konsep pendidikan multikultural dalam...
Post on 03-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
I S M A I L F U A D NIM : 104011000181
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1429 H
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
I S M A I L F U A D NIM : 104011000181
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M/1429 H
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ISMAIL FUAD
Nim : 104011000181
Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu ( S1 ) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Maret 2009
(ISMAIL FUAD)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, telah diujikan pada sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 30 Juni 2009
Panitia Sidang Munaqasyah,
Ketua Jurusan Dr. H. Abdul Fatah Wibisono, MA. NIP. 150 236 009 Sekretaris Jurusan Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477 Penguji I Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP. 150 299 477 Penguji II Siti Khadijah, MA. NIP. 19702707 199703 1 003
Mengetahui,
Dekan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A b s t r a k s i :
Bangsa Indonesia melebihi bangsa-bangsa lain, dianugerahi sebuah kemajemukan. Tidak saja lantaran kondisi sosio-geografis dan kesukuan semata, tetapi keragaman ini telah dimulai sejak cikal bakal sejarah kelahirannya. Sayangnya potensi kemajemukan, pluralitas dan sebutan sejenisnya, kerap menjadi pemicu pertentangan dan pertikaian-pertikaian yang akhir-akhir ini sering mengguncang. Parahnya umat muslim dijadikan kambing hitam oleh beberapa orang, hingga tak pelak stereotip dan stigma buruk mulai disematkan pada umat yang kebetulan menjadi penghuni mayoritas bangsa ini.
Berangkat dari sinopsis tersebut penelitian ini dilakukan dengan salah satu alasan menjawab kalau tidak disebut membantah stigma dan tuduhan buruk teradap Islam sebagaimana yang mereka sangkakan adalah salah besar. Ajaran Islam telah diwariskan (dibudayakan) secara turun temurun melalui instrumen pendidikan yang mengakomodasi terhadap pluralitas dan multikulturalisme.
Pendidikan multikultural yang ditawarkan sebagai solusi dan mengurangi efek negatif dari fenomena keberagaman kultur. Konsep pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam, nyatanya sangat wellcome dan padu. Artinya, pendidikan Islam tidak bertentangan, bahkan senafas dengan pendidikan multikultural. Relevansi dan implementasi keduanya bisa terwujud dengan proses usaha dan upaya yang panjang dan berkesinambungan.
Untuk membuktikan asumsi tersebut, dalam peneltian ini penulis mencari titik temu dalam prinsip-prinsip dasar dan tujuan pendidikan multikultural yang dikonsultasikan dengan pendidikan Islam. Dengan teknik deskripsi analitis, akhirnya penulis mendapatkan kesimpulan bahwa keduanya (pendidikan multikultural dan pendidikan Islam) dalam prinsip dan tujuannya sangat relevan dan saling akomdatif .
Tegasnya, tidak dibetulkan bahwa ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam pendidikan Islam mengajarkan kekerasan atas nama perbedaan, bahkan Islam telah menggariskan sikap etis terhadap pluralisme dan multikulturalisme sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Bahkan, Islam tidak sekadar mengapresiasi issue-issue HAM, demokrasi, keadilan, kesetaraan dan dustrur multikulturalisme lainnya, tetapi Islam telah mempraktikannya dengan sangat indah pada jaman Nabi.
Dengan demikian, pendidikan Islam yang berparadigma multikultural atau pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sudah ada secara eksplisit dalam ajaran Islam. Hanya saja, perlu dihadirkan kembali agar pelaku pendidikan Islam menyadari akan hal itu. Dengan kesadaran pluralisme dalam pendidikan Islam bisa dipraktikkan oleh seluruh pelaku pendidikan Islam dengan harapan akan tercipta kehidupan masyarakat madani, lepas dari konflik SARA sebagaimana visi kelahiran Islam sebagai rahmatan lil ’alamien. Semoga
KATA PENGANTAR
Adalah berkat pertolongan, limpahan nikmat dan curahan kasih
sayangNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang ”Konsep Pendidikan
Multikultural dan Pendidikan Islam” ini, maka sepatutnya puja-puji penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT.
Shalawat dan salam, semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah mengorbakan jiwa. Raga, harta maupun tenaga untuk membawa risalah
kebenaran, menabur pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia. Isyfa Lana..
Setelah bergelut dengan berbagai aktivitas yang nyaris ”melalaikan”
penyusunan skripsi ini, ijinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih sekaligus
permohonan maaf setulusnya kepada semua pihak. Segala upaya, usaha dan
untaian doa tercurah ruah dalam penyusunan skripsi ini dengan suatu asa semoga
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Pun juga, terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi beberapa
pihak yang telah membantu, motivasi serta arahan dari berbagai pihak, sehingga
patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu sabar dan teliti dalam mengoreksi dan membimbing penulis
dalam pembuatan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Sururin, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan pengarahan dan masukan kepada penulis.
5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah pada umumnya dan
jurusa PAI pada khususnya yang telah memberikan konstribusi pemikiran
melalui pengajaran dan diskusi di kelas perkuliahan.
7. Terkhusus buat kedua orang tuaku tercinta (H. Misbah el-Munir dan Hj.
Ratih Zoolva) yang telah merawat. Membesarkan, mendidik dan
mencurahkan kasih sayang kepada penulis. Saudara-saudaraku my
inspiration kang Uus, Ba’onk, Linda, Iim dan Bontot Anik.
8. All Crew CV. Wangsamerta dan CV. Wicaksana. Mahadewi sarayat my
spirite, aisheteru!!!.
9. Teman diskusi di PAI 2003A konde, fuad, dkk. PAI 2004 E Indra, Ate,
dkk.
10. Seluruh anggota, simpatisan dan alumni Keluarga Pelajar Mahasiswa
Daerah Brebes (KPMDB), khususnya Wil. Jakarta Raya, ayo bangun
Brebes!!
11. Tabloid Suaka yang banyak mengasahku, kawan-kawan aktivis dan
pergerakan Brebes, Insan Pers Indonesia, and all elementary civill society.
Teruskan Perjuangan..!!!
Penulis berharap dan berdoa semoga seluruh pengorbanan semua pihak
yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari-
Nya. Terimakasih
Jakarta, Mei 2009
Penulis,
I S M A I L F U A D
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 6
D. Metode Penelitian .............................................................. 7
E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian ........................................ 7
BAB II : KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS ............................................ 8
A. Definisi Pendidikan Multikultural ....................................... 8
B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural ........................ 12
C. Prinsip Prinsip Pendidikan Multikultural ............................ 22
1. Prinsip Pengakuan Terhadap Hak Azazi Manusia (HAM) 29
2. Prinsip Persamaan Derajat ............................................. 30
3. Prinsip Pelestari Kebudayaan ........................................ 31
4. Prinsip Pluralisme ......................................................... 31
D. Tujuan Pendidkan Multikultural;
Mewujudkan Manusia Cerdas ............................................. 33
E. Implikasi Multikulturalisme Terhadap Pendidikan Islam ..... 36
BAB lll : KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM ; SEBUAH KAJIAN TEORITIS ............................................. 43
A. Pengertian Pendidikan ........................................................ 43
1. Definisi Pendidikan ...................................................... 43
2. Definisi Pendidikan Islam ............................................ 44
B. Prinsip-Prinsip Pendidkan Islam ........................................ 49
1. Prinsip Implikasi dari Ciri-ciri Manusia menurut Islam . 52
2. Prinsip Pendidikan Integral dan Terpadu ....................... 55
3. Prinsip Pendidkan yang Seimbang ................................. 56
4. Prinsip Menghargai Perbedaan ...................................... 56
C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam ................................. 58
1. Fungsi Pendidkan .......................................................... 58
2. Tujuan Pendidikan Islam ............................................... 60
a) Tujuan Akhir ........................................................... 64
b) Tujuan Umum ......................................................... 65
c) Tujuan Khusus ........................................................ 67
BAB IV: RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENIDIKAN ISLAM ............................................. 70
A. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Multikultural
dalam Pendidikan Islam ..................................................... 71
B. Tujuan Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam :
Antara Manusia Cerdas dan Manusia Sempurna (Insan
- Kamil) ............................................................................. 76
C. Implementasi Pendidikan Multikulural dalam Pendidikan Islam;
Upaya Mencari Format Pendidikan Ideal ........................... 79
1. Hambatan dan Tantangan ............................................. 80
2. Peluang dan Harapan .................................................... 86
3. Kurikulum dan Guru Multikultural ............................... 93
BAB V : PENUTUP .............................................................................. 104
A. Kesimpulan ........................................................................ 104
B. Saran-saran ........................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk yang diciptakan berbeda-beda dan beragam, dari
jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, hingga agama. Sejatinya keragaman ini
menjadi alat perekat harmonisasi bangunan kebersamaan antar sesama. Namun
faktanya, perbedaan SARA acapkali memicu timbulnya sebuah konflik dan
ketegangan. Bukankah kemajemukan merupakan sunatullah yang meski terjadi,
sebagaimana adanya langit dan bumi. Pengingkaran atas kemajemukan berarti
juga pembangkangan atas kehendakNya.1
Kemajemukan (pluralitas), keanekaragaman (diversitas), dan
kepelbagaian (heterogenitas) serta kebermacam-macaman (multiformisme)
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus
keniscayaan, sejak dulu sebelum terbentuk negara-bangsa. Ini harus kita akui
secara jujur , terima dengan lapang dada, resapi dengan penuh kesadaran, kelola
rawat dengan cermat, dan jaga dengan penuh suka cita, Bukan harus kita tolak,
pungkiri, abaikan, sesalkan, biarkan dan ingkari hanya karena kemajemukan dan
keanekaragaman ternyata telah menimbulkan ekses negatif dan resiko kritis
belakangan ini, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai
tempat di Indonesia.2
1 Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999), cet. 1, hal. 203. 2 Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan,
(Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005), cet. 1, hal. 47.
2
Begitulah Indonesia ditakdirkan melebihi negara-negara lain karena tidak
saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga multi-budaya. Jika demikian,
maka bangsa Indonesia sangat rentan dengan kekerasan yang timbul akibat dari
kemajemukan yang ada. Oleh karenanya perlu ada tindakan preventive dari
stakeholders untuk meredam segala potensi konflik dan membangun sikap
kebersamaan, saling menghargai dan saling menghormati. Salah satu upaya
strategis adalah dengan membangun kesadaran pluralis pada generasi muda lewat
pendidikan yang berbasis pada multikulturalisme. Hal ini sesuai dengan ungkapan
Abudin Nata:
Indonesia yang berideologi Pancasila memiliki latar belakang budaya, etnis, paham keagamaan, tingkat ekonomi dan sosial yang amat beragam. Kondisi pluralistis dan heterogenitas masyarakat di Indonesia yang demikian itu pula pada gilirannya sangat mempengaruhi corak pendidikan manusia3. Pendidikan menjadi salah satu kunci penting sebagai instrumen
membangun peradaban manusia dan bangsa. Keberadaannya masih diyakini
mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang
dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus
bangsa. Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu fungsi
pendidikan adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan
keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk
mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan
sikap toleransi.4
Selama ini di Indonesia pendidikan secara makro belum menunjukan hasil
yang diharapkan karena beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diubah, filosofi
pendidikan tampak sangat positivis, pragmatis, developmentalis, industrialis,
indoktrinatif, uniformistis dan monokultural. Filsafat pendidikan semacam ini
tidak bisa dipertahankan lagi,..dan harus dirubah dengan filsafat pendidikan yang
3 Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan
dan Peluang), UIN Syarif Hidayatullah Press, hal. 1. 4 Syamsul Maarif, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam Toleran
Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, disampaikan dalam Annual Confrence di Lembang Bandung, sumber www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008
3
ideal untuk Indonesia yakni, idealistis, holistis, liberatif, intelektualistis,
pluralistis, dan multikultural.5
Era sekarang adalah era multikulturalisme di mana seluruh masyarakat
dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib
secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian
penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis,
budaya, dan agama tersebut adalah membangun dan menumbuhkan kembali sikap
egaliter dalam masyarakat. Implikasi dari era global multikultural sendiri bagi
pendidikan adalah bagaimana pendidikan itu bisa menampilkan dirinya, apakah ia
mampu mendidik dan menghasilkan output yang memiliki daya saing tinggi
(qualified) atau ia justru “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai
kemajuan era penuh persaingan (competitive) diberbagai sektor tersebut.
Pun dengan Pendidikan Islam, ia ditantang untuk menjawab tantangan
zaman antara lain : Pertama, bagaimana ia meningkatkan pembangunan
berkelanjutan (continuing development). Kedua, bagaimana pendidikan Islam
mampu melakukan riset secara komperhensif terhadap terjadinya era reformasi
dengan transformasi struktur sosial masyarakat, dari masyarakat tradisional-
agraris ke masyarakat modern-industrial dan reformasi-komunikasi, serta
bagaimana pengembangan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, bagaimana
pendidikan Islam itu meningkatkan daya saing kreatif yang berkualitas sebagai
hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
dalam persaingan global. Keempat, bagaimana pendidikan Islam itu mampu
menghadapi tantangan terhadap munculnya inovasi kolonialisme di bidang politik
dan ekonomi.6
5 Rasiyo, Berjuang…, hal. 47. Maksud dari filosofi positivis yakni paradigma pendidikan
yang terlalu mengesampingkan keragaman potensi siswa, pragmatis artinya mementingkan hasil daripada proses, developmentalis (pembangunan-centris), industrialis pendidikan hanya mencetak robot-robot industri, cnderung menyeragamkan siswa dan menunggalkan kemajemukan.Intinya adalah filosofi tersebut ketiadaan mata jiwa pendidikan terhadap hakikat manusia dan filosofi pendidikan ini harus diubah menjadi berdasarkan cita-cita luhur (ideal), menyeluruh (holistis), membebaskan eksplorasi terhadap potensi (liberatif), mengedepankan intelektual, menghargai keragaman dan kemajemukan budaya maupun karakteristik siswa.
6 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005), hal. 6-7. Lihat pula Armai Arief, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005, hal.33.
4
Selain itu, tantangan bagi pendidikan Islam yang paling mendesak adalah
globalisasi multikultural yang sangat rawan perpecahan dan permusuhan
(dehumanisasi), maka penerapan pendidikan yang menggunakan pendekatan
multikultural (multicultural approach) pun menjadi penting adanya.7
Posisi pendidikan agama juga berperan dalam menumbuhkembangkan
sikap pluralisme dalam diri siswa. Pendidikan agama merupakan bagian integral
dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan
pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga
untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka. Artinya, pendidikan agama
adalah wahana untuk mengeksplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses
pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan
keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya
mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai
yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri
generasi muda.
Di Indonesia, jaminan kebebasan dasar setiap manusia telah diregulasikan
sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945. begitupun dalam hal
Pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas tahun 2003 sebagaimana
disebutkan dalam pasal 4 (1), Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan, disebutkan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”8
Dalam ajaran Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Hal
ini dapat ditelusuri dari sejarah kenabian. Wahyu yang pertama diterima
Rasulullah SAW memperlihatkan pada pentingnya proses pendidikan. Yakni
permulaan surat Al-Alaq ayat 1-5.9 Pun banyak berserak ayat-ayat alQuran
maupun hadits yang menunjukan bahwa pendidikan Islam adalah suatu yang
penting, misalnya Allah menjanjikan kepada siapa saja untuk mengangkat
7 Lihat dalam Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005, hal. 42.
8 Beny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1, hal. 171. 9 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet.
Ke-1, hal. 171.
5
derajatnya, selagi ia diberi ilmu dan mengamalkannya, sesuai dengan surat al-
Mujadalah :11 :
Artinya :
....درجة أوتـوالعلم والذين آمنوامنـكم الذين اهللا يرفع
“.. Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi pengetahuan dengan beberapa derajat”.
Begitu pentingnya ilmu (pendidikan) dalam Islam hingga Allah mewanti-
wanti kepada umat Islam untuk tidak mengabaikan masalah yang satu ini
sebagaimana firmanNya:
Artinya :
ـاكانمو ننوئمواكـأ المرنفال فةليفلو نفر نكل م قةرف
منهتفق طـائفة مىليوافن هيا الدورنذليو مهما قووعجإذار
همإلي ملـهلع نوخذري..
“..Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).10
Sementara itu, sikap Islam terhadap keragaman (pluralitas) sangat jelas.
Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka
sikap etis dan positif. Sikap etis dan positif Islam dimaksud tercermin dari
beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut.
Seperti al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS. Al-Hujurat: 13).
Al-qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan
warna kulit harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum: 22). Dalam ayat lain ditegaskan, tentang
10 Syaikh Mahmud Abdul Fayid, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi al-Falasany) (Semarang: Wicaksana, 1986), hal. 35.
6
kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu
menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak
sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhan-
lah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia
kembali kepadaNya.11
Pendidikan multikultural semakin dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia,
kian mendesak dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multikultural,
sekolah menjadi lahan menghapus prasangka. Pembangunan rasa kesatuan
berdasarkan budaya lokal juga dapat dimulai.
B. Identifikasi Masalah
Tertarik pada masalah yang terjadi dan yang telah disebutkan di atas, maka
penulis mencoba melakukan pengkajian ilmiah yang akan meneliti mengenai
relevansi pendidikan multikultural dengan pendidikan Islam sebagai kerangka
penyamaan pandangan persepsi, visi, dan misi masing-masing. Untuk itu penulis
memilih judul :”Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka perlu ada pembatasan masalah
yang meliputi permasalahan sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan multikultural yang dalam hal ini dibatasi pada
pengertian pendidikan multikulural, prinsip-prinsip dasar dan tujuannya.
2. Konsep pendidikan Islam yang meliputi pengertian pendidikan Islam,
prinsip-prinsip dasar dan tujuannya.
3. Relevansi pendidikan multikultural dengan konsep pendidikan Islam.
11 Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan
Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1, hal. 2. Ayat-ayat lain yang senada al-Maidah: 48, al-Syura: 8, Hud: 118-119, dsb.
7
Dari pembatasan permasalahan tersebut, maka perumusan masalahnya
timbul dari pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep pendidikan multikultural dalam pengertian, prinsip-
prinsip dasar dan tujuannnya?
2. Bagaimana konsep pendidikan Islam meliputi pengetian, prinsip-prinsip
dasar dan tujuannya?
3. Bagaimana relevansi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam?
D. Metode Pembahasan
Penelitian ini merupakan kajian konsep, maka penulis mendasarkan pada
sumber-sumber data atau referensi yang berbentuk teks dari pendapat para hali
pendidikan yang telah diformulasikan dalam bentuk buku maupun lainnya.
Tegasnya hal ini biasa disebut dengan penelitian kepustakaan (library research).
Sebagai proses understanding dari data teks tersebut, penulis kemudian
menginterpretasikannya menggunakan metode deskripsi analisis, yakni diawali
dengan pengumpulan data secara sistematis dam konsisten, yang kemudian
dianalisis, diseleksi serta digabungkan untuk kemudian diambil kesimpulan
menggunakan analisis yang deduktif, dari masalah yang bersifat umum kemudian
diambil kesimpulan bersifat khusus.
E. Kegunaan dan Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan multikultural dalam perspektif
pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam multikulturalis.
3. Untuk mengetahui relevansi pendidikan multikultural dengan konsep
pendidikan Islam dan bagaimana implementasinya.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Sebagai konstribusi penulisan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam
sebagai bahan rujukan awal bagi peneliti selanjutnya.
8
BAB II KONSEPSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL;
SEBUAH TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi Pendidikan Multikultural
Oleh beberapa pakar pendidikan multikultural masih diartikan sangat
beragam. Belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut
berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk
mengambil sikap agar menghargai keragaman budaya.
Dua kata, pendidikan dan multikultural, memiliki keterkaitan sebagai
subjek dan objek atau ‘yang diterangkan’ dan ‘menerangkan’, juga esensi dan
konsekuensi. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdeasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirirnya, masyarakat, bangsa
dan negara. Sedangkan pendidikan multikultural, secara terminologi merupakan
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama).1
Menurut Prudance Crandall, seorang pakar dari Amerika menyatakan,
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-
sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku
(etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).2
1 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan
Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 48.
