morfologi arsitektur masjid di kota denpasar bali
Post on 31-Dec-2016
395 Views
Preview:
TRANSCRIPT
0
TESIS
MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI KOTA
DENPASAR BALI
ARDIANSYAH
Nim 1091 86 1002
PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR
KAJIAN LINGKUNGAN BINAAN ETNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Balakang
Sebagai produk budaya, arsitektur pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, budaya dan teknologi. Faktor lingkungan mencakup kondisi alamiah
lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu dan sebagainya. Faktor
teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan keterampilan teknis
membangun. Faktor budaya meliputi aspek-aspek falsafah, kondisi lingkungan,
persepsi, norma dan religi, struktur sosial dan keluarga, ekonomi, dan lain-lain
(Altman dalam Fanani, 2009). Menurut Altman bangunan masjid sebagai
bangunan suci umat Islam keberadaanya di suatu daerah juga dipengaruhi oleh
faktor budaya, lingkungan dan teknologi sehingga setiap wilayah memiliki warna
arsitektur masjid yang berbeda, hal ini juga sejalan dengan filosofi umat Islam
dimana manusia harus menjaga hubungan secara vertikal kepada Allah dan secara
horizontal terhadap sesama manusia dan alam. Hubungan horizontal membuka
kemungkinan kepada rancangan arsitektur masjid yang berupaya menjaga dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan budaya dimana masjid itu berada.
Pada awal perkembangan peradabannya, Islam lebih berkonsentrasi pada
pengaturan prilaku dan tidak terlalu mengutamakan bentuk simbol. Nabi
Muhammad ketika diangkat sebagai Rasul tidak dibekali oleh cetak biru
bangunan masjid atau gambar benda-benda perlambang dan sejenisnya. Lambang
menempati posisi sebagai atribut sekunder dalam kebudayaan Islam, akan tetapi
ketika kebudayaan Islam mulai menyusun bentuknya, seirama dengan itu
2
sejumlah lambang mulai diperkenalkan. Bentuk-bentuk Lengkung, Kubah, yang
menjadi langgam arsitektur Islam saat ini menjadi bagian dari corak Islam ketika
Islam telah menjadi pewaris sah dari budaya agung: Byzantium, Mesir, Persia dan
India. Mihrab yang berasal dari tradisi koptik, minaret, kubah yang berasal dari
persia dan byzantium, menyatu dengan lambang-lambang dekorasi floral,
geometrik, kaligrafi dan muqarnas yang orisinal, menciptakan susunan kode
kultural bagi arsitektur masjid. Sebagai atribut sekunder kebudayaan islam inilah
yang oleh momentum sejarah dalam konteks sosiokultural telah digubah secara
fisik menjadi unsur yang sangat dominan posisinya di dalam memberi kesan
kesatuan wilayah budaya Islam (Arkoun, dalam Fanani, 2009).
Pendapat Arkoun mengenai simbol melihat dari sisi geometris akan tetapi
tidak mengkaji lebih dalam makna dan sejarah perkembangan simbol tersebut,
berbeda dengan yang ditulis Akkach (2005), lahirnya simbol didalam arsitektur
Islam didasari oleh kedalaman berfikir atau pemahaman mengenai ilmu tauhid
dimana didalam kajiannya mengakar kepada kosmologi islam dan kaitanya
terhadap konsep perkembangan bentuknya, didalam tulisannya juga mencoba
mendalami pandangan sufisme terhadap bentuk bentuk yang mengandung simbol.
Sejatinya Islam merupakan agama yang tidak terlalu mementingkan simbol akan
tetapi keberadaan simbol muncul sebagai perwakilan dari rasa untuk
mengungkapkan suatu pemahaman didalam agama dan pengungkapan kecintaan
akan kebesaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Agama Islam tidak
melarang penggunaan simbol atau lambang sebagai bentuk pengungkapan rasa
persatuan umat dan Kebesaran Allah akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi
3
dengan mempertegas bentuk simbol atau lambang yang dilarang seperti gambar
atau patung mahluk bernyawa serta lambang yang mengurangi nilai Ke Esaan
Allah SWT .
Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul untuk seluruh umat di dunia
bukan untuk kelompok etnis tertentu, dimana setiap kelompok etnis umumnya
memiliki simbol berbeda sehingga berbicara simbol akan sulit menjelaskan
bagaimana simbol didalam arsitektur Islam. Merujuk terhadap bentuk masjid
pertama yang dibangun Rasul tidak menempelkan lambang atau simbol tertentu
karena Rasulullah lebih mementingkan fungsi masjid dan bagaimana
memakmurkan masjid. Arsitektur Islam memiliki cakupan yang luas dan
menerima bentuk simbol-simbol asalkan tidak bertentangan dengan aturan Islam,
sehingga membuka berjuta warna dan bentuk Arsitektur Masjid . Hal ini
diperkuat didalam tulisan Frisman dalam fanani dimana ditemukan terdapat tujuh
tipologi dasar masjid di dunia sebagai pencerminan dasar berfikir Islam dan
pembauran dengan budaya dan alam dimana Masjid tersebut berada.
Tujuh tipologi dasar masjid di dunia tersebut meliputi, Semenanjung Arab,
Spanyol dan Afrika Utara dengan hypostyle hall dan ruang terbuka didalam
masjid. Kedua Sub-Saharan Afrika Barat berkarakter hypostyle hall dengan
menggunakaghn batu-bata dari lumpur. Ketiga Iran dan Asia Tengah dengan
penggunaan gerbang besar dan ruang terbuka ditengah dikelilingi massa
bangunan. Keempat Indian Subcontinent dengan karakter tiga kubah yang
berdekatan dengan halaman terbuka yang luas. Tipologi yang kelima adalah
bergaya Turki dengan sentral dome yang masif dengan beberapa menara yang
4
menjulang yang dipengaruhi Arsitektur Byzantium. Ke enam adalah Bergaya
Cina dimana terdapat ruang terbuka didalam pekarangan yang berisikan taman-
taman dan beberapa massa bangunan. Bentuk yang terakhir adalah tipologi Masjid
di Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua,
tiga atau lebih yang menyerupai wantilan (Frishman, Khan dalam Fanani, 2009).
Dari tujuh tipologi dasar masjid tersebut terdapat ciri khas yang
mencerminkan karakter arsitektur islam, hal ini disebabkan ada simbol-simbol
islam tertentu yang melekat dan diakui menjadi elemen-elemen penting didalam
masjid seperti lambang bulan sabit dan bintang, bentuk atap kubah, menara dan
sebagainya. Elemen masjid tersebut berasal dan berkembang di timur tengah yang
menyebar sejalan dengan perluasan wilayah pengaruh islam. Sehingga kalau
ditarik dari sejarah awalnya lambang-lambang yang dikenal sebagai simbol yang
mewakili agama Islam merupakan hasil karya cipta manusia, seperti lambang
bulan sabit yang sejatinya sudah ada pada mata uang Persia dan Yunani sebelum
hadirnya ajaran Islam.
Di Indonesia, berdasarkan tulisan Frisman tergolong kedalam tipologi Masjid
di Asia Tenggara dimana memiliki ciri bentuk atap yang bertumpang. Morfologi
Arsitektur masjid di Indonesia awalnya dipengaruhi Arsitektur Tradisional akan
tetapi seiring perkembanganya secara umum mulai dipengaruhi Arsitektur Masjid
Timur Tengah dan Arsitektur Modern. Morfologi masjid- masjid tua di Indonesia
berdasarkan beberapa penelitian memiliki denah persegi empat atau bujur
sangkar, atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua atau lebih dan
semakin keatas semakin runcing, mempunyai serambi didepan atau disamping
5
ruangan utama masjid, dibagian depan atau samping masjid biasanya terdapat
kolam yang digunakan untuk wudhu (menyucikan diri), disekitar masjid diberi
pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Penelitian perkembangan
kontur masjid di indonesia sudah dilakukan oleh peneliti Belanda bernama Pijper
dimana dia menggambarkan morfologi masjid pada awal masa penjajahan yang
banyak dijadikan referensi penelitian masjid di Indonesia, banyak penelitian
berikutnya yang seperti yang dilakukan Bambang Setiabudi dimana ia meneliti
keaslian morfologi masjid di Jawa. Penelitian masjid yang telah dilakukan oleh
peneliti di Indonesia hanya menekankan pada aspek bentuk tipologi ruang,
sebagai contoh di masjid tua indonesia terdapat serambi keliling akan tetapi tidak
dijelaskan apakah fungsi serambi dapat digunakan untuk sholat berjamaah karena
posisi shaf atau susunan shalat tidak boleh terputus oleh tiang atau dinding. Pada
beberapa masjid tua di Indonesia seperti Masjid Agung Palembang, Bengkulu dan
Minang tidak memiliki serambi keliling hal ini dimungkinkan agar makmum
hanya melakukan sholat didalam masjid. Penelitian morfologi masjid di Indonesia
banyak mengambil contoh masjid di jawa sehingga muncul teori bahwa masjid
dijawa mempengaruhi morfologi masjid di Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya sedangkan indonesia memiliki keragaman arsitektur
tersendiri pada masing-masing wilayah, teori yang mengatakan ciri-ciri masjid tua
di Indonesia memiliki serambi keliling harus dibuktikan lagi karena tidak semua
masjid memiliki serambi karena apabila dibiarkan teori ini berkembang maka
akan membatasi temuan mengenai morfologi ruang masjid di Indonesia aslinya.
6
Dalam beberapa penelitian morfologi masjid di Indonesia terdapat tiga teori
dasar mengenai asal usul bentuk masjid di Indonesia pertama yaitu masjid di
Indonesia dipengaruhi arsitektur dari luar seperti Malabar kemudian pendapat
kedua arsitektur masjid di Indonesia bahkan di Asia dipengaruhi arsitektur masjid
di jawa, sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa arsitektur masjid lahir dari
kearifan lokal setempat. Kearifan lokal mempengaruhi bentuk masjid menjadi
kecendrungan teori penelitian masjid saat ini sehingga didalam penelitian masjid
di Denpasar mencoba mengetahui apakah benar lingkungan lokal berperan
terhadap bentuk morfologi masjid.
Sebelum Islam masuk di Nusantara, setiap daerah sudah memiliki
keragaman budaya dan kelompok etnik dengan agama Hindu dan Budha sebagai
agama mayoritas mereka. Kepercayaan agama memiliki pengaruh yang kuat
terhadap budaya masyarakat pada masa itu, dimana secara tidak langsung
terciptanya simbol atau lambang terkait kebudayaan dan kepercayaan mereka.
Perubahan kepercayaan manjadi pemeluk agama Islam tidak merubah pandangan
mereka secara total terutama kebudayaan yang sudah melekat sebelumnya.
Sehingga bangunan masjid yang didirikan saat itu masih mencerminkan arsitektur
tradisional masing-masing. Pada masa globalisasi saat ini semua nilai budaya asli
indonesia mulai luntur termasuk arsitektur lokal masing-masing daerah.
Penurunan nilai budaya tersebut juga terpengaruh terhadap bangunan masjid yang
didirikan, sehingga bentuk arsitektur masjid mulai terpengaruh gaya global
dimana pengaruh globalisasi terhadap arsitektur masjid adalah bentuk kubah dan
7
lengkung yang berasal dari Timur Tengah yang seakan akan menjadi paten atau
bentuk wajib yang harus dihadirkan pada semua bangunan masjid.
Salah satu daerah di Indonesia yang masih memegang teguh nilai lokal
adalah Propinsi Bali khususnya Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi. Budaya
Bali merupakan salah satu budaya yang masih berusaha bertahan ditengah
pengaruh globalisasi dimana gaya hidup modern yang sudah menyeragamkan
dunia tidak sepenuhnya mempengaruhi budaya mereka termasuk arsitektur,
sehingga menjadi salah satu daya tarik para wisatawan baik lokal maupun
internasional. Kota Denpasar memiliki sejarah dan peranan penting terutama
perkembangan budaya Bali, sebagai ibukota propinsi Kota Denpasar memiliki
jumlah penduduk terpadat dimana banyak kaum pendatang yang tinggal di kota
tersebut salah satunya adalah perantau yang beragama Islam. Sebagai kelompok
minoritas, umat Islam di Bali harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan
kelompok mayoritas, sejalan dengan filosofi umat islam didalam menjaga
hubungan secara horizontal terhadap sesama manusia dan alam sekitar sehingga
tidak menutup kemungkinan hal ini juga berpengaruh terhadap bentuk morfologi
arsitektur masjidnya.
Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu sehingga Arsitektur
Tradisional Bali menjadi kesatuan didalam kehidupan masyarakatnya. Didalam
Arsitektur Bali tidak lepas dari elemen relief atau patung yang berwujud dewa ,
manusia dan fauna yang terdapat pada bangunan suci, publik, maupun pribadi. Di
dalam Arsitektur Islam khususnya masjid keberadaan elemen tersebut dilarang
8
sehingga akan menjadi pertanyaan bagaimana arsitektur masjid beradaptasi
terhadap pengaruh tersebut.
Banyak penelitian yang mengaitkan pagar keliling, wantilan dan meru
yang mempengaruhi bentuk masjid di Indonesia, akan tetapi bentuk tersebut
sejatinya juga dimiliki oleh wilayah diluar Bali sebelum masuknya Islam akan
tetapi karena Bali menjaga tradisi maka menjadi referensi utama. Arsitektur Bali
juga dianggap sebagai renaissance nya arsitektur nusantara karena menyerap dan
masih menggabungkan arsitektur nusantara menjadi kesatuan dengan
perkembangan arsitektur Bali sehingga diharapkan temuan penelitian akan
mewakili bagaimana bentuk morfologi arsitektur masjid asli di Indonesia.
Penelitian ini juga akan menjadi penguji teori yang merujuk kepada bangunan
yang menjadi referensi perbandingan asal usul bentuk masjid di nusantara.
Penerapan Arsitektur Bali pada bangunan masjid terdapat dalam penelitian Salain
terhadap masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana terdapat penggunaan
bahan, konsep warna dan bentuk ragam hias Arsitektur Bali akan tetapi terdapat
keunikan pada masjid tersebut dimana terdapat patung dan ornamen yang dilarang
pada gerbang dan pagar masjid akan tetapi pada dinding luar masjid dan bagian
dalam nya tidak ditemukan ornamen tersebut. Begitu juga dengan konsep ruang
tidak terdapat dinding masif pemisah ruang dalam dan luar yaitu hanya berupa
ukiran tembus berbahan kayu dan beton. Konsep ruang tersebut menegaskan
kesatuan ruang dalam dan luar masjid. Sehingga kalau ditarik kesimpulan
bangunan masjid meniru bangunan wantilan dan rumah pada Arsitektur
Tradisional Bali.
9
Morfologi arsitektur masjid di Denpasar pada umumnya berbeda dengan
bangunan Masjid yang ada di Jawa dan Wilayah lain di Indonesia pada umumnya,
hal ini disebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi morfologi Masjid
tersebut. Pemilihan lahan untuk masjid di Bali sulit dilakukan sehingga
menyesuaikan lahan yang tersedia saja dan luasan lahan untuk terbatas, tidak
seperti didaerah yang mayoritas Muslim dimana sebelum membangun masjid
menentukan dan menganalisa lokasi yang paling strategis untuk dibangun masjid
selalu dilakukan. Bentuk denah bangunan Masjid di Denpasar memilliki
kecendrungan menyesuaikan bentuk tanah hal ini bertujuan agar pemanfaatan
lahan optimal, selain itu terbatasnya lahan masjid di Denpasar juga
mengakibatkan penambahan luas bangunan secara vertikal . Elemen masjid di
denpasar tidak sebanyak masjid di Timur Tengah atau di Jawa Hanya beberapa
masjid di denpasar yang menggunakan menara dan untuk ragam hias ada
beberapa masjid yang menggunakan ornamen dan warna bergaya Arsitektur Bali
akan tetapi terjadi sedikit modifikasi terhadap bentuk elemen ragam hias tersebut
dengan mencampurkan bentuk simbol-simbol islam berupa kubah persia dan
bulan sabit. Berbeda dengan masjid tua di Indonesia dimana didalam beberapa
penelitian menyebutkan masjid dikelilingi oleh pagar akan tetapi beberapa masjid
di Denpasar Umumnya tidak memiliki pagar melainkan dinding terluar bangunan
berbatasan langsung dengan batas tanah akan tetapi hal ini dikarenakan
terbatasnya lahan, sedangkan untuk masjid yang memiliki lahan cukup luas justru
menunjukan pengaruh yang kuat arsitektur lokalnya yaitu terdapat bangunan
masjid dengan dinding terbuka menyerupai wantilan atau bale yang dikelilingi
10
oleh pagar bentuk inilah yang menurut peneliti sebagai bentuk yang mewakili
morfologi Arsitektur masjid di Denpasar . Morfologti khas yang terdapat di
masjid Bali selain penggunaan elemen dekorasi juga untuk masjid yang memiliki
pagar keliling bangunan utama masjid dibuat terbuka tanpa dinding sehingga
terlihat menyerupai wantilan dan rumah tinggal pada bangunan tradisional Bali,
hal ini merupakan temuan yang menguatkan teori bahwa lingkungan
mempengaruhi arsitektur dan memang bentuk tipologi masjid di Indonesia
mengambil bentuk wantilan atau pendopo yang ditambah dinding disekelilingnya
akan tetapi di Bali justru tidak terdapat dinding sehingga apakah awal berdiri
masjid memang menggunakan wantilan dan perkembangan berikutnya baru
ditambahkan dinding disekelilingnya.
Penelitian masjid tradisional di Indonesia belum banyak dilakukan oleh para
arsitek dan ahli akademik. Sebagian besar penelitian datangnya dari sejarawan
dan para ahli anthropologi. Sehingga terlalu sedikit juga penemuan penulisan
akademik yang mencoba menyatukan antara fakta sejarah, keadaan sosio
masyarakat suatu kawasan dengan produk arsitektur yang dihasilkan. Kajian ini
sangat penting dalam usaha memahami aspek morfologi dan perkembangan
bentuk masjid di nusantara secara keseluruhan (Utaberta dkk, 2009). Berdasarkan
rujukan yang dikemukakan oleh Utaberta penelitian masjid di Denpasar Bali
menjadi penting dilakukan karena seolah menjadi mesin waktu kembali dimasa
awal masuknya agama Islam ditengah pengaruh budaya Hindu yang kuat,
sehingga hasil temuan penelitian bisa menjadi pedoman atau menguji penelitian
mengenai morfologi masjid tua di Indonesia, meliputi morfologi ruang, bentuk
11
bangunan dan perkembangan elemen masjid yang menyangkut penggunaan dan
perkembangan lambang atau simbol Islam di tengah kuatnya pengaruh Arsitektur
Tradisional Bali. Bentuk morfologi arsitektur masjid di Denpasar akan dikaji dan
dikaitkan dengan teori-teori arsitektur islam untuk mengetahui apakah aplikasi
atau bentuk arsitektur islami atau justru bertentangan dengan arsitektur Islam.
12
1.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang terkait dengan penelitian Morfologi
Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar ?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan Masjid Di
Denpasar Bali ?
3. Bagaimana bentuk ragam hias pada bangunan masjid di Denpasar Bali ?
1.3 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar
2. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan
masjid di Kota Denpasar.
3. Mengetahui bentuk elemen dan ragam hias bangunan masjid di Kota
Denpasar Bali.
1.4 Manfaat
Manfaat akademis: ”Memberikan Pengetahuan Tentang Kaitan Morfologi
Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Terhadap Sudut Pandang Masyarakat yang
Membangun Masjid Tersebut dan Memberikan Pengetahuan Tentang
Perkembangan Bentuk Arsitektur Masjid di Kota Denpasar terkait perkembangan
elemen dan simbol didalam Arsitektur Masjid. Penelitian ini juga bermanfaat
untuk memperkaya pengetahuan tentang arsitektur Islam.”
13
Manfaat Praktis : ” Memberikan Pedoman atau Gambaran bagi Arsitek atau
masyarakat yang akan Merancang Masjid Khususnya di Kota Denpasar Bali.
Juga menjadi referensi didalam merencanakan peraturan bangunan yang terkait
dengan bangunan Masjid di Bali.”
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA. KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat
kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan
patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang
mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural Al-
Jin (72): 18, menegaskan bahwa ;
” Dan bahwasanya mesjid-mesjid itu adalah untuk Allah semata-mata; maka
janganlah kamu seru bersama Allah sesuatu jua pun." 1
Didalam Tafsir tersebut dipaparkan bahwasanya mesjid-mesjid semata-mata kita
bersujud, bertekun kita mendirikan rumah-rumah ibadat. Mesjid yang berarti
tempat bersujud, yang kita sujud disana, sampai kita merendahkan diri
memecahkan kening kita kelantai atau keatas tanah sekalipun, tidak lain hanya
Allah. Allah tidak boleh di persekutukan dengan yang lain. Mempersekutukan
dengan yang lain juga bisa dikaitkan dengan keberadaan patung atau ornamen
terlarang didalamnya.
Al-Quran juga nyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya
dalam QS An-Nur [24]: 36-37) :
” Yaitu di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allah buat ditinggikan dan
disebut namanNya, yaitu rumah-rumah yang disucikan namaNya
1 . HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid X.
15
didalamnya baik pagi atau petang. Yaitu orang laki-laki yang tidak dapat
dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli karena mengingat Allah dan
mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat dan mereka takut akan
hari yang gelebak-gelebur padanya segala hati dan segala pandangan .” 2
Masjid merupakan tempat yang dibuat yang ditinggikan tempat dan namanya
dan dipakai baik pagi dan petang untuk shalat dan bertasbih kepada Allah dan
ditekankan kepada laki-laki agar tidak lalai oleh kesibukan mereka sehari-hari
untuk melaksanakan shalat di dalam mesjid.
Rasul Saw. bersabda, HR Bukharidan Muslim melalui Jabir bin Abdullah ;
”Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan
sarana penyucian diri .” 3
Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud
dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan
tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu
tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas
manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. Dengan demikian,
masjid menjadi pangkal tempat Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan
tempatnya bersauh. kutipan diatas merupakan pengertian dasar masjid menurut
Al-Quran dan Hadis, sedangkan didalam penelitian ini peneliti meninjau beberapa
penulis dan penelitian yang berkaitan dengan morfologi arsitektur masjid.
Salain (2011), didalam disertasi nya meneliti tentang Arsitektur Bali pada
Masjid Al-Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana didalam penelitiannya
2 . HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid VII.
3 . Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13.Terjemahan Hadist
Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993. Daud. Cetakan ke-3 . Terjemahan Hadist
Shahih Muslim. Jakarta : penerbit Widjaya 1993
16
ditemukan bahwa arsitektur masjid tidak melarang menerapkan unsur setempat
berupa wujud, struktur, bahan, warna dan ornament. Penerapan Arsitektur Bali
dipengaruhi beberapa faktor meliputi; kekuasaan, konsensus, ideology, identitas,
hibriditas, dan Arsitektur Post Modern, faktor terkuat yang paling mempengaruhi
di dalam penelitiannya adalah kekuasaan. Keberadaan Masjid Al-Hikmah bukan
hanya berdampak pada Arsitektur tetapi juga berdampak pada politik, budaya,
kerukunan umat, juga mengandung makna mendalam pada filosofis simbolik,
estetika dan multikultur. Didalam disertasi Salain lebih menekankan pada
pembahasan komponen estetika masjid dan faktor yang mempengaruhi bentuk
masjid dan menemukan bahwa arsitektur Bali pada Masjid Al Hikmah dapat
mempererat hubungan antar umat beragama, akan tetapi didalam penelitiannya
salain tidak terlalu fokus menggali aspek keruangan dan bentuk ruang masjid
kaitanya dengan pandangan pendiri masjid mengenai Al-Quran dan Hadist.
Begitu juga Irsyad (2008), dimana ia meneliti tentang arsitektur Masjid Sultan
Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat dimana penelitianya bertujuan untuk
menggambarkan bentuk arsitektur dan ragam hias yang terdapat pada masjid
sehingga dapat terlihat pengaruh-pengaruh yang ada, baik pengaruh lokal maupun
asing. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis morfologi dan analisis
gaya. Analisis morfologi dilakukan dengan cara menjelaskan bentuk arsitektur
terhadap komponen-komponen Masjid Sultan Abdurrahman, sedangkan analisis
gaya dengan cara mengklasifikasi ragam hias yang terdapat pada masjid. Dalam
penelitiannya ditemukan bahwa unsur lokal lebih mendominasi pada arsitektur
masjid pada beberapa bagian ada pengaruh arsitektur Kolonial dan seni bangunan
17
Timur Tengah. Dalam penelitianya Irsyad juga mengkaji morfologi dan gaya
didalam Arsitektur Masjid akan tetapi tidak menganalisa simbol-simbol dan tata
ruang dalam masjid terhadap susunan jemaah dan orientasi kiblat.
Peneliti selanjutnya lebih menekankan pada bentuk tata ruang dan struktur
masjid di Jawa adalah Setiabudi (2006), dalam judul “ A Study on the History and
Development of the Javanese Mosque : Typology of The Plan and Structure of
The Javanese Mosque and It‟s Distribution.” Dimana didalam tulisannya
membahas tentang perkembangan dan penyebaran arsitektur masjid di Jawa.
Peneliti mempelajari statement yang dibuat oleh beberapa peneliti bahwa masjid
di Jawa mempunyai bentuk denah persegi dengan empat pilar menjulang di
tengah ruang sholat bangunan. Hasil dari studinya mengenai 127 masjid yang
terpilih di Jawa dianggap bahwa sebuah penelitian detail tipologi dari denah dan
struktur masjid di Jawa mengandung enam tipe. Penemuan ini menunjukan bahwa
penelitian tipologikal akan memberikan data eksisting yang kompleks disamping
memberikan kelompok hasil data baru yang mungkin akan melengkapi atau
menyempurnakan pendapat. Didalam penelitian Setiabudi menekankan bahwa
tipologi masjid atap tumpang dengan soko guru ditengahnya mencerminkan
simbol masjid di Indonesia dan Asia Tenggara, akan tetapi peneliti tidak mengkaji
detail elemen dekorasi yang terkait simbol-simbol islam di dalam Arsitektur
Masjid tersebut. Untuk tata ruang setiabudi juga tidak mengkaji mengenai kaitan
hadist terhadap tata ruang dan bentuk ruang masjid yang diteliti sehingga
penelitian masih membuka ruang yang belum terjawab.
18
Sejalan dengan penelitian Irsyad Penelitian Masjid di Kalimantan juga
dilakukan oleh Aufa (2010), dimana dalam penelitiannya ditemukan perbedaan
antara masjid di Jawa dimana sebelumnya dikemukakan oleh beberapa peneliti
bahwa masjid Jawa merupakan bentuk yang mempengaruhi semua masjid di
Nusantara, akan tetapi justru masjid di Kalimantan memiliki bentuk dan makna
atap yang berbeda dengan atap tumpang. Secara tipologi ruang tidak banyak
berbeda dengan masjid di Jawa dimana terdiri dari mihrab, ruang shalat dan teras
keliling. Atap bangunan berbentuk perisai bersudut runcing (60o) dan atap landai
(20o), denah berbentuk bujur sangkar atau persegi yang semuanya mencerminkan
simbolisasi pohon hayat, serta terdapat simbol burung enggang dipuncak masjid.
Kedua simbol ini merupakan identitas dalam mitologi Suku Dayak. Didalam
penelitiannya Aufa menganalisa simbol-simbol etnik dayak yang terdapat didalam
masjid akan tetapi peneliti tidak mengaitkan bagaimana posisi simbol islam di
dalam arsitektur masjid tersebut begitu juga dengan tata ruang dan bentuk ruang
tidak diteliti lebih dalam didalam penelitian ini sehingga latar belakang bentuk
ruang tidak digali secara rinci yaitu faktor sudut pandang pendiri masjid didalam
mengatur bentuk ruang masjid tersebut.
Tinjauan Pustaka lebih luas diperoleh dari penelitian Surat (2011), dengan
judul Asas Pemikiran Seni Bina Masjid Tradisional di Alam Melayu, penelitian
didasarkan pada kajian bahwa tipologi masjid bumbung meru dari alam melayu
adalah didasarkan dari gagasan masjid timur tengah. Kajian ini menggunakan
metodologi perbandingan tipologi masjid warisan alam melayu sebelum abad ke
sembilan belas di Malaysia dan Indonesia serta masjid-masjid yang berada di
19
timur tengah khususnya yang dibangun dalam era dinasti Uthmaniah kajian ini
bertujuan untuk menyumbangkan ilmu tentang tipologi masjid dan memberi
masukan kepada arsitek yang menggunakan pendekatan ’revivalism’ atau
’regionalism’ karena memberi ruang lingkup yang luas sebagai ide dari hal
perancangan masjid. Pada penelitian ini sudah terlihat jelas perkembangan masjid
di Asia dibandingkan dengan tipologi masjid di Timur tengah dimana dipelajari
perkembangan elemen masjid antara dua benua tersebut akan tetapi pada
penelitian ini tidak dilakukan analisa mengenai perkembangan simbol Islam di
dalam Arsitektur Masjid sehingga penelitian yang dilakukan hanya bersifat
deskriptif.
Berkenaan dengan morfologi dan penelitian masjid di Indonesia merujuk
pada Iskandar (2004), dalam tulisanya yang berjudul Tradisionalitas dan
Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid meneliti tentang pengaruh dasar berfikir
islam Tradisionalis dan Modernis terhadap tipologi masjid di Jawa Tengah. Asal
usul arsitektur dan proses perkembangannya sampai saat ini, sering dilihat dalam
dua kacamata pandangan yang berbeda. Pertama, objek arsitektural dianggap
sebagai sesuatu yang unik dan orisinal, karena merupakan ekspresi yang
dipikirkan oleh pembuatnya. Dengan demikian seharusnya tidak mungkin ada dua
objek arsitektural yang persis sama, sekalipun dibuat oleh orang yang sama.
Pandangan kedua, mengatakan sebaliknya bahwa objek arsitektural dapat
memiliki nilai yang sama dengan objek yang lain yang dihasilkan dari aktivitas
yang bersifat repetitif dan bahkan sengaja dibuat agar seterusnya dapat di ulangi
lagi. Penelitian ini lebih lanjut merujuk pada pandangan kedua sebagai acuan.
20
Tindak lanjut dari konsep pengulangan ini tipologi dapat diartikan sebagai sebuah
aktivitas klasifikasi dan pengelompokan tipologi merupakan konsep untuk
mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar,
dengan cara memilah atau mengklasifikasikan keragaman bentuk dan kesamaan
.di dalam penelitiannya iskandar mencoba meneliti perbedaan sudut pandang
organisasi islam akan berpengaruh terhadap arsitektur masjid, akan tetapi hasil
penelitian nya tidak menjelaskan perbedaan yang tegas secara fisik melainkan
hanya konsep pembangunan nya saja. Begitu juga mengenai simbol di dalam
arsitektur masjid tidak dikaji bagaimana perbedaan penerapan simbol pada
masing-masing sudut pandang organisasi islam tersebut. Didalam penelitianya
Iskandar juga tidak mengkaji kaitan sudut pandang Organisasi terhadap morfologi
ruang dan orientasi kiblat bangunan masjid yang dipengaruhi sudut pandang
mereka.
Penelitian selanjutnya yang dirujuk penulis adalah Utaberta, dkk (2009)
dalam judul Tipologi Reka Bentuk Arsitektur Masjid Tradisional di Indonesia
menjelaskan perkembangan reka bentuk serta struktur-struktur masjid Tradisional
yang telah dibangun di indonesia dan pemahaman aspek morfologi dan tektonik
bagi perancangan masjid yang ada di nusantara.didalam penelitianya Utaberta
mengungkapkan bahwa ragam bentuk morfologi masjid di Indonesia lahir dari
pengaruh lokal dimana masjid tersebut berdiri.
Adapun penelitian Rosniza (2008), mempelajari tipologi susunan ruang dalam
masjid di Malaysia dimana di dalam studi dari 50 masjid di temukan 3 tipe
21
kelompok masjid berdasarkan tata ruang, entrance dan hubungannya dengan arah
kiblat. Tipe A adalah entrance mempunyai hubungan yang sejajar dengan kiblat
sedangkan tipe C hubungannya lemah. Tipe A adalah kelompok masjid yang
rata-rata berusia tua dimana sumbu aksis pintu dan kiblat masih sejajar sedangkan
tipe lain dibangun abad ke-19 dan ke-20. Kedua penelitian diatas membahas aspek
tipologi masjid melalui aspek keruangannya.
Fanani (2009), dalam bukunya Arsitektur Masjid membahas bagaimana
masjid pertama dibangun berikut dengan proses perkembangannya serta
menjelaskan elemen-elemen pembentuk bangunan masjid yang ada di Arab
sampai Asia. Penulis juga meninjau tulisan Tjandrasasmita (2009), yang berjudul
”Arkeologi Islam Nusantara”, dimana di dalam bukunya membahas mengenai
sejarah masuknya islam di Nusantara berikut pembentukan dan peninggalan
budaya seni dan Arsitektur masjid.
Peneliti juga meninjau tulisan Nas danVletter (2009),dalam bukunya yang
berjudul ”Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia” dimana didalam
bukunya terdapat kutipan dari peneliti Belanda mengenai morfologi awal masjid
di Nusantara terkait dengan asal usul bentuk morfologi masjid di Indonesia
termasuk keberadaan menara pada masjid.
Dari beberapa tinjauan diatas penulis akan melakukan penelitian mengenai
aspek morfologis akan tetapi penelitian akan mencoba mengkaji aspek ruang dan
perkembangan elemen-elemen arsitektur Masjid di Bali. Adapun penelitian masjid
di Bali penting dilakukan karena bagaimana pengaruh budaya Bali yang sangat
22
kental terhadap perkembangan simbol didalam elemen arsitektur Masjid. Aspek
morfologi merupakan eksplorasi dasar sebelum kita menemukan temuan lebih
lanjut berupa penemuan tipologi bangunan dan pemaknaan bangunan. Faktor
pengaruh morfologi masjid di Jawa dan wilayah lain di Indonesia akan berbeda
dengan faktor pengaruh Morfologi Arsitektur Masjid yang ada di Bali. Perbedaan
faktor pengaruh inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti morfologi
Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali meliputi bagaimanakah bentuk ruang
dan bentuk bangunan masjidnya, serta mempelajari pengaruh Arsitektur Bali
terhadap Morfologi Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali .
2.2 Konsep
Pada bab ini diuraikan beberapa definisi operasional yang terkait dengan
variabel baik itu dari judul ataupun operasional dari judul penelitian ”Morfologi
Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali” sebagai berikut:
2.2.1 Masjid
Secara sederhana masjid adalah bangunan umat muslim yang berfungsi untuk
menampung keperluan beribadah terutama sholat ( Poerwadarminta,2003). Ada
tiga hal yang menjadi pedoman dasar pada setiap bangunan masjid yang juga akan
berpengaruh terhadap perkembangan morfologi masjid, pertama adalah filosofi
umat Islam yaitu menjaga hubungan vertikal antara manusia dan Allah, dan
menjaga hubungan horizontal antara sesama manusia dan alam yang
melingkupinya. Kedua adalah syarat terbentuknya bangunan masjid adalah
adanya posisi imam dan makmum terdiri dari makmum laki-laki dan perempuan,
23
makmum perempuan juga menjadi bagian yang penting dialam mengatur zona
pemisahan gender yang akan mempengaruhi ragam bentuk morfologi ruang
masjid. Dari bentuk dasar imam dan makmum inilah awal berkembanganya
berbagai macam bentuk morfologi masjid di dunia. Faktor selanjutnya yang
menjadi pertimbangan di dalam bangunan masjid adalah orientasi kiblat dan
susunan shaf shalat berjamaah. Orientasi kiblat adalah titik orientasi dimana
jemaah menghadap pada saat melaksanakan sholat yaitu Ka‟bah di Masjidil
Haram. Didalam melaksanakan sholat berjemaah susunan shaf harus rapat dan
tidak boleh terputus sehingga akan berpengaruh pada konsep ruang masjid yang
melihat aturan tersebut sehingga kalau melihat masjid nabawi pada masa awal
hanya berupa lapangan terbuka yang dikelilingi pagar tanpa terdapat tiang
ditengahnya.
Gambar 2.1. Denah Dasar Bangunan Masjid ( Fanani, 2009:69)
Dari uraian di atas masjid memiliki fungsi utama sebagai tempat untuk
melakukan shalat berjemaah dan penyampaian khutbah atau ceramah, akan tetapi
fungsi utama tadi akan selalu diikuti fungsi sosial lainnya karena apabila umat
Imam
Makmum
Imam
Makmum
Qiblat
24
Islam mengikuti Sunnah Rasul maka akan banyak kegiatan yng bisa
dikembangkan di Masjid.
Di dalam bukunya Fanani (2009), ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke
Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid
kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau
membangun masjid yang besar, membangun dunia ini sehingga kota tempat
beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti
harfiahnya adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut
lahir benih peradaban baru umat manusia. Masjid pertama yang dibangun oleh
Rasulullah Saw. Adalah Masjid Quba', kemudian disusul dengan Masjid
Nabawi di Madinah. Masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar
ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti
itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum
munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat
pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak
dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Quran
melukiskan bangunan kaum munafik itu dalam QS Al-Taubah [9]: 107 sebagai
berikut,
”Dan (Begitu pula) orang-orang yang telah mengadakan suatu
masjid untuk suatu bencana dan kekufuran dan memecah belah
diantara orang-orang yang beriman dan untuk mengintip-intip bagi
orang yang memerangi Allah dan RasulNya sebelumnya. Namun
mereka akan bersumpah: ”tidak ada maksud kami, kecuali
25
kebaikan.” Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu
adalah orang yang berdusta. 4
Sedangkan dari segi fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di
Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang
beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah
diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat
konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat
pendidikan, (4)Tempat santunan sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan
alat-alatnya, (6)Tempat pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian
dan pengadilan sengketa, (8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat
menawan tahanan, (10)Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh
peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan
umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Apabila masjid
dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat,
menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda,
pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan
miskin. Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara.
Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat
mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun
diperlakukan terhadap masjid.
4 . Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid IV. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)
1990. hal 3128-3129
26
Morfologi dasar masjid terbentuk dari imam dan makmum, hal ini menjadi
pedoman dasar bentuk ruang bangunan masjid, perkembangan denah bangunan
selanjutnya dipengaruhi perkembangan fungsi dan pembagian gender antara
jemaah laki-laki dan perempuan. Untuk ragam hias tidak ada aturan baku didalam
Arsitektur Masjid karena Islam mencintai keindahan sehingga diperbolehkan
membuat dekorasi didalam Arsitektur Masjid asalkan tidak menggunakan motif
yang dilarang seperti hewan dan manusia.
2.2.2 Kiblat dan Shaf
Kiblat merupakan pusat orientasi pada saat melaksanakan ibadah shalat
baik itu pada saat shalat sendiri ataupun berjemaah. Kiblat merupakan arah
orientasi bangunan Masjid dan Sholat bagi umat Islam tidak terpengaruh arah
orientasi jalan bangunan masjid atau orang sholat akan tetap mengarah ke kiblat di
Masjidil Haram meskipun tidak sejajar dengan bangunan disekitarnya (Akkach,
2005). Arah kiblat dijelaskan juga di dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 115
yang berbunyi:
”Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat; maka kemana juapun
kamu menghadap, disanapun ada wajah Allah; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. 5
Di dalam tafsir Al Azhar dijelaskan oleh sebab itu pada dasarnya
menerangkan agama bukanlah semata-mata urusan pribadi. Agamapun adalah
kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan
amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat kalau sekiranya semua
5 . Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid I. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)
27
orang menghadap kemana saja tempat yang disukainya meskipun yang disembah
hanya satu, disaat itu mulailah ada perpecahan umat tadi, maka didalam Islam
bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya tertentu,
dengan rukun dan syaratnya tertentu, tempat mengahadapkan mukapun diatur
menjadi satu. Masalah kiblat juga dikisahkan dari Anas bin Malik, katanya
Rasulullah bersabda ;
”Barang siapa shalat seperti kita, menghadap kiblat seperti kita dan
memakan binatang sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim
yang berada dibawah perlindungan Allah dan RasulNya. Karena itu
janganlah anda menghianati Allah..6
Masalah kiblat merupakan masalah yang telah lama muncul terutama di
dalam menentukan arah orientasi masjid yang tepat, sulit untuk mengakuratkan
orientasi ke Kabah akan tetapi pendiri masjid dituntut untuk mendekati orientasi
ideal. Berdasarkan tulisan Soedibyo (2012), arah orientasi kiblat masjid yang
paling sentral bagi umat islam yaitu Masjid Quba dan Masjid Nabawi berdasarkan
citra satelit dan penginderaan dengan bantuan teklogi ternyata terdapat simpangan
kiblat dimanah tidak tepat kearah ka‟bah. Pemahaman ini mendatangkan
perspektif baru dalam memandang konsep kiblat. Selama ini kiblat dianggap
identik dengan Ka‟bah sehingga arah kiblat adalah arah hadap ke Ka‟bah. Namun
dengan eksistensi titik simpang Masjid Quba‟ yang sejauh 45 km dari Ka‟bah,
sementara secara hakiki Masjid Quba‟ tetap menghadap kiblat, maka konsep lama
tersebut perlu ditinjau ulang. Kiblat perlu didefinisikan ulang sebagai titik-titik
6 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist
Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 202 hal 135
28
dimanapun berada sepanjang terletak di antara Ka‟bah dan titik simpang masjid
Quba‟. Dan karena arah kiblat berlaku secara universal (dari segenap penjuru
permukaan Bumi), maka titik-titik tersebut sebaiknya terhimpun dalam satu area
berbentuk lingkaran dengan jari-jari 45 km yang berpusat di Ka‟bah. Lingkaran
inilah kiblat dalam konsep yang baru.
Eksistensi lingkaran ini melingkupi seluruh bagian tanah haram Makkah,
yakni area yang menurut perspektif sejumlah cendekiawan Muslim menjadi kiblat
ijtihad (kiblat bagi segenap Umat Islam yang tinggal dan bermukim di luar batas
tanah haram Makkah).Jika kita menarik garis lurus dari sebuah titik di permukaan
Bumi ke arah tepi lingkaran berdiameter 45 km ini dan dibandingkan dengan garis
yang sama namun diarahkan ke Ka‟bah, maka terbentuk sudut tertentu di antara
dua garis tersebut. Dengan redefinisi konsep kiblat seperti di atas, maka sudut ini
merupakan sudut yang dapat ditoleransi (ihtiyathul qiblat). Ihtiyathul qiblat
sekaligus menjadi pembatas bagi akurasi perhitungan arah kiblat dengan
mempertimbangkan variabel-variabel yang belum tercakup dalam perhitungan.
Dengan kata lain, sebesar apapun akurasi perhitungan arah kiblat, akurasi tersebut
dibatasi oleh eksistensi ihtiyathul qiblat.
Konsep berikutnya adalah shaf. Shaf adalah susunan makmum di dalam
shalat berjemaah. Shalat berjemaah terdiri dari minimal dua orang jemaah yang
melaksanakan shalat bersama-sama dimana salah satu menjadi imam atau
memimpin shalat dan satunya lagi mengikuti gerakan imam yang disebut
makmum. Di dalam shalat berjemaah hanya ada satu imam dan jumlah makmum
29
tidak terbatas. Posisi Shalat Berjamaah sangat menentukan perkembangan bentuk
ruang bangunan masjid dimana didalam shalat berjemaah deretan makmun harus
lurus rapat dan tidak boleh ada penghalang antar makmum baik itu berupa dinding
atau tiang bangunan. Terdapat beberapa konfigurasi shalat berjemaah. Untuk dua
orang jemaah maka posisi imam dan makmum sejajar dengan imam disebelah
kanan7.
Gambar 2.2. Posisi Imam satu Makmum, Posisi Imam dua Makmum dan lebih dari dua makmum
Untuk jumlah makmun tiga atau lebih semua posisi makmum dibelakang
imam dengan susunan simetris terhadap posisi imam atau sumbu kiblat untuk tiga
makmum sedangkan untuk jumlah yang lebih tidak harus simetris. Shaf harus
lurus rapat tidak boleh renggang atau kosong bahu dan tumit saling menempel. 8
Shalat tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf belakang atau
terdapat tiang masjid yang menghalangi. Cara menyusun shaf shalat berjemaah
adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf wanita dimulai
dari shaf belakang, hal ini didasari hadist riwayat Muslim yang berbunyi:
7 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist
Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 415 hal 227
8 Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist
Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 404 hal 226
30
” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang
paling buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita
adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.” 9
Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini
didasari oleh QS An-Nur ayat 30-31;
” Katakanlah kepada orang-orang beriman(laki-laki) itu, supaya
mereka menekurkan sebahagian pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih bersih bagi mereka
sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan (ayat
30). Dan katakan pula kepada orang-orang yang beriman
(perempuan) supaya merekapun menekurkan pula sebahagian
pandang mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlah
mereka perlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada yang zahir saja.
Dan hendaklah mereka menutup dada mereka dengan selendang dan
janganlah mereka nampakan perhiasan mereka kecuali kepada suami
mereka sendiri, atau kepada ayah mereka, atau bapak dari suami
mereka, atau anak mereka sendiri, atau anak dari suami mereka(tiri)
atau saudara laki-laki mereka, anak dari saudara laki-laki mereka,
atau anak dari saudara perempuan mereka, atau sesama mereka
perempuan atau siapa-siapa yang dimiliki oleh tangan mereka, atau
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak
yang belum melihat aurat perempuan. Dan janganlah mereka
hentakan kaki mereka supaya diketahui orang perhiasan mereka yang
tersembunyi. Dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-
orang yang beriman agar kamu mendapat kejayaan.” 10
Beberapa kutipan hadist diatas sedikit banyak akan berperan didalam
pertimbangan-pertimbangan bagi umat Islam yang akan mendirikan Masjid, sulit
bagi kita untuk mengatakan mana yang paling benar akan tetapi didalam
penelitian ini mencoba menggali kaitan pandangan mereka yang mendirikan
masjid terhadap tuntunan hadist yang mereka pegang terhadap morfologi ruang
bangunan masjid yang mereka dirikan.
9 Daud Ma‟mur. Terjemahan Hadist Shahih Muslim. I-V . Jakarta:penerbit Widjaya
10
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 7. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)
1992. hal 4924-4925
31
2.2.3 Morfologi
Kata morfologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu morphos, yang
berarti bentuk atau form dalam bahasa Inggris. Pengertian kata morfologi adalah
ilmu tentang bentuk atau the science of form, juga berarti sebagai studies of the
shape, form, external structure or arrangement, especially as an object of study or
classification (Gardiner, 1983). Menurut Alvares (dalam Iskandar,2002),
morfologi sebagai analisis yang mempunyai aspek diakronik dan sinkronik.
Diakronik karena terdapat perubahan ide dalam sejarah sedangkan sinkronik
karena memiliki hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang
berhubungan dengan aspek fisik lain seperti struktur dan tipologi fisik.. Morfologi
lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga untuk memberi
makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu.
Dengan melihat kaitan ini akan bisa dirasakan adanya kaitan yang erat antara
organisasi ruang, hubungan ruang, bentuk ruang dan nilai ruang. Menyangkut
kualitas figural dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui
pola, hirarkhi dan hubungan-hubungan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan
pada cara mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang diwujudkan melalui
bentuk bangunan (Agus,1999).
Menurut Schulz (1979), terdapat perbedaan antara tipologi dengan morfologi.
Jika tipologi merupakan suatu klasifikasi untuk pengelompokkan bangunan
(berarti lebih dari satu bangunan) berdasarkan tipe-tipe tertentu, sedangkan
morfologi menyangkut perubahan bentuk pada satu bangunan. Perubahan bentuk
32
ini, menurut Schulz, menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari
pembatas ruang. Sistem figurasi ruang dihubungkan melalui pola hirarki ruang
maupun hubungan ruang. Oleh sebab itu, kedua terminologi itu tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, baik secara metode maupun substansinya, sehingga
sering disebut dalam satu rangkaian: tipomorfologi. Namun demikian, Moudon
(1994), menyebutkan bahwa tipologi adalah gabungan antara studi tipologi dan
morfologi, yaitu suatu pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan
keruangan. Secara metodologi, untuk bisa merumuskan suatu tipologi arsitektur
dalam arti klasifikasi dan pengelompokkan bangunan berdasarkan tipe-tipe
tertentu, maka harus dilakukan terlebih dulu kajian morfologis pada satuan
bangunan. Untuk kedua hal itu biasanya dipakai metode yang biasa dilakukan
dalam sejarah, yang secara substansi mengikutsertakan aspek-aspek kebudayaan
manusia.
Morfologi pada penelitian ini bukan suatu pendekatan untuk mencari tipologi
akan tetapi mencoba mempelajari morfologi ruang dan bentuk masjid serta
melihat faktor yang mempengaruhi bentuk morfologi tersebut. Kajian ini bersifat
Diakronik karena tidak mendetail membahas proses perkembangan sejarah bentuk
masjid tetapi melihat kondisi masjid saat ini, hal ini dikarenakan masjid di
Denpasar pada umumnya merubah bangunan lama dengan cara membongkar
bangunan asli dan mendirikan bangunan yang baru. Penelitian ini mencoba
melihat bagaimana bentuk masjid di Denpasar serta apakah yang mempengaruhi
bentuk tersebut apakah pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadist atau faktor
33
lainnya.. Tuntunan Al Quran dan Hadist menekankan posisi kiblat didalam
masjid , susunan Shaf sholat berjamaah ,pemisahan gender antara makmum laki-
laki dan perempuan dimana aturan atau tuntunan ini akan mempengaruhi bentuk
morfologi masjid.didalam penelitian ini juga mencoba mempelajari pengaruh
lingkungan terhadap bangunan masjid yaitu Arsitektur Bali akan tetapi peneliti
tidak mengkaji arsitektur Bali secara dalam akan tetapi mencoba menangkap
elemen tambahan di masjid yang tidak biasa digunakan pada Arsitektur Masjid di
Indonesia kemudia menganalisa elemen tersebut apakah terdapat pada Arsitektur
Bali. Penelitian ini juga mempelajari perkembangan elemen arsitektur pada
Masjid di Denpasar terkait perkembangan lambang atau simbol islam yang
umumnya dikenal pada Arsitektur Masjid dan mencari bagaimanakah penggunaan
ragam hias Bali kedalam arsitektur Masjid di Denpasar.
34
2.3 Kajian teori
2.3.1 Arsitektur Islam
Arsitektur Islam adalah hasil perancangan ruang dan sistem binaan yang
berasaskan pada corak hidup umat islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip
dasar Islam. Salah satu masalah dalam arsitektur Islam adalah terletak pada proses
bagaimana kerangka intelektual dalam memahami apa yang dipahami sebagai
arsitektur Islam. Masalah yang mendasar dari proses berfikir dan kerangka
intelektual tadi terletak pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang
umumnya dilakukan oleh banyak orang ketika berbicara tentang arsitektur islam
adalah pendekatan yang berorientasi kepada obyek atau pendekatan yang melihat
produk dari suatu peradaban atau masyarakat Islam sebagai suatu produk yang
Islami Pendekatan yang berorientasi kepada obyek mengidentikkan Arsitektur
Islam dengan bangunan dan elemen fisik dari masjid.
Bentuk-bentuk yang melambangkan Arsitektur Islam tadi lebih merupakan
pembentuk image dan simbol-simbol yang membawa misi tersendiri. Adalah hal
yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari
masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri
Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketika Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu .
Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi ,
apapun bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai
pada masyarakat saat itu (Utaberta,2004)
35
Menurut Utaberta (2011), dengan judul Rekonstruksi Pemikiran dan Filosofi
dan Perancangan Arsitektur Islam Berbasiskan Al Qur‟an dan Sunnah dimana
tulisanya menjelaskan beberapa prinsip dan nilai-nilai yang dapat menjadi dasar
bagi pembentukan kerangka pemikiran, ide-ide dan filosofi Arsitektur Islam
dimana prinsip-prinsip tersebut meliputi delapan prinsip meliputi Prinsip
Pengingatan Pada Ibadah Kepada Tuhan, Prinsip Pengingatan Pada Ibadah dan
Perjuangan, Prinsip Pengingatan Pada Kehidupan Setelah Kematian, Prinsip
Pengingatan Akan Kerendahan Hati, Prinsip Pengingatan Akan Wakaf dan
Kesejahteraan Publik, Prinsip Pengingatan Terhadap Toleransi Kultural, Prinsip
Pengingatan Akan Kehidupan Yang Berkelanjutan, Prinsip Tentang Pengingatan
Keterbukaan.
Nasr (2003), berpendapat bahwa prinsip-prinsip Arsitektur Islam ialah:
1. Unitas (Tauhid)
Hal paling mendasar dalam arsitektur Islam yang bisa kita pahami adalah
konsep Unitas (At-Tauhid) yang tidak lain adalah ideologi prinsip dalam Islam.
Dalam karya, unitas secara arsitektur tercermin dalam saling terkaitnya
berbagai jenis fungsi kegiatan (sekuler dan religi tidak tampil terpisah),
dihilangkannya istilah profan dan sakral. Prinsip unitas tercermin juga dalam
bagaimana diperlakukannya eksterior dan interior. Dapat dirasakan bahwa
antara ruang dalam dan pertamanan, keduanya menjadi satu perpaduan yang
utuh
36
2. Realisme
Realisme, dimana clarity dijunjung tinggi dalam mengartikulasikan fungsi
elemen dan bahan. Setiap material diperlakukan sebagaimana mereka apa
adanya, bukan sebagaimana mungkin mereka tampaknya. Diperlakukan dan
dijunjung tinggi sedemikian rupa supaya menampakkan karakter mereka
sebagai bagian dari kreasi Tuhan.
3. Kesatupaduan dengan tatanan alam
Kesatupaduan dengan Tataan Alami. Dalam rancangan, fitur arsitektur
buatan manusia menjadi satu kesatuan dengan fitur alami. Masjid bukan ruang
suci yang terpisah dari ruang alam, tetapi adalah keluasan ke arah lingkungan
buatan manusia yang selaras dengan alam. Terjadi perpaduan antara harmoni
dan irama.
4. Kehampaan ruang
Melebihi dari aspek-aspek di atas, yaitu sebuah tingkatan di mana ruang
dihayati dan dirasakan secara totalitas dengan penggunaan seluruh indera
manusia; atau kita kenal dengan sense of place. Bagaimana memberi peluang
dan stimulan kepada seseorang untuk memahami hakikat di luar dirinya,
seakan-akan mengajak ke alam immaterial, meninggalkan dunia menuju
spiritual. Sebuah filosofi Cina mengatakan “kosong adalah isi, isi adalah
kosong”. Dalam bahasa arsitektur, dapat kita artikan bahwa sesuatu yang berisi,
ramai, penuh ornamen, sebenarnya tidak lain ialah menyiratkan sebuah
kekosongan atau kehampaan. Sebaliknya, sesuatu yang bersih, polos, tanpa
ornamen, sebenarnya adalah menyiratkan kepenuhan, kematangan,
37
kesempurnaan. Hal ini diterapkan salah satunya pada detail mihrab ruang
sholat yang penuh ornamen menurut beliau justru menyiratkan sebuah
kekosongan pikiran agar kemudian bisa lebih khusyu‟ dalam beribadah.
Adapun Haider (2002), mengemukakan bahwa Arsitektur dapat dikatakan
islami jika melingkupi empat hal. Pertama, kosmologi arsitektur tersebut
mengandung nilai bahwa alam dan manusia mempunyai misi untuk menyembah
Allah SWT. Manusia dianggap sebagai makhluk yang berakal dan berkemauan
bebas namun bertanggung jawab kepada sesama manusia dan alam dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT. Kedua, Arsitektur yang merepresentasi nilai-nilai
sejarah Islam yang terlihat dari dinasti-dinasti Islam, politik dan kota-kota Islam.
Ketiga, Arsitektur yang menghormati konsep halal-haram sebagaiman yang
terdapat dalam hukum islam. Keempat, arsitektur melambangkan spiritualitas
Islam seperti penggunaan hiasan kaligrafi dan arabesques.
Rehman (2002), dalam the Grand tradition of Islamic Architecture
menjelaskan bahwa arsitektur yang islam adalah arsitektur yang berlandaskan
Qur‟an dan Hadist Rasulullah SAW. Bangunan arsitektur tersebut harus sesuai
dengan nilai-nilai: Pertama adalah tauhid dan risalah. Bangunan didirikan tidak
ada didalamnya unsur syirik dalam pembuatannya, desain dan ornament di
dalamnya (termasuk didalamnya penggunaan patung). Bangunan itu tidak dibuat
dengan mengotori atau merusak alam, binatang dan tumbuhan. Oleh karena itu,
hiasan dan ornament interior dalam aristektur Islam banyak menggunakan motif
tumbuhan (arabesques), kaligrafi dan geometri. Kedua, Qur‟an memberikan
38
kesadaran akan lingkungan dan realitas lingkungan. Diantaranya adalah struktur
matematika dalam Qu‟ran yang menghubungkan intelektual dan spiritual Islam
dan Matematika sebagaimana yang terkandung dalam struktur dari Qur‟an sendiri
dan simbol-simbol numeric dari huruf dan kata. Oleh karena itu, seni arsitektur
Islam berkembang dalam konsep geometri, astronomi dan metafisik. Ketiga,
Konsep Desain berbasis geometri murni. Bangunan memiliki “badan” yang
didesain dengan konsep geometri. Adapun jiwanya dapat didesain dengan
memodifikasi pencahayaan, ventilasi, efek suara, lansekap, warna, teksture, dan
interior dan eksterior. Konsep ini bisa dilihat dari rumah-rumah, masjid, makam,
atau taman. Empat, konsep syurga di Bumi. Dalam mendeskripsikan taman-taman
Surga. Arsitektur Islam sangat dipengaruhi dengan konsep taman dan courtyard
sehingga landsekap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangunan. Kelima,
konsep cahaya. Cahaya sebagai simbol spiritualitas dikenal dalam dunia sufi.
Arsitektur Islam mendesain pencahayaan, bayang-bayang, panas dan dingin dari
angin, air beserta efek pendinginnya, dan tanah. Tujuannya adalah agar komponen
insulating ini harmonis dengan alam. Konsep dan nilai tersebut diatas merupakan
framework dalam mendesain rumah yang memiliki nilai-nilai Islam dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT.
39
2.3.2 Morfologi Masjid di Indonesia
Kata morfologi banyak digunakan dalam beberapa bidang keilmuan, yaitu
bagian dari ilmu yang mengacu pada pembahasan tentang bentuk, fungsi dan
makna, dengan demikian morfologi masjid menjelaskan tentang bentuk, fungsi
dan makna suatu masjid. Bentuk masjid awal sebagaimana menurut sejarah adalah
sebuah bangunan sederhana berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang
dikeringkan, tiangnya dari batang kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya.
Denah masjid pada kondisi awal relatif berbentuk bujur sangkar yang kemudian
menjadi panutan bagi dibangunnya masjid-masjid sejenis. Akan tetapi tulisan
mengenai pendirian masjid atau keberadaan masjid pada awal penyebaran islam di
Indonesia banyak ditulis oleh peneliti Belanda dimana mereka menggambarkan
morfologi masjid terdahulu dan darimana gaya yang mempengaruhi masjid
tersebut.
Banyak teori yang berkembang terkait dengan morfologi masjid di
Indonesia diawali oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953), bahwa bangunan
masjid tidak mungkin dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil
dan sempit didalam candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan
sebuah masjid dimana sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar
oleh karena itu beliau berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam
(wantilan) bangunan yang sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum
Islam yang masih ada keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat,
memiliki bumbung dan sisinya tidak memiliki dinding. Sehingga apabila sisi
40
tersebut dibuat dinding dan diberi mihrab pada sisi baratnya maka memenuhi
kriteria sebuah mesjid. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh H.J de
Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih bangunan yang
dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena kegiatan
tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung wantilan hanya
satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid tradisional di
Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid tradisional di
Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar (India). Bukti
yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens van
Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki
denah persegi empat dengan atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat
digunakan untuk belajar agama. Hal yang sama juga ditemukan oleh Graff pada
masjid di Sumatera Barat, berdasarkan perbandinagan inilah yang memperkuat
kesimpulannya bahwa seluruh Masjid tradisional di Indonesia mengambil model
dari Gujarat, Khasmir atau India. Bentuk masjid yang digambarkan oleh graff
yaitu bangunan berbentuk bujur sangkar sesuai dengan aturan di Jawa akan tetapi
di tempat lain di Asia Tenggara boleh menggunakan bentuk persegi panjang, atap
yang khas, beranda dan sebuah ruang tambahan dibelakang yang disebut mihrab.
Namun Begitu menurut Nas dan Vletter (2009) pendapat Graff berbeda
dengan peneliti Belanda Pijper diamana beliau menyebutkan bahwa tipe bentuk
masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa bukan dari pengaruh luar.
Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa yaitu; (1) berdenah bujur
sangkar, (2). lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak
41
memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau
tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan
bale(Banten), (3). memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang
mengerucut ke satu titik di puncaknya, (4). mempunyai ruang tambahan pada
sebelah barat atau barat laut untuk mihrab, (5). mempunyai beranda baik pada
sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi
(Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan (6). memiliki ruang terbuka yang mengitari
masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian
muka sebelah timur. Masjid di dalam penelitian nya juga dijelaskan berdiri di atas
tiang-tiang kayu dan ia juga yakin bahwa masjid-masjid lama memiliki dinding
rapat, sedangkan jendela merupakan penemuan lebih baru. Pernyataan Pijper
bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya
juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi
hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk
arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun
hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand
(Patani), dan Philipina (Mindanau). Akan tetapi pendapat serupa juga dijelaskan
oleh Tjandrasasmita (2009), dimana menurut beliau masjid-masjid kuno yang ada
di Indonesia mempunyai corak atau bentuk yang berbeda dengan masjid yang ada
di negeri lain. Kekhasan masjid-masjid kuno tersebut antara lain: (1) denahnya
persegi empat atau bujur sangkar, (2) atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri
dari dua atau lebih dan semakin keatas semakin runcing, (3) mempunyai serambi
didepan atau disamping ruangan utama masjid, (4) di bagian depan atau samping
42
masjid biasanya terdapat kolam, (5) disekitar masjid diberi pagar tembok dengan
satu, dua, atau tiga gerbang.
Setiabudi (2006), juga mencoba memperkuat penelitian sebelumnya dimana
memperkuat teori bahwa masjid di Indonesia tidak terpengaruh oleh arsitektur
dari luar beliau mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Pijper dimana
Sejarah perkembangan morfologi masjid dijawa diawali dengan masa awal
berdirinya masjid meniru bentuk bangunan lokal yang tergambar di dinding candi
menyerupai bentuk meru dan pendopo atau wantilan di Bali. dimana terus
berkembang dengan memiliki karakter empat pilar ditengah ruang shalat yang
dikenal dengan soko guru dimana atribut tambahan seperti minaret sebenarnya
tidak terdapat pada masjid di Jawa. Dengan menelaah tipologi bentuk dasar dan
sifat dasar tersebut, maka dapat disimpulkan pula bahwa tradisionalitas langgam
arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh sinkretisme, eklektisisme, dan
simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid tipikal tradisional di Jawa yang
memiliki ciri umum sebagai berikut: memakai material kayu, beratap tumpang,
terdapat memolo (hiasan dari puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu),
memiliki tempat wudlu berupa kolam atau gentong, beduk atau kentongan,
serambi atau pendopo, pawestren (ruang shalat wanita), pagar dan gerbang,
makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan tidak bermenara
(kecuali pada perkembangan kemudian). Akan tetapi Aufa (2010) tidak terlau
sependapat bahwa masjid di Jawa mempengaruhi masjid di luar jawa atau model
masjid di Asia Tenggara berasal dari Jawa pendapat beliau diperkuat didalam
penelitiannya terhadap masjid di kalimantan dimana bentuk denah dan atap
43
tumpang pada masjid memiliki makna yang berbeda dimana didalam kebudayaan
dayak bentuk atap masjid melambangkan pohon hayat, selain itu juga terdapat
simbol-simbol didalam ornamen masjid mewakili simbol suku dayak.
Model masjid di jawa mempengaruhi morfologi masjid diluar Jawa juga
diragukan oleh Utaberta dkk (2009), dimana didalam penelitiannya atap tumpang
menyebar diseluruh masjid di Nusantara dan apabila dilihat dari sejarah kerajaan
pertama islam yang berdiri di Sumatera yaitu Samudera Pasai sehingga
seharusnya tipologi masjid mulai berkembang pada wilayah dimana islam
awalnya berkembang, akan tetapi penelitian Utaberta tidak menekankan lebih
rinci mengenai asal bentuk morfologi masjid tua di Indonesia akan tetapi teori
utama yang dikemukakan oleh beliau adalah keberadaan bentuk arsitektur masjid
di Indonesia awalnya lebih dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan masing-
masing daerah hal ini diperkuat dengan penelitian mereka terhadap masjid-masjid
di Padang, Jambi, Bengkulu, Palembang dan Lombok dimana memiliki karakter
bentuk dan makna yang berbeda dengan masjid di Jawa. Di dalam tulisanya
Utaberta juga merinci ciri-ciri khas yang dapat dilihat pada kebanyakan masjid di
Indonesia adalah bentuk asas rata atas tanah yang digunakan. Asas rata yang biasa
digunakan berbentuk segi empat sama dan biasa digunakan pada berbagai jenis
candi di Pulau Jawa. Pada beberapa masjid yang masih terdapat di Pulau Jawa,
pengaruh asas rata candi masih boleh dilihat sehingga kini. Pada bangunan-
bangunan yang juga memiliki fungsi seperti masjid seperti langgar, tajug dan bale,
biasanya dibangun di atas tiang sebagaimana bentuk bangunan tradisional
Indonesia yang lain. Selain dari asas rata, tembok atau pagar bangunan juga
44
merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi pembangunan masjid
tradisional Indonesia. Hanya di kota-kota atau dalam bandar yang tidak
mempunyai halaman yang luas saja dasar pembinaan tembok tersebut tidak
dilakukan. Tetapi pada masjid bentuk Jawa yang asli, tembok adalah suatu yang
penting bagi memisahkan antara „kawasan suci‟ dan „kawasan kotor‟. Pada bagian
hadapan dari tembok biasanya dibangunkan gerbang yang mempunyai bermacam-
macam bentuk dan gaya. Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut
Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura
(Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Tembok yang
mengelilingi sebuah masjid ini sebenarnya bukanlah cirri khas seni bina Muslim,
tetapi merupakan salah satu bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa
yang disebut Pura Desa dan masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa
di Bali terdiri dari tiga halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap
halamannya dikelilingi oleh tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat
pada bangunan-bangunan permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan
masjid seperti makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam
Sunan Giri di Gresik, makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam
suci keluarga Raja Demak yang terdapat di persekitaran Masjid Demak.
Berbeda lagi Morfologi Masjid menurut Iskandar (2004), morfologi masjid
dipengaruhi sudut pandang Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap
Tipologi masjid di Jawa Tengah. Pertama, masjid berbasis masyarakat NU
umumnya memiliki bentuk dasar denah “tradisional Jawa” persegi empat (dalam
arti fisik maupun simbolik); pengolahan denah masjid yang tidak berdasar
45
perhitungan rasional modular tetapi lebih berdasarkan intuisi (metode blackbox)
dan pengalaman imitatif tukang; sinkretisme dan eklektisisme dalam penataan
ruang, bentuk, dan fungsi; adanya orientasi kosmologis dan mistis; komposisi dan
konfigurasi simbolik; penggunaan material tidak diterapkan mengikuti kaidah
teknologik; gaya arsitektur masjid mengikuti langgam tradisional seperti bentuk
atap tajug atau pemakaian kubah berlanggam Timur Tengah Arabian berdasar
persepsi massa ummat Islam tentang “ciri” arsitektur masjid, dan lain-lain. Dari
segi transformasi bentuk, tampak bahwa perubahan bentuk masjid bersifat
inkremental; bentuk masjid tumbuh dan berkembang tanpa sekrenario dengan
tempelan ruang dan bentuk yang tidak selalu menyatu dengan bentuk asal; dan
lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tipologi masjid berbasis
masyarakat Islam tradisionalis (Nahdlatul Ulama) umumnya dominan
menampilkan ciri tradisionalitas arsitektur.
Kedua, sebaliknya, masjid berbasis masyarakat Muhammadiyah melahirkan
tipologi masjid yang tidak terikat pada satu langgam tipikal tetapi mencari
tipologi sesuai dengan konsep dan program rancangan masjid, atau bahkan tanpa
terikat dengan suatu tipologi tertentu penggunaan material untuk konstruksi beton
bertulang misalnya, tidak berdasarkan perhitungan rasional, tetapi berdasarkan
intuisi dan pengalaman tukang; tak ada standarisasi, karena pendekatan rasional
dan ide dalam mengolah bentuk; pengolahan denah dan tapak masjid memiliki
kesetiaan kepada order berdasarkan grid rasional dan modul struktur tertentu;
orientasi rasionalitas, fungsi, dan efisiensi; komposisi dan konfigurasi bentuk atau
struktur berdasarkan pertimbangan estetik dan bukan simbolik/mistik; bentuk
46
bersifat ahistoris, noneklektik, dan non sinkretik; jika memakai idiom tradisional
bentuk tetap diolah secara rasional dan terjadi desakralisasi; penggunaan material
alam/tradisional diolah secara modern baik segi segi teknik maupun estetik, dan
demikian pula penggunaan material buatan sehingga memberi ekspresi
modernitas. Dari segi transformasi bentuk, hasilnya adalah bentuk-bentuk yang
sudah final tanpa transformasi; jika ada perubahan, bentuk mengikuti rancangan
yang terintegrasi dengan bentuk asal atau karakter tapak, dan lain-lain.
Fenomena ini diinterpretasikan lebih jauh, menjadi sebuah konsep adanya
keterkaitan antara doktrin atau faham keagamaan masyarakat pendukung masjid
dengan perwujudan tipologi arsitektur masjid secara langsung maupun tidak
langsung. Penelitian Iskandar membuka ruang kosong yang menjadi pertanyaan
para peneliti sebelumnya yang mencoba berdebat mengenai asal usul gaya
bangunan masjid di Indonesia karena melalui penilitianya ada faktor yang cukup
dominan didalam perencanaan masjid yaitu sudut pandang seseorang atau
kelompok dengan pemahaman yang berbeda akan menghasilkan konsep bentuk
bangunan Masjid yang berbeda pula.
Penelitian selanjutnya yang sangat penting di dalam bangunan masjid yaitu
Morfologi ruang dimana ruang shalat merupakan bagian pertama yang dipikirkan
didalam membangun masjid. Penelitian mengenai ruang dalam masjid dilakukan
oleh Rosniza (2008), menyatakan bahwa masjid di Malaysia memiliki tiga elemen
dasar yaitu pintu masuk, ruang shalat dan teras atau koridor. Adapun susunan dari
ketiga komponen ini akan senantiasa berubah seiring dengan waktu. Mulai dari
awal berdirinya masjid dimalaysia tipologi ruangnya masih sangat sederhana
47
dimana pintu masuk masih membentuk sumbu aksis dengan kiblat ini berlaku
pada masjid antara abad ke-18-19 M. Untuk masjid pertengahan abad ke-19
posisi entrance bangunan melintang terhadap sumbu axis kiblat sudah jarang
ditemukan berada lurus dengan seperti masjid zaman sebelumnya akan tetapi dari
bentuk ruang masih berupa persegi dan persegi panjang. Kategori masjid abad 20
orientasi entrance mengalami perubahan yaitu ada kecendrungan memusat ke
tengah bangunan begitu pula dengan bentuk denah lebih banyak memakai bentuk
memusat seperti lingkaran dan persegi delapan. Pada penelitian Rozniza tidak
dijelaskan kaitan bentuk morfologi ruang tersebut terkait Al-Qur‟an dan Hadist
sehingga keragaman bentuk denah akan menggambarkan pandangan dan
pemahaman mereka yang mendirikan bangunan masjid tersebut.
Menurut Salain (2011), Penerapan arsitektur lokal tidak dilarang didalam
rancangan masjid ,pengaruh yang paling dominan didalam penerapan gaya
arsitektur tersebut adalah konsensus atau kekuasaan. Selain itu penerapan
arsitektur Bali pada masjid justru akan mempererat toleransi hubungan antar umat
beragama.
Didalam penelitian morfologi Arsitektur Masjid di Bali, hal pertama yang
ingin digali adalah bagaimana morfologi ruang masjid terkait dengan bentuk
ruang utama masjid. Kemudian dari bentuk yang didapatkan peneliti mencoba
menggali sudut pandang dan pemahaman jemaah didalam merencanakan sebuah
bangunan masjid. Peneliti juga akan membedah elemen-elemen di dalam
bangunan masjid dimana perkembangan elemen arsitektur masjid menurut Fanani
(2009), meliputi Mihrab yang digunakan untuk imam memimpin shalat, Zulla
48
merupakan ruangan terdepan di dalam masjid yang berbatasan dengan dinding
kiblat, bagian selanjutnya mimbar merupakan podium untuk menyampaikan
khutbah, didalam masjid juga terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada
masjid juga sering terdapat gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada
posisi gerbang masuk kedalam masjid, elemen berikutnya adalah kolom baik itu
pada bagian beranda dan deretan kolom didalam masjid yang terkadang berbentuk
portal-portal tersusun dengan ukiran-ukiran floral atau kaligrafi, bagian
selanjutnya adalah kubah atau atap dimana merupakan elemen yang penting
didalam masjid karena selain berfungsi untuk melindungi bangunan dari hujan
panas juga memberikan karakter yang kuat terhadap bangunan masjid, tempat
wudhu juga menjadi elemen penting didalam pembahasan morfologi masjid,
bagian terakhir yang menjadi elemen pada bangunan masjid adalah menara atau
yang dikenal minaret. Tidak semua elemen diharuskan terdapat didalam masjid
karena bagian penting dari masjid hanya berupa ruangan untuk melaksanakan
shalat berjamaah yang biasanya terdiri dari ruang mihrab dan ruang shalat sudah
cukup untuk syarat sah nya shalat berjamaah. Elemen-elemen pada masjid
tersebut merupakan elemen sekunder yang selanjutnya berkembang
menyesuaikan dengan budaya dimana masjid tersebut berada sehingga sangat
menarik bagaimana perkembangan elemen masjid tersebut di dalam Arsitektur
Masjid di Denpasar Bali.
49
2.4 Model Penelitian
Gambar 2.3. Model Penelitian
Arsitektur Masjid Arsitektur Islam
Morfologi Arsitektur
Masjid Indonesia
Arsitektur Tradisional
Indonesia
Arsitektur Tradisional Bali Keterbatasan Lahan
Islam Minoritas
Bentuk Ruang dan
Bangunan masjid
Ragam Hias Masjid di Dernpasar
MORFOLOGI
ARSITEKTUR MASJID DI
DENPASAR
BALI
Tuntunan Al-Quran
dan Hadist
Lambang dan Simbol Islam
Elemen Arsitektur Bali
50
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif .
Penelitian deskriptif kualitatif menganut paham fenomenologis dan
postpositivisme yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai
kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas sebagai
suatu ciri, karakter, model, tanda atau gambaran tentang situasi atau fenomena
tertentu tanpa membahas makna secara dalam. Penelitian deskriptif pada
umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara
sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat.
Metode rasionalistik-kualitatif merupakan metode dengan peneliti bertindak
sebagai instrumen utama, penelitian dilakukan dengan proses interview secara
mendalam dan mendetail secara silang dan berulang untuk dapat mengetahui
perkembangan kawasan, lingkungan serta perubahan – perubahan yang mungkin
terjadi (Bungin, 2009).
Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi,
dokumen resmi, ataupun data-data lainnya. Metode ini digunakan untuk
menggambarkan bagaimana kondisi di lapangan, proses apa-apa saja yang telah
berlangsung dengan cara diagnosa dan menerangkan hubungan yang terjadi di
lapangan dengan kajian teori, untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan dari
51
masalah yang ada sekarang, yang kesemuanya disusun secara sistematis
berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan (Moleong 2002:7). Penelitian
Deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai
kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu
kepermukaan sebagai suatu ciri, model, karakter dan gambaran tentang kondisi
dan situasi tertentu (Bungin,2009)
Penelitian Ini Bersifat deskriptif untuk memperoleh data kualitatif dengan
cara mengobservasi artefak bangunan masjid sebagai objek kajian. bertujuan
untuk menghasilkan sebuah deskripsi tentang apa yang dialami dan terjadi yang
menyangkut ide atau keingingan masyarakat Muslim yang akan dijadikan sasaran
penelitian, sertra deskripsi pengamatan morfologi masjid dan mengenai prilaku
mereka. Untuk mengetahui morfologi ruang dan wujud masjid digunakan metode
studi kasus yang dilakukan dengan mempelajari 30 kasus dilapangan.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini adalah Kota Denpasar Propinsi Bali. Adapun alasan
penelitian pada lokasi tersebut adalah karena selain sebagai ibukota propinsi Kota
Denpasar memiliki penduduk yang multikultural sehingga kemungkinan
akulturasi semakin besar yang akan mempengaruhi morfologi Arsitektur
Masjidnya.
52
3.3 Jenis dan Sumber Data
a. Data primer
Sumber data Primer dalam penelitian ini adalah dokumentasi berupa foto-
foto dan pengukuran dilapangan sedangkan informasi mengenai keberadaan
masjid diperoleh dari, MUI Denpasar. Data mendalam dalam penelitian ini
diperoleh dari informan kunci yang paham dan mengerti mengenai Masjid
diantaranya, tokoh masyarakat, pengurus yayasan atau pengurus masjid dan
jemaah sekitar masjid.
b. Sumber data sekunder
Sumber data pelengkap dalam penelitian ini adalah dengan mengambil
beberapa sumber tambahan atau pelengkap, yaitu studi kepustakaan berupa
buku-buku yang menunjang penelitian
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang digunakan dengan cara kualitatif dimana
dalam penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data, Yaitu :
1. Wawancara
Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang tepat dan
obyektif dengan cara menggunakan seperangkat pertanyaan baku baik urutan,
kata-kata dan cara penyajiannya dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide untuk memperoleh informasi mengenai Arsitektur Masjid di
Denpasar Bali. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan metode wawancara
mendalam merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan atau
53
tanpa menggunakan pedoman, kekhasan wawancara ini adalah keterlibatannya
dalam kehidupan informan (Bungin,2009).
Wawacara mendalam didalam penelitian ini digunakan agar mendapatkan
data akurat mengenai persepsi dan informasi mengenai objek penelitian.
Adapun informan yang akan diwawancarai atau adalah tokoh-tokoh
masyarakat diantaranya, Pengurus Masjid atau ketua yayasan , dan Jemaah
yang menggunakan masjid jemaah disini adalah jemaah yang berada disekitar
bangunan masjid yang selalu beribadah di masjid tersebut. Selanjutnya
informan yang mewakili Instansi pemerintah diantaranya Departemen Agama,
dan majelis Ulama Indonesia cabang denpasar. Adapun bentuk wawancara
yang digunakan adalah individu dengan individu agar informasi yang
diperoleh bisa lebih luas. Pengumpulan data secara wawancara dilakukan
dengan memberikan jenis pertanyaan yang sama dengan sumber informan
berbeda agar diketahui sudut pandang mereka terhadap objek yang diamati.
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori maka peneliti mencoba
merumuskan daftar pertanyaan wawancara.
2. Observasi
Metode Observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif meliputi
observasi partisipatif, observasi tidak berstruktur dan observasi berkelompok
(Bungin,2009). Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode observasi
partisipatif dimana metode pengumpulan data digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan terhadap objek. Adapun hal hal yang
hendak diamati didalam penelitian ini adalah mengamati aktivitas penggunaan
54
masjid baik itu pada saat shalat ataupun kegiatan lain yang dilakukan didalam
masjid sehingga dapat diamati dimana pembagian ruang berdasarkan gender.
Bagian lain yang akan diamati adalah bagaimana penggunaan ruang didalam
masjid menyesuaikan dengan apa yang dikemukakan didalam wawancara.
Observasi juga dilakukan pada saat shalat jum‟at dimana tambahan ruang yang
sering digunakan apabila ruang dalam masjid tidak bisa menampung jemaah.
3. Studi Dokumentasi
Dilakukan guna mengumpulkan sumber data yang berasal pengukuran
langsung berupa sketsa gambar dan foto-foto baik itu foto elemen bangunan
maupun peristiwa penggunaan masjid atau sumber lain yang mendukung
pengumpulan data penelitian.
Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik Triangulasi
sumber. Triangulasi berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang
berbeda dalam metode penelitian kualitatif (Moleong, 2000:178)
Triangulasi sumber yang digunakan dapat ditempuh dengan cara-cara, antara
lain sebagai berikut (Moleong, 2000:178);
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa
yang dikatakan pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan seseorang pada saat diteliti sepanjang
waktu.
55
d. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang yang seperti rakyat biasa, pejabat
pemerintah dan orang-orang berpendidikan.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang bersangkutan.
Triangulasi sumber dapat di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1. Model triangulasi sumber
Triangulasi sumber penting dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat
dari sumber yang berbeda sehingga peneliti bisa mendiskusikan arguman atau
informasi yang diperoleh dari informan.
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam Penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu
sendiri dan memerlukan instrumen pendukung berupa buku catatan dan kertas
gambar, alat perekam, digital camera, scanner dan sebagainya Peneliti sebagai
Instrument diharapkan memiliki kepekaan teoritik, sehingga mampu unuk
memberikan arti, penafsiran, memberi hipotesa dan melakukan tes-tes terhadap
data yang didapatkan.
56
3.6 Analisis Data
Strategi analisis data adalah Analisis Morfologi
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data mengenai Elemen
pembentuk Arsitektur dan Informasi mengenai makna
a. Pengumpulan Data
rancangan. Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi
dari informan yang mengetahui mengenai sejarah berdirinya masjid dan
penggunaanya.
b. Reduksi Data
Menurut Sanafiah Faizal (1990:43) reduksi data diartikan sebagai
proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan
lapangan.
c. Sajian Data
Sajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang
memungkinkan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan
(Moleong,1995:106). Sajian data ini bertujuan untuk menyusun informasi
yang diperoleh dari penelitian lapangan guna menarik simpulan.sajian data
berupa tabel baik tulisan atau gambar untuk mencari perbedaan dan
kesamaan untuk menguatkan argumen teori yang akan dimunculkan.
d. Kesimpulan atau Verifikasi data
Proses selanjutnya adalah penarikan simpulan yang digunakan sebagai
suatu hasil dari pengambilan data lapangan melalui informan yang
57
mengetahui seluk beluk bangunan masjid di Bali, sehingga diperoleh
kesimpulan mengenai bentuk arsitektur masjid dan elemen-elemen
pembentuknya. Kesimpulan ini dibuat sesingkat mungkin sewaktu
memikirkan kembali yang terlintas di dalam pikiran kemudian
menganalisis selama ia meneliti. Didalam penelitian ini dilaskukan dengan
dua langkah analisis data dimana langkah pertama mengumpulkan data
secara kualitatif dari lapangan kemudian mencocokan atau
membandingkan bentuk morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar dengan
Morfologi Masjid di Timur Tengah .
3.7 Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data yaitu dengan menggunakan tabel dan gambar.
Tabel merupakan penyajian data dalam bentuk kolom dan baris, sedangkan
gambar penyajian datanya melalui bagan, grafik, peta sketsa dan foto. Cara
lainnya yaitu dengan naratif yaitu brupa penguraian-penguraian. Karena penelitian
ini merupakan penelitian morfologi sehingga dibutuhkan perkawinan antara tabel
dan gambar, yaitu gambar-gambar disusun di dalam bentuk tabel sehingga
pengelompokan akan lebih mudah di baca.
58
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Masjid di Denpasar Bali
Belum terdapat data yang akurat baik dari Majelis Ulama Indonesia maupun
dari departemen Agama mengenai jumlah bangunan Masjid di kota Denpasar. Hal
ini dikarenakan Masjid di Bali sering juga disebut dengan istilah Musholla
padahal secara fungsi memiliki kesamaan dimana salah satu syarat yang harus
dipenuhi oleh bangunan masjid adalah diselenggarakannya ibadah sholat jum‟at.
Mengkategorikan Masjid tidak bisa dari ukuran skala bangunan. Rasullullah
bersabda:
” Barang Siapa, demi keridhaan Allah, mendirikan sebuah masjid walaupun
seluas burung merpati, niscaya Allah akan membangunkannya istana di syurga” 11
Berdasarkan hadis tersebut sulit kita mengkategorikan bangunan masjid
berdasarkan ukuannya. Sehingga peneliti melakukan sensus terhadap bangunan
masjid dan musholla di Kota Denpasar dan mengkategorikan kembali bangunan
yang seharusnya berfungsi sebagai masjid. Kategori masjid juga sering dikaitkan
dengan dilaksanakan Sholat Jum‟at dan Sholat lima waktu didalamnya. dari segi
fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan
fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah
mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid
11
. Ash Shidiieqy, M.A. 1970. Koleksi Hadist-Hadist Hukum Al-Ahkamun Nabawiyah.Hadist
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim (577) hal 345. Bandung: PT Alma‟Arif
59
Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat konsultasi dan komunikasi
(masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat pendidikan, (4)Tempat santunan
sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, (6)Tempat
pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa,
(8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat menawan tahanan, (10)Pusat
penerangan atau pembelaan agama. Pemilihan kasus juga pertimbangan gaya
arsitektur yang digunakan meliputi masjid yang menggunakan kubah bergaya
Timur Tengah, masjid yang menggunakan atap tumpang, masjid yang
menggunakan pagar dan tanpa pagar, masjid yang memiliki gerbang masuk
bergaya Arsitektur Bali, modern dan Timur Tengah. Bentuk ruang meliputi
konsep perletakan tiang dan dinding pembatas serta arah kiblat bangunan dan
sholat juga menjadi pertimbangan penetapan kasus.
Berdasarkan pertimbangan diatas peneliti memilih 30 kasus sebagai objek
pembahasan dimana penyaringan kasus selain objek termasuk kategori masjid
juga memilih sample yang mewakili kesamaan bentuk dan rupa pada sample yang
ada seperti bentuk tata ruang, gaya arsitektur dan elemen lainnya. kasus-kasus
tersebut meliputi; Masjid An-Nur (1), Masjid Masjid Al Furqon (2), Masjid
agung Sudirman (3), Masjid Al Falaq (4), Masjid Al-Ghurabah (5), Masjid Al-
Ikhlas (6) Masjid Nurullah (7), Masjid Quba (8), Masjid Nurut Taqwa (9), Masjid
Suci (10), Masjid Raya Ukkhuwah (11), Masjid Al-Ikhlas (12), Masjid Baitul
Makmur (13), Masjid Bina Taqwa (14), Masjid Al-Muhajirin IKMS (15), Masjid
60
Baitul Muqimin (16), Masjid Ar-Rahmat (17), Masjid Al-Qomar (18), Masjid Al
Muhajirin (19), Masjid Sadar (20), Masjid Baitul Mukminin (21), Masjid Al Falah
(22), Masjid Asy Syuhada (23), Masjid Al-Ihsan (24), Masjid Ar-Rahman (25),
Masjid Al Hikmah (26), Masjid At-Taqwa (27), Masjid Baitturahman (28),
Masjid Darussalam (29),Masjid Al Furqon Gatsu (30). Berdasarkan jumlah kasus
tersebut peneliti akan mendeskripsikan beberapa kasus yang dianggap mewakili
karakteristik dari masjid di Denpasar.
Gambar 4.1. Tampak 30 kasus masjid di Denpasar
62
4.1.1 Masjid An Nur
Masjid ini terletak di Jalan Diponegoro no 167. Awal berdiri masjid pada
tahun 1942 kemudian direnovasi pertama kali pada tahun 1955, dimana perletakan
batu pertama dilakukan oleh tokoh Masyumi, Muhammad Natsir. Pada saat itu
bangunan masjid tersebut bernama Masjid Sanglah. yang artinya singgah diambil
karena pada mulanya daerah pembangunan masjid tersebut adalah daerah
singgahnya orang-orang yang berasal dari daerah lain di Bali yang kebetulan
merantau. Pada tahun 1962 Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Sanglah
berubah nama menjadi masjid An-Nur. Renovasi bangunan masjid dilakukan
kembali pada 13 Mei 1978 dan selesai pada 1 Maret 1982, dan bentuknya masih
bertahan sampai saat ini.
Bangunan Masjid An Nur memiliki luas sekitar 850 m2 berupa bangunan dua
lantai. Masjid An Nur berdiri diatas lahan berbentuk persegi panjang dengan luas
lahan sekitar 650 m2. Bangunan sejajar dengan bentuk lahan sisi lebar dan
panjangnya. Tepat diseberang bangunan masjid terdapat bangunan pengurus
yayasan yang sebagian disewakan untuk keperluan yayasan berupa petak toko dan
gedung serbaguna yang luas nya sekitar 600 m2. Fungsi tambahan pada bangunan
Masjid An-Nur adalah tempat menyelanggarakan pengajian rutin dengan
mendatangkan penceramah dari luar Bali, tempat untuk melakukan perawatan
jenazah, tempat untuk belajar mengaji dan bimbingan untuk muallaf. Bangunan
Masjid An-Nur terdiri dari dua lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang
sholat tambahan yang digunakan pada sholat Jum‟at dan juga terdapat ruang
sholat khusus jemaah wanita yang dibatasi oleh partisi berupa tirai kain.
63
Gambar 4.3. Fasad depan masjid dan denah Masjid An Nur
Bentuk gubahan massa bangunan mengikuti bentuk tanah dan memiliki jarak
sekitar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan, pada sisi dinding barat atau kiblat bangunan
berjarak 3 m dari pagar yang berbatasan dengan jalan dimana terdapat ruangan
pengurus masjid, wc dan ruang wudhu laki-laki pada sisi kiri, dan ruang wudhu
64
wanita pada sisi kanan. Dari ruang wudhu wanita terdapat pintu samping yang
menuju ruang sholat wanita akan tetapi pembatasan hijab belum sempurna karena
masih berpapasan antara makmum laki-laki dan wanita karena makmum laki-laki
sering sholat di lantai dasar. Pada bagian sisi timur bangunan masjid memiliki
jarak delapan meter dari pagar yang berbatasan dengan jalan utama dimana pada
sisi selatan dan utara halaman depan masjid terdapat tempat wudhu khusus laki-
laki. Sebelum memasuki halaman depan masjid terdapat sebuah gerbang yang
menyatu dengan pagar depan masjid. Masjid An-Nur memiliki sebuah menara
atau minaret pada halaman depan pojok sebelah kanan. Halaman depan masjid
dimanfaatkan untuk parkir motor dan sebagai ruang sholat pada saat sholat jum‟at.
Ruang sholat utama masjid An-Nur berada di lantai dua. Arah orientasi bangunan
pda Masjid An-Nur tidak tepat mengrah kiblat melainkan kearah barat. Begitu
juga dengan arah orientasi sholat sejajar dengan orientasi bangunan berdasarkan
informasi takmir dan pengurus masjid An-Nur hal tersebut tidak terlalu
dipermasalahkan karena ada sedikit toleransi mengenai arah kiblat.
Masjid An-Nur memiliki bentuk gubahan massa yang sederhana dimana dari
tampilan bangunan mencerminkan arsitektur modern dengan bentuk geometri
sederhana berupa kubus . Dasar bangunan masjid berupa bangunan solid tanpa
kolong dibawahnya. Tinggi pondasi lantai sekitar 20 cm dari permukaan halaman
masjid. Bagian tubuh masjid An Nur yaitu ruang utama masjid menghindari
terdapatnya tiang yang bisa memutus shaf sholat berjemaah kecuali pada ruang
sholat lantai bawah karena alasan struktur tiang bangunan tetap menjadi bagian
penting bangunan sehingga baris shaf menyesuaikan terhadap posisi tiang
65
bangunan. Ruang mihrab pada Masjid An-Nur secara arsitektural tidak memiliki
bentuk khusus melainkan hanya berupa penjorokan ruang kedepan (lihat gambar
4.4) Sedangkan mimbar hanya berupa meja kecil yang tidak memiliki tangga
seperti mimbar di Timur Tengah.
Gambar 4.4 . Foto mihrab dan mimbar Masjid An Nur
Dinding bangunan masjid membatasi seluruh bagian dalam bangunan baik itu
di lantai dasar maupun lantai atas bangunan. Jendela masjid berbahan kayu dan
memiliki bentuk yang sederhana berupa persegi panjang yang mengisi antar
kolom bangunan. Akan tetapi permainan dinding di depan jendela membentuk
karakter masjid berupa bentuk lengkung yang membingkai jendela di
belakangnya. Selain sebagai elemen estetik, bentuk lengkung juga berfungsi untuk
menahan sinar matahari dan hujan agar tidak langsung ke bangunan. Untuk kolom
tidak ada bentuk khusus melainkan hanya berbentuk persegi panjang yang
berfungsi sebagai struktur. Hanya pada kolom lantai bawah bagian depan yang
ditambah profil tiang bergaya arsitektur Bali dengan bahan batu alam dan ekspos
bata merah (Lihat gambar 4.5)
Mihrab Masjid An-Nur Mimbar Masjid An-Nur
66
Gambar 4.5 Kolom Masjid An-Nur
Bentuk atap masjid secara geometri terlihat rata tanpa bentuk atap yang
menyudut akan tetapi apabila dilihat dari atas maka atap berbentuk limas yang
dikelilingi atap beton yang berfiungsi sebagai talang air. Bentuk atap tidak tampak
karena selain ukuran atap yang kecil ditambah sudut kemiringan atap sekitar
limabelas derajat. Plafon bangunan masjid menggunakan bahan tekwood pada
lantai atas dan menggunakan gypsum pada plafon lantai dasar. Desain plafon
berbentuk polos hanya pada bagian tengah ruang sholat utama yang ada
permainan bentuk berupa susunan balok memanjang dan atap lengkung yang
memiliki pola dasar bentuk lengkung kubah, akan tetapi dibuat memanjang.
Bangunan masjid An-Nur memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar
sebelum memasuki bangunan. Gerbang ini dibangun menyusul setelah bangunan
utama berdiri dan memiliki karakter desain yang berbeda dengan bangunan
masjid. Gerbang masuk terdiri satu akses dengan membentuk portal berbentuk
lengkung menyerupai kubah. Diantara gerbang dan bangunan masjid dihubungkan
oleh atap beton yang terdapat kubah kecil ditengahnya dengan sentuhan cat prade
emas. Untuk desain pagar dan gerbang menjadi satu kesatuan dengan
menggunakan finishing batu marmer berwarna coklat muda, dari bentuk dan gaya
67
gerbang mengadopsi bentuk portal pada bangunan Masjid Nabawi dan Masjidil
Haram di Arab Saudi.
Gambar 4.6 Gerbang dan pagar masjid An Nur
Masjid An-Nur memiliki menara yang memiliki ketinggian sekitar dua belas
meter. Ketinggian bangunan di Bali dibatasi sehingga menara berfungsi sebagai
elemen pelengkap bangunan.. Dari fungsi tersebut menara masjid yang ideal
memiliki ketinggian sekitar 16 meter keatas. Hal ini bertujuan agar terlihat dari
kejauhan yang memudahkan jemaah yang mencari masjid dan memberikan kesan
monumental pada bangunan. Ragam hias pada bangunan terdapat pada gerbang
dan dinding depan lantai dasar bangunan masjid. Ragam hias dinding masjid dan
pagar memiliki gaya yang berbeda di mana , pada gerbang mengadopsi gaya
Timur Tengah sedangkan pada bagian dinding masjid bagian depan menggunakan
corak Arsitektur Bali yang dihiasi oleh ayat-ayat al-Qur‟an pada bagian
tengahnya.
68
4.1.2 Masjid Al-Furqon
Masjid selanjutnya sebagai kasus kedua adalah Masjid Al-furqon yang
beralamat di Jalan PB Sudirman di komplek TNI Kodam Udayana memiliki luas
bangunan sekitar 400 m2 . Bangunan masjid mulai berdiri pada tahun 1982
berupa bangunan satu lantai kemudian dikembangkan lagi kebelakang akan tetapi
tetap bangunan satu lantai. Pada tahun 2002 bangungan direnovasi total sampai
dengan bentuknya saat ini berupa bangunan dua lantai. Masjid al Furqon tidak
memiliki fungsi tambahan hanya ada ruangan dilantai atas yang dimanfaatkan
untuk anak-anak belajar mengaji. Hampir sama dengan kasus pertama arah kiblat
masjid ini sejajar dengan orientasi bangunan yaitu ke barat ada toleransi orientasi
kiblat yang seharusnya sekitar 35 derajat ke arah utara. Bentuk lahan Masjid ini
melebar pada bagian bawahnya dimana bentuk bangunan masjid dibuat optimal
mengikuti bentuk lahan yang tidak simetris tersebut.
Ruang utama masjid berada di lantai dasar bagian depan berbentuk siku pada
sisi kiri bangunan sedangkan pada bagian kanan dinding jika menghadap kiblat
melebar kebelakang. Pada ruang utama masjid terdapat banyak kolom struktur di
tengah ruangan yang secara modular tidak teratur sehingga banyak shaf sholat
yang terputus. Pada bagian depan ruang sholat utama terdapat void atau bukaan
yang dapat melihat ke ruang sholat lantai atas. Ruang sholat khusus wanita berada
di pojok kiri bawah masjid atau bagian tenggara yang dibatasi oleh anyaman
dinding rotan yang tidak permanen. Ruang maihrab Masjid Al Furqon bearada di
sisi bagian depan lantai dasar masjid, dengan sebuah mimbar di sisi kanan ruang
mihrab dilihat dari arah menghadap kiblat.
70
Dinding bangunan masjid Al Furqon tidak terlalu terdapat elemen arsitektural
yang kuat melainkan hanya berfungsi sebagai pembatas lingkungan ruang dan
dalam. Hampir bisa dikatakan bangunan masjid ini tidak memiliki jendela
melainkan hanya berupa jendela kecil dan lubang udara hal ini dikarenakan posisi
bangunan berbatasan langsung dengan jalan sehingga tidak memungkinkan untuk
membuat jendela berukuran besar. Permainan dinding yang memberikan karakter
masjid adalau permainan lisplank struktur lantai dua yang dibuat deretan
lengkungan setengah lingkaran. Bangunan masjid al Furqon tidak memiliki tiang
bangunan yang dihias secara khusus hanya berupa kolom berbentuk dasar persegi
panjang yang sebagian dilapisi dengan batu marmer.
Gambar 4.8. Foto dinding luar dan plafon atas Masjid Al-Furqon
71
Atap bangunan masjid menggunakan bentuk yang tidak umum pada masjid di
Indonesia pada umumnya dimana biasanya berbentuk menyerupai wantilan atau
atap limasan akan tetapi pada masjid Al- Furqon atap berbentuk atap perisai yang
memanjang menyerupai atap bangunan rumah tradisional Bali. Selain itu secara
konsep struktur atap tersebut dibuat tidak menyatu dengan dinding tembok
berfungsi sebagai ventilasi. Plafon masjid pada lantai atas berbahankan plywood
yang dcat putih dengan mengekspos balok berbentuk lengkung yang menopang
atap, sedangkan plafon lantai dasar menggunakan plafon gypsum. Masjid Al
Furqon tidak memiliki gerbang atau pagar keliling bangunan melainkan hanya
terdapat pagar pada bagian barat sisi bangunan (ruang mihrab). Terdapat satu
menara masjid berbahan beton bertulang berwarna putih pada bagian depan ruang
mihrab yang memiliki diameter sekitar 2x2 meter dengan 5 ruas bagian jika
ditotalkan memiliki ketinggian sekitar 12 meter.
Gambar 4.9. Foto menara masjid Al-Furqon
Terdapat dua tempat wudhu pada masjid Al Furqon yaitu disisi tenggara
bangunan dimana digunakan oleh makmum laki-laki dan di sisi utara bangunan
yang juga terdapat wc didalamnya berjarak sekitar 25 meter dari bangunan utama
dan dikhususkan untuk wudhu wanita. Ragam hias dan ornamen tidak terlalu
72
menonjol pada objek ini melainkan hanya berupa ukiran pada pintu masuk utama
dan tempelan ornamen pada bagian pagar depan masjid dan pada ujung jurai luar
atap yang bercorak arsitektur Bali.
Tempat Wudhu Tempat Wudhu
Gambar 4.10. Tempat wudhu, pagar dan pintu utama Masjid Al-Furqon
4. 1. 3 Masjid Agung Sudirman
Kasus ketiga adalah masjid Agung Sudirman beralamat di jalan PB sudirman
komplek perkantoran Kodam IX Udayana memiliki luas bangunan sekitar 1500
m2 dengan luas lahan 7500 m2. Didirikan pada tahun 1983 dan direnovasi
kembali sampai bentuk saat ini pada tahun 1995.bangunan baru membongkar
seluruh bangunan sebelumnya sehingga tidak ada bagian yang masih bertahan saat
ini. Masjid agung sudirman memiliki lahan yang paling luas dari semua masjid
yang ada di Denpasar sehingga didalam satu lahan tersebut terdapat fungsi
73
tambahan yakni berupa sekolah tingkat dasar dibawah yayasan masjid Sudirman.
Bangunan Masjid Sudirman memiliki bentuk hall terbuka yang menyerupai
bentuk wantilan dan memiliki konsep terbuka tanpa dinding.
Gambar 4.11. Fasad depan , ruang dalam dan fasilitas penunjang sekolah di Masjid
Agung Sudirman
Untuk ruangan masjid hanya terbagi dua yaitu ruang sholat makmum laki-laki
pada bagian depan dan sepertiga ruangan dimanfaatkan untuk ruang sholat wanita,
sedangkan pada ruangan mezanin digunakan untuk ruang sholat wanita pada saat
tarawih dan ruang sholat laki-laki pada saat sholat jum‟t. Pada bagiam depan
sejajar dengan ruang mihrab digunakan untuk ruang takmir dan pengurus masjid.
Sedangkan bangunan diluar masjid pada bagian depan digunakan sebagai ruang
penjaga masjid dan gudang. Pada sisi utara bangunan masjid atau sisi kanan
apabila menghadap kiblat terdapat sekolah tingkat dasar berupa bangunan
berlantai dua.
74
Orientasi bangunan Masjid Sudirman menghadap ke kiblat dengan membentuk
sudut 34,50 o dari arah barat menuju arah barat daya, sehingga orientasi kiblat dan
bangunan sejajar. Bangunan Masjid terletak ditengah lahan, karena ukuran lahan
yang cukup luas maka bangunan tidak terlalu menyesuaikan bentuk lahan
sehingga bangunan berbentuk simetris . Pondasi bangunan berupa lantai permanen
dengan ketinggian sekitar 25 cm dari lantai sekeliling masjid dengan dikelilingi
teras pada sisi utara, timur dan selatan bangunan, karena konsep bangunan tanpa
menggunakan dinding maka sehingga di sekeliling teras dibatasi oleh pot-pot
memanjang yang membentuk taman sehingga membentuk ruang pembatas semu
antara ruang dalam dan luar.
Gambar 4.12.Denah Masjid Agung Sudirman
Ruang utama masjid Agung Sudirman memiliki ukuran yang besar tetapi
masih terdapat kolom didalam ruang dengan modul sekitar 5m dan keberadaan
tiang-tiang tersebut juga memutus shaf shalat berjamaah. ruang utama berkesan
75
luas dan monumental hal ini disebabkan selain ukran ruang yang besar juga
ketinggian plafon yang mengikuti bentuk atap. Untuk ruang mihrab pada Masjid
Agung Sudirman memiliki lebar sekitar lima meter dan dilengkapi dua buah
mimbar di sisi kiri dan kanan nya. Profil dinding mihrab dihiasi oleh bentuk
kubah setengah lingkaran dengan seperempat kubah disisi kanan dan kirinya,
dengan tekstur yang rata dengan dinding depan ruang sholat. garis profil hanya
berupa perbedaan penggunaan material yaitu menggunakan granit berwarna
hitam. Di bagian atas mihrab terdapat tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an.
Gambar 4.13. Mihrab dan kolom Masjid Agung Sudirman
Masjid Agung Sudirman tidak memiliki dinding bangunan melainkan
menyatu dengan halaman akan tetapi sekeliling masjid dibatasi oleh taman dan
pagar keliling bangunan sehingga bangunan tidak terasa begitu terbuka. Untuk
kolom dan portal masjid ini menggunakan profil pada tiang yang menyatu dengan
balok sehingga memberikan kesan dinamis pada tampilan kolom yang
membentuk portal tersebut. Pada kaki kolom atau tiang terdapat penebalan bentuk
dan diberi pelapis granit berwarna hitam dengan profil granit putih ditengahnya.
76
Bentuk atap Masjid Agung Sudirman berupa atap limas bertingkat dua yang
menurut hasil wawancara mengaplikasikan konsep arsitektur Bali yaitu wantilan,
karena dianggap cocok untuk iklim dan bentang yang lebar. Struktur atap dibuat
dari bahan beton selain berfungsi untuk menahan beban gaya juga memiliki nilai
estetika terhadap plafon bangunan yang dibuat mengikuti bentuk atap.
Gambar 4.14. Bentuk atap dan plafon Masjid Agung Sudirman
Gerbang masuk menuju Bangunan dibuat dari bahan pipa baja dan setengah
tiang dari bahan beton sehingga tidak terlalu menonjol. Bangunan masjid Agung
Sudirman tidak memiliki menara atau minaret karena tinggi atap bangunan
dianggap mencukupi ketinggiannya. Terdapat tiga tempat wudhu pada bangunan
masjid dua pada sisi kanan dan kiri bangunan masing-masing dilengkapi wc untuk
wudhu laki-laki dan pada bagian depan masjid atau sisi timur masjid yang
berfungsi sebagai tempat wudhu wanita yang langsung terhubung dengan ruang
sholat wanita. Masjid Agung Sudirman tidak terlalu menonjolkan ragam hias
maupun ornamen, elemen tersebut hanya terdapat pada jurai luar atap, dasar tiang,
dan balok struktur bangunan.
77
4.1.4 Masjid Al-Falaq
Kasus ke empat adalah masjid Al-Falaq beralamat di Jl. M.T. Haryono II No.
14, Denpasar. Masjid ini baru berdiri pada 1 April 2011 berupa bangunan dua
lantai dengan bentuk denah persegi panjang berukuran 7,5 x 12,5 m dengan total
luas bangunan sekitar 100 m2 berada dilahan seluas 140 m2. Tidak ada fungsi
tambahan pada bangunan masjid melainkan hanya sebagai tempat melaksanakan
sholat berjamaah, hal ini disebabkan terbatasnya lahan untuk fasilitas penunjang.
Ruang masjid hanya terdiri dari ruang utama untuk melaksanakan sholat, ruang
wuhu dan wc serta ruang pengurus dan takmir masjid. Ruang sholat utama berada
dilantai dasar dengan ruang mihrab didepannya, ruangan terbagi manjadi dua
dibagian depan digunkan untuk makmum laki-laki dan bagian belakang
seperempatnya digunakan untuk makmum perempuan. Pembatas hijab antara
makmum laki-laki dan perempuan menggunakan partisi berbahan rotan yang tidak
permanen.
Arah kiblat dan bentuk lahan hampir sejajar orientasinya sehingga arah kiblat
ruang sholat hanya bergeser sekitar 15o kearah Barat Daya, jadi masjid Al-Falaq
tetap konsisten terhadap arah kiblat walaupun hanya berbeda sedikit
toleransinya.lantai masjid langsung pada fundamen yang masif seperti yang
dikemukakan pijper bahwa bangunan msjid kuno di Indonesia berbeda dengan
bangunan vernacular yang bebrbentuk kolom. Pada bangunan ini memiliki
ketinggian lantai sekitar satu meter dari tanah atau permukaan jalan samping
78
masjid, hal ini bertujuan untuk menjaga kebersihan masjid dan membedakan
hirarki ruang yang tegas dengan lingkungan luar.
Gambar 4.15. Fasad dan denah Masjid Al-Falaq
Ruang utama masjid Al Falaq berukuran 7,5 m x 10 m, tidak ada tiang di
tengah ruangan sehingga shaf jemaah tidak terputus tinggi plafon sekitar empat
meter sehingga memberikan kesan yang luas terhadap ruang sholat utama akses
masuk keruang utama terdapat pada sisi kiri dan kanan bangunan masjid dan pada
79
bagian sisi samping kiri belakang yang langsung terhubung dengan ruang wudhu ,
dari ruang wudhu terdapat akses tegak lurus terhadap ruang mihrab menuju ruang
sholat . Ruang mihrab memiliki ketinggian lantai yang sejajar dengan ruang sholat
utama dimana bentuk gerbang mihrab merupakan atap kubah yang dibuat
bertingkat dua dengan penegasan bentuk menggunakan perbedaan warna dengan
menggunakan granit berwarna hitam yang kontrs dengan dinding pada bagian
kiblat yang berwarna cream atau cokelat muda. Masjid Al Falaq memiliki dinding
bangunan yang masif dengan menggunakan jendela yang berukuran besar dengan
bentuk lengkung setengah lingkaran pada puncak yang letaknya simetris terhadap
modul truktur kolom atau tiang bangunan. pada bagian dalam dinding bengunan
dilapisi keramik berwarna cokelat muda sedangkan pada bagian luar dinding
ebagian dilapisi oleh batu alam dan sebagian lagi hanya dicat warna cream dan
coklat. kolom atau tiang bangunan masjid ini polos tanpa ragam hias
disekelilingnya penampangnya hanya berbentuk persegi panjang yang difinishing
cat dan keramik. Bangunan masjid hanya memiliki dua teras kecil disisi kanan
dan kiri bangunan tidak emiliki serambi keliling. Bangunan Masjid Al-Falaq tidak
menggunakan atap tumpang melainkan hanya berupa atap datar berbahan beton
bertulang yang ditambahi bentuk kubah yang kecil yang tidak mendominasi pada
bagian tengah atapnya untuk plafon bangunan menggunakan bahan gypsum
dengan motif bentuk pada bagian tengah plafon menggunakan motif bintang
delapan. Bangunan juga memiliki satu menara yang berdiri pada bagian puncah
tepatnya pojok kanan dinding kiblat masjid yang menemani dominasi atap kubah.
Bangunan masjid tidak memiliki gerbang dan pagar keliling. Pagar hanya terdapat
80
pada teras samping dan pada bagian depan bangunan yang berbatasan dengan
jalan umum. Ragam hias pada bangunan masjid terdapat pada jendela dan pintu
yang menggunakan kaca patri berlafaskan ayat-ayat suci Al-Quran.
4.1.5 Masjid Al-Ghurabah
Masjid selanjutnya yang menjadi kasus kelima adalah Masjid Al-Ghurabah,
masjid ini terletak di jalan tengku umar denpasar masjid ini dahulunya adalah
rumah tinggal yang kenudian diubah funginya menjadi masjid dan didirikan pada
tahun 1998 dengan luasan bangunan sekitar 341 m2 diatas lahan 350 m2,
berbentuk bangunan satu lantai dengan tambahan lantai dua di bagian belakang
bangunan yang digunakan untuk pengurus dan takmir masjid. Masjid ini tidak
memiliki fungsi penunjang . fungsi ruang meliputi ruang utama yang digunkan
untuk sholat berjamaah bagi makmum laki-laki memiliki luas sekitar 160 m2
kemudian ruang sholat wanita pada bagian belakang sebelah kiri membentuk
ruang tersendiri dan dibatasi oleh tirai kain. Pada bagian belakang sebelah kanan
terdapat ruangan yang igunakan untuk anak-anak mengaji. Ruang sholat dan
mengaji digunkan oleh makmum laki-laki pada saat melaksanakan sholat jum‟at.
Ruang wudhu laki-laki terdapat pada bagian depan bangunan yang dapat diakses
langsung sebelum memasuki masjid sedangkan ruang wudhu wanita berada
didalam bangunan disebelah ruang mengaji yang juga dilengkapi dengan kamar
kecil. Orientasi bangunan kearah barat sejajar dengan bentuk lahan akan tetapi
untuk arah sholat tidak mengikuti bangunan melainkan di belokan 34,5o derajat
kearah Barat Daya. Bentuk ruang disisi utara bangunan mengikuti bentuk lahan
yang tidak siku.
