kebijakan ketahanan pangan lokal
Post on 04-Aug-2015
211 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan
ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok
masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian,
ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan
kedaerahan mereka.
Indonesia adalah Negara agraris, dimana tumbuh dan berkembang
dari sektor pertanian. Pertanian tidak pernah bisa dilepaskan dari masalah
pangan, karena tugas utama pertanian adalah untuk menyediakan pangan
bagi penduduk suatu Negara. Salah satu indikator penting untuk melihat
kondisi ketahanan pangan suatu negara secara agregat adalah melalui
angka rata-rata ketersediaan pangan.
Dalam UU/No 7/Tahun 1996 dan disempurnakan menjadi UU/No
68/Tahun 2002 tentang ketahanan pangan dijelaskan bahwa: “ Ketahanan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
1
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan,
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Revolusi hijau (green
revolution) adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan
produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan
pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Jadi tujuan pokoknya
adalah untuk mencukupi tanaman pangan penduduk. Konsep Revolusi Hijau
yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat)
adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya
swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras
adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
namun oleh karena penyeragaman pangan ke beras maka menimbulkan
dampak negatif berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman
tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang
dikembangkan dan ada sebagian daerah yang tidak berpotensi ditumbuhi
tanaman padi ( beras ) seperti di Maluku.
2
Mengingat keragaman pangan adalah merupakan bagian penting dari
mutu pangan serta keragaman budaya dan status sosial ekonomi rumah
tanggga atau masyarakat, maka terjadi keanekaan pula dalam konsumsi
bahan makanan. Reformasi politik pangan bertujuan menciptakan rancang-
bangun politik pangan yang lebih baik, sehingga melahirkan: “Peraturan
Presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.”
Provinsi Maluku memiliki lahan pertanian padi seluas 21.252 Ha3,
dengan perincian 18.545 Ha3 lahan padi sawah dan 2.207 Ha3 lahan padi
ladang. Dari lahan pertanian padi tersebut dihasilkan padi sebanyak 89.875
ton beras per tahun1. Terdiri dari 83.764 ton padi sawah dan 6.111 ton padi
ladang. Sedangkan kebutuhan beras untuk Provinsi Maluku dengan jumlah
penduduk 1.610.803 jiwa2, dibutuhkan lebih kurang 133 ton setiap tahunnya.
Kekurangan beras untuk kebutuhan pangan masyarakat di provinsi Maluku
cukup besar tersebut juga tidak mampu dipenuhi oleh Divre Maluku sebagai
kaki tangan pemerintah sehingga seringkali mengimpor dari luar daerah
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan beras. Oleh sebab itu,
pemerintah daerah berupaya sendiri untuk menutupi kebutuhan pangan
masayarakat, salah satunya dengan pemberdayaan pangan berbasis lokal.
1? BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id. diakses pada tanggal 31 mei 2011 pukul 15.11 Wita2 BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id. diakses pada tanggal 31 mei 2011 pukul 15.11 Wita
3
Tanaman Sagu banyak tumbuh di Maluku, Sagu diolah menjadi
makanan bagi Masyarakat Maluku. Namun oleh karena manifestasi
pemerintah dan modernisasi maka orang Maluku cenderung melupakan sagu
dan beralih ke beras. Padahal Maluku memiliki potensi yang besar sebagai
lumbung pangan “sagu” sebagai basis ketahanan pangan lokal dalam
menghadapi krisis pangan. Sehingga dibutuhkan peran dan kinerja
pemerintah daerah untuk dapat mempertahankan sagu sebagai makanan
pokok yang memiliki kualitas pangan yang baik. Swasembada pangan harus
tetap dijaga karena produksi pangan selain merupakan masalah ekonomi
juga masalah politik.
Dalam mewujudkan kemandirian pangan di Maluku maka dikeluarkan
Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Lembaga ini diharapkan
menciptakan ketahanan pangan serta diversifikasi pangan di Maluku salah
satunya dengan melindungi, melestarikan, serta mengolah sagu sebagai
basis ketahanan pangan lokal di Maluku. Namun dalam pelaksanaan
mewujudkan ketahanan pangan berbasis pangan lokal Badan Ketahanan
Pangan Maluku masing mendapat kendala oleh karena paradigma
masyarakat Maluku yang lebih memprioritaskan makan beras ketimbang
pangan lokal “Sagu”. Pergeseran pola konsumsi yang secara tidak sadar
4
menciptakan ketergantungan terhadap beras, membuat masyarakat kurang
termotivasi untuk menggali dan memanfaatkan pangan lokal. Kondisi ini
secara tidak langsung mempengaruhi lambannya pengembangan
penyediaan bahan pangan sampai ke tingkat rumah tangga. Perwujudan
ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah
(Badan Ketahanan Pangan) bersama masyarakat, dengan pangan lokal
diharapkan Provinsi Maluku dapat menuju kemandirian pangan.
B. Rumusan Masalah
Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti mengenai
Politik Pangan di Maluku, maka penulis membatasinya pada persoalan
sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Maluku dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di
Maluku?
2. Apa faktor-faktor penunjang dan penghambat Badan Ketahanan
Pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berbasis lokal di
Maluku?
5
C. Tujuan Penelitian:
a. Mendeskripsikan ketahanan pangan lokal di Maluku.
b. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan
Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku serta faktor-
faktor pendukung dan penghambat terhadap ketahanan pangan
lokal di Provinsi Maluku.
D. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis
a. Menunjukan fenomena sosial-politik tentang Politik Pangan
Lokal di Maluku.
b. Menunjukan secara ilmiah implementasi kebijakan politik
pangan di Provinsi Maluku demi terciptanya ketahanan pangan
lokal.
c. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu
politik untuk pengembangan keilmuan, khususnya politik
kontemporer.
6
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat
dalam memahami realitas Politik Pangan di Maluku.
b. Sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana ilmu
politik.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini yang akan dibahas keempat aspek, yaitu: Kebijakan
Publik, Implementasi Kebijakan, Politik Pangan, dan Pangan lokal. Keempat
hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
A. Kebijakan Publik
Menurut Johan K. Bluntschi, politik adalah suatu hal yang
memperhatikan masalah kenegaraan, yaitu berusaha keras untuk mengerti
dan memahami kondisi suatu Negara yang bersifat penting dalam berbagai
bentuk manifestasi pembangunan.3 Namun salah satu konsep politik yang
dikemukan Miriam Budiarjo adalah kebijakan (Policy).4 Kebijakan diartikan
sebagai aturan yang lahir dari proses politik. Kebijakan merupakan hal yang
mengikat sebagai suatu upaya pencapaian tujuan yang diinginkan dengan
bersifat strategis dan jangka panjang. Kebijakan harus bisa
diimplementasikan ke ruang publik.
3 Inu Kencana,Syafie, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Pustaka RekaCipta,2009),hal.584 Miriam. Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hal.17
8
Menurut Carl Friedrich yang dikutip dalam Wahab bahwa:
“kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.”5
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana
kebijakan publik digambarkan sebagai suatu keputusan berdasarkan
hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan
dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Pangan
merupakan suatu yang vital bagi kelangsungan Negara terutama sebagai
bahan makanan kelangsungan hidup rakyat. Oleh karena pentingnya
pangan, dan agar terciptanya keterediaan pangan maka harus dibuat
kebijakan yang mengatur tentang pangan.
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin dapat dibedakan
dalam tiga tingkatan:
1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau
petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat
negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.
5 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara,2001) Hal 3
9
2. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan
umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang
pelaksanaan suatu undang-undang.
3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah
kebijakan pelaksanaan.
Anderson memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-
kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan penjabat-penjabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan
untuk dilakukan.
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti
merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah
tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
10
Analisis Kebijakan diartikan William Dunn 6 sebagai serangkaian
aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat
politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
penilaian kebijakan. Maka dapat dikatakan bahwa dalam pembuatan
kebijakan terdapat terdapat empat rangkaian kesatuan penting didalam
analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu penyusunan agenda
(agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi
kebijakan (policy implementation).
1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Proses kebijakan publik diawali dengan penyusunan agenda
(agenda setting ) yaitu sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai
suatu masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam
agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues)
6 William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1998), Hal.24
11
sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Isu
kebijakan lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat antara para
aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.
2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)
Langkah kedua dalam proses kebijakan setelah agenda setting adalah
formulasi kebijakan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang
masuk diidentifikasi untuk kemudian di cari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah
untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah. Formulasi kebijakan memiliki aktivitas
yang sangat penting dalam kerangka peramalan. Formulasi kebijakan akan
memberi gambaran mengenai konsekuansi di masa mendatang dari
diterapkannya kebijakan tersebut.
12
3. Implementasi Kebijakan (policy implementation) dan Evaluasi
Kebijakan
Berhasil tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada
tataran implementasinya. Sering dijumpai bahwa proses perencanaan
kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam
implementasinya. Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini
berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola
operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil
sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada
hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah
sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya
melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan
sosial. Tahap paling akhir dalam proses kebijakan adalah penilaian
kebijakan. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai
kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi implementasi dan dampak.
13
Tabel. 01. Proses Kebijakan Publik
Tahap Karakteristik
Perumusan Masalah
Formulasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Monitoring Kebijakan
Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan
Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah.
Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternative kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.
Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif.
Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu, termasuk kendalanya, pengawasan.
Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil kebijakan.
B. Implementasi Kebijakan
Telah disebutkan diatas ada tahapan tahapan kebijakan, namun pada
dalam permasalahan ini, penulis lebih menfokuskan pada tahapan
implementasi. Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta
baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan.7 Sedangkan menurut Mazmadian:
7 Samudra, Wibawa. Kebijakan Publik (Jakarta: Intermedia,1994) hal 6814
“implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang atau bentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif. ” 8
Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam
dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome).
Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari
maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua,
implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy,
Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini
adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan
dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting
dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan
keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan
dapat dihasilkan. T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat,
kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan.9
Dari definisi diatas implementasi dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktifitas atau kegiatan
pencapaian tujuan, dan hasil kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan 8 ibid9 http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/03/teori-implementasi-kebijakan-publik.html
15
melakukan suatu kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapat suatu
hasil yang sesuai dengan sasaran kebijakan.
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan
realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi adalah
membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik
direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai
pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Tachjan menjelaskan
tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada
yaitu:
1. Unsur pelaksana, Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan
yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan sebagai berikut:
”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan
kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran
organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi
organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan
program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan
operasional, pengawasan serta penilaian”.10
2. Adanya program yang dilaksanakan, program merupakan rencana
yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya
10 http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/
16
yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program
tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode,
standar dan budjet.
3. Target group atau kelompok sasaran, target group yaitu sekelompok
orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang
atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan
kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa
karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran
kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta
kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas
implementasi .
17Fase Agenda
Fase Keputusan
Fase Pelaksanaan
Gambar 01. Implementasi Kebijakan
Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus
memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu
perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka
masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan
kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam
organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung
pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan
kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan
berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan
positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan
implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif
18
IsuKebijakan
DalamAgend
a
Tidak
Keputusan
kebijakan
Tidak ada kebijakan
Sukses dilaksanakan
Gagal Kendala
maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam
akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran
kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang
menentukan efeknya terhadap masyarakat. Kriteria pengukuran keberhasilan
implementasi didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan
birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana
diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak
adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang
dikehendaki dari semua program yang ada terarah.
Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Horn, terdapat
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:
1. Standar dan sasaran kebijakan, dimana standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur agar dapat direalisir, komunikasi
sangatlah diperlukan agar implementator mengetahui apa yang
harus dilakukannya.
2. Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan
sumber daya, baik sumber daya manusia dan sumber daya non
manusia (finansial). Meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tapi kekurangan sumber daya maka
implementasi tidak dapat berjalan efektif.
19
3. Hubungan antar organisasi, dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain
agar tecapai keberhasilan suatu program.
4. Disposisi Implementator, yakni karakteristik yang dimiliki
implementator, mencakup respon implementator terhadap kebijakan
yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan
kebijakan. Kognisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan.
5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi, ini menyangkut sumber daya
lingkungan mendukung implementasi kebijakan, misalnya kelompok
kepentingan, elit politik, serta opini publik.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari
proses dan pencapaian tujuan akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya
tujuan-tujuan yang akan diraih.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
20
Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan bila dipandang dalam
pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukum dimana berbagai
aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”
Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan Negara
secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis
A.Gun yang dikutif oleh Wahab11, yaitu:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana
tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan
hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang
cukup memadai.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
tersedia;Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh
suatu hubungan kausalitas yang handal.
d. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnnya.
e. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
f. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
g. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
11 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara,2001) Hal 7
21
h. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan
dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus
dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.