2 Ainnurrofik Dawam, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003), hal. 100.
9
Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan, secara sederhana pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang
keragaman kebudayaan dalam mersepon perubahan demografi dan kultur
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.3
Dede Rosyada, sebagaimana mengutip Karmanto Sunarto menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai “pendidikan keragaman
budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang
menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan
terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar
menghargai keragaman budaya masyarakat.4
Jika dipetakan, definisi pendidikan multikultural sesungguhnya dapat
dilihat dari tiga sisi, yaitu sebagai sebuah ide atau konsep, sebagai gerakan
pembaruan pendidikan, dan sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural
sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua siswa – dengan tanpa melihat
gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya – harus mendapatkan
kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.5 Banks, dalam kutipan
Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai bidang kajian
dan disiplin yang muncul yang tujuan utamanya menciptakan kesempatan
pendidikan yang setara bagi siswa dari ras, etnik, kelas sosial, dan kelompok
budaya yang berbeda.6
Sebagai sebuah gerakan, pendidikan multikultural sebagai suatu
pendidikan yang menunut kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin
luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita
sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki
baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Pendidikan akan dasar-dasar
3 Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka
Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003, hal. 21. 4 Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal
Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 21-22. 5 Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural, sumber :
http://www.ilmupendidikan.net/?p=8 6Azyumardi Azra, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural :
Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004, hal. 19-20.
10
kemanusiaan untuk perdamaian, kemeredekaan, dan solidaritas7. Bikhu Parekh
mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai, “an education in freedom, both in
the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to
eksplore and learn from other cultures and prespectives”.8
Sedangkan dalam perspektif sebagai proses, pendidikan multikultural
adalah (1) proses mengenal realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami
individu yang secara kultural berbeda dan dalam interaksi manusia yang
kompleks, dan (2) cerminan pentingnya memperhatikan budaya, ras, perbedaan
seks dan gender, etnis, agama, status sosial, dan ekonomi dalam proses
pendidikan. Sletter sebagaimana dikutip oleh Burnet (1991:1), mengartikan
pendidikan sebagai “any set of prosess by which schools work with rather than
against appressed groups”. 9
Sebagai proses pembelajaran semangat multikulturalisme, pendidikan
multikultur berupaya membina dan mendidik kemampuan belajar hidup bersama
(living together) di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau
dikembangkan dengan kegiatan, keberanian, dan kegemaran melakukan
perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross
cultural understanding) dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross
culture).10
Selanjutnya, pendidikan multikultural berkehendak pada penghormatan
dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia
darimanapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya, sekilas
adalah terciptanya kedamaian yang sejati, kemanan yang tidak dihantui
kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang
terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
7 Frans Magnes Suseno, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara Pembaruan, edisi
23 September 2000. 8 Biku Parekh, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political Theory,
(Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 230. 9 Lihat dalam Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam
Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No.2 Juli-Desember 2003. 10 Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa... hal. 63.
11
Dalam penggolongan yang lain, Calarry Sada menutip tulisan Sletter dan
Grant menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna
(model), yakni :
1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimiliasi kultural;
2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial; 3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata
sosial dalam masyarakat; 4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme
dan kesamaan.11
Dus, definisi pendidikan mulikultural masih sangat beragam, bahkan
Banks dalam bukunya Multicultur Education: Historical Development,
Dimension, and Practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsesus
tentang itu ia berkesimpulan bahwa diantara banyak pengertian tersebut maka
yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan
untuk people of color.
Meski demikian, dari banyaknya definisi-definisi tersebut tersimpul garis
besar beberapa hal penting yaitu, pendidikan tentang multikultural, pendidikan
untuk multikultural dan pendidikan kepada multikultural. Kemudian keterkaitan
pendidikan multikultural dengan konteks waktu dan realitas sebagai respon zaman
juga terlihat dari beberapa definisi tersebut. Tentang hal ini, Paulo Freire
berpendapat bahwa pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi
realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan
masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan
dan kemakmuran yang dialaminya.12
Dengan demikian, jelas bahwa orientasi dari pendidikan multikultural
adalah pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis sekaligus berwawasan
multikultural. Pendidikan semacam ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya
komperhensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme
agama, sparatisme, dan disintegrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep
pendidikan ini adalah toleransi.
11 Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur…., hal. 22. 12Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, hal. 3.
12
Pendidikan multikultural dalam konteks ini juga diartikan sebagai proses
pendidikan yang memberikan peluang yang sama pada seluruh anak bangsa tanpa
membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang
memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak
yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan,
identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional. Dus, pendidikan
multikultural adalah salah satu solusi dari banyaknya konflik dan ketegangan-
ketegangan bermotif SARA yang kerap muncul di Indonesia yang menguras
energi bangsa ini.
Sebagai penegas akhirnya penulis sendiri menarik kesimpulan bahwa
definisi-definisi pendidikan multikultural tersebut di atas memiliki muara yang
lebihkurang sama, yakni sebuah ide (gagasan), gerakan dan proses pengembangan
potensi, sikap dan tata laku manusia dalam usaha pendewasaan melalui
pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan tata-cara yang menghargai
perbedaan, demokratis, humanis, pluralis dan egaliter guna mewujudkan bangsa
yang kuat, maju, adil, makmur dan sejehtera tanpa diskriminasi dan dikotomisasi.
Dengan demikian bangsa ini memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh
bangsa-bangsa lain di dunia
B. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural di Dunia
Setelah menjelaskan pengertian dari definisi pendidikan multikultural,
kiranya perlu digambarkan bagaimana sejarah, wacana kelahiran dan
perkembangannya di beberapa negara di dunia. Hal ini agar diketahui dan
dipahami konsep pendidikan multikultural secara komperhensif dan integral.
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keragaman budaya”. Menurut
Dawam Rahardjo, sebenarnya multikulturalisme itu sama atau sejalan dengan
beberapa faham lain yang juga sering disebut, yaitu pluralisme, masyarakat
terbuka (open society) dan globalisme. Pluralisme adalah suatu paham yang
bertolak dari kenyataan pluralitas masyarakat. Ia tidak bertolak dari asumsi bahwa
13
setiap kultur atau agama itu sama, justru yang didasari adalah adanya perbedaan.13
Meski demikian, sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara
bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut -
baik keberagaman ras, agama, bahasa, dan budaya-, yaitu pluralitas (plurality),
keragaman (diversitas), dan multikultural.
Sedikit berbeda, Tilaar membedakan istilah-istilah tersebut. Ia menyatakan
istilah plural itu sendiri mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme
bukan sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis, tetapi juga
pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi, dan
yang lainnya.14 Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal
yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’.
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’ (many);
kergaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda,
heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan; multikultural yang relatif paling baru,
adalah tidak sekadar mengakui adanya yang ‘lebih dari satu’ tapi juga kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Jadi, jika pluralitas sekadar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang
lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang
terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu dipelakukan sama oleh negara.
Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut adanya
pengakuan (politics of recognition).15 Ditambahkan, bahwa pengakuan tersebut
13 M. Dawam Rahardjo, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin
Kebebasan Edisi No. 4/V/2007, hal. 5. 14 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82. 15 Politics of Recognition dikemukakan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah
terbuka di Princenton University. Mulanya gagasan ini adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, filsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasan ini dipengaruhi oleh Jean Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetus Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam
14
bukan hanya oleh negara semata-mata tapi juga antar komunitas satu dengan
lainnya karena secara hakiki, multikulturalisme mengandung pengertian
pengakuan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaan masing-masing yang unik. Pengakuan berarti penghargaan akan
keberadaan yang dimiliki orang lain. Abdurrahman Assegaf juga memaknai
“menghargai perbedaan” berarti siap untuk menerima kehadiran orang lain di
tengah kehidupan kita secara kolektif (learning to live together).16 Dengan
demikian multikulturalisme adalah paham dan gerakan yang menuntut
penghargaan dan pengakuan yang bersifat vertikal (antar komunitas) dan
horizontal (komunitas dengan negara). Indonesia yang multikultur secara
sukubangsa atau kebudayaan suku bangsa sebagaimana ciri masyarakat majemuk,
belum sepenuhnya memahami multikulturalisme, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan tersebut dalam kesedarajatan.
Demikianlah bahwa multikultutralisme memberikan pengandaian akan
adanya kesadaran bagi setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu dan
posisinya sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Dalam hal ini multikulturalisme
meniscayakan keragaman dan pluralitas. Titik tekan pluralisme dan
multikulturalisme adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan
keragaman. Jika pluralisme mengisaratkan kesadaran dibangun atas individu
dengan cita-cita ideal adanya personal right yang mengarah pada liberalisme dan
masyarakat komunikatif, adapun multikulturalisme dibangun atas kesadaran
kolektif sebuah komunitas yang mengarah pada pembentukan masyarakat madani
yang multi etnik, keragaman agama dan identitas sosial yang lain
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elemen sosial-budaya, termasuk juga negara. Lihat Charles Taylor, “The Politics of Recognition” dalam Amy Gutman, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition, (Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp akses tanggal 20 Januari 2008
16 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1, hal. 7.
15
konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya
komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan
menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang
berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik.
Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang
lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian,
multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang
kebudayan.17
Menurut Bloom, multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman,
penghargaan dan penilaian budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Meski demikian, sebuah penilaian
terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh
aspek dari kebudayaan-kebudayaan orang lain tersebut, melainkan mencoba
melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi
17 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan
pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006.
16
anggota-anggotanya sendiri.18 Dengan demikian multikulturalisme sebagai sebuah
paham menekankan pada keseteraan budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak
dan eksistensi budaya yang ada.
Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan
kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai
konsep lainnya yang relevan.19
Lantas kapan wacana multikulturalisme mulai mengemuka?
Multikulturalisme marak digunakan pada tahuan 1950-an di Kanada. Menurut
Longer Oxford Dictionary, istilah “multiculturalism” berasal dari dari kata
“multicultural”. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada Montreal
Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat
“multicultural dan multi-lingual”.20
Secara umum, sejarah multikulturalisme baru sekitar 1970 di berbagai
belahan dunia seperti Kanada, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan
lainnya yang kemudian diskursus multikulturalisme berkembang sangat cepat. Hal
itu lebih disebabkan karena tuntutan dan perkembangan zaman. Lahirnya
multikulturalisme ditandai dan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a) Proses demokratisasi dalam masyarakat;
b) Pembangunan kembali setelah Perang Dunia ke-II; dan
c) Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural.21
Sejarah multikulturalisme adalah sejarah tentang masyarakat majemuk.
Selain Kanada, Amerika dan Australia adalah dari sekian negara yang sangat
serius mengembangkan konsep dan teori-teori multikulturalisme dan pendidikan
multikultural, mereka tergolong negara yang berhasil mengembangkan
18 Atmaja, Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat Hindu, makalah disampaiakan pada
Seminar Damai dalam Perbedaan, Singaraja 5 Maret 2003. 19 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, makalah disajikan
pada Simposium Internasional, di Universitas Udayana 16-19 Juli 2002. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm
20 Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs http://www.education/pendOrg.hatm.
21 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 82.
17
masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya,
dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur
nenek moyang tanah asalnya.
Di Amerika misalnya, menurut Muhaimin el-Ma’hady, sejarah
multikulturalisme berjalan secara bertahap dan dinamis. Sejak Colombus
menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu.
Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk
koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang
berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata Anglo Saxon (imigran asal
Eropa) yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di negara baru itu adalah
kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih
dari mahluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukan.
Dari perpektif kaum puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang
dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan
nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan
komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan
berprespektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata
terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Hingga kemudian pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776), ketika ingin
membentuk masyarakat baru Amerika Serikat mulai menyadari bahwa
masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh
karenanya dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan
menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan
pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan22. Dalam pada itu, Dede
Rosyada mengelaborasi bahwa sejarah multikulturalimse diawali dengan teori
meltingpot yang sering diwacanakan oleh J. Hector, seorang imigran gelap asal
Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan
melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu
budaya yaitu budaya Amerika yang lebih didominasi oleh kultur White Anglo
Saxon Protentant (WASP) sebagai kultur imigran putih asal Eropa.
22 Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam
situs http://www.education/pendOrg.hatm
18
Kemudian ketika komposisi etnik Amerika kian beragam dan budaya
mereka kian menjemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul
teori baru yaitu salad bowl sebagai alternative dipopulerkan oleh Horace Kallen.
Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun
budaya baru yang dibangun dalam kergaman, teori salad bowl atau teori gado-
gado terebut tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain
di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memerlukan ruang
gerak yang leluasa, sehingga dkembangkan teori cultural pluralisme, yang
membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh
etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial
politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya
Amerika, akan tetapi mereka juga memiliki ruang privat yang di dalamnya mereka
mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.
Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat
bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan, mengembagkan kebanggaan
sebagai orang Amerika. Namun pada tahun 1960-an, masih ada sebagian
masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Kelompok Amerika
latin atau etnik minoritas lainnya merasa belum terlindungi hak-hak sipilnya. Atas
dasar itulah kemudian mereka mengembangkan multiculturalisme, yang
menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas baik di
lihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Multikulturalisme pada akhirnya
sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari
berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa dengan menghargai
dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak minoritas. Sikap
apresiatif tersebut akan dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam
membesarkan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar karena
kebesaran bangsanya itu.23
Sementara itu, pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang
berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya
yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan
23 Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal
Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005, hal. 20-21.
19
pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif
dibandingkan dengan negara tetangganya.
Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi
penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan
Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru
ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di
dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural.
Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan
momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui
Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit
berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah
Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok etnis bukan hanya
dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India, Cina, Vietnam, dan juga dari
Indonesia24.
Menurut Bikhu Parekh, setelah tiga dekade sejak digulirkan,
multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama
multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda,
prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (poltics of recognition) adalah ciri utama
dari gelombang ini.
Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman
budaya. Pada gelombang ini mengalami beberapa tahapan, di antaranya :
a. kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai displin akademik lain,
pembebasan melawan imrealisme dan kolonialisme.
b. gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat
asli/masyarakat adat (indigeous people), post-kolonialisme, globalisasi,
post-nasionalisme, post modernisme dan post-strukturalisme yang
mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.25
24 Sumber dari http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikultural-di-
indonesia_04.html 25 Grgory Jay, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu-
/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005
20
Gelombang kedua ini tampak makin progresif dan dinamis, memandang
jauh ke depan. Pun begitu, Steve Fuller mewanti-wanti adanya tantangan yang
harus diperhatkan dan diwaspadai yang muncul dari akibat multikulturalisme
gelombang kedua ini, antara lain :
Pertama, adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial
dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang,
perlu mempelajari sebab-sebab hegemoni barat dalam bidang-bidang
tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya,
sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.
Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya
mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan xenophobia
dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang
sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era
globalisasi, dan
Ketiga, proses globalisasi yang bisa memberangus identitas dan
kepribadian suatu budaya.26
Kemudian bagaimana posisi pendidikan multikultural dalam proses,
wacana dana teori-teori multikulturalisme di atas?. Pendidikan multikultural
menjadi bagian penting dari multikulturalisme. Ia menjadi semacam medium
sosialiasi dan pengembangan multikulturalisme. Wacana tentang pendidikan
multikultural terus mengemuka seiring dengan terus bergulirnya arus
demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi pada penguatan civil
society dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya,
Amerika Serikat menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan
nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sekolah Dasar
hingga Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang
dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya
dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui
26 Lihat Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004),, hal. 83-85.
21
sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat menggunakan
sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya
adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi
juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.27
Dengan demikian konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang
menganut konsep demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Kanada bukan hal
baru lagi. Mereka telah mempraktikan khususnya dalam upaya melenyapkan
diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan
memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multikultural tidak bisa lepas dari diskursus multikulturalisme,
pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran
tentang “interkulturalisme” seusai Perang Dunia ke-II. Kemunculan gagasan dan
kesadaran “interkulturalisme” selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan
diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-
negara Barat sendiri yang baru migrasi ke Amerika dan Eropa.28 R. Stavenhagen
dalam kutipan Tilaar, menyatakan :
Religious, linguistic, and national minoritas as well as indigeous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the eduacational and legal system.29 Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara
yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka
pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan
multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang
27 Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam dalam situs
http://www.education/pendOrg.hatm 28 Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Islam,
(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2, hal. 208. 29 Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004), hal. 46.
22
damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana
yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural
bergandeng mesra dengan multikulturalisme, ditandai dengan proses
demokratisasi dan dipicu oleh tuntutan pengakuan terhadap hak asasi manusia,
anti diskriminasi dan dikotomisasi atas warna kulit, agama, adat istiadat, kultur
maupun gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan sama dan sederajat.
Multikulturalisme dan pendidikan multikultural, sekarang dan ke depan akan
menjadi tema menarik dan ramai diperbincangkan.
C. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan sebuah model pendidikan aplikatif
sekaligus responsible terhadap gejala multikulturalisme. Menurut Redolfo
Stavenhagen, sebagaimana dikutip Miftahul Choiri, pendidikan multikultural
harus didasarkan pada tujuan untuk menciptakan stabilitas dan integrasi nasional.
Oleh karena itu, latar belakang kehidupan masyarakat baik yang berada di
pedesaan maupun di perkotaan harus mendapatkan perhatian yang proporsional
sehingga model pendidikan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat.30
Sebagaimana keterangan pada proses keterkaitan antara (ke)budaya(an)
dengan pendidikan terdahulu. Menurut Parekh bahwa istilah multikulturalisme
mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini
merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons
pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik
pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir
semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan
menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka
bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam
kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga
negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan
30 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur….., hal. 49
23
multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti
Indonesia?
Untuk menghantarkan pada pengidentifikasian pendekatan-pendekatan
dalam perumusan prinsip-prinsip pendidikan multikultural, tidak ada salahnya jika
menegok bentuk-bentuk materi-materi praktek pendidikan multikultural di
Amerika sebagaimana catatan Kymlica yang dirangkum oleh Dede Royada,
meliputi :
1. Tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap warga negara masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk terpebuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya, seperti hak untuk memeluk agama, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak atas kesempatan berusaha dan yang sebagnsanya. Demikian pula, secara kolektif, walaupun mereka berasal dari etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, mengembangkan budayanya, dan yang sebangsanya.
2. Tentang kebiasaan individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu termasuk etnik minoritas memiliki kebebasan untuk berkreasi, berkarya bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya. Kelompok etnik mayoritas harus menghargai hak-hak minoritas untuk mengembangkan budayanya itu.
3. Tentang keadilan dan hak-hak minoritas, yakni seluruh anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan dari negara, dan bahkan mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan kultur etniknya, termasuk etnik minoritas yang harus mampu mengelola bahsa, dan berbagai institusi sosialnya, agar tidak hilang dalam budaya kelompok etnik mayoritas.
4. Jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan legislatif. Mereka memiliki hak untuk bisa terwakili, tetapi karena sistem kepartaian, seringkali kelompok-kelompok etnik, budaya dan kepentingan tidak terwakili, seperti wanita pekerja yang belum tentu terwakili di parlemen. Etnik kecil yang belum tetntu terwakili aspirasi dan suaranya dalam pengambilan putusan tentang kebijakan pembangunan.
5. Toleransi dan batas-batasnya, yakni bahwa etnik minoritas yang tidak terwakili langsung di parlemen atau birokrasi, harus dilindungi oleh etnik atau kelompok yang menguasai lembaga-lembaga otoritatif untuk pengambilan kebijakan-kebijakan publik. Akan tetapi, mereka yang berusaha memperhatikan hak-hak minoritas tersebut memiliki berbagai keterbatasan, karena harus memperhatiakan etnik atau kelompok mayoritas yang justru mereka wakili. Oleh sebab itu, hak-hak minoritas itu tetap memperoleh perhatian tapi dalam keterbatasan.31
31 Lihat Dede Rosyada, Pendidikan Multikultur…., hal. 24.
24
Dengan bentuk materi praktek pendidikan multikultural demikian,
Amerika Serikat menurut hasil sebuah penelitian mengungkapkan beberapa
program pendidikan multikultural di Amerika ini sangat memungkinkan
diterapkan dalam masyarakat yang multikultur, meskipun masih ada beberapa
masalah yang akan terus muncul, namun kontribusi pendidikan multikultural
sangatlah signifikan. Tidak terbantahkan bahwa anggapan pendidikan
multikultural sebagai faktor kunci membutuhkan proses panjang dan menghadapi
berbagai tantangan. Namun demikian, pendidikan multikutural juga sangat
membantu sebagai strategi merekonstruksi kesetaraan dalam pendidikan,
mewujudkan kurikulum yang mengakomodasikan keberagaman, perubahan
budaya, teknik pengajaran dan meminimalkan diskriminasi dalam bentuk ras,
kecurigaan dan prasangka untuk semua warga negara dalam wadah masyarakat
multikultural.32
Selanjutnya, secara umum paling tidak tiga model kebijakan multikultural
negara-negara di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas.
Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan
aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai
perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak
untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai
penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan
menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite
tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik
yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para
pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri
nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar
32 Yuyun Nur Hidayati, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada). Sumber: google.com/search/Multi_Amerika.htm.
