makalah ta fixxxxxxxxxxxx banget
Post on 25-Jun-2015
720 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia adalah salah satu negara berkembang. Masalah umum yang sering dihadapi
negara berkembang adalah tingginya tingkat inflasi. Sejak krisis moneter tahun 1998, harga-
harga di pasaran cenderung naik. Tahun 2007 saja tingkat inflasi di Indonesia adalah 6,59 persen.
Hal ini bisa diartikan bahwa aktiva yang dimiliki harganya akan berkurang sebesar 6.59 persen
sedangkan pendapatan dinilai terlalu tinggi sebesar angka yang sama.
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi
bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural
atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang
pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari
dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat,
bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri,
misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat
menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Pada saat ini pasar modal menjadi primadona yang dipilih investor untuk
meninvestasikan modalnya. Namun untuk menginvestasikan modal dalam saham tidak semudah
membalik telapak tangan. Investor harus mengetahui kemampulabaan perusahaan yang akan
dibeli sahamnya. Bagaimana ketahanan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan dan
moneter yang sulit diprediksi. Informasi mengenai suatu perusahaan yang menjual sahamnya di
pasar modal dapat diketahui melalui laporan keuangannya.
Laporan keuangan merupakan informasi yang penting bagi pengguna laporan keuangan
dalam rangka menilai kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan. Informasi laporan
keuangan dianggap memiliki nilai kualitas informasi jika memenuhi dua unsur yaitu dapat
diandalkan (reliable) dan relevance bagi pengguna laporan keuangan. Uniknya pencatatan
Akuntansi Indonesia menganut system akuntasi konvesional dimana laporan keuangan disajikan
1
berdasarkan nilai histories (Historical Cost) yang mengasumsikan bahwa harga-harga (unit
moneter) adalah stabil.
Akuntansi konvensional tidak mengakui adanya perubahan tingkat harga umum maupun
perubahan tingkat harga khusus. Sebagai konsekuensinya, jika terjadi perubahan daya beli
seperti pada periode inflasi, maka laporan keuangan jika kita kembali kepada penjelasan di
paragraph sebelumnya secara ekonomis tidaklah relevan. Untuk mengatasi hal ini akuntansi
inflasi menjadi suatu pedoman yang dapat diandalkan dalam menganalisa laporan keuangan
suatu perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimanakah bentuk penyajian Laporan Keuangan Historis dan Laporan Keuangan Inflasi ?
2.Bagaimana akuntansi inflasi dapat menjawab masalah kerelevansian suatu laporan keuangan
di masa inflasi ?
3.Apakah tambahan informasi Akuntansi Inflasi tersebut dapat lebih membantu manajemen
dalam pengambilan keputusan ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perbandingan kelemahan dan kekurangan penggunaan akuntansi inflasi
dalam beberapa model.
2. Mengkaji kelemahan dan kelebihan penggunaan informasi tambahan pada laporan
keuangan baik itu laporan keuangan yang disajikan dalam bentuk konvensional maupun
tingkat harga umum (akuntansi inflasi) dalam hubungannya dengan keadaan ekonomi
Negara.
3. Menyajikan informasi tambahan yang mencerminkan perubahan harga agar laporan
keuangan yang disajikan merupakan informasi yang tepat guna dalam pengambilan
keputusan, ekonomi yang sehat.
2
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Inflasi
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain,
konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang.[1] Dengan
kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi
adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga
yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses
kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah
inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat
sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua
yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
2.1.1 Penyebab Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya
produksi. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan
total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan
terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor
produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga
faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total
sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment.
Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi
(input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal,yaitu kenaikan harga,misalnya bahan baku
dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta
menaikkan harga barang-barang.
3
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi adalah sebagai berikut:
1. Tingkat pengeluaran agregat yang melebihi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
barang dan jasa
2. Tuntutan kenaikan upah dari pekerja.
3. Kenaikan harga barang impor
4. Penambahan penawaran uang dengan cara mencetak uang baru
5. Kekacauan politik dan ekonomi seperti yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1998.
akibatnya angka inflasi mencapai 70%.
2.1.2 Penggolongan Inflasi
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal
dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri
misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak
uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara
itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor.
Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif
impor barang.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika
kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu
disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua
barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation).
Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus
berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai
uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
4
2.1.3 Mengukur inflasi
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks
harga. Indeks harga tersebut di antaranya:
1. Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang
mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
2. Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
3. Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang
yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan
untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku
meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang
konsumsi.
4. Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas
tertentu.
5. Indeks harga barang-barang modal
6. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang
produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
2.1.4 Dampak Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya
inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat
mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat
orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa
inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan
perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak
bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat
dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta
kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka
menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil
contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup
5
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian,
daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan
berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi.
Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat
inflasi.
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,
mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif,
kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan
merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
1.1.5 Konsep Historical Cost
Salah satu prinsip dasar akuntansi adalah, kesatuan moneter itu dianggap stabil (stable
monetary unit). Asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang
terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain
disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada
Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. Padahal di mana saja di dunia ini kita
tidak pernah mendengar ada valuta yang memiliki nilai stabil. Ada yang mengalami apresiasi di
mana nilai tukarnya atau daya belinya naik (deflasi) dan yang paling umum nilai tukar atau daya
belinya justru menurun (inflasi). Di negara maju tingkat inflasinya berkisar antara 1-3%,
sedangkan di negara sedang berkembang di atas 5% bahkan ada yang sampai ratusan atau ribuan
persen. Di indonesia pada tahun 1965 tertinggi sampai 650%, pada tahun 1999 saja tingkat
inflasi di Indonesia mencapai 9,35%. Ini menunjukka bahwa prinsip stable monetary unit hanya
dalam asumsi tidak pernah ditemukan dalam kenyataan. Prinsip ini adalah untuk memudahkan
perumusan teori dan asumsi akuntansi keuangan.
Penggunaan nilai historis dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa
alasan:
1. Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan
masa depan diperlukan data transaksi masa lalu.
6
2. Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih
sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti current cost
ataupun replecement cost.
3. Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan nilai historis
memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun antar waktu
untuk suatu industri.
Kelemahan penggunaan nilai historis antara lain:
1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal tertentu
pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai uang yang telah
ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut.
2. Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di samping itu juga
terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aktiva dan pasiva dalam valuta asing
yang dikuasai perusahaan sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs
yang tepat.
3. Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan
mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
4. Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan pada
asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur dengan
perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.
5. Adanya stable monetary unit. Perusahaan tidak akan memperahankan real capitalnya dan
ada kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan
pembayaran pajak perseroan dan pembangian laba yang lebih besar daripada semestinya.
6. Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama
dijumlahkan menjadi satu.
7. Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen perusahaan
apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas dasar asumsi.
7
Karena permasalahan inilah, muncul kritik pedas pihak tertentu kepada kegunaan laporan
keuangan khususnya pada masa inflasi. Mereka menyatakan informasi yang disajikan laporan
keuangan pada masa inflasi justru sia-sia karena nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tidak
relevan dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, muncul ide
menggunakan model akuntansi non-convensional lainnya seperti current value accounting,
replacement value accounting, net realizable value accounting yang berbeda dari historical
accounting yang selama ini dipakai. Namun, disamping itu, ada usulan yang moderat. Artinya,
kita masih bisa menggunakan historical cost accounting, tetapi harus dibuat informasi atau
laporan suplemen yang memuat dampak inflasi itu terhadap laporan keuangan. Antara lain
usulan itu adalah menggunakan akuntansi inflasi.
Akuntansi inflasi ini berupaya untuk menyusun laporan keuangan yang memuat dampak
dari inflasi atau penurunan nilai beli uang itu pada laporan keuangan sehingga laporan keuangan
menunjukkan satuan mata uang pada tingkat harga yang berlaku saat itu bukan lagi harga
historis.
2.2 Akuntansi Inflasi
Metode yang digunakan dalam akuntansi inflasi ini sama dengan metode penentuan laba.
Penekanan penentuan laba adalah pada nilai laba yang lebih relavan yang digambarkan oleh
laporan keuangan, sedangkan inflasi nilai semua item yang terdapat dalam laporan keuangan.
Untuk menyusun laporan keuangan pada masa inflasi agar lebih relevan dapat digunakan
beberapa metode, yaitu :
1. General Price Level Accounting
2. Current Cost Accounting
2.2.1 General Price Level Accounting
Di Indonesia, General Price Level Accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga
umum menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang
atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun deflasi,
jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang nominal yang konstan, yang
berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan
8
penyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya
beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan
dalam akuntansi berdasarkan nilai histories.
Penyesuaian atas besaran keuangan untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum
atau tingkat harga umum dan penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi.
Perubahan tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga
yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang menyajikan
perubahan periodic dalam biaya kelompok barangbarang terpilih yang dibeli konsumen yang
digunakan sebagai ukuran inflasi.
Dalam penyusunan berdasarkan tingkat harga umum perlu diperhatikan pos-pos yang
akan terpengaruh dengan adanya penurunan daya beli Rupiah, yaitu:
1. Monetery assets, seperti kas ditangan, surat-surat berharga, dan pos-pos piutang dan lain-
lain yang sifatnya sebagai dormant account akan mengalami pengaruh penurunan daya
beli secara berarti karena rekening-rekening tersebut tidak dapat lagi dinilai (di-appraisal)
2. Non monetary assets secara riil tidak mengalami pengaruh penurunan daya beli, tetapi
dari sudut akuntansi merupakan pos yang terkena pengaruh penurunan harga beli. Akan
tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah yang serius karena rekening-rekenig tersebut
dapat dinilai.
3. Assets dalam bentuk valuta asing tidak dipengaruhi oleh penurunan daya beli Rupiah
karena dapat dinilai dengan kurs yang terakhir.
Penyusunan berdasarkan nilai historis disesuaikan menjadi berdasarkan tingkat harga
umum dapat dilakukan dengan mengkonversikan nilai historis dengan factor konversi menjadi
tingkat harga umum, dengan rumusan sebagai berikut:
Indeks Tahun Kini
Indeks ketika Item Nonmoneter Diperoleh
Sebagai contoh, asumsikan bahwa suatu peralatan diperoleh dengan harga
$100,000 pada tanggal 31 Desember 19X0, ketika indeks tingkat harga umum sebesar 120. Masa
9
manfaat estimasian aset tersebut selama empat tahun. Selain itu, asumsikan bahwa laporan
keuangan pada akhir tahun 19 x 2 dinyatakan kembali menurut unit-unit daya beli umum. Jika
indeks harga kini pada tanggal 31 Desember 19X3 sebesar 180, penyesuaian rekening peralatan
menunjukkan:
Jumlah Faktor Jumlah
belum konversi yang telah
disesuaikan disesuaikan
$ $ $
Peralatan 100.000 180/120 150.000
Depresi akumulasian 50.000 180/120 75.000
Peralatan neto 50.000 75.000
Pernyataan kembali ekuitas pemegang saham, kecuali laba ditahan, serupa dengan
pernyataan kembali item-item nonmoneter. Modal yang diinvestasikan mula-mula dikalikan
dengan faktor konversi berikut ini:
Indeks Tahun Kini
Indeks ketika Modal Diinvestasikan
Laba ditahan, yang tidak dapat disesuaikan dengan faktor konversi tunggal, menunjukkan
income neto setelah akumulasian deviden sejak pembentukan kesinambungan (going concern).
Laba ditahan dapat dinyatakan kembali dengan:
1. Mula-mula laporan keuangan kos historis dinyatakan kembali menurut unit daya beli
umum kini, laba ditahan dapat ditentukan secara sederhana sebagai residual setelah
semua item-item lain dalam neraca dinyatakan kembali.
2. Pada periode berikutnya, laba ditahan akhir periode dalam unit-unit daya beli umum
kini dapat ditentukan dengan:
10
(a) income neto dalam unit-unit daya beli umum kini dilaporkan dalam laporan tingkat
harga umum (mencakup gains dan losses tingkat harga umum dari item-item
moneter);
(b) penyesuaian dihasilkan dari gains atau losses tingkat harga umum dari item-item
ekuitas pemegang saham moneter.
Yang penting di sini adalah tidak tampaknya perbedaan antara akuntansi tingkat harga
umum dengan akuntansi nilai kini. Pada harga item nonmoneter menimbulkan suatu gain yang
dimiliki. Akuntansi tingkat harga umum penyesuaian kos historis hanya merupakan pernyataan
kembali item-item nonmoneter menurut daya beli umum kini, dan tidak ada gain atau loss yang
diakui.
Perbedaan Moneter-Nonmoneter
Penting untuk membedakan antara item-item moneter dengan item non moneter karena
jenis item tersebut akan diperlakukan berbeda. Item-item non moneter harus ditranslasikan
menjadi nilai dolar dengan daya beli yang item-item moneter telah dinyatakan dalam nilai dolar
pada akhir periode berjalan dan gain atau lose daya beli sebagai hasil perubahan dalam tingkat
harga umum.
Perbedaan antara item-item moneter dengan nonmoneter tampak jelas. Item-item moneter
mengenal gain atau lose daya beli; sedangkan nonmoneter tidak ada. Cara penalaran ini
digunakan dalam APB Statement No 3 dan dilaporkan oleh berbagai peneliti. Penentuan item-
item moneter sesuai dengan dampak ekspektasian (gain atau loss daya beli), tetapi kemudian
penghitungan gain atau loss merupakan penalaran sirkular. Seperti yang dinyatakan Hendriksen,
pembedaan ini menggunakan dasar klasifikasi pada dampak asumsian, bukan penentuan dampak
dari klasifikasi dan perubahan tingkat harga."
Apakah definisi yang memungkinkan asset-aset moneter diidentifikasi terpisah dari
dampak ekspektasiannya? Accounting Research Study N. 6 mendefinisikan item moneter
menurut klaim tetap sebagai suatu item “jumlah yang tetap akibat hukum atau kontrak dan yang
tidak terpengaruh oleh perubahan tingkat harga umum."
11
Tetapi karma tidak ada ketentuan bagaimana jumlah itu tetap, definisi ini menjadi tidak
memadai. Maka untuk mengoreksi kesalahan dalam menentukan ini definisi resmi yang
diterapkan dalam berbagai ketetapan badan akuntansi mempertimbangkan item item moneter
menjadi item-item yang jumlahnya tetap karena kontrak atau sebaliknya tetap menurut dolar
(atau mata uang domestik apa pun), terlepas dari adanya perubahan pada harga-harga tertentu
atau pada tingkat harga umum. Deifinisi ini sifatnya umum dan diterapkan bagi aset, kewajiban,
dan ekuitas pemegang saham yang mempunyai karakteristik khusus.
Oleh karena itu item-item moneter dan nonmoneter diidentifikasikan dan dipisahkan,
seperti yang ditunjukkan pada Peraga 13.1. Tetapi timbul masalah, karena beberapa aset dan
kewajiban menunjukkan baik karakteristik maupun nonmoneter. Maka dimungkinkan adannya
berbagai tingkat kestabilan seperty yang dinyatakan oleh kata tetap (fixed) pada definisi item-
item moneter. Haruskan suatu item moneter tetap menjadi item moneter secara permanen?
Karena kondisi berubah, harga suatu item moneter menjadi tidak tetap secara permanen. Tetapi,
apakah tingkat kestabilan membenarikan pengklasifikasian suatu item menjadi item moneter ?
keputusan tetap menjadi masalah ketetapan profesional, seperti yang ditunjukan berikut.
Pertama, saham-saham istimewa diklasifikasikan sebagai item-itemkan non moneter
dalam APB Statement No. 3. The FASB Exposure Draft mengusulkan bahwa :
“saham istimewa yang mengandung suatu jumlah yang sama dengan harga likuidasi tetap
atau harga pelunasan, termasuk dalam item moneter karena klaim dari pemegang saham
istimewa terhadap aset perusahaan jumlahnya tetap dalam dolar, saham istimewa yang
mengandung nilai lebih rendah dari harga likuidasi tetap atau harga pelunasan, termasuk
dalam item nonmoneter, tetapi dapat menjadi moneter ketika dinyatakan kembali menjadi
suatu jumlah yang sama dengan likuidasi tetapnya atau harga pelunasannya.”
The FASB Exposure Draft juga merekomendasikan bahwa :
“gains atau losses daya beli umum yang bahwa timbul akibat item-item ekuitas pemegang
saham moneter (contoh, saham istimewa yang dikandung pada likuidasi tetap atau
12
pelunasan) akan dibebankan langsung pada pemegang saham biasa dalam laporan
keuangan menggunakan daya beli umum.”
Kedua, pajak-pajak income tangguhan (deferred income taxes) diklasifikasikan sebagai
item-item nonmoneter dalam APB Statement No. 3 dengan dasar bahwa pajak-pajak tersebut
menghemat kos dan ditangguhkan sebagai pengurang biaya pada periode mendatang. Klasifikasi
serupa dipertahankan dalam the FASB Exposure draft. Alasannya adalah bahwa kredit-kredit
alokasi pajak diklasifikasikan sebagai kewajiban menurut metode akrual, sedangkan menurut
metode tangguhan, kredit alokasi pajak hanya diperlakukan sebagai kredit-kredit tangguhan yang
menunjukkan penghematan yang dapat mengamortisasi income pada periode mendatang.
Selanjutnya, pajak-pajak income tangguhan akan diklasifikasikan sebagai item-item nonmoneter,
berian penerapan metode tangguhan di Amerika Serikat Sebaliknya, Canadian Institute of
Chartered Accountants merekomendasikan bahwa pajak-pajak income tangguhan diperlakukan
sebagai Item-item moneter, meskipun metode tangguhan berlaku di Kanada. The CICA
Handbook menunjukkan bahwa penagguhan seharusnya dihitung pada tarif pajak berjalan tanpa
penyesuaian lebih lanjut pada saldo debit atau kredit alokasi pajak akumulasi untuk
mencerminkan perubahan pada tarip pajak. Akibatnya, pajak income tanggui mengacu pada
jumlah uang yang tetap dan dapat didefinisikan sebagai unit-unit moneter. The FASB Exposure
Draft Constant Dollar Accounting mengubah klasifikasi item-item pajak income tangguhan bagi
item-item moneter. FASB menyatakan posisinya pada:
Kembali, walaupun klasifikasi nonmoneter secara teknis lebih disukai, tetapi klasifikasi
moneter menyediakan solusi yang lebih praktis dan mengidentifikasi dampak inflasi pada
periode terjadinya inflasi, bukan pada periode item pajak income tangguhan diubah.
Ketiga, mata uang asing yang dipegang, diklaim sebagai mata uang asing, dan utang
obligasi dalam mata uang asing diinterpretasikan sebagai item moneter ataupun nonmoneter. Jika
utang obligasi dianggap sebagai komoditi, maka termasuk item nonmoneter, karena harga
komoditas berfluktuasi. Jika dianggap serupa dengan mata uang domestik, maka utang obligasi
termasuk item moneter. Titik Pandang yang lebih logis adalah dengan mengklasifikasi item mata
uang asing sebagai item moneter, karena diungkapkan dengan tarif penutupan pertukaran dalam
laporan keuangan kos historis dan sebagai item nonmoneter jika diungkapkan dengan tarip
pertukaran historis dan laporan keuangan kos historis. The FASB Exposure Draft Constant
13
Dollar Accounting mengklasifikasikan mata uang asing yang dipegang, diklaim sebagai mata
uang asing dan utang obligasi dalam mata uang asing dianggap sebagai item moneter. FASB
menyatakan posisinya sebagai berikut:
”Walaupun klasifikasi nonmoneter secara teknis lebih disukai dan menimbulkan sedikit
perbedaan pengungkapan, sebagai suatu masalah praktis, klasifikasi moneter menghasilkan
dampak neto yang sama secara esensial pada pengungkapan agregat karena pernyataan
kembali item-item mata uang asing itu sebagai item nonmoneter dan kemudian
menguranginya untuk menghasilkan nilai bersih yang dapat dirrealisasi (net realizable
value). Klasifikasi moneter mengabaikan prosedur dua-langkah dan lebih dapat dipahami.”
Keempat, utang jangka panjang dalam mata uang asing juga dapat diinterpretasikan
sebagai moneter atau nonmoneter. Kembali, alternatif logika digunakan untuk
mengklasifikasikan utang jangka panjang dalam mata uang asing sebagai item moneter, jika
dinyatakan pada tarip penutupan pertukaran dan sebagai nonmoneter jika dinyatakan pada tarip
historis pertukaran.
Kelima, utang yang dapat dikonversi dianggap mempunyai karakteristik moneter
dan nonmoneter. Accounting Research Study No. 6 mengusulkan bahwa utang yang
dapat dikonversi diperlakukan sebagai moneter ketika harga pasar saham di bawah harga
konversi dan sebagai nonmoneter ketika harga pasar saham sama atau lebih tinggi
dibandingkan harga konversi. Selain itu, posisi yang lebih dapat diterima adalah bahwa
obligasi yang dapat dikonversi seharusnya diperlakukan sebagai utang moneter, kewajiban
untuk membayar dalam jumlah dolar yang tetap sampai obligasi tersebut dikonversi.
Indeks-indeks Tingkat Harga
Indeks tingkat harga membandingkan perubahan harga umum atau khusus pada satu
periode dengan periode lain. Suatu indeks tingkat harga umum dapat didefinisi sebagai
suatu serial pengukuran hubungan antara rata-rata harga sekelompok barang dan jasa pada suatu
rangkaian tanggal dengan rata-rata harga sekelompok barang dan jasa serupa
pada suatu tanggal tertentu, yang biasanya dinyatakan dengan persentase. Komponen-
14
komponen serial tersebut disebut angka-angka indeks harga (price-index numbers). Tetapi
suatu indeks harga tidak mengukur pergerakan harga-harga komponen individual, beberapa
komponen bergerak dengan arah tertentu, sedangkan beberapa lainnya bergerak dengan
arah yang berlawanan. Maka, indeks tingkat harga umum didasarkan pada sejumlah besar
barang dan jasa, sedangkan indeks tingkat harga khusus mengacu pada barang atau industri
tertentu. Karena akuntansi tingkat harga umum mencerminkan perubahan pada daya beli dolar,
maka indeks tingkat harga umum harus diterapkan untuk menyatakan kembali aporan kos
historis menurut daya beli kostan dari dolar.
Rumus Indeks
Penghitungan Indeks tingkat harga umum berbeda, sesuai dengan rumus yang digunakan
untuk menentukan bobot harga. Kami akan menggunakan simbol-simbol berikut untuk
menunjukkan empat rumus dasar:
p = harga komoditas atau jasa
q = kuantitas komoditas atau jasa
= harga dan kuantitas komoditas pada periode dasar
= harga dan kuantitas komoditas pada periode berjalan
= harga dan kuantitas komoditas pada beberapa rata-rata periode
Rumus Laspeyres mengasumsikan bahwa indeks harga merupakan jumlah terbobot dari
harga periode berjalan dibagi dengan jumlah terbobot dari harga-harga periode dasar, sedangkan
bobot merupakan kuantitas komoditas pada periode dasar. Indeks itu disebut indeks Laspeyres,
yang dihitung dengan rumus:
Rumus Paasche mengasumsikan bahwa indeks harga merupakan jumlah terbobot dari
harga-harga periode berjalan dibagi dengan jumlah terbobot dari harga-harga pada periode dasar,
15
sedangkan bobot merupakan kuantitas komoditas pada periode berjalan. Indeks
itu disebut indeks Paasche, yang dihitung dengan rumus:
Rumus terbobot tetap (fixed-weighted formula) mengasumsikan bahwa indeks harga
merupakan jumlah terbobot dari harga-harga pada periode berjalan dibagi dengan jumlah
terbobot dari harga-harga pada periode dasar, sedangkan bobot merupakan kuantitas
komoditas pada rata-rata periode. Indeks itu disebut indeks terbobot tetap, yang dihitung dengan
rumus:
Rumus Fisher mengasumsikan bahwa indeks harga rnerupakan rata-rata geometris dart
rumus Laspeyres dan rumus Paasche. Indeks Fisher dihitung dengan rumus:
Pemilihan Indeks Tingkat Harga Umum
Akuntansi tingkat harga umum menggunakan suatu faktor konversi yang didasarkan
pada perubahan indeks tingkat harga umum untuk mengubah dolar pada suatu tanggal
menjadi jumlah dolar yang mempunyai daya beli sama pada tanggal yang lain. Konsep
yang sesuai mengenai daya beli dan indeks tingkat harga umum yang cocok rnemadai
harus dipilih. Hendriksen menunjukkan konsep yang berbeda mengenai daya beli yang disebut
daya beli umum dolar, daya beli pemegang saharn, daya beli investasi bagi perusahaan dan daya
beli penggantian (replacement) khusus. Daya beli umum diukur dengan suatu indeks tingkat
harga umum yang mencerminkan perubahan pada nilai uang dan akibatnya adalah anggapan
paling relevan bagi akuntansi fingkat harga umum. Sebagai contoh, APB Statement No. 3
menyatakan:
16
Tujuan prosedur pernyataan kembali tingkat harga umum adalah untuk menyatakan
kembali laporan keuangan dolar historis akibat perubahan pada daya beli umum dolar, dan
tujuan ini hanya dapat dicapai dengan penggunaan indeks tingkat harga umum.
Maka konsep daya beli umum menyatakan penggunaan suatu indeks tingkat harga umum.
Di Amerika Serikat, Departemen Perdagangan dan Departemen Tenaga Kerja secara teratur
memelihara dan mempublikasi indeks-indeks harga umum. Indeks yang paling penting
diantaranya adalah:
1. Indeks Harga Konsumen, yang diterbitkan oleh Biro Statistik Tenaga Kerja dari
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat.
2. Indeks Harga Pedagang Pesar (wholesale), yang diterbitkan oleh Biro Statistik
Tenaga Kerja dari Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat.
3. Indeks Kos-Konstruksi Gabungan (composite construction-cost), yang diterbitkan
oleh Administrasi Bisnis dan Jasa Pertahanan pada Divisi Industri Kostruksi dari
Departemen Perdagangan Amerika Serikat.
4. Deflator Harga Implisit PNB (Produk Nasional Bruto) (GNP Implicit Price
Deflator), yang diterbitkan oleh Kantor Ekonomi Bisnis dari Departemen
Perdagangan Amerika Serikat.
Dua indeks harga yang paling sering digunakan pada akuntansi tingkat harga umum adalah
indeks harga konsumen (IHK) dan Deflator harga implisit PNB (DHI). IHK merupakan indeks
terbobot dasar yang dirancang untuk mengukur perubahan harga barang dan jasa retail, yang
diperoleh oleh keluarga berpenghasilan menengah pada ukuran hidup tertentu di pusat kota. DHI
merupakan indeks terbobot kini, yang dirancang untuk mengukur perubahan harga seluruh
barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu tahun tertentu. Baik IHK maupun DHI mempunyai
kelemahan. INK terbobot dasar mempunyai kelemahan pada penjelasan penggantian barang-
barang yang harganya relatif rendah ketika harga-harga relatif berubah. Dengan kata lain, IHK
mempunyai bias berlebih (upward bias): IHK berlebihan dalam mengungkapkan dampak
perubahan harga mengenai biaya hidup. Sebaliknya, saat ini DHI mempunyai bias rendah; DHI
terlalu rendah dalam menyatakan peningkatan harga pada biaya hidup. Sebagai contoh, Rosen
mengatakan bahwa:
17
”Singkatnya, ketika harga meningkat, indeks harga kini mempunyai bias rendah (sehingga
indeks cenderung untuk menyatakan lebih rendah persentase peningkatan harga) dan
indeks-indeks terbobot dasar mempunyai bias berlebih (sehingga indeks cenderung
berlebihan dalam menunjukkan persentase peningkatan harga).”
DHI dianggap merupakan kumpulan indeks tingkat harga umum kini yang lebih
baik dibandingkan IHK. DHI mencakup semua barang dan jasa yang dihasilkan sektor
ekonomi, sedangkan IHK hanya mencakup barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen
tertentu. Maka menurut ukuran besar perubahan harga keseluruhan, DHl dianggap lebih relevan.
Estimasi tahunan tersedia mulai dart tahun 1919, dan estimasi triwulanan tersedia mulai tahun
1947.
Tetapi, the FASB Exposure Draft Constant Dollar Accounting merancang indeks harga
konsumen bagi seluruh konsumen perkotaan (IHK-P), bukan deflator Harga PNB sebagai suatu
indeks daya beli umum dengan dua alasan. Pertama IHK-P mempunyai dua kelebihan praktis:
yaitu IHK-P dihitung lebih sering (bulanan sampai triwulanan), dan setelah publikasi awal, tidak
direvisi. Kedua, tarif perubahan pada IHK-P dan DIH cenderung serupa dan sehingga
penggunaan IHK-P cenderung untuk memberi hasil yang dapat diperbandingkan.
Kelemahan dan Kelebihan GPLA
Kontroversi yang berkaitan dengan kerelevanan GPLA telah dan masih berlangsung hingga
saat ini. Sejumlah argumentasi yang mendukung telah dikembangkan (Richard & Myrtle 1995):
1. Laporan keuangan yang tidak disesuaikan dengan tingkat harga umum atau dengan
kata lain disajikan berdasarkan nilai historis tidak mencerminkan perubahan
kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari bermacam-macam aset dan
klaim dalam perusahaan. Sedangkan laporan yang disajikan berdasarkan tingkat
harga umum menyajikan data yang mencerminkan purchasing power dari aset dan
klaim dalam mata uang tertentu pada akhir periode.
2. Conventional historical-cost accounting tidak mengukur pendapatan (income)
dengan sewajarnya sebagai hasil matching Rupiah dalam laporan laba rugi. Beban-
beban yang telah terjadi pada periode sebelumnya dikontrakan dengan pendapatan-
18
pendapatan yang umumnya dicerminkan dalam nilai Rupiah tertentu pada saat ini.
General price-level accounting menyediakan konsep matching pendapatan dan
beban yang lebih baik karena menggunakan nilai uang konstan (common value).
3. General price-level accounting relatif mudah diterapkan. Hanya sekedar mengganti
“nilai lama” dengan “nilai saat ini”. General price-level accounting mencerminkan
konsep terakhir dari Prinsip Akuntansi Umum (General Accepted Accounting
Principles). Sebagai akibatnya, dirasa relatif lebih obyektif dan dapat diuji
kebenarannya. Karakteristik tersebut yang menyebabkan general price-level
accounting lebih dapat diterima dibanyak perusahaan dibanding current-value
accounting.
4. General price-level accounting menyediakan informasi yang relevan bagi
manajemen dalam evaluasi dan penggunaannya. Jadi laba dan rugi berdasarkan
tingkat harga umum dihasilkan dari penanganan item-item moneter yang
merefleksikan respon manajemen terhadap inflasi. Pada akhirnya, general
pricelevel accounting menyajikan pengaruh inflasi secara umum terhadap laba dan
menyediakan hasil investasi (rate of returns) yang lebih realistis. Relevansi lebih
berkepentingan dengan masa sekarang dan masa mendatang, karena itu informasi
yang didasarkan pada nilai historis dianggap kurang relevan untuk tujuan
pengambilan keputusan khususnya dalam kondisi ekonomi yang cenderung
mengalami inflasi.
Disisi lain, penolakan terhadap general price-level accounting didasarkan pada beberapa
argumentasi berikut ini:
1. Kebanyakan studi empiris mengindikasikan bahwa relevansi dari informasi tingkat
harga umum juga lemah atau dengan kata lain tidak dapat diterima. Penelitian-
penelitian selanjutnya diharapkan lebih dapat memberikan jaminan sebelum adanya
kesimpulan yang dapat dicapai sehubungan dengan tingkat relevansi informasi
tingkat harga umum dan kemampuan untuk mengintepretasikan hal tersebut secara
penuh.
19
2. Tingkat harga umum merubah rekening hanya untuk perubahan dalam tingkat harga
secara umum dan tidak merubah rekening ke dalam tingkat harga tertentu. Jadi,
penanganan laba dan rugi untuk aset-aset non-moneter tidak diakui dan para
pengguna data yang disesuaikan pada tingkat harga umum mungkin mempercayai
bahwa perubahan nilai-nilai telah berkorespondensi dengan nilai-nilai saat ini.
3. Pengaruh atau akibat adanya inflasi akan berbeda dalam berbagai perusahaan.
Perusahaaan-perusahaan yang intensif modal akan lebih dipengaruhi oleh inflasi
dibanding dengan perusahaan-perusahaan yang dipenuhi dengan aset-aset jangka
pendek.
4. Biaya-biaya diimplementasikan lebih besar dari nilai pokoknya dalam general
price-level accounting dibanding benefitnya.
Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Financial Accounting Standard Board (FASB)
di USA juga masih tidak memberikan kepastian mengenai perlu tidaknya penggunaan general
price-level accounting, diantaranya:
1. Statement no.33 yang mengharuskan beberapa perusahaan tertentu untuk
menyajikan informasi tambahan dengan menggunakan general price-level
accounting dan current cost accounting.
2. Statement no.89 menyatakan bahwa informasi tambahan dengan general pricelevel
accounting dan current cost accounting sebaiknya disajikan tetapi tidak diharuskan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia bahwa informasi tambahan antara
lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan harga bersifat tidak mengikat.
2.2.2 Current Cost Accounting
Edger Edwards dan Phillip Bell (1961) merupakan tokoh yang paling gencar
mempromosikan konsep CCA ini. Menurut mereka yang dibutuhkan oleh manajer adalah
bagaimana mereka mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada untuk memaksimalkan
harga. Untuk itu, diperlukan jawaban terhadap tiga pertanyaan berikut:
a. Berapa jumlah aktiva yang harus dimiliki pada suatu tanggal tertentu?
b. Bagaimana seharusnya bentuk aktiva ini?
20
c. Bagaimana aktiva itu didanai?
Untuk membuat keputusan tentang ketiga pertanyaan ini maka manajer perlu
merumuskan pengharapan tentang kejadian masa yang akan datang. Agar suatu informasi itu
berguna maka kejadian sekarang itu harus dinilai pada saat ini jangan dinilai dengan data masa
lalu. Jika ukurannya digabung ada nilai masa lalu dan ada nilai masa depan maka akan bisa
membingungkan.
Manajer biasanya menghadapi masalah apakah ingin mempertahankan suatu aktiva atau
utang atau menjual atau membayarnya dan bagaimana manggunakan atau mendanai kegiatan
perusahaan. Untuk menjawab ini maka Edward dan Bell mengusulkan perhitungan business
profit. Business profit ini memiliki dua komponen:
a. Current Operating Profit
b. Realizable Cost Saving
Laba dari current operating adalah kelebihan dari nilai sekarang dari barang atau jasa
yang dijual dengan harga pokoknya. Realizable cost saving adalah kenaikan harga pokok dari
suatu aktiva yang masih dimiliki sekarang (dengan harga sekarang). Ini merupakan laba (atau
bisa saja rugi) yang belum direalisasi dari suatu aktiva yang harganya naik (atau turun) karena
perubahan harga, namun barangnya belum direalisasi atau belum dijual, maka ini disebut saving
yang nanti akan direalisasi. Sebenarnya hal ini merupakan opportunity gain atau loss. Apakah ini
dapat dianggap sebagai income atau tidak ini yang menjadi masalah berat antara Historical Cost
Accounting dengan CCA.
Revsine menganggap itu dapat dianggap sebagai laba karena kenaikan harga itu akan
mengakibatkan kas yang akan digunakan untuk mendapatkannya memang harus seharga itu jika
kita ingin membelinya sekarang. Menurut belliau cash saving ini dapat digolongkan sebagai
laba.
Beberapa bentuk Current Cost dapat dilihat sebagai berikut:
a. Replacement Cost
Replacement cost adalah nilai yang diukur saat ini (current cost) untuk mendapatkan
aktiva baru atau menggantinya dengan kapasitas produksinya yang sama. Dalam praktik nilai
21
ganti ini hanya diterapkan pada aktiva nonmoneter seperti persediaan, aktiva tetap. Aktiva tetap
disajikan menurut nilai gantinya, nilai bersih setelah digambarkan nilai yang sudah dipakai.
Penyusutan dihitung berdasarkan pada nilai ganti itu. Pada masa inflasi sering terjadi backlog
depreciation atau penyusutan yang bersaldo negatif. Pos kewajiban biasanya tidak dinilai sebab
seperti pos moneter lainnya jumlahnya disajikan dalam nilai uang. Kemungkinan yang berbeda
hanya untuk utang jangka panjang yang memiliki tingkat bunga yang berbeda antara harga pasar
dan bunga yang ditetapkan. Dalam penyajiannya utang ini harus disajikan menurut nilai
diskontonya. Pada masa inflasi nilai dari replacement value ini lebih besar dari general price
level.
Metode ini dikritik dalam hal:
1) Subjektivitas penilaian atau taksiran harganya sehingga angka-angka yang timbul
tidak didasarkan pada transaksi yang sebenarnya.
2) Dalam hal harga suatu aktiva menurun maka penurunan itu akan menimbulkan
pembebanan ke laba rugi (misalnya penyusutan dan harga pokok produksi) lebih
rendah dari beban pada historical cost. Akhirnya income akan lebih tinggi dari
historical cost.
3) Perubahan harga umum tidak tergambar dalam metode replacement cost ini, karena
hanya untuk aktiva tertentu. Oleh karenanya, metode replacement cost ini dianggap
bukan merupakan metode akuntansi inflasi.
4) Sukar melakukan perbandingan antar perusahaan yang saling berbeda.
Walaupun ada kritik ini, sebagian pihak menganggap bahwa metode ini merupakan
metode yang paling mudah diterakan dalam akuntansi inflasi.
b. Reproduction Cost
Reproduction cost adalah istilah lain yang hampir sama dengan replacement cost ini.
Disini harga itu diukur berdasarkan harga sekarang jika aktiva itu dibuat atau diduplikasi seperti
barang yang dimiliki itu tanpa melihat perubahan teknologi yang mungkin mempengaruhi aktiva
yang dibuat itu. Jika suatu aktiva baru direproduksi tanpa menghiraukan perubahan teknologinya
nilainya sama dengan replacement cost. Dengan demikian, secara umum apa yang berlaku pada
metode replacement cost berlaku juga pada metode eeproduction cost ini.
22
c. Net Realizable Value
Harga pasar sekarang adalah harga atau kas yang diperoleh jika suatu aktiva dijual
sekarang. Namun, harga ini didasarkan pada prinsip likuidasi bukan prinsip going concern
sehingga menyalahi prinsip akuntansi. Salah satu metode current market value ini adalah net
realizable value.
NRV merupakan harga jual dikurangi taksiran biaya penjualan. Pada masa inflasi nilai
dari net realizable value ini lebih besar dari replacement cost karena manajemen tidak mungkin
menjual barangnya tanpa mengharapkan laba margin general price level. Penyusutan dalam
metode ini dihitung berdasarkan perbedaan antara harga jual aktiva itu pada awal dibandingkan
dengan pada akhir periode.
d. Selling Price
Di sini nilai yang dipakai adalah harga jual tanpa dikurangi biaya penjualan sehingga
laporan keuangan yang disusun menurut selling price ini akan lebih besar dari pada net
realizable value dan metode lain yang disebut sebelumnya.
e. Expected Value
Metode ini sangat tergantung pada pengharapan seseorang jadi bisa lebih besar atau lebih
kecil dibanding dengan metode lain karena expected value ini merupakan gambaran dari present
value kas di masa yang akan datang.
2.3 Model Akuntansi
Ada tiga model akuntansi yang berbeda yang akan kita bahas dalam ini, yaitu:
1. Historical Cost Accounting;
2. Replacement Cost Accounting;
3. Net Realizable Value Accounting.
Namun, sebenarnya ada delapan model akuntansi dalam penilaian aktiva dan penentuan laba itu,
yaitu sebagai berikut.
1. Pengukuran menurut Unit Uang:
a. Historical Cost Accounting
b. Replacement Cost Accounting
c. Net Realizable Value Accounting
23
d. Present Value Accounting
2. Pengukuran menurut Unit Tenaga Beli ( General Price Level = GPL )
a. GPL Historical Cost Accounting
b. GPL Replacement Cost Accounting
c. GPL Present Value Accounting
Perbedaan ini timbul dari perbedaan berikut.
1. Atribut yang Akan Dinilai
Atribut yang dinilai untuk masing-masing model akuntansi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Dalam model Historical Cost Accounting, atribut yang dinilai adalah jumlah
uang/kas atau sejenisnya yang dibayar untuk mendapatkan aktiva atau membayar
sejumlah uang yang dibebankan dalam unit uang yang timbul dari perolehan
aktiva itu.
b. Dalam model Replacement Cost Accounting, atribut yang dibayar adalah uang
kas atau sejenisnya yang akan dibayar unutk memperoleh aktiva yang sama dan
sejenis saat sekarang atau jumlah utang yang akan dibebankan untuk memperoleh
aktiva tersebut.
c. Dalam model Net Realizable, atribut yang dinilai adalah jumlah uang kas atau
sejenisnya yang akan diperoleh dengan menjual aktiva sekarang atau jumlah uang
yang harus dibayar untuk menebus kewajiban itu sekarang.
d. Dalam model Present atau Capitalized Value, atribut yang dinilai adalah arus kas
masuk bersih yang diharapkan akan diterima dari penggunaan aktiva atau arus kas
keluar net yang diharapkan akan dibayar untuk membayar kembali utang.
Atribut itu dapat kita golongkan dalam tiga cara sebagai berikut.
a. Fokus penilaian dapat berupa masa lalu (Historical Cost), masa kini (Replacement
Cost dan Net Realizable Value), dan masa yang akan datang (Present Value).
b. Jenis transaksi: Historical Cost dan Replacement Cost merupakan transaksi
perolehan atau pembebanan utang, Net Realizable Value dan Present Value
menyangkut penjualan aset dan pembayaran utang.
24
c. Sifat kejadian awalnya: Historical Cost didasarkan pada kejadian yang sebenarnya,
Present Value berdasarkan kejadian yang diharapkan, dan Replacement Cost dan
Net Realizable Value didasarkan pada kejadian yang sifatnya hipotetis (anggapan).
2. Unit of Measure
Ada dua jenis unit ukuran yang dipakai, yaitu sebagai berikut.
a. Unit Moneter (uang)
Dalam model ini yang menjadi unit pengukur adalah unit uang.
b. Unit Daya Beli (Purchasing Power)
Dalam model ini yang menjadi alat ukur adalah daya beli uangnya yang tentu
berbeda apabila waktunya berbeda.
Penilaian dan Perbandingan terhadap Model Akuntansi
Dalam menilai dan membandingkan model penilaian akuntansi tersebut, model Present
Value sengaja tidak diikutkan karena beberapa kelemahan sebagai berikut.
1. Sukarnya menaksir penerimaan kas di masa yang akan datang.
2. Pemilihan tingkat diskonto yang sangat bervariasi.
3. Alokasi arbitrer dari taksiran arus kas dalam menilai aset.
4. Alokasi arbitrer dan taksiran arus kas dari masing-masing aktiva secara individual
Dalam menilai dan membandingkan model-model ini maka yang menjadi dasar penilaian
adalah:
1. Kesalahan yang timbul akibat masalah waktu (timing error).
Timing error timbul akibat perubahan nilai yang terjadi dalam suatu periode tertentu,
tetapi dicatat, diperhitungkan, dan dilaporkan pada periode yang lain. Yang sebaiknya
adalah bahwa setiap kejadian dalam periode itu dicatat dan dilaporkan pada periode itu.
25
Namun, yang lebih ideal lagi adalah bahwa perhitungan laba dilakukan dalam
keseluruhan proses kegiatan perusahaan.
2. Kesalahan akibat alat ukur (measuring unit errors).
Kesalahan akibat alat ukur ini terjadi apabila laporan keuangan tidak disajikan dengan
menggunakan dan mempertimbangkan tenaga beli dari mata uang tersebut. Idealnya
tenaga beli uang harus ikut menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun laporan
keuangan.
3. Kesulitan dalam penafsiran (interpretability).
Laporan keuangan harus dapat dipahami tanpa salah pengertian. Dalam menafsirkan
laporan keuangan kita harus memahami masalah pengertian dan penggunaannya. Dengan
perkataan lain, agar model akuntansi dapat dipahami maka kita harus menggunakan
rumus:
"Jika ... .................. maka... .…………..”atau (if... ..them).
Dengan rumus ini maka para pembaca laporan keuangan akan memahami artinya
serta kegunaannya. Akuntansi memiliki alat ukur yang menghasilkan ukuran tertentu,
misalnya model akuntansi yang menggunakan unit uang sebagai alat ukur berarti hasilnya
adalah bahwa itu dinyatakan dalam jumlah rupiah (Number of Dollars = NOD).
Demikian juga jika kita gunakan, konsep Historical Cost dengan ukuran "tenaga beli
umum", akan tetap menghasilkan jumlah rupiah (Number of Dollars). Sementara itu,
apabila konsep Current Value yang diukur dengan tenaga beli umum, akan menghasilkan
ukuran barang atau Command of Goods (COG).
4. Kelevansi
Inforntasi akuntansi harus relevan artinya harus bermanfaat bagi para pemakainya
khususnya untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Namun, karena model
akuntansi yang ada masih memiliki makna yang masih kabur seperti masalah NOD dan
COG tadi, sukar bagi pembaca menjadikan inforinasi akuntansi itu relevan tanpa
menguasai ilmu akuntansi lebih mendalam.
26
BAB III
PEMBAHASAN
Laporan keuangan (financial statetment) yang selama ini kita kenal adalah laporan yang
Lebih mengedepankan unsur keandalan (reliabilitas) dari pada relevansinya. Oleh karena itu,
salah satu prinsip penyusunan laporan keuangan digunakan adalah biaya historis (historical cost
accounting). Artinya, laporan keuangan disusun berdasarkan harga perolehannya (historical
cost). Konsep ini mengabaikan adanya inflasi yang nyata-nyata terjadi pada setiap negara. Inflasi
akan mempengaruhi nilai dari setiap angka yang tersaji dalam laporan keuangan yang membuat
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan menjadi terdistorsi.
Seperti yang dibahas sebelumnya GPLA satu konsep akuntansi inflasi yang merubah
satuan pengukuran, tetapi tetap mempertahankan model pelaporan atas dasar historical cost.
Tujuan pendekatan ini adalah untuk mempertahankan nilai modal menurut harganya yang tetap
dengan ukuran indeks harga. Dalam GPLA, akun-akun dalam laporan keuangan historis
dikelompokkan menjadi pos moneter dan pos non moneter, kemudian diperlakukan sesuai
dengan karakteristiknya. Akun moneter tidak terpengaruh perubahan harga, sehingga telah
mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku. Pemilikan akun-akun moneter akan
menimbulkan keuntungan atau kerugian daya beli. Sebaliknya, akun non moneter terpengaruh
perubahan harga, nilainya tidak mencerminkan tingkat harga umum yang berlaku, sehingga
harus disesuaikan dengan suatu faktor konversi yang mencerminkan tingkat harga umum yang
berlaku berupa indeks harga konsumen.
Kas dan Piutang Dagang tidak perlu disesuaikan dengan perubahan daya beli, tetapi pada
laporan keuangan yang diperbandingkan perlu ada kesamaan daya beli. Penyesuaian ini
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Kas / Piutang dagang
Persediaan dikonversikan dengan cara sebagai berikut:
27
Harga Perolehan Persediaan
Besarnya harga perolehan persediaan tergantung dengan metode yang digunakan (FIFO,
LIFO, Rata-rata, dan lain-lain) dan penggunaan metode tersebut harus konsisten.
Pembayaran di muka (prepayment) disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan perubahan
daya beli saat dilakukan pembayaran. Nilai konversinya adalah:
Pembayaran Dimuka
Investasi disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan perubahan daya beli saat
investasi terjadi. Penyajiannya adalah sebesar:
Nilai Investasi
Aktiva Tetap dalam laporan keuangan disajikan sesuai dengan perubahan daya beli Msaat
aktiva tersebut dimiliki. Besarnya nilai konversi adalah:
Harga Perolehan Aktiva Tetap
Hutang Lancar tidak perlu dinilai kembali karena sudah secara langsung mengikuti
perubahan daya beli kecuali apabila ingin diperbandingkan dengan laporan keuangan lainnya.
Kontrak pemeliharaan/langganan (advances on maintenance contracts) diukur dengan nilai
konversi sebesar:
Kas yang Dibayar
Hutang Jangka Panjang tidak perlu dinilai kembali karena sudah secara langsung
mengikuti perubahan daya beli kecuali apabila ingin diperbandingkan dengan laporan keuangan
lainnya.
28
Pajak yang Ditangguhkan (differed income taxes) dilaporkan dalam neraca sebesar
jumlah akumulasi dari penghematan pajak (tax savings) dan disajikan dalam laporan keuangan
setelah disesuaikan dengan perubahan daya beli sebesar nilai yang akan dibayar, sehingga Pajak
yang Ditangguhkan tidak perlu lagi disesuaikan dengan perubahan daya beli.
Modal Saham Preferen dapat digolongkan sebagai elemen moneter dan elemen non
moneter tergantung keadaannya. Modal Saham Biasa diukur dengan selisih antara Total Aktiva
yang telah disesuaikan dengan perubahan daya beli dengan Total Hutang yang telah disesuaikan
dengan perubahan daya beli ditambah modal saham preferen.
Pendapatan dan biaya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu elemen
moneter dan elemen non moneter. Sifat dari rekening-rekening tersebut menjadi dasar dalam
pengklasifikasiannya. Laporan keuangan yang telah disusun dengan metode General Price Level
Accounting dibandingkan dengan laporan keuangan yang disusun dengan Historical Cost
Accounting. Kedua laporan keuangan dianalisis dengan menggunakan NOD (Number of Dollar)
attribute untuk mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut interpretative dan dianalisis dengan
COG (Command Over Good) attribute untuk mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut
relevan.
Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan analisa. Elemen laporan keuangan
dikatakan relevan > 16 unit dan interpretatif bila selisih elemen yang telah disusun berdasarkan
dollar konstan dibagi dengan selisih unit sama dengan indeks harga Mkonsumen. Apabila
prosentase elemen-elemen dalam laporan keuangan yang sesuai dengan NOD attribute dan COG
attribute > 50%, maka laporan keuangan tersebut dapat dikatakan interpretatif dan relevan.
Gambaran Sederhana dari Pengindeksan Tingkat Harga Umum
Perusahaan Picur memulai operasi bisnisnya pada 31 Desember 19X5 ketika tingkat
harga sebesar 100 (periode dasar). Neraca komparatif pada tahun 19X5 dan 19X6
ditunjukkan pada Peraga 13.2. Laporan laba-rugi 19 X 6 tampak pada Exhibit 13.3.
Selain neraca dan laporan laba-rugi, informasi tambahan yang tersedia:
1. Deflator harga pada:
29
31 Desember 19X5 100
31 Desember 19X6 180
Indeks harga rata-rata tahun 19X6 120
2. Seluruh per.dapatan dan kos yang terjadi jumlahnya sama sepanjang tahun kecuali
kos barang terjual dan biaya depresiasi.
3. Pembelian persediaan dilakukan pada tanggal ketika indeks tingkat harga
menunjukkan 150.
4. Diasumsikan perusahaan menggunakan LIFO.
5. Depresiasi bagi peralatan dan bangunan diakumulasi dengan metode garis lurus
sepanjang masa manfaat lima tahun.
Neraca komparatif perusahaan picur pada 31 Desember
31 Desember 19X5 31 Desember 19X6
Debit Kredit Debit Kredit
Aset-aset moneter 30.000 60.000
Persediaan 30.000 (3.000 unit) 20.000 (2.000)
Tanah 40.000 40.000
Gedung dan Peralatan 50.000 50.000
Depresiasi akumulasian 10.000
Utang (1%) 50.000 50.000
Modal saham 100.000 100.000
Laba ditahan 10.000
30
Total 150.000 150.000 170.000 170.000
Laporan laba rugi perusahaan Picur untuk tahun yang berakhir pada 31 desember 19x6.
$ $
Penjualan (5000 unit @ 240)
Kos barang terjual
Persediaan awal (3000unit @ $10)
Pembeliaan (4000 unit @ $12)
Unit yang tersedia
Persediaan akhir
Laba kotor
Biaya-biaya operasional
Depresiasi
Bunga
Biaya penjualan dan administrasi
Laba operasional neto
30000
48000
78000
20000
10000
5000
117000
200000
58000
142000
132000
10000
Prosedur yang dilakukan untuk menyatakan kembali laporan keuangan kos historis adalah:
31
1. Nyatakan kembali neraca tahun 19X5 dengan tingkat harga 19X6. (Neraca
Perusahaan Picur tahun 19X5 yang disesuaikan dengan tingkat harga tahun 19X6
tampak pada Peraga13.4).
2. Nyatakan kembali neraca tahun 19X6 dengan tingkat harga tahun berjalan 19X6.
(Neraca sesuaian Perusahaan Picur tahun 19X6 tampak pads Eksibit 13.5). Pada
langkah ini, tidak ada faktor konversi langsung bagi labs ditahan. Hal ini
menyederhanakan jumlah, yang dibutuhkan untuk mencapai suatu saldo antara aset
dengan ekuitas.
3. Nyatakan kembali laporan labs rugi tahun 19X6 dengan tingkat harga tahun 19X6.
(Peraga13.6 menunjukkan laporan laba rugi sesuaian Perusahaan Picur tahun
19X6).
4. Hitunglah gains atau losses moneter akibat perubahan (Penghitungan ini
ditunjukkan pada Peraga 13.7).
5. Siapkan rekonsiliasi laba ditahan seperti:
$
Laba ditahan, 1 Januari 19X6 0
Ditambah: Profit neto 23400
Dikurangi: Loss tingkat harga umum (13400)
Laba ditahan, 1 Januari 19X6 10000
Evaluasi Akuntansi lingkat Harga Umum
Konversi mengenai relevansi akuntansi tingkat harga umum terus berlanjut. Beberapa
alasan yang mendukung dan menentang akuntansi tingkat harga umum akan disajikan disini
sebagai suatu cerminan posisi yang ada pada dunia praktik dan literatur. Angka dan susunan
penyajian, tidak mencerminkan tingkatan relatifnya.
32
Laporan laba rugi Perusahaan Picur pada 31 Desember 19X6 yang disesuaikan dengan tingkat
harga 19X6
Jumlah belum
tersesuaikan $
Faktor
konversi
Jumlah telah
tersesuaikan $
Penjualan (5000 unit @ 240)
Kos barang terjual
Persediaan awal (3000unit @ $10)
Pembeliaan (4000 unit @ $12)
Unit yang tersedia
Sediaan akhir (2000 unit @ $10)
Kos barang terjual
Marjin bruto
Biaya-biaya operasional
Depresiasi
Bunga
Biaya penjualan dan administratif
Profit operasional neto
200000
30000
48000
20000
58000
142000
10000
5000
117000
10000
180/120
180/100
180/150
180/100
180/120
180/120
300000
54000
57000
111600
36000
75600
224400
18000
7500
175500
23400
33
Gains and losses Moneter dari item-item moneter Perusahaan Picur
Jumlah belum tersesuaikan
$
Faktor konversi
Jumlah telah tersesuaikan $
Aktiva moneter neto pada
1 Januari 19X6
Ditambah: Moneter yang diterima
Selama penjualan 19X6
Item-item moneter neto
Dikurangi: Pembayaran moneter
Pembelian
Bunga
Biaya penjualan dan administrative
Total
Aktiva moneter neto hitungan pada
31 Desember 19X6
Aktiva moneter neto actual pada
31 Desember 19X6
Kerugian pada aktiva moneter
(20000)
200000
180000
48000
5000
117000
180/120
180/120
180/120
180/120
180/120
(36000)
300000
264000
57600
7500
175000
240600
23400
(10000)
13400
34
Ilustrasi Beberapa Alternatif Model Akuntansi
Untuk memberikan gambaran yang jelas antara beberapa alternatif model Akuntansi ini kita
misalkan PT Sipangko Jaya yang didirikan Dada tanggal 21 Maret 2005 akan memasarkan
produk baru yang disebut ESTIMA. Modal berjumlah Rp 30.000 utangnya Rp 30.000 dengan
bunga 10%. Pada tanggal I Januari PT. Sipangko Jaya memulai kegiatannya
dengan membeli 6.000 unit ESTIMA dengan harga Rp l0 per unit. Pada tanggal 1 Mei
perusahaan menjual 5.000 unit dengan harga Rp l5 per unit.
Sementara itu, perubahan tingkat harga selama tahun 2005 adalah sebagai berikut.
Januari 1 Mei 1 Desember 1
Replacement CostNet Realizable ValueGeneral Price Level Index
10 -
100
1215130
1317156
1. Alternatif dengan Melihat dari Suatu “Unit of Money”
Alternative yang kita bahas disini adalah menyangkut kesalahan yang timbul karena waktu.
Untuk itu, model yang akan kita bahas adalah
a. Historical Cost Accounting
b. Replacement Cost Accounting
c. Net Realizable Value Accounting
35
Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi untuk ketiga model itu adalah sebagai berikut:
PT Sipangko Jaya
Laporan Laba Rugi
Untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2005
Keterangan Historical Cost
Replacement Value
Net Realizable Value
HasilHarga Pokok PenjualanLaba Kotor Bunga 10%Laba OperasiRealisasi holding gain and lossHolding gain and loss yang tidak direalisasiGeneral Price level gain and loss
Laba bersih
500003
25000300022000Sudah
termasukTidak dihitungTidak dihitung
22000
750001
600004
15000300012000100006
30007
Tidak dihitung
25000
920002
730005
1900030001600010000
3000Tidak dihitung
29000
Perhitungan:175000 = 5000 x 15292000 = (5000x15) + (1000x17)350000 = 5000 x 10460000 = 5000 x 12573000 = (5000x12) + (1000x13)610000 = 5000 x (12 . 10)73000 = 1000 x (13 . 10)
PT Sipangko Jaya
Neraca
36
31 Desember 2005
Keterangan Historical cost Replacement Value
Net Realizable Value
Harta Kas Total hartaUtang & modal Kewajiban Modal: Modal saham Laba ditahan Realisasi Belum realisasiTotal laba ditahanTotal modal setor Total utang & modal
720001000082000
30000
30000
22000-
220005200082000
72000130001
85000
30000
30000
220003000250005500085000
72000170002
89000
30000
30000
220007000290005900089000
Keterangan:113000 = 13 x 1000217000 = 17 x 1000
Analisis perbedaan akibat waktu
17.000 = (17000 – 3000) + 3000 Unrealized Operating + Unrealized Holding Gains24000 = (17000 – 3000) + Unrealized Operating Gains
37
2. Alternatif Dengan Menggunakan Model Akuntansi yang Diukur Dengan Unit
Tenaga Beli Umum (General Purchasing Power)
Dalam model ini yang kita babas adalah:
a. General Price Level Adjusted Historical Accounting;
b. General Price Level Adjusted Replacement Cost Accounting;
c. General Price Level Adjusted Net Realizable Value Accounting
Dengan menggunakan ilustrasi di atas, maka laporan keuangannya adalah sebagai berikut.
Laporan Laba Rugi
PT Sipangko Jaya
Laporan Laba Rugi
Untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2005
Keterangan GPLAHC
GPLA GPLARC NRVA
Hasil Harga Pokok Penjualan
900001
78000390000 1070002
720004 850005
Laba KotorBunga 10%
120003000
18000 220003000 3000
Laba OperasiReal Realized HoldingGain and LossReal Unrealizead HoldingGain and LossGeneral Price LevelGain and Loss
9000
TermasukTidak
Dihitung
18008
15000 19000
(6000)6 (6000)(2600)7 (2600)1800 1800
Laba Bersih 10800 8200 12200
90000 = 75000 x 156/130 (75000 =15000X5)
107000 = 90000 + (17X1000)
78000 = 50000 + 156/100
72000 = 60000 + 156/130
85000 = 72000 + (13X1000)
38
(6000) = (12X156/130) – (10X156/100) X 1000
(2600) = 13 – (10X156/100) X 1000
1800 = Computed Monetary Asset – Actual Monetary asset (40200 – 42000)
Perhitungan dapat dilihat dibawah ini.
Dengan demikian, neraca akan menjadi sebagai berikut:
PT Sipangko Jaya
Neraca Menurut Generasi Price Level
Per31 Desember 2005
Keterangan GPL HC GPL RC GPL NRVA
Aktiva
Kas
Persediaan
72000
156001
72000
1300072000
17000
Total Aktiva
Passiva:
87600 85000 89000
39
Obligasi
Modal
Laba ditahan
Realized
Unrealized
Laba/rugi GPL
30000
468002
9000
0
1800
30000
46800
9000
(2600)3
1800
30000
46800
9000
14004
18005
Total Passiva 87600 85000 89000
Keterangan:115600= 10000 x 156/100246800= 3000 x 156/10032600 = 13 . (10 x 156/100) x 10041400 = unrealized operating gains + unrealized holding gains = 4000 + (-2600 – 4000 = (17000
– 13000)5Lihat perhitungan dibawah ini
Perhitungan Laba/rugi General Price Level
keterangan Belum di adjust
Faktur konversi
Setelah di adjust
Net Monetary AssetTanggal 1 January 2005:Ditambah:Monetary Receipt
Dikurangi:Monetary PaymentsBunga(10%)
Net Net Monetary Asset 31-12-2005Actual Monetary Asset 31-12-2005Laba akibat General Price Level
30000
75000
105000
6000030006300042000
156/100
156/130
156/100156/156
46800
90000136800
936003000966004020040200420001800
40
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada masa inflasi, laporan keuangan
GPLA lebih informatif dibanding historical cost, namun material atau tidaknya perbedaan yang
ditimbulkan GPLA tergantung pengaruhnya terhadap perusahaan tersebut, sehingga GPLA
bukan dimaksudkan untuk mengganti laporan keuangan historical cost, tetapi hanya sebagai
supplement report untuk digunakan sebagai informasi tambahan dalam pengambilan keputusan
bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi laporan keuangan sehingga tujuan dari pelaporan
akuntansi terpenuhi. Hal ini didasari oleh pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia
bahwa informasi tambahan antara lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan harga
bersifat tidak mengikat.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik menurut berbagai kelompok yang berkepentingan
dalam aktivitas bisnis. Investor dan perwakilannya (misal manajemen, termasuk dewan direksi)
dapat menanyakan apakah modal yang diinvestasikan dalam bisnis telah meningkat atau
menurun akibat kebijakan yang dijalankan dan apakah seluruh kejadian keuangan yang terjadi
menunjang entitas bisnis. Secara lebih spesifik, manajemen dan pemilik dapat menanyakan
apakah kebijakan dividen dijalankan pada masa lalu telah menghasilkan distribusi modal
ekonomis atau bisnis, dan jika tidak. bagaimana sesungguhnya proporsi earnings (disesuaikan
41
dengan perubahan tingkat harga) telah didistibusikan. Dengan data tingkat harga sesuaian
sebelumnya, direktur dapat menanyakan apakah dividen yang diusulkan itu sama, lebih tinggi,
atau lebih rendah dari earnings kini, atau dart norma lain atau standar yang ingin mereka
gunakan.
Pemilik, manajemen, dan pemerintah dapat menanyakan apakah pajak yang ditarik dari
income lebih rendah dibandingkan earning sebelum pajak, dan jika demikian sejauh mana, dan
jika tidak seberapa besar pajak tersebut melebihi earning sebelum pajak. Kreditor akan
terinformasi lebih baik karena untuk mendukung dan melindungi klaimnya. Selain itu, karyawan,
investor dan juga ranajemen akan mempunyai ukuran yang lebih reliabel untuk mengukur tingkat
kembalian modal yang digunakan dan akan menjadi informasi yang lebih baik untuk
memutuskan apakah entitas bisnis itu menguntungkan atau tidak.
Laporan keuangan yang benar-benar disesuaikan akibat adanya dampak perubahan tingkat
harga, akan juga mengungkapkan gains atau losses dan item-item moneter yang dipegang atau
dimiliki. Semua kelompok yang berkepentingan mempunyai satu ukuran penting untuk
mengukur dampak perubahan nilai dolar, baik yang berada pada posisi debitor atau kreditor.
Data yang disesuaikan dengan dampak perubahan harga memberikan suatu dasar alokasi sumber
daya yang lebih baik, baik sumber daya itu dimiliki oleh individu, entitas bisnis, atau pemerintah.
4.2 Saran
Adapun saran atau rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait dengan
pengembangan studi teori akuntansi adalah diharapkan kita memahami lebih dalam tentang
teori-teori akuntansi yang ada dan bisa mengimplementasikan ke dunia bisnis. Namun
keberadaan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi positif baik bagi mahasiswa untuk
lebih memahami materi mata kuliah teori akuntansi ini.
42
DAFTAR PUSTAKA
Belkaoui, Ahmed Riahi.2000.Teori Akuntansi.Jakarta : Salemba Empat.
Harahap, Sofyan Syafri. 2007. Teori Akuntansi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sari, Dian Inda.2006. Akuntansi Inflasi Dalam Menilai Relevansi Laporan Keuangan
Suatu Perusahaan, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 8 No. 2, p. 78-91,
http://4putciput.weebly.com/uploads/1/3/5/5/1355290/akuntansi_inflasi_dalam_menilai_relevasi
_laporan_keuangan_suatu_perusahaan.pdf
43
top related