karakterisasi sifat fisikokimia tepung labu kuning ... · labu kuning sebagai sumber bahan pangan...
Post on 06-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG LABU
KUNING (Cucurbita moschata D.)
YESIKA KRISTIANI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi Sifat
Fisikokimia Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata D.) adalah benar karya
saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Yesika Kristiani
NIM F24120012
ABSTRAK
YESIKA KRISTIANI. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Kuning
(Cucurbita moschata D.). Dibimbing oleh ELVIRA SYAMSIR dan DIDAH NUR
FARIDAH.
Labu kuning (Cucurbita moschata D.) merupakan tanaman sayuran
dengan kandungan gizi yang cukup lengkap, dan tinggi serat. Pemanfaatan labu
kuning yang masih sebatas pengolahan pangan tradisional, dapat diperluas dengan
menjadikan labu kuning dalam bentuk tepung, yang dapat digunakan sebagai
ingredient dalam berbagai jenis makanan dengan umur simpan yang lebih panjang
dan proses distribusi yang lebih mudah. Perlakuan awal berupa perendaman dalam
larutan natrium metabisulfit 0.10% pada suhu perendaman yang berbeda ditujukan
untuk meminimalkan reaksi pencoklatan, tetapi akan berpengaruh terhadap
karakteristik fisikokimia tepung labu kuning yang dihasilkan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan yang diberikan
yaitu perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.10% dengan kondisi
larutan perendaman pada suhu ruang dan suhu awal larutan perendaman 80 C
terhadap sifat fisikokimia dari tepung labu kuning yang dihasilkan. Tahapan
pembuatan tepung labu kuning meliputi pengupasan, pembuangan bagian yang
tidak diinginkan, pencucian, pengecilan ukuran, perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit 0.10%, pengeringan, penepungan, dan pengayakan (60 mesh).
Pada tahapan pengupasan, pengecilan ukuran, dan pengeringan berpotensi
terjadinya reaksi pencoklatan. Parameter yang diukur adalah kadar air, abu,
protein, lemak, karbohidrat, gula, serat, pati, warna, daya ikat air, daya ikat
minyak, dan viskositas. Berdasarkan hasil pengujian, perbedaan suhu perendaman
memberikan pengaruh nyata pada kadar gula, pati, warna, dan viskositas. Tepung
labu kuning dengan suhu awal larutan perendaman 80 C memiliki nilai kadar gula
21.34 ± 0.01 % bk, warna L* 64.87 ± 0.04, b* +52.95 ± 0.05 lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung labu kuning yang dihasilkan dari kondisi larutan
perendaman pada suhu ruang, sedangkan nilai kadar pati 34.26 ± 0.02 % bk,
viskositas 16.90 ± 0.03 Pa.s, dan warna a* +6.89 ± 0.06 lebih rendah jika
dibandingkan tepung labu kuning dengan kondisi larutan perendaman pada suhu
ruang.
Kata kunci: labu kuning, perlakuan perendaman, sifat fisikokimia, tepung labu
kuning
ABSTRACT
YESIKA KRISTIANI. Characterization Physicochemical Properties of Pumpkin
Flour (Cucurbita moschata D.). Supervised by ELVIRA SYAMSIR and DIDAH
NUR FARIDAH.
Pumpkin (Cucurbita moschata D.) is a vegetable plants with a lot of
nurient, and high fiber. Pumpkins still limited to traditional food, that making it to
the flour can extend the shelf life and facilitated the distribution process.
Pretreatment such as soaking in a solution of natrium metabisulfit 0.10%,
intended to reducing browning reaction but it will affect the physicochemical
characteristics on pumpkin flour produced. The purpose of this research was to
characterize the physicochemical properties of pumpkin flour obtained from two
different soaking treatment was conditions of soaking solution at room
temperature and the initial condition of soaking soultion at 80 C in a solution of
natrium metabisulfit 0.10%. The steps of making pumpkin flour includes peeling,
removal of unwanted part, washing, size reduction, soaking in natrium
metabisulfit solution, drying, flouring, and sieving (60 mesh). At the stage of
peeling, size reduction, and drying the potential occurrence of browning reaction.
Parameters measured were moisture, ash, fat, protein, carbohydrates, sugar, fiber,
starch, color, water holding capacity, oil holding capacity, and viscosity. Based on
test results, the temperature difference soaking significant effect on the levels of
sugar, starch, color, and viscosity. Pumpkin flour with the initial conditions of
soaking solution at at 80°C has a value of sugar 21.34 ± 0.01 % bk, color L*
64.87 ± 0.04, b* +52.95 ± 0.05, higher, but the value of starch 34.26 ± 0.02 % bk,
viscosity 16.90 ± 0.03 Pa.s, and color a* +6.89 ± 0.06, lower than pumpkin flour
with conditions of soaking solution at room temperature.
Keywords: pumpkin, soaking treatment, physicochemical properties, pumpkin
flour
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG LABU
KUNING (Cucurbita moschata D.)
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
YESIKA KRISTIANI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini ialah
Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata D.).
Penelitian ini merupakan bagian penelitian mandiri Dr. Elvira, S.TP, M. Si.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M. Si selaku dosen pembimbing akademik dan
dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, dukungan, perhatian, dan
nasihat yang telah diberikan, dan Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M. Si
selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, dukungan, perhatian,
dan nasihat yang telah diberikan.
2. Dr. Fahim M Taqi, S.TP, DEA selaku dosen penguji tugas akhir atas
waktu dan saran yang telah diberikan.
3. Dr. Budi Nurtama M.Agr atas masukan dan saran yang telah diberikan
dalam mempersiapkan seminar.
4. Bapak, Mama, kakak, adik, dan keluarga besar atas doa, dukungan, dan
kasih sayang yang tulus selama ini.
5. Staf laboratorium SEAFAST Center, dan laboratorium departemen ITP
atas bantuannya selama melakukan penelitian ini.
6. Teman- teman ITP 49 atas bantuan dan semangat yang diberikan selama
melakukan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi orang lain dan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2016
Yesika Kristiani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 3
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
Labu Kuning (Cucurbita moschata D.) ............................................................... 4
Pengeringan ......................................................................................................... 4
Tepung Labu Kuning ........................................................................................... 5
METODE ................................................................................................................ 8
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................. 8
Bahan ................................................................................................................... 8
Alat ...................................................................................................................... 8
Tahapan Penelitian .............................................................................................. 9
Prosedur Analisis ............................................................................................... 11
Prosedur Analisis Data ...................................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 19
Komposisi Kimia Buah Labu Kuning ............................................................... 19
Pemilihan Kondisi Terbaik untuk Pembuatan Tepung Labu Kuning ............... 20
Komposisi Kimia Tepung Labu Kuning ........................................................... 22
Karakteristik Fisik Tepung Labu Kuning .......................................................... 24
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 27
Simpulan ............................................................................................................ 27
Saran .................................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28
LAMPIRAN .......................................................................................................... 32
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 37
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung.............................. 5 2 Hasil dari penelitian mengenai tepung labu kuning dengan berbagai
jenis perlakuan pendahuluan .................................................................... 6 3 Data komposisi kimia buah labu kuning segar ......................................... 19
4 Data komposisi kimia tepung labu kuning................................................ 22 5 Data karakteristik fisik tepung labu kuning............................................... 25
DAFTAR GAMBAR
1 Buah labu kuning utuh dan irisan melintang............................................. 8 2 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning............................................ 10 3 Hasil labu kuning dari penilitian pendahuluan.......................................... 20
4 Tepung labu kuning dengan dua suhu perendaman yang berbeda............ 21 5 Penampakan suspensi tepung labu kuning ............................................... 26
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data hasil stastitik paired sampel t-test komposisi kimia tepung labu
kuning ....................................................................................................... 32 2 Data hasil stastitik paired sampel t-test komposisi kimia tepung labu
kuning ....................................................................................................... 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Labu kuning (Cucurbita moschata D.) merupakan salah satu sumber bahan
pangan yang memiliki kandungan gizi cukup lengkap. Menurut PERSAGI (2005),
100 gram labu kuning mengandung energi 29 kkal, air 91.20 g, protein 1.10 g,
lemak 0.30 g, karbohidrat 6.60 g, kalsium 45 mg, fosfor 64 mg, besi 1.40 mg,
vitamin A 54.05 RE, vitamin B1 0.08 mg, vitamin C 52 mg. Kandungan serat
yang terdapat dalam buah labu kuning segar sebesar 1.10 % (Purba 2008).
Berdasarkan penelitian Rizani (2015) diketahui bahwa puree labu kuning kering
dengan waktu pasteurisasi 30 menit pada suhu ruang memiliki kandungan total
serat pangan sebesar 57.82 g/ 100 g.
Serat memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh manusia, seperti
mencegah kanker kolon, menghambat dan mencegah peningkatan gula darah,
mengontrol obesitas, mengurangi tingkat kolestrol dan penyakit kardiovaskular,
dan mencegah gangguan gastrointenstinal (Kusharto 2006). Kecukupan serat kini
dianjurkan semakin tinggi, mengingat banyak manfaat yang menguntungkan
untuk kesehatan tubuh.
Rata-rata konsumsi serat pangan penduduk Indonesia adalah 10.5 gram/
hari. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia baru memenuhi
kebutuhan serat sekitar sepertiga dari kebutuhan ideal sebesar 30 gram/ hari
(Astawan 2008). Menurut USDA (2010), nilai kecukupan serat untuk wanita 25
gram/ hari, dan 38 gram/ hari untuk pria. Rata-rata konsumsi serat pangan
penduduk Amerika hanya 15 gram/ hari. Berdasarkan data tersebut, konsumsi
serat penduduk Indonesia dan Amerika masih dibawah kebutuhan serat ideal
(Astawan 2008).
Selain memiliki kandungan gizi lengkap, dan serat yang tinggi, labu
kuning juga memiliki daya adaptasi yang cukup baik (Trisnawati et al. 2014).
Ketersediaan labu kuning di Indonesia relatif tinggi, terlihat dari hasil produksi
labu kuning rata-rata 21 ton per hektar (Wahyuni et al. 2015). Produksi labu
kuning dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa produksi labu kuning di Indonesia pada tahun 2010 sebesar
369,846 ton, dan mengalami peningkatan menjadi 428,197 ton pada tahun 2011
(Prabasini et al. 2013).