25
yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional
akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak
warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas
yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga
negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak
hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas,
dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena
ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan
negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif
sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-
konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara
itu sendiri33.
Sekali lagi, tiap bangsa memiliki keunikannya sendiri, pendidikan
multikultural di Amerika bisa jadi tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia.
Namun, secara universal, di manapun pendidikan multikultural mestilah
terkandung nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi kemanusiaan dan kearifan
memandang setiap manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Multikulturalisme
sendiri adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya masyarakat, salah
satunya adalah menjelma dalam pendidikan multikultural. Pendidikan
berwawasan multikultural dalam rumusan Jemes A. Banks adalah konsep, ide atau
falasafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan
yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam
membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribaadi, kesempatan-
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.34
33 Achmad Fedyani Saifuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia, sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm 34 James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on Multicultural
Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28.
26
Mengenai manusia mahluk yang berbudaya, Bikhu Parekh menggaris
bawahi tiga asumsi dasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, pertama, pada
dasarnya manusia akan terkait dengan struktur dan sistem budayanya sendiri
dimanapun dia hidup dan berinteraksi. Keterkaitan ini tidak berarti bahwa
manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi
mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu
berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan
representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda
pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang realtif sekaligus
partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu
budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain.
Ketiga, pada dasarnya budaya secara internal merupakan entitas yang
plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara
pendang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan
tetapi budaya pada dasarnya adalah suatu yang majemuk, terus berproses dan
terbuka.35 Parekh menulis:
“a culture’s relation to it self shapes and is turn shaped by its relatin to others, and their internal and external pluralities presuppose and reinforceeach other. A cultur cannot appreciate the value of other unless it appreciates the plurality within it.36
Dengan demikian jelaslah bahwa prinsip dasar yang harus diperhatikan
dalam penerapan pendidikan multikultural harus menimbang akan kebutuhan dan
budaya suatu negara. Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi
yang harus ada dalam perumusan pendidikan multikultural, yaitu: Pertama,
adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di
dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan
utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan
(konwledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami
secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka
35 Diambil dari Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar,
Desember 1999, sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm 36 Bikhu Parekh, What is Multiculturalism?, dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999,
sumber,www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm
27
(prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur
pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang
memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam.
Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal
yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah
menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat
yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.37
Peran pendidikan di dalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti di
dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi
disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah
posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar
dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah
atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang
seharusnya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun di sini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
37 James A. Banks, Multiccultural Education: Historical Developmen, Dimension, and
Practice, dalam Handbook…., hal. 28
28
5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.18
Selanjutnya Tilaar juga menggarisbawahi enam hal kebutuhan model
pendidikan (multikultural) di Indonesia yang yang harus diperhatikan, antara lain:
Pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi right to culture dan
identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan
Indonesia merupakan weltanschauung yang terus berproses dan merupakan
bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk
mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap
budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model
pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus
menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan
multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan
fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan
multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment)
dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equite).
Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti seseorang diajak mengenal
budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya
Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut
diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar-suku, antar-agama
dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan
mewujudkan visi Indonesia masa depan serta membangun etika bangsa.
Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip eris (moral)
18 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah…, hal. 104-107.
29
masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya
yang plural38.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang
dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi
semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya.
Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk
membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan
yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada
masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi,
dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah
tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut
untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.39
Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema besar
yang muncul dari prinsip-prinsip pendidikan multikultural berkaitan erat dengan
manusia, kemanusiaan dan budaya40, yang berporos pada :
1. Prinsip Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
Keterkaitan antara HAM dan pendidikan tidak dapat disangkal lagi,
keduanya tidak dapat dipisahkan, karena antara keduanya terdapat
hubungan eksistensial. Artinya, proses pendidikan tidak akan terlepas dari
38 HAR. Tilaar, Multikulturalisme…, hal. 185-190. 39 Pupu Saiful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Kajian
terhadap Masalah-masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini, dalam http//www.akhmadsudrajat. wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.
40 Lihat pula Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…., yang menjabarkan prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia, antara lain : 1) Menekankan kualitas proses daripada hasil, 2) Memposisikan murid bukan sekedar obyek tapi subyek pendidikan, 3) Metode belajar bervariasi, 4) Menghargai perbedaan 5) Special treatment for special student, dan 6) menerapkan kurikulum pendidikan yang holistik.
30
HAM, demikian pula HAM tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya
proses pendidikan. Proses pendidikan adalah untuk merealisasikan HAM41
Hal senada juga diungkapkan oleh Chalidijah Hasan yang
mensyaratkan adanya prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus
diperhatikan dalam pendidikan, antara lain :
a) Manusia memiliki sejarah, mahluk yang mampu melakukan self reflection, perenungan aksi masa lalu untuk sebuah kombinasi baru di masa depan.
b) Manusia adalah mahluk dengan segala individualitasnya merupakan masing-masing yang memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Kalau prinsip individualitas ini tidak dipahami, maka akan terjadi ketimpangan dan kesenjangan dalam pelaksanaan pendidikan.
c) Manusia selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka, manusia harus dipandang sebagai pribadi yang mesti diberi kesempatan untuk mengembangkan diri.
d) Manusia mengadakan hubungan dengan alam sekitarnya. e) Manusia dalam kebebasannya mengolah alam fikiran dan rasa telah
menemukan sesuatu yang transendental.42
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan
sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu
dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi
pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum
peserta didik memiliki beberapa ciri yaitu;
1) Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2) Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3) Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. 4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan
potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu43
41 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. Ke-1, hal. 432. 42 Chalidijah Hasan, Kajian Pendidikan Perbandingan, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), cet.
1, hal. 14-15. 43 Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51
31
2. Prinsip Persamaan Derajat
Pendidikan mulikultural beradasarkan pedagogic baru, yaitu
pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity paedagogy).
Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan HAM, tetapi juga hak
kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup
beradasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip
kesetaraan individu, antar bangsa, antar budaya, antara agama dan
sebagainya. Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaan-
perbedaan artifisial yang telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah
kehidupannya. Pedagogik kesetaraan berpangkal kepada pandangan
mengenai kesetaraan martabat.
Secara kebahasaan equality berasal dari kata equal yang berarti
sama. Terma equality juga dapat difahami sebagai persamaan. Adapun
yang dimaksud equality dalam pendidikan adalah kesejajaran atau
perlakuan merata yang diterima setiap peserta didik dalam memperoleh
pendidikan, tanpa memandang status ekonomi dan strata sosial.
3. Prinsip Pelestari Kebudayaan
Antara manusia, masyarakat dan lingkungan ada dialektika
berkesinambungan, di mana yang satu mempengaruhi yang lainnya. Maka
dalam konteks ini, pendidikan memfungsikan dirinya sebagai wacana
interaktif antara manusia dan masyrakat serta lingkungannya.44 Wacana
tentang manusia semacam itulah acuan pengembangan pendidikan
berprespektif multikultural. Manusia dan kebudayaan tidak terpisahkan,
maka pendidikan harus selalu berpegang pada dasar-dasar :
1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah eksistensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
44 Armai Arief, Reformulasi…., hal. 92.
32
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.45
4. Prinsip Pluralisme
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa manusia selalu
bersama dengan segala perbedaan-perbedaan dan keragaman. Maka
kondisi ini harus dikelolarawat dengan baik agar bias bernilai positif. Perlu
ada sikap saling menghormati, menghargai dan saling menopang
(cooperative-akomodative) terhadap realitas. Pluralisme budaya bukanlah
suatu yang “given” tetapi merupakan proses internalisasi nilai-nilai di
dalam suatu komunitas
Pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara
berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan
memahami) pluralitas bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan
haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem akut
kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian dan
sebagainya. Pendidikan yang dilaksanakan bukan merupakan penanaman
wacana dalam fungsi organisatorisnya yang lebih mengedepankan terma
perebutan wilayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan
menampakkan ekspresi kecurigaan terus menerus dalam prosesnya dan
antar sivitas pendidikan. Pendidikan seperti ini juga merupakan upaya
pendangkalan wacana keagamaan.
Pendidikan bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran yang
sangat formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu
pendidikan hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya, pendidikan
hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan.
Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut ridla-Nya dengan
menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain)
45 Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51
33
yang sama. Sebaliknya, justru menghargainya dan bersama merumuskan
kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing.
Pluralitas agama dan keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi
kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama
melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh
agama selalu mengklaim demi keselamatan manusia. Di sini pendidikan
agama memiliki peran penting untuk menumbuhkan sikap awal agar bisa
bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Pendidikan agama
harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan
menemukan tradisi ilahi yang sama pada setiap agama, sehingga bisa
bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh umat
manusia.
Pengembangan sikap toleransi plus barang kali merupakan upaya
strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau
golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Untuk ini dialog antar umat
beragama menjadi penting sebagai manifestasi membuka diri pengalaman
keagamaan. Caranya anak diajak melihat kebaikan kelompok lain, tidak
bersikap apriori, SARA dan berperilaku negatif terhadap orang atau
kelompok lain. Atau dengan cara sharing penghayatan agama sesuai
pengalaman spiritual yang dijalai secara terbuka. Dengan begitu akan
terhindar dari informasi yang salah mengenai agama lain.46
Tidak hanya itu, menghargai perbedaan adalah salah satu sikap
yang harus dikembangkan dalam rangka mewujudkan pendidikan
multikultural. Latar belakang sosial ekonomi yang berbeda merupakan
asset yang sangat berharga dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu sikap
menghargai perbedaan harus ditumbuh kembangkan dalam lingkungan
belajar. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat saling menghargai dan biasa
berbeda47 Dengan ditanamkannya pemahaman pluralisme diharapkan
setiap anak bangsa faham bahwa perbedaan ada bukan untuk saling
46 A. Waidl, Pendidikan Yang Menghargai Kemajemukan, dalam Bulletin Jum'at Al-Ikhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Download di www.is-lam@isnet.org 18 Januari 2008
47 Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…, hal. 33.
34
menghantam antara satu agama dengan agama lainnya, bukan sebagai
ajang penjajahan suku mayoritas terhadap minoritas, dan bukan pula untuk
merendahkan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Dengan adanya
perbedaan di sekitar harus difahami sebagai sarana saling menghargai dan
saling melengkapi (mutual respect). Pluralisme adalah nafas dari ke-
bhineka-an. Dan kehidupan yang bhineka tidak dapat tercermin tanpa
adanya pemahaman keberagaman.
D. Tujuan Pendidikan Multikultral ; Mewujudkan Manusia Indonesia Cerdas
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan,
masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoretis yang
pertama berorintasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap
pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk
sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoretis
yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada
kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar48.
Selanjutnya, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada
di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Brubacher dalam bukunya,
Modern Philosophies of Education (1978) menyatakan hubungan pendidikan
dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan
ekonomi, politik, dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan
sumber daya masyarakat, dan untuk masyrakat, maka pendidikan dituntut untuk
mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan
sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangakan secara mikro
pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik
perbedaan antara individu peserta didik49.
Layaknya sebuah konsep, pendidikan multikultural juga memiliki tujuan,
karena pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk
48 Sebagian kelompok masyarakat yang memegang kendali sebuah Negara. 49 Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Aditia 2001), hlal. 16
35
mencapai suatu tujuan. Tujuan-tujuan akhir yang pada essesnsinya ditentukan
oleh masyarakat, dan dirumuskan secara singkat dan padat, seperti kematangan
dan integritas atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya kepribadian manusia,
dalam hal ini pendidikan multikultural menujukan diri pada terciptanya bangsa
yang memiliki integritas yang tinggi, bangsa maju, berperadaban, disegani oleh
bangsa lain dalam framework global-multikultural. Cita-cita tersebut, di Indonesia
diproyeksikan pada pembekalan dan pengembangan sumber daya manusianya,
yakni dengan label manusia Indonesia cerdas. Hanya manusia cerdaslah yang
dapat membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia
yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya
untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok, dan sebagai anggota masyarakat dan bangsanya.
Kemudian manusia cerdas juga manusia yang bermoral dan beriman
sehingga kecerdasan yang dimilikinya bukan untuk memupuk kerakusannya
menguasai sumber-sumber lingkungan secara berlebihan maupun di dalam
kemampuannya untuyk memperkaya diri sendiri secara tidak sah (korupsi), tetapi
seorang manusia cerdas yang bermoral pasti akan bertindak baik.
Selanjutnya manusia cerdas bukanlah yang ingin membenarkan apa yang
dimilikinya, cita-vitanya, agamanya, ideology politiknya untuk dipaksakan kepada
orang lain, tetapi seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-
perbedaan yang ada di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Jadi, sosok manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral,
bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai
diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda50.
Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan
masyarakat indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi
didalam perbedaan budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya
(democratizatioan), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement),
50 Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007
36
memiliki kebangsaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity)
serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya
(religionism). Untuk bisa melihat konsep manusia cerdas, lihat tabel berikut :
Tabel Manusia Indonesia Cerdas51
Sikap dan Tingkah Laku Kompetensi Cerdik-Pandai - Kemampuan analisis
- Dapat mengambil pilihan - Menguasai Ilmu Pengetahuan - Gemar Belajar
Energik-Kreatif - Daya Kreatif - Rajin, kerja keras - Tahan uji
Responsif terhadap Masyarakat Demokratis
- Toleran terhadap perbedaan - Persatuan Indonesia yang
pluralistic - Inkulisivisme
Daya Guna (Skilled) - Keterampilan yang beermanfaat - Pemanfaatan Sumber Daya
Alam Akhlak Mulia (Moral, Religius) - Bermoral
- Anti Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)
- Religius Substantif Sopan Santun (Civillized) - Mengenal adat istiadat setempat
- Mengenal tata pergaulan internasional
Dari tabel di atas dapat dilihat sebuah sosok manusia ideal era global.
Mereka memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam kognitif,
energik-kreatif dalam ranah motorik, responif terhadap masyarakat-demokratis,
daya guna (skilled), akhlak mulia (moral, religius), sopan santun (civillized). Dari
pemaparan di atas, tujuan pendidikan multikultural merapatkan diri dalam ranah
kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dengan manusia Indonesia cerdas
diharapkan akan dapat membangun bangsa ke depan di era global-multikultural.
51 Tilaar, Multikulturalisme…….,hal. 203.
37
E. Implikasi Multikulturalisme terhadap Pendidikan Islam
Era multikulturalisme, sebagaimana keterangan terdahulu, menuntut
masyarakat dengan segala unsurnya untuk saling tergantung dan menanggung
nasib secara bersama-sama demi tercapainya perdamaian abadi. Tidak bisa
dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah
meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas sosial
ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi
keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang
homogen dan monokultur. Fenomena multicultural dari pluralitas ras, etnik,
jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup sudah menjadi bagian
dari imperatif peradaban manusia.
Gejala multikulturalisme dan globalisasi sendiri akan mempengaruhi
beberapa aspek fundamental dalam pendidikan dan kehidupan manusia. Menurut
Mastuhu, implikasi dari multikulturalisme terhadap pendidikan, utamanya di
Indonesia antara lain :
a. Kesadaran globalisasi membawa saling ketergantungan antara berbagai
pihak terkait. Disamping itu juga harus bersikap dan berperilaku terbuka
dan bijaksana dalam bekerjasama dengan berbagai pihak.
b. Fungsi lembaga pendidikan harus menumbuhkembangkan kemampuan
belajar sendiri bagi anak didik dalam rangka menemukan jati dirinya guna
menyongsong masa depan.
c. Perlu diberikan dasar-dasar yang utuh dan kuat kepada anak didik sebelum
anak didik memiliki dunia spesialisasi sesuai dengan bakatnya52.
Selain itu, era-multikulturalisme jika tidak dikelolarawat dengan baik
sesungguhnya mengandung potensi disintegrasi bangsa. Perbedaan ras, etnis,
budaya agama, dan lainnya bisa menimbulkan sikap sektarian atau firqah-firqah.
Disintegrasi itu akan terjadi apabila dalam masyarakat multikultural terjadi
penyumbatan terhadap pertukaran sosial (Social Exchange), yaitu tindakan saling
memberi dalam berbagai aspeknya, termasuk redistribusi pendapatan.
52 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 46.
38
Multikulturalisme yang meniscayakan perbedaan itu diasumsikan (berdasarkan
pengalaman), juga mengandung potensi konflik atau persaingan yang tidak sehat.
Bahkan Huntington sendiri mengasumsikan terkandungnya konflik antar
peradaban, tidak sekadar perbedaan. Karena konflik itu tak terkompromikan atau
tak terdamaikan, maka terjadilah benturan atau bahkan perang peradaban.53
Oleh sebab itu, dunia pendidikan, utamanya pendidikan Islam,
mendapatkan tantangan untuk meredam potensi negatif tersebut sebagai implikasi
dari era global-multikulturalisme. Ini tentu berkaitan dengan gejala kebudayaan
saling bersentuhan dengan pendidikan. Pendidikan dan kebudayaan adalah dua
bidang yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keduanya ibarat dua sisi
mata uang yang saling membutuhkan.54 Pendidikan membutuhkan berbagai
masukan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai sumber belajar, sementara
masyarakat membutuhkan hasil transformasi nilai yang dihasilkan oleh dunia
pendidikan sebagai pendorong perubahan. Begitu pentingnya makna pendidikan
bagi masyarakat, maka hampir bisa dipastikan bahwa proses pendidikan
mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat.55 Tentang hal ini,
hasil studi para tokoh pendidikan yang tercerahkan pada umumnya sepakat,
bahwa tugas pokok pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk
kepentingan masa depan kehidupannya. Ki Hajar Dewantoro misalnya
mengatakan bahwa pendidikan berarti memelihara tumbuh kembang ke arah
kemajuan, tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan
hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.56 Kemanusiaan sendiri adalah
proses yang terus menerus menuju peradaban, maka wajar jika kemudian muncul
pendidikan sepanjang hayat agar berjalan sebagaimana dinamikanya.
Selanjutnya, Unesco (1996) melaporkan dari Comission on Education for
the Twenty-first Century, bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu
53 M. Dawam Rahardjo, Meredam Konflik…., hal. 5. 54 Soedirjato, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan
Bangsa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 91. 55 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 49. 56 Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal
Didaktika Pendidikan, Vol. VI, No.1 Juni 2005, hal. 37.
39
bangunan ditopang oleh empat pilar, yaitu (1) leraning to know atau learning to
learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan
pembelajaran selanjutnya, (2) learning to do, yaitu belajar untuk memiliki
kompetensi dasar dalam berhubungan dengan situasi teamwork yang berbeda-
beda, (3) learning to live together, yaitu belajar unuk mampu mengapresiasi dan
mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, saling memahami
dan perdamaian antar bangsa, (4) learning to he, yaitu belajar untuk
mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki
timbangan dan tanggungjawab pribadi.57
Dengan demikian, teranglah bahwa tugas berat kini harus dipikul. Era
global-multikulturalisme harus dijawab oleh dunia pendidikan. Tantangan
globalisasi dan internasionalisasi menuntut kawasan dan wawasan yang tanpa
batas, maka pendidikan harus bersifat fleksibel. Artinya ada koreksi terhadap
struktur waktu dan tempat dalam berbagai aspek kehidupan, perlu diperlihatkan
ketajaman mata dunia pendidikan melalui plurality competency.
Hal senada juga diungkapkan oleh Miftahul Choiri, menurutnya tantangan
global-multikultural menjadikan manusia harus mengantisipasi terjadinya
perubahan dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana pakar antropolog
pendidikan Indonesia Redolfo Stavenhagen, hal itu terjadi melalui pendidikan58
Dunia pendidikan yang multikultural idealnya memandang positif terhadap
kemajemukan yang ada dengan alasan. Pertama, secara sosial semua kelompok
budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang
lain. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra
positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu wawasan
dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala pendidikan.
Pun dengan pendidikan Islam, keberadaannya harus berperan dalam
membentuk karakter individu-individu dan mampu menjadi “guiding light” bagi
generus muda penerus bangsa. Tuntutan reformasi sistem pendidikan Islam harus
direalisasikan, dari pendidikan Islam yang terkesan sebagai alat indoktrinasi yang
57 Mohammad Surya, Tantangan Pembelajaran di Era Millenium Ketiga, dalam Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. III, No.2, Desember 2002, hal. 150
58 Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No. 2 Juli-Desember 2003, hal. 26
40
anti realitas kepada pendidikan Islam yang berparadigma multikultural. Terlebih
lagi proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, faktanya berbeda dengan
praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan
proses pendidikan dari kebudayaan. Maka kita memerlukan suatu perubahan
paradigma (paradigm shift) dari pendidikan untuk menghadapi globalisasi dan
menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita reformasi tidak lain
tidak bukan ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena
itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan demi
terbentuknya masyarakat madani tersebut.