Menurut James Anderson, 12 masyarakat mengetahui dan melaksanakan
suatu kebijakan publik dikarenakan :
a. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-
keputusan badan-badan pemerintah;
b. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;
c. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara
sah,konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;
d. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan
itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi; Adanya sanksi-sanksi
tertentu yaang akan dikenakan apabila tidakmelaksanakan suatu
kebijakan.
Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung implementasi
kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota
masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah
12? Ibid. 1022
implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan
tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak
berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan
publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat,
yaitu:
a. Isi kebijakan.
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi
kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,
sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan
terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya
ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.
Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan
adanya kekurangankekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain
dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi
karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber
daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga
manusia.
b. Informasi.
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang
peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat
23
berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru
tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
c. Dukungan.
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada
pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut.
d. Pembagian potensi.
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu
kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para
pelaku yang terlibat dalam implementasi.Dalam hal ini berkaitan dengan
diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian
wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian
tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang
jelas13. Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan
mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata
lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga
13 http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/
24
apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan
pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.
D. Politik Pangan
Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota. Politik
memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan Negara, kekuasaan, kebijakan,
serta pembagian kekuasaan.14 Masalah pangan merupakan hal yang sangat
fundamental dalam Negara karena berkaitan dengan kelangsungan hidup
rakyat. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan untuk mengatur tentang
pangan. Dalam Peraturan Pemerintah tentang ketahanan pangan pada pasal
1 ayat 2 dijelaskan bahwa, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan
makanan atau minuman.
Politik pangan adalah kebijakan politik yang diarahkan guna
terciptanya pemenuhan pangan bagi masyarakat dalam konteks Negara.
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah
14 Miriam.Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008),hal 16
25
dan masyarakat secara bersama-sama seperti yang diamanatkan oleh
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tetang ketahanan pangan. Dalam
Undang-Undang tersebut pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan. Sementara masyarakat
menyelenggarakan proses produksi atau penyediaan, perdagangan,
distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh
pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam,
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pangan merupakan hal pokok bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Pemenuhan ketersediaan pangan harus terus digalakan agar tidak terjadi
kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi
ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk
hidup sehat dan aktif. Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan
kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan akibat antara lain:
1. Rendahnya ketersediaan pangan dari produksi setempat maupun
pasokan dari luar.
2. Gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta
keamanan distribusi.
3. Terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah/daerah
terisolasi.
26
4. kegagalan produksi pangan
5. Gangguan kondisi sosial.
Keterbatasan pemenuhan sumber pangan akan mengakibatkan situasi
rawan pangan, untuk itu harus dibuat suatu mekanisme ketahanan pangan.
Menurut Kurniawan ketahanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang dan setiap individu
mampu memperolehnya.15 Dalam konsep ketahanan pangan terdapat tiga
topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi
pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu:
1. Kecukupan pangan
Kecukupan pangan adalah suatu kondisi pada suatu negara yang
cukup akan jumlah pangan, mutu baik, mudah diperoleh, aman
dikonsumsi, dan harga terjangkau.
2. Kemandirian pangan
Kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat
memenuhi kebutuhan pangan dengan produk sendiri (negara
tersebut).
15 Susan. George. Pangan “ dari penindasan sampai ketahanan pangan”.
(Yogyakarta:INSIST.2007)
27
3. Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan adalah suatu penentuan yang dilakukan oleh
suatu negara atas pangan untuk negaranya sendiri.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke
waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem
produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan
budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan
prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan
lahan produktif.
Subeno menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan
nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di
pedesaan.16 Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan
merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.
Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ketahanan pangan (food security) merupakan kondisi tersedianya
pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat
yang dapat diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli
16 Insist. Politik Pangan: perlu perubahan paradigma. (Yogyakarta:INSIST.2008)28
٤
masyarakat serta terdistribusi merata di semua wilayah dan strata
masyarakat.
Oxfam 2001 mengartikan Ketahanan pangan adalah kondisi
ketika: “setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control
atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang
katif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni:
ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas
pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
Ketahanan pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari
tiga subsistem yang saling interpenden dan tidak bisa dibahas secara parsial.
Hal ini sangat penting karena memahami konsep ketahanan pangan adalah
memahami sebuah proses yang saling memiliki keterkaitan dari awal sampai
akhir dimulai dari produksi, distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi.
Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting
untuk meningkatkan stok pangan lokal. Sistem ketahanan pangan sudah
didesentralisasikan ke seluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-
kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis di
lapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom. Nainggolan
menyatakan bahwa, otonomi daerah memberikan keleluasaan dalam
29
٥
menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah, diantaranya
melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders pemerintahan daerah.
2. Melaksanakan program pembangunan yang secara langsung
memberikan manfaat kepada masyarakat.
3. Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan
pusat.
4. Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian.
Waluyo menyatakan17 bahwa, permasalahan fundamental yang
dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: Kebijakan
ketahanan pangan, penataan dan pemanfaatan lahan pertanian, lumbung
pangan, sebagaimana uraian berikut:
(1) Kebijakan Ketahanan Pangan
Terkait dengan aspek pengelolaan dan pemeliharaan cadangan
pangan pemerintah, Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 2002
menyebutkan secara tegas tentang pentingnya peran pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa dalam menangani masalah
17 Susan,George. Pangan “dari penindasan sampai ketahanan pangan”. (Yogyakarta:INSIST.2008)30
٦
pangan. Semangat otonomi daerah menurut PP 68/2002 tersebut pada
dasarnya dapat dilihat dari dua hal pokok. Pertama, pengakuan terhadap
pentingnya peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, pemerintah desa dalam pengelolaan ketahanan pangan; Kedua,
pernyataan secara tegas tentang keberagaman pola pangan masyarakat,
yaitu dengan memberikan keleluasaan pengertian atas pangan tertentu
bersifat pokok, sesuai dengan pola pangan masyarakat setempat. Oleh
sebab itu ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu
kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran
tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan
terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun
sosial dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh
kelembagaan dalam masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai
ketahanan pangan. Untuk mencapai visi ketahanan pangan tersebut
diperlukan tiga dimensi ketahanan pangan, yaitu: dimensi ketersediaan
(availability), dimensi akses (access), dan dimensi pemanfaatan (utilization).
(2) Penatalaksanaan Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain telah menjadi salah satu
ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.
(3) Lumbung Pangan
31
٧
Secara formal pengaturan cadangan pangan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah dan masyarakat
harus sama-sama eksis dan satu sama lain harus saling melengkapi. Oleh
sebab itu memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada,
baik secara individu maupun secara kolektif, untuk cadangan pangan demi
keberlanjutan kehidupan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan ketahanan pangan.
E. Pangan Lokal
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan
sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain
sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan
antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya.
Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah
sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang
sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan
tingkah-laku mereka.
32
٨
Pangan Lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan
sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat.18
Pangan lokal juga diartikan pangan yang asal usulnya secara biologis
ditemukan di suatu daerah. 19 Pangan adalah hak asasi setiap individu untuk
memperolehnya dengan jumlah yang cukup dan aman serta terjangkau. Oleh
karena itu, upaya pemantapan ketahanan pangan harus terus dikembangkan
dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Dalam menunjang keberhasilan ketahanan pangan penduduk
Indonesia harus kembali ke makanan pokok lokal daerahnya masing-masing,
sebagai contoh; orang Maluku dengan makanan pokok sagu, maka
penduduk Maluku wajib mengkonsumsi sagu, tetapi pada saat ini mana ada
orang yang suka makan sagu terus-menerus, tentunya akan merasa bosan
dan merasa gengsi, maka sagu harus diolah dengan baik dan lebih
bervariasi, begitu pula makanan pokok lainnya. Sesuai dengan peraturan
presiden No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Kebijakan pengembangan konsumsi pangan dapat diarahkan pada :
18 http://agoesman120.wordpress.com/2009/06/27/pangan-lokal/ diakses pada tanggal 8 september 2011 pukul 17.35 wita19 Susan,George. Pangan “dari penindasan sampai ketahanan pangan”. (Yogyakarta:INSIST.2008)
33
1. Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan yang
diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk baik jumlah
maupun mutu, termasuk keragaman dan keseimbangan gizinya;
2. Pengembangan konsumsi pangan lokal baik nabati dan hewani yang
diarahkan untuk meningkatkan mutu pangan lokal dan makanan
tradisional dengan memperhatikan standar mutu dan keamanan
pangan sehingga dapat diterima di seluruh lapisan masyarakat.
Strategi pengembangan konsumsi pangan diarahkan pada tiga hal
yaitu produk/ketersediaan, pengolahan dan pemasaranan. Strategi
pengembangannya adalah :
1. Pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini adalah berupa
peningkatan peran masyarakat dalam pengembangan konsumsi
pangan yang meliputi peningkatan pengetahuan/kesadaran dan
peningkatan pendapatan untuk mendukung kemampuan akses
pangan oleh setiap rumah tangga.
2. Peningkatan kemitraan. Merupakan implementasi, sinkronisasi dan
kerjasama antara semua stakeholders dalam pengembangan
konsumsi pangan termasuk pengembangan
produksi/pengembangan teknologi pengolahan pangan.
34
3. Sosialisasi. Memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi
masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan melalui
promosi, kampanye, penyebaran informasi melalui media massa
(cetak dan elektronik) dan pemberian penghargaan.
Pemanfaatan pangan lokal dapat membantu masyarakat lokal dalam
memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan
pangan rumah tangga. Sumber-sumber pangan lokal ( jagung, ubi kayu, ubi
jalar, kentang, sagu, dan sumber karbohidrat lainnya ) sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan pokok pendamping beras. Program
pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan melalui Badan
Ketahanan Pangan bertujuan:
1. Memantapkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan
sumberdaya yang dimiliki secara berkelanjutan.
2. Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin stabilitas
pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses
pangan masyarakat. Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi
pangan dan mencegah kerawanan pangan.
F. Kerangka Pemikiran
35
٩
Pada masa orde baru terjadi penyeragaman pangan ke satu
komoditas pangan yakni beras. Namun ketergantungan pola konsumsi
pangan masyarakat Maluku terhadap beras, tidak sebanding dengan tingkat
produksi beras di Provinsi Maluku. Secara letak geografis Maluku adalah
Provinsi kepulauan yang hampir keseluruhan daerah lahan pertanian tidak
cocok ditanami padi dan seringkali harus mengimpor dari luar daerah. Dari
permasalahan inilah pemerintah Provinsi berupaya mengupayakan
diversifikasi pangan berbasis pangan lokal “sagu” agar tercipta ketahanan
pangan yang mandiri. Pemerintah daerah membentuk Badan Ketahanan
Pangan sebagai badan pembantu Gubernur dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan teknis tentang ketahanan pangan dan kemudian di
buatkan peraturan daerah No. 04 tahun 2010 tentang organisasi tata kerja
badan ketahanan pangan Maluku. Peraturan daerah ini diharapkan menjadi
legitimasi hukum Badan Ketahanan pangan dalam menciptakan ketahanan
pangan berbasis lokal di Maluku.
Daerah Maluku memiliki potensi pangan lokal yang bisa
dikembangkan untuk menciptakan ketahanan pangan. Daerah ini merupakan
habitat yang cocok untuk tanaman sagu, bahkan sebelum penyeragaman
pangan ke beras, makanan pokok orang Maluku adalah sagu.
Dalam pelaksanaan implementasi Badan Ketahanan pangan Maluku
mengalami hambatan untuk melakukan diversifikasi pangan. Pola pikir
36
Faktor Penunjang Potensi Sagu sebagai Pangan Lokal Kelembagaan BKP
masyarakat yang cenderung bergantung pada beras, menjadikan pangan
lokal “sagu” hanya menjadi makanan pendamping. Hutan sagu mulai dialih
fungsikan menjadi daerah perumahan membuat semakin berkurangnya
sumber daya dan habitat asli tanaman sagu. Selain itu kendala yang dihadapi
adalah masih kurang daya inovatif terhadap pangan lokal dimana pangan
lokal lebih cepat rusak bila dibandingkan dengan beras yang dapat disimpan
dalam waktu yang lama saat dijadikan sebagai cadangan makanan. Letak
geografis Maluku yang merupakan daerah kepulauan, minimnya aparatur dan
penyediaan dana Badan Ketahanan pangan menjadi penghambat dalam
proses sosialisasi diversifikasi pangan di masyarakat.
BAB III
37
Diversifikasi Pangan(penganekaragaman pangan)
Implementasi Perda No 04 tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja
Badan Ketahanan Pangan Maluku
Ketahanan Pangan Berbasis Pangan Lokal
(Sagu)
Faktor Penghambat Ketergantungan pada beras Alih fungsi lahan sagu
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas ada lima aspek, sebagai berikut : Lokasi
Penelitian, Tipe dan Dasar Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan
Data, dan Teknik Analisis Data. Kelima hal tersebut akan di uraikan lebih
lanjut.
