makalah biotekdas 2013 rizky dermawan (h311 10 251
Post on 13-Feb-2015
83 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
BIOTEKNOLOGI DASAR
STUDI FARMAKOKINETIK TRAMADOL DAN
PERKEMBANGAN BIOTEKNOLOGI MOLEKULER
FARMASI TERHADAP DIABETES MELITUS
Oleh:
RIZKY DERMAWAN
H 311 10 251
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ABSTRAK
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh terjadinya
hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun disebabkan
oleh keduanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan bahwa penyakit ini
dapat mengubah farmakokinetik suatu obat contohnya tramadol yang merupakan
zat analgesik pereda rasa nyeri yang disebabkan oleh Diabetic Painful Neuropathy
(DPN) sebagai salah bentuk komplikasi dari diabetes melitus. Perubahan
farmakokinetik ini disebabkan oleh adanya perubahan plasma protein pengikatan
obat seiring perubahan kadar plasma asam lemak dan dehidrasi intraseluler yang
telah diamati pada model tikus diabetes. Diabetes mellitus merupakan masalah
global yang tengah dicari solusi penanganannya yang tepat melalui
pengembangan bioteknologi molekuler yang telah melahirkan teknologi DNA
rekombinan yang didasarkan pada prinsip rekayasa genetika dalam memproduksi
insulin eksogen bagi penderita diabetes
Kata Kunci : diabetes mellitus, tramadol, farmakokinetik, insulin, bioteknologi
molekuler, DNA rekombinan
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a metabolic disease characterized by hyperglycemia due to
the occurrence of abnormalities in insulin secretion, insulin action, or due to
both. Based on the studies that have reported that the disease may alter the
pharmacokinetics of a drug for example which is a substance analgesic tramadol
pain relief caused by Painful Diabetic Neuropathy (DPN) as a complication of
diabetes mellitus. The pharmacokinetic changes caused by changes in plasma
protein binding of drugs as changes in plasma levels of fatty acids and
intracellular dehydration has been observed in mouse models of diabetes.
Diabetes mellitus is a global problem which is being sought proper handling
solutions through the development of molecular biotechnology has given rise to
recombinant DNA technology which is based on the principles of genetic
engineering in producing exogenous insulin for diabetics
Keyword : diabetes mellitus, tramadol, pharmacokinetic, insulin, molecular
biotechnology, recombinant DNA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peningkatan jumlah penduduk dunia yang terkena penyakit diabetes
semakin mengkhawatirkan. Menurut WHO pada tahun 2000 jumlah penduduk
dunia yang menderita diabetes sudah mencapai 171.230.000 orang dan pada tahun
2030 diperkirakan akan mencapai jumlah 366.210.100 orang atau naik sebesar
114% dalam kurun waktu 30 tahun. Berdasarkan data statistik jumlah penderita
diabetes di dunia pada tahun 2000 dan proyeksi jumlah penderita diabetes dunia
pada tahun 2030 versi WHO, Indonesia menempati peringkat ke 4 terbesar dengan
pertumbuhan sebesar 152% atau dari 8.426.000 orang pada tahun 2000 menjadi
21.257.000 orang di tahun 2030 (Anonim, 2012).
Diabetes dan hipertensi merupakan akibat dari gaya hidup terkait penyakit
tidak menular yang penting secara global, masing-masing mempengaruhi 285 juta
dan 1 miliar orang. Angka-angka ini diperkirakan akan meningkat masing-masing
menjadi sekitar 438 juta dan 1,56 miliar untuk diabetes dan hipertensi selama 20
tahun ke depan sebagai akibat pertumbuhan penduduk, peningkatan prevalensi
obesitas, dan gaya hidup yang kurang sehat (Okoduwa, dkk., 2013 ).
Diabetes merupakan penyakit multifaset yang berhubungan dengan
komplikasi neurologis, vaskular, imunologi dan metabolisme. Hiperglikemia sejak
lama telah diyakini menjadi penyebab utama dari terjadinya beberapa komplikasi
ini. Neuropati diabetik adalah komplikasi umum yang berkembang sekitar 50%
dari penderita diabetes. Neuropati diabetes memiliki kejadian yang luas dan
pengaruh yang sangat buruk (Maladkar, dkk., 2013).
Selain keadaan patologis, diyakini bahwa kemungkinan diabetes yang
disebabkan perubahan dalam biotransformasi (metabolisme) dari agen farmasi
pada organ hati juga bisa menimbulkan risiko kesehatan tambahan karena efek
samping yang berbahaya akibat keracunan obat (Lavasani, dkk., 2013). Mengingat
jumlah pasien diabetes terus meningkat begitupula peluang mereka untuk terapi
obat dibandingkan dengan menjalani pola hidup sehat, menjadikan hal ini sangat
menarik untuk memahami efek dari penyakit ini terhadap metabolisme obat.
