faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness dalam ... · forgiveness dalam pernikahan di kecamatan...
Post on 17-Jan-2020
34 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI FORGIVENESS
DALAM PERNIKAHAN DI KECAMATAN MAKASAR,
JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun Oleh:
AJENG LINTANG CEMPAKA
NIM : 1110070000021
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
A happy marriage is the union of two good
forgivers.—Robert Quillen
The weak can never forgive. Forgiveness is an
attribute of the strong. —Mahatma Gandhi
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua,
keluarga besar, dan kakak-kakak tercinta yang tiada henti
memberikan dukungan dan kasih sayang, pengukir senyum
dalam hari-hariku John, dan para sahabat atas semangat dan
perjuangan bersama selama ini, SALAM SUKSES!
vii
ABSTRAK
A.) Fakultas Psikologi
B.) Februari 2015
C.) Ajeng Lintang Cempaka
D.) Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness dalam Pernikahan di
Kecamatan Makasar, Jakarta Timur
E.) xv + 115 Halaman (belum termasuk lampiran)
F.) Merosotnya nilai pernikahan, membuat perceraian seringkali dipilih
sebagai jalan keluar bagi pasangan yang menghadapi konflik. Sebenarnya
masih ada jalan lain untuk menemukan resolusi konflik. Salah satu
alternatif untuk menemukan resolusi konflik adalah forgiveness.
Forgiveness dalam pernikahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada tiga
faktor psikologis yang sangat berperan yaitu kualitas hubungan, apology
dan kepribadian. Selain itu, faktor demografi seperti usia dan gender juga
turut memberikan pengaruh.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kualitas hubungan
(yaitu trust, commitment, intimacy dan satisfaction), apology, tipe
kepribadian HEXACO (yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) dan faktor
demografi (usia dan gender) terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi
berganda. Sampel berjumlah 200 orang yang telah menikah di Kecamatan
Makasar, Jakarta Timur yang terdiri dari 81 perempuan dan 119 laki-laki.
Teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik non-probability
sampling.
Hasil penelitian membuktikan bahwa secara bersamaan trust, commitment,
intimacy & satisfaction, apology, honesty-humility, emotionality,
extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience
serta usia & gender memengaruhi forgiveness dalam pernikahan secara
signifikan sebesar 41,8%. Dalam penjabarannya terdapat tiga variabel
yang berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan, yaitu variabel satisfaction dalam kualitas hubungan, apology,
dan kepribadian extraversion.
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dikaji dan dikembangkan
kembali. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memakai sampel yang
lebih spesifik dan lebih banyak lagi dengan variabel lain seperti
constraints, social-cognitive determinant dan lain-lain.
A.) Daftar Bacaan : 57; buku: 12 + jurnal: 30 + artikel: 10 + skripsi: 2 +
thesis: 1 + dokumen: 2
viii
ABSTRACT
A.) Faculty of Psychology
B.) February 2015
C.) Ajeng Lintang Cempaka
D.) Factors Affecting Marital Forgiveness at Makassar District of East Jakarta
E.) xv + 115 pages (excluding attachments)
F.) The decline of marriage value has made divorce alternatively chosen as a
solution for couples with conflicts. Whilst actually there is another way to
find a conflict resolution, such as forgiveness .
Forgiveness in a marriage is influenced by several factors. There are three
psychological factors play important role, there are relationship quality,
apology and personality. In addition, demographic factors such as age and
gender are also influencing.
This study is conducted to determine the effect of relationship quality (the
level of trust, commitment, intimacy and satisfaction), apology, HEXACO
personality type (honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, and openness to experience) and
demographic factors (age and gender) toward marital forgiveness. This
study is using quantitative approach with multiple regression analysis.
Samples were taken from 200 people who are married; consisting of 81
women and 119 men. This study is using a nonprobability sampling
technique with accidental sampling method.
Research result proves that simultaneously relationships quality, apology,
HEXACO personality type and age & gender have influencing marital
forgiveness significantly up to 41.8%. The result also shows there are
three variables that significantly affect marital forgiveness: satisfaction
(relationships quality), apology, and extraversion personality.
Researcher is hoping that this research is to be reviewed and developed
deeper and further research is recommended by using more specific
samples and other variables, such as constraints, social-cognitive
determinant etc.
G.) References: 57; books: 12 + journals: 30+ articles: 10 + thesis: 3 +
documents: 2
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur”. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan
seluruh umat yang senantiasa mencintainya.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan
dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta
kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi
peneliti.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi,
Wadek I Dr. Abdul Rahman Shaleh M.Si, beserta jajarannya yang telah
x
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk belajar dan mengembangkan
potensi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M. Si, Psi selaku Dosen Pembimbing skripsi dan
Ibu Luh Putu Sutha Haryanthi, M. Psi sebagai Pembimbing Seminar
Proposal. Terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang
membangun, dan waktu yang diberikan serta segala ilmu yang telah peneliti
dapatkan.
3. Kepada seluruh pihak dan responden yang telah membantu peniliti dalam
mengumpulkan data.
4. Kepada Ibu Neneng Tati Sumiati M. Si, Psi sebagai dosen Pembimbing
Akademik yang telah meluangkan waktu, menguatkan dan mencarikan solusi
terbaik bagi setiap masalah sejak awal perkuliahan hingga menjelang
kelulusan.
5. Seluruh dosen Fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan sumbangsih ilmunya &
segenap staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
banyak membantu peneliti dalam mengurus berkas perlengkapan skripsi.
6. Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan sayangi,
Papa dan Mama. Serta seluruh kakak-kakak ku Mbak Tiwuk, Mbak Dhita dan
Mas Galeh. Saya tidak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih
saya atas segala dukungan dan doa yang diberikan oleh keluarga.
7. Kepada John, terima kasih untuk dukungan, nasihat, senyuman, semangat,
kehadiran dan doa yang selalu diberikan.
xi
8. Untuk sahabat-sahabat peneliti, yaitu Rava, Aul, dan Emmeletus atas
perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan ini, "cerita kita masih
panjang, maka jangan sudahi sampai disini”. Terima kasih atas tawa, tangis,
cerita, dukungan, semangat, dan segala kebersamaan ini.
9. Untuk teman-teman angkatan 2010, khususnya kelas A, walaupun kurang
kompak namun perjalanan kita penuh cerita, terimah kasih untuk segala
kebersamaan ini.
10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu, terima
kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan, bantuan,
bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan.
Selain itu mengingat kekurangan dan keterbatasan peneliti, maka segala kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan peneliti sebagai bahan
penyempurnaan.
Jakarta, 2 Februari 2015
Ajeng Lintang Cempaka
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii
LEMBAR ORISINALITAS ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 9
1.2.1. Pembatasan masalah .......................................................... 9
1.2.2. Perumusan masalah .......................................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian ................................................. 12
BAB 2. LANDASAN TEORI ........................................................................ 14
2.1. Forgiveness .................................................................................. 14
2.1.1. Definisi Forgiveness .......................................................... 14
2.1.2. Dimensi Forgiveness ......................................................... 16
2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness ................ 20
2.1.4. Tahapan Forgiveness ......................................................... 22
2.2. Pernikahan.................................................................................... 26
2.2.1. Definisi Pernikahan ............................................................ 26
2.2.2. Motivasi Menikah .............................................................. 27
2.3. Forgiveness dalam Pernikahan ......................................................... 29
2.3.1. Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan ...................... 30
2.4. Kualitas Hubungan....................................................................... 32
2.1.1. Definisi Kualitas Hubungan ............................................... 32
2.1.2. Dimensi Kualitas Hubungan .............................................. 32
2.1.3. Pengukuran Kualitas Hubungan ........................................ 34
2.5. Apology ........................................................................................ 34
2.5.1. Definisi Apology ................................................................ 34
2.5.2. Dimensi Apology ................................................................ 35
2.5.3. Pengukuran Apology .......................................................... 37
2.6. Kepribadian ................................................................................. 37
2.6.1. Definisi Kepribadian .......................................................... 37
2.6.2. Definisi Kepribadian Model HEXACO ............................. 38
2.6.3. Dimensi Kepribadian HEXACO ....................................... 39
xiii
2.6.4. Pengukuran Kepribadian HEXACO .................................. 42
2.7. Gender ......................................................................................... 42
2.8. Usia ............................................................................................. 44
2.9. Kerangka Berpikir ....................................................................... 46
2.10. Hipotesis Penelitian ................................................................. 51
BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 53
3.1. Populasi dan Sampel .................................................................... 53
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ............... 54
3.3. Instrumen Penelitian ................................................................... 57
3.4. Uji Validitas Konstruk ................................................................ 62
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Forgiveness .................................. 64
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kualitas Hubungan ....................... 66
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Apology ......................................... 70
3.4.4. Uji Validitas Konstruk Kepribadian ................................. 72
3.5. Teknik Analisis Data ................................................................... 79
3.6. Prosedur Penelitian...................................................................... 82
BAB 4. HASIL PENELITIAN ....................................................................... 85
4.1. Kriteria Responden Penelitian ..................................................... 85
4.2. Hasil Analisis Deskriptif ............................................................ 86
4.3. Kategorisasi Hasil Penelitian ....................................................... 87
4.4. Uji Hipotesis Penelitian ............................................................... 90
4.4.1. Uji Regresi Berganda ......................................................... 90
4.4.2. Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen .... 96
BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................... 100
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 100
5.2. Diskusi ...................................................................................... 101
5.3. Saran .......................................................................................... 108
5.3.1. Saran Metodologis ........................................................... 108
5.3.2. Saran Praktis ................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111
LAMPIRAN .................................................................................................. 116
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dimensi Kepribadian HEXACO .................................................... 41
Tabel 2.2 Tahapan Perkembangan Psikososial .............................................. 44
Tabel 3.1 Blueprint Skala Forgiveness ........................................................... 58
Tabel 3.2 Blueprint Skala Kualitas Hubungan ................................................ 59
Tabel 3.3 Blueprint Skala Apology ................................................................. 60
Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepribadian ........................................................... 61
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Forgiveness .................................................... 66
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Trust ............................................................... 67
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Intimacy .......................................................... 68
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Commitment ................................................... 69
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Satisfaction ..................................................... 70
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Apology .......................................................... 71
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Honesty-Humility ........................................... 72
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Emotionality ................................................... 74
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Extraversion ................................................... 75
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Agreebleness .................................................. 76
Tabel 3.15 Muatan faktor Item Conscientiousness ........................................... 77
Tabel 3.16 Muatan faktor Item Openness to Experience .................................. 78
Tabel 4.1 Kriteria Responden ......................................................................... 85
Tabel 4.2 Deskriptive statistics ....................................................................... 87
Tabel 4.3 Norma Skor Kategorisasi ................................................................ 88
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ............................................ 88
Tabel 4.5 Model Summary .............................................................................. 91
Tabel 4.6 Tabel Anova .................................................................................... 91
Tabel 4.7 Koefisien Regresi ........................................................................... 92
Tabel 4.8 Proporsi varians masing-masing variabel independen ................... 97
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 The pyramid model to REACH forgiveness .................................. 24
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir .......................................................................... 50
Gambar 3.1 Hasil Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness ........................ 65
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Angket dan Leaflet
Lampiran B
Lampiran C
Lampiran D
Contoh Syntax Analisis Faktor Konfimatorik Variabel
Forgiveness
Contoh Output Analisis Faktor Konfirmatorik Variabel
Forgiveness
Path Diagram Analisis Faktor Konfirmatorik
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang dilakukannya
penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang
Individu yang telah mencapai usia dewasa memiliki tugas perkebangan untuk
menjalin hubungan dekat dengan individu lain, salah satunya dengan menikah.
Menikah merupakan tindakan institusional yang sah secara hukum untuk
menyatukan pria dan wanita dalam hubungan yang abadi sebagai suami istri
(Turner, 1996). Pasangan yang menikah akan saling membentuk intimasi,
memberikan afeksi dan dukungan satu sama lainnya, serta adanya rasa saling
menghargai dan menyayangi (Sari, 2004) yang akan membuat pasangan menikah
menjadi bahagia.
Jika sebuah pernikahan dianalogikan sebagai sebuah bangunan, maka
sebuah pernikahan hendaknya memiliki pilar-pilar penyangga agar kedudukannya
tetap kokoh dan kuat sehingga tujuan untuk memiliki pernikahan yang kekal dan
bahagia dapat tercapai. Menurut Sadarjoen (2009), terdapat empat pilar utama
dalam pernikahan, yaitu: cinta kasih tulus dan rasa hormat antar pasangan;
keterbukaan dalam pengelolaan penghasilan keluarga; penyesuaian dalam
kehidupan seksual; dan kebersamaan dalam aktivitas spiritual. Jika keempat pilar
tersebut dapat dibangun, dimiliki dan dirawat dengan baik, maka tujuan
2
pernikahan dapat tercapai. Namun pada perjalanannya, pilar-pilar tersebut sering
menjumpai permasalahan.
Permasalahan yang seringkali merusak bahkan merobohkan pilar-pilar
pernikahan diatas sangat beragam, diantaranya adalah perselingkuhan, perdebatan
mengenai keuangan, ketidakbahagiaan seksual dan pernikahan beda agama. Di
Indonesia, satu dari sepuluh perceraian disebabkan karena gangguan pihak ketiga
(Badilag, 2012). Kemudian menurut studi pada tahun 2009, 30% pasangan pasti
bertengkar karena uang, paling tidak seminggu sekali dan berujung di perceraian
(Sondang, 2009). Selanjutnya, ketika 80% suami merasa bahagia dengan
kehidupan seksualnya, hanya 61% perempuan merasakan hal yang sama
(Fazriyati, 2013). Selain itu, ada kurang lebih 2,5 % pasangan beda agama yang
menikah di beberapa KUA Wonosari (Wahyuni, 2004).
Penjelasan di atas mengenai empat pilar pernikahan beserta berbagai
masalahnya menyadarkan kita bahwa kehidupan pernikahan sangat rentan dengan
beragam permasalahan. Selain permasalahan-permasalah besar pada empat pilar
utama, sering juga dijumpai konflik harian akibat komunikasi yang tidak lancar.
Permasalahan atau konflik itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk. Respons
terhadap konfliklah yang akan menentukan apakah konflik itu akan bermanfaat
atau berbahaya. Konflik pernikahan bisa bermanfaat untuk membantu pasangan
menikah untuk menjadi orang yang lebih dewasa dan memiliki hubungan yang
lebih dewasa, namun konflik juga dapat mengakibatkan kehancuran dalam
pernikahan.
3
Konflik yang tidak dapat diatasi bersama dengan baik, dapat mengancam
hubungan pernikahan dan dapat menyebabkan kerusakan permanen atau
perceraian. Seperti yang telah terjadi dewasa ini, Indonesia tercatat sebagai negara
dengan perceraian tertinggi di Asia-Pasifik. Rata-rata satu dari sepuluh pasangan
menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan (BKKBN, 2013). Angka
perceraian di Indonesia meningkat setiap tahunnya, terdapat 158.119 pasangan
bercerai pada tahun 2011, selanjutnya meningkat menjadi 297.841 pasangan
bercerai di tahun 2012 dan data terakhir yaitu 324.527 pasangan bercerai di tahun
2013 (Badilag, 2014). Data tersebut menunjukan bahwa perceraian akibat konflik
dalam pernikahan semakin sulit dihindari.
Untuk menyelesaikan konflik dan menjaga keharmonisan dalam
pernikahan, ada berbagai pilihan yang menawarkan solusi lebih baik, salah
satunya adalah dengan memaafkan. Thoresen (dalam Fincham, Hall & Beach,
2006) menjelaskan forgiveness melibatkan suatu perubahan prososial, selanjutnya
Worthington (dalam Fincham et al., 2006) menambahkan maksudnya adalah
ketika seseorang memaafkan, maka perilaku memaafkan akan muncul baik dalam
pikiran, perasaan dan tingkah laku. Proses ini menurunkan motivasi untuk
membalas dendam dan menjauhkan diri dari pelaku, dan meningkatnya motivasi
untuk membina hubungan kembali (McCullough, Rachal & Worthington, 1997).
Hal ini menyatakan bahwa forgiveness terjadi melalui serangkaian proses panjang
dan seharusnya terlaksana secara keseluruhan.
Dalam pernikahan, forgiveness sangat diperlukan karena memiliki banyak
sekali manfaat, diantaranya adalah dapat meningkatkan kepuasan pernikahan
4
(Mirzadeh & Fallahchai, 2012) dan erat kaitannya dengan resolusi konflik
(Fincham et al., 2006). Forgiveness membantu individu untuk memulihkan
hubungan, melepaskan rasa sakit dan marah kemudian menyembuhkan luka
emosional pasca terjadinya konflik. Kemudian forgiveness juga merupakan salah
satu kunci kelanggengan dalam pernikahan (Fincham, Paleari & Regalia, 2002).
Forgiveness membantu meningkatkan emotional well-being, kesehatan fisik dan
kualitas intimate relationship seseorang (Fincham et al., 2006).
Namun forgiveness dalam pernikahan adalah hal yang rumit. Terdapat
paradoks bahwa individu yang paling sering disakiti seseorang adalah individu
yang dicintai (Fincham, Beach & Davila, 2004). Kemudian menurut William
Blake (dalam Fincham, 2009) lebih mudah memaafkan seorang musuh daripada
seorang teman. Sama halnya seperti memaafkan seorang teman, akan sulit bagi
seseorang untuk memaafkan pasangannya. Kesalahan yang dilakukan pasangan
akan dinilai sebagai perlakuan yang disengaja dan bentuk dari tidak menghargai
pasangannya, sehingga luka yang ditorehkan oleh pasangan akan terasa lebih
sakit. Oleh karena itu, tidak semua orang mau dan mampu secara tulus
memaafkan dan melupakan kesalahan pasangannya. Proses memaafkan
memerlukan kerja keras, kemauan kuat dan latihan mental karena terkait dengan
emosi individu yang fluktuatif, dinamis dan sangat reaktif terhadap stimulus dari
luar (Wardhati & Faturochman, 2008). Proses memaafkan ini sangat kompleks
dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi forgiveness. Faktor pertama yang
dapat mempermudah seseorang memaafkan pasangan yaitu kualitas hubungan.
5
Menurut Guldner dan Swensen (1995) kualitas hubungan terdiri dari empat
dimensi, yaitu trust, intimacy, commitment dan satisfaction. Masing-masing
dimensi ini memiliki pengaruh positif terhadap forgiveness.
Begitu penting untuk menjaga kualitas hubungan dalam kehidupan
pernikahan. Berkaitan dengan dimensi pertama, trust memengaruhi sikap individu
untuk mau terbuka tentang perasaan dan keinginannya kepada pasangannya.
Keterbukaan akan memudahkan kepercayaan kembali lagi sehingga konflik
serupa tidak akan terulang (Fincham, 2009). Trust in partner secara umum
signifikan berhubungan dengan dimensi positif pada forgiveness (Paleari, Regalia
& Fincham, 2009). Penelitian lain oleh Cairns, Tam, Hewstone & Niens (2005)
juga menemukan hubungan positif antara trust dengan forgiveness.
Kemudian intimacy, Fincham (2009) mengungkapkan bahwa individu
yang memiliki kedekatan yang baik dengan pasangannya menunjukan forgiveness
yang lebih baik, karena mereka dapat berkomunikasi secara lebih baik. Begitu
juga dengan komitmen, pasangan yang memiliki komitmen yang kuat dalam
perkawinannya akan memiliki orientasi jangka panjang yang jelas dan ingin
dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai sebagai sesuatu yang harus
dimaafkan (McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Penelitian Paleari et al.
(2009) menemukan relationship intimacy dan relationship commitment memiliki
pengaruh positif terhadap forgiveness dalam pernikahan. Finkel et al. (dalam
Fincham et al., 2006) juga membuktikan komitmen yang lebih baik akan
memfasilitasi interpersonal forgiveness.
6
Selanjutnya mengenai kepuasan, Fincham et al. (2006) dan Mirzadeh dan
Fallahchai (2012) mengatakan kepuasan pernikahan berkorelasi positif terhadap
forgiveness. Dengan adanya kualitas yang baik dalam keempat dimensi diatas,
diprediksikan bahwa forgiveness akan lebih mudah dan cepat dalam prosesnya.
