kajian pustaka, konsep, landasan teori dan model penelitian ii.pdfsangat rentan dan memungkinkan...
Post on 11-Mar-2019
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Tentang Kawasan Wisata Bahari
Kajian ini termotivasi dari semangat Pemerintah Daerah dan seluruh
lapisan masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara
Barat pada umumnya dan khusunya Kabupaten Sumbawa Barat. Pengoperasian
bandara dan dermaga laut sebagai penunjang akses transportasi, menjadi
pendorong yang memberi stimulus bagi prospek pembangunan di seluruh wilayah
Nusa Tenggara Barat baik pengembangan di bidang infrastruktur maupun
pengembangan di bidang ilmu pengetahuan. Penelitian-penelitian tentang
kepariwisataan diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan dalam
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh daerah, sehingga dapat
ditawarkan dalam berbagai bentuk dan model pariwisata yang sesuai dengan
potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sudarna (2004),
Gede (2006), Sumariadi (2009), Murdana (2010) dan Betly Taghulihi (2013)
merupakan penelitian-penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi
serta yang relevan dengan penelitian tentang Pengembangan Kawasan Ekowisata
Bahari Gili Balu Kabupaten Sumbawa Barat. Beberapa penelitian yang terkait erat
dengan konteks pengembangan pariwisata telah dilakukan oleh beberapa peneliti
baik yang tertuang dalam jurnal, artikel, maupun tesis. Tesis Sudarna (2004),
13
14
dalam tesis dengan judul “Pengembangan Pantai Tulamben Sebagai Kawasan
Wisata Alam di Kabupaten Karang Asem” menyimpulkan berdasarkan analisis
internal diketahui bahwa posisi kawasan pesisir Tulamben berada pada kategori
kuat atau berpotensi untuk dikembangkan. Berdasarkan analisis eksternal posisi
kawasan pesisir pantai Tulamben dalam kategori baik atau memiliki peluang
untuk dikembangkan. Analisis matrik internal dan eksternal (I-E) posisi kawasan
pesisir Tulamben pada kuadran V, artinya kawasan harus melakukan Hold and
Maintain Strategy yaitu penetrasi pasar dan pengembangan produk wisata.
Pengembangan pariwisata di Kawasan Tulamben mengakibatkan
perubahan lingkungan alam dan budaya masyarakat menuju adaptasi. Masyarakat
dalam mengadaptasi perubahan yang ada terjadi perlahan-lahan dan dapat
diterima oleh masyarakat yang menimbulkan dampak positif dan negatif dari sisi
ekonomi, kelestarian lingkungan dan sosial budaya. Namun, dampak positif
pariwisata lebih dirasakan masyarakat dibandingkan dengan dampak negatif.
Dalam perkembangan pariwisata di Kawasan Tulamben, pemangku kepentingan
berperan secara sinergis pada masing-masing tugas dan pungsinya. Relevansi
dengan penelitian yang dilakukan di Kawasan Gili Balu adalah penelitian yang
mengulas tentang pariwisata bahari di daerah pesisir pantai. Akan tetapi,
penelitian tersebut belum menjelaskan dan mengidentifikasi secara detail potensi-
potensi apa saja yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata di Kawasan
yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi bahari untuk menjadi kawasan
wisata.
15
Penelitian yang dilakukan oleh Putu Gede (2006), dengan judul tesis
“Pengembangan Wisata Sekotong di Lombok Barat”. Kesimpulan dari penelitian
tersebut adalah pengembangan pariwisata di Kawasan Pariwisata Sekotong
mengarah pada pariwisata bahari dan alam. Sarannya yang disampaikan adalah
perlunya perhatian yang sangat serius dalam usaha pengembangan Kawasan
Wisata Sekotong dengan penekanan pada usaha promosi dalam mendatangkan
wisatawan yang berkualitas, serta pembangunan sarana dan prasarana menuju
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Model pengembangan pariwisata
yang ditawarkan dalam penelitan yang dilakukan oleh Gede (2006), telah
memberi inspirasi dalam menumbuhkan semangat dalam mengeksplorasi
pengembangan pariwisata khususnya ekowisata bahari di Kabupaten Sumbawa
Barat. Relevansi dengan penelitian tersebut adalah perlunya promosi dan
keterlibatan baik masyarakat, pemerintah dan swasta dalam pengembangan suatu
kawasan wisata.
Sumariadi (2009), dalam tesis “Dampak dan Strategi Pengendalian
Pengembangan Pariwisata di Destinasi Pariwisata Lembongan” memberi
kesimpulan bahwa perkembangan pariwisata di destinasi pariwisata Nusa
Lembongan berdampak positif dan negatif terhadap lingkungan fisik, sosial
budaya dan sosial ekonomi. Strategi pengendalian dampak lingkungan fisik di
Nusa Lembongan yaitu strategi pemanfaatan energi, strategi dalam pemanfaatan
air tawar, strategi penanganan limbah padat, srtategi pengolahan limbah cair,
penyusunan rencana tata ruang, pembentukan lembaga sosial masyarakat lokal
dan studi banding ke beberapa daerah wisata lain. Strategi pengendalian dampak
16
pariwisata terhadap lingkungan ekonomi yaitu pendidikan dan pelatihan
kewirausahaan dan standarisasi tarif jasa helper (buruh pelabuhan). Relevansi
dengan penelitian di atas memiliki kesamaan bahwa penelitian tersebut dilakukan
di wilayah kepulauan sebagai destinasi wisata. Dampak sosial, ekonomi dan
budaya yang akan ditimbulkan menjadi perhatian dalam perencanaan kawasan
pariwisata sehingga dampak dari aktivitas pariwisata dapat diminimalisir.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan di kawasan Gili Balu adalah kondisi
geografis dan kondisi lingkungan serta keterlibatan masyarakat di kawasan Gili
Balu belum terorganisir seperti di Nusa Lembongan.
