makalah penyakit degeneratif lansia new.docx
Post on 01-Feb-2016
452 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun. Lansia dimulai apabila seseorang telah
memasuki masa pensiun. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi
empat kelompok, lansia usia pertengahan yaitu rentang 45-59 tahun, lansia
elderly rentang 60-74 tahun, lansia tua rentang 75-90 tahun, dan usia sangat
tua yaitu usia diatas 90 tahun.
Dari tahun 1960-1982 di Amerika Serikat jumlah anak-anak usia 15
tahun ke bawah menurun sekitar 7% dan proporsi populasi yang berusia di
bawah 15 tahun telah menurun sebanyak 28%. Sejak tahun 1950, penduduk
lansia di Amerika Serikat berusia 65 tahun ke atas telah bertambah dua kali
lipat. Dan penduduk lansia yang lemah berusia 85 tahun keatas telah
bertambah lebih dari empat kali lipat. Sebagian besar wanita di AS terus
mengalami pertumbuhan. Wanita Amerika Serikat memiliki harapan hidup
sampai usia 78,3 tahun. Sedangkan pria mencapai usia 71,4 tahun (Stanley,
2002)
Sensus penduduk di Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2000 mencatat bahwa jumlah lansia yang ada di Indonesia sebesar 9.327.444
jiwa atau sekitar 4,35% dari seluruh total penduduk Indonesia. Jumlah lansia
yang ada di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan jumlah tersebut
tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Dari data yang di dapat pada susenas
(Survey Sosial Ekonomi Nasional) pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia
sebesar 16,80 juta jiwa, dan meningkat menjadi 18,96 juta jiwa pada tahun
2007 dan meningkat lagi pada tahun 2009 menjadi 19,32 juta jiwa.
Kesehatan dan status fungsional lansia dipengaruhi faktor fisik,
psikologi, serta sosiol ekonomi orang tersebut. Apabila terjadi kemunduran
1
pada salah satu faktor misalnya faktor fisik pada lansia, akan menyebabkan
lansia mengalami kemunduran status kesehatan, kemunduran tersebut
khususnya menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif.
Penyakit degeneratif menurut Notoadmojo, 2010 merupakan penyakit
yang sulit diperbaiki serta merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya
hidup seseorang. Gaya hidup orang yang sehat akan memperlihatkan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan serta meningkatkan status
kesehatannya.
Kemunduran fisik, kelemahan organ, disebabkan oleh menurunnya sel-
sel dalam tubuh karena proses penuaan yang akan menimbulkan berbagai
macam penyakit degeneratif. Hal tersebut menimbulkan masalah pada
kesehatan baik itu sosial, psikologis, dan ekonomi pada lansia (Depkes, 2008).
Penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif sejak dasawarsa
silam telah menjadi permasalahan tersendiri bagi masing-masing negara di
seluruh penjuru dunia. Permasalahan penyakit menular yang semakin pelik
serta kasus penyait non infeksi menimbulkan beban ganda bagi dunia
kesehatan. Menurut WHO, diperkirakan banyak negara mengalami kerugian
hingga miliar Dollar akibat penyakit degeneratif ini. Oleh karena itu
dibutuhkan langkah konkret untuk menanggulanginya.
Hingga saat ini penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian
terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun
akibat epidemi global penyakit degeneratif (WHO). Fakta mencengangkan,
ternyata epidemi global ditemukan lebih buruk di banyak negara dengan
pendapatan nasional rendah dan sedang, di mana 80% kematian penyakit
degeneratif terjadi di beberapa negara tersebut. Negara yang dimaksud, yaitu
Brazilia, Kanada, Cina, India, Nigeria, Pakistan, Rusia, Inggris, dan Tanzania
(WHO). Oleh karena itu tidak ada pilihan selain perlu adanya upaya
penyelamatan. Upaya dalam bentuk kerjasama global yang diusulkan WHO
untuk menanggulangi epidemi penyakit degeneratif ini, dapat menyelamatkan
kehidupan 36 juta orang yang akan meninggal hingga tahun 2015.