Faktor kedua, faktor eksternal yang dapat memengaruhi forgiveness adalah
apology. Apology dari pihak bersalah meningkatkan kemampuan memaafkan pada
pihak yang tersakiti (McCullough et al., 1997). Sejalan dengan itu penelitian oleh
Strang et al. (2014) menemukan partisipan dalam penelitiannya lebih mudah
memutuskan untuk memaafkan setelah adanya apology. Para peneliti menemukan
bahwa apology diartikan sebagai hal yang paling dapat dipercaya dan tulus, serta
sebagai cara yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik intrapersonal
(dalam Takaku, Weiner & Ohbuchi, 2001). Hal ini menunjukan bahwa apology
secara signifikan memiliki pengaruh positif pada forgiveness.
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap forgiveness adalah kepribadian.
Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu sikap dan
perilaku seseorang, termasuk untuk melakukan forgiveness. Dengan
menggunakan Five Factor Model of Personality, penelitian sejak tahun 1993
hingga 2008 secara keseluruhan menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara kepribadian agreeableness dan neurotism dengan forgiveness, namun tidak
dengan ekstroversion, openness, dan conscientiousness (Caperton, 2008). Maltby
et al. (2008) mengungkapkan bahwa individu dengan kecenderungan neurotism
menunjukan kemungkinan menyimpan dendam dan keinginan menjauhi pelaku
hingga dua tahun setelah konflik terjadi. Hafnidar (2013) mengungkapkan bahwa
7
agreeableness berkorelasi positif terhadap forgiveness pada diri sendiri maupun
orang lain.
Kemudian Five Factor Model of Personality telah dikembangkan oleh
Ashton dan Lee (2002), dengan mengganti kepribadian neurotism dengan
emotionality dan menambahkan kepribadian honesty-humility. Model kepribadian
Ashton dan Lee (2007) dikenal dengan sebutan HEXACO yaitu honesty-humility
(H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C),
dan openness to experience (O). Kepribadian honesty-humility mengacu pada
kecenderungan pada perilaku alturistik prososial, sementara kepribadian
agreeableness mengindikasi kecenderungan individu untuk memaafkan dan
tolerasi sedangkan emotionality dimaksudkan untuk mengetahui tingkat empati
dan attachment seseorang (Wikipedia, 2014). Ashton et al. tahun 1998 (dalam
Neto & Mullet, 2004) menemukan bahwa tingginya score agreeableness dan
emotional stability berkorelasi tinggi terhadap forgiveness. Berdasarkan sumber-
sumber tersebut maka dapat diketahui bahwa kepribadian honesty-humility,
agreeableness dan emotionality adalah tipe kepribadian yang berkorelasi positif
dengan forgiveness.
Faktor lainnya yang dapat memengaruhi forgiveness adalah usia dan
gender. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan
proses forgiveness berdasarkan usia, mereka mengklasifikasikan usia partisipan
kedalam empat kategori yaitu remaja, muda, paruh baya dan tua. Hasilnya usia
berpengaruh signifikan secara linier, artinya semakin tua usia seseorang maka
semakin mudah ia memaafkan.
8
Lain halnya yang diteliti oleh Wade dan Goldman (2006), penelitian ini
melakukan intervensi untuk meningkatkan forgiveness dalam kelompok dengan
komposisi laki-laki dan perempuan yang berbeda tiap kelompoknya. Singkatnya
ditemukan bahwa perempuan lebih mudah memaafkan. Akan tetapi yang terjadi
di Indonesia, dari seluruh permohonan cerai yang diajukan ke pengadilan, 70%
penggugatnya adalah perempuan (BKKBN, 2013). Mungkin ini disebabkan
perempuan di Indonesia lebih sulit melakukan forgiveness. Perbedaan ini
menambah nilai urgensi penelitian serupa dilakukan di Indonesia.
Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di
Jakarta Timur. Jakarta adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
angka perceraian cukup tinggi yakni 8.067 putusan cerai sepanjang Januari-
Agustus (Badilag, 2014). Kemudian wilayah yang memiliki perceraian tertinggi di
Jakarta adalah Jakarta Timur yaitu sebanyak 2.389 putusan cerai sepanjang
Januari-Agustus (Badilag, 2014). Perceraian yang tinggi di wilayah ini mungkin
saja mencerminkan masyarakat yang mulai mengesampingkan nilai pernikahan.
Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian yang telah dijabarkan,
faktor yang menarik dijadikan sebagai prediktor forgiveness adalah kualitas
hubungan, kepribadian, apology dan faktor demografi berupa gender dan usia.
Untuk itu peneliti mengajukan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi
Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur”.
9
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Agar Penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan
masalah. Adapun pokok yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini
adalah forgiveness dalam pernikahan yang dipengaruhi variabel psikologi seperti
kualitas hubungan, apology, kepribadian dan variabel demografi berupa gender
dan usia. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini forgiveness dalam pernikahan yang dimaksud adalah
peningkatan motivasi prososial setelah terjadi konflik dalam pernikahan.
Forgiveness dalam pernikahan ditandai dengan rendahnya keinginan
membalas dendam (retaliation) dan menjauhi pasangan (avoidance), serta
tingginya keinginan untuk memperbaiki hubungan (benevolence).
2. Kualitas hubungan dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai
seberapa baik interaksi suami istri dalam pernikahannya yang terlihat dari
dimensi-dimensi yang menentukannya, yaitu trust, intimacy, commitment
dan satisfaction.
3. Apology dalam penelitian ini adalah permintaan maaf dari pasangan
karena telah menyakiti individu yang dilihat dari respon individu dalam
melaporkan permintaan maaf yang dilakukan oleh pasangannya saat atau
sesudah berkonflik.
4. Kepribadian adalah sebuah pola yang menetap / konsisten berkaitan
dengan bagaimana individu mempresepsikan dan berpikir tentang dirinya
10
dan lingkungannya dalam berbagai konteks. Peneliti menggunakan teori
kepribadian oleh Ashton dan Lee (2007) dengan enam dimensi
kepribadian. Enam dimensi yang dimaksud adalaha honesty-humility (H),
emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness
(C), dan openness to experience (O) karena kepribadian ini sesuai dengan
konsep forgiveness.
5. Faktor demografi dalam penelitian ini berupa informasi gender (laki-laki
dan perempuan) dan usia (dewasa muda dan dewasa madya).
6. Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan dengan usia minimal 20
tahun dan laki-laki dengan usia minimal 25 tahun dengan status menikah
di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.2.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat di
identifikasi yaitu:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari kualitas hubungan, apology,
kepribadian, gender dan usia terhadap forgiveness dalam pernikahan?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi trust dalam variabel
kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi intimacy dalam
variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi commitment dalam
variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
11
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi satisfaction dalam
variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel apology terhadap
forgiveness dalam pernikahan?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi honesty-humility dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi emotionality dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi extraversion dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
10. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi agreeableness dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
11. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi conscientiousness
dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
12. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi opennes to experience
dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
13. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari gender terhadap forgiveness
dalam pernikahan?
14. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap forgiveness dalam
pernikahan?
1.3. Tujuan Penelitian
Peneliti menentukan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
trust, intimacy, commitment dan satisfaction (dalam variabel kualitas hubungan),
12
variabel apology, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness,
conscientiousness, openness to experience (dalam variabel kepribadian) serta
variasi gender dan usia sebagai variabel demografi terhadap forgiveness dalam
pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Kemudian untuk mengetahui
pula besarnya sumbangan dari masing-masing variabel terhadap forgiveness
dalam pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan
bahan perbandingan bagi pengembangan teori-teori psikologi yang
berkaitan dengan forgiveness dalam pernikahan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan
media pembelajaran bagi seluruh kalangan, khususnya bagi pasangan
menikah mengenai pentingnya forgiveness dalam pernikahan dan
memberikan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
forgiveness sehingga dapat dilakukan usaha meningkatkan forgiveness
dalam pernikahan.
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
APA ( American Psychologycal Association)-style dan pedoman penyusunan dan
penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan
ini dibagi menjadi beberapa bahasan sebagai berikut:
13
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang
dilakukannya penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan
konsep dasar forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan,
apology, kepribadian, gender dan usia; kerangka berpikir serta
hipotesis penelitian.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, variabel
penelitian, definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data,
uji validitas konstruk, teknik analisis data, dan prosedur pengumpulan
data.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai karakteristik responden
penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasilnya.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan
menyimpulkan hasil penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan
analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan konsep dasar
forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan, apology, kepribadian, gender
dan usia; kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
2.1. Forgiveness
2.1.1. Definisi Forgiveness
Para ahli telah berusaha meneliti dan merumuskan definisi forgiveness, seringkali
mereka menggunakan bahasa dan gambaran yang berbeda namun saling
melengkapi teori yang ada. Enright, Gassin, dan Wu (dalam McCullogh et al.,
2003) mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan
negatif dan penghakiman terhadap pelaku, bukan dengan menolak hak untuk
bersikap negatif dan menghakimi, namun dengan berusaha melihat pelaku dengan
belas kasih, kemurahan hati dan cinta.
Forgiveness adalah ketika seseorang mengalami serangkaian perubahan
motivasional, yaitu a) menurunnya motivasi membalas dendam pada pelaku; b)
menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad
baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan
yang menyakitkan (McCullough et al., 1997).
Worthington et al. (dalam Wade & Worthington, 2005) mengatakan
bahwa forgiveness terjadi bila 1. individu menyadari bahwa ia telah disakiti, 2.
15
melawan rasa sakit hati kemudian melepaskan rasa sakit dan keinginan balas
dendam, dan muncul kembali rasa nyaman untuk memulihkan hubungan dengan
pelaku.
Pada tahun 2002, Rye dan Pargament (dalam Wade & Worthington, 2005)
mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan negatif
(misal: permusuhan), kognisi negatif (misal: pikiran untuk membalas dendam)
dan perilaku negatif (misal: agresi verbal) saat terjadi ketidakadilan pada dirinya,
dan mungkin juga melibatkan respon positif (misal: kasih sayang) pada pelaku.
Philpot, C. (2006) dalam buku forgiveness: A Sampling as Research
Results (dikompilasi oleh American Psychological Association, 2006)
menyimpulkan definisi forgiveness dari beberapa ahli, forgiveness terjadi ketika
seseorang menyadari dirinya telah disakiti dan merasa seharusnya ia memperoleh
perlakuan yang lebih baik. Forgiveness adalah proses (atau hasil dari sebuah
proses) yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap orang yang
menyakiti. Sebagian ahli melihat ini sebagai proses mengambil keputusan untuk
memaafkan adalah disengaja dan dilakukan secara sukarela oleh individi yang
tersakiti. Proses ini menurunkan motivasi untuk membalas dendam atau
menjauhkan diri dari pelaku, dan melepaskan emosi negatif terhadap pelaku. Para
teoris berbeda pendapat mengenai seberapa jauh forgiveness juga menyiratkan
pergantian emosi negatif menjadi sikap positif seperti kasih sayang dan itikad
baik.
Berdasarkan berbagai definisi di atas peneliti menggunakan definisi
forgiveness yang dikemukakan oleh McCullough et al. (1997) yaitu a)
16
menurunnya motivasi membalas dendam pada pasangan yang bersalah; b)
menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad
baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan
yang menyakitkan.
2.1.2. Dimensi Forgiveness
Baumeister, Exline dan Sommer (dalam Worthington, 1998) menjelaskan dua
dimensi dari forgiveness yaitu dimensi intrapsikhis dan interpersonal. Dimensi
intrapsikhis melibatkan aspek emosi dan kognisi dari forgiveness. sedangkan
dimensi interpersonal melibatkan aspek sosial dari forgiveness. Berdasarkan
kehadiran dua dimensi ini, terdapat empat jenis forgiveness yaitu:
Tabel 2.1
Dimensi Forgiveness (Worthington, 1998)
Kombinasi Kehadiran Dimensi Jenis Forgiveness
Interpersonal Act + No Intrapsychic state Hollow Forgiveness
Intrapsychic state state + No Interpersonal Act Silent Forgiveness
Intrapsychic state + Interpersonal Act Total Forgiveness
No Intrapsychic state + No Interpersonal Act No Forgiveness
1. Hollow forgiveness
Kombinasi ini terjadi saat pihak yang tersakiti dapat mengekspresikan
forgiveness secara konkret melalui perilaku, namun ia belum dapat
merasakan dan menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Pihak
yang tersakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia
telah mengatakan kepada pelaku “saya memafkan kamu”.
2. Silent Forgiveness
Kombinasi ini ke balikan dari kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini
intrapsychic forgiveness dirasakan, namun tidak diekspresikannya melalui
17
perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness.
Pihak yang tersakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci
kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Pihak yang tersakiti
membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan
pelaku tetap bersalah.
3. Total Forgiveness
Dalam kombinasi ini pihak yang tersakiti menghilangkan perasaan
kecewa, benci atau marah terhadap pelaku tentang kesalahan yang terjadi.
Kemudian, hubungan antara pihak yang tersakiti dengan pelaku pulih
secara total seperti keadaan sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.
4. No Forgiveness
Dalam kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness tidak
terjadi pada pihak yang tersakiti. Baumeister, Exline dan Sommer
menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination. Keadaan ini
terjadi karena pihak yang tersakiti telah salah persepsi mengenai
forgiveness, berikut adalah persepsi salah yang menjadi faktor terjadinya
no forgiveness:
a. Claims on Reward and Benefit
Pihak yang tersakiti merasa bahwa dirinya berhak atas reward atau
keuntungan sebelum ia harus memaafkan. Karena ia beranggapan bahwa
pelaku telah memiliki ‘hutang’ yang harus dibayar karena telah menyakiti
dirinya.
18
b. To Prevent Reccurence
Forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang dialami pihak yang tersakiti
di masa mendatang. Dengan tidak diberikannya forgiveness kepada
pelaku, pihak yang tersakiti dapat terus mengingatkan pelaku untuk tidak
mengulangi perbuatannya.
c. Continued Suffering
Pihak tersakiti terus-menerus merasa menderita karena peristiwa
menyakitkan yang dialami olehnya. Saat konsekuensi dari pengalaman
menyakitkan yang dialami oleh pihak yang tersakiti di masa lalu
memengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan, maka
forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
d. Pride and Revenge
Pihak yang tersakiti merasa bahwa dengan memberikan maaf kepada
pelaku maka ia sudah melakukan perbuatan yang mempermalukan dirinya
bahkan menunjukkan rendahnya harga diri pihak yang tersakiti.
e. Principal Refusal
Pihak yang tersakiti menilai forgiveness sebagai pembebasan terhadap
pelaku dari pengadilan. Pihak yang tersakiti takut tidak mendapat
perlindungan hukum jika ia sudah memaafkan pelaku.
Selain dimensi dari Baumeister, Exline dan Sommer, terdapat pula
dimensi forgiveness yang dirumuskan oleh McCulough et al. (1997). Dimensi-
dimensi ini terus dipakai dalam berbagai penelitian, termasuk oleh Fincham et al.
19
(2004) untuk mengembangkan alat ukur forgiveness dalam setting pernikahan.
Forgiveness memiliki tiga dimensi, yakni retaliation dan avoidance yang
termasuk dalam aspek negatif dari forgiveness, dan benevolence yang termasuk
dalam aspek positif dari forgiveness (Fincham et al., 2004). Adanya aspek positif
tidak dapat menjadi kesimpulan ketidakberadaan aspek negatif dari forgiveness.
Berikut penjelasan ketiga dimensi forgiveness tersebut yang berhasil dirangkum
dari Fincham et al. (2004):
1. Retaliation
McCullough et al. (1997) menyebutnya revenge, ditandai dengan
dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku. Dalam kondisi ini,
individu dalam keadaan marah, benci dan penuh dengan emosi negatif
lainnya sehingga muncul rasa dendam dan keinginan membalas. Dimensi
ini adalah dimensi negatif dari forgiveness, artinya rendahnya motivasi
membalas menggambarkan semakin dekat sesseorang pada keadaan
memaafkan.
2. Avoidance
Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal)
dari pelaku yang dinilai telah menyakiti atau menyinggung perasaannya.
Avoidance juga merupakan dimensi negatif dari forgiveness, artinya
rendahnya motivasi menghindar menggambarkan semakin dekat
sesseorang pada keadaan memaafkan.
20
3. Benevolence
Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku yang telah
menyakitinya. Dengan berempati dan berkomunikasi dengan baik, itikad
baik ini dapat dicapai. Benevolence merupakan dimensi positif dari
forgiveness, artinya tingginya motivasi berbuat baik semakin
menggambarkan bahwa seseorang telah memaafkan.
Terdapat dua teori mengenai dimensi-dimensi forgiveness, namun
penelitian ini cenderung menggunakan dimensi yang dirangkum dalam Ficham et
al. (2004) karena sejalan dengan definisi forgiveness yang dipilih sebelumnya.
2.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Forgiveness
Menurut McCullough et al. (1998), faktor penentu yang memengaruhi munculnya
perilaku memaafkan pada individu, yaitu:
1. Social Cognitive Determinant
Sikap empati terhadap pelaku muncul sebagai bagian terpenting dari
determinan sosial-konitif terhadap forgivenes. Variabel atribusi juga telah
memfasilitasi munculnya forgiveness, seperti meminta
pertanggungjawaban, menyalah-nyalahkan, luka yang parah dan
menghindari pelaku. Sehingga atribusi menjadi alasan utama terjadinya
empati dan forgiveness. Determinan kognitif lainnya adalah rumination,
image, dan afeksi yang terkait dengan konflik interpersonal yang dapat
menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun menghindari
pelaku.
21
2. Offense Related Determinant
Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana pelaku
meminta maaf (apology) dan mencari pengampunan. Tingkat kelukaan
adalah sejauh mana individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi
telah memberikan penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang
dirasakan maka akan lebih sulit baginya untuk dapat memaafkan.
3. Relational Determinant
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah
sejauhmana kualitas hubungan interpersonal yang dimiliki oleh seseorang
terhadap pihak yang bertikai dengannya. Karena memaafkan dipahami
sebagai serangkaian perubahan motivasional setelah terjadinya konflik,
maka tingkat kedekatan, kepuasan, komitmen dan intimacy seharusnya
akan berhubungan positif dengan forgiveness. Ada tujuh hal yang menjadi
alasan kualitas hubungan sebagai faktor dari forgiveness, yaitu:
a. Individu merasa harus melestarikan relasinya dengan pihak tempat ia
saling bergantung dalam banyak hal.
b. Individu memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasinya untuk
melupakan rasa sakit hatinya dan meningkatkan penerimaan akan
hubungan tersebut.
c. Dalam hubungan yang berkualitas, keduanya akan saling menggabungkan
minat mereka.
22
d. Hubungan yang berkualitas akan memuculkan orientasi bersama yang
meningkatkan kesediaan untuk melakukan hal yang menyenangkan
pasangannya, meskipun harus mengorbankan diri sendiri.
e. Individu memiliki sejarah yang banyak bersama pasangannya, sehingga ia
memiliki akses berupa pikiran, perasaan dan motivasi keada pasangannya.
f. Hubungan yang berkualitas akan membuat korban merasa konflik yang
terjadi adalah untuk kebaikannya.
g. Dalam hubungan yang berkualitas, pelaku cenderung meminta maaf dan
mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca konflik.
4. Personality Determinant
Determinan kepribadian dapat memengaruhi forgiveness dengan fasilitas
dari relational styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman
berfikirnya atau sikapnya dalam menanggapi konflik atau pelaku. Dalam
big five factors model of personality diketahui bahwa kepribadian
agreeableness memengaruhi forgiveness secara signifikan.
Penjabaran di atas, mengungkapkan bahwa forgiveness bukan hanya
ditentukan oleh diri individu saja. Faktor sosial-kognitif dan kepribadian
merupakan faktor dari dalam diri individu, keduanya mendasari kemampuan
seseorang untuk memaafkan. Namun faktor hubungan dan permintaan maaf dari
orang yang bersalah juga bisa menentukan munculnya prilaku memaafkan.
