musibah dan kalimat istirja’ perspektif tafsir corak...
Post on 26-Jan-2020
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MUSIBAH DAN KALIMAT ISTIRJA’ PERSPEKTIF
TAFSIR CORAK KALAM DAN SUFI
(Kajian Surah Al-Baqarah Ayat 155-157)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nisa Fathunnisa
NIM. 1113034000094
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Nisa Fathunisa: Musibah dan Kalimat Istirja’ Perspektif Tafsir Corak
Kalam dan Sufi. (Kajian QS. al-Baqarah [2]: 155-157.
Musibah adalah sesuatu yang memberikan dampak negatif bagi
keberlangsungan hidup manusia. Ketika seorang muslim ditimpa musibah
maka kalimat yang terucap adalah innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Kalimat ini disebut kalimat istirja’. Pemahaman tentang musibah dan
kalimat istirja’ ini berbeda-beda setiap mazhab. Karena itu, penting
penulis meneliti musibah dan kalimat istirja’ perspektif mufassir corak
kalam.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yaitu menggali informasi dari buku-buku,
jurnal dan dokumen-dokumen yang memiliki kaitan dengan judul penulis.
Penulis menggunakan tiga kitab tafsir dari mazhab yang berbeda, yaitu
Tafsir al-Kasysyāf karya Zamakhsyari (Muktazilah), al-Jāmi’ li ahkām al-
Qur’ān karya al-Qurṭubi (Sunni), Lathāif al-Isyārāt karya al-Qusyairi (Sufi). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif-analisis
dan deskriptif-komparatif.
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa mufassir Muktazilah
menganggap musibah sebagai cara Allah mengukur keimanan seseorang.
Mufassir sunni mengangap semua musibah adalah ujian, baik itu musibah
yang baik maupun buruk. Sedangkan mufassir sufi memaknai musibah
sebagai cara Allah melihat kesabaran seseorang. Kalimat istirja’ menurut
mufassir muktazilah adalah kalimat yang menunjukkan kepasrahan kepada
Allah. Mufassir sunni berpandangan bahwa kalimat pegangan bagi orang
yang terkena musibah yang mengandung dua pengakuan, yaitu pengakuan
dan penetapan akan keesaan Allah dan pengakuan bahwa segala sesuatu
akan kembali kepada-Nya. Adapun mufassir sufi hanya menjelaskan
seharusnya menghadapinya dengan sabar, syukur, gembira, dan rasa
bangga.
Keynote: Musibah, Istirja’, Muktazilah, Sunni, Sufi.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur atas nikmat yang
Allah berikan dan kehadiratnya Allah SWT. Yang memberikan nikmat
sehat jasmani maupun rohani serta hidayah dan inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyeleseikan penyusunan skripsi ini dengan judul “
MUSIBAH DAN KALIMAT ISTIRJA’ PERSEPEKTIK CORAK
KALAM DAN SUFI (Kajian surat Al-Baqarah Ayat 155-156).
Sholawat serta salam tak lupa juga penulis junjungkan kepada baginda
Nabi Muhammad s.a,w. serta kepada keluarga dan para sahabat aamin
allahumma aamiin.
Skripsi ini di ajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
ujian munaqasyah guna memperoleh gelar Sarjana Agama Jurusan Ilmu
al-Qur’an dan Tafir ( IQTAF) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini tentu masih jauh dengan kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan, baik dari tekhnik penyusunan dan kosakata yang
tertulis, maupun dari isi pembahasan yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan dan kesempurnaan dalam skripsi ini.
Dalam penyeleseian skripsi ini, penulis banyak memperoleh
bantuan serta bimbingan dari berbagai piha. Untuk itu,dengan penuh rasa
hormat penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
kesempatan untuk belajar dan menuntut ilmu pada Program
iii
Sarjana Jurusan Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir ( IQTAF) di
Fakultas Ushuluddin.
2. Dr,Yusuf Rahman , M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku ketua Jurusan di Fakultas
Ushuluudin pada bidang al-Qur’an dan Tafsir ( IQTAF) yang telah
membantu dan memberi saya kesempatan dalam penyusunan
Skripsi.
4. Fahrizal Mahdi, LC,MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir (IQTAF) yang sudah membantu dalam prosedur
Skripsi.
5. Hasanuddin Sinaga, MA Selaku Dosen Penasehat yang telah
banyak memberi saya pengetahuan bagaimana menentukan kata-
kata yang benar dalam penulisan proposal skripsi serta judul yang
bagus.
6. Dr. Eva Nugraha, MA Selaku Dosen penguji proposal yang selalu
sabar memberi arahan serta pertanyaan-pertanyaan dalam
menentukan judul yang baik untuk melanjutkan penulisan skripsi
ini.
7. Muslih.M. A.g selaku Dosen Pembimbing yang selalu saya
lontarkan dengan banyak dan berbagai pertanyaan dalam penulisan
skripsi ini hingga selesainya bimbingan skripsi dengan beliau
hingga saya dapat melanjutkan sidang dengan penguji skripsi
berikutnya.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
Nama para Dosen yang saya hormati dengan tulus memberikan
iv
ilmu pengetahuan serta wawasan yang luas mengenai segala aspek
keilmuan selama penulis mengikuti perkuliahan.
9. Tercintah dan terkasih serta tersayang penulis banggakan untuk
Kedua Orang tua ibu (Ibu Roisah) dan bapak ( Bapak Ahyar) yang
penulis sayangi dan selalu penulis rindukan tak ada kata-kata lagi
bisa penulis ungkapkan selain ucapan terimakasih yang
memberikan materi serta doa-doa yang selalu di panjatkan untuk
penulis agar segera selesai, dan tak lupa kakak-kakak penulis
Hotimah, Dhohiri,Wahadi, Sohiroh,
10. Teruntuk Teman-Teman penulis ankgkatan 2013 yang sudah
banyak memberi semangat serta motivasi yang banyak untuk
penulis agar tidak malas dalam penyusunan skripsi
11. Teruntuk Nurul Hasanah, Yayah Fauziah, Helmi faridhatun, Nita
Nurningsih, Siti Zulaikha, Arizki, Sakinah, Lia Lianti, telah
mendungkung dan memotivasi penulis dalam penysunan skripsi.
