hari wirawan ; komposisi musik etnis banyuwangi
Post on 30-Jan-2016
62 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Kecaruk: Komposisi Musik Etnis Banyuwangi
Hari Wirawan
Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Jalan Klampis Anom II, Sukolilo, Surabaya
Abstrak
Caruk dalam pengertian masyarakat Osing, berarti
memperadukan atau mempertemukan dua kelompok musik untuk saling berkompetisi, beradu kemampuan dalam berolah musikal.
Namun, yang terjadi justru usaha saling menonjolkan antar satu kelompok. Misi yang dibawakan cenderung untuk mengalahkan atau merendahkan kelompok lain. Superioritas menjadi hal yang utama.
Pada karya ini, caruk didekonstruksi menjadi Kêcaruk yang berarti bertemu, menyatu, dan melebur dalam sebuah kebersamaan. Tidak
ada yang lebih tinggi atau rendah semuanya setara dalam membentuk kesatuan komposisi musikal yang indah. Kêcaruk pada acara ini dibagi menjadi 4 segmen, yaitu Arak-Arak`an, Pêncak`an,
Kêndurèn, dan Hiburan.
Kata Kunci: Kompetisi, Dekonstruksi, Peleburan, Banyuwangi
A. Latar Belakang
Banyuwangi, merupakan daerah paling ujung dari provinsi
Jawa Timur. Secara administratif Banyuwangi terdiri atas 24
kecamatan dan terbagi menjadi beberapa desa. Penduduk
Banyuwangi didominasi 3 etnis besar yakni Osing, Madura, dan
Jawa. Ketiga etnis ini sudah mendiami wilayah Banyuwangi secara
turun-temurun. Terutama etnis Osing yang tertua dan dianggap
sebagai keturunan dari Kerajaan Blambangan.
Menurut kisah sejarah, Kerajaan Blambangan merupakan cikal
bakal dari lahirnya daerah Banyuwangi. Kerajaan Blambangan
diperkirakan sudah lahir sejak abad 15, namun secara bukti sejarah
baru diketahui pada abad 16 yakni masa pemerintahan Pangeran
Tawang Alun (1655-1691). Kerajaan Blambangan pernah berada di
bawah pemerintahan Kerajaan Bali (Buleleng) (1763-1767). Diyakini
pada masa itu, pengaruh budaya Bali masuk ke dalam budaya
masyarakat Blambangan, baik dari sistem kepercayaan sampai
kesenian. Ini terbukti dari corak kesenian masyarakat Osing yang
identik dengan kesenian masyarakat Bali. Sisa-sisa keturunan
Kerajaan Bali kini menetap di desa Patoman Banyuwangi. Sisa
penduduk Bali tersebut, diyakini merupakan keturunan dari prajurit
Kerajaan Bali, yang turut serta dalam peristiwa Puputan Bayu (Hadi
Sarjono, wawancara 16 Juli 2011).
Peristiwa Puputan Bayu merupakan perang besar yang terjadi
antara Kerajaan Blambangan terhadap VOC. Puncaknya terjadi pada
18 Desember 1771 dan kini tanggal itu diperingati sebagai hari jadi
Kota Banyuwangi. Peristiwa itu merenggut banyak korban dan
menyisakan sebagian kecil masyarakat Blambangan. Masyarakat
inilah yang kemudian melanjutkan kebudayaan dan masyarakat
pendatang menyebut mereka sebagai Wãng Osing.
Disinyalir ungkapan Osing berasal dari kata ‘tidak’. Penyebutan
ini diberikan bagi kelompok masyarakat asli Banyuwangi yang
enggan untuk hidup dengan pendatang dari luar daerah. Penyebutan
Osing juga melekat pada hasil kebudayaan seperti bahasa dan seni
(Anoegrajekti, 2003: 17).
Sikap enggan untuk hidup dengan pendatang diakibatkan
proses penaklukan yang terus-menerus terjadi di Banyuwangi.
Penaklukan ini dilakukan Kerajaan Bali, Kerajaan Pasuruan,
Kerajaan Bugis, Mataram, hingga VOC (Suprapta, 1986: 9-10).
Peperangan yang terus-menerus berdampak pada perubahan sifat,
sikap, karakter Wãng Osing yang semula halus menjadi spontan,
keras, dan kasar. Sifat ini direpresentasikan pada perilaku
keseharian yang tidak memakai strata kebahasaan dan terkesan
‘kasar’ serta diwariskan secara turun temurun (Karsono, 2004: 27).
Pada kehidupan sosialnya, Wãng Osing mengembangkan
sistem kompetitif dalam varian perilaku pergaulan sosial.Misal,
adanya dialek khas dari tiap desa sebagai identitas. Tiap desa
meyakini dialeknya merupakan bentuk asli dari dialek Kerajaan
Blambangan. Kenyataan ini menggambarkan proses kompetisi lebih
dominan daripada bentuk kerjasama dalam kehidupan sosial Wãng
Osing. Sifat kompetitif ini mendominasi pada konteks kehidupan
Wãng Osing,bahkan sampai perihal berkesenian yang mengenal
konsep caruk, yakni kegiatan bertemu untuk saling berkompetisi
secara virtuositas pada ajang kesenian.
Tidak jarang aksi caruk juga menjadi pondasi dari dendam
serta konflik di masyarakat. Ini terlahir dari gengsi sosial akibat
merasa kalah dalam kompetisi kesenian. Kemudian, dendam serta
konflik dimanifestasikan menjadi pertarungan ‘adu ilmu’. Alhasil
gelar masyarakat ‘ahli ilmu’ melekat kuat bagi masyarakat
Banyuwangi. Terlebih juga ditopang dengan banyaknya pendatang
yang pergi ke Banyuwangi untuk mencari ‘ilmu’, pesugihan, maupun
jimat sebagai ‘tameng diri’.
Jasa jual beli ‘ilmu’ Wãng Osing sudah terkenal sejak lama.
Bahkan beberapa partai politik acap menggunakan jasa ini dengan
tujuan tertentu. Hasil yang dituai masyarakat Osing tidak selaris
ilmu yang ia jual, bahkan justru membuahkan banyak eliminasi etnis
Osing yang dianggap ‘dukun’ pada tahun 1997-1999. Kejadian itu
juga menimbulkan keresahan bagi etnis lain yang merasa tak
nyaman. Akibatnya timbul kecurigaan pada kehidupan sosial sehari-
hari dan menjadikan tali kerukunan antar etnis kian mengendur
(Winandi, 2001: 166-170).