2.1.4. Tahapan Forgiveness
Ada beberapa teoris yang mengungkap mengenai tahapan forgiveness, dua
diantaranya akan dibahas dalam sub bab ini.
23
A. Enright dan Coyle (1998), mereka mengembangkan suatu model tahapan
forgiveness. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif dan perilaku yang
terjadi dalam proses forgiveness. Tahapan tersebut dibagi kedalam empat
fase yaitu:
a. Uncovering phase
Individu menyadari bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil dan
merasakan emosi negatif serta perasaan terluka. Emosi negatif
(unforgiveness) harus dikonfrontasikan dan dipahami secara mendalam
sebelum proses penyembuhan dimulai.
b. Decision phase
Individu yang fokus dan merasa dirinya adalah korban akan terus
merasakan sakit mengalamin penderitaan yang berlanjut. Forgiveness
adalah cara untuk menyembuhkan dan memulihkan diri maka individu
harus memiliki komitmen untuk memaafkan pelaku. Pada fase ini pikiran,
perasaan dan dorongan untuk membalas dendam terhadap pelaku
dilepaskan, sebagai tanda dimulainya pemaafan.
c. Work phase
Pada tahapan ini, individu mulai bisa memaafkan, salah satunya dengan
berempati. Individu menempatkan dirinya pada posisi pelaku yang
mungkin juga merasa tertekan karena perasaan bersalah. Individu sudah
bisa menerima pelaku kembali menjadi bagian hidupnya. Lebih lanjut lagi
individu memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik pada
pelaku.
24
d. Outcome/Deepening phase
Pada tahapan terakhir ini, individu secara sadar merasa sembuh, pulih dan
penuh dengan emosi positif karena telah melakukan forgiveness. Secara
umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya
sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami paradox of
forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil
dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, sehingga ia merasa telah
disembuhkan.
B. Worthington (1998), ia juga mencoba menjabarkan teori tahapan
forgiveness. Teori ini dikenal sebagai the pyramid model to REACH
forgiveness. Teori ini pada dasarnya hampir sama dengan tahapan oleh
Enright dan Coyle (1998). Model REACH ini seringkali digunakan untuk
intervensi saat terapi forgiveness. Ada lima tahapan menuju forgiveness
menurut Worthington (1998), yaitu:
Gambar 2.1 The pyramid model to REACH forgiveness
25
1. Recall the hurt
Dengan tenang individu memanggil kembali rasa sakit dan terluka akibat
kejadian menyakitkan. Namun, tidak memposisikan diri sebagai korban
dan tidak perlu merasa berhak untuk menyalah-nyalahkan.
2. Empathize
Individu berusaha untuk mengetahui penyebab pelaku melakukan
kesalahan padanya dan memposisikan dirinya sebagai pihak yang
bersalah. Individu turut merasakan tekanan dan perasaan bersalah yang
dirasakan pelaku.
3. Alturistic gift
Individu membayangkan dan mengingat kembali bahwa dirinya juga
pernah berbuat salah lalu seseorang memafkannya secara tulus, untuk itu
ia merasa perlu dan layak memberikan maaf kepada orang lain juga.
Pemberian maaf bisa dianggap sebagai sebuah hadiah kemanusiaan, selain
untuk memulihkan diri sendiri forgiveness dalam prosesnya juga akan
memulihkan sebuah hubungan.
4. Commit publicly to forgive
Pada tahap ini individu telah menetapkan bahwa dirinya telah memaafkan.
Individu tidak pernah lagi secara sengaja mengingat kejadian, rasa sakit
dan membangkitkan emosi negatifnya. Pada perjalanannya, forgiveness
akan memberikan hubungan yang sehat sehingga bisa jadi kejadian
menyakitkan akan terlupakan.
26
5. Hold on to forgive
Pada tahapan ini sebenarnya pemaafan sudah sempurna, namun individu
harus mempertahankannya. Individu dapat merasakan dan memaknai
keuntungan yang ia dapatkan setelah memaafkan.
Kedua teori mengenai tahapan forgiveness di atas menerangkan bahwa
memaafkan butuh proses. Pihak yang tersakiti harus melewati setiap fase yang
memiliki tugas yang berbeda. Bukan tidak mungkin seseorang gagal saat
melewati fase tertentu, dibutuhkan usaha, komitmen dan mungkin bantuan dari
pihak yang bersalah atau pihak lain agar dapat tuntas dalam memaafkan. Pada
akhirnya, individu yang mampu menyelesaikan tahap akhir dari memaafkan baru
bisa merasakan manfaat dan kekuatan memaafkan.
2.2. Pernikahan
2.2.1. Definisi Pernikahan
Beberapa definisi mengenai pernikahan akan diuraikan untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai pernikahan. Strong, De Vault dan Cohen (1989)
mengatakan bahwa sebuah pernikahan adalah persatuan yang sah antara dua
orang, yang umumnya seorang pria dan seorang wanita, dimana mereka bersatu
secara seksual, bekerjasama secara ekonomi, dan juga diperbolehkan untuk
melahirkan, mengadopsi dan mengasuh anak. Persatuan ini diasumsikan dapat
berlangsung selamanya.
Selanjutnya definisi lain dijelaskan oleh Brehm (1997) mengenai
pernikahan sebagai: ekspresi tertinggi dari hubungan intim yang ditandai dengan
sumpah setia dihadapan publik sebagai itikad untuk hidup bersama selamanya.
27
Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974, pernikahan merujuk
pada pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
merupakan ikatan atau perjanjian yang terjadi antara pria dan wanita berupa
komitmen jangka panjang untuk sebisa mungkin menjadi suami istri untuk
selamanya, kemudian menjadi keluarga yang bahagia dan kekal, dimana
perjanjian tersebut dinyatakan secara terbuka dan tercatat secara hukum, sehingga
pasangan tersebut beserta anak-anaknya memiliki hak yang sah atas hukum yang
berlaku.
2.2.2. Motivasi Menikah
Ada berbagai alasan yang menyebabkan pria dan wanita mengikatkan diri dalam
suatu ikatan pernikahan. Turner dan Helms (1995) mengemukakan alasan-alasan
yang biasanya digunakan pria dan wanita untuk menikah, yaitu:
1. Persahabatan dan kebersamaan
Pernikahan merupakan kesempatan untuk menghilangkan kesepian dan
rasa terisolasi. Melalui persahabatan dan aktivitas yang dilakukan bersama
kebutuhan individu akan kebersamaan dapat terpenuhi.
2. Cinta
Kehidupan seseorang akan lebih terpuaskan jika dirinya merasa berarti
bagi orang lain. Seseorang pada umumnya ingin mendapatkan dan
28
memberi cinta. Pernikahan memberikan kesempatan bagi pemenuhan
kebutuhan dasar akan cinta.
3. Kebahagiaan
Mendapatkan kebahagiaan adalah hal penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang mengharapkan pernikahan menjadi sumber kebahagiaannya.
Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada institusi
pernikahan, melainkan pada individunya sendiri dan tergantung pada
bagaimana mereka berinteraksi dalam hubungan tersebut.
4. Legitimasi seksual dan anak-anak
Pernikahan memberikan persetujuan sosial bagi tingkah laku seksual dan
melahirkan anak. Pernikahan mengesahkan hubungan seksual dan
memberikan hak bagi pasangan menikah untuk memilik anak dengan
perlindungan hukum.
Berdasarkan penjabaran di atas, setiap individu yang akan menikah
mempunyai beberapa alasan mengapa mereka menikah, seperti persahabatan dan
kebersamaan, cinta, kebahagiaan dan legitimasi seksual dan anak. Namun, pada
dasarnya alasan mengapa setiap individu itu menikah berbeda-beda, termasuk
pasangan yang telah menikah sekalipun. Motivasi individu dan pasangan mungkin
awalnya berbeda, namun bukan berarti tidak dapat disesuaikan atau disatukan. Hal
ini tentunya menjadi suatu kewajaran dalam lingkungan sosial masyarakat
dikarenakan setiap individu mempunyai prinsip dan alasan hidup yang berbeda-
beda.
29
2.3. Forgiveness dalam Pernikahan
Banyak peneliti percaya bahwa forgiveness merupakan hal terpenting dalam
keberhasilan pernikahan. Berdasarkan survei pada pasangan yang telah menikah
lebih dari 20 tahun, forgiveness merupakan salah satu faktor kunci kelanggengan
pernikahan (dalam Fincham et al., 2002). Secara umum forgiveness diyakini dapat
membantu pasangan untuk mengatasi kesulitan yang ada dan mencegah
munculnya masalah di masa depan. Mengingat pentingnya dan besarnya kegunaan
forgiveness dalam pernikahan, forgiveness telah dieksplorasi dan dikaitkan
dengan beberapa aspek pernikahan, diantaranya adalah konflik, kepuasan,
atribusi, komitmen dan empati (dalam Fincham et al., 2006).
Dalam kaitannya dengan konflik, Gordon (dalam Fincham et al., 2006)
berpendapat bahwa forgiveness penting dalam situasi dimana telah terjadi konflik
dalam pernikahan. Sayangnya, konflik dalam pernikahan terjadi terlalu sering
sehingga forgiveness mungkin menjadi komponen reguler pernikahan. Konflik
merupakan syarat yang mutlak untuk terjadinya pemaafan. Tanpa adanya konflik tidak
akan perlu ada pemaafan, sebab memang tidak ada yang perlu dimaafkan (Enright &
Coyle, dalam Fincham et al., 2004). Ada bermacam-macam kejadian yang dapat
menyulut ancaman bagi keberlangsungan hubungan interpersonal. Secara umum, terdapat
lima jenis kejadian menyakitkan dalam hubungan interpersonal, yaitu diasosiasi aktif
(misal: memutuskan hubungan), diasosiasi pasif (misal: mengacuhkan pasangan), kritik,
ketidaksetiaan, dan penipuan (Feeney, dalam Feeney 2011).
Forgiveness juga terkait dengan resolusi konflik pada pasangan yang
sudah menikah. Fincham et al. (dalam Fincham et al., 2006 ) menemukan bahwa
30
tingginya retaliation dan avoidance pada kelompok para suami dan kurangnya
benevolence pada kelompok para istri menggambarkan resolusi konflik yang tidak
efektif. Konflik yang belum terselesaikan dapat meluas menjadi konflik masa
depan dan pada gilirannya akan menghambat resolusi mereka, sehingga siklus
interaksi negatif akan berkembang dan menjadi ciri khas pernikahan yang
bermasalah.
Kemudian forgiveness dapat membantu penyembuhan psikis individu
melalui pengaruhnya dalam menghadirkan perubahan positif, meningkatkan
kesehatan fisik dan mental, mengembalikan sense of personal power dari orang
yang tersakiti, dan membantu mewujudkan rekonsiliasi antara orang yang tersakiti
dan orang yang menyakiti (Philpot, 2006).
2.3.1 Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan
Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai forgiveness,
peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur forgiveness,
diantaranya yaitu:
1. Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS)
MOFS dikembangkan oleh Paleari, Regalia dan Fincham (2009) yang
terdiri dari sepuluh item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua
komponen forgiveness yaitu, resentment-avoidance dan benevolence.
MOFS dibuat untuk mengukur respon seseorang yang telah menikah dan
menerima kekerasan dalam enam bulan terakhir. MOFS memiliki
realibilitas alpha cronbach sebesar 0,80.
31
2. Transgression-Related Interpersonal Motivation (TRIM)
TRIM-12 dikembangkan oleh McCullough et al. (1998) yang terdiri dari
12 item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness yang terjadi dalam close
relationship, berdasarkan dua sub skala yakni avoidance dan revenge.
Kemudian alat ukur ini di revisi menjadi TRIM-18 oleh McCullough, Root
dan Cohen (2006) dengan menambahkan enam item yang mengukur
konsep benevolence. TRIM lebih tepat digunakan untuk mengukur respon
terhadap hal menyakitkan yang ekstrim dan serius. TRIM memiliki
realibilitas alpha cronbach sebesar 0,91.
3. Marital Forgiveness Scale (MFS)
MFS dikembangkan oleh Fincham, Beach dan Davila sejak tahun 2004,
kemudian alat ukur ini telah di revisi pada tahun 2013. MFS terdiri dari
sembilan item untuk mengukur tiga aspek pada forgiveness yaitu
retaliation, avoidance dan benevolence. Alat tes ini berisi mengenai
laporan diri / self report yang mengukur forgiveness dalam kehidupan
pernikahan seseorang. MFS memiliki realibilitas alpha cronbach sebesar
0,80.
Dari ketiga alat ukur forgiveness di atas, peneliti memilih menggunakan
alat ukur Marital Forgiveness Scale (MFS). Alat ukur ini mencakup pengukuran
atas tiga sub dimensi yang dimiliki forgiveness sehingga sesuai dengan kajian
teori, selain itu MFS biasa dipakai untuk mengukur forgiveness dalam pernikahan.
32
2.4. Kualitas Hubungan
2.4.1. Definisi Kualitas Hubungan
Menurut Pierce, Sarason dan Nagle (1997), kualitas hubungan adalah tingkat baik
buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang mendalam
bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu dengan yang
lain; kualitas hubungan ialah suatu hubungan intim antara satu individu dengan
individu lain yang dibina untuk menuju ke arah hubungan yang lebih baik,
merupakan salah satu kebutuhan pada usia dewasa muda. Dalam konteks
pernikahan kualitas hubungan seringkali disebut kualitas pernikahan, menurut
Hollist dan Miller (2005), kualitas pernikahan merupakan persepsi individu
mengenai keadaan seberapa baik interaksi pada suatu hubungan. Kemudian
menurut Helms dan Buehler (2007) kualitas pernikahan adalah cerminan dari
dimensi utama yang terdiri dari kualitas kognisi, perilaku dan afeksi dalam
pernikahan. Kedua definisi di atas hampir mirip, namun definisi kedua lebih
sesuai untuk penelitian ini.
2.4.2. Dimensi Kualitas Hubungan
Dimensi kualitas hubungan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penjabaran
dari Guldner dan Swensen (1995) yang terdiri dari empat dimensi, yaitu:
1. Trust
Trust adalah harapan individu bahwa pasangannya akan memperlakukan
dirinya secara adil dan terhormat. Individu berharap pasangannya untuk
menjadi responsif terhadap kebutuhan mereka dan peduli untuk
kesejahteraan mereka. Ketika kepercayaan tersebut hilang, individu sering
33
menjadi curiga dan mengurangi keterbukaan serta rendahnya
interdependent atau tidak dapat lagi saling bergantung. Dengan trust yang
tinggi individu dapat memprediksi perilaku pasangannya dan mengurangi
usaha mencari tahu / menyelidiki pasangannya.
2. Intimacy
Secara umum intimacy mengacu pada perasaan pada hubungan dekat
secara personal dan perasaan saling memiliki. Dengan adanya saling
pengertian dan banyaknya pegalaman bersama maka hubungan mereka
menjadi hubungan afeksi yang dekat. Intimacy memiliki ciri komunikasi,
transparansi, vulnerability dan timbal balik.
3. Committment
Committment adalah sejauh mana pasangan menikah memiliki rasa
kebersamaan, eklusivitas dan keberlangsungan hubungan / dedikasi dalam
hubungan mereka. Pasangan menikah biasanya memiliki komitmen untuk
hubungan mereka. Artinya, mereka mengharapkan pernikahan mereka
untuk terus berlangsung selamanya, mereka menginvestasikan waktu,
tenaga dan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Tanpa komitmen, pasangan merasa kurangnya rasa saling
membutuhkan dan kurangnya pengetahuan tentang pasangannya satu sama
lain.
4. Satisfaction
Satifaction adalah sejauh mana individu merasa puas dengan hubungan
mereka dengan pasangannya. Satifaction adalah kondisi mental yang
34
mencerminkan perasaan mengenai keuntungan dan pengorbanan dalam
hubungan. Semakin banyak pengorbanan yang diberikan, umumnya
menyebabkan pasangan kurang puas dengan pasangan mereka. Demikian
pula, besarnya keuntungan yang dirasakan maka semakin puas seseorang
terhadap hubungan mereka.
Dari keempat dimensi kualitas hubungan, masing-masing mempunyai
peranan penting dalam menciptakan suatu hubungan dengan kualitas yang baik
antara satu individu dengan individu yang lain. Namun secara keselurahan, ketika
keempat dimensi tersebut mempunyai nilai yang tinggi maka suatu hal yang
mutlak kualitas hubungan yang baik akan tercipta.
2.4.3. Pengukuran Kualitas Hubungan
Untuk mengetahui kualitas hubungan pada seseorang dapat digunakan alat
sebagai pengukur kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala berisi item-item yang
dibuat oleh peneliti berdasarkan dimensi yang ada. Kualitas hubungan menurut
Guldner dan Swensen (1995) terdiri dari empat dimensi, yaitu: trust, intimacy,
commitment dan satisfaction. Kemudian berdasarkan dimensi-dimensi tersebut
peneliti membuat skala berdasarkan aspek-aspek yang ada, keseluruhannya
berjumlah 20 item.
2.5. Apology
2.5.1. Definisi Apology
Individu yang tersakiti lebih mungkin untuk memaafkan ketika pelaku mengakui
kesalahan mereka, menerima tanggung jawab atas tindakan mereka, menawarkan
35
penebusan yang tulus dengan mengekspresikan rasa malu, penyesalan, dan
perbaikan atas perilaku mereka, dan berjanji melakukan yang lebih baik di masa
depan (Hannon, 2010;. Tabak, 2011 dalam Miller, 2012). Selanjutnya
ditambahkan oleh Luchies (dalam Miller, 2012) forgiveness yang diberikan tanpa
adanya apology yang tulus dari pelaku adalah bagaikan memberikan izin bagi
pelaku untuk mengulangi kesalahannya lagi.
Weiner et al. (dalam Mercado et al., 2009) mengemukakan bahwa
confession sangat penting untuk membantu proses forgiveness. Menurut Weiner
forgiveness dapat berlangsung sangat baik apabila pelaku meminta maaf secara
tulus dan sungguh-sungguh.
Chapman dan Thomas (2006) mengemukakan bahwa ada lima cara utama
individu meminta maaf yaitu pengungkapan penyesalan, mau tanggung jawab,
melakukan perbaikan, berjanji tidak mengulangi lagi dan meminta maaf.
2.5.2. Dimensi Apology
Apology dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Chapman dan Thomas dalam
bukunya The Five Languages of Apology (2006), mengatakan bahwa apology
meliputi lima ungkapan berikut ini:
1. Penyesalan
Mengekspresikan penyesalan adalah ketika individu menyadari bahwa
dirinya sudah melakukan kesalahan sehingga sesuatu yang buruk dan
menyakitkan telah terjadi. Bentuk yang paling umum untuk
mengekspresikan penyesalan adalah ketika seseorang mengatakan kalimat
36
sederhana, "Aku menyesal". Mengekspresikan penyesalan juga termasuk
pengungkapan rasa empati pelaku terhadap pihak yang tersakiti.
2. Mau bertanggung jawab
Mau bertanggung jawab adalah kemampuan bagi individu untuk mengakui
kesalahannya dan kesediaan untuk menanggung akibat buruk yang ia
timbulkan. Individu yang dapat bertanggung jawab menunjukan bahwa
dirinya tulus untuk meminta maaf dan layak untuk dimaafkan.
3. Melakukan perbaikan
Melakukan perbaikan atau membuat restitusi adalah ketika pihak yang
bersalah bertanya: "Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat keadaan
ini membaik?". Membuat restitusi membutuhkan komunikasi dua arah,
pihak yang bersalah harus mendapat jawaban dan arahan dari pihak yang
disakiti untuk melakukan perbaikan.
4. Berjanji tidak mengulangi lagi
Tidak mengulangi lagi / benar-benar bertobat adalah ketika individu yang
melakukan pelanggaran tersebut melakukan usaha terbaik untuk
mengubah perilaku mereka. Pertobatan meliputi rasa menyesal yang dapat
mengubah pikiran seseorang yang kemudian menjadi itikad baik untuk
tidak mengulangi kesalahan yang sama.