Arah perubahan paradigma pendidikan Islam yang baru setidaknya
berorientasi pada :
Pertama, desentralistik, kebijakan pendidikan lebih bersifat bottom up,
orientasi lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada
pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya,
kemajemukan berfikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif dan produktif, dan kesadaran hukum.59 Selain itu, orientasi yang
harus dibangun adalah orientasi kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan,
proporsional mengakui pluralitas, anti hegemoni dan anti dominasi.60
Kedua, pendidikan Islam harus dirancang dengan menerapkan prinsip
demokrasi multikultural. Hal ini sejalan dengan semakin tingginya tuntutan
manusia akan hak asasinya, serta perlakuan secara manusiawi sebagai bentuk
konsekuensi dari tidak ada lagi bangsa-bangsa di dunia yang jajah. Berbagai
kelompok sosial (minoritas) yang ada di berbagai negara dengan latar belakang
budaya, suku, ras, glongan, agama, adat istiadat dan sebagainya, yang dahulu
tidak berani menyuarakan aspirasinya kini mulai bangkit dan menuntut
aspirasinya. Fenomena ini harus direspon dengan cara selain menerapkan
pendidikan yang berbasis demokratis, juga pendidikan yang multikultural.
59 Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia,
2001), hal. 5. 60 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah, Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme
Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural, (Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hal. 104-108.
41
Ketiga, pendidikan Islam harus menyelenggarakan pendidikan agama
dengan visi yang menjadikan agama sebagai dasar nilai dalam kajian berbagai
disiplin ilmu, pedoman hidup, sumber etika, moral dan kultural dalam
menghadapi dampak modernisasi dan globalisasi serta menjadikannya sebagai
kepribadian dalam hidup. Ajaran agama yang dikehendaki adalah ajaran agama
yang komperhensif, integratif, holistik, rasional, empirik, progressif, humanis,
inklusif, kultural, aktual dan kontekstual sesuai dengan semangat ajaran agama
yang terdapat dalam kitab suci (al-Qur’an dan hadits).61
Meski begitu, setiap bangsa memiliki kompleksitas karakter, budaya,
geografis, sosio-kultural, tingkat ekonomi, sistem politik dan sejarahnya sendiri-
sendiri. Untuk implementsi suatu konsep pendidikan pun tidak bisa samakan
dengan negara-negara lain. Agaknya implementasi pendidikan multikultural di
Indonesia bukan sesuatu yang taken for granted atau trial and error, butuh kerja
keras dan perjuangan yang panjang. Model pendidikan multikultural di Indonesia
mestilah harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa
sebagai jaminan NKRI. Multikultur dan pendidikan merupakan rangkaian kata
yang berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan karena di
dalam pendidikan terdapat falsafah pendidikan yang disarikan dari nilai-nilai
kultur masyarakat. Falsafah sendiri merupakan ruh sekaligus sumber energi dalam
sistem pendidikan menjadi sesuatu yang sangat menentukan, falsafah adalah
kiblat dalam perncanaan pendidikan.62
Secara lebih spesifik , pendidikan sebagai institusi sosial memiliki fungsi
antara lain sebagai proses perubahan sosial. Proses perubahan masyarakat melalui
pendidikan harus mampu mengakomodir karakter sosial yang dimiliki
masyarakat. Hal ini mengingat pendidikan memiliki sejumlah karakteristik sosial
antara lain :
1) Kultural-Etis; pendidikan menjalin keharmonisan antara tuntutan individu dan nilai-nilai moral masyarakat.
2) Vokasional; pendidikan bertalian erat dan langsung dengan kehidupan praktis dalam berbagai tarafnya.
61 Abduin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam, hal. 38-40. 62 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural…., hal. 22.
42
3) Multi Pola; pendidikan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan kehidupan dan individu yang tidak mungkin berada dalam satu pola.
4) Kondisional; pendidikan mengarahkan individu untuk mempelajari dan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya.
5) General dan Komperhensif; pendidikan bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup dasar-dasar pengetahuan dan budaya.
6) Sosial; pendidikan dibatasi oleh faktor ruang dan waktu serta menggali tujuan dasarnya dari masyarakat.
7) Multidimensi; pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pemahaman terhadap hakikatnya memerlukan pemahaman terhadap segala dimensinya.
8) Artificial; pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Hal ini tidak hanya sekedar terkait dengan manusia seerti apa yang diharapkan di masa depan, lebih jauh dari itu adalah proses seperti apa yang akan diberlakukan dan apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Dengan demikian pendidikan perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format yang akan diberlakukan demi masa depan.
9) Pendidikan merupakan urat nadi kehidupan ndividu dan masyarakat. Sebesar apa yang diberikan pendidikan di setia pusat pendidikan, sebesar itu pula nilainya dalam membentuk kepribadiannya.
10) Perekat sosial; pendidikan disamping merupakan sarana keberlangsungan masyarakat, juga merupakan urgensi sosial bagi individu untuk membentuk kepribadiannya dan mempersiapkan diri untuk membentuk menjadi anggota yang sempurna dalam masyarakat.63
Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia pendidikan,
khususnya pendidikan Islam harus berbenah menghadapi tuntutan zaman agar
tidak berada pada ruang yang hampa dari proses transmisi dan transformasi
budaya. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pendidikan sebagai pewaris dan
pelestari kebudayaan.
63 Lihat Maslikhah, ..Quo Vadis.., hal. 36-37
43
BAB III KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM :
SEBUAH KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Pendidikan :
1. Definsi Pendidikan
Agar penulisan lebih terarah, sebelum dikemukakan pengertian pendidikan
Islam, maka perlu terlebih dahulu mengemukakan pengertian pendidikan secara
umum. Pengertian pendidikan secara etimologi berasal dari kata "didik" yang
kemudian mendapat awalan "pe" dan akhiran "an", mengandung arti pebuatan
(hal cara, dsb)1 Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
"paedagogie" yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan "education", yang
berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering
diterjemahkan dengan "tarbiyah" yang berarti pendidikan.2
Sedangkan secara terminologi, pengertian pendidikan belum ada
kesepakatan bersama dari pakar pakar pendidikan. Menurut UUSPN No. 20
tahiun 2003, "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.".3 Komisi Nasional
1 Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. Ke-
XII, hal. 250. 2 Armai Arief, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Diktat perkuliahan, 2002), hal. 2. 3 UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), cet. Ke-IV, hal.
2-3.
44
Pendidikan mendefinisikan, pendidikan adalah usaha nyata menyeluruh yang
setiap program dan kegiatannya selalu terkait dengan tujuan akhir pendidikan4.
Dalam pengertian yang lain, pendidikan ialah proses pengubahan dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.5 Pendidikan juga mengandung arti sebagai
aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membuka potensi-potensi pribadinya, yaitu (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi
nurani), dan jasmani (pancaindera serta keterampilan-keterampilan).6
Sedangkan menurut Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama7.
Setelah mengemukakan beberapa pendapat tentang definisi pendidikan,
maka penulis berkesimpulan bahwa pendidikan adalah proses bimbingan,
pengarahan, pembinaan jasmani dan rohani yang dilakukan oleh pendidik
terhadap anak didik secara sadar menuju kedewasaan dan membentuk kepribadian
yang luhur dan utama.
2. Definisi Pendidikan Islam
Sebelum menjelaskan tentang definisi pendidikan Islam, terlebih dahulu
diterangkan tentang pemahaman kata pendidikan yang ditambah dengan kata
Islam. Secara umum pendidikan Islam memiliki tiga pemahaman, yakni :
a) Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami yakni pendidikan yang
dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu Al-Qur'an
dan As-Sunah. Dengan pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam
4 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta : CRSD Press, 2005), cet. Ke-I, hal.
18. 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-II, hal. 232. 6 Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha
Nasional, tt), cet. Ke-III, hal. 7. 7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Maarif,
1989), cet. Ke-VIII, hal. 9.
45
dapat terwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri
atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.
b) Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam yakni upaya
pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar
menjadi way of life seseorang.
c) Pendidikan Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik
penyelenggaraan pendidikan yag berlangsung dan berkembang dalam
sejarah umat Islam. Dalam arti proses pertumbuhan dan perkembangan
Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun system
budaya dan peradaban.
d) Pendidikan Islam merupakan proses pembelajaran yang sangat intens
pada post pembentukan kepribadian, budi pekerti yang luhur (menurut
ukuran Islam), atau dengan menggunakan bahas-bahasa lain yang
mempunyai arti kurang lebih sama.
Walaupun istilah pendidikan tersebut dapat dipahami secara berbeda,
namun pada dasarnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional
dalam satu system yaitu pendidikan Islam.8
Adapun definisi tentang pendidikan Islam secara sederhana diartikan
sebagai proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia
(anak, generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam yang berkehidupan serta
mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai muslim. Dengan
singkat pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai proses pembibingan,
pembelajaran atau pelatihan agar manusia menjadi seorang muslim9
Beberapa ilmuwan muslim lain juga mencoba merumuskan dan
menawarkan teorinya tentang definisi pendidikan Islam. Ada beberapa
sumbangsih pemikirannya berkenaan dengan pengertian pendidikan Islam, antara
lain :
8 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Mutikultural; Rekonstruksi Sistem Pendidikan berbasis
Kebangsaan, (Surabaya: JP Books, 2007), cet. 1, hal. 6 9 Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Karya Abditama,
1996), cet. Ke-I, hal. 6.
46
a. Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Armai Arief menyatakan,
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya,
rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.10
b. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Kepribadian utama tersebut adalah kepribadian muslim, yakni kepribadian
yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan, berbuat
serta bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
c. Menurut Abdur Rahman Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan
pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan
sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
d. Menurut Drs. Burlian Shomad, pendidikan Islam adalah pendidikan yang
bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri
berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk
mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau
mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam
apabila memiliki ciri khas yaitu :
1) Tujuan untuk membentuk individu yang bercorok diri tertinggi
menurut ukuran Al-Qur’an.
2) Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap
dalam al-Qur’an dan pelaksanaannya dalam praktek kehidupan sehari-
hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
e. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, pendidikan Islam ialah pendidikan
yang memiliki fungsi sebagai berikut :
1) Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu
dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan
erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri.
2) Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan deengan peranan-
peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
10 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam…..hal. 20.
47
3) Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan
kesatuan masyarakat yang menjadi sayarat mutlak bagi kelanjutan
hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain,
tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu
masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan menyebabkan
kehancuran masyarakat itu sendiri.
f. Hasil Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di
Cipayung Bogor menyatakan, “Pendidikan Islam adalah bimbingan
terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan
hikmah megarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam”.11
g. Menurut Abdurrohman Saleh, pendidikan agama Islam sebagai usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami,
menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan, bimbingan,
pengajaran atau latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.12
h. Menurut Sindhunata, pendidikan agama (Islam) adalah usaha sadar
menyiapkan siswa utuk meyakini, memahami, menghayati, dan
mengamalkan agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama
orang lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama untuk
mewujudkan persatuan nasional. Tujuan secara umum adalah untuk
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa
tentang suatu agama, sehingga dapat menjadi pribadi yang beriman dan
bertaqwa serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.13
11 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia,
2001), cet. II, hal. 16 12 Abd. Rochman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu
Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I, hal. 31. 13 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Mutikultural; Rekonstruksi Sistem Pendidikan
berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books, 2007), cet. 1, hal. 148
48
Dari pemaparan beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, ada
beberapa point penting yang bisa ditangkap, yakni:
Pertama, pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar untuk
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi
yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban
amanat dan tanggung jawab sebagai kholifah Allah di bumi dan
pengabdian kepada Allah, proses ini selanjutnya disebut sebagai proses
edukatif.
Kedua, titik berat dari sekian definisi di atas adalah pada segi
pembentukan akhlak, ada yang menuntut pendidikan teori dan praktek,
sebagian lagi menghendaki terwujudnya kepribadian muslim dan lain-lain.
Ketiga, dapat dilihat beberapa dimensi pendidikan Islam yakni
berhubungan dengan tiga komponen sifat dasar manusia, yaitu : tubuh,
(jasmani), ruhani dan akal (intelektual/sosial). Dalam hal ini pendidikan
berupaya menjaga dan mengembangkannya.
Selanjutnya, Armai Arief mengkategorikan dua pandangan yang dapat
memberikan makna terhadap istilah pendidikan, yaitu pandangan masyarakat dan
pandangan individu. Dalam pandangan masyarakat, pendidikan memiliki makna
"pewarisan nilai-nilai budaya" dari generasi tua kepada generasi muda. Sementara
jika dilihat dari kacamata individu, maka pendidikan memiliki makna
"pengembangan potensi pribadi manusia."14
Titik terang berikutnya adalah, baik pendidikan sebagai pewarisan nilai-
nilai budaya maupun pendidikan sebagai pengembangan potensi pribadi, unsur-
unsur yang mencakup seluruh dimensi kemanusiaan, yaitu jasadi (fisik), aqli
(intelektual) dan rukhi (mental) tetap dibutuhkan. Karena ketiga komponen ini
merupakan sebuah sistem dalam rangka mewujudkan pribadi yang utuh. Dengan
demikian pendidikan agama tidak sebatas memberikan identity: way of life tapi
lebih jauh dari itu adalah sebagai transformasi transcendental.15 Dalam hal ini
14 Armai Arief, Reformulasi.., hal. 79-80 15 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural.., hal. 148-149.
49
pendidikan agama juga berarti memahami konteks sosial budaya yang ada dan
berkembang.
Sejurus dengan itu, visi pendidikan Islam menurut A. Qodri Azizy
sebagaimana versi UNESCO antara lain: (1) learning to think (belajar bagaimana
berfikir); (2) learning to do (belajar bagaimana tetap hidup atau belajar bagaimana
berbuat); (3) learning to be(belajar bagaimana tetap hidup, atau sebagai dirinya);
dan (4) learning to live together (belajar bagaimana untuk hidup bersama-sama).16
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif oleh orang dewasa kepada anak
didik yang mengarah pengembangan potensi akal, jasmani dan rohani
(pembentukan akhlak atau kepribadian muslim) dan pewarisan budaya yang
sesuai dengan ajaran Islam, agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab
sebagai khalifah fil aradh.
B. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam
Dari batasan terminologi pendidikan yang disebutkan di atas, memberikan
gambaran bahwa pendidikan merupakan salah satu syarat utama dalam upaya
meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari sebuah masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan bagi
masyarakat. Agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of
culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka diperlukan acuan pokok
yang mendasarinya. Dalam hal ini pendidikan merupakan bagian yang terpenting
dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan
yang menjadi dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari pandangan
hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Selanjutnya yang
dibicarakan adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi pandangan hidup yang
mendasari seluruh kegiatan pendidikan ini adalah pandangan hidup yang Islami,
yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan eternal (langgeng, abadi atau
kekal).
16 A. Qodri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003), cet. 2, hal. 30-35.
50
Dalam menetapkan dasar-dasar atau sumber-sumber pendidikan Islam
para ahli seluruhnya sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam pendidikan Islam
adalah al-Qur’an, hadits, dan ijtihad yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk
menjawab fenomena yang muncul kemudian yang tidak tertera jawabannya secara
terperinci dalam al-Qur’an dan hadits. Ini berarti bahwa semua perangkat
pendidikan Islam harus ditegakkan di atas ajaran Islam, baik filsafat pendidikan,
teori maupun praktik. Prinsip pendidikan Islam juga ditegakkan di atas dasar yang
sama dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya,
manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak.17
Visi pendidikan Islam dengan demikian tidak bisa lepas dari ajaran dasar
al-Qur’an, hadits maupun ijtihad para ilmuwan. Salah satu visi Islam adalah
berwawasan universal dan global karena ajaran Islam tidak membeda-bedakan
manusia berdasarkan asal-usul daerahnya. Barat dan Timur bagi Islam bukan
untuk dimasalahkan. Nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur dapat diterima
sepanjang memiliki komitmen pada keimanan yang kokoh, kepedulian sosial,
hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama
manusia, berorientasi pada pembentukan akhlak mulia dan kepribadian yang
tangguh. Hal ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 :
سلي لوا أن البروت كموهجل وبرق قشرب المغالمو نلكو البر نم نآم م باللهوالير واآلخ كةالئالماب وتالكو بينيالنى وآتالال ولى مع بهى ذوي حبى القرامتاليو نياكسالمو ناببيل والس نيلائالسي وفو
عاهدوا إذا بعهدهم والموفون الزكاة وآتى الصالة وأقام الرقابابرينالصي واء فأساء البرالضو نيحأس والب كأولئ ينقوا الذدص كأولئو مقون هتالم
17 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), hal. 13.
51
Artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Visi ajaran Islam juga ditujukan untuk menciptakan kedamaian dan rahmat
bagi seluruh alam sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Ambiya : 107
للعالمين إالرحمة أرسلناك ومآ“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Guna mewujudkan visi ini, pendidikan Islam diarahkan pada upaya
mewujudkan tujuan dari kehadiran Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu
memelihara, membina, membimbing, dan memenuhi kebutuhan manusia dalam
bidang agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dengan demikian komponen-
komponen penunjang pendidikan harus berpedoman pada prinsip keseimbangan,
keterbukaan, dinamis, fleksibel, situasional dan kondsisonal, egaliter, demokratis,
manusiawi, rasional professional dan kualitaif.18
Pandangan Islam terhadap masalah-masalah tersebut digariskan dalam
beberapa prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip itulah yang dijadikan landasan dalam
merumuskan perangkat pendidikan.
Lebih padat Dr. Ramayulis menyatakan bahwa ada beberapa prinsip
pendidikan Islam yaitu : Pertama, prinsip pendidikan Islam merupakan implikasi
dari characteristic (ciri-ciri) manusia menurut Islam. Kedua, prinsip pendidikan
18 Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal
Didaktika Islamika, Vol. VI, No. 1 Juni 2005, hal 38.
52
Islam adalah pendidikan integral dan terpadu. Ketiga, prinsip pendidikan Islam
adalah pendidikan yang integral dan seimbang.19
1. Prinsip Pendidikan Islam merupakan Implikasi dari Ciri-ciri
Manusia Menurut Islam20.
Menurut Islam mengemukakan ciri-ciri manusia yang
membedakannya dari mahluk lain adalah sebagai berikut :
a. Fitrah
Mengenai fitrah manusia dalam salah satu hadits diterangkan :
جسانهمي أو ينصرانه أو دانهويه فأبواه ,الفطرة على يولد ولودم كل
“setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah (suci), maka orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani atau Majusi”21
Kemudian dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 30, disebutkan :
مفأق كهجين ولدنيفا لة حطرف ي اللهالت فطر اسا النهليال ع يعلمون ال الناس أكثر ولكن القيم الدين ذلك الله لخلق تبديل
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
b. Kesatuan Ruh dan Jasad
Manusia tersusun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad. Dari segi
jasad sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang, sama-sama
memiliki dorongan untuk berkembang dan memepertahankan diri serta
keturunan. Namun dari ruh, manusia berbeda dari mahluk lain. Allah
19 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 110-114. 20 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 110-114. 21 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul Fikri, 1994), juz. 1, hal. 118.
53
menyempurnakan kejadian manusia yang meniupkan ruh ketika struktur
jasad manusia sudah siap menerimanya.
Dengan ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia
hidup dan berkembang. Ruh mempunyai dua daya, yaitu daya berpikir
yang disebut qalb, dengan daya rasa yang disebut qalb. Dengan daya aql
manusia memperoleh pengetahuan, memperhatikan dan menyelidiki alam
sekitar. Dengan daya qalb manusia berusaha mendekatkan diri (taqarrub)
sedakat mungkin dengan Tuhan.22
c. Kebebasan Berkehendak.
Manusia mempunyai karakteristik kebebasan berkehendak,
kemauan untuk memilih dan memutuskan tingkah lakunya sendiri.
Kebebasan manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan
beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berkreasi
dan lain sebagainya. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 256:
بالطاغوت يكفر فمن الغي من الرشد تبين قد الدين في إكراه النمؤيو بالله فقد كسمتاس ةورثقى بالعال الو امصفا انله اللهو مسيع يملع
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Walau manusia diberi kebebasan tetapi kebebasan itu tidak mutlak
di mana ia sanggup berbuat semaunya. Kebebasan dalam Islam adalah
kebebasan yang terikat oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi
kebebasan orang lain, nilai-nilai agama dan moral yang dianut masyarakat,
22 Ramayulis, Ilmu Pendidikan…, hal. 111
54
undang-undang yang berlaku, kebersamaan dan keadilan serta akal logika.
