kewenangan lembaga penegak hukum dalam …
Post on 31-Oct-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGANI
TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS
(Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Muhammad Akbar Wijaya
(11140430000081)
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
ii
KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGANI
TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS
(Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Muhammad Akbar Wijaya
NIM. 11140430000081
Pembimbing :
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.,
NIP. 197202032007011034
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
v
ABSTRAK
Muhammad Akbar Wijaya, NIM 11140430000081, Kewenangan
Lembaga Penegak Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme
Tinjauan Yuridis Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018,
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Dalam penulisan skripsi ini disini penulis membahas masalah Kewenangan
Lembaga Penegak Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut
Tinjauan Yuridis (Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018). Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana cara kerja sistem
sebuah lembaga penegak hukum dalam menangani terorisme dilihat dari konteks
kewenagan dan cara penanganan setiap lembaga penegak hukum dan lembaga
terkait terhadap tindak pidana terorisme menurut sudut pandang undang-undang,
tugas-tugas dari pihak-pihak setiap lembaga yang terkait dan kepastian
hukumnya.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,
yakni Statute Approach (pendekatan perundang-undangan). Dalam penelitian ini
penulis menelaah dan meneliti menggunakan data primer, sebagai bahan dasar
untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap undang-undang,
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana
terorisme tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masalah penegakan tindak pidana
terorisme di Indonesia masih belum maksimal. Disebabkan adanya faktor-faktor
yang menjadi penghambat mulai dari undang-undang terkait, kewenangan dari
setiap lembaga dan sistem penaganan tindak pidana terorisme.
Dalam hal ini faktor-faktor yang menjadi penghambat penanganan
terorisme yaitu, Pertama, sistem kerja, Kedua, kewenangan dan penanganan
lembaga penegak hukum Ketiga, kepastian hukum, Keempat, sarana dan
prasarana.
Kata Kunci : Lembaga Penegak Hukum, Terorisme, Undang-Undang, Yuridis,
Kewenangan
Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.,
Daftar Pustaka : Tahun 1998 s/d Tahun 2019
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet ز
s es س
vii
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء
apostrop
y ya ي
viii
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ـــــــــ ـ ي ai a dan i
ـــــــــ ـو au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi diatas اـــــ
î i dengan topi atas ىـــــ
û u dengan topi diatas وـــــ
ix
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: الإجثهاد= al-ijtihâd
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الرخصة
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة الإسلامية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
x
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, البخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
1 al-darûrah tubîhu الضرورة تبيح المحظورات
almahzûrât
الإقتصاد الإسلامي 2 al-iqtisâd al-islâmî
أصول الفقه 3 usûl al-fiqh
al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah الأشياء الإباحة الأصل فى 4
المصلحة المرسلة 5 al-maslahah al-mursalah
xi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tugas
akhir jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saya bersyukur dapat membuat karya tulis ilmiah ini,
walaupun hanya berupa tugas akhir. Mudah-mudahan ini merupakan ini menjadi
langkah awal saya untuk dapat mendekati cita-cita saya mencapai staf ahli mentri
pertahanan bidang keamanan, amin.
Saya sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung,
membantu serta memberikan masukan dalam proses saya menyelesaikan tugas
akhir ini. Pada kesempatan yang berharga ini saya mengucapkan terima kasih
dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan
Mazdhab. Bapak Hidayatullah S.H., M.H., Sekertaris Program Studi
Perbandingan Madzhab.
3. Bapak Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab,
yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi
rasa hormat saya. Tidak lupa pula kepada pimpinan dan seluruh staff
perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas untuk keperluan studi
kepustakaan, terutama perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum.
5. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku penguji I yang telah
senantiasa memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama
duduk dibangku kuliah dan dalam proses penulisan skripsi ini terima
kasih penulis ucapkan. Mara Sutan Rambe, M.H., selaku penguji II
yang telah memberikan rekomendasi dan saran untuk penyempurnaan
penulisan dalam skripsi ini.
xii
6. Ayah dan Ibuku, Sukma Wijaya dan Rahmawati, AMd.Keb., yang
selalu memberikan dukungan dari lisan, materil maupun doa, agar
skripsi ini cepat selesai, tugas akhir ini kupersembahkan untukmu Ayah
semoga cepat sembuh pulih sehat seperti sedia kala, amin.
7. Adik-adik kesayanganku Muhammad Ikhsan Wijaya dan Muhammad
Hakim Wijaya. Yang selalu menjadi motivasi saya untuk menjadi
kakak yang baik.
8. Putri Zumaila yang selalu memberikan semangat, motivasi serta
mendoakan penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan tahun ini wisuda, tempat bertukar pikiran
Khalil Gibran Syaukani, S.H., Zein Hadi Lc., S.H., Zein Yudha Utama,
S.H., Dimas Permadi, S.H., M. Angga Yudha, S.H., Arie Maulana,
S.H., Sahrul Fauzi, S.H., Ulpan Anggi, S.H., yang selalu ada disaat
saling membutuhkan, sahabat-sahabat saya diskusi kosan pojok.
10. Sahabat-sahabat masa kecil di kedai kopi Lampu Kuning 21 terima
kasih untuk segala motivasi, masukan serta, hiburannya dalam proses
penulisan skripsi ini.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan dan
juga doa yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi
berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi saya penulis serta pembaca pada umumnya. saya memohon maaf atas segala
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
Bogor, 18 Desember 2020
Muhammad Akbar Wijaya
NIM.11140430000081
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUAN ...................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
PEDOMAN LITERASI ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ........................... 11
1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 11
2. Pembatasan Masalah ............................................................................. 11
3. Rumusan Masalah ................................................................................. 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 12
1. Tujuan Penelitian ........................................................................... 12
2. Manfaat Penelitian ......................................................................... 12
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................ 13
E. Metode Penelitian ................................................................................ 13
1. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 14
2. Jenis Penelitian .............................................................................. 15
3. Sumber Data .................................................................................. 16
4. Tehnik Pengumpulan Data ............................................................. 17
5. Tehnik Analisa Data ...................................................................... 17
6. Tehnik Penulisan ........................................................................... 18
F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PENEGAK HUKUM
DAN TERORISME ................................................................................... 20
xiv
A. Pengertian Lembaga Penegak Hukum .............................................. 20
B. Teori Checks And Balances ................................................................ 24
C. Teori Kewenangan ............................................................................... 26
1. Atribusi .......................................................................................... 28
2. Delegasi ......................................................................................... 28
3. Mandat ........................................................................................... 28
D. Terorisme Dalam Pandangan Peraturan Perundang-Undangan dan
Hukum Islam........................................................................................ 29
BAB III KEWENANGAN TNI, POLRI DAN BNPT DALAM TINDAK
PIDANA TERORISME ............................................................................ 41
A. TNI ........................................................................................................ 41
B. Polri ....................................................................................................... 44
C. BNPT..................................................................................................... 47
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM
(POLRI, TNI DAN BNPT) DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA
TERORISME TINJAUAN YURIDIS (UNDANG-UNDANG
TERORISME NOMOR 5 TAHUN 2018) ............................................... 51
A. Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.................................. 51
B. Analisa Sistem Kerja, Kewenangan, Kepastian Hukum Dan
Penanganan Lembaga Penegak Hukum (Polri, TNI Dan BNPT)
Terhadap Kasus Tindak Pidana Terorisme ...................................... 57
1. Sistem Kerja .................................................................................. 57
2. Penanganan dan kewenangan Lembaga Penegak Hukum ............. 62
3. Kepastian Hukum .......................................................................... 73
4. Sarana dan Prasarana ..................................................................... 76
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 81
A. Kesimpulan........................................................................................... 81
B. Rekomendasi ........................................................................................ 82
xv
1. Kepada Lembaga-Lembaga dan Instansi Penanggulangan
Terorisme ........................................................................................ 82
2. Kepada Pemerintah ......................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan ikut turut
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.1Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan
pembangunan nasional dalam suasana aman, tentram dan dinamis, baik dalam
lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pencegahan
terhadap suatu hal yang menggangu stabilitas nasional.
Maraknya aksi teror di Indonesia menyebabkan hilangnya rasa aman
ditengah masyarakat, selain membuat turunya wibawa pemerintah sebagai badan
pelindung yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada
masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki
ancaman besar terhadap aksi-aksi terorisme, terutama maraknya aksi teror bom
di beberapa tempat. Seperti contoh kasus tetbesar yang memakan banyak korban
adalah Bom bali I dan II, Bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.
Terorisme pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun
2018, dijelaskan, bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan
kekeraan atauancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa
takut secara meluas, yang dapat menimbukan korban yang bersifat masal,
dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis,
1Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Internasional
Convention the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan pendanaan Terorisme, 1999)
2
lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif
ideologi, politik atau gangguan kekacauan.2
Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud adalah perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan melawan hukum dan menimbulkan
bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang
pingsan atau tidak berdaya dan, perbuatan secara melawan hukum berupa
ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerak tubuh, baik dengan maupun tanpa
menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat
menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau
mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.3
Dalam buku Tindak Pidana Teror Belenggu Baru Bagi Kebebasan Dalam
Terorrism, Definisi Aksi Dan Regulasi yang ditulis oleh Muchammad Ali
Syafa’a menjelaskan bahwa, Terorisme adalah sebuah paham yang berpendapat
bahwa penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara
yang paling sah dalam mencapai sebuah tujuan.4 Ada berbagai macam tindakan
terorisme, dan yang paling sering ditemui yaitu dengan tindak peledakan bom
bunuh diri, tindakan ini marak terjadi disetiap aksi terorisme dan yang
palingbanyak menelan korban dibandingkan dengan aksi-aksi terorisme melalui
teror psikis.
Terorisme telah hadir dalam kehidupan sebagai virus ganas dan monster
menakutkan yang sewaktu-waktu muncul dan tidak dapat diduga, mampu
menjelma sebagai “prahara nasional dan global”, termasuk dalam mewujudkan
tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas
Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia telah kehilangan eksistensinya
dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah
2 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 3 Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 4 Muchammad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam
“terorrism, definisi, aksi dan regulasi” (Jakarta: Imparsial, 2003), h. 59
3
menciptakan aksi kebiadaban yang mendampak terhadap sosial, politik, budaya,
dan ekonomi.
Masyarakat Indonesia maupun masyarakat di dunia saat ini sedang
dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatrikan akibat maraknya aksi
teror, bahkan pada masa sekarang dimana kondisi masyarakat dunia sedang
menghadapi pandemin, terorisme masih mampu mengintai dan memberi
ancaman. dikutip dari perkataan Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Brigjen
(Pol) Hamli melalui diskusi daring, pada hari rabu 6 mei 2020, “Jangan sampai
terpengaruh oleh narasi-narasi yang dibangun soal kita dimasa Covid-19 ini
wajib melakukan serangan terhadap pemerintah, terhadap tempat-tempat yang
dianggap bahwa ini adalah produk kafir, dan ini masih negara kafir”. Menurut
beliau, pandemi Covid-19 tidak menyurutkan ancaman aksi teror, meskipun
apabila pandemi tidak terjadi, ia mengatakan, ancaman tersebut tetap ada dan
pola penyerangan para pelaku teror, selalu beraksi saat bulan Ramadhan,
Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Brigjen (Pol) Hamli juga menuturkan
ancaman tersebut terlihat dari penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus
(Densus) 88 Anti-Teror Polri belakangan ini, mulai tanggal 25 maret Densus 88
sudah menagkap beberapa orang di Batang, Jawa Tengah, tuturnya, diikuti
dengan penangkapan di Maluku (17 April), Sulawesi Tenggara (13 April),
Surabaya, Jawa Timur (24 April), Sidoarjo (26 April), dan di Serang (27 April).5
Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan
dan oleh sebab itu pemberantasannya harus dikaji secara komprehensif dan
berdasarkan hukum yang adil tanpa rekayasa. Apabila hal ini tidak dilakukan,
maka kasus teror ini selamanya tidak dapat diselesaikan ataupun berhenti sama
sekali karena selama ini akar permasalahannya tidak terselesaikan secara
komprehensif. Teror atau aksi kekerasan di Indonesia bahkan bertambah
berkembang semakin canggih dan sulit dideteksi karena terindikasi terdapat
5https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/22233471/di-tengah-pandemi-covid-19-
bnpt-imbau-masyarakat-tak-terpengaruh-narasi di akses 10 oktober 2020
4
oknum-oknum hitam aparat penegak hukum yang ikut bermain demi
kepentingan politik sesaat.
Ada pendapat yang menyebut, bahwa terorisme lahir dan tumbuh dari rasa
kekecewaan akibat perlakuan tidak adil yang berlangsung lama dan kelihatan
tidak ada harapan perubahan. Dengan demikian, terorisme tidak dapat
diidentikkan dengan pembuatan hal-hal bermotif agama saja, melainkan lebih
bermuatan politik.6
Teror memang sebuah kata yang berarti usaha menciptakan ketakutan,
kengerian, atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan.7Untuk
melihat kasus terorisme Indonesia perlu digaris bawahi konteks terjadinya teror,
siapa aktor intelektualnya, dan apa motifnya. Mungkin ada banyak motif
bermunculan saat ini, bahkan dipolitisasi ke berbagai macam hal, termasuk
penerbitan perpu pemberantasan terorisme yang dapat dilihat di satu sisi
mengancam kebebasan pribadi apabila dilakukan secara tidak porposional tetapi
di sisi lain mengamankan eksistensi negara.
Perbedaan pandangan terhadap apa, siapa, kenapa, dan bagaimana tentang
terorisme adalah wajar sejauhitu disikapi secara arif dan bijak. Karena itu, setiap
kejadian teror di Indonesia janganlah serta merta menuduh bahwa pelakunya dari
kelompok atau golongan tertentu, perlu diingat, teror itu boleh jadi merupakan
kegiatan intelijen luar atau intelijen hitam dalam negeri yang dimainkan oleh
dalang yang belum terungkap hingga saat ini.8
Secara teoritis, sangat mungkin untuk melihat terorisme dari sudut pandang
yang berbeda, dan perbedaan itu seringkali memiliki alasan tersendiri.
Perbedaan pandangan adalah sah dan setiap individu boleh memiliki pandangan
6 Seminar tentang terorisme yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia
(LPSI) di Jakarta Rabu (31/10) 7 Forum Keadilan, 29 November 2002 8 Sambutan Ian Santoso Perdanakusuma (Mantan Ka Bais TNI) Adjie, Terorisme (Jakarta:
Sinar Harapan, 2005), h. xi
5
tersendiri. Apabila ini dikatakan sebagai suatu perbedaan, maka perbedaan
pandangan tentang terorisme dapat dikategorikan sebagai berikut.9
Kemungkinan perbedaan pandangan yang pertama adalah organisasi
terorisme itu sendiri. Terorisme ‘pentungan’ yakni terorisme yang kebanyakan
kecil dan ramping, sangat ketat dan selektif serta tidak menggunakan birokrasi
yang berbelit, homogen, secara politis, dan pada umumnya mengembangkan
pengaruh dengan melakukan aksi teror secara jelas kelihatan (kasat mata) karena
kebanyakan belum/tidak/kurang memiliki insfrastruktur yang mapan untuk
mencapai aksi mereka. Misalnya Red Army Faction dan Revolutionary Cells di
Jerman Barat dan Red Brigade di Italia.
Kemungkinan perbedaan yang kedua adalah organisasi terorisme yang
taken for granted. Terorisme kerah putih semacam ini dianggap lumrah dan hal
yang wajar karena sudah sedemikian menggurita, besar, menggunakan birokrasi
yang rumit, heterogen, secara politik dan ekonomi diterima tanpa reserve karena
motif terorismenya tidak terlihat secara jelas karena kebanyakan memiliki
insfrastruktur yang mapan untuk mencapai aksi mereka dan masyarakat umum
belum/tidak/kurang menyadari aksi terorisme kerah putih ini karena sudah
demikian menguasai sendi kehidupan mereka.
Terorisme ekonomi dalam bentuk kejahatan transnasional dan nasional
kerah putih yang melakukan ekonomi-keuangan-moneter riba. Hal ini tidak
hanya berupa pinjaman uang secara berbunga yang menyebabkan kreditur hidup
dari keringat debitur, tetapi juga transaksi yang berdasarkan penipuan yang
menghasilkan laba atau keuntungan yang diperoleh secara tidak adil. Misalkan
mekanisme fractional reserve banking dan quantitative easing yang menipu dan
menciptakan kekayaan dari sesuatu yang tidak ada.
Kemungkinan perbedaan pandangan ketiga terhadap terorisme adalah aksi
terorisme yang berkaitan dengan pemberontakan. Pemberontakan seringkali
9 Adjie, Terorisme (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), h. xii
6
memiliki tujuan yang dapat diartikan sebagai kelompok separatis etnis atau
keinginan memisahkan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara sendiri.