Murdana (2010), dalam tesis “Pengembangan Pariwisata Pulau Gili
Trawangan Berbasis Ekowosata Bahari” membahas tentang Pulau Gili Trawangan
sangat rentan dan memungkinkan terjadinya degradasi lingkungan wilayah pantai
dan laut serta lingkungan sosial masyarakatnya. Pengembangan ekowisata bahari
di Pulau Gili Trawangan dan sekitarnya bertujuan untuk menjaga kelestarian alam
dan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sehingga konservasi alam dapat
terjaga dan meminimalkan pengaruh negatif dari pariwisata serta masyarakat
Pulau Gili Trawangan dan sekitarnya. Strategi yang diterapkan dalam penelitian
tersebut meliputi; program strategi pengembangan produk wisata, strategi
peningkatan keamanan dan memperkuat potensi Daerah Tujuan Wisata (DTW)
yang menjadi ciri khas Pulau Gili Trawangan berbasis ekowosata Bahari, strategi
pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, strategi pengembangan
kelembagaan dan Sumber Daya Masyarakat (SDM) pariwisata, strategi penetrasi
pasar dan promosi daya tarik wisata, strategi perencanaan dan pengembangan
17
pariwisata berkelanjutan. Relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan di
kawasan Gili Balu adalah penelitian tersebut dilakukan di pulau-pulau kecil di
wilayah NTB dengan menitik beratkan pada kelestarian dan keberlangsungan
biota laut sebagai daya tarik ekowisata. Strategi pengembangan yang dilakukan
menjadi masalah penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan suatu
kawasan wisata yang berkaitan dengan aktivitas ekowisata. Serta penetrasi pasar
yang dilakukan sehingga perencanaan yang dilakukan dapat berkelanjutan.
Perbedaanya dengan penelitian ini adalah pengembangan kawasan ekowisata yang
dengan kondisi geografis dan topografis yang berdeda yaitu penelitian pada
delapan pulau-pulau kecil dalam satu kawasan konservasi perikanan dengan
kondisi pulau tanpa penduduk yang menetap.
Betly Taghulihi (2013), dalam tesis ”Strategi Perencanaan Pariwisata
Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara”. Membahas tentang
strategi perencanaan pariwisata daerah otonom baru dengan mengidentifikasi
potensi sumber daya pariwisata, sumber daya manusia, kemampuan daerah dalam
mengelola potensi pariwisata, serta identifikasi faktor internal maupun faktor
eksternal untuk mengetahui peluang dan tantangan dalam strategi perencanaan
pariwisata. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat strategi
perencanaan dengan pendekatan pengembangan potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Sangihe Propinsi Sulawesi Utara antara lain:
potensi perkebunan, potensi hutan, potensi perikanan, potensi pariwisata seperti
bahari, pantai, air terjun, teluk, gunung api, heritage dan living culture.
18
Dari uraian tersebut, pada dasarnya belum menelaah secara mendalam
mengapa suatu kawasan ditetapkan menjadi kawasan pariwisata, bagaimana pola
pengembangan kawasan wisata baru serta bagaimana pengaruhnya terhadap
lingkungan alam. Hal ini penting dilakukan mengingat suatu daerah mempunyai
masalah masing-masing dalam melaksanakan pembangunan kepariwisataannya.
Dalam penelitian tentang pengembangan kawasan wisata yang akan
dikembangkan lebih khusus, seperti ekowisata dan wisata alternatif lainnya perlu
dianalisis secara mendalam. Gili Balu sebagai objek dalam penelitian ini,
disebabkan karena kawasan tersebut dianggap sangat berpotensi dan perlu kajian
lebih mendalm sebagai kawasan yang ditetapkan untuk pengembangan pariwisata
berbasis ekowisata bahari (marine ecotourism) di Kabupaten Sumbawa Barat.
