kk dampingan goiter (gaky)
Post on 27-Oct-2015
96 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAGIAN PERTAMA
HASIL PEMBINAAN KELUARGA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keluarga Binaan
Keluarga binaan yang dibahas dalam laporan ini bertempat tinggal di Desa
Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang termasuk dalam
wilayah kerja Puskesmas Kintamani VI. Di Desa Sekardadi terdapat tiga banjar
yaitu Banjar Sekardadi, Banjar Tinga, dan Banjar Pule dengan terdapat 525 kepala
keluarga. Di wilayah Desa Sekardadi juga terdapat Puskesmas Pembantu
Sekardadi yang merupakan salah satu sarana kesehatan yang ada di desa ini
sehingga banyak dikunjungi oleh penduduk terutama dari Desa Sekardadi. Untuk
mata pencaharian, sebagian besar warga Desa Sekardadi bekerja sebagai buruh
tani. Masih banyak keluarga yang tergolonng miskin di Desa Sekardadi, yaitu
sebanyak 32 KK. Oleh karena itu, dengan banyaknya jumlah keluarga kurang
mampu, kami sebagai peserta PPD ke-72 khususnya yang bertugas di Desa
Sekardadi diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai masalah di bidang
kesehatan, mengupayakan alternatif pemecahannya dengan pendekatan
kedokteran keluarga.
1.2 Tujuan Pembinaan Keluarga Binaan
1. Mampu berkomunikasi secara efektif dengan keluarga binaan untuk
menggali berbagai informasi berkaitan dengan masalah kesehatan.
2. Mampu mengidentifikasi masalah kesehatan, faktor resiko, dan alternatif
pemecahannya di keluarga dan masyarakat.
3. Mampu melakukan advokasi untuk dapat memecahkan masalah kesehatan di
keluarga secara komprehensif dengan pendekatan holistik untuk
meningkatkan perilaku hidup sehat.
1
1.3 Manfaat Pembinaan Keluarga Binaan
1.3.1 Bagi Keluarga Binaan
Memperbaiki persepsi keluarga tentang masalah kesehatan mereka, sehingga
mampu untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap masalah
tersebut.
1.3.2 Bagi Mahasiswa Peserta PPD
Dapat melatih kemampuan berkomunikasi secara efektif, mampu
menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama masa pendidikan di FK Unud
sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat.
2
BAB II
HASIL PENELUSURAN KELUARGA BINAAN
2.1. Karakteristik Keluarga Binaan
Data demografis ketiga keluarga binaan penulis antara lain:
Tabel 1. Data Demografi Keluarga Binaan
No Nama JK Status Umur Pend Pekerjaan Ket
1 Me Soti P Kawin 60 th - Buruh Tani
Wayan Soti L Kawin 39 th SD Buruh Tani Anak
Nengah Sari P Kawin 36 th SD Buruh Tani Menantu
Wayan Sudiana L Belum
Kawin
16 th SMP Pelajar Cucu
2 I Wayan Pasta L Kawin 85 th - Peternak
Ni Wayan
Gemboh
P Kawin 80 th - Buruh Tani Istri
I Wayan Sarma L Kawin 63 th SMA Pengajar Anak
I Nengah Sedek L Kawin 59 th SD Buruh Tani Anak
I Nyoman Srika L Kawin 55 th SD Buruh Tani Anak
Ni Ketut Ranci P Kawin 51 th SD Buruh Tani Anak
Ni Wayan Sumanti P Kawin 49 th SD Buruh Tani Anak
Ni Nengah Reken P Kawin 45 th SD Buruh Tani Anak
Ni Nyoman
Rangin
P Kawin 41 th SD Buruh Tani Anak
Ni Ketut Suwar P Kawin 37 th SD Buruh Tani Anak
Ni Wayan Pinti P Kawin 33 th SD Buruh Tani Anak
I Nengah Parnata L Kawin 29 th SD Buruh Tani Anak
3 I Nengah Kenyus L Kawin 70 th - Buruh Tani
Ni Luh Sutami P Kawin 50 th SD Buruh Tani Anak
Keluarga binaan pertama yaitu keluarga Me Soti terdiri dari 4 orang, yaitu
Me Soti beserta anak, menantu, dan cucunya. Suami Me Soti sudah meninggal 12
3
tahun yang lalu, sehingga kebutuhannya ditanggung oleh anaknya. Me Soti dan
keluarganya bekerja sebagai buruh tani, seperti sebagian besar warga Desa
Sekardadi lainnya. Keluarga binaan kedua dengan KK I Wayan Pasta terdiri dari
12 orang, yaitu KK, istri, dan 10 orang anaknya. Saat ini, seluruh anaknya yang
perempuan sudah menikah sehingga ia hanya tinggal bersama empat ornag
anaknya yang laki-laki. Pekerjaan KK adalah sebagai buruh tani, dibantu juga
oleh penghasilan lain dari beternak. Keluarga binaan ketiga dengan KK I Nengah
Kenyus terdiri dari 2 orang, yaitu KK dan satu anaknya. Istri I Nengah Kenyus
meninggal saat melahirkan, sehingga ia hanya memiliki satu orang anak
perempuan, yang saat ini sudah menikah sehingga I Nengah Kenyus tinggal
seorang diri. Bapak I Nengah Kenyus saat ini ditanggung oleh keponakannya
yang tinggal dalam satu tanah. Pekerjaan KK adalah sebagai buruh tani.
Dari karakteristik keluarga yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat
beberapa hal yang potensial menjadi masalah. Yang pertama adalah tingkat
pendidikan yang rata-rata rendah, dimana sebagian besar tamatan sekolah dasar
(SD), terdapat pula beberapa yang tidak tamat SD, dan hanya dua orang yang
melanjutkan ke sekolah setingkat SMA. Permasalahan yang kedua adalah dari
mata pencaharian dimana sebagian besar bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan ini
memberikan penghasilan yang tidak tentu dan sangat tergantung hasil panen. Di
samping itu juga sebagian besar tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai
buruh tani, sehingga kehidupan keluarga hanya ditopang oleh penghasilan sebagai
buruh tani yang tidak tentu, padahal kebutuhan hidup saat ini semakin meningkat.
2.2 Status Kesehatan Keluarga Binaan
2.2.1 Kondisi Kesehatan Keluarga Binaan
Pada semua keluarga binaan, terdapat masalah kesehatan yaitu nyeri sendi
anggota gerak pada anggota keluarga yang telah berusia lanjut. Pada keluarga
binaan yang pertama dan kedua, terdapat masalah kesehatan berupa benjolan pada
leher depan yang telah didiagnosis sebagai gondok. Pada keluarga binaan ketiga
memiliki masalah dengan penglihatan yang buram, dimana diderita oleh Bapak I
Nengah Kenyus yang sudah berusia lanjut.
2.2.2 Deskripsi Permasalahan Kesehatan
4
Permasalahan kesehatan yang ditemukan pada keluarga binaan I yaitu
kondisi kesehatan Me Soti. Me Soti yang berusia 60 tahun dikatakan menderita
rematik sejak dua belas tahun yang lalu. Selain itu, Me Soti juga dikatakan
menderita gondok/goiter sejak sepuluh tahun yang lalu. Me Soti rutin
mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) Sekardadi atau Puskesmas Kintamani
VIi jika keluhan nyeri sendi tidak dapat ditangani sehingga memerlukan
pengobatan yang lebih lanjut. Nyeri pada sendi gerak dan seluruh badan ini
dikatakan sampai menganggu aktivitasnya setiap hari. Me Soti disuntik sekitar
dua kali dalam sebulan dan mengkonsumsi obat-obatan yang didapat dari dokter
di Puskesmas Kintamani VI dan keluhan dirasakan membaik. Namun, jika obat
tersebut habis, akan muncul nyeri sendi kembali jika beraktivitas terlalu berat dan
di malam hari. Untuk masalah goiter, dapat dilihat adanya pembesaran kelenjar
pada leher, serta terdapat gejala GAKY lainnya seperti badan lemas. Selain Me
Soti, anggota keluarga lain yang tinggal satu tanah dan sudah berusia lanjut juga
banyak yang menderita goiter.