Misalnya New People’s Army, sayap militer Partai Komunis Filipina dalam
aktivitas mengacau, melakukan aksi teror untuk menurunkan kredibilitas atau
legitimasi pemerintah Filipina yang tidak bisa melindungi rakyatnya.
Kemungkinan perbedaan pandangan keempat adalah negara yang bertindak
menjadi sponsor terorisme. Sponsor terorisme secara langsung atau memberikan
dukungan secara terus terang atau tersembunyi terhadap kelompok teroris untuk
melakukan aksi teroris di suatu negara atau membiayai dan mempersenjatai
kelompok teroris untuk menjatuhkan rezim pemerintahan yang sah di suatu
negara. Misalnya AS yang menjatuhkan rezim Taliban di tahun 2013, rezim
Khadafy Libya di tahun 2010.
Perkembangan terorisme di Indonesia tidak lepas dari lanskap politik
Indonesia. Terorisme dan lanskap politik Indonesia dapat dilihat dari spektrum
penanganan terorisme di Indonesia sejak peristiwa 9/11. Penanganan terorisme
di Indonesia paska 9/11 dapat dianalisa dari sebab yang ditimbulkannya.
Terdapat setidaknya dua faktor besar yang menimbulkan terorisme di Indonesia.
Faktor penyebab ini dibahas menurut versi pemerintah dan kelompok penekan.
Faktor pertama adalah faktor internal agama, yakni kesalahan didalam mengerti
dan memahami Islam. Faktor kedua adalah faktor eksternal yakni pengaruh dan
interaksi dari luar. Kedua faktor ini merupakan ketegangan awal kebijakan
kontra terorisme di Indonesia paska 9/11 antara pemerintah dengan kelompok
penekan.
Negara Indonesia sudah mulai mengalami kejadian-kejadian serangan bom
yang cukup signifikan, mulai dari bom Bali pada tahun 2002 hingga yang paling
terbaru adalah pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo tahun 2018, pada waktu
itu terjadi rangkaian peristiwa pengeboman di tiga gereja yaitu di Gereja Santa
Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya
7
(GPPS), akibat serangan keji itu terdapat 28 korban tewas (termasuk pelaku) dan
57 orang korban luka.
Terorisme merupakan kejahatan yang serius dan sudah membahayakan
kedaulatan dan keamanan negara. Dalam menghadapi terorisme maupun perang
terhadap terorisme pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan dan
mengorganisir setiap kekuatan untuk lebih efektif dan efisien dalam
memberantas terorisme, terutama jika dilihat dari serangkaian serangan-
serangan bom maka aksi terorisme berupa serangan bom ini sudah tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Dalam menghadapi ancaman dari aksi terorisme, negara Indonesia memiliki
badan nasional khusus yang bekerja melaksanakan tugas pemerintahan dibidang
penanggulangan terorisme, dikenal sebagai Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT). Sudah seharusnya, negara wajib untuk memberikan
perlindungan dan rasa aman kepada warga negaranya apa lagi dengan
membentuk lembaga atau badan khusus dalam menanggulangi atau mencegah
terorisme. Peran BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sangat
penting dalam upaya memberantas dan mencegah tindak pidana terorisme.
BNPT berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. BNPT
menjadi pusat analisi dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai “fasilitas
presiden” untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis,
termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme, 10 dalam
mencegah segala bentuk ancamannya yang membahayakan eksistensi dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia dalam memberantas tindak pidana terorisme, mempunyai produk
hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme. 11
Sebuah Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang sebuah penetapan dari peraturan pemerintah pengganti
10 Pasal 43 ayat 1 dan 2 Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme
8
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Negara Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar Tahun 194512. Dalam negara yang berdasarkan hukum
mewajibkan semua tindakan negara dan pemerintah senantiasa didasarkan pada
asas-asas dan aturan hukum tertentu baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Oleh karena itu, maka inti dari prinsip ini adalah bahwa semua tindakan harus
dapat di pertanggungjawabkan secara hukum, termasuk seluruh tindakan yang
dilakukan pejabat publik.13
Negara hukum dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state base on
the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechstaat, adalah
adanya ciri pembatasan dari kekuasaan dalam penyelengaaraan kekuasaan
negara. Istilah rechstaat memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang
menangandung ide-ide pembatasan kekuasaan, pembatasan itu dilakukan
dengan hukum yang kemudian menjadi sebuah ide dasar paham akan
konstitusionalisme modern. Oleh karena itu konsep negara hukum juga disebut
sebagai negara konstitusional atau dalam bahasa Inggris constitusional state,
yaitu negara yang dibatasai oleh konstitusi.14
Setiap Negara tentunya memiliki sistem pemerintahan yang berhubungan
kuat dengan bentuk pemerintahannya. Negara yang menganut bentuk
pemerintahan republik disebut sistem pemerintahan presidensial, sedangkan
sistem pemerintahan yang menganut bentuk pemerintahan kerajaan disebut
sistem pemerintahan monarki. Selain dua sistem pemerintahan diatas terdapat
12 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 13 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 204 14 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1, Cet. 5 , (Jakarta: Rajawali
Pre, 2013), h. 281
9
juga sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan campuran (hybrid),
dan sistem kolegial.15
Dalam hukum tata negara ada sebuah teori yang disebut trias politika. Trias
politika ini diperkenalkan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik Prancis,
yang terkenal pada prinsip pemikirannya yang mendunia. Menurutnya, didalam
suatu negara terdapat tiga pembagian jenis kekuasaan 16 yaitu kekuasaan
eksekutif, legislatif dan kekuasaan yusikatif. Kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan yang menjalankan atau melaksanakan undang-undang, Kekuasaan
legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, Sedangkan
kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengontrol apakah undang-undang
dijalankan dengan benar atau tidak.
Setiap lembaga negara pasti memiliki peran dan tugasnya masing-masing
mulai dari merancang, menguji, dan melaksanakan setiap produk hukum yang
akan diresmikan dan diberlakukan untuk lembaga negara atau untuk warga
negara. Dalam penanggulangan terorisme, negara telah membetuk badan yang
mengatasi terorisme yaitu BNPT, didalam mekanisme tugas BNPT, tidak
mencegah, menangani dan penanggulangan, dia bukanlah lembaga penegaknya.
Lembaga penegak adalah POLRI dan TNI, terdapat sebuah masalah didalam
undang-undang tidak dijelaskan secara exsplisit terkait kewenangan penangan
dalam terorisme ini. siapakah yang memiliki kewenanggan dalam penanganan
tidak pidana terorisme ini ?,.
Faktanya yang terdapat dalam masalah ini terkait kewenangan
penanggulangan tindak pidana terorisme tidak disebutkan secara jelas dalam
undang-undang, Polri dan TNI masing-masing memiliki kewenangan dalam
tindak pidana terorisme. Jika kita bicara dalam hal penegakan hukum Polri
memiliki kewenangan dalam perihal kasus terorisme ini, dan di sisi lain jika
15 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 27 16 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Oleh R. Ibrahim,
dkk, (PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 51
10
bicara tentang keamanan negara, TNI memiliki kewenangan pula dalam
menangani kasus terorisme ini. Dalam kasus tindak pidana terorisme ini disini
POLRI dan TNI masing-masing memiliki hak dan kewenangan untuk bertindak
terhadap aksi terorisme. karena terorisme mengandung dua unsur jenis
pelanggaran yaitu sebuahbentuk pelanggaran hukum dan mengancam
pertahanan negara.
BNPT adalah sebuah lembaga yang terfokus pada melaksanakan
deradikalisasi, mengatur strategi, penanggulangan serta perlindungan negara,
terhadap kejahatan terorisme, akan tetapi didalam undang-undang masih
terdapat kerancuan, disini penulis bertujuan untuk mengupas, mengkaji dan
menganalis bagaimana bentuk penanganan terorisme, sistem kerjanya dan
peran-peran serta pihak-pihak yang terkait yang memiliki kewenangan dalam
menangani terorisme. tidak terdapat satu pasal pun yang menjelaskan atau
menerangkan terkait kewenangan yang diberikan secara langsung kepada sebuah
lembaga manapun untuk melaksanakan penanggulangan aksi tanggap terhadap
tindak pidana terorisme ini.
Setiap tujuan dibentuknya sebuah lembaga memiliki maksud atau
kebutuhan untuk memenuhi tugas dibidangnya masing-masing, dibarengi
dengan keahlian, wewenang serta tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan
tujuan awal dibentuknya lembaga tersebut. Dalam hal penyelenggaraan BNPT
didalam perpes pun, dijelaskan di Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010
pasal 28 dikatakan, Dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi BNPT
dibentuk kelompok Ahli, dilanjutkan pada pasal 29 ayat 1, Kelompok Ahli
mempunyai tugas melakukan kajian dan memberikan saran serta pertimbangan
kepada kepala BNPT dalam rangka penyusunan kebijakan, strategi, dan program
nasional di bidang penaggulangan terorisme.17Nabi pun memberikan pedoman
17 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan
Penanggulangan Terorisme
11
untuk memberikan amanah atau kewenangan sesuai dengan keahliannya
dijelaskan pada hadits berikut :
قال إذا أسند إذا ضي عت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها يا رسول الل
الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
Artinya : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat
telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat
bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? 'Nabi menjawab; "Jika
urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."
(Bukhari-6015)
Berlatar belakang yang penulis paparkan, penulis ingin mengangkat,
membahas dan menganalisis lebih dalam tentang permasalahan didalam topik
ini, yang kemudian akan penulis beri judul “Kewenangan Lembaga Penegak
Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut Tinjauan
Yuridis (Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas
beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan :
a. Apa yang dimaksud terorisme
b. Apa yang dimaksud motif dalam terorisme
c. Apa yang dimaksud terorisme dalam hukum Islam
d. Apa yang dimaksud terorisme dalam hukum positif
e. Apa yang dimaksud badan nasional penanggulanagan terorisme
f. Apa tugas dari badan penanggulanagan nasional terorisme
g. Bagaimana pandangan Undang-Undang terkait kewenagan
penanganan tindak pidana terorisme
h. Bagaimana kepastian hukum dalam kewenagan tindak pidana
terorisme
12
i. Bagaimana hukum tata negara dan hukum administrasi negara
dalam memandangan kewenangan badan penanggulanagan
nasional terorisme
j. Siapa yang memiliki kewenangan dalam penanganan tindak
terorisme
k. Siapa saja yang memiliki kewenangan dalam penanganan
terorisme
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih objek Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mengingat
banyaknya kasus terorisme yang mendapatkan perhatian lebih dari
pemerintah, maka penulis membatasi penelitian ini pada konsep
penanganan dan kewenangan terkait lembaga-lembaga terhadap tindak
pidana terorisme. Berdasarkan dari undangan-undang terorisme, Penulis
akan menganalisis kewenangan dan penanganan tindak pidana terorisme
dari sudut pandang undang-undang, tak lupa pula dengan tugas-tugas dari
pihak-pihak setiap lembaga yang terkait dan mengulik kepastian hukum
yang berlaku dalam kewenangan penanganan terorisme.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis
menarik rumusan masalah sebagai berikut :
a. Siapakah yang memiliki hak dan kewenangan dalam
menanggulangi tindak pidana terorisme.
b. Bagaimanakah sistem kerja penegakan hukum dalam menangani
tindak pidana terorisme di Indonesia.
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui lembaga penegak hukum mana yang memiliki
hak dan kewenangan menanggulangi tindak pidana terorisme.
b. Untuk mengetahui pola sistem kerja lembaga penegakan hukum
dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademik, penulisan skripsi ini diharapkan dapat
bermanfaat menambah pengetahuan dan keilmuan dalam
memahami serta mengetahui kewenangan penindakan
terorismedan cara kerja penaganan tindak pidana terorisme di
Indonesia. Kemudian menambah literature perpustakaan
khususnya dalam bidang perbandingan madzhab hukum dan pada
pembaca umumnya.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bias memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentangsiapa yang memiliki
kewenangan dan cara kerja penindakan terorisme dalam kajian
Hukum tata negara dan Hukum administrasi negara.
D. Tinjauan (Review)Kajian Studi Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas
oleh penulis lainnya, maka penulis me-review hasil-hasil penelitian yang sudah
dihasilkan lebih jauh. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa penelitian
yang berkaitan dengan variabel judul skripsi yaitu:
1. R. Wulida Misdillah Almatin, Kewenangan DPR Dalam
Pengangkatan Panglima TNI (Tinjauan Yuridis Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia). Jurusan
Ilmu Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya tulis ini
membahas terkait kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan
terhadap calon panglima Tentara Nasional Indonesia dalam konteks
14
hukum tata negara, Penulis lebih membahas terkait dengan kewenangan
atau kepastian hukum yang dimiliki sebuah lembaga atau hak dalam
menagani suatu perkara.18
2. Febriana Windarati Bustami, Kerjasama Indonesia Dengan Arab
Saudi Terkait Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018. Jurusan
Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
Karya tulis ini, membahas tentang melihat kerjasama antara Indonesia
dan Saudi Arabia. yang dimana Saudi Arabia dilihat berhasil dalam
menangani terorisme dinegaranya.19
3. Muhammad Arifin Saleh, Penanganan Terorisme Di Indonesia
Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurusan
Hukum Tata Negara (Siyasah), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
karya tulis ini membahas tentang penanganan terorisme yang dilakukan
Densus 88 sering kali menuai perotes dari berbagai kalangan. Tindakan
represif Densus 88 dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia
(HAM) dan asas Islam, Sehingga kredibilitas Densus 88 dipertanyakan
oleh masyarakat.20
Dari penelitian diatas perbedaannya dengan skripsi penulis adalah bahwa
penulis disini membahas, terkait hak, kewenangan dan sistem kerja lembaga-
lembaga penegak hukum dalam menangulangi terorisme ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dengan demikian pembahasan skripsi tentang “Kewenangan Lembaga
Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut Tinjauan Yuridis (Undang
18 R. Wulida Misdillah Almatin, Kewenangan DPR Dalam Pengangkatan Panglima TNI
(Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia). (Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) 19 Febriana Windarati Bustami, Kerjasama Indonesia Dengan Arab Saudi Terkait
Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018.(Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) 20 Muhammad Arifin Saleh, Penanganan Terorisme Di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh
Siyasah dan Hak Asasi Manusia (HAM).(Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)
15
– Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)”. Dalam hal ini belum dikaji dan
dijelaskan secara explisit, baik berupa buku jurnal atau karya ilmiah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah langka-langkah yang digunakan untuk
memperoleh dan mengolahan data dalam menyusun kerangka penulisan didalam
sebuah penelitian ini, yang bersifat umum dan terencana yang dilakukan untuk
keperluan menjawab persoalan yang diteliti.
1. Pendekatan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif.
Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan
penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.21
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian
hukum normatif. 22 yakni Statute Approach (pendekatan perundang-
undangan). Dalam penelitian ini penulis menelaah dan meneliti
menggunakan data primer, sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap undang-undang, peraturan-peraturan dan
literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme tersebut.23
Dalam hal ini objeknya ialah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14
22 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Cet 1, h. 10 23 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PUAJ, 2007), h. 29
16
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier. 24
Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Bahan primer merupakan bahan yang diperoleh dari kajian
kepustakaan dengan cara membaca, mencatat serta mengkaji bahan-
bahan yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini adalah:
1) Al-Qur’an dan Al-Hadits
2) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme
3) Salinan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang
Terorisme Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
4) Salinan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
5) Salinan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
6) Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 Tentang
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Dan Perlindungan
Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dan Petugas
Kemasyarakatan
7) Salinan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD) 1945
8) Salinan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian
24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada media Group,
2008), h. 141
17
9) Salinan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia
10) Hukum Islam
11) Teori-teori kepastian hukum
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan bahan yang dapat menjadi penunjang
bahan primer, seperti buku-buku, jurnal dan Karya Ilmiah lainnya yang
berhubungan dengan judul penelitian yang dilakukan.
c. Data Tersier
Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan
penelitian ini meliputi:
1) Kamus Hukum.
2) Media Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan diambil oleh penulis didalam
penulisan penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan (library
research), 25 yaitu: Teknik pengumpulan data dengan membaca,
mempelajari dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan, peraturan
perundang-undangan, serta artikel-artikel penting dari media internet yang
erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk
menyusun penulisan penelitian ini yang kemudian dikategorisasikan
menurut pengelompokan yang tepat.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan metode deskriptif, kualitatif dan komparatif
dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus
serta menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus mencari jawaban
atastopik permasalahan dalam karya ilmiah ini.
25 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Cet 1, h. 10
18
6. Tehnik Penulisan
Tehnik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam
skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017”.