2.1.2 Pendekatan-pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; pertama,
pendekatan pariwisata berkelanjutan yaitu; pembangunan kepariwisataan harus
dapat menggunakan sumber daya yang dibutuhkan secara berlanjut, yang artinya
kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak
dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Dalam pelaksanaanya,
program kegiatan pembangunan kepariwisataan harus menjamin bahwa sumber
daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan
kriteria-kriteria dan standar-standar internasional yang sudah baku. Kedua,
pendekatan pariwisata alternatif dengan mempertimbangkan beberapa dampak
negatif yang ditimbulkan seperti dampak sosial, budaya dan ekonomi akibat
aktivitas pariwisata telah menimbulkan keperihatinan. Oleh karena itu pihak
19
pemerintah memegang kendali yang sangat dominan dalam tata kelola
kepariwisataan. Peranan masyarakat relatif pasif dalam regulasi yang berkaitan
dengan pengembangan kawasan ekowisata Gili Balu. Oleh sebab itu diperlukan
pendekatan-pendekatan dalam menyusun strategi pegembangan kawasan tersebut
diantaranya;
a. Pendekatan Pariwisata Berkelanjutan
Pendekatan pariwisata berkelanjutan (sustainable) erat kaitannya dengan
keseimbangan antara proses yang terjadi di alam baik itu antara manusia, alam
sekitarnya serta berhubungan dengan kehidupan sosial, budaya dan lingkungan
yang dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Menurut Page (2002), pendekatan pembangunan berkelanjutan
berkepentingan atas masa depan yang panjang serta atas sumberdaya dan efek-
efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin menyebabkan
gangguan sosial dan budaya yang memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya
hidup individual. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan memiliki tiga prinsip
antara lain; keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) yaitu pembangunan
yang dapat memastikan adanya kesesuaian dengan upaya pemeliharaan terhadap
lingkungan, keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ketersediaan sumberdaya
biologis, keberlanjutan sosial dan budaya (social and cultural sustainable) yaitu
pembangunan yang dapat memastikan peningkatan kendali manusia terhadap
kehidupannya, berkesesuaian dengan budaya dan nilai yang dianut oleh
masyarakat yang dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, memelihara dan justru
dapat memperkuat identitas komunitas (masyarakat), dan keberlanjutan ekonomis
20
(economic sustainable) yaitu pembangunan yang dapat memastikan tercapainya
efisiensi ekonomi dan sumberdaya dikelola sedemikian rupa sehingga dapat
mendukung generasi yang akan datang.
Tourism Stream, action strategy yang diambil dari Globe ’90 conference
Vancouver, Canada J. Swarbroke (1998), menyatakan bahwa, kepariwisataan
berkelanjutan (sustainable tourism) didefinisikan sebagai bentuk dari
pengembangan ekonomi yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup dari
masyarakat sekitar, memberikan image yang positif bagi wisatawan, pemeliharaan
kualitas lingkungan hidup yang tergantung dari masyarakat sekitar dan wisatawan
itu sendiri.
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
pengembangan potensi wisata Kawasan Gili Balu dan sekitarnya menggunakan
pendekatan pariwisata berkelanjutan diharapkan dapat memberikan pengaruh
yang lebih dominan terhadap lingkungan serta memberikan manfaat secara
ekonomi pada masyarakat lokal pada khususnya dan stakeholder pada umumnya,
melalui tidakan pro-lingkungan dan bertanggungjawab secara sosial dan sesuai
dengan budaya atau norma-norma masyarakat setempat.
b. Pendekatan Pariwisata Alternatif
Pariwisata alternatif membutuhkan keterlibatan masyarakat setempat
sebagai pemandu wisata, menyediakan homestay dan menjual kerajinan akan
membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya masyarakat
setempat yang pada akhirnya mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga
antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata.
21
Menurut Suansri (2003, dalam Bambang Sunaryo 2013), terdapat lima
dimensi utama dalam priwisata alternatif di antaranya; (1) Dimensi ekonomi
dengan indikator berupa adanya dana untuk pengembangan komunitas,
terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata, berkembangnya pendapatan
masyarakat lokal dari sektor pariwisata. (2) Dimensi sosial dengan indikator
meningkatnya kualitas hidup, peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian
peran gender yang adil antara laki-laki dan perempuan, generasi muda dan tua,
serta memperkuat organisasi komunitas. (3) Dimensi budaya dengan indikator
berupa mendorong masyarakat untuk menghormati nilai budaya yang berbeda,
berkembangnya nilai budaya pembangunan yang melekat erat dalam kebudayaan
setempat. (4) Dimensi lingkungan dengan indikator terjaganya daya dukung
lingkungan, adanya sistem pengelolaan sampah yang baik, meningkatnya
kepedulian perlunya konservasi dan preservasi lingkungan. (5) Dimensi politik
dengan indikator meningkatnya partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan
kekuasaan komunitas yang lebih luas dan adanya jaminan hak-hak masyarakat
adat dalam mengelola sumber daya alam.
2.2 Konsep
Konsep merupakan alat berpikir yang sangat penting dalam
pengembangan alur penelitian ilmiah, hal ini didasari oleh format tertentu dalam
mendefinisikan suatu penelitian. Dalam suatu penelitian perlu penegasan definisi
atau batasan operasional dari setiap istilah atau konsep yang terdapat baik dalam
judul penelitian, rumusan masalah penelitian, atau dalam tujuan penelitian.
22
Pemberian definisi atau batasan operasional suatu istilah berguna sebagai sarana
komunikasi agar tidak terjadi salah tafsir dan juga mempermudah dalam proses
penelitian. Konsep-kosep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain;
Pengembangan pariwisata, Potensi dan daya tarik wisata dan Wisata bahari dan
ekowisata.
2.2.1 Pembangunan Pariwisata
Era Otonomi Daerah perlu dipikirkan suatu model pembanguan yang
memiliki karakteristik dan wawasan kemasyarakatan, yang melihat pembangunan
tersebut dari dalam (inward looking). Perlu dicari alternatif-alternatif agar potensi
diri dijadikan dasar pertimbangan utama dan pertama dalam merencanakan dan
menyelenggarakan pembanguan di daerah.