Permasalahan kesehatan yang ditemukan pada keluarga binaan kedua yaitu
Bapak I Wayan Pasta yang berusia 80 tahun kurang lebih sama dengan Me Soti,
yaitu menderita rematik sejak sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Istrinya juga
menderita rematik sejak tiga puluh tahun yang lalu. Beliau dan istrinya rutin
berobat ke pustu Sekardadi, akan tetapi jika tidak memiliki biaya maka beliau
tidak berobat dan tidak dapat bekerja.
Permasalahan kesehatan yang ditemukan pada keluarga binaan ketiga
yaitu Bapak I Nengah Kenyus. Permasalahan yang didapatkan kurang lebih sama
dengan keluarga binaan lain yang berusia lanjut, yaitu rematik yang telah diderita
sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Beliau rutin berobat ke Pustu
Sekardadi atau Puskesmas Kintamani untuk disuntik dan mendapatkan obat
minum. Selain itu terdapat permasalahan penglihatan buram, pada kasus ini
adalah katarak senilis. Kondisi katarak tersebut menyebabkan keterbatasan Bapak
I Nengah Kenyus dalam beraktivitas. Upaya penanggulangan belum dilakukan
mengingat keterbatasan biaya.
2.2.3 Analisis Kondisi Kesehatan
5
Permasalahan kesehatan yang ditemukan pada ketiga keluarga binaan adalah
adanya nyeri sendi anggota gerak tubuh pada keluarga yang berusia lanjut, atau
yang banyak disebut rematik. Usia memang berpengaruh terhadap munculnya
rematik atau nyeri sendi, dimana risiko rematik semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena proses degenerasi tulang rawan
sendi yang semakin bertambah di atas usia 45 tahun. Faktor risiko tersebut
merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Selain itu juga pola hidup dan
aktivitas, dimana berat badan berlebih dan aktivitas yang membebani anggota
gerak dan sendi dapat memperberat. Diupayakan untuk mengurangi aktivitas yang
berat, menjaga asupan makanan, menjaga berat badan ideal, dan pemeriksaan
kesehatan secara rutin. Masalah yang akan dibahas pada kedokteran keluarga pada
laporan ini adalah tentang goiter/gondok atau yang disebut gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY). Penderita GAKY adalah Me Soti, dimana salah
satu faktor penyebab terjadinya gondok adalah kurangnya konsumsi iodium yang
saat ini banyak terdapat di garam beriodium. Keluarga Me Soti sehari-hari
mengonsumsi garam lokal yang tidak mengandung iodium, sehingga disarankan
untuk membeli garam beriodium yang saat ini sudah sangat mudah didapatkan di
pasar atau di toko. Solusi tersebut tidak dapat menyembuhkan keadaan Me Soti,
tetapi dapat mencegah terjadinya penyakit gondok pada keluarga Me Soti yang
lainnya.
Untuk pengobatan, keluarga binaan rata-rata biasanya berobat ke puskesmas
atau ke bidan. Rata-rata biaya pengobatan untuk seluruh keluarga binaan dapat
mencapai lima puluh ribu rupiah per bulannya. Biaya tersebut tentunya dapat
diringankan dengan menggunakan jaminan kesehatan, salah satunya adalah JKBM
atau Jamkesmas. Jaminan tersebut mudah untuk didapatkan, hanya memerlukan
administrasi seperti KTP Bali, surat keterangan tidak mampu, dan surat-surat
lainnya.
2.3 Status Ekonomi Keluarga Binaan
2.3.1 Pendapatan Perkapita Keluarga Binaan
Pendapatan keluarga binaan pertama yaitu Me Soti berasal dari hasil kerja
yang tidak tetap. Faktor daerah yang sebagian besar merupakan perkebunan
6
menyebabkan sebagian besar warga Desa Sekardadi bekerja sebagai petani, begitu
juga dengan Me Soti dan keluarganya. Keterbatasan keterampilan menyebabkan
keluarga Me Soti tidak memiliki sumber penghasilan lain selain dari bertani.
Lahan perkebunan yang digarap merupakan lahan milik keluarga lain, sedangkan
dirinya tidak memiliki lahan sendiri. Selama 1 bulan, Me Soti hanya sekitar empat
kali bekerja ke kebun, sedangkan anak dan menantunya masing-masing sekitar
15-20 kali sebulan. Cucunya yang masih bersekolah juga terkadang membantu
bekerja di kebun. Dari hasil bekerja, keluarga Me Soti menggunakannya untuk
biaya sehari-hari. Total pendapatan keluarga Me Soti untuk tiap bulannya sebesar
satu juta rupiah yang merupakan hasil jerih payah keluarga sebagai petani.
Keluarga binaan kedua yaitu Bapak I Wayan Pasta merupakan keluarga
yang tergolong keluarga yang kurang sejahtera. Istri dari I Wayan Pasta bernama
Ni Wayan Gemboh, beliau mempunyai 10 orang anak. Dua orang anak dari I
Wayan Pasta sekarang tinggal dan bekerja di Lampung sebagai tenaga pengajar. I
Wayan Pasta bekerja lahan peternakan namun lahan tersebut bukan milik beliau,
beliau di percaya mengelola lahan tersebut oleh saudara beliau. Pada dasarnya
pendapatan keluarga Bapak I Wayan Pasta berasal dari hasil beternak ayam dan
sapi serta terkadang dari hasil pembuatan bedeg yang tidak menentu. Beliau tidak
hanya bekerja sendiri, istri dari Bapak I Wayan Pasta pun bekerja sebagai seorang
buruh tani. Adapun sumber penghasilan yang menjadi tumpuan hidup mereka
adalah berasal dari hasil kerja sebagai buruh dan bergelut di bidang perternakan
dikarenakan lokasi dari lahan yang dikelola oleh Bapak I Wayan Pasta sangatlah
jauh, untuk mencapai lahan tersebut harus melewati 2 sungai sehingga
pemanfaatan lahan yang beliau kelola kurang maksimal. Dengan penghasilan I
Wayan Pasta perhari sebagai seorang peternak yaitu kurang lebih Rp. 20.000
dalam tempo waktu 30 hari (sebulan) dapat diterima dengan jumlah Rp. 600.000.
Sedang penghasilan istri dari I Wayan Pasta sebagai buruh pembuat keranjang
dari bambu, dimana pekerjaan istri dari I Wayan Pasta merupakan pekerjaan yang
tidak tetap, kurang lebih penghasilan istri dari I Wayan Pasta per bulannya kurang
lebih sekitar Rp. 300.000. Jadi pendapatan keluarga I Wayan Pasta per bulan
totalnya kurang lebih sekitar Rp. 900.000,-. Pendapatan tersebut diperoleh dari
7
hasil kerja keras beliau dan istrinya sebagai peternak dan buruh pembuat
keranjang dari bambu.
Untuk keluarga binaan ketiga yaitu bapak I Nengah Kenyus bekerja sebagai
buruh pemetik jeruk. Beliau tidak memiliki lahan yang dijadikan untuk berkebun
sehingga beliau hanya mampu untuk bekerja dengan orang lain. Bapak I Nengah
Kenyus dibantu keuangannya oleh keponakannya yang juga sebagai buruh tani.
