keefektifan konseling dengan teknik penghancuran keyakinan irasional (dispute irrational beliefs)...
Post on 28-Nov-2015
353 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Jurnal Psikologi Pendidikan dan bimbingan Vol. 13. No.1, Juli 2012
92
KEEFEKTIFAN KONSELING DENGAN TEKNIK PENGHANCURAN
KEYAKINAN IRASIONAL (DISPUTE IRRATIONAL BELIEFS) UNTUK
MENURUNKAN TUNTUTAN DIRI BERLEBIHAN
Ari Khusumadewi1
ABSTRAK: Tuntutan diri berlebihan merupakan segala bentuk tuntutan
yang berlebihan pada diri sendiri untuk berpenampilan baik dan
mendapatkan kemenangan di setiap kondisi yang mutlak harus
didapatkan dan tanpa toleransi apapun yang mengakibatkan individu
cenderung irasional. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan
konseling dengan teknik penghancuran keyakinan irasional dalam
menurunkan tuntutan diriberlebihan siswa. Teknik tersebut bekerja
dengan cara menelusurui, mencari, menemukan, mempertanyakan,
menentang, membantah, dan mendebat keyakinan irasional. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah one-group pretest-posttest design.
Jumlah subjek penelitian terdiri atas 6 siswa yang dijaring dengan
mengunakan skala tuntutan diri. Analisis data menggunakan statistik non
parametrik yaitu uji Wilcoxon. Berdasarkan hasil analisis didapatkan
nilai z -2,201 dengan nilai ρ 0,028. Karena ρ< α, maka keputusananya
adalah ditolak, artinya konseling dengan teknik tersebut efektif dalam
menurunkan tuntutan diri berlebihan.
Kata Kunci : Tuntutan Diri Berlebihan, Penghancuran Keyakinan
irasional
1 Dosen Luar Biasa pada Prodi BK FIP Unesa
93
Pendahuluan
Siswa merupakan anggota
komunitas sekolah yang juga
merupakan anggota komunitas
masyarakat sehingga memiliki
tuntutan peran dan tugas sebagai
anggota masyarakat. Siswa sekolah
menengah merupakan individu yang
dalam perkembangannya berada pada
tahap remaja. Tugas utama remaja
adalah menghadapi identity versus
identity confusion, yang merupakan
krisis ke-5 dalam tahap perkembangan
psikososial yang bertujuan untuk
mencari identitas diri agar nantinya
remaja dapat menjadi orang dewasa
yang unik dengan sense of self yang
koheren dan peran yang bernilai di
masyarakat (Erikson dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2001). Mengikuti
kegiatan olahraga merupakan salah
satu usaha dalam pencarian identitas.
Banyak di antara remaja yang telah
mengembangkan bakat dan potensinya
sehingga bisa berprestasi dalam bidang
tersebut. Ketika prestasi sudah
didapatkan maka predikat “atlet” telah
mereka sandang. Hal tersebut
memberikan banyak perubahan dalam
diri mereka antara lain perubahan pola
pikir, penghargaan diri, kebiasaan
hidup, kepercayaan diri bahkan
kehidupan sosial. Perubahan-
perubahan itu mendorong mereka
untuk bisa menjadi lebih berprestasi
dalam bidang tersebut. Pemerintah
membangun sebuah sekolah khusus
sebagai upaya membantu para siswa
yang berprestasi dalam bidang
olahraga, mengembangkan bakat dan
kemampuannya serta meningkatkan
prestasi dan pembibitan atlet-atlet
junior yang berpotensial. Sekolah
tesebut adalah Sekolah Menengah Atas
Negeri Olah Raga (SMAN Olahraga)
yang seluruh siswanya adalah anak-
anak berprestasi dalam bidang
olahraga.
Adanya perbedaan karakteristik
SMAN Olah Raga dengan sekolah
pada umumnya dapat memicu
munculnya banyak masalah pada diri
siswa. Salah satunya adalah tuntutan-
tuntutan kepada siswa untuk bisa
berprestasi baik dalam bidang olahraga
maupun bidang akademik. Hal tersebut
sangat memberatkan siswa karena
tuntutan itu tidak hanya dari program
sekolah tetapi dari sistem pergaulan
siswa itu sendiri. Tuntutan-tuntutan
94
yang dialami siswa membentuk pola
pemikiran tersendiri bagi siswa
tersebut. Pada awalnya tuntutan itu
bisa berawal dari luar diri siswa tetapi
lama kelamaan tuntutan itu
diinternalisasi menjadi tuntutan pribadi
yang harus dipenuhi dengan berbagai
alasan yang mengikutinya. Segala
bentuk tuntutan yang ada dari luar
maupun dari dalam diri siswa dapat
mengembangkan irrational belief
system (irB) individu yang bersifat
absolut dan harus terpenuhi.