2
Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya pergeseran
pola penyakit, di mana penyakit kronis degeneratif sudah terjadi peningkatan.
Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular yang berlangsung
kronis seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya.
Kontributor utama terjadinya penyakit kronis adalah pola hidup yang tidak
sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan dan obesitas,
aktivitas fisik yang kurang, stres, dan pencemaran lingkungan. Sehingga
Indonesia menanggung beban ganda penyakit di bidang kesehatan, yaitu
penyakit infeksi masih merajalela dan ditambah lagi dengan penyakit-penyakit
kronik degeneratif (Andajani et al.,2007).
Di Amerika Serikat obesitas dan kelebihan berat badan (overweight)
meningkat secara dramatis pada 30 tahun terakhir. Di Eropa prevalensi
obesitas berkisar antara 10-40% dalam 10 terakhir ini (Verma Sita, 2002).
Sedangkan di Indonesia sendiri Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan
RI mencatat diperkirakan 210 juta penduduk Indonesia pada tahun 2000,
jumlah penderita yang overweight diperkirakan 76.7 juta (17,5%) dan
penderita obesitas berjumlah lebih dari 9,8 juta (4,7%). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada tahun 2000 di Jakarta, tingkat prevalensi obesitas pada
anak remaja 12-18 tahun ditemukan 6,2% dan pada umur 17-18 tahun 11,4%
(Ade R. S, 2000). Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia,
bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi
global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang
harus segera ditangani (WHO, 2000). Berbagai resiko akibat dari obesitas
seperti hipertensi: (Clarke dkk, 1986; Hubert dkk, 1987; Smoak dkk, 1987 dan
Witteman dkk, 1989); peningkatan kadar kolesterol type LDL dan trigliserida
sementara kadar kolesterol type HDL turun ( Dattilo , 1992; Denke dkk,
1993); penyakit kardiovaskular (Manson dkk, 1990); diabetes dan kanker
(Simopoulos, 1987); serta osteoartritis. Selain berdampak buruk pada
kesehatan, obesitas juga berdampak terhadap kesehatan mental. Laporan
WHO (World Health Organisation) tahun 2003 menunjukkan bahwa kematian
akibat penyakit kardiovaskuler mencapai 29,2% dari seluruh kematian di
dunia atau 16,7 juta jiwa setiap tahun (7,2 juta PJK; 5,5 juta penyakit
3
serebrovaskuler; 4 juta hipertensi dan penyakit jantung lainnya). Dari jumlah
kematian tersebut, 80% diantaranya terdapat di negara miskin, menengah dan
negara berkembang.
Penyakit kardiovaskuler yang utama yaitu penyakit jantung koroner
dan hipertensi. Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh kelainan
miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis
yang merupakan proses degeneratif, di samping faktor-faktor lainnya. Karena
itu dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya
akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi
sering menyebabkan kematian mendadak (Andajani et al.,2007).
Penyakit degeneratif pada lansia terjadi gangguan fungsi biasanya
terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ tertentu, contohnya pada
sistem persyarafan, pernapasan, endokrin, muskuloskeletal, pencernaan,
mental psikis, kardiovaskuler, penglihatan dan lain-lain. Atau bilamana terjadi
stress lain yang memperberat organ, dari organ yang sudah mulai menurun
fungsi dan anatomiknya, sehingga menyebabkan perubahan fungsional
ataupun patologik. Maka dari itu kelompok kami akan membahas secara
spesifik tentang perubahan-perubahan proses penuaan yang terjadi pada sistem
persyarafan, pernapasan, endokrin, muskuloskeletal, pencernaan, mental
psikis, kardiovaskuler, serta penglihatan.
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Masalah Kesehatan atau Penyakit Degeneratif pada Lansia
Masalah kesehatan adalah masalah kesehatan lanjut usia karena
menurunnya kekuatan fisik, sumber finansial yang tidak memadai, isolasi
sosial, kesepian, dan banyak kehilangan lain yang mengakibatkan lansia
rentan secara psikologis. Isolasi sosial, depresi, gangguan kognitif, masalah
psikologis, merupakan masalah kesehatan yang serius. Kemampuan saling
menolong suami-istri lansia dalam merawat pasangannya perlu ditingkatkan
karena penuaan dan banyaknya masalah, suami istri lansia perlu saling tolong
menolong. Umumnya suami lebih sering merawat pasangannya karena tidak
terbiasa merawat orang lain, sementara istri kebalikannya.
Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sulit diperbaiki serta
merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang. Gaya hidup
orang yang sehat akan memperlihatkan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan serta meningkatkan status kesehatannya (Notoadmojo,
2010).
2.2 Tanda Penyakit Degeneratif
a. Perubahan fisik
1) Sistem Persyarafan
Perubahan persyarafan meliputi :
Berat otak yang menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel syaraf
otaknya dalam setiap harinya), cepat menurunnya hubungan persyarafan,
lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya dengan stress,
mengecilnya syaraf panca indra, berkurangnya penglihatan, hilangnya
5
pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitif
terhadap perubahan suhu, serta kurang sensitive terhadap sentuhan.
2) Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi :
Timbulnya sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih
berbentuk sferis (bola), terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan
katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat pada cahaya gelap,
hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta
menurunnya daya untuk membedakan warna biru atau hijau. Pada mata
bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan
reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi, lensa
menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan
katarak, sehingga memengaruhi kemampuan untuk menerima dan
membedakan warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam,
dan marun tampak sama.
Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan
berkurang (sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada
risiko cedera. Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri
dan membatasi kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan
jelas, semua hal itu dapat mempengaruhi kemampuan fungsional para
lansia sehingga dapat menyebabkan lansia terjatuh.
3) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi :
Terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal
dan menjadi kaku, menurunnya kemampuan jantung untuk memompa
darah yang menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat
6
mengakibatkan tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari
duduk ke berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah
perifer.
4) Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi :
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi
setelah umur 30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas
saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar,
rasa lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul
konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil dan tempat
penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
5) Sistem Endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi:
Produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic
rate), dan daya pertukaran zat menurun, Produksi aldosteron menurun,
Sekresi hormon kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan
testoteron menurun.
6) Sistem musculoskeletal
Perubahan pada sistem musculoskeletal meliputi :
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan
stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon
mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot
mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi
tremor, aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua.
Semua perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam
gerak, langkah kaki yang pendek, penurunan irama. Kaki yang tidak
dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah,
perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah atau terlambat
7
mengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset, tersandung, kejadian
tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis lansia menurut
Darmojo, (2004) yaitu adanya perubahan dari sistem persyarafan dapat
dipicu oleh gangguan dari stimulasi dan inisiasi terhadap respon dan
pertambahan usia. Perubahan pada lansia dapat diasumsikan terjadi respon
yang lambat yang dapat mengganggu dalam beraktivitas akan menurun
disebabkan antara lain oleh motivasi, kesehatan, dan pengaruh dari
lingkungan. Pada lansia yang mengalami kemunduran dalam kemampuan
mempertahankan posisi mereka dan menghindari kemungkinan jatuh.
Terdapat kemampuan untuk mempertahankan posisi dipengaruhi oleh tiga
fungsi yaitu: Keseimbangan (Balance), Postur tubuh, Kemampuan
berpindah. Adapun gangguan yang sering muncul pada lansia diantaranya
dizziness, sinkop, hipotermi dan hipertermi, gangguan tidur, delirium, dan
demensia. Salah satu bentuk dari demensia pada lansia adalah alzheimers
disease yang penyebabnya belum di ketahui.
Sedangkan menurut Kushariyadi (2010), perubahan yang terjadi pada
sistem neurologis lansia adalah perubahan pada lansia dari cara bicara dan
berkomunikasi, perubahan pada pola tidur lansia, perubahan status mental,
perubahan status memori, perubahan kepribadian dan kehilangan
keseimbangan (gangguan cara berjalan).
7) Perubahan mental
Faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan fisik
khususnya organ perasa kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan
(hereditas), dan lingkungan. Kenangan (memory) terdiri dari kenangan jangka
panjang (berjam–jam sampai berhari–hari yang lalu mencakup beberapa
perubahan), dan kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit, kenangan
buruk). I.Q. (Intellegentian Question) tidak berubah dengan informasi
8
matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan
keterampilan psikomotor (terjadinya perubahan pada daya membayangkan
karena tekanan–teanan dari faktor waktu).
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan struktural dan
fisiologis, begitu juga otak. Perubahan ini disebabkan karena fungsi neuron di
otak secara progresif. Kehilangan fungsi ini akibat menurunnya aliran darah
ke otak, lapisan otak terlihat berkabut dan metabolisme di otak lambat.
Selanjutnya sangat sedikit yang di ketahui tentang pengaruhnya terhadap
perubahan fungsi kognitif pada lanjut usia. Perubahan kognitif yang di alami
lanjut usia adalah demensia dan delirium.
2.3 Klasifikasi penyakit degenerative
1. Asam urat
2. Osteoporosis
3. Diabetes Mellitus
4. Kolesterol, hipertensi, jantung dan stroke
5. Ginjal
2.4 Patologi pada Sistem Persyarafan
A. Penuaan Sistem Persyarafan
Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat
membimbing ke arah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi
terhadap lansia. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu
sendiri, walaupun bagian lain dari system saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan
ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel
otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh
kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah
diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis
dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10%
kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa
9
enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis
fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflek tendon
profunda. Terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-
pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan
berkurangnya gerakan yang sesuai. Fungsi system saraf otonom dan simpatis
mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan.
Sistem persyarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah
mengalami perubahan adalah sebagai berikut :
1. Otak
Perbandingan pada otak yang normal dan otak otak pada lansia yang telah
mengalami perubahan fungsi adalah sebagai berikut :
a. Normal
Otak terletak di dalam rongga kepala, yang pada orang dewasa sudah tidak
dapat lagi membesar, sehingga bila terjadi penambahan komponen rongga
kepala sehingga dapat meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial). Berat otak ≤
350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia
20 tahun, berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang
lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10%
selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk
diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan
saraf pusat.
b. Lansia
Penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan
signal kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mile/jam. Terjadi
penebalan atropi cerebral (berat otak menurun 10%) antara usia 30-70 tahun.
Secara berangsur angsur tonjolan dendrite di neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi
fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang
terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria.
RNA, Mitokondria dan enzyme sitoplasma menghilang, inklusi dialin eosinofil
dan badan levy, neurofibriler menjadi kurus dan degenerasi granulovakuole.
10
Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60
tahun dan menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik
menurun menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin,
posisi sendi). Tampilan sensori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat.
2. Saraf otonom
Perbandingan pada saraf otonom yang normal dan saraf otonom pada lansia yang
telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut :
a. Normal
1). Saraf simpatis
Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan
aktifitas saluran cerna.
2). Saraf Parasimpatis
Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis.
b. Lansia
Pusat pengendalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang
dikatakan sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah
penurunan asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada
“neurotransmisi” pada ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan
asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan enzim utama kolin-
asetilase. Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan
jumlah reseptor kolin.
Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural, regulasi
suhu sebagai tanggapan atas panas atau dingin terganggu, autoregulasi di sirkulasi
serebral rusak sehingga mudah terjatuh.
3. Sistem Saraf Perifer
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada
lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:
11
a. Normal
1). Saraf Aferen
. Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari
kepala, pembuluh darah dan ekstermitas. Saraf eferen menyampaikan rangsangan
dari luar ke pusat
2). Saraf Eferen
Berfungsi sebagai pembawa informasi sensorik dari otak menuju ke luar
dari susunan saraf pusat ke berbagai sasaran (sel otot/kelenjar).
b. Lansia
1). Saraf Aferen
Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi
penurunan penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena
rangsangan.
2). Saraf Eferen
Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut
dikarenakan terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer.
4. Medulla Spinalis
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada
lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:
a. normal
Fungsinya :
1. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu, Cornu motorik/ cornu ventralis.
2. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut.
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
4. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh.
b. Lansia
Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga
mempengaruhi pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk
menggerakkan otot dan sendinya secara maksimal.
12
2.5 Patologi pada Sistem Endokrin
A. Penuaan pada Sistem Endokrin
Walaupun lansia dapat mengalami diabetes lebih sering daripada
kelompok usia yang lebih muda, kondisi maupun konsekuensi normal dari proses
penuaan ini bukanlah hal yang tidak dapat dihindarkan. Beberapa perubahan
terkait usia meningkatkan risiko diabetes, namun, pada kenyataannya dapat
memperbesar kesempatan seseorang untuk mengalami penyakit ini pada setiap
dekade kehidupannya. Perubahan diatas juga mencakup perubahan status gizi dan
fungsi endokrin.
Selama dekade terakhir kehidupan, banyak lansia cenderung untuk
mengalami penambahan berat badan, bukan karena mereka mengonsumsi kalori
lebih banyak tetapi karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan laju
metabolisme basal. Hasilnya, seseorang yang memiliki berat badan normal selama
kehidupannya, mungkin menemukan bahwa, dengan penuaan, berat badan mereka
meningkat secara bertahap. Ketidakseimbangan nutrisi ini dapat memengaruhi
berbagai sistem tubuh. Dalam hubungannya dengan sistem endokrin, penambahan
beban kalori yang tidak diperlukan dapat menjadi predisposisi bagi seseorang
untuk mengalami diabetes.
Kadar glukosa darah berubah ketika seseorang menjadi tua. Penyesuaian
batas normal untuk kadar glukosa darah 2 jam setelah makan yang telah diajukan
adalah 140-200 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa yang dapat diterima untuk
lansia adalah <140mg/dL. Fungsi ginjal dan kandung kemih juga berubah,
membuat tes urine untuk glukosa menjadi kurang dapat diandalkan pada lansia
yang berusia >65 tahun. Perubahan-perubahan ini mendukung penggunaan
parameter yang telah disesuaikan dengan usia dalam interpretasi nilai-nilai
laboratorium untuk lansia dengan diabetes.
Perubahan fungsi fisik yang dapat terjadi pada tahun-tahun terakhir dapat
menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk mencari
bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air kecil,
dan infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak
diperhatikan oleh lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa
hal tersebut adalah bagian dari proses penuaan itu sendiri.
13
2.7 Patologi Sistem Muskuloskeletal
A. Penuaan pada Sistem Muskuloskeletal
1) Perubahan pada sistem muskuloskeletal
a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai protein
pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur.
Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada
jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan
tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena
penuaan, tensile strength dan kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan
elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami
perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada kolagen itu
merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan
dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, dan hambatan
dalam melakukan aktifitas sehari–hari. Upaya fisioterapi untuk mengurangi
dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk menjaga mobilitas.
b) Kartilago. Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya,
kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar
matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks
mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan
akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami
klasifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi
kartilago menjadi tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga
sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada
persendian menjadi rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi
pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah
14
mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatsan gerak dan terganggunya
aktifitas sehari–hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dapat di berikan
teknik perlindungan sendi.
c) Tulang. Berkurangnya kepadatan tualang, setelah di observasi, adalah
bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula
tranversal terabsorbsi kembali. Sebagai akibat perubahan itu, jumlah tulang
spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang
terjadi adalah penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali,
penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga
tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan
menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang menurun. Dampak berkurangnya
kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Latihan fisik dapat di berikan
sebagai cara untuk mencegah terjadinya osteoporosis.
d) Otot. Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan
lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
e) Sendi. Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan
periartikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan
fleksibitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Beberapa kelainan
akibat perubahan pada sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain
osteoarthtristis, artritis rheumatoid, gout, dan pseudo gout. Kelainan tersebut
dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatsan
luas gerak sendi, gangguan jalan, dan aktifitas keseharian lainnya. Upaya
mencegah kerusakan sendi antara lain dengan memberi teknik perlindungan sendi
dalam beraktifitas.
15
2.8 Patologi pada Mental dan Psikologi
A. Penuaan pada Mental dan Psikologis
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial
lansia menurut Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya
tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang
makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki
masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang
lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat,
maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi
kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur
cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara
seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti:
a. Gangguan jantung
b. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
c. Vaginitis
d. Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan
sangat kurang
f. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
16
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat
oleh tradisi dan budaya .
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini
biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga
selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan
hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan
17
yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan
kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri.Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut
sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan
mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-
kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja
atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara
berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan
pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan
setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang
sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara
berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan
macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat
18
hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping
pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup
menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan
bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal
itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku
regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang
tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia
yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai
tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long
stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lansia
19
2.10 Patologi Sistem Kardiovaskuler
A. Penuaan pada Sistem Kardiovaskular
Perubahan fisiologi jantung akibat penuaan
Proses penuaan akan menyebabkan perubahan pada sistem kardiovaskular.
Hal ini pada akhirnya juga akan menyebabkan perubahan fisiologi jantung.
Perubahan pada fisiologi jantung. Perubahan fisiologi jantung ini harus kita
bedakan dari efek patologis yang terjadi karena penyakit lain, seperti pada
penyakit coronary arterial disease yang juga sering terjadi dengan meningkatnya
umur.
Secara individu proses menjadi tua menimbulkan berbagai masalah baik
secara fisik, biologis, mental dan sosial. Survey rumah tangga tahun 1980 angka
kesakitan pada usia 55 tahun 25,7%, pada tahun 2000 diharapkan menurun
menjadi 12,3%. Angka kematian nomor 3 di Indonesia saat ini adalah
kardiovaskuler (banyak diderita oleh usia lanjut). (NUGROHO, Wahjudi
Perawatan lanjut usia/ Wahjudi Nugroho; editor, Silvana Evi Linda; Desain cover,
Yulli M. – Jakarta : EGC, 1995.)
Ada sebuah masalah besar dalam mengukur dampak penuaan terhadap
fisiologi jantung, yaitu mengenai masalah penyakit laten yang terdapat pada
lansia. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi penyakit CAD pada hasil autopsy,
dimana ditemukan lebih dari 60% pasien meninggal yang berumur 60 tahun atau
lebih, mengalami 75% oklusi atau lebih besar, pada setidaknya satu arteri
koronaria. Sedangkan pada hasil pendataan lain tercatat hanya sekitar 20% pasien
berumur >80 tahun yang secara klinis mempunyai manifestasi klinis CAD
(Coronary Acute Disease). Jelas hal ini menggambarkan bahwa pada sebagian
lansia, penyakit CAD adalah asimptomatik.
Perubahan – perubahan yang terjadi pada jantung:
Pada miokardium terjadi brown atrophy disertai akumulasi lipofusin
(aging pigment) pada serat-serat miokardium.
20
Terdapat fibrosis dan klasifikasi dari jaringan fibrosa yang menjadi rangka
jantung. Selain itu pada katup juga terjadi klasifikasi dan perubahan
sirkumferens menjadi lebih besar sehingga katub membesar.
Terdapat penurunan daya kerja dari nodus sino-atrial yang merupakan
pengatur irama jantung.
Terjadi penebalan pada dinding jantung.
Terjadi iskemia subendokardial dan fibrosis jaringan interstisial. Hal ini
disebabkan karena menurunnya perfusi jaringan akibat tekanan diastolic
menurun.
Pembuluh darah kehilangan elastisitas, peningkatan nadi dan peningkatan
tekanan darah.
