dilaksanakan atas nama PNG pada tanggal 12
Februari 1973 perihal Landas Kontinen di Laut Arafura. Perjanjian
kelima dilakukan Indonesia-Australia mengenai penetapan zona
kerjasama di Laut Timor (celah Timor) dimana perjanjian ini tidak
berlaku lagi pasca kemerdekaan Timor Leste. Perjanjian keenam antara
Indonesia-Australia disepakati pada tanggal 14 Maret 2009 untuk
tubuh air, ZEE dan dasar laut. Namun perjanjian ini belum berlaku
secara resmi mengingat Indonesia belum meratifikasi dalam peraturan
nasional.
10. Batas Laut RI-PNG
Indonesia dengan PNG menyepakati batas teritorial pada tanggal
12 Februari 1973 dan disahkan melalui UU No. 6 tahun 1973. Saat itu
PNG tidak bertindak sendiri tetapi diwakili oleh Australia selaku
negara protektorat (pelindung) terhadap PNG.
Pada tanggal 13 November 1980, Indonesia dan PNG
menandatangani perjanjian batas maritim landas kontinen di kawasan
Samudera Pasifik. Perjanjian ini meneruskan garis batas maritim antara
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
33
Universitas Indonesia
Indonesia dan Australia tahun 1971. Kesepakatan ini disahkan
pemberlakuannya melalui Keppres No. 21/1982 yang juga sekaligus
menentukan batas maritim ZEE bagi Indonesia dan PNG.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
34
Universitas Indonesia
Tabel 2.1
Status Batas Maritim Indonesia Dengan Negara Tetangga
No Batas Laut Status KeteranganI. ZONA EKONOMI EKSKLUSIF1. RI-Malaysia Belum disepakati Belum ada perjanjian batas2. RI-Vietnam Telah disepakati Belum ada perjanjian batas3. RI-Philipina Belum disepakati Belum ada perjanjian batas4. RI-Palau Belum disepakati Belum ada perjanjian batas5. RI-PNG Belum disepakati Tidak ada batas laut6. RI-Timor Leste Belum disepakati Belum ada perjanjian batas7. RI-India Belum disepakati Belum ada perjanjian batas8. RI-Singapura Belum disepakati Belum ada perjanjian batas9. RI-Thailand Belum disepakati Belum ada perjanjian batas10. RI-Australia Telah disepakati ZEE di Samudera Hindia, Laut
Arafura, dan Laut TimorII. BATAS LAUT TERITORIAL
1. RI-Malaysia Telah disepakati Disepakati dalam perjanjianIndonesia-Malaysia Tahun 1970
2. RI-Singapura(di sebagianSelat Singapura)
Telah disepakati(sebagian)
Disepakati dalam perjanjianIndonesia-Singapura tahun 1973dan 2009
3. RI-PNG Telah disepakati Disepakati dalam perjanjianIndonesia-PNG tahun 1980
4. RI-Timor Leste Belum disepakati Perlu ditentukan garis-garispangkal kepulauan di Pulau Leti,Kisar, Wetar, Liran, Alor, Pantar,hingga Pulau Vatek, dan titikdasar sekutu di Pulau Timor
5. RI-Malaysia-Singapura
Belum disepakati Perlu perundingan bersama (tri-partid)
III. BATAS LANDAS KONTINEN1. RI-India Telah disepakati 10 titik BLK di Laut Andaman
berikut koordinatnya disepakatiberdasarkan perjanjian pada tahun1974 dan 1977
2. RI-Thailand Telah disepakati Titik-titik BLK di Selat Malakamaupun Laut Andaman disepakatiberdasarkan perjanjian pada tahun1977
3. RI-Malaysia Telah disepakati 10 titik BLK di Selat Malaka dan15 titik di Laut Natuna disepakatiberdasarkan perjanjian pada tahun1969
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
35
Universitas Indonesia
4. RI-Australia Telah disepakati Titik-titik BLK di Laut Arafuradan Laut Timor ditetapkanmelalui Keppres pada tahun 1971dan 1972
Titik-titik BLK di SamuderaHindia dan di sekitar PulauChristmas telah disepakatiberdasarkan perjanjian pada tahun1997
6. RI-Philipina Belum disepakati Dalam proses negosiasi7. RI-Palau Belum disepakati Belum ada proses perundingan8. RI-Timor Leste Belum disepakati Belum ada proses perundingan9. RI-Vietnam Telah disepakati Melalui perjanjian tahun 2003Sumber: BNPP, 2011
2.4. Koordinasi Pengelolaan Perbatasan
2.4.1. Konsep Koordinasi
2.4.1.1. Pengertian Koordinasi
Dalam sistem administrasi negara Republik Indonesia, dikemukakan
bahwa: Dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah maupun dalam
rangka menggerakkan dan memperlancar pelaksanaan pembangunan, kegiatan
pemerintah perlu dipadukan, diserasikan dan diselaraskan untuk mencegah
timbulnya tumpang tindih, pembenturan, kesimpangsiuran, dan atau kekacauan.
Oleh karena itu, koordinasi antar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan.
Koordinasi dalam pemerintah adalah merupakan upaya memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan, dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan
kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya
dalam rangka pencapaian tujuan dan asas bersama. Koordinasi perlu dilaksanakan
dari proses perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada
pengawasan dan pengendaliannya.
Farland (1964) mendefinisikan koordinasi sebagai suatu proses dimana
pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara
bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
36
Universitas Indonesia
Stoner dan Wankel (1986), memberi batasan koordinasi sebagai proses
pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang-bidang
fungsional) yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.
Stoner dan Freeman (1994), menyatakan bahwa koordinasi adalah proses
pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang
fungsional) yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. Tanpa
koordinasi, para individu dan bagian-bagian akan kehilangan pemahaman akan
peran mereka di dalam organisasi dan tergoda untuk mengejar kepentingan khusus
mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan tujuan organisasi yang lebih
besar.
Sementara Hardjito (1995), mendefinisikan koordinasi sebagai
pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan dari satuan-satuan yang
terpisah (unit-unit) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara
efisien.
Hasibuan (1996), menyatakan bahwa untuk lebih memudahkan
pelaksanaan koordinasi antar organisasi, dibutuhkan persyaratan-persyaratan di
antaranya adalah sense of cooperation (keinginan untuk bekerjasama), ini harus
dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;
rivalry, dalam organisasi-organisasi besar sering diadakan persaingan antara
bagian-bagian, agar bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan; team
spirit, artinya bagian-bagian pada setiap bagian harus harga-menghargai dan
mempunyai semangat juang yang sama; esprit de corps, artinya bagian-bagian
yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan memiliki rasa satu korps, satu
tubuh dalam sebuah organisasi.
Dari beberapa kutipan di atas, unsur-unsur yang terkandung di dalam
definisi tersebut jika diperinci adalah sebagai berikut:
a. Koordinasi mengandung arti sebagai suatu proses atau dengan kata lain
sebagai suatu kegiatan yang ada secara terus menerus tidak pernah
berhenti;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
37
Universitas Indonesia
b. Koordinasi mengandung upaya atau kegiatan untuk menyerahkan,
menselaraskan atau mensinkronkan unit-unit atau bagian atau tindakan di
dalam suatu organisasi;
c. Koordinasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif
dengan melalui upaya menghilangkan konflik dan tumpang tindih.
Penulis melihat bahwa konsep koordinasi yang mengedepankan
keselarasan, keterpaduan, dan keserasian di antara semua sektor untuk mencapai
tujuan inilah yang nantinya akan mewarnai penelitian tentang koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah
daerah.
2.4.1.2. Perbedaan Koordinasi dan Kooperasi
Koordinasi adalah suatu istilah yang mengandung kooperasi, sebab
koordinasi tanpa adanya kooperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Sebelum
membedakan istilah ini terlebih dahulu dijelaskan definisi dari kooperasi
(cooperation).
Farland mendefinisikan kooperasi sebagai berikut: ”Cooperation is the
willingness of individual to help each other”. (Koperasi adalah kehendak dari
individu-individu untuk menolong satu sama lain).
Pada kooperasi/kerjasama terdapat unsur kesukarelaan atau sifat suka rela
(voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi, sedangkan koordinasi
tidak terdapat unsur kerjasama secara sukarela, tetapi bersifat kewajiban
(compulsory).
2.4.1.3. Tipe Koordinasi
Hasibuan (1996), mengemukakan koordinasi adalah kegiatan
mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen
dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Tipe-
tipe koordinasi sebagai berikut:
1) Koordinasi vertikal (vertical coordination) adalah kegiatan-kegiatan
penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
38
Universitas Indonesia
unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan
tanggung jawabnya. Artinya, atasan mengkoordinasi semua aparat
yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi
vertikal ini secara relatif mudah dilakukan karena atasan dapat
memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur;
2) Koordinasi Horizontal (Horizontal Coordination), merupakan
mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan penyatuan,
pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat
organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi
atas “interdiciplinari dan interrelated”. Interdiciplinari adalah suatu
koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-
tindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin antara unit yang satu
dengan unit yang lain secara intern maupun ekstern pada unit-unit
yang sama tugasnya. Sedangkan interrelated adalah koordinasi antar
bagian (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi
yang satu dengan yang lain saling bergantungan atau mempunyai
kaitan baik intern maupun ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi
horizontal ini relatif sulit dilakukan, karena koordinator tidak dapat
memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab
kedudukannya setingkat.
2.4.1.4. Metode dan Teknik Koordinasi
Handayaniningrat (1986), menjelaskan bahwa metode dan teknik
koordinasi pada dasarnya dapat dilakukan melalui:
a. Koordinasi melalui kewenangan. Koordinasi ini tercipta didasarkan pada
kekuasaan yang sah dan legal formal dalam suatu lembaga/organisasi;
b. Koordinasi melalui konsensus. Koordinasi melalui konsensus terjadi bila
ada kesepakatan dalam suatu lembaga/organisasi. Konsensus tersebut
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: konsensus motivasi, konsensus sistem
timbal balik dan konsensus ide;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
39
Universitas Indonesia
c. Koordinasi melalui pedoman kerja. Untuk mencapai kelancaran
pelaksanaan sistem koordinasi, maka pedoman kerja mutlak diperlukan
untuk menyatukan persepsi dan tujuan;
d. Koordinasi melalui forum. Koordinasi forum dilakukan melalui wadah
atau lembaga sebagai tempat bertemu dan berkumpul dalam membahas
permasalahan;
e. Koordinasi melalui konferensi. Dilakukan melalui rapat atau sidang.
2.4.1.5. Masalah-Masalah Koordinasi
Beberapa sebab timbulnya masalah koordinasi:
a. Kompleksnya fungsi dan kegiatan yang secara khusus dilakukan oleh
berbagai unit atau perorangan;
b. Bertambahnya pengkhususan-pengkhususan dari berbagai kegiatan
sehingga memperbesar struktur organisasi itu sendiri;
c. Rentang pengendalian (span of control) dari organisasi. Mengingat
kemampuan manusia yang terbatas, maka diperlukan pembatasan
secara rasional terhadap jumlah bawahan yang harus dikendalikan.
2.4.1.6. Tujuan Koordinasi
Tujuan koordinasi adalah dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
secara lebih efektif dan efisien dengan melalui pendekatan yang dapat mencegah
konflik, tumpang tindih, ketidakserasian antara bagian yang satu dengan bagian
lainnya. Sehingga sumber daya terbatas yang dimiliki oleh organisasi dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Dalam hal ini Petit (1975) mengemukakan bahwa: ‘Coordination’s
purpose is to integrate once again the parts of the task that were separated by the
division of work”. Jadi menurut Petit tujuan koordinasi adalah untuk
mengintegrasikan bagian-bagian tugas yang terpisah akibat pembagian tugas.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
40
Universitas Indonesia
Saxena mengemukakan pula:
“Coordination is between often widely dispersed activities, with the
purpose of accomplishing events and tasks as parts of specified set of
objectives” (Saxena, 1980).
Dengan demikian, tujuan koordinasi adalah untuk menyatukan tindakan,
menyerasikan kegiatan, dan mensinkronkan setiap usaha guna mencapai tujuan
organisasi.
2.4.2. Kelembagaan Pengelolaan Perbatasan
Dalam penulisan tesis ini, aspek kelembagaan menjadi penting untuk
dibahas, hal ini terutama terkait fungsi koordinasi dalam proses pengelolaan
perbatasan.
Pengelolaan perbatasan hingga saat ini ditangani oleh 3 bentuk
kelembagaan: Pertama, komite-komite perbatasan yang merupakan forum
kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, antara lain General Border
Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI-PNG, JBC RI-
Timor Leste, dan Border Committee RI-Filipina. Kedua, lembaga-lembaga
pemerintah terkait secara sektoral dan teknis, dan ketiga, unit atau badan khusus
di daerah yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan yang bekerjasama
dengan negara tetangga, seperti Sosek Malindo di Kalbar, Kaltim dan Riau dan
Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah (BPKD) di perbatasan Papua.
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat beberapa persoalan yang muncul
dari 3 bentuk kelembagaan ini:
Pertama, komite-komite perbatasan itu diketuai oleh instansi yang
berbeda, sehingga sulit untuk menghasilkan kebijakan yang terintegrasi dan
komprehensif. Kedua, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah juga belum
memiliki mekanisme yang jelas. Ketiga, persoalan kontrol dan monitoring.
Keempat, lemahnya penegakan hukum, hubungan koordinatif yang lemah di
antara berbagai lembaga dan tidak terpilah berdasarkan bidang kepabeanan,
imigrasi, karantina dan kepolisian, sehingga menyulitkan proses penegakan
hukum.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
41
Universitas Indonesia
Selain itu pula, BNPP merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab
utama untuk mengelola perbatasan dengan leading sector Kementerian Dalam
Negeri. Sejumlah instansi pemerintah lainnya yang turut bersinergi antara lain
Kementerian Luar Negeri, Pertahanan, Hukum, HAM, Keuangan, Pekerjaan
Umum, Perhubungan, dan Kehutanan. Bahkan BNPP juga juga beranggotakan
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri Koordinator
Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua dan
Wakil Ketua BNPP.
2.4.3. Faktor-Faktor Penting Koordinasi
Salah satu bentuk struktur organisasi adalah aktivitas koordinasi, di mana
masing-masing terintegrasi dan tersinkronisasi satu sama lain. Dalam sebuah
organisasi, derajat koordinasi ditentukan oleh sejauh mana interaksi
ketergantungan antara orang dan kelompok dalam organisasi tersebut, yakni
seberapa besar mereka harus bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Ada 3 (tiga) level ketergantungan yang terjadi pada kebanyakan
organisasi:
a. Pooled interdependence. Setiap orang atau kelompok melakukan
aktivitas yang terpisah satu sama lain;
b. Sequential interdependence. Setiap pekerjaan mengalir dalam satu arah
dari orang/kelompok yang satu menuju orang/kelompok yang lain;
c. Reciprocal interdependence. Tipe terakhir ini membutuhkan derajat
koordinasi yang tinggi, di mana setiap aliran pekerjaan, sumber daya,
dan informasi berlangsung dua arah, yaitu setiap orang/kelompok
bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan aktivitasnya.