Tuntutan-tuntutan itu memaksa
siswa untuk berhasil menjadi seperti
yang diharapkan dan terkadang tidak
sesuai dengan kondisi siswa. Beberapa
diantara mereka berhasil menjadi
seperti yang diharapkan, tetapi
beberapa diantara mereka juga kurang
berhasil bahkan gagal mencapai target
minimal yang ditetapkan (Jawa Pos,
Juni 2011). Biasanya, jika remaja tidak
terpenuhi keinginannya, mereka cepat
sekali mengalami stress dan
mengakibatkan munculnya perilaku
negatif (Bolger & Eckenrode, 1991).
Perilaku negatif yang muncul antara
lain bunuh diri. Sebagian besar kasus
bunuh diri dilatarbelakangi oleh
ketidakmampuan mewujudkan
keinginan dan tuntutan dirinya
(Vivanews, 2010). Ketika tuntutan-
tuntutan yang ada pada diri siswa tidak
tercapai maka yang terjadi antara lain
kemarahan yang berlebihan terhadap
diri sendiri, depresi, mengasihani diri
sendiri, dan toleransi frustasi yang
rendah seperti penarikan diri
(withdrawal), penangguhan diri
(procrastination), ketakutan-ketakutan
(phobias) dan ketergantungan
(addictions) terhadap sesuatu atau
orang lain (Ellis dalam Corey, 2009).
Tuntutan diri (self-
demandingness) merupakan salah satu
titik penting penyebab munculnya irB.
IrB adalah pikiran, ide, gagasan,
persepsi negatif yang digunakan
individu memandang, menilai,
merespon, menanggapi suatu
peristiwa, kejadian atau situasi yang
dialami. IrB bersifat mutlak dan tanpa
syarat, mengandung suatu keharusan,
kemestian, tuntutan, dan perintah
(should, ought, must, demands and
command) (Ellis & Grienger, 1986:
Corey, 2009). “Harus” dan
“Seharusnya” merupakan suatu istilah
yang digunakan untuk
95
mengungkapkan kebutuhan atau
rekomendasi yang kuat. IrB juga
merupakan pandangan yang tidak
logis, tidak didukung oleh realitas,
tidak dapat diuji kebenarannya, tidak
mempunyai bukti yang cukup,
cenderung merusak diri, menghalangi
orang mencapai tujuan dan
menghasilkan emosi yang tidak wajar.
Tuntutan diri (self-
demandingness) juga merupakan suatu
ide yang mengharuskan individu untuk
selalu berpenampilan baik dan
mendapatkan kemenangan, jika tidak
melakukannya maka menunjukkan
bahwa individu tersebut tidak
kompeten, tidak layak mendapatkan
sesuatu dan layak untuk menderita,
membenci diri sendiri, gelisah, dan
terlalu berkeinginan (Dryden,
DiGiuseppe and Neenan, 2003;
Christner,stewart and Freeman, 2007
dalam Capuzzi, Gross, 2007).
Tuntutan (demandingness) juga berarti
kekalahan secara emosional yang
meninggi bagi diri sendiri dan orang
lain yang membuat tuntutan-tuntutan
yang tidak realistis, setting ekspektasi
yang tidak realistis. Rincian ide-ide
berupa pikiran-pikiran yang penuh
tuntutan dan keharusan sebagai
berikut: (a) tuntutan atau keharusan
untuk selalu dicintai dan didukung, (b)
tuntutan kompetensi sempurna, (c)
tuntutan menghukum orang lain, (d)
ketidaksenangan atas kejadian yang
tidak diharapkan, (e) tuntutan
penyebab eksternal, (f) perhatian pada
hal-hal yang berbahaya, (g) lari dari
kesulitan dan tanggungjawab, (h)
keharusan bergantung, (i) kebahagiaan
bukan didapat dari kemalasan, (j)
melebihkan kontrol masa lalu, (k)
terlalu peduli atau hanyut ulah orang
lain, (l) tuntutan jawaban persis atas
suatu masalah (Ellis, 1994).