Labu kuning sebagai sumber bahan pangan lokal sudah lama dikenal dan
digunakan oleh masyarakat Indonesia. Namun, pemanfaatan buah labu kuning
masih sebatas pengolahan pangan tradisional seperti dodol, kolak, asinan, manisan,
sayur, sup, puding, kue basah, dan makanan lain yang umur simpannya singkat
dan distribusinya terbatas (Rahmawati et al. 2014). Masyarakat Indonesia belum
memanfaatkan labu kuning secara optimal, terlihat dari rendahnya tingkat
konsumsi terhadap labu kuning yaitu kurang dari 5 kg per kapita per tahun (Ifgar
2012). Labu kuning memiliki kandungan air yang cukup tinggi , dan volume besar
yang menyebabkan mudah rusak selama proses pengangkutan sehingga perlu
diolah menjadi suatu produk yang lebih tahan lama disimpan dan praktis seperti
2
tepung. Pengolahan labu kuning menjadi tepung akan memperpanjang umur
simpan, dan memberikan nilai tambah terhadap labu kuning itu sendiri, sehingga
dapat diaplikasikan lebih luas pada berbagai jenis makanan.
Proses pengeringan merupakan salah satu proses penting dalam tahapan
pembuatan tepung labu kuning. Prinsip proses pengeringan adalah proses
terjadinya pindah panas dan difusi air dari bahan yang dikeringkan (Hamsah
2013). Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas
tertentu sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim
yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan (Yanuwardana et al.
2013).
Sebelum masuk proses pengeringan, terdapat tahapan pengupasan kulit,
dan pengecilan ukuran yang dapat pula berpotensi terjadi reaksi pencoklatan.
Reaksi pencoklatan dibagi menjadi dua yaitu pencoklatan enzimatis, dan non-
enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada
sayuran dan buah-buahan dengan senyawa fenolik sebagai substrat dan dikatalis
oleh enzim polifenol oksidase yang berinteraksi dengan oksigen sehingga
mengubah gugus fenol menjadi gugus O-kuinon yang menghasilkan warna coklat.
Reaksi pencoklatan enzimatis membutuhkan tiga agen utama yaitu oksigen
(dibantu katalis Cu2+
), enzim (polifenoloksidase), serta komponen fenolik
(Murano 2003). Pencoklatan non enzimatis disebut pula dengan reaksi Maillard,
dimana harus ada komponen gula pereduksi dan gugus amin primer, melalui tiga
tahapan yaitu tahap kondensasi, Amadori rearrengment, dan polimerisasi
(Kusnandar 2010). Saat proses pengupasan dan pengecilan ukuran sangat
berpotensi terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis. Labu kuning juga memiliki
kandungan gula yang cukup tinggi dan adanya gugus amin, sehingga dapat pula
mengalami reaksi pencoklatan non enzimatis. Oleh karena itu diberikan perlakuan
awal seperti, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit, blansir, dan
kombinasinya yang dapat mencegah terjadinya perubahan warna atau reaksi
pencoklatan (Prabasini et al. 2013). Selain mencegah terjadinya reaksi
pencoklatan, perlakuan awal yang diberikan dapat mempengaruhi sifat fisikokimia
dari tepung labu kuning yang akan dihasilkan. Hal ini didukung dari beberapa
penelitian yang telah ada.
Penelitian Yanuwardana et al. (2013) membuat tepung labu kuning
(Cucurbita moschata D.) modifikasi dengan perbedaan lamanya waktu
perendaman (0 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit) dan konsentrasi asam laktat
(0%, 0.5%, 1%, 1.5%), menunjukkan bahwa lama perendaman yang diberikan
mempengaruhi parameter β-karoten, viskositas, swelling power, dan protein.
Kadar air, dan gula reduksi tidak dipengaruhi oleh lama waktu perendaman.
Perbedaan konsentrasi asam laktat memberikan pengaruh terhadap parameter
kadar air, gula reduksi, protein, β-karoten, viskositas, dan swelling power.
Sementara itu, penelitian Prabasini et al. (2013), membuat tepung labu kuning
dengan perlakuan awal yang diberikan adalah blansir, lama perendaman (0 menit,
10 menit, 20 menit), konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) (0%, 0.25%,
0.30%), menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi natrium metabisulfit
mempengaruhi nilai kadar air, abu, β-karoten, warna, serat kasar, kelarutan, dan
daya dispersi, namun tidak mempengaruhi nilai kadar lemak, protein, dan daya
serap air. Lama waktu perendaman memberikan pengaruh terhadap kadar air, abu,
lemak, serat kasar, β-karoten, warna, daya dispersi, dan kelarutan namun tidak
3
mempengaruhi nilai kadar protein, dan daya serap air. Perlakuan pendahuluan
berupa blansir berpengaruh dalam mempertahankan kadar lemak, kadar β-karoten
dan daya serap air. Pada sifat fisik warna, perlakuan blansir dan perendaman
dalam natrium metabisulfit (Na2S2O5) mempertahankan warna tepung labu kuning.
Pada penelitian terdahulu belum ada yang membuat tepung dengan
perlakuan awal yang diberikan berupa kombinasi antara perendaman dalam
larutan natrium metabisulfit dengan menggunakan suhu panas. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk melihat karakteristik sifat fisikokimia dari tepung
labu kuning yang dihasilkan dengan kombinasi perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit dan dua suhu perendaman berbeda yaitu kondisi larutan perendaman
pada suhu ruang dan kondisi larutan perendaman dengan suhu awal 80 C.
Perumusan Masalah
Selama proses pembuatan tepung labu kuning terdapat beberapa proses
yang dapat berpotensi terjadinya reaksi pencoklatan seperti pengupasan,
pengecilan ukuran, dan pengeringan. Perlakuan pendahuluan berupa perendaman
dalam larutan natrium metabisulfit 0.10% dengan dua suhu perendaman yang
berbeda yaitu kondisi larutan perendaman pada suhu ruang dan suhu awal larutan
perendaman 80 C dapat mencegah reaksi pencoklatan. Perbedaan suhu
perendaman dapat pula mempengaruhi sifat fisikokimia dari tepung labu kuning
yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan
pendahuluan yang diberikan yaitu perendaman dalam larutan natrium metabisulfit
0.10% pada kondisi larutan perendaman pada suhu ruang dan suhu awal larutan
perendaman 80 C terhadap sifat fisikokimia dari tepung labu kuning yang
dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai sifat
fisikokimia tepung labu kuning yang dihasilkan dari dua perlakuan pendahuluan
yang berbeda sehingga dapat dimanfaatkan sebagai ingredient pangan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Labu kuning (Cucurbita moschata D.)
Tanaman labu kuning merupakan tanaman semusim yang bersifat
menjalar dan termasuk dalam family Cucurbitaceae (Prabasini et al. 2013). Labu
kuning berkembang biak secara aseksual melalui biji. Mutu dan daya awet labu
kuning dipengaruhi oleh tingkat kematangan labu kuning pada saat pemetikan.
Labu kuning yang sudah matang, utuh, dan tidak ada luka dapat bertahan selama
satu tahun dalam penyimpanan alami. Kondisi penyimpanan buah labu kuning
pada suhu 10-13 C dengan kelembapan 70-75 % Hayati (2006).
Buah labu kuning berbentuk bulat pipih dengan berat bervariasi mulai
dari 2.5 kg hingga 10 kg per buah. Labu kuning terdiri dari 81% daging buah,
12.55% kulit, 6.45% biji (Hayati 2006). Daging buah labu kuning berwarna
kuning, bertekstur padat, serta memiliki rasa manis (Kristianingsih 2010).
Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada buah labu kuning adalah pati,
gula, pektin, dan selulosa (Purba 2008). Selain memiliki kandungan serat yang
tinggi, labu kuning juga memiliki kandungan provitamin A berupa β-karoten yang
cukup tinggi yaitu sebesar 180 SI (Prabasini et al. 2013). Kebutuhan provitamin A
akan tercukupi dengan konsumsi 70 gram labu kuning segar per hari (Santoso et
al. 2013).
Pengeringan
Pengeringan merupakan salah satu aspek penting dalam pengolahan
makanan dan merupakan teknik umum dalam pengawetan makanan untuk
menghasilkan bentuk baru produk (Trisnawati et al. 2014). Pengeringan adalah
proses perpindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi
panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan
yang dikeringkan dengan media pengering yang biasanya berupa panas. Prinsip
proses pengeringan adalah proses terjadinya pindah panas dan difusi air dari
bahan yang dikeringkan (Hamsah 2013). Menurut Lubis (2013) faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pengeringan adalah luas permukaan benda, suhu
pengeringan, aliran udara, tekanan uap udara, dan waktu pengeringan. Proses
pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas tertentu sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim yang dapat
menyebabkan kerusakan pada bahan pangan (Yanuwardana et al. 2013).
Terdapat beberapa metode pengeringan, yaitu pengeringan secara
konvensional dengan penjemuran, pengeringan buatan menggunakan alat
pengering, dan pengeringan secara pembekuan Axtell (2011). Pengeringan buatan
dengan menggunakan alat seperti, tray dryer, spray dryer, fluidized bed dyer dan
lain-lain. Fluidized bed dyer, spray dryer, freeze dyer merupakan jenis alat
pengering yang membutuhkan biaya dan energi yang sangat besar.
5
Tray dyer memiliki kelebihan yaitu laju pengeringan cepat, kemungkinan
terjadi over drying kecil, tekanan udara pengering yang rendah dapat melalui
lapisan bahan yang dikeringkan, suhu yang dapat diatur, kapasitas besar. Namun
semua alat pengering selain memiliki kelebihan pasti memiliki kekurangan pula.
Kekurangan alat pengering tray dryer adalah efisiensinya yang rendah, biasanya
tray bawah lebih panas dibandingkan dengan tray teratas.
Pemilihan alat pengering harus sesuai dengan karakteristik bahan yang
akan dikeringkan (Axtell 2011). Metode pengeringan yang sesuai dengan
karakteristik labu kuning adalah metode pengeringan buatan dengan
menggunakan alat pengering tray dryer.