Kapasitas organisme untuk menghilangkan xenobiotik seperti obat dan
polutan lingkungan dari tubuh mereka dapat berubah. Salah satu faktor yang
paling terkenal dan efektif adalah variasi genetik dari enzim metabolisme obat.
Polimorfisme genetik telah banyak dilaporkan dengan isoenzim sitokrom P450
(P450s). Selain itu, ada pula faktor inhibisi atau induksi. Kondisi fisiologis dan
patofisiologis juga mempengaruhi aktivitas P450s dan enzim lainnya (Lavasani,
dkk., 2013). Hal ini menjadi dasar berbagai peneliti untuk melakukan riset lebih
lanjut mengenai interaksi dan efek samping dari suatu obat terhadap tubuh.
Dalam berbagai riset, beberapa zat kimia telah digunakan untuk induksi
insulin diabetes mellitus pada model binatang, terutama streptozotosin.
Streptozotosin dapat menyebabkan perubahan struktural dalam sel beta pankreas
(degranulasi total) dalam waktu 48 jam setelah pemberian dan bertahan hingga 4
bulan. Dalam model tikus diabetes mellitus yang diinduksi dengan streptozotosin
atau DMIS (Diabetes Melitus Induction by Streptozotocin) beberapa perubahan
fisiologis telah dilaporkan, termasuk penurunan tingkat aliran empedu,
hepatotoksisitas, gangguan fungsi ginjal, gangguan pada saluran pencernaan dan
penurunan protein yang mengikat obat karena kadar asam lemak plasma
meningkat atau glikosilasi dari protein plasma. Glukuronidasi dan sulfasi juga
banyak mempengaruhi tikus DMIS. Baru-baru ini, itu menunjukkan bahwa
ekspresi dari CYP1A1, 2A1, 2B1, 2C12, 2E1, 3A4, 4A1 dan/atau 4A2 yang
ternyata meningkat pada tikus DMIS. Namun, CYP2C11, 2C13, 2A2 dan 3A2
mengalami penekanan (Lavasani, dkk., 2013).
Baru-baru ini, tramadol disarankan sebagai obat oral yang efektif untuk
mengurangi rasa nyeri yang menyakitkan akibat neuropati diabetik atau DPN
(Diabetic Painful Neuropathy). Meskipun tramadol yang diketahui efektif untuk
mengurangi gejala-gejala dari DPN, namun data yang secara pasti hanya sedikit
yang tersedia mengenai efek diabetes terhadap metabolisme obat pada organ hati
dan farmakokinetik dari senyawa tramadol ini (Lavasani, dkk., 2013).
Farmakokinetik terutama penting bila dipandang dari sudut klinis karena
intensitas dan lama kerja obat dihubungkan dengan konsentrasi obat yang berada
dalam suatu sisi aktif. Dewasa ini, kemampuan mengkorelasikan antara data
farmakokinetik dan metabolik in vivo dengan data metabolik in vitro menjadi
sangat berguna. Relevansi khusus kapasitas hati dalam memetabolisasi obat
terhadap farmakokinetik akan disoroti. Pada akhirnya, contoh khusus relevansi
klinis diberikan berkaitan dengan induksi/inhibisi metabolisme obat dalam
interaksi obat dan dan pengaruh keadaan penyakit pada parameter farmakokinetik
(Gibson dan Skett, 2006).
Kompleksitas masalah kesehatan yang dihadapi manusia pada jaman
sekarang ini membawa manusia dalam ketergantungan akan produk-produk
farmasi. Oleh sebab itu bioteknologi molekuler hadir untuk mengoptimalkan
produk-produk farmasi yang berkualitas. Menurut Hamdani (2013), bioteknologi
menjadi suatu alternatif baru yang disukai untuk penemuan obat baru, pengobatan
penyakit, dan peningkatan produksi bahan baku dan bahan aktif. Adapun Untuk
penemuan obat baru, bioteknologi memiliki arah “menghasilkan protein aktif”
yang dapat digunakan sebagai obat. Protein ini dihasilkan dari DNA (gen) yang
mengkode protein yang dimaksud dengan dimasukkan ke dalam mikroorganisme
supaya dapat dengan cepat diperoleh dan mudah dimurnikan.
Khusus masalah diabetes ini, bioteknologi molekuler menawarkan suatu
metode yakni teknologi DNA rekombinan yang merupakan teknik produksi
insulin oleh sel mikroba melalui pendekatan rekayasa genetika, yang dimana
sebelumnya insulin diperoleh melalui ekstraksi pada pankreas babi, anjing, dan
sapi yang walaupun secara umum memuaskan namun masih terdapat masalah
pada penggunaannya terhadap manusia seperti adanya perbedaan asam amino
yang dapat mengakibatkan efek samping dan adanya kontaminan berbahaya dari
hewan yang sulit dihilangkan (Riske, 2011).