Penelitian ini lebih mengarah
pada fungsi kuratif dalam bimbingan
dan konseling. Dalam rangka
melaksanakan fungsi bimbingan
tersebut, maka diperlukan perlakuan
khusus dalam menangani persoalan
yang berkaitan dengan diri siswa serta
dapat digunakan dalam membantu
siswa menurunkan tuntutan diri (self-
demandingness). Dalam Penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik dispute
irrational beliefs (DIBS) sebagai
perlakuan inti untuk membantu siswa
menurunkan tuntutan diri (self-
96
demandingness) dengan alasan bahwa
teknik ini adalah salah satu teknik
yang bernuansa kognitif dan tuntutan
diri (self-demandingness) yang dituju
untuk diselesaikan adalah suatu
permasalahan dalam ranah kognitif.
DIBS adalah suatu teknik dalam
REBT yang dilakukan dengan cara
menelusuri, mencari, menemukan,
mempertanyakan, menentang,
membantah, dan mendebat irB,
merestrukturisasi beliefs system dari
yang tidak rasional (irB) menjadi
rasional (rB).
Prosedur konseling dengan
teknik DIBS ada 3 tahap
(Perkins, 2002 dalam
http://www.rebtnetwork.org/whatis:ht
m), yaitu: (a) Tahap I (Empirical
disputing), pada tahap ini yang
dilakukan adalah mendeteksi
(detecting) dan membangun kesadaran
diri (self awarness) terhadap irB. (b)
Tahap II (Logical disputing), pada
tahap ini yang dilakukan adalah
menentang irB, dengan cara
menanyakan bukti irB, menanyakan
kebenaran irB, menanyakan alasan
menganut irB, menanyakan fakta yang
mendukung irB, menanyakan
keuntungan/manfaat menganut irB dan
menanyakan apakah irB selalu dapat
direalisasikan. Setelah dilakukan
logical dispute, konseli diharapkan
mengalami self acceptance. (c) Tahap
III (Pragmatical disputing), pada tahap
ini merupakan proses pembentukan
kebiasaan berpikir rasional. Prosesnya
adalah konselor dan konseli
melakukan correct misperception of
reality (mengoreksi persepsi-persepsi
keliru terhadap realitas), melanjutkan
dengan restructuring cognitive
(menata kembali pikiran-pikiran
positif yang dikacaukan oleh irB),
kemudian membangun pikiran efektif
terhadap diri dengan cara
membiasakan diri (habbit forming)
dengan pola dan gaya hidup (life style)
yang rasional, berpikir positif terhadap
diri dan memiliki perasaan baru.
Ketiga tahapan tersebut
merupakan hasil modifikasi dengan
tetap mengacu kepada empat tahapan
utama Rational Emotive Behavior
Theraphy (psychodiagnotic, insight,
working-through dan re-education)
dan tidak mengubah sedikitpun konsep
A-B-C tentang D yaitu disputing
terhadap keyakinan irasional yang
97
terjadi pada individu (Perkins, 2002
dalam
http://www.rebtnetwork.org/whatis:ht
m).
Berdasarkan latar belakang di
atas rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah konseling dengan
teknik Dispute Irrational Belliefs
(DIBS) efektif untuk menurunkan
tuntutan diri (self-demandingness)
siswa SMAN Olahraga Sidoarjo?
Metode
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan penelitian
pre-eksperimen. Adapun bentuk
rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah one-group
pretest-posttest design.
Dengan demikian design
penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar Design Penelitian one
group Pre-test & Post-test design
(Sumber: Tuckman, 1999; Mc
Millan & Scumacheer, 1993)
Keterangan:
= pre-test sebelum subjek
diberikan treatment atau
perlakuan pada subjek
X = Treatment atau perlakuan
yang berupa Dispute
Irrational Beliefs
= post-test diberikan setelah
treatment atau perlakuan
pada subjek
Untuk menjaga validitas
internal dalam penelitian ini dilakukan
beberapa upaya, yaitu 1) mengurangi
ancaman dari aspek kesejajaran
dengan membatasi rentang waktu
antara pre-test dan post-test; 2)
mengurangi ancaman dari aspek
testing dan instrumentasi dengan
menggunakan tes yang sama untuk
semua subjek; 3) mengurangi ancaman
dari mortalitas eksperimen dengan
menggunakan kontrak atau agenda dan
kelompok tertutup dalam mendesain
kelompok konseling. Dan 4)
mengurangi ancaman dari faktor
kesehatan mental dengan memilih
subjek penelitian yang berada pada
tingkat gangguan yang relatif sama
x
98
yaitu siswa teridentifikasi memiliki
tuntutan diri (self-demandingness)
tinggi. Sementara untuk menjaga
validitas eksternal dan validitas
ekologis, disusun panduan pengubahan
berdasarkan teknik Dispute Irrational
Beliefs (DIBS) dalam pendekatan
Rasional Emotive Behavior Therapy
(REBT).
