lap sampling tanah.doc
Post on 24-Oct-2015
71 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat,
cairan, dan gas, mempunyai sifat serta prilaku yang dinamik. Sifat dinamik tanah
tersebut karena tanah merupakan sistem yang terbuka dengan terjadinya proses
pertukaran bahan dan energi secara berkesinambungan. Tanah juga merupakan suatu
sistem yang kompleks, berperan sebagai sumber kehidupan tanaman, yang mengandung
semua unsur yang berbeda baik dalam bentuk maupun jumlahnya. Unsur hara mikro
seperti besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn) dan tembaga (Cu) merupakan unsur hara
penting bagi tanaman yang terdapat dalam tanah.
Tanah secara alami telah mengandung logam berat meskipun hanya sedikit. Tanah pun
memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat yang berbeda untuk tiap
jenis tanah berdasarkan bahan induk penyusun tanah tersebut. dengan atau tanpa
disadari tanah merupakan tempat penimbunan akhir dari limbah yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia. Secara alami tanah akan menguraikan bahan kimia yang mask
kedalam tanah, tetapi apabila bahan kimia yang direrima tersebut berlebihan maka tanah
tidak akan mampu menguraikannya. Setiap jenis tanah mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam merespon bahan kimia yang diterimanya (Riskirana, R, 2011).
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung
kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang
akar. Untuk itu, keberadaan tanah harus dijaga kestabilannya agar tetap dapat
bermanfaat sesuai peruntukkannya. Jika kondisi tanah sudah tercemar, maka keberadaan
makhluk hidup pun ikut terancam.
Oleh karena itu, dilakukan sampling tanah untuk mengetahui kondisi tanah (dalam hal
ini pH dan kelembabannya) dengan menggunakan metode yang telah ditentukan
sebelumnya, baik itu metode penentuan lokasi sampling ataupun metode penentuan titik
pengambilan sampel tanah.
1.2. Tujuan
a. Mengetahui macam-macam metode untuk menentukan titik pengambilan sampel
tanah.
b. Mengetahui nilai pH, kelembaban, dan sifat dari sampel tanah yang diukur.
c. Mengetahui pengaruh kelembaban terhadap pH tanah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah
Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak bumi yang
tersusun dari mineral dan bahan organik. Struktur tanah yang berongga-rongga juga
menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas dan tumbuh. Tanah juga
menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Tanah berasal dari
pelapukan batuan dengan bantuan organisme, membentuk tubuh unik yang menutupi
batuan. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air
dan udara merupakan bagian dari tanah.
Karakteristik tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan yang melapuk dan
mengalami proses pembentukan lanjutan. Usia tanah yang ditemukan saat ini tidak ada
yang lebih tua daripada periode Tersier dan kebanyakan terbentuk dari masa Pleistosen.
Tubuh tanah terbentuk dari campuran bahan organik dan mineral. Tanah non-organik
atau tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral. Sebaliknya,
tanah organik (organosol/humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap bahan organik
yang terdegradasi. Tanah organik berwarna hitam dan merupakan pembentuk utama
lahan gambut dan kelak dapat menjadi batu bara. Tanah organik cenderung memiliki
keasaman tinggi karena mengandung beberapa asam organik (substansi humik)
hasil dekomposisi berbagai bahan organik. Kelompok tanah ini biasanya
miskin mineral, pasokan mineral berasal dari aliran air atau hasil dekomposisi jaringan
makhluk hidup. Tanah organik dapat ditanami karena memiliki sifat
fisik gembur (sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena memiliki
keasaman tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil terbatas dan di
bawah capaian optimum.