5. Meminta maaf
Yang terakhir adalah meminta maaf, yaitu setelah seseorang mampu untuk
mengakui kesalahannya, menanggung akibat, melakukan perbaikan dan
37
berusaha tidak mengulangi lagi. Pihak yang bersalah memohon agar
diberikan maaf oleh pihak yang tersakiti.
Seperti halnya forgiveness, apology juga sangatlah penting. Memaafkan
membutuhkan kelengkapan dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku, demikian
pula apology. Apology yang dilakukan oleh pihak yang bersalah akan dilihat dan
dinilai oleh pihak yang tersakiti sebagai bentuk empati dan ketulusan yang dapat
dipercaya sehingga pihak yang tersakiti merasa layak untuk memberikan maaf.
2.5.3. Pengukuran Apology
Pengukuran apology dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa item-item
yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek yang dijabarkan oleh Chapman dan
Thomas (2006). Aspek yang ada sebanyak lima dimensi yaitu, penyesalan,
kemauan bertanggung jawab, kemauan memperbaikai keadaan, tidak megulangi
kesalahan yang sama dan meminta maaf. Kemudian berdasarkan aspek-aspek
tersebut peneliti menyusun item sebanyak sepuluh butir. Alat ukur ini digunakan
untuk merangkum penilaian atau laporan individu mengenai apology yang
dilakukan pasangannya.
2.6. Kepribadian
2.6.1. Definisi Kepribadian
Eysenck (dalam Alwisol, 2009) mendefinisikan kepribadian sebagai keseluruhan
dari pola perilaku yang aktual atau potensial pada mahluk hidup. Kepribadian
ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan yang berasal dan berkembang
melalui interaksi fungsional dari empat faktor utama yaitu faktor kognitif
38
(kecerdasan), faktor konatif (karakter), faktor afektif (temperamen) dan faktor
somatik (konstitusi).
Pervin (dalam Mischel, Shoda & Smith, 2003) menjelaskan kepribadian
adalah organisasi yang kompleks dari kognisi, efek, dan perilaku yang
memberikan arah dan pola (koheren) untuk kehidupan seseorang. Seperti tubuh,
kepribadian terdiri dari kedua struktur dan proses dan mencerminkan sifat (gen)
dan nature (pengalaman). Selain itu, kepribadian termasuk efek dari masa lalu,
memori tentang masa lalu, serta konstruksi masa kini dan masa depan.
Selanjutnya definisi kepribadian menurut Allport (dalam Mischel et al.,
2003) adalah organisasi dinamis yang terdapat di dalam individu atas sistem-
sistem psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap
lingkungannya.
Berdasarkan berbagai definisi kepribadian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sebuah pola yang menetap / konsisten berkaitan dengan bagaimana
individu mempresepsikan dan berpikir tentang dirinya dan lingkungannya dalam
berbagai konteks.
2.6.2. Definisi Kepribadian Model HEXACO
Kepribadian model HEXACO merupakan alternatif dari Big-Five Factors. Model
baru ini konsisten saat diujikan lintas budaya. klasifikasi kepribadian HEXACO
dibagi menjadi enam dimensi yaitu honesty-humility (H), emotionality (E),
extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to
experience (O) (Ashton & Lee, 2007).
39
Kepribadian model HEXACO juga memprediksi beberapa fenomena
kepribadian yang tidak dijelaskan dalam Big-Five Factors model, termasuk
hubungan faktor kepribadian dengan konstruks biologi dan pola perbedaan jenis
kelamin dalam ciri-ciri kepribadian. Selain itu, terdapat tiga dimensi yaitu
kepribadian honesty-humility, emotionality dan agreeableness yang mengukur
tingkat altursm dan empati individu, dimana sikap altursm dan empati berkorelasi
dengan forgiveness. Sehingga tipologi kepribadian HEXACO sangat sesuai
dengan konteks forgiveness.
2.6.3. Dimensi Kepribadian HEXACO
Aston dan Lee (2007) mengungkapkan bahwa kepribadian itu dapat
dikelompokan dalam enam kategori berikut ini:
a. Honesty-Humility (kejujuran-kerendahan hati) yaitu kecenderungan
individu untuk bersikap adil dan tulus dalam bekerja sama, dalam
bekerjasama dengan orang lain ia bisa saja dimanfaatkan tetapi ia tidak
terdorong untuk membalas dendam. Seseorang yang memilki level
honesty-humility yang tinggi memiliki kelebihan yaitu menurunnya resiko
dimanfaatkan oleh orang lain dan juga rendahnya resiko kehilangan karena
pemutusan kerjasama. (Aston & Lee, 2007).
b. Emotionality (emosional) yaitu individu yang tidak hanya sebatas dapat
berempati tetapi juga dapat membentuk kedekatan emosional dengan
orang lain. Selain, itu juga menunjukan pribadi yang sering menolak dan
senang ditolong (Aston & Lee, 2007).
40
c. Extraversion adalah individu yang menyenangi hal-hal berbau sosial
seperti bersosialisasi, kepemimpinan dan hiburan (Aston & Lee, 2007).
Individu dengan skor tinggi pada trait Extraversion memiliki ciri pribadi
yang ramah, hangat dan asertif (Friedman & Schustack, 2008) serta
cenderung penuh kasih sayang, senang berbicara, dan menyenangkan
(Feist & Feist, 2010).
d. Agreeableness adalah individu yang mempunyai kecenderungan untuk
memaafkan dan toleran terhadap orang lain, dapat bekerja sama dengan
orang lain walau ia merasa telah dimanfaatkan. Individu dengan skor
tinggi memiliki sikap bertahan lama bekerjasama pada orang lain dan
resiko untuk dimanfaatkan orang lain (Aston & Lee, 2007). Individu
dengan skor tinggi pada trait agreeableness memiliki ciri pribadi yang
jujur, mudah percaya, suka menolong dan rendah hati (Friedman &
Schustack, 2009). Mereka yang memiliki skor rendah biasanya pelit,
mudah kesal, curiga dan penuh kritik terhadap orang lain (Feist & Feist,
2010).
e. Conscientiousness adalah individu yang menyenangi hal-hal yang
berhubungan dengan tugas seperti pekerjaan, perencanaan dan organisasi
(Aston & Lee, 2007). Individu dengan skor tinggi pada trait
conscientiousness memiliki ciri pribadi yang kompeten, hati-hati, tekun
dan ambisius (Friedman & Schustack, 2009) serta cenderung lebih
terkontrol, fokus pada pencapaian dan memiliki disiplin diri yang tinggi
(Feist & Feist, 2010).
41
f. Openness to Experience adalah individu yang suka dengan hal-hal
berkaitan dengan ide seperti belajar, berfikir dan imajinasi (Aston & Lee,
2007). Individu dengan skor tinggi pada trait openness to experience
memiliki ciri pribadi yang imajinatif, estetis, toleran, dan penuh
keingintahuan intelektual (Friedman & Schustack, 2009). Sebaliknya,
mereka dengan skor rendah biasanya konvensional, rendah hati, dan
konservatif (Feist & Feist, 2010).
Tabel 2.2
Dimensi Kepribadian HEXACO (Aston dan Lee, 2007)
Dimensi Interpretasi Contoh Sifat
Kelebihan
Individu dengan
Skor Tinggi
Kelebihan
Individu dengan
Skor Rendah
Honesty-Humility
Saling tolong-
menolong
(Adil, jujur)
Jujur, tulus,
rendah hati
Mudah diajak
kerjasama (saling
membantu dan
tidak agresif)
Tidak memiliki
tindakan untuk
melawan ketika
mendapatkan
serangan dari
orang lain
Emotionality Menolong
sekitar
Empati/
kelekatan,
menghindari
bahaya, suka
membantu
Kelangsungan
hidup kerabat
(terutama
keturunan) dan
kelangsungan
hidup pribadi
Kehilangan
potensi yang
berhubungan
dengan diri dan
kerabat.
Extraversion
Keterlibatan
dalam usaha
sosial
Kemampuan
bersosialisasi,
jiwa
pemimpin
Manfaat terhadap
sosial (teman,
pasangan, musuh)
Energi dan
waktu, resiko
dari lingkungan
sosial
Agreeableness
Saling tolong-
menolong
(toleransi)
Toleransi,
pemaaf,
penonjolan
diri
Mudah diajak
berkerjasama
(saling membantu
dan tidak agresif)
Mengalami
kerugian karena
sering di
manfaatkan
orang lain
Conscientiousness
Keterlibatan
dalam
usahanya
dengan tugas
Rajin,
terencana,
terorganisasi
Keuntungan
materi
(peningkatan
penggunaan
sumber daya),
mengurangi risiko
Energi dan waktu
Openness to
Experience
Keterlibatan
dalam
usahanya
dengan tugas
Ingin tahu,
imajinatif
Keuntungan
materi dan sosial
Energi dan
waktu, resiko
dari lingkungan
sosial
42
2.6.4. Pengukuran Kepribadian
HEXACO Personality Inventory Revised (HEXACO-PI-R) oleh Aston dan Lee
(2007) terdiri dari 60 item. HEXACO-PI-R mengukur skor kepribadian yang
diklasifikasikan dalam enam kategori yaitu honesty-humility (H), emotionality (E),
extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to
experience (O). Masing-masing kategori diukur dengan sepuluh item berupa
pernyataan-pernyataan yang dihadirkan dalam skala likert.
2.7. Gender
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) kata gender berarti jenis kelamin.
Gender adalah kata homograf dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti:
hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia
(Wikipedia, 2010). Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku, sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakterisk emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (dalam
Setiawan, 2012).
Seperti yang telah disinggung di atas, gender dapat memengaruhi berbagai
perilaku, termasuk perilaku memaafkan. Para peneliti telah banyak melakukan
study dan menemukan pengaruh gender terhadap forgiveness. Berdasarkan
penelitian Heavey, Layne, dan Christensen (dalam Fincham et al., 2004),
perbedaanan gender yang lebih mendasar mencerminkan respon terhadap konflik
43
pernikahan bukan reaksi dasar dalam memaafkan. Perempuan memiliki
kecenderungan lebih sering mengungkit kesalahan dan mendiskusikannya
dibandingkan pria. Akibatnya, sering kali istri yang menaikan isu-isu
permasalahan sebagai diskusi dan yang mengambil peran untuk memulai diskusi
tentang masalah (demand), sedangkan suami lebih sering berada dalam peran
untuk menghindari diskusi (withdraw). Dalam konteks ini, tingginya intesi suami
untuk menghindari diskusi maka akan menjadi bahan bakar yang menyebabkan
siklus destruktif dari demand-withdraw, kemudian mengarah pada perdebatan
yang tidak efektif.
Sejalan dengan temuan sebelumnya oleh Gonzales et al., (dalam Fincham
et al., 2002) pria dan wanita cenderung berbeda dalam merespon konflik /
bereaksi secara afektif maupun konitif lalu kemudian berefek secara langsung
ataupun tidak langsung terhadap forgiveness. Wanita melaporkan lebih banyak
perasaan marah, rusaknya hubungan dan kesulitan untuk memaafkan sedangkan
pria menunjukan hanya sedikit perubahan saat intervensi dilakukan dalam
penelitian mengenai forgiveness.
Sebuah penelitian eksperimental oleh Wade dan Goldman (2006)
membagi subjek penelitian dalam komposisi kelompok berdasarkan jenis kelamin,
kemudian masing-masing kelompok diberikan intervensi untuk memengaruhi
kemampuan memaafkan. Penelitian ini membuktikan bahwa perempuan lebih
dapat menurunkan rasa dendam dibanding laki-laki. Karena laki-laki lebih sulit
untuk melakukan empati terhadap individu yang telah menyakitinya.
44
2.8. Usia
Usia didasarkan pada teori perkembangan psikososial oleh Erikson (dalam Papalia
et al., 2008) yang berkaitan dengan prinsip-prinsip perkembangan psikologi dan
sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual yang
dicetuskan oleh Sigmund Freud. Erikson membagi tahapan perkembangan
psikososial menjadi delapan tahapan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.3
Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson
Tahap Perkiraan Usia Krisis Psikososial
I 12 - 18 bulan Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
II 12/18 bulan - 3 tahun Autonomy vs Doubt (kemandirian vs keraguan)
III 3 tahun – 6 tahun Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
IV 6 tahun – pubertas Industry vs Inferiority (ketekunan vs rasa
rendah diri)
V Puber - dewasa muda Identity vs Role Confusion (identitas vs
kekacauan identitas)
VI Dewasa muda (± 18
tahun – 40 tahun) Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi)
VII Dewasa madya (± 40
tahun – 65 tahun)
Generativity vs Self Absorption (generativitas
vs stagnasi)
VIII Dewasa akhir / tua (±
65 ke atas)
Integrity vs Despair (integritas vs
keputusasaan)
*sumber: Papalia, 2008
Karena penelitian akan dilakukan pada subjek dengan usia antara 21 tahun
(untuk perempuan) / 23 tahun (untuk laki-laki) sampai 60 tahun saja, maka yang
dipakai hanya tahap perkembangan ke VI dan VII saja, yaitu usia dewasa muda
dan dewasa madya, dengan penjelasan sebagai berikut:
45
a. Dewasa Muda
Akhir usia belasan sampai usia dua puluhan, individu memasuki usia
dewasa muda, dimana menurut Erik Erikson (dalam Miller, 2012),
individu tersebut memasuki periode perkembangan "intimacy vs
isolation". Pada usia ini, Erikson beranggapan, bahwa kita belajar
bagaimana membentuk hubungan intim yang dilakukan menjadi abadi.
b. Dewasa Madya
Saat ini frekuensi bergaul dengan teman dan manambah jumlah teman
akan berkurang, terutama pertemanan dengan lawan jenis, karena individu
telah terlibat hubungan pernikahan dan berkeluarga, memiliki banyak
teman dan menghabiskan banyak waktu bersama teman dinilai sebagai
perilaku yang beresiko (dalam Miller, 2012).
Variabel usia dalam konteks forgiveness sering diperhitungkan, salah
satunya dalam penelitian Enright dan Sobkoviak (dalam Girard & Mullet 1997)
yang menemukan bahwa kecenderungan memaafkan akan membentuk fungsi
menanjak saat disandingkan dengan variabel usia. Kemudian Helb dan Enright
(dalam Girard & Mullet 1997) juga menyatakan bahwa kecenderungan
memaafkan dipengaruhi oleh kematangan, semakin matang semakin mudah untuk
memaafkan.
Menurut Markman (2012) ada tiga hal yang dapat menjadi alasan mengapa
usia dapat memengaruhi forgiveness, yaitu:
46
1. Orang dewasa cenderung lebih religius ketika mereka semakin tua. Orang-
orang yang religius cenderung mengampuni orang lain lebih sering
daripada mereka yang tidak religius.
2. Studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua mengalami
interaksi negatif yang lebih sedikit daripada orang dewasa muda. Selain
itu, karena pengalaman hidup mereka, orang dewasa madya tidak seperti
orang dewasa muda yang mudah marah dalam interaksi negatif.
3. Orang dewasa yang lebih tua memiliki skor agreeableness yang lebih
tinggi dan skor neurotisme yang lebih rendah daripada orang dewasa
muda.
Faktor-faktor di atas menjadi kombinasi yang membuat individu dengan usia
dewasa madya lebih mudah untuk memaafkan orang lain daripada individu
dengan usia dewasa muda.
2.9. Kerangka Berpikir
Secara umun harapan seseorang untuk menikah adalah mendapatkan kebahagiaan
dengan pernikahan yang kekal dan harmonis. Namun kenyataannya harapan-
harapan dalam pernikahan tersebut tidak selalu mudah untuk diwujudkan.
Hambatan dalam mewujudkan harapan muncul ketika permasalahan hadir
ditengah kehidupan pernikahan. Masalah terjadi ketika pasangan melakukan
kesalahan yang sangat mungkin menyebabkan seorang individu merasa sakit hati
(Fincham et al., 2004), permasalahan semacam ini sering juga disebut konflik.
Merosotnya nilai pernikahan, membuat perceraian seringkali dipilih sebagai jalan
keluar bagi pasangan yang menghadapi konflik, khususnya pada masyarakat
47
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercatatnya Indonesia sebagai negara
dengan perceraian tertinggi se-Asia-Pasifik (BKKBN, 2013). Padahal masih ada
jalan lain untuk menemukan resolusi konflik, forgiveness dapat menjadi salah satu
alternatifnya.
Forgiveness adalah rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar dan
membalas dendam, dan tingginya dorongan untuk berbuat positif pada pihak yang
telah menyakitinya (McCullough et al., 1997). Pemaafan dalam pernikahan adalah
bentuk perbaikan bagi sebuah hubungan, melepaskan rasa sakit dan marah serta
menyembuhkan luka emosional (Dblasio & Proctor dalam Fincham et al., 2006).
Setidaknya apabila pasangan hendak bercerai pun maka pemaafan akan
membebaskan individu dari beban rasa sakit yang disebabkan oleh pasangannya.
Selain manfaat forgiveness dalam meredam konflik, forgiveness juga
memiliki manfaat lainnya. Agar pasangan menikah memperoleh kebahagiaan,
pasangan perlu menghadirkan forgiveness karena forgiveness dapat meningkatkan
kepuasan pernikahan (Fincham et al., 2006). Forgiveness sangat diperlukan dalam
pernikahan karena dapat menghadirkan perubahan positif, meningkatkan
kesehatan fisik dan mental, mengembalikan sense of personal power dari orang
yang tersakiti, membantu mewujudkan rekonsiliasi antara orang yang tersakiti dan
orang yang menyakiti, dan meningkatkan harapan untuk menemukan solusi dari
konflik dalam hubungan interpersonal (Philpot, 2006). Manfaat forgiveness begitu
banyak sehingga membuatnya penting untuk selalu hadir dalam hubungan
interpersonal apapun, khususnya dalam pernikahan.
48
Selain mengetahui manfaat dari forgiveness, penting untuk mengetahui
berbagai faktor yang memengaruhi forgiveness dalam pernikahan. Banyak
penelitian yang telah berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses forgiveness
itu terjadi dan hal apa saja yang dapat memengaruhinya.
Faktor pertama yang dapat mempermudah seseorang memaafkan pasangan
yaitu kualitas hubungan atau sering juga disebut relationship quality, relation-
determinant, marital quality, atau relationship-level. Menurut Guldner dan
Swensen (1992) kualitas hubungan terdiri dari empat dimensi, yaitu trust,
intimacy, commitment dan satisfaction. Kemudian McCullough et al. (1998)
merangkum berbagai penelitian dengan hasil dimensi closeness, satisfaction dan
commitment berpengaruh positif terhadap forgiveness. Masing-masing dimensi
menunjukan hubungan sedang sampai kuat terhadap forgiveness.
Faktor kedua, faktor eksternal yang dapat mempercepat proses forgiveness
adalah apology. Rasa percaya pihak yang tersakiti sangat mungkin dikembalikan
apabila dari pihak yang bersalah secara aktif melakukan tindakan apology.
Apology adalah salah satu bentuk altruism untuk membantu menyembuhkan pihak
yang tersakiti. Apology memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap
forgiveness, seseorang lebih mudah memaafkan setelah ia mendengar pengakuan
dari pasangannya (Strang et al., 2014).
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap forgiveness adalah kepribadian.
Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu sikap dan
perilaku seseorang, termasuk untuk melakukan forgiveness. Teori kepribadian
oleh Ashton dan Lee (2007) dengan enam dimensi kepribadian yaitu honesty-
49
humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A),
conscientiousness (C), dan openness to experience (O) dipilih karena klasifikasi
kepribadian HEXACO telah dilengkapi dengan dimensi-dimensi yang mengukur
tingkat altursm dan empati seseorang, dimana kedua hal itu memiliki korelasi
terhadap forgiveness.