Farland (1967) dalam Kaloh (1986) mengemukakan empat faktor penting
dalam koordinasi, sehingga menentukan pencapaian koordinasi yang efektif:
1. Clarifying authority and responsibility (kewenangan dan tanggung
jawab yang jelas);
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
42
Universitas Indonesia
2. Careful checking and observation (pengawasan dan pengamatan yang
seksama);
3. Facilitating effective communication (fasilitasi komunikasi yang
efektif);
4. Utilizing leadership skills (menggunakan kemampuan memimpin).
Selanjutnya Barney dan Griffin (1992) mengemukakan beberapa metode
yang biasa digunakan untuk mencapai koordinasi yang baik:
1. Using the hierarchy (menggunakan hirarki);
2. Establishing rules and procedures (membuat aturan dan prosedur);
3. Assigning liaison rules (menetapkan agen penghubung untuk
komunikasi);
4. Forming task forces (membentuk satuan tugas);
5. Integrating departments (mengintegrasikan bagian-bagian).
Selanjutnya, Husaini Usman (2010) menyatakan bahwa ada 10 (sepuluh)
karakteristik koordinasi yang efektif, yaitu:
a. Tujuan berkoordinasi tercapai dengan memuaskan semua pihak terkait;
b. Koordinasi sangat proaktif dan stakeholder kooperatif;
c. Tidak ada ego sektoral;
d. Tidak terjadi tumpang tindih tugas;
e. Komitmen semua pihak tinggi;
f. Info keputusan mengalir cepat ke semua pihak yang ada dalam sistem
jaringan koordinasi;
g. Tidak merugikan pihak-pihak yang berkoordinasi;
h. Pelaksanaan tepat waktu;
i. Semua masalah terpecahkan;
j. Tersedianya laporan tertulis yang lengkap dan rinci oleh masing-masing
stakeholder.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
43
Universitas Indonesia
Teori-teori yang telah penulis paparkan di atas merupakan intisari dari
konsep koordinasi. Masing-masing teori memiliki keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. Barney dan Griffin misalnya, memberikan metode pencapaian
koordinasi yang efektif dengan menggunakan hirarki dan satuan tugas, padahal di
masyarakat ataupun di tingkat desa tidak semua harus diselesaikan dengan hirarki
yang kaku dan normatif, apalagi sampai dibentuk satuan tugas. Begitu pula
dengan agen penghubung yang khusus menjembatani proses komunikasi,
mengingat seringkali proses interaksi dan komunikasi terjadi secara spontan,
informal, dan cenderung bersifat kekeluargaan. Hal-hal seperti inilah yang patut
mendapatkan perhatian, di mana tidak semua langkah ataupun tindakan dapat
dilaksanakan dengan baik. Namun satu hal yang menjadi keunggulan konsep
koordinasi menurut Barney dan Griffin adalah membuat aturan dan prosedur yang
jelas, karena bagaimanapun proses komunikasi ataupun tugas dijalankan, tentu
harus mempunyai arahan dan pedoman yang jelas, sehingga dapat berjalan sesuai
dengan rencana dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Husaini Usman dengan 10
karakteristik koordinasi yang efektif. Dari sepuluh (10) karakteristik yang ada,
penulis melihat ada dua hal yang cukup sentral, yakni tidak adanya ego sektoral
dan tidak terjadinya tumpang tindih tugas. Penulis melihat bahwa dua hal ini
memiliki bobot yang lebih dibandingkan dengan yang lain, terlebih pengelolaan
perbatasan melibatkan banyak stakeholder yang saling berhubungan satu sama
lain. Maka dari itu, dua hal ini menjadi kunci utama dalam proses pengelolaan
perbatasan yang terintegrasi.
Pada akhirnya, dari rangkaian teori yang telah penulis paparkan di atas,
maka untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi koordinasi pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia, maka
penulis akan menggunakan 4 (empat) faktor yang dikemukakan oleh Farland
untuk mencapai koordinasi yang efektif. Penulis berpikir bahwa konsep
koordinasi yang dikemukakan oleh Farland merupakan sebuah kesatuan konsep
besar yang di dalamnya tercantum ragam langkah dan karakteristik dari
koordinasi yang efektif. Oleh karena itu, dengan mengambil konsep koordinasi
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
44
Universitas Indonesia
yang dikemukakan oleh Farland, maka sekumpulan teori yang telah penulis
sebutkan sebelumnya dapat terangkum dengan baik. Adapun keempat hal pokok
tersebut adalah:
1) Kewenangan dan tanggung jawab;
Di dalam setiap organisasi apabila kita pandang dari situasi vertikal, maka
kita akan melihat beberapa tingkat organisasi di mana masing-masing
tingkat tersebut mempunyai kewenangan sendiri-sendiri. Dipandang dari
situasi horisontal maka nampak beberapa kelompok, fungsi, divisi, atau
teritorial. Masalah koordinasi dapat timbul dari kedua situasi tersebut,
namun biasanya pimpinan lebih banyak perhatiannya kepada koordinasi
terhadap unit-unit horisontal.
Kewenangan dan tanggung jawab dari setiap unit / divisi atau fungsi baik
secara horisontal maupun vertikal harus jelas, tanpa hal tersebut maka
kemungkinan adanya overlapping atau kekembaran tugas dapt terjadi. Hal
ini pada gilirannya akan mempersulit pelaksanaan koordinasi, sekaligus
menimbulkan inefektivitas.
2) Komunikasi;
Beberapa sarana yang dapat digunakan dalam menunjang fasilitas
komunikasi yang efektif adalah:
a. Committees
Menurut Dale (1993) ada empat keuntungan dalam menggunakan
Committees:
a. Application of consultative supervision, which contributes to
uniformity of directions of the organization;
b. Coordination of long and short term programs;
c. Flexibility in handling emergency situations;
d. Broader experience for executives and interchangeability of
management personnel.
b. Group decisions;
Dengan adanya kelompok untuk membahas dan menetapkan keputusan
maka terdapat kesempatan yang luas dan terbuka untuk melakukan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
45
Universitas Indonesia
diskusi dan saling tukar menukar ide, masalah, usul, serta dapat
memecahkan secara bersama-sama masalah yang dihadapi.
c. Communication channels;
Sarana komunikasi berupa laporan, data, dan semua bentuk personal
contact adalah potensial untuk koordinasi. Untuk memudahkan
koordinasi, maka setiap individu dalam organisasi harus memahami
secara jelas sifat dan lingkup tugasnya masing-masing dengan
tanggung jawabnya yang melekat.
d. Staf meetings.
Rapat staf yang periodik akan sangat membantu pelaksanaan
koordinasi. Dimock mengemukakan empat fungsi yang sangat
bermanfaat dalam rapat staf.
a. To give everyone present a sense of the unity and
interconnectedness;
b. To learn from the chief executive about new problems and
developments which affect their work;
c. To provide an opportunity for subordinates to bring up
questions which the executive should know about and which
may effect the operations of parallel divisions of the
organizations;
d. To provide a forum in which friction points or areas of in
adequate coordination are brought in to the open.
3) Kontrol;
Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memastikan apakah sesuatu
aktivitas telah sesuai dengan apa yang seharusnya dicapai. Setiap rencana
dapat menjadi usang (out dated) sehingga memerlukan perbaikan. Untuk
mengetahui apakah suatu rencana sudah usang maka diperlukan
pengawasan. (Gary Deasler, 1977, 333-334). Kontrol sebagai intinya
adalah ”Governing Influence”. Governing mencakup: pengarahan
(directing); pengendalian (restraining); pelopor (initiating) dan memonitor
(monitoring) semua aktivitas dan tingkah laku. Influence (mempengaruhi)
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
46
Universitas Indonesia
mencakup tindakan serta tingkah laku dalam bentuk kewenangan
(authority), kekuasaan (power), tanggung jawab (responsibility), dan dapat
dimintakan tanggung jawab (accountability). (Andrew F. Sikula, 1973,
111). Thomas A. Petit dalam bukunya Fundamental of Management
Coordination mengemukakan bahwa pengawasan mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan komunikasi, sebab pengawasan adalah atribut dari
sistem yang cenderung untuk memperkuat struktur. Sedangkan untuk
melaksanakan hal tersebut maka sistem dan bagian-bagiannya harus dapat
berkomunikasi dengan bahasa yang dapat saling dimengerti. (Thomas A.
Petit, 1975, 217).
4) Kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah sebagai pengaruh antar pribadi, yang dilakukan
pada suatu situasi dan dilakukan melalui proses komunikasi menuju
pencapaian tujuan tertentu. Kepemimpinan selalu mencakup usaha dari
pemimpin (influence) yang mempengaruhi tingkah laku pengikut (yang
dipengaruhi) dalam suatu situasi tertentu. (Thomas A. Petit, 1975, 200).
Kemampuan memimpin sangat penting di dalam pelaksanaan koordinasi
yang efektif untuk pencapaian tujuan organisasi yang baik. Berbagai
teknik kepemimpinan memungkinkan si pemimpin dapat mengarahkan
bawahannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Williams (1980, 232).
”A final major contributor to lack of coordination is ineffective
leadership; leadership that is unperceiving, unimaginative, or
gutless”.
Jadi menurut Williams, penyebab utama dari lemahnya koordinasi adalah
karena tidak efektifnya kepemimpinan. Hal ini ditegaskan pula oleh
Farland (1967, 384).
”Coordination and leadership are intimately bound together each
having effect upon each other. Coordination can not be achieved
without effective leadership. Effective leadership assures that
coordinated efforts are achieved”
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
47
Universitas Indonesia
2.5. Model Analisis
Dari model analisis yang telah penulis gambarkan di atas, dapat terlihat
bahwa pengelolaan perbatasan dilakukan oleh BNPP sebagai sebuah institusi yang
bertugas untuk melaksanakan fungsi koordinasi. Dalam konteks penelitian ini,
fungsi koordinasi yang dilakukan oleh BNPP difokuskan kepada pilar
Kementerian/Lembaga (K/L) di mana di dalamnya terdiri dari unsur Kementerian
Dalam Negeri (KDN) dan Pemerintah Daerah. Adapun fungsi koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP ditopang dengan empat (4) faktor bagi terciptanya proses
koordinasi yang baik dan efektif. Keempat faktor tersebut adalah kewenangan,
komunikasi, kontrol, dan kepemimpinan. Dari keempat faktor tersebut, kemudian
dijabarkan kembali menjadi indikator-indikator yang berguna untuk memudahkan
penulis memberikan gambaran yang utuh perihal koordinasi yang terjadi, yaitu
penguatan kelembagaan, fasilitas komunikasi yang efektif, pengamatan dan
pengawasan, serta kemampuan memimpin.
PENGELOLAANPERBATASAN
KOORDINASI(BNPP)
KEPEMIMPINAN
KONTROL
KOMUNIKASI
KEWENANGAN
KEMAMPUANMEMIMPIN
PENGAWASAN &PENGAMATAN
FASILITASKOMUNIKASI
EFEKTIF
PENGUATANKELEMBAGAAN
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
48
Universitas Indonesia
2.6. Operasionalisasi Konsep
Secara lebih jelas, operasionalisasi konsep dalam penelitian ini
tergambarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2.
Operasionalisasi Konsep
Konsep Variabel Indikator Sub IndikatorKoordinasiPengelolaan
Batas WilayahNegara diIndonesia
Kewenangandan tanggungjawab
PenguatanKelembagaan
a. Pembakuan Prosedur danMetode
b. Tidak ada ego sektoralc. Tidak terjadi tumpang tindih
tugasd. Aturan normatif
Komunikasi FasilitasKomunikasiyang Efektif
a. Group Discussionb. Sarana Komunikasic. Rapat Stafd. Info keputusan
Kontrol Pengamatan danPengawasan
a. Laporan dan data kegiatan daritiap instansi
b. Evaluasi SOPc. Konsitensi pelaksanaan programd. Evaluasi anggaran
Kepemimpinan KemampuanMemimpin
d. Kemampuan teknis danprofesional
e. Kemampuan menggerakkan danmengarahkan bawahan
f. Kreativitas pemimpin
Sumber: Diolah dari kerangka teori
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
49 Universitas Indonesia
B A B 3
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan positivism. Neuman (2003)
menyebutkan bahwa positivisme jika dilihat berdasarkan ilmu sosial adalah
metode yang diorganisasikan untuk mengkombinasikan logika deduksi dengan
observasi empiris yang tepat dari perilaku individu untuk menemukan dan
mengkonfirmasikan seperangkat hukum sebab akibat yang dapat digunakan untuk
memprediksi pola-pola umum dari aktivitas manusia.
3.2 Jenis/Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sanapiah Faisal (2005)
menyatakan bahwa penelitian deskriptif atau yang biasa disebut juga penelitan
taksonomik, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu
fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel
yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak
sampai mempersoalkan jalinan hubungan antarvariabel yang ada; tidak
dimaksudkan untuk menarik generasi yang menjelaskan variabel-variabel
anteseden yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Dalam
pengolahan dan analisis data, lazimnya menggunakan pengolahan statistik yang
bersifat deskriptif (statistic descriptive).
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Survey
Survey dilakukan melalui penyebaran kuesioner guna memperoleh
data primer yang digunakan untuk analisis data. Kuesioner ditujukan
kepada pegawai Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), khususnya
Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara; pegawai Direktorat
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
50
Universitas Indonesia
Jenderal Pemerintahan Umum, khususnya Bidang Administrasi Wilayah
Perbatasan dan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten
Nunukan, Pemerintah Kabupaten Belu, dan Pemerintah Kota Batam.
Dalam melakukan survey, salah satu keterbatasan yang penulis
hadapi adalah tidak bisa hadirnya penulis secara fisik untuk memandu
pengisian kuesioner, khususnya pada daerah perbatasan di Kabupaten Belu
dan Kota Batam. Untuk mengatasi hal ini, penulis memanfaatkan jaringan
hubungan dengan pemerintah daerah setempat, lebih tepatnya kepada
jaringan alumni STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri)
yang notabene tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Terlebih
dahulu penulis melakukan briefing melalui telepon dan surat elektronik
untuk memberikan rincian atas data apa saja yang penulis butuhkan, dan
hasil kuesioner tersebut dikirimkan kembali kepada penulis untuk
dianalisis lebih lanjut.
Pada awalnya penulis hanya mendapatkan 50 kuesioner dari
responden yang masih terbatas pada unsur BNPP, KDN, dan Pemda
Kabupaten Nunukan. Setelah melalui proses bimbingan, penulis
disarankan untuk menambah jumlah responden menjadi 100. Di sinilah
kemudian penulis menggunakan jaringan alumni sebagaimana yang telah
penulis jelaskan di atas. Artinya, jumlah 100 responden merupakan bagian
dari rencana yang telah penulis konsultasikan sebelumnya dengan
pembimbing.
b. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dari informan. Wawancara dilakukan
dengan berpedoman pada panduan wawancara untuk mencegah terjadinya
penyimpangan terhadap tujuan penelitian. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara ini merupakan data primer guna mendukung analisis penelitian
ini.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
51
Universitas Indonesia
Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Camat
Sebatik Barat Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur dan
Kasubbag Kerjasama Perbatasan pada Bagian Penataan Perbatasan di
Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur.
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah data yang diperoleh melalui beberapa
literatur dan dokumen yang terkait langsung dengan masalah penelitian.
Diperoleh melalui studi pustaka, tinjauan literatur mengenai konsep
koordinasi dan pengelolaan perbatasan, sehingga nantinya diperoleh
gambaran mengenai bagaimana koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dan
faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan
oleh BNPP dalam pengelolaan batas wilayah negara.
Beberapa dokumentasi yang penulis dapatkan terutama dari BNPP
berupa Grand Design pengelolaan perbatasan, Rencana Aksi, dan buku-
buku terkait pengelolaan perbatasan.
3.4 Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah institusi Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP) dan seluruh lembaga pemerintah yang terkait secara
sektoral dan teknis dalam pengelolaan perbatasan.
b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu:
1. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), yaitu aparatur Deputi
Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara sebanyak 10 orang;
2. Kementerian Dalam Negeri, yaitu aparatur Bidang Administrasi
Wilayah Perbatasan sebanyak 25 orang;
3. Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Bagian
Penataan Perbatasan dan Kecamatan Sebatik Barat sebanyak 15 orang;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
52
Universitas Indonesia
4. Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Badan
Pengelola Perbatasan Kabupaten Belu dan Kecamatan Tasifeto Timur
sebanyak 25 orang;
5. Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau, Badan Pengelola Perbatasan
dan Kecamatan Belakang Padang sebanyak 25 orang.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui proses sebagai berikut:
a. Pengolahan Data
Data mentah dikumpulkan melalui survey dengan kuesioner, terlebih
dahulu diediting dengan meneliti dan mengecek setiap item pertanyaan
dalam kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan oleh responden.