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya maka sekiranya
penting untuk kita memahami lebih lanjut mengenai penyakit diabetes melitus ini
serta komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini misalnya masalah
neuropati sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dan juga mengenai
metabolisme obat yang dikonsumsi oleh penderita diabetes dalam hal ini adalah
tramadol serta efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini terhadap
obat obatan yang dikonsumsi serta peranan penting bioteknologi molekuler pada
bidang farmasi untuk menghasilkan produk farmasi yang berkualitas dengan
meminimalisir kemungkinan resiko efek samping yang dapat ditimbulkan
khususnya berkaitan dengan masalah penyakit diabetes melitus ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud diabetes melitus khususnya mengenai neuropati
diabetik atau DPN sebagai bentuk dari komplikasi diabetes melitus?
2. Apa yang dimaksud dengan farmakokinetik obat serta tahapan prosesnya?
3. Apa yang dimaksud dengan tramadol serta kaitannya dengan DPN?
4. Bagaimana pengaruh farmakokinetik obat (dalam hal ini tramadol)
terhadap diabetes melitus berdasarkan studi riset pada model tikus?
5. Bagaimana perkembangan bioteknologi molekuler pada bidang farmasi
khususnya terhadap penanganan penyakit diabetes melitus?
1.3 RUANG LINGKUP
1. Diabetes melitus dan kedua tipenya (DM tipe 1 dan 2) serta komplikasi
yang diakibatkan khususnya masalah neuropati
2. Farmakokinetik obat serta tahapan prosesnya dalam tubuh yang meliputi
absorbsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi
3. Tramadol dan beberapa metabolitnya beserta jalur metaboliknya
4. Perbandingan data farmakokinetik tramadol pada model tikus diabetes dan
non-diabetes sebagai kontrol/pembanding.
5. Bioteknologi molekuler pada bidang farmasi
1.4 TUJUAN
1. Menjelaskan hal-hal tentang diabetes melitus serta komplikasi yang
diakibatkan khususnya neuropati diabetik
2. Menjelaskan mengenai farmakokinetik obat serta memaparkan dengan
jelas tahapan prosesnya dalam tubuh
3. Menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tramadol termasuk
kaitannya dengan DPN?
4. Menjelaskan pengaruh diabetes melitus terhadap farmakokinetik tramadol
berdasarkan data yang diperoleh pada pengujian terhadap tikus.
5. Menjelaskan perkembangan bioteknologi molekuler pada bidang farmasi
khususnya terhadap penanganan penyakit diabetes melitus
1.5 MANFAAT
1. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya yang masih awam
mengenai penyakit diabetes melitus utamanya komplikasi yang dapat
ditimbulkan salah satunya adalah DPN dan mengenai farmakokinetik obat,
terkhusus tramadol yang terkait DPN serta hubungan antar keduanya
2. Menjadikan makalah ini sebagai bahan acuan/rujukan untuk para peneliti
dalam melakukan riset-riset yang berbasis bioteknologi molekuler
1.6 LUARAN YANG DIHARAPKAN
1. Masyarakat semakin menyadari arti pentingnya pola hidup sehat guna
menghindari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh diabetes melitus
2. Masyarakat memahami resiko dan efek samping yang dapat ditimbulkan
dari pemakaian obat obatan pada penderita diabetes melitus
3. Mendorong dilakukannya riset lebih lanjut terhadap masalah ini guna
mengembangkan bioteknologi molekuler pada industri farmasi dalam hal
produksi obat obatan yang dapat meminimalisir segala resiko dan efek
samping dari suatu obat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DIABETES MELITUS
Diabetes melitus (DM) berasal dari kata Yunani yakni diabaínein, yang
berarti “tembus” atau “pancuran air”, dan dari kata Latin mellitus yang berarti
“rasa manis”. Di Indonesia (dan negara berbahasa Melayu) penyakit ini lebih
dikenal sebagai penyakit kencing manis (Anonim, 2013). Menurut American
Diabetes Association atau ADA (2008), diabetes mellitus adalah kelompok
penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus (DM) dibagi atas dua tipe yakni DM tipe 1 dan2. Secara
ringkas DM tipe 1 disebabkan oleh terjadinya destruksi pada sel beta pankreas
yang berperan dalam produksi hormon insulin sehingga mengakibatkan tubuh
mengalami defisiensi insulin secara mutlak. Adapun DM tipe 2 merupakan suatu
bentuk resistensi insulin, yang dalam arti tubuh tak dapat menggunakan secara
efektif insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. Cacat genetik dari sel beta.