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Maluku. Lokasi penelitian di Badan
Ketahanan Pangan Provinsi Maluku yang bertempat di Kota Ambon dan
merupakan merupakan lembaga yang membantu Gubernur dalam
penggagas perumusan kebijakan teknis pangan di Maluku. Alasan dipilihnya
Maluku sebagai daerah penelitian karena daerah Maluku merupakan habitat
asli tanaman sagu dan merupakan potensi pangan yang dapat
dikembangkan guna terciptanya diversifikasi pangan berbasis lokal.
B. Tipe dan Dasar Penelitian
Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metodologi kualitatif untuk menghasilkan temuan atau kebenaran yang
didalam penelitian kualitatif disebut kebenaran “intersubjektif”, yakni
kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai faktor yang bekerja
bersama-sama, seperti budaya dan sifat unik manusia, maka realitas
kebenaran adalah sesuatu yang “dipresepsikan” oleh yang melihat bukan
38
sekedar fakta yang bebas konteks dan interpretasi apapun. Kebenaran
merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh peneliti dengan
mencatat dan memahami apa yang terjadi dalam interaksi sosial
kemasyarakatan.20
Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan
untuk menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala
yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. ujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun
demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau
kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang
untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu
variabel kepada variabel lain.
C. Sumber Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan data yang menurut penulis
sesuai dengan objek penelitian yang mampu memberikan gambaran tentang 20 Prasetya Irawan, Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk ilmu-ilmu sosial (Jakarta: DIA FISIP UI,2006),hal.5
39
objek penelitian. Adapun sumber data yang digunakan yaitu Data Primer dan
Data Sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah
penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan informan dan observasi
langsung. Peneliti turun langsung ke daerah penelitian untuk mengumpulkan
data dalam berbagai bentuk, seperti rekaman hasil wawancara dan foto
kegiatan di lapangan. Dari proses wawancara peneliti berharap akan
mendapatkan data-data seperti, ketahanan pangan di Maluku, kinerja Badan
Ketahanan Pangan, serta penganekaragaman pangan berbasis lokal di
Maluku.
b. Data Sekunder
Penulis selain turun ke lapangan, juga melakukan telaah pustaka
yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran, dan sumber informasi
lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian yakni politik pangan
di Maluku.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
yaitu : Wawancara Mendalam dan Arsip / Dokumen.
40
a. Wawancara Mendalam
Penulis dalam melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara
mendalam, pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap
berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan terdapat
pertanyaan-pertanyaan berlanjut. Pedoman wawancara digunakan untuk
mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas,
juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan
tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman tersebut interviwer
harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara
kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan
konteks aktual saat wawancara berlangsung. Proses pengumpulan data
dengan wawancara mendalam penulis membaginya menjadi dua tahap,
yakni :
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun
berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman
wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal
ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi
pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari
41
pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan
mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan
selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun
berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan
observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya
terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat
peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka
peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti
selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek
penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada
subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia
untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut
mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan
tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat.
Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman
berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan
analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang
dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu,
peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan,
42
peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Informan yang
penulis wawancarai adalah:
Tabel. 02 Narasumber PenelitianNarasumber Jabatan
Dr. Syuryadi Sabirin Kepala Badan Ketahanan Pangan MalukuDrs. H. Ramli Hasan Kepala Divisi Regional Bulog MalukuAbdullah Tuanaya Sekertaris Dinas Pertanian MalukuIr. S. M Talla Kepala Bidang Ketersediaan dan kerawanan
Pangan MalukuDrs. M. Siahalatua Kepala Bidang Organisasi Kantor Gubernur
MalukuIr. Melkias L. Frans Ketua Komisi B DPRD MalukuDrs. Andreas. J. W. Taborat Wakil Ketua Komisi B MalukuAbraham M. M Malioy, SH Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku
b. Arsip/Dokumen
Arsip atau Dokumen mengenai berbagai informasi dan hal yang
berkaitan dengan fokus penelitian merupakan sumber data yang penting
dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud dapat berupa dokumen tertulis
gambar atau foto, film audio-visual, data statistik, tulisan ilmiah yang dapat
memperkaya data yang dikumpulkan. Data-data ini didapat di Dinas
Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, DPRD Maluku, dan Perpustakaan
Daerah.
E. Teknik Analisis Data
43
Strauss dan Corbin21 mengungkapkan penelitian kualitatif dimaksud
sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya
penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman
penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
mengg unakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian kualitatif juga
membutuhkan triangulasi yakni pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Pengamatan yang terus
menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang
sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Analisis data dilakukan
bersamaan atau hampir bersamaan dengan pengumpulan data. Langkah
yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut : Reduksi Data,
Sajian Data, dan Penyimpulan Data.
1. Reduksi Data
21 Ibid44
Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data mentah, dengan
menggunakan alat-alat yang perlu seperti rekaman MP3, field note, serta
observasi yang dilakukan penulis selama berada dilokasi penelitian. Pada
tahap ini sekaligus dilakukan proses penyeleksian, penyederhanaan,
pemfokuskan, dan pengabstraksian data dari field note dan transkrip hasil
wawancara. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan dengan
membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan tema, menentukan batas-
batas permasalahan. Reduksi data sperti ini diperlukan sebagai analisis yang
akan menyeleksi, mempertegas, membuat fokus dan membuang hal yang
tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah
kesimpulan.
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data hasil wawancara
yang berupa rekaman MP3, catatan lapangan, dan pengamatan lainnya,
peneliti melakukan transkrip data untuk mengubah data hasil wawancara,
catatan lapangan dalam bentuk tulisan yang lebih teratur dan sistematis.
Setelah seluruh data sudah dirubah dalam bentuk tertulis, peneliti membaca
seluruh data tersebut dan mencari hal-hal yang perlu dicatat untuk proses
selanjutnya yakni pengkategorisasian data agar data dapat diperoleh lebih
sederhana sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sampai disini diperoleh
kesimpulan sementara berdasarkan data-data yang telah ada. Pada tahap
selanjutnya, penulis melakukan triangulasi yakni check and recheck antara
45
satu sumber data dengan sumber data yang lainnya. Apakah sumber data
yang satu sesuai dengan data yang lainnya, hal ini dilakukan untuk
meningkatkan validitas data.
2. Sajian Data
Sajian data adalah suatu informasi yang memungkinkan kesimpulan
penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data penulis dapat lebih
memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan
sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman
tersebut. Sajian data diperoleh dari hasil interpretasi, usaha memahami, dan
analisis data secara mendalam terhadap data yang telah direduksi,
dikategorisasi, dan check and recheck antara saru sumber data dengan
sumber yang lainnya. Sajian data dapat meliputi deskriftif, matriks dan table.
Sajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan mudah memahami dan
mengerti.
3. Penyimpulan Data
Dari hasil pengumpulan data yang telah diperoleh peneliti menemukan
berbagai hal-hal penting yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pada
saat mengolah data peneliti sudah mendapat kesimpulan sementara,
kesimpulan sementara yang masih berdasarkan data akan dipahami dan
46
dikomentari oleh peneliti yang pada akhirnya akann mendeskripsikan atau
menarik suatu kesimpulan akhir dari hasil penelitian yang telah diperoleh.
Penelitian berakhir ketika peneliti sudah merasa bahwa data sudah jenuh dan
setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Lintasan Sejarah Maluku
47
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia
Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai provinsi bersama tujuh daerah
lainnya, yaitu Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera, dan Sulawesi, hanya dua hari setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Seperti
daerah lainnya di Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan juga memiliki
sejarah yang panjang yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia
secara keseluruhan. Meskipun di daerah Maluku tidak ditemukan fosil/
kerangka manusia purba, namun ada asumsi yang mengatakan bahwa di
Maluku sudah pernah hidup manusia purba yang mempunyai kemuripan
dengan manusia Homosapiens yang hidup sekitar 40.000 tahun SM di
daratan Jawa dan di pulau – pulau lain di Nusantara. Sebenarnya juga ada
manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang mempunyai kemiripan
dengan penghuni pertama Pulau Seram. Sebagai daerah yang cukup subur,
Maluku tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai
kawasan yang menimbulkan gelombang perpindahan dan menghasilkan
percampuran perpindahan dan menghasilkan percampuran kebudayaan
antara penghuni lama / asli dengan suku-suku pendatang sehingga
melahirkan suku-suku baru.
Awal abad ke 7 pelaut-pelaut dari daratan Cina pada masa Dinasti
Tang yang telah menyinggahi daerah-daerah di Kepulauan Maluku untuk
48
mencari rempah-rempah. Namun mereka merahasiakan agar tidak diketahui
oleh bangsa-bangsa lain dalam mencari rempah-rempah. Pada zaman
keemasan Kerajaan Sriwijaya di abad ke 12, kepulauan Maluku termasuk
dalam wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada abad ke 14 Kerajaan Majapahit
mengambil alih kekuasaan maritim hampir keseluruhan Asia Tenggara
termasuk Kepulauan Maluku. Para pendatang Eropa, seperti Portugis,
rvf65tb gyn hun jh nj nkj k nj nh huim jui,kikio,lo/.Spanyol, dan Belanda baru
menemukan jalan ke Kepulauan Maluku pada abad ke 16. Masuknya agama
Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik pada
abad ke 14 dan abad ke 15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan
yang lebih rapi dan teratur seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, serta
Jailolo.
Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke
Maluku dan menjalin persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin
untuk mendirikan benteng di Pikapoli dan Hitu Lama serta Mamala. Sembilan
tahun kemudian Spanyol mulai menapakan kaki di Kepulauan Maluku dan
mendirikan benteng Tidore. Pada tahun 1570, karena kalah perang dengan
Kesultanan Ternate yang diperintah Sultan Baabullah, Portugis diusir dari
Ternate dan pindah ke Ambon. Bangsa Belanda pun mulai mengincar Maluku
dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon dan pada
akhirnya Portugis harus terpaksa menyerahkan benteng pertahanannya yang
49
ada di Ambon kepada Belanda demikian juga dengan benteng Inggris di
Kambelo, Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda menguasai sebagian besar
Kepulauan Maluku. Posisi Belanda makin kuat dengan berdirinya VOC pada
tahun 1602, sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Guna memperkuat kedudukannya
di Maluku, Belanda membentuk badan administrative yang disebut
Governement van Amboina. Demikian pula dengan di Banda, Kei, Aru,
Tanimbar, serta Teon-Nila-Serua yang berada di bawah pengawasan
Governement van Banda. Sistem monopoli yang ditetapkan Belanda dalam
perdagangan rempah-rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat
Kepulauan Maluku terhadap Belanda. Pada tahun 1817 pecah perang
terhadap Belanda yang lebih dikenal dengan perang Pattimura di mana
rakyat Maluku bangkit melawan Belanda di bawah pimpinan Thomas
Matulessy yang mendapat gelar Kapitan Pattimura. Pattimura di tangkap dan
dihukum gantung di benteng Fort Niew Victoria Ambon. Memasuki abad ke
20 perlawanan terhadap penjajah bergeser ke perlawanan politik. Pengaruh
Boedi Oetomo 1908 serta keterlibatan pemuda Maluku dalam sumpah
pemuda 1928 membuktikan pemuda–pemuda Maluku yang tergabung dalam
Jong Ambon juga berperan aktif dalam perjuangan untuk merdeka. Sebelum
itu di tahun 1920 Alexander Jacob Patty mendirikan Organisasi Politik
masyarakat Ambon di semarang yahng terang–terangan menentang
50
Belanda. 1925 Jacob Patty di tangkap dan dibuang ke bengkulu dan
kedudukannya di ganti oleh Mr. J. Latuharhary. Setelah proklamasi Provinsi
Maluku masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 19 agustus 1945.
B. Letak Geografis Maluku
Dengan ditetapkannya Undang –Undang RI No 46 Tahun 1999
tentang pembentukan pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten buru
dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, secara geografis Provinsi Maluku
terletak antara 30- 80 3 Lintang Selatan dan 125045 - 1350 Bujur Timur dengan
luas wilayah 712.479,69 Km2 terdiri dari 658.294,69 Km2 lautan dan 54.185
Km2 daratan.22
Melalui Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2003 tentang
pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian
Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru, maka secara administrasi Provinsi
Maluku terbagi atas tujuh Kabupaten dan satu Kota, yaitu Kabupaten Buru,
Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten
Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten kepulauan
Aru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Kota Ambon. Secara geografis
Provinsi Maluku berbatasan dengan :
22 Maluku dalam Angka 201051
Sebelah Utara : Provinsi Maluku Utara
Sebelah Selatan : Negara Timor Leste dan Australia
Sebelah Timur : Provinsi Papua
Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah
Gambar. 02 Peta Provinsi MalukuSumber Google.com
Kepulauan Maluku beriklim tropis dan iklim mozon dimana iklim inin
sangat dipengaruhi oleh lautan yang luas dan berlangsung seirama dengan
musim yang ada. Suhu rata – rata pada tahun 2010 sesuai data klimatologi
hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Meteorologi
Pattimura Ambon, Tual dan Saumlaki masing – masing sebesar 27,4 C, 27,7
C dan 27,7 C. Suhu Minimum masing – masing sebesar 24,5 C, 24,5 C dan
24,9 C, sedangkan maksimum masing – masing sebesar 30,5 C, 31,4 C dan
31,2 C.
