gambaran sino-nasal outcome test 20 (snot-20) pada
Post on 25-Oct-2021
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Laporan Penelitian
GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA
PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA
TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG
Oleh:
Putu Dian Ariyanti Putri, Sari Wulan Dwi Sutanegara
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Rinosinusitis adalah peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus
paranasal. Penyakit ini hingga saat ini masih merupakan tantangan di bidang
THT-KL, karena berdampak besar dalam berbagai aspek antara lain aspek kualitas
hidup dan aspek sosioekonomi masyarakat. Penyebabnya bermacam – macam,
antara lain alergi, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan cuaca, hormonal,
obat - obatan.1
Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai
cermin dari peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah
keuangan yang besar untuk masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut
berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun
2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis
kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat.
Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok
usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis
lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia
prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan
perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis.1,2,3
Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun
psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga
2
sangat terkait dengan status kesehatan. Dewasa ini aspek kualitas hidup mulai
dipertimbangkan sehubungan dengan pengambilan keputusan untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya penilaian kualitas hidup terkait status kesehatan
berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap penderita dan untuk
mengevaluasi efek terapi. Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktik kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik
yang cukup serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait
kesehatan. 4
Sino-Nasal Outcome Test – 20 (SNOT-20) merupakan salah satu
instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas hidup dari penderita dengan
rinosinusitis. SNOT 20 terdiri dari 20 poin yang dinilai secara personal oleh
penderita rinosinusitis. Hingga saat ini belum ada data tentang karakteristik
penderita rinosinusitis berdasarkan kuisioner SNOT-20, maka peneliti ingin
melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis
berdasarkan SNOT-20.5
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah
gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis berdasarkan SNOT-20?
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita
rinosinusitis berdasarkan SNOT – 20.
I.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui karakterisktik penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang
Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung.
2. Mengetahui dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup penderita
rinosinusitis di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan
Desa Tihingan Klungkung.
3
I.4. Manfaat
Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis di Desa Yeh
Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung.
Disamping itu hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar strategi
manajemen penyakit secara holistik, terapi dan edukasi, sehingga diharapkan
dapat mencegah rekurensi dari penyakit ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal
Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang
hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.
Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran
udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka
inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka.
Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran
penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok
sinus anterior berhubungan dengan hidung.6,7
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina
perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka
inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara
duktus nasolakrimalis. 6,7
4
Gambar 1. Penampang sagital dari hidung dan sinus paranasal.6
Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior
cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum
dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior,
sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area
olfaktorius. Terdapat anastomosis diantara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri
etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem
vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran
infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksina nervus trigeminus. 6,7
Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi, humidifikasi,
penghangat udara dan resonansi suara. Saat inspirasi udara masuk ke vestibulum
dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai
nasal valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak
dengan permukaan mukosa hidung yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya
meningkatkan fungsi penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi. 6,7
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus
etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel
respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar
bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran
mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung
5
dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium.
Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung.7
Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding
lateral hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior.
Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior
yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior
terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka media.
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya
kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.8
Gambar 2. Penampang Koronal 4 pasang sinus paranasal. 6
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase
kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur
semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus
frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur
yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang
akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus.6,7,9
6
Gambar 3. Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal.6
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua,
gigi molar pertama dam kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi
tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus
dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila
dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang
nasal lateral, a.palatina descendens, a.alveolar superior anterior dan posterior.
Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan
cabang alveolar superior n. infraorbital.6,7
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid
anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal. Perdarahan
dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena
dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang
supratrokhlear dan supraorita n. V1. 6,7
Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke
infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus
superior. Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang
a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya
menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2
dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1. 6,7
7
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan
yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini
yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di
posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis
superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh
cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang
etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7
Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah
patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.
Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan
debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga
mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada
karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi
mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat
mempengaruhi transport mukosiliar.5,6
2.2. Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan
sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari
mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan
gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun
sinusitis. 10,11
Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire
survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan
populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16%
orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan
peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun
mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita
dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun
2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk
menderita rinosinusitis kronis.1,2,3
8
2.3. Etiologi Rinosinusitis
Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan
infeksi dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi
pada sinus paranasal dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti
faktor mikrobial, lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi,
genetik fisiologi dan imunitas.11
2. 4. Patogenesis Rinosinusitis
Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan
kelancaran pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan.
Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka
hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada
kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi
konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya.10,11
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan
ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan
penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman
patogen. Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,
proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-
lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus
9
dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi
inflamasi akan kembali terjadi.10,11
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya
sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,
sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus
dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan
kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam
mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel
polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat
kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan
vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan
terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi
pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan
sistemik.10,11
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi
konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi
saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM
yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 10,11
2. 5. Gejala dan Tanda Klinis
Berdasarkan anamnesis, penderita biasanya mengeluh adanya nyeri
terutama pada daerah sinus yang terkena disertai dengan sakit kepala, hidung
buntu, hidung berair atau gangguan penghidu. Keluhan lain yang antara lain
adanya rasa dahak di tenggorok, nyeri gigi, nafas berbau, nyeri telinga atau telinga
terasa penuh, nyeri pada gigi dan demam. 1,10,11
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat terjadinya edema atau perubahan
warna pada daerah disekitar wajah. Bila terdapat sinusitis pada saat di palpasi
maka bagian disekitar pipi dan sekitar mata akan terasa sakit. Pemeriksaan
10
intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang terjadi
ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen. 10,11
Rinoskopi anterior dilakukan utnuk mengevaluasi keadaan mukosa
hidung, menilai adakah inflamasi, sekret pada mukosa hidung dan meatus media,
deformitas atau deviasi pada septum. 10,11
2. 6. Pemeriksaan Penunjang
Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain
Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto
rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema
permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan edema tampak
seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan
permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila
biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika
cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya air fluid
level pada foto dengan posisi tegak. 10,11
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-
Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. 10,11
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
11
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit. 10,11
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya
kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat
mengetahui adanya polip atau tumor. 10,11
2. 7. Diagnosis
Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis yang dibentuk oleh American
Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS) diagnosis
rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala
mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada
wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau
anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala,
demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada
telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau
kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih
dari 12 minggu.10,11
2.8. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, karies atau ganggren gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.1,10,11
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
Antibiotika dapat diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus
mencakup β-laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu
amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua,
makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 –
14 atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika
12
alternatif seperti siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan
kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole. Jika dengan
antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada
faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi
maupun CT-Scan. 1,10,11
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung
dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum
adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-
hati.Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa. 1,10,11
Alergi berperan sebagai penyebab rinosinusitis kronis pada lebih dari 50%
kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga
kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama mempunyai
efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine,
acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine. 1,10,11
Kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi
lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan
perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya
kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat
semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang
karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan
kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama
dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat
diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung
terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.1,10,11
Rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat
dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
13
Caldwell-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan
usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun
dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwell-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar
tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat
sembuh kembali. 1,10,11
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah dengan
penggunaan endoskop yang memiliki pencahayaan yang terang, sehingga
lapangan operasi lebih jelas dan rinci. Bila terdapat kelainan patologi dirongga-
rongga sinus, jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal
dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar
secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila
dan frontal dapat teratasi. 1,10,11
2.9. Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses subperiostal yang
paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral. Komplikasi
lain yang dapat terjadi yaitu kelainan orbita yang disebabkan oleh sinus paranasal
yang berdekatan dengan mata. Penyebaran infeksi dapat terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema
palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis,
abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Kelainan paru
seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma
bronkial. 11
14
2.10. Efek Rinosinusitis Terhadap Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan pengalaman personal yang merefleksikan bukan
hanya status kesehatan tetapi faktor lain yang mempengaruhi kehidupan penderita
yang hanya bisa dideskripsikan oleh penderita tersebut sendiri. Salah satu bagian
dari kualitas hidup adalah kualitas hidup yang berhubungan dengan status
kesehatan, yang dapat didefinisikan sebagai pengalaman individu yang subjektif
baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat kesehatan,
penyakit, dan disabilitas. Hal tersebut diatas sangat tergantung pada usia
penderita, kebiasaan, ekspektasi dan kemampuan fisik serta mental.4
Rinosinusitis masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik
kedokteran. Rinosinusitis secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup
serius sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Hal
tersebut disebabkan karena gejala yang ditimbulkan seperti hidung tersumbat yang
diikuti oleh rinore, gangguan penciuman, nyeri pada wajah dan nyeri kepala yang
dapat memberikan dampak terhadap aktivitas harian penderita. Gejala tersebut
mengakibatkan penurunan prodiktifitas dan kehilangan hari kerja yang cukup
signifikan yaitu sekitar 3% hari kerja penduduk produktif atau 73 juta hari kerja.