F. Sistematika pembahasan
Sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah hasil penelitian dalam
skripsi, penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab, untuk mendapatkan
gambaran yang jelas dan untuk mempermudah dalam pembahasan maka
uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur standar suatu
penelitian dalam bentuk skripsi, berikut sistematika penulisan skripsi ini :
BAB I Membahas dan menjelaskan latar belakang masalah mengapa
penelitian ini dilakukan, kemudian identifikasi, pembatasan dan
perumusahan masalah. Di samping itu, tentu saja penulis juga menjelaskan
apa tujuan dan manfaat penelitian, serta menentukan metode apa yang
digunakan untuk penelitian.
BAB II Tinjauan umum kepada pembaca tentang lembaga penegak
hukum disertai pengertiannya,kewenangan atau hak yang dimiliki sebuah
lembaga, setelah itu,maka penulis memaparkan hal-hal yang bersifat
mendalam berkaitan dengan teorikepastian hukum yang terkandung dalam
permasalahan terkait isu kewenagan penanggulangan terorisme tersebut dan
dilanjutkan denganteori hukum Islam yaitu Fiqh Siyasah dan fiqh Jinayah,
lalu terkait hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dalam sistem
pemerintahan diteruskan dengan pengenalan lebih lanjut terkait terorisme.
BAB III Menguraikan hal-hal yang bersifat exsplisit tentang lembaga-
lambaga penegak hukum yang terkait seperti Polri, TNI dan BNPT dengan
merujuk kepada undang-undang membahas lebih lanjut hal-hal yang
berkaitankewenangan dan cara kerja lembaga terkait dalam
penanggulanagan terorisme, Penulis menguraikan hal-hal yang bersifat
umum secara terperinci terdiri atas pengertian, fungsi, peran dan mekanisme
19
penanganan terorisme oleh lembaga-lembaga penegak hukum berserta
kewenangannya dengan merujuk kepada undang-undang.
BAB IV Penulis melakukan analisis terhadap sistem dan cara kerja
serta hak kewenangan sebuah lembaga negara dalam menangani tindak
pidana terorisme dan bagaimana kepastian hukum yang berkaitan dengan
permasalahannya, didalam bab ini menganalisa siapakah yang milik
kewenagan dalam penanganan dan penaggulangan tindak pidanan
terorisme, dengan persepektif hukum positif didukung dengan pendapat
para pakar-pakar ahli terkait dalam permasalahan ini.
BAB V Penulis memaparkan hasil-hasil penelitian yang sudah
dilakukan sebagaimana tergambar dalam skripsi ini dan kemudian diakhiri
dengan rekomendasi dari penulis tentang pandangan yang relevan untuk
perbaikan dari apa yang sudah ada sekarang ini.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PENEGAK HUKUM DAN
TERORISME
A. Pengertian Lembaga Penegak Hukum
Kalau kita berbicara tentang hukum, hukum pada umumnya
dimaksudadalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah
dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 26 Hukum adalah himpunan peraturan-
peraturan (perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 27 S.M. Amin
menyebut hukum harus dirumuskan sebaai berikut: “kumpulan peraturan-
peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum, dan
tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia,
sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.
Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-
badan resmi yang berwajib. Tirtaamijaya menyebut hukum ialah semua aturan
(norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan pergaulan
hidup, dengan ancaman mesti mengganti kerugian. jika melanggar aturan-aturan
itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan
kehilangan kemerdekaan, didenda dan sebagainya.28
Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur
tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian didalam
masyarakat. Dengan kata lain hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi
26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
2007), h. 40 27 (E. Utrecht dalam Kansil, 2000:9) 28 CST.Kansil, 2000:11-12
21
perintah ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu
kondisi yang aman, tertib, damai dan tentram, serta terdapat sanksi bagi siapapun
yang melanggarnya. Tujuan dari hukum mempunyai sifat universal seperti
ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahtraan dan kebahagiaan dalam tata
kehidupan bermasyarakat.
Dasar filosofis dibentuknya aturan hukum, selain untuk mengatur dan
menertibkan masyarakat, yang paling penting adalah memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat,29sebagaimana dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 58:
حكمتم بين ٱلناس أن تحكموا بٱلعدل وإذا
Artinya : “ …….dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya menetapkan dengan adil”.
Budiman Tanuredja bahkan menggambarkan betapa manusia lemah harus
berhadapan dengan praktik penegakan hukum yang karut-marut, yang
sekedarnya mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial. Akibatnya
rakyat yang buta hukum harus berhadapan dengan penegak hukum yang sangat
fasihberbicara soal pasal dan punya sifat untuk memanfaatkan mereka yang
lemah.30
Kedudukan hukum di Indonesia memang strategis, sebab norma-norma ini
yang menentukan eksistensi indonesia sebagai negara hukum. Negara hukum
menjadi cermin masyarakat yang idealnya menginginkan kehidupan yang serba
teratur, tertib, dan saling menjaga tegaknya masing-masing hak, di antara sesama
anggota masyarakat.
Tujuan hukum adalah memenuhi adanya hukum, hukum pada manusia agar
mengerti untuk akan ketidaktahuannya, bahwa ia ada demi keberadaannya,
yakni manusia yang berkemanusiaan bersanding dengan hidup atas kehidupan
29 Umar Sholahudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang: Setara Press, 2011, h. 64 30 Aloysius Soni BL de Rosari (Ed.), Elegi Penegakan Hukum, (Jakarta : Kompas Media
Nusantara, 2010), h. 11-12
22
untuk membedakan ataupun menyamakan dualisme yang satu, yang senantiasa
beriringan, yakni antara tahu dan tidak tahu, dalam ide dan materi yang
diterjemahkan oleh akal budinya, yang ide ataupun materi itu sendiri sedianya
ada dan tertuang dalam sikap tindak yang merupakan peleburan antara ide dan
materi, antara jiwa dengan fisik, yang tampak akan kemanusiaannya dan
beriringan dengan kehidupannya. Hal ini yang umumnya dikatakan sebagai
“selaras, seimbang ataupun serasi”.31
Proses hukum baru saja menyelesaikan satu tahap dari suatu perjalanan
panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap perbuatan hukum masih harus
disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Inilah yang dimaksud dengan penagakan hukum.32Secara konsepsional, inti
dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyeserasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantab dan
mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. 33 Konsepsi yang mempunyai dasar filisofis tersebut, memerlukan
penjelasan lebih lanjut, sehingga tampak lebih konkret.
Melalui produk hukum yang diberlakukan yang kemudian menjadi hukum
positif, negara punya kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Hak-hak manusia, seperti hak bebas dari ketakutan, hak untuk dilindungi jiwa
dan nyawanya, dan hak-hak lainnya menjadi tanggung jawab negara untuk
menghormatinya. Bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap setiap
perbuatan yang dikategorikan kejahatan. Salah satu jenis kejahatan yang secara
istimewa harus menjadi objek penegak hukum adalah kejahatan terorisme.
Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat, dan
lembaga-lembaga peradilan yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan
31Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum Refleksi kritis Terhadap Hukum (Jakarta : Rajawali
Pres, 2011), h. 120 32Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), h. 181 33Soerjono Soekanto, Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Depok :
Raja Grafindo, 1983), h. 5
23
serta lembaga-lembaga advokasi yang turut andil berperan. Penegakan hukum
tersebut akan menentukan citra dan jati diri negara hukum. Sedangkan negara
hukum terkait erat dengan negara demokrasi, karena kedua bentuk negara ini
sama-sama punya kewajiban menempatkan rakyat sebagai subjek yang harus
dilindungi. Bentuk perlindungan yang ditunjukan berupa penegakan hukum (law
enforcement).
Negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokratis.
Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara demokratis. Dalam
negara demokrasi, hukum diangkat, dan merupakan respon dari aspirasi rakyat.
Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.34Terwujudnya
penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum, merupakan
harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan dan telah lama
mengharapkan instansi/lembaga-lembaga terkait untuk berperan aktif dengan
menjunjung tinggi rasa keadilan masyarakat
Bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan penegakan hukum adalah
peranan dari para penegak hukum untuk mencermati kasus dengan segala
kaitannya, termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus. Upaya tersebut
membutuhkan suatu kecermatan yang terkait pula dengan ketentutan perundang-
undangan yang dilanggarnya. Apakah memang ada tindakan yang
dikualifikasikan melanggar peraturan perundang-undangan tertentu dan kalau
benar sejauh mana. Dalam pelaksanaan tersebut tentunya harus dilakukan
penafsiran/interpretasi yang cukup mendalam dan karenanya diperlukan adanya
dedikasi, kejujuran dan kinerja yang tinggi.
Ada berbagai penafsiran guna mendukung terwujudnya rasa keadilan
masyarakat antara lain penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran
filosofis dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih
34Adnan Buyung Nasution dan M Chaidir Ali, Von Savigny dalam Purnadi Purbacaraka
1986, h. 18-24
24
bertumpu pada penafsiran gramatikal/letterlijk. Dengan mengacu pada rumusan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Soetjipto Raharjo dalam makalah mengenai rekonstruksi pemikiran hukum
di era reformasi, halaman 15 sampai dengan 17 mengemukakan komentarnya
ketika membicarakan konsep dari Charles Sampfort sebagai berikut : Sampfort
bertolak dari basis sosial dan hukum yang penuh dengan hubungan yang bersifat
asimetris. Inilah ciri-ciri khas dari sekalian hubungan sosial. Hubungan-
hubungan sosial itu dipersepsikan berbeda oleh berbagai pihak. Dengan
demikian apa yang tampak di permukaan, sebenarnya penuh dengan
ketidakpastian yang disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat
bertumpu pada hubungan antar kekuatan. hubungan antar kekuatan ini tidak
selalu tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat, maka terdapat
kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada
kekuatan. Ini yang menyebabkan ketidakteraturan.
Dengan memperhatikan uraian diatas kecermatan semua pihak yang terkait
dalam upaya penegakan hukum atau law inforcement menjadi sangat penting.
Kecermatan tersebut akan berpengaruh pada terwujudnya responsibilitas dan
akuntabilitas peradilan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang
lebih manusiawi, bermartabat dan berkeadilan.
B. Teori Checks and Balances
Kata “checks” dalam checks and Balances berarti suatu pengontrolan yang
satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-
bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balances”
merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang
kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan) sehingga
menimbulkan tirani.
Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law
Dictionary karanagan Bryan A Garner, diartikan sebagai “arrangement of
governmental powers where by powersof one governmental branch check or
25
balance those of other brances”. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan
bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan
mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan konsepsi
checks and balances adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan
pada satu cabang kekuasaan tertentu.
Arti checks and balance itu sendiri adalah saling control dan seimbang,
maksudnya adalah antara lembaga negara harus saling mengontrol kekuasaan
satu dengan kekuasaan yang lainnya agar tidak melampaui batas kekuasaan yang
seharusnya dan saling menjatuhkan. Hal ini sangat penting agar terciptanya
kestabilan pemerintahan didalam negara atau tidak terjadi percampuran antar
kekuasaan dan kesewenang-wenangan terhadap kekuasaan. 35 Mekanisme
checks and balances dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang wajar,
bahkan sangat diperlukan, hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan
oleh seseorang ataupun sebuah institusi, karena dengan mekanisme seperti ini,
antara institusi yang satu dengan yang lain akan bisa saling mengontrol atau
mengawasi, bahkan bisa salin mengisi.36
Masalah pembagian atau pemisahan kekuasaan telah lama menjadi
perhatian dari para pemikir kenegaraan. Pada abad 19 muncul gagasan tentang
pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis, selanjudnya tertuang dalam apa yang disebut
konstitusi. Konstitusi tersebut membuat batas-batas kekuasaan pemerintah dan
jaminan hak-hak politik masyarakat, serta prinsip checks and balances antar
kekuasaan yang ada.
Checks and balances merupakan prinsip pemerintahan presidensial yang
paling mendasar dimana dalam negara yang menganut sistem presidensial
merupakan prinsip pokok agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil.
Didalam prinsip checks and balances terdapat dua unsur yaitu unsur aturan dan
35https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Checks%20and%20
balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20Mahkamah 36 Afan Gaffar, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), h. 89
26
unsur pihak-pihak yang berwenang. Untuk unsur aturan sudah diatur didalam
undang-undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyelengggaraan Pemerintahan,
dimana dalam unsur aturan didalam pemerintahan di Indonesia dinilai cukup
baik namun dalam pelaksanaannya belum optimal, hal ini disebabkan karena
adanya pihak-pihak yang tidak professional dalam menjalankan dan
melaksanakan wewenangnya.
Indonesia setelah perubahan UUD1945 menganut prinsip checks and
balances. Prinsip ini dinyatakan secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan
perubahan UUD 1945, yaitu menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan
negara secara demokratis dan modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem
saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih
ketat dan transparan.37 Suatu pendapat menyatakan bahwa salah satu tujuan
perubahan UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui
pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, serta
pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.38
C. Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum serta hak untuk
memerintah atau bertindak. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan
ilmu hukum, sering ditemukan istilah kewenangan, kekuasaan dan wewenang.
Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan
sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian juga sebaliknya.
Bahkan kewenangan sendiri disamakan juga dengan wewenang. kekuasaan
37 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, h. 64 38 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta : Konstitusi Press, 2012), h. 264
27
biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang
memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).39
Kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal, kekuasaan
yang asalnya diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang hanya
mengenai sesuatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Didalam
kewenanganterdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang
merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan,
tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan bestuur (pemerintah),
tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan
wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum.40
Kewenangan atau Authority memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang atau competence. Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang itu sendiri yaitu suatu
spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa disini adalah subyek
hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka subyek hukum
berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena
perintah undang-undang.
Dalam buku Hukum Administrasi Negara karya Ridwan H.R, halaman 101-
102 beliau menjelaskan bahwa seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu
asas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini peraturan perundang-undangan,
artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-
undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan
39 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998),
h. 35-36 40 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1994), h. 65
28
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, sebagaimana yang
didefinisikan oleh H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt, sebagai berikut :
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan. Dengan kata lain organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal
tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi,
penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dalam satu organ
pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya. Pada delegasi tidak ada
penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat
yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada
pada pemberi delegasi, tetapi beralih kepada penerima delegasi.
3. Mandat
Mandat adalah ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. Penerima mandat hanya bertindak
untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang
diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat.41
Philipus M. Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge, membagi
kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang
selanjudnya disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama,
kewenangan untuk memutuskan mandiri;kedua, kewenangan interpretasi
terhadap norma-norma tersamar (verge norm).42
41 H.R Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006), h.
101-102 42 Philipus M. Hadjon, op.cit, h. 112
29
D. Terorisme Dalam Pandangan Peraturan Perundang-Undangan dan
Hukum Islam
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’
yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau mengetarkan. Kata ‘Teror’ juga
bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian dihati dan pikiran
korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa
diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah
konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme
menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang
yang tidak berdosa.
Terorisme pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun
2018, dijelaskan, bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan
kekeraan atauancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa
takut secara meluas, yang dapat menimbukan korban yang bersifat masal,
dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif
ideologi, politik atau gangguan kekacauan.43
Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud adalah perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan melawan hukum dan menimbulkan
bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang
pingsan atau tidak berdaya dan, perbuatan secara melawan hukum berupa
ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerak tubuh, baik dengan maupun tanpa
menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat
menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau
mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.44
Ada yang mengatakan, seseorang bisa disebut sebagai teroris sekaligus juga
sebagai pejuang kebebasan. Hal itu tergantung dari sisi mana memandangnya.
43 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 44 Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme
30
Itulah sebabnya, hingga saat ini tidak ada definisi terorisme yang diterima secara
universal. Masing-masing negara mendefinisikan terorisme menurut
kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan
nasionalnya.
Salah satu pertanyan yang menghantui banyak akademisi dan pengambil
kebijakan dewasa ini adalah mengapa aspirasi politik di era kontemporer
sekarang ini sering kali muncul dalam bentuk kekerasan, paham radikal dan
bahkan tidak jarang berubah menjadi tindakan terorisme ?, pertanyaan tersebut
sekaligus memberi penjelasan tentang tindakan terorisme dengan memaparkan
faktor-faktor yang melatarbelakanginya dan membuat profil. Fenomena
terorisme yang mengatasnamakan agama tidak berarti ia muncul karena ajaran
agama tersebut.
Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan ancaman dan berbagai
macam kasus-kasus tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 1. Kasus-kasus tindak pidana terorisme di Indonesia
NO TAHUN TEMPAT KORBAN
1 4 Oktober 1984 BCA Pacenongan, Glodok dan Gajah Mada.
2 Orang tewas
2 Desember 1984 Gedung Seminari
Alkitab Asia Tenggara
Malang, Jawa Timur.