Warna tanah merupakan ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna tanah
sangat bervariasi, mulai dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning, hingga
putih. Selain itu, tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan warna yang
kontras sebagai akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian (leaching). Tanah
berwarna hitam atau gelap seringkali menandakan kehadiran bahan organik yang tinggi,
baik karena pelapukan vegetasi maupun proses pengendapan di rawa-rawa. Warna gelap
juga dapat disebabkan oleh kehadiran mangan, belerang, dan nitrogen. Warna tanah
kemerahan atau kekuningan biasanya disebabkan kandungan besi teroksidasi yang
tinggi; warna yang berbeda terjadi karena pengaruh kondisi proses kimia
pembentukannya. Suasana aerobik/oksidatif menghasilkan warna yang seragam atau
perubahan warna bertahap, sedangkan suasana anaerobik/reduktif membawa pada pola
warna yang bertotol-totol atau warna yang terkonsentrasi (anonim a, 2012).
Suatu tanah dikatakan subur apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Banyak mengandung unsur hara (zat yang dibutuhkan tanaman),
b. Cukup mengandung air,
c. Struktur tanahnya baik.
Jenis tanah yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Tanah Alluvial (tanah endapan)
Tanah Alluvial adalah tanah yang terbentuk dari hasil pengendapan lumpur sungai yang
terdapat di dataran rendah. Tanah ini tergolong sangat subut dan baik untuk daerah
pertanian padi.
2. Tanah Vulkanik (tanah gunung api)
Tanah vulkanik adalah tanah yang terbentuk dari hasil material letusan gunung api yang
telah mengalami pelapukan (Sanghiang, 2010).
Tanah vulkanis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Tanahnya subur
Mengandung unsur hara yang tinggi.
Merupakan hasil pelapukan materi letusan gunung berapi.
Mudah menyerap air dan berwarna lebih gelap.
Terdapat di sekitar wilayah gunung berapi.
(Anonim b, 2011)
3. Tanah Organosol (tanah gambut)
Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari pengendapan bahan-bahan organik
terutama pembusukan tumbuhan rawa-rawa. Tanahnya kurang subur. Jenis tanah ini
banyak terdapat di daerah rawa-rawa Sumatera, Kalimantan dan Papua.
4. Tanah Humus
Tanah humus dari pelapukan tumbuh-tumbuhan terutama di daerah hutan yang masih
lebat, dan sifat tanah ini sangat subur.
5. Tanah Podzolit
Tanah podzolit adalah tanah yang terbentuk di daerah yang memiliki curah hujan tinggi
dan suhu udara rendah. Di Indonesia jenis tanah ini terdapat di daerah pegunungan.
Tanah podzolit tergolong subur.
6. Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah yang terbentuk unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah
telah hilang, larut oleh curah hujan yang tinggi. Tanahnya tidak subur, banyak terdapat
di Kalimantan Barat, Lampung, dan Sulawesi Tenggara.
7. Tanah Pasir
Tanah pasir terbentuk dari pelapukan batuan beku dan batuan sedimen. Ciri tanah pasir
ialah berkerikil dan butirannya kasar. Tanahnya tidak subur.
8. Tanah Mediteran (tanah kapur)
Tanah mediteran adalah tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur (Sanghiang,
2010).
Tanah kapur memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Tanahnya tidak subur dan sangat tidak cocok untuk lahan pertanian.
Merupakan hasil pelapukan batuan kapur.
Dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kerajinan keramik.
Dalam pertanian, tanah kapur yang sifat basanya tinggi dapat dimanfaatkan
untuk menetralkan kadar keasaman tanah.
(Anonim b, 2011)
2.2. Sampling Tanah
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada
populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti.
Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil
penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun
karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa
dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi. Syarat
sampel yang baik:
1. Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam
sampel. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel,
makin akurat sampel tersebut.
2. Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi.
Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik
populasi. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata
sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut
(Riskirana, 2007).
Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random
sampling atau probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping
atau nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara
pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada
setiap elemen populasi. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau
nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang
sama untuk dijadikan sampel.
Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika
peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan
populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel
representatif dan diambil secara acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika
peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap
tentang setiap elemen populasi. Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat
beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal
dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling,
systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal
beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota
sampling, snowball sampling.
Probability/ Random Sampling
Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling
frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap
elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel.