Tepung labu kuning
Tepung labu kuning berbentuk bubuk halus yang lolos ayakan 60 mesh,
berwarna kuning, berbau khas labu kuning. Perbandingan komposisi kimia tepung
labu kuning dengan tepung lain dapat dilihat pada Tabel 1. Tepung labu kuning
memiliki sifat yang higroskopis dalam penyimpanannya. Jenis kemasan yang baik
dan cocok untuk menyimpan tepung labu kuning adalah plastik yang dilapisi
aluminium foil (Ifgar 2012).
Tabel 1 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung
Parameter Labu kuning Ubi jalar kuning(4)
Jagung bisi(5)
Kadar air (% bb) 11.50(1)
3.25 10.00
Kadar abu (% bk) 7.47(1)
2.92 1.40
Kadar protein (% bk) 3.50(1)
2.36 5.97
Kadar lemak (% bk) 7.41(2)
0.76 29.08
Kadar serat (% bk) 14.81(3)
6.19 16.13
(1) Yanuwardana et al. (2013) (4) Honestin (2007)
(2) Prabasini et al. (2013) (5) Indriyani (2013)
(3) Trisnawati et al. (2014)
Tepung labu kuning memiliki nilai kadar air dan abu yang lebih besar
jika dibandingkan dengan tepung ubi jalar kuning, dan jagung bisi (Tabel 1).
Kandungan serat pada tepung labu kuning 14.81 % bk, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung ubi jalar kuning (Tabel 1), dan tergolong pangan
tinggi serat karena memenuhi persyaratan kandungan serat pangan minimal 6 %
(Trisnawati 2014), dengan kandungan serat yang cukup tinggi ini tepung labu
kuning dapat dijadikan sebagai ingredient untuk membuat pangan fungsional
6
dengan kandungan serat tinggi, memiliki manfaat baik bagi kesehatan pencernaan
manusia, sehingga dapat memenuhi kecukupan serat harian ideal.
Penelitian mengenai tepung labu kuning yang diberikan berbagai jenis
perlakuan pendahuluan juga sudah cukup banyak seperti yang terdapat pada Tabel
2. Menurut Prabasini et al. (2013) proses sulfitasi dapat menyebabkan sel-sel
jaringan pada bahan menjadi berlubang-lubang, dan lamanya perendaman akan
menyebabkan banyak komponen yang ikut terlarut dalam larutan perendaman.
Tabel 2 Hasil dari beberapa penelitian mengenai tepung labu kuning dengan
berbagai jenis perlakuan pendahuluan
Perlakuan Pendahuluan Parameter Hasil
Lama perendaman (0, 30, 60,
dan 90 menit)(1)
Konsentrasi asam laktat (0%,
0.5%, 1%, dan 1.5%)(1)
viskositas,
swelling power,
kadar air, gula
reduksi, protein
dan β-karoten.
Semakin lama perendaman nilai
viskositas, swelling power, dan β-karoten
meningkat, namun lama perendaman
tidak mempengaruhi kadar air, dan gula.
Semakin tinggi konsentrasi asam laktat,
nilai viskositas, kadar gula reduksi, dan
β-karoten meningkat, namun menurunkan
nilai kadar air, swelling power, dan
protein.
Lama perendaman (0, 10, dan
20 menit)(2)
Blansir
Konsentrasi natrium
metabisulfit (0, 0.25%, dan
0.30%)(2)
Kadar air, abu
lemak, protein,
β-karoten, serat
kasar, daya
serap air,
warna,
kelarutan, dan
daya dispersi.
Semakin lama perendaman menurunkan
nilai kadar air, abu, lemak, β-karoten,
serat kasar, warna (a*), meningkatkan
daya serap air, warna (L*,b*), kelarutan,
daya dispersi, namun tidak
mempengaruhi kadar protein. Perlakuan
pendahuluan berupa blansir berpengaruh
dalam mempertahankan kadar lemak,
kadar β-karoten dan daya serap air. Pada
sifat fisik warna, perlakuan blansir dan
perendaman dalam natrium metabisulfit
(Na2S2O5) mempertahankan warna
tepung labu kuning.
Semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit menurunkan nilai kadar air,
abu, β-karoten, dan daya dispersi,
meningkatkan nilai warna (L*,a*,b*),
namun perbedaan konsentrasi ini tidak
mempengaruhi nilai kadar lemak, protein,
serat kasar, daya serap air,dan kelarutan.
(1)Yanuwarda et al. (2013)
(2)Prabasini et al. (2013)
7
Tepung labu kuning dengan perlakuan perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit dan blanching memberikan warna yang cerah. Hal ini diduga
perlakuan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dapat
mencegah reaksi pencoklatan yang terjadi sehingga warna yang dihasilkan lebih
baik meliputi kecerahan dan tingkat kekuningan lebih tinggi (Prabasini et al.
2013).
Natrium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air,
sedikit larut alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfurdioksida, mempunyai rasa
asam dan asin. Natrium metabisulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan baik
secara enzimatis maupun non-enzimatis. Mekanisme penghambatan reaksi
pencoklatan enzimatis ada dua yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Mekanisme langsung yaitu dengan mengkelat Cu2+,
dan secara tidak langsung
dapat mereduksi gugus o- kuinon sehingga kembali ke bentuk o-fenol, sehingga
reaksi pencoklatan enzimatis dapat dicegah. (Rahman 2007). Mekanisme
penghambatan reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu sulfit akan berikatan
dengan gugus karbonil pada gula yaang dapat mencegah pembentukan senyawa
melanoidin (Prabasini et al 2013).
8
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Februari–Juni 2016. Penelitian
dilaksanakan di Pilot Plant SEAFAST Center, Laboratorium Pengembangan
Produk dan Pengolahan PAU, Laboratorium Biokimia Pangan, Laboratorium
Kimia Pangan, Laboratorium L-3, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dibagi menjadi dua yaitu bahan untuk pembuatan
tepung labu kuning dan bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan tepung labu
kuning meliputi buah labu kuning (Cucurbita moschata D.) yang diperoleh dari
Pasar Embrio Makassar Jakarta Timur, air keran, natrium metabisulfit (Na2S2O5).
Bahan untuk analisis meliputi tepung labu kuning yang dihasilkan dari proses
pendahuluan, kertas saring, kertas saring Whatman (No. 1, 42, dan 43), kapas,
heksana, H2SO4 pekat, HgO, garam katalis (K2SO4 dan CuSO4), larutan 60%
NaOH-5% Na2S2O3.5H2O, H2BO3, HCl 4N, HCl 0.02N, HCl 25%, NaOH 1N,
NaOH 0.02N, NaOH 45%, indikator merah metilen, indikator biru metilen,
indikator phenolphthalein (pp), larutan glukosa standar 0.25%, etanol 75%, etanol
78%, etanol 95%, aseton 100%, alkohol 10%, alkohol 80%, air destilata, asam
potassium phatlate (KHP), larutan I2 2%, asam asetat 1N, buffer fosfat pH 6 0.1M,
enzim termamyl A3403-500KU (Sigma Aldrich), enzim pepsin P7000 100 g
(Sigma Aldrich), enzim pankreatin P1750 (Sigma Aldrich), minyak kedelai murni,
fehling A, fehling B, dietil eter, amilosa standar.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi alat untuk
pembuatan tepung labu kuning dan alat untuk analisis sifat fisikokimia tepung
labu kuning yang dihasilkan. Alat untuk pembuatan tepung labu kuning meliputi
tray dryer, pisau, gunting, pin disc mill, ayakan 60 mesh, dan wadah-wadah
plastik. Alat untuk analisis meliputi botol semprot, bulp, cawan aluminium,
desikator berisi bahan pengering, oven, neraca analitik, termometer, gegep, cawan
porselen, tanur listrik, alat ekstraksi Soxhlet, alat destilasi, pengaduk magnetik,
centrifuge, tabung centrifuge, spektrofotometer UV-VIS, Chromameter Minolta
CR 300, Rotoviscometer, refrigerator, vortex, pipet, gelas pengaduk, sudip, labu
Kjeldhal, pemanas Kjeldhal, pendingin balik, refluks, agitator, labu lemak, water
bath, hotplate, alat gelas, dan pH meter.
9
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) Karakterisasi sifat kimia
dari buah labu kuning segar (Cucurbita moschata D.), 2) Penentuan kondisi
terbaik untuk pembuatan tepung labu kuning, 3) Pembuatan tepung labu kuning,
dan 4) Karakterisasi sifat fisikokimia dari tepung labu kuning yang telah
dihasilkan.
1. Karakterisasi sifat kimia dari buah labu kuning (Cucurbita moschata D.)
meliputi parameter kadar air (SNI 01-2891-1992), abu (SNI-2981-1992),
protein (AOAC 1995), lemak (SNI 01-2891-1992), karbohidrat by difference
(Winarno 2002), gula sederhana (Nielsen 2003), pati by difference (Winarno
2002, serat meliputi TDF, SDF, dan IDF (Asp. 2001).
2. Penentuan kondisi terbaik untuk pembuatan tepung labu kuning. Kondisi
proses yang diuji coba adalah konsentrasi natrium metabisulfit, waktu
perendaman, waktu pengeringan, suhu perendaman, dan bentuk ukuran labu
kuning. Pemilihan kondisi proses terbaik dilakukan berdasarkan parameter
warna.
3. Pembuatan tepung labu kuning. Labu kuning yang digunakan termasuk
varietas Cucurbita moschata D. dengan ciri-ciri berat sekitar 2-5 kg/ buah,
bentuk bulat, rasa daging buah yang manis dan gurih, dan kulit yang
berwarna kuning kecoklatan serta tekstur yang keras (Astawan 2008).
Panjang labu utuh sekitar 28 cm dan lebar sekitar 24 cm (Gambar 1).
Pembuatan tepung labu kuning diawali dengan pengupasan kulit buah dan
pembuangan bagian yang tidak diinginkan seperti biji, tangkai, dan jonjot.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses pencucian menggunakan air bersih,
pengecilan ukuran menggunakan slicer, kemudian dilakukan proses
perendaman dengan dua perlakuan pendahuluan yang berbeda. Perlakuan
pertama adalah perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.10%
dengan kondisi larutan perendaman pada suhu ruang. Perlakuan kedua
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.10% dengan suhu awal
larutan perendaman 80 C. Kemudian dikeringkan dengan tray dyer pada
suhu 60 C selama 9-10 jam. Setelah bahan kering sempurna dilakukan proses
penepungan menggunakan pin disc mil, kemudian diayak menggunakan
ayakan 60 mesh. Diagram pembuatan tepung labu kuning bisa dilihat pada
Gambar 2.