-
3 20 Januari 1984 Candi Borobudur -
4 16 Maret 1985 Bus Pemudi Ekspres di
Banyuwangi Jawa
Timur
-
5 13September1991 Mranggen, Demak, Jawa Tengah
-
6 18 Januari 1998 Rumah Susun, tanah tinggi Jakarta
-
7 11 Desember. 1998 Atrium Plaza Senen,
Jakarta Pusat -
8 Januari 1999 Ramayana, Jl. Sabang, Jakarta
-
31
9 April 1999 Plaza Hayam Wuruk -
10 19 April 1999 Masjid Istiqlal 2 Orang Luka
11 20 Oktober 1999 Depan Balai Sidang
Senayan dan Bundaran
HI
1 Orang Tewas, 15 Luka-
luka
12 28 Mei 2000 Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik, Medan
23 Orang Luka-luka
13 4 Juli 2000 Gedung Bundaran Kejagung
-
14 4 Juli 2000 Kejaksaaan Agung,
Jakarta Selatan -
15 3 Agustus 2000 Kediaman Dubes Filipina, Jakarta Pusat
2 Orang Tewas, 21 Orang
Luka-luka
16 27 Agustus 2000 Depan Dubes Malaysia -
17 13September2000 Gedung Bursa Efek Jakarta
10 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka
18 24Desember2000 Gereja-gereja Jakarta 17 Orang Tewas, 100
Orang Luka-luka
19 18 April 2001 Tiga Boks Telpon
Umum di Jalan
Percetakan Negara,
Jakarta Pusat
-
20 10 Mei 2001 Asrama Mahasiswa Aceh, Manggarai, Jakarta Pusat
-
21 19 Juni 2001 Rumah Kontrakan,
Pancoran, Jakarta
Selatan
5 Orang Luka-luka
22 4 Juli 2001 Kejaksaan Agung -
23 11 Juli 2001 Jembatan Fly Over Slipi, Jakarta Barat
1 Orang Tewas, 13 Orang
Luka-luka
24 22 Juli 2001 Gereja Santa Anna,
Duren Sawit, Gereja
HKBP, Cipinang,
Melayu, Jakarta
5 Orang Tewas, 72 Orang
Luka-luka
25 1 Agutus 2001 Plaza Atrium Senen,
Jakarta Pusat 6 Orang Luka-luka
26 12 Oktober 2001 KFC Makassar -
27 6 November 2001 Sekolah Australia
(AIS) Jakarta -
28 1 Januari 2002 Rumah Makan Ayam
Bulungan, Kebayoran
-
32
Baru, Jakarta
29 4 April 2002 Hotel Amborina dan
Pembakaran Kantor
Gubernur Maluku
4 Orang Tewas, 47 Orang
Luka-luka
30 9 Juni 2002 Tempat Parkir Hotel
Jakarta, Diskotik Eksotis kota
4 Orang Luka-luka
31 1 Juli 2002 Mal Graha Cijantung,
Jakarta
7 Orang Luka-luka
32 12 Oktober 2002 Bom Bali I 202 Orang Tewas,
Ratusan Lainnya Luka-
luka
33 5 Desember 2002 Mcdonald, Makassar 3 Orang Tewas
34 3 Februari 2003 Wisma Bhayangkara -
35 27 April 2003 Terminal Bandara Soekarno-Hatta
2 Orang Luka-luka
36 5 Agutus 2003 Hotel JW Marriot,
Jakarta
12 Orang Tewas, 150
Orang Luka-luka
37 10 Januari 2004 Lokasi Karaoke, Kafe
Sampodo, Palopo,
Sulawesi
4 Orang Tewas
38 9 September 2004 Kedutaan Australia,
Jakarta
10 Orang Tewas,100
Orang Luka-luka
39 13 November2004 Kantor Polisi Kendari,
Sulawesi
5 Orang Tewas, 4 Orang
Luka-luka
40 12 Desember2004 Gereja Immanuel Palu -
41 21 Maret 2005 Ambon -
42 28 Mei 2005 Pasar Tentena, Sulawesi 22 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka
43 8 Juni 2005 Pamulang, Tangerang -
44 1 Oktober 2005 Bom Bali II 20 Orang Tewas, 129
Orang Luka-luka
45 31Desember 2005 Pasar Palu, Sulawesi 8 Orang Tewas, 48 Orang
Luka-luka
46 17 Juli 2009 Hotel JW Marriot, Ritz
Carlton, Jakarta
9 Orang Tewas, 41 Orang Luka-luka
46 15 Maret 2011 Masjid Mapolresta Cirebon
25 Orang Tewas
47 25 September 2011 GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah
1 Orang Tewas, 28 OrangLuka-Luka
48 9 Juni 2013 Masjid Mapolres Poso, 1 Orang Tewas, 1 Orang
33
Sulawesi Tengah Luka-Luka
49 14 Januari 2016 di sekitar Plaza Sarinah -
50 24 Mei 2017 Kampung Melayu45 3 Orang Tewas, 14 Orang Luka-Luka
51 13-14 Mei 2018 di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Pada malam harinya, sebuah bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Keesokan harinya, sebuah bom meledak di Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur46
15 Orang Tewas, Puluhan Orang Luka-Luka
52 10 Oktober 2019 Menkopolhukam Wiranto ditusuk oleh penyerang menggunakan kunai saat kunjungan kerja di Pandeglang, Banten47
-
53 13 November 2019 Markas Polrestabes Medan di Jalan HM Said, Kota Medan, Sumatera Utara48
1 Orang Tewas, 6 Orang Luka-Luka
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun
sudah ada ahli yang merumuskan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali
mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang
gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya
tanpa dilanda keraguan, tidak merasa diskriminasi serta dimarjinalkan.
Kejelasan definisi ini diperlukan banyak pihak, disamping demi kepentingan
45 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 130 46 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia44097913#:~:text=Bom%20meledak%20di%
20tiga%20gereja,kata%20seorang%20pejabat%20polisi%20setempat. diakses 21 Oktober 2020 47 https://news.detik.com/berita/d-4740919/kronologi-penusukan-wiranto-di-pandeglang.
diakses 21 Oktober 2020 48 https://nasional.kompas.com/read/2019/11/13/12054511/kronologi-ledakan-bom-
bunuh-diri-di-polrestabes-medan?page=all. diakses 21 Oktober 2020
34
atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib
dihormati oleh semua orang beradab.
Memang tidak bisa disalahkan jika kata terorisme dikaitkan dengan
persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena akibat terorisme,
banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah
dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas-
jelas dipertaruhkan. Namun demikian, komunitas sosial keagamaan yang
mengenalkan bentuk implementasi keagamanyang dikenal sebagai bagian dari
strategi perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori
“jihad”.49 meskipun dengan menggunakan kategori “jihad”, tetapi jika manusia
yang tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak
berantakan, serta negara dilanda disharmonisasi nasional, maka kategori “jihad”
itu patut dipertanyakan.50
Ketiadaan definisi hukum internasional mengenai terorisme tidak berarti
meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum nasional
masing-masing negara-negara, disamping bukan berarti meniadakan sifat jahat
perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme
bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, begitu bunyi sebuah asas
hukum tua, yang bermakna, bahwa tiada kejahatan yang boleh dibiarkan berlalu
begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme sudah bukan
lagi sekedar Internasional crime dan sudah menjadi internastionally organized
crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini tanpa adanya
kerjasama dan pemahaman yang sama di kalangan negara-negara.51
Perlu kita sadari bahwa fenomena terorisme bukanlah memonopoli satu
agama atau bangsa. Beberapa aksi teror yang muncul menunjukan bahwa
terorisme tidak memiliki agama atau tanah air. Ia bisa dilakukan oleh umat
49 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 21 50 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 22 51 Bali Post, 2 November 2002.
35
bangsa mana pun. Munculnya organisasi gerakan teroris yang mengatasnamakan
Islam juga tidak berarti sepenuhnya ia muncul karena ajaran agama, disini
terdapat problematika yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam itu
sendiri nabi sudah meriwayatkan dalil hadist yang berkaitan dengan gerakan
terorisme yang mengatasnamakan islam ini sebagai berikut :
1. Ibnu umar meriwayatkan bahwasannya Nabi SAW bersabda:
لاح فليس منا من حمل علينا الس
Artinya : “barang siapa yang membawa senjata untuk (menakuti-
nakuti) kami, maka dia bukanlah golongan kami.” (H.R: Al-Bukhari)
2. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda:
من خرج من الطاعة، وفارق الجماعة فمات، مات ميتة جاهلية
Artinya : ”barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri
dari golongan, lalu dia mati, maka mayatnya jahiliyah.”(H.R: Muslim)
Semua agama menghadapi persoalan yang serius terkait dengan praktik
keagamaan para penganutnya. Terorisme muncul lebih dikarnakan oleh faktor-
faktor struktural yang melingkupi satu komunitas tertentu, ketimbang tafsir
tertentu atas ajaran agama, meskipun pada gilirannya nanti tafsir tersebut
digunakan untuk melegitimasi gerakan teror yang dilakukan. Pada saat inilah
orang mengambil kesimpulan secara serampangan bahwa tindak terorisme
muncul karna paham agama tanpa dasar yang jelas.
Agama, Islam contohnya sering menjadi kambing hitam dalam setiap aksi
terorisme, walaupun banyak orang mengatakan bahwa terorisme tidak ada
kaitannya dengan Islam, sebab tindakan kejahatan seseorang harus dibedakan
dengan unsur agama, karna setiap tindakan manusia akan selalu kembali lagi
kepada pilihan, kesadaran dan latar belakang individu manusia tersebut. Islam
adalah suatu ajaran yang suci dan mengedepankan kedamaian sebagaimana yang
36
diajarkan oleh Rosulullah, sedangkan yang melakukan atau berbuat kejahatan
adalah individu manusianya. Jadi islam harus dibedakan antara agama dengan
dan latar belakang individunya.52
Kejahatan terorisme telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Tidak lama
setelah berakhirnya Perang Dunia I, yakni ketika liga bangsa-bangsa (The
Leagues Of Nations) menyusun rancangan konvensi tentang terorisme
(Terrorism Convention) yang ditanda-tangani 24 negara pada 1937, para ahli
hukum yang didukung akademisi di kampus-kampus Eropa, mulai mendorong
negara-negara meratifikasi konvensi terhadap kejahatan terorisme pada waktu
itu. Dalam perkembangan berikutnya, setelah Perang Dunia II berakhir,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memberikan perhatian pada isu
terorisme. Perhatian PBB bermula pada 1963, ketika munculnya berbagai
langkah perjuangan kemerdekaan negara-negara baru berujung pada konflik
bersenjata yang menjurus pada kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan itu
mengambil bentuk kekerasan politik yang dilakukan tanpa memperhitungkan
banyaknya korban dari masyarakat sipil, mulai dari penculikan, pemerkosaan,
serangan bersenjara di tempat umum, serangan gerilya, peledakan bom,
pengusiran paksa hingga pembajakan pesawat terbang. Terorisme dipaksa untuk
selalu dipandang sebagai fenomena global yang mengancam tatanan dunia. Ada
semacam norma internasional bahwa semua negara harus turut menolak atau
menentang terorisme.
Ada sebuah teori tentang terorisme menurut Evans (politisi) dan Murphy
(profesor hukum). terorisme adalah penggunaan kekerasan yang disengaja, atau
ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada
sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggung jawab pihak yang
diserang. Hal ini dimaksud untuk mengkomunikasikan kepada pihak yang
diserang, adanya ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi dimasa
mendatang (the intention use of violence or the threat of violence by
52 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 51
37
precipitators against an instrumental target in order to communicate to a
primary target a threat of the future violence).53
Dalam fikih Islam klasik, tidak mengenal istilah tindak terorisme, hal ini
karena istilah terorisme tidak lahir dari dunia Islam. Akan tetapi bisa
dianalogikan dengan tindak pidana hirabah karena keduanya memiliki kesamaan
usur dan kriteria. Yakni keduanya sama-sama memiliki unsur perbuatan yang
mengancam struktur kedamaian hidup masyarakat luas, dan juga menimbulkan
berbagai ketakutan, kerusakan baik secara materil maupun immateril, serta
menimbulkan berbagai korban jiwa.
Terorisme dilihat dari konteks tindak pidana, sebagaimana dalam fatwa
MUI, maka terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah
dalam khazanah fiqh Islam. Para fukaha mendefinisikan pelaku hirabah ini
dengan “orang-orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan
menakut-nakuti mereka menimbulkan rasa takut dikalangan
masyarakat.54Dalam syari’at Islam hal itu termasuk bagian kecil dari kejahatan
hudud hirabah, yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacuan di masyarakat
sehingga mengganggu ketentraman umum. Dalam pengertian ini akan
mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar
melakukan tindakan kekerasan, provokator, koruptor kakap yang menggoncang
perekonomian nasional, dan tentunyapelaku peledakan bom.55
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar dalam bukunya “Maqashid Syari’ah”
berpendapat bahwa tindakan teroris ini bisa dianalogikan kepada kelompok
pelaku hirabah yaitu keluarnya sekelompok orang atau seseorang yang memiliki
kekuatan menuju jalanan umum dengan tujuan untuk menghalangi
perjalanan, merampas harta, menganiaya jiwa dan nyawa, atau menakut-nakuti
orang-orang yang ada dalam perjalanan tersebut, dengan mengandalkan
53 Pengertian ditulis oleh Evans dan Murphy 1978 54 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme 55 ZA Maulani, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h.
166-168
38
kekuatan.56Maka jika menakuti-nakuti ditengah jalan dan mengambil harta maka
dipotong tangan dan kakinya secara berselang. Jika mengambil harta dan
membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya lalu disalib. Apabila membunuh
dan tidak mengambil harta maka dibunuh. Jika tidak mengambil harta dan tidak
membunuh, maka mereka diasingkan”.
Abu Yusuf berkata: “Apabila dia mengambil harta dan membunuh, maka
dia disalib dan dibunuh atas kayu”. Abu Hanifah berpendapat apabila dia
membunuh maka dia dibunuh pula, apabila mengambil harta dan tidak
membunuh maka dipotong tangan dan kakinya dengan berselang. Apabila
mengambil harta dan membunuh, maka sulthan memilih mana yang lebih baik,
Apakah memotong tangan dan kaki atau dibunuh dandisalib. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa apabila dia mengambil harta, maka dipotong tangannya yang
kanan. Jika masih mengambil harta, maka dipotong kakinya yang kiri. Sebab hal
ini sama saja dengan mencuri cuma saja hirabah ini dilakukan dengan kekerasan.
Apabila dia membunuh, maka dia dihukum bunuh. Apabila mengambil harta dan
membunuh, maka dibunuh dan disalib.
Dr. Asmawi, M.Ag menulis dalam bukunya yang berjudul Teori Maslahat
dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia yang
berbunyi. Secara normative-doktriner, tindak pidana hirabah kemungkinan
wujudnya itu ada 4 (empat) Tipe 1. Wujudnya berupa melakukan tindakan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (mugalabahi) yang hanya
menimbulkan suasana teror atau rasa takut pada korban (ikhfat al-marrahlal al-
sabil) dan ini dipidana dengan pidana pengasingan atau pidana penjara. Tipe 2.
Wujudnya berupa melakukan tindakan-tindakan dengan kekerasan atau
ancaman kekarasan (mugalabah) yang menimbulkan suasana teror atau rasa
takut dan terampasnya harta benda korban (akhdz al-amwal) dan ini dipidana
anputasi tangan dan kaki secara bersilang. Tipe 3. Wujudnya berupa melakukan
tindakan dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
56 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati (Kuwais), Judul
Asli: Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet, Ke-1, h. 199
39
suasana teror atau rasa takut dan tewasnya korban dan ini dipidana dengan
pidana mati. Tipe 4. Wujudnya berupa melakukan tindakan dengan kekerasan
dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut serta
menimbulkan kerusakan atau kehancuran sarana dan lingkungan.57
Selain itu, dalam objek fiqh siyasah menurut Abdurrahman Taj, adalah
seluruh perbuatan mukallaf dan hal ihwal yang berkaitan dengan tata cara
pengaturan masyarakat dan negara sesuai dengan jiwa dan tujuan syariat,
kendatipun hal yang diatur itu tidak pernah disinggung baik dalam Al-Qur’an
maupun as-sunnah. Dengan kata lain, objek studi fiqh siyasah adalah berbagai
aspek perbuatan mukallaf sebagai subyek hukum yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diatur berdasarkan
ketentuan yang tidak bertentangan dengan nash syariat yang bersifat universal.