Apabila ada data atau item pertanyaan yang belum terisi, responden dapat
kembali dihubungi untuk melengkapi kuesioner tersebut. Kemudian data
tersebut dimasukkan dalam tabulasi data.
b. Analisis data dengan menggunakan bantuan Program Microsoft Excel
2007. Dari data yang telah masuk, penulis kemudian membuat proses
pemilahan data mana yang akan dimasukkan ke dalam pembahasan, dan
kemudian penulis menyarikannya dengan menggunakan diagram pie
sehingga dapat lebih mudah dimengerti.
c. Penafsiran atau interpretasi data yang dianalisis secara deskriptif. Penulis
kemudian mendeskripksikan hasil penelitian yang telah diolah, sehingga
memberikan gambaran yang jelas mengenai pengelolaan perbatasan dilihat
dari keempat faktor koordinasi yang ada.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
53 Universitas Indonesia
B A B 4
KEBIJAKAN KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH
NEGARA DI INDONESIA
Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025, pembangunan perbatasan bertujuan untuk “Mempercepat
pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang sebagai beranda depan
negara dan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan
negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan
nasional” (RPJP 2005-2025).
Untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara
yang terintegrasi dengan kawasan pusat pertumbuhan, maka dibutuhkan kebijakan
yang jelas, perencanaan yang sistematikdan orientasi jangka panjang, pelaksanaan
secara terpadu dan pengendalian yang efektif.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong
pengembangan kawasan perbatasan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, baik
dari sisi regulasi maupun kegiatan pembangunan. Dari sisi regulasi, pada tahun
2005 pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 78 tahun 2005 mengenai
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang mengamanatkan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar dalam aspek keamanan, kesejahteraan, dan lingkungan. Pada
tahun 2008 telah diterbitkan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
sebagai payung kebijakan bagi pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan
negara secara terpadu, yang salah satunya mengamanatkan pembentukan badan
pengelola perbatasan di tingkat nasional dan daerah.
Dalam RPJMN 2010-2014, pada 12 provinsi di kawasan perbatasan,
terdapat 38 kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang diprioritaskan
pengembangannya, dan didalamnya akan dikembangkan 26 Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) sebagai kota utama kawasan perbatasan yang perlu
dipercepat pembangunannya selama 10 tahun ke depan berdasarkan PP Nomor 2
tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Pada
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
54
Universitas Indonesia
periode 2010-2014, akan diupayakan percepatan pembangunan 20 PKSN sebagai
pusat pelayanan kawasan perbatasan secara bertahap. Dari 38 kabupaten/kota
perbatasan yang menjadi prioritas, terdapat 27 kabupaten yang termasuk daerah
tertinggal.
Untuk mencegah timbulnya konflik pemanfaatan dalam pelaksanaan
rencana tata ruang antar wilayah terutama pada kawasan perbatasan, baik
perbatasan antar negara, perbatasan antar propinsi, maupun antar kabupaten/kota,
maka pedoman penyerasian rencana tata ruang wilayah propinsi, kabupaten, dan
kota perlu selalu dikaji ulang baik peran maupun fungsinya.
Khusus perbatasan antar negara, perlu dilakukan kajian yang mendalam
agar batas negara kita dengan negara tetangga dapat terpelihara dengan baik
termasuk kelestarian sumber daya alamnya. Upaya merumuskan kebijakan
nasional penyusunan kawasan perbatasan antar negara perlu mendapat prioritas
dalam rangka menjadikan kawasan ini menjadi “beranda depan” negara.
Selanjutnya, melalui Perpres Nomor 12 tahun 2010, telah dibentuk Badan
Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang dikepalai oleh Menteri Dalam
Negeri. Badan tersebut mempunyai tugas menetapkan kebijakan program
pembangunan kawasan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran,
mengkoordinasikan pelaksanaan, melaksanakan evaluasi dan pengawasan
terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.
Adapun kebijakan nasional pengelolaan perbatasan di antaranya adalah:
1. Penegasan dan penataan batas wilayah negara dalam rangka menjaga
kedaulatan NKRI;
2. Pengembangan kawasan perbatasan sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia Pasifik;
3. Percepatan pembangunan kawasan perbatasan dengan menggunakan
pendekatan kesejahteraan;
4. Pengakuan terhadap hak adat/ulayat masyarakat;
5. Peningkatan kapasitas pertahanan dan keamanan beserta sarana
prasarananya;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
55
Universitas Indonesia
6. Peningkatan perlindungan pemanfaatan sumber daya alam dan
kawasan konservasi;
7. Peningkatan fungsi kelembagaan dan koordinasi antar instansi terkait
dalam pengelolaan kawasan perbatasan;
8. Peningkatan kerjasama bilateral, sub-regional, maupun regional dalam
berbagai bidang.
4.1 Desain Pengelolaan Perbatasan
Desain pengelolaan perbatasan merupakan sebuah gambaran bagaimana
manajemen penanganan batas wilayah negara dan pembangunan kawasan
perbatasan yang akan dilakukan dalam konteks empat tugas yang telah
diamanatkan kepada BNPP sesuai dengan UU No. 43 tahun 2008. Dalam desain
ini, ada 4 (empat) komponen desain yang merupakan unsur-unsur dasar yang
diperlukan untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan visi dan misi pengelolaan
perbatasan, yaitu: Kebijakan Anggaran (komponen desain 1), Rencana Kebutuhan
Anggaran (komponen desain 2), Koordinasi Pelaksanaan (komponen desain 3),
serta Evaluasi dan Pengawasan (komponen desain 4). Gambar 4.1 ini menjelaskan
desain manajemen penanganan perbatasan sebagaimana telah diuraikan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
56
Universitas Indonesia
Gambar 4.1 Desain Manajemen Berbasis Wilayah
Sumber: BNPP, 2011
4.1.1 Komponen Desain 1: Kebijakan Program
Konsolidasi dan koordinasi penetapan kebijakan program dilakukan
melalui pola penyusunan 3 (tiga) dokumen pengelolaan perbatasan, yaitu:
Pertama, Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan tahun 2011-2025. Kedua, Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan. Ketiga, Rencana Aksi Pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Pengelolaan perbatasan dalam jangka panjang, difokuskan pada 5 (lima)
aspek dan agenda prioritas, yang masing-masing dijabarkan dalam beberapa
program dan kegiatan (K/L dan daerah) yang relevan dalam mendukung agenda
prioritas tersebut. Adapun kelima aspek tersebut adalah batas wilayah negara,
pertahanan dan keamanan, kelembagaan, ekonomi kawasan, dan sosial dasar.
Sesuai dengan PP No. 2 tahun 2008 tentang RTRWN, kawasan perbatasan
secara keseluruhan mencakup 10 cluster/kawasan, terdiri dari 3 kawasan 4
perbatasan darat, dan 7 kawasan perbatasan laut. Cakupan Wilayah Administrasi
Kawasan Perbatasan
Batas Wilayah Negara
WKPLOKP
RI
Pengelolaanperbatasan: problem
dan area focus
DESAIN MANAJEMEN
Kebutuhananggaran
Kebijakan program
Koordinasipelaksanaan
Evaluasi danpengawasan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
57
Universitas Indonesia
Propinsi (CWAP) yang termasuk ke dalam kawasan perbatasan secara
keseluruhan meliputi 21 provinsi. Wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP)
merupakan wilayah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam CWAP. Secara
keseluruhan terdapat 64 WKP yang terdiri dari 14 WKP di Kawasan Perbatasan
Darat, 48 WKP di Kawasan Perbatasan Laut, dan 2 WKP merupakan kawasan
perbatasan darat dan juga sebagai kawasan perbatasan laut.
Penajaman atas sasaran wilayah konsentrasi, dilakukan melalui penetapan
lokasi prioritas di setiap WKP. Lokasi Prioritas (Lokspri) merupakan kecamatan-
kecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP yang dinilai
memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria sebagai berikut:
a. Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah
darat;
Sesuai dengan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada
sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam
hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di
kecamatan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh BNPP pada tahun 2010,
terdapat 197 kecamatan yang berada pada kawasan perbatasan negara.
b. Kecamatan yang difungsikan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN);
Konsep pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di
kawasan perbatasan mengacu pada komitmen untuk menjadikan
perbatasan sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional.
Dengan rencana ini, maka pusat-pusat pengembangan kegiatan strategis
nasional akan berada di kawasan gerbang perbatasan atau pada jaringan
jalan utama menuju gerbang perbatasan. Pengembangan PKSN sebagai
pintu gerbang dengan negara tetangga di perbatasan membutuhkan
berbagai upaya lain yang strategis dan terpadu di pusat-pusat kawasan
terutama percepatan pembangunan sarana dan prasarana dasar maupun
pendukung pengembangan ekonomi maupun pelayanan publik.
c. Kecamatan lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
58
Universitas Indonesia
Untuk kawasan perbatasan laut, berbeda konsepnya dengan perbatasan
darat yang menempatkan kecamatan pada sisi dalam sepanjang perbatasan
wilayah negara. Untuk kawasan perbatasan laut, diperhitungkan dengan
memposisikan kecamatan yang menjadi lokasi pulau-pulau kecil terluar.
Ada 12 pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus dan menjadi
pertimbangan perhitungan ini, yaitu: Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau
Sekatung, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Bras,
Pulau Fanildo, Pulau Fani, Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Nipah.
d. Kecamatan yang termasuk ke dalam exit-entry point (Pos Lintas Batas)
berdasarkan Border Crossing Agreement RI dengan negara tetangga.
Pos Lintas Batas (PLB) adalah area yang berfungsi sebagai gerbang keluar
masuknya pelintas batas wilayah negara (manusia atau barang) yang
mínimum dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu Customs, Immigration,
Quarantine, dan Security (CIQS). Gambaran ideal mengenai PLB, sebagai
sebuah area pelayanan terpadu pelintas batas, di dalamnya terdapat pos-
pos pemeriksaan yang merefleksikan unsur CIQS.
4.1.2 Komponen Desain 2: Kebutuhan Anggaran
Rencana kebutuhan anggaran pengelolaan perbatasan disusun berdasarkan
total kebutuhan seluruh program pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan, yang dirumuskan dalam rencana aksi dan disepakati bersama sesuai
mekanisme perencanaan dan pembahasan anggaran tahun yang berlaku.
Rencana kebutuhan anggaran yang menjadi kewenangan sektoral (K/L)
dirumuskan oleh masing-masing K/L berkoordinasi dengan BNPP. Pembiayaan
kegiatan program pengelolaan perbatasan antara APBN atau APBD, ditetapkan
dengan mengikuti pola pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah. Rencana
kebutuhan anggaran yang bersifat lintas sektor dan pengisi celah-celah yang tidak
ditangani sektoral namun sangat dibutuhkan, akan dirumuskan, difasilitasi, dan
dikoordinasikan lebih lanjut oleh BNPP.
Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2012 dan seterusnya,
penyusunan rencana aksi pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
59
Universitas Indonesia
perbatasan disusun oleh BNPP setelah sebelumnya dibahas dalam fórum
pertemuan empat pihak (four lateral meeting), yang melibatkan BNPP, Bappenas,
Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga pada tingkat pusat yang
memiliki fokus dan lokus pelaksanaannya di wilayah perbatasan. Adapun pada
tingkat daerah dilakukan dalam fórum pertemuan tiga pihak, yaitu (1) Bappeda,
atau SKPD yang bertugas mengelola perencanaan pembangunan daerah, (2)
Badan Pengelola Perbatasan di daerah atau SKPD yang bertugas mengelola
perbatasan antar negara, (3) Satuan Kerja di daerah yang memiliki program dan
kegiatan yang fokus dan lokus kegiatannya di wilayah perbatasan. Kemudian,
rencana aksi yang telah disepakati selanjutnya disinergikan dalam forum
Musrenbang Nasional.
4.1.3 Komponen Desain 3: Koordinasi Pelaksanaan
Koordinasi pelaksanaan pengelolaan perbatasan dilakukan berdasarkan
rencana induk dan rencana aksi pada tahun berjalan dan sesuai dengan pedoman
koordinasi yang ditetapkan BNPP.
Program-progam yang telah disepakati dan dituangkan dalam rencana
induk dan rencana aksi, dilaksanakan oleh masing-masing satuan kerja K/L
penanggung jawab program. Koordinasi pelaksanaan program dalam rangka
pengelolaan perbatasan di daerah, dilakukan oleh badan pengelola perbatasan di
daerah (provinsi dan kabupaten/kota) atau satuan kerja yang diberikan tanggung
jawab menjalankan fungsi mengelola perbatasan negara tetangga.
Kementrian/LPNK dan pemerintah daerah yang berkontribusi dan mempunyai
program-program terkait perbatasan, untuk kementrian / LPNK anggota BNPP
bersifat wajib dikoordinasikan dalam BNPP yaitu: Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian PPN/Kepala Bappenas, TNI dan Polri, Bakosurtanal, dan Provinsi
terkait. Adapun K/LPNK lain yang bukan anggota namun terkait dengan
perbatasan, pelaksanaannya dapat dikoordinasikan melalui BNPP sesuai dengan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
60
Universitas Indonesia
kebutuhan, sejauh program-program tersebut telah masuk dalam rencana aksi
yang ditetapkan BNPP.
Pengelolaan perbatasan untuk mewujudkan sinergitas pengelolaan
perbatasan dilaksanakan pada 4 aspek penting, yaitu: aspek kegiatan program,
anggaran, lokasi, dan jadwal waktu.
Gambar 4.2 Sinergitas Pengelolaan Perbatasan
4.1.4 Komponen Desain 4:
Sumber: BNPP, 2011
4.1.4 Komponen Desain 4: Evaluasi dan Pengawasan
Evaluasi dilaksanakan secara terpadu, didukung dengan monitoring yang
intensif, untuk mengetahui berbagai perkembangan kemajuan dan permasalahan
pelaksanaan kegiatan program Kementerian/Lembaga Non Kementerian terkait
sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Induk dan Rencana Aksi, sesuai
pedoman evaluasi yang ditetapkan BNPP. Evaluasi dilakukan secara berkala,
RPJP 2005-2025RPJM 2010-2014
Rencana Aksi2011
R. Tata RuangKawasan
Perbatasan
Rencana Induk2011-2014
Grand Design2011-2025
RKP
Evaluasipelaksanaan
tahunan
Pelaksanaan(dalam)
KoordinasiBNPP
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
61
Universitas Indonesia
tahunan dan lima tahunan. Di luar evaluasi berkala, dapat dilakukan evaluasi
paruh waktu atau evaluasi dengan tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan.
Sistem pengawasan dirancang untuk melihat komitmen K/L dalam
melaksanakan rencana sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk maupun
Rencana Aksi. Penyimpangan antara rencana dan pelaksanaan, akan dibahas
dalam fórum lintas sektoral secara bertingkat, berujung pada Rapat Pleno Anggota
BNPP untuk dicarikan pemecahannya.
Pelaporan hasil evaluasi dan pengawasan, baik yang dilaksanakan secara
berkala maupun secara khusus, disampaikan kepada Presiden RI melalui Kepala
BNPP minimal setiap tahun sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Untuk
mendukung pengembangan monev dan pelaporan, dikembangkan Sistem
Informasi Pengelolaan Perbatasan (SIM Perbatasan) untuk menjamin ketersediaan
data dasar yang lengkap dan akses sistem teknologi yang memungkinkan
pengolahan data secara akurat, tepat, dan cepat sebagai basis pengambilan
keputusan pengelolaan perbatasan.
4.2 Koordinasi Lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah
Pengeloaan perbatasan saat ini masih dilaksanakan secara parsial. BNPP
diharapkan mampu mensinergikan dalam bingkai desain besar dan rencana induk
pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan negara. Dalam mengelola
batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, terdapat empat pilar utama, yaitu
kementerian/lembaga, dunia usaha dan masyarakat, serta perguruan tinggi, di
mana kesemuanya harus bersinergi di bawah peran strategis BNPP. Maka dari itu,
BNPP perlu terus mengupayakan mobilisasi dukungan serta konsolidasi
komitmen dan gerakan kolektif seluruh unsur pemangku kepentingan. BNPP
memiliki tanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan leading sector
Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan sejumlah instansi pemerintah
lainnya.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
62
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Empat Pilar Utama Pengelolaan Perbatasan
Sumber: BNPP, 2011
Dalam konteks penelitian ini, penulis hanya akan melihat koordinasi yang
dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian/Lembaga (K/L) yaitu Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah saja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya
yang terjadi di lapangan, koordinasi juga melibatkan tiga unsur lainnya yang sama
pentingnya, yaitu unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Oleh
karena itu, penelitian ini hanyalah awal dari sebuah proses panjang memahami
dan memberikan masukan bagi terwujudnya proses pengelolaan perbatasan yang
lebih baik dan terintegrasi.