Pengumpulan data dilakukan
secara kuantitatif dengan
menggunakan skala tuntutan diri (self-
demandingness) tujuannya untuk
memperoleh gambaran tingkat
tuntutan diri (self-demandingness)
pada subjek penelitian. Data kuantitatif
tersebut didapatkan dari hasil pre-test
dan post-test yang diberikan pada awal
dan akhir dari proses konseling. Setiap
responden memperoleh skor dengan
menjumlahkan skor tiap butir
pernyataan. Skor keseluruhan
merupakan skor tingkat tuntutan diri
(self-demandingness). Untuk
mengetahui tingkat tuntutan diri (self-
demandingness) digunakan lima
kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah, sangat rendah. Subjek
penelitian ini adalah siswa yang
memiliki tuntutan diri (self-
demandingness) tinggi. Untuk
mengidentifikasi subjek penelitian
yang mengalami tuntutan diri (self-
demandingness) tinggi dilakukan
pengukuran awal dengan skala
tuntutan diri (self-demandingness)
pada proses pra konseling. Pada proses
pra-konseling ditetapkan ada 6 siswa
yang digunakan sebagai subjek
penelitian dan akan pengdapatkan
perlakuan yang berupa konseling
dengan teknik DIBS. 6 Siswa teersebut
adalah NR, BT, SS, FA, RN, NA.
Penelitian ini menggunakan
dua jenis instrumen yaitu: 1) bahan
perlakuan (stimulus material), dan 2)
skala self demandingness. Bahan
perlakuan disusun dalam bentuk
pedoman konseling DIBS untuk
konselor dalam bentuk naskah tulis.
Bahan perlakuan berupa materi
pengubahan yang digunakan dalam
proses konseling berdasarkan teknik
DIBS menurut Ellis (dalam Perkins,
2002).
Untuk mengukur variabel
dependen (Y), menggunakan
instrumen pengukuran tunggal, yaitu
skala self-demandingness. Skala ini
adalah rancangan peneliti yang
99
tujuannya untuk menjaring subjek
penelitian yaitu siswa yang memiliki
self-demandingness tinggi.
Data yang terkumpul dalam
penelitian ini selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis
non parametrik yaitu teknik analisis
Wilcoxon. Teknik analisis Wilcoxon
dilakukan dengan cara menghitung
taraf signifikansi perbedaan rerata self-
demandingness siswa sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan DIBS.
Sesuai dengan judul penelitian,
rumusan masalah serta teori-teori yang
digunakan maka hipotesis nol ( )
yang diajukan adalah tidak ada
perbedaan yang signifikan pada
konseli dalam penurunan self-
demandingness sebelum dan sesudah
diberikan perlakuan DIBS, sehingga
teknik DIBS tidak efektif digunakan
untuk menurunkan tuntutan diri (self-
demandingness). Keefektifan teknik
DIBS dapat disimpulkan dari hasil
analisis statistik uji Wilcoxon jika nilai
z hitung lebih besar dari z tabel dan
jika nilai probalilitas (ρ) lebih kecil
dari α (0,05) maka hipotesis nol ( )
ditolak.
Hasil
Secara garis besar sajian data
meliputi segala sesuatu yang berkaitan
dengan tahap-tahap persiapan sampai
akhir penelitian. Data tersebut berupa
pre-test, data post-test. Data pre-test
diperoleh dari skala tuntutan diri (self-
demandingness) yang sudah diuji
kesahihan dan keajegannya. Pre-test
dilakukan pada 94 siswa. Setelah
dianalisis ada 12 siswa yang
teridentifikasi memiliki self-
demandingness tinggi, tetapi setelah
dilakukan pra konseling terjaring 6
orang yang menjadi subjek dalam
penelitian ini.
Tabel Hasil pre-test subjek
No. Subyek Kelas Nilai Kriteria
1. NR XI S1 198 Tinggi
2. BT XI A1 197 Tinggi
3. SS XI S1 202 Tinggi
4. FA XI A1 203 Tinggi
5. RN XI A1 198 Tinggi
6. NA XI S2 197 Tinggi
Pemberian post-test dilakukan
pada akhir pertemuan masing-masing
konseli dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat tuntutan diri (self-
demandingness) konseli yang menjadi
subyek penelitian setelah diberikan
perlakuan yang berupa konseling
individu dengan teknik DIBS.