Ashton et al. tahun 1998 (dalam Neto & Mullet, 2004) menemukan bahwa
kepribadian agreeableness berkorelasi positif dengan forgiveness, sedangkan
emotionality berkorelasi negatif dengan forgiveness. Kemudian Caperton (2008)
telah merangkum penelitian-penelitian yang memeriksa hubungan big five dengan
forgiveness, ditemukan bahwa kepribadian extraversion, openness, dan
conscientiousness tidak memiliki korelasi dengan forgiveness. Kemudian dalam
penelitian Hafnidar (2013) juga diketahui bahwa individu dengan skor
extraversion dan agreeableness yang tinggi memiliki skor forgiveness yang tinggi
pula.
Selain ketiga faktor psikologis tersebut, terdapat pula faktor demografi
yang turut menyumbangkan penjelasan mengenai forgiveness yaitu gender dan
usia. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan
proses forgiveness berdasarkan usia, hasilnya semakin matang usia sesorang,
forgiveness semakin meningkat sehingga terlihat lebih jelas. Lain halnya yang
diteliti oleh Wade dan Goldman (2006), mereka meninjau forgiveness dengan
gender sebagai prediktornya, kemudian membuktikan bahwa perempuan lebih
dapat menurunkan rasa dendam dibanding laki-laki.
50
Pembahasan di atas ialah berbagai faktor yang memengaruhi perilaku
seseorang dalam melakukan forgiveness. Selanjutnya, peneliti ingin meneliti
apakah faktor kulaitas hubungan, apology, tipe kepribadian HEXACO, beserta
faktor demografi berupa gender dan usia memiliki pengaruh terhadap forgiveness
dan faktor mana yang memiliki pengaruh paling besar yang memunculkan
forgiveness dalam pernikahan.
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir
Apology
Kualitas Hubungan
Trust
Intimacy
Commitment
Satisfaction
Kepribadian
Honesty-Humility
Emotionality
Extraversion
Conscientiousness
Agreeableness
Openness to experience
Faktor Demografi
Gender
Usia
Forgiveness dalam
Pernikahan
51
2.10. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah tinggi rendahnya forgiveness
yang merupakan dependent variable bergantung pada tinggi rendahnya skor pada
independent variable yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu kualitas
hubungan, apology, kepribadian, dan faktor demografi.
Bunyi hipotesis mayornya yaitu “ada pengaruh yang signifikan kualitas
hubungan, apology, kepribadian, dan faktor demografi berupa usia dan
gender terhadap forgiveness dalam pernikahan”.
Selanjutnya hipotesis minor penelitian ini adalah:
Ha1: Ada pengaruh signifikan trust terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha2: Ada pengaruh signifikan intimacy terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha3: Ada pengaruh signifikan commitment terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha4: Ada pengaruh signifikan satisfaction terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha5: Ada pengaruh signifikan apology terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha6: Ada pengaruh signifikan honesty-humility terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha7: Ada pengaruh signifikan emotionality terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha8: Ada pengaruh signifikan extraversion terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
52
Ha9: Ada pengaruh signifikan agreeableness terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha10: Ada pengaruh signifikan conscientiousness terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
Ha11: Ada pengaruh signifikan openness to experience terhadap forgiveness
dalam pernikahan.
Ha12: Ada pengaruh signifikan gender terhadap forgiveness pada dalam
pernikahan.
Ha13: Ada pengaruh signifikan usia terhadap forgiveness pada dalam pernikahan.
53
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi
operasional variabel, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik
analisis data, dan prosedur pengumpulan data.
3.1. Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah orang yang telah terikat
pernikahan heteroseksual dengan status ekonomi menengah ke atas (gaji di atas
UMR). Dengan demikian setiap anggota popolasi diharapkan memiliki
pendidikan dan penghasilan yang mencukupi sehingga meminimalisir bias.
Dengan begitu, peneliti dapat melihat lebih jelas pengaruh IV terhadap DV tanpa
adanya bias dari pengaruh sosial ekonomi terhadap DV.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang. Responden adalah
perempuan dengan usia minimal 20 tahun dan laki-laki dengan usia minimal 25
tahun. Ini dimaksudkan untuk mendapat respon dari kalangan yang sudah siap
menjalani pernikahan, sesuai dengan usia ideal menikah dari BKKBN.
Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Pengambilan sampel pada penelitian ini bersifat non probability sampling yang
berarti kemungkinan terpilihnya anggota populasi yang akan menjadi sampel
tidak dapat ditentukan. Lebih spesifik lagi, peneliti menggunakan accidental
sampling dengan cara memilih sampel yang mudah ditemui untuk menjadi
responden, dengan alasan tidak adanya data yang diperoleh mengenai populasi
dan orang yang dipilih betul-betul memiliki kriteria sebagai sampel.
54
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel terbagi menjadi dua macam, yaitu variabel terikat (Dependent Variable)
dan variabel bebas (Independent Variable). Dependent variabel dalam penelitian
ini adalah forgiveness dalam pernikahan, dan independent variable penelitian ini
adalah kualitas hubungan yang terdiri dari trust, intimacy, commitment dan
satisfaction, apology, kepribadian yang terdiri dari enam dimensi yaitu honesty-
humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A),
conscientiousness (C), dan openness to experience (O) yang biasa disingkat
HEXACO. Selain itu faktor demografi yaitu usia dan gender akan ikut dianaliasis
pengaruhnya terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu
variabel atau konstruk dengan cara memberikan arti, menspesifikasikan kegiatan,
atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstruk
atas variabel tersebut. Definisi operasional dari variabel-variabel yang terdapat
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Dependent Variabel : Forgiveness dalam pernikahan
Definisi operasional : Forgiveness dalam penelitian ini adalah
peningkatan motivasi prososial setelah terjadi konflik dalam pernikahan
seseorang. Forgiveness ditandai dengan rendahnya keinginan membalas
dendam (retaliation ) dan menjauhi pasangan (avoidance), serta tingginya
keinginan untuk memperbaiki hubungan (benevolence).
55
2. Independent Variabel : Kualitas hubungan
Definisi operasional : Kualitas hubungan adalah persepsi individu
mengenai seberapa baik interaksi suami istri dalam pernikahannya yang
terlihat dari dimensi-dimensi yang menentukannya, yaitu:
a. Trust adalah harapan dan keyakinan individu pada kebaikan
pasangannya yang membuat komunikasi keduanya lancar sehingga
jauh dari perasaan curiga.
b. Intimacy adalah kedekatan emosional yang didapat dari pikiran dan
perasaan yang saling dibagi sehingga timbul saling pengertian.
c. Commitment adalah harapan dan usaha untuk menjaga
keberlangsungan hubungan untuk selamanya yang ditandai dengan
kesetian.
d. Satisfaction adalah sejauhmana terpenuhinya harapan pernikahan
sehingga timbul perasaan puas terhadap pernikahan.
3. Independent Variabel : Apology
Definisi operasional : Apology yang dimaksud peneliti adalah permintaan
maaf dari pasangan karena telah menyakiti individu. Pengukuran
dilakukan dengan melihat respon individu dalam melaporkan apology
yang dilakukan oleh pasangannya saat atau sesudah berkonflik. Skor
diukur dengan melihat lima aspek dari apology yaitu pengungkapan
penyesalan, mau bertanggung jawab, melakukan perbaikan, berjanji tidak
mengulangi lagi dan meminta maaf.
56
4. Independent Variabel : Tipe kepribadian HEXACO
Definisi operasional : Tipe kepribadian HEXACO merupakan
pengembangan dan pembaharuan dari Big Five Factor Model. Ashton dan
Lee (2004) telah mengembangkan klasifikasi kepribadian dalam enam
kategori berikut ini:
a. Honesty-Humility adalah karakteristik yang cenderung untuk saling
menolong, tulus, adil dan mudah bekerjasama.
b. Emotionality adalah karakteristik yang cenderung merasa takut, cemas,
ketergantungan dan sentimentil namun dapat berempati dan mudah
dekat dengan orang lain.
c. Extraversion adalah karakteristik yang cenderung mampu menyatakan
apa yang dia rasakan, percaya diri, dan pandai bersosialisasi.
d. Agreeableness adalah karakteristik yang cenderung untuk memaafkan,
toleran terhadap orang lain, fleksibel dan tidak agresif dalam
bekerjasama.
e. Conscientiousness adalah karakteristik yang cenderung terorganisir,
tekun, perfeksionis, dan memiliki orientasi terhadap tugas / pencapaian.
f. Openness to Experience adalah karakteristik yang cenderung kreatif,
inovatif, imajinatif serta menyukai seni dan hal-hal yang baru.
5. Independent Variabel : Variabel demografi berupa Gender dan Usia
Definisi operasional : Gender yang dimaksud adalah jenis kelamin
individu yaitu laki-laki atau perempuan. Kemudian usia individu akan
digolongkan pada dewasa muda atau dewasa madya.
57
3.3. Instrumen Penelitian
Bagian pertama yang wajib dimiliki instrumen penelitian adalah pengantar dan
inform concent. Pengantar berisi mengenai penjelasan identitas peneliti dan
maksud dari penelitian, sedangkan inform conscent berisi mengenai data diri
sampel dan tanda tangan sebagai tanda kesediaannya menjadi responden dalam
penelitian ini. Selanjutnya, terdapat empat alat ukur untuk mengukur variabel
forgiveness, kualitas hubungan, apology dan kepribadian.
Peneliti menggunakan skala model likert. Model ini terdiri dari pernyataan
positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Dalam penelitian ini
terdapat empat skala pengukuran yang terdiri dari beberapa item yang dilengkapi
dengan empat pilihan jawaban, yaitu ‘Sangat Setuju’ (SS), ‘Setuju’ (S), ‘Tidak
Setuju’ (TS), ‘Sangat Tidak Setuju’ (STS). Peneliti memilih untuk menghilangkan
pilihan netral untuk menghindari terjadinya pemusatan (central tendency).
Keempat skala pengukuran berikut terdiri dari dua kategori yaitu
pernyataan/item favorable dan unfavorable. Seluruh respon dari item ini diskoring
dengan bobot nilai SS = 4, S = 3, TS = 2, dan STS = 1 untuk pernyataan favorable
dan sebaliknya untuk penyataan unfavorable.
Intrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat
ukur. Adapun empat skala yang peneliti maksud yaitu:
1. Skala Pengukuran Forgiveness
Dalam penelitian ini bentuk alat ukur yang digunakan peneliti
mengadaptasi dari Marital Forgiveness Scale Revised yang dibuat oleh
Fincham, Beach dan Davila (2013). Skala ini disajikan dalam bentuk item-
58
item berupa pernyataan yang dapat diisi sendiri tanpa bantuan wawancara.
Dalam skala ini variabel forgiveness dibagi dalam tiga dimensi, masing-
masing dimensi diukur dengan tiga item.
Tabel 3.1
Blueprint Skala Forgiveness
*Aturan pepenilpenilaian: karena forgiveness ditandai dengan tingginya
skor benevolence dan rendahnya skor avoidance dan retaliation, maka
item 1,3,4,5,6, dan 8 akan dinilai selayaknya item unfovorable.
2. Skala Pengukuran Kualitas Hubungan
Dalam penelitian ini peneliti membuat skala pengukuran berdasarkan
definisi dan dimensi-dimensi kualitas hubungan oleh Guldner dan
Swensen (1995). Dalam skala ini variabel kualitas hubungan dibagi dalam
empat dimensi, masing-masing dimensi diukur dengan lima item.
Dimensi
Forgiveness Indikator
Item
Favorable Unfavorable
Retaliation Penuh rasa dendam dan
keinginan membalas - 3,6,8
Avoidance
Menghindar atau
menarik diri
(withdrawal)
- 1,4,5
Benevolence Bersikap positif 2,7,9 -
Jumlah 9
59
Tabel 3.2
Blueprint Skala Kualitas Hubungan
3. Skala Pengukuran Apology
Dalam penelitian ini peneliti membuat skala pengukuran berdasarkan
definisi dan dimensi-dimensi apology oleh Chapman dan Thomas (2006).
Dimensi
Kualitas
Hubungan
Indikator
Item
Favorable Unfavorable
Trust - Berharap dan yakin akan
kebaikan dan kejujuran
pasangan
- Mau terbuka tentang perasaan
dan keinginannya
13, 19, 5 2, 9
Intimacy - Dekat secara emosional
sehingga menimbulkan
kenyamanan dan saling
memahami
- Memiliki waktu untuk berbagi
pikiran dan perasaan
3, 10, 18 7, 14
Commitment - Usaha dan dedikasi untuk
mempertahankan pernikahan
- Setia dengan pasangan
1, 12, 17,
20 6
Satisfaction - Terwujudnya harapan
- Merasa puas pada pasanganya 4, 16 8, 11, 15
Jumlah 20
60
Dalam skala ini variabel apology memiliki lima aspek, masing-masing
aspek diukur dengan dua item.
Tabel 3.3
Blueprint Skala Apology
4. Skala Pengukuran Kepribadian
Dalam penelitian ini bentuk alat ukur yang digunakan peneliti
mengadaptasi dari HEXACO-PI-R yang dibuat oleh Ashton dan Lee
(2007). Terdapat enam dimensi yang masing-masing diukur dengan
sepuluh item.
Dimensi Apology Indikator
Item
Favorable Unfavorable
Ungkapan
penyesalan
Pasangan
mengekspresikan
penyesalan
1 6
Kemauan
bertanggung jawab
Pasangan melakukan
tanggung jawab dengan
sungguh-sungguh
2 7
Melakukan
perbaikan
Pasangan melakukan
perbaikan 3 8
Berjanji tidak
mengulangi
Tidak mengulangi lagi /
benar-benar bertobat 4 9
Meminta maaf Meminta maaf dan
menampilkan
kerendahan hati
5 10
Jumlah 10
61
Tabel 3.4
Blueprint Skala Kepribadian
Dimensi Indikator Item
Favorable Unfavorable
Honesty-Humility Tulus
Adil
Greed-Avoidance
Sederhana
6, 54
36
18
30
12, 60
42
24, 48
Emotionality Penakut
Pencemas
Ketergantungan
Sentimentil
5, 29
11
17
23, 47
53
35
41
59
Extraversion Berjiwa Sosial
Pandai Bergaul
Aktif
Berani
4
34, 58
16, 40
22
28, 52
10
46
Agreeableness Pemaaf
Lembut
Fleksibel
Sabar
3, 27
33, 51
39
45
9
15, 57
21
Conscientiousness Terorganisir
Rajin
Perfeksionis
Bijaksana
2
8
38, 50
26
32
14
20, 44, 56
Openness to
Experience
Mengapresiasi Seni
Ingin Tahu
Kreatif
Tidak Kuno
25
7
13
43
1
31
37, 49
19, 55
Jumlah 60
62
3.4. Uji Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis). Dalam CFA (Confirmatory
Factor Analysis), peneliti harus memiliki gambaran yang spesifik mengenai (a)
jumlah faktor, (b) variabel yang mencerminkan suatu faktor, dan (c) faktor-faktor
yang saling berkorelasi.
Tahapan dalam CFA diawali dengan merumuskan model teoritis
(hipotesis) tentang pengukuran variabel laten, kemudian model tersebut diuji
kebenarannya secara statistik menggunakan data. CFA lebih tepat digunakan pada
pengujian teori karena (a) langsung menguji teori dan (b) tingkat fit pada model
dapat diukur dalam berbagai cara. Adapun logika dasar dari CFA adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang
didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun suatu pertanyaan
atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor,
sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis
terhadap respon (jawaban atas item-itemnya).
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja atau memberi
informasi tentang faktor tersebut saja atau dengan kata lain bersifat
unidimensional. Sebagai contoh, suatu konstruk psikologis yang disebut
kemampuan berpikir analogis.
3. Berdasarkan model unidimensional. Pada butir diatas, dapat disusun untuk
sehimpunan persamaan matematis. Persamaan tersebut dapat digunakan
63
untuk memprediksi (dengan menggunakan data yang tersedia) matriks
korelasi antar item (yang seharusnya diperoleh), jika korelasi antar item
tersebut (unidimensional) benar. Matriks korelasi ini dinamakan sigma
(∑). Kemudian, matriks ini akan dibandingkan dengan matriks korelasi
yang diperoleh secara empiris dari data (disebut matriks S). Jika teori
tersebut benar (unidimensional), maka seharusnya tidak ada perbedaan
yang signifikan antara elemen matriks ∑ dengan elemen matriks S. secara
matematis dapat dituliskan: S - ∑ = 0.
4. Pernyataan matematis inilah yang dijadikan hipotesis nihil yang akan
dianalisis menggunakan CFA. Dalam hal ini, dilakukan uji signifikansi
dengan Chi-square. Jika Chi-square yang dihasilkan tidak signifikan (nilai
p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nilai yang
menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks S dan ∑” adalah tidak
ditolak (diterima). Artinya, teori yang menyatakan bahwa seluruh item
mengukur hanya satu faktor, dapat diterima kebenarannya (didukung oleh
data). Sebaliknya, jika nilai Chi-square yang diperoleh signifikan, maka
hipotesis nihil S - ∑ = 0 ditolak. Artinya, teori tersebut tidak didukung
oleh data (ditolak). Dengan kata lain, analisis faktor konfirmatori dalam
hal ini adalah pengujian terhadap hipotesis nihil (Ho) : S - ∑ = 0. Artinya,
tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari hasil
observasi.
5. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji
hipotesis tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam
64
mengukur apa yang hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan t-
test. Jika nilai t signifikan, berarti item yang bersangkutan adalah
signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Dengan cara seperti
ini, dapat dinilai butir item mana yang valid dan yang tidak valid didalam
konteks validitas konstruk.
6. Kemudian akan ditentukan item yang di-drop. Item harus di-drop jika
memiliki t-value -1,96 ≤ t ≤ 1,96, karena itu menandakan bahwa item tidak
valid. Item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif juga di-drop
karena mengukur hal yang berlawanan dengan konsep yang didefinisikan.
Item dapat juga di-drop jika residualnya (kesalahan pengukuran)
berkorelasi dengan banyak residual item yang lainnya, karena item
tersebut mengukur juga hal lain selain konstruk yang hendak diukur.
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan
menggunakan software LISREL 8.70 (Joreskog & Sorbom, 1999). Uji validitas
tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab berikut.
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Forgiveness
Peneliti menguji apakah sembilan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur forgiveness. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 228,02 ; df =27,
P-value = 0,00000, RMSEA = 0,193. Oleh karena itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada
gambar dibawah ini:
65
Gambar 3.1 Hasil Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness
Berdasarkan gambar 3.1, terlihat Chi–Square = 26,52 ; df = 18 ; P-value =
0,08840 ; RMSEA = 0,049. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu forgiveness. Untuk
variabel berikutnya path diagram dicantumkan pada lampiran.
Peneliti selanjutnya akan melihat apakah item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu
di-drop atau tidak. Jika ada item yang harus di-drop artinya item tersebut tidak
ikut serta dianalisis. Pengujiannya dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. Melihat hipotesis setiap item signifikian (t < -1,96 atau t > 1,96) atau tidak
signifikan (-1,96 ≤ t ≤ 1,96). Jika tidak signifikan maka item tersebut akan
di-drop karena secara statistik tidak memberikan informasi yang
bermakna.
2. Item harus memiliki muatan faktor yang positif. Jika negatif maka item
tersebut akan di-drop karena mengukur hal yang berlawanan dengan
konsep penelitian.
66
3. Terakhir, untuk men-drop sebuah item dapat dilakukan dengan melihat
jumlah korelasi kesalahannya. Jika korelasi kesalahan item lebih besar dari
lima (>5), maka item tersebut akan di-drop. Hal ini dilakukan karena item
tersebut juga mengukur hal lain selain konstruk yang hendak diukur.
Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5
Muatan Faktor Item Forgiveness
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,84 0,08 10,89 V
2 0,39 0,07 5,37 V
3 0,17 0,07 2,47 V
4 0,67 0,07 9,70 V
5 0,74 0,07 10,37 V
6 0,88 0,07 11,96 V
7 0,33 0,07 4,79 V
8 0,41 0,07 5,49 V
9 0,25 0,07 3,67 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.5 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang
di-drop.