Sebelum adanya BNPP, koordinasi masih belum berjalan dengan baik.
Masalah koordinasi ini menjadi sangat penting, apalagi menyangkut implementasi
regulasi strategis, di mana ada 35 kementerian atau institusi setingkat kementerian
yang memiliki program pengelolaan perbatasan. Alhasil, semua berjalan sendiri-
sendiri, sehingga koordinasi antar institusi pemerintah menjadi terhambat. Oleh
karena itu, BNPP perlu membangun komunikasi secara intensif dengan berbagai
BNPP
K/L
Masyarakat
DuniaUsaha
PT
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
63
Universitas Indonesia
kementerian dan lembaga untuk mempercepat proses koordinasi yang lebih efektif
dan efisien.
Di usianya yang baru satu tahun, BNPP dihadapkan pada tantangan yang
begitu besar, utamanya dalam mengintegrasikan berbagai tugas pokok dari
kementerian dan lembaga untuk melakukan percepatan dan nilai tambah untuk
pembangunan wilayah perbatasan. Maka dari itu, kementerian atau instansi terkait
tidak lagi berorientasi sektoral dalam mengelola kawasan perbatasan demi
kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Terkait pula dengan hubungan koordinasi lintas kementerian, BNPP
memiliki tugas untuk mengidentifikasi tugas-tugas dari masing-masing
kementerian dan lembaga yang masih tumpang tindih, sehingga nantinya dapat
dikoordinasikan dengan baik.
Selain koordinasi dengan lintas kementerian dan lembaga, BNPP juga
perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. BNPP harus dapat
memfungsikan pemerintah daerah untuk dapat memandu program-program
pembangunan kawasan perbatasan yang telah disusun oleh pemerintah pusat.
Gubernur harus dapat difungsikan sebagai wakil pemerintah pusat untuk
memandu apa yang telah diprogramkan oleh Pemerintah. Fungsikan pula
Bupati/Walikota dalam mengoptimalkan peran aparat kecamatan. Hal ini menjadi
penting, mengingat wilayah-wilayah perbatasan itu ada di titik-titik kecamatan.
Dalam PP No. 19 tahun 2008 tentang Kecamatan, fungsi kecamatan adalah
mengaktifkan kegiatan di region (wilayah) kecamatan, dengan dua otoritasnya,
yaitu kewenangannya yang bersifat delegatif dan atributif. Artinya, gubernur
memandu bupati/walikota, kemudian bupati/walikota menyerahkan
kewenangannya kepada camat di wilayah perbatasan untuk mempercepat
pembangunan di wilayahnya. Hal inilah yang menyebabkan betapa sulitnya untuk
melakukan koordinasi, dari pusat, provinsi, kabupaten dan kota, hingga ke satuan
pemerintahan terkecil yang ada di kecamatan dan desa.
Gubernur dan bupati/walikota dalam melaksanakan program, kegiatan dan
anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempunyai kewajiban:
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
64
Universitas Indonesia
a. melakukan sinkronisasi pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan antar negara dan menjamin terlaksananya kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara efektif dan efisien;
b. menetapkan SKPD dan menyiapkan perangkat daerah untuk melaksanakan
program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan
mempertimbangkan persyaratan kemampuan dan kompetensi personil; dan
c. menjamin program, kegiatan dan anggaran dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
kriteria.
Selain itu pula, Gubernur dan bupati/walikota melakukan koordinasi
secara administratif dan teknis pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dengan Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
4.3 Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan Undangan-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah Negara dan kawasan perbatasan. Dalam pengelolaan
wilayah Negara dan kawasan perbatasan, Pemerintah berwenang:
a. Menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Negara dan
kawasan perbatasan;
b. Mengadakan perundingan dengan Negara lain mengenai penetapan batas
wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional;
c. Membangun atau membuat tanda batas Wilayah Negara;
d. Melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta
unsur geografis lainnya;
e. Memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi
wilayah udara territorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan;
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
65
Universitas Indonesia
f. Memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi
laut territorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan;
g. Melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-
undangan di bidang bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter di dalam
Wilayah Negara atau laut territorial;
h. Menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan
internasional untuk pertahanan dan keamanan;
i. Membuat dan memperbaharui peta wilayah Negara dan menyampaikannya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5 (lima)
tahun sekali; dan
j. Menjaga keutuhan, kedaulatan, dan kemanan Wilayah Negara serta
Kawasan Perbatasan.
Dalam pengelolaan wilayah Negara dan kawasan perbatasan, pemerintah
provinsi berwenang melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan
kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan,
koordinasi pembangunan di kawasan perbatasan, kerjasama pembangunan
kawasan perbatasan antar pemerintah daerah dan/atau dengan pihak ketiga; serta
melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan yang
dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan pemerintah kabupaten/kota
berwenang melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan kebijakan
lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, menjaga dan
memelihara tanda batas, melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas
pembangunan di kawasan perbatasan di wilayahnya; dan melakukan kerjasama
pembangunan kawasan perbatasan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
66
Universitas Indonesia
4.4 Strategi Dasar Pengelolaan Perbatasan
Untuk mewujudkan perbatasan negara sebagai wilayah yang aman, tertib,
dan maju, maka setidaknya dibutuhkan 7 strategi dasar dalam pengelolaan
perbatasan, yaitu:
a. Reorientasi arah kebijakan pengelolaan perbatasan;
Mengubah arah kebijakan dari kecendrungan orientasi inward looking,
ke orientasi outward looking sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi
dan perdagangan dengan negara tetangga.
b. Reposisi peran strategis kawasan perbatasan;
Mengubah posisi kawasan perbatasan sebagai “beranda belakang
negara” menjadi “beranda depan negara” yang memiliki peran strategis
pemacu perkembangan ekonomi regional maupun nasional
c. Rekonsolidasi daya dukung pengelolaan perbatasan;
Menata ulang daya dukung, kekuatan, dan peluang yang ada untuk
dikonsolidasikan ulang agar secara efektif dan efisien mampu
dioptimalkan untuk kepentingan perbatasan, baik dalam rangka
percepatan penyelesaian batas wilayah negara maupun pembangunan
perbatasan.
d. Reformulasi basis pemikiran dan pengaturan pengelolaan perbatasan;
Melakukan review dan merumuskan kembali basis pengelolaan
perbatasan, yaitu dasar pemikiran dan pijakan normatifnya, untuk
menjawab dinamika perkembangan kebutuhan perbatasan sesuai
dengan paradigma baru pengelolaan perbatasan.
e. Restrukturisasi kewenangan pengelolaan perbatasan;
Memperjelas kewenangan dalam pengelolaan perbatasan atau kegiatan-
kegiatan terkait perbatasan.
f. Revitalisasi kemitraan dan kerjasama perbatasan;
Memperkuat jejaring kemitraan dan kerjasama percepatan penyelesaian
permasalahan batas wilayah negara dan pembangunan kawasan
perbatasan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan kaidah-kaidah
hubungan antar Negara.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
67
Universitas Indonesia
g. Reformasi tata laksana pengelolaan perbatasan.
Menata ulang dan menerapkan tata laksana pengelolaan perbatasan
secara konsisten sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan
partisipasi masyarakat dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan
yang baik (good governance), didukung dengan kemajuan teknologi
informasi terkini, yang terus berkembang dalam skala global dan
nasional.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
68 Universitas Indonesia
B A B 5
FAKTOR-FAKTOR KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS
WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
Perbatasan Indonesia dengan masing-masing negara tetangga (Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, India, Republik Timor Leste, Filipina, Papua
Nugini, dan Republik Palau), baik kawasan perbatasan laut maupun kawasan
perbatasan darat mempunyai permasalahan sendiri-sendiri karena masing-masing
kawasan memiliki sifat dan karakteristik tersendiri. Permasalahan-permasalahan
yang terjadi di kawasan perbatasan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berbeda seperti faktor geografis, ketersediaan sumber daya alam, sumber daya
manusia, kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik serta tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Di samping itu, adanya paradigma kawasan perbatasan sebagai “halaman
belakang” wilayah NKRI di masa lampau telah membawa implikasi terhadap
kesenjangan pembangunan di kawasan perbatasan laut maupun darat
dibandingkan dengan negara tetangga. Kekayaan sumber daya alam belum
dimanfaatkan secara adil, optimal, dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perbatasan. Kemiskinan, keterisolasian, dan terbatasnya
sarana komunikasi dan informasi menyebabkan menyebabkan masyarakat
perbatasan lebih mengetahui informasi negara tetangga daripada informasi dan
wawasan tentang Indonesia. Minimnya ketersediaan sarana dasar sosial dan
ekonomi telah menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan
bersaing dengan wilayah negara tetangga. Demikian juga dengan kondisi
kemiskinan masyarakat perbatasan telah mendorong masyarakat untuk terlibat
dalam kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini
selain melanggar hukum, potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban yang
sangat merugikan negara baik secara ekonomi maupun lingkungan hidup.
Di samping masalah-masalah lokasional seperti dikemukakan di atas, dari
sisi kebijakan perencanaan pembangunan perbatasan juga menghadapi
permasalahan koordinasi yang sangat luas. Dari 37 Kementerian dan lembaga
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
69
Universitas Indonesia
(K/L) yang ada, 29 di antaranya terkait menangani kawasan perbatasan yang satu
sama lain belum tentu terkoordinasi secara optimal baik dari sisi program,
penyusunan anggaran, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasannya. Di
samping itu terdapat 75 jabatan setingkat eselon I yang menangani perbatasan
secara sektoral. Sementara itu di tingkat daerah interpretasi otonomi daerah masih
menyisakan permasalahan yang menyebabkan sinkronisasi perencanaan kawasan
perbatasan sulit diaplikasikan karena lembaga sektoral pusat maupun daerah
mempunyai visi-misi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada keseragaman sudut
pandang dalam membangun kawasan perbatasan.
Dari kerangka teori dan operasionalisasi konsep yang telah penulis
sarikan, penulis melihat bahwa terdapat empat (4) faktor penting yang
memberikan kontribusi dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan. Keempat
faktor ini saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Berikut ini adalah penjelasan lebih lengkap mengenai keempat
faktor tersebut, dan juga merupakan intisari dari wawancara yang telah penulis
lakukan.
5.1. Kewenangan
Berdasarkan tabel operasionalisasi konsep yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, variabel kewenangan memiliki indikator berupa penguatan
kelembagaan. Hal ini dimaksudkan bahwa seberapa pun besarnya kewenangan
yang diberikan, namun tanpa adanya penguatan kelembagaan secara mandiri,
maka niscaya proses koordinasi pengelolaan perbatasan tidak akan berjalan
dengan baik.
Kelembagaan sebagai institusi terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aparatur
yang bekerja pada lembaga tersebut, (2) fasilitas ruang, peralatan dan bahan serta
fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, (3) dana operasional untuk
membiayai kegiatan lembaga tersebut. Sementara itu pelembagaan adalah
memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada
masyarakat luas atau pengguna jasa tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
70
Universitas Indonesia
adalah peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, pedoman perencanaan
dan bentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.
Berdasarkan perannya, lembaga pemerintah dibedakan atas dua, lembaga
koordinasi dan lembaga sektoral. Lembaga koordinasi adalah lembaga yang
mempunyai peranan dalam mengkoordinasikan segenap kegiatan pengelolaan
perbatasan sesuai dengan fungsi manajemen yang ada seperti perencanaan,
monitoring, dan evaluasi. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk mencegah (1)
konflik dan kontradiksi, (2) persaingan yang tidak sehat, (3) pemborosan, (4)
kekosongan ruang dan waktu, (5) terjadinya perbedaan pendekatan dan
pelaksanaan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun
2010, bahwa saat ini BNPP merupakan institusi yang secara khusus bertugas
untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan pada tingkat pusat.
Hal yang sama pun terjadi di tingkat daerah dengan dibentuknya Badan Pengelola
yang sifat hubungannya koordinatif, sedangkan pelaksana teknis pembangunan
tetap dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Struktur organisasi BNPP disusun dengan para Menko diposisikan selaku
pengarah, adapun Mendagri selaku Kepala BNPP, dan 14 (empat belas)
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku anggota, terdiri dari 10 (sepuluh) Menteri,
yaitu Menlu, Menhan, Menkumham, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan
Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan
Perikanan, Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan 4 (empat) pimpinan lembaga pemerintah
non kementerian yaitu: Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, dan Kepala Badan
Koordinasi, Survey, dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), serta para gubernur
yang di wilayahnya terdapat batas wilayah negara.
Lembaga ini adalah lembaga yang begitu besar dengan komposisi
keanggotaan mendekati setengah jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Oleh
karena itu, menjadi satu hal yang wajar di saat proses koordinasi kewenangan
belum terlalu optimal, terlebih dengan jarak waktu yang cukup lama semenjak
ditetapkannya UU Nomor 43 tahun 2008 dengan lahirnya Perpres Nomor 12
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
71
Universitas Indonesia
tahun 2010, sehingga menyebabkan belum segera beroperasinya BNPP secara
optimal. Hal ini pun turut berimbas langsung dalam proses koordinasi di daerah
sebagaimana yang disampaikan oleh Bau Syahril, S.IP, Plt. Kasubbag Kerjasama
Perbatasan pada Bagian Penataan Perbatasan Kabupaten Nunukan terkait pihak-
pihak terkait yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan antara
BNPP dan pemerintah daerah. Beliau menyampaikan:
“Badan Pengelola Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal diProvinsi Kalimantan Timur, Bagian Penataan Perbatasan SekretariatDaerah Kabupaten Nunukan, Badan Perencanaan Pembangunan DaerahKabupaten Nunukan, Dinas Pekerjaan Umum, dan beberapa kementerianyang berada di Pusat”.
Hal ini menunjukkan, betapa pengelolaan perbatasan membutuhkan
sinergi dari berbagai unsur kelembagaan, apapun namanya, karena yang
terpenting adalah lembaga-lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik.
Sudah saatnya wilayah perbatasan mendapatkan prioritas kebijakan,
mengingat wilayah perbatasan masih dipandang sebagai wilayah belakang bukan
sebagai beranda depan negara. Ludiro Madu (2010) menegaskan bahwa
kelembagaan pengelolaan perbatasan masih sangat terpusat meskipun otonomi
daerah sudah diterapkan, dan masih dominannya TNI sebagai lembaga yang
mengurusi wilayah perbatasan. Pengelolaan perbatasan hingga saat ini ditangani
oleh 3 bentuk kelembagaan: pertama, komite-komite perbatasan yang merupakan
forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, antara lain General
Border Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI-PNG,
JBC RI-Timor Leste, dan Border Committee RI-Filipina. Kedua, lembaga-
lembaga pemerintah terkait, secara sektoral dan teknis, dan ketiga, unit atau badan
khusus di daerah yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan yang
bekerjasama dengan negara tetangga, seperti Sosek Malindo di Kalbar, Kaltim,
dan Riau dan Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah (BPKD) di perbatasan
Papua.
Akan tetapi hadirnya BNPP diharapkan tidak hanya besar namanya saja,
namun harus pula didukung dengan SDM-SDM dan teknologi yang mutakhir.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
72
Universitas Indonesia
Sejarah harus menjadi sebuah pelajaran yang berharga, mengingat pada tahun
1971 sudah ada lembaga sejenis yaitu Bakorkamla yang mengatur masalah
keamanan. Kemudian, ada Panitia Koordinasi Wilayah Nasional yang kemudian
berkembang menjadi Dewan Kelautan dan Dewan Maritim.
