makalah peradilan pajak
Post on 12-Jun-2015
437 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.
Mengenai Pajak dan pungutan lainnya, amandemen ketiga UUD1945 memberikan ketentuan
baru pada Pasal 23A UUD 1945 bahwa“ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, yang sebelumnya diatur dalam Pasal
23 ayat (2)UUD1945 bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang”.Disamping itu,seiring dengan meluasnya tugas-tugas administrasi negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan, semakin besar pula kekuasaan administrasi negara.
Dalam melakukan tindakannya Administrasi Negara memerlukan keleluasaan dalam
menentukan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi setiap tindakan administrasi haruslah
berdasarkan hukum, artinya sikap tindak administrasi tersebut haruslah dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Lord Acton mengatakan
bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu
dengan adanya keleluasaan bertindak dari administrasi negara yang memasuki semua sektor
kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bidang perpajakan, kadang-kadang dapat
menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Wajarlah kemudian adanya keinginan
yang menghendaki adanya jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjurus diktator
tanpa batas, yang bertentangan dengan ciri negara hukum. sehingga perlindungan terhadap
warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian
terhadapnya.
2. Tujuan
Untuk mengetahui Peradilan pajak di Indonesia
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan dan Keadilan di Bidang perpajakan
1. Keadilan
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai
dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakuai dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya,
tanpa membedakan suku, keurunan, dan agamanya. Keadilan berasal dari kata adil.
Menurut W.J.S. Poerwodarminto kata adil berarti tidak berat sebelah, sepatutnya tidak
sewenang-wenang dan tidak memihak. Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD 1945,
kata adil terdapat pada:
1. Pancasila yaitu sila kedua dan kelima
2. Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea II dan IV
2. Pembagian keadilan menurut Aristoteles:
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya
nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean
ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan
korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan
pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau
kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif,
hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama
rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan
oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan,
dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles
ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
ii
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha
memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah
dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku.
Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah
mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan
tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan
sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
3. Keadilan sosial menurut John Rawls
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih
menekankan pada keadilan sosial.2 Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara
kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama
keadilan adalah jaminan stabilitas hidup manusia, dan keseimbangan antara kehidupan
pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar
masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini
digunakan untuk:
1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial sehingga
perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk
membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan
cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original
position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original
agreement) anggota masyarakat secara sederajat.
Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi
tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya,
kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
ii
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang
pilihannya tersebut.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian
kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus diperhatikan
dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.3
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas
kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas.
2. perbedaan
3. persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah
untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka
harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat
menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan
kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan
bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya
memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan
dan titik berangkat yang sama.
4. Keadilan di Bidang Perpajakan
Keadilan dalam perpajakan sudah diungkapkan oleh Adam Smith sejak lama. Pada Abad ke
18 Adam Smith mengidentifikasi aturan perpajakan (canons of taxation) dalam bukunya,
“An Inquiry into the Nature and cause of the wealth of nations” diantaranya :
1. Equality On Taxation, mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak
diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, dan pembebanan kepada masing-masing
subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya
perkembangan prinsip keadilan dalam sistem pajak diukur dengan prinsip manfaat (benefit
principle) yang diterima oleh masyarakat wajib pajak. Berdasarkan kedua prinsip keadilan
ii
dalam pembebanan pajak tersebut, keadilan pajak diperinci lebih lanjut menjadi keadilan
horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek
pajak yang sama dan terhadap WP yang mempunyai keampuan sama harus dibebani pajak
yang sama pula. Sedangkan keadilan vertikal memandang suatu pembebanan pajak yang
adil bilamana terhadap Wp yang mempunyai kemampuan dan kekayaaan yang lebih besar
harus dibebani pajak lebih besar dari pada WP pada umumnya. Proporsi keadilan pajak
yang pertama menghasilkan kebijakan tarif proporsional (single flat rate), dan Proporsi
keadilan pajak yang kedua menghasilkan kebijakan tarif progresif (differential progresive
rate).