100
Langkah pemberian post-test adalah
dengan memberikan tuntutan diri (self-
demandingness) pada konseli untuk
mengetahui perbedaan signifikansi
tuntutan diri (self-demandingness)
konseli sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan.
Tabel Hasil post-test
No. Subjek Post-test Kategori
1. NR 157 Sedang
2. BT 113 Rendah
3. SS 154 Rendah
4. FA 157 Sedang
5. RN 125 Rendah
6. NA 131 Rendah
Untuk tingkat kepercayaan
95% dan uji dua sisi (standar untuk
penghitungan di SPSS), didapat nilai z
tabel ±1,96. Dari hasil analisis dapat
didapatkan nilai z hitung –2,201 (tanda
– tidak relevan, karena hanya
menunjukkan arah) dengan
probabilitas 0,028. Bila taraf
kesalahan 5%, maka z tabel ±1,96.
Dalam tes uji dua pihak daerah
penolakan terdapat pada kedua ujung
sisi distribusi sampling, dikarenakan
harga z hitung ternyata lebih besar dari
±1,96 (z hitung > z tabel ), dengan
demikian ditolak. Oleh karena
angka probabilitas pada kolom
EXACT.SIG adalah 0,028 yang jauh
dibawah 0,05 ( ρ < α) maka
keputusannya adalah menolak dan
menerima , yang artinya teknik
DIBS efektif dalam menurunkan
tuntutan diri berlebihan (self-
demandingness) siswa SMAN Olah
Raga Sidoarjo.
Pembahasan
Pada pelaksanaan penelitian,
konseli dan konselor melaksanakan
tahapan konseling sesuai dengan
prosedur yang telah dibuat
sebelumnya, yang berbeda hanyalah
pada jumlah sesi pertemuan konseli.
Pada prosedur terancang setiap sesi
pertemuan memiliki satu tahap
konseling DIBS, sedangkan yang
terjadi di lapangan setiap sesi
pertemuan bisa terjadi satu atau dua
tahap konseling, bahkan ada yang dua
kali sesi pertemuan hanya memuat satu
tahap konseling. Hal itu terjadi karena
adanya perbedaan kondisi fisik
konseli, kemampuan memahami
makna dan maksud konseling maupun
keterampilan pengelolaan bahasa.
Perlakuan menggunakan
teknik Dispute Irrational Beliefs
101
(DIBS) konselor mengintervensi IrB
(dalam upaya menurunkan Self-
demandingness) dengan menggunakan
teknik Dispute Irrational Beliefs
(DIBS) yakni dengan cara mendeteksi
(menelusuri, mencari, menemukan),
mempertanyakan, menentang,
membantah dan mendebat irB,
merestrukturisasi beliefs system dari
yang tidak rasional (irB) menjadi
rasional (rB) (Correy, 1996). Teknik
DIBS merupakan suatu teknik
menantang, membantah & menelusuri
keyakinan irasional yang paling
menentukan dalam terapi REBT
(Perkins, 2007; Dryden, 2002).
Kedudukan DIBS dalam teori
A-B-C adalah sebagai “cornerstone”
yang artinya “dispute” menjadi batu
penjuru dalam menentukan
pengubahan terhadap pikiran-pikiran
irB menjadi rB, dengan cara
menentang, membantah, menelusuri
pikiran irasional (Ellis dalam Perkins
& Dryden, 2007). Inti dari pelaksanaan
teknik ini adalah mengajar aktif-
direktif. Setelah konseling dimulai
konselor memainkan peran sebagi
pengajar yang aktif untuk meredukasi
konseli.
Peneliti melakukan beberapa
upaya untuk menjaga validitas
internal, yaitu 1) mengurangi ancaman
dari aspek kesejajaran dengan
membatasi rentang waktu antara pre-
test dan post-test; 2) mengurangi
ancaman dari aspek testing dan
instrumentasi dengan menggunakan
tes yang sama untuk semua subjek; 3)
mengurangi ancaman dari mortalitas
eksperimen dengan menggunakan
kontrak atau agenda dan kelompok
tertutup dalam mendesain konseling.
Dan 4) mengurangi ancaman dari
faktor kesehatan mental dengan
memilih subjek penelitian yang berada
pada tingkat gangguan yang relatif
sama yaitu siswa teridentifikasi
memiliki tuntutan diri (self-
demandingness) tinggi. Sementara
untuk menjaga validitas eksternal dan
validitas ekologis, disusun panduan
pengubahan berdasarkan teknik
Dispute Irrational Beliefs (DIBS)
dalam pendekatan Rasional Emotive
Behavior Therapy (REBT).
Faktor keberhasilan
penurunan tuntutan diri (self-
demandingness) pada siswa
dipengaruhi oleh: 1) adanya
102
pemahaman (insight) siswa tentang
cara berpikir irrational beliefs yang
menyebabkan munculnya gangguan
self-demandingness, 2) pemahaman
(insight) siswa tentang irrational
beliefs sehingga siswa mampu
memutuskan untuk berhenti
menghancurkan diri (self-defeating)
dan memiliki kecenderungan untuk
berpikir lebih objektif, lebih rasional
dan lebih ilmiah, 3) adanya sifat
konfrontif dalam proses konseling
sehingga siswa mampu untuk
mengkonfrontasi irrational beliefs
yang ada dalam dirinya, yang pada
akhirnya membuat siswa untuk
berpikir ulang terhadap persepsi dan
cara berpikir yang irasional.
Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan tuntutan diri (self-
demandingness) adalah segala bentuk
tuntutan yang berlebihan pada diri
sendiri untuk selalu berpenampilan
baik dan mendapatkan kemenangan di
setiap kondisi dan hal tersebut mutlak
harus didapatkan dan tanpa toleransi
apapun yang mengakibatkan individu
cenderung irasional; memiliki rasa
kesombongan; merendahkan orang
lain; menganggap dirinya yang paling
baik serta memiliki kecenderungan
memaksa diri sendiri secara berlebihan
sampai over training. Kegagalan
adalah hal yang paling mengerikan dan
menyebabkan individu tersebut merasa
tidak kompeten, tidak layak
mendapatkan sesuatu dan layak untuk
menderita, membenci diri sendiri,
gelisah, dan terlalu berkeinginan yang
diukur dengan skala tuntutan diri (self-
demandingness).
Dalam penelitian ini peneliti
tidak menghilangkan tuntutan diri
(self-demandingness) pada siswa,
melainkan hanya menurunkannya
sampai pada kategori rendah. Hal
tersebut dikarenakan irrational beliefs
yang berupa tuntutan diri (self-
demandingness) bersifat fungsional
pada diri siswa. Yang artinya dalam
kondisi tertentu selama tidak
mengganggu dan terkelola dengan baik
tuntutan diri (self-demandingness)
sangat bermanfaat untuk
meningkatkan performance dan
motivasi berprestasi siswa.
Perubahan tingkat tuntutan
diri (self-demandingness) konseli
tampak pada perbedaan skor pre-test
dan post-test. Pada semua subyek
103
penelitian mengalami penurunan
tingkat tuntutan diri (self-
demandingness). Konseli NR
mengalami penurunan skor dari 198
menjadi 157, konseli BT dari 197
menjadi 113, konseli SS dari 202
menjadi 154, konseli FA dari 203
menjadi 157, konseli RN dari 198
menjadi 125 dan 197 menjadi 131
pada konseli NA. Perubahan juga
tampak dari adanya perubahan kondisi
dan keterampikan konseli sebelum dan
sesudah perlakuan.
Kondisi tuntutan diri (self-
demandingness) NR sebelum
mendapatkan perlakuan adalah harus
mencapai target dan tidak boleh
melakukan kesalahan jika gagal
hidupnya akan hancur, aku malu
kembali ke sekolah. Setelah perlakuan
tuntutan diri (self-demandingness)NR
menurun. Perubahan yang tampak
pada diri konseli adalah konseli
mampu memverbalisasi pernyataan irb
menjadi lebih rasional, lebih
memahami keadaan dirinya, mampu
mengintrospeksi segala kesalahannya
dan kekurangannya. Seperti pada
pernyataan “aku akan berusaha untuk
semangat dan lebih baik dari
pertandingan kemaren, semangat..”
Dia tidak lagi takut melakukan
kesalahan dalam mengambil strategi
dan keputusan dalam bertanding,
karena dia kekurangannya mampu
dengan cepat memperbaikinya.