Senada dengan pendapat diatas, Abdul Wahab Khallaf menyatakan, objek studi
fiqh siyasah adalah berbagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan
untuk mengatur negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan
kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai kebutuhan
hidup.58
Hukum Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk mewujudkan dan
memelihara lima sasaran pokok (maqāşhid asy-syarīah) yaitu: perlindungan
terhadap agama (hifz-ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz-an-nafs),
perlindungan terhadap akal (hifz al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz-
an-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz-al-mal).59Tindakan teror jelas
merupakan perlawanan terhadap unsur pokok yang kedua dan kelima; hifz an-
nafs dan hifz al-māl. Terorisme didalam Al-Quran tidak digambakan atau
dijelaskan secara jelas justru penjelasan didalam Al-Quran lebih mengarah
kepada orang-orang yang mengangkat senjata melawanorang banyak dan
57 Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus
di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 232-233 58 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga), 2008, h. 16 59 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 60-63
40
menakut-nakuti mereka menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat, jika
dikaitkan dengan keadaan pada masa sekarang hal tersebut lebih mengarah
kepada kasus begal, penodongan atau perampokan dari pada tindakan terorisme.
Dalam objek kajian fiqh siyasah, sebagaimana Suyuti Pulungan rangkum
dari beberapa pendapat ulama:60
1. Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan
landasan ideologi dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2. Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
3. Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan
kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
60 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali, 1994), h. 28
41
BAB III
KEWENANGAN TNI, POLRI, DAN BNPT DALAM TINDAK PIDANA
TERORISME
A. TNI
Didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme
dikatakan bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia
merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara,
keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan dan berbagai aspek
kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara,
terorganisasi dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu
sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah,
terpadu dan nerkesinambungan, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Perihal isi undang-undang tentang terorisme, telah menimbang terkait
unsur-unsur kejahatan yang serius, tindak pidana terorisme, dapat dikategorikan
telah memasuki ranah keamanan negara dan kedaulatan negara disini peran TNI
bisa masuk, dan turut ambil bagian dikarnakan bagian tugas dari TNI adalah
sebagai lembaga perlindungan negara dan keamanan negara. Karna dijelaskan
pula, menimbang bahwa adanya kerterlibatan orang atau kelompok orang serta
keterlibatan warga negara indonesia dalam organisasi didalam atau diluar negeri
yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak
pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan
masyarakat, bangsa dan negara, serta perdamaian dunia.
Dari pemaparan di atas TNI disini memiliki kewenangan dan dapat ikut
turun andil dalam menangani tindak pidana terorisme. Merujuk kepada pasal 5
dan 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia peran dan fungsinya, TNI sebagai alat negara dibidang pertahanan
yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik
negara. Dan dilanjutkan pada pasal selanjutnya untuk menegakkan kedaulatan
42
negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.61
Jika kita merujuk kepada undang-undang dengan mengunggunakan sudut
pandang kepastian hukum, idealnya undang-undang menjelaskan siapa yang
memiliki kewenangan dalam melakukan pelaksanaannya. Akan tetapi, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme ini tidak ada satupun pasal
yang menyebutkan secara tegas, terkait kewenangan dalam menangani tindak
pidana terorisme ini, disini mengalami masalah dan pedebatan terkait
kewenangan dalam menindak kasus terorisme.
Dalam konteks yang terdapat pada permasalahan kewenangan sudah terjadi
dikalangan pemerintahan perihal masalah kewenagan, dikarnakan TNI ingin
masuk dan andil dalam menganani kasus terorisme ini bukan hanya terlibat jika
diperlukan. Kejelasan dalam kewenangan sangat berperan penting dikarnakan
hubungan antara lembaga harus dibuat jelas untuk menghindari adanya tumpang
tindih mengenai kewenangannya.
Dalam ketenentuan peran TNI di sini memiliki beberapa point yang
dijelaskan di dalam undang-undang terorisme ini. dipaparkan sebagai berikut,
Menurut pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme62,
menjelaskan pula point yang berkaitan dengan masuknya kewenangan TNI
dalam tindak pidana terorisme ini, dipaparkan bahwa tugas Tentara Nasional
Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer
selain perang, dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi
terorisme diatur dengan Peraturan Presiden. Menurut pasal 7 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
menjelaskan terkait tugas pokok TNI, yang bertujuan untuk mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
61 Lihat pasal 5-6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia 62 Lihat pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme
43
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilanjutkan pula diayat selanjutnya
terkait tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat 1.63
Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang serius, dilakukan
dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan sengaja,
sistematis, dan terencana yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara
meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau terseleksi,
cenderung hal ini tumbuh menjadi bahaya simetrikyang membahayakan
keamanan dan kedaulatan negara.
B. Polri
Dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi yang melibatkan
masyarakat Indonesia yang bergabung dengan organisasi tertentu yang radikal
dan telah ditetapkan sebagai organisasi teroris, atau organisasi lain yang
bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah ketindak pidana
terorisme, baik didalam maupun diluar negeri, telah menimbukan ketakutan
masyarakat dan berdampak pada kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya,
keamanan dan ketertiban masyarakat maka disini penting peran penegak hukum
yaitu lembaga kepolisian
Sebagaimana tugas kepolisian menjamin keamanan dalam negeri
merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat yang madani,
adil, makmur dan beradab berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeliharaan keamanan dalam negeri
merupakan upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan
kewenangan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku
alat negara yang dibantu masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
63 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia
44
(HAM). Seperti yang dipaparkan pada pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, keamanan dalam
negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan,
ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.64
Kepolisian mempunyai kewenangan didalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2018 Tentang Terorisme, membaca secara taktis langkah teror tersebut,
dalam pemberantasan kelompok terorisme di Indonesia, memang polisi yang
terus menangani, karena terorisme adalah pelanggaran hukum berat.65 bahkan
bisa disimpulkan bahwa di dalam undang-undang ini kewenangan dalam
menanggulangi terorisme, disebutkan beberapa kali dipasal-pasal undang-
undang terorisme terkait penyidik, penyelidik dan penegak hukum yang
dimaksud didalam pasal-pasal tersebut adalah tugas yang sama didalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polisi memiliki satuan khusus dalam menangani tindak pidana terorisme
yaitu Detasemen Khusus 88 atau Densus 88. Densus 88 adalah satuan khusus
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas untuk penanggulangan
teroris di Indonesia, pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk
menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga
merupakan anggota tim Gegana. Detasemen 88 dirancang sebagai unit anti
teroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari
ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88, dipusat (Mabes Polri) yang
terdiri dari ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang
didalamnya terdapat ahli penembak jitu.
Selain itu, masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti-teror
Densus 88, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi
Densus Polda adalah memeriksa laporan aktifitas terorisme di daerah.
64 Lihat pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Tentang Terorisme Tahun 2002 65 Prayitno Ramelan, Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror di Dunia dan Indonesia,
(Jakarta : Grasindo, 2017), h. 156
45
Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang
yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan
keutuhan dan keamanan Negara R.I.
Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur
Jendral Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Detasemen 88 yang awalnya
beranggotakan 75 orang ini dipimpin oleh Ajun Komisaris Tito Karnavian yang
pernah mendapat pelatihan di beberapa negara dan sekarang diteruskan oleh M
Syafii yang mulai menjabat sejak 3 Febuari 2017.66
Densus 88 dibentuk Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 juni 2003
untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
yang telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang
Terorisme, yaitu kewenangan melakukan penangkapan berasal dari laporan
intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang
tersebut popular di dunia sebagai “Anti-Terrorism Act”.
Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti-Terrorism Act), yang jika dilafalkan
dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty
Eight (88). Jadi, arti angka 88 bukan seperti yang selama ini beredar bahwa 88
adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari
Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.
Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Jasa
Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri
AS dan dilatih langsung oleh istruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service.
Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS, terdapat
bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam
pembentukan dan oprasional Detasemen Khusus 88. Pascapembentukan Densus
88 dilakukan pula kerjasama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan
66 Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, (Jakarta : Gramedia, 2015), h.
27
46
Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan Undang-Undang pemberantasan
Tindakan Pidana Terorisme pasal 43.
Satuan pasukan khusus baru Polri ini dilengkapi dengan persenjataan dan
kendaraan tempur buatan berbagai Negara, seperti senapan serbu Colt M4,
senapan serbu Steyr AUG, Hk MP5, senapan penembak jitu Armalite AR-10 dan
Shorgun Remington 870, bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat
C-130 Hercules sendiri untuk meningkatkan mobilitasnya. Sekalipun demikian,
kelengkapan persenjataan dan peralatan Densus 88 Masih jauh bahwa pasukan
antiteror negara maju seperti SWAT team di Kepolisian Amerika.67
C. BNPT
Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam
rapat kerja dengan kementerian kordinator bidang politik hukum dan keamanan,
pada tanggal 12 Juni 2006 dan 31 Agustus 2009, telah merekomendasikan
kepada pemerintah tentang perlunya membentuk suatu badan yang berwenang
melakukan tugas penaggulangan terorisme. Selubung dengan rapat kerja dan
telah direkomendasikannya oleh DPR maka terbentuknya Badan Penanggulanan
Nasional Terorisme (BNPT).
BNPT berkordinasi dengan lembaga atau kementerian Komunikasi dan
Infomatika (Kemenkominfo). Namun, strategi hard approach ternyata dinilai
belum cukup efektif, sebaliknya, malah menimbulkan kontra di masyarakat.
BNPT justru dianggap sebagai lembaga yang hanya memerangi situs
Islam.68Untuk mengimbangi hal tersebut, BNPT lantas membuat kebijakan soft
approach. Kebijakan tersebut meliputi Kontra Ideologi, Kontra Propaganda dan
Kontra Narasi dengan membentuk Pusat Media Damai (PMD). Tugas pokok dan
fungsi PMD adalah memonitoring dan menganalisis perkembangan propaganda
radikal dunia maya. PMD melakukan pemantauan terhadap perkembangan
67 Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, (Jakarta : Gramedia, 2015), h.
28 68 Dian Tamitiadini, Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi Bencana: Teori
dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di Indonesia, (Malang : UB Press, 2019), h. 107
47
ideology radikal yang ada di dunia maya. Setelah terpantau, tim melakukan
pengelolaan multimedia sebagai instrument kontra propaganda. PMD mengelola
berbagai macam media sebagai instrumen kontra propaganda, yang meliputi
media cetak, media online, media penyiaran, dan media luar ruangan. Media
cetak terdiri dari poster, leaflet, flayer, brosur, buku, tabloid, bulletin, jurnal,
majalan dan koran yang terbit secara berkala. Media online meliputi 4 situs, yaitu
yang bersidat informatif (www.damailahindonesiaku.com), edukatif
(www.jalandamai.com), berisi komunitas damai (www.damai.id), serta situs
duta damai Indonesia, social messanger, social media, dan aplikasi online. Pada
tahun 2016, BNPT juga mengembangkan program baru yaitu Duta Damai
Maya.69
Badan Penanggulangan Nasional Terorisme yang selanjutnya disebut BNPT
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan dipimpin oleh
seorang Kepala.Dijelaskan terkait tugas BNPT pada pasal 2 dan dilanjutkan pada
pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang
Badan Penanggulangan Nasional Terorisme sebagai berikut :
1. BNPT Mempunyai Tugas :
a. Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme;
b. Mengkordinasikan instansi pemerintahan terkait dalam
pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang
penanggulangan terorisme;
c. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme
dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari
unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
2. Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan
69 Dian Tamitiadini, Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi Bencana: Teori
dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di Indonesia, (Malang : UB Press, 2019), h. 106
48
penyiapan kesiapsiagaan nasional. 70 Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 diatas BNPT menyelenggarakan
fungsi :
a. Penyususnan kebijakan, strategi dan program nasional di bidang
penanggulan teorisme;
b. Monitoring, analisa, dan evaluasi di bidang penanggulangan
terorisme;
c. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan
propaganda ideologi radikal di bidang penganggulangan terorisme;
d. Koordinasi pelaksanaan deradikalisasi;
e. Koordinasi pelaksanaan perlindungan terhadap obyek-obyek yang
potensial menjadi targat serangan terorisme;
f. Koordinasi pelaksanaan penindakan, pembinaaan kemampuan, dan
kesiapsiagaan nasional;
g. Pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penanggulangan
terorisme;
h. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program,
administrasi dan sumber daya serta kerjasama antar instansi;
i. Pengoprasian satuan tugas-satuan tugas dilaksanakan dalam rangka
pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan
penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan
terorisme.71
Dalam hal terjadinya tindak pidana terorisme, BNPT dikoordinasikan oleh
mentri kordinator bidang politik, hukum dan keamanan sebagai pusat pengendali
krisis. Pusat pengendalian krisis ini berfungsi sebagai fasilitas Presiden untuk
menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis termasuk
pengerahan sumber daya dalam penaggulangan aksi terorisme dan dalam
70 Lihat pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme 71 Lihat pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
49
melaksanakan tugas dan fungsinya. Tetap saja dalam penanganan terorisme
masih belom maksimal dan potensi radikalisme bisa kapan saja meningkat.
Lembaga penegak hukum di Indonesia dalam menangani terorisme belum
memiliki standar oprasional yang lebih canggih. Hal ini bisa dipahami antara
lain karena keterbatasan dana dan anggaran serta SDM yang belum seimbang
dengan beban tugas dan target yang diamanahkan dan hendak dicapai. Cepat
atau lambat, jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan memanen persoalan
mendasar yang tidak mudah diselesaikan. 72 Terorisme merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai
jaringan yang luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional, oleh karna itu memerlukan penanganan secara terpusat,
terpadu dan terkoordinasi. Terorisme merupakan ancaman yang serius dan setiap
saat mengancam keamanan dan keutuhan negara.
72 Alius Suhardi, Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama,2019), h. 198
50
BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM
MENANGANI TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS
UNDANG – UNDANG TERORISME NOMOR 5 TAHUN 2018
A. Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
Secara garis besar, tujuan dari aksi terorisme dapat dibagi dalam 4 kategori
besar, yaitu:
1. Irrational Terrorism
Irrational Terrorism adalah teror yang motif atau tujuannya bisa
dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam kategori
ini misalnya saja salvation (pengorbanan diri) dan madness (kegilaan).
2. Criminal Terrorism
Criminal Terrorism adalah teror yang dilatarbelakangi motif atau tujuan
berdasarkan kepentingan kelompok, teror oleh kelompok agama atau
kepercayaan tertentu dapat dikategorikan ke dalam jenis ini. Temasuk
juga kegiatan kelompok bermotifkan balas dendam (revenge).
3. Political Terrorism
Political Terrorism adalah terror bermotifkan politik. Batasan mengenai
poltical terror sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional
yang dapat dibakukan. Figur Yasser Arrafat bagi masyarakat Israel
adalah tokoh teroris yang harus diesksekusi, tetapi bagi bangsa
Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula sebaliknya dengan
founding fathers negara Israel yang pada waktu itu dicap sebagai
teroris, setelah Israel merdeka mereka dianggap sebagai pahlawan
bangsa dan dihormati.
Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok mengenai
tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana mereka berada.
Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang sudah mapan alam
demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, tujuan mereka
51
adalah mengubah kebijakan. Sementara kelompok teroris yang berada
di negara yang belum mapan institusi demokrasi dan supremasi
hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak
stuktur politik. Persamaanya adalah teror sebagai alat yang digunakan
untuk “menekan” atau mengubah keseimbangan.
4. State Terrorism
State Terrorism ini semula dipergunakan PBB (United Nation) ketika
melihat kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan, Israel dan negara-
negara Eropa Timur. Kekerasan negara terhadap warga negara penuh
dengan intimidasi dan berbagai penganiayaan serta ancaman lainya,
banyak dilakukan oleh oknum negara termasuk penegak hukum,
misalnya saja penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa juga terjadi
melalui kebijakan ekonomi negara yang dibuatnya. Terorisme yang
dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan untuk dan atas nama
kekuasaan, stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi elite. Untuk dan
atas nama tersebut, negara merasa sah untuk menggunakan jalur
kekerasan dalam segala bentuk guna merepresi dan memadamkan
kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat sampai pada kelompok-
kelompok yang memperjuangkan aspirasinya dengan mengangkat
senjata
Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik73, ada dua
bentuk terorisme yang pertama adalah teror kriminal yang menggunakan cara
pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat
menimbulkan ketakutan atau teror psikis, teror kriminal biasanya hanya untuk
kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Bentuk kedua adalah teror
poitik. Teror politik tidak memilih-milih korban. Teror politik selalu siap
melakukan pembunuhan tehadap orang-orang sipil, baik laki-laki maupun
73 Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,
Hukum, dan HAM, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 40
52
perempuan, dewasa atau anak-anak tanpa mempertimbangkan penilaian politik
dan moral.
Berkaitan dengan maraknya opini publik yang mengaitkan terorisme dengan
perbuatan yang bermotifkan agama hal ini perlu dikaji ulang, dikarenakan
terorisme itu lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan akibat perlakuan tidak adil
yang berlangsung lama dan kelihatan tidak ada harapan perubahan. Hasil ini
dikemukakan dalam seminar tentang terorisme yang diselengarakan Lembaga
Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI).