1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan
bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen
populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Selama perbedaan
tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak
sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama
untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
1. Susun “sampling frame”
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
3. Tentukan alat pemilihan sampel
4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut
mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat
mengambil sampel dengan cara ini. Prosedurnya :
1. Siapkan “sampling frame”
2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan
secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional
adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi
dalam stratum tersebut.
3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan
gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana
setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen, setiap gugus
boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Prosedur:
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus–dalam kasus di atas,
elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sampel
4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat
pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan.
Contoh dari metode ini adalah teknik diagonal dan teknik zig zag yang dilakukan
pengambilan sampel secara sistematis berdasarkan interval yang telah ditetapkan.
Prosedur sistematik sampling adalah sebagai berikut :
1. Menyusun sampling frame yaitu daftar elemen yang akan diamati.
2. Menetapkan sampling interval (k) dengan menggunakan rumus N/n; dimana N
adalah jumlah elemen dalam populasi dan n adalah jumlah sampel yang diperlukan.
3. Memilih sampel pertama (s1)secara random dari sampling frame.
4. Memilih sampel kedua (S2)
(Subiyanto, N, 2008)
Prosedur teknik diagonal adalah sebagai berikut:
1. Menyusun sampling frame dari lahan yang
akan di amati.
2. Membagi lahan yang telah ditentukan
menjadi 4 bagian yang sama dengan ukuran
tepi yang telah ditentukan dan ditandai
dengan patok dan tali rafia.
3. Menentukan empat titik diagonal menjadi
titik sampling tanah.
Prosedur teknik zig zag:
1. Menyusun sampling frame dari lahan yang
akan di amati.
2. Membentuk pola zig zag dengan ukuran
yang telah ditentukan dan ditandai dengan
patok dan tali rafia.
3. Menentukan empat titik dari pola tersebut
sebagai titik sampling.
5. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya
tersebar di berbagai wilayah. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat): Kabupaten,
Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten? Kotamadya?
Kecamatan? Desa?)
3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
2.1. Gambar teknik diagonal
2.2. Gambar teknik zig zag
5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi
lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
Nonprobability atau Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Unsur
populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena
faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan
kemudahan
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali
berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang
tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada
beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga
captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan
untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang
sampelnya diambil secara acak (random).
2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang
atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau
sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis
sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling.
3. Snowball Sampling–Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa
dijadikan sampel.
(Hasan, M, 2000)
Pengambilan contoh tanah komposit adalah contoh tanah dikumpulkan dari beberapa
titik pengamatan melalui pemboran yang dicampur merata menjadi satu contoh yang
homogen.Cara pengambilan contoh ialah dengan (1) metode sistematik (sistem diagonal
atau zig zag), dan (2) metode acak (Rayes, M, 2006).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksnaan
3.1.1. Waktu Pelaksanaan
Praktikum ini ini dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 12 Oktober 2012 pukul 10.30-
11.45 WITA.
3.1.2. Tampat Pelaksanaan
Praktikum kali ini bertempat di sebelah utara gedung sekretariat Keluarga Besar
Mahasiswa Fakultas Teknik (KBMFT) Universitas Mulawarman Samarinda,
Kalimantan Timur.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat:
1. Soil tester
2. Cetok
3. Cangkul
4. Meteran
5. Penggaris
6. Alat tulis
7. Kayu Patok
8. Kamera
3.2.2. Bahan-:
1. Tali rafia
2. Sampel tanah
3. Tissue
4. Plastik
3.3. Cara Kerja
Untuk kedalaman 0-10 cm
1. Ditentukan lokasi yang dijadikan tempat sampling tanah.
2. Diukur tanah dengan ukuran 3x4 meter, ditandai dengan patok yang diberi tali rafia
disebut dengan sampling frame.
3. Dibuat pola zig zag didalam sampling frame dan diberi tanda dengan patok yang
diberi tali rafia.
4. Digali titik-titik yang akan diteliti pada titik-titik zig zag yang telah dibuat dengan
cangkul dan cetok.