Ekspedisi pembelajaran tentang kekayaan kultural ke tanah
Blambangan hanya terkait dengan ‘ilmu’. Pembelajaran murni
tentang kekayaan Wãng Osing misal kesenian dan ritual, termasuk
kegiatan yang langka. Padahal Wãng Osingmemiliki varian seni dan
ritual yang impresif, antara lain: (1) Pêtik laut Muncar; (2) Barong; (3)
Angklung Caruk; (4) Kuntulan; (5) Kêbo-kêboan; (6) Mãcãpatanpacul
gowang; (7) Sêblang; (8) Gandrung; (9) Gêdogan; (10) Jangèr;
(11)Êndhog-êndhogan; (12) Rêngganis; (13) Kundharan; dan lain-lain.
Belum lagi lagu vokal Osing yang memiliki genre tersendiri, tersebar
mulai dari etnik hingga populer, mulai dari Padang Wulan hingga
Gènjèr-Gènjèr besutan Moehammad Arif yang terkenal sebagai ‘lagu
terlarang’. Meskipun sebenarnya lagu tersebut lahir dari ungkapan
kultural tentang kelangkaan bahan pangan, namun dipolitisir dan
akhirnya membuahkan peristiwa berdarah di masa G30/S/PKI.
Gerusan globalisasi sedikit banyak turut mengeliminasi jenis
kesenian dan ritual di atas. Kesenian yang seharusnya mampu
menguatkan sisi patriotik secara positif lambat-laun mulai berkurang
secara kuantitasnya. Kesenian-kesenian ‘asli’ kini sudah tak dapat
dinikmati lagi, semisal Angklung Paglak yang merupakan embrio dari
Angklung Caruk sekarang sudah hilang.Pendirian sekolah sebagai
upaya konservasi seni Osing di Laban (Kec. Rogojampi), juga tak
mampu mengakomodir kesenian-kesenian di atas, sekolah justru
kehilangan arah dan akhirnya tutup.
Seniman sebagai sumber daya utama banyak yang enggan
untuk ‘nakal’ dengan berinovasi. Padahal beberapa seniman
Banyuwangi yang ‘nakal’ banyak diburu aksinya untuk direkam dan
dijual produksi albumnya sampai manca negara. Tidak
mengherankan apabila nama-nama besar seperti Sahuni, Sunar, dan
Sayun laris menghiasi CD musik etnik Banyuwangi, itu merupakan
buah dari ‘kenakalan’ mereka. Style mereka diakui dan menjadi
panutan hierarki virtuositas di dunia seni Banyuwangi. Seniman-
seniman tersebut berasal dari Desa Rogojampi dan Singojuruh yang
mempunyai atmosfir kesenian yang kental dan merupakan tempat
kelahiran dari beberapa macam kesenian Banyuwangi. Kehidupan
seni di daerah lain dapat dikatakan tidak sebaik di kedua tempat
tersebut, dan cenderung defisit menghasilkan seniman dengan
virtuositas tinggi.
B. Pembicaraan Rujukan
Fenomena di atas mengusik jiwa komposer sebagai seniman.
Oleh karena itu, komposer berupaya untuk membuat komposisi
musik yang diberi nama Kêcaruk. Judul Kêcarukmenyerap dari istilah
Osing yakni caruk dengan ditambahkanawalan ke. Dengan
menambahkan ke pada kata caruk, dimaksudkan adanya perubahan
makna. Apabila caruk dalam istilah Osing adalah bertemu untuk
berkompetisi, maka Kêcaruk dalam konteks ini diartikan sebagai
tindakan bertemu untuk berasimilasi dan berinteraksi dalam ikatan
musikal.Pemakaian judul dari serapan kata Osing juga bermaksud
menyatakan budaya Osing sebagai wadah yang menampung budaya-
budaya dari luar seperti Jawa dan Madura.Komposisi karya musik
Kêcaruk menggabungkan berbagai unsur dari ketiga etnis Osing,
Madura, dan Jawa. Unsurnya antara lain: seniman, alat musik,
dialog pertunjukan, properti, maupun unsur yang paling inti ialah
pola jalinan musikal yang diambil dari pola musikal ketiga etnis baik
vokabuler maupun teknik garap. Penyatuan ini merupakan usaha
menafsirkan bentuk komunikasi antar etnis yang bersatu padu
membentuk keharmonisan.
A. Gagasan
Tata cara Islam acap digunakan sebagai bentuk ritual di
masyarakat Banyuwangi khususnya di Kalibaru Wetan. Berbagai hal
selalu dibungkus dengan selimut Islam. Kegiatan yang bernafaskan
Islami dipandang sebagai upaya pemersatu kerukunan dan diyakini
memiliki pahala apabila menjalankannya. Salah satu contohnya
ialah khitan. Kegiatan khitan merupakan pesan sunah dari Nabi
Muhammad S.A.W.; dan dijunjung tinggi sebagai tradisi secara
turun-temurun di KalibaruWetan.
Tradisi khitan di KalibaruWetan memiliki keunikan tersendiri.
Ini tercermin pada perlakuan anak yang akan dikhitan. Setiap anak
yang akan dikithan selalu diperlakukan istimewa. Anak tersebut
dinaikkan ke dokar yang ditarik kuda serta sudah dihiasi dengan
berbagai macam properti seperti balon, kertas warna-warni dan
aneka hiasan lainnya. Lalu dokar tersebut dikemudikan keliling
desa. Tidak cukup sampai disitu, orang tuanya di rumah
mempersiapkan jamuan istimewa sebagai ucapan syukur.
Bentuknya ialah acara kêndurènan,yakni upacara doa secara Islami.
Upacara ini melibatkan para tetangga dari berbagai etnis di
sekitar orang yang mengadakan hajatan tersebut. Keterlibatan
dibedakan menjadi dua jenis, yakni pekerjaan wanita dan pria.
Pekerjaan wanita spesifik pada urusan dapur, sedangkan pria pada
urusan acara. Pada proses hajatan(sejak pra sampai
13
haripenyelanggaraan) inilah tampak nyata tentang asimilasi.