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kualitas Hubungan
1. Trust
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur trust. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model
satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 28,69 ; df = 5; P-value =
0,00003; RMSEA = 0,154. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
67
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square =
6,94; df = 3; P-value = 0,07370; RMSEA = 0,081. Nilai Chi–Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu trust.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6 berikut:
Tabel 3.6
Muatan Faktor Item Trust
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
2 0,47 0,08 6,09 V
5 0,86 0,07 13,04 V
9 0,21 0,08 2,82 V
13 0,84 0,07 12,70 V
19 0,64 0,07 9,45 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.6 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang
di-drop.
2. Intimacy
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur intimacy. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 38,17; df =3, P-value =
68
0,00000, RMSEA = 0,183. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model dengan Chi–Square = 4,48;
df = 3; P-value = 0,21445; RMSEA = 0,50. Nilai Chi–Square menghasilkan P-
value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja
yaitu intimacy.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut:
Tabel 3.7
Muatan Faktor Item Intimacy
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
3 0,75 0,07 10,48 V
7 0,72 0,07 9,90 V
10 0,68 0,07 9,30 V
14 0,61 0,08 8,20 V
18 0,54 0,08 6,95 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.7 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang
di-drop.
3. Commitment
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur commitment. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
69
dengan model satu faktor ternyata model langsung fit, dengan Chi–Square = 8,63
; df =5, P-value = 0,12477, RMSEA = 0,060. Nilai Chi–Square menghasilkan P-
value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja
yaitu commitment.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8 berikut:
Tabel 3.8
Muatan Faktor Item Commitment
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,71 0,07 10,41 V
6 0,30 0,08 3,98 V
12 0,74 0,07 11,03 V
17 0,71 0,07 10,44 V
20 0,76 0,07 11,46 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang
di-drop.
4. Satisfaction
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur satisfaction. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 242,40 ; df =5;
P-value = 0,00000; RMSEA = 0,488. Oleh karena itu, peneliti melakukan
70
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–
Square = 9,14 ; df = 4; P-value = 0,05763, RMSEA = 0,080. Nilai Chi–Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu satisfaction.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9 berikut:
Tabel 3.9
Muatan Faktor Item Satisfaction
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
4 0,78 0,07 11,43 V
8 0,80 0,07 11,65 V
11 0,30 0,08 3,97 V
15 -0,30 0,08 -3,97 V
16 0,69 0,07 9,99 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.9 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
ada empat item dengan koefisien bermuatan positif. Namun untuk item 15 karena
muatannya negatif maka dapat dikatakan item ini mengukur hal yang berlawanan
dengan konsep yang didefinisikan. Dengan demikian item 15 perlu di-drop.
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Apology
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur apology. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
71
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 432,82 ; df =35,
P-value = 0,00000, RMSEA = 0,239. Oleh karena itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–
Square = 24,03 ; df = 6; P-value = 0,08889; RMSEA = 0,050. Nilai Chi–Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu apology.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10 berikut:
Tabel 3.10
Muatan Faktor Item Apology
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,11 0,07 1,51 X
2 0,63 0,08 7,68 V
3 0,56 0,07 7,87 V
4 0,57 0,07 8,39 V
5 0,45 0,07 6,46 V
6 0,70 0,07 10,59 V
7 0,79 0,07 11,86 V
8 0,77 0,07 11,50 V
9 0,66 0,07 9,48 V
10 0,69 0,07 10,13 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.10 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang
signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Namun pada item 1
nilai t < 1,96 sehingga item 1 perlu di-drop.
72
3.4.4. Uji Validitas Konstruk Kepribadian
1. Honesty-humility
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur honesty-humility. Dari hasil awal analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square =
137,62 ; df = 35, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,121. Oleh karena itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi–Square = 40,81 ; df = 29 ; P-value = 0,07152 ; RMSEA = 0,045.
Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu honesty-humility.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11 berikut:
Tabel 3.11
Muatan Faktor Item Honesty-Humility No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
6 0,21 0,07 3,11 V
12 0,91 0,06 14,59 V
15 -0,05 0,07 -0,72 X
24 0,56 0,07 8,49 V
30 0,54 0,07 7,40 V
36 0,39 0,07 5,90 V
42 0,48 0,07 6,96 V
45 0,61 0,07 8,43 V
54 0,41 0,07 4,58 V
60 0,78 0,06 12,38 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
73
Dari tabel 3.11 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang
signifikan (t >1,96) dan sembilan item yang memiliki koefisien bermuatan positif.
Namun pada item 15 nilai t < 1,96 dan muatan koefisiennya negatif sehingga item
15 perlu di-drop.
2. Emotionality
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur emotionality. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 134,52 ; df =35;
P-value = 0,00000; RMSEA = 0,120. Oleh karena itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–
Square = 38,91 ; df = 31; P-value = 0,15561; RMSEA = 0,036. Nilai Chi–Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu emotionality.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12 berikut:
74
Tabel 3.12
Muatan Faktor Item Emotionality
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
5 0,45 0,08 5,40 V
11 0,23 0,09 2,68 V
17 0,38 0,08 4,55 V
23 0,18 0,09 2,06 V
29 0,71 0,09 8,23 V
35 -0,19 0,09 -2,22 V
41 -0,15 0,09 -1,73 X
47 0,60 0,08 7,11 V
53 0,12 0,09 1,43 X
59 -0,13 0,09 -1,48 X
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.12 dapat kita lihat bahwa terdapat tujuh item yang signifikan
(t >1,96) dan tujuh item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada
item 53 nilai t < 1,96; pada item 35 muatan koefisiennya negatif; pada item 41 dan
59 nilai t < 1,96 dan muatan koefisiennya negatif sehingga keempat item ini perlu
di-drop.
3. Extraversion
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur extraversion. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 208,54 ; df = 35
; P-value = 0,00000 ; RMSEA = 0,158. Oleh karena itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–
Square = 33,68 ; df = 22 ; P-value = 0,05294 ; RMSEA = 0,052. Nilai Chi–
Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu extraversion.
75
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13 berikut:
Tabel 3.13
Muatan Faktor Item Extraversion
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
4 0,45 0,08 5,64 V
10 -0,52 0,08 -6,73 V
16 0,23 0,08 2,93 V
22 0,72 0,07 9,91 V
28 0,45 0,08 5,65 V
34 0,30 0,08 3,56 V
40 0,22 0,08 2,65 V
46 0,20 0,09 2,25 V
52 0,47 0,08 5,71 V
58 0,53 0,08 6,68 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.13 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
ada sembilan item dengan koefisien bermuatan positif. Namun untuk item sepuluh
karena muatannya negatif maka dapat dikatakan item ini mengukur hal yang
berlawanan dengan konsep yang didefinisikan. Dengan demikian item sepuluh
perlu di-drop.
4. Agreeableness
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur agreeableness. Dari hasil awal analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square =
141,12 ; df =35 ; P-value = 0,00000 ; RMSEA = 0,123. Oleh karena itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
76
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi–Square = 36,91 ; df = 28 ; P-value = 0,12093 ; RMSEA = 0,040.
Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu agreeableness.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.14 berikut:
Tabel 3.14
Muatan Faktor Item Agreeableness
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
3 0,46 0,08 5,80 V
9 0,13 0,07 1,92 X
15 0,20 0,07 2,79 V
21 0,15 0,07 2,19 V
27 0,83 0,11 7,78 V
33 0,39 0,08 5,09 V
39 0,19 0,07 2,68 V
45 0,30 0,07 4,13 V
51 0,78 0,12 6,27 V
57 0,33 0,08 4,05 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.14 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang
signifikan (t >1,96) dan seluruh item yang memiliki koefisien bermuatan positif.
Namun pada item 9 nilai t < 1,96 sehingga item 9 perlu di-drop.
5. Conscientiousness
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur conscientiousness. Dari hasil awal analisis CFA yang
77
dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square =
114,66 ; df =35 ; P-value = 0,00000, RMSEA = 0,107. Oleh karena itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi–Square = 38,47 ; df = 26 ; P-value = 0,05477 ; RMSEA = 0,049.
Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu conscientiousness.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.15 berikut:
Tabel 3.15
Muatan Faktor Item Conscientiousness
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
2 0,39 0,08 4,93 V
8 0,45 0,09 5,23 V
14 0,58 0,08 7,66 V
20 0,66 0,08 8,64 V
26 0,56 0,08 7,14 V
32 0,15 0,08 1,83 X
38 0,33 0,08 4,04 V
44 0,52 0,08 6,96 V
50 0,19 0,08 2,38 V
57 0,20 0,09 2,28 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.15 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang
signifikan (t >1,96) dan seluruh item yang memiliki koefisien bermuatan positif.
Namun pada item 32 nilai t < 1,96 sehingga item 32 perlu di-drop.
78
6. Openness to Experience
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur openness to experience. Dari hasil awal analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square =
98,07; df =35, P-value = 0,00000; RMSEA = 0,095. Oleh karena itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
dengan Chi–Square = 39,91 ; df = 31 ; P-value = 0,13119 ; RMSEA = 0,038.
Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya
model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu openness to experience.
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.16 berikut:
Tabel 3.16
Muatan Faktor Item Openness to Experience
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,51 0,08 6,70 V
7 0,49 0,08 6,03 V
13 0,48 0,08 6,00 V
19 0,38 0,08 4,56 V
25 0,16 0,08 1,92 X
31 0,53 0,08 7,05 V
37 -0,42 0,08 -5,26 V
43 0,04 0,08 0,50 X
49 0,54 0,08 7,13 V
57 0,49 0,08 6,08 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
79
Dari tabel 3.16 dapat kita lihat bahwa terdapat delapan item yang
signifikan (t >1,96) dan sembilan item yang memiliki koefisien bermuatan positif.
Namun pada item 25 dan 43 nilai t < 1,96; pada item 37 muatan koefisiennya
negatif sehingga ketiga item ini perlu di-drop.
3.5. Teknik Analisis Data
Untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap forgiveness,
peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis).
Pengolahan data dilakukan dengan analisa data secara statistik sebagai cara untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas (independent variabel) yaitu: kualitas
hubungan (trust, intimacy, commitment dan satisfaction), apology, kepribadian
(honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness,
dan openness to experience), gender dan usia terhadap variabel terikat (dependent
variabel) yaitu forgiveness. Ada empat tahap yang akan dilakukan untuk melihat
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat (Pedhazur, 1997). Berikut ini
adalah tahapannya:
1. Peneliti menghintung konstan (a, , , …, dari persamaan regresi
Y = a + + + … + . Dengan begitu, peneliti dapat
menggunakan variabel-variabel untuk memprediksi Y partisipan.
Dalam hal ini hipotesis yang akan diukur, peneliti menggunakan teknis
analisis multiple regression atau analisis regresi berganda, dengan rumus:
y = a + b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8+b9X9+ b10X10+ b11X11+b12X12+ b13X13+e
80
Keterangan:
y = forgiveness
a = konstan, intercept
b = koefisien regresi
X1 = trust
X2 = intimacy
X3 = commitment
X4 = satisfaction
X5 = apology
X6 = honesty-humulity
X7 = emotionality
X8 = extraversion
X9 = agreeableness
X10 = conscientiousness
X11 = opennes to experience
X12 = gender
X13 = usia
e = residu (Hal yang memengaruhi DV diluar dari IV)
2. Peneliti akan menghitung proporsi varians dari forgiveness yang dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang peneliti teliti, yaitu
.
3. peneliti akan menguji signifikansi dari hasil yang didapat. Jadi peneliti
dapat mengetahui apakah regresi dari forgiveness atas 13 variabel
signifikan secara statistik. Peneliti juga dapat mengetahui apakah
koefisien regresi (b) dari persamaan regresi secara statistik berbeda dari
nol. Terakhir, peneliti dapat menentukan relativitas pentingnya masing-
masing variabel independen dalam menjelaskan forgiveness.
4. Menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang
paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian
dan analisis.
81
a. R² (RSquare, Koefisien Determinasi Berganda)
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R², yaitu nilai pengaruh
kualitas hubungan (trust, intimacy, commitment, satisfaction), apology,
kepribadian (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness,
conscientiousness, dan openness to experience) serta gender dan usia
terhadap forgiveness. R² digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh
independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) atau merupakan
perkiraan proporsi varians dari IV. Untuk mendapatkan R², akan dilakukan
perhitungan dengan sistem komputerisasi menggunakan SPSS 19.0.
b. Uji F
Untuk membuktikan signifikansi regresi Y pada X maka digunakan uji F.
Berdasarkan hasil uji F, maka dapat dilihat pengaruh IV terhadap DV.
Untuk membuktikan hal tersebut dilakukan uji F dengan sistem
komputerisasi menggunakan SPSS 19.0.
c. Uji T
Uji t digunakan untuk melihat signifikansi pengaruh yang diberikan
independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) secara sendiri-
sendiri atau parsial. Uji t ini digunakan untuk menguji kontribusi yang
diberikan sebuah independent variable terhadap dependent variable.
Penghitungan skor faktor pada tiap variabel tidak menjumlahkan item-item
seperti pada umumnya, tetapi dihitung dengan menggunakan maximum
likelihood, skor ini disebut true score. Item-item yang dianalisis oleh
maximum likelihood adalah item yang bermuatan positif dan signifikan.
82
Adapun true score yang dihasilkan oleh maximum likelihood satuannya
berbentuk Zscore. Untuk menghilangkan bilangan negatif dari Zscore, semua
skor ditransformasi ke skala T yang semuanya positif dengan menetapkan
harga mean = 50 dan standar deviasi = 15. Langkah selanjutnya adalah
melakukan proses komputerisasi melalui formula Tscore = 50 + (15.z). Hasil
uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti
dengan menggunakan SPSS 19.0.
3.6. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap
pengolahan data. Berikut penjelasannya:
1. Tahap Persiapan
a. Peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti.
b. Peneliti menentukan variabel yang akan diteliti dan melakukan studi
pustaka untuk mendapatkan landasan teori yang sesuai dengan variabel
dalam penelitian.
c. Peneliti menentukan subjek penelitian.
d. Peneliti mempersiapkan alat pengumpulan data dengan menenetukan dan
menyusun alat ukur atau instrument penelitian yang akan digunakan.
Dalam penelitian ini terdapat empat skala yaitu skala kualitas hubungan,
apology¸kepribadian dan forgiveness.
83
2. Tahap Pelaksanaan
a. Peneliti memperbanyak kuesioner penelitian untuk dibagikan kepada 250
orang yang sudah menikah dan memenuhi karakteristik populasi
penelitian.
b. Peneliti mempersiapan reward bagi responden yang berpartisipas. Reward
dalam penelitian ini adalah leaflet (terlampir).
c. Pengambilan data dilakukan pada 22 September 2014 hingga 10 Oktober
2014. Peneliti datang ke kantor-kantor kelurahan, ke sekolah dan
perumahan untuk menemui langsung responden dan memberikan
kuisioner. Ada juga instansi yang meminta agar kuesioner dan reward
hanya diserahkan dan diambil pada beberapa hari kemudian.
3. Tahap Pengolahan Data
a. Peneliti menyebar kuesioner sebanyak 250 rangkap, dengan mengunakan
teknik accidental sampling. Namun beberapa rangkap kuesioner tidak
kembali pada peneliti, ada juga yang tidak lengkap pada bagian pengisian
skala dan faktor demografi yang hendak dianalisis, sehingga hanya
diperoleh 200 rangkap kuesioner yang dianggap sudah layak untuk tahap
berikutnya.
b. Peneliti melakukan skoring dengan membuat tabulasi terhadap hasil
jawaban responden.
c. Peneliti menganalisa jawaban responden dengan uji validitas konstruk
(CFA) terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan analisis statistik multiple
regression untuk menguji hipotesis.
84
4. Tahap Penulisan Laporan
a. Peneliti menjabarkan hasil uji validitas konstruk
b. Peneliti menjabarkan hasil analisis data
c. Peneliti membuat kesimpulan, diskusi dan saran.
85
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai karakteristik responden penelitian,
deskripsi data, analisis data dan hasilnya.
4.1 Karakteristik Responden Penelitian
Dalam sub bab ini dibahas mengenai karakteristik responden penelitian
berdasarkan beberapa kriteria, yaitu usia, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan
serta pendidikan responden. Responden dalam penelitian ini adalah 200 orang
dengan status menikah yang berada di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Berikut ini adalah tabel yang dapat menjelaskan karakteristik responden pada
penelitian ini:
Tabel 4.1
Tabel Karakteristik Responden
Kriteria Jumlah Persentase (%)
Gender Laki-laki 119 59.5
Perempuan 81 40.5
Usia Dewasa Muda 103 51.5
Dewasa Madya 97 48.5
Pekerjaan
PNS 25 12.5
Pegawai Swasta 109 54.5
Wiraswasta 30 15.0
Lain-lain 36 18.0
Penghasilan
2,5 juta – 3,5 juta 82 41.0
3,5 juta – 7 juta 64 32.0
Lebih dari 7 juta 54 27.0
Pendidikan
SMA 56 28.0
S1 116 58.0
S2 26 13.0
S3 2 1.0
86
Tabel 4.1 menginformasikan banyak hal, berdasarkan kriteria gender dapat
diketahui bahwa dari total 200 responden yang digunakan, ada 119 orang atau
59.5 % adalah laki-laki, sisanya yaitu 81 orang atau 40.5 % adalah perempuan.
Kemudian berdasarkan kriteria usia dapat diketahui lebih banyak responden
dengan kriteria usia dewasa muda yaitu 103 orang atau 51.5 %.
Selanjutnya, berdasarkan pekerjaan diketahui mayoritas responden bekerja
sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 109 orang atau 54.5%. Selain itu
berdasarkan penghasilan, sebanyak 82 orang atau 41.0% responden yang
berpenghasilan 2,5 juta-3,5 juta dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah S1
yaitu 116 orang atau 58.0%. Maka dapat disimpulkan bahwa responden dalam
penelitian ini termasuk dalam golongan pendidikan dan penghasilan menengah ke
atas. Dengan karakteristik seperti ini, diharapkan hasil yang didapat terhindar dari
bias sosial ekonomi.
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian.
Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan minimum, maksimum, mean dan
standar deviasi variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor variabel
penelitian. Berikut ini adalah tabel 4.2 yang berisi analisis deskriptif yang didapat
dari output SPSS:
87
Tabel 4.2
Descriptive Statistics
Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Trust 200 17.55 69.69 50.0000 13.62555
Intimacy 200 11.29 71.22 50.0000 13.04412
Commitment 200 8.27 65.09 50.0000 12.67067
Satisfaction 200 13.66 69.82 50.0000 12.76932
Apology 200 14.48 78.64 50.0000 13.75950
Honesty 200 1.48 75.19 50.0000 13.23327
Emotionality 200 25.11 81.23 50.0000 11.55018
Extraversion 200 16.03 84.01 50.0000 12.34149
Agreeableness 200 -1.53 105.86 50.0000 15.00000
Conscientiousness 200 20.47 84.80 50.0000 12.41406
Openness 200 19.99 89.61 50.0000 11.84384
Gender 200 1.00 2.00 1.6500 .54680
Usia 200 1.00 2.00 1.4850 .50103
Forgiveness 200 8.41 75.23 50.0000 13.67109
Valid N (listwise) 200
Berdasarkan penjelasan pada Bab 3, nilai mean dalam penelitian ini
ditetapkan sebesar 50 dengan Standar Deviasi (SD) sebesar 15. Pada tabel 4.2
diketahui bahwa variabel trust memiliki nilai minimum 17.55; nilai maksimum
69.69; mean 50.0000 dan SD = 13.62555. Dan seterusnya untuk membaca
informasi pada variabel lainnya. Kemudian dari informasi ini dapat dijabarkan
mengenai katagorisasi variabel.
