jendela sang awatara
Post on 29-Jul-2015
360 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Untaian kata :
Adalah sebuah rahasia untuk
dipahami atas kebenaran itu dan
haruslah pula ditegakkan.
Pada judul penulisan kali ini
diberikanlah judul :
“JENDELA SANG AWATARA ”
Mengisahkan & menjabarkan
atas kebenaran itu tertanda
sebagai pula tapak.
TRI SULA
Awatara ialah sebuah simbul nama sebagai
sebutan kepada Dewa Wisnu dalam
menunaikan perjalanan sebagai utusan-Nya
untuk menata tatanan jagat dunia ini, dan
serta mendirikan pula kembali kerajaan
nusantara yang di anggap hilang itu atas
peristiwa bencana terdahulu yang
sangatlah teramat dahsyat. Pun
disebutkannya dalam takdirnya itu ialah
sebagai pembuka pada jaman baru tertanda
atas karmanya pula.
Kini sang awatara tampil ke dunia nyata
dalam usianya yang sudahlah menggenapi
ke 43 tahun atas karmanya itu terlahir
kebumi, yang terlahir sebagai pemegang
amanah atas Petunjuk Sang Maha Pencipta
Alam Semesta yang sudahlah ditetapkannya atas karmanya itu tertulis pada rumusan kitab suci
yaitu pada tgl, 17 rabiulawal dihari jumat wage atau tertanggal 10 februari 2012 dan/atau
dengan kode tersandikan atas kelahirannya itu disebutkannya ialah dengan angka 1221, serta
selama delapan tahun saka pun disebutkan dalam serat pada sastra Jayabaya pada kutipan itu
tertanda, yang ialah :
“Sinungkalan Dewa Wolu, Ngasta Manggalaning Ratu “, pun disebutkanlah atas
sandinya itu tertuliskannya pula pada kitab suci orang percayai sebagai tandanya berada.
Disebutkanlah kembali atas terlahirkannya itu ialah sebagaimana pembawa amanah-Nya
disaat bumi ini sedang meratap dan merintih bak menjerit kesakitan dari atas segala peristiwa
demi peristiwanya itu, yaitu guna untuk diperbaikinya kembali serta untuk dibenahinya atas
kesejahteraan umat manusia yang kini sedang tercarut marut sebagai tandanya pada jamannya
disebut jaman Pra-panca, Maja-pahit atau disebut pula jaman Jahilliyah dan atau gunjang-
ganjing itu atas pertandanya.
Dan pun disebutkan sebagai pula simbul pada sang pandawa yang terlepas atas
pengasingannya itu selama memasuki pada tahun ke 14 lamanya, atau disebut pula tentang
perjalanan Pendeta Tong Sam Cong / Sun Go Kong pada kisahnya dalam perjalanan dari arah
barat menuju ke timur selama 19 thn lamanya. (terhitung setelah terlengsernya pemimpin yang
kedua terkaji sebagai sang Pandawa pertama itu yang terhianati oleh para kurawa atas
penghianatannya itu yang haruslah dipahami)
Tidaklah banyak manusia yang mengetahui bahwa sang awatara itu
sudahlah terlahirkan dan membawa Amanah-Nya itu, yaitu dengan
ditandainya pula atas peristiwa demi peristiwa bencana diseluruh
dunia disaat akhir pada jaman kini tertanda yang sedanglah
berlangsung atas bencananya itu terjadi.
Pemahaman oleh orang banyak saat ini atas terlahirnya sang awatara
itu tidaklah banyak yang mengetahui, dikarenakan manusia kini hanya
terfokus pada peradaban atas azas agamanya itu sebagai bahan
pembelajaran dari atas pembenarannya sebagai tandanya saja.
Pastilah banyak yang terkejut atas pemaparan pada tulisan kali ini sebagaimana pula dijelaskan
tentang maksud dari atas tujuan, dan haruslah dijadikan sebagai bahan pertimbangan atas
tampilnya sang awatara yang sudahlah terlahirkan ke dunia sebagai pemegang amanah-Nya itu
dimaksudkannya terjadi saat ini.
Jika pemikiran manusia saat ini terdoktrin oleh kitab sucinya itu hanya sebagai pegangan saja
dan tidaklah mengakui sang awatara itu sudahlah terlahirkan ke dunia secara nyata ada, maka
sesungguhnya sangatlah ironis atas pengetahuannya itu dalam pembelajarannya yang
menjadikannya arti dari sebuah kata yaitu sia-sia belaka kini.