5. Digali lubang sedalam 0-10 cm kemudian ditancapkan soiltester hingga terbenam
batas berwarna tembaga.
6. Dibiarkan beberapa saat hingga jarum stabil dan dicatat pembacaan skala pH.
7. Ditekan tombol di samping alat (diusahakan alat tidak bergerak), dibiarkan
beberapa saat hingga jarum penunjuk stabil.
8. Dicatat pembacaan skala kelembaban.
Untuk kedalaman 10-20 cm
1. Digali lagi lubang yang telah digunakan hingga kedalaman 10-30 cm kemudian
ditancapkan soiltester hingga terbenam batas berwarna tembaga.
2. Dibiarkan beberapa saat hingga jarum stabil dan dicatat pembacaan skala pH.
3. Ditekan tombol di samping alat (diusahakan alat tidak bergerak), dibiarkan
beberapa saat hingga jarum penunjuk stabil.
4. Dicatat pembacaan skala kelembaban.
5. Diulangi metode yang sama sebanyak 3 kali untuk setiap titik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Titik Kedalaman pH Kelembaban Foto
1
0-10 cm 6,6 20%
10-20 cmP1= 6 45%P2= 6 35%P3= 6 20%
Rata-rata 6 33,3%
2
0-10 cm 5,8 47%
10-20 cmP1= 6,2 40%P2= 5,95 30%P3= 6,2 20%
Rata-rata 6,12 30%
3
0-10 cm 5,5 25%
10-20 cmP1= 4,5 55%P2= 4,5 76%P3= 4,3 > 80%
Rata-rata 4,43 70,3%
4
0-10 cm 5 > 80%
10-20 cmP1= 4,2 78%P2= 4,2 54%P3= 4,5 > 80%
Rata-rata 4,3 70,67%
Rata-rata total pH semua titik
5,725 (kedalaman 0-10 cm)
5,21 (kedalaman 10-20 cm
Rata-rata total kelembaban semua titik 43%
(kedalaman 0-10 cm) 47% (kedalaman 10-20 cm)
Rata-rata 5,47 Rata-rata 47%4.2. Perhitungan
Keterangan : P1 = Pengulangan 1
P2 = Pengulangan 2
P3 = Pengulangan 3
a. Rata-rata pH untuk kedalaman 0-10 cm
b. Rata-rata pH untuk kedalaman 10-20 cm (Pengulangan 3 kali)
1. Titik1
2. Titik 2
3. Titik 3
4. Titik 4
Total rata-rata pH
c. Total pH semua titik
Total rata-rata pH
d. Rata-rata kelembaban untuk kedalaman 10 cm
Total rata-rata kelembaban
e. Rata-rata kelembaban untuk kedalaman 20 cm (Pengulangan 3 kali)
1. Titik 1
2. Titik 2
3. Titik 3
4. Titik 4
f. Total rata-rata Kelembaban
g. Total Kelembaban Semua Titik
4.4. Pembahasan
Pada praktikum sampling tanah kali ini menggunakan teknik sampling zig zag. Metode
ini dilakukan dengan menentukan lokasi sampling yang ditandai dengan patok kayu dan
tali rafia dengan ukuran lahan 3x4 meter. Kemudian patok dipasang membentuk pola
zig zag dan diikuti oleh tali rafia, 4 titik dari pola zig zag tersebut ditetapkan sebagai
tempat sampling. Setelah itu langsung dilakukan pengukuran dan pembacaan skala pH
dan kelembaban dengan soil tester. Untuk kedalaman 0-10 cm hanya dilakukan 1 kali
pengukuran, dan untuk kedalaman 10-20 cm dilakukan pengukuran senyak 3 kali
disetiap titik sampling.
Setelah selesai melakukan pengukuran beserta pengulangan pengukuran di semua titik,
maka diperoleh hasil: titik pertama diperoleh pH 6, kelembaban 20% untuk kedalaman
0-10 cm, pH rata-rata 6,6, kelembaban rata-rata 33,3% untuk kedalaman 10-20 cm.