Gambar1 (A) dan (B) buah labu kuning utuh dan (C) irisan melintang buah labu
kuning (Cucurbita moschata D.)
A B C
10
4. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung labu kuning yang telah dihasilkan
meliputi parameter kadar air (SNI 01-2891-1992), abu (SNI-2981-1992),
protein (AOAC 1995), lemak (SNI 01-2891-1992), karbohidrat by difference
(Winarno 2002), gula sederhana (Nielsen 2003), pati by difference (Winarno
2002), serat meliputi TDF, SDF, dan IDF (Asp. 2001), warna dengan
Chromameter Minolta CR-300 menggunakan metode L-a-b Hunter
(Hutching 1999), daya ikat air (Tounkara et al. 2013), daya ikat minyak
(Tounkara et al. 2013), dan viskositas dengan Viscometer Brookfield (Charlie
1982).
Gambar 2 Proses pembuatan tepung labu kuning dengan dua perlakuan
perendaman yang berbeda
Pengupasan dan pembuangan bagian
yang tidak diinginkan
Pencucian
Pengecilan ukuran
Perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit 0.10%; kondisi air pada
suhu ruang ; 10 menit
Pengeringan 60oC; 9-10 jam
Penepungan
Perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit 0.10%; suhu awal
perendaman 80oC; 10 menit
10 menit
Tepung Labu Kuning
Perlakuan 1
Pengayakan 60 mesh
Tepung Labu Kuning
Perlakuan 2
Labu kuning
Biji
Kulit
Jonjot
Tangkai
11
Prosedur Analisis
Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C
selama 15 menit. Cawan lalu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 5
menit sampai cawan tidak terasa panas. Kemudian ditimbang dan dicatat beratnya.
Setelah itu, sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C hingga mencapai berat konstan. Cawan
lalu diangkat, didinginkan di dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya.
Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar air (% bb) = –
– x 100 %
Kadar air (% bk) = -
–x 100 %
Ket : W0 = berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (g)
W1 = berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (g)
W2 = berat cawan (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Cawan porselin dipanaskan di dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit
kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang dan
dicatat beratnya. Kemudian 2-3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan dan
ditimbang kembali lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna
putih dan beratnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550°C sampai
pengabuan sempurna. Cawan lalu diangkat, didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar abu (% bb) = –
– x 100 %
Kadar abu (% bk) = x 100 %
Ket : W0 = berat (sampel + cawan) sebelum diabukan (g)
W1 = berat (sampel + cawan) setelah diabukan (g)
W2 = berat cawan (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
12
Kadar Protein Kasar (AOAC 1995)
Sebanyak 0.1 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu
ditambahkan 1.0+0.1 gram K2SO4, 40+10 mL HgO, dan 2.0+0.1 mL H2SO4,
selanjutnya contoh dididihkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan.
Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu
Kjeldahl dibilas dengan 1-2 mL air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan
ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Sebanyak 10 mL
larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ditambahkan ke dalam alat destilasi. Di
bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi campuran 5 mL larutan
H3BO3 jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1
bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus
terendam dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan destilasi sehingga diperoleh
sekitar 15 mL destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl
0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna dari hijau
menjadi abu-abu. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:
%N = x 100 %
Kadar protein kasar (% bb) =
Kadar protein kasar (% bk) = x 100 %
Ket : Vs = volume HCl yang dihabiskan untuk mentitrasi sampel (mL)
Vb = volume HCl yang dihabiskan untuk mentitrasi blanko (mL)
N = normalitas HCl yang telah distandarisasi (N)
W = berat sampel (mg)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Sampel ditimbang sebanyak 1-2 gram, dimasukkan ke dalam selongsong
kertas saring yang dialasi kapas (W0). Sebelumnya labu lemak yang akan
digunakan dikeringkan dalam oven 105 C, setelah itu labu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (W2). Sampel yang telah dimasukkan dalam kertas saring
kemudian di masukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu
lemak. Lemak diekstrak selama ± 6 jam. Setelah selesai proses ektraksi lemak,
suling heksana dan ekstrak lemak yang terdapat pada labu lemak dikeringkan
dalam oven pengering suhu 105 C, setelah itu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang (W1). Kadar lemak dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
13
Kadar lemak (% bb) = -
x 100 %
Kadar lemak (% bk) = -
x 100 %
Ket : W0 = bobot contoh dalam gram (g)
W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2 = bobot labu lemak kosong (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Kadar Karbohidrat Metode by difference (Winarno 2002)
Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan
perhitungan melibatkan kadar air, abu, protein, dan lemak. Kadar karbohidrat
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (% bb kadar (air+abu+protein+lemak))
Kadar karbohidrat (% bk) = -
x 100 %
Ket : bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Kadar Gula (Nielsen 2003)
Sampel ditimbang sebanyak 20 gram (W0) dicuci dengan menggunakan
etanol 80% sebanyak 200 mL. Perbandingan antara sampel dengan pelarut yaitu
sebesar 1:10. Setelah dicuci, sampel kemudian disaring menggunakan kertas
saring yang diletakkan diatas penyaring vakum. Sebelumnya cawan aluminium
ditimbang lebih dahulu beratnya (W1). Kemudian, residu yang telah didapatkan di
keringkan pada suhu ruang selama 24 jam, lalu ditimbang (W2). Kadar gula dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar gula (% bb) = -
x 100 %
Kadar gula (% bk) = -
x 100 %
Ket : W0 = berat sampel (g)
W1 = berat cawan aluminium (g)
W2 = berat residu yang telah dikeringkan (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
14
Total Serat pangan (Total Dietary Fiber (Asp 2001))
Analisis dilakukan sebanyak dua ulangan dan satu sampel blangko.
Sampel ditimbang sebanyak 1 g (W4) dengan keakuratan hingga 0.1 mg ke dalam
gelas piala 400 mL. Selanjutnya, ditambahkan 25 mL 0.1 M buffer fosfat pH 6.0,
dan 0.1 mL larutan termamyl. Gelas piala ditutup dengan alufo, dan diletakkan
dalam waterbath shaker pada suhu 99oC selama 15 menit, digoyangkan secara
perlahan setiap 5 menit. Kemudian, ditambahkan 20 mL akuades, dinginkan
hingga mencapai suhu ruang, nilai pH ditepatkan hingga mencapai pH 1.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Setelah pH sudah diasamkan, ditambahkan 100 mg
pepsin, dan diletakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit
dengan agitasi kontinyu. Kemudian, ditambahkan 20 mL akuades, nilai pH
ditepatkan kembali hingga mencapai pH 6.8 dengan menambahkan NaOH.
Setelah pH sudah basa, ditambahkan 100 mg pankreatin, dan diletakkan dalam
waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan agitasi kontinyu.
Kemudian, nilai pH ditepatkan kembali hingga mencapai pH 4.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Selanjutya ditambahkan 280 mL etanol 95% yang telah
dipanaskan sebelumnya hingga suhunya 60oC (volume diukur setelah pemanasan).
Inkubasi pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan. Endapan
disaring menggunakan crucible yang telah diketahui bobot keringnya (Wcru).
Kemudian residu dicuci dengan 2 x 10 mL akuades, 2 x 10 mL etanol 95%, dan 2
x 10 mL aseton, setelah itu dikeringkan pada suhu 105oC hingga berat tetap
(sekitar 12 jam), dinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Satu ulangan
sampel diletakkan dalam tanur 525oC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang (W3). Satu ulangan sampel dihitung kadar protein
menggunakan metode Kjeldahl (W2). Sampel blanko digunakan untuk
mengetahui berat kontaminan yang berasal dari reagen dan enzim (W4). Total
serat dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
Total kadar serat (% bb) = - - -
Total kadar serat (% bk) = -
x 100 %
Ket : W0 = berat sampel yang digunakan (g)
W1 = berat residu (g)
W2 = berat protein yang didapatkan dari metode kjeldahl (g)
W3 = berat abu yang didapatkan dari metode pengkuran abu (g)
W4 = berat blanko (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
15
Serat Tidak Larut (Insoluble Dietary Fiber (Asp 2001))
Analisis dilakukan sebanyak dua ulangan dan satu sampel blangko. Sampel
ditimbang sebanyak 1 g (W0) dengan keakuratan hingga 0.1 mg ke dalam gelas
piala 400 mL. Selanjutnya, ditambahkan 25 mL 0.1 M buffer fosfat pH 6.0, dan
0.1 mL larutan termamyl. Gelas piala ditutup dengan alufo, dan diletakkan dalam
waterbath shaker pada suhu 99oC selama 15 menit, digoyangkan secara perlahan
setiap 5 menit. Kemudian, ditambahkan 20 mL akuades, dinginkan hingga
mencapai suhu ruang, nilai pH ditepatkan hingga mencapai pH 1.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Setelah pH sudah diasamkan, ditambahkan 100 mg
pepsin, dan diletakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit
dengan agitasi kontinyu. Kemudian, ditambahkan 20 mL akuades, nilai pH
ditepatkan kembali hingga mencapai pH 6.8 dengan menambahkan NaOH.
Setelah pH sudah basa, ditambahkan 100 mg pankreatin, dan diletakkan dalam
waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan agitasi kontinyu.