Hal itu dikarenakan kondisi kesehatan Bapak I Nengah Kenyus yang
membuatnya sulit beraktivitas, sedangkan lokasi tempatnya berkerja juga sangat
jauh dari rumah dimana butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai di
tempat beliau bekerja dengan berjalan kaki. Hal ini dikarenakan keterbatasan
dana, dengan demikian banyaknya pendapatan nominal yang di dapat tergantung
ada tidaknya pekerjaan. Penghasilan Bapak I Nengah Kenyus perhari Rp. 30.000,
dengan kerja yang tidak setiap hari, sehingga tiap bulannya memiliki penghasilan
sebesar kurang lebih Rp. 450.000, dan terkadang pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan pengeluaran lainnya dibantu oleh keponakannya.
2.3.2 Pengeluaran Perkapita Keluarga Binaan
Pengeluaran perkapita keluarga binaan pertama kurang lebih Rp 1.000.000
per bulan dengan rincian Rp 600.000 untuk makan, Rp 200.000 untuk listrik, air,
dan transportasi, Rp 100.000,00 untuk biaya sekolah anak, dan Rp 50.000 untuk
kesehatan.
Pengeluaran perkapita keluarga binaan kedua rata-rata Rp 1.000.000,00 tiap
bulan, dengan rincian kurang lebih Rp. 500.000,00 untuk makan, Rp 200.000,00
untuk listrik, air, dan suka duka, Rp 250.000 untuk persembahyangan, dan Rp
50.000,00 untuk biaya kesehatan.
Keluarga binaan ketiga kurang lebih Rp 450.000,00 dengan rincian Rp
300.000,00 untuk makan, Rp 100.000,00 untuk listrik, air, dan suka duka, dan Rp
50.000 untuk biaya kesehatan.
2.3.3 Kepemilikan Aset Berharga
Keluarga binaan pertama memiliki aset berupa 1 buah TV, rumah dan
pekarangan seluas 1,5 are, dan 1 buah sepeda motor. Keluarga binaan kedua
memiliki aset berupa 1 buah TV, rumah dan pekarangan seluas 2 are, dan 1 buah
8
sepeda motor. Keluarga binaan ketiga memiliki aset berupa rumah dan
pekarangan seluas 1,5 are.
2.3.4. Analisis Status Ekonomi
Penghasilan ketiga keluarga binaan rata-rata hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Yang dipenuhi adalah terutama biaya makan, sisanya untuk
biaya air, listrik dan suka duka, serta biaya sekolah anak, sehingga sedikit sampai
tidak ada yang disisihkan untuk ditabung. Secara umum seluruh keluarga binaan
termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke bawah.
2.4. Lingkungan Fisik Keluarga Binaan
2.4.1 Deskripsi Keadaan Lingkungan Fisik
Keluarga binaan pertama, yaitu keluarga Me Soti tinggal satu tanah dengan
keluarga besarnya, tetapi dalam bangunan rumah yang berbeda-beda. Pekarangan
Me Soti sendiri terdiri dari dua bangunan, yaitu satu bangunan dapur dan satu
bangunan rumah permanen dengan berdinding batako diplester dan lantai semen.
Bangunan dapur terkesan pengap dengan sedikit ventilasi, sehingga saat memasak
banyak asap yang berkumpul di ruangan karena keluarganya masih memasak
dengan tungku kayu bakar. Bangunan rumah terdiri dari empat ruangan, yaitu tiga
ruang tidur dan satu ruang keluarga. Ruang tidur Me Soti mengalami kerusakan,
sehingga hanya terdapat dua ruang tidur yang dapat digunakan; satu ruangan
digunakan oleh Bapak Wayan Soti dan istrinya, dan satu ruangan lainnya
digunakan oleh Me Soti dan cucunya. Me Soti tidak memiliki kamar mandi
sehingga keluarga Me Soti mandi di belakang rumah menggunakan selang dan
tanpa dinding penyekat sehingga dapat terlihat oleh orang lain yang kebetulan
melintas. Dapat dilihat kesenjangan ekonomi dengan keluarga-keluarga besarnya
yang lain, dimana rumah lainnya rata-rata memiliki kamar mandi serta di samping
rumah Me Soti yang dapat dikatakan kurang layak terdapat proyek pembangunan
rumah baru. Untuk air yang digunakan untuk kebutuhan sehari, didapatkan dari
penampungan air hujan yang isinya terbatas sehingga keluarga Me Soti sangat
berhemat dalam penggunaan air.
Keluarga binaan kedua yaitu keluarga Bapak I Wayan Pasta menempati
rumah yang bisa dikategorikan semipermanen dengan lantai dari plester semen
dan temboknya berupa batako yang sudah di plester dan bedeg. Beliau tinggal satu
9
rumah bersama anak pertamanya. Bapak I Wayan Pasta memiliki luas pekarangan
2 are. Rumah itu terdiri dari satu kamar untuk tempat tidur Bapak I Wayan Pasta
dan istrinya dan dua kamar untuk tempat tidur anak pertamanya dan keluarganya.
Bangunan lainnya terdiri atas satu dapur milik Bapak I Wayan Pasta dan satu
dapur lagi milik keluarga anak pertamanya. Dapur yang dimiliki Bapak I Wayan
Pasta berhimpitan dengan bangunan rumahnya sehingga jika memasak, terkadang
asapnya sampai di ruang keluarga. Disana juga terdapat satu sarana MCK yang
bersih yang di sebelahnya terdapat tempat penampungan air hujan yang digunakan
untuk kegiatan sehari-hari dan konsumsi.
Keluarga binaan ketiga yaitu keluarga Bapak I Nengah Kenyus menempati
sebuah rumah yang terdiri dari dua bangunan. Bangunan pertama merupakan
kamar yang ditempati oleh Bapak I Nengah Kenyus beserta keponakan dan
keluarganya yang terdiri dari 3 kamar tidur. Bangunan kedua yaitu dapur. Dapur
ini masih menggunakan tembok beton dan untuk memasak masih menggunakan
tungku kayu bakar. Dapur sudah memiliki banyak ventilasi sehingga saat
memasak tidak terlalu banyak asap, akan tetapi masih terkesan pengap karena
masih agak gelap. Untuk bangunan rumah, tembok dan lantai rumah beliau hanya
berlapis beton yang di plester. Bangunan rumah terlihat sudah memiliki banyak
ventilasi dan terkena sinar matahari. Kemudian untuk penerangan, rumah Bapak I
Nengah Kenyus telah menggunakan lampu rendah daya listrik. Untuk keperluan
sehari-harinya Bapak I Nengah Kenyus menggunakan air hujan baik untuk mandi
maupun memasak dan dikonsumsi. Sebelum diminum air hujan yang ditampung
dalam bak besar yang terdapat dihalaman rumah direbus terlebih dahulu. Sarana
MCK Bapak I Nengah Kenyus termasuk kurang memadai dimana lantainya licin
sehingga dapat membahayakan beliau yang penglihatan dan kondisi kesehatannya
kurang baik.
2.4.2 Analisis Status Lingkungan Fisik
Secara umum untuk keadaan lingkungan fisik pada ketiga keluarga binaan
masih berada di bawah standar yang memadai. Pada keluarga binaan pertama
tidak memiliki sarana MCK yang memadai dan jamban. Keluarga binaan pertama
dan kedua memiliki masalah dalam lingkungan yang terkesan kotor, pengap, serta
ventilasi yang kurang. Sedangkan keluarga binaan ketiga sudah memiliki ventilasi
10
yang baik dan lingkungan yang lumayan bersih, akan tetapi sarana MCK kurang
memadai untuk digunakan oleh orang tua dimana lantainya yang licin.