Sebelum perlakuan BT
merupakan anak yang pendiam,
menginginkan pujian, memiliki target
prestasi minimal PON, harus selalu
bahagia, harus menang dalam setiap
kompetisi, kekalahan membuatnya
tidak berarti. Setelah mendapatkan
perlakuan konseli dapat memperbaiki
dan merubah sikap, cara berpikir yang
irb menjadi rasional dan logis seperti
konseli tidak lagi mengharuskan
dirinya untuk mencapai sesuatu tetapi
lebih berusaha untuk mendapatkan
sesuatu. BT juga mampu menerima
secara jujur yang ditunjukkan dalam
pernyataan konseli “saya dapat
menerima diri saya bahwa saya
memiliki kekurangan, yaitu teknik
dalam bertanding, postur tubuh yang
tidak ideal, konsentrasi kurang, tapi
saya berusaha untuk terus berlatih agar
menjadi lebih baik dari sebelumnya”.
Perubahan juga tampak dari
kemampuan konseli dalam berpikir
104
logis bahwa kemenangan didapatkan
dari kerja keras dan ketenangan diri
saat bertanding.
Sebelum perlakuan SS
memiliki tuntutan diri (self-
demandingness)yang menuntutnya
harus menang pada setiap kejuaraan
yang dia ikuti, karena kalah dalam satu
pertandingan memunculkan irb “aku
pasti kalah dalam setiap
pertandingan”. Setelah mendapatkan
perlakuan konseli menjadi mampu
berpikiran positif dan logis serta dapat
menunjukkan pernyataan rasional
dalam dirinya bahwa selalu berusaha
untuk mencapai kemenangan dan
target lebih baik daripada selalu
menuntut diri untuk harus
mendapatkan kemenangan.
Sebelum perlakuan FA
memiliki tuntutan diri (self-
demandingness)yang membuatnya
sangat membenci masalah karena
masalah menghancurkan hidupnya, dia
tidak boleh kalah, harus selalu
menang. Setelah mendapatkan
perlakuan konseli tidak menyalahkan
orang lain ketika mengalami
kegagalan, konseli mampu
mengintrospeksi diri dengan positif,
mampu menghargai orang lain, tidak
menganggap bahwa masalah membuat
hidupnya hancur melainkan masalah
membuat dia lebih banyak belajar
tentang hidup bahwa masalah adalah
pemanis kehidupan. Konseli juga
dapat berfikir lebih rasional yaitu
untuk selalu berusaha menjadi dan
memberikan hal yang terbaik dalam
dirinya di setiap pertandingan serta
tidak lagi membebani diri dengan
tuntutan-tuntutan yang belum jelas
ujung akhirnya.
Sebelum perlakuan RN
memiliki tuntutan diri (self-
demandingness) yaitu dia harus
menang dan harus masuk tim
PUSLATDA Jatim. Setelah
mendapatkan perlakuan koselor
melihat adanya perubahan-perubahan
dalam dirinya dengan dapat
memperbaiki dan merubah sikap, cara
berpikir yang irb menjadi rasional dan
logis, konseli belajar untuk memahami
makna kegagalan dan kemenangan,
belajar memahami kondisi diri dan
orang lain serta kemampuan konseli
untuk verbalisasi pernyataan irb
menjadi lebih rasional yaitu konseli
105
akan selalu berusaha untuk mencapai
prestasi yang lebih tinggi.
Sebelum mendapatkan
perlakuan NA memiliki tuntutan diri
(self-demandingness) untuk harus
selalu jadi yang terbaik, harus menang
dalam setiap pertandingan, harus
mengalahkan teman-teman saat
sparing patner, harus membanggakan
orang tuanya apapun keadaannya.
Setelah mendapatkan perlakuan
Perubahan yang sangat tampak pada
diri konseli adalah konseli tampak
lebih tenang, tidak mudah marah
ketika dia kurang maksimal
menyelesaikan suatu target, yang dia
lakukan langsung mengintrospeksi diri
dan memperbaiki segala
kekurangannya dengan cepat. Konseli
senantiasa berpikir rasional sehingga
dapat mengembangkan diri dan
mengaktualisasikan diri melalui
perilaku, kognitif serta afektif yang
positif.
Dari penelitian ini, secara
umum tuntutan diri yang dimiliki
konseli adalah harus menang, harus
selalu mencapai target yang telah
ditentukan, harus jadi yang terbaik,
sangat benci terhadap masalah,
menjadi tidak berarti ketika gagal. Hal
inilah yang menjadi akar permasalahan
pada perkembangan prestasi konseli.