Maka kini para pakar dan atau para pembimbing umat manusia apapun namanya itu, haruslah
bertanggung jawab atas situasi yang sudahlah terjadi kini dari atas takdir-Nya itu tertanda.
Pertanggungjawaban kepada para umat manusia oleh para pakar ahli dalam bidang agama
diseluruh nusantara dan pula di dunia haruslah dilakukan dengan secepatnya. Jika tidak, maka
pertanggung jawaban itu haruslah di terimanya dan pula akan terimbas kepada keluarganya itu
kelak yang sudahlah tertulis pada halaman sastra atas karmanya itu tertandainya. Pun
disebutkan sebagai pendustaannya itu terhadap Sang Maha Pencipta Alam Semesta jika
mengabaikan peringatan ini atas perintah-Nya pula.
Kini sang awatara hanya menunggu hingga pada batas akhir yang sudah ditentukan pada serat
kitab sastra yang tertuliskan itu sebagaimana pula intisari daripada kitab suci yang dipercayai
orang banyak itu berada. Jika diabaikan dan mendustainya, maka janganlah menyebutkan
kembali nama besar tuhanmu itu berada sebagai Maha menyinari, mengasihi dan lainnya itu.
(maka mereka itu disebut pula sebagai para kaum Lud berada yang patut dihukum dan kelak
akan terpenggal batang lehernya itu oleh sang Batari Kali sebagai tumbalnya dan itulah
perjanjian kepada manusia yang menjadi pemimpin pada ajaran agama
itu jika mendustai atas perintah Tuhannya itu tertanda)
Disebutkan pula sebagai Kalimosada (Kali Maha Usada, yaitu wujud Batari
Kali / Dewi Mara) yang terkutip menjadi uraian Kalimat Syahadat. Dalam
hadist dikatakan pada arah kiblatnya yang haruslah diperbaiki untuk
tidak mengarah kepadanya di akhir jaman (terkutip), maka
sesungguhnya Kalimat Syahadat itu akan menjadi sempurna jika bukan
berkiblat kepada Kali Maha Usada itu tertanda pada arah baratnya.
Sinopsis :
Pada keyakinan orang-orang terdahulu yang memiliki gelar sebagai Bagawan Wiyasa atau
disebut Sang Pendeta sebagai penulisnya itu, ialah telah menyampaikan pesannya melalui
tulisan pada daun lontar guna untuk dipahami kemasa datang sebagai pengungkapannya
bahwa akan turunnya sang awatara itu ke dunia nyata kelak, yaitu dengan dituliskannya
beragam macam kutipan pada sastra sebagai tanda dari jendela rahasia tentang turunnya sang
awatara itu dari segala ciri-cirinya dimaksudkan dengan sangat jelas yang menakjubkan atas
pemaparannya itu. Dan kemudian disebutkan pula tentang menyambut sang awatara itu guna
untuk melepaskan kesengsaraan orang banyak dari atas bencana yang kelak akan terjadi
dengan sangatlah dahsyat pada akhir jaman penanggalan itu jika telah habis pada masa
waktunya tertandainya, yaitu tertanda sebagai tahun Ratu Maya atau disebut pula sebagai
tahun pada suku Maya (tahun masehi 2012 the end). Disebutkanlah bahwa Ratu Maya itu ialah
Ibunda dari Sang Budha itu sendiri sebagai pertandanya.
Dalam pemaparan oleh para Bagawan, terkaji bahwa sang awatara itu ialah utusan yang
pertama dan yang terakhir pada jaman manusia diakhir pada penanggalan sebagai pula
syairnya, yang atas perintah langsung oleh sang Maha Kuasa Tuhan Yang Esa guna turun
mewujudkan diri menjadi manusia memanglah tidak berlebihan dan tidaklah mengada-ada.
Sebelum sang awatara itu terlahirkan ke dunia atas petunjuk akan amanah-Nya itu ada,
sudahlah sangat dipuja-puja oleh orang dahulu itu dan di ikrarkannya sebagaimana
manesfestasi dari atas sinar Sang Maha Pencipta Alam Semesta guna untuk menyatukan umat
manusia dalam peradabannya kembali menjadi sejahtera di akhir jamannya.
Sehingga dalam suatu kajian demi kajian yang diuraikan dalam sastra itupun menjadi sebuah
ragam akar dalam beragam-ragam keagamaan yang ada di dunia terutama di nusantara ini
pada khususnya. Diyakini atau tidak diyakini adalah tantangan buat manusia masakini sebagai
karma hidup dimasa jaman saat ini berada.