2.5 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
2.5.1 Deskripsi PHBS Pada Keluarga Binaan
Pada keluarga binaan pertama yaitu Ibu Me Soti, perilaku hidup bersih dan
sehat termasuk masih kurang. Hal ini dapat terlihat dari kondisi lingkungan, baik
di dalam maupun di luar rumah yang kurang bersih dan kurang tertata rapi. Dapur
keluarga Me Soti menggunakan tungku sehingga banyak asap yang dihasilkan,
akan tetapi dapurnya hanya memiliki sedikit lubang udara sehingga banyak asap
yang menumpuk di dalam ruangan saat memasak. Hal tersebut tidak baik untuk
kesehatan. Kebersihan dapurnya juga kurang dijaga dimana peralatan masak dan
makan tidak ditutup sehingga banyak lalat dapat hinggap diatasnya. Selain itu,
keluarga Me Soti tidak memiliki sarana MCK yang memadai. Tidak adanya
kamar mandi dan jamban membuat keluarga Me Soti melakukan aktivitas MCK di
belakang rumah tanpa dinding penyekat. Selain itu BAK dan BAB dilakukan di
kebun belakang rumah tanpa fasilitas air yang memadai. Padahal di samping itu,
rumah-rumah keluarga lain di tanah yang sama sudah memiliki kamar mandi dan
jamban, akan tetapi keluarga Me Soti tidak meminjam kamar mandi rumah lain
karena malu. Penampungan air hujan yang terletak di samping bangunan rumah
juga kotor, dimana air yang tergenang seperti itu dapat menjadi tempat
berkembangnya jentik nyamuk. Minimnya persediaan air juga membuat keluarga
Me Soti cenderung tidak sering mencuci tangan dan tidak cuci tangan
menggunakan sabun, serta mandi hanya satu kali sehari. Untuk makan sehari-hari,
keluarga beliau sudah rutin mengonsumsi sayur dan buah akan tetapi kurang
beragam, dengan lauk tahu tempe atau ikan.
Masalah yang sama juga ditemukan pada keluarga I Wayan Pasta, terutama
yang berhubungan dengan air bersih dan perilaku cuci tangan. Air yang digunakan
yaitu dari penampungan air hujan yang kurang bersih, selain itu juga terbuka
sehingga dapat menjadi sarang nyamuk. Perilaku cuci tangan dengan sabun juga
kurang diterapkan. Untuk mandi juga hanya satu kali sehari yang disebabkan
karena udara yang dingin dan terbatasnya air. Fasilitas MCK sudah baik dan
11
sudah memiliki jamban yang memadai. Untuk keperluan makanan sehari-hari
biasanya diambil dari ladang dengan menu nasi, sayur sayuran, dan terkadang
diselingi tempe, tahu ataupun ikan pindang. Akan tetapi terdapat anggota keluarga
yang merokok, yaitu anak pertamanya yang terkadang merokok di dalam rumah
saat bersama keluarga atau tamu.
Pada keluarga I Nengah Kenyus sudah berupaya menerapkan kebiasaan
hidup bersih dan sehat. Keluarga I Nengah Kenyus sudah sadar akan perilaku cuci
tangan dan menggunakan air bersih untuk konsumsi dan keperluan sehari-hari.
Keponakan beliau terkadang membeli air bersih untuk digunakan apabila air hujan
yang ditampung sudah habis. Sarana MCK juga sudah memadai dan memiliki
jamban, akan tetapi lantainya terlalu licin sehingga dapat membahayakan bagi
orang tua yang memakainya. Untuk keperluan makan keluarga beliau sudah rutin
mengonsumsi sayur dan buah akan tetapi kurang beragam, dengan lauk tahu
tempe atau ikan. Aktivitas fisik tentunya sudah cukup dimana hampir setiap hari
Bapak I Nengah Kenyus bekerja di ladang, dan jika tidak bekerja beliau rutin
membersihkan rumah dan sekitarnya karena beliau senang dengan lingkungan
yang bersih.
2.5.2 Analisis Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Pada ketiga keluarga binaan masih berupaya menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat, namun permasalahan yang ditemui terkait dengan kebiasaan
untuk mandi hanya sekali sehari karena ketersediaan air bersih yang minim dan
udara dingin, serta kebiasaan cuci tangan dengan air tanpa sabun. Selain itu pada
salah satu keluarga binaan yaitu keluarga Me Soti yang tidak memiliki jamban
dan tidak mau meminjam jamban dari tetangga, kebiasaan BAB masih dilakukan
di ladang belakang rumah sehingga higienitasnya sangat kurang. Dalam hal menu
makanan, sebagian keluarga binaan mengonsumsi makanan yang kurang beragam,
yaitu nasi, sayur, dan terkadang ikan atau telur sehingga nilai gizi sangat kurang
karena tidak memenuhi standar makanan 4 sehat 5 sempurna, sedangkan masih
ada anggota keluarga yang masih dalam masa pertumbuhan yang membutuhkan
banyak zat gizi.
12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Keluarga Binaan
Dari segi karakteristik yang ditemukan adalah sebagian besar KK bekerja
sebagai buruh tani. Beberapa ada yang bekerja sebagai peternak, dan memiliki
pekerjaan sampingan sebagai pengrajin bambu. Tingkat pendidikan rata rata
masih rendah sebagian besar hanya tamat SD, bahkan ada yang tidak bersekolah.
Akan tetapi kesadaran akan melanjutkan ke pendidikan yang tinggi sudah ada,
dimana dapat dilihat bahwa keluarga yang memiliki anak usia pelajar
menyekolahkan anaknya sampai ke tingkat yang lebih tinggi, disini adalah
keluarga Me Soti yang menyekolahkan cucunya ke SMK. Saat ini sudah banyak
beasiswa yang ditawarkan dalam bidang pendidikan, alangkah baiknya jika hal
tersebut dimanfaatkan. Hal tersebut tentunya akan membuat biaya pendidikan
tidak terlalu memperberat keuangan keluarga dan anak/cucu dapat melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga dapat membantu menopang
kehidupan keluarga dengan pekerjaannya nantinya.
3.2 Status Kesehatan Keluarga Binaan
Permasalahan kesehatan yang ditemukan pada ketiga keluarga binaan adalah
adanya nyeri sendi anggota gerak tubuh pada keluarga yang berusia lanjut, atau
yang banyak disebut rematik. Usia memang berpengaruh terhadap munculnya
rematik atau nyeri sendi, dimana risiko rematik semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena proses degenerasi tulang rawan
sendi yang semakin bertambah di atas usia 45 tahun. Faktor risiko tersebut
merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Selain itu juga pola hidup dan
aktivitas, dimana berat badan berlebih dan aktivitas yang membebani anggota
gerak dan sendi dapat memperberat. Diupayakan untuk mengurangi aktivitas yang
berat, menjaga asupan makanan, menjaga berat badan ideal, dan pemeriksaan
kesehatan secara rutin. Masalah yang akan dibahas pada kedokteran keluarga pada
laporan ini adalah tentang goiter/gondok atau yang disebut gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY). Penderita GAKY adalah Me Soti, dimana salah
13
satu faktor penyebab terjadinya gondok adalah kurangnya konsumsi iodium yang
saat ini banyak terdapat di garam beriodium. Keluarga Me Soti sehari-hari
mengonsumsi garam lokal yang tidak mengandung iodium, sehingga disarankan
untuk membeli garam beriodium yang saat ini sudah sangat mudah didapatkan di
pasar atau di toko. Solusi tersebut tidak dapat menyembuhkan keadaan Me Soti,
tetapi dapat mencegah terjadinya penyakit gondok pada keluarga Me Soti yang
lainnya.
Untuk pengobatan, keluarga binaan rata-rata biasanya berobat ke puskesmas
atau ke bidan. Rata-rata biaya pengobatan untuk seluruh keluarga binaan dapat
mencapai lima puluh ribu rupiah per bulannya. Biaya tersebut tentunya dapat
diringankan dengan menggunakan jaminan kesehatan, salah satunya adalah JKBM
atau Jamkesmas. Jaminan tersebut mudah untuk didapatkan, hanya memerlukan
administrasi seperti KTP Bali, surat keterangan tidak mampu, dan surat-surat
lainnya.