Menurut Tantra (2014), dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan diperlukan sebuah kerangka teoritik, yaitu sebuah paradigma
berfikir yang memperhatikan ruang (space) yang realistik. Ruang tidak berarti
semata-mata fisik, tetapi juga lingkungan sosial budaya dalam arti luas. Dengan
demikian konsep keruangan adalah sebuah analisis sistematis dalam menampilkan
unsur tempat ke dalam analisis yang ditentukan secara khusus sesuai dengan sifat
dan struktur dari wilayah tertentu.
Pola dasar pembangunan yang memperhatikan ruang nyata (fisik dan non
fisik). Ruang semestinya didefinisikan secara holistik, yaitu memperhatikan
kesatuan wilayah secara administratif, ekonomis, historis, dan empiris. Sehingga
pola dasar pembangunan dapat dipolakan secara komprehensif, dengan
23
memperhatikan secara sungguh-sungguh kondisi dan potensi wilayah, baik alam,
lingkungan maupun manusianya (Tantra, 2014).
Pengembangan kawasan wisata baik lokal, regional maupun nasional pada
suatau Negara erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah atau suatu
Negara, dengan kata lain pengembangan kepariwisataan pada suatu kawasan
wisata selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi rakyat
banyak. Pengembangan kawasan wisata dimana industri pariwisatanya akan
berkembang dengan baik serta memberi dampak positif bagi daerah itu,
menciptakan lapangan kerja, bahkan akan terjadi permintaan baru dari hasil-hasil
pertanian, kerajinan tangan dan pendidikan dalam melayani wisatawan.
Menurut Poerwadarminta (2005), pengembangan didefinisikan sebagai
suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju,
sempurna dan berguna. Jadi dalam hal ini pengembangan pariwisata diartikan
sebagai suatu cara untuk mengembangkan destinasi, kawasan wisata dan daya
tarik wisata menjadi lebih baik dan memberikan dampak positif bagi masyarakat,
pemerintah, industri pariwisata dan wisatawan.
Menurut Grady dalam Suwantoro (2002), kriteria pengembangan
pariwisata harus selalu melibatkan masyarakat lokal dan mampu memberikan
suatu keuntungan bagi masyarakat setempat, tidak merusak nilai-nilai sosial
budaya masyarakat, serta jumlah kunjungan ke daya tarik wisata tersebut tidak
melebihi dari kapasitas sosial agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat
diminimalisir. Kriteria tersebut menekankan pada pengembangan pariwisata yang
berbasis masyarakat (community based tourism) dan pengembangan pariwisata
24
yang berkelanjutan (sustainable tourism development). Prinsip-prinsip
pegembangan pariwisata yang berkelanjutan yang diamahkan oleh Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2009 yaitu; meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi
pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan
kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air,
memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, mempererat persahabatan antar
bangsa.
Permasalahan dan hal pokok yang diperlukan untuk pengembangan
kepariwisataan seperti yang dikemukakan (Gunawan, 2008; Budiastawa, 2009)
antara lain; Pertama, pengembangan dari sisi penawaran yaitu pengembang
destinasi di berbagai tempat tujuan wisata antara satu sama lain saling melengkapi
dan tidak bersaing secara internal. Pengembangan industri pariwisata
dimaksudkan untuk mengoptimalkan kaitan-kaitan ekonomi ke depan dan ke
belakang yang memiliki keuntungan kompetitif serta kredibilitas yang tinggi.
Kedua, pengembangan pasar yang termasuk pengembangan citra destinasi,
penetrasidan diversifikasi pasar untuk meningkatkan keterikatan pasar tradisional
menjadi wisatawan pengulang (repeater) dan memperluas jangkauan pasar dalam
bentuk segmen-segmen pasar baru. Ketiga, Pengembangan industri
kepariwisataan yang menyangkut organisasi, sumberdaya insan serta regulasi
yang menangani pengelolaan kepariwisataan tersebut.
Bedasarkan konsep yang dikemukakan di atas, maka dapat ditemukan
benang merah dalam memberikan konsep secara operasional tentang
25
pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata yang dimaksud dalam
membangun pariwisata Kawasan Gili Balu adalah suatu proses yang rasional,
dilakukan secara sistematis dalam memprediksi masa depan dengan melakukan
pendekatan berkelanjutan, berbasis masyarakat serta tidak merusak lingkungan
dan budaya masyarakat lokal dengan tujuan yang lebih baik dan sesuai dengan
potensi di Kawasan Gili Balu dan sekitarnya.
2.2.2 Potensi dan Daya Tarik Wisata
Potensi menurut Alwi dkk. (2004), adalah kemampuan yang mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan: kesanggupan, kekuatan dan daya. Pendit
(1999), menerangkan bahwa potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang
terdapat di sebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi
wisata. Dengan kata lain, potensi wisata adalah berbagai sumberdaya yang
dimiliki oleh suatu tempat dan dapat dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata
(tourist attraction) yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan tetap
memperhatikan aspek-aspek lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 menegaskan bahwa
kepariwisataan adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata. Daerah tujuana
wisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah
administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas
pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan.