82
Bangunan berdiri diatas fundamen masif dengan ketinggian sekitar tiga puluh
sentimeter dari permukaan jalan. Ruang utama masjid memiliki bentang lebar
tanpa kolom atau tiang ditengahnya sehingga shaf tidak terputus, akan tetapi pada
ruang tambahan di sisi utara terdapat tiang sehingga memutus sebagian kecil garis
shaf, berdasarkan hasil wawancara pengurus dan takmir masjid memahami aturan
mengenai susunan shaf sholat berjemaah sehingga susuan shaf diatur agar tidak
banyak yang terputus oleh tiang atau dinding. Akses masuk menuju ruang utama
terdapat dua pintu besar disebelah sisi kiri kalau menghadap kiblat atau disisi
selatan bangunan yang langsung berbatasan dengan jalan umum.. Mihrab
bangununan berukuran 2x2 m dengan benrtuk gerbang menggunakan bentuk
proyeksi lengkungan kubah dimana penegasan bentuk tidak menggunakan
perbedaan warna akan tetapi dengan menonjolkan bagian sehingga berbentuk
profil yang membingkai gerbang ruang mihrab. Bahan profil mihrab sama dengan
dinding pada sisi kiblat yaitu menggunakan batu marmer berwarna cream. Pada
mihrab terdapat satu buah mimbar yang berbentuk meja kecil berukuran
80x90x90 cm dengan ukiran polos terletak pada sisi kanan menuju kiblat. Dinding
bangunan Masjid berbentuk masif dengan bentuk jendela dan pintu yang cukup
besar dan dinding dibagian dalm ruang sholat utama dilapisi dengan batu marmer
berwarna cokelat muda. Bentuk jendela dan pintu memiliki karakter yang berbeda
dengan bentuk gerbang mihrab yaitu menggunakan bentuk segitiga pada bagian
atasnya.Bentuk kolom bangunan sangat sederhana yaitu berupa balok tegak polos
yang difinishing batu marmer, masjid ini tidak memiliki serambi keliling
83
melainkan berupa satu teras pada akses masuk bangunan masjid yang langsung
terhubung dengan ruang utama masjid.
Gambar 4.17. Foto mihrab, pintu dan jendela Masjid Al-Ghurabah
Bentuk atap bangunan Masjid Al Ghurabah menggunakan atap tumpang yang
sekilas berbentuk tumpang tiga akan tetapi pada bagian puncaknya tidak terdpat
kubah atau lambang bulan sabit dan bintang sehingga kalau dilihat dari luar maka
bangunan ini tidak mencerminkan sebuah Masjid. Bentuk plafon pada ruang
utama masjid mengikuti bentuk atap dengan menonjolkan struktur kuda-kuda atap
dengan struktur susunan usuk atau kasau menyerupai struktur atap pada bangunan
tradisional Bali. Bangunan masjid Al Ghurabah tidak memiliki gerbang masuk,
menara dan ragam hias arsitektural termasuk kaligrafi atau penggalan ayat Al-
Qur‟an. Melainkan hanya berupa dinding polos yang dilapisi oleh batu marmer
hampir pada seluruh permukaan dinding dan kolom bangunannya.
Gambar 4.18. Foto atap dan plafon Masjid Al-Ghurabah
84
4.1.6 Masjid Al-Ikhlas
Masjid Al Ikhlas merupakan kasus keenam dimana beralamat di Jl Pulau
Misol, masjid ini berada di tengah permukiman yang padat dengan kondisi jalan
menuju bangunan hanya bisa dicapai kendaraan bermotor. Masjid Al-Ikhlas
didirikan pada tahun 1985 sebelumyna berupa bangunan satu lantai baru pada
tahun 2011 ditambah lantai mezanin tanpa membongkar bangunan melainkan
menambahkan konstruksi baja diatas ruang utama masjid. Tidak terdapat fungsi
penunjang pada masjid. Orientasi masjid sejajar dengan bentuk lahan terutama
pada sisi kiri bangunan yang menempel pada batas lahan sehingga bangunan
hanya menyisakan satu teras samping di sebelah kanan atau sisi utara masjid.
Sebelumnya orientasi kiblat sholat sejajar dengan orientasi masjid ke Barat akan
tetapi terjadi penyesuaian orientasi kiblat sehingga susunan sejadah membentuk
sudut 34,5o kearah barat daya.
Gambar 4.19. Foto ruang luar dan dalam Masjid Al Ikhlas
Ruang utama masjid sebelumnya bebas kolom sehingga shaf tidak terputus
dikarenakan bangunan tidak mampu lagi menampung jemaah maka dibuat lantai
mezannin diatasnya berbahan baja sehingga tidak menggangu struktur bangunan
lama, sehingga terdapat tambahan tiang ditengah ruang utama dan menyisakan
ketinggian plafon sekitar 2,80 m. Lantai mezanin menyisakan void pada sisi
85
bagian depan agar ruang bawah dan atas masih terhubung. Akses menuju ruang
utama hanya dari sisi utara bangunan yang dilengkapi dengan dua akses pintu.
Gambar 4.20. Denah Masjid Al- Ikhlas
Mihrab pada bangunan Masjid Al Ikhlas berukuran 1,5 x 2,5 m dengan
membentuk gerbang dari dua pillr berbentuk bulat dengan mahkota berbentuk
proyeksi atap kubah dengan tulisan kalimat Allah pada bagian puncaknya, bagian
gerbang berwarna hijau tua sehingga kontras dengan dinding yang berwarna
putih. Sebenarnya terdapat tiang di tengah ruang mihrab akan tetapi tidak
ditonjolkan dengan tetap diberi warna putih. Bangunan masjid berkonsep tertutup
dengan dikelilingi dinding masif, sedangkan bukaan jendela dan ventilasi hanya
terdapat pada sisi utara masjid hal ini disebabkan bangunan masjid menempel
pada sisi yang lainnya. Bentuk jendela menyatu dengan lubang ventilasi dengan
bentuk jendela kayu dan pintu bergaya bangunan tahun 80 an. Bentuk atap
86
bangunan berupa atau limas bertingkat dua dengan bentuk pelafon mengikuti
bentuk atap tersebut dengan menggunakan penutup plafon gypsum. Bangunan ini
tidak memiliki menara, gerbang masuk dan ragam hias arsitektural melainkan
hany bentuk profil pada mihrab dan sebauh gambar besar disamping mihrab
bergambarkan Masjidil Harram di Mekah Al Mukaromah.
4.1.7 Masjid Nurullah
Kasus ketujuh yang dipilih oleh peneliti adalah Masjid Nurullah beralamat di
PB sudirman IV gang Karya Bhakti III. Bangunan ini berada di Komplek TNI
Kodam Udayana, didirikan pada tahun 1983 dan kemudian direnovasi pada
tahun1990. Bangunan ini memiliki luas total sekitar 90 m2 dengan luas lahan
sekitar 1300 m2. Sehingga masih memungkinkan bangunan masjid untuk
melakukan pengembangan. Tidak ada fungsi tambahan pada bangunan masjid
akan tetapi masjid menyediakan ruangan untuk musafir yang hendak berteduh
atau menginap sementara di Masjid .
Gambar 4.21.Denah Masjid Nurullah
Orientasi bangunan masjid mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan
orientasi sholat. ruang utama masjid hanya memiliki luas sekitar 36m2
sedangkan
87
sisanya berupa serambi dan bangunan penunjang seperti ruang wudhu, takmir dan
pengurus masjid. Tidak terdapat kolom ditengah ruang sholat utama akan tetapi
shaf diserambi terputus oleh dinding sehingga kalau merujuk pada hadis maka
shalat diruang serambi tidak sah, akan tetapi takmir masjid memiliki pandangan
yang berbeda. Ruang mihrab memiliki ukuran yang cukup besar yaitu 2,5x2 m
dimana terdapat sebuah mimbar disisi kanannya yang digunakan untuk khotib
menyampaikan khutbah. Gerbang pada ruang mihrab menggunakan bahan batu
granit berwarna hitam yang membentuk pilar kemudian untuk bagian mahkotanya
menggunakan kaligrafi yang membentuk bingkai berbentuk lengkung. Dinding
bangunan hanya pada ruang utama yang dibatasi dinding masif akan tetapi untuk
akses masuk tidak menggunakan daun pintu melainkan dibiarkan terbuka dengan
dibatasi bidang dining di depan akses masuk kedalam masjid, ruang utama
memiliki tiga akses yaitu dari sisi utara yaitu ruang wudhu yang langsung
terhubung, sebelah selatan dimana berhadapan dengan pintu pagar masuk menuju
masjid dan pada bagian timur yang terhubung langsung denga ruang serambi.
Atap bangunan Masjid Nurullah berbentuk atap tumpang dua dengan sudut
kemiringan berbeda yaitu 30o dan 45
o dan dikelilingi atap serambi dengan
kemiringan sekitar 15o, terdapat dua kubah kecil pada atap bangunan yaitu diatas
atap ruang utama dan ruang mihrab. Bentuk plafon pada ruang utama tidak
mengikuti kemiringan atap melainkan berbentuk lengkung kubah bawang yang
dirotasikan. Masjid Nurullah tidak memiliki gerbang dan menara sedangkan
ragam hias arsitektural berupa ukiran atau ornamen berupa kaligrafi dan
penggalan ayat Al-Quran pada dinding mihrabnya.
88
4.1.8 Masjid Quba
Masjid selanjutnya yang menjadi objek penelitian dan sekaligus menjadi
kasus kedelapan adalah Masjid Quba. Masjid ini beralamat di Lingkungan Kartika
Gang I No 54 dan hanya berjarak sekitar 200 m dari masjid Nurullah yang sama-
sama berada di komplek TNI Kodam Udayana Sudirman. Masjid ini didirikan
pada tahun 1980 dimana memiliki luas bangunan 160m2 dengan luas lahan sekitar
260m2. Bangunan berupa bangunan satu lantai dengan luas ruang utama sekitar
120 m2 dan teras belakang 40 m2. Tidak ada fungsi penunjang pada masjid Quba
melainkan hanya tempat untuk belajar mengaji bagi anak-anak pada serambi
belakang.
Gambar 4.22. Denah Masjid Quba
Ruang utama berada di bagian utara bangunan yang digunakan untuk ruang
sholat laki-laki sedangkan ruang sholat wanita berada disamping kiri ruang sholat
laki-laki. Dimana seharusnya ruang sholat wanita berada di bagian belakang
89
makmum laki-laki. Didepan ruang mihrab terdapat ruang pengurus yayasan.
Ruang wudhu terdapat di depan sebelum memasuki masjid dan pada sisi selatan
atau samping paling kiri bangunan yang juga terdapat wc. Orientasi bangunan
tidak mengikuti bentuk tapak melainkan menyesuaikan orientasi arah kiblat
sehingga terdapat ruangan yang bentuknya menyesuaikan bentuk tapak yang
menyudut seperti ruang serambi belakang dan ruang samping kiri masjid. Ruang
utama Masjid berbentuk persegi panjang yang memanjang terhadap dinding kiblat
dimana terdapat satu tiang bangunan yang memotong shaf sholat berjamaah.
akses masuk keruang utama berada di sisi utara berhadapan dengan pintu pagar
masuk kedalam masjid. Penerangan dimasjid pada siang hari cukup efektif
dimana ukuran dan jumlah jendela sesuai dengan ukuran ruang nya. Ruang
mihrab berukuran 2,5 x 2,25m , tidak terdapat bentuk gerbang pada mihrab
melainkan hanya dinding ruangan yang menjorok keluar berbentuk portal polos.
Gambar 4.23. Foto fasad luar, mihrab dan ruang shalat
Dinding bangunan tidak memiliki bentuk lengkung baik itu bentuk setengah
lingkaran atau kubah. Sedangkan bentuk jendela sangat sederhana dengan
menggunakan jendela berbentuk persegi dengan menggunakan kaca nako. Kolom
bangunan pada Masjid Quba terdiri dari kolom beton berukuran 20x20cm dan
kolom pipa baja berdiameter 50cm yang menopang atap serambi bagian belakang
90
dan ruang sebelah kiri bangunan yang sebelumnya adalah serambi. Atap Masjid
Quba berbentuk tumpang bertingkat dua sama dngan konsep atap Masjid
Nurullah. Plafon pada Masjid Quba tiak memiliki motif khusu hanya berupa lafon
berbahan plywood dengan ketinggian dari lantai hanya sekitar 2,80m. Masjid
Quba tidak memiliki gerbang, akan tetapi memiliki menara kecil yang terbuat dari
besi menyerupai antena televisi. Tidak terdapat ragam hias maupun ornamen pada
Masjid Quba.
4.1.9 Masjid Nurut Taqwa
Kasus kesembilan adalah Masjid Nurut Taqwa yang juga berada di Komplek
perumahan TNI tepatnya beralamat di Jl. Kapten Japa Asrama Yang batu.
Didirikan pada tahun 1983, kemudian dilakukan penambahan pada sisi samping
dan belakang pada tahun 1993 saat ini memiliki luas bangunan sekitar 300 m2
dengan luas lahan 400 m2. Dimana bangunan optimal menggunakan lahan. Tidak
ada fungsi tambahan pada masjid melainkan hanya untuk anak belajar mengaji.
Masjid Nutur Taqwa berorientasi kearah kiblat sedangkan dinding bangunan
mengikuti bentuk lahan masjid. Ruang sholat pada masjid ini terdiri dari 3 ruang
yang tesekat oleh dinding. Ruang sholat utama berada pada bagian paling depan
didekat ruang mihrab memiliki persegi panjang dengan ukuran 4,5x 11,5 m
sedangkan ruang sebelah kanannya dibatasi dinding berjendela. Pada ruang utama
tidak ada tiang ditengahnya akan tetapi untuk ruang sholat tambahan pada bagian
samping kanan dan belakang dibatasi oleh dinding dan jendela sehingga shaf
benar-benar terputus. Akses menuju ruang dalam masjid terdapat pada sisi kiri
91
dan belakang masjid sedangkan pada sisi kanan bangunan dibangun menempel
dinding pagar.
Gambar 4.24. Fasad luar dan denah Masjid Nurut Taqwa
Mihrab Masjid Nurut Taqwa memiliki ukuran 2x1.5 m dengan elemen
pembentuk portal atau gerbang mihrab menggunakan bahan keramik berwarna
hijau tua dengan mahkota berupa penggalan ayat Al-Quran yang membentuk garis
lengkung setengah lingkaran. Keramik berwarna hijau kontras terhadap dinding
92
yang berwarna hijau muda. Terdapat sebuah mimbar pada sisi kanan ruang mihrab
dan sebuah jam besar di sebelah pojok kiri atas ruang mimbar. Mihrab pada
Masjid Nurut Taqwa berbeda dengan masjid lainnya dimana umumnya tidak dicat
melainkan menggunakan pelitur berwarna kuning atau cokelat tua. Dinding
bangunan pada ruang utama menggunakan bentuk jendela berbentuk persegi
sederhana berukuran sekitar 1x1 m dibagi dua lubang jendela sedangkan untuk
aksen dinding dibuat polos pada bagian luar, sedangkan pada bagian dalam
bangunan pada bagian bawah dinding dilapisi keramik. Untuk pintu menggunakan
dua daun pintu dengan bentuk standar berukuran sekitar 1,20x2,20 m
berbahanjkan kayu kelapa. Dinding pada bangunan tambahan pada bagian
belakang dinding dibuat terbuka dengan membentuk lubang besar dengan bentuk
lengkung pada bagian atasnya. Sedangkan pada lubang dinding diisi dengan
teralis besi berwarna cat hijau tua. kolom pada masjid berbentuk penampang
persegi panjang dan persegi dengan dilapisi keramik. Sedangkan portal yang
memiliki bentuk lengkung kubah bertingkat bergaya bizantium terdapat pada
bangunan belakang.
Bentuk atap Masjid Nurut Taqwa terdiri dari dua massa atap dimana massa
pertama berada pada ruang utama dimana berbentuk atap perisai dengan tambahan
kubah ditengahnya, memiliki konsep yang sama dengan masjid Al-Furqon di
Jalan Sudirman sedangkan atap pada bangunan tambahan di belakang memiliki
bentuk tumpang bertingkat tiga. Untuk plafon terdapat tiga jenis yaitu pada ruang
utama menggunakan plafon ber trap biasa dengan bahan tekwoood berwarna
putih, sedangkan ruangan samping ruang utama yang digunakan untuk ruang
93
belajar mengaji menggunakan plafon anyaman bambu sedangkan plafon pada
bangunan tambahan dibelakang menggunakan plafon berbahan anyaman bambu
akan tetapi menempel pada gording struktur atap sehingga bntuknya
menyesuaikan bentuk atap dan mengekspos deretan kasau, selain itu bentuk
tersebut memungkinkan untuk sirkulai udara yang optimal.
Gambar 4.25. Foto mihrab, ruang shalat dan plafon Masjid Nurut Taqwa
Bangunan Masjid Nurut Taqwa tidak memiliki gerbang masuk dan pagar
keliling bangunan akan tetapi memiliki menara yang terbuat dari struktur pipa
baja yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakan kubah stainless sebagai titik
tangkap pandangan dan tempat meletakan pengeras suara. Tidak terdapat ragam
hias pada masjid melainkan kaligrafi dan ayat Al-Qur,an.
4.1.10 Masjid Suci
Masjid besar yang memiliki luas bangunan sekitar 1700 m2 adalah Masjid
Suci sebagai kasus ke sepuluh berdiri pada tahun 1991 dan dilakukan
pengembangan pada lantai atasnya yang rampung sekitar tahun 1999 . bangunan
Masjid Suci terdiri dari tiga lantai dimana sampai saat ini masjid masih
melakukan renovasi pda bagian dalam lantai 2 dan 3 bangunan. Masjid Suci
memiliki fungsi penunjang yaitu berupa sekolah setingkat taman kanak-kanan dan
sekolah dasar pada bagian lantai paling atasnya dimana berfungsi sebagai tempat
94
belajar agama Islam untuk anak-anak. Di lantai tiga juga terdapat kantor pengurus
yayasan yang menangani masalah sekolah tersebut. Lantai dasar bangunan
memiliki fungsi sebagai ruang utama, ruang pengurus yayasan, ruang wudhu laki-
laki pada sisi kanan dan ruang wudhu wanita pada sisim kiri bangunan, ruang
holat wanita berada di pojok kiri bawah ruang utama dengan dibatasi tirai kain.
Lantai dua bangunan memiliki fungsi sebagai ruang sholat tambahan yang
digunakan makmum wanita pada saat sholat tarawih sedangkan pada hari jum‟at
digunakan oleh makmum laki-laki. Bangunan ini berorientasi ke Barat sedangkan
orientasi sejadah atau kiblat sejajar terhadap bangunan sehingga terdapat toleransi
terhadap arah kiblat yang hanya sekitar sepuluh derajat ke arah Barat Daya.
Gambar 4.26. Foto fasad luar dan denah Masjid Suci Denpasar
95
Ruang utama dimana ruang mihrab berada terdapat di lantai dasar bangunan
dimana didalam ruangan terdapat deretan kolom berukuran 30x55 cm dengan
modul 7,2 horizontal dan 3,6m vertikal , ruang mihrab terdapat pada modul
horizontal bagian tengah dimana ruang sholat dibelakangnya memiliki void yang
bisa melihat ke lantai dua bangunan. tinggi perlantai bangunan sekitar 4,2 m
sehingga memberikan kesan monumental terutama pada mihrab bangunan dimana
membentuk gerbang berupa portal setinggi bangunan dua lantai. Mihrab pada
bangunanmasjid Suci berukuran 4x2m dengan tinggi sekitar delapan meter,
gerbang pembentuk mihrab terdiri dari dua pilar berbentuk bulat dengan diameter
40 cm berwarna biru tua dilapisi coating sedangkan bagian mahkot gerbang
menyatu dengan bentuk proyeksi kubah bergaya persia. Pada ruang mihrab
terdapat sebuah mimbar yang berukuran cukup besar sekitar 1x1,4m dengan
tinggi 2,5 m mimbar ini memiliki corak yang sama dengan mimbar di timur
tengah dimana memiliki anak tangga dan atap berbentuk kubah pada bagian
atasnya. Untuk finishing mimbar ini dilapisi dengan prade emas dan pelitur kayu
berwarna merah manggis. Selain mimbar apada ruang mihrab dibuat mimbar
khusus untuk imam meminpin sholat yaitu berupa perabot kayu yang menyerupai
dampar kayu berukuran 1,2x2m dengan dilengkapi dinding berhias kaligrafi dan
mahkota. Pada sisi kiri dan kanan ruang mihrab terdapat dua buah ruangan yang
juga memiliki gerbang yang menggunakan bentuk lengkung yang berfungsi
sebagai pengimbang ruang mihrab dan menghilangkan kesan dinding masif pada
sisi dinding bagian barat bangunan. Bukaan dan permainan fasad bangunan hanya
terdapat pada sisi selatan dan timur bangunan.
96
Gambar 4.27. Foto mihrab, mimbar dan portal lengkung Masjid Suci
Dinding lantai dasar menggunakan dinding tambahan yang berbentuk kubah
dengan tipe lengkung dengan ditopang profil kolom berwarna putih kecoklatan
sedangkan pada dinding bagian dalam menggunakan keramik berwarna hitam
dengan ukiran kayu ditengahnya. Sedangkan pada bagian akses masuk ruang
utama menggunakan pengulangan bentuk lengkung. Pada dinding lantai dua
dinding bangunan dikelilingi teras sedangkan pada bagian dinding terdapat
permainan penebelan dinding yang menonjol dengan menggunakan bentuk
lengkung. Dimana pada bagian dalam lengkung tersebut berupa dinding dengan
finihing keramik berwarna hitam atau jendela. Pada dinding lantai ketiga juga
97
memiliki corak yaang sama dengan lantai dua akan tetapi pada bagian tengahnya
menggunakan skala yang lebih sempit dan tinggi, begitujuga dengan pagar
pembatas teras juga menggunakan besi tempa berbentuk kubah. Pintu dan jendela
masjid menggunakan kayu difinishing pelitur hitam dengan beragam ukiran
didalamnya.
Bangunan masjid menggunakan bentuk kolom persegi panjang pada bagian
dalam sedangkan pada bagian yang memusat digunakan kolom bulat seperti pilar
pada ruang mihrab dan pilar bangunan teras utama bagian depan dimana
menopang sampai bagian lantai ketiga bangunan dan mengapit tangga yang
langsung terhubung ke lantai atas bangunan. bagian atap bangunan menggunakan
bentuk datar dan dilengkapi dua buah kubah pada bagian atap depan dan samping
kiri bangunan. bangunan ini tidak terlalu menonjolkan bagian plafon bangunan
dimana didominasi plafon datar dengan beberapa profil gypsum yang umum
digunakan di bangunan lainnya.
Masjid Suci Denpasar memiliki gerbang masuk yang menyatu dengan pagar
dengan menggunakan tiga buah portal dengan bentuk lengkung menyerupai garis
lengkung atap kubah bawang dimana pada bagian tengah mempunyai ukuran
yang dominan dibanding dua bentuk lengkung dibagian kanan dan kirinya. Masjid
suci memiliki dua menara yang berdiri diatas lantai atap pada pojok kiri dan
kanan bagian depan bangunan dimana konsepnya meniru bangunan tajmahal india
dimana mengurangi dominasi kubah bagian tengah masjid. Menara juga berfungsi
sebagai titik tangkap dan identitas bangunan masjid. Ragam hias pada bangunan
98
Masjid Suci berupa permainan bentuk profil dan lengkung juga berupa bentuk
pagar bangunan baik itu kolom, balok maupun portal sedangkan untuk ornamen
pada bangunanberupa bentuk kaligrafi dan ukiran kayu berbentuk penggalan ayat
Al-Quran.
Gambar 4.28. Detail ragam hias dan ornamen Masjid Suci
4.1.11. Masjid Ukkhuwah
Kasus Ke Sebelas adalah Masjid Raya Ukkhuwah, masjid ini beralamat di Jl
Kalimantan No.19 masjid ukkhuwah didirikan pertamakali pada tahun 1927 akan
tetapi direnovasi kembali sampai bentuknya saat ini pada tahun 1977. Masjid ini
memiliki luas bangunan sekitar 1570 m2 diatas lahan seluas 1150 m2. Terdapat
beberapa fungsi tambahan atau penunjang masjid ini yaitu dilengkapi dengan
perpustakaan, gedung Aula pada lantai dasar dan toko yang disewakan, masjid
Ukkhuwah juga melayani fungsi tambahan melayani ibadah haji dan umroh baik
pelatihan maupun keberangkatan. Bangunan Masjid Ukhuwanh terdiri dari dua
lantai . lantai dasar terdiri dari ruang Aula yang juga dimanfaatkan untuk sholat,
99
ruang pengurus yayasan, ruang wudhu pria dan wanita, kamar mandi dan toilet
dan toko yang disewakan. Sedangkan untuk lantai dua bangunan terdiri dari ruang
utama yaitu ruang sholat makmum laki-laki, ruang mihrab, ruang sholat khusus
wanita yang terhubung dengan tangga khusus keruang wudhu di lantai dasar.
Kemudian dilantai dua terdapat ruang perpustakaan dan ruang pengurus manasik
haji. Bangunan Masjid Ukkhuwah berorientasi kearah kiblat, sehingga peosisi
bangunan tidak lagi mengikuti lahan melainkan kiblat sehingga posisi sejadah
sejajar dengan bangunan, bentuk ruang utama walaupun denahnya tidak sejajar
lahan tetap persegi empat hanya ruangan dibagian batas dinding yang mengikuti
bentuk lahan.
Bagian dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar satu meter dari jalan raya
sehingga memberikan nilai yang tinggi dan menjaga kesucian bangunan dari
kotoran yang diterbangkan debu. Ruang utama Masjid berada di lantai dua dimana
ruang sholat laki-laki tidak terdapat tiang pada bagian tengahnya karena
menggunakan atap berbentang lebar dengan bentangan ruang 16x16 m yang bebas
kolom akan tetapi pada bagian pinggir terdapat kolom dengan modul sekitar
empat meter. Meskipun terdapat kolom didalam ruang sholat susunan sejadah
disesuaikan agar tidak memutus susunan shaf shalat berjamaah. Ruang utama
terlihat sangat luas dan lapang hal ini selain ruang bebas kolom juga memiliki
plafon yang cukup tinggi dan pencahayaan yang mencukupi karena dikelilingi
jendela, ruang sholat untuk wanita berada di bagian belakang ruang sholat laki-
laki dan dibatasi dinding permanen berupa dinding kaca berbingkai alumunium
berwarna cokelat dan dilapisi kaca film sehingga makmum wanita bisa melihat
100
kearah makmum laki-laki akan tetapi makmum laki-laki tidak bisa melihat kearah
makmum perempuan. Lantai sholat ruang utama dan dinding bagian dalam
dilapisi oleh batu marmer berwarna putih sehingga dapat menahan panas dari luar
dan lebih kedap suara.
Gambar 4.29. Fasad luar dan denah Masjid Ukkhuwah
Ruang mihrab pada bangunan ini tidak terlalu ditonjolkan hanya berbentuk
dinding yang menjorok kedalam tanpa gerbang penegas hanya terdapat tulisan
petikan ayat Al-Quran pada bagian atas sebelum memasuki ruangan. Mihrab
101
berukuran besar sekitar 4x2,5 m dengan sebuah mimbar dan jam berdiri di sebelah
kiri dan kanan nya. Mihrab terbuat dari bahan kayu dan plywood dengan
difinishing pelitur dan berukuran kecil tanpa tangga dan atap.
Gambar 4.30. Mihrab Masjid Ukkhuwah
Dinding bangunan pada dasarnya didominasi oleh jendela kaca berbingkai
alumunium terutama dinding pada lantai dasar, akan tetapi karakter dinding
bangunan lebih kuat pada dinding bagian lantai atas dimana dibuat modul bidang
vertikal yang membatasi antar jendela dan menjorok keluar kemudian pada bagian
atasnya membentuk portal segitiga sehingga jendela berada didalam menciptakan
kesan dinding lebih tebal. Fungsi dinding tersebut juga bertujuan agar jendela
lebih terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.
Gambar 4.31. Foto jendela Masjid Ukkhuwah
Kolom atau tiang bangunan berbentuk penampang persegi panjang dan
dilapisi dengan batu marmer. Bangunan masjid tidak memiliki serambi karena
102
pengurus yayasan berpandangan apabila terdapat serambi maka dikhawatirkan
orang akan melaksanakan sholat disana padahal kalau terputus shafnya sholat
harus dilulang. Atap Masjid Raya Ukkhuwah berbentuk atap Tumpang bertingkat
dua dimana menurut informasi dari pengurus masjid alasan mengapa atap dibuat
bertumpang dua karena menjaga hubungan beragama karena bangunan
bertumpang tiga adalah bangunan suci bagi umat hindu, oleh karena itu bangunan
Masjid lebih banyak menggunakan atap bertumpang dua. Bentuk plafon masjid
pada ruang utama mengikuti bntuk atap dan menonjolkan garis kayu yang
menyerupai konstruksi atap pada bangunan tradisional Bali.
Gambar 4.32. Bentuk atap dan plafon Masjid Ukkhuwah
Bangunan Masjid Ukkhuwah memiliki dua gerbang dan satu menara.
Gerbang masjid memiliki satu pintu utama dan berukuran dinding yang sangat
tebal. Gebang masjid menyatu dengan pagar masjid pada sisi selatan dan utara
karena pada sisi barat berfungsi sebagai toko yang disewakan sedangkan pada sisi
timur bangunan menempel pada lahan. Maotif pagar dan gerbang menggunakan
bentuk dasar segitiga pada bagian atasnya sedangkan lapisan dindingnya
menggunakan perpaduan batu alam berwarna hitam dan putih. Menara masjid
terdiri dari tujuh ruas dengan bagian kepala menara lebih besar daripada bagian
badan menara. Bentuk menara tidak menggunakan bentuk kubah akan tetapi
103
menggunakan motif segitiga seperti bagian inding dan pagar bangunan utama.
Tinggi menara masjid sekitar 15 meter.
Ragam hias arsitektural bangunanMasjid tidak terlalu banyak hanya beberapa
komponen saja yang seperti profil balok pada ruang utama, profil pada gerbang
dan pagar sedangkan untuk ornamen tidak ditemukan pada masjid ini melainkan
sebuah petikan ayat Al-Qur‟an pada bagian atas ruang mihrab.
4.1.12 Masjid Al Ikhlas
Kasus kedua belas adalah Masjid Al Ikhlas yang berlokasi di Jl. Gunung
Batukaru 92. Bangunan ini didirikan pada tahun 1981 berupa tanah wakaf.
Bangunan asal berukuran 10x10 Kemudian direnovasi kembali dan rampung pada
tahun 2006. Fungsi tambahan masjid adalah terdapat Taman Pendidikan Qur‟an
(TPQ). Bangunan baru hasil renovasi tahun 2006 berorientasi kearah kiblat
sehingga bentuk bangunan tidak sejajar dengan lahan dan menciptakan beberapa
ruang yang menyudut. Ruang utama Masjid terdapat pada lantai dasar berbentuk
persegi dimana konsep bangunan bersifat terbuka tanpa dinding kecuali pada
bagian depan ruang sholat yang sejajar dengan ruang mihrab. Terdapat deretan
tiang struktur pada ruang sholat utama masjid sehingga shaf sholat terputus oleh
tiang tersebut.
Ruang mihrab masjid berukuran 3.6 x 2.7m dengan tinggi 7 meter menembus
ke void lantai dua. Mihrab dibentuk oleh profil kolom yang dilapisi granit
berwarna hitam dengan bagian puncak dihiasi bentuk lengkung. Pada bagian
paling atas gerbang mihrab terdapat kalimat Allah SWT. Terdapat mimbar pada
104
sisi kiri ruang mihrab, mimbar pada masjid ini memiliki ukuran yang besar dan
memiliki atap mimbar .bentuk mimbar ini perpaduan antara mimbar bertangga
dan mimbar berbentuk meja pada umumnya dan difinishing dengan pelitur
berwarna kuning. Dinding dasar bangunan seperti yang dikemukakan sebelumnya
memiliki konsep terbuka dan dikelilingi pagar dan bangunan disekitarnya. Ruang
terbuka ini berfungsi agar sholat berjemaah bisa menggunakan ruang diluar
masjid dan untuk melancarkan sirkulasi udara deretan kolom pada dinding lantai
dasar berupa bentuk kolom yang dihubungkan oleh lengkung semi-
circular.sedangkan dinding bagian lantai atas lebih mencirikan karakter bangunan
masjid menggunakan konsep yang sama dengan masjid Ukkhuwah dimana
membuat bidang-bidang pembatas antar jendela dan pada bagian atas dibuat lebih
maju sehingga melindungi jendela dari cuaca yang membedakan masjid ini
menggunakan susunan lengkung semi-circular pada bagian atas jendela bagian
atas. Selain jendela dinding bagian atas juga dihiasi oleh profil yang berbentuk
lengkung yang sama akan tetapi pada bagian tengahnya diisi oleh batu alam.
105
Gambar 4.33. Denah Masjid Al-Ikhlas
Bagian atap bangunan menggunakan kubah setengah bola bertingkat dengan
ukuran kubah pada bagian atas jauh lebih kecil dibanding kubah dibawahnya.
Untuk ragam hias masjid menggunakan bentuk deretan lengkung semi circular
pada lisplank bagian atas , pada bagian pagar menggunakan motif bintang
delapan.
Gambar 4.34. Foto kubah, fasad bangunan, mimbar , profil dan detail Railing
4.1.13 Masjid Baitul Makmur
Kasus ke tigabelas adalah Masjid Baitul Makmur mulai berdiri tanggal 31
oktober 1983 merupakan hasil sumbangan amal bhakti Muslim Pancasila
bangunan ini dibawah yayasan baitul makmur. Masjid kemudian direnovasi
menjadi dua lantai pada tahun 1987 dan terjadi lagi pengembangan kebelakang
yang telah dimulai pada 17 november 2008 sampai saat ini masih dilakukan
pengembangan kebelakang. Fungsi penunjang bangunan Masjid Baitul Makmur
menyewakan ruang serba guna pada bagian lantai dasar bangunan yang juga
106
dimanfaatkan sehari-hari untuk ruang kelas TPQ. Masjid Baitul Makmur juga
menerima pengurusan jenazah. Bentuk denah bangunan berorientasi kearah kiblat
sehingga susunan shaf sejajar dengan dinding arah kiblat, akan tetapi sisi dinding
lainnya tidak sejajar dengan barisan shaf. Bangunan menyisakan halaman pada
bagian utara dan barat dimana pada bagian utara terdapat gerbang masuk
bangunan yang membentuk yang dimanfaatkan sebagai parkir motor.
Gambar 4.35. Fasad bangunan dan denah bangunan Masjid Baitul Makmur
Ruang utama Masjid berada di lantai atas bangunan, dengan bentuk atap
bentang lebar tanpa tiang ditengahnya. Dinding bangunan tidak ada yang
bersudut siku karena masjid menyesuaikan bentuk tanah, terdapat void pada
bagian belakang dibelakang shaf sholt wanita. Ruang sholat wanita pada masjid
dibatasi oleh panel kayu setinggi 1,20 m yang bisa dipindahkan. Jendela untuk
cahaya masuk terdapat pada bagian utara bangunan dan bagian sekeliling plafon
batas antara dag dan atap dan yang paling besar berada diatas void belakang.
Ruang mihrab pada Masjid Baitul Makmur berukuran 4 x 2m dengan bentuk yang
sangat sederhana tanpa hiasan khusus seperti mahkota diatasnya.bangunan baitul
makmur memiliki deretan kolom pada fasad muka bangunan berjumlah lima pillar
107
berbentuk penampang bulat berdiameter 30 cm. yang membentuk dinding semu
membatasi tangga naik keruang utama dan teras atas. Bangunan ini tidak memiliki
serambi keliling. Bentuk atap bangunan masjid beratap tumpang dua dengan
ekspos balok-balok stainless pada puncak atap sekaligus symbol bulan sabit
diletakan. Bentuk atap masih menggunakan konsep bentuk masjid sebelumnya
akan tetapi masjid sebelumnya memiliki tumpang tiga.
Masjid Baitul Makmur memiliki gerbang masuk menuju halaman depan
dengan bentuk portal segitiga akan tetapi lurus pada bagian atasnya. Mahkota
gerbang ditopang oleh dua pillar dimana masing-masing pillar dibagi menjadi dua
dan tergabung didalam satu fundamen. Permukaan gerbang dilapisi dengan
dinding granit berwarna hijau muda dan putih kehijauan. Masjid Baitul Makmur
tidak memiliki menara akan tetapi ada rencana membuat menara pada sisi kanan
arah kiblat bangunan. Tempat wudhu masjid terbagi menjadi dua yaitu bagian
lantai dasar bangunan tepatnya dibawah tangga yang dilengkapi toilet yang
digunakan oleh makmum laki-laki sedangkan tempat wudhu untuk wanita berada
di lantai dua bangunan.
Gambar 4.36. Bentuk plafon, railing pagar, mimbar , dan entrance utama Masjid Baitul
Makmur
Masjid baitul makmur memiliki konsep desain modern sehingga tidak
memiliki ragam hias dan ornament pada bangunan akan tetapi ragam hias
108
bangunan justru terdapat pada kolom dan balok lantai dasar bangunan yang
memiliki motif seperti ragam hias pada bangunan kolom dan balok Arsitektur
Bali.
Gambar 4.37. Bentuk kolom dan motif balok Masjid Baitul Makmur
4.1.14 Masjid Bina Taqwa
Masjid selanjutnya sebagai kasus keempat belas adalah Masjid Bina Taqwa.
beralamat di Jl Gunung mas I , Berdiri pada 17 september 1995 . Masjid ini
dibatasi sungai pada sisi barat dan jalan umum pada sisi selatan dan timur.
Bangunan berbentuk bangunan satu lantai dengan luas sekitar 160 m2 yang
melebar kesamping sepanjang jalan didepanya. Masjid ini tidak memiliki fungsi
penunjang melainkan hanya untuk belajar mengaji bagi anak-anak. Bangunan ini
berorientasi ke Barat dan arah kiblat pun mengikuti orientasi ke barat karena
dianggap ada toleransi mengenai arah kiblat menurut pengurus masjid. Karena
bangunan menghadap arah Barat sehingga bentuk bangunan menyesuaikan bentuk
lahan sehingga dinding masjid sejajar dengan bentuk tanah. Ruang utama masjid
berbentuk persegi panjang yang menyamping, tidak ada tiang ditengah ruang akan
109
tetapi bangunan memiliki serambi di depan dan samping kiri yang terputus oleh
dinding masjid. Mihrab pada masjid terdapat portal dengan kolom dilapisi marmer
warna abu-abu dan mahkota berbentuk lengkung tipe ogee yang dilapisi bahan
yang sama, sedangkan dinding pada bagian sisi kiblat dilapisi marmer berwarna
merah muda sehingga bagian mihrab menonjol.
Gambar 4.38. Fasad muka, bentuk plafon dan mihrab Masjid Bina Taqwa
Gambar 4.39. Denah Masjid Bina Taqwa
Masjid Bina Taqwa memiliki bentuk atap perisai dan terdapat bentuk atap
limas yang berbentuk tumpang pada bagian tengahnya yang menjadi pusat
bangunan. Sedangkan plafon bangunan dibuat polos bertrap berbahan gypsum.
110
Terdapat gerbang massuk kedalam bangunan yang menggunakan gaya gerbang
Arsitektur Bali akan tetapi berukuran kecil dan menyatu dengan pagar
masjid.ragam hias msjid terdapat pada bagian pagar, lubang ventilasi,juri luar
sedangkan ornament bangunan berupa tulisan kalimat Allah pada bagian puncak
ruang mihrab.
Gambar 4.40. Gerbang masuk, simbol Kalimat Allah, dan jurai atap Masjid Bina Taqwa
4.1.15 Masjid Al –Muhajirin
Kasus kelimabelas memiliki gaya Arsitektur yang khas dimana merupakan
akulturasi Arsitektur Bali dan Minang, masjid ini merupakan masjid yang
dibangunan oleh persatuan orang minang yang merantau di Bali sehingga mereka
mencoba membawa Arsitektur Minang kedalam bangunan Masjid nya. Masjid ini
bernama Masjid Al Muhajirin IKMS (Ikatan Keluarga Minang Saiyo). Masjid ini
didirikan pada 5 desember 1999 memiliki luas sekitar 1500m2. Fungsi penunjang
masjid minang saiyo adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak berupa TPQ dan
TPA, Gedung serba guna pada lantai dasar masjid, lapangan olahraga pada
halaman belakang masjid. Masjid Al Muhajirin juga berfungsi sebgai kantaor
Yayasan Ikatan Keluarga Minang di Denpasar. Lantai dasar bangunan terdiri dari
ruang serbaguna yang sering dimanfaatkan untuk tabligh, belajar mangaji dan
111
disewakan untuk acara resepsi. Sedangkan pada lantai atas bangunan terdiri dari
ruang pengurus Ikatan Keluarga Minang yang berada pada bagian paling depan
masjid yang berbentuk pavilion. Lantai atas masjid juga terdapat ruang sholat dan
ruang takmir masjid. Bangunan sekolah memiliki massa bangunan yang terpisah
dari bangunan masjid berupa bangunan dua lantai, dimana bagian lantai dasar
dimanfaatkan untuk ruang wudhu dan wc, ruang kantor yayasan. Sedangkan pada
lantai atas bangunan difungsikan sebagai ruang kelas. Orientasi bangunan kearah
barat sedangkan orientasi kiblat tetap ke kabah sehingga sejadah membentuk
sudut 34,5o kearah Barat Daya.
Gambar 4.41. Fasad luar dan denah Masjid Al Muhajirin IKMS
112
Ruang utama masjid terdapat pada lantai dua bangunan. Ruang sholat
memiliki bentang lebar tanpa tiang ditengahnya sehingga tidak memutus shaf
sholat. penerangan pada ruang sholat cukup memadai karana bangunan dikelilingi
oleh jendela kecuali pada dinding arah kiblat. Mihrab Masjid Saiyo tidak memiliki
bentuk yang khusus dimana hanya berupa ruang berukuran 2,5 x2 m tanpa
memiliki portal atau gerbang masuk, akan tetapi penegasan ruang mihrab adalah
penurunan plafon didepan ruang mihrab. Terdapat satu mimbar berupa podium
kecil disebelah sisi kanan ruang mihrab. Bangunan masjid Saiyo dikelilingi
serambi pada lantai dasar dan atas bangunan yang juga membentuk dinding
masjid. Dinding keliling masjid berupa pasangan dinding setengah bata dengan
menggunakan jendela dan pintu kayu.
Gambar 4.42. Pintu dan jendela Masjid Al-Muhajirin IKMS
Sedangkan pada serambi kelliling terutama pada lantai atas elemen pagar juga
menjadi pembentuk wajah bangunan dan pada sisi luar serambi dibuat dinding
yang menutupi serambi yang berbentuk portal dan dinding yang mengisi pojok
teras masjid. Elemen dinding pagar menggunakan bahan batu alam berwarna
kuning dan berwarna hitam khas bangunan Arsitektur Bali.
113
Bentuk kolom bangunan depan Msjid terutama dibawah ruang sekretariat
IKMS menggunakan pilar berbentuk persegi berukuran 80x80 cm dengan bentuk
profil dan penggunaan batu alam khas Arsitektur Bali. Bentuk kolom bangunan
Masjid lainnya berbentuk penampang bulat berada di bagian luar dan bagian
dalam ruang di lantai dasar sedangkan bentuk kolom pada dinding dan teras
keliling masjid menggunakan kolom persegi.
Gambar 4.43. Ragam hias kolom dan balok Masjid Al Muhajirin IKMS
Atap bangunan Masjid Al Muhajirin terdiri dari dua massa atap. Atap
pertama berbentuk atap tumpang dua dengan kubah kecil dipuncaknya dengan
114
jurai melengkung keatas pada bagian bawah atap melingkupi bangunan ruang
sholat utama. Sedangkan massa kedua atap berbentuk bagonjong khas minang
yang berorientasi ke empat arah dimana menaungi ruang secretariat IKMS.
Diantara ruang secretariat dan ruang sholat utama dihubungkan oleh selasar.
Plafon masjid pada ruang utama masjid mengikuti bentuk kemiringan atap
sehingga terkesan monumental. Plafon masjid menggunakan batangan kayu list
yang disusun seperti rangka atap pada Arsitektur Bali, diantara pelafon tumopang
pertama dan kedua terdapat bukaan jendela mati dengan menggunakan penutup
kaca patri. Plafon pada ruang mihrab terdapat bentuk dua kubah. sedangkan pada
lantai dasar bangunan menggunakan plafon tidak bertrap dengan profil
ditengahnya.
Gambar 4.44. Plafon Masjid Al Muhajirin IKMS
Bangunan msjid tidak memiliki gerbang masuk akan tetapi bangunan
dikelilingi pagar dan pagar depan bangunan menggunakan bentuk dan corak pagar
arsitektur Bali dengan menggunakan dinding tebal yang dilapisi batu alam
berwarna hitam Yang menyatu dengan batu alam pada dinding bangunan. Masjid
Al Muhajirin IKMS tidak memiliki menara yng berdiri terpisah dengan bangunan
masjid akan tetapi memiliki empat menara yang menempel pada keempat sudut
bangunan masjid dengan karakter badan menara menyerupai bangunan angkul-
angkul sedangkan bagian atap atau puncaknya menggunakan empat atap lengkung
115
khas minang. Menara pada masjid ini berfungsi sebagai titik tangkap dan
penyeimbang bentuk atap pada bangunan utama.
Gambar 4.45. Menara pojok masjid Al -Muhajirin IKMS
Ragam hias dan ornament bangunan Masjid Al Muhajirin terdapat pada
Portal bangunan, Dinding teras, Kolom bangunan, dinding bangunan meliputi
jendela dan pintu, pelafon bangunan, menara dan talang air keliling atap Masjid.
Pada portal bangunan yaitu dinding yang menutup sebagian teras atas dan bawah
memiliki bntuk yang monumental dilapisi batu alam berwrna hitam khas Bali
dimana terdapat profil dan ornament yang menempel pada dinding tersebut.
Sedangkan pada dinding teras dibuat massif dengan dilapisi batu alam berwarna
kuning dan hitam juga terdapat profil dan ornament yang menempel. Kolom
bangunan memiliki kaki dan capital kolom untuk bagian depan mencerminkan
kolom atau tiang khas Bali dengan fundamen yang masif. Detail ragam hias pada
masjid Al Muhajirin juga terdapat pada bagian plafon bangunan dimana motif
ukran ditempelkan pada plafon dengan dilapisi prade emas dan perak dengan
warna dasar berwarna hijau. Untuk jendela dan pintu ornament terapat pada
ventilasi, hanya pada pintu masuk utama ruang sholat menggunakan dua daun
116
pintu yang berukir. Bagian menara masjid menggunakan profil batu alam yang
dipahat dan dipadukan dengan bata merah yang biasanya digunakan pada dinding
bangunan Bali.
Gambar 4.46. Ragam hias dan ornamen Masjid Al Muhajirin IKMS
117
4.1.16. Masjid Baitul Muqimin
Kasus ke enambelas adalah Masjid Baitul Muqimin beralamat di Jl Buana
raya Gg Buana Mertha Pd. Sambian. Masjid ini merupakan hasil bantuan dari
pemerintah Uni Emirat Arab yang diresmikan pada tanggal 14 september 1997.
Masjid berupa banguna satu lantai dengan luas badan bangunan 130 m2 diatas
lahan seluas 220 m2. Bangunan masjid tidak memiliki fungsi penunjang selain
posisi bangunan ditengah permukiman yang padat juga lahan masjid tidak
memungkinkan untuk penambahan fungsi. Masjid Baitul Muqimin terdiri dari
ruang sholat ruang pengurus, teras atau serambi, ruang wudhu dan wc. Orientasi
bangunan Masjid pada saat pembangunan adalah kearah Kiblat akan tetapi setelah
diperiksa kembali ternyata masih kurang tepat maka orientasi sholat masih
disesuaikan kembali. Sisi kanan dan kiri bangunan menyesuaikan bentuk lahan
sedangkan ruang utama tetap berbentuk persegi.
Gambar 4.47. Fasad muka dan denah Masjid Baitul Muqimin
Ruang utama masjid merupakan ruang sholat yang digunakan untuk sholat
berjamaah didalam ruang sholat tidak ada ruang khusus untuk makmum wanita
118
dan konsep ruangan bebas kolom karena bentangan atap yang tidak begitu besar
luas ruang utama ini sekitar 52 m2. Terdpat ruang sholat disisi kanan ruang utama
akan tetapi terputus oleh dinding bangunan akan tetapi pada sholat jum‟at ruangan
tersebut dan serambi di depan digunakan untuk sholat. Mihrab bangunan
berukuran 2,5x1,5 m dengan tinggi plafon sekitar 2,40 m. portal pembentuk ruang
mihrab berupa profil yang ditonjolkan berwarna cokelat dilatari dengan dinding
berwarna putih.terdapat sebuah mihrab kecil yang terbuat dari bahan kayu
dipelitur.Dinding bangunan masjid di dominasi oleh jendela-jendel besar dengan
jendela pada bagian tengah memiliki tambahan berbentuk segitiga pada bagian
atasnya dengan menggunakan kaca warna, sedangkan penutup jendela
menggunakan kaca nako agar sirkulsi udara lebih lancar.
Bentuk Atap Masjid Baitul muqimin menggunakan atap tumpang dua dengan
menggunakan mahkota atap bergaya Arsitektur Bali, dimana biasanya terdapat
kubah kecil dengan profil bulan bintang. Ruang antara atap tumpang pertama dan
kedua digunakan untuk meletakan pengeras suara. Plafon bangunan mengikuti
bentuk atap dengan mengekspos struktur rangka atap dan memberikan bukaan
atas sehingga tembus keruang atap tumpang bagian atas yang berfungsi sebagai
akses cahaya dan sirkulasi udara. Masjid Baitul Muqimin tidak memiliki gerbang,
menara dan ragam hias atau ornament.
119
4.1.17 Masjid Ar Rahmat
Dari Kasus ke enam belas kasus berikutnya adalah Masjid Ar Rahmat
beralamat di Jalan Buana Raya Perumahan Buana Mas Indah masjid ini memiliki
luas hanya sekitar 120 m2 masjid ini memiliki konsep bangunan dua lantai akan
tetapi hanya pada bagian atas yang dimanfaatkan untuk masjid sedangkan ruangan
bawah berfungsi sebagai toko yang disewakan bangunan ini didirikan sekitar
tahun 1995. Untuk orientasi kiblat bangunan ini tegak lurus terhadap lahan dan
menghadap ke Barat sehingga ada toleransi terhadap arah kiblat. Ruang sholat
masjid berukuran 10x10m tidak ada tiang ditengah ruangan dan tidak terdapat
perbedaan ruang dengan ruang sholat wanita.
Gambar 4.48. Fasad muka dan denah Masjid Ar Rahmat
120
Dinding masjid memiliki lima jendela besar dengan membentuk segitiga
meruncing dibagian atas nya. Begitu juga dengan bentuk atap merupakan
penggunaan atap sederhana brupa penggabungan atap pelana dan perisai sehingga
apabila orang yang belum pernah sholat dimasjid ini akan sulit untuk mengetahui
kalau bangunan ini berfungsi sebagai bangunan masjid.
4.1.18 Masjid Al Qomar
Kasus ke delapan belas adalah Masjid Al-Qomar . Masjid ini beralamat di
jalan tengku umar (marlboro) didirikan pada tahun 1985 dan direnovasi kembali
pada tahun 1997 dan selesai pada tahun 2007 berberntuk bangunan dua lantai
dengan lantai mezanin pada bagian belakang diantara lantai dasar dan atas .
Fungsi penunjang masjid adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak di sisi kiri
bangunan dengan massa bangunan yang berbeda. Bangunan masjid Al-Qomar
memiliki luas bangunan sektar 800 m2 diatas lahan seluas 650 m2, orientasi
bangunan mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan susunan shaf sholat. bagian
dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar 60 cm dari tanah sehingga pada
bagian dinding pondasi lantai terdapat ornament dan dasar kolom bergaya
arsitektur Bali.
Ruang utama masjid berfungsi sebagai ruang sholat laki-laki terdapat di lantai
atas bangunan sedangkan ruang mezanian dimana perluasan bordes tangga
digunakan untuk makmum wanita. Ruang sholat utama bebas kolom hanya
terdapat bagian keliling dinding bangunan. Untuk ruang sholat lantai dasar
terdapat kolom ditengah nya yang memiliki bentuk penampang persegi panjang.
121
Sedangkan ruangan bagian belakang dibawah ruang mezanin digunakan untuk
ruang belajar mengaji dan ruang penyimpanan perlengkapan sholat. pada bagian
pojok ruang dibawah mezanin digunakan untuk kantor sekolah Taman Kanak-
Kanak akan tetapi memiliki akses dari depan bangunan
Gambar 4.49. Fasad luar dan denah Masjid Al Qomar
Bangunan Masjid Al Qomar memiliki dua buah ruang Mihrab yaitu dilantai
dasar dan lantai atas bangunan akan tetapi yang dipakai hanya pada mihrab lantai
atas, dinding mihrab menggunakan material yang sama dengan dinding disisi
kiblat akan tetapi dibuat profil yang lebih menonjol dengan menggunakan lapisan
122
yang sama berbentuk lengkung tipe ogee atau kubah berbentuk bawang. . Dinding
bangunan masjid menggunakan pasangan dua bata sehingga sangat tebal dan
kokoh. Seluruh permukaan dinding bagian dalam masjid dilapisi batu marmer
berwarna kuning muda kecoklatan. Untuk tampilan fasad menggunakan langgam
Arsitektur bali pada bagian tampak muka bangunan dengan mengekspos dinding
bata merah dan batu alam abu-abu kehitaman, sedangkan pada bagian samping
bangunan menggunakan jendela berbentuk lengkung berbahan alumunium.
Untuk dinding samping dibuat lagi massa tambahan yang menempel pada
bangunan dengan memiliki bentuk atap sendiri sehingga member irama pada
bangunan, ruang tersebut pada lantai dasar membentuk atap bagi teras samping
bangunan. Akses masuk masjid berada disamping dan sisi depan sebelah kiri
berdekatan dengan ruang wudhu.
Gambar 4.50. Ragam hias, mihrab, dan ruang sholat utama Masjid Al Qomar
123
Bangunan ini memiliki konsep bentuk kolom persegi dan persegi panjang
dengan penutup menggunakan dua macam bahan yaitu berlapis marmer dan batu
alam berwarna hitam. Untuk kolom pada bagian luar pada sisi barat bangunan
menggunakan bentuk yang besar dengan dibagi menjadi tiga bagian kolom kaki,
badan dan kepala atau kapital yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali
sedangkan pada kolom samping bgian luar denganh penampang persegi panjnag
dilapisi bahan marmer dengan membentuk portal. Sedangkan kolom bagian dalam
bangunan semuanya dilapisi bahan batu marmer dengan bentuk penampang
persegi panjang.
Gambar 4.51.Detail ragam hias kolom Masjid Al Qomar
Bangunan Masjid Al Qomar juga terdapat portal-portal lengkung yang
menjadi ciri khas arsitektur Islam di Timur tengah terutama terdapat pada pintu
masuk samping dan pintu masuk bagian depan. Bangunan masjid tidak memiliki
serambi keliling hanya terdapat teras pada sisi utara bangunan yang berbatasan
dengan jalan. Portal bagian samping menggunakan pelapis marmer sedangkan
pada bagian depan menggunakan pelapis batu alam.
Atap bangunan Masjid Al Qomar memiliki bentuk atap tumpang dua, terdapat
tiga massa atap pada masjid yang pertama atap ruang utama, kedua atap ruang
124
samping kanan masjid dan ketiga ruang pengurus yayasan bagian depan sehingga
dari ketiga atap tersebut melahirkan komposisi yang dinamis, atap ruang utama
memiliki ukuran dominan. Ketiga atap memiliki kubah berbahan stainless dengan
profil bulan bintang dipuncaknya. Plafon ruang dalam menggunakan plafon
gypsum sedangkan plafon bagian luar menggunakan plafon papan dengan lebar
10 cm yang tersusun rapat dan dilapisi pelitur, plafon masjid pada ruang utama
berbentuk dasar lingkaran bertingkat dengan profil plafon menggunakan motif
kubah. Masjid Al-Qomar memiliki Gerbang bangunan pada bagian depan
bangunan bergaya Arsitektur bali, menyatu dengan pagar depan dan ruang wudhu
berupa bangunan dua lantai dimana lantai atas berfungsi sebagai ruang pengurus
yayasan. Gerbang utama menggunakan bahan batu alam dan ekspos bata merah
akan tetapi tidak terdapat motif hewan atau patung pada sisi pagar seperti gerbang
pada Arsitektur Bali. Pada gerbang masjid juga dilakukan sedikit perubahan
seperti menambahkan bentuk kubah kecil di permukaan atas gerbang dan pagar.
Gambar 4.52. Bentuk atap dan plafon Masjid Al Qomar
125
Gambar 4.53. Pagar dan gerbang masjid Al Qomar
Masjid Al Qomar tidak memiliki menara bangunan akan tetapi memiliki
banyak ragam hias dimana perpaduan ragam hias arsitektur Bali dan Islam, seperti
bagian pagar menggunakan bentuk kubah, begitu juga dengan pagar ruang
pengurus menggunakan bahan bata merah dan batu alam akan tetapi membentuk
kubah. Begitu juga dengan pintu pagar menggunakan motif bintang yang sering
dipakai sebagai simbol islam, ornament bali juga digunakan pada dinding depan
dan profil kaki dan kepala kolom masjid.
Gambar 4.54. Detail ornamen masjid Al -Qomar
126
4.1.19 Masjid Al -Muhajirin
Kasus kedua puluh adalah masjid Al Muhajirin. Berdasarkan catatan sejarah,
masjid ini didirikan pada tahun 1326 Hijriyah atau sekitar tahun 1905 . Pada
waktu pertama kali didirikan, Masjid Al-Muhajirin masih berukuran 12×12 meter.
Awal pertama kali dibangun, masjid ini bernama Hamsul Mursalin. Kehadiran
kaum pendatang asal Madura, Bugis, Melayu, serta Bali yang mendiami kampung
Kepaon setelah itu menuntut adanya peralihan nama masjid sebagai pusat sarana
ibadah yang diembel-embeli dengan Muhajirin. Kehadiran seorang tokoh Islam
yang berasal dari Gujarat bernama Haji Abdurrahman menjadikan masjid ini
sebagai tempat peribadatan tersebut dengan nama Masjid Jamik al-Muhajirin.
Pada tahun 1976 terjadi gempa bumi sehingga masjid harus direnovasi, akan
tetapi renovasi baru selesai pada tahun 1991 berupa bangunan dua lantai.
Fungsi tambahan pada masjid adalah didirikan sekolah Taman Pendidikan
Qur‟an sedangkan fungsi lainnya untuk menyelenggarakan sholat lima waktu.
Bangunan ini berorientasi ke barat dimana terdapat toleransi ke arah kiblat untuk
shaf beberpa terputus oleh kolom bangunan. Bentuk bangunan sejajar dengan
bentuk tanah sehingga bangunan dibangun penuh untuk sisi kiri dan kanan dengan
dinding yang sejajar dengan jalan, sedangkan pada bagian depan atau timur
bangunan terdapat halaman yang terdiri dari bangunan ruang wudhu dan sekolah
Tingkat Taman kanak-kanak dan halaman parkir motor.
127
Gambar 4.55. Denah Masjid Al Muhajirin Kepaon
Pondasi lantai dasar bangunan sekitar satu meter dari jalan karena daerah ini
dahulunya sering terendam air pada saat hujan. Ruang utama masjid berada di
lantai dasar dengan ruang mihrab yang tembus kelantai dua yang disatukan
dengan void karena mimbar memiliki atap yang tinggi maka konsep mimbar
menggunakan bentuk yang tinggi dengan beberapa anak tangga menuju tempat
duduknya dengan dilengkapi atap kubah diatasnya. Dinding bangunan bagian luar
sederhana tanpa pemakaian lapisan batu alam atau marmer akan tetapi dari dalam
bangunan dinding bagian lantai dasar diberi profil lengkung dengan jendela
didalamnya. Bangunan muhajirin memiliki portal dengan dretan kolom
disepanjang sisi kiri dan kanan ruang sholat utama. Bangunan masjid Muhajirin
tidak memiliki menara dan serambi keliling dikarenakan keterbatasan lahan.
128
Gambar 4.56. Mihrab dan void Masjid Al Muhajirin
Atap bangunan menggunakan atap tumpang tiga akan tetapi tumpang ketiga
digantikan dngan atap berbentuk kubah berbahan beton dengan kalimat Allah
dipuncaknya . bentuk plafon masjid muhajirin mengikuti bentuk atap sehingga
kubah dapat dilihat dari dalam. Bangunan Masjid tidak memiliki menara dan
gerbang dan sedikit ragam hias atau ornament.
Gambar 4.57 Portal dan Plafon Masjid Al Muhajirin
4.1.20 Masjid Sadar
Kasus kedua puluh adalah Masjid Sadar. Masjid ini beralamat di Jalan
Kenangan 15 Sesetan memiliki luas bangunan sekitar 600 m2 diatas lahan seluas
500 m2. Fungsi tambahan masjid ini adalah sekolah tingkat Taman kanak-kanak
pada bagian belakang masjid. Bangunan masjid ini sangat konsisten terhadap
orientasi kiblat sehingga bangunan dan arah sholat berorientasi ke kiblat meskipun
129
bentuk lahan sangat sulit untuk mengikuti orientasi tersebut. Pondasi bangunan
sekitar 1,20 m dari jalan dengan beberapa anak tangga sebelum masuk ke masjid.
Masjid sadar juga sangat menunjang konsep susunan shaf tanpa kolom sehingga
hampir semua ruang sholat tidak memiliki tiang dibagian tengahnya, hampir sama
dengan masjid ukkhuwah Masjid Sadar memisahkan ruang sholat laki-laki dan
perempuan dengan pembatas pintu dan jendela kaca. Ruang sholat utama masjid
berada di lantai dasar membentuk void dengan ruangan dibelakangnya, ruang
masjid terdiri dari tiga modul ruang yang semakin kebelakang bergeser kekanan.
Ruang mihrab masjid memiliki plafon yang tinggi dengan portal atau gerbang
berbentuk kubah lengkung, karena mihrab memiliki atap yang tinggi maka
mimbar digunakan ukuran yang besar yang memiliki anak tangga dan atap kubah
diatasnya, mimbar tersebut berbahan kayu yang dilapisi pelitur kayu. Masjid
Sadar tidak memiliki kolom atu tiang yang dijadikan elemen estetika baik bagian
dalam maupun luar bangunan, permainan fasad bangunan adalah penambahan
bidang dinding antara jendela yang menjorok keluar sejauh satu meter sehingga
memberikan ruangan bayangan yang memberikan kesan dinding tebal dan kokoh.
Bentuk seperti ini juga memberikan perlindungan ruang dalam dari panas
matahari dan hujan. Atap bangunan menggunakan atap bertumpang dua, karena
bentuk denah yang tidak simetri maka bangunan terdiri dari tiga masa atap
masing-masing bertumpang dua. Sedangkan untuk plafon bagian atas bangunan
mengikuti bentuk atap dan mengekspos struktur rangka atap dimana memiliki
konsep struktur atap Arsitektur Bali.
131
4.1.21 Masjid Baitul Mukminin
Kasus ke duapuluh dua adalah masjid Baitul Mukminin. Beralamat di Jl
Tukad Pakerisan Gg. XV A Panjer. Memiliki luas bangunan 960 m2 diatas lahan
seluas 650 m2. Masjid berupa bangunan dua lantai. Fungsi penunjang bangunan
adalah sekolah TPQ . ruang lantai dasar terdiri dari ruang parkir motor, ruang
kelas, ruang pengurus masjid, tempat wudhu dan wc. Sedangkan ruang utama
Masjid berada di lantai atas. Bangunan Masjid berorientasi ke Barat sedangkan
orientasi sholat tetap kearah kiblat tidak sejajar dengan masjid. Lantai dasar
bangunan tidak dibatasi dinding atau terbuka kecuali ruang wudhu, pengurus dan
kelas. Ruang utama masjid terdapat kolom yang memutus garis shaf makmum.
Dibagian belakang ruang sholat laki-laki sebelah kanan terdpat ruang sholat
khusus wanita yang dibatasi tirai kain. Mihrab bangunan memiliki bentuk ruang
melengkung pada bagian depan dan portal sebelum masuk ruang mihrab
menggunakan lekuk dinding berbentuk kubah bawang . diatas lubang dinding
tersebut terdapat kaligrafi yang membentuk puncak pilar dan bagian atas mihrab
berbentuk petikan ayat Al Qur‟an dengan bingkai membentuk segitiga. Dinding
bangunan masjid tidak menggunakan banyak jendela melainkan jendela kecil
yang tersembunyi dibalik kolom dan diantara atap dan dinding bangunan sehingga
dari luar dinding masjid terlihat sangat polos. Atap bangunan masjid
menggunakan atap tumpang dua tanpa kubah pada puncak atapnya.
132
Gambar 4.60. Fasad Luar dan Denah Masjid Baitul Mukminin
Gambar 4.61. Plafon, Mihrab dan Ventilasi Masjid Baitul Mukminin
Ragam hias dan ornamen masjid Baitul mukminin berupa kaligrafi dan
tulisan arab pada dinding masjid dan lubang ventilasi diantara dinding dan atap
ruang sholat utama. Kaligrafi menggunakan bahan semen yang dicetak sesuai
bentuk yang diinginkan kemudian dilapisi cat berwarna emas.
133
Gambar 4.62. Detail Ornamen Kaligrafi
4.1.22 Masjid Al-Falah
Kasus ke duapuluh 22 adalah masjid Al Falah beralamat di Komplek
Perumahan Kerta Rahayu Sidakarya. Masjid ini berukuran sekitar 130 m2 dengan
luas lahan sekitar 220 m2. Fungsi tambahan masjid adalah tempat belajar mengaji
pada ruangan belakang yang berfungsi sebagai serambi. Konsep bangunan masjid
ini terbuka tanpa dinding yang menggantikan posisi dinding adalah pagar samping
dan depan bangunan. Ruang utama masjid bebas kolom dan orientasi bangunan
kea arah Barat sedangkan orientasi sholat kearah kiblat ruang mihrab masjid
membentuk tiga sisi sudut sedangkan bagian depan mihrab dibatasi dengan replica
bentuk kolom dengan mnggunakan keramik hijau tua dengan bagian puncak
berbentuk datar, pilar ruang mihrab menyambung pada bagian kiri dan kanan
dinding mihrab membentuk garis lengkung setengah lingkaran . Bentuk atap
masjid menggunakan atap tumpang dua dengan bentuk pelafon mengikuti bentuk
atap pada tingkat bawah sedangkan struktur atap hanya diekspos sebagian.
134
Gambar 4.63. Fasad Luar, Mihrab, dan Ruang terbuka Masjid Al Fallah
Gambar 4.72. Denah Masjid Al Fallah
4.1.23 Masjid Assyuhada
Kasus ke duapuluh lima adalah Masjid tua bernama Assyuhada dibangun
akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah
satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung
Islam Pulau Serangan. Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas
8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai
135
rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah
termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada
kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan kampung Bugis Pulau Serangan
Bali. Masjid Assyuhada memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan warga dan
tempat anak-anak belajar mengaji. Salah satu keunikan masjid ini tidak ada
bangunan yang menghalangi arah kiblat masjid dan bangunan di bagian selatan
masjid orientasinya tidak kearah barat sehingga membentuk ruang disepanjang
halaman masjid, akan tetapi dibangun belakangan sebuah rumah panggung yang
dipindahkan dari lokasi yang sebelumnya berbeda sebagai langkah pelestarian
yang dilakukan warga Kampung Bugis Pulau Serangan. Bangunan masjid
berorientasi ke kiblat sehingga dianggap sejajar dengan arah orientasi sholat.
bentuk denah sejajar dengan bentuk lahan dan jalan didepan masjid sehingga
secara tidak langsung jalan dan posisi kavling permukiman juga sejajar dengan
arah kiblat.
Gambar 4.65. Denah dan fasad luar Masjid Assyuhada
Bangunan memiliki fundamen yang massif tanpa kolong dengan ketinggian
pondasi sekitar satu meter dari tanah. Lantai masjid dilapisi bahan marmer
136
berwarna abu-abu tua dengan ukuran 60x60 cm pada bangunan lama sedangkan
bangunan tambahan menggunakan keramik putih polos. Ruang utama masjid
terdapat empat tiang ditengahnya berupa soko guru yang berfungsi menopang
struktur atap akan tetapi posisi kolom tidak memutus shaf sholat.
Masjid Asyuhada memiliki mihrab yang sederhana hanya cukup untuk satu
imam dengan ukuran sekitar 1x2m dengan bentuk lengkung pada bagian atap dan
dinding depan mihrab. Pada bagian atas gerbang mihrab terdapat mahkota
lengkung berbentuk profil tanpa profil tiang disisi kanan dan kirinya. Meskipun
ukran masjid sangat kecil akan tetapi masjid ini memiliki mimbar yang besar
dilengkapi dengan tangga dan atap berbentuk kubah dengan ukiran berprade emas
dengan warna dasar berwarna hijau, akan tetapi posisi mimbar berada di depan
ruang mihrab dimana pada umumnya masjid di denpasar mimbar berada di dalam
mihrab. Dari ukuranya mimbar tidak pas didalam ruang mihrab yang memiliki
ukuran sangat kecil. Dinding bangunan Masjid Assyuhada berupa dinding massif
dengan ketebalan dinding sekitar 30 cm dengan dilengkapi beberapa jendela kayu.
Pintu masuk utama kedalam masjid berada tegak lurus terhadap kiblat, dimana
menjadi ciri masjid tua di Indonesia. Bangunan Masjid tidak memiliki serambi
keliling akan tetapi memiliki teras depan yang cukup besar. Pada bagian sisi
kanan bangunan lama terdapat bangunan baru yang memiliki ukuran yang sama
dengan bangunan lama akan tetapi dari sisi arsitektur tidak memiliki karakter
yang sama dengan bangunan lama. Bentuk atap masjid berupa atap tumpang dua
akan tetapi bentuk atap saat ini sudah dipugar dan diganti penutup atap yang baru,
atap sebelumnya memiliki tritisan yang pendek berbeda dengan bentuk sekarang
137
atap diperpanjang dan bercorak Arsitektur Bali. Bagian plafon masjid
menggunakan bahan teakwood berwarna putih pada bagian dalam dan teras
bangunan dengan bentuk datar kecuali pada bagian tengah yang membentuk
persegi delapan.
Gambar 4.66. Serambi, Ruang Sholat dan Mihrab Masjid Assyuhada
Masjid Assyuhada tidak memiliki gerbang dan menara masjid akan tetapi
memiliki pagar yang dibuat belakangan karena masjid sebelumnya terbuka.
Ragam hias Masjid menggunakan profil baik itu bagian dinding , jendela, pintu
dan kolom bangunan yang dilapisi dengan cat berwarna putih. Bangunan Masjid
Asyuhada banyak dipengaruhi Arsitektur Portugis pada profil dan ketebalan
dindingnya.
Gambar 4.67. Detail Profil Beton Masjid Assyuhada
138
Bangunan tambahan masjid termasuk bangunan samping sudah berbaur
dengan arsitektur Bali baik itu berupa konsep bentuk atap dengan menggunakan
atap perisai juga warna dan bentuk pagar bangunan.
4.1.24 Masjid Al-Ikhsan
Dari Masjid Assyuhada kasus selanjutnya adalah Masjid Al Ikhsan Sanur.
Masjid ini berupa bangunan satu lantai konsep terbuka dengan luas bangunan
sekitar 900 m2 diatas lahan sekitar 2000 m2. Masjid al Ikhsan tidak memiliki
fungsi tambahan seperti sekolah atau gedung sewa akan tetapi terdapat Sekretariat
MUI Kota Denpasar. Ruang masjid Al Ikhsan didominasi oleh ruang sholat
dengan sedikit ruang penunjang. pada bagian depan berupa ruang sholat laki-laki
dimana terdapat deretan kolom bangunan yang membentuk tiga ruangan bebas
kolom ditengahnya dan sekaligus membentuk tiga massa atap. Massa atap bagian
belakang digunakan untuk ruang sholat wanita dan dibatasi oleh partisi dari kayu
lapis. Orientasi bangunan kearah kiblat sejajar dengan orientasi sholat akan tetapi
terdapat beberapa shaf jemaah yang terputus oleh kolom atau tiang bangunan.
bentuk denah bangunan tidak mengikuti bentuk tanah disebabkan bangunan tegak
lurus terhadap arah kiblat bukan kearah Barat atau menyesuaikan bentuk kavling
bangunan. Masjid Al-Ikhsan memiliki mihrab bangunan yang memiliki bentuk
gerbang segitiga dan dilengkapi oleh mimbar berukuran besar dengan tangga dan
atap berbentuk kubah.
139
Gambar 4.68. Denah Masjid Al Ikhsan
Bangunan Masjid Al Ikhsan hanya memiliki dinding pada dinding sisi barat
bangunan dan ruang wudhu dan pengurus yayasan. Sebelumnya masjid tidak
memiliki pagar, karena alasan keamanan dan kesucian masjid maka dibangun
pagar keliling masjid. Pengganti dinding bangunan adalah deretan kolom yang
membentuk portal segitiga yang membentuk batas ruang dalam dan luar. Masjid
Al Ikhsan memiliki serambi keliling karena tidak memiliki dinding maka serambi
terkesan menyatu dengan ruang dalam bangunan.
Gambar 4.69. Konsep Ruang tanpa dinding dan Mihrab Masjid Al Ikhsan
140
Atap bangunan Masjid terdiri dari tiga massa atap yang berbentuk tumpang
dua akan tetapi tumpang bagian atas tidak meruncing melainkan membentuk
sudut yang datar. Bentuk plafon ketiga atap mengikuti kemiringan atap, trap
pertama tanpa mengekspos struktur rangka sedangkan trap kedua plafon terlihat
menonjolkan struktur rangka atap terutama kasau bangunan.
Gambar 4.70. Bentuk Atap dan Plafon Masjid Al Ikhsan
Bangunan Masjid Al Ikhsan memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar
keliling bangunan gerbang berbentuk dua pillar tanpa membentuk portal dengan
bentuk bagian puncak setengah segitiga yang mengarah ke sisi dalam gerbang,
dilapisi batu alam dan profil berwarna hijau, sedangkan pagar keliling bangunan
berwarna kuning serupa dengan batu alam pada gerbang dengan diberi profil pada
bagian dasar dan tiang pagar. Masjid Al Ikhsan tidak memiliki menara masjid.
Sedangkan tempat wudhu berada disisi kanan untuk laki-laki dan sisi kiri untuk
makmum perempuan. Ragam hias masjid Al Ikhsan terdapat pada bagian pagar,
141
plafon dan mihrab. Ragam hias pada plafon meliputi profil kayu yang dibentuk
untuk membibgkai laigrafi yang terbuar dari kaca yang dilukis dengan cat minyak.
Sedangkan ragam hias pada pagar berupa profil yang dibuat dari bahan beton.
Untuk mihrab profil bangunan dibuat dari batu granit yang diasah dan ditempel.
Gambar 4.71. Gerbang, Pagar dan Ragam Hias Masjid Al Ikhsan
142
4.1.25 Masjid Ar-Rahman
Masjid ke Dua puluh Lima adalah masjid Ar-Rahman masjid ini beralamat di
Jalan Tukad Balian Gg I No 9 denpasar, masjid ini berdiri pada tahun 1986 berupa
bangunan dua lantai dengan luas sekitar 450 m2 diatas lahan seluas 290 m2.
Bangunan ini tidak memiliki fungsi penunjang karena memiliki keterbatasan
lahan. Ruang bagian bawah berfungsi sebagai ruang wudhu, wc, parkir motor dan
ruang pengurus yayasan. Masjid Ar Rahman berorientasi ke kiblat sehingga arah
sholat sejajar dengan bangunan sedangkan bentuk denah bangunan hampir sama
dengan masjid Sadar dimana tidak sejajar dengan bentuk lahan.
Mihrab bangunan masjid berukuran 2x2,4 m berbatsan langsung dengan
ruang takmir masjid. Semua dinding ruang utama dilapisi marmer berwarna
kuning, hanya pilar pembatas mihrab yang terdapat dua pilar dilapisi marmer
berwarna abu-abu. Konsep dinding bangunan tertutup pada bagian lantai atas
dengan bentuk jendela yang di lingkupi bidang dinding yang membentuk deretan
dinding setengah kubah dengan jendela didalamnya. Dinding tersebut selain
sebagai elemen pembentuk wajah bangunan juga berfungsi sebagai pelindung dari
cuaca. Dinding Masjid di lantai dasar berkonsep terbuka tanpa dinding pada sisi
kiri bangunan sedangkan pada sisi lain bangunan menempel dengan pagar
pembatas. Masjid Ar Rahman terdiri dari tiga massa atap dimana bentuk yang
paling besar di ruang utama bagian tengah dan bentuk atap lebih kecil pada ruang
sholat utama bagian depan dan diatas tangga. Ketiga atap dihubungkan oleh atap
dag beton masing-masing atap berbentuk atap bertumpang dua. Plafon bangunan
143
polos hanya pada bagian ketiga atap plafon mengikuti bentuk atap dan
mengekspos struktur sehingga cahaya dan udara bisa masuk kedalam ruangan.
Gambar 4.72. Fasad Luar dan Denah Masjid Ar Rahman
144
Gambar 4.73. Mihrab dan Ruang Sholat Masjid Ar Rahman
Gambar 4.74. Lantai Dasar Masjid Ar Rahman
Gambar 4.75. Bentuk Plafon Masjid Ar Rahman
Bangunan tidak memiliki gerbang masuk maupun menara masjid. Sedangkan
untuk ragam hias terdapat pada profil memanjang, profil jendela serta pada tiang
145
bangunan lantai dasar dan bagian luar. Tiang bagian lantai dasar beberntuk bulat
dengan kapital dan dasar tiang menggunakan pelapis berwarna emas berbentuk
melingkari kolom, sedangkan pada dinding luar lantai atas kolom berada pada
sudut bangunan dengan kepala tiang mengikuti bentuk tiang persegi.
4.1.26 Masjid Al-Hikmah
Kasus ke 28 adalah Masjid Al Hikmah masjid ini memiliki Gaya Arsitektur
Bali yang paling kental dibanding masjid di Denpasar lainnya. Masjid ini
beralamat di Jalan Soka 18 Denpasar Timur. Masjid ini berdiri pada tahun 1978
kemudian direnovasi kembali pada tahun 1998 dengan menyerap Arsitektur Bali.
Masjid Al Hikmah berupa bangunan satu lantai dengan luas bangunan sekitar 220
m2. Masjid ini memiliki fungsi penunjang yaitu sekolah tingkat taman kanak-
kanak berupa bangunan dua lantai disisi kiri bangunan masjid. Orientasi Masjid
Al Hikmah ke Arah kiblat sehingga posisi denah bangunan tidak sejajar dengan
bentuk lahan bangunan. Bentuk bangunan tetap berbentuk persegi panjang,
penyesuaian bentuk tapak hanya pada desain halaman dan tempat berwudhu.
Ruang Utama masjid berada di ruang paling depan dengan dibatasi dinding
massif yang membentuk beberapa gerbang masuk kedalam ruangan. Ruangan
utama tidak terdapat kolom dibagian tengahnya sehingga tidak memutus shaf
sholat berjamaah, begitu juga dengan ruang dibelakang ruang utama yang sekilas
menyerupai serambi yang diperpanjang kebelakang karena konsep dindingnya
semi terbuka. Mihrab pada ruang utama masjid memiliki bentuk dasar gerbang
kubah bawang dibentuk dengan menggunakan bahan dan warna material yang
146
berbeda dengan dinding.serta ditunjang dengan dua pillar dengan kaki dan kepala
kolom menggunakan profil berwarna hitam. Didalam ruang mihrab terdapat
mimbar yang memiliki bentuk yang sederhana dan menggunakan bahan yang
tidak umum digunakan yaitu kaca dan alumunium.
Gambar 4.76. Fasad Luar dan Denah Masjid Al Hikmah
Pada bagian kiri dan kanan ruang mihrab terdapat bentuk portal yang
mengimbangi ruang mihrab akan tetapi memiliki skala yang lebih kecil. Pada pilar
pembentuk portalnya bagian sebelah kiri dilapisi oleh ukiran yang terbuat dari plat
147
metal. Sebelum memasuki ruang utama masjid dari arah depan terdapat tiga portal
yang membentuk gerbang masuk ke ruang utama, gerbang tersebut memiliki
bentuk atas lengkung dengan dominasi gerbang bagian tengah, diantara gerbang
kiri dan kanan terdapat pilar yang membatasinya.
Gambar 4.77. Mihrab Masjid Al Hikmah
Dinding bangunan Masjid Al Hikmah bersifat semi terbuka karena tidak ada
pintu permanen yang memisahkan ruang luar dan dalam sedangkan bagian
dinding bangunan dipenuhi ukiran yang tembus sehingga cahaya dan udara dapat
masuk kedalam bangunan, sehingga didalam ruangan terasa menyatu dengan
lingkungan luar masjid. Terdapat dua dinding di dalam masjid Al Hikmah,
dinding pertama adalah dinding yang membatasi ruang sholat pertama dimana
dibatasi oleh dinding tanpa pintu sedangkan jendela samping dan bagian atas
dipenuhi oleh ukiran kayu tembus. Dinding lapis kedua masjid adalah dinding
yang sebenarnya membatasi serambi dengan lingkugan luar masjid finfishing
dinding menggunakan ekspos bata merah khas bangunan Bali. Pada dinding
terluar dibatasi oleh beberpa titik dinding massif diantara pintu geser yang berukir
148
tembus sedangkan sisa penutup masjid berupa ukiran ventilasi yang terbuat dari
bahan beton dengan ukiran tembus cahaya.
Gambar 4.78. Ragam Hias Masjid Al Hikmah
Masjid Al Hikmah menggunakan bentuk kolom dengan penampang persegi
dilengkapi dengan kaki dan kepala kolom dengan menggunakan warna gelap.
Diantara kolom bangunan membentuk beberapa portal dengan bentuk setengah
lingkaran dan ellips. Pada ruangan belakang ruang utama kolom membentuk
portal yang besar dengan garis lengkung dimana kolom pembatas keruang utama
mengikuti pola lengkung tersebut. Sedangkan portal yang terbentuk antara tiang
berbentang pendek membentuk deretan tiga garis lengkung setengah lingkaran.
Bangunan ini sebenarnya memiliki serambi akan tetapi ditutupi oleh dinding
pembatas sehingga berfungsi sebagai ruang dalam masjid.
Gambar 4.79. Bentuk Ruang dan Plafon Masjid Al Hikmah
149
Atap bangunan Masjid Al Hikmah menggunakan atap tumpang tiga dimana
pada kasus lainnya masjid tidak ada yang menggunakan atap tumpang tiga karena
mereka menghindari meniru bangunan suci hindu yang biasanya bertumpang tiga
atau ber angka ganjil pada bagian puncak atap terdapat tiga trap balok persegi
kemudian diatasnya terdapat kubah bertingkat tiga dan pada bagian puncaknya
diakhiri dengan lambing bertuliskan kalimat Allah SWT. Bentuk plafon pada
ruang utama mengikuti bentuk atap dengan menyisakan void dibagian puncak
berbentuk lingkaran dengan bingkai bermotif persegi empat yang sudutnya
dilengkungkan. Pada ruang dibelakang ruang utama bentuk plafon mengikuti
bentuk lengkung pada portal yang menghubungkan antara kolom bangunan.
Gerbang Pada Masjid Al Hikmah merupakan elemen bangunan yang paling
kuat karakter Arsitektur Bali mulai dari penggunaan bahan, ukiran dan bentuk
gerbang akan tetapi yang membedakanya adalah hiasan pada bagian puncak
gerbang berupa kubah dengan lambing bulan sabit pada bagian puncaknya.
Bangunan Masjid Al Hikmah tidak memiliki bentuk ukiran atau ornament yang
bermotif hewan dan manusia kecuali pada bagian gerbang depan. Banyak
kontroversi yang disebutkan dari beberapa pengurus masjid lain di Denpasar
mereka menganggap akulturasi pada masjid Al Hikmah melewati jalurnya. Akan
tetapi kalau melihat posisi gerbang berada di ring terluar bangunan masjid dan
dibatasi lagi dinding sebelum masukke pekarangan dengan dihiasi kubah kecil
belafaskan Allah dan Muhammad.
150
Gambar 4.80. Gerbang Masjid Al Hikmah
Masjid Al Hikmah tidak memiliki menara. Akan tetapi masjid ini memiliki
banyak ragam hias dan ornamen didalamnya, hampir pada semua komponen
bangunan meliputi dinding bangunan, pagar, kolom, plafond an atap bangunan.
Mulai dari gerbang bangunan memiliki bentuk ukiran yang bermotif tumbuh-
tumbuhan, manusia dan hewan dimana elemen tersebut dilarang didalam Islam.
Pada kolombangunan ragam hias terdapt pada kepala dan kaki kolom, sedangkan
pada dinding bangunan meliputi ornament yang ditempel sampai beragam ukiran
baik itu berbahan kayu ataupun batu.
4.1.27 Masjid At-Taqwa
Kasus ke 27 adalah masjid At Taqwa Masjid ini berada di dalam Komplek
Polisi Daerah Bali. Masjid ini pertama berdiri pada tahun 1971 dan direnovasi
total pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 1997. Masjid At Taqwa didirikan
untuk memenuhi kebutuhan jemaah pegawai Polda dan masyarakat umum yang
hendak menggunakan Masjid tersebut. Tidak terdapat fasilitas penunjang khusus
di Masjid At-Taqwa akan tetapi pada bagian belakang masjid terdapat beberapa
kamar yang digunakan untuk tamu dan pengurus masjid tinggal. Bangunan Masjid
151
At-Taqwa berorientasi kearah kiblat sehingga sejajar dengan shaf jemaah. Masjid
ini terdiri dari dua lantai bangunan dimana ruang shalat utama terdapat dilantai
bawah sekaligus tempat ruang mihrab berada dan ruang shalat khusus wanita
terdapat pada sisi kanan belakang dari arah kiblat masjid dengan pembatas berupa
panel kayu berbahan plywood berwarna putih. Lantai atas bangunan masjid
digunakan untuk ruang shalat tambahan pada bagian depan bangunan dibuat void
yang tembus ke ruang depan pada ruang shalat lantai dasar. Mihrab pada masjid
ini memiliki portal berbentuk kubah bawang bertingkat dua dengan bahan berlapis
batu granit, pada bagian atas dinding mihrab terdapat kaligrafi berbahan kayu
berdiameter sekitar dua meter. Terdapat sebuah mimbar kecil berbentuk kubus
berbahan kayu dan bertuliskan Polda Bali dan nama Masjid yang menandakan
bahwa masjid tersebut dibawah naungan Polda Bali. Dinding masjid dibuat
tertutup permanen dengan marmer sebagai pelapis pada interior bangunan
sedangkan pada bangian muka bangunan hanya berupa lapisan cat. Permainan
fasad dinding berada pada sekeliling serambi lantai atas dimana terdapat bentuk
lengkung setengah lingkaran yang membentuk portal dan dibuat dinding penutup
permanen setelah portal secara bergantian dengan finishing menggunakan
keramik berukuran seperti batu-bata berwarna merah tua. Kolom dan balok pada
bangunan masjid At-Taqwa menggunakan bentuk yang mewakilkan detail
sambungan dan ukiran kayu yang umumnya digunakan pada Arsitektur Bali
terutama pada bagian lantai atas dan teras pintu masuk utama Masjid. Satu
keunikan yang dimiliki masjid ini adalah satu-satunya masjid yang memiliki
beduk dari sekian kasus yang ditemukan pada Masjid di Denpasar.
152
Gambar 4.81. Fasad Luar dan Denah Masjid At Taqwa
Atap bangunan Masjid At-Taqwa berbentuk atap tumpang dua dengan bentuk
sudut atap semakin mengecil pada ujungnya. Sedangkan untuk plafon masjid
mengikuti bentuk atap yaitu dengan menonjolkan struktur atap sebagai elemen
estetika bangunan dan untuk mengatur sirkulasi udara agar lebih lancar. Masjid ini
tidak memiliki gerbang akan tetapi memiliki pagar keliling dimana sedikit
mengadopsi gaya pagar Arsitektur Bali. Untuk tempat wudu‟ berada pada bagian
luar bangunan dan bagian selasar belakang masjid. Ragam hias pada masjid ini
terdapat pada bentuk balok dan kolom yang menganalogikan ukiran kayu dan juga
153
profil pada fasad luar bangunan. Bagian dalam bangunan terdapat ukiran-ukiran
kayu berbentuk kaligrafi yang disusun didepan dinding mihrab dan sebagai
ventilasi pada bagian atas bangunan dengan memanfaatkan ukiran tembus.
Gambar 4.82. Bentuk mihrab dan plafon Masjid At Taqwa
4.1.28 Masjid Baitturahman
Kasus dua puluhdelapan adalah masjid baitturahman. Masjid Baiturahman
sendiri berada pada bagian tengah Dusun Wanasari dimana dahulu lokasi tersebut
adalah sebuah bangunan Pura. Posisi bangunan masjid bearada dipersimpangn
jalan sehingga memiliki posisi paling strategis di lingkungan tersebut. Akan tetapi
bangunan masjid sebelumnya tidak berada di pinggir jalan utama sebelum lahan
rumah didepannya dibebaskan untuk dilakukan perluasan masjid. Berdasarkan
sejarah nya daerah dusun wanasari dahulunya merupakan kelompok penduduk
menengah kebawah dengan matapencaharian utama berupa buruh dan pedagang
154
kecil. Sampai saat ini dapat terlihat lingkungan sekitar bangunan Masjid terlihat
sangat padat dan tidak begitu teratur, begitupula dengan estetika bangunan rumah
penduduk tidaklah terlalu menjadi prioritas.
Gambar 4.83. Denah Masjid Baitturahman
Pada tahun 1904 M, diatas tanah yang kini bernama Dusun Wanasari telah
berdiri sebuah Loji (Tangsi Belanda). Disekitar loji hanya tumbuh alang-alang.
155
Penghuni loji memanfaatkan mata air disekitar jembatan untuk tempat mandi.
Pada saat sebelum itu penduduk pendatang sebagian besar menempati tanah
disekitar pasar payuk (priuk) Pasar Badung Sekarang. Masjid Baiturrahman yang
ada di Kampung Jawa, berdiri sejak 1920-an, hampir bersamaan dengan adanya
kuburan Muslim di dekat kampung itu. Di Denpasar ada beberapa pemakaman
Muslim, salah satu yang terbesar adalah pemakaman Kampung Jawa. Salah satu
keranda milik pemakaman itu terbuat dari bahan kayu jati dan di sisi kepalanya
tertulis dengan ukiran tahun 1926, yang menandakan keranda itu dibuat. "Artinya
pemakaman sudah ada sejak atau sebelum 1926 dan masjid Baiturrahman pastilah
berdiri lebih dahulu ketimbang pemakamannya," kata takmir Masjid
Baiturrahman, H Muchtar Basyir. Pembangunan Masjid Kampung jawa pertama
kali pada saat kepala dusun dipegang oleh Bapak Suwati (1920-1932) dimana
pada masa ini sebenarnya bukan membangun dari awal melainkan memindahkan
bangunan masjid dari pertigaan Kampung Jawa ke Lokasi Masjid Baiturrahman
sekarang. Dimana pada awalnya adalah bangunan sebuah Pura Sari, yang oleh
penyungsungnya pura itu dibongkar dan tanahnya diperuntukan mendirikan
Masjid. Perluasan bangunan Masjid Baiturrahman sampai pada kondisi sekarang
dibangun pada saat dusun Wanasari dipimpin oleh H Moch Rifai pada tahun 1967
sampai dengan 1995.
Posisi Mihrab pada Kampung Jawa berada pada lantai 2 bangunan, dimana
Mihrab merupakan ruangan terdepan dimana berfungsi sebagai posisi imam
memimpin shalat berjamaah dan tempat khatib menyampaikan khutbah. Pada
ruangan lantai 3 digunakan untuk ruang shalat sebagai ruang tambahan pada saat
156
shalat berjamaah. Di kota lain di Indonesia apabila bangunan Masjid terdiri dari
dua Lantai atau lebih posisi Mihrab berada pada ruang lantai dasar.
Gambar 4.84. Tangga dan fasilitas penunjang Masjid Baitturahman
4.1.29. Masjid Darussalam
Kasus ke 29 adalah Masjid Darussalam beralamat di Jalan HOS.
Cokroaminoto No. 155 Ubung - Denpasar. Masjid ini awalnya berupa bangunan
satu lantai akan tetapi mengalami perubahan pada tahun 90 an hingga menjadi tiga
lantai masjid ini selain tempat mengerjakan ibadah shalat juga sering digunakan
oleh orang-orang yang hendak beristirahat sejenak karena posisi masjid
merupakan pintu gerbang dari dan menuju kota denpasar. Bangunan masjid
berupa bangunan tiga lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang sholat
dan juga tempat beristirahat bagi mereka yang singgah. Lantai dua bangunan
berfungsi sebagai ruang shalat utama dimana terdapat ruang mihrab pada sisi
bagian barat.Untuk jemaah wanita juga terdapat di sisi belakang sebelah kiri ruang
sholat dengan dibatasi tirai. Orientasi bangunan kearah barat dimana terlihat
bangunan berupaya untuk berorientasi ke kiblat walaupun bentuk lahan masjid
yang kurang beraturan. Meskipun orientasi bangunan berusaha berorientasi ke
157
kiblat akan tetapi susunan shaf masih tetap tidak sejajar. Bentuk arsitektur
bangunan Masjid Darussalam secara umum bergaya hipostyle atau timur tengah
terlihat pada pada dinding luar bangunan yang menggunakan bentuk lengkung .
Pada bagian atap terjadi penggabungan bentuk atap tumpang dan kubah.
Penggabungan kedua bentuk tersebut juga terlihat pada bentuk plafon bangunan
dimana terlihat penonjolan struktur atap limasan dan lengkungan kubah yang
memusat pada titik tengah bangunan.
Gambar 4.85. Fasad luar dan denah Masjid Darussalam
158
Ruang utama bangunan masjid terdapat di lantai dua terdapat kolom ditengah
ruang sholat yang memutus barisan shaf sholat berjemaah. Ruang mihrab yang
juga berada di lantai dua memiliki posisi simetris terhadap ruang memiliki ruang
yang menjorok kebagian luar sebelah barat berukuran 2,5 x 2 m, dengan dibatasi
portal lengkung berbahan granit berwarna hitam.
Gambar 4.86. Mihrab dan ruang sholat Masjid Darussalam
Pada lantai dasar bangunan Masjid Darussalam tidak memiliki dinding
keliling kecuali hanya dibatasi oleh pagar bangunan, sedangkan untuk lantai dua
dan tiga bangunan menggunakan dinding bata diplester dengan menggunakan
jendela berbahan kayu. Bangunan masjid tidak terlau mengekspos ragam hias
ataupun simbol tertentu didalamnya akan tetapi bagian yang paling menonjol
adalah tiang bangunan yang dibuat berukuran besar dengan profil pada kaki dan
kepala kolom. Masjid ini tidak terdapat gerbang dan menara masjid sedangkan
tempat wudhu berada di bagian luar bangunan pada lantai satu dan bagian dalam
sejajar mihrab pada lantai dua bangunan.
4.1.30. Masjid Al Furqon Gatsu
Masjid terakhir yang diangkat kedalam kasus yaitu Al Furqon Gatsu. Masjid
ini berada pada sisi jalan berada pada ketinggian kontur sekitar lima meter
terhadap jalan. Masjid memiliki ukuran denah hanya sekitar 8 x 12 m, berbentuk
159
bangunan tiga lantai. Orientasi bangunan masjid ini tidak sejajar dengan orientasi
shaf shalat berjemaah dimana posisi bangunan sejajar dengan bentuk lahan yang
sejajar dengan jalan. Bagian dasar bangunan bersifat semi terbuka tidak memiliki
pintu tetapi dibatasi oleh dinding masif berlapiskan batu marmer pada permukaan
dalam dan luar bangunan, akses masuk masjid setelah melewati pagar depan
berupa portal yang ditopang beberpa deret kolom. Sedangkan untuk menuju lantai
atas bangunan tangga berada pada sisi kanan diluar ruang lantai dasar. Posisi
mihrab bangunan ini berada pada pojok kanan bagian barat dengan posisi mihrab
tegak lurus terhadap arah kiblat.
Gambar 4.87. Fasad Luar,Ruang Sholat dan Denah Masjid Al Furqon Gatsu
160
Kolom dan lengkung portal pada bangunan masjid meniru bentuk detail pada
Arsitektur Masjidil Haram di Mekah sehingga hampir tidak ditemukan ragam hias
atau elemen bernuansa arsitektur Bali. Begitupula dengan lambang atau ornamen
Islam tidak dijumpai pada bangunan ini melainkan hanya detail pada mihrab dan
pintu masuk dengan menggunakan bentuk lengkung dan profil khas Timur
Tengah. Masjid Al Furqon ini tidak memiliki bentuk atap baik itu kubah ataupun
atap tumpang karena pada bagian atasnya dibuat datar dengan menggunakan plat
beton bertulang sehingga bangunan menyerupai bangunan gedung atau ruko.
Bangunan Masjid Al Furqon tidak memiliki gerbang dan menara.
Gambar 4.88. Bentuk Portal pada Pintu Masuk dan Mihrab Masjid Al Furqon Gatsu
161
4.2 Bentuk Ruang Masjid di Denpasar
Fungsi ruang utama bangunan masjid adalah ruang sholat, sehingga setiap
bangunan masjid selalu berupaya untuk mengoptimalkan luasan ruang utamanya
baru kemudian diikuti ruang penunjang. Ruang utama masjid juga sering
digunakan untuk mendengar khotbah dan ceramah agama sehingga secara fisik
dituntut menampung luasan yang optimal.
Pengurus atau pendiri masjid umumnya memiliki pandangan berbeda
terhadap bentuk ruang sholat yang ideal, Secara fisik mereka memiliki pandangan
yang sama yaitu memiliki ruangan yang luas, penerangan alami yang cukup dan
ventilasi udara yang baik, tetapi berdasarkan pemahaman pengurus atau pendiri
masjid terhadap tuntunan Al Quran dan hadist mereka memiliki pandangan yang
berbeda. pandangan mereka yang memegang tuntunan Al-Quran dan Hadist
Rancangan ruang sholat yang baik adalah tidak terdapat penghalang ditengah
ruangan baik itu berupa dinding ataupun tiang karena sholat berjamaah makmun
harus merapatkan shaf sehingga apabila terdapat sesuatu yang menghalangi maka
harus mengulang kembali shalatnya, hal ini salah satunya sesuai dengan hadist
riwayat Abu Daud no: 682 , Tirmidzi 230-231:
”Shalat tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf
belakang atau terdapat tiang masjid yang menghalangi”
Rancangan masjid yang berpegang teguh pada hadist tersebut umumnya
tidak memiliki tiang yang akan memotong susunan shaf serta tidak memiliki
serambi keliling yang dibatasi oleh dinding, karena dikhawatirkan akan digunakan
untuk sholat. Yayasan atau pengurus masjid yang memegang teguh aturan ini
162
biasanya menempelkan poster atau tulisan di depan pintu masuk masjid mengenai
aturan shalat berjemaah yang benar berdasarkan Al-Quran dan Hadist.
Adapun pandangan kelompok yang kurang memahami atau memiliki
pandangan lain merasa keberadaan tiang atau dinding tidak merupakan suatu
permasalahan walaupun mereka mengakui ruang sholat ideal tanpa ada
penghalang tiang ataupun dinding, sehingga pada pintu masuk masjid tidak
dipasang poster atau tulisan mengenai tuntunan sholat tersebut.
Gambar 4.89. Fungsi Serambi yang dijadikan Ruang Sholat
163
Dapat disimpulkan terdapat dua macam bentuk ruang masjid di Denpasar
yang pertama susunan shaf makmum tidak ada yang menghalangi baik itu berupa
dinding atau tiang kemudian bentuk yang kedua shaf terputus oleh tiang atau
dinding. Bentuk ruang pertama dibagi lagi menjadi dua yaitu ruangan yang bebas
tiang dan ruangan bertiang tetapi jarak baris shaf jemaah diatur agar tidak sejajar
dengan tiang (lihat tabel 4.1). Bentuk ruang utama masjid didenpasar umumnya
berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang adapun permainan bentuk lainnya
hanya pada ruang penunjang atau dinding diluar ruang sholat saja. Bentuk bujur
sangkar atau persegi panjang yang simetris selain memudahkan struktur atapnya
juga penggunaan ruang lebih optimal.
Tabel 4.1
Bentuk Susunan Sholat Masjid di Denpasar
No Ragam Susunan Sholat Keterangan Gambar
1.
Susunan shaft berjemaah ini
merupakan susunan sholat yang
paling dianggap ideal karena shaft
lurus dan rapat tanpa ada
penghalang.
164
2.
Susunan shaft berjemaah ini
merupakan susunan sholat yang
masih mempertahankan susunan
shaft meskipun terdapat tiang
ditengah ruang karena shaf
makmum disesuaikan posisinya.
3.
Susunan shaft berjemaah ini
merupakan susunan sholat dimana
posisi tiang bangunan memutus
shaf makmum berbeda dengan
kasus sebelumnya dimana posisi
shaf disesuaikan.
4.
Bentuk susunan terakhir adalah
shaft benar-benar terputus oleh
dinding permanen, dimana
umumnya peralihan ruang sholat
utama terhadap selasar atau
serambi masjid.
Morfologi ruang sholat pada masjid di Denpasar Bali umumnya terdapat
tiang ditengah ruang utama akan tetapi dalam perkembangannya morfologi ruang
masjid mengarah pada bentuk susunan ruang tanpa pembatas kolom maupun
165
dinding yang memutus shaf sholat berjamaah. Selain susunan shaf pemisahan
gender menjadi kajian penting didalam bangunan masjid di Denpasar.
Ruang sholat pada bangunan masjid terbagi menjadi dua yakni ruang
sholat untuk makmum laki-laki dan ruang sholat untuk wanita, data yang
diperoleh dari 30 kasus hampir dari semua kasus memiliki pandangan yang sama
mengenai aturan ini akan tetapi ada yang sangat fanatik (memegang kuat aturan)
dan ada yang tidak terlalu kuat didalam pelaksanaanya. Aturan dasar menyusun
jemaah sholat adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf
wanita dimulai dari shaf belakang yang menjadi dasar pegangan bagi pengurus,
jemaah dan pendiri masjid adalah hadist riwayat Muslim no:440, Abu daud
no:678, Nasa‟i no:819 yang berbunyi:
” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling
buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita adalah
yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.”
Pada ruang utama masjid di denpasar ruang sholat wanita terletak pada bagian
belakang makmum laki-laki baik itu sebelah kiri atau sebelah kanan, akan tetapi
yang membedakan pandangan mereka adalah mengenai pembatas atau hijab
antara makmum laki-laki dan wanita sehingga dapat dilihat sejauh mana
keyakinan atau pemahaman mereka mengenai hal tersebut dapat dilihat dari
pembatas yang mereka buat antara makmum laki-laki dan perempuan. Semakin
permanen atau semakin tertutup hijab jemaah laki-laki dan perempuan berarti
menggambarkan pengurus semakin paham atau memegang teguh aturan tersebut .
Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini
166
didasari oleh QS An-Nuur ayat 30-31(tafsir Ibnu Katsir) & Riyadhus Shalihin
2/171-224:
” Sutra atau tirai sebagai alat atau sarana hijab untuk mencegah
timbulnya fitnah dan dosa akibat pandangan dan lirikan pada saat
sebelum dan sesudah shalat serta mencegah pria dari dosa akibat lewat
didepan wanita yang sedang shalat”
Terdapat empat jenis pembatas ruang sholat laki-laki dan wanita pada bangunan
masjid di denpasar yaitu; berupa tirai , partisi kayu atau rotan, dinding
pembataspermanen dan perbedaan lantai bangunan. Partisi berupa tirai merupakan
pembatas yang digunakan dengan menggunakan kain dimana pembatas ini bisa
dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at
dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat
wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa
digeser atau dipindahkan.
Tabel 4.2
Penggunaan Pembatas Ruang Sholat
Jemaah Laki-laki dan Perempuan Masjid di Denpasar
No
No
Kasus
Nama Masjid
Jenis Partisi
Tirai/
Kain
Dinding
Kayu/Anya
man tidak
permanen
Partisi kaca/
dinding
permanen
Perb
Lantai
1 Kasus 1 AN-NUR - x - -
2 Kasus 2 AL-FURQON - x - -
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - x - -
4 Kasus 4 AL-FALAQ - x - -
5 Kasus 5 AL-GHURABAH - - x -
6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x
7 Kasus 7 NURULLAH - - - -
8 Kasus 8 QUBA x - - -
9 Kasus 9 NURUT TAQWA - - x -
10 Kasus 10 SUCI x - - -
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - - x -
12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - - x
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - x - -
167
14 Kasus 14 BINA TAQWA - x - -
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - - -
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - - -
17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - - -
18 Kasus 18 AL-QOMAR - - - x
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - - x
20 Kasus 20 SADAR - - x -
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - - -
22 Kasus 22 AL-FALAH - - - x
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - - -
24 Kasus 24 AL-IHSAN - x - -
25 Kasus 25 AR-RAHMAN - - x -
26 Kasus 26 AL-HIKMAH - - - -
27 Kasus 27 AT-TAQWA x - - -
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - - - x
29 Kasus 29 DARUSSALAM x - - -
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - x - -
x = ditemukan, - =tidak ditemukan
Partisi berupa tirai merupakan pembatas yang digunakan dengan
menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada
kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at dimana kaum wanita tidak
diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk
keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa digeser atau
dipindahkan. Pembatas hijab yang menggunakan tirai dan partisi bergerak
memiliki keuntungan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan jemaah karena pada saat
sholat fardu memang tidak terlalu besar akan tetapi pada saat tarawih jumlahnya
bisa berimbang sehingga tirai bisa digeser posisinya membelah jemaah laki-laki
dan wanita. Untuk masjid berukuran cukup besar maka pembatas ruang makmun
laki-laki dan wanita dipisahkan secara tegas akan tetapi pembatasnya dibuat
transparan atau memanfaatkan bangunan lantai atas untuk jemaah wanita sehingga
kontak langsung dapat dihindarkan.
168
Gambar 4.90 Pembatas Hijab Ruang Sholat Wanita
Pembahasan selanjutnya adalah ruang penunjang masjid di Denpasar
meliputi; ruang aula, ruang belajar mengaji, ruang takmir, ruang pengurus masjid,
ruang penyimpanan perlengkapan, ruang wudhu, retail atau toko dan ruang kelas
untuk TPQ atau TPA. Ruang aula adalah ruang di dalam masjid yang digunakan
untuk pertemuan-pertemuan yang membutuhkan kapasitas yang cukup besar
biasanya dimanfaatkan untuk menyelenggarakan acara syukuran, akad nikah dan
resepsi. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari berbagai pengurus
masjid ada yang menganggap ruang yang digunakan sebagai ruang sholat dapat
169
juga berfungsi sebagai ruang sholat akan tetapi pendapat lain yang muncul bahwa
dengan menyatukan kedua fungsi tersebut dikhawatirkan kebersihan ruang sholat
akan terganggu sehingga ruang aula sebaiknya terpisah dengan ruang sholat.
Ruang berikutnya adalah ruang belajar mengaji dimana mayoritas tidak
menggunakan ruang khusus melainkan memanfaatkan ruang pojok diruang sholat
atau ruang sholat tambahan baik itu dilantai bawah atau lantai atas ruang sholat
utama, ruang belajar mengaji juga sering memanfaatkan serambi bangunan
sehingga kesucian ruang sholat utama tetap terjaga. Ruang lainnya adalah ruang
takmir yang berfungsi untuk pengurus masjid yang bertindak sebagai
penyelenggara sholat fardu baik itu sebagai imam atau yang menyiapkan peralatan
untuk kegiatan ibadah masjid, adapun posisi ruang takmir umumnya terletak
dibagian depan sejajar dengan mihrab dan tergabung dengan ruang audio dan
penyimpanan untuk keperluan ruang utama. Ruang selanjutnya adalah ruang
pengurus masjid yang dimanfaatkan untuk keperluan administrasi, perawatan dan
pemanfaatan masjid jumlah dan besaran ruang pengurus beragam tergantung
fasilitas penunjang yang diberikan masjid misalnya, mengadakan bimbingan
ibadah haji, zakat, sekolah , dan ruang serba guna maka membutuhkan ruang
pengurus yang cukup besar. Posisi dan bentuk ruang pengurus menyesuaikan dan
memanfaatkan ruang-ruang yang tidak bisa digunakan untuk ruang sholat.
Ruang penting pada bangunan masjid selanjutnya adalah ruang wudhu.
Ruang wudhu merupakan ruangan yang digunakan sebagai ritual pertama sebelum
melaksanakan sholat dimana sarana yang digunkan untuk berwudhu adalah air
170
sehingga ruangan ini bersifat basah, pada dasarnya ruang wudhu tidak
memerlukan dinding partisi permanen sehingga posisinya bisa diluar bangunan
atau dilapangan terbuka, akan tetapi ruang wudhu khusus wanita memiliki
persyaratan tersendiri hal ini dikarenakan adanya hijab antara laki-laki dan wanita
sehingga diperlukan ruang wudhu tertutup untuk jemaah wanita.
Tempat wudhu pada masjid di Denpasar umumnya menggunakan kran air
untuk berwudhu sehingga kalau melihat ciri-ciri masjid tua yang dikemukakan
oleh Pijper dan Tjandra sasmita bahwa terdapat kolam pada bangunan masjid tua
di Indonesia dimana kolam tersebut berfungsi sebagai tempat untuk mengambil
wudhu, di Denpasar tidak ditemukan masjid yang menggunakan kolam. Untuk
ruang wudhu masjid di Denpasar terbagi menjadi dua yaitu ada yang
menggunakan ruangan khusus dan menggunakan pojok halaman masjid dengan
menempel dipagar masjid. Karena berwudhu merupakan urutan pertama didalam
melaksanakan ibadah sholat maka pergerakan jemaah wanita dan laki-laki harus
diperhatikan akan tetapi hanya sedikit bangunan masjid yang membuat jalur dan
susunan ruang khusus sehingga ruang sholat wanita dan tempat wudhunya
memiliki jalur khusus. Hanya beberapa kasus yang memiliki tempat wudu‟ khusus
wanita sekaligus memperhatikan pergerakan sesudah wudu‟ tanpa bersinggungan
langsung dengan jemaah laki-laki, sedangkan pada kasus lain ruang sholat atau
menuju ruang sholat masih belum sepenuhnya tertutup sehingga makmum laki-
laki dan wanita masih bisa saling terlihat.(lihat tabel 4.3)
171
Tabel 4..3
Konsep Pemisah Wudu‟ Laki-Laki dan Perempuan
No
Nomor
Kasus
Nama Masjid
Konsep Pembatas
Tempat
Wudu
Terpisah
Jalur
Khusus
Menuju rg
sholat
Tempat
Wudhu
Bergabung
1 Kasus 1 AN-NUR x - -
2 Kasus 2 AL-FURQON - - x
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x x -
4 Kasus 4 AL-FALAQ - - x
5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - -
6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x
7 Kasus 7 NURULLAH - - x
8 Kasus 8 QUBA - x x
9 Kasus 9 NURUT TAQWA x - -
10 Kasus 10 SUCI - - x
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x x -
12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - x
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - - x
14 Kasus 14 BINA TAQWA - - x
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - -
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - x
17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - x
18 Kasus 18 AL-QOMAR x - -
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - x
20 Kasus 20 SADAR x x -
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - -
22 Kasus 22 AL-FALAH x - -
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - x
24 Kasus 24 AL-IHSAN x - -
25 Kasus 25 AR-RAHMAN x - -
26 Kasus 26 AL-HIKMAH x - -
27 Kasus 27 AT-TAQWA x x -
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x - -
29 Kasus 29 DARUSSALAM x - -
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - - x
X = ditemukan, - = tidak ditemukan
4.3 Pengaruh Arah Kiblat dan Bentuk lahan terhadap Ruang Masjid
Arah kiblat mempengaruhi bentuk ruang dan susunan ruang Masjid di
Denpasar, pada dasarnya yang menjadi pedoman didalam merencanakan ruang
masjid adalah menghadap kiblat dan mampu menampung banyak jemaah dan
tidak memutus shaf sholat. Di kota denpasar didalam menentukan kiblat maka
sebelum membangun masjid panitia pembangunan masjid menghubungi BMG
172
(Badan Metereologi Geofisika untuk menentukan kordinat arah kiblat dimana
berdasarkan data yang didapatkan dilapangan masjid di denpasar memiliki arah
kiblat 34,50o
dari arah barat menuju utara, setelah ditemukan kordinat tersebut
maka diajukan ke pengadilan agama untuk mendapatkan keabsahan data.
Permasalahan arah kiblat sering menjadi perdebatan didalam kelompok
pengurus maupun jemaah masjid, sebagian ada yang sangat meyakini bahwa
kiblat sholat adalah Kabah di Masjidil Harram Mekah sehingga arahnya harus
benar sedangkan ada yang berpendapat masih terdapat toleransi beberapa derajat
karena jauhnya jarak antara Indonesia dan Mekah sehingga sulit untuk
mendapatkan arah tersebut, simpangan arah kiblat juga ditemukan pada orientasi
kiblat masjid Nabawi ternyata juga tidak terlalu tepat ke Kabah. Akan tetapi
peneliti tidak mendalami pandangan apa yang benar dari kedua tersebut akan
tetapi hal ini perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap morfologi ruang
masjid. Pada kasus 01 orientasi masjid ke arah Barat sehingga diamati banyak
jemaah yang tidak sejajar orientasinya sehingga terdapat jemaah yang mengulang
kembali sholatnya, pada kasus 01 juga terdapat tempelan poster yang berisikan
mengenai aturan arah kiblat berdasarkan hadist yang tidak terlalu menguatkan
keakuratan arah kiblat, hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan paham
diantara jemaah. Analisa arah kiblat merupakan bagian penting sebelum memulai
pendirian masjid. Dimana sejatinya setiap masjid berusaha mendapatkan orientasi
yang tepat ke Kabah sehingga berdasarkan hasil pengamatan teknologi memiliki
pengaruh yang kuat terhadap penentuan arah kiblat. Temuan teknologi kompas
dan GPS sedikit banyak mempengaruhi dan membantu didalam menentukan arah
173
yang benar sehingga kecendrungan masjid tua yang didirikan sebelum mengenal
teknologi tersebut memiliki orientasi yang kurang tepat sedangkan untuk masjid
yang baru didirikan sudah mengorientasikan bangunannya kearah kiblat.
Kemajuan teknologi membuat pemerintah melalui Departemen Agama
mengadakan penyesuaian arah kiblat yang benar bagi masjid-masjid yang sudah
berdiri sehingga banyak masjid di Denpasar yang arah sholatnya tidak sejajar
dengan arah bangunan, akan tetapi untuk beberapa kasus tetap mempertahankan
orientasi nya sejajar bangunan karena selain menganggap ada toleransi arah juga
pemanfaatan kapasitas jemaah lebih optimal apabila kiblat sejajar dengan dinding
bangunan. tahun pendirian masjid juga berpengaruh terhadap orientasi ini
terutama untuk masjid yang didirikan diatas tahun 1980 memiliki arah orientasi
yang sejajar, kecuali untuk bangunan masjid yang berada di lahan yang sangat
sempit. (lihat gambar 4.91)
Tabel 4. 4
Orientasi Bangunan dan Arah Kiblat Masjid di Denpasar
No
Nomor
Kasus
Nama Masjid
Konsep Pembatas
Arah
Kiblat
Tidak
Sejajar
TIPE A
Bangunan
Mengikuti
Arah Kiblat
TIPE B
Arah Kiblat
Mengikuti
Bangunan
TIPE C
1 Kasus 1 AN-NUR - - x
2 Kasus 2 AL-FURQON - - x
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - x -
4 Kasus 4 AL-FALAQ - - x
5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - -
6 Kasus 6 AL IKHLAS x - -
7 Kasus 7 NURULLAH - x -
8 Kasus 8 QUBA - x -
9 Kasus 9 NURUT TAQWA x - -
10 Kasus 10 SUCI - - x
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - x -
12 Kasus 12 AL-IKHLAS - x -
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - x -
14 Kasus 14 BINA TAQWA x - -
174
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x - -
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - x -
17 Kasus 17 AR-RAHMAT - - x
18 Kasus 18 AL-QOMAR - x -
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - - x
20 Kasus 20 SADAR - x -
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x - -
22 Kasus 22 AL-FALAH - - x
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - - x
24 Kasus 24 AL-IHSAN - x -
25 Kasus 25 AR-RAHMAN - x -
26 Kasus 26 AL-HIKMAH - x -
27 Kasus 27 AT-TAQWA - x -
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - x -
29 Kasus 29 DARUSSALAM x - -
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x - -
X = ditemukan , - = tidak ditemukan
Dari analisa tabel diatas dari 30 kasus terdapat tiga bentuk orientasi arah
kiblat pada masjid di denpasar yaitu; pertama, bangunan masjid tetap menghadap
arah barat akan tetapi arah shaf tetap mengarah ke kiblat, kedua orientasi ruang
sholat utama atau masjid keduanya menghadap arah kiblat kemudian bentuk yang
ketiga arah bangunan berbeda tipis terhadap arah kiblat sehingga shaf tetap sejajar
dengan dinding depan bangunan. Berdasarkan analisa data dilapangan
kecendrungan orientasi masjid dengan melihat melihat arah perkembangan bentuk
masjid, bangunan masjid berupaya untuk mensejajarkan antara orientasi
bangunan dan orientasi sholat. Penentuan konsep arah kiblat adalah dasar didalam
membentuk morfologi ruang masjid di Denpasar sehingga setelah melihat bentuk
tapak orientasi dan bentuk ruang saling mengisi dan menyesuaikan agar
penggunaan lahan optimal.
175
Gambar 4.91. Orientasi Kiblat Masjid di Denpasar
Ruangan sholat idealnya antara orientasi bangunan dan arah kiblat sejajar
sehingga selain ruang terkesan terencana juga memberikan nilai yang lebih
terhadap bentuk ruang dalam yang justru lebih optimal penggunaannya. Masjid
didenpasar umumnya memiliki orientasi kiblat Tipe B.
4.4 Analisis Bentuk Arsitektural
Analisis arsitektural meliputi analisis morfologi terhadap bagian dasar, tubuh,
atap, serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada masjid di
Denpasar Bali. Analisa terhadap bagian tersebut diperinci lagi menjadi bagian
dasar (pondasi), tubuh (ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom
176
atau portal, serambi), atap dan komponen-komponen tambahan (gerbang,menara
dan tempat wudhu‟).
4.4.1 Analisis Bagian Dasar Bangunan
Pondasi merupakan komponen yang menghubungkan bangunan dengan
tanah. Didalam mendirikan bangunan diatas pondasi beberapa hal yang harus
dipertimbangkan yaitu kedalam dan kondisi tanah. Selain faktor struktur pondasi
bangunan juga menentukan pencitraan bangunan sehingga ketebalan pondasi atau
dasar bangunan memberikan nilai ruang tersendiri. Apabila melihat kondisi
lingkungan sekitar maka pondasi bangunan umumnya di Denpasar menggunakan
bahan batu kali. Ketebalan pondasi berperan menentukan ketinggian lantai dasar
dari tanah dimana menjadi ciri bangunan di Bali baik itu Bale maupun rumah
tinggal. Konsep penebalan ini juga diterapkan bangunan masjid di Denpasar.
Perbedaan ketinggian lantai yang jauh dari tanah digunakan karena dapat menjaga
kesucian masjid dan membentuk ruang pembatas semu antara ruang dalam dan
luar masjid. Pada dasarnya tidak ada filosofi dari arsitektur Islam yang mengatur
mengenai ketinggian pondasi sehingga beberapa masjid memiliki pondasi yang
tinggi yang menyerupai bangunan pada rumah tradisional Bali. Bagian dasar
bangunan yaitu berupa kaki bangunan pada arsitektur bali terdapat ragam hias
yang melengkapinya, hal ini juga terdapat pada beberapa kasus bangunan masjid
di Denpasar.
177
Gambar 4.92 Fundamen Lantai dasar Masjid di Denpasar
4.4.2 Analisis Bagian Tubuh Masjid
Analisis pada bagian tubuh masjid meliputi analisis terhadap bagian-bagian
komponen yang berada pada tubuh masjid seperti; ruang utama, mihrab, mimbar,
dinding bangunan, kolom atau portal, dan serambi, berikut ini merupakan
pembahasan dari komponen-komponen dari bagian tubuh masjid tersebut.
4.4.2.1 Ruang Utama
Ruang utama merupakan satu komponen utama pada suatu bangunan masjid
yang berfungsi untuk tempat jemaah melakukan ibadah sholat. Pada masjid-
masjid di Indonesia pembagian ruang pada umumnya terdiri dari beberapa
ruangan, yaitu ruang utama berbentuk bujur sangkar yang dibatasi dinding pada
setiap sisinya dengan penonjolan pada bagian mihrab.pada bagian lainnya didalam
ruang utama dipisahkan untuk tempat sholat kaum wanita dan anak-anak.
Kemudian terdapat ruang serambi yang berupa ruang terbuka lebar berfungsi
untuk melaksanakan kegiatan keagamaan serta tempat menyimpan beduk untuk
memberi tanda waktu sholat (Rochim dalam Agus, 1999:88)
Masjid di Denpasar Bali memeiliki bentuk denah bujur sangkar dan persegi
panjang dibagian dalam masjid biasanya terdiri dari beberapa ruangan sehingga
memiliki perbedaan dengan ruang sholat pada masjid di Indonesia pada umumnya
178
dimana ruangan tidak terbagi-bagi. Ruangan Utama pada bangunan masjid di Bali
memiliki pendekatan bagaimana untuk menampung jemaah semaksimal mungkin
dan mengatur sirkulasi udara yang optimal sehingga rancangan masjid banyak
yang menyesuaikan bangunan arsitektur bali dimana bangunan di dalam tapak
dibuat tanpa dinding. Karena tidak ada aturan konsep dinding didalam Islam maka
bentuk tersebut di pakai pada beberapa bangunan Masjid di Denpasar, sehingga
bangunan masjid dibuat pagar keliling kemudian ruangan utamanya dibuat
terbuka. Konsep tanpa dinding pembatas membuat kapasitas sholat lebih optimal
sehingga jemaah bisa memanfaatkan ruang serambi atau selasar karena tidak ada
dinding yang bisa memutus shaf sholat.
Gambar 4.93 Konsep Dinding terbuka Masjid di Denpasar
179
Bentuk masjid dengan konsep terbuka ini merupakan salah satu indikasi
arsitektur Bali mempengaruhi arsitektur masjid, karena konsep ini biasanya
terdapat pada bangunan bale pada bangunan suci maupun rumah tinggal.
4.4.2.2 Mihrab
Pengertian mihrab yang dikenal sekarang adalah sebuah ruangan didalam
masjid tempat imam memimpin sholat, terletak disisi barat laut masjid sebagai
arah tanda kiblat. Pada umumnya mihrab masjid di Indonesia terletak pada
dinding barat masjid tepatnya dibagian tengah dibagian barat masjid dan
berjumlah satu buah. Di negara-negara Islam, jumlah mihrab didalam sebuah
masjid terkadang lebih dari satu dan mihrab tersebut tempat para imam dari
masing-masing mazhab yang terdapat disana (Aboebakar dalam Fanani,2009)
Berdasarkan kasus masjid Di Kota Denpasar tidak ditemukan masjid yang
memiliki dua buah mihrab dan memiliki bentuk ruang mihrab yang relatif sama
yaitu berupa bujur sangkar dan persegi panjang yang melintang terhadap arah
kiblat yang menjorok keluar. Bentuk tampak mihrab pada majid di Denpasar
umumnya terdiri dari lima tipe bentuk dasar pertama bentuk portal melengkung
dengan kubah bawang tidak bertingkat dan bertingkat yang kedua bentuk
lengkung berupa setengah lingkaran tidak bertingkat dan bertingkat.bentuk ketiga
gabungan kubah bawang dan setengah lingkaran, bentuk keempat bentuk segitiga
dan yang kelima berbentuk datar.
Bentuk dasar tipe pertama merupakan bentuk portal mihrab yang
menggunakan bentuk lengkung yang dikenal dengan kubah bawang dimana terdiri
dari dua jenis yaitu bentuk kubah satu tingkat dan bentuk kubah yang bertingkat
180
dua atau lebih. Bentuk dasar mihrab tipe kedua merupakan bentuk portal yang
berupa lengkungan setengah lingkaran dimana terbagi menjadi dua bentuk
lengkung yaitu tidak bertingkat dan bertingkat. Bentuk dasar tipe tiga merupakan
bentuk mihrab dengan memiliki bentuk dasar gabungan dari tipe satu dan dua,
dimana. Bentuk tipe keempat adalah mihrab yang berbentuk segitiga. Sedangkan
bentuk terakhir adalah berbentuk datar berupa persegi panjang.
Tabel 4.5
Bentuk Ambang Mihrab Masjid di Denpasar
No
Nomor
Kasus
Nama Masjid
Konsep Bentuk Portal Mihrab
1.
Kubah
Bawang
2.
Setengah
Lingkaran
3.
Kombinasi
1&2
4.
Segitiga
5.
Datar
1 Kasus 1 AN-NUR - - - - x
2 Kasus 2 AL-FURQON x - - - -
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN - - x - -
4 Kasus 4 AL-FALAQ x - - - -
5 Kasus 5 AL-GHURABAH x - - - -
6 Kasus 6 AL IKHLAS - - x - -
7 Kasus 7 NURULLAH - - x - -
8 Kasus 8 QUBA - - - - x
9 Kasus 9 NURUT TAQWA - x - - -
10 Kasus 10 SUCI x - - - -
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH - - - - x
12 Kasus 12 AL-IKHLAS - - x - -
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR - - - - x
14 Kasus 14 BINA TAQWA x - - - -
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) - x - - -
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN - - - x -
17 Kasus 17 AR-RAHMAT x - - - -
18 Kasus 18 AL-QOMAR x - - - x
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN - x - - -
20 Kasus 20 SADAR - - x - -
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ - x - x -
22 Kasus 22 AL-FALAH - - - - x
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA - x - - -
24 Kasus 24 AL-IHSAN - - - x -
25 Kasus 25 AR-RAHMAN - x - - -
26 Kasus 26 AL-HIKMAH - - x - -
27 Kasus 27 AT-TAQWA x - - - -
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN - - - - x
29 Kasus 29 DARUSSALAM x - - - -
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) - x - - -
X = ditemukan , - = Tidak ditemukan
181
Dari ketiga puluh kasus bentuk mihrab masih kental nuansa arsitektur Timur
Tengah tidak ditemukan mihrab yang menggunakan ragam hias arsitektur Bali
sehingga pada bagian paling inti memberikan makna resistensi yang kuat
terhadap pengaruh lingkungan.
Gambar 4.94 Foto Mihrab Masjid di Denpasar
4.4.2.3 Mimbar
Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau
memberikan ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada
jemaah sholat. Umumnya hal ini diberikan khotib yang menyampaikan khotbah
sebelum menyelenggarakan sholat Jum‟at. Umumnya didalam khotbah
dikemukakan masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan.
Kata mimbar berarti tempat duduk, kursi maupun tahta. Mimbar telah
menjadi bagian dari masjid sejak zaman Rasulullah. Mimbar juga telah digunakan
182
rasulullah untuk mengajar, serta menyiarkan pengumuman penting seperti
mengharamkan minuman keras (Aboebakar,1955).
Pada umumnya mimbar terbuat dari bahan kayu yang dipenuhi dengan hiasan
dan ukiran. Mimbar dinegara-negara Islam atau mimbar tua di Indonesia
umumnya berbentuk kursi yang tinggi dan memiliki tangga. Akan tetapi tidak
seperti mimbar pada Mssjid di Denpasar Bali dimana pada umumnya mimbar
hanya berupa kotak yang terdapat tempat duduk dibaliknya yang tidak memiliki
anak tangga untuk mencapai keatas mimbar dan tidak memiliki atap penutup
mimbar yang biasanya berbentuk setengan kubah pengaruh dari seni timur tengah
dan biasanya terdapat pada masjid tua di Indonesia.
Gambar 4.95 Mimbar Masjid di Denpasar
4.4.2.4 Pola Dinding Luar Masjid di Denpasar
Dinding bangunan merupakan komponen penting yang membentuk wajah
bangunan. dinding bangunan bisa berupa jendela, pintu dan tiang yang
membentuk kesatuan satu sama lainnya. Pada pembahasan mengenai dinding pada
bangunan masjid peneliti tidak menggambarkan bagian per unit melainkan
mencari modulasi pengulangan fasad dinding bangunan tersebut. Jendela pada
bangunan masjid di Denpasar tidak memiliki bentuk yang khusus justru
permainan bidang dinding dan kolom nya menjadi satu kesatuan dengan jendela.
183
Berdasarkan beberapa kasus elemen pembentuk dinding masjid di Denpasar
menggunakan bentuk dasar setengah kubah lingkaran. Sedangkan hanya pada satu
dua kasus yang menggunakan bentuk segitiga atau kubah bawang.
Gambar 4.96. Ragam Fasad Masjid di Denpasar
Bentuk fasad bangunan masjid di Denpasar umumnya tidak terlepas dari
bentuk lengkung berupa tembereng lingkaran maupun kubah bawang, hal ini
mencitrakan masih kuatnya pengaruh Arsitektur Timur Tengah terhadap
bangunan masjid di Denpasar Bali, walaupun pada bagian fasad masjid
menggunakan bahan dan tekstur Arsitektur Bali keberadaan bentuk ini.
184
4.4.2.5 Kolom dan Portal
Salah satu yang menjadi elemen penting didalam komponen masjid adalah
kolom dan portal. Kolom atau tiang merupakan komponen yang berfungsi sebagai
struktur yang menopang dinding dan atap bangunan akan tetapi keberadaannya
juga dimanfaatkan untuk menempatkan elemen dekorasi dan nilai tambah estetika
bangunan. Sedangkan portal adalah balok penghubung diantara dua kolom atau
tiang dimana didalam arsitektur masjid bentuk lengkung antar tiang menjadi ciri
khas rancangan masjid. Adapun keberadaan kolom maupun portal didalam masjid
justru secara fungsi mengganggu pemanfaatan ruang yang efektif karena
umumnya rancangan masjid membutuhkan ruangan yang lebar tanpa kolom
ditengah ruang. Akan tetapi menurut Setiabudi (2006), yang menjadi ciri khas
masjid di Jawa yang mempengaruhi arsitektur masjid di Asia Tenggara adalah
keberadaan kolom atau tiang di tengah ruangan yang berjumlah empat buah yang
dikenal dengan istilah soko guru. Apabila melihat dari segi fungsi keberadaan
tiang tersebut semata-mata sebagai struktur penopang atap tumpang akan tetapi
soko guru didalam masjid Demak memiliki makna simbolik Merupakan tiang
utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga yang berjumlah 4.
Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat
soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat
laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian
tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan
Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai
Soko Tatal. keberadaan soko guru juga ditemukan pada masjid tua di Nusantara
185
dan Asia Tenggara seperti Malaysia. Prinsip kesetiaan kepada agama dan
adaptasi kepada budaya lokal memungkinkan Arsitektur Islam menerima warisan
budaya agung arsitektur peninggalan Yunani, Romawi, maupun Kristiani kolom
dan portal merupakan sebagian elemen yang diwarisi akan tetapi ciri khas portal
pada masjid di Timur Tengah menggambarkan lengkungan pada dahan pohon
kurma dimana sering digunakan oleh orang untuk duduk bersandar (Fanani, 2009
hal 56-60).
4.4.2.6 Serambi
Serambi merupakan teras yang memanjang di sekeliling dinding luar masjid
atau pada bagian sisi tertentu. Banyak penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia dilengkapi dengan serambi keliling
seperti yang dikemukakan oleh de graff dalam Nas dan Vletter (2009), bahwa
salah satu ciri dari masjid di Jawa memiliki serambi keliling, hal serupa juga
dikemukakan oleh Pijper dalam Nas dan Vletter bahwa masjid di Jawa memiliki
beranda baik di sebelah depan (timur) atau samping yang disebut Surambi atau
Siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Tjandrasasmita (2009) ,dimana menurut beliau masjid-masjid kuno di Indonesia
mempunyai serambi di depan atau disamping ruangan utama masjid. Sedangkan
Setiabudi (2006), menyebutkan masjid di Jawa dilengkapi dengan Serambi atau
pendopo, serambi pada masjid di Jawa umumnya berupa bangunan dengan massa
terpisah dengan bangunan masjid yaitu menyerupai pendopo seperti pada Masjid
Demak. Penelitian yang manjadi petunjuk tranformasi bentuk masjid dari masjid
kuno sampai saat ini dikemukakan oleh Rosniza (2008), dimana dalam penelitian
186
nya terhadap masjid di Malaysia ditemukan serambi keliling umumnya ditemukan
didalam masjid tua sedangkan untuk masjid yang baru cenderung tidak memiliki
serambi keliling. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat kita pastikan bahwa
serambi merupakan elemen yang tidak terlepas dari keberadaan ruang masjid akan
tetapi penelitian yang dilakukan sebelumnya terlalu umum menyimpulkan bahwa
ciri masjid tua di Jawa dan di Nusantara umumnya memiliki serambi keliling,
padahal banyak masjid tua yang tidak memiliki serambi keliling seperti masjid
Agung di Palembang dan masjid tua lainnya di Sumatera. Akan tetapi hal yang
paling penting untuk dijawab adalah mengapa nasjid tersebut memiliki serambi
atau mengapa masjid tersebut tidak memiliki serambi. Apabila melihat dari fungsi
secara umum serambi berfungsi sebagai ruang peralihan antara ruang luar dan
ruang utama didalam masjid yang seharusnya digunakan untuk sirkulasi pengguna
masjid, pelindung ruang dalam dari cuaca dan sebagai tempat bersantai atau
tempat jemaah bersosialisasi. Serambi pada masjid tua di Indonesia lebih
digambarkan sebagai tempat untuk bersantai dan duduk duduk bagi para jemaah
sebelum atau sesudah melaksanakan sholat bahkan pada kondisi jemaah yang
banyak serambi dimanfaatkan sebagai tempat sholat. Meskipun demikian
keberadaan serambi bukan hal wajib didalam masjid , berdasarkan hasil penelitian
masjid di Denpasar dari ketiga puluh kasus hanya ditemukan enam kasus masjid
yang memiliki serambi sedangkan masjid lainnya tidak memiliki serambi
melainkan hanya teras depan yang tidak dibatasi kolom dan hanya berfungsi
sebagai sirkulasi karena kurang nyaman atau tidak bisa digunakan untuk duduk
duduk oleh jemaah , sedangkan ada beberapa kasus dimana serambi dan ruang
187
dalam menjadi satu kesatuan karena bangunan tidak memiliki dinding pembatas
melainkan terbuka.
Tabel 4.6
Bentuk Serambi Masjid di Denpasar
No Nomor
Kasus
Nama Masjid Bentuk Atap
Berserambi Teras
Depan
Tidak
Berserambi
1 Kasus 1 AN-NUR x
2 Kasus 2 AL-FURQON x
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x
4 Kasus 4 AL-FALAQ x
5 Kasus 5 AL-GHURABAH x
6 Kasus 6 AL IKHLAS x
7 Kasus 7 NURULLAH x
8 Kasus 8 QUBA x
9 Kasus 9 NURUT TAQWA x x
10 Kasus 10 SUCI x
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x
12 Kasus 12 AL-IKHLAS x
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR x
14 Kasus 14 BINA TAQWA x
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN x
17 Kasus 17 AR-RAHMAT x
18 Kasus 18 AL-QOMAR x
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN x x
20 Kasus 20 SADAR x
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x
22 Kasus 22 AL-FALAH x
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA x
24 Kasus 24 AL-IHSAN x
25 Kasus 25 AR-RAHMAN x
26 Kasus 26 AL-HIKMAH x
27 Kasus 27 AT-TAQWA x
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x
29 Kasus 29 DARUSSALAM x
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x X = ditemukan , - = Tidak ditemukan
Temuan pada penelitian masjid di Denpasar keberadaan serambi dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu keterbatasan lahan dan pemahaman pengurus maupun
pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist. Faktor keterbatasan lahan cukup
188
kuat didalam keberadaan serambi pada bangunan masjid di Denpasar, keberadaan
serambi pada lahan yang terbatas dianggap tidak diperlukan karena ruang utama
masjid kekurangan menampung jumlah jemaah sehingga bangunan diperlebar
mengoptimalkan lahan dengan menggunakan ruangan ysng seharusnya bisa
berfungsi sebagai serambi tersebut. Meskipun bangunan masjid tidak memiliki
serambi bangunan masjid memiliki teras depan terutama di pintu utama masjid.
Faktor kedua yang mempengaruhi keberadaan serambi pada masjid di Denpasar
adalah pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan
Hadist dimana aturan sholat berjemaah menghendaki shaf sholat tidak boleh
terputus baik oleh tiang ataupun dinding, sedangkan serambi memiliki posisi
diluar bangunan yang dibatasi dinding. Masjid yang memiliki serambi umumnya
sering digunakan makmum untuk melaksanakan sholat berjemaah pada saat ruang
dalam tidak menampung padahal dari aturan Al-Quran dan Hadist mereka harus
mengulang sholat mereka karena dianggap tidak sah, untuk itulah pendiri masjid
tidak membuat serambi di sekililing masjid karena di khawatirkan akan digunakan
oleh jemaah untuk sholat.
4.4.3 Analisis Bagian Atap Bangunan
Atap merupakan komponen penting didalam memberikan karakter gaya suatu
Arsitektur. Frishman, Khan dalam Fanani, (2009), membagi tujuh tipologi
Arsitektur masjid di dunia dimana salah satunya tipologi Masjid di Asia Tenggara
dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang
menyerupai wantilan. Dari teori yang dibangun salah satu faktor pertimbangan
adalah bentuk atap dimana atap tumpang menjadi karakter masjid di Asia
189
Tenggara. Banyak teori yang di bangun mengenai asal usul morfologi masjid di
Nusantara dengan menitik beratkan pada analisis bentuk atap bangunan.
Stutterheim (1953), menyatakan bahwa bangunan masjid tidak mungkin
dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil dan sempit didalam
candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan sebuah masjid dimana
sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar oleh karena itu beliau
berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) bangunan yang
sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum Islam yang masih ada
keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat, memiliki bumbung dan
sisinya tidak memiliki dinding. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh
H.J de Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih
bangunan yang dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena
kegiatan tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung
wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid
tradisional di Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid
tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar
(India). Bukti yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens
van Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki
atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat digunakan untuk belajar
agama. Nas dan Vletter (2009) dan Setiabudi (2006) juga memberikan keterangan
bahwa ciri dari masjid tua di Jawa memiliki bentuk atap tumpang sedangkan
secara lebih luas Tjandrasasmita (2009), mengatakan bahwa salah satu cirri
masjid tua di Nusantara memiliki bentuk atap tumpang, pendapat beliau dirasakan
190
membuka peluang penelitian bahwa atap tumpang belum tentu berasal dari Jawa
hal ini diperkuat dengan penelitian Rosniza (2008), dimana didalam penelitiannya
menyimpulkan bentuk atap masjid tua di Nusantara lahir dari kearifan lokal
budaya masing-masing daerah dimana penelitiannya terhadap masjid minang dan
daerah lainnya memiliki bentuk atap tumpang yang berbeda dengan masjid di
Jawa. Kearifan lokal berperan penting didalam bentuk arsitektur masjid di setiap
daerah diperkuat oleh penelitian Aufa (2010), dimana didalam temuan
penelitiannya bentuk atap tumpang Masjid Sultan di Kalimantan selain memiliki
bentuk dan sudut kemiringan yang berbeda dengan masjid di Jawa juga memiliki
makna bentuk yang berbeda pula termasuk symbol-simbol yang terdapat pada
atap masjid. Di dalam buku yang sama Nas dan Vletter (2009), menyatakan
bahwa kehadirn bentuk atap kubah di Nusantara disebabkan pengaruh dari luar
seperti Timur Tengah dan India hal ini dipengaruhi faktor politik dan keinginan
para ulama atau petinggi umat muslim membangun masjid di Nusantara dengan
gaya arsitektur masjid di Timur Tengah karena mereka sering mengunjungi
tempat tersebut baik dalam kunjungan dagang, politik maupun saat menunaikan
ibadah Haji. Kehadiran bentuk atap masjid kubah di Nusantara diawali oleh
masjid Agung di Aceh yang menggunakan atap kubah yang kemudian menyebar
sampai saat ini sehingga bangunan masjid yang didirikan saat ini cenderung
menggunakan bentuk atap kubah. Berdasarkan beberapa kutipan teori diatas
memang sulit untuk membenung atau mengatur gaya masjid yang akan didirikan
khususnya bentuk atap karena tidak ada aturan yang melarang penggunaan bentuk
atap tertentu di dalam bangunan masjid. Walaupun umat islam berkiblat dari segi
191
akidah kepada negeri Arab bukan berarti juga berlaku pada bentuk arsitekturnya
hal ini sesuai dengan penelitian Surat (2011), dimana ia menganggap asas
pemikiran bentuk atap bumbung meru yang terdapat di alam Melayu
sesungguhnya didasari oleh gagasan masjid di Timur Tengah. Dari penelitian ini
didapatkan kesimpulan bahwa bentuk memiliki posisi tidak terlalu penting
asalkan tidak bertentangan dengan filosofi dasar aturan Agama Islam. Dari
banyak penelitian belum banyak yang bisa menyimpulkan makna bentuk atap
tumpang atau mengapa mesjid menggunakan atap tumpang tersebut dari
penelitian yang sudah dilakukan kebanyakan alasan mengapa menggunakan
bentuk atap tersebut dikarenakan bentuknya menunjang untuk ruang yang
memerlukan bentang lebar akan tetapi didalam merumuskan teori yang tepat kita
harus melihat kembali bangunan yang memiliki bentuk menyerupai atap tumpang
sebelum masuknya agama Islam di Nusantara. Terdapat dua jenis bangunan yang
pada masa sebelum masuknya agama Islam yang memiliki bentuk atap tumpang
yaitu wantilan (Bali) atau pendopo(Jawa) dan Meru(bangunan suci Hindu) atau
Pagoda (bangunan suci umat Budha). Beberapa peneliti sebelumnya kurang
sepakat kalau masjid mengadopsi bentuk wantilan karena bangunan ini sering
digunakan sebagai sarana judi, sedangkan bentuk atap meru atau pagoda tidak
memiliki ruang yang cukup besar didalamnya akan tetapi hal yang paling
mendasar dimiliki oleh nenek moyang di Nusantara sebelum masuknya Islam
bahwa bentuk atap bangunan memiliki nilai dan makna yang tinggi sebagai
contoh hampir semua rumah adat yang ada menganggap bagian atap merupakan
area paling suci sehingga bagian atap diletakan simbol atau tempat penyimpanan
192
barang pusaka. Atap bertingkat pada bangunan tradisional juga memiliki makna
yang berbeda makin banyak tingkatannya maka semakin tinggi nilai bangunan
tersebut. Seperti di bugis rumah yang memiliki atap tingkat makin banyak
menunjukan tingkat sosial pemiliknya. Kepercayaan Hindu juga mengatakan
jumlah tingkatan atap lebih dari dua merupakan bentuk yang hanya boleh
digunakan untuk bangunan suci bagi para dewa. Dari pandangan nenek moyang
Nusantara bentuk atap bertingkat pada meru dan pagoda memiliki nilai yang
sakral sehingga bentuk atap tumpang pada masjid tua di Indonesia bukan karena
kebutuhan akan struktur atap semata melainkan setelah masuk Islam mereka tetap
memandang bahwa atap tumpang memiliki nilai sakral yang cocok untuk
diterapkan pada atap masjid, akan tetapi mereka juga menggunakan konsep
wantilan atau pendopo di dalam bentuk atap karena wantilan atau pendopo
memiliki fungsi yang sama dengan ruang sholat dimana sama-sama perlu
menampung jumlah orang banyak didalamnya sehingga bentuk atap tumpang
masjid di Nusantara mengadopsi bentuk yang sering digunakan sebelumnya,
bentang lebar yang dibutuhkan ruang sholat dirasakan sesuai dengan wantilan atau
pendopo sedangkan nilai sakral bangunan masjid meminjam bentuk meru. Dari
dugaan mengenai bentuk atap masjid yang dikemukakan oleh beberapa peneliti
sebelumnya penelitian masjid di Denpasar bali dianggap peneliti sebagai
perwakilan dari proses terbentuknya arsitektur masjid di Nusantara hal ini karena
di Bali penganut agama Hindu masih mendominasi dan pengaruh budaya luar
baik Islam maupun Modern cukup kuat ditengah masyarakat lokal yang berusaha
teguh mempertahankan Budaya dan Kepercayaannya.
193
Tabel 4.7
Penggunaan Bentuk Atap Masjid di Denpasar Bali
No Nomor
Kasus
Nama Masjid Bentuk Atap
Atap
Tumpang
Atap
Kubah
Atap
Datar
Atap
Perisai
1 Kasus 1 AN-NUR x
2 Kasus 2 AL-FURQON x
3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN x
4 Kasus 4 AL-FALAQ x
5 Kasus 5 AL-GHURABAH x
6 Kasus 6 AL IKHLAS x
7 Kasus 7 NURULLAH x
8 Kasus 8 QUBA x
9 Kasus 9 NURUT TAQWA x x
10 Kasus 10 SUCI x
11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH x
12 Kasus 12 AL-IKHLAS x
13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR x
14 Kasus 14 BINA TAQWA x
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) x
16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN x
17 Kasus 17 AR-RAHMAT x
18 Kasus 18 AL-QOMAR x
19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN x x
20 Kasus 20 SADAR x
21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ x
22 Kasus 22 AL-FALAH x
23 Kasus 23 ASY-SYUHADA x
24 Kasus 24 AL-IHSAN x
25 Kasus 25 AR-RAHMAN x
26 Kasus 26 AL-HIKMAH x
27 Kasus 27 AT-TAQWA x
28 Kasus 28 BAITTURAHMAN x
29 Kasus 29 DARUSSALAM x
30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) x
Penggunaan atap tumpang pada masjid di Kota Denpasar Bali masih banyak
digunakan berdasarkan penelitian dilapangan setiap pendiri masjid berusaha untuk
membaur dengan budaya lokal sehingga bentuk atap tumpang dinilai memiliki
bentuk yang sesuai dengan bentuk atap bangunan lokal . uniknya dari kasus yang
ditemui atap tumpang Masjid di Denpasar rata-rata bertumpang dua, hanya pada
kasus 5 dan kasus 9 yang menggunakan atap tumpang tiga, berdasarkan hasil
194
wawancara mendalam para pendiri masjid berusaha menjaga hubungan baik
dengan etnis lokal yaitu penganut agama Hindu dimana atap tumpang tiga hanya
boleh digunakan pada bangunan suci mereka sehingga para pendiri bangunan
masjid menghindari menggunakan atap bertumpang tiga. Hal ini justru
memperkuat pendapat peneliti bahwa bentuk atap tumpang masjid di Nusantara
mungkin mengadopsi bentuk bangunan meru. Karena para nara sumber banyak
mengaitkan atap Masjid dengan bangunan meru dibandingkan dengan wantilan.
Adapun karakter bentuk atap tumpang pada Masjid di Denpasar Bali terbagi
menjadi dua tipe yang pertama atap tumpang satu dan dua memiliki sudut
kemiringan yang sama dan jarak antar atap bervariasi berkisar 25 cm sampai
dengan 80 cm. sedangkan yang kedua terdapat perbedaan kemiringan sudut atap
antara tumpang pertama dan kedua dengan jarak antar atap yang juga bervariasi.
Pada beberapa kasus atap tumpang tidak terlihat dari fasad luar karena jarak
pandang fasad yang sempit, akan tetapi terlihat jelas dari bentuk plafon bangunan
di bawah atap tumpang yang mengikuti bentuk kemiringan atap diatasnya bahkan
ada beberapa yang mengekspos struktur atap seperti gaya plafon pada bangunan
Arsitektur Tradisional Bali. Terdapat empat kasus masjid di Denpasar yang
menggunakan atap kubah, sedangkan masjid yang menggunakan kombinasi atap
kubah dan tumpang terdapat pada kasus 19 dan 29, dimana atap kubah
menggantikan posisi atap tumpang kedua. Selain atap tumpang Terdapat empat
kasus masjid yang menggunakan atap perisai seperti atap bangunan Bale pada
Arsitektur Tradisional Bali. bentuk atap seperti ini jarang ditemukan pada atap
195
masjid lain di Nusantara sehingga bentuk ini merupakan gambaran bahwa
lingkungan memiliki pengaruh terhadap arsitektur Masjid di Denpasar.
4.4.4 Analisis Komponen Tambahan Masjid
4.4.4.1 Gerbang Bangunan
Gerbang merupakan pintu masuk sebelum kehalaman dalam masjid atau
ruang dalam masjid. Menurut Pijper dalam Nas dan Vletter (2009), bangunan
masjid di Nusantara memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang
dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya (gerbang) di bagian muka
sebelah timur. Tjandrasasmita (2009) juga mengungkapkan disekitar masjid diberi
pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Hal yang sama juga ditemukan
olehUtaberta dkk (2009), dimana mereka mengungkapkan bahwa Gerbang yang
tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang
berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit
disebut Gopura. Fanani (2009), didalam tulisanya juga mengatakan selain didalam
masjid terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada masjid juga sering terdapat
gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada posisi gerbang masuk kedalam
masjid.
Kota Denpasar sebagai kota Budaya masih memegang teguh keberdaan
gerbang, dimana hampir semua bangunan baik itu bangunan suci, publik sampai
bangunan tempat tinggal tidak lepas dari keberadaan gerbang. Keadaan
lingkungan di sekitar secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan gerbang
pada masjid di Denpasar Bali. Sejatinya keberadaan gerbang merupakan bagian
yang yang terpisahkan dari masjid hal ini dapat ditemukan pada masjid di Timur
196
Tengah dan Asia. Akan tetapi gerbang pada bangunan mereka cenderung menyatu
dengan badan bangunan sehingga gerbang berfungsi sebagai pintu masuk utama
bukan bagian yang menyatu dengan pagar keliling. Walaupun Kota Denpasar
didominasi penggunaan gerbang didalam bangunan tidak semuanya
mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjidnya. Hal ini dapat dilihat dari 30
kasus yang diambil hanya delapan kasus yang memiliki gerbang. Dari delapan
kasus , tiga kasus memiliki gerbang yang bergaya Arsitektur Bali meliputi kasus
no 14,18 dan 26. sedangkan yang lainnya bergaya Timur Tengah dan Modern.
Gerbang Masjid Al Hikmah Gerbang Masjid Al Qomar
Gerbang Masjid Nurut Taqwa Gerbang Masjid An Nur
197
Gerbang Masjid Baitul Makmur Gerbang Masjid Ukkhuwah
Gerbang Masjid Al Ikhsan
Gambar 4.97 Bentuk Gerbang Masjid di Denpasar
Keberadaan gerbang pada Arsitektur Bali selain sebagai batas peralihan juga
berfungsi sebagai pembatas area profan dan sakral. Sedangkan menurut Nasr
(2003), Arsitektur Islam tidak mengenal istilah profan dan sakral melainkan
semua ruang memiliki nilai yang sama. Hal ini juga sejalan dengan data dan
analisa yang diperoleh dari lapangan bahwa keberadaan gerbang hanya
merupakan pembatas dan kreasi seni di dalam menciptakan keindahan Arsitektur
Masjid.
198
4.4.4.2 Pagar Keliling Masjid
Pagar keliling masjid merupakan tembok yang mengelilingi bangunan masjid
dimana merupakan salah satu yang disebutkan sebagai ciri masjid tua di
Indonesia. Menurut Utaberta (2009), Tembok yang mengelilingi sebuah masjid ini
sebenarnya bukanlah ciri khas seni bina Muslim, tetapi merupakan salah satu
bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa yang disebut Pura Desa dan
masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa di Bali terdiri dari tiga
halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap halamannya dikelilingi oleh
tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat pada bangunan-bangunan
permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan masjid seperti makam suci
Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam Sunan Giri di Gresik, makam
suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam suci keluarga Raja Demak yang
terdapat di persekitaran Masjid Demak. Dari beberapa teori yang mengatakan
bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia adalah memiliki pagar keliling yang
merupakan pengaruh bangunan pura dapat diperkut dengan temuan pada
penelitian ini, dari 30 kasus tidak semua kasus memiliki pagar keliling bahkan ada
yang sama sekali tidak memiliki pagar, hal ini salah satunya disebabkan oleh
keterbatasan lahan sehingga keberadaan pagar terkadang hanya pada beberapa sisi
bangunan karena sisi lainya suah menempel dengan bangunan sebelahnya.
Ketinggian pagar pada masjid bervariasi sekitar satu meter sampai dengan dua
meter. Adapun finishing pagar umumnya di plester dan menggunakan profil dan
batu alam serta menggunakan vriasi rangka terali besi. Dari 30 kasus hanya lima
199
kasus yang tidak menggunakan pagar hal ini karena bangunan berada dilahan
sempit sehingga bangunan menempel pada daerah milik jalan.
Gambar 4.98 Konsep Tanpa Pagar dan Konsep Menggunakan Pagar pada Masjid di
Kota Denpasar
4.4.4.3 Bentuk Menara Masjid
Menara merupakan elemen tambahan pada masjid , keberadaan menara
merupakan elemen yang diadopsi dari kebudayaan agung Persia dan Romawi,
adapun fungsi dari menara adalah elemen vertikal yang berfungsi memberikan
nilai keagungan kepada suatu bangunan. pada ciri-ciri masjid tua di Indonesia tiak
ada yang menyebutkan salah satunya memiliki menara sehingga menara bukanlah
bagian dari masjid di Indonesia. Akan tetapi keberadaan mulai muncul setelah
beberapa lama bangunan masjid tersebut berdiri hal ini sesuai tulisan schouten
dalam Nas dan Vletter (2009), menyebutkan bahwa masjid di Banten, Ternate,
Makasar, dan Jepara telah dilengkapi menara, saya menduga dari ketiga masjid
sebelumnya yang ia maksud adalah atap tumpang susun tiga atau lima. Ia
200
menyebutkan bahwa menara itu digunakan untuk mengumandangkan azan.
Keberadaan menara pada masjid di Denpasar Bali juga hampir sama dengan
masjid yang disebutkan Schouten yaitu dibangun menyusul setelah bangunan
masjid tersebut berdiri. Untuk gaya arsitektur menara masjid umumnya selalu
menyesuaikan gaya arsitektur masjid itu sendiri akan tetapi melihat pada teori
yang diungkapkan Iskandar (2004), perancangan masjid terkadang tidak ada
skenario atau terencana dengan baik melainkan mengalir apa adanya, ditambah
kemunculan menara beberapa tahun setelah masjid tersebut berdiri. Dari beberapa
kutipan diatas sangatlah jelas keberadaan menara benar-benar merupakan elemen
tambahan dimana keberadaanya bukanlah suatu keharusan. Dari 30 kasus Masjid
di kota Denpasar terdapat dua jenis menara pada masjid, pertama menara yang
berdiri terpisah dari bangunan yang biasanya berada disisi bangunan dan menara
yang menyatu pada badan bangunan. keberadaan menara pada Masjid di Denpasar
salah satunya dikarenakan peraturan yang membatasi ketinggian bangunan
sehingga ketinggian menara kurang optimal sehingga pemilihan menara yang
menyatu dengan badan bangunan lebih menjadi pilihan. Menara yang terpisah
dari bangunan terdapat pada kasus 01, 02, dan 03 sedangkan yang menyatu
dengan badan bangunan terdapat pada kasus 04, 10, 15, dan 28. Dari semua kasus
umumnya menara masjid bergaya timur tengah hanya pada kasus 15 yang
menggunakan gaya akulturasi Minang dan Bali .
201
\ Gambar 4.99 Bentuk Menara Tunggal Pada Masjid di Denpasar
Gambar 4.100 Bentuk Menara Sudut Pada Masjid di Denpasar
Keberadaan menara pada masjid di Indonesia sebelumnya berfungsi untuk
mengumandangkan azan fungsi ini sebenarnya tidak berubah hal ini dapat dilihat
202
fungsi menara masjid di Denpasar saat ini digunakan untuk meletakan pengeras
suara pada bagian puncak menara. Begitupula pada bentuk menara sudut atau
menara yang menyatu dengan badan bangunan. Dari hasil wawancara keberadaan
menara dimanfaatkan sebagai penanda keberadaan masjid agar dapat dilihat dari
jarak yang cukup jauh dan juga berperan untuk memberikan kesan keagungan
4.5 Analisis Ragam Hias
Analisis ragam hias pada masjid di kota Denpasar bertujuan untuk melihat
bagaimanakah perkembangan lambang atau simbol Islam di dalam Arsitektur
masjid terhadap pengaruh Arsitektur Bali dan melihat bagaimanakah Arsitektur
masjid beradaptasi atau mentransformasikan elemen-elemen tersebut kedalam
Arsitektur Islam. Adapun didalam kajian ini akan dibagi menjadi empat bagian
bahasan yaitu meliputi ragam hias yang bergaya timur tengah, modern, ragam
hias bergaya Arsitektur Bali dan Perpaduan dan modifikasi Arsitektur Bali.
Ragam hias bergaya arsitektur Timur Tengah banyak ditemukan pada masjid
di Denpasar baik itu penggunaan bentuk atap kubah sampai detail yang meniru
fasad Masjidil Harram hal ini ditemukan pada kasus 01 dan 30 dimana dari bentuk
dan pemakaian material marmer mencerminkan gaya arsitektur tersebut.
Penggunaan atap kubah merupakan salah satu perkembangan yang lahir pada abad
ke-20 dimana arsitektur Post Modern turut menyumbang penyebaran dan
penggunaan bentuk tersebut. Dimana kelompok Islam di seluruh penjuru dunia
ingin mengungkapkan kesatuan didalam keimanan melalui arsitektur dimana salah
satunya memanfaatkan bentuk kubah tersebut. Penyebaran dan penggunaan gaya
Timur Tengah ini juga disebabkan kekaguman dan kecintaan para pendiri masjid
203
akan tanah Arab sehingga mereka mencoba memberikan nuansa Arsitektur di
Timur Tengah kedalam Arsitektur Masjid di Indonesia.
Gambar 4.101 Ragam Hias Bergaya Timur Tengah
Penggunaan Ragam Hias bergaya timur tengah umumnya pada bagian Mihrab
masjid dimana secara hirarki memiliki nilai ruang yang paling tinggi karena
tempat imam memimpin sholat, bahkan pada masjid yang menggunakan
Arsitektur Bali masih mempertahankan bentuk mihrab bergaya timur tengah
tersebut. selain pada mihrab aplikasi ragam Hias ini umumnya terdapat pada
Pagar, gerbang dan dinding masuk kedalam masjid. Hal lainya yang menunjukan
keagungan nilai Arsitektur Timur Tegah adalah pada menara masjid meskipun
penggunaan bentuk atap mencirikan Arsitektur Masjid di Indonesia dengan
menggunakan atap tumpang pada puncak menara tetap menggunakan atap kubah.
Ciri arsitektur Timur Tengah yang juga melekat pada bangunan masjid di
Denpasar adalah keberadaan kaligrafi dan bentuk portal pada interior bangunan
masjid.
204
Selain penggunan ragam hias bergaya Timur Tengah masjid di Denpasar Bali
juga banyak ditemukan mengguanakan gaya arsitektur modern hal ini
mempertegas bahwa sebenarnya Islam tidak diharuskan fanatik didalam
membangun Arsitektur Masjid sehingga berkreasi diperbolehkan asal tidak
bertentangan dan menimbulkan keresahan didalam jemah masjid. Ragam hias
modern yang dimaksud adalah penggunaan bentuk yang sangat sederhana baik itu
penggunaan profil geometris sederhana sampai detail yang tidak umum digunakan
baik itu pada arsitektur Timur Tengah maupun Arsitektur Bali.
Gambar 4.102. Penggunaan Ragam Hias dan Bentuk Modern Pada Masjid di Denpasar
Tidak hanya ragam hias konsep pemikiran modern juga mempengaruhi
Masjid di Denpasar hal ini ditemukan pada beberapa kasus yang tidak
menggunakan profil atau ornamen didalam Arsitektur Masjinya baik itu bagian
luar ataupun bagian dalam bangunannya.
205
Lingkunagn sekitar sangat berperan untuk mempengaruhi gaya arsitektur
masjid di Denpasar hal ini terbukti dari banyak penggunaan ragam hias bergaya
Bali pada komponen bangunan masjid baik itu gerbang, pagar, kolom, dinding,
plafón, sampai bagian atap bangunan. Gerbang dan pagar merupakan elemen
paling terdepan dari bangunan masjid dan umumnya menjadi titik tangkap mata
sebelum memasuki masjid, sehingga baik gerbang maupun pagar pada Masjid di
Denpasar Bali banyak yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali. Selain pada
pagar penggunaan elemen tersebut juga banyak terdapat pada ornamen yang
melekat pada dinding , kolom dan balok
Gambar 4.103. Penggunaan Ragam Hias Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar
Pengaruh arsitektur Bali yang hampir terdapat pada semua kasus yang
digunakan adalah pengguaan bentuk plafón yang menonjolkan kasau yang sering
ditemukan pada bangunan Bale pada Arsitektur Tradisional Bali. Meskipun dari
segi tampilan bangunan tersebut menggunakan konsep modern maupun Timur
206
Tengah. Bagian atap juga sedikitnya terpengaruh karena terdapat penggunaan
ragam hias pada jurai luar atap yang umumnya terdapat pada bangunan
Tradisional Bali.
Gambar 4.104. Bentuk Plafon Bergaya Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar
Perpaduan dan Modifikasi Ragam Hias Arsitektur Bali dengan gaya arsitektur
Timur tengah dan etnik lain merupakan temuan unik didalam penelitian ini
karena hal ini merupakan tolak ukur dari beberapa teori yang dikaji karena selain
lingkungan berpengaruh terhadap gaya Arsitektur lingkungan juga bisa
melahirkan perpaduan gaya arsitektur yang unik seperti aplikasi ragam hias
arsitektur Bali yang dikawinkan dengan Arsitektur Minang yang terdapat pada
kasus 15 dimana kelompok etnik minang berupaya mempertahankan budaya
mereka didalam penggunaan ragam hias arsitektur Bali. Kemudian hal ini juga
ditemukan pada kasus 18 dan 26 dimana terjadi modifikasi elemen ragam hias
Arsitektur Bali dan ragam hias yang dikenal pada Arsitektur Islam pada umumnya
seperti bentuk kubah. Seperti pada gerbang masjid Al Hikmah pada bagian
puncak gerbang diganti bentuk kubah dan lambang bulan sabit dan bintang.
Begitu juga pada gerbang dan pagar masjid Al-Qomar juga terdapat bentuk kubah
pada elemen pagar. Sedangkan pada kasus 15 atau masjid Al Muhajirin IKMS
207
bentuk menara merupakan perpaduan bentuk Arsitektur Bali dan Minang
sehingga hal ini mencerminkan terjadi adaptasi Arsitektur Masjid di Denpasar.
Gambar 4.105 Adaptasi Ragam Hias Arsitektur Bali
Dari semua kasus yang dijumpai termasuk bangunan masjid yang di dominasi
Arsitektur Tradisional Bali uniknya tetap mempertahankan Arsitektur Timur
Tengah atau tampilan Arsitektur Modern yang sederhana pada bagian interior
masjid sehingga apabila dibuat hirarki penggunaan Arsitektur Bali pada bangunan
masjid terdapat tiga tingkatan dimana yaitu ruang dalam bangunan, kulit luar
bangunan, dan pagar atau gerbang bangunan. Penggunaan ragam hias Bali hanya
terjadi di Kulit Luar dan Pagar bangunan.
208
Gambar 4.106 Hirarki Pengaruh Elemen Ragam Hias Bali
Berdasarkan gambar diatas angka 1 menunjukan bagian inti masjid yaitu
ruang mihrab dan ruang sholat inti pada bagian ini elemen ragam hias cenderung
bergaya arsitektur timur tengah atau bahkan sangat polos elemen dekorasinya,
sedangkan pada nomor 2 yaitu bagian interior bangunan seperti pada bagian
serambi dalam atau ruang peralihan mulai terdapat elemen ragam hias bernuansa
Bali akan tetapi jumlahnya sedikit. Pada hirarki nomor 3 meliputi dinding luar
atau fasad bangunan pada bagian ini elemen arsitektur Bali banyak diterapkan
baik itu berupa ukiran, relief, atau pemakaian bahan bangunan mencerminkan
arsitektur lokal akan tetapi pada kulit ketiga ini umumnya bentuk elemen
arsitektur Bali masih diadaptasikan dengan arsitektur Islam baik itu kaligrafi atau
tidak menggunakan elemen yang dilarang seperti motif hewan dan manusia.
Sedangkan pada hirarki no 4 yaitu bagian pagar keliling. elemen arsitektur Bali
sangat kuat pengaruhnya hal ini dapat terlihat dari kasus masjid Al Hikmah
dimana terdapat motif hewan dan manusia yang dilarang keberadaanya di Masjid.
209
4.6 Morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar Bali
Kajian teori terhadap morfologi masjid pada penelitian masjid di denpasar
akan dibahas berdasarkan masing-masing teori yang dirujuk pada tinjauan teori.
Meliputi Utaberta, Nasr, dan Haider. Menururt Utaberta arsitektur Islam adalah
bertujuan mengingatkan kepada Allah hal ini tercermin pada penggunaan
lambang tulisan Allah dan petikan ayat Al-Quran pada setiap masjid yang ada di
Denpasar baik itu dipuncak menara, ambang mihrab atau dinding bagian Barat
ruang sholat. Arsitektur masjid juga harus mengutamakan tawadu’ atau
kerendahan hati hal ini tercermin dari beberapa kasus yang memiliki bentuk yang
sederhana tanpa diklengkapi banyak ragam hias akan tetapi bukan berarti
bangunan yang mewah mengabaikan konsep ini karena kemungkinan memiliki
tujuan yang lain akan tetapi konsep Islam yang baik adalah kesederhanaan.
Arsitektur Islam juga mengutamakan kesejahteraan publik hal ini juga merujuk
pada fungsi masjid sebagai bangunan yang berfungsi sebagai wadah sosial yang
menjadi pusat kegiatan atau kehidupan masyarakat hal ini tercermin dari
keberadan fungsi penunjang pada masjid di Denpasar seperti badan amil zakat,
sekolah dan fasilitas sosial lainnya. Menururt Utaberta toleransi merupakan
bagian yang penting hal ini mencerminkan bahwa toleransi sudah tercipta melalui
arsitektur masjid seperti penggunaan gaya arsitektur Bali pada bangunan masjid
meskipun tidak semua kasus mengadaptasinya bukan berarti tidak ada toleransi
didalamnya karena ditemukan beberapa konsep yang diterapkan.
Teori Arsitektur Islam yang dikemuakan oleh Nasr juga menguatkan bahwa
Masjid di Denpasar mencerminkan Arsitektur Islam hal ini dengan ditemukannya
210
bahwa didalam Islam tidak dikenal istilah profan dan sakral melainkan menjadi
kesatuan yang utuh di dalam bangunan masjid karena pada kondisi tertentu
halaman masjid juga bisa digunakan untuk melaksanakan sholat dan posisi mihrab
pun bisa digantikan keposisi lainnya. Kemudian kejujuran aplikasui material
disini masjid tampil apa adanya dan terlihat jelas bahan yang digunakan tanpa ada
usaha untuk mengaburkan atau menutupinya. Kemudian temuan yang
menguatkan teori Nasr adalah kesatupaduan dengan tatanan Alami dimana pada
masjid di Denpasar terdapat kasus yang tidak memiliki dinding sehingga
bangunan menyatu dengan halaman sekitar akan tetapi untuk menjaga
kesuciannya masjid dikelilingi oleh pagar sehingga konsep terbuka ini jelas
memberikan gambaran bahwa bangunan masjid menjadi kesatuan dengan tatanan
alam. Kemudian teori yang dikemukakan Nasr tentang kehampaan ruang
tercermin pada dekorasi ruang dalam masjid yang umumnya kososng terhadap
ukiran dan ragam hias mencerminkan bahwa memiliki banyak makna atau justru
penuh isi.
Teori yang dibangun Haider mengenai Arsitektur Islam yaitu Alam dan
manusia sembah Allah dapat diartikan kebebasan menggunakan gaya arsitektur
pada bangunan masjid berarti seluruh alam tidak ada syarat atau perlakuan khusus
sama halnya didalam menyembah Allah, kemudian hampir sama dengan Utaberta
manusia juga harus menjaga toleransi antar umt beragama. Arsitektur Islam
mempresentasikan nilai sejarah Islam pada teori ini merupakan gambaran masih
banyaknya penggunaan gaya arsitektur Timur Tengah dan India pada masjid
seperti penggunaan kubah dan ragam hiasnya hal ini mencerminkan kemajuan
211
arsitektur Islam di Timur Tengah pada masa kemajuan dinasti Islam dan
perkembangan kota Islam . Arsitektur menghormati halal dan haram juga
berusaha diterapkan pada arsitektur masjid walaupun tingkat kualitasnya
berdasarkan tingkat keimanan dan pemahaman seperti pemisahan gender jemaah
laki-laki dan perempuan dan yang banyak menjadi perdebatan adalah keberadaan
elemen yang diharamkan pada masjid Al-Hikmah pada kasus 26 dimana terdapat
elemen patung pada gerbang yang sangat diharamkan keberadanya didalam
arsitektur Islam. Keberadaan kaligrafi dan petikan ayat uci Al Quran pada masjid
di Denpasar melambangkan spiritualitas Islam.
Rehman didalam teorinya memiliki pandangan yang sama dengan haider
dimana melarang keras ada syirik di dalam Arsitektur Islam seperti keberadaan
patung dan elemen yang bermotif mahluk bernyawa selain tumbuhan. Rehman
juga mengemukakan pendapat yang sama dengan Nasr dimana bangunan Islam
adalah Arsitektur yang menjadi kesatuan dengan tatanan alami dan tidak merusak
alam, alam disini selain bersifat fisik juga lingkungan budaya sekitar seperti
toleransi didalam penggunaan gaya arsitektur setempat kedalam rancangan
Arsitektur Masjid. Dalam kasus masjid Al Hikmah penggunaan patung pada
elemen pagar sangat bertentangan dengan arsitektur Islam, akan tetapi keberadaan
elemen tersebut hanya pada bagian pagar dan tidak ditemukan pada dinding luar
maupun dalam bangunan sehingga konsep ini jarang ditemukan pada arsitektur
masjid lain di nusantara, sama halnya masjid demak dimana elemen naga dan
relief masih ditemukan pada bangunan. Keberadaan elemen tersebut sangat erat
kaitanya dengan pandangan dan kedalaman fiqih karena tidaklah mudah pendiri
212
masjid meletakan eleman tersebut didalam masjid tanpa pertimbangan yang
mendasar yaitu meningkatkan harmonisasi dan toleransi beragama.
Berdasarkan teori perkembangan kontur masjid di Indonesia dimana terdapat
tiga kelompok teori dasar yang membahas mengenai asal usul bentuk morfologi
masjid di nusantara. Pendapat pertama yang menerangkan bahwa masjid di
nusantara dipengaruhi oleh arsitektur di luar nusantara seperti malabar, sedangkan
teori kedua mengatakan morfologi masjid nusantara berasal dari kearifan lokal
dimana masjid tersebut berdiri. Pendapat ketiga mengenai asal bentuk masjid di
nusantara adalah dari Jawa yang dianggap oleh beberapa peneliti mewakili
karakter masjid di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian masjid di denpasar Bali
peneliti memiliki dugaan bahwa asal usul bentuk masjid di nusantara adalah
kearifan lokal dimana masjid tersebut berdiri, sebagai contoh bentuk masjid tua di
minang memiliki karakter yang berbeda dengan jawa dimana meskipun atap
bertumpang tiga atau lebih akan tetapi memiliki bentuk bagonjong seperti rumah
gadang, begitu juga masjid di Kalimantan dalam penelitian aufa bentuk atap dan
kemiringan sudut atap berbeda dengan atap tumpang masjid di Jawa. Hal yang
sama juga ditemui pada masjid di Denpasar bentuk masjid umumnya memiliki
dinding terbuka menyerupai wantilan atap bangunan bale yang dikelilingi oleh
pagar, bentuk morfologi ini bisa dikatakan tidak dijumpai pada masjid lainnya di
Nusantara kecuali pada masjid tua di Jawa seperti masjid Demak akan tetapi
bagian yang terbuka bukan bangunan inti melainkan fungsi tambahan yang juga
bisa digunakan untuk sholat. Peneliti juga memperkuat teori yang dikemukakan
oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953) bahwa bangunan wantilan memang
213
paling memungkinkan untuk selanjutnya berkembang menjadi dasar bentuk
masjid di Nusantara karena memiliki bentang yang luas dan mampu menampung
banyak jemaah. Akan tetapi tampilan bangunan wantilan memiliki bentuk yang
sederhana sedangkan pada masa sebelum masuknya Islam masyarakat di
Nusantara memiliki kepercayaan Hindu Budha yang membaur dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga masing-masing lokal memiliki
kepercayaan terhadap makna sebuah bangunan seperi bentuk yang sakral atau
yang memiliki nilai tinggi, sebagai contoh yang sangat umum bangunan suci
ataupun para pembesar atau Raja memiliki bentuk atap bertingkat, sebagai contoh
rumah di bugis semakin seseorang memiliki posisi yang tinggi maka jumlah
tingkat atapnya semakin banyak. Kaitan pemahaman terhadap bentuk arsitektur
tradisi inilah yang digunakan untuk bangunan masjid, dimana bangunan wantilan
mewakili fungsi dengan bentangnya sedangkan untuk atap dibuat bertumpang
sebagai simbolisasi keagungan. Pendapat stutterheim ini ditentang oleh H.J de
Graff (1963), dimana teorinya mengatakan tidak mungkin orang muslim
menggunakan bangunan yang juga sering digunakan untuk sabung ayam menjadi
bangunan suci. Disini de graff lupa akan filosofi dasar umat islam dimana didalam
agama islam tidak melihat masa lalu seseorang apakah dia bekas pelacur atau
penjahat sekalipun apabila mereka bertobat maka mereka akan diterima dan
diampuni dosa yang telah lalu ,sehingga ada kaitannya dengan bangunan masjid
meskipun bangunan itu sebelumnya digunakan sebagai tempat maksiat tidak
menjadi masalah dirubah menjadi sebuah masjid asalkan fungsi lama tidak
dipakai lagi sebagai tempat untuk maksiat.
214
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 SIMPULAN
Lingkungan berpengaruh terhadap arsitektur masjid di Denpasar. Walaupun
masjid di Indonesia saat ini umumnya dipengaruhi arsitektur masjid bergaya
Timur Tengah dan India, masih ada masjid di Denpasar yang mengambil konsep
lokal dan diterapkan didalam bangunan masjid. Konsep lokal tersebut ditemukan
pada konsep bangunan tanpa dinding seperti bale atau wantilan dan dikelilingi
oleh pagar, keberadaan dinding hanya pada bagian sebelah barat. Keunikan
morfologi arsitektur masjid di Denpasar adalah penerapan elemen ragam hias bali
banyak ditemukan pada bagian terluar bangunan yaitu pagar dan dinding luar
bangunan masjid akan tetapi semakin mendekati bangunan inti yaitu ruang sholat
utama dan mihrab elemen arsitektur Bali tidak ditemukan, sehingga terlihat jelas
walaupun arsitektur masjid terpengaruh oleh Arsitektur Bali terdapat resistensi
budaya didalam nya. Bentuk ruang sholat utama pada masjid di Denpasar
umumnya memiliki bentuk dasar persegi dan setiap ruang berupaya menghindari
keberadaan tiang di tengah ruang sholat. Selain itu orientasi ruang sholat seiring
waktu berupaya agar tegak lurus dengan arah kiblat. Bentuk lainnya adalah atap
tumpang, dari beberapa kasus umumnya masjid di Denpasar menggunakan atap
tumpang akan tetapi umumnya memiliki tumpang dua, berdasarkan hasil
wawancara atap tumpang dua ini digunakan untuk menjaga toleransi terhadap
kepercayaan Hindu dimana jumlah atap tumpang tiga sering digunakan pada
215
bangunan suci umat hindu. Berdasarkan pengamatan dilapangan terdapat dua
kecendrungan dasar arah perkembangan bentuk arsitektur masjid di Denpasar
yang pertama adalah berusaha untuk mengadopsi dan memodifikasi Arsitektur
Bali pada rancangan masjidnya dan kedua bangunan masjid mengarah kepada
bentuk arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India hal ini dapat dilihat dari
beberapa kasus seperti masjid yang menambahkan elemen tambahan yang
menyerupai masjid di Timur Tengah walaupin hanya pada bagian tertentu masjid.
Berkaitan dengan perkembangan teori morfologi masjid di nusantara pada
penelitian ini ditemukan bahwa lingkungan lokal berpengaruh terhadap
pembentuan morfologi masjidnya, sehingga pendapat yang dikemukakan oleh De
Graaf bahwa masjid tua di Indonesia dipengaruhi bentuk masjid Malabar
kuranglah kuat. Begitu juga pendapat Pijper yang mengatakan bahwa morfologi
masjid di Jawa mempengaruhi masjid di nusantara juga sulit untuk diterima. Dari
hasil pengamatan peneliti sependapat dengan Stutterheim dalam nas & vletter
(1953), dimana secara fungsi masjid memerlukan ruangan yang lebar dimana
wantilan atau pendopo merupakan bangunan yang memiliki ukuran yang sesuai
untuk dijadikan masjid dan untuk menambahkan nilai sakralnya para pendiri
masjid mengambil bentukan meru sehingga tidak heran masjid di nusantara
beratap tumpang. Selain atap didalam perkembangannya wantilan tersebut dibuat
dinding keliling sehingga terciptalah bentuk dasar masjid-masjid di Nusantara.
Pada arsitektur masjid di Bali ditemukan lagi masjid yang menyerupai bentuk
wantilan tanpa ada dinding akan tetapi memiliki pagar keliling dan ini
memberikan makna bahwa pengaruh lokal sanga kuat pada pembentukan karakter
216
masjid. Masjid di Denpasar umumnya sesuai dengan Arsitektur Islam berdasarkan
teori yang direferensi dimana umumnya arsitektur islam menjaga hubungan yang
baik dengan alam dan sesama manusia sehingga penggunaan elemen arsitektur
Bali tidak dipermasalahkan asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
5.2 REKOMENDASI
Penelitian masjid di Indonesia masih perlu dikaji lebih dalam, berdasarkan
data arkeologi islam di Nusantara sangat sulit untuk mengetahui kapan islam
masuk dan berkembang, data yang diperoleh umumnya dari peninggalan makam
tua, catatan perjalanan seperti Laksamana Cheng Ho dan keberadaan kerajaan
Islam. Kaitan kapan dan dimana islam pertama kali berkembang di Nusantara
adalah sangat penting terhadap pembentukan dasar morfologi masjid tua yang ada
di Nusantara. Penelitian majid di Denpasar merupakan salah satu penelitian
masjid yang memperkuat bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap bentuk
morfologi masjid, karena muncul teori yang menyatakan bentuk masjid di
Indonesia dipengaruhi arsitektur India khususnya malabar bahkan tidak sedikit
teori yang menyatakan masjid Jawa mempengaruhi bentuk masjid di Nusantara.
Penelitian masjid di Denpasar merupakan pintu gerbang untuk penelitian
masjid selanjutnya karena untuk memperkuat teori yang ada harus mempelajari
lokus yang lebih luas yaitu diseluruh Bali dan mempelajari kaitan kaum
pendatang yang berasal dari luar Bali seperti NTB, Jawa, dan Sulawesi karena di
Denpasar ditemukan beberapa perkampungan etnis . Pandangan pendiri masjid
terhadap Al-Quran dan Hadist berpengaruh kuat terhadap bentuk morfologi
217
masjid di Denpasar, sehingga perlu dikaji apakah konsep bentuk masjid-masjid
tua di Nusantara sudah mempertimbangkan hal tersebut, dan bagaimana budaya
lokal bersinergi mempengaruhi morfologi masjid tersebut.
218
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Elfida .1999. Diktat kuliah Tipologi dan Morfologi Arsitektur, Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Sipil danPerencanaan, Universitas Bung Hatta.
A. Hasymi. Prof. 1981. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Bandung: PT. Alma‟arif,
Akkach, S. 2005. Cosmology And Architecture in Premodern Islam, New York :
State University Of Newyork Press, Albany. p. 13-25
AV. Moudon. 1994. Getting to Know The Built Landscape Typomorphology
dalam Ordering space Type in Architecture and Design. New York: Van
Nostrand Reinhold.
Bungin, H.M Burhan. 2009. Penelitian Kulitatif. Jakarta: Kencana
Cataldi, G, Maffei, G.L. & Vaccaro, P, 2002, “Severio Muratori and the Italian
School of Planning Typology”, Urban Morphology, Vol.5.
CH, Schulz. 1979. Genius Loci. New York: Rizzoli International Publication
Fanani, A. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang Pustaka
Gardiner, Stephen.1983. Introduction to architecture. Oxford: Equinox Ltd.
Haider, S. G. (2002) On What Makes Architecture Islamic : Some Reflections and
Proposal, RoutledgeCurzon, London.
Iskandar, S. B. 2004. Tradisionlitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid.
Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.32, No. 2. Universitas Kristen Petra.
Loekito, J. 1994. Studi Tentang Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung
Surabaya pada Periode Sebelum Tahun 1942. Laporan Penelitian. Tidak
dipublikasikan. Surabaya: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen
Petra,
219
Lexy J. Moleong. 1995a. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya
:Bandung.
Mann, A.T. 1993.Sacred Architecture, Great Britain, Element book Ltd.
Muhammad Irsyad. 2008. Tinjauan Arsitektur Masjid Sultan Andurrahman
Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi . Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Nasr, S.H. 2003.” Islam Religion, History and Civilization.”, Harper San
Francisco, USA
Naimatul Aufa .2010.” Tipologi Ruang dan Wujud Arsitektur Masjid Tradisional
Kalimantan Selatan” Journal of Islamic Architecture Vol I, 2010:Bandung.
Rehman, A. (2002) The Grand Tradition of Islamic Architecture,
RoutledgeCurzon, London.
Rosniza Binti Othman & Inangda, N & Ahmad, Y, 2008, “ A Typological Study
Of Mosque Internal spatial Arrangement : A Case Study on Malaysian
Mosque 1700-2007.” Journal Of Design and the Built Environment:
University of Malaya Kuala Lumpur.
Salain, R. 2011.”Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di
Kertalangu Denpasar”(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Schultz, C, N.1988. Architecture: Meaning and Place.Rizzoli, New York.
Shihab, Q. 1997. Wawasan Al-Quran; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Penerbit Mizan.
Nas, P.J.M & Vletter,M.D. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta. 2003. “Kamus Umum Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai
Pustaka.
220
Setiabudi, B. 2006. A Study on the History and development of the
Javanese Mosque : typology of The Plan and Structure of The Javanese
Mosque and It’s Distribution Journal of Asian Architecture and Building
engineering. Vol.5, No 2 pp 229-236.
Sudibyo, 2012. Sang Nabi pun Berputar, Arah Kiblat dan Tata Cara
Pengukurannya, cetakan pertama. Surakarta : Tinta Medina.
Tjandrasasmita. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Cetakan pertama. Kepustakaan
Populer Gramedia : Jakarta.
Utaberta, N & Kosman, K,A & Tazilan A, S, M , 2009 :229-245, “Tipologi reka
Bentuk Arsitektur Tradisional di Indonesia.” International Journal of the
malay world and Civilization .
Utaberta, nangkula. 2004. Konsep Arsitektur Islam dan perumahan islam dari
Perspektif Sunnah. Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas
Muhammadiyah Surakarta
221
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN
Penelitian Masjid di Denpasar
No Nama Umur No Telp/hp
1 Dennyanto 37 081999589441
2 Sumarno 42 08155786143
3 Lilik 38 08164719069
4 Irawan 43 081933035433
5 Abdul Hamid 52 03617928641
6 Dwi Santoso 35 03617905441
7 Wahyudi 37 08188350241
8 H. Sulaiman 55 08179787664
9 M. Shodiq 51 081338488011
10 Mursyid 51 08123683378
11 Ferri Hendri 52 081558132355
12 Imam Sultoni 36 08124693533
13 Andi Maryono 39 081558320973
14 H. Achmad Rosyid 60 08123012859
15 Sutomo Awibowo 48 081238113841
16 Sumarto 46 08124645598
17 Sutoyo.Sag 47 03618448022
18 Suherman 44 081338080040
19 Joko Iswono 38 08886209920
20 Samto Adam 34 081558872325
21 M. Salim 49 081236012955
22 Djaffar Sidiq 33 081916604957
23 Mahyuddin 43 081338755431
24 H. Nurzainuddin 56 08179752391
25 Iskandar 44 087861081333
222
26 Teguh Wiryono 46 7435747
27 H.Moh.Jupri 54 081337937475
28 Herman 55 081338755111
29 Suwadi 43 08563812208
30 Suwarso 48 7416484
31 Edy Sutikno 51 7808028
32 H. Loekito 54 08123659033
33 Adi Kusno 38 03618013075
34 Abdurrachman Alwi 38 081933004118
35 H.M Bustomi 53 0817566885
36 H. Jayus 47 081337303365
37 Muh. Nuruddin 42 08179716595
38 Suraji 46 0817388810
39 Lahmuddin 44 457525
40 Suriyanto 38 087861191423
41 H.Hariyanto 49 081353299320
42 Noer Hasan 43 081337986117
43 Pepen 32 03618447732
44 Wahyono 35 7950417
45 Ahmadi. SH 43 08164710601
46 Halim 41 08123609883
47 Joko Irianto 36 081805518400
48 Suyono 62 081558090880
top related