Kemudian, nilai pH ditepatkan kembali hingga mencapai pH 4.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Kemudian residu dicuci dengan 2 x 10 mL akuades, 2 x
10 mL etanol 95%, dan 2 x 10 mL aseton, setelah itu dikeringkan pada suhu
105oC hingga berat tetap (sekitar 12 jam), dinginkan dalam desikator dan
ditimbang (W1). Satu ulangan sampel diletakkan dalam tanur 525oC selama
minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (W3). Satu ulangan
sampel dihitung kadar protein menggunakan metode Kjeldahl (W2). Sampel
blanko digunakan untuk mengetahui berat kontaminan yang berasal dari reagen
dan enzim (W4). Kadar serat pangan tidak larut dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
Serat pangan tidak larut (% bb) = - - -
Serat pangan tidak larut (% bk) = -
x 100 %
Ket : W0 = berat sampel yang digunakan (g)
W1 = berat residu (g)
W2 = berat protein yang didapatkan dari metode kjeldahl (g)
W3 = berat abu yang didapatkan dari metode pengkuran abu (g)
W4 = berat blanko (g)
bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
16
Serat Larut (Soluble Dietary Fiber (Asp 2001))
Kadar serat pangan larut didapatkan dari hasil pengurangan dari nilai total
kadar serat dengan nilai kadar serat tidak larut. Kadar serat larut dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
Serat pangan larut (% bb) = Nilai total serat (TDF) – serat tidak larut (IDF)
Serat pangan larut (% bk) = -
= x 100 %
Ket : bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Kadar Pati by difference (Winarno 2002)
Kadar pati ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan perhitungan
melibatkan kadar karbohidrat, gula, dan serat. Kadar pati dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
Kadar pati (% bb) = kadar karbohidrat (% bb) - (% bb kadar (serat + gula))
Kadar pati (% bk) = -
= x 100 %
Ket : bb = basis basah (%)
bk = basis kering (%)
Warna dengan Metode Chromameter (Hutching 1999)
Pengukuran parameter warna terhadap tepung labu kuning dilakukan
dengan menggunakan Minolta Chroma Meters CR-310. Prinsip dari alat ini
adalah mengukur perbedaan warna secara terstimulus dari cahaya yang
dipantulkan oleh permukaan sampel. Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga
atribut yaitu L, a, dan b. L menunjukkan kecerahan sampel. Skala yang digunakan
untuk kecerahan sampel yaitu 0 sampai 100. Skala 0 menunjukkan sampel sangat
gelap, dan skala 100 menunjukkan bahwa sampel sangat cerah. Nilai a
menunjukkan derajat merah atau hijau sampel. Nilai a positif menunjukkan warna
merah, a negatif menunjukkann warna hijau. Nilai b menunjukkan derajat kuning
atau biru sampel. Nilai b positif menunjukkan warna kuning dan nilai b negatif
menunjukkan warna biru.
17
Daya Ikat Air (Tounkara et al. 2013)
Sampel 1 gram ditambahkan 10 mL air destilata (V1). Setelah dicampur
keduanya ke dalam tabung sentrifuse, tabung divortex selama 30 detik dan
kemudian didiamkan selama 30 menit dalam suhu ruang. Setelah didiamkan
selama 30 menit, tabung kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm
selama 20 menit. Setelah itu, didapatkan supernatan yang kemudian disaring
menggunakan kertas saring dan volumenya diukur (V2). Daya serap air dapat
dihitung dalam mL/ g bahan dengan persamaan berikut :
Daya ikat air (mL/ g) = -
Ket : V1 = volume air destilata yang diberikan (mL)
V2 = volume supernatan setelah disaring (mL)
W = berat sampel (g)
Daya Ikat Minyak (Tounkara et al. 2013)
Sampel 1 gram ditambahkan 10 mL minyak kacang kedelai murni (V1).
Setelah dicampur keduanya ke dalam tabung sentrifuse, tabung divortex selama
30 detik dan kemudian didiamkan selama 30 menit dalam suhu ruang. Setelah
didiamkan selama 30 menit, tabung kemudian disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 20 menit. Setelah itu, didapatkan supernatan yang kemudian
volumenya diukur dan digunakan sebagai (V2). Daya serap minyak dapat
dihitung dalam mL/ g bahan dengan persamaan berikut :
Daya ikat minyak (ml/g) = -
Ket : V1 = volume minyak destilata yang diberikan (mL)
V2 = volume supernatan (mL)
W = berat sampel (g)
Viskositas Fluida (Charley 1982)
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Brookfield
rotational viscometer model BM. Prosedur penggunaan alat sebagai berikut:
pertama-tama viskometer dipastikan dalam keadaan sejajar dengan tanda air.
Kemudian spindel dipasang pada viskometer. Digunakan spindel yang berukuran
kecil terlebih dahulu. Setelah itu sebanyak 200 mL dimasukkan ke dalam gelas
piala. Sebelum menjalankan motor penggerak rotor, jarum penunjuk pada
viskometer diset di titik nol, kemudian motor dijalankan pada kecepatan yang
paling rendah. Setelah jarum penunjuk stabil, pengunci jarum penunjuk dipasang
dan motor dimatikan. Kemudian nilai persentase yang ditunjuk dapat dibaca dan
dicatat. Bila kecepatan yang paling rendah jarum pada skala penunjuk tidak
bergerak, maka kecepatan dinaikkan. Prosedur ini diulang dengan spindel yang
berukuran lebih besar apabila kecepatan maksimum dari motor tercapai tetapi
jarum belum bergerak.
18
Tepung labu kuning yang akan diukur viskositasnya dipanaskan pada suhu
90oC. Konsentrasi larutan yang akan diukur adalah 5%, dan 10%. Pengukuran
viskositas pada larutan dengan konsentrasi 5% menggunakan nomor spindel 1
dengan kecepatan 12 rpm, sedangkan untuk konsentrasi 10% menggunakan
spindel nomor 3 dengan kecepatan 6 rpm. Viskositasnya adalah faktor konversi
dikalikan dengan angka hasil pengukuran. Faktor konversi untuk spindel nomor 1
dengan kecepatan 12 rpm adalah 5, sedangkan untuk spindel nomor 3 dengan
kecepatan 6 rpm adalah 200. Satuan dari nilai viskositas adalah Pa.s
Prosedur Analisis Data
Rancangan percobaan ini membandingkan dua perlakuan perendaman
yang diberikan yaitu kondisi larutan perendaman pada suhu ruang dan suhu awal
larutan perendaman 80oC dengan uji T pada aplikasi SPSS 21 dengan selang
kepercayaan 0.05 dan pengolahan data dilakukan dengan Ms. Office Excel 2010.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia Buah Labu Kuning (Cucurbita moschata D.)
Parameter kimia yang diukur pada buah labu kuning adalah adalah kadar air,
abu, protein, lemak, karbohidrat, gula, serat, dan pati. Hasil disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Data komposisi kimia buah labu kuning
Parameter Buah labu kuning
(Cucurbita moschata D.)
Pembanding
Kadar air (%bb) 91.22 ± 0.03 91.20(1)
Kadar abu (%bb) 0.18 ± 0.00 0.80(1)
Kadar protein (%bb) 0.63± 0.03 1.10(1)
Kadar lemak (%bb) 0.39 ± 0.01 0.30(1)
Kadar karbohidrat (%bb) 7.59 ± 0.07 6.60(1)
Kadar gula (%bb) 1.93 ± 0.02 2.80(2)
Kadar serat (%bb) 2.25 ± 0.01 1.10(3)
Kadar pati (%bb) 3.41 ± 0.11 3.60(2)
(1) PERSAGI (2005) (2) Yanuwardana et al. (2013) (3) Trisnawati et al. (2014)
Buah labu kuning yang digunakan untuk penelitian ini, memiliki nilai
komposisi kimia seperti ditampilkan pada Tabel 3. Nilai komposisi kimia labu
kuning yang didapatkan, jika dibandingkan dengan literatur memiliki nilai yang
berbeda jauh untuk kadar protein, karbohidrat, gula, dan serat. Hal ini dapat
dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi seperti bentuk buah labu
kuning yang bervariasi, kondisi tempat tumbuh tanaman labu kuning yang
berbeda (Purba 2008). Selain itu, menurut Hayati (2006) mutu dan daya awet labu
kuning dipengaruhi pula oleh tingkat kematangan labu kuning pada saat
pemetikan.
Berdasarkan Tabel 3 buah labu kuning memiliki kandungan serat sebesar
2.25 ± 0.01%. Nilai ini relatif sama dengan kandungan serat ubi jalar putih 2.79%,
ubi jalar kuning 2.79%, dan ubi jalar ungu 3.00% (Ginting 2011).
Kandungan gula dari buah labu kuning yang didapatkan sebesar 1.93 ±
0.02% (Tabel 3), dimana nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan ubi jalar
putih 0.32%, ubi jalar kuning 0.11%, ubi jalar ungu 0.30% (Ginting 2011).
Berdasarkan data perbandingan labu kuning dengan ubi jalar putih, kuning,
dan ungu terlihat bahwa labu kuning dapat memiliki kandungan serat dan gula
yang cukup tinggi sehingga dimanfaatkan secara optimal dengan dijadikan
20
sebagai bahan baku untuk pangan fungsional. Kandungan serat yang tinggi sangat
baik untuk kesehatan pencernaan. Selain itu, labu kuning memiliki rasa yang
manis, dengan kandungan gula yang sudah cukup tinggi, dengan menjadikan labu
kuning sebagai bahan baku dapat mengurangi penggunaan sukrosa pada produk
pangan.
Penentuan Kondisi Terbaik untuk Pembuatan Tepung Labu Kuning
Penelitian pendahuluan yang dilakukan bertujuan untuk menentukan
kondisi terbaik dalam tahapan pembuatan tepung labu kuning. Kondisi terbaik
tersebut meliputi pemilihan konsentrasi natrium metabisulfit, suhu perendaman,
waktu pengeringan, dan bentuk serta ukuran labu kuning. Hasil dari penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
Pada penelitian pendahuluan, konsentrasi natrium metabisulfit yang
diberikan adalah 0.00% sebagai kontrol, 0.05%, 0.10%, 0.15%, dan 0.20%.
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan pada Gambar 3, terlihat bahwa labu
kuning dengan konsentrasi natrium metabisulfit 0.00%, memiliki warna yang
sangat gelap (coklat) sehingga tidak digunakan dan tidak dapat diaplikasikan pada
produk pangan karena kurang menarik untuk konsumen. Konsentrasi natrium
metabisulfit yang akhirnya digunakan adalah 0.10%, karena dengan konsentrasi
0.10% warna dari buah labu kuning masih dapat dipertahankan, sehingga secara
ekonomi dan efisiensi akan menjadi lebih baik. Selain itu penggunaan konsentrasi
natrium metabisulfit yang terlalu tinggi dapat membahayakan kesehatan tubuh
manusia. Berdasarkan BPOM (2013) asupan harian natrium metabisulfit 0-0.7
mg/ kg berat badan. Penelitian Prabasini et al. (2013) menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan akan
menurunkan nilai kadar air, abu, β karoten, dan daya dispersi.