Rasulullah SAW bersabda:
عیتھر عن مسئول وكلكم راع كلكم
“setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Mutafaq Alaih)23
Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa dalam pencapaian
tujuan pendidikan Islam, faktor peserta didik meupakan hal yang mutlak
perlu dipehatikan. Supaya seorang pendidik berhasil dalam pendidikan,
maka konsep yang jelas tentang karakteritik manusia menurut Islam sangat
penting.
d. Mahluk Sosial
Sebagai homo social, manusia akan selalu membutuhkan bantuan
dan kerjasama dengan orang lain yang masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban dalam hidup bermasyarakat. Sebuah firman Allah SWT dalam
al-Maidah : 2, menyatakan.24
والعدوان اإلثم على تعاونوا وال والتقوى البر على وتعاونوا العقاب شديد الله إن الله واتقوا
Artinya:
"dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya".
Dengan demikian teranglah bahwa manusia tidak akan lepas dari
pengaruh sosial. Acuan mahluk sosial yang paling sederhana adalah tolong
menolong satu dengan lainnya sebagai pengakuan adanya perbedaan.
23 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Fikri, 1998), juz. 2, hal. 820 24Ayat lain yang senada, QS.Ali-Imran : 103dan 110, At-Taubah: 71, Al-Fath: 29, As-
Syura:38, Al-Mujadalah: 22, Al-Anfal: 25, dan sebagainya.
55
Implikasinya dalam pendidikan Islam adalah, tujuan pendidikan Islam
akan mengacu kepada kebahagiaan dunia dan di akhirat yang keduanya
hanya bisa mungkin dicapai oleh manusia melalui proses interaksi sosial.
2. Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan Integral dan Terpadu
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains
dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntunan
aqidah Islam. Allah adalah pencipta alam semesta termasuk manusia,
Allah pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan
melestarikannya.
Menurut Muhammad Quth sebagaimana dikutip oleh Ramayulis,
hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan sunatullah. Sedangkan
pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah
ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan Din Allah, yang
mencakup aqidah dan syari’ah baik alam fisik dengan aturan-Nya berupa
sunatullah maupun pedoman hidup manusia berupa Din Allah adalah
sama-sama ayat Allah, walaupun yang pertama didapatkan dari alam
semesta (ayat al-kauniyah) sedangkan yang kedua didapatkan dari wahyu
(ayat al-tanzilah). Studi tentang ayat kauniyah dilakukan dalam ilmu
fisika, geologi, geografi, biologi dan sebagainya. Sedangkan studi tentang
tata kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan dari ayat-ayat
taniliyat sebagai pedoman hidup untuk manusia dilakukan dalam ilmu
hukum, ilmu politik, sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, antropologi dan
lain sebaginya yang tercakup dalam ilmu-ilmu sosial dan humanitas.25
Dengan demikian semua cabang ilmu sebanarnya adalah ilmu-ilmu
Islami. Jika dalam pengembangan ilmu pengetahuan kemudian terdapat
perbedaan antara hasil penelitian ilmiah dengan wahyu Allah tentu terjadi
salah satu dari dua hal, yaitu : penyelidikan ilmiah yang belum sampai
25 Ramayulis, Ilmu Pendidikan…, hal. 113.
56
kepada kebenaran ilmiah yang objektif, atau salah dalam memahami ayat
yang mengangkut penelitiannya26.
Implikasinya adalah bahwa dalam pendidikan Islam tidak
dibenarkan adanya dikotomi pendidikan agama dan sains. Para peserta
didik harus dapat memahami Islam a total way of life yang dapat mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia.27
3. Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang.
Prinsip keseimbangan dapat dijumpai pada tujuan yang ingin
dicapai oleh tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan Islam, yaitu
disamping dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS.
Al-Baqarah : 201); menjadi hamba yang taat beribadah, (QS. Al-Dzariat :
56), menjadi khalifah dimuka bumi (QS. Al-Baqarah : 30), menjadi hamba
Allah yan muttaqin (QS. Al-Baqarah : 177); manusia yang berakhlak
mulia (QS. Al-Qlam : 4), menjadi hamba Allah yang rendah hati (QS. Al-
Furqan : 63)
Prinsip keseimbangan tersebut selanjutnya dijumpai pada rumusan
kurikulum yang di dalamnya di samping mengembangkan aspek kognitif
juga aspek psikomotorik (QS. An-Nahl : 78), keseimbangan antara
penguasaan ilmu agama dengan ilmu umum (QS. Al-Mujadalah : 11),
pembinaan antara otak kanan dan otak kiri, kesalehan soisal dan kesalehan
individual, kemampuan memahami (to know), mengerjakan (to do),
mengamalkan (to be) dan memanfaatkannya bagi kepentingan bersama (to
life together).28
Ruang lingkup pendidikan di dalam pandangan Islam tidak sempit,
tidak saja pada pendidikan agama dan tidak pula terbatas pada pendidikan
duniawi semata, tetapi Rasulullah sendiri pernah mengajak setiap individu
dari ummat Islam supaya bekerja untuk agama dan dunianya sekaligus29.
26 Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hal. 113 27 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,.., hal. 114 28 Abudin Nata, Paradigma…., hal. 39 29 Abudin Nata, Paradigma…., hal. 16.
57
4. Prinsip Menghargai Perbedaan
Prinsip menghargai perbedaan dapat dijumpai pada salah satu
formulasi pengertian pendidikan Islam, yaitu usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran atau
latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain
dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional.30 Dari statement di atas, terlihat bahwa
pendidikan Islam tidak “anti realitas”. Artinya pendidikan Islam memiliki
kaitan hubungan dengan konteks waktu dan tempat yang melingkupinya,
bagaimana hubungan dengan Allah, hubungannya dengan lingkungan dan
kemanusiaan yang meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan,
sebagaimana tersebar dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits
tentang pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan.
وقبائل شعوبا وجعلناكم وأنثى ذكر من خلقناكم إنا الناس أيها يا خبري عليم الله إن أتقاكم الله عند أكرمكم إن لتعارفوا
"Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-Hujurat: 13).
Dalam ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia
diciptakan dalam wujud laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan
bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini menandakan pluralitas manusia. Jelas
Al-Quran sangat menyadari bahwa agama manusia berbeda-beda. Namun,
perbedaan ini bukan dijadikan sebagai potensi untuk saling membunuh,
sebaliknya dengan santun dan arif al-Quran menawarkan alternatif
pencarian titik temu (kalimatun sawa') masing-masing (Q.S. Ali Imran:
30 Abd. Rochman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema Windu
Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I, hal. 31.
58
64). Terhadap perbedaan, al-Quran melawan keras tindakan diskriminasi.
Al-Quran lebih menekankan keadilan sebagai sikap yang ideal bagi
perbedaan tersebut (Q.S. al-Maidah: 8).
Al-Qur'an menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam
bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif sebagai
satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum : 22). Dalam ayat
lain di tegaskan, tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup di antara
manusia yang tidak perlu menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya
dipahami sebagai pangkal tolak sumber motivasi untuk berlomba-lomba
menuju kebaikan, karena hanya Tuhan-lah yang akan menerangkan
mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia kembali kepada-Nya.31
Ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas adalah QS. Al-Maidah : 48,
QS. Hud : 118-119, Al-Syura : 8.32.
Jadi prinsip pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
hadits tidak menafikan perbedaan keragaman, oleh karenanya pendidikan
hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan.
Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut ridla-Nya dengan
menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain)
yang sama sebaliknya, justru menghargainya dan bersama merumuskan
kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing33.
31 Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan
Demokrasi, (Malang : UMM Press, 2001), cet. Ke-I, hal. 2. 32 Ibid, hal. 56. Ayat senada dapat dilacak pada QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah
: 8-9, dan al-Baqarah : 256 33 A. Waidl, Pendidikan yang Menghargai Perbedaan, dalam google.com/pendidikan
pluralisme. 13 Januari 2006
59
C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Fungsi Pendidikan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.34
Pendidikan juga berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yang
masih layak dipertahankan, pendidikan juga memiliki fungsi sebagai alat
transformasi masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan perubahan sosial yang
tengah terjadi.35 Sedang menurut Hasan Langgulung pendidikan Islam memiliki
fungsi sebagai berikut :
1. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu
dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat
dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri.
2. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan deengan peranan-
peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3. Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat yang menjadi sayarat mutlak bagi kelanjutan hidup (survival)
suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai
keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka
kelanjutan hidup tersebut tidak akan menyebabkan kehancuran masyarakat
itu sendiri.36
Selain alasan itu, pendidikan agama Islam juga merupakan pendidikan
manusia seutuhnya yang dapat membina seluruh aspek kehidupan manusia baik
jasmani maupun rohani, agar peserta didik dapat menjalankan fungsi
34 Tim Penyyusun, Undang-undang Republik Indonesia, No.2 tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3, (Jakarta: CV. Mitama Utama, 2004), h. 7. 35 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, hal.6. 36 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia,
2001), cet. II, hal. 16
60
kehidupannya dengan baik, baik itu bagi pribadinya, masyarakat atau
lingkungannya maupun bagi bangsa dan negaranya.
Secara lebih spesifik , pendidikan sebagai institusi sosial memiliki fungsi
antara lain sebagai alat proses perubahan sosial. Proses perubahan masyarakat
melalui pendidikan harus mampu mengakomodir karakter sosial yang dimiliki
masyarakat. Hal ini mengingat pendidikan memiliki sejumlah karakteristik sosial
antara lain :
1) Kultural-Etis; pendidikan menjalin keharmonisan antara tuntutan individu dan nilai-nilai moral masyarakat.
2) Vokasional; pendidikan bertalian erat dan langsung dengan kehidupan praktis dalam berbagai tarafnya.
3) Multi Pola; pendidikan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan kehidupan dan individu yang tidak mungkin berada dalam satu pola.
4) Kondisional; pendidikan mengarahkan individu untuk mempelajari dan menekuni pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya.
5) General dan Komperhensif; pendidikan bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup dasar-dasar pengetahuan dan budaya.
6) Sosial; pendidikan dibatasi oleh faktor ruang dan waktu serta menggali tujuan dasarnya dari masyarakat.
7) Multidimensi; pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pemahaman terhadap hakikatnya memerlukan pemahaman terhadap segala dimensinya.
8) Artificial; pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Hal ini tidak hanya sekedar terkait dengan manusia seerti apa yang diharapkan di masa depan, lebih jauh dari itu adalah proses seperti apa yang akan diberlakukan dan apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Dengan demikian pendidikan perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format yang akan diberlkukan demi masa depan.
9) Pendidikan merupakan urat nadi kehidupan ndividu dan masyarakat. Sebesar apa yang diberikan pendidikan di setia pusat pendidikan, sebesar itu pula nilainya dalam membentuk kepribadiannya.
10) Perekat sosial; pendidikan disamping merupakan sarana keberlangsungan masyarakat, juga merupakan urgensi social bagi individu untuk membentuk kepribadiannya dan mempersiapkan diri untuk membentuk menjadi anggota yang sempurna dalam masyarakat.37
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai sub
pendidikan nasional memiliki kewajiban untuk menjadi alat perubahan
masyarakat sesuai dengan karakter social dalam pendidikan. Tegasnya, dalam hal
37 Lihat Maslikhah, ..Quo Vadis.., hal. 36-37
61
ini pendidikan Islam harus "ramah" dengan kondisi nasioanal bangsa Indonesia
yang multikultural.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab
tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik maka perbuatan mendidik menjadi
tidak jelas, tanpa arah dan bahkan tersesat atau salah langkah pula. Oleh
karenanya masalah tujuan pendidikan menjadi inti dan sangat penting dalam
menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan.
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab
dinyatakan dengan ghayat, ahdaf, atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris
dinyatakan dengan goal, purpose, objective, atau aim. Secara umum istilah-istilah
itu mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada
suatu target atau arah yang hendak dicapai melalui serangkaian upaya atau
aktivitas.38
Sedangkan secara istilah, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa, “tujuan
adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan
selesai.39 Upaya untuk memformulasikan suatu rumusan tujuan, tidak terlepas dari
pandangan masyarakat dan nilai yang dianut para pelaku pendidikan masing-
masing. Maka tidaklah aneh jika terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai
oleh masing-masing lembaga pendidikan karena kepentingan yang ingin dicapai.40
Tujuan pendidikan di Indonesia secara singkat, sebagaimana tercantum
dalam UU SPN, bahwa tujuan pendidikan nasional ialah membangun manusia
Pancasila yang memiliki ciri-ciri :
a. Bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Cerdas, terampil, berbudi pekerti
c. Mempunyai semangat kebangsaan
d. Dapat membangun diri sendiri
38 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hal. 222. 39 Zakiah Daradjat, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi AKsara, 1992), hal. 29 40 Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islamm ; Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 39
62
e. Bersama orang lain membangun bangsa.41
Sedang menurut Langveld, tujuan pendidikan adalah untuk membangun
anak ke arah kedewasaan, dalam arti membentuk individu berkesadaran sosial dan
susila atau membentuk pribadi sosial yang bermoral. Lain halnya dengan John
Dewey yang merumuskan tujuan pendidikan sebagai pembentukan anggota
masyarakat yang baik. Sedang Kersheristeiner menekankan pada pembentukan
warga negara yang baik.42
Sementara itu dalam pendidikan Islam, tujuan pendidikan tidak akan
pernah lepas dari pembicaraan tentang tujuan hidup manusia, maka dalam
tujuannya pun ilmu akan selalu mempertimbangkan perubahan dan perkembangan
yang dialami manusia. Untuk itu dalam sebuah ilmu atau disiplin ilmu dibutuhkan
suatu rumusan tujuan yang fleksibel yang dapat terus menerus disesuaikan dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Untuk itulah dalam pendidikan Islam pun
harus diambil dari konsep atau falsafah hidup manusia dengan berdasarkan nilai-
nilai dan norma-norma Islam. Karena mengingat bahwa pandangan hidup muslim
adalah Islam, maka tujuan pendidikan pun haruslah sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan Islam memiliki tujuan terkendali sesuai dengan falsafah dan
pandangan hidup yang digariskan oleh akal dalam al-Qur’an. Dengan berdasarkan
al-Qur’an dan hadits jelas terlihat bahwa tujuan sejati pendidikan Islam adalah
menghasilkan orang-orang yang beriman dan juga berpengetahuan, yang satu
sama lain saling menopang.43
Tujuan pendidikan Islam juga musti disinkronkan dengan tujuan agama
Islam yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa, dan
beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akherat tersebut, dapat digali tujuan-tujuan khusus44.
Para cendekiawan Islam dan ahli-ahli pendidikan Islam yang lain
membuat rumusan masing-masing tentang tujuan pendidikan Islam, antara lain :
41 Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1999), cet. Ke-I, hal. 32. 42 Lihat dalam Sumarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet.
Ke- VIII, hal. 49-50. 43 Syed Sajjad Hussain dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. : Fadlah
Mudhafir, (Jakarta : Al-Mawardhi Prima, 2000), cet.ke-I, hal. 49. 44 Maslikhah, Quo Vadis…., hal. 122
63
1. Prof. Saleh Abdul Aziz dan DR. Abdul Aziz Najid mengatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan
mengusahakan kehidupan.
2. M. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan “tujuan utama dari pendidikan Islam
ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilknan
orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih ,
kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti
kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu
membedakan buruk dengan baik, meilih suatu fadhilah, menghindari suatu
perbuatan yang tercela karena ia tercela, dan mengingat Tuhan dalam
setiap pekerjaan yang mereka lakukan”45.
3. Masih menurut M. Athiyah Al-Abrasyi dalam Khoiron Rosyadi;
a. Untuk membantu pembentukan akhlak mulia.
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akherat.
c. Persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan
d. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific-spirit) pada pelajar dalam arti
untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu
sekedar ilmu.46
4. Musthafa Amin, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempersiapkan
seseorang bagi amalan dunia dan akherat.
5. Ibnu Khaldun dalam Armai Arief47;
a) Tujuan yang berorientasi akhirat, yaitu membentuk hamba-hamba
Allah yang dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah.
b) Tujuan yang berorientasi dunia, yaitu membentuk manusia yang
mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan
bermanfaat bagi orang lain.
6. Abdullah Fayyad menyatakan bahwa pendidikan Islam mengarah kepada
dua tujuan :
45 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), hal. 102.
46 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1, hal. 164.
47 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet.1, hal. 19.
64
a. persiapan adalah hidup akherat
b. membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan
adalah menunjang kesuksesannya hidup di dunia.48
Sesungguhnya ada banyak teori yang lain dari para pakar. Meski begitu,
nampak secara garis besar dalam penerapannya pada pendidikan Islam, tujuan
pendidikan Islam dibagi menjadi tiga point, yaitu tujuan akhir, tujuan umum dan
tujuan khusus.49
a. Tujuan Akhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum
karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal. Dalam pendidikan Islam, tujuan akhir ini pada akhirnya sesuai dengan
tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai mahluk ciptaan Allah, yaitu :
1) Menjadi Hamba Allah
Tujuan ini sejalan dengan tujuan dan penciptaan manusia, yaitu
semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Firman Allah SWT :
ليعبدون إال واإلنس الجن خلقت وما
“dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Al-Dzariat : 56)
2) Menghantarkan anak didik menjadi khalifah fi al-ardh yang mampu
memakmurkan bumi dan melestarikannya. Lebih jauh lagi
mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya sesuai dengan tujuan
penciptaannya. Firman Allah SWT :
الواق خليفة األرض في جاعل إني للمالئكة ربك قال وإذ نسبح ونحن الدماء ويسفك فيها يفسد من فيها أتجعلكدمبح سقدنو إني قال لك لما أعون ال ملمعت
48 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2, hal. 26-27. 49 Abu Ahmadi, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media,
1992), hal. 63-70.
65
Artinya :
“dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi” (QS. Al-Baqarah : 30)
3) Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, baik secara individu maupun sosial. Firman Allah SWT :
الدنيا من نصيبك تنس وال رةاآلخ الدار الله آتاك فيما وابتغسنأحا وكم نسأح الله كال إليغ وبت ادي الفسض فإن األر
ال الله بحي ينفسدالم Artinya :
“dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kenikmatan) di dunia” (QS. Al-Qashash : 77)
Ketiga tujuan akhir itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan pencapaian tujuan
lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai secara bersamaan melalui
proses pencapaian yang seimbang.
b. Tujuan Umum
Tidak berbeda jauh dengan tujuan akhir, tujuan umum juga belum dapat
diukur secara empirik taraf pencapaiannya. Salah satu formulasi tujuan umum
pendidikan adalah rumusan yang dibuat oleh Konferensi Pendidikan Islam
Internasional yang pertama di Mekkah pada tahun 1974, yang menyatakan :
Education should aim balanced growth of the total personality of man through the training of men’s spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily sense. Therefore, education should cater for the growth of man in all its aspect, spiritall, intellectual, imaginative, physical, linguistic, both individuality and collectively and motivate all these aspekct toward goodness the attainment of perfection. The ultimate aim of Islamic education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community, and humanity at large.(sic).50
50 Abu Ahmadi, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya Media,
1992), hal. 63
66
(Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, dan bahasa baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.) Menurut Hery Noer Aly dan Munzier dalam Maslikhah tujuan umum
pendidikan Islam, antara lain;
a) Mendidik individu yang shaleh dengan memperhatikan segenap
dimensi perkembangan rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan
fisik.
b) Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga
maupun masyarakat muslim.
c) Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang besar.
Sementara itu, Abdurrahman Saleh dalam Maslikhah, menjelaskan bahwa
tujuan pendidikan Islam dibangun di atas tiga komponen sifat dasar manusia yaitu
tubuh, ruh, dan akal yang masing-masing harus dijaga. Maka tujuan pendidikan
Islam dapat diklasifikasikan kepada, pertama, tujuan pendidikan jasmani; kedua,
tujuan pendidikan ruhani; ketiga, tujuan pendidikan akal; dan keempat, tujuan
pendidikan sosial.
Agak senada, Oemar Mohammad Al-Toumy al-Syaiban:
a) Tujuan individual; tujuan yang berkaitan dengan masing-masing
individu dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan pada tingkah
laku dan aktivitasnya, di samping untuk mempersiapkan individu
dapat hidup bahagia di dunia maupun di akhirat.
b) Tujuan sosial; tujuan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan tingkah laku mereka secara umum yang berkaitan
dengan perubahan dan pertumbuhan kehidupan yang diinginkan untuk
memperkaya pengalaman dan kemajuan.
67
c) Tujuan professional; tujuan yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas masyarakat.51
c. Tujuan Khusus
Tujuan khusus merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan yang
bersifat cabang atau bagian yang termasuk di bawah tujuan umum pendidikan
Islam. Dengan kata lain, gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola, tingkah
laku, sikap, nilai-nilai dan kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam tujuan
tertinggi atau umum bagi pendidikan Islam52.