Contohnya etnis Jawa yang hadir apabila berbicara dengan etnis
Osing menggunakan bahasa Osing dengan aksen Jawa. Begitu pula
dengan etnis Madura apabila bercakap-cakap dengan etnis Jawa.
Masing-masing etnis fasih menuturkan dialek etnis lainnya.
Simbol dari asmilasi lainnya juga hadir dalam acara, yaitu
pada prosesi tãnjãkan, yakni sebuah kegiatan mendistribusikan
materi kepada para kolega atau handai taulan yang hendak
diundang. Ini umumnya dilakukan pada saat pra acara hajatan. Isi
dari materi tersebut acap terdiri dari 3 benda, yakni rokok
(tembakau simbol orang Madura), kue (manusia Osing), dan
makanan (pribadi Jawa).
Pada acara khitan, interaksi yang terjadi menggambarkan
tentang persatuan dan menyingkirkan perbedaan antara satu
dengan lainnya. Satu etnis yang berciri Jawa, Madura, dan Osing.
Semuanya saling mengait dalam kegotong-royongan pada acara
khitan yang dianggap sebagai upacara pendewasaan, pembelajaran
dan pembersihan. Konklusinya khitan adalah kunci utama bagi
seorang anakuntuk memasuki tahap dewasa dan kegiatan peleburan
bagi tiap etnis.
Fenomenakhitan yang terjadi di atas menjadi gagasan
pengkaryauntuk mewadahi karya Kêcaruk.Alhasil tidak hanya dialek
atau pun simbol materi sebagai wujud peleburan.Musik yang
14
bersifatasimilatif tentunya jugamenjadi perlambangpeleburandari
sekat-sekat etnisitas di acara khitan tersebut.
B. Garapan
Fenomena peleburan etnis yang terjadi saat khitan menjadi
inspirasi dasar dalam menciptakan karya Kêcaruk.Simbol-simbol
serta perilaku yang hadir saat khitan tersebut dicoba diterjemahkan
pengkarya ke dalam bahasa bunyi. Penerjemahan dilakukan melalui
proses garap dan ditujukan bagi 3 unsur utama, bahasa, perilaku,
dan simbol.
Bahasa yang diucapkan tiap etnis pada acara khitan
diterjemahkan menjadi pola-pola melodis. Aspek kebahasaan
tersebut meliputiartikulasi, aksentuasi, dan intonasi. Artikulasi
adalah cara pengucapan, aksentuasi adalah penekanan pada suku
kata, dan intonasi adalah lagu kalimat. Cara menerjemahkan
tentunya dengan mengambil pola pelaguan kalimat dari tiap enis.
Misal dari kultur Madura, têmbèng pote mata, bengok pote tolang
(daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang
tanah); kultur Osing aclak, ladak, bingkak (sok tahu, sombong, acuh
tak acuh); kultur Jawapokok`embonek, sumãnggã, injih (yang penting
bermodal tekad, silahkan, iya). Pola pelaguan ucapan dari tiap etnis,
pengkarya tafsirkan menjadi suatu bentuk melodi.
Perilaku meliputi ekspresi tubuh yang dilakukan,baik dari cara
berjalan maupun tingkah laku dari karakter tiap etnis. Semua
15
perilaku tersebut ditafsirkan pada karakter musikal melalui
permainan ritme. Selain itu, juga melalui permainan warna bunyi
dari perpaduan instrumenmusik dari ketiga etnis. Tidak cukup
sampai disitu,penggunaan vokabuler teknik garapdari ketiga etnis
juga digunakan untuk dapat memperkaya penyajian.
Tembakau, kue, makanan, merupakan simbol-simbol yang
menjadi bagian dari upacara hajatan, ditransformasikan menjadi
pertunjukan Arak-Arak`an, Pêncak`an, dan Kêndurèn. Pada ketiganya
mengandung komposisi yang memiliki ciri musikal dari ketiga etnis.
Komposisi ketiganya berada pada domain acara hajatan yang disebut
Kêcaruk.
Pada dasarnya karya Kêcaruk merupakan acara hajatan
‘khitan’ yang digarap menjadi rangkaian pertunjukan dan terbagi
atas beberapa segmen. Segmen pertama ialah Arak-Arak`an, yaitu
prosesi mengarak anak yang akan dikhitan keliling desa
menggunakan tandu. Pertimbangan penggunaan tandu daripada
dokar seperti pada umumnya, karena dianggap memudahkan akses
di jalan sempit. Segmen kedua ialah Pêncak`an, yaitu sajian pencak
silat dan dipertontonkan bagi anak yang akan dikhitan. Segmen
ketiga ialah Kêndurèn, yaitu upacara mendoakan anak tersebut.
Segmen keempat ialah Hiburan, yaitu sajian pertunjukan musikal
yang dikemas dalam alur cerita.
16
1. Repertoar Arak-Arak`an
Secara garap tradisi, prosesi mengarak anak disertai dengan
repertoar tradisi. Bentuk garapan tradisi memakai sejumlah
instrumen antara lain: kêndhang 2 buah, kêthuk 2 buah (slendro),
cèng-cèng4 pasang, kêmpul, gong dan slompret (slendro). Penyajian
dilakukan secara konvensional seperti kêndhang sebagai
pamurbãirãmã, slompret sebagai penghadir melodi lagu, kêmpul dan
gong sebagai penegas sruktur, cèng-cèng dan kêthuk sebagai
penghias. Musik yang disajikan terikat secara metris dan seluruh
instrumen (kecuali slompret, kêmpul dan gong) hanya memainkan 2
hingga 3 pola interlocking.
Pada garapan ini pengkarya mencoba menghadirkan
instrumen tambahan antara lain: bêdug, pantus, lincangan, saronen
Madura, patrol, dan vokal. Bêdug, pantus, dan lincangan merupakan
instrumen yang kerap digunakan pada sajian musikKuntulan.
Instrumen saronen (pelog) pengkarya hadirkan untuk menggantikan
slompret. Tujuan penggantian untuk memunculkan kesan Madura.
Instrumen patrol dihadirkan untuk memperkaya bunyi perkusi.