Jika terjadi pada anak sekolah maka akan menurunkan kemampuan belajar anak
tersebut. Masalah yang lebih kompleks seperti gangguan tidur, gangguan
psikologis seperti perubahan suasana hari, depresi, cemas, lemas, dan disfungsi
seksual merupakan hal yang bisa muncul karena gejala rinosinusitis yang
timbul.4,12,13,14
Saat ini penilaian penatalaksanaan rinosinusitis menyangkut kualitas hidup
terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup terkait
kesehatan terhadap rinosinusitis terus dikembangkan yang ditandai dengan
banyaknya alat ukur yang telah di validasi antara lain nasal symptom
questionnare, Rhinosinusitis Outcome Measure (RSOM-31), Sinonasal Outcome
Test-16 (SNOT-16), SNOT-20, SNOT-22, Chronic Sinusitis Survey (CSS),
Rhinosinusitis Disability Index (RSDI), Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI),
Rhinosinusitis Quality of Life survey (RhinoQoL).4
15
2.11. Sino-Nasal Outcome Test 20 (SNOT-20)
SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai
kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 20 poin penilaian
yang diisi secara personal dengan memberikan skor pada masing-masing poinnya.
Instrumen ini menilai masalah kesehatan yang berkaitan dengan sinusitis dengan
hubungannya ada masalah fisik, keterbatasan fungsional dan kondisi emosional.
SNOT-20 merupakan modifikasi dari 31-item Rhinosinusitis Outcome Measure.
Validitas SNOT-20 untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan
dengan konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis.
SNOT-20 merupakan instrumen yang mudah dilengkapi oleh penderita dan dapat
digunakan pada praktek klinik sehari-hari. SNOT-20 juga dapat membantu
menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas
hidup dan mengukur respon terapi yang diberikan.5,16,17,18
Total skor SNOT-20 dihitung sebagai nilai rata-rata untuk semua 20 item.
Kisaran skor SNOT-20 adalah 0-5, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan
terkait rinosinusitis beban kesehatan yang lebih besar.4
SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu pertanyaan yang berkaitan
dengan gejala hidung, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur dan
hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. Poin pertanyaan yang
berhubungan dengan gejala rinologi yaitu hidung buntu, bersin, hidung berair,
sekret kental dan post nasal drip. Poin yang berkaitan dengan gejala telinga dan
wajah yaitu telinga terasa penuh, pusing, nyeri telinga dan nyeri pada wajah atau
nyeri tekan. Susah tidur, terbangun pada malam hari dan tidur kurang berkualitas
merupakan poin yang berkaitan dengan gangguan tidur. Lemas, penurunan
produktifitas, penurunan konsentrasi, frustasi atau kurang istirahat atau iritabel,
sedih dan malu merupakan poin yang berkaitan dengan masalah psikologis. Dua
pertanyaan lain yaitu batuk dan terbangun dengan lelah tidak diklasifikasikan
sebagai salah satu dari 4 konstruksi mayor diatas.15
16
III. KERANGKA KONSEP
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Yeh Embang Negara pada tanggal 25
Oktober 2014, Desa Tamblang Kubutambahan tanggal 23 November 2014 dan
Desa Tihingan Klungkung tanggal 5 Desember 2014.