Tragedi peledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme
harus tentu diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya
terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan
terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme
dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman
tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan
yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan
teroris. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik dari
segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan
pariwisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan
untuk pencegahan dan penanggulangannya.
Dalam fikih Islam klasik, tidak mengenal istilah tindak terorisme, hal ini
karena istilah terorisme tidak lahir dari dunia Islam dan tidak ada pada zaman
penyebarannya. Adanya faham teroris ini timbul karna adanya fanatisme agama
yang berlebih dan akibat gagal pemahaman yang mendalam terhadap Islam itu
sendiri. Akan tetapi dalam perspektif hukum Islam tindak pidana terorisme, jika
dianalogikan dengan tindakpidana hirabah karena keduanya memiliki kesamaan
usur dan kriteria walaupun tidak sepenuhnya sama persis.
Tindak Pidana terorisme sebagaimana fatwa MUI, dianggap telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana jarimah, yaitu hirabah merujuk dalam
khazanah fiqh Islam. Para fukuha mendefinisikan pelaku hirabah ini dengan
53
“orang-orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-
nakuti mereka, menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat.74 Dalam syari’at
Islam hal ini termasuk bagian kecil dari 8 jenis kejahatan hudud, yaitu hirabah,
yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacauan di masyarakat, sehingga
mengganggu ketentraman umum. Dalam pengertian ini sudah termasuk atau
mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut orang lain untuk
melakukan tindak kekerasan, provokator, koruptor kakap yang menggoncang
perekonomian nasional, dan tentunya pelaku peledakan bom.75
Penjelasan Ali Imron selaku terpidana kasus terorisme di Indonesia pada
saat diundang di Indonesian Lawyer Club (ILC) edisi “Misteri Kasus Penusukan
Wiranto” pada tanggal 15 oktober 2019, beliau menjelasan terorisme yang ada
di Indonesia, dimana beliau menyimpulkan bahwa terorisme di Indonesia,
mereka terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok teroris yang afiliasinya
dengan Al-Qaeda dan kelompok teroris yang afiliasinya dengan ISIS, dua
kelompok teroris itu memilik tujuan yang sama diantaranya sebagi berikut;
1. Ingin mendirikan negara islam dan menyebarkan paham khilafah.
2. Melaksanakan jihad fisabilillah dan bagian-bagian dari jihad tersebut.
Dua tujuan diatas menurut mereka (kelompok teroris yang afiliasinya
dengan Al-Qaeda dan kelompok teroris yang afiliasinya dengan ISIS) saling
memiliki hubungan, bagi mereka tidak mungkin mendirikan negara Islam tanpa
dalam jalan jihad (perang), oleh karna itu mereka akan melaksanakan jihad
sampai kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. Mereka selama ini dalam
aksinya selalu menunggu momen, karna bagi mereka mendirikan sebuah negara
Islam didalam sebuah negara NKRI pasti akan selalu berbenturan, oleh karna itu
bagi mereka harus ada keyakinan atau akidah yang bisa mereka jadikan
pembenaran atas tindakan mereka.
74 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme 75 ZA Maulani, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h.
166-168
54
Ali Imron pun memaparkan bahwa akidah dan keyakinan dari dua kelompok
paham terorisme yang berafiliasi ke Al-Qaeda maupun ISIS tersebut tidak bisa
dipukul rata, karena ada bermacam-macam pemahaman aqidah. Beliau
mengutarakan bahwa ada pemahaman yang paling radikal, yang dimana
dikarenakan Indonesia bukan negara islam 100% yaitu berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, maka siapapun yang menjadi pejabat yang
berada diwilayah tersebut yang muslim statusnya (thaghut)76 dan yang non
muslim adalah (kafir), semuanya boleh diperangi dan semuanya boleh diserang.
Namun beliau juga memberitahukan bahwa ada pula paham dari mereka para
pelaku teroris tersebut yang paling ringan tingkat radikalnya, yaitu diantaranya
memiliki pemahaman bahwa meskipun NKRI ini tidak berdasarkan 100% Islam,
bagi muslim yang berada di Indonesia tetap setatusnya sebagai muslim tetapi
mereka hanya fasik karena tidak memberlakukan hukum islam secara dalam
dikehidupannya. Beliau selaku pelaku bom bali dan dari kelompok jamaah
Islamiyah, kebanyakan memiliki pemahaman yang tidak terlalu radikal. Ada
alasan mengapa mereka menggunakan paham yang tidak terlalu radikal, karena
apa yang mereka lakukan akan berbenturan dengan hukum syariah.
Dari sudut pandang Islam, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Azyumardi Azra, mengatakan terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya
bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos
kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam
menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan dan
kehormatan. Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-
cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai
dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus
diperjuangkan dan dibela setiap manusia.
76Istilah thaghut digunakan kelompok garis keras atau kelompok yang diciptakan garis
keras untuk memberi stigma buruk kepada musuh-musuhnya. Secara keseluruhan thaghut
kemudian diartikan sebagai segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang
sesat, manusia durhaka, tirani, atau siapapun yang mengajak kesesatan. Misal dalam Menyusun
undang-undang semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.
55
Perkembangan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan
dan Langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan dengan kepada
kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karna masyarakat Indonesia adalah
msyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau
yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan
dengan negara lain. Selanjutnya, dengan karakteristik masayarakat Indonesia
tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan
meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala macam bentuk kegiatan yang
merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat Internasional.
Konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan
bangsa dan negara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan
tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat
internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun oleh
warga negara asing.
Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan terorganisir,
sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan
dan berkerjasama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan semata-mata
merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga marupakan
masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah
ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan
pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam
kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak
asasi tersangka terdakwa.
Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas
menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi
peradaban umat manusia dan memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga
56
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat
di tengah-tengah gelombang surut perdamaian dan keamanan dunia.
B. Analisa Sistem Kerja, Kewenangan, Kepastian Hukum dan
Penanganan Lembaga Penegak Hukum (POLRI, TNI DAN BNPT)
Terhadap Kasus Tindak Pidana Terorisme
1. Sistem kerja
Menanggapi kasus penanganan dan sistem kerja terkait permasalahan
terorisme dengan kaca mata hukum, mengutip pendapat Lawrence M.
Frieman, didalam hukum dan sistem hukum terdapat tiga komponen,
diantaranya, sebagai berikut;77
a. Subtansi, yaitu keseluruahan aturan hukum, norma hukum dari asas
hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.
b. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada
beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para
polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para
hakimnya dan lain-lain.
c. Kultur budaya hukum, yaitu opini-opini kepercayaan-kepercayaan
kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik para
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum
dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Meninjau bagaimana sistem kerja penanganan tindak pidana terorisme,
di sini penulis menganalisa sistem penanganan lembaga-lembaga dan
instansi terkait dalam menangani terorisme, dengan menggunakan teori
teori checks and balances. guna mengetahui dan melihat bagaimana para
77 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (legal Teori) & Teori Perailan (Judicialpruence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence), (Jakarta : Kencana Media Group,
2009), h. 204
57
lembaga ini melaksanakan, penanganan, penindakan serta penanggulangan
terhadap kasus terorisme tersebut.
Kata checks dalam checks and balances berarti suatu pengontrolan yang
satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat
sebebas-bebasnya, yang nanti akan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Sedangkan balances merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar
masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga
menimbulkan tirani.
Mirriam Budiardjo menjelaskan bahwa ajaran mengenai checks and
balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-
lembaga negara mengadaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu
sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerfull dari yang lain.
Prinsip checks and balances bertujuan untuk menghindari adanya
pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga.
Untuk mengetahui bagaimanakah prinsip checks and balances dalam
sistem kerja lembaga pemberantas terorisme antara Polri, TNI, dan BNPT
ada dua hal penting untuk melihat hubungan kerja antara lembaga ini, yakni
struktur lembaga yang menangani dan kewenangan dari atau peran dari
setiap lembaga tersebut. Jika dilihat dari struktur lembaga yang menangani
kasus tindak pidana terorisme ini. Dapat diketahui bahwa Polri, TNI dan
BNPT bersifat kemitraan. yang dimana posisi Polri di sini sebagai tim
pemukul (mencegah, menangani dan menanggulangi) dibentuk sebuah tim
pasukan khusus Densus 88 anti teror untuk menanggulagi segala macam
teror mulai dari teror bom hingga kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Pihak Polri di sini diberikan atribusi oleh undang-undang, dipercaya oleh
pemerintah untuk memberantas terorisme karna sebagai alat untuk menjaga
keamanan negara dari serangan teror ini, dibantu dengan TNI, keterlibatan
Tentara Nasional Indonesia disingkat (TNI) ini sebagai support atau backup
team jika dirasa Polri sudah tidak mampu atau tidak sanggup menangani
58
tindak terorisme yang terjadi atau sedang berlangsung, itu pun harus mandat
dari presiden terlebih dahulu lalu dipertimbangankan oleh dewan legislatif
(DPR).
Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT), dalam menangani
tindak pidana terorisme, pemerintah telah membuat sebuah lembaga khusus
untuk menangani kasus terorisme yang sedang melanda negara kita yang
tercinta ini. Sebuah Strategi soft approach atau strategi pendekatan tidak
langsung. Pemerintah dalam melawan terorisme dalam memberantas
tindakan teror ini menggunakan metode tambahan (soft approach)
dikarnakan usaha strategi yang dilakukan (hard approach) ternyata dinilai
masih belum cukup efektif dan efisien dalam menanggulangi kasus teror ini,
justru malah di masyarakat menimbul berbagai macam kontra. Strategi soft
approach ini antara lain mengunakan metode yang terdiri dari 90 aksi pilar
pencegahan (Kesiapsiagaan, Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi) yang
memiliki 8 fokus, diantaranya penguatan data pendukung, peningkatan daya
tahan kelompok rentan, peningkatan program deradikalisasi dengan
memberdayakan para tokoh agama serta psikolog untuk memberikan
Counter-Narratives78
Hubungan antara tim khusus Polri-TNI dan BNPT merupakan
hubungan mitra kerja, dibentuk untuk menangani terorisme, dengan
kedudukan yang sistematis, dengan strategi kewenangannya masing-
masing, seperti Polri-TNI dengan (hard approach) dan BNPT dengan (soft
approach). Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Polri-TNI dan
BNPT merupakan mitra kerja dan berkerja sama sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing. Sehingga Polri-TNI dan BNPT membangun suatu
hubungan kerja yang saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun
pesaing.
78 https://www.bnpt.go.id/meningkatkan-partisipasi-dan-sinergisitas-pelaksanaan-ran-pe-
kepala-bnpt-kita-mengedepankan-soft-approach
59
Kerjasama/kemitraan antara Polri-TNI dan BNPT dapat dilihat dari
pelaksanaan tugas dalam menangani kasus terorisme ini. yakni Polri dalam
melaksanakan pemberantasan kelompok teroris di Indonesia berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan pemerintah, ditangani oleh tim khusus Densus
88, dilatih khusus untuk menangani segala macam ancaman teror termasuk
teror bom. bersama dengan BNPT, menyusun kebijakan strategi dan
program nasional dibidang penanggulangan terorisme, mengkoordinasi
instansi atau lembaga pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di
bidang penanggulangan teorisme dan membentuk satuan tugas khusus dari
instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing.
Jika dilihat dari kewenangan yang dimiliki Polri-TNI dan BNPT yang
merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang
kewenangan tidak cenderung terlalu kuat yaitu dalam bentuk strategi
penanggulangan terorisme, yakni hard approach dan soft approach. Dengan
melihat apakah dalam hubungan kerjasama/kemitraan antara Polri-TNI dan
BNPT terdapat kesetaraan wewenang masing-masing baik wewenang Polri-
TNI maupun wewenang BNPT.
Dalam analisis masalah ini, indikator yang menentukan terwujudnya
prinsisp checks and balances dalam hubungan kerja antara Polri-TNI dan
BNPT yaitu sebagai berikut :
a. Kedudukan antara Polri-TNI dan BNPT merupakan lembaga atau
instasi mitra kerja dalam melaksanakan penanganan dan
penanggulangan terorisme.
b. Kesetaraan wewenang dibagi menjadi dua bentuk strategi, yakni
hard approach dan soft approach termasuk didalamnya bebagai
macam tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.
60
c. Adanya pengawasan dari presiden dan dewan legislatif terkait
setiap keputusan meliputi wewenang dari lembaga saat
melaksanakan penanganan tindakan terorisme (TNI).
Menurut Abdurrahman Taj memaparkan dalam kajian objek Fiqh
Siyasah, seluruh perbuatan mukallaf dan hal ihwal yang berkaitan dengan
tata cara pengaturan masyarakat dan negara sesuai dengan jiwa dan tujuan
syariat. Bebagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan untuk
mengatur negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan
kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai
kebutuhan hidup. sebagaimana dalam Al-Quran surat An-nissa ayat 58:
وإذا حكمتم بين ٱلناس أن تحكموا بٱلعدل
Artinya : “ …….dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya menetapkan dengan adil”.
Beberapa studi menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik
sehingga karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau
diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkannya.79 Studi lain sebaliknya berpendapat bahwa hukum suatu
bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial budaya
bangsa dan masyarakat yang bersangkutan. 80 Pendapat ini mengandung
79Mengenal hubungan kausalitas antara politik dan hukum, antara lain misalnya dijelaskan
oleh Moh. Mahfud yang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang dapat
menjelaskannya. Pertama, hukum diterminan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik diterminan atas
hukum, karna hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling
berinteraksi dan (bahkan) bersaing. Ketiga, politik dan hukum sebagai sub sistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara satu dengan
yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan publik, tetapi begitu hukum
ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. 80 Mochtar Kusumaatmadja memandang bahwa hukum sebagai kaidah social tidak lepas
dari nilai-nilai (value) social budaya yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa ia katakana bahwa
hukum itu merupakan pencerminan dari nilai yang berlaku dalam masyarakat. Baginaya hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tersebut. Mochtar tidak melihat nilai-nilai (value) dimaksud hal yang status,
tetapi dapat berubah menurut perkembangan peralihan (inrransition) masyarakat yang
bersangkutan
61
makna bahwa produk hukum yang dibentuk seyogyanya harus sesuai
dengan aspirasi dan kesadaran hukum masyarakat.
Untuk konteks Indonesia, maka produk hukum yang dilahirkan
seyogyanya adalah produk hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.Bekenaan dengan hal ini, Pancasila sebagai paradigm dan margin
of appreciation bahwa dalam pembentukan teori dan praktik hukum di
Indonesia harus bertumpu pada etika universal yang terkandung pada sila-
sila Pancasila seperti:
a. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa
keagamaan dan agama sebagai kepentingan yang besar;
b. Menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia baik hak-hak sipil dan
politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya the right dan
dalam kerangka hubungan antarbangsa harus saling menghormati
”the right to development”;
c. Harus mendasarkan persatuan nasional dan pada penghargaan
terhadap konsep “civic nationalism” yang mengaspirasi pluralism;
d. Harus menempatkan indeks values atau “care of democracy”
sebagai alat “audit democracy”; dan
e. Harus menempatakan “legal juctice” dalam kerangka “social
justice” dan dalam hubungan antarbangsa berupa prinsip-prinsip
“global justice”.81
2. Penanganan dan kewenangan Lembaga Penegak Hukum
Kejadian-kejadian teror yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan
sinyal bahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi terorisme
baik internasional maupun domestik. Meningkatnya kewaspadaan secara
81 Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah
disampaikan pada seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke-40 Universitas Pancasila,
Jakarta 07 Desember 2006, h. 11-12
62
fisik semata-mata tidaklah cukup untuk menghadapi oraganisasi terorisme
internasional karena secara organisatoris kelompok-kelompok tersebut
sudah memiliki perencanaan dan persiapan yang sangat diperhitungkan baik
segi operasional, personil, maupun dukungan infrastuktur dan
pendanaannya.
Bagi Indonesia, pencegahan dan pemeberantasan terorisme
memerlukan adanya kecermatan pengamat atas kultur, kondisi masyarakat,
dan stabilitas politik pemerintah. Ketiga faktor tersebut sangat
mempengaruhi efektifitas undang-undang terkait. Konsep barat dan negara
Islam tentang definisi terorisme sangat sulit diterima oleh Indonesia karena
kondisi politik yang terjadi di negara-negara yang berbasis Islam berbeda
secara mendasar baik sisi latar belakang dan perkembangannya dengan yang
terjadi di Indonesia. Begitu pula masyarakat baik dari negara-negara
tersebut maupun dari negara barat berbeda dengan kultur masyarakat
Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui eksistensi multi agama dan
multi etnik dan hidup berdampingan secara damai.