Pendistribusian tulang kalsium menyebabkan dekalsifikasi tulang iga dan
kalsifikasi kartilago kosta : Perubahan ini dan perubahan postural
menyebabkan penurunan efislensi paru.
Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah:
Hilangnya elastisitas aorta dari aorta dan arteri – arteri besar lainnya.
Menurunnya respons jantung terhadap stimulasi reseptor β-adrenergik.
Selain itu reaksi terhadap perubahan-perubahan baroreseptor dan
kemoreseptor juga menurun. Perubahan respons terhadap baroreseptor
dapat menjelaskan terjadinya Hipotensi Ortostatik pada lansia.
Dinding kapiler menebal sehingga pertukaran nutrisi dan pembuangan
melambat.
Perubahan – perubahan yang terjadi pada Darah:
Terdapat penurunan dari Total Body Water sehingga volume darah pun
menurun.
Jumlah Sel Darah Merah (Hemoglobin dan Hematokrit) menurun. Juga
terjadi penurunan jumlah leukosit yang sangat penting untuk menjaga
imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan resistensi tubuh terhadap infeksi
menurun.
21
2.11 Patologi Sistem Penglihatan
A. Penuaan pada Sistem Penglihatan
Perubahan normal pada system sensoris (penglihatan) akibat penuaan :
Perubahan Normal yang b.d Penuaan Implikasi Klinis
1. Penurunan kemampuan
akomodasi.
2. Kontriksi pupil sinilis.
3. Peningkatan kekeruhan lensa
dengan perubahan warna menjadi
menguning.
1. Kesukaran dalam
membaca huruf-huruf
yang kecil.
2. Penyempitan lapang
pandang
3. Sensitivitas terhadap
cahaya
4. Penurunan penglihatan
pada malam hari
5. dengan persepsi
kedalamam
Perubahan sistem indera pada penuaan :
Perubahan Morfologis Perubahan Fisiologis
Penglihatan
Penurunan jaringan
lemak sekitar mata Penurunan penglihatan jarak dekat
Penurunan elastisitas
dan tonus jaringan Penurunan koordinasi gerak bola mata
Penurunan kekeuatan
otot mata Distorsi bayangan
Penurunan ketajaman Pandangaan biru-merah
22
kornea
Degenerasi pada sclera,
pupil dan iris Compromised night vision
Peningkatan frekuensi
proses terjadinya
penyakit
Penurunan ketajaman mengenali warna
hijau, biru dan ungu
Peningkatan densitas
dan rigiditas lensa Kesulitan mengenali benda yang bergerak
Perlambatan proses
informasi dari system
saraf pusat
23
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok, lansia usia
pertengahan yaitu rentang 45-59 tahun, lansia elderly rentang 60-74 tahun, lansia
tua rentang 75-90 tahun, dan usia sangat tua yaitu usia diatas 90 tahun. Penyakit
degeneratif menurut Notoadmojo, 2010 merupakan penyakit yang sulit diperbaiki
serta merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang.
Kemunduran fisik, kelemahan organ, disebabkan oleh menurunnya sel-sel dalam
tubuh karena proses penuaan yang akan menimbulkan berbagai macam penyakit
degeneratif. Penyakit degeneratif pada lansia terjadi gangguan fungsi biasanya
terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ tertentu, contohnya pada
sistem persyarafan, pernapasan, endokrin, muskuloskeletal, pencernaan, mental
psikis, kardiovaskuler, penglihatan dan lain-lain. Atau bilamana terjadi stress lain
yang memperberat organ, dari organ yang sudah mulai menurun fungsi dan
anatomiknya, sehingga menyebabkan perubahan fungsional ataupun patologik.
Klasifikasi penyakit degenerative antara lain: asam urat, osteoporosis, diabetes
mellitus, kolesterol, hipertensi, jantung dan stroke, ginjal.
24
DAFTAR PUSTAKA
Stanley,Mickey, dan Beare, Patricia Gauntlett. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik.
25
top related