12. Keponakna penulis yang telah mengisi hari-hari penulis skripsi ini
jadi santai dan tersenyum karena mengingingat wajah-wajah
keponakan penulis yang lucu dan imut yaitu, Anna Attabi’ul
musyafa, Tadzkia Adilla Ramadhani, Zhafran Bathin Putra, Alivia
Rahma, Ahmad Muhlis Amin, Zahiran dan Bassam.
13. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan
proses skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam pelaksanaan skripsi ini.
Untuk itu, penulis menerima segala saran dan kritikan demi perbaikan dan
kemajuan penelitian dimasa mendatang. Terima kasih.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
E. Kajian Pustaka ..................................................................... 8
F. Metode Penelitian ............................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUSIBAH DAN ISTIRJA’
A. Pengetian Musibah dan Istirja’ .......................................... 13
B. Macam-macam Musibah .................................................... 16
C. Gambaran Al-Qur’an tentang Bencana .............................. 18
D. Hikmah Adanya Musibah ................................................... 20
BAB III BIOGRAFI MUFASSIR
A. Profil Zamakhsyari ............................................................. 22
B. Profil Al-Qurṭubi ................................................................ 31
C. Profil Al-Qusyairi ............................................................... 35
BAB IV MUSIBAH DAN KALIMAT ISTIRJA’ MENURUT
MUFASSIR TEOLOGIS DAN SUFI
A. Teks Arab dan Terjemah Surah Al-Baqarah 155-157 ..... 38
B. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Zamakhsyari ...... 38
C. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Al-Qurṭubi ......... 41
D. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Al-Qusyairi ........ 45
vi
E. Analisis Atas Musibah dan Kalimat Istirja’ ................... 47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 52
B. Saran-saran ....................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 54
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ḥ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d da د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan garis bawah ص
ḍ de dengan garis bawah ض
ṭ te dengan garis bawah ط
zh zet dengan garis bawah ظ
,Koma terbalik ke atas ع
viii
menghadap ke kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
يه h ha
apostrof ء
y ye
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah
i Kasrah
u Dhammah و
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i
au a dan u و
C. Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas ىا
ī i dengan garis di atas
ىوى ū u dengan garis di atas
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf yaitu alif dan lam, dialih aksara menjadi huruf /l/ baik
diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijāl
bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
E. Syaddah (Tasydid)
Syiddah atau tasydid yang dalam sistem Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandangkan huruf yang diberi tanda syiddah
itu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syiddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsyiah. Misalnya yang secara lisan berbunyai aḍ-ḍauurah, tidak
ditulis “aḍ-ḍaūrah”, melainkan “al-ḍarūrah”, demikian seterusnya.
x
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika hurf ta marbûtah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih
aksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang
sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti oleh kata sifat
(na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbūṭah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan
menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṭarīqah طرقة 1
al-jāmī‘ah al-islāmiyyah الجامعة اإلسالمة 2
waḥdat al-wujūd وحدة الوجود 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini bencana alam marak terjadi di
Indonesia. Mulai gempa bumi berkekuatan 7 SR di Lombok,
tsunami di Donggala-Palu, sampai banjir di Papua. Bencana
tersebut mengakibatkan kerusakan rumah, kehilangan harta-
benda, dan hilangnya nyawa. Jika dilihat dari definisinya,
bencana dapat disebabkan faktor alam, campur tangan
manusia, atau kombinasi antar keduanya. Sebagaimana
definisi yang dikemukakan oleh S. Arie Priambodo dalam
bukunya Panduan Praktis Menghadapi Bencana, yaitu “suatu
kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara
keduanya yang terjadi secara tiba-tiba dan mengakibatkan
dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan.”1
Mengenai bencana-bencana yang terjadi di dunia, Al-
Qur’an menyebutkan bentuk-bentuk bencana yang terjadi.
Misalnya, guncangan atau gempa bumi yang dahsyat (QS. al-
Zalzalah [99]: 1-2), kerusakan yang terjadi di darat dan lautan
(QS. ar-Rūm [30]: 41), angin taufan (QS. al-A’rāf [7]: 133),
banjir bandang (QS. al-Ankabūt [29]: 14), dan masih banyak
lagi ayat yang berbicara mengenai bencana alam.
Musibah merupakan ujian atau peringatan yang
diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Kuat atau lemahnya
1 S. Arie Priambodo, Panduan Praktis Menghadapi Bencana
(Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 22
2
iman seseorang terlihat dari bagaimana menyikapai setiap
bencana yang ditimpakan kepadanya. Para mufassir telah
mendefinisikan tentang musibah, Hamka, misalnya,
mengatakan bahwa musibah adalah bencana, baik bencana
besar yang terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir,
gempa bumi, maupun bencana kecil yang terjadi pada manusia
seperti sakit dan tenggelam.2
Sedangkan al-Baiḍāwi mengatakan bahwa musibah
merupakan semua kemalangan yang dibenci dan menimpa
umat manusia.3 Muhammad Ali al-Ṣābūnī mengatakan bahwa
musibah adalah semua peristiwa yang menyedihkan dan
menyakitkan orang mukmin, baik berupa kehilangan harta,
mengidap penyakit atau ditinggal orang-orang yang dicintai.4
Selain menimbulkan dampak negatif bagi
kelangsungan hidup manusia, musibah atau bencana juga
memiliki dampak positif bagi kadar keimanan seorang hamba.
Mislanya, dengan adanya musibah, seorang hamba bisa
semakin dekat dengan Rabb-nya. Dengan mendekatkan diri
atau kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan
merasakan manisnya iman.5
2 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXXVII (Jakarta: Pustaka
Panjimas, t.t) h. 299. 3 al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t) juz 1, h.
431. 4 Muhammad Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir, terj. Yasin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), jilid 1, cet. 1, h. 202. 5 Ridwan Kusuma, “Pemahaman Mahasiswa Tafsir Hadits atas
Ayat-Ayat Musibah,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h. 33.
3
Ketika seseorang ditimpa musibah, kalimat yang
sepontan diucapkan adalah potongan ayat surah al-Baqarah
ayat 156 yang berbunyi ن جعو ه ر ي وإنا إل ه لل إنا (Sesungguhnya
kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali).
Potongan ayat di atas disebut dengan kalimat istirja’,6
potongan ayat yang sering diucapkan kaum muslim selain
potongan surah al-Fatihah, yaitu alhamdu lillāh. Dari segi
sosial, penggunaan potongan ayat surah al-Baqarah ini lebih
sering diucapkan ketika ada orang yang meninggal dunia.