Oleh karenanya tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasional
tujuan akhir dan tujuan umum (pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relative
sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan jika diperlukan sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan
tujuan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada:
a) Kultur dan cita-cita suatu bangsa
Setiap manusia memiliki tradisi dan budaya sendiri-sendiri.
Perbedaan antara berabagai bangsa inilah yang memungkinkan adanya
pebedaan cita-cita, sehingga terjadi pula perbedaan dalam merumuskan
tujuan yang dikehendaki di bidang pendidikan.
b) Minat bakat dan kesanggupan anak didik
Islam mengakui perbedaan individu dalam hal mina, bakat dan
kemampuan. Untuk mencapai prestasi yang sebagaimaana diharapkan
kesesuaian tujuan harus khusu dengan minat, bakat, dan kemampuan anak
didik sangat menentukan.
c) Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu
Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertimbangkan faktor
situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka pendidikan akan
kurang memiliki daya guna. Dasar pertimbangan ini sangat penting
51 Iihat Maslikhah, Quo Vadis....,hal. 129 52 Maslikhah, Quo Vadis....,hal. 133.
68
terutama bagi perencanaan pendidikan. Dalam hal ini, harus
mengantisipasi perkembangan di masa depan53.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam
memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Pendidikan Islam
sarat dengan nalar dan perasaan perilaku serta emosi manusia dengan landasan
agama Islam. Dengan demikian tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan
penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individu
maupun secara sosial.54
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi sebaik-
baiknya.
2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya
dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah.
3. Mengarahkan manusia untuk berakhlak mulia.
4. Membina dan mengarahkan seluruh potensi manusia yang digunakan
untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan
akherat.
Kemudian, dari pencermatan ciri-ciri tujuan pendidikan Islam tersebut
terlihat bahwa tujuan pendidikan Islam bermuara pada pembentukan manusia
yang paripurna (insan kamil). Hal ini senada dengan ungkapan Athiyah al-Abrasy,
yang menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai jiwa dari pendidikan Islam,
dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah
jiwa pendidikan Islam. Mencapai yang “sempurna” adalah tujuan pendidikan
53 Abu AHmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,
1992), hal. 63-70. 54 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-I, hal. 117.
69
Islam55 Muhammad Quthb, juga manyatakan tujuan pendidikan Islam adalah
menciptakan manusia yang taqwa menuju insan kamil56.
Lantas apakah insan kamil tersebut?. Insan kamil adalah sebuah refleksi
dari figure yang sukses menunaikan tugas sebagai khalifah fil ardhi, beriman
kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki jiwa social yang tinggi, respek
terhadap kondisi di sekitarnya. Insan kamil adalah manusia yang sempurna secara
rohani (spiritual), jasmani (jasadi/fisik) dan sempurna akal (intelektual).
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam yang utama adalah mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Allah, sehingga mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku
mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu menjalankan dan
membangun tugas-tugas kemasyarakatan, kebangsaan, keagamaan secara
bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas dalam membangun
kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-
prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah. Dengan bahasa yang lebih
tegas, “manusia paripurna” (insan kamil).
55 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, tt) hal. 15. 56 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1. hal. 16.
70
BAB IV
RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai pendidikan yang bergenre "pembebasan", pendidikan
multikultural mulai ramai dibicarakan dan diwacanakan di Indonesia.
Kehadirannya diharapkan menjadi solusi sekaligus alternative pendidikan yang
bisa menjadi pencegah dari perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia yang
serba majemuk ini. Kehadirannya merupakan sebuah idealisme dari bangsa yang
berkali-kali terjangkit perpecahan, pertikaian etnis, perang saudara dan tragedi
kemanusiaan yang merenggut ratusan nyawa manusia, begitu saja. Kekerasan-
kekerasan yang lebih disebabkan oleh kekurangan dalam memandang keragaman.
Lantas bagaimana prospek pendidikan multikultural diintegrasikan dalam sistem
pendidikan di Indonesia, utamanya dalam pendidikan Islam ini?.
Ada beberapa titik temu, harapan, peluang, dan relevansi dari pendidikan
multikultural dengan pendidikan Islam bisa dilihat dari beberapa aspek yang
menjadi “grand design” masing-masing, dalam hal ini penulis membatasi dalam
prinsip-prinsip dan tujuan pendidikan dari kedua dengan harapan bisa mendapat
gambaran lebih terang untuk kemudian bagaimana melihat prospek dan format
ideal implementasi pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam.
71
A. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Multikultural dalam
Pendidikan Islam
Dalam pendidikan multikultural, prinsip-prinsip dasar yang menjadi
acuannya adalah : Prinsip pengakuan terhadap hak azazi manusia (HAM), asusmi
dasar dari prinsip ini adalah bahwa proses pendidikan adalah untuk merealisasikan
HAM1. Penghargaan atas hak asasi manusia didasarkan pada paradigma
memandang hakekat manusia, seperti : manusia memiliki sejarah, manusia adalah
mahluk dengan segala individualitasnya merupakan masing-masing yang
memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya,
manusia adalah mahluk sosial yang butuh akan sosialisasi di antara mereka,
manusia bebas mengolah alam fikiran dan rasa telah menemukan sesuatu yang
transendental, manusia ada dalam keadaan berdaya untuk menggunakan
kemampuan, kemauan dan sebagainya.
Sementara HAM dalam prespektif pendidikan Islam mendapat posisi yang
tinggi. Hal ini terlihat dari prinsip dasarnya sebagai implikasi dari ciri manusia,
pendidikan Islam. melihat bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki
kebebasan berkehendak. Manusia mempunyai karakteristik kebebasan
berkehendak, kemauan untuk memilih dan memutuskan tingkah lakunya sendiri.
Kebebasan manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan beragama,
berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berkreasi dan lain
sebagainya. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 256
بالطاغوت یكفر فمن الغي من الرشد تبین قد الدین في آلإكراه
سمیع واهللا لھا انفصام ال الوثقى بالعروة استمسك فقد باهللا ویؤمن
علیم “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
1 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. Ke-1, hal. 432.
72
yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penghargaan atas hak asasi manusia didasarkan pada pardigma
memandang hakikat manusia, antara lain : manusia memiliki sejarah, manusia
adalah mahluk dengan segala inividualitasnya merupakan masing-masing yang
memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Selain
itu, manusia adalah juga mahluk sosial yang butuh akan sosialisasi di antara
mereka, manusia bebas mengolah alam fikiran dan rasa telah menemukan sesuatu
yangang transendental, manusia ada dalam keadaan berdaya untuk menggunakan
kemampuan, kemauan dan sebagainya.
Walau manusia diberi kebebasan tetapi kebebasan iu tidak mutlak di mana
ia sanggup berbuat semaunya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang
terikat oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain, nilai-
nilai agama dan moral yang dianut masyarakat, undang-undang yang berlaku,
kebersamaan dan keadilan serta akal logika.
Dari keterangan di atas terdapat relevansi antara pendidikan multikultural
dengan pendidikan Islam dalam memberikan penghargaan pada HAM, maka
sangat salah besar jika menganggap bahwa pendidikan Islam tidak humanis.
Justru Islam sangat menghormati hak asasi manusia sebagai mahluk Tuhan
dengan pembatasan-pembatasan tertentu untuk menjaga agar manusia tetap
terlindungi hak-hak asaasinya secara proporsional karena pendidikan Islam juga
tidak meluputkan diri pada satu hal dan mementingkan yang lain.2
Kemudian pendidikan multikultural mendasarkan acuan pedagogiknya
pada prinsip persamaan derajat yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity
paedagogy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan HAM, tetapi juga
hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa untuk hidup
2 Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki prinsip keseimbangan Prinsip keseimbangan
dapat dijumpai pada tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan Islam, yaitu disamping dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah : 201); menjadi hamba yang taat beribadah, (QS. Al-Dzariat : 56), menjadi khalifah dimuka bumi (QS. Al-Baqarah : 30), menjadi hamba Allah yan muttaqin (QS. Al-Baqarah : 177); manusia yang berakhlak mulia (QS. Al-Qlam : 4), menjadi hamba Allah yang rendah hati (QS. Al-Furqan : 63).
73
beradasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip
kesetaraan individu, antar bangsa, antar budaya, antara agama dan sebagainya.
Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaan-perbedaan artifisial yang
telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan
berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat.
Sementara dalam prespektif pendidikan Islam, bahwa visi pendidikan
Islam berwawasan universal dan global. Islam juga tidak membeda-bedakan
manusai berdasarkan asal-usul daerahnya. Barat dan Timur bagi Islam bukan
untuk dimasalahkan. Nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur dapat diterima
sepanjang memiliki komitmen pada keimanan yang kokoh, kepedulian sosial,
hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama
manusia, berorientasi pada pembentukan akhlak mulia dan kepribadian yang
tangguh. Visi ajaran Islam ditujukan untuk menciptakan kedamaian dan rahmat
bagi seluruh alam. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam, -sekali lagi tetap humanistik- dengan prinsip implikasi dari ciri manusia
yang kerap disebut sebagai fithrah. Fitrah manusia juga diciptakan dalam
keberagaman akan tetapi posisi dan keududukannya di hadapan Allah adalah sama
dan sederajat, melainkan orang yang bertakwa.
Prinsip pendidikan multikultural selanjutnya didasarkan atas prinsip
pendidikan sebagai pelestari kebudayaan. Manusia adalah mahluk sosial yang
dinamis, maka dalam konteks ini, pendidikan memfungsikan dirinya sebagai
wacana interaktif antara manusia dan masyarakat serta lingkungannya. Wacana
tentang manusia semacam itulah acuan pengembangan pendidikan berprespektif
multikultural. Manusia dan kebudayaan tidak terpisahkan, maka pendidikan harus
selalu berpegang pada dasar-dasar :
1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
74
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.3
Adapun prinsip pendidikan Islam adalah sangat mengakomodir
kepentingan dan kebutuhan manusia. Hal ini dapat ditelusuri dari prinsip-prinsip
dasarnya seperti prinsip dari implikasi ciri-ciri manusia menurut Islam, prinsip
pendidikan integral dan terpadu, prinsip pendidikan yang seimbang maupun
prinsip menghargai perbedaan sesungguhnya pijakan utama implementasi
pendidikan Islam, yang tidak lain bertujuan mewujudkan pendidikan sebagai
pelestari sebagai agen of culture yang berdasarkan al-Qur’an, hadits dan ijma.
Tentunya fungsi ini sangat disadari oleh pendidikan Islam, bahkan pendidikan
Islam akan sangat dinamis dan terbuka dengan kebudayaan masyarakat sebagai
bekal manusia menjadi khalifah fil ardh dan membentuk manusia yang paripurna
sebagai cikal pembentukan masyarakat yang madani (mutamaddun). Pendidikan
Islam diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari kehadiran Islam (maqashid
al-syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara, membina, membimbing, dan memenuhi
kebutuhan manusia dalam bidang agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dengan
demikian komonen-komponen penunjang pendidikan harus berpedoman pada
prinsip keseimbangan, keterbukaan, dinamis, fleksibel, situasional dan
kondsisonal, egaliter, demokratis, manusiawi, rasional professional dan kualitaif.4
Kemudian sebagai konsep yang berkaitan dengan humanisme, pendidikan
multikultural menerapkan prinsip pluralisme, sebagai konsekuensi logis bagi
hakekat manusia. Artinya manusia selalu bersama dengan segala perbedaan-
perbedaan dan keragaman. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given” tetapi
merupakan proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas. Dalam hal ini
pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap
peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas
3 Muhaimin El Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008, 23:51 4 Abudin Nata, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Jurnal
Didaktika Islamika, Vol. VI, No. 1 Juni 2005, hal 38.
75
bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang
paham betul terhadap problem akut kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan,
pembantaian dan sebagainya. Pluralitas bukan dijadikan sebagai potensi
kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan
ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Maka pengembangan sikap toleransi
merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang
atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Maka menghargai perbedaan
adalah salah satu sikap yang harus dikembangkan dalam rangka mewujudkan
pendidikan multikultural. Oleh karena itu sikap menghargai perbedaan harus
ditumbuh kembangkan dalam lingkungan belajar. Hal ini dimaksudkan agar siswa
dapat saling menghargai dan biasa berbeda5
Pendidikan Islam sendiri memandang pluralisme tidak bertentangan
dengan Islam, bahkan Islam memberikan kerangka sikap etis dan positif. Sikap
etis dan positif Islam dimaksud tercermin dari beberapa ayat al-Qur’an yang
secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut. Seperti al-Qur’an menyatakan
bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka
saling mengenal dan menghargai (QS. Al-Hujurat: 13). Al-qur’an juga
menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia dalam bahasa dan warna kulit
harus diterima sebangai kenyataan positif sebagai satu di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah (QS. Ar-Rum: 22).6 Dalam ayat lain ditegaskan, tentang
kemajemukan pandangan dan cara hidup diantara manusia yang tidak perlu
menimbulkan kegusaran, tetapi hendaknya dipahami sebagai pangkal tolak
sumber motivasi untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, karena hanya Tuhan-
lah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika manusia
kembali kepadaNya.7
5 Moh. Miftahul Choiri, Pendidikan Multikultural…, hal. 33. 6 Ayat-ayat lain yang mendukung antara lain Q.S. Ali Imran: 64, Q.S. al-Maidah: 8, QS. Al-
Maidah : 48, QS. Hud : 118-119, QS. al-Syura : 8, QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah : 8-9, dan al-Baqarah : 256.
7 Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1, hal. 2. Ayat-ayat lain yang senada al-Maidah: 48, al-Syura: 8, Hud: 118-119, dsb.
76
Dengan kata lebih tegas pendidikan Islam tidak “anti realitas”. Sebaliknya
pendidikan Islam memiliki kaitan hubungan dengan konteks yang melingkupinya,
salah satunya adalah keanekaragaman jenis kelamin, ras, agama, budaya dan lain
Jadi prinsip pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits tidak
menafikan perbedaan keragaman, justru pendidikan Islam melihat sebagai sebuah
“rahmat” yang bisa bernilai positif.
B. Tujuan Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam ; Antara Manusia Cerdas dan Manusia Sempurna
Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan. Secara
umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing
dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoretis yang pertama
berorintasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan
sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem
pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoretis yang
kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada
kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.
Selanjutnya, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada
di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Brubacher dalam bukunya,
Modern Philosophies of Education (1978) menyatakan hubungan pendidikan
dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan
ekonomi, politik, dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan
sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk
mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan
sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangakan secara mikro
pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik
perbedaan antara individu peserta didik8.
8 Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia,
2001), hlm. 16
77
Dalam hal ini, baik konsep pendidikan multikultural maupun pendidikan
Islam memiliki dua pengembangan kemasyarakatan dan individual. Tujuan
pendidikan multikultural berorintasi kemasyarakatan yang menganggap
pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk
sistem pemerintahan demokratis. Ia juga berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan
mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik,
dan negara di era global-multikultural.
Pendidikan multikultural bertujuan agar terciptanya bangsa yang memiliki
integritas yang tinggi, bangsa maju, berperadaban, disegani oleh bangsa lain
dalam framework global-multikultural. Di Indonesia, tujuan tersebut selanjutnya
bisa diwujudkan dengan pengembangan pada dimenssi individual yang
diproyeksikan dengan konsep manusia Indonesia cerdas, yaitu manusia yang
menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya untuk
peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok, dan sebagai anggota masyarakat dan bangsanya. Manusia cerdas
memiliki ciri sebagai profil manusia yang bermoral dan beriman, kecerdasannya
tidak untuk korupsi, inklusive, tidak membenarkan apa yang dimilikinya, cita-
citanya, agamanya, ideology politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain.
Seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di
dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama. Dalam hal pengembangan individual, Adam Bakhtiar
menyatakan :
“Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaanya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur
78
dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaanya bagi negara, masyarakat, dan dunia9.
Jadi, sosok manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral,
bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai
diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda10. Dengan
demikian, manusia Indonesia cerdas akan membangun bangsa yang cerdas di era
global. Mereka memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam
kognitif, energik-kreatif dalam ranah motorik, responif terhadap masyarakat-
demokratis, daya guna (skilled), akhlak mulia (moral, religius), sopan santun
(civillized). Dari pemaparan di atas, tujuan pendidikan multikultural merapatkan
diri dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dengan manusia
Indonesia cerdas diharapkan akan dapat membangun bangsa ke depan di era
global-multikultural.
Pun demikian dalam konsep pendidikan Islam karakteristik manusia
cerdas terdapat dalam konsep tujuan dalam pendidikan Islam juga memiliki
karakteristik sebagai pengemban amanat pelestari kebudayaan yang berhubungan
dengan pengembangan kemasyarakatan yang diwujudkan pula dalam proses-
peoses pengembangan individual yang jamak dilafalkakan sebagai insan kamil.
Insan kamil adalah manusia yang paripurna, memiliki budi pekerti luhur dan
akhlak, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Insan kamil adalah
adalah gambaran manifestasi manusia yang mampu menunaikan tugas dan
kewajibannya selaku mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu
menjalankan dan membangun tugas-tugas kemasyarakatan, kebangsaan,
keagamaan secara bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas
dalam membangun kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah.
9 Adam Bakhtiar, Paradigma Pendidikan Islam, dikutip www.pendidikan.net/mkhujair.
pdf akses: 03/03/2006. 10 Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http//www.kompas.com/
akses 25 Desember 2007
79
Dari penjelasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep manusia
cerdas dalam pendidikan multikultural dengan konsep insan kamil dalam
pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang berbeda, bertentangan. Sebaliknya
keduanya sesungguhnya satu perwujudan yang memiliki dua nama. Keduanya
adalah gambaran profil yang beriman dan bertakwa kepada Allah (relligius),
cerdik-pandai, energik-kreatif, responsif terhadap masyarakat demokratis,
memiliki keterampilan (skilled), berakhlak mulia (moralis) dan berperadaban
(civillized).
C. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam; Upaya Mencari Format Pendidikan Ideal
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma
pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas,
soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan
kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi
lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik
untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan
implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa
mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan
nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-
sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda
untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau hidup bersama secara damai.
Meski begitu, nampaknya bukanlah urusan yang remeh-temeh
mengimplementasikan pendidikan Islam multikultural dalam berbagai aspek dan
komponen-komponennya., bukan sesuatu yang sepi dari hambatan dan tantangan,
bukan pula sesuatu yang triall and error atau taken for granted, butuh kerja keras
dan perjuangan yang panjang..
Banyak hal yang menjadi pertimbangan dan kesukaran baik dalam tataran
wacana perumusan maupun dalam kondisi praksis dari pendidikan bangsa ini
antara lain :
80
1). Hambatan dan Tantangan
Masalah-masalah yang muncul dari penerapan pendidikan multikultural di
Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu:
Pertama, pendidikan multikultural merupakan suatu proses.
Artinya, konsep pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia
pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan,
refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-
konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi
manusia.
Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset.
Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing)
dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan
mempertajam konsep pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh
masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.11
Selain dari pada itu masalah yang muncul dari implementasi pendidikan
multikultural adalah kokohnya kemapanan yang telah terbangun selama ini yang
berkaitan dengan latar sosiologisantropologis bangsa ini. Indonesia adalah
masyarakat majemuk, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal
berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai ”Bangsa
Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur
bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda
satu dengan lainnya.
Sedang, secara vertikal berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-
bedakan atas dasar mode of production yang bermuara pada perbedaan daya
adaptasinya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan,
yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang
lain akan tetapi upaya untuk ”mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan
dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru
memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam adalah bukti nyata hal di
11 Lihat dalam http://multikulturalisme.blogspot.com/2006/12/pendidikan-multikultural-di-indonesia_04.html
81
atas. Tak aneh, kalau kemudian monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik,
yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan
Indonesia yang multikultural.
Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang
tindih dengan "etnisitas". Politik identitas kelompok, seiring dengan
menggejalanya komunalisme, makin menguat. Konflik antarsuku maupun agama
muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang lama
diidam-idamkan ternyata semu belaka, yang mengemuka kemudian adalah
kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan
realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang, suatu kelompok
menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini.
Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multikultural
pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana ”toleransi”
yang seringkali terjebak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap
saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan
mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya
sendiri (I am what I am not), yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi
bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda
untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian
yang muncul bukannya situasi rukun malah situasi acuh tak acuh (indifference).12
Kemudian selain dari itu, masalah pemilihan model yang cocok untuk
bangsa Indonesia juga perlu dicermati dan diperhatikan. Kita mengenal paling
tidak tiga model kebijakan multikultural negara-negara di dunia:
Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif— berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model
12 M. Khoirul Muqtafa, Paradigma Multikultural, dalam http://www.sinarharapan.co.id/-
berita/0402/05/opi02.html
82
kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.13
Dengan demikian ketiga model tersebut tidak tepat diterapkan di
Indonesia. Model pertama jelas mensubordinatkan etnik-etnik yang seharusnya
tetap eksis dan berkembang, model kedua jutsru rawan dengan xenophobia dan
diskriminasi antar etnik dan model ketiga rawan memunculkan konflik dari
kebijakan negara yang bias.
Dalam sebuah keterangan yang lain terdapat lima model
multikulturalisme. Penyelenggara pendidikan dapat memilah dan memilih mana di
antaranya yang tepat dan relevan untuk konteks Indonesia. Kelima model
multikulturalisme yang dimaksud adalah:
Pertama, “multikulturalisme isolasionis” yang mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
13 Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm
83
Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem “milled” di Turki Usmani atau masyarakat Amish di A.S. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain pada umumnya.
Kedua, “multikulturalisme akomodatif”, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Sebaliknya kaum minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Kelompok ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa Negara Eropa lainnya.
Ketiga, “multikulturalisme otonomis” yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominant dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Konsern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis kelompok ini didukung oleh kelompok Iuebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok muslim imigran di Eropa, yang menuntut untu bisa menerapkan syari’ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam dan sebagainya.
Keempat, “multikulturalisme kritikal” atau “interaktif”, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu konsern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominant tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya-budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis kelomopk diperjuangkan oleh masyarakat kulit hitam di A.S, Inggris, dan lain-lain.
Kelima, “multikulturalisme kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan begitu juga sebaliknya, secara bebas terlibat di dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Pendukung jenis ini
84
biasanya intelektual diasporik dan intelektual liberal yang cenderung pada postmodernis14.
Namun lagi-lagi kelima model tersebut tidak cocok untuk konteks
Indonesia. Barangkali yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah
menyaring kira-kira multikulturalisme mana yang tepat atau paling tidak
mendekati tujuan meminimalisir konflik horizontal. Karena ragam dan macam
multikulturalisme itulah yang melahirkan pendidikan multikultural, yaitu
pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
bahkan dunia secara keseluruhan15.
Selain dari model pendidikan, dalam praktik di lapangan terdapat juga
beberapa tantangan, misalnya : Pertama, fenomena homogenisasi terjadi dalam
dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para
siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi,
agama, dan etnisitas. Apalagi pasal yang mengatur pendidikan agama dalam UU
No 20/2003 membuat sekolah berafiliasi agama merasa enggan menerima siswa
tidak seagama. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-
ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya
dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian,
pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi
amat langka.
Tantangan kedua dalam pendidikan multikultural adalah kurikulum.
Sebuah penelitian atas kurikulum 1994 menganalisis isi 823 teks bacaan dalam 44
buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di SMA berdasar jender, status sosio-
ekonomi, kultur lokal, dan geografi. Dalam keempat kategori itu, buku-buku ini
masih menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran
multikultural peserta didik.
Ungkapan You are what you read (Anda dibentuk oleh apa yang Anda
baca) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan
14 Ahmad Fedyani Saefuddin, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm 15 Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008
85
pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), siswa akan
tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang
lain yang berbeda. Keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diakomodasi
dalam kurikulum hanya sebatas ikon dan simbol budaya seperti pakaian, kesenian
daerah, dan stereotip suku.
Tantangan terakhir dan terpenting adalah kelayakan dan kompetensi guru
di Indonesia umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola
pembelajaran multikulturalisme. 16 Dari keempat tantangan tersebut, nampaknya
berhubungan political will dari pemerintah. Dalam hal ini perlu ada reformasi
kebijakan yang mengatur pendidikan yang mengakomodir multikulturalisme baik
dalam kurikulum hingga pada tataran tenaga kependidikan.
Selanjutnya, selain perlu dukungan dari pemerintah, gagasan pendidikan
multikultural juga bisa mandeg oleh adanya hambatan yang paling serius dalam
penerapannya yang justru datang dari keluarga (orang tua siswa) dan guru.
Sepertinya harus diakui bahwa keluarga memegang peranan penting dalam ikut
menyukseskan implementasi konsep pendidikan multikulturalisme itu. Dalam hal
ini, keluarga dapat mulai menanamkan nilai multikulturalisme sejak dari
lingkungan keluarga, seperti anak mulai diajarkan bagaimana mensikapi teman
yang berbeda secara suku, bahasa, dan bahkan agama. Keteladanan dan
konsistensi orang tua dalam membumikan ide-ide multikulturalisme tersebut
sangat penting di sini.
Namun ironisnya, sering orang tua siswa masih merasa khawatir terhadap
penerapan ide pendidikan multikulturalisme tadi, apalagi kalau sudah menyangkut
aspek multikulturalisme berupa pluralisme agama. Aspek inilah sebenarnya yang
membutuhkan perhatian yang lebih serius untuk segera dicarikan solusinya.
Satu hal lagi yang sering terlewatkan ketika mendiskusikan konsep
pendidikan multikulturalisme, yaitu peranan guru. Harus diakui bahwa guru
memegang peran yang sangat dominan dalam keberhasilan implementasi
16 Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, http://www.kompas.com/
kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm
86
pendidikan multikulturalisme ini. Bagaimana mungkin ide cemerlang itu berhasil
jika para gurunya saja tidak mempunyai sense of multiculturalism. 17
Meski demikian, dari segudang masalah dan hambatan yang terpampang
dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia, tersimpan sebuah
urgensi dan harapan yang meniscayakan aplikasi pendidikan multikultural
berintegrasi dengan pendidikan nasional, terutama dalam pendidikan Islam di
Indonesia.
2). Peluang dan Harapan
Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan
multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Sekitar 222,7 juta
penduduk yang tersebar lebih dari 6.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas
33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat
puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa
daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan
pendidikan (SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai
wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru. Kenyataan ini juga dapat dilihat
dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan,
seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan,
separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang
lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut
Demikianlah, multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu
diambil oleh keputusan masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa
depan dan resiko yang perlu diambil di dalam membina masyarakat bangsa
Indonesia. Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di
Indonesia.. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama
harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk
17Abdullah Faqih, Pendidikan Multikultural dan Keabsahan Demokrasi, dalam
http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/6
87
memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi,
budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural
menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan
yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya
yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status
sosial, gender, kemampuan, umur, dan sebagainya.
Atas urgensi inilah, kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan
di Indonesia sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Multikulturalisme di Indonesia
dengan demikian bisa berarti peluang sekaligus tantangan bagi pendidikan
multikultural, sebuah pendidikan yang menghargai keragaman; toleransi; anti
diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas;
kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan18. Oleh karenanya
tuntutan tersebut bukanlah hal yang berlebihan.
Lantas bagaimana memulai pendidikan multikultural dalam kerangka
pendidikan Islam? Menurut Suparlan (2002), multikultural hanya mungkin dapat
terwujud bila: (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami
pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada
tingkat nasional maupun local untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya;
(2) kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme
dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya; dan (3) ada upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini oleh semua pihak.
Artinya adalah bahwa pendidikan di Indonesia dapat terwujud melalui
proses dan sistem pendidikan yang dilmbagakan dalam undang-undang Sisdiknas
secara konkret, utamanya dalam system pendidikan Islam. Dengan kata lain,
implementasi tersebut akan lebih kuat jika didukung oleh political will dari
pemerintah dengan menciptakan regulasi yang sesuai dengan iklim pendidikan
multikultural di Indonesia.
Berkaitan dengan model pendidikan multikultural yang tepat diterapkan
dalam konteks keIndonesiaan, para pakar nyaris sepakat dengan model pendidikan
18 Muhaimin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multiutural dalam situs
http://www.education/pendOrg.hatm
88
multikultural yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana disepakati oleh para
pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Konsep pendidikan multikultural yang
sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, dan politik ditanah air adalah pendidikan multikultural mempunyai
dimensi sebagai berikut:
1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme
meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun
akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang
lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas
kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di Indonesia, memang
semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya
rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh
karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream
belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya
Indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun
atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. Namun demikian hal
tersebut merupakan sesuatu yang harus diwujdkan oleh setiap insan
Indonesia dari generasi ke generasi. Upaya untuk membangun suatu
masyarakat madani Indonesisa yang berdasarkan kebudayaan indonesia.
2. Kebudayaan Indonesia yang menjadi. Kebudayaan Indonesia yang
menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas
budaya mikro Indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang
baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana
perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh
sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus
ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke
indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan
paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa Indonesia. Sebagai suatu
paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu
dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada
89
pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara
kesatuan republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan
dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif, kita tidak bisa
menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya
sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di Indonesia.
Di samping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu
mewujudkan kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-
bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep
yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk
mewujdkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural
normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman
budaya-budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural
normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian
dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan Indonesia
yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia.
4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial, suatu
rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial
yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat
berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan
maupun suatu suku bangsa Indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok
yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran
horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di Indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural di
dalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya
masyarakat Indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat
kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan
didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik.
Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan
90
hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa
Indonesia yang pluralistiks
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdkan visi Indonesia
masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan
VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa
perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan
konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat
pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani
dengan UU No. 20 Tahun 2003.25
Sementara itu, harapan impelementasi pendidikan multikultural dalam
pendidikan Islam masih sangat terbuka berdasarkan adanya relevansi dan
inherensi pendidikan multikultural yang terdapat dalam pendidikan Islam. Hal ini
diperkuat juga oleh beberapa prinsip pokok yang perlu dikemukakan sebelum
memperbincangkan tentang pendidikan agama multikultural adalah :
(1) Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, atau etnis tertentu melaikan sebagai rahmatan lil alamien.
(2) Islam menghargai agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksanaan dalam beragama;
(3) Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya;
(4) Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu agar terjadi saling mengenal;;
(5) Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah sendiri tatkala membangun masyarakat madani di madinah.
Prinsip-prinsip dasar seperti ini perlu dijadikan rujukan dalam
memperbincangkan pendidikan multikultual. Atas dasar beberapa prinsip tersebut
di atas maka sesungguhnya Islam sendiri memberikan ruang yang seluas-luas
25 Tilaar, Pendidikan….., hal. 185-190.
91
pada pendidikan multikultural. Bahwa perbedaan-perbedaan itu justru telah
dijelaskan sendiri oleh al Qur’an. Oleh karena itu tidak selayaknya ditutup-tutupi,
apalagi diingkari. Sebagai ajaran yang terbuka, juga tidak selayaknya para
umatnya memiliki rasa takut untuk terpengaruh dari ajaran lain. Ketakutan dapat
dimaknai sebagai penyandang mental kalah yang seharusnya tidak dikembangkan
oleh umat Islam. Atas dasar keyakinan yang kukuh, maka Islam memberikan
kebebasan umatnya bergaul secara bebas dan terbuka dalam pentas pergaulan
umat manusia sejagat. Rasulullah, pernah berkirim surat ke raja Heraklius, untuk
memperkenalkan ajaran Islam. Oleh karena itu konsep pendidikan agama
multikultural bukan harus dijauhi melainkan harus dihadapi secara obyektif dan
penuh percaya diri.
Pendidikan agama multikultural selain memperkukuh tauhid atau dasar-
dasar keyakin an Islam maka perlu pula dikembangkan prinsip-prinsip dasar
pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran Islam secara lebih mendalam.
Bagaimana di tengah-tengah perbedaan di antara sesama manusia sesungguhnya
Islam mengajarkan konsep (1) kasih sayang antar sesama, (2) saling mengenal, (3)
saling menghargai, (4) saling tolong menolong. Islam melarang merendahkan
orang lain, bermusuh-musuhan, apalagi saling membinaakan. Membuat kerusakan
di muka bumi, apalagi menghilangkan nyawa dengan alasan yang tidak benar
menurut pandangan Islam merupakan dosa besar. Konsep Islam tentang tata
pergaulan seperti ini mesti dikedepankan dalam pendidikan agama19
Dengan demikian, pendidikan Islam menyongsong tentang konsep
pendidikan yang berwawasan multikultural disekolah khususnya dilingkungan
agama pada dasarnya tidak terlalu masalah sebab konsep itu sendiri bukan sesuatu
yang bertentangan dengan konsep dasar Islam yang memang mengatur sistem
kehidupan yang multi-etnik, budaya, ras, adat istiadat dan gaya hidup. Bahkan
pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian,
dan humanis.
19 Imam Suprayogo, Pendidikan Agama Di Era Multikultural, dalam
http://www.imamsuprayogo.com /viewd_artikel.php?pg=31
92
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan Islam telah lama eksis di bumi
nusantara ini sejak masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam baik sebagai
lembaga, sebagai mata pelajaran dan sebagai nilai cukup berperan dalam
mencerdaskan bangsa. Bagi pendidikan agama Islam gagasan multikultural
bukanlah sesuatu yang di takuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu.
Pertama , bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan
orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte
atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang
hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Gagasan dan rancangan memasukan wawasan multikultural di sekolah
agama dan madrasah patut disahuti, sepanjang tidak terjadi pengaburan kesejatian
idiologi dari pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam memiliki keunikan
dan khasnya sendiri sesuai dengan visi dan misinya.
Adapun visi dari madrasah dan pendidikan agama Islam adalah
terwujudnya manusia yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu,
terampil dan mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan misinya adalah menciptakan lembaga yang Islami dan berkualitas,
menjabarkan kurikulum yang mampu memahami kebutuhan anak didik dan
masyarakat, menyediakan tenaga kependidikan yang profesional dan memiliki
kompotensi dalam bidangnya dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang
menghasilkan lulusan yang berprestasi.
Seabagaimana dipahami bahwa multikulturalisme adalah makna yang
menunjuk pada kenyataan bahwa kita tidak hidup dalam sebuah budaya saja.
Budaya dalam arti semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan
semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua hal bernilai
baik dari kehidupannya.
Sebagai idiologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-
prinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sehingga pesan
universal pendidikan dapat dirasakan semua pihak. Di sinilah letak urgensi
pengajaran multikultural dan multi etnik di dalam pendidikan yakni dengan
mendidik siswa agar tidak melakukan tindakan kejahatan terhadap siswa dari suku
93
lain, khususnya di dalam lingkungan pendidikan agama. Demikian pula
pengajaran multi etnik itu lebih hetrogen lagi pada sekolah umum.20
Selanjutnya pendidikan multikultural bisa dimulai dari lingkup keluarga
sebagai tempat pendidikan utama. Keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam
masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses
internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga.
Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural
dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang
ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota
keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk
mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
Kemudian sekolah melalui berbagai instrument dan mekanisme yang
mengakomodir multikultural juga didukung oleh lingkungan masyarakatnya.
Karena pada dasarnya, antara pendidikan dan masyarakat multikultural terdapat
hubungan timbale balik (reciprocalrelationship). Artinya bila pada satu sisi
pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural,
maka di sisi lain masyarakat dengan segala karakternya memiliki potensi
signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan. Itu berarti,
penguatan di satu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan
pada sisi yang lainnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi
secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan
maupun pembangunan masyarakat multikultur itu sendiri.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sebagai wacana baru di
Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun
juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam
keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat
diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia
Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru,
pendidikan multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan
20 Zainal Arifin Nurdin, Drs. SH, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005
94
substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada
tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling
memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi
misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan
dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah
umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada
tingkat sekolah usia dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan
misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun sekolah
menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar
seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model
pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler
dan sebagainya.
Begitupun dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan
melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive
multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras
suku, maupun agama antar anggota masyarakat.21
3). Kurikulum dan Guru Multikultural dalam Pendidikan Islam
Selanjutnya berbicara tentang kurikulum, perlu kiranya diperhatikan
beberapa hal agar lebih memahami perspektif multikultur dalam pengembangan
kurikulum, yaitu memahami terlebih dahulu pengertian kultur dan kebudayaan.
Pemahaman tentang proses dalam budaya selanjutnya mendasari perspektif
pendidikan yang multikultur (prinsip penyusunan dan pengembangan kurikulum
multikultural). Prinsip tersebut antara lain :22
a. Pespektif pendidikan multikultur secara eksplisit menyadari kenyataan
adanya kesenjangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi dalam masyarakat
dan secara kritis menelaah bagaimana kesenjangan dan ketidakadilan itu
dihasilkan dan dikekalkan oleh kekuasaan dominant. Dengan kata lain,
21 Pupu Saeful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm 22 Irsyad Ridho dan Susi Fitri, Perspektif Multikultur dalam Pengembangan Kurikulum,
dalam http://www.backtohome schooling.org/htm/artikel, akses 3 November 2008.
95
pendekatan ini sangat berkepentingan untuk membongkar bagaimana
sekelompok yang marginal secara ras, gender, etnis, kelas, agama dan
sebagainya didiskriminasi dan ditindas secara sistematis di dalam lembaga
sosial.
b. Pendidikan multikultur menolak pemahaman yang menganggap bahwa
perbedaan kultural sebagai sesuatu yang netral dan stabil. Bahwa
perbedaan kultural memang harus dihargai, tentu saja hal itu penting.
Tetapi, penghargaan itu harus diletakkan dalam pemahaman kritis tentang
kebudayaan ebagai suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh dan
mempengaruhi relasi kekuasaan politik dan ekonomi. Karena itu,
pendidikan multikultur kritis tidak memandang kebudayaan secara
esensialis, melainkan memahaminya sebagai sesuatu yang dikonstruksi di
dalam wacana. Artinya kebudayaan merupakan hasil pertarungan politis
dan ideologis sehingga kebudayaan bukanlah suatu system yang koheren,
tertata dan terprediksi, melainkan penuh dengan tegangan inheren dan
proses dialektis dari berbagai kekuatan yang bersaing.
c. Pendidikan multikultur harus diterapkan kepada seluruh pelajar, tidak
hanya pelajar dari minoritas etnik tertentu (atau yang hanya mencakup
muatan lokal tertentu, seperti yang selama ini dipraktikkan secara artificial
di Indonesia). Lebih dari itu, yang menjadi fokus dari pendidikan
multikultur sesungguhnya adalah pembongkaran pengetahuan yang
dibentuk oleh kultur dominant sehingga terlihatlah hierarki sosial dalam
berbagai aspeknya, seperti hierarki ras, gender, kelas, agama, etnis,
orientasi seksual, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendekatan ini
menghendaki penerapan yang komperhensif di dalam seluruh aspek
kurikulum pendidikan, dari tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, metode
pembelajaran, sampai evaluasinya. Bahkan pendekatan ini juga sangat
peka terhadap kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang
dipraktekkan secara informal dan yang seringkali tidak disadari dalam
setiap praktek hubungan guru dan murid di dalam kultur sekolah.
96
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut
untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam
memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama23. Anita Lie,
mengatakan pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia
Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan
untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga
bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas
menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden
curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai,
pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik).
Lebih lanjut, dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya
diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya
wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai
mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru
dan peserta didik.
Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran
nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural.
Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai
tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai
multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang
mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
23 Pupu Saeful Rahmat, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm
97
Dari penjelasan di atas, pengembangan kurikulum pendidikan
multikultural di Indonesia tidak harus dalam bentuk materi pembelajaran
tersendiri, tetapi juga melalui kurikulum tersembunyi yang terinternalisasi dengan
mata pelajaran yang relevan. Seperti apa yang dijelaskan oleh Dede Rosyada,
bahwa prosedur yang harus ditempuh dalam implementasi pendidikan (berbagai
kompetensi yang harus dimiliki siswa tentang multikulturalisme) bisa diselipkan
pada mata pelajaran yang relevan, mengingat multikulturalisme baru hanya
sebuah gerakan dan belum menjadi sebuah ilmu yang komperhensif.
Senada dengan itu, Farida Hanum mengatakan, bentuk pengembangan
pendidikan multikultural di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi masing-masing negara. Empat pendekatan yang
mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun
pembelajaran di sekolah yang bila dicermati relevan untuk diimplementasikan di
sekolah di Indonesia, bahkan pendekatan pertama sudah biasa dilakukan, yaitu:
pendekatan kontribusi (the contributions approach), pendekatan aditif (Aditive
Approach), pendekatan transformasi (the transformation approach), pendekatan
aksi sosial (the social action approach).
Empat pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan untuk integrasi materi
multikultural ke dalam kurikulum dan dapat dipadukan dalam situasi pengajaran
aktual, terutama dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Suatu pendekatan seperti
pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain,
yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan aksi
sosial. Hal ini dapat disesuaikan pula dengan jenjang pendidikan dan umur siswa.