Gambar 3 Hasil labu kuning dari penelitian pendahuluan
Pada proses perendaman terdapat dua perlakuan yang diberikan yaitu
perlakuan pertama perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.10% dengan
kondisi larutan perendaman pada suhu ruang, dan perlakuan kedua dengan suhu
awal larutan perendaman 80oC. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang
telah dilakukan (Gambar 3) terlihat bahwa labu kuning yang dihasilkan dengan
suhu awal larutan perendaman 80oC memiliki warna yang lebih cerah, hal ini
dikarenakan panas dapat membantu menginaktifasi enzim pencoklatan. Selain
melihat pengaruh perbedaan suhu perendaman terhadap sifat fisik warna labu
0.00%
Suhu awal perendaman 80ºC Kondisi air pada suhu ruang 27ºC
0.05% 0.10% 0.15% 0.20% 0.20% 0.15% 0.10% 0.05% 0.00%
21
kuning, penelitian ini juga ingin melihat pengaruh suhu perendaman terhadap sifat
fisikokimia labu kuning yang dihasilkan.
Pengeringan adalah proses penguapan air yang terdapat dalam bahan
pangan. Waktu pengeringan yang digunakan adalah 9-10 jam. Pemilihan waktu
pengeringan ini berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Waktu
pengeringan yang digunakan saat penelitian pendahuluan adalah 7-8 jam
(Prabasini et al. 2013), namun hasil yang didapatkan labu kuning masih basah di
bagian dalam, sehingga waktu pengeringan diperpanjang hingga 9-10 jam pada
suhu 60oC. Pada waktu pengeringan 9-10 jam didapatkan labu kuning yang telah
kering sempurna bagian luar dan dalam. Ciri-ciri labu kuning yang telah kering
sempurna adalah mudah dipatahkan, terdengar bunyi saat dipatahkan, dan bentuk
menyusut.
Pada saat penelitian pendahuluan terdapat dua pilihan bentuk dan ukuran
labu kuning yang akan digunakan, yaitu kubus dengan ukuran 2cm x 2cm x 2cm,
dan sawutan dengan ketebalan ± 2 mm. Bentuk yang dipilih adalah sawutan
dengan ketebalan ± 2 mm, hal ini dikarenakan bentuk kubus akan memakan waktu
pengeringan yang jauh lebih lama dan rendemen yang dihasilkan terlalu kecil.
Pemilihan parameter terbaik tersebut akhirnya digunakan dalam tahap
pembuatan tepung labu kuning sehingga didapatkan diagram alir pembuatan
tepung labu kuning yang dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung labu kuning yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tepung labu kuning yang dihasilkan dengan dua suhu perendaman
yang berbeda
22
Komposisi Kimia Tepung Labu Kuning
Perbedaan perlakuan awal yang diberikan mempengaruhi komposisi kimia
dari tepung labu kuning yang dihasilkan. Parameter kimia yang diukur pada
tepung labu kuning adalah kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, gula, serat,
dan pati. Hasil disajikan pada Tabel 4 dan rincian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 4 Data komposisi kimia tepung labu kuning
*Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi α 0.05 tiap masing-masing basis
AB = Larutan perendaman pada suhu ruang
AP = Suhu awal larutan perendaman 80 o
C
Kadar air menyatakan jumlah kandungan air yang terdapat dalam bahan
pangan (Kusnandar 2010). Berdasarkan SNI 01-3751-2009, kadar air untuk
tepung terigu adalah 14,5%.). Kadar air tepung jagung 10.0%, gandum 12.0%
(Honestin 2007). Hasil nilai kadar air yang didapatkan lebih rendah jika
dibandingkan dengan literatur.
Kadar abu mengindikasikan jumlah total mineral yang dikandung dalam
bahan pangan. Nilai kadar abu yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara kedua
suhu perendaman tersebut. Hal ini sesuai dengan Santoso et al. (2014) yang
menyatakan bahwa kadar abu tidak terpengaruh proses kimia ataupun fisik, dan
hanya hilang sekitar 3% dari proses pemasakan pangan. Nilai kadar abu tepung
labu kuning yang didapatkan pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan nilai
kadar abu tepung labu kuning dalam penelitian Trisnawati et al. (2014) yaitu
sebesar 5.39%.
23
Kadar lemak yang terukur bukan hanya lemak saja, namun semua
komponen yang terlarut dalam pelarut non polar seperti heksana. Proses panas
yang diberikan akan menyebabkan pelonggaran jaringan, sehingga pada saat
proses ekstraksi lemak terjadi secara optimal. Nilai kadar lemak yang didapatkan
yaitu sekitar 4. 64% dan hanya berbeda 2.7% dengan Prabasini et al. (2013) yaitu
sebesar 7.41%. Kadar lemak labu kuning tergolong tinggi, karena terdapatnya
pigmen karetonoid yang larut dalam lemak sehingga meningkatkan nilai
pengukuran kadar lemak.
Kadar protein yang didapatkan nilainya tidak berbeda nyata. Faktor
konversi yang digunakan untuk bahan pangan berupa tepung yaitu 5.70%.
Prabasini et al. (2013) menyatakan bahwa proses pemanasan dapat mendenaturasi
protein dan merubah struktur protein yang ada, namun kandungan protein akan
tetap karena prinsip analisa protein dengan metode Kjeldhal yang dihitung adalah
kadar N total, sehingga nilai kadar N yang terukur pada bahan akan tetap.
Serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian dari bahan pangan yang
tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. SDF (soluble dietary fiber)
diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air panas. Sumber SDF
antara lain gum, pektin,dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat dalam
dinding sel tanaman. Adapun IDF (insoluble dietary fiber) diartikan sebagai serat
pangan yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sumber IDF adalah
selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sejumlah pektat yang tidak dapat
larut (Rizani 2015).
Nilai kadar serat yang dihasilkan dari dua suhu perendaman tidak berbeda
nyata, hal ini sesuai dengan Rizani (2015) yang menyatakan bahwa serat tidak
terpengaruh oleh proses pemanasan. Kadar serat yang dihasilkan dari tepung labu
kuning dengan kondisi larutan perendaman pada suhu ruang dan suhu awal larutan
perendaman 80oC berturut adalah 23.72 ± 0.01 % bk, dan 23.67± 0.03% bk, dan
kadar serat tidak larut secara berturut adalah 10.19 ± 0.01 % bk dan 10.16 ±
0.02 % bk. Kadar serat yang didapatkan dari kedua tepung yang dihasilkan
dengan suhu perendaman berbeda memiliki kadar SDF dengan proporsi nilai yang
lebih besar jika dibandingkan dengan IDF. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Rizani (2015), namun tidak sesuai dengan Wong dan Jenkins (2007)
yang menyatakan serat pangan biasanya mengandung sepertiga serat larut dan dua
pertiga serat tidak larut Hal ini diduga residu yang dihasilkan dari SDF sangat
sedikit untuk dilakukan analisis protein (Rizani 2015). Tepung labu kuning
tergolong pangan tinggi serat karena memenuhi persyaratan kandungan serat
pangan minimal 6 % (Trisnawati et al. 2014).
Perbedaan suhu perendaman memberikan pengaruh nyata pada selang
kepercayaan 0.05 (p<0.05) terhadap parameter kadar gula, dan pati. Karbohidrat
terdiri dari gula, pati, dan serat. Kadar pati pada tepung dengan suhu awal larutan
perendaman 80oC lebih rendah dibandingkan tepung labu kuning dengan kondisi
larutan perendaman pada suhu ruang. Hal ini dikarenakan proses panas,
menyebabkan jaringan terbuka sehingga memungkinan pati ikut terlarut dalam air
panas pada saat perendaman (Husniati 2009).
Kandungan gula yang terdapat pada tepung labu kuning dengan suhu awal
larutan perendaman 80oC 21.34 ± 0.01 % bk lebih tinggi dibandingkan tepung
labu kuning dengan kondisi awal larutan perendaman pada suhu ruang 21.12 ±
0.02, hal ini dapat dimungkinkan suhu tinggi/ panas menyebabkan integritas
24
jaringan semakin menurun sehingga gula semakin mudah untuk keluar dari
jaringan, namun setelah proses perendaman tidak dilakukan kembali proses
pencucian. Gula yang tersisa inilah yang menyebabkan nilai pada saat pengukuran
nilai kadar gula pada tepung labu kuning dengan suhu awal larutan perendaman
80oC lebih tinggi.
Menurut BPOM (2011), pangan dikatakan sebagai sumber serat jika
memiliki kandungan serat sebesar 6 g/ 100g, dan dikatakan gula rendah jika
kandungan gula sebesar 5 g/ 100 g. Berdasarkan data penelitian yang telah
didapatkan, terlihat bahwa tepung labu kuning memiliki nilai kandungan serat dan
gula yang cukup tinggi jika disesuaikan dengan aturan BPOM (2011). Tepung
labu kuning dapat dikatakan sebagai sumber serat pangan, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai ingredient untuk membuat pangan fungsional yang
memiliki berbagai manfaat kesehatan bagi tubuh. Pemanfaatan tepung labu
kuning sebagai ingredient, dapat diaplikasikan pada banyak produk bakery seperti
roti, cookies, muffin. Kelebihan dari tepung labu kuning yang lain adalah nilai
kandungan gulanya yang sangat tinggi sehingga dengan penggunaan tepung labu
kuning dalam proses produksi dapat mereduksi penggunaan sukrosa karena
tepung labu kuning itu sendiri sudah memberikan rasa yang manis.