4.3 Kategorisasi Hasil Penelitian
Kategorisasi variabel bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-
kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan
atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini contohnya adalah dari rendah ke tinggi
yang akan peneliti gunakan dalam kategorisasi variabel penelitian. Sebelum
mengkategorisasikan skor masing-masing variabel berdasarkan tingkat rendah dan
tinggi, peneliti terlebih dahulu menetapkan norma dari skor dengan menggunakan
88
nilai mean dan standar deviasi pada tabel sebelumnya dan berlaku pada semua
variabel. Adapun norma skor tersebut dapat digambarkan dalam tabel 4.3 di
bawah ini :
Tabel 4.3
Norma Skor Kategorisasi
Kategori Rumus
Rendah X < M
Tinggi X ≥M
Uraian mengenai gambaran kategorisasi skor masing-masing variabel
penelitian disajikan pada tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
* Total Frequency 200
Variabel Katagorisasi Frequency Precent
Trust Rendah 109 54.5
Tinggi 91 45.5
Intimacy Rendah 103 51.5
Tinggi 97 48.5
Commitment Rendah 93 46.5
Tinggi 107 53.5
Satisfaction Rendah 105 52.5
Tinggi 95 47.5
Apology Rendah 113 56.5
Tinggi 87 43.5
Honesty-humility Rendah 83 41.5
Tinggi 117 58.5
Emotionality Rendah 93 46.5
Tinggi 107 53.5
Extraversion Rendah 87 43.5
Tinggi 113 56.5
Agreeableness Rendah 95 47.5
Tinggi 105 52.5
Conscientiousness Rendah 95 47.5
Tinggi 105 52.5
Openness Rendah 99 49.5
Tinggi 101 50.5
Forgiveness Rendah 84 42.0
Tinggi 116 58.0
89
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa pada pada variabel pertama
yaitu trust sebanyak 109 subjek (54.5%) termasuk pada kategori rendah dan 91
subjek (45.5%) termasuk pada kategori tinggi. Kedua, pada variabel intimacy
sebanyak 103 subjek (51.5%) termasuk pada kategori rendah dan 97 subjek
(48.5%) termasuk pada kategori tinggi. Ketiga, pada variabel commitment
sebanyak 93 subjek (46.5%) termasuk pada kategori rendah dan 107 subjek
(53.5%) termasuk pada kategori tinggi. Keempat, pada variabel satisfaction
sebanyak 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori rendah dan 95 subjek
(47.5%) termasuk pada kategori tinggi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki skor trust, intimacy dan
satisfaction yang rendah, serta commitment yang tinggi. Artinya lebih banyak
subjek yang merasa hubungan mereka memiliki tingkat percaya, kedekatan dan
kepuasan yang masih rendah, namun komitmen tetap terjaga.
Selanjutnya kelima, pada variabel apology sebanyak 113 subjek (56.5%)
termasuk pada kategori rendah dan 87 subjek (43.5%) termasuk pada kategori
tinggi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mayoritas subjek dalam
penelitian ini memiliki skor apology yang rendah. Artinya lebih banyak subjek
yang merasa bahwa pasangannya tidak pernah / tidak lengkap dalam melakukan
permintaan maaf.
Keenam, pada variabel honesty-humility sebanyak 83 subjek (41.5%)
termasuk pada kategori rendah dan 117 subjek (58.5%) termasuk pada kategori
tinggi. Ketujuh, pada variabel emotionality sebanyak 93 subjek (46.5%) termasuk
pada kategori rendah dan 107 subjek (53.5%) termasuk pada kategori tinggi.
90
Kedelapan, pada variabel extraversion sebanyak 87 subjek (43.4%) termasuk
pada kategori rendah dan 113 subjek (56.5%) termasuk pada kategori tinggi.
kesembilan, pada variabel agreeableness sebanyak 95 subjek (47.5%) termasuk
pada kategori rendah dan 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori tinggi.
Kesepuluh, pada variabel conscientiousness sebanyak 95 subjek (47.5%)
termasuk pada kategori rendah dan 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori
tinggi. Kesebelas, pada variabel openness to experience sebanyak 99 subjek
(49.5%) termasuk pada kategori rendah dan 101 subjek (50.5%) termasuk pada
kategori tinggi. Dengan demikian dapat terlihat bahwa mayoritas subjek dalam
penelitian inii memiliki skor tinggi untuk keenam variabel kepribadian HEXACO.
Terakhir diperoleh hasil persentase variabel forgiveness sebanyak 84
subjek (42%) pada kategori rendah dan 116 subjek (58%) pada kategori tinggi.
Dengan demikian, dari hasil sebaran pada variabel forgiveness paling banyak
berada pada kategori tinggi. Artinya subjek dalam penelitian ini termasuk dalam
orang yang bisa melakukan pemaafan khususnya dalam pernikahan.
4.4 Uji Hipotesis Penelitian
4.4.1 Uji regresi berganda
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis penelitian dengan teknik analisis
regresi berganda yang penghitungannya dibantu oleh software SPSS 19.0. Seperti
yang sudah disebutkan pada BAB 3, dalam regresi ada tiga hal yang dilihat yaitu,
melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians pada DV
yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah IV berpengaruh signifikan terhadap DV,
91
kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-
masing IV.
Langkah pertama peneliti menganalisis besaran R-square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV. Untuk
tabel R-square, dapat dilihat sebagai berikut:
Predictors: (Constant), Trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility,
Emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta
gender dan usia
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.418.
Artinya proporsi varians dari forgiveness yang dijelaskan oleh semua variabel
independen adalah sebesar 41.8%, sedangkan 58.2% sisanya dipengaruhi oleh
variabel lain di luar penelitian ini. Langkah kedua penguji menganalisis dampak
dari seluruh IV terhadap forgiveness. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel
4.6 berikut :
Tabel 4.6
Tabel Anova
Model Sum Of
Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 15561.210 13 1197.016 10.293 .000a
Residual 21631.611 186 116.299
Total 37192.821 199
a. Predictors: (Constant), Trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility,
Emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta
gender dan usia
b. Dependent Variable: forgiveness
Tabel 4.5
Model Summary
Model R RSquare Adjusted Rsquare Std. Error Of The Estimate
1 .647a .418 .378 10.78420
92
Jika melihat kolom signifikansi (p<0.05), maka hipotesis nihil yang
menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen
terhadap forgiveness ditolak (H0 = ditolak). Artinya ada pengaruh yang signifikan
trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility, emotionality,
extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta
gender dan usia terhadap forgiveness.
Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi tiap independen variabel.
Jika p<0.05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV
tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap forgiveness. Adapun
penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.7 berikut:
Tabel 4.7
Koefisien Regresi
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 6.001 6.778 .885 .377
Trust -.085 .078 -.084 -1.085 .279
Intimacy .113 .109 .108 1.037 .301
Commitment .058 .093 .054 .623 .534
Satisfaction* .322 .104 .301 3.095 .002
Apology* .151 .072 .152 2.081 .039
Honesty .130 .079 .126 1.643 .102
Emotionality -.097 .073 -.082 -1.333 .184
Extraversion* .154 .073 .139 2.118 .035
Agreeableness -.006 .060 -.006 -.095 .925
Conscientiousness .000 .079 .000 -.006 .995
Opennestoexperience .094 .074 .081 1.268 .206
Gender -1.763 1.473 -.070 -1.197 .233
Usia 2.312 1.582 .085 1.462 .146
Dependent Variable: forgiveness
Keterangan : * = signifikan
93
Dari tabel 4.7 dapat diketahui signifikansi pengaruh masing-masing
variabel bebas terhadap forgiveness dalam pernikahan. Berikut penjelasan dari
nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing variabel bebas:
1. Variabel Trust
Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.084 dengan signifikansi
0.279 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa trust tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
2. Variabel Intimacy
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.108 dengan signifikansi
0.301 (p>0.05 hasil perhitungan ini menunjukan bahwa intimacy tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
3. Variabel Commitment
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.054 dengan signifikansi
0.534 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa commitment
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
4. Variabel Satisfaction
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.301 dengan signifikansi
0.002 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa satisfaction
berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Artinya, semakin tinggi satisfaction pada orang yang menikah maka
forgiveness mereka semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
94
5. Variabel Apology
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.152 dengan signifikansi
0.039 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa apology
berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Artinya, semakin tinggi apology pada orang yang menikah maka
forgiveness mereka semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
6. Variabel Honesty-Humility
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.126 dengan signifikansi
0.102 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa honesty-humility
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
7. Variabel Emotionality
Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.082 dengan signifikansi
0.184 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa emotionality
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
8. Variabel Extraversion
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.139 dengan signifikansi
0.035 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa extraversion
berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness. Artinya, semakin
tinggi extraversion pada orang yang menikah maka forgiveness mereka
semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
95
9. Variabel Agreeableness
Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.006 dengan
signifikansi 0.925 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa
agreeableness tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness
dalam pernikahan.
10. Variabel Conscientiousness
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.000 dengan signifikansi
0.995 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa
conscientiousness tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
forgiveness dalam pernikahan.
11. Variabel Openness to Experience
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.081 dengan signifikansi
0.206 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa openness to
experience tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan.
12. Variabel Gender
Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.070 dengan signifikansi
0.233 (p>0.05 hasil perhitungan ini menunjukan bahwa gender tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
13. Variabel Usia
Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.085 dengan signifikansi
0.146 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa usia tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
96
Persamaan Regresi Forgiveness
Forgiveness = 9.610 – 0.084 Trust + 0.108 Intimacy + 0.054 Commitment +
0.301* Satisfaction + 0.152* Apology + 0.126 Honesty-Humility
– 0.082 Emotionality + 0.139* Extraversion – 0.006
Agreeableness + 0.000 Conscientiousness + 0.081 Openness to
Experience – 0.070 Gender + 0.085 Usia
Keterangan : * = signifikan
Berdasarkan tabel koefisien regresi dan persamaan regresi di atas, terdapat tiga
variabel yang signifikan pengaruhnya forgiveness dalam pernikahan, yaitu:
1. Satisfaction dengan nilai Beta 0.301
2. Apology dengan nilai Beta 0.152
3. Extraversion dengan nilai Beta 0.139
Kemudian langkah selanjutnya peneliti menguji penambahan proporsi
varians dari tiap variabel bebas. Tujuannya adalah melihat signifikansi sumbangan
dari tiap IV. Untuk analisis lengkapnya dibahas pada sub bab berikut.
4.4.2 Pengujian proporsi varians pada masing-masing variabel independen
Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya
penambahan (incremented) proporsi varians dari tiap IV, yang mana IV tersebut
dianalisis secara satu per satu. Pada tabel kolom pertama adalah IV yang
dianalisis secara satu per satu, kolom ketiga merupakan total penambahan varians
DV dari tiap IV yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom keenam merupakan
nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom
ketujuh adalah harga f -hitung bagi IV yang bersangkutan, kolom df adalah derajat
bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan
97
denumerator, kolom terakhir adalah kolom Sig. F Change yang fungsinya untuk
mengetahui signifikansinya. Apabila p <0.05 maka IV memiliki sumbangan yang
signifikan. Jika signifikan artinya bahwa penambahan (incremented) proporsi
varians dari IV yang bersangkutan, dampaknya signifikan. Besarnya proporsi
varians pada forgiveness dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut :
Tabel 4.8
Proporsi Varians Masing-Masing Variabel Independen
Model R R
Square
Adjusted
RSquare
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
RSquare
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .349a .122 .118 12.84262 .122 27.503 1 198 .000
2 .517b .267 .260 11.75983 .146 39.141 1 197 .000
3 .518c .268 .257 11.78526 .001 .151 1 196 .698
4 .559d .313 .299 11.44773 .045 12.728 1 195 .000
5 .595e .354 .337 11.13248 .041 12.201 1 194 .001
6 .611f .373 .354 10.98941 .020 6.084 1 193 .015
7 .616g .379 .357 10.96464 .006 1.873 1 192 .173
8 .634h .401 .376 10.79692 .022 7.011 1 191 .009
9 .634i .402 .373 10.82343 .001 .066 1 190 .798
10 .634J .402 .370 10.85160 .000 12.684 1 189 .000
11 .638k .407 .373 10.82780 .005 1.832 1 188 .178
12 .642l .412 .374 10.81692 .005 1.379 1 187 .242
13 .647m .418 .378 10.78420 .006 2.136 1 186 .146
A. Predictors: (Constant), Trust
B. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy
C. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment
D. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction
E. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology
F. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty
G. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality
H. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion
I. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion, Agreeableness
J. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness
K. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Opennestoexperience
L. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness , Opennestoexperience, Gender
M. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality,
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Opennestoexperience, Gender, Usia
98
Maka dapat disimpulkan :
1. Variabel trust memberikan sumbangan varians sebesar 12.2% pada
forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar
0.000 (p<0.05).
2. Variabel intimacy memberikan sumbangan varians sebesar 14.6% pada
forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar
0.000 (p<0.05).
3. Variabel commitment memberikan sumbangan varians sebesar 0.1% pada
forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai
sebesar 0.698 (p>0.05).
4. Variabel satisfaction memberikan sumbangan varians sebesar 4.5% pada
forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar
0.000 (p<0.05).
5. Variabel apology memberikan sumbangan varians sebesar 4.1% pada
forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar
0.001 (p<0.05).
6. Variabel honesty-humility memberikan sumbangan varians sebesar 2%
pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai
sebesar 0.015 (p<0.05).
7. Variabel emotionality memberikan sumbangan varians sebesar 0.6% pada
forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai
sebesar 0.173 (p>0.05).
99
8. Variabel extraversion memberikan sumbangan varians sebesar 2.2% pada
forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar
0.009 (p<0.05).
9. Variabel agreeablenesss memberikan sumbangan varians sebesar 0,1%
pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan
nilai sebesar 0.798 (p>0.05).
10. Variabel conscientiousness memberikan sumbangan varians sebesar 0%
pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai
sebesar 0.000 (p<0.05).
11. Variabel openness to experience memberikan sumbangan varians sebesar
0.5% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik
dengan nilai sebesar 0.178 (p>0.05).
12. Variabel gender memberikan sumbangan varians sebesar 0.5% pada
forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai
sebesar 0.242 (p>0.05).
13. Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0.6% pada forgiveness.
Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.146
(p> 0.05).
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada 7 variabel yang signifikan berdasarkan
proporsi variansnya yaitu variabel trust, intimacy, satisfaction, apology, honesty-
humility, extravertion, dan conscientiousness, dengan variabel intimacy yang
memberikan sumbangan terbesar terhadap forgiveness dalam pernikahan.
100
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan secara lebih lanjut mengenai hasil
penelitian yang dilakukan. Dalam bab ini akan dimuat kesimpulan, diskusi dan
saran.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
hipotesis mayor dalam penelitian ini diterima. Artinya ada pengaruh yang
signifikan antara kualitas hubungan (trust, intimacy, commitment dan
satisfaction), apology, kepribadian (honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience), variabel
demografis (gender dan usia) terhadap forgiveness dalam pernikahan. Besar
kontribusi yang diberikan IV secara keseluruhan terhadap DV adalah 41,8%.
Kemudian pada hipotesis minor, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dari 13 variabel bebas yang diuji pengaruhnya terhadap forgiveness dalam
pernikahan, hanya ada tiga variabel yang pengaruhnya signifikan. Dimensi
satisfaction dari kualitas hubungan, apology dan dimensi extraversion dari
kepribadian HEXACO memiliki nilai koefisien regresi yang signifikan.
Meskipun hanya tiga variabel yang dinyatakan signifikan pengaruhnya
terhadap forgiveness dalam pernikahan, ada beberapa variabel lain yang memiliki
sumbangan pengaruh yang signifikan berdasarkan proporsi varians yaitu trust,
intimacy, honesty-humility, dan conscientiousness. Variabel-variabel tersebut
101
memiliki sumbangan varians yang berbeda-beda dalam pengaruhnya terhadap
forgiveness dalam pernikahan, dimana sumbangan varians terbesar didapat dari
dimensi intimacy pada variabel kualitas hubungan.
5.2 Diskusi
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara IV terhadap DV. Kemudian diketahui juga bahwa variabel
satisfaction, apology dan extraversion berpengaruh signifikan terhadap
forgiveness dalam pernikahan. Pengaruh ketiga variabel tersebut adalah pengaruh
dengan arah positif, artinya semakin tinggi skor satisfaction, apology dan
extraversion seseorang maka semakin tinggi pula skor forgiveness yang dimiliki
orang tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, dimensi dari kualitas hubungan yaitu
satisfaction memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness dengan arah
yang positif. Jadi dapat disimpulkan, semakin tinggi tingkat kepuasan seseorang
dalam hubungan pernikahannya maka semakin mudah seseorang melakukan
pemaafan dalam pernikahannya. Sedangkan tiga dimensi lain dari kualitas
hubungan, yaitu trust, intimacy dan commitment tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap forgiveness.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Mirzadeh dan
Fallahchai tahun 2012 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan
antara kepuasan pernikahan dengan pemaafan. Seorang yang lebih puas dengan
pernikahannya akan lebih jarang terlibat negative verbal behavior dengan
pasangannya sehingga masalah lebih mudah diatasi. Hubungan antara kepuasan
102
dan pemaafan terletak pada kecenderungan individu untuk melakukan perbaikan,
kedekatan individu dengan pasangan dan kerjasama yang baik antara mereka
dengan pasangan.
Kualitas hubungan khususnya kepuasan sangat berpengaruh terhadap
forgiveness, setidakhnya terdapat tujuh alasan yang menyebabkan seseorang
memaafkan karena pengaruh kualitas hubungan yang dimilikinya. Tujuh alasan
itu adalah individu merasa harus mempertahankan hubungannya dengan orang
yang berarti dalam hidup, memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasi
untuk melupakan rasa sakit hati, biasanya minat mereka dapat disatukan dan
memudahkan mendapatkan solusi, orientasi bersama yang meningkatkan
kesediaan untuk melakukan hal yang menyenangkan bagi pasangannya, memiliki
kenangan indah bersama pasangannya, individu merasa konflik yang terjadi
adalah untuk kebaikannya, kemudian dalam hubungan yang berkualitas orang
yang bersalah akan cenderung meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan
serta memulihkan hubungan pasca konflik (McCullough et al., 1998).
Selain itu Fincham (2009) juga menyatakan bahwa kepuasan
memengaruhi bagaimana perspektif orang yang tersakiti terhadap kejadian
menyakitkan. Mereka lebih mudah memaafkan karena tidak menghiraukan detail
kejadian menyakitkan yang mereka alami dan cenderung lebih memiliki banyak
kenangan indah bersama pasangan. Maka individu yang merasa puas dengan
hubungan dalam pernikahannya akan cenderung lebih mudah memberikan maaf
kepada pasangannya.
103
Kemudian penelitian ini juga menunjukan hasil bahwa variabel apology
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness dengan arah positif. Jadi
dapat disimpulkan, semakin sering / lengkap pasangan melakukan permintaan
maaf maka semakin mudah seseorang memaafkan pasangannya.
Hal yang sama pentingnya dengan memberikan maaf adalah kemauan
meminta maaf. Seseorang akan sulit memaafkan jika orang yang bersalah tidak
minta maaf dan berupaya memperbaiki kesalahannya. Beberapa penelitian
(Darby, Schlenker & Ohbichi dalam Wardhati & Faturohcman, 2008) menemukan
bahwa meminta maaf sangat efektif dalam mengatasi konflik interpersonal, karena
permintaan maaf merupakan sebuah penyataan tanggung jawab tidak bersyarat
atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya.
Penelitian lain yang menguatkan bahwa apology berpengaruh terhadap
forgiveness adalah penelitian oleh Takaku et al. (2001). Pelaku yang meminta
maaf akan menunjukan sebuah ketulusan dan kemampuan untuk dipercaya
sehingga konflik dengan pasangan lebih mudah terselesaikan. Kemudian
McCullough et al. (1998) juga menjabarkan sebuah mekanisme dari pemaafan,
proses memaafkan akan lebih cepat jika pelaku melakukan pengakuan dan
permintaan maaf ditambah lagi apabila hubungan yang dijalani menemukan
kepuasan.
Selanjutnya, hasil penelitian ini menemukan variabel dari kepribadian
yaitu extraversion memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness
dengan arah positif. Jadi dapat disimpulkan, semakin tinggi skor kepribadian
terbuka pada seseorang maka semakin mudah seseorang melakukan pemaafan
104
dalam pernikahannya. Sedangkan lima dimensi lain dari variabel kepribadian
HEXACO, yaitu honesty-humility, emotionality, agreeableness,
conscientiousness, dan opennes to experience tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap forgiveness.