3.3 Status Sosial Ekonomi Keluarga Binaan
Ketiga keluarga binaan mendapat penghasilan dari pekerjaan yang tidak
tetap sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Penghasilan yang
tidak begitu besar diharapkan mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga,
dimana kebutuhan keluarga tidak tetap dan dapat selalu bertambah setiap saat.
Selain itu, tingkat pendidikan yang tergolong rendah juga menyulitkan mereka
mencari pekerjaan lain. Melihat hal tersebut, saran yang paling mungkin diberikan
adalah membiasakan keluarga untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk
ditabung, baik pada koperasi simpan pinjam dengan sistem yang baik ataupun
menabung sendiri di rumahnya. Tabungan ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan di masa depan seperti untuk membiayai sekolah
anak atau cucu, atau menjadi modal usaha. Selain menabung, juga disarankan
untuk memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami tanaman sayur atau bunga
yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan persembahyangan keluarga agar tidak
perlu membeli. Tanaman-tanaman tersebut selain dapat dijual juga dimanfaatkan
sendiri bagi anggota keluarga. Dengan beberapa alternatif pemecahan yang telah
14
di berikan sangat diharapkan dapat membantu memperbaiki keadaan kehidupan
keluarga binaan.
3.4 Lingkungan Fisik
Terdapat masalah yang krusial yaitu pada keluarga binaan Me Soti yang
tidak memiliki jamban. Sarana MCK merupakan bagian yang terpenting yang
perlu diperhatikan dalam menunjang kesehatan keluarga. Tidak adanya sarana
MCK membuat segala kegiatan seperti mandi, BAK, dan BAB menjadi tidak
higienis. Untuk itu, keluarga ini diberikan pengertian tentang pentingnya
kebersihan dan menyarankan untuk membuat sarana MCK, minimal membuat
suatu dinding penyekat untuk mandi agar tidak terlihat oleh warga yang kebetulan
lewat dengan memanfaatkan tumpukan kayu yang ada di halaman rumahnya serta
melakukan pembersihan sarana ini minimal 2x seminggu. Untuk masalah tidak
adanya jamban, tentunya sudah diberikan pengetahuan tentang pentingnya jamban
dan apa saja akibat yang dapat ditimbulkan dengan tidak adanya jamban.
Membuat jamban merupakan hal yang sulit bagi keluarga Me Soti dari segi
keuangan, sehingga sementara ini dianjurkan untuk meminjam jamban dari rumah
lain. Dilakukan juga pendekatan dengan KK lainnya yang memiliki jamban di
tanah yang sama dengan Me Soti agar bersedia meminjamkan jambannya untuk
BAK dan BAB demi meningkatkan taraf hidup Me Soti dari segi kesehatan.
Sembari melakukan hal tersebut, diberikan contoh cara pembuatan jamban yang
sederhana yaitu jamban cemplung mengingat sedikitnya air, atau jika
memungkinkan dan jika terdapat biaya, dapat membuat jamban leher angsa.
Selain itu, ketiga keluarga binaan memiliki bak penampungan air hujan yang
terbuka, sehingga lingkungan tersebut dapat menjadi salah satu tempat untuk
berkembang biaknya nyamuk. Disarankan untuk menutup tempat penampungan,
serta memakai bubuk abate yang telah diberikan oleh puskesmas pada bak dan
penampungan air.
Kebersihan lingkungan juga mencakup kebersihan di dalam maupun di luar
rumah. Kondisi rumah keluarga binaan pertama dan kedua kurang ventilasi
sehingga sangat sedikit cahaya yang dapat masuk dan sirkulasi udara yang tidak
begitu baik menyebabkan suasana pengap dan tidak sehat. Selain itu, dapur yang
15
kurang ventilasi membuat asap banyak berkumpul di dalam dapur sehingga dapat
mengganggu kesehatan. Untuk itu disarankan agar dibuatkan ventilasi udara dan
rumah seharusnya dapat dibersihkan setiap harinya. Sedangkan lingkungan luar
rumah, disarankan agar memperbaiki keadaan parit serta selalu membersihkannya
sehingga mencegahnya menjadi sumber sarang nyamuk. Selain itu juga
disarankan agar membersihkan halaman setiap pagi dan sore hari serta
mempersiapkan tempat pembuangan sampah yang baik. Kemudian, setelah
terkumpul semua sampahnya, sampah dapat dikelola sesuai manfaatnya misalnya
sampah organik sebagai pupuk kompos. Dengan informasi-informasi yang telah
diberikan diharapkan bermanfaat bagi keluarga ini dan adanya kesadaran akan
pentingnya hidup sehat dalam keluarga.
3.5 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Pada ketiga keluarga binaan masih berupaya menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat, namun permasalahan yang ditemui terkait dengan kebiasaan
untuk mandi hanya sekali sehari karena ketersediaan air bersih yang minim dan
udara dingin, serta kebiasaan cuci tangan dengan air tanpa sabun. Untuk itu sudah
diberikan edukasi tentang pengetahuan perilaku bersih dan sehat khususnya dalam
pemanfaatan air. Selain itu pada salah satu keluarga binaan yaitu keluarga Me Soti
yang tidak memiliki jamban dan tidak mau meminjam jamban dari tetangga,
kebiasaan BAB masih dilakukan di ladang belakang rumah sehingga higienitasnya
sangat kurang. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sudah diberikan saran untuk
membuat jamban sederhana, atau setidaknya membuat ruangan untuk mandi
dengan bahan yang tidak permanen yaitu kayu yang ada di halaman rumah.
16
BAB IV
SIMPULAN
4.1 Simpulan
1. Keluarga-keluarga binaan di Desa Sekardadi memiliki lingkungan fisik
tempat tinggal yang kurang bersih dan sehat, beberapa masih belum
memiliki jamban, tidak adanya tempat pengelolaan sampah, serta masih
adanya persepsi yang salah tentang konsep sehat-sakit di lingkungan
keluarga binaan yang kemungkinan disebabkan rendahnya tingkat
pendidikan.
2. Selama kegiatan PPD ke-72 ini, khususnya di desa Sekardadi telah
dilakukan beberapa konsep kedokteran keluarga terutama menyangkut
promosi kesehatan dengan memberikan KIE dan motivasi baik kepada
pihak penderita dan juga keluarganya tentang penyakit yang sedang atau
pernah diderita.
4.2 Saran
1. Seluruh anggota keluarga hendaknya turut mendukung proses
pengobatan penderita dengan ikut menjaga kebersihan dan kesehatan di
lingkungan sekitar.
2. Persepsi sehat-sakit yang salah di masing-masing keluarga binaan diubah
secara perlahan dengan melibatkan dukungan kader-kader kasehatan dan
peran serta pihak puskesmas yang lebih intensif misalnya dengan
memberikan penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan bagaimana hidup
sehat yang baik.
3. Dibutuhkan peran aktif dari petugas kesehatan untuk memberikan
komunikasi, informasi dan edukasi yang tepat dan berkelanjutan pada
penderita dan orang-orang terdekatnya
17
BAGIAN KEDUA
PENANGGULANGAN GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM
(GAKY) DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA
I. LATAR BELAKANG KASUS
Kasus bernama Me Soti, berjenis kelamin perempuan dengan usia 60 tahun.
Keluarga Me Soti merupakan salah satu keluarga miskin yang bertempat tinggal
di Banjar Tinga, Desa Sekardadi yang memiliki masalah kesehatan yaitu
goiter/gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). Me Soti dikatakan telah
menderita goiter sejak sepuluh tahun yang lalu.