Titik kedua diperoleh pH 5,8, kelembaban 47% untuk kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata
6,12, kelembaban rata-rata 30% untuk kedalaman 10-20 cm. Titik ketiga diperoleh pH
5,5, kelembaban 25% untuk kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 4,43, kelembaban rata-
rata 60,3% untuk kedalaman 10-20 cm. Titik keempat diperoleh pH 5, kelembaban >
80% untuk kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 4,3, kelembaban rata-rata 70,67% untuk
kedalaman 10-20 cm. Dari semua hasil pengukuran diperoleh rata-rata dari jumlah pH
sebesar 5,47 dan kelembaban sebesar 47 %.
4 m
3 m
1 2
3 4
Gambar 4.1. Teknik Diagonal
Di bidang pertanian tanah yang ideal adalah pH mendekati 7 sehingga unsur hara dan
senyawa yang penting dapat diserap oleh tanaman dan kelembaban ideal untuk tanah
sebesar 60 hingga 80% (Isroi, 2009). Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran
dengan pH sebesar 5,47 maka keadaan pH tanah yang diukur cenderung memiliki sifat
asam dibandingkan dengan standar pH tanah pada umumnya. Sedangkan untuk nilai
kelembaban yang diperoleh dari pengukuran didapat angka 47% yang jika dibandingkan
dengan kelembaban ideal tanah sebesar 60 hingga 80%, maka kelembaban tanah yang
diukur memiliki kelembaban yang kurang atau bisa dikatakan kering. Nilai pH yang
rendah (asam) dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik, pengendapan dan bahan
induk. Bahan organik tanah secara terus menerus terdekomposisi oleh mikroorganisme
kedalam bentuk asam-asam organik, karbondioksida (CO2) dan air, senyawa pembentuk
asam karbonat. Selanjutnya, asam karbonat bereaksi dengan Ca dan Mg karbonat di
dalam tanah untuk membentuk bikarbonat yang lebih larut, yang bisa tercuci keluar,
yang akhirnya meninggalkan tanah lebih masam. Pengendapan, jika air berasal dari air
hujan melewati tanah, kation kation basa seperti Ca dan Mg akan tercuci. Kation kation
basa yang hilang tersebut kedudukannya di tapak jerapan tanah akan di ganti oleh kation
kation masam seperti Al, H, dan Mn. Oleh karena itu, tanah tanah yang terbentuk pada
lahan dengan curah hujan tinggi biasanya lebih masam dibandingkan pada tanah tanah
pada lahan kering atau acid. Bahan induk, tanah berkembang dari bahan induk yang
berupa batuan dan bahan organik. Selanjutnya batuan di kelompokkan menjadi batuan
beku, sedimen dan metamorfose. Batuan basa umumnya mempunyai pH tinggi
dibandingkan dengan tanah yang berkembang dari batuan masam. Setiap jenis batuan
bahan induk pembentuk tanah memiliki kemampuan serap yang berbeda, itu juga
menyebabkan tanah tersebut memiliki tingkat kelembaban yang berbeda sesuai dengan
bahan pembentuknya (Web Master, 2009).
Untuk nilai kelembaban yang diperoleh dari pengukuran didapat angka 47% yang jika
dibandingkan dengan kelembaban ideal sebesar 60% hingga 80%, maka kelembaban
tanah yang diukur memiliki kelembaban yang kurang atau bisa dikatakan kering. Hal itu
disebabkan karena di tempat pengukuran sampel hanya terdapat sedikit vegetasi yang
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelembaban tanah. Selain itu, ditempat
pengambilan sampel tanah terdiri dari campuran tanah dan batuan, batuan itu sendiri
bersifat kering sehingga mempengaruhi keadaan tanah yang diukur.
Selama pengukuran dilaksanakan tidak terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi di
lapangan. Kendala yang dihadapi antara lain:
1. Pada titik yang ditetapkan menjadi titik pengambilan sampel merupakan campuran
dari tanah dan bebatuan yang mengakibatkan tidak tercapainya kedalaman yang
diinginkan dan juga menghambat proses pengambilan sampel.