Beberapa bentuk diabetes yang terkait dengan cacat monogenetik pada fungsi sel
beta. Bentuk-bentuk diabetes sering ditandai dengan timbulnya hiperglikemia
pada usia dini yang pada umumnya sebelum usia 25 tahun (ADA, 2008).
Selain itu adapula dikenal dengan istilah Gestational Diabetes Mellitus
(GDM) yang didefinisikan sebagai derajat intoleransi glukosa yang pertama kali
diketahui selama kehamilan. Definisi ini terlepas dari apakah insulin atau hanya
diet modifikasi yang digunakan untuk pengobatan atau apakah kondisi tersebut
terus berlangsung setelah kehamilan. Ini tidak mengesampingkan kemungkinan
bahwa intoleransi glukosa yang belum diakui mungkin telah mendahului atau
bersamaan dengan mulainya kehamilan.
Gambar 1. Kelainan Glikemia: jenis dan tahapan etiologi
Keterangan : *) bahkan setelah yang muncul pada ketoasidosis, pasien ini secara
singkat dapat kembali ke normoglikemia tanpa memerlukan terapi terus menerus.
**) dalam kasus yang jarang terjadi, pasien dalam kategori ini mungkin
membutuhkan insulin untuk tetap bertahan hidup (ADA, 2008).
Diabetes mellitus merupakan penyakit dengan prevalensi yang luas pada
manusia, melibatkan banyak komplikasi, termasuk angiopati mikro maupun
makro serta neuropati, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan kejadian
berbagai penyakit (Lavasani, dkk., 2013). Definisi DPN (Diabetic Painful
Neuropathy) untuk praktek klinis adalah kehadiran gejala dan/atau tanda-tanda
disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah eksklusi penyebab lain.
Namun, diagnosis tidak dapat dibuat tanpa pemeriksaan klinis secara hati-hati,
seperti tidak adanya gejala tidak boleh diasumsikan untuk menunjukkan tidak
adanya tanda-tanda. Definisi ini menyampaikan pesan penting bahwa tidak semua
pasien dengan disfungsi saraf perifer memiliki neuropati yang disebabkan oleh
diabetes. Konfirmasi atas hal ini dapat ditetapkan dengan pengujian kuantitatif
fungsi elektrofisiologi, sensorik, dan otonom (Boulton, dkk., 2005).
DPN adalah gangguan umum meskipun perkiraannya bervariasi, namun
tampak bahwa setidaknya satu manifestasi dari DPN hadir dalam setidaknya 20%
dari pasien diabetes dewasa. DPN telah dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko
termodifikasi dan non modifikasi, termasuk tingkat indeks tekanan hiperglikemia,
lipid dan darah. DPN telah kurang konsisten bila dikaitkan dengan merokok dan
konsumsi alkohol (Boulton, dkk., 2005).
2.2 FARMAKOKINETIK
Menurut Gibson dan Skett (2006), farmakokinetik adalah studi mengenai
pemasukan (absorbsi), penyebaran (distribusi), dan pengeluaran (ekskresi) obat
terhadap satuan waktu. Secara praktis hal ini berarti pengukuran konsentrasi obat
dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh pada suatu periode waktu. Sedangkan
menurut Rahim (2011) bahwa proses biotransformasi atau metabolisme juga
termasuk dalam farmakokinetik obat. Skema yang menunjukkan farmakokinetik
obat dalam tubuh disajikan pada gambar 2.
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan
dalam persen dari jumlah obat yang diberikan, tetapi secara klinik, yang lebih
penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen
terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini
terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik (Rahim, 2011).
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan
oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati,
ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup
jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit,
dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu
yang lebih lama (Rahim, 2011).
Gambar 2. Skema Farmakokinetik Obat dalam Tubuh
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses
ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air
dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui
ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat (Rahim, 2011).
Metabolisme obat merupakan suatu daerah pengkajian yang sangat luas
karena melibatkan banyak reaksi kimia pada substrat yang terjadi selama
metabolisme berlangsung. Metabolisme obat dibagi atas dua fase yakni; fase I
(reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Pembagian jenis-jenis
reaksi kimia antara kedua fase tersebut disajikan pada tabel 1. Baru-baru ini
adanya metabolisme fase III telah dipostulasikan yang dimana melibatkan
metabolisme konjugat (diekskresikan dalam empedu) oleh mikroflora intestin dan
berikutnya mengalami reabsorpsi dan metabolisme (Gibson dan Skett, 2006).