Berikut adalah profil keluarga Me Soti yang disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 2. Data KK Binaan I
No Nama J
K
Status Umur Pend Pekerjaan Ket
1 Me Soti P Kawin 60 th SD Petani
2 Wayan Soti L Kawin 39 th SD Petani Anak
3 Nengah Sari P Kawin 36 th SD Petani Menantu
4 Wayan
Sudiana
L Belum Kawin 16 th SMP Pelajar Cucu
II. RIWAYAT KASUS
II.1 Latar Belakang Penyakit
Penulis mendapatkan kasus goiter yang dialami oleh salah seorang warga di
Desa Sekardadi yaitu Me Soti, perempuan, berusia 60 tahun yang merupakan ibu
dari Bapak Wayan Soti yang menanggungnya.
Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) rangkaian kekurangan yodium
pada tumbuh kembang manusia, terdiri dari goiter dalam berbagai stadium, kretin
endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental, gangguan pendengaran,
gangguan pada anak dan dewasa, sering dengan kadar hormon rendah, dan angka
lahir dan kematian janin meningkat. Pada kasus ini yang terjadi adalah goiter.
Goiter berarti terjadinya pembesaran pada kelenjar tiroid, yang dikenal dengan
18
goiter non toksik atau simpel goiter atau struma endemik, dengan dampak yang
ditimbulkannya hanya bersifat lokal yaitu sejauh mana pembesaran tersebut
mempengaruhi organ disekitarnya seperti pengaruhnya pada trakea dan esofagus.
Goiter adalah salah satu cara mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya
unsur yodium dalam makanan dan minuman
GAKY dahulu disebut sebagai goiter endemik, hal ini dikarenakan
seringkali penyebab GAKY selalu dikaitkan dengan kurangnya asupan makanan
yang mengandung unsur yodium. Dalam kenyataannya, goiter endemik dapat pula
disebabkan oleh etiologi yang lain, seperti adanya bahan goitrogenik, genetik,
nutrisional, atau kurang yodium. Angka kejadian GAKY lebih sering ditemukan
di daerah pegunungan, hal ini dikarenakan komponen tanahnya yang sedikit
mengandung yodium. Kandungan yodium yang rendah di pegunungan disebabkan
terjadinya pengikisan yodium oleh salju atau air hujan, sehingga hal tersebut
menyebabkan pula kandungan yodium dalam makanan juga sangat rendah. Air
tanah, air dari sumber mata air, atau air dari sungai di daerah pegunungan tidak
mengandung yodium yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia,
demikian pula halnya dengan ternak serta tanaman yang tumbuh di pegunungan
hampir tidak mengandung yodium sama sekali. Karena sebab itulah, maka angka
kejadian GAKY lebih sering ditemukan di daerah pegunungan dibandingkan
dengan daerah pantai. Sama halnya dengan Desa Sekardadi yang termasuk di
daerah dataran tinggi yaitu sekitar 500-550 meter di atas permukaan laut, dimana
tanah dan tumbuhan sedikit mengandung yodium. Makanan yang dikonsumsi juga
lebih banyak dari kebun sendiri dengan lauk ikan air tawar. Makanan yang berasal
dari laut jarang dikonsumsi. Selain itu juga garam yang digunakan untuk
memasak dan makan bukan garam yang beryodium.
Selain itu juga terdapat faktor risiko lainnya dari GAKY yaitu konsumsi
makanan yang mengandung zat goitrogenik. Goitrogenik adalah zat yang dapat
menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi
iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat
menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga
pembentukan hormone tiroksin terhambat. Goitrogenik alami terdapat dalam jenis
pangan seperti 1) kelompok sianida (daun dan umbi singkong, gaplek, gadung,
19
rebung, daun ketela, kecipir, selada, dan terung); 2) kelompok mimosin (pete cina
dan lamtoro); 3) kelompok isothiosianat (daun papaya); 4) kelompok asam (jeruk
nipis, belimbing waluh dan cuka). Makanan yang sering dikonsumsi disini adalah
selada, dimana selada merupakan hasil perkebunan sayur di Desa Sekardadi
sehingga sering dikonsumsi.
Faktor risiko lainnya adalah penggunaan pestisida. Petani di Desa Sekardadi
sering menggunakan pestisida di perkebunan. Hasil perkebunan tersebut tentunya
dikonsumsi oleh warga desa. Akan tetapi, kurangnya kesadaran warga, khususnya
keluarga Me Soti, akan kebersihan menyebabkan sayur-sayuran mentah yang akan
dimasak tidak dicuci secara maksimal atau terkadang tidak dicuci, sehingga zat
pestisida bisa masih menempel pada sayur. Zat pestisida dapat menyebabkan
gangguan pada sistem saraf karena gagalnya enzim kolinesterase memecah
asetilkholin maka fungsinya menjadi berjalan tidak sempurna. Akibatnya
informasi yang seharusnya sampai pada kelenjar menjadi terganggu dan ini akan
mengakibatkan pelepasan hormon-hormon dari kelenjar sasaran menjadi
terganggu, salah satunya adalah kelenjar tiroid. Kurangnya hormon tersebut akan
mengakibatkan adanya umpan balik yang menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid.
Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ lain di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Goiter dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak terhadap
gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Penekanan pada
pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau. Bila pembesaran
keluar, maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat simetris atau tidak,
jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Tentu dampaknya lebih ke arah
estetika atau kecantikan.
2.2. Upaya Penatalaksanaan
Upaya yang telah dilakukan keluarga Me Soti adalah memeriksakan dirinya ke
Bidan Pustu Sekardadi dan Puskesmas Kintamani VI. Pada kasus ini lebih
20
cenderung ke upaya pencegahan terjadinya GAKY, akan tetapi tidak dilakukan
oleh keluarga Me Soti. GAKY dapat ditanggulangi yaitu dengan garam
beryodium, sesuai Kepres no 69 tahun 1994 mewajibkan semua garam yang
dikonsumsi baik manusia maupun hewan diperkaya dengan yodium sebanyak 30-
80 ppm, suplementasi yodium pada binatang, suntikan minyak beryodium
(Lipiodol), dan kapsul minyak beryodium. Tidak adanya keluhan menyebabkan
pemikiran tidak perlunya melakukan penanggulangan.
Anggota keluarga Me Soti yang lain masih muda dan juga memiliki pola
konsumsi yodium yang sama dengan Me Soti, dimana makanan yang dikonsumsi
merupakan makanan yang sedikit mengandung yodium, terlebih lagi garam yang
dikonsumsi bukan garam beryodium. Hal ini tentunya dapat meningkatkan risiko
terjadinya GAKY, selain goiter juga dapat mempengaruhi pertumbuhan remaja
(cucu Me Soti). Untuk pencegahannya dapat mengonsumsi makanan yang banyak
mengandung yodium, yaitu makanan laut yang dapat mengandung sekitar 100
μg/100 gr. Pencegahan juga dilaksanakan melalui pemberian garam beryodium.
Garam sehat adalah garam konsumsi yang telah difortifikasi dengan yodium yang
cukup untuk kebutuhan tubuh yang mengandung kadar yodium antara 30-40 ppm
dan kandungan air ≤ 5%. Untuk penggunaan garam beryodium dalam masakan
juga perlu diperhatikan. Garam yodium bisa ditambahkan setelah masakan
matang, bukan saat sedang memasak sehingga yodium tidak rusak karena panas.
Untuk itu telah diberikan edukasi untuk pencegahan terjadinya GAKY, dimana
disarankan penggunaan garam beryodium yang dapat ditemukan di warung dekat
rumah, konsumsi sayuran yang beragam, konsumsi makanan yang banyak
mengandung yodium seperti makanan laut, mengurangi paparan terhadap
pestisida, serta mencuci bersih sayur dan buah sebelum dimakan.