Contohnya bisa dilihat pada iklan kematian di koran-koran, di
kaver buku surah Yāsīn, dan ucapan secara langsung kaum
muslim ketika mendengar ada orang yang meninggal dunia.
Jika diteliti lebih dalam, penggunaan potongan ayat ini
seolah-olah direduksi. Padahal, jika membaca ayat ini secara
utuh, maka penggunaannya tidak hanya pada orang yang
meninggal dunia. Tapi, musibah-musibah lain seperti rasa
takut, kelaparan, kekurangan harta, dan buah-buahan juga
termasuk musibah yang harusnya ditanggapi dengan kalimat
istirja’ ini.
لونكم فسوٱلن لٱلمو نم ون قص عوٱلجو ٱلخوفم نء بشيولن ب
هم نإذاأص لذي ٱ﴾٥١١﴿نبري ٱلص وبش روٱلثمر ت قالوا ة بي مصب ت
﴾٥١١﴿نجعو ر إليهوإناهلل إناArtinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
6 Muhammad al-Manibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah
Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi (Jakarta: Penerbit Hikmah,
2007) h. 24
4
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillaahi wa innaa
ilaihi raaji'uun.” (QS. al-Baqarah [2]: 155-156)
Para mufasir tidak menkhususkan penggunaan kalimat
istirja’ hanya ketika terjadi musibah kematian saja. Ibn Katsīr,
misalnya, dalam menjelaskan ayat ini mengutip hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim yang mengatakan bahwa,
“Tidaklah seorang hamba ditimpa suatu musibah maka
ucapkanlah innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʻūn.”7
Tidak berbeda dengan Ibn Katsīr, al-Sya’rāwī
mengatakan bahwa musibah apa pun yang dialami oleh
manusia hendaknya mengucapkan kalimat innā lillāhi wa innā
ilaihi rājiūn, lalu ditambah dengan doa ني في مصي بتي الل هم أ جر
لف لي خي ر من ها Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam) واخ
musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih
baik daripadanya).8
Pandangan kaum muslim tentang musibah sangat
beragam. Ada yang mengatakan bahwa musibah terjadi karena
ada andil manusia, ada juga yang mengatakan bahwa setiap
musibah yang terjadi di muka bumi merupakan takdir yang
telah digariskan oleh Allah SWT. Dua pandangan ini dalam
perspektif teologis (ilmu kalam) dikelompokkan pada dua
pemahaman, yaitu qadariyah dan jabariyah. Dari segi
7 Abi al-Fida’ Ismāʻīl bin Umar bin Katsīr al-Qurasy al-Dimasyqī,
Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm (Beirut: Dar Ibnu Jazm, 2000), h 223. 8 Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwi, Tafsīr al-Sya’rāwi
(Qahirah: Dar Akhbar al-Yaum, 1991), h. 665.
5
teologis, qadariyah menganggap bahwa manusia bebas
menentukan hidupnya dan memiliki kekuatan sendiri untuk
melakukan hal-hal yang diinginkan. Sedangakan kaum
jabariyah mengatakan bahwa manusia tidak memiliki
kekuatan dan kebebasan menentukan hidupnya. Semua yang
terjadi di dunia ini merupakan kehendak Allah. 9
Lantas, bagaimana pandangan orang-orang
Muktazilah yang dikenal dengan aliran kalam yang
memandang segala sesuatu lebih filosofis. Apakah ketika
mereka terkena musibah akan mengucapkan kalimat istirja’
atau tidak? Salah satu kitab tafsir yang populer di kalangan
Muktazilah adalah al-Kasysyāf10 yang ditulis oleh
Zamakhsyari. Zamakhsyari ketika menafsirkan surah al-
Baqarah ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawūd yang mengatakan bahwa, ketika pelita Rasulullah saw
padam beliau mengucapkan innā lillāhi wa innā ilaihi rājiūn.
Lantas beliau ditanya, “Apakah itu termasuk musibah?”
Rasulullah saw bersabda, “Benar! Segala sesuatu yang
menyakiti setiap muslim adalah musibah.”11 Pandangan
Zamakhsyari tentang musibah tidak terpaku pada kematian
saja, bahkan apa pun bentuknya jika menyakiti seorang
9 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986) h. 33. 10 Muhammad Husain al-Zahabi menyebutkan tiga kitab tafsir
yang populer di kalangan Muktazilah, yaitu Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-
Maṭāini karya al-Qāḍi ‘Abd al-Kabbār, Amalī al-Syarīf al-Mustaḍā karya
Abu al-Qāsim ‘Ali bin Ṭāhir Abi Ahmad al-Husain bin Mūsa al-Kāzhimi,
dan Al-Kasysyāf karya Zamakhsyari. (Lihat Tafsīr wa al-Mufassirūn) 11 Abi Al-Qāsim Jārullah Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari,
Tafsīr al-Kasysyāf (Beirut: Dar Al-Marefah, 2009) h. 104.
6
muslim dapat dikatagorikan sebagai musibah yang patut
direspond dengan kalimat istirja’.
Begitu juga kaum Sunni yang dikenal teguh
memegang prinsip-prisnip agama, yaitu Al-Qur’an, hadis, dan
qaul sahabat. Apakah mereka juga menjadikan kalimat istirja’
ini sebagai kalimat yang pertama kali terucap ketika ditimpa
suatu musibah? Dan, bagaiaman juga pandangan kaum sufi
tentang ayat ini?
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga kitab
tafsir dari latar teologi yang berbeda. Untuk meneliti lebih
jauh tentang surah al-Baqarah [2]: 155-157 ini penulis
menggunakan tafsir Muktazilah, yaitu Al-Kasysyāf karya
Zamakhsyari, tafsir sunni, yaitu al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
karya Al-Qurṭubi, dan tafsir yang bercorak sufi, yaitu Laṭāif
al-Isyārāt karya al-Qusyairi.
Karena itu, penulis merasa perlu melacak ulang
bagaimana cara pandang tafsir-tafsir yang bercorak kalam di
atas yang membahas tentang surah al-Baqarah [2]: 155-157
ini. Oleh sebab itu, penulis mengangkat judul: MUSIBAH
DAN KALIMAT ISTIRJA’ PERSPEKTIF TAFSIR
CORAK KALAM & SUFI. (Kajian QS. al-Baqarah [2]:
155-157)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang di atas, perlu membuat batasan
masalah agar pembahasan dalam skripsinya tidak meluas.