2. Keadaan alat yang tidak stabil juga mempengaruhi pembacaan skala ataupun
kelembaban.
3. Faktor kesalahan manusia seperti lupa membersihkan alat sebelum digunakan
kembali.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
a. Metode-metode yang digunakan dalam penentuan titik pengambilan sampel tanah
ada 3, yaitu: metode diagonal, metode zig zag, dan metode acak.
b. Hasil yang diperoleh adalah: titik pertama diperoleh pH 6 dan kelembaban 20%
untuk kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 6,6 dan kelembaban rata-rata 33,3% untuk
kedalaman 10-20 cm. Titik kedua diperoleh pH 5,8 dan kelembaban 47% untuk
kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 6,12 dan kelembaban rata-rata 30% untuk
kedalaman 10-20 cm. Titik ketiga diperoleh pH 5,5 dan kelembaban 25% untuk
kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 4,43 dan kelembaban rata-rata 60,3% untuk
kedalaman 10-20 cm. Titik keempat diperoleh pH 5 dan kelembaban > 80% untuk
kedalaman 0-10 cm, pH rata-rata 4,3 dan kelembaban rata-rata 70,67% untuk
kedalaman 10-20 cm. Dari semua hasil pengukuran diperoleh rata-rata dari jumlah
pH sebesar 5,47 dan kelembaban sebesar 70,67%.
c. Berdasarkan nilai pH dan kelembaban yang didapat, bisa dikatakan bahwa nilai pH
dan kelembaban pada tanah lokasi sampling memiliki hubungan dimana semakin
tinggi nilai kelembaban tanah maka nilai pH akan semakin rendah (asam).
5.2. Saran
Sebaiknya sebelum melakukan praktikum mengguanakan alat, baik itu soil tester atau
alat yang lainnya, kondisi alat benar-benar harus diperhatikan. Ketidakstabilan alat akan
sangat berpengaruh besar pada hasil pembacaan jarum penunjuk skala pH dan
kelembaban
DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 2012. Tanah. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah. Diakses tanggal 12
Oktober 2012 pukul 20.12.
Anonim b. 2011. Jenis-jenis dan Karakteristik Tanah di Indonesia dan Dunia.
http://www.apasih.com/2011/04/jenis-jenis-dan-karakteristik-tanah-di.html.
Diakses tanggal 12 Oktober 2012 pukul 20.15.
Isroi. 2009. Mikroba Yang Dapat Menaikkan pH Tanah. http://isroi.com/2009/05/14/
mikroba-yang-dapat-menaikkan-ph-tanah/. Diakses tanggal 14 Oktober 2012
pukul 19.30.
Jacob, Agustinus. 2012. Tanaman Dalam Mengevaluasi Status Kesuburan Tanah.
http://mursitoledi.multiply.com/journal/item/1/jurnalilmu_kesuburan_tanah?
&show _interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses tanggal 14 Oktober 2012
pukul 19.48.
Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling. home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING. Diakses tanggal 14 Oktober 2012 pukul 20.30.
Sanghiang. 2011. Jenis-Jenis Tanah di Indonesia.http://ekookdamezs.blogspot.com/
2011/03/jenis-jenis-tanah-di-indoneisa.html. Diakses tanggal 12 Oktober 2012
pukul 20.27.
Riskirana, Rila. 2011. Teknik Pengambilan sampel tanah. http://riskirana.blogspot.
com/2011/10/teknik-pengambilan-sampel-tanah.html. Diakses tanggal 13 Oktober
2012 pukul 17. 14.
Web Master, 2004. Faktor Yang Mempengaruhi pH Tanah.
http://kapurpertanian.com/index.php/Berita-Terbaru/Faktor-yang-mempengaruhi-
pH-tanah.html. Diakses tanggal 14 Oktober 2012 pukul 20.47.
top related