4.2. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan
potong lintang. Kuisioner SNOT-20 digunakan untuk menilai kualitas hidup
penderita rinosinusitis.
4.3. Penentuan Sumber Data
4.3.1. Populasi penelitian
Populasi terjangkau adalah penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang,
Desa Tamblang dan Desa Tihingan Klungkung.
4.3.2. Sampel penelitian
Seluruh penderita rinosinusitis di Desa Yeh Embang, Desa Tihingan
Klungkung dan Desa Tamblang Kubutambahan yang datang pada saat dilakukan
Infeksi (bakteri, virus, jamur)
Obstruksi KOM
Rinosinusitis
Kualitas hidup
Lingkungan Host
17
pemeriksaan kesehatan di balai desa setempat. Sampel diambil dengan teknik
purposive sampling berdasarkan ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan
karakteristik populasi.
Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah penderita yang memenuhi
kriteria mayor dan minor berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria
Eksklusi adalah penderita dengan keganasan pada kepala leher dan penderita tidak
kooperatif.
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel bebas : rinosinusitis
Variabel tergantung : kualitas hidup
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan
sinus paranasal. Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya
2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor.
Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair
atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut.
Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri
gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan
akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala
terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu.
2. Kualitas hidup adalah komponen penilaian terhadap kesehatan, dan kualitas
hidup yang dipengaruhi oleh kesehatan yang terdiri dari aspek problem fisik,
keterbatasan fungsional dan emosional. Variabel ini diukur menggunakan
kuisioner Sino Nasal Outcome Test-20 (SNOT-20).
3. Jenis kelamin adalah karakteristik baik secara biologi maupun fisiologi yang
dikategorikan sebagai perempuan dan laki-laki.
4. Usia adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran.
18
4.5. Kerangka Penelitian
4.6. Analisis Data
Hasil penelitian disajikan secara desriptif dalam bentuk tabel dan narasi.
V. HASIL PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang
Singaraja dan Desa Tihingan Klungkung. Pada penelitian ini didapatkan total
sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 orang. Data karakteristik
sampel berdasarkan masing-masing desa disajikan dalam tabel 1. Total sampel
dari Desa Yeh Embang yaitu 35 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 19
orang (54,3%) dan 16 orang (45,7%) perempuan. Rentang usia terbanyak yaitu 25
- 45 tahun sebanyak 16 orang (45,7%). Sampel Desa Tamblang terdiri dari 10
orang (58,8%) laki-laki dan 7 orang (41,2%) perempuan. Rentang usia terbanyak
yaitu 25-45 tahun sebanyak 6 orang (35,3%). Dari Desa Tihingan didapatkan
sampel laki-laki sebanyak 9 orang (56,3%) dan 7 orang (43,7%) perempuan.