III. PENERAPAN PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA
Sesuai dengan tujuan PPD-72 agar dapat menangani permasalahan
kesehatan secara komprehensif dengan pendekatan holistik, maka kedokteran
keluarga merupakan metode yang efektif untuk dapat mengatasi permasalahan
kesehatan.
1. Personal
21
Pada kasus GAKY, penulis perlu menekankan kepada KK binaan bahwa
penyakit yang dapat ditimbulkan tidak hanya goiter. GAKY pada orang
dewasa dan tua dapat menyebabkan keadaan lemas dan cepat lelah,
produktifitas dan peran dalam kehidupan sosial rendah, serta gangguan
metabolisme. Konsumsi garam beryodium sangat penting juga untukan
menekan progresivitas penyakit. Tentunya dalam prinsip ini, mengobati
pasien dengan memberikan perlakuan sebagai manusia bukan sekedar
mengobati penyakitnya saja. Dalam artian, pasien ditangani secara
holistik dari semua aspek kehidupannya, baik fisik, psikis, dan spiritual.
Memberikan konseling kepada seluruh keluarga untuk terus memberikan
motivasi kepada pasien. Kondisi pasien yang lanjut usia juga perlu
mendapat perhatian lebih. Hal ini dikarenakan bahwa pasien-pasien
lanjut usia tentunya sudah mulai mengalami keterbatasan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu kami anjurkan kepada
keluarga untuk melengkapi ruangan atau tempat tinggal pasien dengan
alat-alat yang dapat memudahkan pasien untuk bergerak, sekaligus
mengurangi resiko jatuh.
2. Paripurna/Komprehensif
Pendekatan pada kasus tidak hanya dilakukan pada kasus, tetapi pada
anggota keluarga yang lain yaitu kedua istrinya dan anaknya untuk dapat
mengerti, memahami, dan dapat melakukan upaya pencegahan
progresivitas goiter, dan juga upaya pencegahan terjadinya GAKY pada
anggota keluarga lainnya. Pendekatan juga tidak hanya untuk GAKY,
tetapi juga dalam hal perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan
keluarga.
3. Berkesinambungan
Pada kasus penulis telah melakukan kunjungan rutin dua kali seminggu
demi memantau kondisi kesehatan dan perkembangan dari kasus. Dari
pihak Pustu juga dengan melakukan pemeriksaan secara rutin setiap
bulan pada kasus, memberikan informasi juga kepada warga yang
mengalami keluhan yang sama. Pengawasan berkesinambungan ini juga
bertujuan memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga terkait
22
penyakitnya sekaligus mengubah perilaku dari perilaku sakit menjadi
perilaku sehat.
4. Koordinatif dan kolaboratif
Pada kasus ini, penulis sudah memberikan penjelasan kepada KK untuk
bekerja sama dengan Bidan Pustu Sekardadi dan dokter di Puskesmas
Kintamani II, sehubungan dengan GAKY yang dialami, untuk
memberikan pengetahuan tentang pencegahan penyakit dari Puskesmas,
berkoordinasi dengan puskesmas dalam penyediaan garam beryodium
untuk penderita GAKY, serta berkoordinasi dengan keluarga pasien
untuk memberikan motivasi kepada pasien dan berperan aktif
mendukung pengobatan pasien demi kesehatan pasien.
5. Mengutamakan pencegahan
Insiden terjadinya GAKY masih tinggi di Desa Sekardadi, sehingga
pencegahan harus dilakukan untuk menurunkan insidennya. Pencegahan
dilakukan pada anggota keluarga lainnya. Untuk pencegahannya dapat
mengonsumsi makanan yang banyak mengandung yodium, yaitu
makanan laut yang dapat mengandung sekitar 100 μg/100 gr. Pencegahan
juga dilaksanakan melalui pemberian garam beryodium. Garam sehat
adalah garam konsumsi yang telah difortifikasi dengan yodium yang
cukup untuk kebutuhan tubuh yang mengandung kadar yodium antara
30-40 ppm dan kandungan air ≤ 5%. Untuk penggunaan garam
beryodium dalam masakan juga perlu diperhatikan. Garam yodium bisa
ditambahkan setelah masakan matang, bukan saat sedang memasak
sehingga yodium tidak rusak karena panas. Untuk itu telah diberikan
edukasi untuk pencegahan terjadinya GAKY, dimana disarankan
penggunaan garam beryodium yang dapat ditemukan di warung dekat
rumah, konsumsi sayuran yang beragam, konsumsi makanan yang
banyak mengandung yodium seperti makanan laut, mengurangi paparan
terhadap pestisida, serta mencuci bersih sayur dan buah sebelum
dimakan. Anggota keluarga juga dianjurkan menjaga kesehatan
lingkungan dan menerapkan pola hidup sehat sejak dini.
6. Menimbang keluarga, masyarakat dan lingkungan
23
Kerja sama dengan pihak desa, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan
(Bidan) dengan penyuluhan misalnya saat diadakan kegiatan seperti
posyandu, atau pertemuan banjar untuk memberikan informasi mengenai
permasalahan kesehatan khususnya dalam mencegah terjadinya GAKY.
Selain itu juga memberikan penjelasan kepada anggota keluarga tentang
pentingnya hidup sehat dan pencegahan terjadinya GAKY. Penderita
harus diberikan suasana yang nyaman dari segi fisik dan psikologisnya.
Keluarga pasien harus membatasi aktivitas pasien agar tidak membebani
fisik pasien dan lebih banyak mengajak pasien berinteraksi untuk
mengurangi beban psikologisnya.
24
Lampiran 1. Transkrip Hasil Penelusuran Keluarga Binaan I
(Nama KK: Me Soti)
1) Karakteristik Keluarga
Tabel 3. Karakteristik KK Binaan I
No Nama JK Status Umur Pend Pekerjaan Ket
1 Me Soti P Kawin 60 th - Buruh Tani
2 Wayan Soti L Kawin 39 th SD Buruh Tani Anak
3 Nengah Sari P Kawin 36 th SD Buruh Tani Menantu
4 Wayan Sudiana L Belum
Kawin
16 th SMP Pelajar Cucu
Gambar 1. Sistem kekerabatan KK binaan I
Keterangan Gambar
= Laki-laki = Perempuan
2) Status Kesehatan Anggota Keluarga (dalam 6 Bulan Terakhir)
Me Soti menderita arthritis sejak dua belas tahun yang lalu.
Me Soti menderita goiter/GAKY sejak sepuluh tahun yang lalu.
Anggota keluarga yang lain tidak ada masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian serius.
3) Status Ekonomi Keluarga
Tergolong keluarga miskin.
Penghasilan keluarga : Rp 1.000.000/bulan
25
1
2 3
4
Sumber penghasilan tetap : Seluruh keluarga bekerja sebagai
buruh tani
Pengeluaran keluarga : Rp 1.000.000,00 perbulan
Kepemilikan Aset / Barang : 1 unit televisi, 1 unit sepeda motor,
rumah dan pekarangan seluas 1,5
are
4) Lingkungan Fisik Keluarga
Luas bangunan rumah kurang lebih 6 m x 8 m
Gedung utama rumah berdinding batako yang diplester dan lantainya
berlapis semen, terdapat 3 kamar yang terpisah, satu untuk Me Soti dan
cucunya, satu untuk anak Me Soti dan istrinya, dan satu lagi rusak.
Setiap kamar masing-masing memiliki satu jendela kecil dan satu pintu
sehingga terkesan pengap.
Dapur berada di luar bangunan utama, dan kebersihannya sangat kurang
terjaga. Keluarga biasanya memasak dengan tungku kayu bakar.
Ventilasinya kurang sehingga asap banyak mengepul di dalam dapur.