7
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah
mengkaji surah al-Baqarah [2]: 155-157 menggunakan
Tafsir al-Kasysyāf karya Zamakhsyari (Muktazilah),
Tafsir Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubi
(Sunni), dan Tafsir Laṭāif al-Isyārāt karya al-Qusyairi
(Sufi).
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut, maka perlu adanya
perumusan masalah. Perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana cara pandang tafsir
Muktazilah, Sunni, dan Sufi terhadap musibah dan
kalimat istirja’?
C. Tujuan Penelitian
Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang tentu
memiliki tujuan tersendiri. Sama halnya dengan penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang, pembatasan, dan perumusan
masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengidentifikasi musibah apa saja yang bisa direspon
dengan kalimat istirja’.
2. Meninjau pandangan tafsir-tafsir yang bercorak kalam
terhadap surah al-Baqarah [2]: 155-157.
3. Memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
8
1. Diharapkan dari penelitian ini akan menambah khazanah
pengetahuan tentang penggunaan kalimat istirja’.
2. Diharapkan dari penelitian ini bermanfaat bagi pembaca
yang ingin mengetahui perspektif tafsir corak kalam
mengenai surah al-Baqarah [2]: 155-157 tentang
musibah.
E. Kajian Pustaka
Penulis menemukan beberapa tulisan berbentuk
skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jurnal yang
membahas tentang musibah atau bencana, di antaranya:
“Pemahaman Mahasiswa Tafsir Hadits atas Ayat-ayat
Musibah,” karya Ridwan Kusuma, 2017. Skripsi ini
menjelaskan tentang bagaimana 10 pemahaman mahasiswa
Tafsir Hadits terhadap ayat-ayat musibah serta
mengaplikasikannya terhadap kehidupan mereka ketika
tertimpa musibah.
“Musibah Dalam Al-Qur’an: Studi Komparatif
Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsīr Atas Surat al-Hadid
Ayat 22 dan 23,” karya Mutmainah, 2010, skripsi yang
menjelaskan musibah-musibah menurut dua tokoh ulama.
Perspektif al-Quran tentang Musibah (Telaah Tafsir
Tematik tentang Ayat-ayat Musibah), Karya Ade Tisa
Subrata, 2011, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi lebih banyak
membahs musibah secara keselurahan dan umum.
9
Musibah Menurut Kajian Surat al-Baqarah ayat 155-
157, karya Layli, 2003, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini lebih banyak
membahas tentang bentuk-bentuk musibah sebagaimana yang
dijelaskan dalam surat al-Baqarah.
Penafsiran Ayat-ayat Musibah dalam Al-Qur’an (Studi
Analisis Penafsiran M. Quraish dalam Tafsir Al-Misbah),
karya Ainur Rozin, 2015, Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora UIN Walisongo, Semarang. Dalam skripsi ini
berfokus pada pemikiran Quraish Shihab mengenai ayat-ayat
musibah.
Penafsiran Ayat-ayat Musibah Menurut Hamka dan
M. Quraish Shihab, karya M. Tohir, 2011, Fakultas
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam tesis ini
menjelaskan pandangan dua ulama tentang musibah, yaitu
Buya Hamka dan M. Quraish Shihab.
Teologi Bencana dalam Perspektif Al-Qur’an, UIN
Sunan kalijaga, journal yang ditulis oleh Abdul Mustaqim ini
membahas tentang 11 pandangan masyarakat tentang
bencana, mulai yang terkesan sinis, pesimis, hingga yang sarat
dengan muatan politis.
Makna Bencana Menurut Al-Qur’an: (Kajian
Fenomena Terhadap Bencana di Indonesia, LITBANG
Kemenag Pusat Jakarta Indonesia, Jurnal yang ditulis oleh
Abdul Hakim ini membahas bencana dalam Al-Qur’an telah
disebutkan dengan berbagai macam makna, antara lain
10
musibah, bala/ujian, fitnah/cobaan. Musibah yang menimpa
dapat diakibatkan kesalahan manusia.
Penafsiran Ayat-ayat Musibah Dalam Al-Qur’an
(Kajian Tafsir Tahlili QS. Al-Baqarah [2]: 156-157) karya
Muhammad Shaleh, Universitas Islam Negeri Alauddin,
Makassar, membahas tentang ayat-ayat Musibah dalam Al-
quran, dan menggunakan metode pendekatan ilmu tafsir,
dengan corak sosial budaya. Pembahasan skripsi di atas
menjelaskan beberapa tentang musibah, akan tetapi yang
membedakan serta skripsi ini layak diangkat yaitu mencoba
menjelaskan bagaimana pemahaman mufassir yang berlatar
belakang teologi berbeda seperti Muktazilah, Sunni, dan Sufi.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan telaah pustaka (library
research). Penelitian kepustakaan memperoleh data dan
informasi dari buku, jurnal, arsip, dokumen dan tulisan
lainnya yang memiliki hubungan dengan tema yang sedang
diteliti.
2. Jenis Data
Ada dua jenis data dalam penelitian ini yaitu: data
primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber
kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan
dalam penelitian ini. Sedangakan data sekunder adalah data
pendukung yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Adapun
data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an al-Karim.
11
Sedangkan data sekundernya adalah Tafsir Al-Kasysyāf karya
Zamakhsyari, Tafsīr Al-Jāmi’ li Ahkāmi al-Qur’ān karya al-
Qurṭubi, dan Laṭāif al-Isyārāt karya al-Qusyairi.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan mencari sumber-sumber yang mendukung tema yang
penulis angkat. Dalam hal ini penulis mencari informasi
melalui buku-buku, jurnal, dan media-meida cetak lain yang
mendukung.
4. Tekhnik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis, yaitu metode yang menjelaskan data apa
adanya Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan
teologis atau ilmu kalam dalam menelaah penelitian ini.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk
kepada buku pedoman Pedoman Penulisan Skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusun skripsi ini, penulis
membagi pembahasanya menjadi beberapa bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, bertujuan untuk
mengetahui latar belakang masalah penelitian, perumusan dan
pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
12
metode penelitian yang digunakan, penelitian, teknik analisa
data, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab kedua adalah tinjauan umum, bertujuan untuk
mengetahui definisi musibah dan istirja’, macam-macam
musibah, gambaran al-Qur’an tentang bencana dan istirja’,
dan hikmah adanya musibah.