Artinya, secara kelembagaan seharusnya BNPP mampu mengambil
pelajaran atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Tugas besar BNPP untuk
mensinergikan peran dan tanggung jawab masing-masing institusi agar
terintegrasi dalam mengelola perbatasan, sehingga tidak seperti dulu di mana tiap
institusi berjalan sendiri-sendiri.
Salah satu terobosan yang dilakukan oleh BNPP dalam rentang waktu satu
tahun sejak berdiri adalah dengan menyelenggarakan Bintek Manajemen Lintas
Batas Negara (Tasbara) tingkat dasar bagi masyarakat yang memang secara
langsung berada di wilayah perbatasan (Garda Batas Inti) yang terdiri dari tokoh
pimpinan desa, tokoh adat/agama setempat, tokoh pemuda setempat, tokoh
perempuan setempat, dan tokoh pendidik setempat. BNPP menargetkan hingga
akhir tahun 2014 telah terbentuk 2.000 Garda Batas Indonesia yang tersebar di
111 kecamatan lokasi prioritas lini terdepan, yang nantinya diharapkan siap untuk
berperan sebagai penjaga, pemelihara, dan penggerak pembangunan perbatasan
negara.
Garda Batas ini merupakan salah satu alternatif solusi untuk
meminimalisir lemahnya faktor koordinasi di daerah. Dengan demikian, Garda
Batas yang melibatkan peran serta aktif masyarakat merupakan perpanjangan
tangan dari BNPP dalam hal memberikan informasi, masukan, ataupun
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang ada di tingkat pusat, sehingga
persoalan kompleksitas birokrasi dan kelembagaan dapat teratasi dengan baik.
Beberapa permasalahan yang menjadi temuan penelitian antara lain perihal
kualifikasi pegawai, tumpang tindih pelaksanaan tugas, sampai ego sektoral yang
masih saja membayangi proses koordinasi pengelolaan perbatasan.
Kewenangan tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya kelembagaan
yang kuat. Begitu pula dengan kelembagaan, tidak akan menjadi kuat apabila
tidak ditopang dengan sumber daya manusia yang berkualitas.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
73
Universitas Indonesia
Gambar 5.1
Penguasaan Permasalahan Pengelolaan Batas
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Temuan di lapangan justru menguatkan, bahwa masih diperlukan upaya
pembenahan khususnya terkait peningkatan kualitas SDM. Gambar 5.1
menunjukkan bahwa hanya 30% dari responden yang menganggap bahwa mereka
menguasai segala permasalahan yang terkait dengan pengelolaan perbatasan.
Artinya, ada 70% dari responden yang perlu mendapatkan pembinaan serius,
sehingga proses pengelolaan perbatasan dapat menjadi lebih berkualitas.
Hal yang sama pun terjadi dalam pelaksanaan tugas pada masing-masing
unit, di mana masih ditemukan tumpang tindih (over lapping) satu sama lain. Hal
ini tentu saja akan semakin mempersulit terjalinnya koordinasi yang baik antara
satu institusi dengan institusi yang lain.
30%
61%
9%
Menguasai
Kurang menguasai
Tidak menguasai
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
74
Universitas Indonesia
Gambar 5.2
Tumpang Tindih Pelaksanaan Tugas
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Temuan penelitian menegaskan hal ini, bahwa hanya 15% dari responden
yang menyatakan bahwa tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas.
Artinya, jika di tingkat aparatur saja masih ditemukan tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas, maka tentu bisa dipastikan tugas-tugas pengelolaan perbatasan
tidak akan optimal dalam implementasinya. Lebih lanjut Bau Syahril menyatakan
bahwa salah satu cara untuk mengatasi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas adalah dengan:
“… masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) atau instansiterkait sesering mungkin melakukan koordinasi tentang tugas pokok danfungsi masing-masing”.
Hal ini tentu saja dapat terlaksana dengan baik, apabila tiap institusi
menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah sistem dalam pengelolaan
perbatasan yang harus berjalan beriringan. Namun kenyataan di lapangan
menunjukkan hal yang berbeda.
21%
64%
15%
Terjadi
Kadang-Kadang
Tidak Terjadi
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
75
Universitas Indonesia
Gambar 5.3
Kepentingan Sektoral Dalam Pelaksanaan Tugas
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Sebanyak 80% dari responden menyatakan bahwa masih terdapat
kepentingan sektoral dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini tentu saja
memprihatinkan, mengingat proses pengelolaan perbatasan merupakan sebuah
aktivitas kolektif yang memerlukan keterpaduan di antara satu institusi dengan
institusi yang lainnya. Pengelolaan perbatasan merupakan pekerjaan bersama, di
mana masing-masing institusi harus mampu mengesampingkan kepentingannya
untuk satu kepentingan utama yakni pengelolaan perbatasan yang komprehensif
dan terintegrasi. Oleh karena itu, ego sektoral harus dapat ditekan seminimal
mungkin, sehingga tujuan pengelolaan perbatasan yang dicita-citakan dapat
tercapai. Harapan yang positif akan institusi BNPP pun terlontar dari Winarlan,
SE, Camat Sebatik Barat yang optimis bahwa ego sektoral dapat diatasi dengan:
“… meningkatkan dan menguatkan peran dari Badan Nasional PengelolaPerbatasan (BNPP) sehingga dalam membangun daerah perbatasandapat tertata dan terencana dengan baik”.
80%
20%
Ya
Tidak
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
76
Universitas Indonesia
Sebuah harapan yang tentu saja diharapkan oleh semua pihak, mengingat
di usianya yang masih seumur jagung, BNPP telah dihadapkan pada persoalan
pelik dari bangsa ini yang perlu segera mendapatkan perhatian yang serius dari
semua pihak. Alhasil, berbagai permasalahan ini tentu memberikan masukan yang
berharga bagi perbaikan ke depan yang lebih baik.
Terkait pula dengan penguatan kelembagaan pengelolaan perbatasan,
BNPP melalui Rencana Induknya telah menetapkan bahwa kecamatan merupakan
basis terdepan dalam pengelolaan perbatasan. Sasaran wilayah pengelolaan
kawasan perbatasan diarahkan pada Wilayah-Wilayah Konsentrasi Pengembangan
(WKP), yaitu kabupaten/kota yang yang berada di dalam Cakupan Kawasan
Perbatasan (CKP), baik yang berada di kawasan darat maupun laut. Penentuan
prioritas WKP ditetapkan dengan memperhatikan isu-isu strategis di setiap WKP
dalam aspek pertahanan, sosial budaya, dan ekonomi.
Fokus lokasi penanganan yang diprioritaskan di setiap WKP disebut
dengan Lokasi Prioritas (Lokpri), yakni kecamatan-kecamatan di kawasan
perbatasan darat dan laut di dalam WKP, dengan kriteria antara lain kecamatan
yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah darat, kecamatan
lokasi pulau-pulau kecil terluar, kecamatan yang difungsikan sebagai pusat
kegiatan strategis nasional, dan kecamatan yang menjadi exit-entry point (Pos
Lintas Batas) berdasarkan Border Crossing Agreement.
Melihat fungsi kecamatan yang begitu vital, maka tentunya logis jika
kecamatan diberikan porsi kewenangan yang lebih dengan disertai
pembiayaannya, sehingga pengelolaan perbatasan di lini terdepan dapat berjalan
dengan baik dan terarah.
Selain itu pula, program peningkatan peran masyarakat dan lembaga
swadaya masyarakat dalam pengelolaan perbatasan perlu terus dilakukan. Hal ini
dipandang perlu mengingat peran dan kontribusi yang cukup signifikan dalam
keterkaitannya dengan pengelolaan perbatasan. Kelembagaan masyarakat
tentunya memahami permasalahan yang muncul di daerah tersebut. Demikian
juga LSM yang secara langsung bekerja dan bermitra dengan masyarakat
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
77
Universitas Indonesia
memiliki kemampuan yang cukup untuk memfasilitasi berbagai kegiatan
masyarakat dalam memanfaatkan dan membangun perbatasan.
Program penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat adat dan
kelompok-kelompok swadaya masyarakat sangat penting dalam pemanfaatan
pengelolaan perbatasan mengingat wilayah tersebut dihuni oleh berbagai macam
suku, adat, dan budaya yang berbeda-beda.
Terkait persoalan kewenangan dan penguatan kelembagaan yang saling
berkaitan ini, maka beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama adalah:
a. Pendekatan regional harus lebih dominan dibandingkan pendekatan
sektoral dalam perencanaan pembagunan nasional. Mengingat faktor
‘lokasi’ masih dipandang sebatas tempat pelaksanaan kegiatan
departemen/instansi tanpa memperhatikan kepentingan pendayagunaan
ruang di daerah, akibatnya kegiatan yang direncanakan sektor tidak
saling bersinergi dalam mengisi dan mendayagunakan ruang di daerah
(memunculkan ego sektoral).
b. Perlu upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam
pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penanganannya bersifat
lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga
masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih
tinggi, belum tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan
mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, terbatasnya anggaran
pembangunan pemerintah daerah; masih adanya tarik menarik
kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan kawasan
konversi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai
international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan
pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan);
c. Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu
dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Permasalahan
beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc,
sementara dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan
keamanan melalui beberapa kepanitiaan, sehingga belum memberikan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
78
Universitas Indonesia
hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama yang ada saat ini antara
lain General Border Committee (GC) RI-Malaysia, Joint Border
Committee (JBC) RI-Papua New Guinea; dan Joint Border Committee
RI-Timor Leste;
d. Selama ini belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang
kewenangan pengelolaan kawasan perbatasan, walaupun ada UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah namun tidak secara
eksplisit menjelaskan kewenangan daerah dalam mengelola kawasan
perbatasan. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat pada pintu-pintu
perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan,
keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS). Perlu
lebih dipertegas kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) dalam kerangka pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan batas darat, yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pola pembagian kewenangan
antara Pusat dan daerah yang telah diatur dalam PP No 38 tahun 2007
belum memberikan kejelasan pembagian kewenangan antara Pusat dan
daerah dalam konteks penanganan perbatasan. Melalui pola pembagian
yang jelas ini, prinsip money follow function dapat diberlakukan.
Urusan yang menjadi kewenangan pusat dibiayai melalui APBN dan
urusan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai melalui APBD.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
79
Universitas Indonesia
5.2. Komunikasi
Pada dasarnya, komunikasi yang baik haruslah melibatkan dua pihak atau
lebih dengan pesan yang tersampaikan dengan jelas dan gamblang, sehingga
pihak-pihak yang terkait dapat memahaminya dengan baik. Begitu pula dengan
komunikasi pengelolaan perbatasan, di mana awalnya masih menggunakan pola
sentralistik, dengan pemerintah pusat bertindak selaku koordinator dalam setiap
kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal ini tentu saja menyulitkan, mengingat
kondisi geografis yang sulit terjangkau dan sarana komunikasi di wilayah
perbatasan yang masih sangat minim, bahkan hingga saat ini. Dalam kasus Pulau
Sebatik misalnya, aksesibilitas ke Kota Tawao (Malaysia) lebih mudah
dibandingkan aksesibilitas ke Nunukan. Penulis sendiri juga merasakan betapa
ketimpangan sungguh terjadi di Pulau Sebatik. Di saat malam hari, Kota Tawao
terang benderang dengan lampu yang gemerlap, sedangkan Pulau Sebatik terasa
gelap gulita. Bahkan di saat penulis berjalan menyusuri pantai di wilayah
Indonesia, sinyal telepon seluler secara bergantian datang dari Malaysia, dan
sangat sulit sekali bagi penulis untuk mendapatkan sinyal dari Indonesia. Hal
serupa pun terjadi pada sarana dan prasarana komunikasi milik pemerintah yang
masih kurang. Pusat Pengelolaan Umum Badan Informasi Publik Depkominfo
(2006) menyatakan bahwa penduduk di kawasan perbatasan umumnya mengikuti
siaran stasiun televisi dari Malaysia, yakni TV1, TV2, dan TV3. Mereka tidak
dapat menangkap siaran stasiun televisi dari Indonesia, mengingat lokasinya yang
jauh, dan belum ada stasiun relay. Kalaupun siaran stasiun televisi dapat mereka
tangkap (TVRI, SCTV, RCTI), biasanya gambarnya tidak jelas (buram) dan
bergoyang-goyang serta suaranya berisik.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
80
Universitas Indonesia
Gambar 5.4
Fasilitas Sarana Komunikasi
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Temuan penelitian ini nampaknya tidak mencerminkan kondisi faktual
yang sebenarnya terjadi, bahwa ternyata 59% dari responden menyatakan bahwa
telah tersedia sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang pelaksanaan
pekerjaan. Apakah trend perkembangan teknologi informasi saat ini mampu
memberikan pengaruh yang positif terhadap proses komunikasi khususnya di
wilayah perbatasan, ataukah ini hanyalah kesalahan persepsi dari responden yang
menganggap bahwa sarana komunikasi yang memang tersedia, akan tetapi tidak
memperhitungkan faktor optimal atau tidaknya sarana komunikasi tersebut
digunakan untuk menunjang proses koordinasi pengelolaan perbatasan. Akan
tetapi data ini nampaknya tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai bahwa
proses komunikasi di wilayah perbatasan telah berjalan dengan baik. Winarlan
dengan tegas mengatakan:
“… yang menjadi kendala kami di perbatasan adalah faktor geografisdan sulitnya akses komunikasi berupa sinyal HP (Handphone) yang ada,sehingga untuk komunikasi dan koordinasi dengan masyarakatmemerlukan waktu yang lama”.
59%
37%
4%
Tersedia
Kurang Tersedia
Tidak Tersedia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
81
Universitas Indonesia
Pernyataan Camat Sebatik Barat ini nampaknya memberikan gambaran
yang utuh, betapa proses komunikasi di wilayah perbatasan masih menjadi satu
kendala, betapapun tersedianya sarana komunikasi itu sendiri. Kondisi ini
sesungguhnya menyiratkan, bahwa selama lebih dari 65 tahun bangsa ini
merdeka, persoalan perbatasan belum kunjung selesai, bahkan di era teknologi
informasi saat ini, barulah kemudian terkuak permasalahan yang sebenarnya
terjadi di wilayah perbatasan, karena semakin banyak masyarakat yang peduli dan
menyuarakan aspirasinya. Semestinya, dengan semakin canggihnya
telekomunikasi, warga perbatasan juga dapat menikmati hal yang sama dengan
warga lainnya di Indonesia, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Inilah yang
kemudian masih menjadi pekerjaan rumah bersama, tidak hanya BNPP, tetapi
juga seluruh stakeholder yang memiliki tugas untuk memajukan dan
mensejahterakan wilayah perbatasan.
Di samping persoalan sarana komunikasi, penulis juga ingin melihat dari
hasil temuan penelitian perihal frekuensi pertemuan yang dilakukan tiap instansi
dalam membahas pengelolaan perbatasan, persoalan sulitnya melakukan
koordinasi, hingga ada atau tidaknya bagian khusus yang bertugas untuk
mengkoordinasikan beberapa bagian dalam organisasi.
Dari temuan penelitian, penulis mendapatkan bahwa ternyata 75% dari
responden menyatakan mereka melakukan pertemuan harian yang bersifat rutin
tiap bulannya kurang dari 3 kali. Artinya, frekuensi pertemuan rutin masih sangat
minim sekali dan kemungkinan hanya membahas persoalan yang tidak strategis.
Padahal dalam konteks pengelolaan perbatasan, hari demi hari, bahkan detik demi
detik menjadi ukuran waktu yang harus dihargai, mengingat begitu dinamisnya
persoalan perbatasan yang tentu harus segera mendapatkan respon yang cepat dan
tepat.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
82
Universitas Indonesia
Gambar 5.5
Pertemuan Rutin Harian
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Lemahnya kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif, baik secara
internal maupun eksternal telah menjadi salah satu penyebab dari munculnya
konflik di wilayah perbatasan. Terkait dengan hal tersebut, temuan penelitian juga
menyoroti bagaimana komunikasi dilakukan antara satu instansi dengan instansi
lainnya dalam hal pengelolaan perbatasan. Yang menarik adalah, ternyata 70%
responden menyatakan bahwa unsur pimpinan melakukan kurang dari 3 kali
pertemuan rutin dengan instansi lain yang terkait pengelolaan perbatasan. Angka
tersebut sesungguhnya menyiratkan bahwa para aparatur pengelola perbatasan
belum memaknai secara menyeluruh mengenai esensi menjaga, memelihara, dan
mengelola perbatasan. Bagaimana mungkin wilayah perbatasan dapat terjaga
dengan baik apabila komunikasi dengan instansi terkait lainnya tidak berjalan
dengan baik. Maka tidaklah mengherankan di saat banyak terjadi tumpang tindih
pelaksanaan tugas atau bahkan ego sektoral dalam pengelolaan perbatasan.
75%
18%
7%
Kurang dari 3 kali
Antara 3 s.d 5 kali
Lebih dari 5 kali
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
83
Universitas Indonesia
Gambar 5.6
Pertemuan Rutin dengan Instansi Lain
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Dari beberapa temuan penelitian yang telah penulis paparkan sebelumnya,
nampaknya permasalahan komunikasi menjadi hal yang lazim terjadi dalam
sebuah organisasi. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian yang serius,
terlebih dari temuan penelitian yang menunjukkan bahwa 64% responden
menyatakan bahwa ada bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan
kegiatan beberapa bagian dalam organisasi. Artinya, dengan adanya bagian
khusus yang bertugas untuk mengkoordinasi, seharusnya proses komunikasi dapat
berjalan dengan baik dan terarah. Namun faktanya, justru proses komunikasi
malah tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan persoalan-persoalan terkaitnya
lemahnya koordinasi pun terjadi.
70%
24%
6%
Kurang dari 3 kali
Antara 3 s.d 5 kali
Lebih dari 5 kali
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
84
Universitas Indonesia
Gambar 5.7
Bagian Khusus Koordinasi
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Setelah ada bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan
beberapa bagian dalam organisasi, salah satu hal yang patut dicermati adalah
mekanisme pertukaran dokumen tertulis baik berupa laporan ataupun memo yang
terkait dengan pekerjaan masing-masing unit. Hal ini menjadi penting, mengingat
mekanisme sharing ini, selain sebagai upaya transparansi atas pelaksanaan
pekerjaan dari masing-masing unit, juga merupakan sebuah upaya untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan pekerjaan yang telah
dibahas sebelumnya.
Temuan penelitan menunjukkan, bahwa terdapat 76% responden yang
menyatakan bahwa terdapat mekanisme pertukaran dokumen yang berkaitan
dengan pekerjaan tiap-tiap unit. Artinya, asas transparansi dan keterbukaan telah
berjalan dengan baik. Namun satu hal yang perlu dikritisi adalah, dokumen-
dokumen tertulis tersebut seyogyanya mampu mencerminkan tahapan dari tiap-
tiap proses yang dilalui dalam pengelolaan perbatasan, sehingga dokumen-
dokumen tersebut memiliki nilai historis sekaligus up to date dalam menyoroti
64%
32%
4%
Ada
Tidak ada
Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
85
Universitas Indonesia
persoalan pengelolaan perbatasan, dan tidak hanya menjadi dokumen pelengkap
yang terus berulang.
Gambar 5.8
Mekanisme Pertukaran Dokumen Tertulis
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Berdasarkan temuan penelitian, dapat terlihat bahwa komunikasi yang
efektif memegang peran yang cukup vital dalam mewujudkan proses koordinasi
pengelolaan perbatasan yang lebih baik. Untuk itu, salah satu hal mendasar yang
perlu dibenahi adalah upaya optimalisasi pemanfaatan fasilitas komunikasi yang
sementara ini telah tersedia, dan tentunya secara berkala mengagendakan
pertemuan yang sifatnya strategis sebagai langkah preventif dari upaya
pengelolaan perbatasan terpadu.
76%
24%
Ya
Tidak
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
86
Universitas Indonesia
5.3. Kepemimpinan
Kemampuan memimpin sangat penting dalam pelaksanaan koordinasi
yang efektif, mengingat seorang pemimpin berkewajiban untuk dapat mencapai
tujuan organisasi dengan baik. Fungsi seorang pemimpin mencakup semua tugas
dan fungsi di dalam organisasi yang telah didelegasikan kepada bawahannya
apakah dalam bentuk unit-unit, tugas, dan lain-lain. Hal ini harus diarahkan
kepada tujuan utama organisasi. Oleh karena itu, kemampuan teknis dan
profesional dari pimpinan mutlak dibutuhkan bagi tercapainya visi organisasi.
Temuan penelitian menunjukkan, bahwa 72% responden menyatakan
bahwa kemampuan teknis dan profesional unsur pimpinannya adalah baik, dan
26% menyatakan kurang baik, dan hanya 2% saja yang menyatakan tidak baik.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 5.9 berikut ini.
Gambar 5.9
Kemampuan Teknis dan Profesional Pimpinan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Angka ini memberikan gambaran bahwa mayoritas responden melihat
bahwa unsur pimpinannya adalah pimpinan yang berkualitas di bidangnya. Hal
tersebut lebih diperkuat lagi dengan temuan penelitian yang menggambarkan
72%
26%
2%
Baik
Kurang Baik
Tidak baik
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
87
Universitas Indonesia
bahwa pimpinan telah memberikan ruang yang cukup bagi bawahannya untuk
menyuarakan aspirasinya dalam memberikan saran ataupun masukan bagi
kepentingan organisasi. Sebanyak 88% atau mayoritas responden menyatakan
bahwa pimpinan menampung ide-ide dari bawahan untuk dipilih menjadi
keputusan.
Gambar 5.10
Aspiratif Dalam Menampung Ide
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Dengan demikian, pimpinan yang baik akan mampu mengarahkan
bawahannya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, tentunya dalam hal ini
adalah pengelolaan perbatasan yang lebih baik. Temuan penelitian menunjukkan
bahwa 76% responden menyatakan bahwa kemampuan pimpinan dalam
mengarahkan bawahannya dalam melaksanakan tugas adalah baik, sedangkan
24% responden menyatakan kurang baik. Angka ini juga menunjukkan bahwa
kemampuan pimpinan dalam mengarahkan bawahannya tidak terlepas dari
kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan
Williams (1980, 231), “ Communication and other leadership technique can help
provide both the informational base and the psychological climate that are the pre
prequisites of effective coordination”. Bahwa komunikasi dan kemampuan
88%
12%
0%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
88
Universitas Indonesia
memimpin dapat memberikan basis informasi sekaligus suasana kejiwaan yang
baik sebagai prasyarat dari koordinasi yang efektif. Hal yang sama pun diutarakan
oleh Winarlan, yang menyatakan bahwa:
“…pemimpin yang mampu mengorganisir pasti dapat melakukankoordinasi dengan baik karena pimpinan tersebut mampu menjabarkandan memberikan perintah yang baik kepada bawahannya…”.
Berikut adalah gambar 5.11 mengenai kemampuan pimpinan dalam
mengarahkan bawahannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gambar 5.11
Kemampuan Pimpinan Mengarahkan Bawahan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Dari temuan penelitian di atas dapat terlihat bahwa faktor kepemimpinan
telah terlaksana dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan yang baik
tentunya akan memberikan teladan yang baik pula bagi bawahannya. Dalam
konteks pengelolaan perbatasan, di saat pemerintah pusat mampu menyusun
perencanaan yang baik, disertai dengan kemampuan supervisi yang baik, maka
niscaya pengelolaan perbatasan di daerah akan juga berjalan dengan baik. Namun,
di saat pemerintah pusat tidak mampu memberikan arahan yang cepat dan tepat
76%
24%
Baik
Kurang baik
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
89
Universitas Indonesia
kepada daerah, maka pengelolaan perbatasan layaknya seekor ayam yang
kehilangan induknya, terombang-ambing dan pada akhirnya akan muncul potensi
konflik yang akan merugikan masyarakat perbatasan itu sendiri. Oleh karena itu,
baik pusat maupun daerah harus mampu menunjukkan sisi kepemimpinan yang
positif dan konstruktif, sehingga tumbuh kepercayaan dari masyarakat bahwa
pengelolaan perbatasan telah diserahkan kepada para pimpinan yang memang
mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
90
Universitas Indonesia
5.4. Kontrol
Idealnya, di saat semua kebijakan dan program telah dilaksanakan, maka
fungsi kontrol atau pengawasan akan dilakukan untuk memperbaiki hal-hal yang
masih dianggap kurang, sehingga ke depannya kebijakan dan program tersebut
dapat berjalan lebih baik. Akan tetapi, lain halnya dalam konteks pengelolaan
perbatasan yang begitu kompleks ini. Komponen kontrol dan pengawasan
nampaknya hanya menjadi pelengkap saja, sebagai bagian dari sebuah laporan
yang menyuguhkan output kebijakan dan kegiatan yang selalu berjalan efektif dan
efisien. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, mengingat data faktual yang
mengiringinya. Bagaimana tidak, pengelolaan perbatasan yang masih bersifat
sektoral dan cenderung sporadis, dilakukan oleh berbagai instansi,
Kementerian/Lembaga, atau lebih tepatnya 37 Kementerian/lembaga dengan 29
di antaranya terkait langsung menangani perbatasan dengan minim koordinasi dan
sinergi, sehingga pada akhirnya program ataupun kegiatan tersebut tidak tepat
sasaran.
Temuan penelitian menguatkan hal ini, bahwa ada 74% responden yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara rencana program yang telah disusun
dengan praktik implementasi di lapangan. Hal ini memberikan gambaran bahwa di
samping minimnya koordinasi dan sinergi, faktor minimnya kontrol dan
pengawasan menjadi salah satu penyebab tidak berjalan baiknya pengeloaan
perbatasan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
91
Universitas Indonesia
Gambar 5.12
Perbedaan Rencana Program dan Implementasi
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat seberapa
baiknya proses kontrol dan pengawasan adalah ada atau tidaknya mekanisme
pelaporan dan data kegiatan, mekanisme evaluasi SOP, dan mekanisme evaluasi
terhadap anggaran.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat 89% responden yang
menyatakan bahwa terdapat mekanisme pelaporan dan data kegiatan dari tiap-tiap
unit (Gambar 5.12). Begitu pula dengan 74% responden yang menyatakan bahwa
terdapat mekanisme evaluasi terhadap SOP dalam pelaksanaan pekerjaan
(Gambar 5.13). Bahkan, 94% responden menyatakan bahwa terdapat mekanisme
evaluasi terhadap anggaran (Gambar 5.14).
Dalam konteks pengelolaan perbatasan, kontrol memegang peran yang
sangat vital, mengingat berhasil tidaknya suatu program dapat teridentifikasi
secara langsung melalui kontrol yang dilakukan. Artinya, proses pengamatan dan
pengawasan dalam koordinasi dilakukan secara simultan dan terus menerus, tidak
hanya di akhir program atau kegiatan, sehingga nantinya apabila terjadi bias
74%
16%
10%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
92
Universitas Indonesia
dalam pelaksanaan program dapat segera diperbaiki. Terlebih dari temuan
penelitian menunjukkan hal yang kontradiktif, satu sisi terdapat gap yang begitu
besar antara rencana program dan implementasi, namun mekanisme evaluasi
terhadap SOP dan anggaran malah berjalan sangat baik.
Gambar 5.13Mekanisme Pelaporan dan Data
Gambar 5.14Mekanisme Evaluasi SOP
89%
11%
Ya
Tidak
74%
24%
2%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
93
Universitas Indonesia
Gambar 5.15
Mekanisme Evaluasi Anggaran
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian
Angka-angka di atas menunjukkan optimisme yang baik terhadap upaya kontrol
dan pengawasan terhadap pengelolaan perbatasan. Winarlan dengan tegas
menyatakan bahwa:
“Bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untukmemperlancar koordinasi adalah dalam hal meninjau langsung kelapangan atau ke lokasi perbatasan”.
Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi dan pelaporan yang
telah disusun tidak akan mungkin berjalan dengan baik apabila tidak disertai
dengan aksi nyata dari aparatur pengelola perbatasan. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka setiap aparatur yang bertugas melakukan kontrol dan pengawasan
hendaknya mampu mengkritisi dua hal sebagaimana tersebut di bawah ini:
a. Apakah pelaporan dan evaluasi yang dilakukan benar-benar
mencerminkan atas apa yang terjadi sesungguhnya; dan
b. Apakah evaluasi yang dilakukan dijadikan dasar bagi upaya perbaikan ke
depannya.
94%
3% 3%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
94
Universitas Indonesia
Betapapun temuan penelitian menunjukkan hasil yang positif terhadap
faktor kontrol, akan tetapi penulis masih merasa skeptis atas temuan tersebut.
Selain dua alasan yang telah kemukakan di atas, penulis juga melihat ada faktor
kultural yang turut mempengaruhi. Perilaku menyenangkan atasan atau ABS
(Asal Bapak Senang) nampaknya perlu diteliti lebih lanjut, mengingat banyak
program ataupun kegiatan yang nyata-nyata tidak bermanfaat ataupun gagal,
teryata laporan menunjukkan hal sebaliknya. Hal inilah yang masih menjadi
kekhawatiran penulis atas temuan penelitian yang didapat. Terlepas dari itu
semua, apa yang disampaikan oleh Camat Sebatik Barat sungguhlah tepat,
pimpinan harus mampu terjun langsung ke lapangan untuk memastikan betul
apakah program atau kegiatan yang sedang berjalan dengan terlaksana dengan
baik dan sesuai rencana atau tidak.
Dengan demikian, diharapkan proses kontrol dan pengawasan dapat
berjalan dengan baik dan mampu menjadi indikator atas keberhasilan pengelolaan
perbatasan yang terpadu. Secara ringkas, dapat penulis gambarkan hubungan
keempat faktor koordinasi yang telah penulis sampaikan di atas.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
95
Universitas Indonesia
Gambar 5.16
Faktor-Faktor Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
Sumber: diolah dari kerangka teori
Gambar 5.16 merupakan intisari dari proses koordinasi pengelolaan
perbatasan yang melibatkan empat (4) faktor kunci, yaitu kewenangan,
komunikasi, kepemimpinan, dan kontrol. Apabila kita kembali merujuk teori
Boundary Making yang dijelaskan oleh Stephen B Jones, seharusnya proses
koordinasi adalah rangkaian terakhir dari alur pengelolaan perbatasan yaitu
Management/Administration. Akan tetapi dalam konteks pengelolaan perbatasan
di Indonesia, proses ini tidak berlangsung berurutan, mengingat begitu
kompleksnya perbatasan Indonesia ini. Bahkan hingga saat ini, proses
perundingan pengelolaan perbatasan masih terus berlangsung untuk menentukan
batas-batas antara Indonesia dengan Negara tetangga. Artinya, BNPP yang
merupakan representasi dari proses administrasi/manajemen, harus pula berkutat
dengan persoalan fisik yang memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan sektor-
KOORDINASI
KEWENANGAN
KEPEMIMPINAN
KONTROL
KOMUNIKASI
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
96
Universitas Indonesia
sektor terkait, sehingga dapat berjalan beriringan. Oleh karena itu, BNPP harus
mampu berperan dengan baik dan tidak melampaui batas kewenangannya sebagai
sebuah institusi koordinasi.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
97 Universitas Indonesia
B A B 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa:
a. Terdapat empat (4) faktor penting yang memberikan kontribusi dalam proses
koordinasi pengelolaan perbatasan, yaitu kewenangan, komunikasi,
kepemimpinan, dan kontrol. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain,
dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan;
b. Kewenangan belum terlaksana dengan baik. Indikator penguatan kelembagaan
perlu mendapatkan perhatian yang serius. Dengan kelembagaan yang kuat,
dalam hal ini BNPP dan seluruh stakeholder pengelola perbatasan, niscaya
pengelolaan perbatasan akan menjadi lebih baik. Terkait dengan kelembagaan,
penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) juga menjadi hal yang perlu dibenahi,
mengingat tanpa SDM yang berkualitas, tugas dan pekerjaan tidak akan dapat
dilakukan dengan optimal, dan hal ini akan terlihat dari masih terjadinya
tumpang tindih pelaksanaan pekerjaan dan munculnya ego sektoral;
c. Komunikasi belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari belum optimalnya
pemanfaatan fasilitas komunikasi dan masih kurangnya pertemuan berkala yang
bersifat strategis. Terlebih karakteristik perbatasan Indonesia yang terdiri dari
darat, laut dan udara, sehingga proses koordinasi memerlukan waktu yang lama
dan cenderung tidak efektif. Maka dari itu Pemerintah perlu memperbaiki sarana
dan prasarana yang mampu menunjang proses komunikasi yang cepat dan tepat;
d. Kemampuan memimpin telah terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat dari
kemampuan teknis dan profesional yang dimiliki oleh pimpinan dan kemampuan
mengarahkan bawahan dalam pelaksanaan tugas;
e. Kontrol telah berjalan cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya mekanisme
pelaporan, mekanisme evaluasi SOP, dan mekanisme terhadap evaluasi terhadap
anggaran. Betapapun proses pengamatan dan pengawasan telah berjalan dengan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
98
Universitas Indonesia
baik, perlu juga dikritisi perihal pemanfaatan dan penggunaan anggaran yang
telah diserap, apakah telah digunakan sesuai dengan rencana dan memberikan
manfaat, ataukah memang hanya sekadar laporan rutin yang terus berulang.