Pengaruh extraversion terhadap forgiveness ini sejalan dengan beberapa
penelitian yang mengkorelasikan kepribadian dengan forgiveness. Pada penelitian
McCullough, Bellah, Kilptrick dan Johnson (2001) diketahui bahwa kepribadian
extrversion tidak memiliki kecenderungan untuk menyimpan rasa dendam.
Kemudian dalam penelitian Hafnidar (2013) juga diketahui bahwa individu
dengan skor extraversion tinggi memiliki skor forgiveness yang tinggi pula.
Individu dengan skor extraversion tinggi berarti memiliki kepribadian yang
hangat dan emosi yang positif.
Extraversion memiliki ciri pribadi yang ramah, hangat dan asertif
(Friedman & Schustack, 2008) serta cenderung penuh kasih sayang, senang
berbicara, dan menyenangkan (Feist & Feist, 2010). Karakter-karakter yang
dimiliki oleh seorang extraversion cenderung mempermudahnya untuk
memaafkan dan melepas rasa dendam.
Hal itu juga dikarenakan dalam kepribadian extraversion terdapat sikap
empati maka individu yang memiliki kepribadian extraversion dapat memahami
dan melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dari sudut pandang diri
sendiri dan mencoba untuk mengerti faktor apa saja yang melatarbelakangi
perilaku seseorang. Termasuk memahami dan memaklumi perbuatan yang
105
menyakitkan oleh pasangannya mungkin saja diakibatkan salah satunya oleh
kesalahannya juga.
Terakhir pengaruh variabel demografi yaitu gender dan usia, dari hasil
penelitian ini, dapat diketahui perempuan lebih pemaaf daripada laki-laki
kemudian responden yang termasuk kelompok dewasa madya memiliki skor
forgiveness yang lebih tinggi daripada dewasa muda, namun pengaruh ini tidak
signifikan.
Berdasarkan yang telah dijelaskan pada Bab 1 mengenai latar belakang
masalah penelitian ini bahwa dalam sebuah pernikahan sangat diperlukan
forgiveness untuk melepas emosi negatif, menjaga dan mempertahankan
hubungan serta memperbaiki keadaan. Meskipun forgiveness dalam pernikahan
sangat diperlukan namun kenyataannya sulit untuk melakukannya. Penelitian ini
membuktikan bahwa memaafkan bukanlah hal yang mudah karena hampir
setengah responden masih memiliki skor forgiveness yang rendah. Namun
kesulitan untuk memaafkan sebenarnya dapat diatasi dengan meningkatkan
kualitas hubungan, menghargai permintaan maaf pasangan, dan menjadi pribadi
yang lebih terbuka.
Forgiveness dalam penikahan merupakan hasil interaksi yang kompleks.
Beberapa penelitian menunjukkan memaafkan berhubungan dengan kebahagian
psikologis (McCullough et al., 2001), empati (McCullough et al., 1997),
permohonan maaf dan perspective taking (Takaku et al., 2001), atribusi dan
penilaian kekejaman orang yang menyakiti (McCullough et al., 2003). Pada sisi
lain, memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam kesejahteraan psikologis,
106
kesehatan fisik dan intimate relationship yang baik (Fincham et al., 2006). Ketiga
variabel yang signifikan yaitu satisfaction, apology dan extraversion sesuai
dengan penelitian terdahulu, meskipun penelitian terdahulu menyatakan pengaruh
yang signifikan juga ditemukan pada dimensi kualitas hubungan trust, intimacy
dan commitment (McCullough, 1998), kepribadian humility dan emotionality
(Neto & Mullet, 2004), dan pengaruh signifikan dari gender (Wade & Goldman,
2006) dan usia (Girard& Mullet, 1997).
Meskipun tidak signifikan, ada beberapa variabel yang menarik untuk
dibahas karena memiliki perbedaan hasil dengan penelitian terdahulu, yaitu trust
serta kepribadian honesty-humility dan agreeableness. Trust secara positif
signifikan memengaruhi forgiveness (Paleari et al., 2009; Cairns et al., 2005).
Namun pada penelitian ini pengaruh trust justru negatif. Alasan berikut bisa jadi
merupakan alasan yang tepat. Trust adalah keyakinan individu bahwa
pasangannya akan memperlakukannya secara adil dan terhormat (Guldner &
Swensen, 1995). Namun demikian, Leary (dalam Miller, 2012) mengungkapkan
bahwa salah satu faktor yang meningkatkan keterlukaan seseorang akibat tindakan
yang dilakukan oleh pasangan adalah individu itu berharap mendapatkan
perlakuan-perlakuan positif dari pasangannya. Maka bisa dikatakan bahwa
individu yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi merasa sangat terluka ketika
pasangannya berbuat kesalahan kemudian menjadi sulit melakukan pemaafan.
Selanjutnya, variabel dengan hasil menarik yang perlu dikaji kembali
adalah variabel honesty-humility. Secara umum, kejujuran merupakan komponen
penting untuk menjalin komunikasi yang lancar sehingga mempermudah
107
forgiveness. Namun dalam penelitian ini variabel honesty-humility tidak
memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini mungkin dikarenakan tingkat
kejujuran individu itu sendiri tidak begitu memengaruhi mereka untuk memaafkan
pasangan mereka, yang lebih diperlukan adalah kejujuran pasangan pada diri
individu itu. Bagaimana pasangan membuat pernyataan yang jujur dan terbuka,
akan mempermudah individu memiliki perspektif yang berbeda, yaitu perspektif
dari pasangannya.
Kemudian variabel agreeableness, individu dengan kepribadian
agreeableness lebih mudah melakukan pemaafan (Ashton dalam Neto & Mullet,
2004; Caperton, 2008; Hafnidar, 2013). Dalam konsepnya agreeableness
menggambarkan pribadi yang pemaaf, lembut, fleksibel dan penyabar. Namun
penelitian kali ini menunjukan hasil berbeda, agreeableness memberi pengaruh
negatif terhadap forgiveness. Dalam penelitian ini, agreeableness mengukur sikap
pemaaf pada individu secara umum, artinya dalam berbagai konteks dan setting,
bukan hanya dalam pernikahan. Sedangkan forgiveness dalam pernikahan
merupakan variable dengan konsep memaafkan khusus pada pasangannya.
Individu mungkin menjadi pemaaf pada orang lain, namun tidak pada
pasangannya. Hal ini disebabkan karena rasa sakit yang disebabkan oleh pasangan
lebih sakit daripada luka yang disebabkan orang lain.
Secara umum ketidaksesuaian/perbedaan yang dihasilkan dari penelitian
ini baik dengan hasil penelitian terdahulu maupun dengan asumsi peneliti
mungkin disebabkan oleh prosedur penelitian yang kurang baik, yaitu teknik
pengambilan sampel yang menggunakan teknik accidental sampling dimana
108
metode pengambilan sampel dengan memilih orang yang mudah dijumpai.
Sehingga, terdapat kemungkinan telah menyamaratakan pengalaman yang sudah
dijalani oleh orang-orang yang telah menikah. Kemudian ketidaksempurnaan
dalam mengadaptasi dan membuat alat ukur yang memungkinkan munculnya
social desirability. Serta kemungkinan sampel yang telah menjawab dengan tidak
serius dan tertutup dalam merespon beberapa pertanyaan. Oleh karena itu, dari
kelemahan-kelemahan tersebut sangat memungkinkan sekali hasil yang diperoleh
tidak sesuai dengan harapan peneliti.
5.3 Saran
Setelah melalui seluruh proses dan penyusunan laporan hasil penelitian, peneliti
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penelitian ini. Oleh karena itu,
peneliti membagi saran menjadi dua yaitu saran metodologis dan praktis. Agar
dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya dan masukan bagi
pembaca, pasangan menikah, dan masyarakat umum sehingga dapat mengambil
manfaat dari penelitian ini.
5.3.1 Saran Metodologis
1. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah untuk menggunakan teknik
probability sampling agar sampel lebih spesifik dan fokus pada tujuan
penelitian, sehingga mampu mendapatkan gambaran lain yang lebih baik
dari penelitian ini.
2. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 200 orang yang
menikah, untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk lebih
109
memperbanyak jumlah sampel yang berpartisipasi, agar hasil penelitian
yang dilakukan lebih representatif.
3. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa IV signifikan berpengaruh
terhadap forgiveness dalam pernikahan sebesar 41,8% dan 58,2%
dipengaruhi oleh variabel lainnya di luar dari penelitian ini. Sehingga
saran bagi penelitian selanjutnya, agar menambahkan variabel lain yang
memiliki pengaruh terhadap forgiveness seperti emphaty, attachment,
rumination, religiusitas, cognition, constraint, dan lain sebagainya.
4. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan melakukan pengkajian lebih
dalam pada variabel yang tidak signifikan dalam penelitian ini, antara lain
variabel trust, intimacy, commitment, honesty-humility, emotionality,
agreeableness, consciontiousness, gender dan usia.
5.3.2 Saran Praktis
1. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa dimensi satisfaction
dari kualitas hubungan berpengaruh signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan. Untuk itu, peneliti menyarankan pada suami maupun istri agar
berusaha meningkatkan kualitas hubungan, terutama kepuasan dalam
pernikahan. Kepuasan dalam pernikahan dapat dibentuk dengan sering
meluangkan waktu bersama untuk saling berbagi cerita dan rekreasi
keluarga, dengan begitu akan banyak memori indah mengenai
kebersamaan dengan pasangan.
110
2. Selain itu ditemukan juga bahwa variabel apology berpengaruh signifikan
terhadap forgiveness dalam pernikahan. Artinya, individu lebih mudah
memaafkan pasangannya yang meminta maaf. Untuk itu, peneliti
menyarankan pada pasangan menikah agar selalu meminta dan menerima
maaf dari pasangan apabila terjadi konflik dalam rumah tangga. Hampir
seluruh konflik rumah tangga disebabkan oleh kesalahan kedua belah
pihak, namun yang paling penting bukanlah siapa yang paling bersalah,
tapi siapa yang lebih dulu menyadari kesalahannya lalu kemudian
meminta maaf dan memperbaiki keadaan.
3. Terakhir, ditemukan bahwa dimensi extraversion dari kepribadian
HEXACO berpengaruh signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Untuk itu, peneliti menyarankan pada pasangan menikah untuk menjadi
pribadi yang lebih terbuka, sehingga masalah yang ada dalam kehidupan
pernikahan dapat terselesaikan melalui komunikasi yang terjalin baik. Hal
ini bisa dimulai dengan mengenali dan memahami perasaan diri sendiri
kemudian mengungkapkan dan mengekspresikannya pada pasangan.
Selanjutnya mencoba untuk berperilaku ramah dengan menanyakan
perasaan dan aktivitas yang dijalani oleh pasangan.
111
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, A. (2013). Manajemen konflik antarpribadi pasangan suami istri beda
agama. Tugas akhir. Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
Semarang.
Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press.
Ashton, M. C., & Lee, K. (2002). Six independent factors of personality variation:
a response to saucier. Europeans journals of personality, 16, 63-75.
Ashton, M. C., & Lee, K. (2007). Empirical, theoretical, and practical advantages
of the HEXACO model of personality structure. Society for Personality and
Social Psychology, 11(2), 150-166.
Badilag / Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (2012). Rekapitulasi faktor-
faktor penyebab terjadinya perceraian seluruh indonesia. Dokumen.
Badilag / Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (2014). Jumlah perceraian per
tahun seluruh Indonesia. Dokumen.
BKKBN online. (2013). Angka perceraian di Indonesia tertinggi di Asia-Pasifik.
Diambil pada 15 Mei 2014 dalam http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?
BeritaID=967.
Brehm, Sharon S. (1997). Intimate Relationships. (Second edition). New York :
McGraw Hill Companies.
Cairns, E., Tam, M., Hewstone, T. & Niens. (2005). Forgiveness in Northern Ireland.
Dalam kompilasi jurnal American Psychological Association. (2006).
Forgiveness: A sampling of research results. Washington, DC: Office of
International Affairs.
Caperton, D. (2008). An investigation of the reliability and validity of the caperton
forgiveness styles inventory. Disertasi. Indiana State University.
Chapman, G. & Thomas, J. (2006). The five languages of apology. Chicago:
Northfield Pubishing.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (4th
edition). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fazriyati, W. (2013). 13 rahasia seks pasangan menikah. Diambil pada 30 Mei 2014
112
dalam http://female.kompas.com/read/2013/06/11/11010422/13.Rahasia.Seks.
Pasangan.Menikah
Feeney, J. A. (2011). Hurt feelings in couple relationships: Towards integrative models
of the negative effects of hurtful events. Journal of Social and Personal
Relationship, 21, 487-508.
Feist, J. & Feist, G.J. (2010). Teori kepribadian (7th
edition). Jakarta: Salemba
Humanika.
Fincham F.D., Hall, J.H., & Beach, S.R. (2006). Forgiveness in marriage: current
status and future directions. Family Relations, 55, 415–427.
Fincham, F. D. (2009). Forgiveness: integral to a science of close relationships?. Family
Institute, Florida State University.
Fincham, F. D., Beach, S. R., & Davila, J. (2004). Forgiveness and conflict
resolution in marriage. Journal of Family Psychology, 18, 72-81.
Fincham, F.D., Paleari, G., & Regalia, G. (2002). Forgiveness in marriage: the role
of relationship quality, attributions, and empathy. Personal Relationships, 9,
27-37.
Friedman, H. S. & Schustack, M. W. (2008). Kepribadian: Teori klasik dan riset
model (3th
edition, first book). Jakarta: Erlangga.
Girard, M. & Mullet, E. (1997). Forgiveness in adolesent, young, middle age and
older adult. Journal of Adult Development, 4, 209-220.
Guldner, G. T., & Swensen, C. H. (1995). Time spent together and relationship
quality: Long distance relationship as a test case. Journal of social &
personal relationship, 12, 313-320.
Hafnidar. (2013). The relationship among five factor model of personality,
spirituality, and forgiveness. International Journal of Social Science and
Humanity, 3 (2), 167-170.
Hapsari, E. (2014). Mengapa sering terjadi perselingkuhan. Diambil pada 30 Mei
2014 dalam http://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/14/01/22/
mzrv4d-mengapa-banyak-terjadi-perselingkuhan.
Harrington, D. (2009). Confirmatory Factor Analysis. Oxford: University Press.
Helms, H. M & Buehler, C. (2007). Marital quality and personal well-being: A
meta-analysis. Columbia: Journal of Marriage and Family, 69, 576–593.
113
Hollist, C.S. & Miller, R.B. (2005). Perceptions of attachment style and marital
quality in midlife marriage. Family Relations, 54, 46-57.
Imelda, N. F. (2004). Hubungan antara komitmen perkawinan dengan pemaafan
pada istri yang merasa disakiti. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Kompas.com. (2011). Jujurlah tentang jumlah penghasilan anda. Diambil pada 30
Mei 2014 dalam http://female.kompas.com/read/2011/05/28/23060890/
Jujurlah.tentang.Jumlah. Penghasilan.Anda
Maltby, J., Wood, A.M., Day, L., Kon, T.W., Colley, A. & Linley, P.A. (2008).
Personality predictors of levels of forgiveness two and a half years after the
transgression. Journal of Research in Personality, 42, 1088–1094.
Markman, A. (2012). Why are people more forgiving when they get older?.
Diambil pada 15 Mei 2014 dalam
http://www.psychologytoday.com/blog/ulterior-motives/201204/why-are-
people-more-forgiving-when-they-get-older
McCullough, M. E., Fincham, F. D., & Tsang, J. (2003). Forgiveness, forbearance,
and time: The temporal unfolding of transgression-related interpersonal
motivation. Journal of personality and social psychology, 84, 540-557.
McCullough, M.E., Bellah, C.G., Kilptrick, S.D., & Johnson, J.L. (2001).
Vengefulness: Relationship with forgiveness, rumination, well-being and big
five. Society for personality and social psychology, 27 (5), 601-610.
McCulough, M. E., Rachal, K. C, & Worthington, E. L. (1997). Interpersonal forgiving
in close relationships. Journal of personality and social psychology, 73, 321-336.
McCulough, M. E., Rachal, K. C, Sandage, S. J., Worthington, E. L., Jr., Brown, S. W.,
& Hight, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships II:
Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social
Psychology, 75, 1586-1603.
Mercado, J., Cameron, E., Shekarforoosh, C., & Stratton, L. (2009). Forgiveness in
relation to marital satisfaction. Forgiveness & Marriage. Unpublished research
paper, Weber State University.
Miller, R. S. (2012). Intimate relationships (6th
edition). New York : McGraw Hill
Companies.
Mirzadeh, M. & Fallahchai, R. (2012). The relationship between forgiveness and
114
marital satisfaction. Journal of Life Science and Biomedicine, 2(6), 278-282.
Mischel, W. (2003). Introduction to personality (7th edition). United States of
America: Lehigh Press.
Neto, F. & Mullet, E. (2004). Personality, self-esteem, and self-construal as
correlates of forgivingness. European Journal of Personality, 18, 15–30.
Paleari, G., Regalia, C., & Fincham, F. D. (2009). Measuring offence-spesific
forgiveness in marriage: The marital offence-specific forgiveness scale (MOFS).
Psychological assessment, 21, 194-209.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development. (10th
edition,
second book). New York: McGraw-Hill.
Pedhazur, F.J. (1991). Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and
Prediction. USA: Thompson Learning Inc.
Philpot, C. (2006). Intergroup apologies and forgiveness. Thesis. University of
Queensland, Brisbane, Australia. Dalam kompilasi jurnal American
Psychological Association. (2006). Forgiveness: A sampling of research
results. Washington, DC: Office of International Affairs.
Pierce, G. D., Sarason, B., & Nagle. (1997). Assessing the quality of personal
relationship. Journal of personal and social relationship. 14(3), 339-356.
Sadarjoen, S. S. (2009). Empat pilar perkawinan. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam
http://female.kompas.com/read/2009/11/16/08330162/empat.pilar.perkawinan
Sari, K. (2004). Forgiveness pada istri sebagai upaya untuk mengembalikan
keutuhan rumah tangga akibat perselingkuhan suami. Skripsi. Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Setiawan, D. (2012). Definisi gender. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam
http://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-gender.html
Sondang, E. (2009). Seiya sekata soal uang. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam
http://m.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Seiya-Sekata-Soal-Uang
Strang, S., et al. (2014). Neural correlates of receiving an apology and active
forgiveness: An fMRI Study. PLOS ONE 9(2): e87654. doi:10.1371
Strong, B., De Vault, & Cohen (1989). The Marriage and Family Experiences (4th
edition). St Paul: West Publishing Co.
115
Takaku, S., Weiner. B., & Ohbuchi, K. (2001). A cross-cultural examination of the
effects of apology and perspective taking on forgiveness. Journal of
Language and Social Psychology, 20, 144-166.
Turner, J. S. (1996). Encyclopedia of relationship across the lifespan. New York:
Holt Richard & Winston.
Turner, J.S. & Helms, D.B. (1995). Lifespan developmental (5th
edition). New
York : Holt Richard & Winston.
Undang-undang Republik Indonesia. (1974). Undang -Undang Republik Indonesia
Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wade, N. G. & Goldman, D. B. (2006). Sex, group composition, and the efficacy of
group interventions to promote forgiveness. Group Dynamics: Theory,
Research, and Practice, 10 (4), 297-308.
Wade, N. G. & Worthington, E. L. (2005). In search of a common core: a content
analysis of interventions to promote forgiveness. Educational publishing
foundation, 42, 160-177.
Wahyuni, S. (2004). Kontroversi pernikahan beda agama di Indonesia. Artikel.
Wardhati, L. T. & Faturochman.(2008). Psikologi pemaafan. Buletin Psikologi UGM.
Wikipedia. (2014). HEXACO model of personality structure. Diambil pada 15 Mei
2014 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/HEXACOmodel_of_personality
structure
Worthington, E.L. (1997). Dimensions of forgiveness. Downers Grove, IL:
InterVarsity Press.
top related