Bab ketiga adalah biografi mufassir, bertujuan untuk
mengetahui profil Zamakhsyari, profil al-Qurṭubi, dan profil
al-Qusyairi.
Bab keempat adalah musibah dan kalimat istirja’
menurut mufassir teologis dan sufi, bertujuan untuk
mengetahui uraian teks Arab dan terjemah QS. al-Baqarah [2]:
155-157, musibah dan kalimat istirja’ menurut Zamakhsyari,
musibah dan kalimat istirja’ menurut al-Qurṭubi, musibah dan
kalimat istirja’ menurut al-Qusyairi, dan analisis.
Bab lima adalah bab terakhir yakni penutup.
Bertujuan untuk menguraikan kesimpulan penelitian dan
memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
13
BAB II
TINJUAN UMUM
TENTANG MUSIBAH DAN ISTIRJA’
A. Pengertian Musibah dan Istirja’
Kata musibah diambil dari bahasa Arab, yaitu أصاب–
مصيبة -يصيب yang memiliki beberapa makna, di antaranya:
yang berarti mengenai sasaran, kadang berarti أصاب الغرض
memperoleh atau mendapatkan nikmat ( أصابة النعمة), bisa juga
berarti mengambil seperti lafaz أصاب من المال (mengambil
sebagian harta), dan dapat diartikan menimpa seperti lafaz
berikut 1.أصابته المصيبة Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, musibah diartikan (1) kejadian (peristiwa)
menyedihkan yang menimpa, (2) malapetaka, atau bencana.2
Dalam Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesaia, kata
muṣībah diartikan dengan memperoleh, mencapai,
mengambil, mencabut sampai akarnya, dan membasmi.3
Menurut al-Qurṭubi, musibah adalah semua peristiwa
yang menyakiti kaum muslim. Hal ini dilandaskan hadis yang
menyatakan bahwa pada suatu malam lampu Rasulullah Saw
padam. Kemudian ia berkata, ‘Innā lillāhi wa innā ilaihi
rājiʻūn.’ Ditanyakan kepada Rasulullah, ‘Apakah itu termasuk
1 Syofrianisda, Tafsir Maudhu’iy, (Yogyakarta: Deepublish,
2015) h. 107.
2 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesai.
3 Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1984) h. 800.
14
musibah, ya Rasulullah? Rasulullah Saw, ‘Iya, segala sesuatu
yang menyakiti adalah musibah.’4
Kata أصاب tidak hanya digunakan untuk hal yang
buruk, tapi dapat juga dipergunakan untuk hal yang baik. Hal
ini dikemukakan oleh Raghib al-Aṣfahānī. Sebagaimana
firman Allah SWT,
من أمرنا أخذنا قد وال ي قو بة مصي تصبك وإن تسؤهم إن تصبك حسنة .فرحون وهم وي ت ولوا ق بل
Artinya: Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi
tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu
bencana, mereka berkata: "Sesungguhnya kami sebelumnya
telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi perang)" dan
mereka berpaling dengan rasa gembira. (QS. At-Taubah [9]:
50)
Dua kata تصبك pada ayat di atas berasal dari akar kata
tidak menunjukkan أصاب Jika dilihat, penggunaan kata .أصاب
kepada sesuatu yang buruk, tapi sebaliknya, penggunaannya
untuk hal yang baik.5
Sementara itu, Muhamad Sayyid Ṭanṭāwī memberikan
definisi bahwa kata musibah merupakan isim fa’il dari kata
iṣābah yang berarti kepedihan yang diterima oleh seseorang
disebabkan karena bencana yang menimpanya. Adapun Abu
Hayyan mendefinisikan musibah lebih terperinci, yaitu
4 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah
Kematian, terj. Muhammadi Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007) h. 4.
5 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah
Kematian, terj. Muhammadi Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007) h. 108.
15
“kepedihan atau kesedihan yang besar atau kecil menimpa
seseorang, baik pada diri, harta, dan keluarganya.”6
Dari beberapa pengertian musibah yang dikemukakan
di atas dapat ditarik garis besarnya bahwa musibah merupakan
sesuatu yang ditimpakan kepada manusia, baik musibah itu
kecil atau pun besar, menimpa pada diri, harta, atau keluarga,
dan membawa kepedihan serta kesedihan.
Adapun kata istirja’ merupakan kata akronim. Asal
katanya adalah ( واسترجاع -واست رجع –رجع ). Karena bentuk
katanya akronim, maka kalimat dasarnya adalah ( إنا لله وإنا إليه
Dalam kamus Lisān al-‘Arab disebutkan makna kata 7.(راجعون
istirja’ yaitu diambil dari asal kata ا -يرجع –رجع رجع yang
berarti kembali atau menyerahkan diri. Kata ع ترج bermakna
penyerahan diri seorang hamba ketika tertimpa musibah.
Sedangkan kalimat istirja’ adalah 8.انا لله وانا اليه راجعون
Kalimat istirja’ merupakan kalimat yang diajarkan
oleh Allah khusus kepada umat Islam. Ketika umat-umat
terdahulu mendapat musibah, mereka tidak mengucapkan
kalimat yang memiliki makna istirja’. Hal ini dapat dilihat
ketika Nabi Yakub kehilangan anak kesayangannya, Yusuf.
6 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah
Kematian, terj. Muhammadi Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007) h. 109.
7 Akronim merupakan proses pemendekan yang menggabungkan
huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai
sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia.
(Lihat Syamsul Hadi, “Akronim dalam Bahasa Arab: Pembahasan Seputar
Perkembangan Mutakhir dalam Bahasa Arab Seri iv”, dalam Humaniora,
vol. xii, No. 3, (2000): 254)
8 Abi al-Faḍl Jamal al-Dīn Muhammad bin Mukarram ibn
Manzhur al-Ifriqī al-Miṣrī, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Ṣād, t.t.) jilid 8, h.
117.