Populasi
Anamnesis Pemeriksaan THT
Sampel
SNOT-20
Hasil
Analisa Data
Kriteria Inklusi dan eksklusi
19
Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur
Desa Karakteristik N %
Yeh Embang Jenis Kelamin Laki-laki 19 54,3
Perempuan 16 45,7
Umur ˂ 25 tahun
25 – 45 tahun
45 – 65 tahun
˃ 65 tahun
5
16
10
4
14,3
45,7
28,6
82,8
Tamblang Jenis Kelamin Laki-laki 10 58,8
Perempuan 7 41,2
Umur ˂ 25 tahun
25 – 45 tahun
45 – 65 tahun
˃ 65 tahun
2
6
5
4
11,8
35,3
29,4
23,5
Tihingan Jenis Kelamin Laki-laki 9 56,3
Perempuan 7 43,7
Umur ˂ 25 tahun
25 – 45 tahun
45 – 65 tahun
˃ 65 tahun
1
8
6
1
6,25
50,0
37,5
6,25
Total Jenis Kelamin
Umur
Laki-laki
Perempuan
˂ 25 tahun
25 – 45 tahun
45 – 65 tahun
˃ 65 tahun
38
30
8
30
21
9
55,9
44,1
11,8
44,1
30,9
13,2
20
Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa Yeh
Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin (2.51), sekret
pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4). Nilai rata-rata
total skor SNOT-20 yaitu 1.80. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Skor SNOT-20 di Desa Yeh Embang
Nilai Rata-rata
Hidung buntu
Bersin
Hidung berair
Batuk
Postnasal drip
Sekret kental pada hidung
Telinga penuh
Pusing
Nyeri telinga
Nyeri wajah/nyeri tekan
Sulit tidur
Terbangun di malam hari
Tidur kurang berkualitas
Lelah saat bangun
Lemas
Produktivitas menurun
Penurunan konsentrasi
Frustasi/kurang istirahat/Iritabel
Sedih
Malu
Total skor SNOT-20
2.62
2.51
2.11
1.49
2.09
2.49
1.57
1.60
0.60
1.91
1.71
1.63
1.69
1.82
2.43
1.94
2.43
1.57
1.06
1.23
1.80
Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa
Tamblang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24),
21
sekret pada hidung (2,29), post nasal drip (2.17) dan lemas (2.05). Nilai rata-rata
total skor SNOT-20 yaitu 3.22. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Skor SNOT-20 di Desa Tamblang
Nilai Rata-rata
Hidung buntu
Bersin
Hidung berair
Batuk
Postnasal drip
Sekret kental pada hidung
Telinga penuh
Pusing
Nyeri telinga
Nyeri wajah/nyeri tekan
Sulit tidur
Terbangun di malam hari
Tidur kurang berkualitas
Lelah saat bangun
Lemas
Produktivitas menurun
Penurunan konsentrasi
Frustasi/kurang istirahat/Iritabel
Sedih
Malu
Total skor SNOT-20
2.24
2.41
1.82
1.64
2.17
2.29
1.41
1.41
0.76
1.82
1.58
1.41
1.52
1.52
2.05
1.29
1.52
1.29
1.00
1.00
3.22
Berdasarkan total skor kuisioner SNOT-20 yang didapatkan di Desa
Tihingan, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.93), bersin (2.56),
hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43) dan lemas (2.31). Nilai rata-rata
total skor SNOT-20 yaitu 1.66. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.
22
Tabel 4. Skor SNOT-20 di Desa Tihingan
Nilai Rata-rata
Hidung buntu
Bersin
Hidung berair
Batuk
Postnasal drip
Sekret kental pada hidung
Telinga penuh
Pusing
Nyeri telinga
Nyeri wajah/nyeri tekan
Sulit tidur
Terbangun di malam hari
Tidur kurang berkualitas
Lelah saat bangun
Lemas
Produktivitas menurun
Penurunan konsentrasi
Frustasi/kurang istirahat/Iritabel
Sedih
Malu
Total skor SNOT-20
2.93
2.56
2.50
1.19
1.93
2.43
1.44
1.75
0.63
1.81
1.50
1.31
1.31
1.13
2.31
1.31
1.69
1.5
1.06
1.5
1.69
VI. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian
dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran
kualitas hidup penderita rinosinusitis.
23
SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk menilai
kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor
yaitu poin pertanyaan berkaitan dengan gejala rinologi, gejala hidung dan wajah,
fungsi dan gangguan tidur dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis.