Karakter Fisik Tepung Labu Kuning
Parameter fisik tepung yang diukur penelitian ini adalah warna, daya ikat air,
daya ikat minyak, dan viskositas. Perbedaan perlakuan awal yang diberikan
mempengaruhi karakter fisik dari tepung labu kuning yang dihasilkan. Hasil
disajikan pada Tabel 5 dan rincian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Jideani (2006) menyatakan bahwa daya ikat air adalah kemampuan untuk
mempertahankan air melawan gravitasi, dan termasuk air terikat, air hidrodinamik,
air kapiler dan air terperangkap fisik. Daya ikat minyak adalah kemampuan bahan
untuk mengikat minyak. Sifat mengikat minyak ini sangat penting dalam
pembuatan salad dressing, sosis, saus, dan sebagainya. Faktor yang
mempengaruhi daya ikat minyak adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion,
dan pemanasan.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, terlihat bahwa perbedaan suhu
perendaman tidak mempengaruhi pada daya ikat air, dan daya ikat minyak. Nilai
daya ikat air pada tepung labu kuning AB dan AP secara berturut adalah 13.50 ±
0.06 mL/g, dan 13. 41 ± 0.03 mL/ g, dan nilai daya ikat minyak untuk tepung labu
kuning AB dan AP secara berturut-turut adalah 1.13 ± 0.01 mL/ g, dan 1.11 ±
0.03 mL/ g. Tepung labu kuning memiliki nilai daya ikat air dan minyak yang
rendah, sehingga aplikasinya di industri terutama untuk pangan berkadar air
rendah sampai sedang, seperti produk bakery (seperti roti, muffin, cake, biskuit
dan sereal sarapan), produk ekstruksi, dan pasta. Tepung labu kuning memiliki
daya ikat minyak yang rendah, sehingga dapat menghindari kerusakan produk
pangan berupa ketengikan setelah penggorengan karena kandungan minyak yang
tinggi, selain itu lebih disukai oleh konsumen karena baik untuk kesehatan yaitu
produk pangan yang kadar lemak/ minyaknya lebih rendah (Ariyani 2010).
25
Tabel 5 Data karakter fisik tepung labu kuning
Parameter AB AP
Warna
L
a
b
53.85 ± 0.09b
+10.46 ± 0.09a
+ 44.55 ± 0.15b
64.87± 0.04a
+ 6.89 ± 0.06b
+52.95 ± 0.05a
Daya ikat air (mL/g) 13.50± 0.06a 13.41± 0.03
a
Daya ikat minyak (mL/g) 1.13± 0.01a 1.11± 0.02
a
Viskositas (Pa.s)
5%**
10%**
0.09 ± 0.01a
18.45 ± 0.04a
0.07 ± 0.01a
16.90 ± 0.03b
*Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi α 0.05
AB = Kondisi larutan perendaman pada suhu ruang
AP = Suhu awal larutan perendaman 80 oC
** = Viskositas pada saat suspensi dipanaskan 90oC dan diaduk
Perbedaan suhu perendaman memberikan hasil berbeda nyata pada selang
kepercayaan 0.05 (p<0.05) terhadap parameter warna, dan viskositas. Perendaman
dalam larutan natrium metabisulfit dan perbedaan suhu perendaman sangat
mempengaruhi warna dari kedua tepung labu kuning yang dihasilkan.
Warna tepung labu kuning yang dihasilkan lebih pudar jika dibandingkan
dengan warna buah labu kuning segar. Hal ini dapat disebabkan adanya panas
pada saat proses pengeringan yang menyebabkan terdegradasinya pigmen
karotenoid yang terkandung dalam labu kuning. Honestin (2007) menyatakan
bahwa pigmen karotenoid jumlahnya akan menurun pada suhu 100oC. Perubahan
karotenoid dan pigmen lainnya yang mempengaruhi warna dan nilai gizi dari
produk akhir dapat disebabkan oleh panas dan oksidasi selama pengeringan.
Tepung labu kuning dengan suhu awal larutan perendaman 80oC memiliki nilai
L* yang lebih tinggi, yang berarti tingkat kecerahan yang lebih tinggi, nilai
a*yang lebih rendah yang berarti ada unsur merah, dan nilai b* lebih tinggi yang
berarti ada unsur warna kuning jika dibandingkan dengan tepung labu kuning
dengan kondisi larutan perendaman pada suhu ruang. Panas dapat menginaktifasi
enzim pencoklatan sehingga warna tepung labu kuning yang dihasilkan menjadi
lebih cerah. Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit diberikan untuk
mencegah terjadinya reaksi pencoklatan, hal ini disebabkan sulfit dapat
menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat
memblokir reaksi pembentukan senyawa 5 hidroksil metal furfural dari D-glukosa
penyebab warna coklat (Slamet 2010).
Viskositas adalah gaya hambat atau friksi internal yang mempengaruhi
kemampuan mengalir bahan pangan cair. Konsentrasi yang digunakan untuk
mengukur viskositas tepung labu kuning pada penelitian ini adalah 5%, 10%, dan
15%. Namun untuk konsentrasi 15% sudah tidak dapat terukur lagi karena sangat
kental, dan sudah sangat menyerap air dapat dilihat pada Gambar 5. Tepung labu
kuning dengan suhu awal perendaman 80oC memiliki nilai viskositas yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan tepung labu kuning dengan kondisi laruan
26
perendaman pada suhu ruang. Menurut Kusnandar (2010) suhu gelatinisasi pada
banyak bahan pangan yaitu sekitar 60-80oC. Suhu gelatiniasai ubi jalar adalah 75-
88oC (Honestin 2007). Perlakuan pendahuluan yang diberikan menggunakan suhu
awal larutan perendaman 80oC, hal tersebut menyebabkan pati tergelatinisasi.
Pada proses gelatinisasi terjadi perusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan
hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan integritas granula. Terdapatnya
gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga selanjutnya
terjadi pembengkakan granula pati. Pengembangan granula dalam air makin cepat
menyebabkan granula pecah dan sebagian amilosa akan keluar dan terlarut dalam
air (Honestin 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Salim (2015),
menunjukkan terjadinya penurunan kadar pati dipengaruhi oleh adanya
gelatinisasi pada chips yang direndam. Adanya suhu dan air dapat melemahkan
ikatan inter dan intramolekuler amilosa dan amilopektin, serta amilosa dan
amilosa (Kusnandar 2010).
Berdasarkan data yang telah didapatkan, terlihat bahwa nilai viskoistas
tepung labu kuning sangat kecil, yang berarti sifat viskositasnya rendah dan
bersifat encer. Tepung labu kuning yang memiliki nilai viskoistas rendah ini,
dapat diaplikasikan sebagai pengisi, dapat pula diaplikasikan untuk produk candy
khususnya suggered candy (Kusnandar 2010).
Suspensi tepung labu kuning pada kondisi larutan perendaman pada suhu ruang
Suspensi tepung labu kuning pada suhu awal larutan perendaman 80
oC
Gambar 5 Penampakan suspensi tepung labu kuning dengan konsentrasi berturut
mulai dari 5%, 10%, 15% yang ditandai dengan nomor (1), (2), dan (3)
B3 B2 B1
A3 A2 A1
27
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perbedaan suhu perendaman memberikan pengaruh signifikan terhadap
parameter kadar gula, pati, warna, viskositas. perbedaan suhu perendaman
memberikan pengaruh nyata pada kadar gula, pati, warna, dan viskositas. Tepung
labu kuning dengan suhu awal larutan perendaman 80 C memiliki nilai kadar gula,
warna L*, b* lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung labu kuning yang
dihasilkan dari perlakuan pertama dengan kondisi larutan perendaman pada suhu
ruang, sedangkan nilai kadar pati, viskositas, dan warna a* lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung labu kuning yang dihasilkan dari perlakuan pertama
dengan kondisi larutan perendaman pada suhu ruang.
Saran
Tepung labu kuning sangat potensial untuk dijadikan sebagai ingredient
pangan yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis makanan, dan dapat pula
menghasilkan pangan fungsional. Berdasarkan karakteristik fisik daya ikat air dan
daya ikat minyak dari tepung labu kuning, dapat diaplikasikan pada produk
bakery, pasta, dan ekstruksi, dengan nilai viskositas tepung labu kuning yang
rendah dapat diaplikasikan sebagai pengisi untuk berbagai jenis pangan. Sehingga
perlu penelitian lebih lanjut untuk pengembangan produk berbasis tepung labu
kuning.
28
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Officials Method
of Analysis.Washington DC (US): Association of Official Analytical
Chemistry.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of
Analysis. Washington DC (US): Association of Official Analytical
Chemistry.
Ariyani N. 2010. Formulasi tepung campuran siap pakai berbahan dasar tapioca-
mocal dengan penmabahan maltodekstrin serta aplikasinya sebagai tepung
pelapis keripik bayam. [skripsi]. Purwekerto (ID): Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman.
Asp NG. 2001. Enzymatic gravimetric methods, Di dalam Spiller GA, editor.
Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd
ed. California (US):
CRC Press.
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Axtell B. 2011.Tray dryers. Practical action technology challenging poverty.
England (UK): Practical Action.
Ayu DC, Yuwono SS. Pengaruh suhu blanching dan lama perendaman terhadap
sifat fisik kimia tepung kimpil (Xanthosoma sagittofolium). Jurnal Pangan
dan Agroindustri 2(2): 110-120.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013.
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 36 Tahun Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet. Jakarta (ID).
_____.2011. Pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan.
HK.03.1.23.11.11.09909.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Mutu Tepung Terigu. SNI 01-
3751-2009.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1996. Produksi Tanaman Sayuran dan Buah- buahan.
Jakarta (ID): BPS.
Charley H. 1982. Food Science. Canada: John Wiley & Sins,Inc.
Ginting E, Utomo JS, Yulifianti R, Jusuf M. 2011. Potensi ubi jalar ungu sebagai
pangan fungsional. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 6(1): 116-138.
Hamsah. 2013. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung buah pedada (Sonneratia
caseolaris). [skripsi]. Makassar (ID): Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanuddin.
Handoko TT. 2010. Pengaruh lama perendaman empulur dan konsentrasi Na2S2O5
(natrium metabisulfit) terhadap karakteristik mutu pati sagu (Metroxylon
sp.). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Hartati dan Prana. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa
kultivar talas. Jurnal Natur Indonesia 6(1): 29-33.
Hawa IZZ. 2015. Pengaruh pemberian formula enteral berbahan dasar labu kuning
(Cucurbita moschata D.) terhadap kadar glukosa darah postprandial tikus
diabetes melitus. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro.