16
Ketika itu Nabi Yakub mengatakan, ‘Yā asafā ‘alā yūsuf’
‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.9
Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat, istirja’
merupakan formula yang manjur bagi orang yang tertimpa al-
balā’. Ungkapan tersebut mengandung dua hal, yaitu
seseorang beserta keluarga dan hartanya adalah milik Allah
dan perjalanan manusia yang terakhir adalah menuju Allah.10
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa
mengucapkan kalimat istirja’ merupakan salah satu
manifestasi orang sabar. Yaitu, mengimani segala ketetapan
(qaḍa) dan takdir (qadar) dengan sepenuh hati.11
B. Macam-macam Musibah
Musibah yang ditimpakan oleh Allah kepada manusia
bentuknya bermacam-macam. Ada yang dikirimkan bencana
alam berupa gempa bumi, gunung meletus, banjir, bahkan
tsunami. Ada juga yang ditimpa musibah penyakit, seperti
influenza, rabies, kanker, bahkan AIDS. Semua bentuk
musibah ini membuat hati terguncang dan melahirkan
kepedihan.
Jika ditinjau dari segi objeknya, musibah dapat dibagi
menjadi empat macam, yaitu musibah yang ditimpakan pada
9 Mardan, Wawasan Al-Qur’an tentang Malapetaka (Jakarta:
T.pn., 2008) h. 347
10 Mardan, Wawasan Al-Qur’an tentang Malapetaka (Jakarta:
T.pn., 2008) h. 348.
11 Didi Junaidi, Qur’anic Inspiration Meresapi Makna Ayat-ayat
Penggugah Jiwa (Jakarta: Quanta, 2014) h. 58.
17
diri (jiwa), musibah yang ditimpakan kepada harta-benda,
musibah yang ditimpakan kepada harga diri, dan musibah
yang ditimpakan kepada keluarga.12 Namun, dari keempat
musibah di atas, yang paling berat adalah musibah yang
ditimpakan kepada jiwa, yaitu berupa kematian. Setiap yang
hidup pasti akan merasakan mati. Sebagaimana firman Allah
SWT,
.ٱلموت ذا ئقة كل ن فس Artinya: Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. (QS.
Ali Imran [3]: 185)
Menurut Mutawalli al-Sya’rāwī, musibah ada dua
macam, yaitu musibah yang berkaitan dengan dunia dan
musibah yang berkaitan dengan agama. Musibah dunia
meliputi: harta, kemelaratan, penyakit, kematian keluarga
dekat, gagal panen, kebangkrutan usaha, dan lain-lain.
Sedangkan musibah dalam urusan agama adalah orang yang
tidak mempunyai amal saleh dalam hidupnya.13
Dalam konteks tujuan ditimpakan musibah kepada
manusia dapat dibagi menjadi empat, yaitu 1) Musibah
diberikan sebagai ujian bagi kaum muslimin. 2) Musibah
sebagai peringatan atau teguran bagi manusia secara umum. 3)
Musibah sebagai azab dan siksa bagi orang yang sering
12 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Jangan Menyerah Ada Hikmah di
Balik Musibah, terj. Inayatur Rasyidah (Jakarta: Qisthi Press, 2012) h. 58.
13 Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Anda Bertanya Islam
Menjawab, terj. Abu Abdillah Almansur (Jakarta: Gema Insani Press,
2007), h. 379
18
berbuat dosa dan maksiat. 4) Musibah sebagai bentuk kasih
sayang Allah kepada seorang mukmin.14
C. Gambaran Al-Qur’an tentang Bencana
Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana), setidaknya ada delapan jenis bencana yang terjadi
di alam, yaitu puting beliung, tanah longsor, banjir, kebakaran
hutan dan lahan, gempa bumi, gelombang pasang/abrasi,
banjir dan tanah longsor, dan letusan gunung berapi.15
Mengenai jenis-jenis bencana yang disebutkan di atas,
bagaimana Al-Qur’an menggambarkannya? Dalam Al-Qur’an
tidak sedikit menggambarkan terjadinya bencana terutama
yang berkaitan dengan bencana alam. Di antara ayat yang
menggambarkan terjadinya bencana adalah sebagai berikut:
1. Gempa Bumi
ب و هم ٱلرجفة فأصبحو ا في دارهم جثمي ن.فكذ ه فأخذت Artinya: “Maka mereka mendustakan Syu'aib, lalu
mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah
mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-
tempat tinggal mereka.” (QS. al-Ankabut [29]: 37)
2. Gunung Meletus
.ل مهي اب ي وم ت رجف ٱلرض وٱلجبال وكانت ٱلجبال كثي Artinya: “Pada hari bumi dan gunung-gunung
bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu
14 Abdul Rahman Rusli Tanjung, “Musibah dalam Perspektif Al-
Qur’an; Studi Analisis Tafsir Tematik,” dalam Analytica Islamica, vol. 1,
No. 1, (2012): 151.
15 Lihat website resmi Badan Nasional Penanggulanngan
Bencana, diakses dari http://dibi.bnpb.go.id/
19
tumpukan-tumpukan pasir yang berterbangan.” (QS.
Muzammil [73]: 14)
3. Banjir Bandang
لن فأرسلنا عليه فأعرضوا بجن ت يهم جن ت ين م ه م سيل ٱلعرم وبد .ل قلي سدر م ن وشيء وأثل ذواتي أكل خمط
Artinya: “Tetapi mereka berpaling, maka Kami
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba [34]: 16)
4. Angin Kencang
بت عاد ام ريح ف كان عذابي ونذر. إنا أرسلنا عليه فكي كذ .مستمر ي ي وم نحس ف اصرصر
Artinya: “Kaum 'Aad pun mendustakan (pula). Maka
alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-
Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan
kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari
nahas yang terus menerus.” (QS. Al-Qamar [54]: 18-
19)
5. Tanah Longsor
دون من نصرونهۥي وبداره ٱلرض فما كان لهۥ من فئة فخسفنا بهۦ .ن ٱلمنتصري من كان وما ه ٱلل
Artinya: “Maka Kami benamkanlah Karun beserta
rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab
Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang
dapat) membela (dirinya).” (QS. Qaṣaṣ [28]: 81)
20
D. Hikmah Adanya Musibah
Allah menimpakan suatu musibah kepada hamba-
hamaba-Nya bukan tanpa alasan. Musibah merupakan ujian
yang diberikan Allah untuk mengetahui sejauh mana keimana
seseorang kepada-Nya. Semakin berat musibah dan cobaan
yang diberikan, maka semakin kuat keimanan seseorang jika
disikapi dengan sabar dan tawakal.
Ahmad Abduh Iwadh mengatakan bahwa hikmah dari
musibah yang diberikan kepada manusia selalu berbeda sesuai
dengan perbedaan tingkat manusia. Di antaranya hikmahnya
adalah:
1. Penetahuan terhadap kemuliaan Allah dalam sifat
rububiyah-Nya.