Strategi penanggulanagan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah
diimplementasikan melalu upaya preventif, preemtif dan represif, yang
dijelaskan sebagai berikut :
a. Upaya Preventif
Mengingat keterbatasan dari upaya penal 82 maka perlu adanya
penanggulangan kejahatan yang tidak hanya bersifat penal, akan
tetapi juga dapat mengunakan sarana-sarana atau kebijakan yang
sifatnya non-penal.
Upaya non-penal ini merupakan suatu pencegahan kejahatan,
dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi sehingga upaya
yang sifatnya preventif atau pencegahan. Ini seharusnya harus lebih
82 Penal (Penal Policy) adalah yaitu kebijakan dengan memberdayakan sistem pradilan
pidana atau Criminal Justice System (penegakan hukum pidana)
63
diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Demikian pula WA. Bogner mengatakan, dilihat dari efisiensi dan
efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada upaya yang
bersifat represif. Dalam dunia kedokteran kriminal telah disepakati
suatu pemikiran bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik
daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik Kembali, lebih
baik disini juga berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih
mencapai tujuannya.83
Pengunaan sarana non-penal sebagai upaya untuk menanggulangi
kejahatan dapat dilakukan misalnya dengan penyantunan dan
Pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab
sosial warga masyarakat penggarapan kesehatan jiwa melalui
pendidikan formal, agama dan sebagainya; Peningkatan usaha-
usaha kesejahteraan anak dan remaja; Kegiatan patrol dan usaha
pengawasan lainya dan sebagainya.
Tujuan dari usaha-usaha non-penal adalah memperbaiki kondisi-
kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai
pengaruh preventif terhadap kejahatan. Secara umum pencegahan
kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode
pertama adalah cara moralistic yang dilaksanakan dengan
penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-
undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang
nafsu untuk berbuat kejahatan. Sedangkan cara kedua adalah cara
abiliosinistik yang berusaha untuk memberantas sebab-
musababnya. Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan
ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab,
maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi
kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara
83 W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan, (Jakarta : Pembangunan,
1995). h. 167
64
abiliosinistik. Adapun pencegahan kejahatan melalui pendekatan
kemasyarakatan dalam mengurangi kejahatan dengan jalan
meningkatkan control social informal.84
Langkah preventif yang diambil oleh pemerintah dalam rangka
penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme, yaitu :
1) Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata
api;
2) Peningkatan pengamanan terhadap sistem transportasi
3) Peningkatan pengamanan sarana public;
4) Peningkatan pengamanan terhadap sistem komunikasi
5) Peningkatan pengamanan terhadap VIP;
6) Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatic dan
kepentingan asing;
7) Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi serangan teroris;
8) Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional;
9) Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan
kimia yang dapat dirakit menjadi bom;
10) Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar-
masuk;
11) Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa
dan sebagainya);
12) Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga;
13) Penerbitan pengeluaran kartu tanda penduduk dan
administrasi kependudukan;
14) Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada
asksi teror;
15) Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa;
16) Kampanye anti-terorisme melalui media masa yang
meliputi:
84 Soedjono, Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Alumni, 1982), h. 22
65
a) Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap
aksi teroris;
b) Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat
Tindakan teror;
c) Penggunaan public figures terkenal untuk
mengutuk aksi teroris;
d) Pemanfaatan mantan pelaku teroris yang telah sadar
dalam kampanye anti-terorisme;
e) Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan;
f) Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk
menggugah empati dan solidaritas masyarakat agar
bangkit melawan terorisme;
17) Penyelenggaran pelatihan pers yang meliputi berita tentang
aksi terorisme;
18) Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.
b. Upaya Preemtif
Upaya preemtif dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
1) Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan
kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk
mengeliminir eksrimisme dan radikalisme pemahaman
ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis
garis keras.
2) Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai
berikut :
a) Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan
politik yang dapat mengakomodir aspirasi
kelompok radikal.
b) Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang
potensial mengarah kepada tindakan teror dalam
penyelesaian konflik Tindakan terror dalam
66
penyelesaian konflik secara damai melalui dialog,
negosiasi dan sebagainya.
c) Penawaran konsesi politik bagi kelompok-
kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi
Gerakan formal secara konstitusional.
3) Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakat atau
lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan
atau kemiripan visi dan ideologi dalam dialog dengan
kelompok-kelompok radikal.
4) Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi
terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
5) Program di bidang social-ekonomi, antara lain:
a) Pengentasan kemiskinan.
b) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
c) Penciptaan lapangan kerja.
d) Pengembangan ketenagakerjaan.
e) Pengendalian krurikulum Pendidikan terutama di
bidang keagamaan untuk mencegah disusupkannya
ideologi-ideologi ekstrim-radikal dalam proses
Pendidikan.
6) Pemberlakuan hukum anti terhadap pelaku terorisme di
Indonesia
c. Upaya Represif
Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan
suatu usaha untuk pengamanan masyarakat (social defence) agar
masyarakat dapat terhindar dari kejahatan atau setidak-tidaknya
mengendalikan kejahatan yang terjadi agar berada dalam batas-
batas toleransi masyarakat.
Terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan ini
telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk
menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan
67
terorisme yang dilakukan adalah dengan menggunakan sarana
penal yaitu menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang
berupa pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu
sendiri.85 Akan tetapi ini tidak berarti bahwa penggunaan pidana
sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan.
Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme
adalah sebagai berikut :
1) Pembentukan badan penanggulangan tindak pidana
terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai
Langkah pemberantasan tindak pidana terorisme.
2) Penyerbuan terhadap tempat persembunyian pelaku
terorisme.
3) Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaki tindak
pidana terorisme yang telah terbukti bersalah berdasarkan
bukti-bukti yang ada
Menyadari pentingnya peran personil dalam mengimbangi
kemajuan teknologi dan modus operandi berbagai jenis kejahatan
termasuk terorisme, Polri berupaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, dengan cara memperbaiki kualitas
pendidikan di lingkungan Polri, termasuk pendidikan reserse dan
intelijen di mana fungsi penyelidikan dan analisis diajarkan. Polri
juga mengadakan kerjasama pendidikan dan latihan dengan luar
negeri seperti, AS, Inggris, Australia, Jepang, Jerman dan lain-lain
serta meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa asing dalam
rangka mempermudah berkomunikasi dengan pihak asing guna
85 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung :
Alumni, 1992), h. 149
68
pertukaran informasi untuk meningkatkan kemampuan deketeksi
dini.
Dalam melakukan penegakan hukum, faktor manusia (aparat) penegak
hukum menempati posisi penting. Berhasil tidaknya proses penyelesaian
perkara sangat bergantung pada manusianya, Aparat penegak hukum yang
melaksanakan tugas dengan dibarengi dedikasi yang tinggi, rasa pengabdian
yang tinggi, dan adanya kemampuan profesional yang memadai akan lebih
mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas. Semakin professional, semakin
mempunyai wawasan yang luas dan mengantisipasi rasa keadilan yang ada
dalam masyarakat dan lebih bisa mengatasi permasalahan yang timbul
dalam pelaksanaan tugas. Pada akhirnya pelaksanaan tugas akan membawa
hasil yang optimal.
Sebaliknya, bila kurangnya kemampuan teknis dibidang penegakan
hukum, justru akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum. Dengan
kurangnya kemampuan dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya, akan membawa dampak negatif. Semakin kurangnya
kemampuan, semakin kurang tingkatkeberhasilan dalam pelaksanaan tugas,
seperti yang disampaikan pada hadist berikut :
قال إذا إذا ضي عت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها يا رسول الل
أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
Artinya : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang
sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? 'Nabi
menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancuran itu." (Bukhari-6015)
Prof. Dr. Baharudin Lopa (alm.) berpendapat bahwa jelas akan menjadi
penghambat apabila aparatur penegak hukum kurang mengawasi ketentuan-
ketentuan yang mengatur batas tugas dan wewenang, belum lagi jika kurang
69
mampu menafsirkan dan menerapka peraturan hukum menjadi tugas pokok.
Apalagi kalau mentalnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun
peraturan-peraturan hukum sudah memadai, aparat dalam pelaksanaanya
masih kurang memahami peraturan hukum. Dengan demikian, penegakan
hukum akan mengalami kegagalan.86
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan
inisiatif yang dimunculkan oleh menkopolhukam RI Djoko Suyanto (kala
itu). Badan ini resmi dibentuk setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden
Nomor 46 Tahun 2010. Badan ini sebetulnya merupakan kelanjutan dari
DKPT yang sebelumnya ada di kemenkopolhukam RI. Meskipun badan ini
mempunyai deputi dan pelatihan, BNPT tidak mempunyai kewenangan
menangani langsung, karena hal ini menjadi kewenangan Kepolisian RI.
Lembaga ini juga menjadi jawaban terhadap masalah pemberantasan
terorisme yang selama ini seolah-olah berada hanya ditangan Kepolisian.
Peran serta TNI yang telah sekian lama diabaikan dalam penanggulangan
terorisme dapan diakomodasi melalui BNPT. Bahkan BNPT mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas lagi dalam masalah pecegahan terorisme
dengan cara mengikutsertakan Kementrian Pendidikan Nasional dan
Kementrian Agama serta lembaga-lembaga masyarakat.
Walau sudah ada Densus 88, semua unit khusus yang berkaitan dengan
penanggulangan terorisme tidak dihapus. Asumsi dasar yang muncul adalah
lebih banyak adalah lebih baik jika dapat saling bersinergi dalam mengatasi
terorisme. Akan tetapi kenyataan yang muncul dilapangan berbeda. Ego
sektoral lebih sering terjadi dilapangan karna minimnya koordinasi pada
level atas. Banyak lembaga atau institusi yang dibentuk pemerintah, apakah
itu yang lama maupun yang baru sesungguhnya tidak menjadi masalah
asalkan masing-masing mempunyai fungsi dan peranan yang jelas dan
spesifik. Sayangnya dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga-lembaga ini
86 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, (Jakarta : Raih Asa Sukses,
2012), h. 26-27
70
kerap berada dalam posisi yang tumpah tindih. Hal ini bukan saja karena
ketidakjelasan peran tapi juga berkaitan dengan ego sektoral dan tumpah
tindihnya perangkat aturan hukum yang melingkupinnya.
Konteks aturan hukum disini yang ingin lebih digali sebenarnya
mengenai otoritas unit-unit dalam menjalankan operasinya. Didalam
kepolisian sendiri terdapat empat unit yang berkaitan dalam pemberantasan
terorisme, belum lagi adanya kementrian-kementrian yang berkaitan dengan
masalah terorisme. Didalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan
Presiden tidak terlihat bagaimana mekanisme kerja sama antar lembaga ini
diatur.
Begitu seriusnya masalah kejahatan terorisme dibuktikan dengan
adanya pihak yang mengusulkan agar dibentuk badan baru yang dapat
menjalin koordinasi dan tindakan intelijen dibawah satu atap. Semua usulan
lebih bersifat perubahan bentuk formal yuridis.87Permasalahan tentang siapa
yang berwenangan mengatasi masalah terorisme juga muncul setelah masih
maraknya aksi pemboman yang terakhir di J.W. Marriot dan Ritz-Carlton
pada bulan juli 2009. Presiden SBY (kala itu) kemudian memunculkan
kembali wacana tentang keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme
dalam mebantu Densus 88. Perubahan modus operandi kelompok teroris
dengan sasaran penyerangan terhadap presiden dan simbol-simbol negara
yang lain juga menjadi pertimbangan khusus presiden terhadap keterlibatan
TNI.
Ancaman terorisme adalah ancaman terhadap negara dan keamanan
negara yang membutuhkan partisipasi lebih besar dari aparat, termasuk TNI.
Yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat sipil dengan seruan presiden
SBY ini adalah absennya payung hukum dalam pemberantasan terorisme
serta pelibatan TNI akan memunculkan kekisruhan dalam pelaksanaannya.
87Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 15
71
Tanpa kerangka hukum, koordinasi dan kewenangan hukum akan muncul
persaingan antara TNI-Polri.
Argument dalam pelibatan TNI juga merupakan amanah dari Undang-
Undang tepatnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Operasi
Militer selain Perang. Menurut panglima TNI Djoko santoso (kala itu)
pengaktifan Desk Anti-Teror ini tidak akan bertentangan dengan aktivitas
Densus 88 karena sifatnya lebih kepada pendeteksian, pencegahan bersifat
persuasif selain penindakan. Fungsi pencegahan dan penindakan ini
sebetulnya mengembalikan fungsi TNI sebagai kekuatan sosial.
Agus Widjoyo (akademisi CSIS kala itu) diperlukan peraturan
pemerintah yang lebih rinci dalam menjelaskan kewenagan TNI dalam
mengatasi terorisme. Sehingga tumpah tindih dengan polri serta
kekhawatiran masyarakat diredam. Dadi Susanto, mantan Dirjen Strathan
Kemhan RI juga menyatakan untuk mensinkronkan tugas TNI-Polri perlu
Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara TNI dan Polri sehingga
koordinasi operasional dapat berjalan selaras.88
Jika ingin mensingkronkan kewenangan agar dapat selaras dalam
mengatasi terorisme ini, dibutuhkan adanya kepastian hukum, peran
kepastian hukum disini sebagai perangkat hukum suatu negara yang
menjamin hak dan kewajiban warga Negara.89Mengutip pendapat Sudikno
Mertokusumo, kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam penegakan hukum. Kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti
bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu.90 Masyarakat berharap adanya kepastian hukum, karna
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dan hukum
88 Agus Widjoyo dan Dadi Susanto dapat dilihat di idsps.orgloption,com_docman/task,
doc_download/gid.181/Itemid.15/ 89 Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta : Buku Kompas,
2007), h. 92 90 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit, h. 160
72
akan lebih mudah dicerna masyarakat, karna jelas substansi yang
terkandung didalam hukum. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
untuk tujuan ketertiban masyarakat.
3. Kepastian hukum
Mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan
tidak juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah pihak-pihak
yang bersengketa atau berurusan dengan hukum dalam mencapai keputusan
atau hasil yang diterima dengan lapang dada. Kemudahan dalam mencapai
hukum yang ideal apa bila terjadi keharmonisan antara teori dan praktik.
Selain itu, hukum diharapkan dapat berkembang pesat mengikuti arus
perkembangan zaman untuk mengatur segala Tindakan atau perbuatan yang
berpotensi terjadinya perselisihan, baik perselisihan kecil maupun besar.
Membiarkan teori atau praktik berjalan sendiri-sendiri tanpa saling
melengkapi akan mempengaruhi ekosistem di dalam pelaksanaan hukum itu
sendiri. Tidak kalah penting ketika hukum tertinggal oleh zaman, dimana
arus perubahan terus terjadi mengikuti laju pertumbuhan dari masyarakat,
akan berdampak terhadap eksistensi hukum dan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.
Kepastian hukum disini sebagai salah satu tujuan hukum disamping
keadilan dan kemanfaatan mengandung arti adanya konsistensi dalam
penyelengaraan hukum.91 Konsistensi tersebut diperlukan sebagai acuan
atau patokan bagi perilaku manusia sehari-hari dalam berhubungan dengan
manusia lainnya. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang
konkrit. Bagaimana hukumnnya itulah yang harus berlaku, dan tidak boleh
91 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang asli: problematika filsafat hukum, (Jakarta
: Grasindo, 1999), h. 150
73
menyimpang yang disebut dengan Fiat justitia et pereat mundus (meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).92
Kepastian hukum merupakan perlindungan yutisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenangan, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum, karna dengan adanya kepastian
hukum masyarakat akan lebih tertib, hukum bertugas menciptakan
kepastian hukum karna bertujuan ketertiban masyarakt. Sebaliknya
masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat.
Salah satu aspek dari asas kepastian hukum adalah penegakan hukum.
Peran yang komprehensif dari aparat penegak hukum tidak dapat dibiarkan
begitu saja. Komponen dari masing-masing lembaga yang memiliki peran
dalam mencapai kepentingan hukum harus memiliki sinergi dalam meramu
hukum saat mengimplementasikan kepentingan hukum, sehingga tidak ada
ketimpangan-ketimpangan saat memperaktikannya.
Implementasi hukum berdasarkan kaidahnya secara langsung akan
mempengaruhi tatanan hukum baik vertical maupun horizontal. Artinya
tugas dan wewenang yang dimiliki penegak hukum dapat memberikan
jaminan kepastian hukum terhadap target atau kepentingan hukum yang
hendak dicapai. Cerminan kepastian hukum yang baik dapat dilihat saat
seperangkat hukum dalam penyelanggaraannya, dilaksanakan tanpa adanya
tumpah, tindih dan hambatan dalam pelaksanaannya.