Vokal yang dihadirkan berasal dari tiga vokabuler,yaituMadura yang
berbentuk pantun, Banyuwangi berjenis lagu vokal, dan Jawa yang
berciri gêguritan. Selain penambahandan penggantian, pengkarya
juga mengurangi sejumlah instrumen. Pengurangan dilakukan
dengan menyingkirkan gong. Penggantian instrumen pengkarya
17
lakukan pada kêthuk. Apabila pada garap tradisi kêthuk
menggunakan laras slendro bernada 1235 (ji, ro, lu, ma) atau 2356
(ro, lu, ma, nem), pada komposisi ini pengkarya ubah,yakni
mengganti kêthuk dengan instrumen bonang berlaras pelog
Jawatimuran dengan nada 23567 (ro, lu, ma, nem, pi). Ini
dimaksudkan untuk memunculkan kesan Jawa.
Pada karya ini, musik tidak disajikan secara terus menerus
seperti pada garap tradisi dan sesekali tidak terikat secara metris.
Pola jalinan beberapa instrumen seperti cèng-cèng, dirubah sehingga
tidak memunculkan kesan monoton. Selain itu cèng-cèng juga
menjadi penegas gerakan tari yang semula fungsi ini dipegang
kêndhang. Fungsi lain kêndhang, yakni sebagai pamurbã irãmã,
digantikan bêdug, pantus, lincangan, dan ketiga instrumen tersebut
juga difungsikan sebagai penegas gerakan tari. Teknik tabuh ketiga
instrumen tersebut yang semula hanya menggunakan satu tangan,
dirubah menggunakan kedua tangan. Kêmpul yang semula menjadi
penegas struktur, dirubah menjadi penegas dari melodi bonang.
Saronen dipakai sebagai penambah variasi melodi vokal.
Pada bagian ini, diawali dengan bunyi 5 Bonang yang dipukul
pinggirnya. Kemudian di sambung dengan bunyi cèng-cèngyang
dibunyikan dengan teknik timpalansecara dinamis. Selanjutnya,
diikuti dengan pantus dan lincangan serta diakhiri dengan jedor dan
18
gong. Komposisi musik ini diatur pergerakan dinamikanya yaitu
keras pada bunyi awal dan lembut pada akhirnya.
Pola Bonang
_. X . X . X . X . X . X. X . X X X X X X X X X _
Tabuh keras Lirih mengeras
Pola Kecer
_. . . . . . . . . X . X . X . X . . . . . . . ._
Keras Lirih
Jalinan Kecer
Cèng-cèng 1
j.X. XX j.X. XX
Cèng-cèng 2
Xj.Xj.X. Xj.Xj.X.
Cèng-cèng 3
XX.X XX.X
Cèng-cèng 4
. Xj.Xj.X .Xj.Xj.X
Cèng-cèng 5
X . X. X . X.
Cèng-cèng 6
.XX. .XX.
Instumen bêdug dan lincangan memberikan penekanan kesan
perkusif.
Bedug, Lincangan, dan Pantus . . . . j.B j.B j.B j.B jBBjBB jBB jBB
Jedor . . . . . . . . B B B B
19
Komposisi musik ini dilakukan 3 kali dan diakhiri dengan pola: . . . . B B B B
Pada bagian ini ketepatan pemain dalam membunyikan pola bagi
instrumen sangat diperlukanuntuk memunculkan jalinan untuk
mmunculkan kesan ceria. Komposisi bukã ini juga di selingi dengan
bunyi teriakan vokal.
Vokal
. o . o . o . ya . . . . . . . . . . . . . . . .
Pola pada awal komposisi musik ini arak-arak`an ini untuk
memunculkan kesan timpalan dengan tegas seperti akhiran yang
sudah di lakukan oleh bêdug. Belum ada jalinan melodi pada bagian
ini.
Komposisi ini dilanjutkan dengan jalinan bonang, kempul, gong serta
cèng-cèng pada bagian-bagian tertentu yang sebagai
pamurbãiramãadalah kêndhang,bêdug, pantus, lincangan dan jedor
ikut menimbulkan jalinan pada garap komposisi ini
Kêthuk 1 . 6 . 2 . 6 . 2 . 6 . 2 . 6 . 2
Kêthuk 2 j13 j.3 j13 j.3 j13 j.3 j13 j.3 j13 j.3 j13 j.3
j13 j.3 j13 j.3
Kêthuk 3 j.5 . . 1 j.1 . . 5 j.5 . . 1 j.5 . . 1
20
Kêndhang 1 (8x) _. N B O . N B O . N B O . N B I_
Kêndhang 2 (8x) _O j.N jOB . O j.N jOB . O j.N jOB . O j.N jIN
._
Selanjutnya terdapat motif garap ritmik. Ini sengaja di munculkan
untuk pengkayaan warna. Serta alur garap yang tidak monoton
metris sehingga tidak terkesan membosankan. Garap metris ini di
awali bunyi bêdug yang membuat pola putus-putus diikuti cèng-cèng
dan bonang membuat jalinan sendiri Setelah bedung dan cèng-cèng
berhenti. Hal ini komposer lakukan pengkayaan bunyi supaya
nampak ketika alat musik itu mandiri tanpa di sertai instrumen lain.
Selanjutnya dalam tempo lãmbã dihadirkan jalinan beberapa
instrumen yaitu cèng-cèng,kêmpul,jedorserta vokal bersama.
cèng-cèng
jXX. jXX. jXX. jXX. jXX. jXX. jXX. jXX.
He lare lare ayo mrene rame rame Sorak sorak hore nglipur ati larene Barong ambek manuke kang dadi tontonane
Ugo penarine kang ayu-ayu rupane
Garap vokal ini dilantunkan dua kali agar sajian pada bagian ini
lebih terasa bangunan melodinya dan tidak melulu pada garap
perkusinya. Setelah itu pada bagian selanjutnya penari meneriakkan
yel-yel.
2. Repertoar Pêncak`an
21
Sajian pencak pada umumnya hadir pada acara-acara hajatan
di masyarakat. Secara khusus pêncak`an hadir pada acara hajatan
seperti arisan. Pada karya ini pêncak`an, pengkarya hadirkan pada
acara khitan. Maksud penghadiran supaya pêncak`an dapat juga
disajikan dalam acara hajatan yang lain. Selain itu, pengkarya juga
mempertimbangkan aspek makna filosofis penghadiran pêncak`an.
Apabila selama ini hanya dihadirkan sebagai hiburan, pada karya ini
pêncak`an dihadirkan sebagai simbol kekuatan dari masyarakat.