2. Pengetahuan terhadap kehinaan manusia dari sisi
ʻubūdiyah-nya.
3. Ikhlas beribadah kepada Allah, karena tidak ada tempat
kembali untuk menghilangkan musibah selain kepada-
Nya.
4. Agar manusia tunduk pasrah dan berdoa.
5. Musibah akan menghapuskan kesalahan dan dosa
seseorang.
6. Dalam setiap musibah pasti tersimpan hikmah sebagai
pelajaran.
7. Musibah berupa bencana akan mencegah seseorang
memilikii sifat jahat, sombong, kikir, dan ujub.
21
8. Keridaan dalam menerima setiap musibah akan
mendatangkan keridaan Allah SWT, karena musibah
akan ditimpakan kepada orang yang baik maupun jahat.
Barangsiapa yang tidak marah dengan musibah yang
diberikan, maka baginya murka Allah. Namun,
barangsiapa yang ikhlas dan rida akan musibah, maka
baginya keridaan Allah.16
16 Ahmad ‘Abduh ‘Iwadh, Mutiara Hadis Qudsi; Jalan Menuju
Kemuliaan dan Kesucian Jiwa, terj. Dewi Ariyanti (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2008) h. 31-33.
BAB III
BIOGRAFI MUFASSIR
A. Profil Zamakhsyari
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qāsim Mahmud bin
Umar bin Muhammad bin Umar al-Khuwarizmi. Lahir pada
bulan Rajab, 467 H di Desa Zamakhsyar, salah satu desa di
daerah Khawarizmi,1 Irak.2 Zamakhsyari merupakan mufassir
yang menganut teologi Muktazilah, bahkan tidak menutup-
nutupi bahwa ia seorang yang bermazhab Muktazilah.
Karier pendidikannya dimulai dari tempat
kelahirannya sendiri, kemudian melanjutkan ke Bukhara. Di
sana ia belajar sastra kepada Syekh Manṣur Abi Muḍar. Dari
Bukhara ia bertolak ke Mekah dan tinggal di sana cukup lama,
hingga ia diberi julukan jārullāh (tentangga Allah). Di
Mekahlah Zamakhsyari menulis tafsirnya yang sampai saat ini
dikaji banyak orang, yaitu Al-Kasysyāf.3
2. Karya-karya
Zamakhsyari dikenal sebagai ulama yang paham ilmu
bahasa, ma’āni dan bayan. Karena itu, banyak ditemukan
argumentasi kebahasaan dalam tafsirnya. Zamakhsyari bukan
ulama yang mengikuti pendapat orang lain begitu saja, tetapi
1 Muhammad Husain al-Zahabi, Tafsīr wa al-Mufassiūn (Kairo:
Maktabah Wahbah, t.t.) h. 304 2 Lihat Muqaddimah Tafsīr Al-Kasysyāf 3 Manna’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, dkk. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), cet. 18, h. 481.
22
memiliki pendapat sendiri yang orisinil. Itu sebabnya,
Zamakhsyari terbilang cukup produktif dalam menghasilkan
karya. Karya-karya yang ditulisnya pun dari berbagai disiplin
ilmu, di antaranya bidang hadis, tafsir, nahwu, bahasa, ma’āni,
dan lain-lain. Berikut beberapa judul karya yang dihasilkan
Zamakhsyari:
a. Al-Kasysyāf (bidang tafsir)
b. Al-Fa’iq (bidang hadis)
c. Al-Minhaj (bidang ushul fiqh)
d. Al-Mufaṣṣal (bidang ilmu nahwu)
e. Asas al-Balāghah (bidang bahasa)
f. Ru’us al-Masā’il al-Fiqhiyah (bidang fiqih)4
3. Mazhab dan Akidah
Zamakhsyari dikenal sebagai ulama yang rasional, ini
terlihat dari penafsiran-penafsirannya terhadap ayat Al-
Qur’an. Karena itu, dalam hal teologi Zamakhsyari dikenal
sebagai seroang Muktazilah, sedangkan mazhab fiqih, ia
mengikuti Fiqih Hanafi yang dikenal cukup rasional juga.
Zamakhsyari mentakwil Al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan
teologinya. Ia menyebut kaum Muktazilah sebagai ‘saudara
seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.’5
4. Tentang Tafsir al-Kasysyāf
Al-Kasysyāf merupakan salah satu tafsir yang ditulis
berdasarkan metode bi al-ra’yi dan bahasa. Ulama lain seperti
4 Manna’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, dkk. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), cet. 18, h. 481. 5 Manna’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, dkk. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), cet. 18, h. 482
23
Al-Alusi, Abu Al-Su’d, An-Nasafi dan yang lainnya banyak
mengutip dari kitab karangan Zamakhsyari ini, meskipun
tidak menyebutkan sumbernya secara eksplisit.
Zamakhsyari menulis kitab Al-Kasysyāf karena
disarankan oleh sahabat-sahabatnya. Ini diungkapkan dalam
kata pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Solahudin:
“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari
golongan orang-orang yang mulia, selamat, dan adil.
Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan tauhid.
Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan
suatu ayat, maka aku menjelaskan kandungan-
kandungan ayat tersebut yang masih ghaib/tertutup, dan
mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat
itu pula mereka meminta agar aku membuat suatu karya
yang berisi pokok-pokok penjelasan Al-Qur’an serta
mengajarkannya kepada mereka ‘sekumpulan tentang
hakikat turunnya Al-Qur’an dan padangan-pandangan
yang esensial dalam segi penta’wilan’. Pada mulanya
aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras
meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-
tokoh agama ahl al-‘adl wa al-tauhīd. Dan, mereka
mendorongku bersedia, karena sadar bahwa mereka
minta sesuatu yang wajib aku turuti, karena melibatkan
diri pada sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya
fardhu ‘ain. Di mana pada saat itu situasi dan kondisi
negeri sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama,
serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-
macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan
ilmu bayan dan ilmu badi’.”6
6 Muhammad Solahudin, “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran
dalam Tafsir Al-Kasysyāf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, 1
Januari (2016): 117.