SNOT-20 merupakan modifikasi dari RSOM-31 yang sudah divalidasi untuk
menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan konsistensi internal,
reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis. Schalek4 mengemukakan bahwa
diperlukan tiga kriteria dalam merumuskan pengukuran dari kualitas hidup yaitu
penggunaan nilai secara global, menilai keparahan dan gejala yang paling
berpengaruh dan kemungkinan untuk penderita menambahkan gejala lain yang
mengganggu. Hal ini menunjukkan bahwa SNOT-20 merupakan pengukuran yang
terbaik terutama untuk menilai hasil operasi. Penelitian yang dilakukan van
Oene12 juga menyebutkan bahwa poin tertinggi untuk pemilihan kuisioner kualitas
hidup untuk rinosinusitis adalah RSOM-31 dan SNOT-20.
Pada penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh
Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Dari ketiga desa, sampel yang
terbanyak merupakan sampel dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38
orang (55,9%) dan 30 orang (44,1%) berjenis kelamin perempuan. Usia terbanyak
merupakan rentang usia 25-45 tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Penelitian
yang dilakukan oleh Zbislawski13 juga menunjukkan bahwa penderita rinosinusitis
lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu
52,7% dan 47,3%. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Wang2 yang
menunjukkan bahwa rinosinusitis lebih banyak terjadi pada perempuan daripada
laki-laki.
Berdasarkan nilai rata-rata tiap poin pertanyaan SNOT-20 yang didapatkan
di Desa Yeh Embang, 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu hidung buntu (2.62), bersin
(2.51), sekret pada hidung (2,49), lemas (2.43) dan penurunan konsentrasi (2.4).
Hal tersebut menunjukkan bahwa 3 poin tertinggi merupakan bagian dari gejala
hidung dan 2 poin selanjutnya merupakan masalah psikologis yang terjadi akibat
adanya gangguan pada hidung tersebut. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada
sampel yang ada di Desa Tamblang, dimana 4 pertanyaan tertinggi merupakan
gejala pada hidung yaitu bersin (2.41), hidung buntu (2.24), sekret pada hidung
24
(2,29), post nasal drip (2.17) dan aspek psikologis yaitu lemas (2.05). Hasil yang
didapatkan pada sampel di Desa Tihingan dimana 5 nilai rata-rata tertinggi yaitu
hidung buntu (2.93), bersin (2.56), hidung berair (2.50), sekret pada hidung (2,43)
dan lemas (2.31).
Hal tersebut diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pynnonen5, poin tertinggi dari pertanyaan SNOT-20 yaitu hidung buntu, hidung
berair, terbangun saat malam dan penurunan konsentrasi. Hasil yang sama juga
ditunjukkan oleh Piccirillo16 dimana 5 poin dengan nilai rata-rata tertinggi yaitu
post nasal drip, nyeri wajah atau nyeri tekan, hidung buntu, terbangun dengan
lelah dan lemas. Bezerra dkk18 juga menemukan bahwa item pertanyaan yang
dirasakan paling buruk meliputi hidung buntu, bersin, post nasal drip, sekret
kental, dan susah tidur. Seluruh penelitian ini menunjukkan adanya hubungan
gejala yang dirasakan, dalam hal ini merupakan gejala pada hidung yang akan
menyebabkan gangguan pada psikologis dan gangguan tidur pada penderita.
Kualitas hidup penderita rinosinusitis dipengaruhi oleh berat ringannya gejala
yang muncul, umur, kebiasaan, ekspektasi serta ketidakmampuan secara fisik dan
psikologis.
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus paranasal dan kemudian
dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan untuk mengetahui gambaran
kualitas hidup penderita rinosinusitis. Pada penelitian ini didapatkan total 68
orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang, Desa Tamblang dan Desa Tihingan.
Distribusi jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang (55,9%) dan perempuan
30 orang (44,1%). Usia terbanyak merupakan rentang usia 25-45 tahun yaitu
sebanyak 30 orang (44,1%).
Nilai rata-rata pertanyaan tertinggi didapatkan pada pertanyaan yang
berhubungan dengan gejala hidung yaitu hidung buntu, hidung berair, sekret
25
kental, dan post nasal drip. Nilai rata-rata pertanyaan lainnya didapatkan dari poin
yang berkaitan dengan masalah psikologis yaitu lemas dan penurunan konsentrasi.
7.2. Saran
Penelitian mengenai penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan
rinosinusitis perlu dilakukan untuk membantu menilai derajat dan efek dari
rinosinusitis terhadap status kesehatan, kualitas hidup serta mengukur
keberhasilan tindakan operasi yang dilakukan.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens w, Lund Vm Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, Jones
N, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
Rhinology. 2012;50(23): 45:1-305.
2. Wang DY, Wardani RS, SinghK, Thanaviratananich S, Vicente G, Xu G, et al.
A survey on the management of acute rhinosinusitis among Asian physicians.
Rhinology. 2011 Sep;49(3):264-71.
3. Soetjipto D, Wardhani RS. Guidline Penyakit THT di Indonesia. PP
PERHATI-KL.2007.
4. Schalek P. Rhinosinusitis-Its Impact on Quality of Life. Dalam : Marseglia
GL, editor. Peculiar Aspects of Rhinosinusitis. Edisi ke-1. China: InTech,
2011;h.3-26.
5. Pynnonen MA, KimHM, Terrell JE. Validation of the Sino-Nasal Outcome
Test 20 (SNOT-20) Domains in Nonsurgical Patients. Am J Rhinol Allergy.
2009;23:40-45.
6. Krouse JH and Stachler RJ. Anatomy and Physiology of the Paranasal
Sinuses. Dalam : Brook I, penyunting. Sinusitis From Microbiology To
Managemen. New York: Taylor & Francis Group. 2006; hal: 95-108.
7. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses.
Dalam: Snow JB and Ballenger JJ, penyunting. Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc. 2003; hal: 547-60.
8. Walsh WE and Kern RC. Sinonasal Anatomy and Physiology. Dalam: Bailey
BJ and Johnson JT, penyunting. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Edisi
ke-5. Volume ke-1. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; hal:
359-370.
9. Welch KC and Goldberg AN. Sinusitis. Dalam: Mahmoudi M, penyunting.
Allergy & Asthma, Practical Diagnosis and Management. New York:
McGrawHill. 2008; hal: 62-7.
10. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Kumar KA,
Kramper M, et al. Clinical Practice Guideline (Update) : Adult Sinusitis.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015;152(2S):S1-S39.
27
11. Johnson JT, Rosen CA, editor. Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Edisi ke-5. Volume ke-1. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins, 2014:h. 535-549.
12. Van Oene CM, van Reij EJF, Sprangers MAG, Fokkens WJ. Quality
Assessment of Disease-Spesific Quality of Life Questionnaires for Rhinitis
and Rhinosinusitis: A systematic review. Allergy. 2007;62:1359-1371.
13. Teul I, Zbislawski W, Baran S, Czerwinski F, Lorkowski J. Quality of Life of
Patients With Diseases of Sinuses. Journal of Physiology and Pharmacology.
2007;58(5):691-697.
14. Kalpaklioglu AF, Baccioglu A. Evaluation of Quality of Life: Impact of
Allergic Rhinitis on Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol.
2008;18(3):168-173.
15. Browne JP, Hopkins C, Slack R, Cano SJ. The Sinonasal Outcome Test
(SNOT): Can we make it more clinically meaningful?. Otolaryngology-Head
and Neck Surgery. 2007;136:736-741.
16. Piccirillo JF, Merritt MG, Richards ML. Psycometric and Clinimetric Validity
of The 20-item Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngology-Head
and Neck Surgery. 2002;126:41-47.
17. Lupoi D, Sarafoleanu C. SNOT-20 and VAS Questionnaires in Establishing
The Success of Different Surgical Approaches in Chronic Rhinosinusitis.
Romanian Journal of Rhinology. 2012;2(8):203-208.
18. Bezerra TFP, Piccirillo JF, Fornazieri MA, Pilan RM, Adi TRT, Pinna FR, et
al. Cross-Cultural Adaptation and Validation of SNOT-20 in Portuguese.
International Journal of Otolaryngology. 2011:20:1-5.
top related