Kepastian hukum, umumnya terkait dengan hukum tertulis. Dengan
kata lain hukum tertulis lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan
92 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit, h. 140
74
hukum tidak tertulis. Namun hukum tertulis bukanlah satu-satunya sumber
hukum. Dalam suatu sistem hukum, 93 terdapat suatu susunan hirarki
peraturan perundang-undangan yang bertingkat dan berjenjang. Secara
materil didalamnya terdapat struktur norma. Norma yang lebih tinggi
menjadi pedoman terhadap norma yang lebih rendah. Struktur norma
tersebut bukan merupakan derivasi94 dari fakta, sehingga ketidakcocokan
suatu norma harus dikembalikan kepada dogma yang lebih tinggi.
Norma secara umum,95 dibedakan antara norma hukum publik dan
norma hukum privat. Tujuan penormaan dalam tataurutan perundang-
undangan adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum atas sikap tindak
yang adil dan benar didalam hubungan warga masyarakat. Beberapa asas
penting dalam mewujudkan kepastian hukum antara lain:
a. Asas lex supriori derogate leg inferiori yang berarti bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatanya
(berada di bawahnya);
b. Asas lex posteriori derogate legi preiori yang berarti peraturan
perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan
perundang-undangan yang telah lama;
c. Asas lex specialis derogate legi generale yang berarti peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus mengalahkan
perundang-undangan yang bersifat umum;
d. Asas non-retroaktif yang berarti asas yang melarang adanya
perarturan perundang-undangan yang berlaku surut.
Jika berbicara kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana
terorisme yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penegak hukum
93 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik – Deskriptif, alih bahasa Sumardi, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), h. 55 94Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan
kata-kata yang berbeda dari paradikma yang berbeda) pembentukan derivasi bersifat tidak dapat
diramalkan. 95Purnadi Purbacaraka, et,al, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1989), h. 7-10
75
merujuk kepada faktor-faktor yang dijelaskan oleh DR. Muhammad Zaidun
S.H.,Msi, adanya suatu perangkat hukum yang demokratis dalam arti harus
aspiratif dan juga adanya suatu struktur birokrasi kelembagaan hukum yang
efisien dan efektif serta transparan, guna tumbuhnya aparat hukum yang
professional dan memiliki intregritas moral yang tinggi. Dalam sistem
pemerintahan demokratis diperlukan mekanisme check and balances.
Karena bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara demokratis yang berdasarkan atas hukum. Mekanisme check and
balances bertujuan mewujudkan pemerintahan yang demokratis, yang
saling dapat mengontrol, menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga
negara atau yang bisa kita sebut dengan cabang-cabang kekuasaan negara.
Terwujudnya supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi,
dan terpenuhinya hak asasi manusia, telah tertata dengan cukup baik dalam
UUD 1945 hasil amandemen yang dilakukan sejak 1999-2002.96
4. Sarana dan Prasaran
Jaringan teroris yang sulit terlacak dan memiliki akses yang luas
membuat permasalahan terorisme menjadi sulit untuk diselesaikan. Anggota
teroris dapat memanfaatkan bebagai kemajuan teknologi global, seperti
internet dan telepon seluler untuk mempermudah berkomunikasi dengan
kelompoknya. Di samping itu, para teroris juga mempunyai kemudahan
untuk melakukan perjalanan dan transportasi lintas negara sehingga sangat
sulit untuk memutuskan rantai jaringan terorisme global tersebut.
Oleh karena itu, kualitas dan kapasitas institusi dan aparat intelijen
perlu ditingkatkan agar dapat menghadapi tantangan teknologi aksi
terorisme dan skala ancaman yang semakin meningkat. Selanjutnya kondisi
kemiskinan dan kesenjangan social yang merupakan media subur tumbuh
96https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Checks%20and%2
0balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20Mahkamah
76
dan berkembangnya sel-sel dan jaringan teroris, perlu menjadi perhatian
utama pemerintah.
Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak
diperlukan untuk memperlancar proses penegakan hukum. Jika tidak adanya
fasilitas atau sarana, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar dan efektif. 97Proses penegekan hukum yang
berjalan sekarang, pada umumnya ada kecendrungan sistem yang terlalu
birokratis sehingga kurang efisien dan efektif untuk mengaplikasikan
keadilan dan kepastian hukum dalam prosedur penegakan hukum yang
terjadi dilapangan, sehingga terjadi tumpah tindih dari masing-masing pihak
lembaga penegak hukum.
Banyak kekurangan dari sisi kelembagaan maupun regulasi, sudah
banyak persoalan yang dialami instansi penegak hukum terkait
penanggulanagan terorisme, seperti kurangnya jumlah personel densus 88
laluada pula keterbatasan dana dan anggaran serta SDM yang belum
seimbang dengan beban tugas dan target yang diamanahkan dan hendak
dicapai. Cepat atau lambat, jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan
memanen persoalan mendasar yang tidak mudah diselesaikan
Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti-teror dan intelijen dalam
menggunakan sumber-sumber primer dan jaringan informasi diperlukan
agar dapat membentuk aparat anti-teror yang professional dan terpadu dari
Polri, TNI dan BNPT. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu
ditingkatkan karena terorisme merupakan permasalahan lintas batas yang
memiliki jaringan dan jalur tidak hanya di Indonesia.
Dalam menangani sisi kekurangan penanganan terorisme Menteri
Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud MD mengungkapkan, rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam
97 Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Supremasi Hukum, (Bandung : Cita
Pustaka Media, 2003), h. 37
77
Mengatasi Aksi Terorisme sudah selesai. Selain itu, ia juga mengatakan
pemerintah telah berdiskusi dengan sejumlah LSM. disampaikan Mahfud
ketika berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak. Mahfud mengatakan
masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan.
Mahfud juga menjelaskan Pelibatan TNI harus terbuka dan Partisipatif
juga meyakini pasukan elit TNI memiliki kemampuan penanggulangan
terorisme, rugi jika kemampuan tersebut tidak dimanfaatkan negara untuk
mengatasi terorisme. "Kalau kita lihat, akan sangat rugi kalau ada pasukan
hebat tidak digunakan untuk mengatasi terorisme. Denjaka, Kopassus dan
pasukan elite lainnya, TNI punya kemampuan penanggulangan terorisme,
tentu sesuai dengan skala, jenis kesulitan, dan situasi tertentu, akan tetapi
Koalisi Masyarakat Sipil Al Araf dalam keterangannya mendesak kepada
pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres
tersebut secara terbuka. Al Araf juga menyebutkan bahwa rancangan
perpres tersebut menimbulkan banyak kontroversi karna adanya pihak dari
masyarakat yang menolak sejak pertama kali digulirkan melalui Kementrian
Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Pulkam).
Penolakan tersebut muncul karna rancangan tersebut diyakini dapat
mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia 98 , dengan
memberikan kewenangan luas dan berlebihan kepada TNI dalam mengatasi
terorisme.
Al Araf mengatakan, setidaknya ada enam prinsip yang harus menjadi
landasan Perpres pelibatan TNI atasi Aksi Terorisme yaitu;
a. Tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer, selain perang,
untuk mengatasi aksi terorisme, fungsinya hanya penindakan,
Menurut Araf, fungsi penindakan tersebut hanya bersifat terbatas.
Misalnya, untuk menangani pembajakan pesawat, kapal, atau
98 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fdc80aa5fb44/alasan-koalisi-agar-
pembahasan-r-perpres-pelibatan-tni-ditunda?page=2 di akses 5 januari 2021
78
terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat. Ia menilai
ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam
penanganan terorisme pada obyek vital strategis. Contohnya,
dalam ancaman terorisme terhadap presiden yang sifatnya harus
aktual.
b. Penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan
politik negara, yakni keputusan Presiden, itu pun dengan
pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(3) jo Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004
Tentang TNI. Menurutnya, keputusan itu harus dibuat secara
tertulis oleh Presiden. Sehingga jelas tentang maksud tujuan,
waktu, anggaran, dan jumlah pasukan dalam pelibatannya.
c. Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri
merupakan pilihan terakhir. Yakni dilakukan jika kapasitas
penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme.
d. Pelibatan TNI bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat
permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan
untuk menghadapi perang.
e. Pelibatan TNI itu harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang
berlaku.
f. Alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya
melalui APBN. Mengingat, fungsi TNI yang bersifat terpusat
sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana
diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya)
memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru
didaerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya
masing-masing," jelas Araf. Ia menambahkan, pemerintah dan DPR harus
benar benar serius dan hati-hati dalam membahas rancangan Perpres
79
tersebut. Sehingga, masukan-masukan yang sudah disampaikan masyarakat
sepatutnyadiakomodasi dalam pembahasan rancangan Perpres tersebut.
menurut Araf, Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran
lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran
baru didaerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun
wilayahnya masing-masing.99
99 https://nasional.kompas.com/read/2020/08/04/06374591/rancangan-perpres-pelibatan-
tni-berantas-terorisme-dikritik?page=all#page4 di akses 5 januari 2021,
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lembaga yang memiliki hak dan kewenagan dalam menangulangi tindak
pidana terorisme adalah Polri (densus 88) dan satuan tugas khusus, dalam
tugasnya memiliki kewenagan untuk melacak, menangkap, dan
menagulangi aktifitas tindak pidana terorisme. Keterlibatan TNI dalam
pencegahan dan penanggulangan terorisme sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku hanya pada kondisi atau situasi tertentu,
jika dirasa kekuatan Polri sudah tidak sanggup menangani. serta atas
keputusan pimpinan negara (Presiden) itu pun dengan pertimbangan dari
dewan legislatif (DPR). Sedangkan BNPT memiliki beberapa point-point
tugas yang mirip dengan lembaga penegak hukum lainnya yaitu,
penyusunan kebijakan, strategi program nasional di bidang penanggulangan
terorisme, lalu di bidang pelaksanaan deradikalisasi atau rehabilitasi para
pelaku-pelaku terorisme.
2. Sistem kerja penegakan hukum dalam menangani terorisme di Indonesia
yaitu ada 2, menggunakan hard approach dan soft approach. hard approach
yaitu dengan strategi penindakan dengan pendekatan tindak langsung,
memerangi terorisme bersamaaparat penegak hukum terkait, menggunakan
dasar-dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang
Terorisme, sementara Soft approach yaitu dengan melakukan program
deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Dalam hal ini. Indonesia melalui
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah meluncurkan
Blueprint deradikalisasi serta mendirikan pusat deradikalisasi bagi
narapidana teroris. Mengacu pada dokumen Blueprint, program
deradikalisasi mencakup rehabilitasi, reintegrasi, dan reedukasi bagi
narapidana teroris dengan memberdayakan para tokoh agama serta psikolog
untuk memberikan Counter-narratives.
81
B. Rekomendasi
1. Kepada Lembaga-Lembaga dan Instansi Penanggulangan Terorisme
Mengutip pernyataan Widjoyo (akademisi CSIS kalaitu) diperlukan
Peraturan Pemerintah yang lebih rinci dalam menjelaskan kewenagan TNI
dalam mengatasi terorisme. Sehingga tumpah tindih dengan polri serta
kekhawatiran masyarakat diredam. Dadi Susanto, mantan Dirjen Strathan
Kemhan RI juga menyatakan untuk mensinkronkan tugas TNI-Polri perlu
Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara TNI dan Polri sehingga
koordinasi operasional dapat berjalan selaras dan perlu ditinjau ulang lebih
serius terhadap kekurangan dari sisi kelembagaan maupun regulasi, banyak
persoalan yang dialami instansi penegak hukum, dikarnakan kurangnya
fasilitas peralatan dan SDM yang belum seimbang dengan beban tugas dan
target yang diamanahkan.
2. Kepada Pemerintah
Perlu adanya keterangan tertulis seperti undang-undang yang tegas, agar
menjadi sumber kejelesan hukum, terkait kewenangan setiap lembaga-
lembaga yang berperan, agar kapasitas atau penyelesaiannya tidak
terhambat kala menindaklanjuti kasus tindak pidana terorisme. Masih ada
beberapa point penting yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan dari
sistem kerja masing-masing lembaganya. Lembaga-lembaga yang memiliki
kewenangan harus saling berkerjasama dengan pemerintah dalam
menyelaraskan pembagian porsi sistem kerja dan kewenangan dari masing-
masing lembaga penegak hukum. Harus ada kesadaran dimana, kewenangan
yang terkesan menggantung ini diselesaikan melalui ketetapan-ketetapan
hukum yang dimusyawarahkan bersama, baik dari pihak pemerintah
maupun pihak lembaga penegak hukum.
82
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Ahmadi, Fahmi Muhammad. dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Cet
1, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Jakarta : Raih Asa
Sukses. 2012
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (legal Teori) & Teori Perailan
(Judicialpruence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(legisprudence), Jakarta :Kencana Media Group. 2009
Alius, Suhardi, Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2019
Ali Syafa’at, Muhammad.Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan
dalam “terorrism, definisi, aksi dan regulasi” Jakarta : Imparsial. 2003
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1998
Effendi, Erdianto. Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Adiatama. 2014
Fatoni, Syamsul.Pembaharuan Sistem Pemidanaan Perspektif Teoritis Dan
Pragmatis Untuk Keadilan, Malang : Setara Press. 2015
Indra, Mexsasai.Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung : Refika
Aditama. 2011
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah-Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001
Kamasa, Frassminggi. Terorisme Kebijakan Kontrra Terorisme Indonesia,
Yogyakarta : Graha Ilmu. 2015
Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum
Nasional Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2011
83
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta :
Liberty, 2007
Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada
Media2016
Purwaka, Tommy Hendra.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PUAJ, 2007
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : Alumni Bandung. 1986
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta : RajaGrafindo
Persada.2006
Sholahudin, Umar. Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang: Setara Press,
2011, hlm. 64
Soekanto, Soerjono.Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Depok : Raja Grafindo 1983
Soekanto, Soerjono. dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pres, 2001
Sofyan, Andi. dan Abd Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta :
Kencana. 2014
Sunardi, Abdul Wahid. dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme
Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, Bandung : Refika
Aditama. 2004
Syarif, Mujar Ibnu. dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008
Tamitiadini, Dian. Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi
Bencana: Teori dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di
Indonesi, Malang : UB Press. 2019
Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, Jakarta :
Grasindo.2015
84
Peraturan-Peraturan (Sesuai Pedoman)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme
Salinan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 Tentang Pencegahan
Tindak Pidana Terorisme Dan Perlindungan Terhadap Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, Dan Petugas Kemasyarakatan
Salinan Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2010 Tentang Badan
Penanggulangan Terorisme
Salinan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD)1945
Salinan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Salinan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme
Salinan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia
Jurnal, Artikel, Karya Ilmiah
Arifin Saleh, Muhammad. Penanganan Terorisme Di Indonesia DitinjauDalam
Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (Ham). Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2015
Daipon, Dahyun. Terorisme Dalam Perspektif Fiqih Siyasah. 2018
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di
Indonesia. 2016
R. Misdillah Almatin, Wulida. Kewenangan DPR Dalam Pengangkatan
Panglima TNI (Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2018
85
Sujudi, Handoko. Implementasi Tugas Dan Wewenang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Di Indonesia. 2014
Sunarto, Prinsip Checks And Balance Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
2016
Jurnal Mahasiswa Fakultas Ushuluddin GonG. Sadawi, ”Peran Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Masyarakat Sipil Mencegah
Radikalisme Agama di Indonesia”, Vol. No.1. 2019
Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya. Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri
Mulyani. “Penerapan Konsep Trias Politika Dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang-
undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen”, Vol. 18
No.2.2016
Windarati Bustami, Febriana. Kerjasama Indonesia Dengan Arab Saudi Terkait
Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018. Jurusan Hubungan
Internasional, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018
Website
https://www.bappenas.go.id/files/3513/4986/1937/bab-
6_2009100794529_2158_7.pdf&ved=2ahUKEwilgl3ZmbTxAhWFUn0KHbnI
CUwQFjABegQIBBAC&usg=AOvVawiZZ09el-39tS9kiZF6x3_f
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
44097913#:~:text=Bom%20meledak%20di%20tiga%20gereja,kata%20seoran
g%20pejabat%20polisi%20setempat
https://www.bnpt.go.id/meningkatkan-partisipasi-dan-sinergisitas-
pelaksanaan-ran-pe-kepala-bnpt-kita-mengedepankan-soft-approach
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fdc80aa5fb44/alasan-
koalisi-agar-pembahasan-r-perpres-pelibatan-tni-ditunda?page=2
86
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Ch
ecks%20and%20balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20
Mahkamah
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/04/06374591/rancangan-
perpres-pelibatan-tni-berantas-terorisme-dikritik?page=all#page4
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/22233471/di-tengah-
pandemi-covid-19-bnpt-imbau-masyarakat-tak-terpengaruh-narasi
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/13/12054511/kronologi-
ledakan-bom-bunuh-diri-di-polrestabes-medan?page=all
https://news.detik.com/berita/d-4740919/kronologi-penusukan-wiranto-
di-pandeglang
https://kemlu.go.id/portal/id/read/95/halaman_list_lainnya/indonesia-
dan-upaya-penanggulangan-terorisme
top related