Kelembaban nisbi udara sesuai pencatatan Stasiun Meteorologi
Ambon rata – rata sebulan dalam tahun 2010 adalah 83% dimana terendah
52
pada bulan Januari sebesar 72% dan tertinggi pada bulan Juli dan Agustus
sebesar 87%. Sesuai pencatatan peralatan meteorologi Tual pada tahun
yang sama rata – rata sebulan adalah 87% dimana terendah pada bulan
Januari sebesar 85% dan tertinggi pada bulan April sebesar 90%. Sedangkan
sesuai pencatatan peralatan Meteorologi Saumlaki pada tahun yang sama
rata – rata sebulan 82% dimana terendah pada bulan Januari sebesar 77%
dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 87%.
Tabel. 03 Jumlah Penduduk MalukuNama Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk
Kota Ambon 302. 526Maluku Tengah 393.439
Buru 106.774Buru Selatan 54.679
Seram Bagian Barat 166.154Seram Bagian Timur 128.050
Kepulauan Aru 89.633Kota Tual 68.523
Maluku Tenggara 127.106Maluku Tenggara Barat 103.088
Maluku Barat Daya 70.831 BPS 2010, Maluku dalam Angka
Jumlah Penduduk Maluku pada tahun 2010 berjumlah 1.610.803 jiwa.
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini
dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda
yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan
Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di
53
pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi
Maluku pada tahun 2010 adalah Mesjid 1.188 buah, Gereja 1.022 buah, Pura
10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan Pemeluk agama Islam sebesar
50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04 persen, Kristen Katholik 10,06
persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen dan lainnya 0,65.
C. Pemerintahan Provinsi Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia
Merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai Provinsi bersama tujuh daerah lain,
yaitu: Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Sumatera, dan Sulawesi, pada tanggal 19 Agustus 1945. Ibu Kota Provinsi
Maluku adalah Kota Ambon dengan 10 Kabupaten.
Tabel. 04 Kabupaten/Kota di MalukuNama Kabupaten/Kota Ibu Kota
Kota Ambon -Maluku Tengah Masohi
Buru NamleaBuru Selatan Namrole
Seram Bagian Barat PiruSeram Bagian Timur Bula
Kepulauan Aru DoboKota Tual -
Maluku Tenggara LanggurMaluku Tenggara Barat Saumlaki
Maluku Barat Daya Wonreli Sumber: Biro Pemerintahan Sekretaris Daerah Maluku
54
Daerah Maluku yang ditetapkan sebagai wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia bersama tujuh provinsi lain pada tanggal 19 agustus 1945
dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu Mr. J.J. Latuharhary.
Tabel. 05 Gubernur MalukuNama Gubernur Periode
Mr. J.J. Latuharhary 1950 – 1955M. Djosan 1955 – 1960Muhammad Padang 1960 – 1965G.J. Latumahina 1965 – 1968Soemitro 1968 – 1973Soemeru 1973 – 1975Hasan Slamet 1975 – 1985Sebastian Soekoso 1985 – 1993M. Akib Latuconsina 1993 – 1998Dr. M. Saleh Latuconsina 1998 – 2003Brigjen TNI (Purn) Karel Albert Ralahalu 2003 – 2013Sumber: Maluku dalam Angka 2010
Gambar. 03 Logo Pemerintahan Provinsi MalukuSumber. Google.com
Arti logo pemerintah Provinsi Maluku :
a. Sagu, Padi, Cengkeh dan Kelapa, adalah lambang kehidupan.
b. Mutiara, adalah lambang Kekayaan alam.
55
c. Tombak, adalah lambang Ksatria.
d. Gunung, adalah lambang Keperkasaan dan kekayaan alam yang
melimpah.
e. Motto Siwa Lima (Milik bersama), adalah Atas Dasar Siwa Lima,
memupuk persatuan dan kesatuan untuk mencapai kesejahteraan
bersama.
D. Pertanian Pangan di Maluku
Daya dukung lahan untuk pembangunan terutama yang sesuai bagi
pembangunan pertanian adalah luas lahan yang sesuai bagi pembangunan
pertanian dan perkebunan berdasarkan persyaratan yang dikehendaki
komoditas yang akan diusahakan. Ketersediaan sumberdaya lahan di
Provinsi Maluku relatif terbatas, karena kondisi geografis wilayah yang
mencirikan Provinsi Maluku sebagai daerah kepulauan, dengan luas laut
yang lebih luas dari daratan.
Tabel. 06 Luas areal, produksi Padi di Maluku 2010Komoditi/Kabupaten/Kota Luas Areal
Tanam(Ha)
Luas Panen(Ha)
Provitas(Kw/Ha)
Produksi(Ton)
PADI SAWAH
Maluku Tenggara Barat Maluku Barat Daya Maluku Tenggara
18,668
---
17,779
---
43.61
---
77,532
---
56
Maluku Tengah Buru Buru Selatan Kepulauan Aru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Kota Tual
5,01710,377
--
2,491784
--
4,7789,883
--
2,372746
--
44.0144.82
--
43.0242.58
--
21,02844,269
--
10,2043,178
--
PADI LADANG
Maluku Tenggara Barat Maluku Barat Daya Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Buru Selatan Kepulauan Aru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Kota Ambon Kota Tual
2,577
1,22052322625710678743245-
17
2,454
1,16249821524510174147257-
16
22.73
22.7323.3521.6823.3923.3722.5622.0522.5922.78
-22.33
5,577
2,7111,0805035732341671546898-
36Sumber. Dinas Pertanian Maluku
Tabel. 07 Luas Areal dan Produksi Sagu 2011Nama Kabupaten/Kota Luas Areal (ha) Persiapan Pohon
ditebang (phn/thn)Pohon masak ditebang(phn/thn)
Maluku Tengah 5,004 315,094 185,306Seram Bagian Barat 6,338 356,883 267,917Seram Bagian Timur 36,075 2,065,125 1,542,375Buru 1,312 78,336 52,864Buru Selatan 1,287 76,260 52,440
57
Kepulauan Aru 1,130 72,540 40,460Maluku Tenggara Belum ada data Belum ada data Belum ada dataMaluku Tenggara Barat Belum ada data Belum ada data Belum ada dataKota Ambon Belum ada data Belum ada data Belum ada dataKota Tual Belum ada data Belum ada data Belum ada dataMaluku Barat Daya Belum ada data Belum ada data Belum ada dataSumber: Dinas Pertanian Maluku dan BKP
Pada masa Revolusi Hijau dimana terjadi penyeragaman pangan ke
beras, dimana beras menjadi komoditas pangan yang diutamakan Provinsi
Maluku juga terkena imbasnya. Daerah Maluku yang merupakan daerah
kepulauan “terkesan dipaksakan” untuk ditanami padi sehingga potensi lokal
seperti sagu mulai terpinggirkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Pulau
Buru yang tadinya dijadikan sebagai tempat pengasingan tawanan X-
Pengikut PKI berhasil dijadikan program pemerintah sebagai lumbung padi
Provinsi Maluku. Namun jika dicermati produksi padi di Maluku kadang tidak
mencukupi tingkat konsumsi beras masyarakat Maluku, sehingga harus
mengimport beras dari daerah lain, padahal potensi lahan sagu di Maluku
sangatlah besar. Pengabaian potensi lokal dan pemfokusan pangan ke beras
sehingga data tentang lahan sagu serta produksi sagu kurang digali oleh
pemerintah setempat padahal hampir setiap daerah di Maluku terdapat
kawasan sagu yang tumbuh secara alamiah.
E. Sejarah Politik Pangan di Indonesia
a. Politik Pangan Kerajaan Mataram
58
Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan
yang lengkap soal itu setidaknya diketahui sesama Kerajaan Mataram, abad
ke-16 sampai 18. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan
simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi
beras, pasti adapula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan
raja akan di agung – agungkan bila masalah beras bisa di kendalikan.
Secara parsial dan terpisah – pisah kita bisa meneliti berbagai aspek
seperti politik beras dan politik pangan. Buku babad tanah jawi 23yang
digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram yang diterbitkan
berbahasa Indonesia oleh Yayasan Lontar. Sejak awal berdiri kerajaan
Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras
merupakan salah satu sendi penyokong kekuasaan Ki Ajeng Pemanahan,
pendiri kerajaan Mataram. Pada mulanya, Pemanahan mengalah
mendapatkan tanah mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika
mendirikan mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat
kepemimpinan mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram
menjadi negeri yang makmur, banyak orang datang, sandang pangan murah,
dan sawah berlimpah. Penguasa zaman dulu menggunakan beras sebagai
indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran.
23 Andreas Mariyoto. Jejak Pangan, sejarah silam budaya dan masa depan ( jakarta : kompas ). Hal. 95
59
Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan
morat-maritnya pasokan pangan.
Serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram
porak-poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi
ini ditandai dengan banyak Punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan
belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi
Negeri yang amat menyedihkan.
Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan karena tidak
mampu menyediakan beras murah. Dalam Babad Tanah Jawi itu
disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang
sakit demam. Raja memandang harga pangan yang mahal akan
mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih
kerajaan akan dipandang rendah.
Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh
sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh
Mataram, seperti sejumlah kabupaten di wilayah timur, selalu
memperhitungkan pasokan pangan oleh pasokan yang hendak menyerbu,.
Disamping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia
selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum
mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan
60
penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan
tempat untuk penyangga pangan. Meski demikian, Mataram gagal melihat
beras sebagai komoditas diplomasi. VOC bisa memanfaatkan beras untuk
diplomasi. Ketika Pakubuana I hendak menguasai Kartasura, ia bersekutu
dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuana I telah terjadi sejak awal
ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya.dalam penyerbuan ke
Kartasura. Politik beras dilakukan kerajaan Mataram semakin menyakinkan
kita komoditas beras adalah strategis. Setiap penguasa tidak bisa
mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Pelajaran dari Mataram adalah: pemerintahan yag kuat terlihat dari
kedisiplinannya dalam mengelola komoditas pangan.
b. Politik Pangan Era Soekarno
Keputusan- keputusan dan pandangan hidup Presiden RI pertama
Soekarno telah banyak digali. Salah satu yang belum banyak digali adalah
pandangan dan keputusan Soekarno ketika menghadapi krisis pangan. Hal
ini telah menjadi aktual ketika dunia dan juga Indonesia tengah menghadapi
krisis pangan. Buku berjudul “Di bawah Bendera Revolusi” yang ditulis oleh
Soekarno mengisyaratkan kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan
pangan pada tahun 1932-1933. Soekarno juga memunculkan topik
permasalahan pangan, salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah
“mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?´
61
Soekarno menghadapi krisis pangan dengan bekerja sama dengan
menghadapi masalah ekonomi. Pasukan Jepang menghadapi persoalan
beras yang rumit sehingga meminta bantuan Soekarno untuk menyediakan
beras. Soekarno berpikir lebih baik menyediakan beras kepada Jepang
dengan begitu rakyat tidak mendapat siksa dari Jepang. Namujn kesulitan
pangan muncul di mana – mana dan Jepang berusaha merampas beras dari
rakyat sehingga hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Kerwanan
pangan yang terjadi membuat Soekarno menghimbau rakyat agar
memproduksi pangan selain beras.
“Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara-saudara jang teluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya djukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” 24
Pada masa berikutnya Soekarno mulai memikirkan masalah pangan
secara politis. Sebuah dokumen rapat dari Dewan Penasehat Pemerintah
untuk Pemerintah Militer Jepang di Hindia Belanda tertanggal 8 Januari 1945
“Sidang Kabinet Pertama” membahas kebijakan beras. Soekarno mulai
mempelajari angka-angka produksi beras. Krisis pangan yang melanda tidak
mendorong Soekarno membuat program bantuan. Keadaan tidak mengimpor
beras dan memanfaatkan pangan pengganti memang memperlihatkan
sebuah upaya untuk kemandirian pangan.