2. Cetainty of Taxation, asas kepastian hukum dalam perpajakan dalam perpajakan
sebenarnya berlaku pula secaa universal dalam bidang hukum lainnya. Aturan hukum
pajak harus secara jelas dan pasti mengatur apa yang menjadi objek pajak, siapa yang
menjadi subjek pajak, dan berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan
membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi
lain yang diperlukan, sehingga tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri dari
membayar pajak, serta tiak mengenal kompromi.
Dari ungkapan diatas dapat kita ketahui bahwa masalah kepastian hukum dan transparansi
dalam regulasi perpajakan menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi sesuai
dengan prinsip self assessment dalam perpajakan. Namun, dalam kenyataan masih
terdapat beberapa grey are dalam undang-undang perpajakan yang dapat digunakan wajib
pajak untuk menghindari pajak. Selain itu, WP juga beranggapan bahwa fiskus terkadang
hanya mementingkan unsur penerimaan negara untuk mencapai target tanpa
memperhatikan asas keadilan. Karenanya masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak,
seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas
keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan pihak
Wajib Pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa perpajakan, dirasakan adanya
suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Walaupun sebelumnya telah didirikan lembaga khusus penyelesai sengketa pajak yang
dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sejak Tahun 1998,
kebutuhan untuk didirikan badan peradilan seperti Pengadilan Pajak yang sekarang, tetap
ada. Dalam butir-butir pertimbangan pada Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14
Tahun 2002 dikatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan
peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung, karena itulah diperlukan suatu pengadilan
pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu
ii
menciptakan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan
dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kehadiran Pengadilan Pajak diharapkan dapat lebih memberikan keadilan dan kepastian
hukum yang tidak didapatkan dari institusi penyelesai sengketa pajak sebelumnya.
Ekspektasi ini yang dicoba hendak dijawab oleh Pengadilan Pajak. Sejak bedirinya
memang Pengadilan Pajak cukup diminati oleh para pihak yang bersengkata masalah pajak
dan dianggap cukup menjanjikan sebagai suatu badan peradilan yang baru dibentuk dalam
hal kepastian hukum.
Dalam proses perjalanannya guna mewujudkan keadilan di bidang perpajakan, pengadilan
pajak banyak mengalami dianmika yang cukup banyak. Pengadilan pajak bergerak terus
seiring perjalanan bangsa. Dalam dinamikanya mencapai keadilan, Pengadilan pajak sangat
dipengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia.Perjalanan sejarah
yang syarat dengan upaya sungguh-sungguh guna mewujudkan keadilan. Keadilan di
bidang perpajakan.
B. Sejarah Peradilan pajak Indonesia
1. Raad van Beroep in Belastingzaken (Zaman Belanda)
Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai memungut pajak secara hukum, pada saat
hampir bersamaan dengan itu, ditetapkan suatu ordonansi tentang keadilan (Billijk heid
ordonantie, stbld 1929 Nomor 187 diubah dengan stbld 1940 no 266). Maksudnya dalam
pemungutan pajak meskipun dapat dipaksakan, masih juga diberikan rasa keadilan, yaitu
maksudnya Jika pemeintah hindia belanda dalam menghitung pajak terlalu memberatkan
Rakyat, Rakyat atau WP dapat mengajukan persoalannya kepada badan yang di beri nama
Raad van Beroep in Belastingzaken atau dalam bahasa Indonesia berarti Majelis
Pertimbangan Pajak. Badan ini merupakan badan keadilan pajak yang pertama kali
dibentuk di Indonesia. Raad van Beroep in Belastingzaken dibentuk pada tahun 1915 (stbl
no. 707) yang kemudian disempurnakan dengan stbl No. 29 tahun 1927 tentang
Ordonantie tot regeling van het Beroep in Belasting Zaken dan berkedudukan di Jakarta.
Tepatnya di Jl. Cut Meutia Jakarta Pusat yang sekarang menjadi Kantor Pelayanan Pajak
Jakarta Menteng satu .
Raad van Beroep in Belastingzaken merupakan Majelis pertimbangan Pajak yang eksis saat
itu. Nama Raad van Beroep in Belastingzaken kemudian terus digunakan sampai lima
tahun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia.
ii
2. Majelis Pertimbangan Pajak
Dalam sejarahnya, baik ketika masih bernama Raad van Beroep in Belastingzaken
sampai kemudian berubah nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak pada tahun 1950-
an, penyelesaian sengketa tingkat banding (keputusan) MPP bersifat final dan mengikat
kedua belah pihak, baik DJP maupun WP. Namun, setelah diberlakukannya Undang-
undang (UU) Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tanggal
29 Desember 1986, timbul kontroversi baru mengenai status MPP. Keputusan MPP yang
sebelumnya bersifat final dan mengikat WP serta DJP, diberi peluang untuk digugat
kembali oleh WP melalui PTUN. Ketentuan mengenai hal tersebut sebenarnya hanya
tercantum dalam penjelasan pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 yang mengelompokkan
keputusan MPP sebagai contoh keputusan administrasi yang dapat dibanding secara
administratif ke PTUN.
Namun, pencantuman keputusan MPP sebagai salah satu contoh keputusan
administrasi mengandung konsekuensi yang luas. Sejak saat itu, pengadilan di lingkungan
PTUN berpendapat bahwa MPP adalah badan Tata Usaha Negara, sehingga mereka
merasa berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara gugatan atas keputusan
MPP.
Sebagaimana pernah dikemukakan oleh pejabat DJP, Drs Abroni Nasution (Direktur
Peraturan Perpajakan pada saat itu), dalam sebuah seminar yang diadakan Centre for
Fiscal and Monetary Studies tahun 1993, penjelasan pasal 48 UU No 5 Tahun 1986
tersebut telah menambah kompleksitas permasalahan peradilan pajak di Indonesia.
Penjelasan pasal tersebut telah menciptakan dualisme, bahkan lebih tepat disebut
pluralisme lembaga yang menangani masalah perpajakan di Indonesia. Pluralisme itu
timbul karena secara yuridis, sengketa perpajakan di Indonesia ditangani oleh berbagai
lembaga yang berbeda. Lembaga yang menangani sengketa perpajakan terdiri dari satu
lembaga peradilan administrasi tidak murni, dan dua lembaga administrasi murni yaitu
MPP dan PTUN.
Sengketa pajak yang menjadi wewenang MPP antara lain permohonan banding
mengenai Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak dan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Kemudian, sengketa yang menjadi wewenang
ii
PTUN menurut UU No 5 Tahun 1986 yakni semua sengketa perpajakan yang tidak dapat
diajukan banding kepada MPP dan semua keputusan banding MPP yang tidak
memuaskan WP. Sementara itu, masih ada sengketa perpajakan yang berkenan dengan
pelaksanaan Surat Paksa Penagihan Pajak (UU No 19 Tahun 1959) dan semua gugatan
atas keputusan administrasi pajak berdasarkan ketentuan pasal 1356 KUHPerdata.
Dengan dikelompokkannya keputusan MPP sebagai putusan administratif, ternyata
telah mengaburkan status MPP itu sendiri sebagai badan peradilan yang berwenang
menangani perkara banding perpajakan. Keputusan DJP dan MPP menjadi sama-sama
dapat digugat ke PTUN. hal ini telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak (WP) tertentu untuk
menolak kewajiban perpajakannya. Beberapa WP yang permohonan bandingnya ditolah
MPP kemudian mengajukan banding ke PTUN dengan menggugat MPP sebagai Tergugat
I dan DJP sebagai Tergugat II.
3. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Pendirian Badan Peradilan Pajak menjadi kenyataan setelah Pemerintah dengan
persetujuan DPR membentuk dan men-syahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diundangkan pada tanggal 23 Mei 1997
ke dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun 1997 dan mulai efektif belaku sejak tanggal
1 Januari 1998. PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
berdasarkan Keputusan Presiden : 41 TAHUN 1997 Tanggal : 7-Oct-1997
Dengan kehadiran badan baru ( Badan Penyelesaian Sengketa Pajak ) maka pada
bulan Oktober 1997 seluruh pejabat dan karyawan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP)
menjadi karyawan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan alamat kantor pindah ke
Gedung Jasindo di Jl.Menteng Raya Jakarta Pusat.
Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih
terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Penyelesaian
Sengketa Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat,
murah, dan sederhana. Oleh karena itu masih diperlukan penyempurnaan dalam BPSP.
4. Pengadilan Pajak
Karen masih dirasa banyak kekurangn dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
Maka di tetapkanlah UU baru tentang pengadilan pajak yaitu UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 yang selanjutnya disebut UU
ii
Pengadilan Pajak. Dalam Undang-undang tentang Pengadilan Pajak (UU.14/02) ini
ditentukan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Peninjauan ke Mahkamah Agung merupakan
upaya hukum luar biasa, disamping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal,
juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum
dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan
sekaligus oleh Mahakamah Agung. Proses peninjauan kembali melalui Pengadilan Pajak
hanya sebatas prosedur pelayanan administrasi yang perlu dilakukan secara cepat, oleh
karena itu dalam Undang-undang ini diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik di
tinggat Pengadilan Pajak maupun di tingkat Mahkamah Agung.
ii
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
- Di dalam proses pemungutan pajak mungkin tidak akan selalu beerjalan dengan
lancar. Di dalam proses ini sering terjadi benturan antara kepentingan negara dan
kepentingan WP ditambah lagi pasti adanya kesalahan dalam proses pemungutan
pajak. Kondisi tersebut sering menimbulkan sengketa pajak karena salah satu
pihak merasa proses pemungutan mengabaikan keadilan. Keadilan yang
merupakan salah satu prinsip dasar pemungutan pajak wajib ditegakkan dalam
proses pemungutan pajak. Oleh karena itu guna mencari keadilan dari sengketa
tersebut perlu adanya pengadilan pajak.
- Pengadilan pajak Indonesia yang sekarang merupakan hasil dar proses
penyempurnaan dari Raad van Beroep in Belastingzaken (MPP zaman Belanda).
Awalnya Raad van Beroep in Belastingzaken setelah kemerdekaan di rubah
menjadi MPP. Dalam perkembangannya MPP dalam memutus suatu sengketa
terdapat dualisme dengan PTUN. Disini timbul ketidakpastian hukum yang
cenderung merugikan negara. Baru pada tahun 1997 muncul BPSP melalui UU
no 17 tahun 1997. Di sini sudah ada kepastiaan hukum. Keputusan BPSP sudah
merupakan keputusan akhir yang bersifat tetap dan tidak bisa lagi dilakukan
upaya ke PTUN. BPSP ternyata masih ada kekurangan dan kemudian
disempurnakan dengan UU nomor 14 tahun 2002. BPSP diubah Menjadi
Pengadilan Pajak.
2. Saran
- Karena Pentingya sebuah kepastian hukum dalam penyelenggaraan
pemungutan pajak, maka sebaiknya eksekutif dan legislatif lebih cermat dalam
menyusun perangkat hukum (UU). Lebih berdasrkan kondisi yang benar-benar
terjadi dan bukan hanya teori.
- Melihat banyaknya kasus mafia pajak saat ini, mereka terutama bermain di
pengadilan pajak. Pengadilan pajak seakan jadi peluang guna melakukan
tindakan busuk yang merugikan negara. Integritas, Integritas, dan sekali
Integritas terhadap korps Depkeu harus ditingkatkan. Tingkatkan kinerja dan
profesionalisme.
ii
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kompas.com/9612/11/EKONOMI/bada.htm
"http://www.setpp.depkeu.go.id/Ind/default.asp"
"http://tcmediaonline.blogspot.com/2008/02/kedudukan-dan-kewenangan-
pengadilan.html"
ii
MAKALAH
PERADILAN PAJAK
DISUSUN OLEH :
NAMA : LA ODE JULHIJANI
STAMBUK : 21209325
FAKULTAS : HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
2014
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Tujuan.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 2
A. Peradilan dan Keadilan di Bidang perpajakan................................................. 2
B. Sejarah Peradilan pajak Indonesia..................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 10
A. KESIMPULAN................................................................................................... 10
B. SARAN.............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 11
KATA PENGANTAR
ii
Puji dan syukur saya panjatkan atas rahmat dan hidayah yang telah Allah
berikan kepada Saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu
yang telah diberikan untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisi tentang
“PERADILAN PAJAK”
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat membantu. mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Saya menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab
itu keritik dan saran dari saudara atau saudari sangat saya harapkan untuk kesempurnaan
makalah pada kemudian hari.
Raha, Juni 2014
Penulis
ii
top related