Maka dari itu, perlu juga dilakukan evaluasi terhadap outcome dari kebijakan
pengelolaan perbatasan.
Selanjutnya, persoalan koordinasi pengelolaan perbatasan ini diharapkan dapat
teratasi dengan terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai
lembaga khusus untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Hal ini
tentu saja perlu ditelaah lebih lanjut mengingat BNPP yang baru terbentuk pada tanggal 17
September 2010, sehingga efektivitas pelaksanaan koordinasi masih belum teruji secara
komprehensif.
6.2 Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, beberapa hal yang dapat penulis sarankan
adalah:
1. Bagi Pemerintah Pusat, institusi BNPP perlu mendapatkan penguatan secara
kelembagaan, dengan membuat struktur yang ramping namun kaya fungsi.
Pemerintah perlu membuat garis batas yang jelas mengenai pembatasan
kewenangan dan tanggung jawab dari setiap stakeholder pengelola perbatasan,
seperti halnya BNPP yang memang memiliki kewenangan yang besar dalam hal
koordinasi agar tidak menyimpang menjadi institusi yang turut serta melakukan
eksekusi. Maka dari itu, Pemerintah perlu memberikan supervisi yang ketat
terhadap BNPP agar tidak keluar dari core tugas pokok dan fungsinya. Selain itu,
faktor komunikasi menjadi hal yang sangat vital dalam pengelolaan perbatasan,
tidak hanya penyediaan sarana dan prasarana yang masih sangat minim, akan tetapi
dari segi optimalisasi pemanfaatan sarana komunikasi yang ada, sehingga dapat
lebih dimanfaatkan dengan baik dan efektif. Begitu pula halnya dengan faktor
kontrol yang harus dapat dipertahankan, mengingat hasil temuan penelitian
menunjukkan hasil yang positif. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kontrol
yang baik akan menentukan hasil tugas dan pekerjaan yang baik. Maka dari itu,
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
99
Universitas Indonesia
setiap program dan kegiatan yang ada harus dapat dilihat dampaknya bagi
pengelolaan perbatasan, sehingga dapat dirasakan manfaatnya secara langsung
oleh masyarakat perbatasan;
2. Bagi Pemerintah Daerah, Kecamatan harus mampu difungsikan dengan baik
sebagai garda terdepan pengelolaan perbatasan. Pemerintah kabupaten/kota perlu
melalukan penguatan kelembagaan dan SDM, sehingga nantinya proses
pengelolaan perbatasan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pertemuan yang
bersifat strategis harus dilakukan secara berkala, baik dengan Pemerintah atau
BNPP, sehingga proses pengelolaan perbatasan tidak berjalan timpang, dan
cenderung satu arah;
3. Bagi masyarakat yang tinggal di perbatasan, walaupun penelitian ini tidak
menyebut secara langsung perihal masyarakat, akan tetapi penulis merasa perlu
untuk memberikan masukan terutama mengenai upaya-upaya preventif dalam
pengelolaan perbatasan. Artinya, masyarakat yang tinggal di perbatasan
diharapkan dapat pro aktif dalam memelihara dan menjaga perbatasan, dan mampu
memberikan informasi yang cepat kepada unit pemerintahan terkecil yang ada di
wilayahnya terutama kecamatan dan kabupaten;
4. Bagi dunia akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan warna baru
bagi pengembangan pengelolaan perbatasan yang lebih terpadu (integrated border
management), merujuk apa yang disampaikan oleh Jones dalam teori Boundary
Making, bahwa saat ini Indonesia telah melangkah lebih maju dengan terbentuknya
BNPP sebagai lembaga koordinasi. Artinya, fungsi administrasi dan manajemen
menjadi kunci vital bagi terselenggaranya pengelolaan perbatasan yang lebih
komprehensif;
5. Untuk penelitian mendatang, agar dapat dilakukan evaluasi secara menyeluruh
pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dalam pengelolaan perbatasan
di Indonesia. Hal ini tentunya terkait dengan empat (4) pilar pengelolaan
perbatasan yang harus berjalan seiring sejalan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
100 Universitas Indonesia
DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA
BUKU
Barney, Jay B dan Ricky W. Griffin. (1992). The Management of Organizations.Houghton Milton Company.
Daft, R.L.. (1992). Organization Theory and Design. West Publising Company.
Dale, Ernest. (1993). Management, Theory and Practice. Rex Printing Company.
Darma Putra, Rizal. (2010). Manajemen Pengelolaan Perbatasan Laut danKeamanan Perbatasan. Jakarta: LESPERSSI
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press
Faisal, Sanapiah. (2005). Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Griffin, Ricky. (2004). Manajemen. Jakarta: Erlangga.
Handayaniningrat, Soewarno. (1986). Administrasi Pemerintahan dan PembangunanNasional. Jakarta: Gunung Agung
Hardjito, Dyiet. 1995. Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian. Jakarta:Grafindo Persada
Hasibuan, Malayu S.P. 1996. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta:Gunung Agung.
Hersey, P. and K.H Blanchard. (1999). Leadership and the One Minute Manager.New York: William Morrow.
Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatitf dan Kuantitatif untuk Ilmu-IlmuSosial . Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Kaloh, Drs. Johannis. (1986). Konsep Koordinasi Dalam Proses Administrasi.Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
101
Universitas Indonesia
KRA XXXVII, Lemhanas RI. (2004). Percepatan Pembangunan WilayahPerbatasan Guna Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Dalam RangkaMemperkokoh NKRI. Jakarta Pusat: Lemhanas RI.
Kasim, Azhar. (1989). Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi. Jakarta: PAUIlmu-Ilmu Sosial UI.
Laweance, Paul R, Jay W Lorsch. (1967). Organization and Environment: ManagingDifferentation and Integration. ill Irwin. Homewood.
Madu, Ludiro, dkk. (2010). Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas:Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mullins, Laurie J. (1999). Management and Organizational Behavior. London:Prentice Hall.
Mulyono, Sri. (1996). Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: LPFE UI.
Neuman, W Lawrence. (2003). Social Research Methods: Qualitative andQuantitative Approaches. Allyn and Bacon.
Nugroho, Riant. (2011). Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan danManajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Papademetriou, Demerios G dan Elizabeth Collet. (2011). A New Architecture forBorder Management. Migration Policy Institute.
Petit, A. Thomas. (1975). Fundamental of Management Coordination. Johm Wiley& Sons, Inc.
Pusat Pengelolaan Umum BIP Depkominfo. (2006). Menelusuri Batas Nusantara,Tinjauan atas Empat Kawasan Perbatasan. Jakarta: Depkominfo
Reksohadiprodjo, Soekanto. (1987). Manajemen Proyek. Yogyakarta: BPFE.
Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur Desain dan Aplikasi. Edisi 3Terjemahan Yusuf Udaya. Jakarta: Arcan.
Saxena, A.B. (1980). Coordination Function in Regional Development. DalamCheema (Ed) Institusional Dimension of Regional Development, MaruzenAsia.
Singarimbun, Masri (editor). (1987). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Starling, Grover. (2008). Managing the Public Sector. USA: Thomson Wadsworth.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
102
Universitas Indonesia
Suharto, Edi. (2005). Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Bandung:PT. Refika Aditama.
Suganda, Dann. (1988). Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta:Intermedia.
Stoner, James A.F., Charles Wankel. (1986). Management. Terjemahan. Jakarta:Erlangga.
Stoner, James A.F., Freeman R. Edward. (1994). Manajemen. Jakarta: Intermedia.
Usman, Prof. Dr. Husaini. (2010). Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan.Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahjosumidjo. (1994). Kiat Kepemimpinan Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT.Harapan Masa
Wiriadihardja, Moefti. (1991). Pedoman Administrasi Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
Yusuf, Farida. (2000). Evaluasi Program. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
JURNAL
Koswara, E. (1983). Peranan Administrasi Dalam Pembangunan Daerah, dalamMajalah Widya Praja No. 7-8 Desember.
Sabarno, Hari. (2003). Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan PengelolaanPulau-Pulau Indonesia di Wilayah Perbatasan. Jurnal Hukum danPembangunan , hal. 67.
Sumarsono, DR. (2011). 1 Tahun BNPP, Semangat Baru Mengubah WajahPerbatasan Negara, Refleksi dan Proyeksi. Jakarta: Badan Nasional PengelolaPerbatasan.
PUBLIKASI ELEKTRONIK
Dipopramono, Abdulhamid. (2009, Februari 18). Politik Lokal dan Otonomi DaerahUGM. Didownload bulan Desember 2010, dari situs plod.ugm.ac.id /jurnalnasional.com.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
103
Universitas Indonesia
Rima News, Redaksi. (2010, September 2). Review of Indonesian and MalaysianReview. Didownload bulan Desember 2010, dari situs www.rimanews.com.
KARYA LAIN
Wuryandari, MA, PhD, Ganewati, (2010). Presentasi: "Mewujudkan ManajemenPengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Darat SecaraTerintegrasi Dalam Perspektif Keamanan dan Kesejahteraan”. Jakarta:Bappenas.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara
Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pula-Pulau KecilTerluar
Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional PengelolaPerbatasan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2010 tentang Organisasi dan TataKerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 1 tahun 2011 tentang DesainBesar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025
Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 tahun 2011 tentangRencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun2011-2014
Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 3 tahun 2011 tentangRencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun2011
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Perbatasan NKRI dengan Negara-Negara Tetangga
Negara Darat Laut Teritorial Laut ZEE Laut Landas Kontinen Catatan
1 2 3 4 5 6Singapura tidak ada ada tidak ada tidak ada _Malaysia Batas alur Watershed Ada Ada Ada Ada beda pendapat tentang ZEE di
selat MalakaPhilipina tidak ada Tidak ada ada Ada belum ditentukanThailand tidak ada Tidak ada Ada Ada ZEE belum dibicarakan, Median
Line untuk Landas KontinenVietnam tidak ada Tidak ada Ada Ada belum ditentukanPalau tidak ada Tidak ada Ada Ada belum ditentukanPapua Nugini Batas non alamiah dan
prinsip thalwegada, lateral ada, lateral ada, lateral _
Timor Leste batas alam thalweg danwatershed
ada,berhadapan danlateral
ada, batas lateral ada, batas lateral Belum ditetapkan/proses
Australia tidak ada Tidak ada ada Sebagian perjanjian sebelum 1972 adapemisahan antara sea bed danwater column
Sumber: Marsetio, 2004
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
Lampiran 2
Batas-Batas Maritim Indonesia yang Telah dan Belum Diperjanjikan Secara Bilateral
No Negara Pihak Batas MaritimLaut Teritorial Zona Tambahan ZEE Landas Kontinen
1 2 3 4 5 61 India _ Jakarta, 8 Agustus 1974
Jakarta, 14 Januari 1977
2 Thailand _ Bangkok, 17 Desember 1971Jakarta, 11 Desember 1975
3 Malaysia Kualalumpur, 17Maret 1970*)
_ _ Kuala Lumpur, 27 Oktober1969
4 Singapura Jakarta, 25 Mei1973**)
5 Vietnam _ Hanoi, 26 Juni 20036 Philipina _ _ _7 Palau _ _8 PNG Jakarta, 13 Desember
1980_ Jakarta, 12 Februari 1973
9 Australia Perth, 16 Maret 1997 Canberra, 18 Mei 1971Jakarta, 9 Oktober 1972
10 Timor Leste _ _ _ _Jumlah Batas Maritim Antar-Negarayang telah diperjanjikan
3 0 1 6
Jumlah Batas Maritim Antar-Negarayang belum diperjanjikan
1 4 8 3
Sumber: Pangkalan Data Perjanjian Internasional, Direktorat Kelembagaan Internasional, DKP, 2003
Keterangan: *) Perjanjian dengan Malaysia pada segmen Selat Malaka bagian Tengah dan Selatan, segmen Selat Singapura bagian Baratdan Timur belum diperjanjikan
**) Perjanjian dengan Singapura baru segmen tengah yang diperjanjikan, segmen barat dan timur belum diperjanjikan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Batas-Batas Maritim Indonesia yang Telah dan Belum Diperjanjikan Secara Trilateral
No Negara Pihak Batas MaritimLaut Teritorial Zona Tambahan ZEE Landas Kontinen
1 2 3 4 5 61 Malaysia- Thailand _ Kuala Lumpur, 21 Des 1971
2 India-Thailand _ New Delhi, 22 Juni 19783 Malaysia- Singapura _ _4 Malaysia-Vietnam _ _5 Malaysia-Philipina _ _6 PNG-Australia _ _7 Australia-Timor Leste _ _
Jumlah Batas Maritim Antar-Negarayang telah diperjanjikan
0 0 0 2
Jumlah Batas Maritim Antar-Negarayang belum diperjanjikan
1 0 6 4
Sumber: Pangkalan Data Perjanjian Internasional, Direktorat Kelembagaan Internasional, DKP, 2003
Tidak perlu dilakukan perjanjian batas maritim
- Belum dilakukan perjanjian batas maritim
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 5
PEDOMAN WAWANCARA
Data Informan:
Nama :
Golongan/Jabatan :
Pendidikan Formal Terakhir :
Masa Kerja :
1. Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan
perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah?
2. Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses koordinasi
pengelolaan perbatasan?
3. Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan?
Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan
sehingga tidak muncul ego sektoral?
4. Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam pengelolaan
perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang
dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas?
5. Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya terkait
pengelolaan perbatasan?
6. Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan
perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah?
7. Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai? Apakah ada
waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan sebelumnya untuk
berkomunikasi secara intensif?
8. Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses koordinasi
pengelolaan perbatasan?
9. Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh seluruh pihak
dengan baik dan lengkap?
10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam
pengelolaan perbatasan?
11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi proses
koordinasi yang dilakukan?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi
yang dilakukan?
13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar
proses koordinasi pengelolaan perbatasan?
14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data kegiatan?
15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi pengelolaan
perbatasan?
16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan?
17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan proses
koordinasi?