24 ibid62
c. Penyeragaman Pangan Ke Beras di era Orde Baru
Orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto kebijakan pertanian
merupakan kebijakan pokok setelah upaya pemulihan ekonomi. Kebijakan
harga terutama komoditas pertanian menjadi konsentrasinya tertutama untuk
mengendalikan harga setelah perekonomian morat-marit pasca tragedi 30
september 1965. Soeharto berkeyakinan stabilitas pangan merupakan
fondasi bagi stabilitas politik. Langkah pertama ketika Soeharto berkuasa
adalah meningkatkan produksi padi. Pada saat yang bersamaan di kalangan
dunia pertanian tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk
menggenjot produksi pangan. Soeharto membuka investasi asing untuk
meningkatkan produksi padi, memperkuat kebijakan pertanian dengan
membuat kebijakan harga gabah. Pertanian menjadi program prioritas yang
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).25
Kebijakan pertanian pada masa awal kekuasaan Soeharto mengundang
investasi asing untuk meningkatkan produksi padi melalui gerakan Revolusi
Hijau cenderung membiarkan kekuatan asing mencengkram Indonesia
dengan hutang luar negeri. Kebijakan pertanian yang berorientasi pada
kebijakan pertanian padi pola jawa dinilai sangat merugikan karena dinilai
mematikan diversifikasi pangan yang sangat dirasakan akibatnya. Tanah
diluar Jawa yang sebenarnya tidak cocok untuk tanaman padi dipaksa
25 Sumber : http://beritadaerah.com/berita/maluku/3502663
ditanami padi hingga potensi pangan lokal mati. Ketergantungan penduduk di
daerah yang bukan penghasil beras terhadap beras menjadi permasalahan
yang berujung pada kerawanan pangan. Ketergantungan terhadap pangan
beras dan kebutuhan beras yang tidak mencukupi memaksa pemerintah
harus mengimpor beras.
BAB V
HASIL PENELITIAN
64
A. Implementasi Perda No 04 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku
Ketergantungan pangan masyarakat Maluku terhadap beras sering
kali membuat Provinsi Maluku harus bergantung pada daerah lain guna
pemenuhan kebutuhan beras. Tingginya ketergantungan pada beras di
daerah Maluku terjadi oleh karena politisasi beras pada masa Soeharto.
Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis ketahanan
pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan
pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi
sumber pangan dominan di Indonesia.
Menurut Syuryadi Sabirin:
“Daerah ini masih kekurangan beras sebanyak 60 ribu ton per tahun, sementara produksi beras di Maluku baru mencapai 58.000 ton/tahun dan tidak mencukupi 1,6 juta penduduk di daerah ini, karena jumlah konsumsi beras mencapai 133.000 ton/tahun,”26
Hanya ada dua pulau saja yang bisa dikembangkan tanaman padi,
yakni pulau buru dan Seram. Pulau lain tidak bisa dikembangkan menjadi
lahan persawahan karena resistensinya sangat tinggi. Sehingga membuat
26 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT
65
Maluku harus menutupi kekurangan beras dengan mengimpor beras dari luar
daerah, hal ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
“Jika maluku kekurangan beras maka biasanya kami ambil dari surabaya, sulsel, dan import.”27
Pertumbuhan produksi relatif kecil khususnya beras dan belum
mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan yang semakin meningkat.
Adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Maluku walaupun
masih relatif kecil merupakan ancaman dalam rangka pengembangan
penyediaan pangan. Pergeseran pola konsumsi dari non beras ke beras
karena akan dibutuhkan penyediaan yang semakin besar, sedangkan
kapasitas produksi relaltif kecil. Seiring dengan otonomi daerah, maka setiap
level daerah dapat menyusun strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang
paling sesuai dengan karakter wilayah dan ekologinya. Menurut Anggota
Komite II DPD RI Etha Aisha Hentihu seperti yang dikutip Koran Harian
Siwalima:
“Maluku harus melihat fenomena ini sebagai peringatan keras sehingga langkah-langkah strategis segera di ambil guna mengurangi ketergantungan Maluku terhadap beras.”28
Kebijakan dan program pada dasarnya terdiri dari rencana kongkrit,
guna mempercepat laju pengembangan daerah ini. Terkhususnya pada
27 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT28 Siwalima edisi Jumat 18 November 2011
66
bidang ketahanan pangan yang mewujudkan ketahanan rumah tangga yang
mandiri, berbasis pada kepulauan dan sumber daya lokal secara efektif dan
berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah melaksanakan kembali diversifikasi pangan menuju
produksi dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman,
serta yang terpenting adalah berbasiskan sumberdaya lokal. Diversifikasi
pangan akan mempunyai nilai manfaat yang besar apabila mampu menggali,
mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber pangan
lokal yang ada dengan tetap menjunjung tinggi hak atas pangan sebagai hak
dasar manusia dan kearifan lokal. Sehingga harus segera dirumuskan
langkah-langkah nyata tentang bagaimana memaksimalkan sumber pangan
lokal ketimbang harus membeli beras diluar daerah, selain menghabiskan
devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak ada
kemandirian pangan. Langkah-langkah srategis pembangunan ketahanan
pangan kemudian ditindaklanjuti oleh langkah-langkah operasinal yaitu
dengan melaksanakan program pulau mandiri pangan, dalam konsep ini
pengembangan dilakukan pada setiap pulau-pulau kecil sehingga diharapkan
masyarakat di setiap pulau kecil mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
ketahanan pangan. Seperti yang diungkapkan Gubernur Maluku, Karel Albert
Ralahalu:
67
“untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada, maka Pemprov Maluku memiliki strategi pengembangan yaitu, percepatan diverifikasi pangan lokal.”29
Dari pemikiran inilah Pemerintah Provinsi Maluku untuk membentuk
Badan Ketahanan Pangan Maluku dan kemudian dijadikan Perda No 04
tahun 2010 Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Maluku (BKP) dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi ketahanan
pangan. “Badan Ketahanan Pangan adalah merupakan unsur pendukung
tugas Gubernur di bidang ketahanan pangan,30 Badan Ketahanan Pangan
mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang ketahanan pangan.”31
BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian
Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh
karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan
pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan
pangan di Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada
29 Ralahalu : Pemda Segera Meningkatkan Kesejahtraan Rakyat, http/diverivikasipangan/malukualbert/2010, diakses pada tanggal 17 November 201130 Perda Provinsi Maluku No 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Provinsi Maluku. (BAB III Bagian pertama kedudukan pasal 3 a)31 Perda Provinsi Maluku No 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Provinsi Maluku. (BAB III Bagian Kedua Tugas Pokok pasal 4)
68
penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” 32
BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan
tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi
kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian
dan dinas kesehatan.
Gambar. 04 Struktur Badan Ketahanan Pangan Provinsi MalukuSumber Badan Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan Maluku mengemban misi dalam tahun 2010
- 2014, yaitu:
1. Peningkatan kualitas pengkajian dan perumusan kebijakan
pembangunan ketahanan pangan;
32 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT
69
2. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan masyarakat,
daerah, dan nasional;
3. Peningkatan koordinasi dalam perumusan kebijakan, dan
pengembangan ketahanan pangan, serta pemantauan dan evaluasi
pelaksanaannya.
Adapun tujuan BKP Maluku adalah Memberdayakan masyarakat agar
mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dikuasainya untuk
mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan, dengan cara:
1. Meningkatkan ketersediaan dan cadangan pangan dengan
mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya/dikuasainya secara
berkelanjutan;
2. Membangun kesiapan dalam mengantisipasi dan menanggulangi
kerawanan pangan di Maluku;
3. Mengembangkan sistem distribusi, harga dan akses pangan untuk
turut serta memelihara stabilitas pasokan dan harga pangan bagi
masyarakat Maluku;
4. Mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi guna
meningkatkan kualitas SDM dan penurunan konsumsi beras perkapita;
5. Mengembangkan sistem penanganan keamanan pangan segar.
70
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan merupakan
amanah dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya
Lokal dan dijabarkan secara lebih rinci dalam Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) Nomor 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Sama
halnya yang diungkapkan S.M. Talla:
“karena adanya kebijakan Mentri pertanian untuk penurunan konsumsi beras 1,5 per tahun dan kemudian peraturan presiden No 22 tahun 2009 tentang penganekaraman pangan, maka BKP pun mengemban tugas itu.”33
Sehingga sasaran makro BKP Maluku yang hendak dicapai dalam
pemantapan ketahanan pangan Tahun 2010-2014, meliputi:
1. Makin berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan minimal 1%
setiap tahun;
2. Menurunnya konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 1,5 % dan
mengutamakan pangan lokal.
3. Tercapainya peningkatan distribusi pangan yang mampu menjaga
harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat.
33 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
71
Gambar. 05 Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Prov. MalukuSumber Badan Ketahanan Pangan Maluku
Dari peta tersebut (dapat dilihat di lampiran) menggambarkan daerah-
daerah yang memiliki tingkat masalah kerawanan pangan serius. Salah satu
program pemerintah daerah adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan,
kelaparan lebih kepada ketersediaan pangan bagi masyarakat. Selain karena
lahan pertanian di Maluku secara keseluruhan tidak cocok ditanami padi,
distribusi pangan beras seringkali terkendala dengan medan letak geografis
daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan. Hal senada juga di
ungkapkan Ramli Hasan:
“Kalau tercapai penganekaragaman pangan, kita tidak perlu lagi mengambil beras dari daerah lain, karena ini juga sering memakan
72
ongkos transportasi, apalagi Maluku daerah kepulauan dan jika cuaca tidak mendukung distribusi terhambat”34
BKP perlu meminimalkan berbagai ancaman yang selalu dan akan
muncul dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan pangan adalah sebagai
berikut :
a) Kerawanan pangan dan gizi biasanya terjadi pada masyarakat
miskin yang tinggal di lingkungan yang kurang memadai.
Kerawanan pangan di Maluku terdiri dari rawan pangan kronis dan
rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah keadaan
kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang
waktu yang dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam
dan sumberdaya manusia. Sedangkan rawan pangan transien
adalah disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga seperti
terjadinya bencana alam.
b) Kondisi iklim yang tidak menentu mempengaruhi proses produksi,
ketersediaan dan akses masyarakat terhadap pangan. Kondisi
dimaksud adalah terbatasnya curah hujan, hari hujan, kekeringan
dan juga bencana alam.
Raskin ( akronim dari beras miskin ) adalah sebuah program bantuan
pangan bersyarat diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia berupa
34 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT
73
penjualan beras di bawah harga pasar kepada penerima tertentu. Penyaluran
Raskin sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan
awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan
pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut
program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin
mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program
darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program
perlindungan sosial masyarakat.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan Raskin selama ini terutama
dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran.
Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang akan disalurkan baru ditetapkan
setelah anggarannya tersedia. Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin
yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering
dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini
akan menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan
pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya. Pelaksanaan penyaluran
Raskin seringkali dipolitisasi dan menjadi tempat korupsi, untuk kasus
Maluku, korupsi Raskin yang terdeteksi terjadi di Seram Bagian Barat dan
Tual. “Kerugian negara mencapai Rp 300 juta rupiah lebih, dimana masing-
masing camat itu meraup sekitar 80 juta lebih,” tandas Kacabjari Piru, Marvie
74
de Queljoe kepada Siwalima”35 Kasus penyalahgunaan Raskin di SBB
terdapat di empat kecamatan yang merupakan wilayah sasaran penyaluran
yakni Kecamatan Inamoso, Kecamatan Elpaputih, Kecamatan Kairatu dan
Kecamatan Amalatu. Empat kecamatan ini merupakan wilayah sasaran
bantuan penerima subsidi Raskin tahun 2010 dari pemerintah. Sedangkan di
Kota Tual korupsi penyimpangan beras raskin 3,4 milliar yang melibatkan
tersangka mantan Kepala Gudang Dolog Tual.36
Daerah Maluku yang merupakan daerah kepulauan menjadi hambatan
penyaluran Raskin ke pulau-pulau terpencil politisasi penyaluran raskin
terjadi oleh karena adanya kepentingan politik untuk lebih fokus daerah
pemilihan atau basis massa politik. Seperti yang diungkapkan Abraham
Malioy:
“Politik pangan akan selalu terkait dengan legislatif. Biasanya ada penolakan, karena bukan daerah politiknya, seakan-akan dipaksakan, biasanya dipakai sebagai ajang politik, kau menangkan saya, maka saya akan mendistribusi raskin”37
Penyaluran Raskin di Maluku juga terkendala dengan tunggakan
hutang. Hingga 21 Nopember 2011, tercatat tunggakan raskin beberapa
kabupaten dan kota di Maluku mencapai Rp 8 miliar. Tunggakan tersebut
meliputi tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Kepala Bidang Penyaluran Perum
35 Siwalima edisi 03 November 201136 http://tenggararaya.blogspot.com/2010/02/kasus-dugaan-korupsi-raskin-34-milliar.html37 Wawancara dengan Abraham. M.M. Malioy. SH, Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku
75
Bulog Divre Maluku, Tugio menjelaskan, dari 11 kabupaten dan kota yang
ada di Maluku pada umumnya membayar tunggakan secara cicilan, bahkan
ada kabupaten yang belum membayar sama sekali, karena itu kami belum
salurkan ke daerah tersebut. Ini juga diungkapkan Ramli Hasan:
"Kami tidak berani untuk salurkan kepada kabupaten yang belum melunasi tunggakan, karena sistem yang digunakan Bulog saat ini yakni 'cash and carry' (uang dulu baru beras diberikan)”38
Jika hutang belum terbayarkan maka distribusi beras tidak akan
dikirim, ketahanan pangan masyarakat terkena dampaknya, apalagi pola
konsumsi pangan masih bergantung pada beras. “Banyak orang merasa
rendah diri jika mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian,
padahal pangan non beras ini juga memiliki nilai gizi yang tinggi jika diolah
secara baik,” 39
Dampak penguatan ketahanan pangan berbasis lokal, sangat baik,
karena dapat meningkatkan potensi lokal sebagai bahan konsumsi pangan,
Bulog akan terbantu oleh karena tidak terlalu banyak menyediakan beras,
dan konsumsi pangan masyarakat bisa beralih ke pangan lokal selain
menghabiskan devisa, ini membahayakan perekonomian daerah karena tidak
38 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT39 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
76
ada kemandirian. Pemerintah daerah dalam hal ini BKP harus
memaksimalkan sumber pangan lokal ketimbang harus membeli beras diluar
daerah. Menurut Melkias L. Frans :
“Kita harus mandiri pangan dengan pangan lokal kita, pada waktu-waktu tertentu akses beras ke pulau-pulau susah, dan jika masih bergantung pada beras, dan apa kita harus menunggu sampai beras itu datang, itu konyol.” 40
Hal senada juga diungkapkan Abdulah Tuanaya:
“ketersediaan lahan untuk pangan lokal seharusnya dapat diberdayakan, dan itu merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah. Jika masyarakat belum melihat kearah itu, namun pemerintah seharusnya dapat lebih jeli melihat persoalan tersebut. Sebab, sebetulnya, hal itu merupakan sebuah persoalan yang besar.”41
Sebenarnya jika dicermati yang sering terjadi di Maluku bukanlah
rawan pangan jika melihat ketersedian pangan lokal yang ada, melainkan
krisis beras, karena rata-rata pangan masih selalu diidentikan dengan
ketersediaan beras dan pola konsumsi beras tinggi dan ketika beras tidak
tersedia rawan pangan “semu” itu terjadi. Krisis beras terjadi diakibatkan
cuaca buruk sehingga mengakibatkan sulitnya akses transportasi untuk
menyalurkan beras ke beberapa kabupaten yang hanya bisa didatangi
dengan kapal laut. Seperti yang diungkapkan S.M Talla:42
40 Wawancara denga Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku41 Wawancara dengan Abdullah Tuanaya, Sekertaris Dinas Pertanian Maluku
42 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
77
"Biasanya krisis beras di beberapa daerah di Maluku terjadi sekitar Desember-Februari karena cuaca buruk yang mengakibatkan gelombang tinggi dan angin kencang, sehingga kapal yang biasanya menyalurkan beras tidak melewati jalur biasanya”
Kondisi inilah yang membuat BKP mulai memetakan daerah pangan
sesuai potensi pangan lokal di tiap-tiap daerah. Maluku Tengah, Seram
Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Buru Selatan, Maluku
Barat Daya diupayakan memaksimalkan sagu sebagai pangan lokal,
sedangkan Maluku Tenggara dan Kota Tual memaksimalkan konsumsi
singkong. Mengantisipasi adanya krisis beras, BKP Maluku telah
menyediakan Rp 6 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
(APBN) yang dialokasikan untuk menggalakkan program pengembangan
pulau mandiri pangan berbasis makanan pokok lokal orang Maluku. Seperti
yang dikatakan Syuryadi Sabirin:
“anggaran tersebut untuk menggalakkan sagu, serta pangan lokal lainnya jagung dan umbi-umbian sesuai potensi, karakteristik dan luas lahan di masing - masing kabupaten/kota,"43
BKP pun memanfaatkan 10 persen dari total Dana Alokasi Khusus
(DAK) Departemen Pertanian (Deptan) sebesar Rp33,2 miliar untuk
membangun lumbung pangan di sembilan kabupaten di Maluku. Diversifikasi
pangan ini sengaja dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dalam konteks
43 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT
78
penyediaan pasokan, diversifikasi adalah salah satu cara adaptasi yang
efektif untuk mengurangi risiko produksi akibat perubahan iklim dan kondusif
untuk mendukung perkembangan industri pengolahan berbasis sumberdaya
lokal. Pada sisi konsumsi, diversifikasi pangan memperluas spektrum pilihan
pangan dan kondusif untuk mendukung terwujudanya pola pangan harapan.
Pendek kata, diversifikasi pangan dapat mendukung stabilitas ketahanan
pangan sehingga dapat dipandang sebagai salah satu pilar pemantapan
ketahanan pangan. Oleh karena itu akselerasi diversifikasi pangan
sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2009 harus dapat
diwujudkan.
Badan Ketahanan Pangan Maluku diminta melakukan sosialisasi untuk
mengubah pola konsumsi masyarakat dari ketergantungan pada beras aneka
pangan lokal. Badan Ketahanan Pangan Maluku pun mengusulkan untuk
mengubah Raskin Menjadi Pangkin (Pangan Miskin). pangkin sudah
mencakup semua, baik beras maupun umbi-umbian. BKP mencoba melihat
kembali kearifan lokal dalam bidang pangan, sehingga tidak ada lagi desa
rawan pangan jika konsumsi lokal bisa dimanfaatkan. Seperti yang
diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Kalau raskin kita mengikuti pola konsumsi jawa, orang kontinental,sedangkan kita kepulauan yg sering diisolasi. Maka maluku
79
yang mengusulkan pangkin, struktur maluku secara keseluruhan tidak cocok untuk persawahan.”44
Kebijakan pangan miskin, karena BKP ingin menciptakan ketahananan
pangan lokal dan disversifikasi pangan. Secara karakterisktik wilayah
kebanyakan maluku lebih cocok ditanami sagu ketimbang beras. Divesifikasi
pangan salah satunya pangan lokal, bagaimana mengamankan pangan agar
tidak terjadi kerawanan pangan, baik ketersediaan maupun distribusinya.
Pangkin diprogramkan menggantikan Raskin dengan memanfaatkan
bahan pangan lokal. Program Pangkin itu merupakan hasil dari seminar yang
diselenggarakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan thema
"Membangun Sinergi Sistem Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis
Pangan di Daerah Kepulauan Indonesia Timur" di Ambon pada 19 Juli 2011.
Dengan keputusan Kementerian Pertanian yang menetapkan Maluku menjadi
proyek percontohan pangan untuk orang miskin (Pangkin) pada 2012.
Pihak Kementan masih terus melakukan kajian terkait kemungkinan
pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi program pangan untuk
rakyat miskin (pangkin). kajian akan dilakukan dibeberapa derah yang
selama ini memiliki budaya mengkonsumsi non beras. Dan pada daerah
tersebut, nantinya warga miskin yang selama ini mendapat jatah raskin akan
44 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT
80
diberikan pangan sesuai dengan jenis pangan lokal pada masing-masing
daerah. Andreas Taborat mengatakan:
“hasil pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung dan sagu juga memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan beras, sehingga berbagai program diversifikasi pangan lokal yang dikembangkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) harus gencar disosialisasikan,"45
Sementara permasalahan di daerah ini menyangkut ketahanan
pangan adalah pemikiran masyarakat yang selalu tergantung pada beras,
dan mengkonsumsi umbi-umbian, jagung dan sagu, statusnya lebih rendah
dari makan nasi. Tahap awal pangkin tidak seluruhnya diberikan dalam
bentuk pangan lokal, seperti, sagu, jagung dan lainnya, namun sebagian
masih diberikan dalam bentuk beras. BKP akan bekerja sama dengan Bulog
dalam mendesain program pangkin, Perum Bulog yang nantinya mendesain
kantongnya agar Pangkin terawat sebagaimana Raskin. Taborat
mengatakan, “Sehingga komisi B dalam penentuan anggaran belanja daerah
tahun lebih fokus untuk mendorong BKP melakukan perubahan pola pikir
masyarakat agar tidak terlalu bergantung kepada beras.”
Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat
menyebabkan konsumsi pangan semakin tinggi hal ini tidak dapat diharapkan
bila suatu daerah atau negara hanya memiliki satu sumber pangan utama
seperti beras dikarenakan banyaknya areal persawahan yang dialihfungsikan
menjadi areal pemukiman dan industri yang berdampak pada menurunnya
45 Wawancara dengan Andreas Taborat, Wakil Ketua Komisi B DPRD Maluku81
produksi beras sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
akan semakin sulit dan harga beras semakin tinggi.
Program Pangkin yang dirumuskan sebagai suatu kebijakan pangan
berbasis lokal dengan tujuan mengurangi ketergantungan Maluku terhadap
beras, akan efektif jika pemerintah daerah juga memperhatikan dan
melestarikan potensi lokal tersebut dalam hal ini sagu. Kecocokan lahan di
Maluku dengan siklus tumbuh tanaman sagu belum dimaksimalkan
potensinya.
BKP juga mengadakan program Desa Mandiri Pangan, Lumbung
Pangan Desa dan Pengembanan Pulau Mandiri Pangan. Dengan program ini
ketahanan pangan masyarakat diharapkan terjaga.
Seperti yang diungkapkan S. M Talla :
“program tersebut sudah berjalan cukup baik. Program Pulau Mandiri Pangan didanai APBD sedang dua program lainnya didanai APBN. Untuk Kota Ambon yang dinilai paling berhasil untuk program Desa Mandiri Pangan yaitu Desa Latuhalat”46
Desa Mandiri Pangan diprogramkan untuk desa yang tingkat
kemiskinannya minimal 30 persen, sebagaimana survei tim Badan
Ketahanan Pangan. Desa yang tergolong miskin, diberikan bantuan dana
46 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
82
stimulus Rp 100 juta. Dana tersebut dikelola secara ekonomis untuk
menambah income masyarakat. Sedang program Lumbung Pangan Desa,
untuk mempersiapkan stok pangan dari bahan lokal. S. M Talla juga
mengungkapkan:
“Contohnya beras, pasokannya terbatas, padahal ada sumber pangan lokal seperti sagu, singkong, dan jagung. Maka kita intervensi dengan peralatan pengolah untuk memperpanjang usia simpan bahan tersebut”47
Baik Desa Mandiri Pangan maupun Lumbung Pangan Desa
diprogramkan selain menjamin ketersediaan pangan di masyarakat juga
untuk perputaran ekonomi. Sementara Pulau Mandiri Pangan, sasarannya
pulau-pulau kecil di Maluku. Ini khusus untuk mengantisipasi kerawawan
pangan jika cuaca dan musim yang berakibat terhambatnya pasokan bahan
makanan melalui transportasi laut.
B. Faktor Faktor Penunjang dan Penghambat BKP dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan berbasis Lokal di Maluku
Dalam mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus
memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu
perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka
masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan
47 ibid83
kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam
organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung
pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan
kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan
berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan
positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan
implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif
maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam
akan gagal.
Berdasarkan teori implementasi faktor pendukung implementasi
kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota
masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah
implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan
tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak
berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
a. Faktor Pendukung
Faktor pendukung adalah faktor penentu keberhasilan suatu
kebijakan. Dalam konteks ketahanan pangan lokal di Maluku yang menjadi
kekuatan BKP dalam menjalankan program kerja sebagai berikut:
1. Potensi Sagu sebagai Sumber daya Pangan Lokal
84
Jika dicermati daerah Maluku memiliki Potensi pangan lokal yang
mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Maluku. Ketahanan
pangan dapat terjadi jika kondisi kondusif dalam mengembangkan
penanganan permasalahan pangan, baik di tingkat nasional (makro) maupun
daerah (mikro). Ketahanan pangan harus bertumpu pada sumber daya lokal
sehingga mampu menghindarkan ketergantungan pada impor.
Sagu berpotensi menjadi cadangan pangan di Maluku karena memiliki
nilai karbohidrat yang cukup tinggi dibanding beras. Sagu sebagai pangan
lokal sumber karbohidrat ini perlu dikembangkan karena Maluku mempunyai
potensi sagu cukup besar Maluku sejak dahulu dikenal sebagai daerah
penghasil sagu harus diperkuat kembali, karena ke depan persoalan pangan
menjadi masalah yang sangat riskan. Seperti yang diungkapkan Ramli
Hasan:
"Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah perubahan iklim, karena itu kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya beras menjadi pangan pokok untuk dikonsumsi,"48
Apabila kita lihat dari jumlahnya pangan lokal sagu maka stok yang
ada cukup untuk mengimbangi beras. Tetapi masyarakat hanya melihat
beras sebagai satu-satunya bahan pangan. Maluku saat ini memiliki sekitar
3,1 juta pohon sagu yang tersebar di tujuh Kabupaten dan Kota dengan
48 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT
85
tingkat produktivitas rata-rata 25 ton per hektar per tahun, Ini yang perlu
disosialisasi untuk tidak bergantung pada beras. Seperti yang diungkapkan
Syuryadi Sabirin:
“Secara makro jika kita mengacu pada potensi sumber daya alam yang ada, sebenarnya kita surplus, tetapi secara mikro justru defisit karena potensi yang ada tidak digarap secara maksimal,” 49
Tanaman sagu yang tumbuh di Maluku tumbuh secara alami tanpa
ada penanganan serius dalam hal budidaya. Kerumitan ini bertambah pada
saat data yang dibutuhkan juga tidak mudah untuk didapat atau dihitung.
Kebanyakan petani atau pelaku usaha industri sagu tidak mengeluarkan
output yang berarti untuk bisa memanen sagu. Sagu masih dipandang
sebagai tanaman hutan dan tumbuh secara alamiah. Seperti yang
diungkapkan Andreas Taborat:
“Padahal, ketersediaan lahan di Maluku untuk itu cukup besar, akan tetapi ketergantungan terlihat jelas, karena proses pemaksimalan pemanfaatan lahan belum dapat dilakukan secara baik.” 50
Sebagai sumber pangan, sagu sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai bahan pangan alternative pengganti beras.. Sagu mampu
menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar, jauh melebihi produksi
pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton dan 5.5 ton per
hektar. Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar, tetapi juga 49 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT50 Wawancara dengan Andreas Taborat, Wakil Ketua Komisi B DPRD Maluku
86
menghasilkan pati sepanjang tahun. Setiap batang menghasilkan sekitar 200
kg tepung sagu basah per tahun. Aneka produk pangan lokal daerah
sebenarnya memiliki kadar gizi yang lebih tinggi dari beras sehingga pola
pikir seperti ini sudah harus diubah, dan BKP sebagai institusi yang
menangani persoalan ini memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
melakukan sosialisasi.
2. Kelembagaan BKP
Otonomi daerah memberikan otoritas kepada pemerintah setempat
untuk menggali kembali bahan pangan selain beras seperti sagu
kelembagaan local yang berbeperan besar dalam ketahanan pangan desa
dan tumah tangga perlu digali kembali seperti lumbung desa, lumbung rumah
tangga , lumbung hidup dan sebagainya. Kebijakan tentang pangan tidak
lagi tergantung pada pemerintah pusat, namun lebih kepada inisiatif daerah
untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks kebutuhan
daerahnya. Sehingga upaya kreatif dari masing-masing daerah untuk
menggali kembali potensi sumberdaya lokal harus dilakukan. Harapan ini
tentulah tidak salah, karena politik pangan yang sentralistik melalui tangan
Bulog tidak mampu menjamin ketersediaan bahan pangan. Selanjutnya
alternative diversifikasi pangan oleh daerah sangat mungkin dilakukan oleh
masing – masing daerah tanpa harus melakukan penyeragaman dengan
87
daerah lain. Namun apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan daerah
dengan menggali potensi sumberdaya lokal menjadi kebijakan daerah
tersebut. Demi menjaminkan kontrol terhadap ketersediaan pangan
dibutuhkan lembaga yang berkompoten. Sejatinya, untuk melakukan
pengontrolan maka diperlukan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Pemerintah
tidak bisa berharap fungsi normalisasi stok pangan hanya kepada bulog dan
dinas pertanian semata.
Hadirnya BKP memungkinkan untuk bisa menakar keberhasilan
swasembada pangan berbasis pangan lokal. BKP mengemban fungsi
pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan
dan pemantapan ketersediaan pangan serta mencegah dan menanggulangi
kerawanan pangan, melakukan pengkajian hingga penyiapan perumusan
kebijakan, pengembangan, pemantauan dan pemantapan distribusi pangan,
hingga pemantapan konsumsi dan keamanan pangan. Seperti yang
diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“Jangan dilihat bahwa stok pangan masih terkontrol, lantas urgenitas pembentukan BKP disepelekan. Pembentukan BKP adalah penting dalam rangka mengantisipasi timbulnya kerawanan pangan pada waktu-waktu kedepan ”51
BKP awalnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Pertanian
Maluku, yang dulunya hanyalah bidang ketahanan pangan. Namun oleh 51 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT
88
karena ketahanan pangan menjadi isu sentral maka bidang ketahanan
pangan diberikan kemandirian guna melaksanakan tugas dalam pemenuhan
pangan di Provinsi Maluku. Menurut Ramli Hasan:
“bulog dan BKP saling bekerja sama dalam menciptakan ketahanan pangan, namun secara prosedural berbeda, bulog lebih kepada penyediaan logistik beras, dan menentukan harga beras. Sedangkan BKP itu lebih mengutamankan ketahanan pangan berbasis lokal” 52
Semua satuan organisasi dilingkungan BKP dalam melaksanakan
tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, simplikasi dan
sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan
organisasi dilingkungan Provinsi Maluku sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya. Penyusunan BKP dalam suatu organisasi adalah dalam rangka
efisiensi, efektifitas kelancaran dan peningkatan pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Seperti
yang diungkapkan Syuryadi Sabirin:
“kami adalah lembaga yang membantu gubernur dalam pelaksanaan teknis ketahanan pangan, kami bekerja secara fungsi mandiri guna menciptakan ketahanan pangan tapi kordinasi dengan lembaga lain itu perlu dilakukan, dan yang paling sering adalah dinas pertanian”53
BKP Maluku meskipun diberikan Kemandirian dalam pelaksanaan
tugas penganekaragaman pangan namun sering kali melakukan fungsi
52 Wawancara dengan Drs. Ramli. Hasan, Kepala Regional Bulog Maluku, 14 November 2011 di Kantor Bulog, Waihaong Ambon, Pukul. 16.13 WIT53 Wawancara dengan Dr. Syuryadi Sabirin, Kepala Badan Ketahanan Pangan Maluku, 17 November 2011 Pukul 10.00 WIT
89
kordinasi dengan dinas-dinas lain, seperti dinas pendidikan, dinas pertanian
dan dinas kesehatan. Menurut S.M Talla:
“memang tidak dapat dipungkiri kinerja BKP belum maksimal, karena aparat yang terbatas, letak geografis, keterbatasan dana operasional, namun kendala yang paling sulit adalah merubah pola konsumsi masyarakat yang sudah terpatok dengan beras.”54
Dalam hal ini perlu dilakukan penyuluhan secara terpadu dan
koordinasi pemecahan masalah ketersediaan pangan yang melibatkan
semua stakeholders. Pemantapan sistem ketahanan pangan terus
digalakkan pada berbagai level mulai tingkat nasional, regional sampai
dengan tingkat rumah tangga yang dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi sehingga dapat meminimalkan kekurangan pangan dan
mengakseskan pangan masyarakat ke pangan lokal.
Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta jumlah dana
yang harus dikeluarkan, sehingga program yang disusun berjalan belum
maksimal, kondisi geografis Maluku sering menjadi penghambat gerak BKP
dalam melakukan sosialisasi.
b. Faktor penghambat
Faktor penghambat adalah faktor yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan implementasi, sehingga seringkali membuat suatu implementasi
54 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
90
tidak dapat mencapai tujuannya. Dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan
pangan lokal BKP mengalami hambatan yang akan diuraikan lebih lanjut
1. Pola konsumsi yang tergantung pada beras
Pada masa orde baru pemerintah menganut paradigma kebijakan
pangan yakni ketahanan pangan. Dalam praktiknya, pemerintah
menerjemahkan ketahanan pangan sebatas ketersediaan beras dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Di
masa Orde baru, pemerintah mewujudkan paradigma ini lewat kebijakan
penyeragaman sistem pertanian dan pangan secara nasional. Kebijakan
penyeragaman pangan menimbulkan berbagai bias. Pangan diarahkan pada
satu jenis pangan saja, yaitu beras. Padahal sistem pangan berbagai
komunitas masyarakat lokal di Indonesia mempunyai keanekaragaman yang
sangat tinggi. Penyeragaman pangan ini telah menyingkirkan sistem pangan
lokal yang biasa dipraktikkan oleh masyarakat setempat sejak dulu.
Dukungan politik untuk pengembangan berbagai jenis pangan lokal lainnya
tidak dilakukan. Paradigma ini pun terbangun sampai sekarang dan sulit
untuk dihilangkan, masyarakat Maluku masih mengandalkan beras sebagai
komunitas pangan utama, sedangkan pangan lokal sebagai konsumsi
pelengkap. Seperti yang diungkapkan Talla :
91
“karena penyeragaman pangan ke beras, pola konsumsi pangan orang Maluku yang dulunya sagu sebagai makanan pokok sekarang berubah ke beras, orang Maluku dikatakan makan jika mengkonsumsi nasi”55
Kekeliruan kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pangan
pada satu komoditas pangan membuahkan ketidak-berdaulatan rakyat atas
pangan sehingga makin lemahnya akses masyarakat lokal terhadap pangan
atau sumber-sumber produktif untuk menghasilkan pangan. Hal ini tercermin
dari hilangnya kemampuan masyarakat dalam kemandirian untuk
memproduksi pangan serta mengkomsums pangan lokal yang dimilikinya.
Akibatnya, sistem pangan lokal yang khas digantikan oleh sistem pangan dari
luar yang berorientasi pasar dengan beras sebagai komoditi utama.
Akibatnya, masyarakat semakin tergantung pada pasokan pangan dari luar.
Karena tidak ada kontrol komunitas atas pangannya sendiri, berbagai potensi
sumber daya alam serta potensi sosial-ekonomi-budaya lokal tidak bisa
dimanfaatkan secara optimal.
Walaupun potensi sagu yang dimiliki Maluku sangat besar dan dapat
dijumpai di setiap daerah, namun untuk merubah pola konsumsi pangan
masyarakat mendapat kendala oleh karena masyarakat Maluku sudah
terbangun sejak orde baru bahwa makanan pokok secara universal di
Indonesia adalah sagu. Sagu hanya dijadikan sebagai makanan
55 Wawancara dengan Ir. S.M. Talla Kepala di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, 21 November 2011, pukul. 11,30 WIT
92
pendamping. Kurangnya inovasi terhadap pangan sagu membuat
masyarakat mulai meninggalkan sagu terlebih khusus di daerah perkotaan
Kebijakan raskin dirubah menjadi pangkin, dari sisi sumber daya, BKP
seharusnya mampu memaksimalkan potensi sagu sebagai pangan lokal,
namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan sagu, sehingga
banyak lahan sagu yang dialih fungsikan. Luas lahan, dan produksi sagu di
beberapa daerah belum terdata secara sistematis (lihat tabel 07). Secara
kuantitatif sampai sekarang masih dirasakan sulit mengingat terbatasnya
data dan tidak kontinyunya pengambilan data mengenai sagu dan sekitarnya.
Bahkan BPS pun belum begitu tertarik untuk memasukkan data sagu sebagai
data yang mesti diambil secara periodik setiap tahun. Potensi pangan lokal
yang dimiliki belum dikembangkan secara maksimal, karena harga belum
memberikan keuntungan yang layak bagi produsen dan pengolahan serta
konsumsi pangan lokal belum berkembang.
Program pangan miskin yang akan diterapkan di Maluku sebenarnya
baik untuk mengurangi ketergantungan pada beras, namun jika dilihat ini
pangan lokal dalam hal tempat penyimpanan akan cepat rusak bila
dibandingkan beras. Permasalahan menonjol dalam penanganan sagu
antara lain, dijumpai data luas areal dan potensi produksi yang sangat
beragam, sehingga menyulitkan dalam perencanaan industrialisasi sagu dan
prediksi pengembangan untuk masa mendatang. Pemanfaatan dan nilai 93
tambah sagu pada tingkat petani masih sangat terbatas, produk yang
dihasilkan bermutu rendah dan penanganannya kurang efisien. Potensi sagu
di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya, hal ini ditandai
dengan : 1) banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan
akhirnya rusak. 2) pemanfaatan potensi sagu masih rendah, pemanfaatan
potensi sagu hanya terbatas pada skala petani/industri kecil dengan cara
pengolahan manual karena tidak tersedia alat pengolahan sagu yang
memadai secara lokal dan 4) masalah pemasaran. Sebaliknya eksploitasi
sagu yang dilakukan industri skala menengah-besar, kurang memperhatikan
keseimbangan produksi, akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu, yang
pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5 – 7 tahun. Jika
kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan
mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat
sekitar areal sagu yang dieksploitasi.
Keanekaragaman hayati sebagai penopang keseimbangan ekosistem
yang menjadi sumber penopang keragaman pangan telah hilang oleh sistem
penyeragaman pangan ke beras. Hilangnya keanekaragaman hayati di lahan
pertanian lantaran hanya mengandalkan beras sebagai tumpuan ketahanan
pangan sangatlah beresiko bagi kehidupan masyarakat. Dengan
keberagaman tanaman, persediaan pangan dapat terjaga sehingga bila
sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen masyarakat tidak kesulitan untuk
94
memperoleh sumber pangan pengganti dan tidak perlu mengimpor dari
daerah lain.