Fase I Fase II
Oksidasi Glukuronidasi/Glukosidasi
Reduksi Sulfasi
Hidrólisis Metilasi
Hidrasi Asetilasi
Detioasetilasi Konjugasi asam amino
Isomerisasi Konjugasi glutasi
Konjugasi asam lemak
Kondensasi
Tabel 1. Jenis reaksi yang digolongkan sebagai metabolisme fase I dan II
Metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain faktor
fisiologis (usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta penghambatan (inhibisi)
dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses metabolisme obat. Selain itu,
faktor patologis (penyakit pada hati atau ginjal) juga berperan dalam menentukan
laju metabolisme obat. Metabolisme obat merupakan suatu bentuk upaya untuk
mengubah senyawa yang relatif polar menjadi senyawa yg lebih polar, sehingga
mudah dkeluarkan oleh tubuh. Pada dasarnya tiap obat merupakan zat asing
(xenobiotik) yang tidak diinginkan oleh tubuh dan tubuh itu berusaha merombak
zat tersebut menjadi metabolit yg bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan
melalui ginjal (Rahim, 2011). Adapun jalur metabolisme obat dalam tubuh
disajikan dalam bentuk skema pada gambar 3.
Gambar 3. Skema Jalur Metabolisme Obat
Eksrkresi merupakan tahapan akhir yang dimana pada tahap ini obat
dieliminasi dari tubuh. Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ
ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk
asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut
lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultan dari 3 proses, yakni filtrasi di
glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal (Rahim, 2011).
2.3 TRAMADOL
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem syaraf pusat
sehingga memblok sensasi rasa nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu
tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari syaraf aferen yang sensitif
terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat (Anonim 2011).
Tramadol memiliki nama kimia (IUPAC) yakni 2-dimetilaminometil-1-(3-
metoksifenil)-sikloheksanol (model struktur disajikan pada gambar 4). Sifat
fisikokimianya antara lain, berupa serbuk kristal berwarna putih, mudah larut
dalam air dan metil alkohol, sukar larut dalam aseton. Sediaanya dalam bentuk
kapsul, tablet, dan injeksi ampul (produk kemasannya disajikan pada gambar 5).
Tiap kapsulnya mengandung tramadol hidroklorida sebanyak 50 mg. Indikasinya
yakni meredakan rasa nyeri (Anonim 2011).
Gambar 4. Model Struktur Tramadol
Gambar 5. Produk Kemasan Tramadol
Tramadol tergolong cepat dan hampir sepenuhnya diserap setelah
pemberian oral. Namun, bioavailabilitas mutlak yang berartinya hanya 65-70%
karena metabolisme hepatik lulus pertama. Setelah dosis 100 mg tunggal oral,
konsentrasi maksimum plasma sekitar 300 ng / mL dicapai dalam 1-3 jam setelah
pemberian (Ardakani dan Rouini, 2009).
Tramadol hidroklorida (T) adalah analgesik yang bekerja sentral dengan
keberhasilan dan potensi berkisar antara opioid lemah dan morfin. Obat ini
terutama dieliminasi melalui biotransformasi dalam hati pada dua jalur utama
termasuk O-demetilasi ke O-desmetilltramadol (M1) (metabolit aktif farmakologi)
oleh isoenzim sitokrom P450 2D6 (CYP2D6) dan N-demetilasi ke N-
desmetiltramadol (M2) oleh sitokrom 2B6 P450 (CYP2B6) dan 3A4 (CYP3A4)
[15]. Metabolit primer selanjutnya dapat dimetabolisme menjadi tiga metabolit
sekunder tambahan yaitu, N, N-didemetiltramadol (M3), N, N, O-
tridesmetiltramadol (M4) dan N, O-desmetiltramadol (M5). Metabolit O-
desmetilasi yang kemudian lebih lanjut terkonjugasi dengan asam glukuronat dan
sulfat sebelum ekskresi dalam urin (Lavasani, dkk., 2013). semua spesies, M1,
M1 konjugat, M2, M5 dan M5 konjugat adalah metabolit utama, sedangkan M3,
M4 dan konjugasi M4 hanya terbentuk dalam jumlah kecil (kurang dari 1%).
Ekskresi empedu dari Tramadol dan metabolitnya dapat diabaikan dan dari titik
kuantitatif melihat semua metabolit serta tramadol utuh hampir sepenuhnya
diekskresikan melalui ginjal (Ardakani dan Rouini, 2009). Adapun jalur
metabolik tramadol disajikan pada gambar 6.
Gambar 6. Jalur Metabolik Tramadol
Menurut Ardakani dan Rouini (2009) bahwa hanya satu dari metabolit
tramadol, yaitu O-desmethyltramadol (M1) yang merupakan farmakologi aktif.
Setelah pemberian oral 100 mg tramadol, T maksimum dari M1 adalah sekitar 1,4
jam lebih lama dari tramadol dengan C maksimum yang tidak lebih dari 18-26%
dari obat induknya.
2.4 PERUBAHAN FARMAKOKINETIK TRAMADOL TERHADAP
PENYAKIT DIABETES MELITUS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lavasani dkk. (2013)
mengenai studi perubahan farmakokinetik tramadol pada tikus diabetes, telah
dilaporkan bahwa parameter farmakokinetik obat dapat diubah oleh diabetes
mellitus. Studi diabetes hewan terutama dilakukan pada tikus dan telah umum
diterapkan induksi streptozosin pada tikus untuk menyediakan diabetes tipe 1.
Dikemukakan bahwa plasma protein pengikatan obat dapat berubah karena
perubahan kadar plasma asam lemak. Selain itu, sebuah dehidrasi intraseluler
telah diamati pada model tikus diabetes. Akibatnya keduanya dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Telah dilaporkan juga bahwa indeks
jantung dan laju aliran darah ke diafragma, dinding perut dan ginjal meningkat.
Peningkatan aktivitas isoenzim sitokrom p450 kebanyakan juga telah dilaporkan
mengakibatkan peningkatan kadar metabolit pada tikus diabetes.
Telah diasumsikan bahwa tramadol dimetabolisme pada hewan jauh lebih
cepat dibandingkan pada manusia, dan M1, M2 dan M5 adalah metabolit utama
dalam semua spesies. Penelitian ini juga menegaskan bahwa M1, M2 dan M5
terbentuk dan M1 tetap metabolit utama dalam tikus. Namun tidak jelas apakah
enzim yang sama pada manusia dan tikus bertanggung jawab untuk pembentukan
metabolit dalam hati. Dalam penelitian ini, M1 tetap metabolit utama tramadol
pada tikus utuh baik diabetes dan non-diabetes (Lavasani dkk., 2013). Berikut
disajikan grafik hubungan konsentrasi metabolig tramadol plasma terhadap waktu
Gambar 7. Plasma konsentrasi-waktu profil tramadol dan M1 dalam kontrol
utuh dan tikus diabetes setelah menerima 10 mg / kg tramadolintraperitoneal
(n = 6 dalam setiap kelompok, data yang disajikan sebagai rata-rata ± SE).
Gambar 8. Plasma konsentrasi-waktu profil M2 dan M5 dalam kontrol utuh
dan tikus diabetes setelah menerima 10 mg / kg tramadol intraperitoneal (n =
6 dalam setiap kelompok, data yang disajikan sebagai rata-rata ± SE).
Diabetes dapat mengubah pola distribusi obat dalam tubuh. Tramadol
memiliki volume distribusi tinggi pada manusia . Setiap pengurangan jaringan
lemak (yang biasanya terjadi pada keadaan diabetes) dapat menyebabkan
penurunan volume distribusi obat lipofilik seperti tramadol. Mengingat
lipofilisitas tramadol tinggi dibandingkan dengan metabolitnya dan distribusi yang
tinggi pada jaringan lemak, seperti fenomena yang mungkin juga menjelaskan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dari tramadol pada tikus diabetes. Selain itu,
tingkat produksi yang lebih tinggi dari alfa-1-asam glikoprotein, suatu protein fase
akut serum yang menonjol dalam mengikat protein tramadol, dalam kondisi lebih
lanjut diabetes dapat menyebabkan penurunan dalam volume distribusi dan
peningkatan konsentrasi plasma tramadol pada tikus diabetes Dalam studi perfusi
hati terisolasi, metabolisme obat dapat diselidiki bila sampai batas tinggi efek
mengikat obat dan volume distribusi telah dikecualikan. Untuk lebih mempelajari
keadaan metabolik tramadol dan efek kemungkinan yang jelas volume distribusi
dan protein yang mengikat terhadap pembentukan metabolit dan rasio metabolik,
sebuah studi hati tikus yang terisolasi dilakukan di hati tikus normal dan diabetes
(Lavasani dkk., 2013).
2.5 PERKEMBANGAN BIOTEKNOLOGI MOLEKULER PADA BIDANG
FARMASI DALAM PENANGANAN DIABETES MELITUS
Teknologi DNA rekombinan merupakan salah satu produk bioteknologi
molekuler yang cukup menjanjikan dan memiliki prospek dalam perkembangan
science and technology. Teknologi rDNA inipun telah mengalami kemajuan yang
terjadi secara paralel dengan perkembangan proses genetik dan variasi biologis.
Perkembangan teknologi baru telah mengakibatkan produksi protein dalam
jumlah besar yang ditetapkan secara signifikansi medis biokimia dan menciptakan
potensi besar untuk industri farmasi (Shivanand dan Noopur, 2010).
Adapun kemajuan teknologi rDNA ini tak terlepas dari peranan rekayasa
genetika yang melatarbelakangi lahirnya bioteknogi molekuler. Menurut Riske
(2011), rekayasa genetika adalah proses mengidentifikasi dan mengisolasi DNA
dari suatu sel hidup atau mati dan memasukkannya dalam sel hidup lainnya.
Rekayasa genetika merupakan suatu cara memanipulasikan gen untuk
menghasilkan makhluk hidup baru dengan sifat yang diinginkan. Rekayasa
genetika disebut juga pencangkokan gen atau rekombinasi DNA. Dalam rekayasa
genetika digunakan DNA untuk menggabungkan sifat makhluk hidup. Hal itu
karena DNA dari setiap makhluk hidup mempunyai struktur yang sama, sehingga
dapat direkombinasikan.
Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau
melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan
gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan
organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja. Pada proses rekayasa
genetika organisme yang sering digunakan adalah bakteri Escherichia coli.
Bakteri Escherichia coli dipilih karena paling mudah dipelajari pada tingkatan
molekuler (Riske, 2011).
Gambar 9. Bakteri Escherichia coli (E. coli)
Adapun untuk rekayasa genetika pada mikroba memiliki banyak tujuan
salah satunya adalah dalam proses pembuatan insulin manusia dari bakteri yang
dimana sel pankreas yang mampu mensekresi insulin yang mengalami
pengguntingan (gambar 11), yang selanjutnya potongan DNA tersebut disisipkan
ke dalam plasmid bakteri (Riske, 2011). Ketika bakteri mengalami reproduksi,
gen insulin direplikasi bersama dengan plasmid, bagian melingkar DNA (Gambar
12). E. coli memproduksi enzim yang cepat mendegradasi protein asing seperti
insulin (Shivanand dan Noopur, 2010).
Gambar 10. Proses pengguntingan (restriksi) insulin
Gambar 11. Plasmid bakteri
Sejak Banting dan Best menemukan hormon insulin pada tahun 1921
pasien diabetes yang memiliki kadar gula tinggi (gambar 12) disebabkan adanya
gangguan produksi insulin.Hal inipun telah dapat diatasi dengan insulin yang
berasal dari kelenjar pankreas hewan seperti babi dan sapi. Hormon yang
diproduksi dan disekresikan oleh sel-sel beta dari pulau pankreas 'Langerhans ini
mengatur penggunaan dan penyimpanan makanan, terutama karbohidrat
(Shivanand dan Noopur, 2010).
Gambar 12. Grafik yang menunjukkan perbandingan kadar gula
darah penderita diabetes dan orang yang normal
Insulin adalah suatu hormon polipetida yang diproduksi dalam sel-sel β
kelenjar Langerhaens pankreas. Insulin berperan penting dalam regulasi kadar
gula darah (kadar gula darah dijaga 3,5-8,0 mmol/liter). Hormon insulin yang
diproduksi oleh tubuh kita dikenal juga sebagai sebutan insulin endogen. Namun,
ketika kalenjar pankreas mengalami gangguan sekresi guna memproduksi hormon
insulin, disaat inilah tubuh membutuhkan hormon insulin dari luar tubuh, dapat
berupa obat buatan manusia atau dikenal juga sebagai sebutan insulin eksogen
(Riske, 2011). Insulin merupakan protein dengan molekul sederhana yang terdiri
dari 51 asam amino, yang dimana 30 di antaranya merupakan satu rantai
polipeptida, dan 21 di antaranya terdiri dari rantai kedua. Dua rantai tersebut
(gambar 13) dihubungkan oleh ikatan disulfida (Shivanand dan Noopur, 2010).
Gambar 13. Struktur insulin
Walaupun insulin hewan secara umum cukup memuaskan tetapi untuk
penggunaan pada manusia dapat menimbulkan dua masalah. Pertama, adanya
perbedaan kecil dalam asam amino penyusunnya yang dapat menimbulkan efek
samping berupa alergi pada beberapa penderita. Kedua, prosedur pemurnian sulit
dan cemaran berbahaya asal hewan tidak selalu dapat dihilangkan secara
sempurna (Riske, 2011).
Struktur tiga dimensi insulin babi dan sapi sangat mirip dengan insulin
manusia. Namun, insulin babi berbeda dari insulin manusia oleh asam amino
tunggal dan insulin sapi oleh tiga asam amino (Tabel 2). Secara umum, insulin
hewan memiliki pembentukan lebih lambat dan durasi yang lebih lama daripada
insulin manusia, mungkin karena adanya peningkatan kecenderungan untuk
mengikat jaringan lemak yang memperlambat terjadinya penyerapan. Insulin babi
memiliki lebih sedikit kecenderungan untuk memisahkan dari heksamer
dibandingkan dengan insulin manusia, meskipun konsekuensi klinis ini mungkin
dapat diabaikan (Sleigh, 1998).
Spesies A8 A10 B30
Manusia Treonin Isoleusin Treonin
Babi Treonin Isoleusin Alanin
Sapi Alanin Valin Alanin
Tabel 2. Perbedaan susunan asam amino insulin dari spesies yang berbeda
Pada tahun 1981 telah terjadi perbaikan secara berarti pada cara produksi
insulin yakni melalui rekayasa genetika. Insulin yang diperoleh dengan cara ini
mempunyai struktur mirip dengan insulin manusia. Melalui teknologi DNA
rekombinan, insulin diproduksi menggunakan sel mikroba yang tidak patogen.
Insulin dari hasil rekayasa genetika ini mempunyai efek samping yang relatif
sangat rendah dibandingkan dengan insulin yang diperoleh dari ekstrak pankreas
hewan, tidak menimbulkan efek alergi serta tidak mengandung kontaminan
berbahaya (Riske, 2011).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya maka dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh terjadinya
hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun
disebabkan oleh keduanya
2. farmakokinetik adalah studi mengenai pemasukan (absorbsi), penyebaran
(distribusi), biotransformasi, dan pengeluaran (ekskresi) obat terhadap
satuan waktu.
3. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem syaraf pusat
sehingga memblok sensasi rasa nyeri dan respon terhadap nyeri.
4. Farmakokinetik obat dapat diubah oleh diabetes mellitus yang disebabkan
perubahan plasma protein pengikatan obat seiring perubahan kadar plasma
asam lemak dan dehidrasi intraseluler yang telah diamati pada model tikus
diabetes.
5. Bioteknologi molekuler telah melahirkan teknologi DNA rekombinan
yang didasarkan pada prinsip rekayasa genetika dalam memproduksi
insulin eksogen bagi penderita diabetes
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013, Diabetes Adalah . . ., (online), rumahdiabetes.com, diakses pada
19 April 2013 pukul 19.33 WITA
Anonim, 2012, Data Statistik Jumlah Penderita Diabetes di Dunia Versi WHO,
(online), indodiabetes.com, diakses pada 19 April 2013 pukul 19.29 WITA
Anonim 2011, Tramadol, (online), infoobat.blogspot.com, diakses pada 19 April
2013 pukul 19.40 WITA
American Diabetes Association, 2008, Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus, Diabetes Care, 31, (1)
Ardakani, Y. H., dan Rouini, M. R., 2009, Pharmakokinetic Study of Tramadol
and it’s Three Metabolites in Plasma Saliva and Urine, Daru Journal of
Pharmaceutical Sciences, 17, (4)
Boulton, A. J.M., Vinik, A. I., Arezzo, J. C., Bril, V., Feldman, E. L., Freeman,
R., Malik, R. A., Maser, R. E., Sosenko, J. M., dan Ziegler, D., 2005,
Diabetic Neuropathies, Diabetes Care, 28, (4)
Gibson, G. G., dan Skett, P., 2006, Pengantar Metabolisme Obat, UI-press,
Jakarta
Maladkar, M., Saggu, N. J. S., Moralwar, P., Mhate A. A., Zemse, D., dan
Bhoraskar, A., 2013, Evaluation of Efficacy and Safety of Epalrestat and
Epalrestat in Combination with Methylcobalamin in Patients with Diabetic
Neuropathy in Randomized Comparative Trial, Journal of Diabetes
Mellitus, 3, (1), 22-26
Hamdani, S., 2013, Bioteknologi Farmasi, (online), catatankimia.com, diakses
pada 19 April 2013 pukul 21.03 WITA
Lavasani, H., Sheikholeslami, B., Ardakani, Y. H., Abdollah, M., Hakemi, L.,
dan Rouini, M. R., 2013, Study of Pharmakokinetic Changes of Tramadol
in Diabetic Rats, Daru Journal of Pharmaceutical Sciences, 21, (17)
Okoduwa, S. I. R., Umar, A., Ibrahim, S., dan Bello, F., 2013, Relationship of
Oxidative Stress with Type 2 Diabetes and Hypertension, Journal of
Diabetology, 1, (2)
Riske, J., 2011, Rekayasa Genetika dalam Proses Pembuatan Insuin Sebagai
Salah Satu Terapi Penyakit Diabetes Mellitus, (online),
riskejazz.blogspot.com, diakses pada 19 April 2013 pukul 21.23 WITA
Shivanand, P., dan Noopur, S., 2010, Recombinant DNA Technology:
Applications in the Field of Biotechnology and Crime Sciences,
International Journal of Pharmaceutical Sciences Research and Review,
1, (1), 43-49
Sleigh, S., 1998, Insulin Preparations and Analogues: Structure and Properties,
Journal of Diabetes Nursing, 2, (5), 150-154
top related