Adanya perbedaan tingkat
perubahan pada setiap konseli
disebabkan oleh perbedaan kondisi dan
situasi pada proses konseling, seperti
pada konseli NR dan FA yang
mengalami penurunan tuntutan diri
(self-demandingness) sampai tingkat
sedang sedangkan konseli yang
lainnya BT, SS, RN, NA mengalami
penurunan tuntutan diri (self-
demandingness) sampai tingkat
rendah. Kondisi tersebut antara lain
adalah kondisi konseli, suasana saat
proses konseling berlangsung. Kondisi
konseli meliputi kesiapan fisik konseli,
karena proses konseling berlangsung
pada bulan puasa sehingga konsentrasi
konseli sedikit terganggu. Suasana saat
proses konseling berlangsung
menentukan kenyamanan konseli
dalam mengikuti konseling. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian
yang menyebutkan bahwa implikasi
REBT kurang efektif dibandingkan
dengan terapi yang lain dikarenakan
adanya perbedaan kondisi pada saat
proses konseling berlangsung
106
(Szentagolai, Kallay &David, 2006 ;
Wikipedia, 2011).
Simpulan
Simpulan penelitian ini adalah
konseling dengan teknik DIBS efektif
dalam menurunkan tuntutan diri (self-
demandingness) siswa SMAN Olah
Raga Sidoarjo. Keefektifan teknik
DIBS, ditentukan oleh empat hal
berikut: 1) mampu membangun insight
siswa tentang irb yang menyebabkan
gangguan tuntutan diri (self-
demandingness) tinggi pada siswa, 2)
proses mendebat irb, 3) proses
mendiskriminasi irb dan rb, 4)
hubungan baik yang terjalin antara
konselor dengan konseli dalam
memaksimalkan pelaksanaan
konseling.
Saran
Terkait dengan temuan penelitian ini,
maka saran yang disampaikan sebagai
berikut: 1) konselor sekolah perlu
dibekali dengan pengetahuan teoritik
dan praktek konseling teknik DIBS
agar dapat meningkatkan keterampilan
dan pengetahuan dalam memberikan
layanan kepada siswa, 2) siswa,
hendaknya dapat menindaklanjuti hasil
dari konseling DIBS sehingga mampu
menyiapkan diri unruk memiliki
“kematangan emosi” dalam
menghadapi masalah, 3) peneliti
lanjutan, hendaknya memperhatikan
aspek waktu dan karakteristik siswa
dan bahasa dalam proses konseling,
tidak menutup kemungkinan untuk
menggunakan teknik-teknik lain untuk
mendampingi teknik DIBS dalam
menurunkan tuntutan diri siswa.
Daftar Rujukan
Jawa Pos. 14 Juni, 2011. Atlet Renang
Pindah Cabor, hlmn. 22.
VIVAnews. 2010. Kasus Bunuh Diri
di Indonesia: Perempuan
melakukan percobaan bunuh
diri empat kali lebih banyak
dari laki-laki, (Online).
(http://nasional.vivanews.com/
news/read/110420-
kasus_bunuh_diri_di_indonesia
). Diakses tanggal 14 Februari
2011.
Corey, G. 2009. Theory and Practice
of Counseling and
Psychotherapy. 7 th ed.
Monterey, California:
Brooks/Cole Publising
Company.
Capuzzi, D & Gross, DR. 2007.
Counselling and
Psychotherapy Theories and
Intervensions. 4 th ed. New
107
Jersey: Pearson educational
Inc.
Dryden, W. 2003. Rational Emotive
Behaviour Therapy. Theoritical
Development. New York:
Brunner-Routledgo.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman,
Ruth D. 2001. Human
development (8th ed.). Boston:
McGraw-Hill
Ellis, A. 1994. Reason and Emotion in
Psychotherapy. New York:
Birch lane.
Perkins, M. 2002. (online).
(http://www.rebtnetwork.org/w
hatis.html). Diakses 16
Desember 2010.
Tuckman. 1999. Conducting
Eductional Research, Fifth
edition. USA: Harcourt Brance
& Company.
Mc Millan, JH, & Schumacher. 1993.
Educational Research:
Fundamental for the
Consumes. New York: Hasper
Collin Publishers.
Perkins, M. 2007. What is Rational
Emotive Behavior Therapy?
REBT-CBT NET- The Internet
guide to Rational Emotive
Behavior Therapy & Cognitive
Therapy. (online).
(http://www.rebtnetwork.org/w
hatis.html). Diakses 12 Januari
2011.
Corey, G. 1996. Theory and Practicce
of Counseling Psychotherapy.
5 th ed. Monterey, California:
Brooks/Cole Publising
Company.
top related