2. Alih Fungsi Lahan Sagu
BKP dalam mewujudkan ketahanan pangan melihat adanya peluang
sagu sebagai pangan lokal memiliki potensi, namun alih fungsi lahan oleh
karena modernisasi pembangunan mekipun karakteristik sagu cocok dengan
geografis Maluku, lambat laun akan hilang oleh karena ketidaktersedianya
lahan pertanian. Di Maluku, sagu merupakan tumbuhan hutan yang tidak
dibudidayakan. Sebagai makanan pokok masyarakat Maluku, pohon sagu
dari tahun ke tahun semakin berkurang, baik karena hasil panen secara
eksploitatif maupun karena alih fungsi lahan untuk usaha lainnya bahkan
untuk keperluan pembangunan lainnya. Melkias L. Frans mengatakan:
"Karena Maluku memiliki lahan yang luas, maka harus menjadi catatan Pemerintah Daerah, bahwa selama ini pemanfaatan lahan dan kepedulian pemerintah sepertinya terlewatkan dan tidak terngiang, dan ada indikasi pura-pura tidak tahu, padahal itu ada di depan mata bahwa ini menandakan bahwa kita tidak mandiri.56
Disamping itu hutan sagu yang merupakan salah satu sumbedaya
alam yang menghasilkan berbagai unsur untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat sudah mulai langkah disebabkan telah terjadi perubahan pola
konsumsi masyarakat dan ketergantungan masyarakat pada sumber pangan
56 Wawancara dengan Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku95
berupa beras serta alihfungsi lahan hutan menjadi perkebunan masyarakat
dan pemukiman menyebabkan hutan sagu mengalami penurunan
ketersediaan di alam misalnya banyaknya program transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah dengan mengalihkan hutan sagu di Maluku
menjadi pemukiman masyarakat.
BKP sebagai pembuat dan pelaksanaan kebijakan teknis pangan pun
mengusulkan agar dibuat Peraturan Daerah pelestarian kawasan sagu, ini
pun didukung oleh anggota legislative Maluku. Salah satunya Abraham
Malioy: “banyak hutan sagu yang dikomersialkan menjadi daerah perumahan.
Kalau ada perda sagu, maka lahan sagu tidak bisa diganggu gugat.”57 Komisi
B DPRD Maluku juga mendorong berbagai proses itu, sehingga kemandirian
masyarakat dalam hal pangan dapat segera terpenuhi dan tak bergantung
lagi dari daerah lain seperti saat ini.
"Pemprov harus mengambil kebijakan melestarikan makanan pokok dan khas orang Maluku ini sebagai salah satu stok pangan pengganti beras, agar pohon sagu terlindungi dan tidak punah tergilas roda pembangunan yang semakin pesat di daerah ini,"58
Pengelolaan hutan sagu merupakan suatu upaya sistematis dan
terpadu baik dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, terhadap kelestarian
57 Wawancara dengan Abraham. M.M. Malioy. SH, Anggota Badan Legislasi DPRD Maluku58 Wawancara dengan Ir. Melkias L. Frans, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Maluku
96
hutan sagu sebagai sumber daya alam dengan tidak merubah fungsi hutan
sagu secara ekologinya. Syuryadi Sabirin mengatakan:
“namun kita tidak bisa jalan tanpa ada petunjuk, paling tidak ada kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam perda dan kami mengangap ini sangat penting, sehingga kita harus membuat perda tersebut,”
Pelestarian terhadap tanaman sagu sangatlah penting karena sangat
bermanfaat terhadap masyarakat, oleh karena itu dibuat konsep, dan
diajukan kepada pihak dewan untuk dibicarakan. Ranperda ini bukan saja
berjalan mulus, tapi ada pertentangan dalam pembahasan dan sempat
tertahan karena Provinsi Maluku pasca rekonsiliasi konflik lebih fokus pada
sisi pembangunan infrastruktur baik itu perumahan dan hotel, karena ingin
mengembalikan citra Pariwisata Maluku. Sehingga harus terjadi alih fungsi
lahan. Seperti yang diungkapkan Syuryadi Sabirin: “Memang ada sedikit
perbedaan, tapi akhirnya disepakati, agar tercipta balance, baik pangan
maupun pariwisata”. Usulan kebijakan dari BKP tentang pelestrian sagu pun
akhirnya disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 10 Tahun
2011 tentang pengelolaan dan pelestarian sagu. Dengan adanya perda
tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan hukum bagi Pemerintah
Maluku (BKP) dalam mengambil setiap kebijakan dalam kaitannya dengan
pengembangan pelestarian pangan lokal.
97
Peraturan Daerah No 10 Tahun 2011 tentang pengelolaan dan
pelestarian sagu sebenarnya terlambat, jika dilihat Maluku sebagai potensi
sagu, perda perlindungan sagu justru sudah dikeluarkan pemerintah daerah
Papua satu tahun sebelumnya. Jaminan atas hak setiap komunitas
masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri kebijakan produksi,
distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial,
ekonomi dan budaya masing-masing komunitas. Sebenarnya masyarakat
lokal yang lebih tahu dan lebih mampu memecahkan persoalan pangan
mereka. Dalam membuat kebijakan pangan, pemerintah harus
mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat lokal secara representatif.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implementasi Peraturan Daerah Maluku No 04 tahun 2010 tentang
Badan Ketahanan Pangan Maluku terhadap ketahanan pangan lokal
Penyeragaman konsumsi pangan ke beras pada masa orde baru telah
membuat ketergantungan masyarakat terhadap beras. Kondisi ini sangat
mengawatirkan bagi ketahanan pangan suatu Negara yang hanya
bergantung pada satu macam bahan pangan saja. Apalagi bagi daerah-
daerah yang secara geografis tidak dapat di tumbuhi tanaman padi. pangan
98
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.” Politik pangan
adalah kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan
bagi masyarakat dalam konteks Negara. Pangan merupakan kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-
sama seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun
2002 tentang ketahanan pangan. Salah satu upaya agar mengurangi
ketergantungan tehadap beras dan kerawanan pangan, maka pemerintah
melakukan diversifikasi pangan dengan mengembangkan dan
mengkonsumsi pangan lokal yang merupakan potensi daerah masing-
masing.
Dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi
ketergantungan terhadap beras. Pemerintah Daerah Maluku membentuk
Badan Ketahanan Pangan yang berguna untuk membuat serta menjalankan
kebijakan pangan di Maluku, BKP bekerja sama dengan Bulog dalam
menyediakan bahan pangan masyarakat. Jika Bulog lebih kepada
penyediaan dan pengaturan harga beras, BKP berupaya menciptakan
99
ketahanan pangan, dengan memanfaatkan potensi pangan lokal. BKP
sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam masalah pangan.
Berdasarkan data yang dipaparkan maka teori kebijakan sangat
relevan untuk menganalisis implementasi peraturan daerah No 04 tahun
2010 tentang tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Maluku terhadap ketahanan pangan lokal. Menurut Carl Friedrich
kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Politik pangan adalah
kebijakan politik yang diarahkan guna terciptanya pemenuhan pangan bagi
masyarakat. Peraturan daerah tentang Badan Ketahanan Pangan adalah
sebuah kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah dengan tujuan
mewujudkan ketahanan pangan di Maluku. Perda ini dibuat sebagai landasan
hukum BKP dalam membuat serta melaksanakan kebijakan teknis membantu
Gubernur dalam hal pemenuhan pangan. Tujuan pembentukan BKP juga
untuk merealisasikan peraturan presiden dalam percepatan diversivikasi
pangan lokal. Keberhasilan suatu kebijakan dapat diukur dari proses dan
pencapaian hasil akhir, jika hasilnya baik maka tujuan yang diinginkan
terlaksana, namun jika hasilnya negatif maka tidak sesuai dengan
diharapkan, ini diakibatkan oleh faktor kendala yang dialami pada saat proses
100
kebijakan berjalan. Menurut Teori implementasi kebijakan Van Meter dan
Horn, terdapat variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni:
Standar dan sasaran kebijakan, Sumberdaya, Hubungan antar organisasi,
Disposisi Implementator, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi.
Jika dianalisis sesuai variabel implementasi kebijakan, sasaran dari
pembentukan BKP adalah mempercepat diversifikasi berbasis lokal hingga
tercipta kemandirian pangan. Program yang dibuat oleh BKP sebenarnya
dapat diukur dan dapat diwujudkan karena apa yang diinginkan dalam
program benar-benar ada dalam lingkungan masyarakat.
2. Faktor pendukung dan penghambat Badan Ketahanan Pangan
a. Faktor pendukung
Dalam pelaksanaannya BKP memiliki faktor pendukung dalam
menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal di Maluku. Potensi pangan
lokal sagu yang banyak tumbuh di daerah Maluku dapat dijadikan sebagai
pengganti pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Secara
kelembagaan BKP yang dulunya hanya menjadi divisi pada Dinas Pertanian
sekarang terpisah dan diberikan kemandirian menjadi lembaga yang
membantu Gubernur membuat dan melaksanakan kebijakan teknis
ketahanan pangan.
101
b. Faktor Penghambat
Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaanya juga BKP
mengalami hambatan dalam mengubah pola ketergantungan Masyarakat
terhadap beras. Masyarakat Maluku masih bergantung pada beras oleh
karena politik penyeragaman pangan zaman orde baru, dan
mengesampingkan sagu yang dulu adalah pangan pokok orang Maluku. Alih
fungsi hutan sagu menjadi pemukiman, dan terlambatnya disahkan Peraturan
daerah tentang pelestarian hutan sagu dinilai sebagai penghambat. Secara
kelembagaan kurangnya sumber daya Manusia (aparatur BKP) dan
minimnya dana ditambah lagi dengan letak geografis Maluku yang
merupakan daerah kepulauan menjadi penghambat kinerja BKP dalam
melakukan sosialisasi ke masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang terjadi
pada saat pelaksanaan, BKP telah melakukan sedikit perbaikan dalam
mewujudkan diversifikasi pangan di Maluku, walaupun belum maksimal tapi
secara bertahap akan ada perbaikan menuju hasil yang diharapkan. BKP
Provinsi Maluku baru dua tahun terbentuk, dan untuk mengembalikan pola
konsumsi masyarakat yang selama 32 tahun mengandalkan konsumsi
pangan beras ke pangan lokal harus membutuhkan partisipasi dari setiap
masyarakat Maluku untuk mendukung kebijakan dalam hal kemandirian
pangan.
102
B. Saran
Adapun saran penulis agar tercipta diversifikasi pangan lokal di
Maluku :
1. BKP sebagai lembaga yang membantu Gubernur dalam membuat
dan melaksanakan kebijakan pangan di Maluku harus lebih
mensosialisasikan konsumsi pangan lokal bukan saja bagi
masyarakat miskin, tapi semua elemen masyarakat tanpa
terkecuali. Penguatan internal birokrasi BKP (sumber daya
manusia) harus bisa menjalankan program ketahanan pangan
yang efektif dan efisien. Kordinasi BKP, Bulog dan Dinas Pertanian
harus saling mendukung dalam mengatasi kerawanan pangan.
2. Pangan lokal harus dikemas secara inovatif dan modern agar
memiliki daya tarik sehingga masyarakat lebih tertarik
mengkonsumsi pangan lokal.
3. Data kuantitatif lahan dan produksi pangan lokal terutama sagu
hendaknya di update 1 tahun sekali sebagai bahan perbandingan
informasi terhadap ancaman alif fungsi lahan.
4. Peraturan Daerah No 10 tahun 2011 tentang pelestarian dan
pengelolaan sagu harus dijadikan alat hukum yang tegas guna
melindungi sagu sebagai pangan lokal masyarakat Maluku
103
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Amang, B., M.H. Sawit. 1999. Kebijkan Beras dan Pangan Nasional. Bogor: IPB Press.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bustaful, Arifin. 2005. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan. Jakarta: Rajawali Press
104
Dunn, William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
George, Susan. 2007. Pangan “ dari penindasan sampai ketahanan pangan”.
Yogyakarta: INSIST
Gunawan, Faisal. 2003. Strategi Diversifikasi Pangan. Jakarta: Prisma
Haryanto. 1988. Sagu dan Pemanfaatanya. BPPT
INSIST. 2008. Politik Pangan: perlu perubahan paradigma. Yogyakarta:
INSIST
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian kwalitatif dan kwantitatif untuk ilmu-ilmu
sosial. Jakarta: DIA FISIP UI
Jhamtani, Hira. 2008. Lumbung Pangan ”Menata Ulang Kebijakan
Pangan.Yogyakarta: INSIST
Raharjo, Dawam. 2003. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia.
Jakarta: Prisma
Soekarto. 1999. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Pangan di Indonesia.
LIPI
Syafie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka
RekaCipta
Wahab, Solichin Abdul. 1997, Analisa Kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta.
Wijayanti,dkk. 2003. Pengembangangara Pengelolaan Sagu di Sulawesi
Tenggara dan Maluku. Bogor: IPB105
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo
Yogyakarta.
Undang-Undang:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal.
Internet:
BPS Provinsi Maluku tahun 2010 dalam http;//Maluku.bps.go.id
http://agoesman120.wordpress.com/2009/06/27/pangan-lokal/
http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-publik/
http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html
106
top related