24
Dari segi karakteritik penafsiran, ada dua hal yang
menjadi ciri khas Tafsir Al-Kasysyāf ini, yaitu:7
a. Kental dengan nuansa Muktazilah
Paham Muktazilah sangat terlihat dalam tafsir ini. Mulai
pembentukan rasionalitas-metodologis, sampai
penerapannya dalam menafsirkan. Rumusan itu
berlandaskan ada Surah Ali Imran ayat 7 yang berbunyi:
وأخر ب ٱلكت أم ن ه ت محكم ت عليك ٱلكتب منه ءاي زل هو ٱلذي أن ٱل ٱبتغاء منه به تش ما ن عو ف ي تب زيغ بهم ق لو في ن ٱلذي فأما ت به متش ن فت
وي وٱبتغاء وي ي علم وما لهۦ تأ
و و ه ٱلل إل لهۥ تأ امناء ن لو ي قو ٱلعلم في ن ٱلر
لوا ٱللب د رب نا وما يذك ن ع م ن كل بهۦ .ب ر إل أو Artinya: “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an)
kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang
muhkamāt, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyābihāt
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 7)
Menurut Muktazilah, ayat-ayat muhkamat tersebut
terhimpun dalam lima asas pokok (uṣul al-khamsah) yang
mereka yakini, yaitu (1) Tauhīd, (2) ‘Adl, (3) al-Wa’ād wa
7 Muhammad Solahudin, “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran
dalam Tafsir Al-Kasysyāf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, 1
Januari (2016): 119.
25
al-wa’īd, (4) Manzilah bain al-Manzilatain, (5) al-Amr bi
al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
b. Kental dengan analisis bahasa, sastra, dan gramatika
Tafsir al-Kasysyāf juga dikenal dengan tafsir mengulas
ayat dari segi bahasa, sastra, dan gramatika. Keahlian
Zamakhsyari dalam bidang itu tidak disia-siakan begitu
saja. Penggunaan isim isyārah, isim mauṣūl, jumlah
ismiyah, ḍamir, fi’il, dan lain-lain sangat terlihat dalam
penafsirannya.8
5. Ajaran Pokok Teologi Muktazilah
Nafy al-Sifah (Peniadaan Sifat Tuhan)
Ajaran Muktazilah sangat menekankan pada ajaran
tentang transendensi Tuhan. Mereka membuat garis
perbedaan yang tegas antara Tuhan dan makhluk-Nya.
Bagi mereka, pengakuan terhadap adanya Tuhan selain
Allah adalah sirik. Karena penekanannya yang kuat
terhadap keesaan Allah inilah, mereka menolak adanya
sifat-sifat Allah yang kekal sebagai sifat yang berdiri
sendiri dan mengakuinya sebagai Dzat Tuhan itu
sendiri. Bagi mereka, Allah mengetahui, berkuasa,
berkehendak, dan hidup hanya melalui Dzat-Nya, dan
bukan sebagai sifat-Nya. Menurut mereka, hal ini
disebabkan karena kalau sifat-sifat-Nya berdampingan
8 Muhammad Solahudin, “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran
dalam Tafsir Al-Kasysyāf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, 1
Januari (2016): 123.
26
dengan kekekalan-Nya yang merupakan kerakteristik-
Nya yang khas, maka berarti sifat-sifat tersebut
mengambil bagian dalam Dzat Tuhan. Dengan
demikian, maka ada sesuatu qadīm lain selain qadīm-
nya Tuhan atau adanya berbilangnya yang qadīm
(ta’addud al-qudama’. Yang perlu diperhatikan di sini
adalah peniadaan sifat-sifat Tuhan oleh Muktazilah
tersebut tidak berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat sama sekali. Tuhan bagi mereka tetap diberi sifat,
tetapi sifat ini tidak dapat dipisahkan dari Dzat-Nya.
Dengan kata lain, sifat-sifat Tuhan merupakan esensi
Tuhan itu sendiri.9
Keadilan Tuhan
Prinsip ajaran Muktazilah kedua adalah keadilan. Bagi
Muktazilah, Tuhan itu Mahaadil dan keadilan-Nya
hanya bisa dipahami kalau manusia mempunyai
kemerdekaan untuk memilih perbuatannya. Tuhan
tidak bisa dikatakan adil bila Dia menghukum orang
yang berbuat buruk bukan atas kemauannya sendiri,
tetapi atas paksaan dari luar dirinya yaitu Tuhan.
Mereka menganggap, siksaan terhadap ketidakbebasan
adalah suatu bentuk kezaliman. Hal itu dikarenakan
jika seseorang memerintahkan sesuatu kepada
seseorang lainnya, kemudian ia dipaksa untuk
melawan perintah itu atau seseorang dilarang untuk
9 Tsuroya Kiswati, Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, dan
Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013) h. 65.
27
melakukan sesuatu, tetapi ia dipaksa melakukannya,
maka balasan untuk orang tersebut bukanlah cerminan
dari keadilan. Oleh karena itu, maka keadilan Tuhan
hanya bias dipahami, jika Tuhan memberikan taklif
kepada manusia dan sekaligus memberikan kekuasaan
dan kebebasan untuk menentukan perbuatan mereka
sendiri.10
Al-Wa’ad wa al-wa’īd (Janji dan Ancaman)
Konsekwensi logis dari pemikiran di atas adalah
kepastian penerimaan pahala bagi orang yang berbuat
baik dan siksaan bagi orang yang berbuat jahat. Tuhan
hanya bisa dikatakan adil apabila Dia memberi pahala
untuk orang yang berbuat baik, begitu pula sebaliknya.
Perbuatan dosa takkan diampuni tanpa bertobat lebih
dahulu, sehingga bila ada orang mukmin mati dalam
keadaan dosa besar dan belum bertobat, dia akan
mendapat siksaan yang kekal di neraka, sekalipun
demikian, ia disiksa dengan siksaan yang lebih ringan
dari siksaan orang kafir.11
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Prinsip di atas berkaitan dengan perdebatan teologis
tentang nasib orang mukmin yang mati dalam keadaan
pernah melakukan dosa besar dan belum bertobat.
Seperti telah diketahui, Khawarij menghukuminya
10 Tsuroya Kiswati, Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, dan
Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013) h. 66. 11 Tsuroya Kiswati, Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, dan
Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013) h. 66.
28
sebagai orang kafir dan akan kekal di neraka. Bagi
Muktazilah, orang seperti itu, bukan mukmin, bukan
pula kafir, tetapi statusnya berada di antara posisi
mukmin dan kafir (al-manzilah bain al manzilatain).
Seperti telah dikutip oleh Abu Zahrah, Wasil bin ‘Aