metode rekonstruksi -8
Post on 24-Jul-2015
642 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Metode perbandingan klasik tidak hanya
bertalian dengan menemukan hukum bunyi
(korespondensi fonemis) antara bhs-bhs kerabat,
tetapi masih dilanjutkan dengan usaha
mengadakan rekonstruksi unsur-unsur purba,
baik fonemis maupun morfemis.
Bahasa-bahasa yang yang
memiliki naskah-naskah
tua, tidak perlu lagi
diadakan rekonstruksi
karena memang bentuk
tuanya sudah diketahui dari
naskah-naskah tertulisnya
itu
Perbandingan-
perbandingan bunyi dan
bentuk kata dalam
berbagi bahasa yang
memiliki naskah tertulis,
memperlihatkan adanya
keteraturan hubungan
dan perkembangan.
Kenyataan itu memberikan dasar bagi para ahli untuk
mencari atau menduga bentuk-bentuk masa lampau
dari bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah.
Rekonstruksi fonem dan morfem proto dimungkinkan
karena para ahli menerima suatu asumsi bahwa jika
diketahui fonem-fonem kerabat dari suatu fonem
bahasa proto, maka fonem proto itu dapat ditelusuri
kembali bentuk tuanya.
(1) Mencatat semua korespondensi fonemis dalam
bhs-bhs kerabat yang diperbandingkan.
(2) Membandingkan unsur-unsur yang
menunjukkan kontras itu dalam lingkungan
yang lebih luas dengan mencari pasangan-
pasangan baru untuk memperkuat nomor satu.
(3) Mengadakan rekonstruksi tiap fonem yang
terkandung dalam pasangan kata- kata yang
diperbandingkan.
(4) Dengan selesainya mengadakan rekonstruksi
fonemis pada tiap bunyi yang terdapat dalam
pasangan kata yang diperbandingkan itu, berarti
kita juga selesa mengadakan rekonstruksi
morfemis dari morfem proto.
(1) Bandingkan pasangan-pasangan kata dalam
berbagai bhs kerabat dengan menemukan
korespondensi fonemis dari tiap fonem yang
membentuk kata-kata kerabat tsb.
(2) Dengan menemukan korespondensi fonemisnya
dapat diperkirakan fonem proto mana yang
menurunkan fonem-fonem yang
berkorespondensi tsb
(3) Bagi tiap perangkat korespondensi
kemudian dicarikan suatu etiket
pengenal untuk memudahkan referensi.
Etiket pengenal ini tidak lain adalah
fonem proto tadi. Fonem ini biasanya
diberi tanda asterik (tanda : *)
1) Sebuah fonem yang distribusinya paling banyak
dalam sejumlah bhs kerabat dapat dianggap
merupakan pantulan linear fonem proto.
2) Fonem tadi harus didukung dengan distribusi
geografis yang luas, atau fonem itu terdapat
dalam banyak bhs.
3) Fonem proto tadi hanya boleh menurunkan satu
perangkat korespondensi
Misalnya dalam kasus korespondensi fonemis /b-w-b-f/
dan /b-b-b-b/ dalam bahasa Melayu-Jawa-Karo-Lamalera.
Sekali ditetapkan bahwa fonem proto */b/ menurunkan
perangkat korespondensi /b-b-b-b/ maka tidak boleh
menentukan lagi bahwa fonem proto */b/ menurunkan juga
perangkat korespondensi /b-w-b-f/.
Untuk itu, perangkat korespondensi /b-w-b-f/ misalnya
akan ditetapkan sebagai diturunkan oleh */w/ atau */f/,
bukan dari */b/
Kata ‘ikan’ dalam bahasa Gotik adalah fiks, Eslandia Kuno
fiskr, Sakson Kuno fisk, Jerman Tinggi Kuno fisk, dan
Inggris Kuno fisk.
Data-data tersebut menunjukkan adanya kemungkinan
korespondensi fonemis yang meliputi semua bahasa
dalam fonem-fonem pembentuk kata ‘ikan’.
1) Rekonstruksi fonem proto memantulkan atau
menurunkan bahasa-bahasa kerabat sekarang.
2) Berhasil dilakukan rekonstruksi morfemis (kata
dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan
suatu morfem proto yang diperkirakan
menurunkan bhs-bhs kerabat sekarang.
3) Morfem proto ini biasanya ditandai dengan
sebuah tanda asterik di depannya.
1) Tiap cabang bahasa mengandung ciri-ciri atau
bukti-bukti yang khas dari bentuk atau ciri
bahasa proto.
2) Identitas atau korespondensi fonemis antara
bahasa-bahasa kerabat akan menjelaskan
tentang ciri-ciri bahasa purba atau bahasa proto.
1) Bahasa purba merupakan suatu
masyarakat bahasa yang homogen.
2) Bahasa purba ini berangsur-angsur
menjadi dua bahasa atau lebih yang
kemudian kehilangan kontak satu sama
lain.
Kelompok-kelompok yang terdiri dari bahasa-bahasa
yang diturunkan dari bahasa induk yang sama disebut
sebagai satu keluarga bahasa.
Bahasa induk dapat berupa sebuah bahasa yang
memiliki naskah tertulis, seperti bahasa Latin
(dianggap proto dari bhs-bhs Roman).
Suatu bhs yang tidak memiliki naskah tertulis (bhs proto
Semit dan bhs proto Indo Eropa)
Bahasa proto yang tidak memiliki dokumen-dokumen
tertulis, maka kata-kata protonya adalah hasil
rekonstruksi morfologis dari bhs-bhs sekarang, atau dari
bhs-bhs tua yang memiliki naskah tertulis.
Prinsip proses rekonstruksi : kesederhanaan,
penghematan, dan tidak ada faktor yang mengganggu
evolusi itu, dan evolusi itu berada dalam situasi isolasi
yang kuat.
Bentuk-bentuk rekonstruksi secara pasti dapat
memberi implikasi tentang wujud kata-kata proto ,
tetapi ia bukan kata-kata proto itu sendiri.
Adanya Alomorf
Dalam bahasa Indonesia kita jumpai sejumlah
bentuk kata seperti berjalan, bermain,
berdiri,belajar, berumah, dsb. Di samping itu
terdapat pula bentuk-bentuk seperti : terjadi,
terlihat, terdapat, terasa, telanjur, dsb.
Bentuk-bentuk tsb terdiri dari morfem terikat ber-be-,
bel-; ter-, te-, dan tel- dan morfem dasar : jalan, main,
diri, ajar, rumah, jadi, lihat, dapat, rasa, dan anjur.
Bentuk-bentuk itu bervariasi karena lingkungan yang
dimasukinya.
Ada satu morfem untuk masing-masing kelompok variasi
di atas, sedangkan ketiga bentuk dari tiap satuan itu
disebut alomorf.
Berdasarkan prinsip kesederhanaan,
penghematan, serta melihat distribusi
tiap alomorf, maka dapat disimpulkan
bahwa bentuk proto alomorf-alomorf di
atas adalah :*/b r/ dan */t r/ .
Keenam konsonan yang sering menimbulkan
problem dalam b. Jerman adalah /p/, /t/, /k/,
/b/, /d/, dan /g/
Keenamnya dapat muncul dalam posisi awal dan
tengah, tetapi dalam posisi akhir hanya ada
/p/, /t/, dan /k/.
Kata dasar dari kata sifat dan kata benda yang
berakhir dengan sebuah stop akan
memperlihatkan dua pola yang berlainan bila
ditambah akhiran infleksi.
(1) ty.p-typen ‘tipe’ (2) tawp-taw.ben ‘tuli’
to.t-to.te ‘mati’ to.t -to.d‘kematian
dek-deke ‘dek ta.k-tages ‘hari’
Biasanya dikatakan bahwa konsonan /b/, /d/,/g/ secara deskriptif
mengalami proses netralisasi pada posisi akhir dan diganti dengan
konsonan /p/, /t/, /k/.
Beberapa gejala dalam bahasa Indonesia dapat memperkuat
hipotesis ini.Adanya posisi /b/ pada posisi akhir dalam kata lembab,
sebab, Sabtu yang diucapkan dengan /p/.
Dalam segmen yang yang lebih panjang seperti kelembaban, fonem
/b/ dapat diucapkan dengan /k l mbaban/ atau /k l mbapan/.
Sans. : da-dau ‘saya telahmemberi’
Yun. : de-do-ka ‘saya telah memberi,
Lat. : de-di ‘saya telah memberi
Dalam bahasa Yunani dan Latin vokal /O/ dan /i/ dilemahkan
menjadi /e/. Sehingga bentuk rekonstruksinya adalah * do-do-
ka dan *di-di.
Sans. : ba-bhu-va ‘ada’, ‘memiliki’
Yun. : pe-phu-ka ‘berkembang
Akar kata yang mengalami aspirata akan kehilangan
aspiratanya bila konsonan yang mengandung aspirata
itu direduplikasikan.
Maka rekonstruksinya adalah sebagai berikut:
Sans. : *bha-bhu-va
Yun. : *phe-phu-ka
Dalam bhs-bhs Austonesia juga terdapat peristiwa
reduplikasi pada suku kata awal. Seperti tangga-
tetangga, laki-lelaki, luhur-leluhur.
Reduplikasi ini melemahkan vokal pada suku kata
awal sehingga menjadi / / .
Sehingga rekonstruksinya *ta-tangga, * la-laki,
*la-luhur,
Infleksi adalah perubahan bentuk kata
tanpa mengubah identitas leksikal kata
itu.
menulis-ditulis-kutulis-kautulis-kami tulis
melihat-dilihat-kulihat-kaulihat-kami lihat
membaca-dibaca-kubaca-kaubaca-kami
baca.
Dalam bahasa Lamalera terdapat bentuk infleksi pada kata
kerja seperti: goe ka ‘saya makan’
moe go ‘engkau makan’
nae ga ‘dia makan’
kame n ka ‘kami makan’
tite t ka ‘kita makan’
mio ge ‘kamu makan’
rae r ka ‘mereka makan’
Konsonan /k/ pada orang kedua tunggal dan jamak berubah
menjadi /g/. Dengan demikian dapat diadakan rekonstruksi
dalam pada bentuk-bentuk itu .sehingga diperoleh bentuk tua
*/ka/. @
top related