Tidak memiliki kamar mandi dan jamban sendiri, sehingga BAB harus
di tegalan dan mandi di halaman belakang sehingga dapat dilihat oleh
orang yang kebetulan lewat.
Sumber air berasal dari penampungan air hujan.
Belum memiliki tempat pembuangan sampah.
5) Pengetahuan dan Perilaku Keluarga tentang Hidup Bersih dan Sehat
Anggota keluarga kurang sadar bahwa kebersihan lingkungan berperan
penting terhadap kesehatan.
Anggota keluarga masih belum tahu cara pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk.
Perilaku cuci tangan masih kurang, hanya menggunakan air.
Setiap anggota keluarga mandi satu kali setiap hari.
Menu makanan sehari-hari hanya nasi dan sayur-mayur, diselingi tempe
tahu dan ikan pindang.
26
Lampiran 2. Transkrip Hasil Penelusuran Keluarga Binaan II
(Nama KK: I Wayan Pasta)
1) Karakteristik Keluarga
Tabel 4. Karakteristik KK Binaan II
No Nama JK Status Umur Pend Pekerjaan Ket
1 I Wayan Pasta L Kawin 85 th - Peternak
2 Ni Wayan
Gemboh
P Kawin 80 th - Buruh Tani Istri
3 I Wayan Sarma L Kawin 63 th SMA Pengajar Anak
4 I Nengah Sedek L Kawin 59 th SD Buruh Tani Anak
5 I Nyoman Srika L Kawin 55 th SD Buruh Tani Anak
6 Ni Ketut Ranci P Kawin 51 th SD Buruh Tani Anak
7 Ni Wayan Sumanti P Kawin 49 th SD Buruh Tani Anak
8 Ni Nengah Reken P Kawin 45 th SD Buruh Tani Anak
9 Ni Nyoman
Rangin
P Kawin 41 th SD Buruh Tani Anak
10 Ni Ketut Suwar P Kawin 37 th SD Buruh Tani Anak
11 Ni Wayan Pinti P Kawin 33 th SD Buruh Tani Anak
12 I Nengah Parnata L Kawin 29 th SD Buruh Tani Anak
Gambar 2. Sistem kekerabatan KK binaan II
Keterangan Gambar
= Laki-laki = Perempuan
27
1 2
3 4 5 126 7 8 9 10
11
2) Status Kesehatan Anggota Keluarga (dalam 6 Bulan Terakhir)
Bapak I Wayan Pasta (KK) menderita arthritis sejak tiga puluh tahun
yang lalu.
Istrinya yaitu Ibu Ni Wayan Gemboh menderita arthritis juga sejak tiga
puluh tahun yang lalu.
3) Status Ekonomi Keluarga
Tergolong keluarga miskin.
Penghasilan keluarga : Rp 900.000/bulan
Sumber penghasilan tetap : Kepala keluarga sebagai peternak,
istrinya sebagai buruh tani
Pengeluaran keluarga : Rp 1.000.000/bulan
Kepemilikan Aset / Barang : 1 unit televisi, 1 unit sepeda motor,
rumah dan pekarangan seluas 2 are
4) Lingkungan Fisik Keluarga
Luas bangunan rumah kurang lebih 8 m x 10 m
Gedung utama rumah semipermanen dengan dinding batako dplester
dan bedeg, serta lantainya berlapis semen, terdapat dua kamar tidur
yang terpisah, satu untuk KK dan istrinya, satu untuk anak pertamanya
dan keluarganya. Setiap kamar masing-masing memiliki satu jendela
kecil dan satu pintu sehingga terkesan pengap.
Dapur berada di luar bangunan utama, berdinding bedeg dan berlantai
tanah. Kebersihannya sangat kurang terjaga. Ventilasi minim sehingga
asap dari tungku kayu bakar mengepul di dalam ruangan. Selain itu
dapur terletak di samping bangunan rumah sehingga asap dapat masuk
ke rumah.
Sarana MCK sudah bersih dan memadai.
Sumber air berasal dari penampungan air hujan dan membeli air.
Belum memiliki tempat pembuangan sampah.
5) Pengetahuan dan Perilaku Keluarga tentang Hidup Bersih dan Sehat
Anggota keluarga kurang sadar bahwa kebersihan lingkungan berperan
penting terhadap kesehatan.
28
Anggota keluarga masih belum tahu cara pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk.
Perilaku cuci tangan masih kurang, hanya menggunakan air. Setiap
anggota keluarga mandi hanya satu kali setiap hari.
Kesadaran akan menggunakan air bersih sudah baik.
Menu makanan sehari-hari hanya nasi dan sayur-mayur, diselingi tempe
tahu dan ikan pindang.
Masih ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah yaitu anak
pertamanya.
29
Lampiran 3. Transkrip Hasil Penelusuran Keluarga Binaan III
(Nama KK: I Nengah Kenyus)
1) Karakteristik Keluarga
Tabel 5. Karakteristik KK Binaan III
No Nama JK Status Umur Pend Pekerjaan Ket
1 I Nengah Kenyus L Kawin 70 th - Buruh Tani
2 Ni Luh Sutami P Kawin 50 th SD Buruh Tani Anak
Gambar 3. Sistem kekerabatan KK binaan III
Keterangan Gambar
= Laki-laki = Perempuan
2) Status Kesehatan Anggota Keluarga (dalam 6 Bulan Terakhir)
Bapak I Nengah Kenyus menderita arthritis sejak tiga puluh tahun yang
lalu, selain itu juga menderita katarak sejak lima tahun yang lalu.
3) Status Ekonomi Keluarga
Tergolong keluarga miskin.
Penghasilan keluarga per bulan : Rp 450.000,00
Sumber penghasilan tetap : Bapak I Nengah Kenyus sebagai
buruh tani
Pengeluaran keluarga : Rp 450.000,00 perbulan
Kepemilikan Aset / Barang : Rumah dan pekarangan seluas 1,5
are
30
2
1
4) Lingkungan Fisik Keluarga
Luas bangunan rumah kurang lebih 6 m x 8 m
Gedung utama rumah berdinding batako diplester dan lantainya berlapis
semen, terdapat 3 kamar yang terpisah, satu untuk KK, dan dua lainnya
untuk keponakannya dan keluarganya. Setiap kamar sudah memiliki
ventilasi yang baik.
Dapur berada di luar bangunan utama, dan kebersihannya masih kurang
terjaga akibat memasak menggunakan tungku kayu bakar. Ventilasi di
dapur sudah memadai.
Sarana MCK sudah memadai, akan tetapi lantainya licin sehingga dapat
membahayakan.
Sumber air berasal dari penampungan air hujan dan membeli air.
Belum memiliki tempat pembuangan sampah.
5) Pengetahuan dan Perilaku Keluarga tentang Hidup Bersih dan Sehat
Anggota keluarga sudah sadar bahwa kebersihan lingkungan berperan
penting terhadap kesehatan.
Anggota keluarga masih belum tahu cara pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk.
Perilaku cuci tangan sudah baik menggunakan air dan sabun. Setiap
anggota keluarga mandi hanya satu kali setiap hari.
Kesadaran akan menggunakan air bersih sudah baik.
Menu makanan sehari-hari hanya nasi dan sayur-mayur, diselingi tempe
tahu dan ikan pindang.
31
Lampiran 4. Denah Rumah Keluarga Binaan Me Soti
(Kasus Kedokteran Keluarga dengan GAKY)
32
RumahSaudara
Halaman
Jalan
RumahSaudara
RumahSaudara
RumahSaudara
RumahSaudara
RumahSaudara
RumahMe Soti
DapurMe Soti
Tegalan
Got
Got
MCK
TerasRuang
Keluarga
Ruang Tidur
Ruang Tidur
Ruang Tidur
Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan
33
top related