26
Marioti (1985), Yoeti (1987), dalam Bambang Sunaryo (2013),
mengemukakan bahwa daya tarik dari suatu destinasi merupakan faktor yang
paling penting dalam rangka mengundang wisatawan untuk mengunjunginya.
Suatu destinasi dapat menarik wisatawan paling tidak harus memenuhi syarat
utama yaitu; destinasi tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan
“something to see”. Maksudnya, destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik
khusus yang bisa dilihat oleh wisatawan, disamping itu juga harus mempunyai
atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai “entertaiments” bila orang datang
untuk mengunjunginya. Selanjutnya destinasi tersebut juga harus mempunyai
“something to do”. Selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus juga
disediakan beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan tempat atau wahana
yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk beraktivitas seperti olah raga, kesenian
maupun kegiatan yang lain yang dapat membuat wisatawan menjadi betah tinggal
lebih lama. Kemudian destinasi juga harus mempunyai “something to buy”.
Ditempat tersebut harus tersedia barang-barang cidera mata (souvenir) seperti
halnya kerajinan rakyat setempat yang bisa dibeli wisatawan sebagai oleh-oleh
untuk dibawa pulang ke tempat asal masing-masing.
Lebih lanjut Bambang Sunaryo (2013), menyatakan bahwa ada beberapa
komponen yang harus dimiliki oleh sebuah daya tarik wisata seperti atraksi dan
daya tarik wisata yang dapat didefinisikan berdasarkan pada jenis dan temanya
yaitu, daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya tarik wisata
minat khusus. Berbagai jenis atraksi dan daya tarik wisata mempunyai kedudukan
yang sangat penting pada sisi produk wisata, terutama dalam rangka menarik
27
kunjungan wisatwan ke destinasi seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah
yang menawan, dan seni-seni pertunjukan.
Transportasi dan Aksesibilitas, yaitu segenap fasilitas dan moda angkutan
yang memungkinkan dan memudahkan serta membuat nyaman wisatwan untuk
mengunjungi suatu destinasi. Amenitas atau akomodasi yang juga sangat penting
untuk diperhatikan karena berbagai jenis fasilitas dan kelengkapannya yang dapat
digunakan oleh wisatawan untuk beristirahat dan bersantai dengan nyaman serta
menginap selama melakukan kunjungan ke suatu destinasi. Infrastruktur
pendukung, yaitu keseluruhan jenis fasilitas umum yang berupa prasarana seperti
komponen pendukung perhubungan seperti pelabuhan (seaport), bandara
(airport), stasiun kereta api dan jaringan telekomunikasi serta beberapa fasilitas
fisik yang lain seperti jaringan listrik, air minum dan sebagainya. Fasilitas
pendukung wisata lainnya, yaitu berbagai jenis fasilitas pendukung
kepariwisataan yang berfungsi memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
wisatawan selama melakukan kunjungan di suatu destinasi seperti keamanan,
rumah makan, biro perjalanan, toko cideramata, pusat informasi wisata, rambu
wisata, fasilitas perbelanjaan, hiburan malam, fasilitas perbankan dan beberapa
skema kebijakan khusus yang diadakan untuk mendukung kenyamanan bagi
wisatawan dalam kunjungannya di destinasi wisata. Kelembagaan sumber daya
manusia pariwisata, yaitu keseluruhan unsur organisasi atau institusi pengelola
kepariwisataan dan termasuk sumber daya manusia pendukungnya, yang terkait
dengan manajemen pengelola kepariwisataan di suatu destinasi, baik dari unsur
pemerintah, maupun swasta dan masyarakat.
28
2.2.3 Wisata Bahari dan Ekowisata
Pengertian pariwisata bahari atau tirta seperti yang diungkapkan oleh
Pendit (2003), adalah jenis pariwisata ini dikaitkan dengan kegiatan olah raga air
lebih-lebih di danau, bengawan, pantai, teluk atau lautan lepas sepertimemancing,
berlayar, menyelam sambil melakukan pemotretan, kompetisi selancar,
mendayung dan sebagainya. Aktivitas bahari ini dapat dijumpai di daerah
Bunaken Sulawesi Utara, Wakatobi, Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan
Lombok, Pulau Rajaampat di Papua serta beberapa kawasan pesisir pulau bali.
Wisata bahari menurut Ardika (2000), adalah wisata dan lingkungan yang
berdasarkan daya tarik bahari kawasan yang didominasi perairan dan kelautan,
Keraf (2000), wisata bahari adalah kegiatan untuk menikmati keindahan dan
keunikan daya tarik wisata alam di wilayah pesisir dan laut dekat pantai serta
kegiatan rekreasi lain yang menunjang, Sawono (2000), wisata bahari adalah
kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi alam bahari sebagai daya tarik wisata
maupun wadah kegiatan wisata baik yang dilakukan di atas permukaan di wilayah
laut yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ekosistemnya yang kaya akan
keanekaragaman jenis biota laut.