***
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 6
DAFTAR PERTANYAAN
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASI
PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Petunjuk Pengisian Kuesioner:
1. Pilih dan beri tanda (X) salah satu jawaban yang sesuai dengan pendapat atau
pengalaman yang Anda rasakan selama ini, atau isilah dengan jelas pertanyaan yang
ada sesuai dengan pendapat dan pengalaman Anda;
2. Bila Anda keberatan menuliskan nama, maka tidak perlu dituliskan;
3. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu/Saudara atas
bantuan dan kerjasama yang baik untuk mengisi kuesioner ini
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
I. Identitas Responden
a. Nama :
b. Umur :
c. Jenis Kelamin :
d. Pendidikan :
e. Jabatan :
II. Kewenangan
1. Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara mengetahui adanya prosedur baku/ metode dalam
pelaksanaan tugas?
a. Mengetahui
b. Tidak Mengetahui
2. Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara memahami baik itu secara tertulis maupun secara
lisan, mengenai tugas, fungsi dan pekerjaan yang diberikan kepada Bapak/ Ibu/
Saudara?
a. Memahami
b. Kurang Memahami
c. Tidak memahami
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3. Bagaimana Bapak/Ibu/Saudara memperoleh pemahaman atas tugas, fungsi, dan
pekerjaan yang diberikan kepada Bapak/Ibu/Saudara?
a. Diklat
b. Rapat-rapat
c. Bimbingan langsung atasan
d. Belajar sendiri
4. Menurut pengamatan Bapak/ Ibu/ Saudara, apakah pegawai yang ada di kantor ini
menguasai segala permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan batas wilayah
negara di Indonesia?
a. Menguasai
b. Kurang menguasai
c. Tidak menguasai
5. Menurut pengamatan Bapak/ Ibu/ Saudara, apakah pegawai yang ada di kantor ini
keahliannya sesuai dengan pekerjaan yang selama ini dikerjakan?
a. Sesuai
b. Kurang sesuai
c. Tidak sesuai
6. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terjadi tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas di antara masing-masing unit yang ada?
a. Terjadi
b. Kadang-kadang
c. Tidak terjadi
7. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah di antara unit yang ada masih
memiliki kepentingan sektoral dalam pelaksanaan tugasnya?
a. Ya
b. Tidak
III. Komunikasi
8. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara apakah masing-masing unit selalu
melakukan pertemuan harian yang bersifat rutin tiap bulannya?
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 s.d 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
9. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah pimpinan masing-masing unit
yang ada selalu mengadakan pertemuan tatap muka tiap bulannya?
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 s.d 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
10. Menurut pengamatan Bapak/ibu/Saudara, apakah unsur pimpinan selalu
mengadakan pertemuan rutin dengan instansi lainnya terkait pengelolaan
perbatasan tiap bulannya?
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 s.d 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
11. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah masing-masing unit selalu
mengadakan pertemuan yang tidak pernah dijadwalkan sebelumnya untuk
membicarakan masalah pekerjaan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
Mengapa? …
12. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah di dalam melakukan koordinasi
dengan unit lain atau antar unit yang ada di kantor ini selalu mendapatkan
kesulitan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
13. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah telah tersedia sarana komunikasi
yang memadai dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan?
a. Tersedia
b. Kurang tersedia
c. Tidak tersedia
14. Dapatkah Anda menyebutkan sarana komunikasi apa yang tersedia untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan koordinasi pengelolaan perbatasan?
a. …
b. …
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
c. …
d. …
e. …
(silakan tambahkan kolom jika memang dibutuhkan)
15. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah setiap keputusan yang diambil
unsur pimpinan telah tersosialisasi (disosialisasikan) dengan baik bagi seluruh
pegawai?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
16. Apakah terdapat sarana untuk melakukan umpan balik (feed back) ke atasan
terkait keputusan yang diambil dalam pengelolaan perbatasan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
Mengapa? …
17. Apakah Bapak/Ibu/Saudara, apabila ada masalah akan selalu memberikan
tanggapan sesuai dengan pertimbangan Bapak/Ibu/Saudara mengenai apa yang
paling baik bagi organisasi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak Pernah
18. Berapa kali Anda memberikan umpan balik dalam satu bulan terakhir?
a. Kurang dari 2 kali
b. Antara 3 sampai 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
19. Menurut Bapak/Ibu/Saudara, apakah di dalam organisasi Anda terdapat
mekanisme pertukaran dokumen tertulis baik itu laporan maupun memo yang
berkaitan dengan pekerjaan masing-masing unit?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
20. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada bagian khusus yang
bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan beberapa bagian dalam organisasi?
a. Ada
b. Tidak ada
c. Tidak Tahu
Mengapa? …
IV. Kepemimpinan
21. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kualitas kepemimpinan dari
unit Anda saat ini?
a. Baik
b. Kurang baik
c. Tidak baik
22. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kemampuan teknis dan
profesional dari unsur pimpinan pada unit Anda saat ini?
a. Baik
b. Kurang baik
c. Tidak baik
23. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kemampuan pimpinan
dalam mengarahkan bawahannya dalam melaksanakan tugas?
a. Baik
b. Kurang baik
c. Tidak baik
24. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, seperti apa tipe pemimpin Anda saat
ini?
a. Demokratis
b. Apatis
c. Otoriter
25. Apakah pimpinan mengajak rapat dalam mengambil keputusan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
Mengapa? …
26. Apakah pimpinan mengajak rapat dalam memutus setiap masalah?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
Mengapa? …
27. Apakah dalam rapat pimpinan mengemukakan ide-ide sendiri untuk dijadikan
keputusan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
28. Apakah dalam rapat, pimpinan menampung ide-ide dari peserta untuk dipilih
menjadi keputusan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
29. Dapatkah Anda menyebutkan masalah apa yang pernah dibahas bersama Anda?
…
30. Jika tidak setiap masalah Anda diajak rapat dengan pimpinan, masalah apa saja
yang Anda diajak rapat? …
31. Menurut yang Anda ketahui, berapa kali Anda rapat bersama pimpinan dalam
setiap bulannya?
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 sampai dengan 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
32. Dalam kurun waktu satu minggu, berapa kali pimpinan menanyakan pekerjaan
Anda?
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 sampai dengan 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
33. Dalam kurun waktu satu minggu, berapa kali pimpinan menanyakan soal pribadi
kepada Anda?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
a. Kurang dari 3 kali
b. Antara 3 sampai dengan 5 kali
c. Lebih dari 5 kali
V. Kontrol
34. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada mekanisme pelaporan dan
data kegiatan dari tiap-tiap unit?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
35. Dalam berapa satuan waktu laporan dibuat?
a. Harian
b. Mingguan
c. Bulanan
d. Tengah tahun
e. Satu tahun
36. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada mekanisme evaluasi
terhadap SOP dalam pelaksanaan pekerjaan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
37. Dalam berapa satuan waktu evaluasi terhadap SOP dilakukan?
a. Harian
b. Mingguan
c. Bulanan
d. Tengah tahun
e. Satu tahun
38. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terdapat perbedaan antara
rencana program dengan implementasi?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Mengapa? …
39. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terdapat mekanisme evaluasi
terhadap anggaran?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
40. Dalam berapa satuan waktu evaluasi terhadap anggaran dilakukan?
a. Harian
b. Mingguan
c. Bulanan
d. Tengah tahun
e. Satu tahun
41. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terdapat mekanisme
pengawasan melekat dari unsur pimpinan kepada bawahannya?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
Mengapa? …
42. Dalam berapa satuan waktu pengawasan melekat dilakukan?
a. Harian
b. Mingguan
c. Bulanan
d. Tengah tahun
e. Satu tahun
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 7
TRANSKRIP WAWANCARA 1
Nama : Bau Syahril, S.IP
Golongan/Jabatan : Penata Muda/IIIa, Plt. Kasubbag Kerjasama Perbatasan
1. Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan
perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah?
Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan, SKPD yang mengelola perbatasan
adalah pada Bagian Penataan Perbatasan di Sekretariat Daerah Kab. Nunukan.
Bagian Perbatasan merupakan duta untuk pemerintah daerah Kabupaten
Nunukan dalam hal menyampaikan hasil koordinasi dengan BNPP, termasuk
kegiatan BNPP yang akan dilaksanakan pada wilayah perbatasan. Pada saat
BNPP akan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan wilayah
perbatasan, Bagian Perbatasan sebagai perpanjangan tangan menyampaikan hasil
koordinasi dengan BNPP, hasil koordinasi tersebut dilaporkan kepada Bupati
melalui Asisten Tata Pemerintahan dan Sekretaris Daerah. Dalam waktu yang
tidak lama, Bupati memerintahkan kepada SKPD untuk segera ditindaklanjuti,
dalam hal ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas
Pekerjaan Umum. Kesimpulan dari hal di atas, Bagian Penataan Perbatasan Setda
Kabupaten Nunukan tidak melakukan atau menjalankan program yang sifatnya
teknis di lapangan.
2. Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses
koordinasi pengelolaan perbatasan?
Sampai saat ini belum ada, ada beberapa kegiatan yang dilakukan yang tidak
berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3. Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan
perbatasan? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa
sajakah yang dilakukan sehingga tidak muncul ego sektoral?
Ya, cara mengatasinya adalah harus ada sebuah prosedur atau peraturan yang
menangani masalah perbatasan mulai dari tahap koordinasi sampai dengan
pelaksanaan di lapangan yang didasarkan pada tugas pokok dan fungsi masing-
masing.
4. Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam
pengelolaan perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal
apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih
pelaksanaan tugas?
Ya, cara mengatasinya adalah masing-masing SKPD atau instansi terkait sesering
mungkin melakukan koordinasi tentang tugas pokok fungsi masing-masing.
5. Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya
terkait pengelolaan perbatasan?
Sampai saat ini hanya sebatas koordinasi lisan dan bertukar informasi tentang
data-data yang dibutuhkan untuk mengelola perbatasan.
6. Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi
pengelolaan perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah?
Badan Pengelola Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal di Provinsi
Kalimantan Timur, Bagian Perbatasan Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan,
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kab. Nunukan dan Dinas
Pekerjaan Umum, dan beberapa kementerian yang ada di Pusat.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
7. Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai?
Apakah ada waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan
sebelumnya untuk berkomunikasi secara intensif?
Ada waktu tertentu untuk melaksanakan forum untuk penyelesaian masalah yang
dihadapi namun forum tersebut tidak terjadwalkan, beberapa forum yang sifatnya
mendadak.
8. Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses
koordinasi pengelolaan perbatasan?
Handphone, surat, fax, telepon.
9. Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh
seluruh pihak dengan baik dan lengkap?
Ya, beberapa hasil koordinasi dilaporkan kepada pihak dengan baik dan lengkap.
10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam
pengelolaan perbatasan?
Ya, pimpinan yang mempunyai kemampuan teknis dan profesional akan lebih
mengerti masalah apa dan bagaimana pemecahan masalah yang dihadapi.
11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi
proses koordinasi yang dilakukan?
Ya, kemampuan teknis dan profesional adalah hal penting dalam menjalankan
sebuah program kegiatan, tanpa kemampuan teknis sulit untuk menjalankan
program.
12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses
koordinasi yang dilakukan?
Ya, kemampuan pimpinan sangat diharapkan dalam mengorganisir bawahan,
berkoordinasi dengan atasan serta berkoordinasi dengan instansi terkait.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk
memperlancar proses koordinasi pengelolaan perbatasan?
Membentuk sebuah tim yang terkait untuk melakukan pengawasan bersama
14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data
kegiatan?
Ya, beberapa kegiatan yang dikoordinasikan dengan instansi terkait dituangkan
dalam bentuk data dan kegiatan.
15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi
pengelolaan perbatasan?
Tidak pernah.
16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah
direncanakan?
Tidak, beberapa pekerjaan yang ada tidak sesuai dengan jadwal yang telah
direncanakan.
17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan
proses koordinasi?
Melakukan penyerahan laporan tiap 3 bulan, enam bulan dan 1 tahun.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 8
TRANSKRIP WAWANCARA 2
Nama : Winarlan, SE
Golongan/Jabatan : Pembina /IVa, Camat Sebatik Barat
1. Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan
perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah?
Cukup baik dimana saat ini sudah ada sebuah badan yang mengelola perbatasan
sebagaimana yang diatur dalam PP No. 12 tahun 2010. Masalah pembagian
kewenangan dan tanggung jawab sudah jelas diatur dalam PP tersebut apa yang
menjadi kewenangan pusat dan apa yang menjadi kewenangan daerah, karena
kita tahu bersama bahwa masalah perbatasan tidak hanya menjadi masalah
daerah saja akan tetapi menjadi masalah pusat dan daerah propinsi serta
kabupaten.
2. Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses
koordinasi pengelolaan perbatasan?
Dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan hingga saat ini saya belum
mengetahui adanya pembakuan prosedur dan metode akan tetapi dalam hal ini
kami kecamatan melakukan jalur koordinasi dengan Sekretaris Daerah
Kabupaten dalam hal ini Bagian Perbatasan Kab. Nunukan.
3. Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan
perbatasan? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa
sajakah yang dilakukan sehingga tidak muncul ego sektoral?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Ya, dengan lebih meningkatkan dan menguatkan peran dari Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) sehingga dalam membangun daerah perbatasan
dapat tertata dan terencana dengan baik.
4. Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam
pengelolaan perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal
apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih
pelaksanaan tugas?
Tidak, untuk menghindari tumpang tindih maka perlu adanya penguatan peran
yang efektif dari Badan Perbatasan baik yang ada di pusat maupun di daerah.
Setiap instansi yang akan melaksanakan kegiatan di daerah perbatasan harus
melalui satu pintu koordinasi yakni Badan Perbatasan.
5. Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya
terkait pengelolaan perbatasan?
Bentuk koordinasi dalam hal rapat kerja bersama instansi lainnya, kunjungan
atau survey lapangan daerah perbatasan sampai koordinasi dalam bentuk telepon.
6. Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi
pengelolaan perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah?
Pihak-pihak yang terkait di antaranya masyarakat perbatasan setempat dalam hal
ini tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, pemangku
kepentingan di daerah perbatasan, para kalangan pengusaha di perbatasan,
pemerintah desa, Danramil, serta organisasi masyarakat yang ada di daerah
perbatasan.
7. Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai?
Apakah ada waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan
sebelumnya untuk berkomunikasi secara intensif?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Sangat baik, dalam hal komunikasi kami di kecamatan setiap bulannya
melakukan rapat rutin yang dihadiri seluruh pegawai dan staf kecamatan jika ada
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan komunikasi kami selalu berjalan baik di
kantor maupun tidak.
8. Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses
koordinasi pengelolaan perbatasan?
Telepon, fax, surat menyurat, email.
9. Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh
seluruh pihak dengan baik dan lengkap?
Tidak, karena yang menjadi kendala kami di perbatasan adalah faktor geografis
dan sulitnya akses komunikasi berupa sinyal HP yang ada, sehingga untuk
komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat memerlukan waktu yang lama.
10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam
pengelolaan perbatasan?
Kepemimpinan dalam proses koordinasi sangat mempengaruhi karena seorang
pemimpin harus selalu aktif dan peka terhadap wilayah kerjanya sehingga segala
permasalahan khususnya terkait dengan perbatasan harus cepat diatasi dan
dikoordinasikan kepada instansi terkait dalam hal ini Badan Perbatasan. Jika
pemimpin hanya diam maka koordinasi tidak akan berjalan dengan baik.
11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi
proses koordinasi yang dilakukan?
Sangat berpengaruh. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan teknis dan
profesional pasti mampu untuk melaksanakan tupoksi dengan baik sehingga
proses koordinasi pasti akan berjalan dengan baik pula.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses
koordinasi yang dilakukan?
Ya, pimpinan yang mampu mengorganisir pasti dapat melaksanakan koordinasi
dengan baik karena pimpinan tersebut mampu menjabarkan dan memberikan
perintah yang baik kepada bawahannya dalam hal mengorganisir tugas-tugasnya.
13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk
memperlancar proses koordinasi pengelolaan perbatasan?
Bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar
koordinasi dalah dalam hal meninjau langsung ke lapangan atau ke lokasi
perbatasan. Misalnya jika ada proyek yang dilakukan oleh sebuah instansi di
daerah perbatasan maka harus diberi pengawasan apakah sudah sesuai dengan
target dari proyek tersebut jika tidak maka harus dilakukan koordinasi yang
intensif.
14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data
kegiatan?
Ya, karena laporan dan data tersebut sebagai bukti hasil koordinasi.
15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi
pengelolaan perbatasan?
Ya, evaluasi harus selalu kami lakukan agar pelaksanaan koordinasi dapat
berjalan sesuai yang kami harapkan.
16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah
direncanakan?
Ya, karena pekerjaan kami di kecamatan mengacu pada renstra dan renja yang
ingin dicapai bersama.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan
proses koordinasi?
Bentuk pengawasan terhadap anggaran intensif dilakukan oleh instansi terkaitbaik itu Inspektorat Kabupaten maupun dari BPK.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
top related