Pemaparan oleh para pakar ahli sejarah di nusantara dan dunia yang mengungkapkan tentang
sang awatara itu akan terlahirkan kedunia nyata memanglah patut diacungi jempol dan patutlah
dihormati, walaupun pemahaman demi pemahaman mereka itu tidaklah semulus dalam
pemikiran para umat manusia atau oleh sang pakar itu sendiri.
Dan dibawah ini penulis ingin menjabarkan dan melengkapi kajian dari sang pakar itu dengan
penjelasan yang seakurat mungkin walaupun akan memiliki dampak jika tidak lagi manusia
percayai atas kebenaran yang dijabarkan ini dimaksudkan untuk dipahami.
Penjelasan :
Sang awatara disebutkanlah sebagai penitisan yang pertama dan yang terakhir kalinya turun
kebumi dengan wujud sebagai manusia yang disebabkannya sebuah karma, yaitu setelah
penitisan atas kelahiran kepada manusia dimuka bumi ini sudahlah melampaui pada batas
ambang yang begitu banyaknya terlahir kedunia.
Jika kita melihat ke jaman dahulu itu, maka janganlah menerka terka bahwa manusia yang
hidup di jamannya itu melebihi dari satu milyar manusia yang ada.
Kini di jaman ini manusia sudahlah mencapai batas akhir sebanyak tujuh milyar banyaknya, dan
dikurangi sedikit demi sedikit dari bencana demi bencana itu tanpa disadari walaupun yang lahir
dan mati teruslah silih berganti.
Mati dan hidup sudahlah atas kehendakNya, akan tetapi populasi melebihi ambang batas itu
bukanlah atas kehendakNya.
Sang awatara memiliki sebutan nama ialah sebagai pula disebut Rama dan atau Krisna itu
berada, sehingga pemahaman sebagai wujud dalam awataranya itupun disebutkanlah kembali
sebagai Brahma, Siwa, Ganesha dan atau Mahadewa tertanda.
Penjelasan tentang sang awatara itupun disebutkan pula sebagai sang Gatot Kaca, Parikesit,
Budak Angon, Cah Angon, Raden Wijaya, Prabu Bandung Bandawasa, Prabu Mina Jingga,
Gadjah Mada, Hanoman / Sun Go Kong, Yudisthira, Sri Paduka Maharaja, Prabu Angling
Dharma dan lainnya dalam pemahaman terkutip pada sastra.
Pada penjelasan dalam kitab suci umat beragamapun disebutkannya tentang sang awatara itu
ialah sebagai : Sang Budha, Pendeta Tong Sam Cong / cerita Sun go kong, Tai Shang Loa Jun,
Yesus Kristus, Isa Almasih, Sinterclas, Muhammad SAW, Imam Al Mahdhy, Malaikat Israfil
dan/atau Nuh / Noah itu berada dll. (terkutip pula sebagai cirinya berdasarkan perjalanan dan
kekuatannya)
Jika kutak katik gatuk ini menurut orang jawa itu dikatakan tidaklah
beralasan, maka pemaparan pada tulisan kali ini sudahlah
mempersiapkan reverensi yang akurat untuk digabungkan guna
menerangkan sebagai rumusan yang telah di izinkan untuk membuka
tabir kebenarannya oleh Sang Maha Pencipta Alam Semesta guna
dipaparkan, supaya manusia tidaklah tersesat kembali di kemudian
hari.
Penjelasan terpaparkan diatas dimaksudkan bukanlah direkayasa atau
ingin menghancurkan peradaban manusia di dunia saat ini, walaupun
akan terkejut guna memahami apa yang terjabarkan kini atas penjabaran ini dimaksudkannya.
Pemahaman dalam wujud sang awatara sebagaimana tergaris dalam fenomena diatas
dimaksudkannya pastilah memiliki akar yang sangat kuat dan sudahlah dipertanggungjawabkan
pada dunia akhirat oleh sang penulis.
Kronologis :
Sang Awatara yang disebut pula sebagai Sanghyang Bhatara Wisnu itu dimaksudkan, memiliki
pula ciri pada wujud sifatnya yang tertulis pada Kitab Weda yang ialah ada sebanyak enam
mengenai pada sifatnya itu, yaitu :
1) Jñana, yang artinya : mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
2) Aishvarya, yang artinya : maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
3) Shakti, yang artinya : memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
4) Bala, yang artinya : maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
5) Virya, yang artinya : kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
6) Tèjas, yang artinya : memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Kemudian itu memiliki gambaran sebagai simbul pada maknanya akan ciri pada wujudnya itu,
yaitu :
1) Seorang pria yang berlengan empat dalam lambangnya.
Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dalam penjuru dan segala
kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta. Sepertihalnya digariskan pada palang
salib Inri itu sebagai simbul atau sayap pada malaikat israfil sebagai tandannya pula.
2) Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna pada langit.
Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi
atau lautan abadi tanpa batas. Sepertihalnya dikatakannya pula sebagai berdarah biru atau
yang tertitah selanjutnya, pun dikatakan darah pada Yudhistira itu berwarna putih pada
artinya pula.
3) Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu, atau simbul prisai bintang bergaris empat belas
sepertihalnya simbul pada Gatot Kaca. (Ga Tat Kaca / Memahami halaman pada sastra)
4) Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, sebagai pasangannya.
5) Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga, ialah
sebagai simbul pada keharmonisannya.
6) Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin sebagai regenerasinya.
7) Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam
penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan
dan kesakitan. Sepertihalnya yang terjadi akan jamannya itu tertandainya.
8) Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci. Disebutkan pula sebagai ciri pada Siwa
sebagai simbulnya dan pula atas tongkatnya itu sebagai langkah penerangannya.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
1) Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri
atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta
dalam agama, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether. Disebutkan pula pada Alquran
sebagai Malaikat Israfil yang meniup terompet pada akhir jaman tertandanya atau pula
disebut sang Ganesha dengan teriakan belalainya.
2) Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh
tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
Disebutkan pula dalam sastra ialah sebagai Putra Bhatara Indra
Sang penguasa Penjuru Alam Semesta.
3) Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah,
melambangkan keberadaan individual. Disebutkanlah pula seperti
Gada Sang Prabu Mina Jingga atas kekuatannya itu tertanda.
4) Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma
melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Disebutkan pula sebagai sifat meditasi seperti halnya disebutkan
sebagai Kamala Asana / alas bunga teratai sebagai tempat
bermeditasinya dan/atau Semarang Tembayat (dalam asananya).
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu :
1) Para.
Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu hanya bisa ditemui di Sri Waikunta juga
disebut Moksha, bersama dengan pasangannya Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila, di
sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas. Sepertihalnya disebutkan dalam
Kitab suci sebagaimana disebutkan mensucikannya roh-roh itu berada.
2) Vyuha.
Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat
fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
Sepertihalnya Salib Inri atau Israfil pada sayapnya itu sebagai tanda atau arah penjurunya.
3) Vibhava.
Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau
lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan
dan menegakkan keadilan di muka bumi. Sepertihalnya dalam pertempuran yang di
kisahkan pada Kitab Suci orang banyak dipercayai itu dalam arah langkahnya.
4) Antaryami.
Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati
makhluk hidup. Sepertihalnya pelajaran pada agama yang di imaninya itu sebagai
wujudnya.
5) Arcavatara.
Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang
agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha,
Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu. Sepertihalnya dibentuk dalam pemujaan itu, dan dalam
Alquran disebutkannya yang tidaklah diwujudkan dalam wujud melainkan pada aksaranya.
Sepuluh Awatara Wisnu dalam wujudnya, yaitu :
1) Matsya (Sang ikan) : Disebutkan sebagai Prabu Mina Jingga / Ikan Jingga / Rdn.Wijaya.
2) Kurma (Sang kura-kura) : Disebutkan sebagai sang penguasa bumi atau disebut sebagai
pula Ganesha / Putra Pertiwi.
3) Waraha (Sang babihutan) : Disebutkan sebagai Patkay
dalam sastra Tong Sam Cong / Sun Go Kong dan atau
Basudewa dengan senjata penggaruk sebagai cirinya.
4) Narasimha (Sang manusia-singa) : Disebutkan sebagai
pula Prabu Silihwangi atau silih wangi dalam
keperkasaannya.
5) Wamana (Sang orang cebol/kecil) : Disebutkan sebagai
penyamarannya menjadi rakyat biasa atau lebih tepatnya
memahami rakyat kecil dstnya.
6) Parasurama (Sang Brahmana-Kshatriya) : Disebutkannya
kuat dalam bermeditasi dan serta kuat seperti ciri para
Pandawa sebagai lambang.
7) Rama (Sang pangeran) : Disebutkannya dalam melaksanakan tapabrata puasanya yang
sangatlah kuat, sepertihalnya puasa pada sumpah Patih Gadjah Mada atau dalam
perayaannya yg disebut pula sebagai Ramadhan (rama-dhan=peringatan)
8) Kresna (Sang pengembala) : Disebutkannya pula seperti Yesus Kristus dalam gembalannya
atau Sang Siwa dengan gembala lembunya itu tertandainya.
9) Buddha (Sang pemuka agama) : Disebutkannya sebagai sang ahli tapabrata, sang ahli
dakwah, sang ahli meditasi .
10) Kalki (Sang penghancur) : Disebutkannya sebagai Nuh / Siwa sebagai Sang Pelebur.
Dalam pemahaman di atas yang dijabarkan pada konsep sang awatara pada wujudnya itu,
terpecahlah menjadi bilangan kosa kata pada pemahaman kitab suci yang dipercaya itu dan
pastilah ada alasannya dalam penjabarannya yang perlu pula dipahami oleh orang banyak di
nusantara atas sebagai cikal bakal dari azas pada kitab suci itu dibuat berada.
Dikarenakan konsep pada sistim sastra utama dalam Weda dimaksudkan itu agaklah sulit di
laksanakan sebagai panduan pada agama oleh bangsa luar selain Nusantara dari atas kondisi
kelengkapan sebagai bahan material pada upacaranya, maka para ahli sastra terdahulu itupun
telah memutuskan sistim penyempurnaannya tentang agama yang akan di pelajari oleh
manusia luar dikemudian hari yang diadopsi dari sistim beragam Negara seperti China dalam
bentuk sujudnya dan yang kemudian itu dibuatlah suatu ejaan kosa kata pada penempatannya,
akan tetapi tidaklah menyimpangkannya atas isi pada makna dalam Kitab Utama yang
sesungguhnya itu dibuat sebagai landasan pada ajaran keragaman beragama dimaksudkan itu
kini dipahami sebagaimana yang dipercayai itu.
Konsep pada penyempurnaan keragaman keagamaan itu dibuat untuk kemasa datang, ialah
sebagai konsep penentu tentang maksud dari atas tujuan terlahirkannya sang awatara itu yang
haruslah ditunggu akan kejadiannya sebagaimana pula disebutkan dalam penjabaran kitab
sastra utamanya yang terkutip pada akhir jaman dikemudian hari sebagai penentunya.
Proses dalam perjalanannya kala pendadaran kitab suci itu akan tercipta pertama kalinya, ialah
dikala manusia itu saling menjajah atau bergrilia untuk menguasai Negara demi Negara yang
bukanlah haknya itu, yang kemudian disebutlah jaman itu telah memasuki pada jaman
penjajahan tertanda di dunia dengan serentak pada tahun 1600 oleh para kaum pecahan dari
bangsa Yunani yang disebutlah sebagai bangsa persekutuan.
Dalam perjalanannya, terjadilah perampasan-perampasan kitab sastra itu yang kemudian
dikumpulkan oleh para sekutu atas rampasannya itu dari negara India, China dan Nusantara,
yang lalu kemudian dibuatkanlah sebuah kitab suci oleh para sekutu kala itu sebagai
starateginya guna ingin menguasai dunia, yang dikarenakan kerajaan utama di nusantara
sebagai kerajaan utama di dunia itu sudahlah dianggap hilang dari atas peradabannya berada.
(sepertihalnya terkutip untuk menetapkan nama pemimpin nusantara itu sebagai republik yang
ialah sebagai dasar untuk dapat dikontrol oleh para kaum penjajah itu, yang artinya : Re =
reformasi / revolusi, Publik = kelompok/golongan + President = Press – Indent sebagai koloni
dalam strateginya itu tertandai atas perkembangannya).
Untuk pertama kalinya dalam proses pendadaran pada kitab suci itu, maka dicetuskanlah kitab
itu di beri nama sebagai kitab Injil, yang dibuat disebuah desa dipinggiran sungai di India yang
terletak di daerah Serampore Calcutta oleh orang Inggris yang disebut pula sebagai Trio
Serampore itu yang ialah bernama William Carey, William Ward dan Joshua Marshman. Ketiga
nama inilah sebagai penyusun Kitab Injil yang kemudian diedarkan ke seluruh pelosok negeri
hingga ke Nusantara, dan keberadaan kitab Injil itu berada sebagai pula bekal atas spiritual
para sekutu dan/atau kolonial itu, yaitu di mulai pengerjaannya pada kitab itu ialah pada tahun
1800 s/d 1832 masehi tepatnya.
Sehingga dikala ditemukannya kitab Injil itu oleh para Bagawan atau Pendeta dari Nusantara,
India dan pula China yang ahli dalam pakar sastra itu, yang lalu kemudian itu digubahlah
kembali atas penulisan pada kitab Injil itu dengan dijadikannya aksara yang berbeda kembali,
dan kemudian di bahaslah kedalam rapat tertutup oleh para Bagawan guna berkumpul di
Negara India yang adalah negara bagian dari atas cikal bakal kerajaan nusantara itu tertanda.
(maka terkutip pula pada kajian itu di manfaatkan oleh Gulam Ahmad Mirza yang memang
berasal dari India dalam pendadaran disebut Al’quran itu yaitu pada tahun 1835 masehi, yang
lebih dahulu mengakui sebagai tertitah atas pengakuannya sebagai politik persekutuannya itu
terhadap kolonial sebagai strateginya itu hingga ajarannya pun dikenal di nusantara saat ini)
Setelah penyempurnaan itu dilakukan, lalu kemudian dibawa ke Turki oleh para
bagawan/pendeta itu, maka diberitakanlah sebagai bahan surat kabar atau yang disebut Koran
yg dalam bahasanya itu ialah Qur’an pada penyebutannya. Yang lalu kemudian di pahami
sebagai dasar bahan atas Kitab suci yang disebut pula Al’Quran sebagai pedoman bacaan atas
berita besarnya itu berada. (konon orang Turki itu terlebih dahulu mempelajari kitab injilnya
sebelum mendapatkan yang baru yang disebut Alquran itu dimaksudkannya dan mengarah ke
nusantara untuk menimba ilmunya, yang sehingga terindikasi
berada di ujung cibanteun atau aceh disebutkannya saat ini)
Fungsi pada kajian Alqur’an itu tidaklah jauh beda dalam
pemahamannya dari kitab injil itu, karena kitab injil itu dalam
prosesnya pun mengunakan beberapa kitab sastra utama yang
ada. Seperti Injil mengatakan sebagai kota Israel itu dalam tanah
penjanjiannya, dan jika dalam Alquran disebutkanlah Israfil itu
sebagai sang peniup terompet Sangkala dimaksudkannya. Aksara
pada Israel dan Israfil ialah memiliki makna yang sama, seperti
aksara pada bilangan El itu ialah elephant / fil = Gajah.
Seperti penyebutannya diatas itu disebut pula sebagai Ganesha, Gadjah Mada dan Prabu
Gadjah itupun dimaksudkannya. (sepertihalnya pula Ratu Maya itu bermimpi bahwa perutnya
telah dimasuki seekor gajah putih dan melahirkanlah Sidartha itu dimaksudkannya)
Dan terkutip pula pada Kitab Bhagawadgitha, Narayana, Mahabharata dan Kitab
Negarakerthagama pun tercantum pada syairnya itu terjabarkannya atas pantangan, arahnya,
kelahirannya, posisinya dan banyak lainnya yang terkutip atas dari sastra kitab itu tertanda.
Jika mengamati kitab Negarakerthagama menyatakan atas pantangannya yang di
haramkannya itu disebutkanlah sebagai pula pada hewan atas sifatnya, yang adalah :
Anjing dan sejenisnya, Ular / cacing sejenisnya, Tikus / Tupai / Kelelawar sejenisnya, Keledai,
Katak dan sejenisnya yg hidup di dua alam.
Pun dikatakan pada Surat Nuh itu, dimana para hewan sebagai ciri pada hati manusia akan
dilekatinya, serta disebutkan pula oleh satra yaitu pada jaman yang memasuki jaman sato atau
binatang itu ditandakannya diakhir pada jamannya.
Dan kemudian babipun di haramkan pula, karena tercatat dalam simbulnya sang awatara itu
dimaksudkan yang dikhususkan untuk upacara pada keselamatan bumi yang harus
dipersembahkan oleh manusia, yang sesungguhnya terkutip pada kitab sastra utama itu
dimaksudkannya sebagai bekal pada penyelamatan bumi dimaksudkannya.
Jika ingin memahami tentang penjelasan pada sastra itu dimaksudkan bahwa benar adanya,
maka bacalah kutipan / salinan pada kitab sastra negarakerthagama itu berada dan pahamilah.
Kemudian pahami pula kembali tentang perjalanan invasi inggris terhadap Negara India pada
tahun 1605 masehi lebih kala itu, yang sehingga para kaum sekte india yang memuja sang
Batari Kali di pinggiran sungai India itu telah melarikan dirinya ke gurun atau padang pasir atas
diskriminasi penjajah itu tertanda, yang kini disebut peradaban itu sebagai orang arab berada
atas cikal bakalnya tertanda yang hidup di gua-gua sebagai tempat persembunyiannya.
Pun dikatakan dalam syair sastra sumpah Palapa/Palawa Gadjah Mada yaitu tentang Negara
Gurun itu dimaksudkannya pula, begitupun pada akhir jaman pada penanggalan yang
disebutkan dalam kitab sastra negarakerthagama disebutkannya yang telah berakhirnya masa
penanggalan itu dan dilanjutkan kembali pada penanggalan tahun saka yang belumlah habis
pada masa waktunya.
Politik strategi para sekutu / kolonial pada saat itupun
telah menerapkannya lebih dahulu nama tahun
perpindahan / Hijryah itu diadakannya sebagai
penyusunan strateginya dengan mengunakan strategi
pada politik yang diambil dari kitab yang tersyair atau
bertuliskan arab dimaksud, yang pula diserentakan
atas kiblatnya kepada tahun masehi itu tertandainya
untuk dapat menguasai dunia, terutama penguasaan kepada wilayah gurun di arab itu oleh para
kolonial Inggris dan sekutunya sebagai pemegang kekuasaan utamanya yang berjalan hingga
kini tertanda.
Diterangkannya dalam sastra atas pemujaannya oleh orang gurun itu yang tercatat pula pada
kitab Mahabharata sebagaimana disebutkan dan dimaksudkannya atas pemujaannya itu
ditandainya tanpa disadari oleh orang banyak di nusantara hingga saat ini. ( lihat pada ket : )
Konsep kitab agama yang terjabarkan oleh Trio Serampore dan atas Penyempurnaannya itu
dimaksudkannya, tidaklah lagi beradaptasi pada Kitab Sastra Utama yang disebutkannya atas
kebenarannya itu tertanda yang seharusnya haruslah beradaptasi kepada nusantara ini berada.
Dan terlebih lagi tidak mengarah pada titik sumber yang berada di Nusantara sebagaimana
yang disebut tanah suci atau bukit perjanjiannya itu tertanda atas tandanya ada.
Berdasarkan strateginya para kolonial itu ialah supaya dapat menguasai nusantara dengan
seutuhnya tanpa bersusah payah menjajahnya pula selanjutnya / gugur dalam perang agama.
(Orang Nusantara haruslah kini memaafkan mereka itu atas strateginya dengan cara-caranya
itu, dan walaupun mengenaskan yaitu dikala dijajah dengan memberikannya asupan konsumsi
narkotika pada masa jaman belumlah nusantara itu merdeka dan hingga kini tertanda pula
masihlah ada) copypaste : http://www.youtube.com/watch?v=mISSm2UYXpg&feature=related
Maka yang seharusnya mereka berkiblat ke nusantara sebagai titik utama pada kerajaan
nusantara sebagai penguasa tunggal diseluruh dunia itu, justru kini masyarakat nusantaralah
yang menjadi tak berdaya atas strateginya dan bahkan bersujud syukur kepada leluhur dari
manusia diluar nusantara itu sebagai pula keyakinan pada beragam ajaran pada agamanya itu
dimaksudkannya kembali. Kini perlu dipertanyakan kembali atas pembelajaran ajaran
agamanya itu dimaksudkannya, dan masihlah banyak lagi jika dipaparkan pada penulisan ini
oleh sang penulis atas amanah-Nya itu untuk dijabarkan supaya manusia tidaklah tersesat dan
menjadi kehilangan jatidiri sebagai orang-orang yang terlahir asli dari nusantara ini yang adalah
bercikal bakal dari atas kerajaan tertua itu di dunia tertanda ada.
Yang disebutlah nama kerajaan itu ialah Kerajaan Galuh Sura
Wisesa Amertha Jagat Buwana Mataram / disebut pula sebagai
Kerajaan Galuh Ageung Sundha Buwana / Karaton Sri Bima
Narayana Madura Suradipati, yang dengan sebutan sistim
perekonomiannya itu sebagaimana disebut pula jaman Pajajaran
yang sejajar kesejahteranya diantara rakyatnya berada.
Dan kemudian kini telah memasuki dalam dimensi sebagai jaman
yang disebut pula jaman majapahit, atau jaman yang pahitnya
seperti buah maja / grenuk itu tertanda ada.
(Majapahit ialah bukan nama kerajaan, akan tetapi adalah sebuah sebutan pada masa jaman
ini. Begitu pula pada sebutan prapanca atau jahilliyah itu tertanda pula ada pada sastranya
tercatat. Sepertihalnya disebutkan, wajiblah orang-orang berprilaku menyesatkan itu haruslah
dicambuk berulang-ulang sebagai peringatannya yang tercatat dalam sastra kitab
Negarakerthagama, yang dikutip pula sebagai sistim Syariat pada ajaran agama)
Kini tinggal para ahli kitab agama dan atau para pakar guna untuk mengkaji kembali, karena
sang awatara hanya menunggu sesuai batas waktu yang sudah ditentukan. Jika salah
menanggapi dan mengintruksikan seluruh umatnya untuk menjadi tidak benar kembali, maka
Sang Awatara akan memegang penuh peranannya sebagai Kalki atau Nuh itu tertanda
sebagaimana peringatan pertama dan kedua itu telah diberikannya (04/11).
“ Maka orang-orang yang melanggar atas kehendak-Nya itu dan mengabaikannya atas peringatan-Nya itu kembali, sesungguhnya ia itu patut diberikan suatu pelajaran yang amatlah berharga sebagai imbalannya yang telah menjerumuskan orang-orang yang tidaklah berdaya atas janji-janji pada pelajaran agamanya itu “. (Sang Rama)
Demikianlah atas penjabaran dan pendadaran ini disampaikan untuk dipahami oleh orang
banyak di Nusantara dan di Dunia.
Salam dariku,
AVATAR. Awalnya orang-orang terjajah itu di buang dan diasingkan sebagai strategi cara untuk dikuasainya negaranya itu,
akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Dari atas kehendakNya itupun terjaga, maka mereka itupun tak henti-hentinya pula memperalat Negara itu guna
untuk menjadikan asset pada negaranya serta menjadikannya sumber atas kemakmuranya … sungguh ironis
manusia-manusia itu yang begitu rakus dan piciknya untuk menguasainya. (Gadjah Mada)
Ket :
Perlu diketahui dan dipahami bahwa Batari Kali atau Dewi Mara itu (Durga Kali Maa) ialah wujud dari Dewi
Kemungkaran atau Dewi kesesatan dan/atau sebagai siluman yang berwujud wanita itu guna untuk menyesatkan
umat manusia dalam kesejahteraannya, yang sesungguhnya bukanlah wujud dari Mahadewi Parwati istri dari Dewa
Siwa itu berada.
Jika wujud dhurga oleh Mahadewi itu tergambarkan, sesungguhnya ialah wajud dalam kemarahannya atas
pendustaan oleh manusia yang sudahlah diberikan rejeky yang lebih, akan tetapi tidaklah bersyukur. Sepertihalnya
dalam simbul Dhurga Sang Laksmi dan/atau Sang Saraswati itu digambarkannya dibawah ini.
Maka pahamilah kembali kitab Mahabharata itu tentang permainan dadu Dhurga Kali-Maa itu oleh Yudisthira atas
jebakan sang sengkuni guna untuk mempertaruhkan kerajaan astinanya supaya dikuasainya oleh para kurawa.
(disebutkanlah bahwa dadu yang diputari itu sepertilah jarum pada jam yang berputar guna untuk dimainkan pada
permainannya, dan pada dadu itupun berbentuk persegi empat / kubus sebagai tandanya)
Demikianlah yang tersyair pada kitab sastra mahabharata itu tersaji dan pun dipewayangkan oleh sang dalang dalam
pementasan pada umumnya orang banyak mengetahuinya.
Ket : Tercatat pada tahun 1973 oleh Ratu Belanda bahwa Sastra disebut Negarakerthagama itu telah dikembalikan
ke nusantara dengan alasan penyelamatannya terdahulu itu, dan diterima langsung oleh Ibu Tien Soeharto yang
kemudian dimesiumkan di Perpustakaan negara. (dok.web)
Gambar Dhurga / kemarahan dari Sang Maha Dewi Laksmi atau Saraswati yang tergambar santun :
Gambar Dhurga Kali Maa / Batari Kali atau Dewi Mara dengan keganasannya meminta tumbal :
Tampak pada gambar kedua, Sang Mahadewi Laksmi sedang menenangkan Sang Dhurga Kali-Maa yang
menyerupainya itu dalam wujud melakukan keganasan. Pun terkutip sastra perjalanan pendeta Ton Sam Cong
dijelaskan sebagai wujud dalam siluman itu, atau Injil pun mengatakan tentang menyerupai wujud maria-maria itu.
Pranala : TRI SULA “ JENDELA SANG AWATARA “ (oleh : Sanghyang Dharmasaksi)
Reverensi website : http://kalendersaka.blogspot.com - http://zamanbaru2011.blogspot.com http://gadjahmada1221.files.wordpress.com/2012/07/bias-bias-tabir-sastra1.pdf
top related