Dalam perkembangan industri pariwisata berbagai problem timbul, salah
satunya adalah terabaikannya lingkungan alam dan lingkungan sosial. Berangkat
dari masalah tersebut, maka lahirlah konsep ecotourism atau ekowisata atau
wisata ekologi yang menurut Lascurain dalam Pendit (1994), ecotourism adalah
kegiatan berwisata dan mengunjungi kawasan alamiah yang relatif tak terganggu
dengan niat betul-betul obyektif untuk melihat, mempelajarai, mengagumi wajah
29
keindahan alam, flora, fauna, temasuk asfek-asfek sosial budaya baik dimasa
lampau maupun masa sekarang yang mungkin terdapat di kawasan tersebut.
Ekowisata berarti pula melibatkan masyarakat setempat dalam proses hingga
mereka dapat memperoleh keuntungan sosioekonomi, budaya dari proses yang
dimaksud. Dalam hal ini ekowisata menciptakan dan memuaskan suatu keinginan
akan alam tentang ekspolitasi potensi wisata untuk konservasi, pembangunan dan
mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. Yang
dimaksud dengan ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab kewilayah
alami yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat (Lindberg, 1995).
2.3 Kerangka Teori
Untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan penelitian mengenai
Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Gili Balu Berbasis Ekowisata di
Kabupaten Sumbawa Barat maka perlu suatu landasan teori. Untuk itu maka akan
dibahas beberapa landasan teori yang relevan denga penelitian ini.
2.3.1 Teori Perancanaan
Perencanaan pariwisata merupakan suatu proses pembuatan keputusan
yang berkaitan dengan masa depan suatu daerah tujuan wisata atau atraksi wisata
yang merupakan suatu proses dinamis penentuan tujuan, yang secara sistematis
mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan,
implementasi terhadap alternatif terpilih dan evaluasi. Proses perencanaan
pariwisata dengan melihat lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, politik) sebagai
30
suatu komponen yang saling terkait dan saling tergantung satu dengan lainnya
(Paturusi, 2008). Semakin meningkatnya persaingan produk dan jasa di pasar
wisata dengan derajat kualitas yang jauh lebih baik maka perencanaan menjadi
tindakan yang mutlak diperlukan. Perencanaan yang baik berarti akan
menghasilkan suatu strategi peningkatan daya saing produk dan keuntungan di
tingkat perusahaan atau pelaku pariwisata (Damanik dan Weber, 2006). Hakekat
pariwisata Indonesia bertumpuh pada keunikan, kekhasan, dan keaslian alam serta
budaya yang ada dalam suatu masyarakat daerah wilayah Indonesia. Hakekat ini
menjadi konsep dasar dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata
Indonesia, baik tingkat nasional maupun daerah.
Perencanaan pariwisata di tingkat Kabupaten/Kota yang menurut Paturusi
(2008), difokuskan pada empat hal antara lain seperti; Kebijakan pengembangan
pariwisata Kabupaten/Kota yang disesuaikan dengan rencana Pembangunan
Jangka Menengah dan Jangka Panjang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana
struktur tata ruang pariwisata Kabupaten/Kota sampai ke obyek-obyek utama,
Penentuan kawasan pintu gerbang menuju obyek utama dan kebutuhan fasilitas
pendukung (jumlah, jenis dan lokasi), dan Rencana jaringan utulitas, pendukung
kawasan, dan lokasi obyek-obyek menarik lainnya.
Teori perencanaa tersebut sangat relevan dengan penelitian ini karena
berkaitan dengan perencanaan pariwisata ditingkat Kabupaten yang
mempertimbangkan kemampuan dan potensi daerah dalam perencanaan kawasan
pariwisata. Menurut Inskeep (1991), perencanaan dasar dengan menyediakan
kerangka perencanaan yang umum dan menekankan pada konsep perencanaan
31
menjadi berkesinambungan, berorientasi system, menyeluruh, terintegrasi, dan
ramah lingkungan serta fokus pada keberhasilan pengembangan yang dapat
mendukung keterlibatan masyarakat.
Pendekatan dalam perencanaan tersebut pertama, pendekatan
berkelanjutan dan fleksibel yang berdasarkan pada suatu kebijakan dan
perencanaan pariwisata berlanjutan yang sesuai dengan monitoring dan umpan
balik dalam melihat sasaran hasil dan kebijakan dasar pengembangan pariwisata.
Kedua, pendekatan sistem pariwisata dipandang sebagai suatu system yang saling
berhunbungan dan direncanakan sedemikian rupa dengan memanfaatkan analisa
sistem. Ketiga, pendekatan menyeluruh yaitu segala aspek pengembangan
pariwisata mencakup unsur-unsur kelembagaan dan implikasi sosial ekonomi dan
lingkungan yang dianalisa dan direncanakan dengan penuh pemahaman yang
disebut pendekatan holistik. Keempat, pendekatan yang terintegrasi yaitu suatu
pendekatan yang berhubungan dengan sistem seraca menyeluruh dan pariwisata
yang direncanakan, dikembangkan merupakan suatu sistem yang terintegrasi
dalam keseluruhan rencana dan pengembangannya. Kelima, pendekatan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yaitu pariwisata direncanakan,
dikembangkan dan diatur. Sumber daya alam dan budaya tidak dihabiskan atau
diturunkan kualitasnya tetapi merawat secara permanen untuk penggunaan dimasa
mendatang. Keenam, pendekatan masyarakat yaitu keterlibatan masyarakat lokal
di dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan serta adanya
keikutsertaan masyarakat dalam pengembangan pariwisata dan bermanfaat secara
sosial ekonomi dan budaya. Pendekatan pelaksanaan yaitu adanya kebijakan
32
pengembangan pariwisata, rencana dan rekomendasi yang dirumuskan untuk
dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan terencana.
Perencanaan yang sistematis dapat diterapkan dalam perencanaan
pariwisata berdasarkan urutan yang logis. Perencanaan strategis dapat digunakan
untuk menentukan misi, visi, niali-nilai, tujuan, sasaran hasi, peran dan tanggung
jawab, batas waktu dan sebagainya. Perencanaan strategis adalah suatu alat
menejemen yang digunakan untuk membantu suatu organisasi melakukan
pekerjaan yang lebih baik dengan tujuan yang sama. Perencanaan strategis
merupakan tindakan dan keputusan pokok untuk mencapai tujuan dimasa
mendatang dalam menyiapkan destinasi pariwisata daerah.
Menurut Kusudianto (1996), destinasi pariwisata dapat digolongkan
berdasarkan ciri-ciri destinasi tersebut yaitu; destinasi sumberdaya alam (iklim,
pantai dan hutan), destinasi sumberdaya budaya (tempat bersejarah, museum,
teater dan masyarakat lokal), fasilitas rekreasi (taman hiburan), Event (pesta
kesenian Bali, Pesta Danau Toba, dan pasar malam), aktivitas spesifik (kasino di
Genting Highland Malaysia dan wisata belanja di Hong Kong), daya tarik
psikologis (petualang, perjalanan romantik, dan keterpencilan).
Perencanaan strategis adalah suatu alat menejemen yang digunakan untuk
membantu sebuah organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan yang lebih baik
dengan memusatkan energinya untuk memastikan bahwa anggota organisasi
tersebut bekerja ke arah tujuan yang sama. Perencanaan strategis merupakan suatu
usaha untuk menghasilkan tindakan dan keputusan pokok yang menjadi model
atau acuan dalam mengerjakan sesuatu di masa depan.
33
2.3.2 Teori Siklus Hidup Pariwisata
Teori siklus hidup destinasi pariwisata yang dikemukakan oleh Butler
pada tahun 1980 yang dikenal dengan Tourism Area Lifecycle. Siklus hidup
pariwisata mengacun pada pendapat Butler dalam Pitana (2005), terbagi atas tujuh
fase antara lain; fase eksplorasi, fase keterlibatan, fase pembangunan, fase
konsolidasi, fase stagnasi, fase penurunan dan fase peremajaan. Dari fase-fase
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
Tahap penemuan (exploration), pada tahap ini Daerah Tujuan Wisata
(DTW) ditemukan oleh sejumlah orang sebagai wilayah wisata baru. Mereka
umumnya para pengembara (travel style) pada dasrnya adalah explorasi, berburu,
santai atau sekedar menyalurkan hasrat kecintaan pada hehidupan alam. Di daerah
tujuan wisata ini para pengembara tidak memiliki pengharapan untuk
diperlakukan secara profesional.
Tahap keterlibatan (involvement), pada tahap ini inisiatif masyarakat
menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata mulai dengan
membantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah
wisatawan. Tipe wisatawan mulai berubah, fasilitas kepariwisataan mulai
bermunculan karena tipe wisatawan berbeda dan sudah menginginkan pelayanan
profesional, sementara kesadaran wisata dan gaya serta taraf hidup masyarakat
setempat mulai mengalami peningkatan dan pemerintah mulai ikut campur dalam
pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan. Namun dalam pengelolaan
berbagai fasilitas kepariwisataan tersebut dilakukan semata-mata sebagai
tanggapan dan inisiatif lokal yang bersifat spontan, belum terkoordinasi dan
34
memenuhi standar kepariwisataan.
Tahap pengembangan dan pembangunan (development), pada tahap ini
jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan
dapat menyamai bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar
berdatangan memperbaharui fasilitas, sejalan dengan meningkatnya jumlah dan
popularitas daerah pariwisata dan masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai
terjadi.
Tahap konsolidasi (consolidation) dan interelasi, pada tahap ini tingkat
pertumbuhan sudah mulai menurun walaupun jumlah wisatawan masih relatif
meningkat, daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan
kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.
Tahap kesetabilan (stagnation), pada tahap ini jumlah wisatawan yang
datang dimusim ramai tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Hal
ini didasari bahwa kunjungan ulangan wisatawan, pemanfaatan bisnis dan
komponen-komponen lain sebagai pendukung sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah tujuan wisata dan
mungkin menglami masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
Tahap penurunan kualitas (decline), fase ini wisatawan sudah beralih ke
destinasi wisata baru atau pesaing dan yang tinggal hanya sisa-sisa wisatawan
yang ingin berakhir pekan saja. Banyak fasilitas pariwisata yang sudah beralih
fungsi untuk kegiatan non-pariwisata sehingga destinasi semakin tidak menarik.
Tahap kelahiran baru (rejuvenation), pengunjung kehilangan daerah tujuan
wisata yang diketahui semula dan telah menjadi resort baru. Kepemilikan
35
berpeluang untuk berubah terhadap fasilitas pariwisata seperti akomodasi akan
berubah pemanfaatannya. Akhirnya akan mengambil kebijakan baru dan
memutuskan untuk dikembangkan kembali sebagai ”kelahiran baru”. Selanjutnya
terjadi kebijakan baru dalam bergai bidang seperti pemanfaatan pemasaran,
saluran distribusi dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.
Penjelasan tambahan dalam siklus hidup destinasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Butler (1980), dalam siklus hidup destinasi (destination life
cycle), pada siklus ke-6 (enam) yaitu tahap yang disebut juga sebagai tahap Post-
stagnation selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu; tahap Decline
dan Rejuvenation (Pitana dan Diarta, 2009).
Pada tahap Decline, wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru.
Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non-pariwisata. Atraksi wisata
menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang
bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan
harga fasilitas pariwisata dan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi
menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi
sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata. Tahap
Rejuvenation, terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial
baru atau penggunaan sumber daya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya.
36
Gambar 2.1
A Tourism Area Cycle Of Evolution Sumber: Butler, 1980
Berdasarkan beberapa tahapan siklus hidup destinas tersebut (destination
life cycle) posisi Kawasan Gili Balu berada pada tahap eksplorasi (exploration)
artinya bahwa kepariwisataan di Kawasan Gili Balu masih pada tahap penemuan,
belum berkembang dan belum banyak masyarakat yang terlibat. Pada tahap
eksplorasi tersebut ditandai dengan adanya inisiatif pemerintah dan masyarakat
lokal untuk menyediakan fasilitas pariwisata dan adanya peningkatan jumlah
kunjungan wisatawan meskipun hal tersebut tidak signifikan.
2.3.3 Teori Adaptasi
Adaptasi merupakan suatu proses yang menghubungkan sistem budaya
dengan lingkungan (Kaplan, 2000; Saragih, 2009). Kunjungan wisatawan ke suatu
daerah tujuan wisata menyebabkan terjadinya proses adaptasi baik adaptasi
37
lingkungan fisik maupun budaya antara masyarakat setempat dengan wisatawan
yang berbeda latar belakang kehidupannya (Swarbrooke, 1998).
Soemarwoto (2001), berpendapat bahwa perubahan terhadap lingkungan
yang terjadi dengan cepat maupun lambat, manusia berusaha mengadaptasikan
dirinya terhadap perubahan itu sehingga menghasilkan sifat (prilaku) yang tidak
sesuai dengan lingkungannya. Menurut teori adaptasi, penelitian ini dapat
menjelaskan bahwa dengan pengembangan Kawasan Wisata Gili Balu secara
tidak langsung akan mendorong terjadinya perubahan terhadap lingkungan sosial,
budaya dan ekonomi baik itu terjadi dengan cepat maupun lambat, masyarakat
akan berusaha beradaptasi dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu penelitian
ini dapat merumuskan strategi pengembangan dengan mempertimbangkan proses
adaptasi yang terjadi pada masyarakat yang ditimbulkan akibat dikembangkannya
Gili Balu dan sekitarnya sebagai kawasan wisata.
2.4 Model Penelitian
Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan,
diperlukan kerangka konsep atau model yang merupakan abstraksi dan sintesis
dari kajian pustaka. Secara kwalitatif penelitian ini diawali dari pariwisata Nusa
Tenggara Barat serta penomena yang terjadi terhadap pemanfaatan sumberdaya
alam yang kurang optimal untuk kepentingan masyarakat lokal dan pembangunan
daerah secara umum. Dalam perkembangannya kawasan ini belum dimanfaatkan
dan tertata sehingga pembangunan terjadi secara tidak terkontrol dan terkendali
dilaksanakan secara sporadis.
38
Dari pemikiran tersebut, dirumuskan tiga permasalahan pertama apa yang
menjadi potensi daya tarik wisata Kawasan ekowisata bahari Gili Balu di
Kabupaten Sumbawa Barat?. Kedua, bagaimanakah kondisi lingkungan internal
dan kondisi lingkungan eksternal terhadap pengembangan ekowisata bahari di
Kawasan Gili Balu Kabupaten Sumbawa Barat?. Ketiga, bagaimana strategi dan
program pengembangan ekowisata bahari di Kawasan Gili Balu Kabupaten
Sumbawa Barat?. Berdasarkan permasalahan diatas dapat memberi adanya
harapan bahwa pengembangan kawasan perlu memperhatikan pembangunan
pariwisata berkelanjutan dan pariwisata yang berbasis kerakyatan, pariwisata
bahari merupakan konsep yang diterapkan dalam setiap pengembangan kawasan
wisata, sedangkan teori perencanaan, teori siklus hidup pariwisata serta teori
adaptasi menjadi landasan untuk membedah paermasalahan tersebut diatas.
Penelitian ini dengan mengidentifikasi faktor lingkungan internal dan
faktor lingkungan eksternal Gili Balu untuk dikembangkan sebagai kawasan
ekowisata bahari di Kabupaten Sumbawa Barat. Dari kedua faktor tersebut
kemudian data dianalisis dengan menggunakan matrik SWOT (Strengths
Weaknesses Opportunities Threats). Matrik SWOT menghasilkan beberapa
strategi dan program yang sesuai untuk pengembangan ekowisata bahari Gili Balu
dilihat dari kekuatan dan peluang dalam pengembangannya.
39
Gambar 2.2
Model Penelitian
top related