Asumsi dasar penghadiran pencak, karena pengkarya meyakini
kekayaan tradisi salah satunya pêncak`an, merupakan ‘tameng’ bagi
masyarakat dari himpitan globalisasi yang terus menekan.
Konservasi dan inovasi dalam ruang kreativitas harus selalu
dilakukan sebagai upaya dalam menjaga ‘tameng’ tersebut.
Sajian pêncak`an pada umumnya menggunakan 2 buah
kêndhang yang saling berjalinan dalam permainannya. Juga terdapat
kêmpul dan bêdug, serta menghadirkan 3 kênong telok.Penyajian
repertoarnya hanya menggunakan 2 irama yakni lãmbã dan rangkêp.
Penyajian dilakukan secara berulang-ulang.
Pada komposisi sajian ini, dihadirkan instrumen tambahan
seperti têrbang, saron Banyuwangi (slendro), saronen Madura, suling
Banyuwangi, dan gong untuk menambah rasa sèlèhgêndhing. Irãmã
tetap mengunakan lãmbãdan rangkêp yang disajikan selang-seling,
tidak seperti garap tradisi yang berurutan dari lãmbã ke rangkêp.
22
Pola ritme juga dihadirkan secara berbeda dengan menghadirkan
sajian 3/4 dan 4/4 untuk memunculkan kesan dinamis. Selan itu,
juga dimunculkan vokal pantun yang semula tidak pernah hadir
dalam sajian pencak`an.
Penyajian dibagi menjadi 3 yaitu pencak putra, putri, dan
ganda. Pencak putra ditekankan pada penghadiran volume pukulan
saron yang keras dan cepat sebagai perlambang maskulinitas. Pola
tersebut dihadirkan sebagai berikut.
Bagian III . j55 j.5 j33 j.3 j55 j.5 .
. j55 j.5 j33 j.3 j55 j.5 2
. j55 j.5 j33 j.3 j55 j.5 .
. j55 j.5 j33 j.3 j55 j.5 g1
Berbeda dengan pencak putra, pencak putri lebih ditujukan
pada pemunculan karakter feminis. Penyajian alur musik pencak
putri melalui irãmã lãmbãditujukan untuk dapat memunculkan
karakter tersebut. Bagian ini dimulai dari permainan bonangan
sebagai berikut.
Irãmã Lãmbã Bonang ! 6 ! 5 ! 6 ! . ! 6 ! p5 ! 6 ! .
23
! 6 ! 5 ! 6 ! . ! 6 ! p5 ! 6 ! g.
Pada bagian irãmã lãmbã, komposer turut menghadirkan
permainan teknik timpal kêndhang. Bagian ini dimaksudkan untuk
memunculkan kesan kuat dari sifat feminis. Kesan kuat diperlukan
untuk menghias dinamika permainan musik. Teknik timpal
kêndhang dilakukan sebagai berikut.
Timpal Kêndhang
Kêndhang 1 O . O j.B j.B . j.I j.I j.O j.I j.I j.B j.B j.I
jBO
Kêndhang 2 . O . B B O I . I O I B B O B g.
Pencak ganda merupakan sajian pertarungan antara putra dan
putri. Penghadiran pertarungan antara dua gender yang berbeda
bukan dimaksudkan untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat,
namun hanya sebagai bentuk permainan pertunjukan semata.
Alur musik yang dibangun lebih menonjolkan pada permainan
suasana musikal guna mendukung adegan pertarungan. Pertama
dimulai dari penghadiran seruan vokal tak bersyair melalui
improvisasi pemusik yang bebas menurut perspektifnya. Kemudian
disahut oleh permainan perkusi seperti pantus, têrbang, bêdung,
24
bonang, kecer dan gong. Permaian perkusi ini terus dilakukan
sepanjang adegan pertarungan.
Menjelang akhir pertarungan disajikan vokal bersama oleh
para pemusik. Penyajian ini dimaksudkan untuk merubah suasana
dari adegan yang chaos pada pertempuran menuju pada bagian anti
klimaks atau selesaian, sekaligus penghantar menuju ke irama ¾
yang lebih cepat. Bentuk vokal tersebut sebagai berikut.
2 3 5 6 ! 6 5 6
Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho 5 6 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 1 2
Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho @ #@ ! 6 5 @
Ho Ho Ho Ho Ho Ho Ho
Bagian ¾ merupakan kemasan akhir dari sajian pencak ganda.
Pada bagian ini juga kembali menonjolkan permainan perkusi.
Namun, dengan tempo yang lebih cepat dalam sukat yang lebih
sempit dari sebelumnya. Selesaian dari sajian ini dilakukan secara
bersama-sama oleh seluruh instrumen. Berikut notasi dari bagian ¾.
Irãmã ¾, saron, têrbang, dan bêdug P P P g1
j11 j23 1 j11 j23 1 j11 j23 1 . . 5
j55 j6! 5 j55 j6! 5 j55 j6! 5 . . 3
j33 j56 3 j33 j56 3 j33 j56 3 . . 1
Pantus jBB B P gB
Têrbang 1 P jPP P jPP
Têrbang 2 jPP j.P jPP j.P
25
Têrbang 3 j.P jPP j.P jPP
Têrbang 4 j.P j.P j.P j.P
3. Repertoar Kêndurèn
Kêndurèn merupakan suatu upacara yang melantunkan
sholawatan sebagai bentuk ucapan syukur pada acara hajatan.
Namun, selama ini belum ditemukan ada yang
menggarapmusiksholawatan. Diduga ini terkait permasalahan musik
spiritual yang apabila digarap dapat mengendurkan nilai
spiritualnya. Namun, pengkarya justru tertarik untuk mengsisi celah
tersebut dengan menggarapmusiksholawatan.
Pada komposisi ini, pengkarya masih menggunakan instrumen
tradisi yang acap dipakai dalam sajian sholawatan, yakni têrbang.
Pengkarya hanya merubah bagian pola permainan. Perubahan pola
dilakukan pada bagianirãmãlãmbã dan rangkêp. Apabila dulu
seluruh insrumen berbunyi secara unison sekarang pengkarya rubah
dengan memasukkan unsur-unsur timpalan. Unsur-unsur timpalan
tersebut diwujudkan sebagai berikut.
Rangkêp
Têrbang I P jPB P B P jPB P B
Têrbang II P jPB B jBP P jPB B jBP
Têrbang III
26
j.P j.B j.B j.P j.P j.B j.B j.P
Têrbang IV P jBB P B P jBB P B
4. Repertoar Hiburan
Pada bagian ini pengkarya tdak berangkat dari panggung
hiburan tradisi. Panggung hiburan tradisi yang berkembang di
masyarakat pada umunya merupakan panggung hiburan dengan
satu tema pertunjukan semisal, Angklung, Khuntulan, Gandrung, dan
lain sebagainya. Pada panggung hiburan yang pengkarya buat ialah
berupa panggung yang menyatukan ragam etnis musik Banyuwangi.
Alhasil mau tidak mau pengkarya pun mengakomodir beragam pola
serta gaya musik etnis yang disatukan. Diharapkan juga karya ini
dapat memunculkan berbagai rasa dalam satu kesatuan yang
berbeda ibarat sajianrujak buah.
Instrumen yang digunakan pada acara hiburan antara lain:
slênthêm, saron, pêking, kêndhang, bêdug, kêthuk, bonang, patrol
bambu dan kayu, kluncing, têrbang, kêmpul dan gong, angklung,
biola, kêcèr dan cèng-cèng, suling, klunthung, vokal. Pada garapan
ini juga dimunculkan pola-pola yang tidak selalu metris tapi juga
ritmis.
Komposisi pada bagian ini di awali hentakan melodi dari 4
buah saron, 2 pêking dan 1 slênthêm. Kemudian di padukan
jalinannya dengan instrumen patrol bambu dan bonang.
27
Penghadiran instrumen berbeda material, yakni bambu dan besi
dalam komposisi ditujukan untuk memperkaya warna bunyi.
Bukã Saron, saron penerus, slênthêm (metris) _5 6 ! 2 ! 5 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2
. 3 3 5 3 5 2 3 5 6 1 5 . 6 ! 5
. ! ! 6 ! 6 5 3 5 3 5 3 5 3 5 3
. 6 6 5 6 5 3 2 5 ! 5 ! 5 2 5 3
5 ! 5 ! 5 2 5 3 6 5 6 ! 6 5 6 3
6 5 6 3 6 5 6 3 . . . . 5 2 5 3_
3/ ! 3/ ! 3/ ! 3/ ! 3/ ! 3/ ! 3/ ! 3/ ! g3/
! g1/ 5
1 2 3 2 1 2 3 2 5 Ho`ha 1 1 2 1
j.g!
2 y 2 1 2 y 2 1 6 3 6 5 6 3 6 5
5 ! 5 2 5 ! 5 2 . . . . . . . .
Patrol Bambu
Patrol Bambu Patrol 1
X I X . X I X .
Patrol 2
jXX j.I I I jXX j.I I I
Patrol 3
X jII j.I . X jII j.I .
Patrol 4
j.X j.X j.X j.I j.I j.I j.I j.I
Patrol 5
j.X . X X j.I . I I
Patrol 6
. X . X . I . I
28
5 ! 5 2 5 ! 5 2 . . . . . . . .
Pola Bonang . . . . . . . . . . . . . . . .
Pola Bonangan I dan III j56 j.5 j.6 5 j56 j.5 j.6 5 j56 j.5 j.6 5 j56 j.5 j.6
5
j6! j.6 j.! 6 j6! j.6 j.! 6 j56 j.5 j.6 5 j56 j.5 j.6
5
j6! j.6 j.! 6 j56 j.5 j.6 5 j.x . x j.x . x x x
Pola Bonangan II dan IV 2 1 j21 j.1 2 1 j21 . 2 1 j21 j.1 2 1 j21 .
3 2 j32 j.2 3 2 j32 . 3 2 j32 j.2 3 2 j32 .
2 1 j21 j.1 3 2 j32 j.x . x j.x j.x jxx . . .
1 5 6 3 5 2 3 1 j.1 . 1 j.1 . 1 1 g1
Suling dalam garap metris 1 . . . . 2 3 . . . . 5 . . . . 3 2 . . . .
2 . . 3 . . 5 2 3 . . . . 1 . . . . . 2 3 1 . . .
6 . . 1 . . .
Dilanjutkan oleh Bonang tunggal . # @ ! 6 ! ^ ^ @ # @ 6 @ # @ @
j.5 ! 5 2 5 ! 5 5 j.! 6 ! 5 ! 6 ! !
j.! 6 ! 5 ! 6 ! !
Dari bonang tunggal, dilanjutkan dengan garap bonang.
Pola Bonangan I j23 . 2 1 j23 . 2 1 j23 . 2 1 j23 . 2 1
j.5 j66 j.5 j66 j.5 j66 j.5 j66 j.5 j66 j.5 j66
j.5 j66 j.5 j66
j@! j.! j@! j.! j@! j.! j@! j.! j@! j.! j@! j.!
j@! j.! j@! j.!
j6! j5! j6! j5! j6! j5! j6! j5! j6! j5! j6! j5!
j6! j5! j6! j5!
Pola bonang di atas disajikan 4 kali. 2 putaran pertama dilakukan
dengan tempo pelan dan lirih. Selanjutnya dilakukan dengan tempo
29
cepat dan keras. Selanjutnya, setelah komposisi bonang disajikan
vokal bersama.
_. . . . 3 2 6 ! . . . @ . . # !_
(4x) Le Lo La Lo O ya
Selanjutnya dibunyikan kluntung sapi untuk memperkaya warna
bunyi yang dilakukan secara metris.
X I X I I X I X X I X I I X I X
X X I X X I X X I X I
Pada bagian ini juga di ikuti oleh bunyi bonang yang ditabuh bagian
pinggirnya.
. . . . jxx x jxx x . . . . jxx x jxx x.
. . x . . x . . x . x
Kotekan Patrol
X I X . X I X .
Garap kotekan patrol ini dilakukan 4 putaran. Setelah itu menuju
peralihan untuk ke tempo cepat yang diikuti angklung dengan teknik
kintilan untuk menguatkan suasana dinamis.
Angklung . ! ! 5 5 ! ! 5 5 2 5 6 5 3 2 1
Garap angklung ini dilakukan 4 kali, setelah itu menuju peralihan ke
irãmã lãmbã.
_j11 1 j11 1 jxxx jxx jxx_
_j.x j.x j.x jg.x_ 4x
_j.x . x j.x . jxx jxx x _ 2x
_j.x . x . xx . 6 _ . . . j.! j56 j!5 j32 1
30
j.! . 1 j.! . j56 j56 1
j.1 . 1 j.1 . j23 j23 1
1 3 2 5 3 6 5 ! ! 5 6 3 5 2 3 1
Sesudah itu, dilanjutkan dengan permainan bonang dan biola.
Permainan biola kemudian dilakukan secara berulang-ulang.
Bonang
2 5 2 j5xx g3
Biola 5 3 5 3 5 2 3 5 6 5 6 5 6 5 2 3
Pada bagian ini terdapat pola tabuhan saron. Dilakukan dua kali
putaran dan kembali lagi pada bagian sebelumnya dengan melodi
biola. Kemudian di lanjutkan dengan pola tabuhan kêndhang tiga
kali putaran. Berikutnya ke irãmã lãmbã.
Saron j.6 3 j.6 3 j.6 j31 j15 5 j.! 5 j.! 5 j.! j53 j36
3
Kêndhang jOP I jOP I jOP jIB O . jPP B jPP B jPP jBB O .
Masuk Irãmã Lãmbã . P . P B P P B
Pada garap lãmbã ini pola tabuhan bonang dilakukan imbal-imbalan
antara bonang satu dengan dua tiga dengan timpalan yang diselingi
oleh tabuh patrol. Melodi saron dilakukan empat putaran.
Bonang I dan III j.6 5 j.6 5 j.6 5 j.6 5
31
Bonang II dan IV 3 j.2 3 j.2 3 j.2 3 j.2
Patrol Bambu
jxx x jII I jxx x jII I . x j.x j.x .
x x x
Saron j55 5 j!! ! j55 5 j@@ @ # @ ! 6 5 ! ^ 5
1 3 2 5 3 6 5 ! ! 5 6 3 5 2 3 1
j.5 j.5 j.6 5 j.2 j.2 j.3 2 j.3 j.3 j.5 3 j.1 j.1 j.2
1
Dilanjutkan garappatrol kayu yang diatur pola tabuhannya untuk
dapat memunculkan suasana Kemaduraan.
Patrol Kayu
Bas . P . . . P . B
Babonan . jPP j.P j.B B B B .
Ting-tung I P I . I P I .
Selingan 1 I P I P I P I P
Selingan 2 j.I j.P j.P j.I j.I j.P j.P j.I
Tek-tek
jPx j.x jPx j.x jPx j.x jPx j.x
Tabuh saron gaya Jawatimuran dilakukan empat kali putaran
32
Saron 6 6 6 5 3 3 3 2 5 5 5 3 2 2 2 1
1 3 2 5 3 6 5 1 j.1 5 1 . 5 1 5 1
Kembali ke patrol kayu dan diakhiri dengan pola tabuhan saron
serta penyajian vokal.
Vokal j12 3 j23 5 j35 6 j56 !
oa e oa e oa e oa e j!6 5 j65 3 j53 2 j32 1
ea o ea o ea o ea o
Ilustrasi Biola dan Suling ! . . . . 6 . . . . @ @ # ! . . . 5 6 3 2 . .
6 . . . . ! . . . . 5 . . 2 . .5 . .3 2 1 . .
Pada bagian komposisi berikut ini pola tabuhan kêndhang tunggal
dan kêndhang rampak di padu dengan têrbang rampak di lakukan
secara bergantian.
Kêndhang tunggal dan têrbang rampak . . . jDD
j.D j.D O jPB jBP jBP P jDD
Kêndhang têrbang rampak
Kêndhang dan têrbang
Kêndhang j.O jOB jBO O j.O jOB jBO jOO jON jOO jNN jNO
Têrbang . . . P . . . P . . jPP P jON jOO jNN
N
. . jPP P
Kêndhang tunggal j.I N . jOO j.O j.D O .
33
Rampak Kêndhang O O O O B B B B O O O O B B B B
Cèng Cèng
. . . . . . . x . . . . . . . x
Rampak Kêndhang O O B B O O B B O O B B O O B B
Cèng Cèng
. . . x . . . x . . . x . . . x
Pada bagian akhir dari sajian hiburan ini di tandai oleh melodi saron
¾ yang diisertai dengan instrumen têrbang dan patrol.
Saron j12 3 j23 5 j35 6 j56 !
j!6 5 j65 3 j53 2 j32 1
Patrol
jII x jII x jII x jII x
jxx I jxx I jxx I jxx I
Têrbang jPP B jPP B jPP B jBB P jBB P jBB P
Dilanjutkan vokal tunggal sebagai ucap mantra mohon keselamatan.
Diteruskan dengan vokal sindhènan gandrung yang maknanya
tentang ajakan bagi sesama untuk selalu berbuat kebaikan.
Vokal tunggal 1 2 3 3 3 3 3 3 3 5 2 1 2 3
Duh Gusti Kang Maha Kuasa 1 2 3 3 3 3 3 3 5 2 1 2 3
Paring rahmat kanggo panguripan 3 5 6 6 6 6 6 6 ! 2 6
Mugi mugi angsal berkahe 3 1 3 3 3 3 3 . . . .
Ugi keselamatan para tari
34
Vokal bersama 6 6 ! 5 ! 5 6 . . .
Li li ro kantun 6 6 2 2 1 5 5 5 5 3 5
Sak kantune liliro yoga 3 2 5 ! 5 5 3 5 3 2 3
Yo sapanen dayok rika 3 2 5 6 5 5 5 6 3 2 2
Mbok sekurbo milu tama
Sesudah bagian ini pada prakteknya disajikan tarian jejer
gandrung dilanjutkan tarian paju. Meskipun sajian tersebut
sebenarnya bukan merupakan bagian yang turut untuk diujikan
sebagai karya komposisi. Namun, merupakan sajian yang dihadirkan
sebagai hiburan bagi masyarakat yang datang untuk menonton.
C. Penyajian Karya
Karya berjudul Kêcaruk ini disajikan di area terbuka dengan
luas 8 X 30 meter, di Kalibaru Wetan, Kabupaten Banyuwangi Jawa
Timur. Lokasi tersebut dipilih dengan alasan dekat dengan si
empunya acara khitan. Selain itu, lokasi tersebut sangat strategis
karena terletak di pusat kecamatan dan dekat dengan keramaian,
sehingga diharapkan dapat menyedot perhatian masyarakat luas.
Penyajian karya Kêcaruk ini memakan waktu sekitar 125
menit. Pertunjukan dimulai dari bentuk Arak-Arak`an, dilanjutkan
dengan Pêncak`an dan Kêndurènan serta terakhir acarahiburan.
Fokus utama dari penyajian ini ialah pada pertunjukan musikal.
Namun unsur lainnya yang sudah digarap, juga menjadi bagian
35
yang urgen bagi pertunjukan secara integral. Sedangkan bagian yang
tidak tergarap seperti apresiasi penonton dalam berbagai bentuknya,
setidaknya dapat menjadi salah satu pilar bagi atmosfir pertunjukan.
Gambar 1. Arena pertunjukan
D. Media
Musik merupakan unsur dominan yang disuguhkan. Penyajian
musik melibatkan unsur-unsur dari ketiga etnis baik dari segi
instrumen maupun teknik garap. Khusus pada penggunaan
instrumen dan teknik yang berasal dari etnis Jawa, pengkarya
menggunakan insturmen Gamêlan Jawatimuranbeserta teknik
permainannya. Opsi ini dilakukan atas pertimbangan,laras dari
instrumen Jawatimuran memiliki kedekatan terhadaplarasGamêlan
Madura danGamêlan Osing, sehingga apabila dipadukan tidak
menimbulkan bunyi kontras yang terlalu lebar. Media instrumen
serta teknikgarapyang digunakan secara integral dipaparkan sebagai
berikut.
36
Tabel 1. Instrumen
Instrumen
Osing Madura Jawa
Suling Perkusi Duk-duk Bonang
Biola Saronèn Têrbang
Kêthuk Kêndhang Bêndhe
Cèng-cèng Saron Banyuwangi Kêmpul dan Gong
Bêdug Kluncing Patrol
Slênthêm Pêking Angklung
Non Instrumen music
Klunthung Sapi
Tabel 2. Teknik dan Laras
Teknik
Osing Madura Jawa
Cacalan: Pola Daul Imbal
37
- Lãmbã
- Rangkêp
Timpalan:
- Prapatan
- Tengahan
- Engselan
Pola Saronen Racik Bonang
Kinthilan
Laras
Slendro Banyuwangi Slendro Madura Slendro Jawatimuran
Vokal juga turut disajikan pada karya ini. Penyajian disajikan
sejak proses Arak-Arak`an sampai pada Kêcaruk, dengan bentuk
yang beragam. Pada Arak-Arak`an penyajian vokal meliputi lantunan
lagu Barong Manuk serta meneriakkan yel-yel namaanak yang
dikhitan oleh para penari. Kemudian pada pêncak`an penyajianvokal
berupa syairan yang berciri pantun. Selanjutnya
padaKêndurènan,disajikan vokalSholawat yang dikombinasikan
dengan musik Hadrahyang sudah digarap supaya berciri
Banyuwangi, Madura, dan Jawatimuran. Terakhir pada hiburan,
disajikan lantunan mantra dan lagu Lilirã Kantun.
E. Deskripsi Sajian
Penyajian dimulai dariprosesi Arak-arak`an.Formasi pada
prosesi ini diawali dari Barong, kemudian diikuti penari kelompok
38
pertama, anak yang dikhitan, burung, penari kelompok kedua, dan
pemusik. Sajian musik pada bagian ini terbagi menjadi 6 bagian. 2
Bagian dibunyikan ketika prosesi berjalan. 2 Bagian lainnya
dibunyikan ketika rombongan berhenti pada tempat yang sudah
ditentukan. Dua bagian terakhir dibunyikan ketika penari, Barong
dan Burung membentuk formasi gerakan. Sesudah seluruh bagian
disajikan, kemudian para penari meneriakkan yel-yel nama anak
yang dikhitan. Selanjutnya, rombongan kembali berjalan dam musik
disajikan mulai dari bagian awal.
Pêncak`an, menampilkan atraksi sebuah pertunjukan
pertarungan. Bentuk pencak menampilkan sajian tunggal putra dan
putri serta pasangan ganda. Di dalamnya juga menampilkan
penggunaan senjata. Bentuk musik yang disajikan lebih kepada
penegasan gerakan pencak. Pola-pola perkusif yang membayangi
gerakan penari lebih dominan pada segmen ini. Berbeda dengan
musik pada segmen sebelumnya yang lebih menegaskan ke bentuk
musik prosesi.
Kêndurènan, menampilkan musik dalam upacara keagamaan.
Pada bagian ini pengkarya bermaksud untuk memunculkan
kekuatan musik spiritual dari hasil asimilasi garapdari vokabuler
ketiga etnis. Wadah penyajian musik pada bagian Kêndurènanjuga
bermaksud menggambarkan bungkus Islami yang selalu menjadi
39
sampul dalam setiap kegiatan masyarakat, serta dapat menjadi
wadah persatuan yang solid bagi ketiga etnis.
Hiburan, menampilkan sebuah bentuk penyajian akulturasi
musik. Pertunjukan ini memakai berbagai macam instrumen musik
dari ketiga etnis. Selain itu, juga digarap dengan pola-pola musik
dari ketiga etnis, baik teknik memainkan instrumen hingga cengkok-
cengkok yang melambangkan dialek, karakter dari ketiga etnis
tersebut.
a.Daftar Pustaka
Anoegrajekti, N. 2003. “Bahasa Using Bukan Bahasa Jawa”,
Ngaji Budaya, buletin bulanan, ed.03. Jakarta: Desantara Utama.
Karsono. 2004. “Membangun Identitas: Kompetisi Musikal Pertunjukan Angklung Caruk Banyuwangi”. Skripsi S-1 Etnomusikologi. Institut Seni Indonesia Surakarta.
Suprapta, D. 1986. “Geografi Dialek Bahasa Jawa di Daerah
Banyuwangi”, makalah dalam seminar kebudayaan Jawa di
Jogyakarta 23-26 Juni 1986. Banyuwangi: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjend. Kebudayaan, Proyek
Penelitian dan Pengkajian kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Winandi, W. 2001. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi. Tesis S-2
Hukum. Universitas Diponegoro Semarang. Daftar Narasumber
Hadi Sarjono (66), penilik kebudayaan. Desa Kalibaru Wetan.
top related