Pada siswa sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi pendekatan
transformasi dan aksi sosial dapat dilakukan, sedang pada jenjang sekolah dasar
dan sekolah lanjutan tingkat pertama dapat digunakan pendekatan kontribusi dan
pendekatan aditif. Pendekatan dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam
mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan
kumulatif.
“Untuk tahap awal atau rintisan pengembangan pendidikan multikultural di sekolah dapat dilakukan penambahan materi multikultural. Hal ini dapat
98
dilakukan dengan memberi buku, modul, konsep sebagai suplemen (tambahan) pada bidang studi yang ada di sekolah. Namun, disadari bahwa materi pelajaran yang lebih memungkinkan segera dilakukan adalah pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial dan pendidikan kewarganegaraan dibanding dengan matematika.24
Masih menurut Farida Hanum, rintisan pengembangan pendidikan
multikultural di sekolah juga dengan program praktek terencana. Hal ini sangat
memungkinkan untuk dilakukan oleh sekolah, terutama program yang dapat
diimplementasikan pada tingkah-laku siswa di sekolah. Menanamkan dan
membimbing siswa mampu melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi
nilai-nilai multikultural, seperti mampu menerima perbedaan; toleransi;
menghormati pendapat orang lain; bekerja sama; menganalisis persamaan dalam
perbedaan yang ada pada siswa; mampu berlaku adil; mampu melihat
ketimpangan sosial dan mencari solusinya (problem solving); saling membantu
pada kegiatan yang berbeda agama; mencari informasi tentang budaya, agama,
status sosial, gender, umur, wilayah tempat tinggal (desa/kota); kemampuan yang
berbeda dan mendiskusikannya dengan perspektif yang berbeda pula. Selain itu,
sekolah dapat melatih siswa untuk bersikap yang sportif bila menghadapi
perbedaan, kegagalan, keberhasilan, kompetisi, dan sebagainya.
“Dengan program-program tersebut, siswa sejak dini dilatih mampu menyesuaikan diri, mampu hidup dalam keragaman dan mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang multikultural. Selain itu, sekolah dapat merencanakan program-program yang mengajak anak mengalami peristiwa langsung dengan etnis, agama, status sosial, budaya, bahkan bangsa yang berbeda. Misalnya, program lifestay rumah keluarga yang berbeda dengan siswa; mewajibkan berkorespondensi atau ber-email dengan siswa yang berbeda budaya, agama, status sosial, etnis atau bangsa.
Bagaimana akhirnya bentuk dan konsep kurikulum tersebut, Azra
mensyaratkan bahwa kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup
tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethnokultural dan agama, bahaya
diskriminasi, penyelesaian atau resolusi konflik dan mediasi, hak asasi manusia,
24 Farida Hanum, Rintisan Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam Membangun Perilaku Bangsa, Pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Yogyakarta, 20 April 2009. Sumber dari website resmi UNY.
99
demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan tema-tema lain yang relevan
dengan konteks pluralisme lainnya.25
Dengan kurikulum yang bernafaskan multikultur, dan pengajaran
multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya
akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan,
tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-
nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis
multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya
tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok
yang ada.26
Selanjutnya tanpa memandang faktor lain, guru juga memegang posisi
yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di
Indonesia. Guru merupakan ujung tombak pendidikan multikultural, ia
mempengaruhi keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya peserta didik.
Selain itu, latar belakang kultural guru akan turut pula membentuk persepsi siswa
terhadap kulturnya. Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri
dan tidak sensitive budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak
bias diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur.
Lebih lanjut, yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah
seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara
profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih
dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari
pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya,
out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
25 Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008 26 Zainal Arifin Nurdin, Drs. SH, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan
Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005
100
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk
agama dan kepercayaan lain27.
Agak rinci, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan
nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi :
pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap
maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen seharusnya
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada
hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka
seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan
keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya
menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan
segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat,
guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan
musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
keragaman budaya, etnis, dan agama28.
Dari keterangan tersebut, terbesit bahwa pendidikan multikultural di
Indonesia akan efektif jika guru memiliki kompetensi yang berhubungan dengan
materi dan kepekaan budaya serta konteks pluralitas. Lain dari itu, seorang guru
multikultural juga dituntut memahami gagasan multikulturalisme secara filosofis.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang
kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia.
Hakekat pendidikan multikultural adalah mempersiapkan seluruh siswa untuk
bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga
sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada
pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda
pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetensi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk
27 Husniyatus Salamah Z, M.Ag, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif di Sekolah, dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com 28 Husniyatus Salamah, Pendidikan Multikultural........, dalam http://www.lubisgrafura.
wordpress.com
101
mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi
kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok yang berbeda.
Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari
pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa mengembangkan
kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik
nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat.29 Hal-hal
itulah yang harus dipahami betul oleh seorang guru dalam menunjang
implementasi pendidikan multikultural.
Sementara itu, James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi
pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu peran guru dalam
mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap
perbedaan latar belakang peserta didik, yaitu :
1) Dimensi integrasi isi/ materi (content integration). Dimensi ini gunakan guru untuk memberikan keterangan dengan "poin kunci" pembelajaran yang merefleksikan nateri yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kendungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2) Dimensi konstruksi penguatan (knowledge construction). Suatu dimensi di mana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa prespektif dan merumuskan kesimpulan yang dipegaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri.
3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan
29 Lihat dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com
102
pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus menerus. Penelitian menunjukan bahwa pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak streotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian ini juga menunjukan bahwa penggunaan textbook multikultural atau bahan bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk menegmbangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
4) Dimensi pendidikan yang sama /adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperlihatkan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatif learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competetion learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Selanjutnya, faktor lain yang dimiliki guru dalam implementasi dalam
pendidikan multikultural adalah bagaimana strategi yang dia tempuh dalam
mendidik murid, bagaimana ia memilih variasi metode pembelajaran yang efektif
dan efisien. Tentang hal ini, Achmanto Mendatu30 menjabarkan beberapa model
(metode) pembelajaran multikultural dalam meningkatkan kompetensi (calon)
30 Achmanto Mendatu, Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan
Pendidikan Multikultur, tulisan ini hasil dari adopsi dan intisari dari beberapa pakar.
103
guru agar bisa menjadi guru yang kompetens dalam pendidikan multikultural,
setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara31 :
1) Strategi "Issues Exchange Activity", strategi ini adalah serangkaian dialog
tentang sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam
sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini menempatkan dua
orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu
permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang
satu pro dan yang lain berkebalikannya. Tugas pendidik adalah
menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi
baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca sebelum
diskusi.
2) Service Learning, yaitu belajar melayani komunitas. Suatu aktivitas belajar
di ruang kelas yang dikombinasikan dengan aksi sosial dan pelayanan.
Strategi ini membutuhkan kesiapan (calon) guru dalam menyelenggarakan
pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak
memiliki kendala latar belakang kultural.
3) Model "ABC", model ini melandaskan premis bahwa seseorang harus
memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai di dalamnya
sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai
pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang
tersebut, dana nalisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya
orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan
dan perbedaan di antara berbagai budaya.
4) Cultural Immersion, bertujuan siswa mendapatkan pemahaman mengenai
budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota
kelompok minoritas, sebagai status yang sub-ordinat di masyarakat.
31 Sumber http://.www.psikologipendidikan.blogspot.com/pendidikan-multikultural.htm,
akses 2 November 2008
104
Selain itu, di dalam kelas seorang guru bisa menggunakan beberapa
alternatif pembelajaran yang lain seperti : strategi kegiatan belajar bersama-sama
(cooperative learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep
(concept attainment) dan strategi analisis nilai (value analysis), dan strategi
analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan
secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran
berbasis multikultural.32
Meski demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional
memiliki tekanan yang berbeda dan setiap guru memiliki kecenderungan untuk
cocok dan efektif dengan model dan metode tertentu. Intinya, apapun metode dan
strateginya seorang guru dituntut untuk dapat menciptakan iklim pendidikan
multikultural yang baik dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan
multikultural pada dasarnya tidak sulit diintegrasikan dengan pendidikan Islam.
Selain pendidikan Islam adalah paradigma terbuka tapi kritis, multikulturalisme
juga sebuah kebutuhan yang mendesak. Implementasi ini tentunya melaui proses
yang panjang dan berkesinambungan selain juga mengatasi hambatan-hambatan
yang ada. Dari pada itu, optimalisasi bahkan reformasi sistem pendidikan yang
sudah berjalan juga perlu disesuaikan untuk menunjang implementasi ini. Dari
kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakulikuler dan
revitalisasi kompetensi dan peran guru harus senafas dengan perwujudan
pendidikan multikultural.
32 www.lubisgrafura.wordpress.com
105
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
multikultural lahir di berbagai belahan dunia bukan dalam ruang yang hampa,ia
lahir karena adanya realitas multikulturalisme yang sudah semestinya ada. Sebuah
perjuangan untuk persamaan dan kesederajatan, demokrasi dan hak asasi manusia.
Proses demokratisasi tersebut biasanya mensyaratkan pengakuan terhadap hak
azazi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna
kulit, agama, adat-istiadat, kultur maupun gender.
Tujuan besar pendidikan multikultural adalah mewujudkan sebuah bangsa
yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa ada diskriminasi dan
dikotomisasi. Semua komponen harus bersatu pada membangun kekuatan secara
bersama-sama, sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang
tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan itu bias diwujudkan
oleh pendidikan Islam.
Konsep pendidikan multikultural dalam kerangka pendidikan Islam, bisa
terwujud dengan proses usaha dan upaya yang panjang dan berkesinambungan.
Keduanya sangat relevan dan akomdatif dengan issue-issue pluralisme dan
demokrasi. Ini bias ditelusuri dari prinsip-prinsip dasar pendidikan multikultural
dan pendidikan Islam yang sangat relevan. Keduanya memandang tinggi terhadap
HAM dan punya komitmen kuat merealisasikannya.
Keduanya juga pro (mendukung) terhadap kesetaraan dan persamaan
derjajat manusia, kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bangsa
106
untuk hidup beradasarkan kebudayaan sendiri secara bebas dan terkendali.
Akomodatif dan terbuka dengan prinsip pluralisme, dalam Islam banyak
ditemukan dalam al-Qur’an, QS. al-Hujurat: 13), Q.S. Ali Imran: 64, Q.S. al-
Maidah: 8, QS. Ar-Rum : 22, QS. Al-Maidah : 48, QS. Hud : 118-119, QS. al-
Syura : 8, QS. al-Maidah : 37, QS. Al-Mumtahanah : 8-9, dan al-Baqarah : 256.
Pun dilihat dari tujuan pendidikannya, baik konsep pendidikan
multikultural maupun pendidikan Islam memiliki dua sisi teoritis sebagaimana di
atas. Tujuan pendidikan multikultural berorintasi kemasyarakatan yang
menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang
baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis. Ia juga berorientasi
kemasyarakatan, kenegaraan mencakup hubungan pendidikan dan perubahan
sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara di era global-multikultural.
Di Indonesia, tujuan pendidikan multikultural tersebut diproyeksikan
dengan konsep manusia Indonesia cerdas yang memiliki ciri sebagai profil
manusia yang bermoral dan beriman, kecerdasannya tidak untuk korupsi,
inklusive, tidak membenarkan apa yang dimilikinya, cita-vitanya, agamanya,
ideologi politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain. Mereka memiliki sikap
dan tingkah laku yang baik. Cerdik-pandai dalam kognitif, energik-kreatif dalam
ranah motorik, responif terhadap masyarakat-demokratis, daya guna (skilled),
akhlak mulia (moral, religius), sopan santun (civillized). Dari pemaparan di atas,
tujuan pendidikan multikultural merapatkan diri dalam ranah kognitif, afektif
maupun psikomotorik. Dengan manusia Indonesia cerdas diharapkan akan dapat
membangun bangsa ke depan di era global-multikultural.
Dalam konsep pendidikan Islam, manusia cerdas termanifestasikan
sebagai insan kamil. Yakni manusia yang paripurna, memiliki budi pekerti luhur
dan akhlak, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Insan kamil
adalah adalah gambaran manifestasi manusia yang mampu menunaikan tugas dan
kewajibannya selaku mahluk Allah sebagai khalifah di muka bumi, mampu
menjalankan dan membangun tugas-tugas kemasyarakatan, kebangsaan,
keagamaan secara bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas
107
dalam membangun kehidupan bersama secara integral dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunah.
Selanjutnya, implementasi pendidikan Islam multikultural dapat
diwujudkan tidak hanya dalam ranah pendidikan formal an-sich, ia bisa
mengambil tempat dalam pendidikan non-formal, keluarga maupun lingkup
masyarakat yang lebih luas. Tentunya dengan proses yang panjang dan
berksinambungan disamping juga dengan perbaikan dan penyusunan system yang
lebih komperhensif dalam kurikulum, sarana-prasarana, model pembelajaran
hingga kompetensi pendidik harus disesuaikan dengan cita-cita ini.
B. Saran-saran
1. Kepada para pembuat kebijakan harus diupayakan sistem regulasi yang
senafas dengan era global multikultural di Indonesia sebagai payung
hukum bagi implementasi pendidikan multikultural di Indonesia agar
lebih komperhensif dan integral dengan Sidiknas.
2. Kepada para pengelola lembaga pendidikan, guru, serta stakeholders
terkait untuk menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati
terhadap segala perbedaan yang ada karena multikultural, pluralitas dan
homogentias adalah sebuah realitas yang harus dikelola rawat dengan
baik agar bernilai postif.
3. Kepada para siswa, renungkan kembali makna bhineka tunggal ika
sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh founding fathers bangsa
Indonesia, sebagai upaya menghargai pengorbanan pahlawanan karena
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa
pahlawannya.
4. Untuk masyarakat, stop anarchisme, brutalisme, barbarisme, kita semua
sama di hadapan Tuhan dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, tt). Ahmadi, Abu, Islam sebagai Pardigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Aditya
Media, 1992).
Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: C3RD Press, 2005). ----------------, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), cet.1.
----------------, Tantangan Pendidikan di Era Global, dalam Jurnal Institut, NO. I, thn. 2005.
----------------, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Diktat perkuliahan, 2002). Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993).
Arifin, Syamsul dan Barizi, Ahmad, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, (Malang: UMM Press, 2001), cet. 1.
Azizy, A. Qodri, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2003), cet. 2.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003.
---------------------, Dari Pendidikan Kewargaan hingga Pendidikan Multkultural :
Pengalaman Indonesia, dalam Edukasi : Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 2, No. 4, tahun 2004.
Bakhtiar, Adam, Paradigma Pendidikan Islam, dikutip www.pendidikan.net/mk-
hujair.pdf. akses: 03/03/2006. Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, (Beirut : Darul Fikri, 1994), juz. 1. Choiri, Miftahul, Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam
Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia, Vol. 3, No. 2 Juli-Desember 2003. Daradjat, Zakiah, et.al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992). Dawam, Ainnurrofik, Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003).
Faqih, Abdullah, Pendidikan Multikultural dan Keabsahan Demokrasi, dalam
http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/6 Fayid, Syaikh Mahmud Abdul, Pendidikan dalam Al-Qur’an, (terj. Drs. Judi al-
Falasany), (Semarang: Wicaksana, 1986). Gutman, Amy, Multiculturalism, Examining the Politics of Recognition,
(Princenton: Princenton University Press, 1994), hal. 18. sumber : www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp
Hanum, Farida, Rintisan Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam
Membangun Perilaku Bangsa, Pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Yogyakarta, 20 April 2009.
Hasan, Chalidijah, Kajian Pendidikan Perbandingan, (Surabaya : Al-Ikhlas,
1994), cet. 1.
Hidayati, Yuyun Nur, Multicultural Education In America, (Tesis), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada). Sumber: google.com/search/Multi_Amerika.htm.
Hussain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, (terj. :
Fadlah Mudhafir), (Jakarta : Al-Mawardhi Prima, 2000), cet.ke-I.
Ibrahim, Ruslan, Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, dalam El-Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol.I 2008.
Ihsan, Hamdani dan Ihsan. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV.
Pustaka Setia, 2001), cet. II.
Jalal, Fasli, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Aditia, 2001).
Jalaludin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islamm ; Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994).
James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (ed), Handbook of Research on Multicultural Education, (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), hal. 28. www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp
Jay, Grgory, Critical Context For Multiculturalism, dalam www.uwm.edu-
/gjay/Multicult/conte+tmulticulut.htm. Download 2 Desember 2005
Khaerudin, Konstribusi Teknogi dalam Membangun Pendidikan Multikultural, sumber : http://www.ilmupendidikan.net/?p=8
Las, Scott dan Featherstone, Mike (ed)., Recognition And Difference: Politics,
Identity, Multiculture, (London: Sage Publication, 2002), hal. 2-6. Sumber www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp
Lie, Anita, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural,
http//www.kompas.com/ akses 25 Desember 2007 el-Ma’hady, Muhaimin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam
http://www.cyberschooldps.net - 27 February, 2008. Maarif, Syamsul, Islam dan Pendidikan Pluralisme; Menampilkan Wajah Islam
Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan, sumber www.google.com/pluralisme-pendidikan, akses tanggal 22 Januari 2008
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-
Maarif, 1989), cet. Ke-VIII.
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Surabaya: JP Books kerjasama dengan STAIN Salatiga Press, 2007), cet. 1.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999). Mendatu, Achmanto, Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam
Melaksanakan Pendidikan Multikultur. Sumber http://.www.psikologipendidikan.blogspot.com/pendidikan-multikultural.htm
al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Islam,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.2.
Muqtafa, M. Khoirul, Paradigma Multikultural, dalam
http://www.sinarharapan.co.id/-berita/0402/05/opi02.html Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Fikri, 1998), juz. 2. an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-I.
Nata, Abudin, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang), UIN Syarif Hidayatullah Press.
-------------------, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Era Pasar Bebas, dalam Didaktika Islamika, Jurnal Kependidikan, Keislaman dan Kebudayaan, Vol. 1, Januari 2005.
Nurdin, Zainal Arifin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Berwawasan
Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama Edisi No.1 tahun 2005
Parekh, Biku, Rethinking Multiculturalisme: Cultural Diversity and Political
Theory, (Cambridge: Harvard University Press, 2000). Sumber: www.bagais.go.id/jurnaldikti/dokfdp
------------------, What is Multiculturalism?sumber :
www.google.com/search/what-is-multiculturalisme.htm
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. Ke-XII.
Rahardjo, M. Dawam, Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme, dalam Bulletin Kebebasan Edisi No. 4/V/2007.
Rahmat, Pupu Saeful, Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia, dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia.htm
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), cet. Ke-2.
Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, (Malang: Pustaka Kayu Tangan, 2005)
Ridho, Irsyad dan Fitri, Susi, Perspektif Multikultur dalam Pengembangan
Kurikulum, dalam http://www.backtohome schooling.org/htm/artikel
Rosyada, Dede, Pendidikan Multikultur Melalui Pendidikan Agama, dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol, VI, No. I, Juni 2005.
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1.
Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1999), cet. Ke-I. Salamah, Husniyatus, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif di Sekolah, sumber dalam http://www.lubisgrafura.wordpress.com
Saefuddin, Ahmad Fedyani, Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm
Shaleh, Abd. Rochman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta : Gema
Windu Panca Perkasa, 2000), cet.ke-I. Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999), cet. 1. Soedirjato, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya
Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). Sumarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-
VIII.
Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikelps.htm Diakses tanggal 24 September 2006.
Suprayogo, Imam, Pendidikan Agama Di Era Multikultural, dalam
http://www.imamsuprayogo.com /viewd_artikel.php?pg=31 Surya, Mohammad, Tantangan Pembelajaran di Era Millenium Ketiga, dalam
Jurnal Didaktika Pendidikan, Vol. III, No.2, Desember 2002. Suseno, Frans Magnes, Islam dan Pendidikan Pluralisme, dalam Suara
Pembaruan, edisi 23 September 2000 Susetyo, Beny, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LkiS, 2005), cet. 1. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet. Ke-1. Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grassindo, 2004). ---------------------, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta : Grassindo, 2002), cet. ke-1.
---------------------, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat MadaniIndonesia, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000).
----------------------, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Prespektif
Kultural, (Magelang : Indonesia Tera, 2003). Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya :
Usaha Nasional, tt), cet. Ke-III.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya : Karya Abditama, 1996), cet. Ke-I.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-II.
Tim Penyyusun, Undang-undang Republik Indonesia, No.2 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3, (Jakarta: CV. Mitama Utama, 2004).
Waidl, A., Pendidikan Yang Menghargai Kemajemukan, dalam Bulletin Jum'at Al-Ikhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Download di www.is-lam@isnet.org 18 Januari 2008
top related