29
Hayati MN. 2006. Pengaruh jenis asidulan terhadap mutu pure labu kuning
(Cucurbita pepo L.) selama penyimpanan dan aplikasinya dalam
pembuatan puding. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Honestin T. 2007. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung ubi jalar. (Ipomoea
batatas). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Husniati. 2009. Studi karakterisasi sifat fungsi maltodekstrin dari pati singkong.
Jurnal Riset Industri 3(2): 133-138.
Ifgar A. 2012. Pengaruh penambahan tepung labu kuning dan tepung terigu
terhadap pembuatan biskuit. [skripsi]. Makassar (ID): Fakultas Pertanian,
Universitas Hasanudin.
Indriyani LO. 2013. Studi komparasi penggunaan tepung jagung dari varietas
yang berbeda terhadap kualitas kremus. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas
TeknIK, Universitas Negeri Semarang.
Jideani VA. Functional Properties of Soybean Food Ingredients in Food Systems,
Soybean - Biochemistry, Chemistry and Physiology, Prof. Tzi-Bun Ng
(Ed.), ISBN: 978-953-307-219-7, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/soybean-biochemistry-chemistry-and
physiology/functional-propertiesof-soybean-food-ingredients-in-food-
systems.
Kristianingsih Z. 2010. Pengaruh subtitusi labu kuning terhadap kualitas brownies
kukus. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Teknik, Universitas Semarang.
Kusharto CM, 2006. Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Jurnal Gizi
dan Pangan 1(2): 45-54.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro.Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Lubis IH. 2013. Pengaruh lama dan suhu pengeringan terhadap mutu tepung
pandan. [skripsi]. Sumatera Utara (ID): Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Martunis. 2015. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kualitas dan
kuantitas pati kentang varietas Granola. Jurnal Teknologi Industri dan
Pertanian Indonesia 4(3): 26-30.
Masruroh. 2009. Pengaruh subtitusi tepung labu kuning terhadap kualitas cake
tepung singkong. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Teknik, Universitas
Semarang.
Murano Peter S. 2003. Food Science and Technology. Texas (USA): Thommas
LearningInc.
Nielsen, SS. 2003. Food Analysis 3rd
ed. New York (USA): Kluwer Academic/
Plenum Publishers.
Pangesti YD, Parnanto NHR, A AR. Kajian sifat fisikokimia tepung bengkuang
(Pachyrhizus erosus) dimodifikasi secara heat mouisture treatment (hmt)
dengan variasi suhu. Jurnal Teknosains Pangan 3(3): 72-77.
Prabasini H, Ishartani D, Rahadian D. 2013. Kajian sifat kimia dan fisik tepung
labu kuning (Cucurbita moschata) dengan perlakuan blanching dan
perendaman natrium metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknosains Pangan
2(2): 93-102.
30
Purba JH. 2008. Pemanfaatan labu kuning sebagai bahan baku minuman kaya
serat. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Rahman F. 2007. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) dan suhu
pengeringan terhadpa mutu biji alpukat (Persea americana mill.).
[skripsi]. Medan (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia.
Rahmawati L, Susilo B, Yulianingsih R. 2014. Pengaruh variasi blanching dan
lama perendaman asam asetat (CH3COOH) terhadap karakteristik tepung
labu kuning termodifikasi. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis 2(2): 107-
115.
Rizani L. 2015. Pengaruh waktu pasteurisasi dan suhu penyimpanan terhadap
stabilitas fisikokimia puree dan model minuman labu kuning. [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rosanna, Octora Y, Ahza AB, Syah D. 2015. Pra-pemanasan meningkatkan
kerenyahan keripik singkong dari ubi jalar unggu. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan 26(1): 72-79.
Salim RA, Putri WDR. 2015. Pengaruh suhu dan lama annealing terhadap sifat
fisik-kimia tepung ubi jalar putih varietas Manohara. Jurnal Pangan dan
Agroindustri 3(2): 602-609.
Santoso EB, Basito, Rahdian D. 2013. Pengaruh penambahan berbagai jenis dan
konsentrasi susu terhadap sifat sensoris dan sifat fisikokimia puree labu
kuning (Cucurbita moschata). Jurnal Teknosains Pangan 2(3): 15-26.
Slamet A. 2010. Pengaruh perlakuan pendahuluan pada pembuatan tepung
ganyong (Canna edulis) terhadap sifat fisik dan amilografi tepung yang
dihasilkan. Jurnal Agrointek 4(2): 100-103.
Sompong R, Siebenhandl-Ehn S, Berghofe E, Schoenlechner R. 2010.Extrusion
cooking properties of white and coloured rice varieties with different
amylose content. Starch/Stȁrke 63:55–63.
Steffe JF. 1996. Rheological Methods in Food Processing Engineering 2nd
edition.
East Lansing. Freeman Press.
Suarni dan M. Yasin. 2011. Jagung sebagai sumber pangan fungsional. Jurnal
Iptek Tanaman Pangan 6(1): 41-56.
Trisnawati W, Suter K, Suastika K, Putra NK. 2014. Pengaruh metode
pengeringan terhadap kandungan antioksidan, serat pangan, dan komposisi
gizi Tepung labu kuning. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3(4): 135-140.
Tounkara F, Amza T, Lagnika C, Le G W, Shi Y H. 2013. Extraction,
characterization, nutritional and functional properties of roselle (Hibiscus
sabdariffa Linn) seed proteins. Journal of Science and Technology 35(2):
159-166.
[USDA]. U.S Department of Agriculture. 2010. Dietary guidelines for Americans
7th
Edition. Washington DC (US): U.S Government Printing Office.
Wahyudi J, Wibowo WA, Rais YA, Kusumawardani A. 2011. Pengaruh suhu
terhadpa kadar glukosa terbentuk dan konstanta kecepatan reaksi pada
hidrolisa kulit pisang. Di dalam: Pengembangan Teknologi Kimia untuk
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Prosiding. Yogyakarta 22
Februari 2011. Yogyakarta: ISSN 1693-4393, hal. 1-5.
31
Wahyuni TD dan Widjanarko BS. 2015. Pengaruh jenis pelarut dan lama ekstraksi
terhadap ekstrak karetonoid labu kuning dengan metode gelombang
ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri3(2): 390- 401.
Winarno. FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Wong JM and Jenkins DJ. 2007. Carbohydrate digestibility and metabolic effects.
J Nutr. 13(7):2539S-2546S
Yanuwardana, Basito, Muhammad DRA. 2013. Kajian karakteristik fisiko-kimia
tepung labu kuning (Cucurbita moschata) termodifikasi dengan variasi
lama perendaman dan konsentrasi asam laktat. Jurnal Teknosains Pangan
2(2): 75-83.
32
LAMPIRAN
Lampiran1 Hasil stastistik komposisi kimia tepung labu kuning
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean St
d.
Deviation
Std.
Error Mean
95% Confidence
Interval of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b – ap
,05750 ,05737 ,02869 -,03379 ,14879 2,004 3 ,139
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b –
ap
,03750 ,02630 ,01315 -,00435 ,07935 2,852 3 ,065
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b – ap
,04000 ,05354 ,02677 -,04520 ,12520 1,494 3 ,232
33
Kadar lemak
Kadar karbohidrat
Kadar gula
Kadar total serat
Paired Samples Test
Paired Differences t Df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b – ap
,0200
0
,02944 ,01472 -,02684 ,06684 1,359 3 ,267
Paired Samples Test
Paired Differences t Df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b – ap
-.09250 .06850 .03425 -.20149 .01649 -2.701 3 .074
Paired Samples Test
Paired Differences t Df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lo
wer
Up
per
P
air 1
a
b - ap
-,22000 ,01633 ,00816 -,24598 -,19402 -26,944 3 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
.05000 .02828 .01414 .00499 .09501 3.536 3 .038
34
Kadar serat tidak larut
Kadar pati
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
.0250
0
.03317 .01658 -.02777 .07777 1.508 3 .229
Kadar serat larut
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
.01250 .03403 .01702 -.04166 .06666 .735 3 .516
Paired Samples Test
Paired Differences t Df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
.08500 .04203 .02102 .01812 .15188 4.045 3 .027
35
Lampiran 2 Hasil stastistik komposisi kimia tepung labu kuning
Warna (L*)
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b –
ap
-11,01350 ,08170 ,04085 -11,14351 -10,88349 -269,593 3 ,000
Warna (a*)
Warna (b*)
Paired Samples Test
Paired Differences T df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b –
ap
-8,40000 ,19253 ,09626 -8,70635 -8,09365 -87,260 3 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences T df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b –
ap
3,5625
0
,13623 ,06811 3,34573 3,77927 52,302 3 ,000
36
Daya ikat air
Daya ikat minyak
Viskositas (5%)
Paired Samples Test
Paired Differences
t Df
Sig. (2-
tailed) Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
ab -
ap
-
.01750 .01708 .00854 -.04468 .00968 -2.049 3 .133
Viskositas (10%)
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed) Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Pair
1
ab -
ap -1.55000 .44347 .22174 -2.25566 -.84434 -6.990 3 .006
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
,08500 ,05802 ,02901 -,00733 ,17733 2,930 3 ,061
Paired Samples Test
Paired Differences t Df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
P
air 1
a
b - ap
,01750 ,03594 ,01797 -,03969 ,07469 ,974 3 ,402
37
RIWAYAT HIDUP
Yesika Kristiani dilahirkan di Jakarta pada 11 Desember
1994, dan merupakan anak kedua dari Bapak Guston
Sitorus dan Ibu Donna Panjaitan. Pada tahun 2012,
penulis lulus dari SMAN 9 Jakarta, Provinsi DKI Jakarta,
dan kemudian melanjutkan jenjang pendidikan S1 di
Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam organisasi
dan berbagai kepanitiaan selama masa kemahasiswaan,
seperti menjadi anggota dari organisasi Sanggar Juara
Bogor (2014-2015), dan SWAYANAKA Jakarta (2016-
sekarang), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB
(2012-2016), serta berpartisipasi menjadi panitia paskah
FATETA, natal CIVA PMK IPB, dan master ceremony
(MC) di acara BAUR ITP IPB 2014. Penulis
mendapatkan juara umum saat lulus SMA, dan
mendapatkan beasiswa dari bank BJB.
top related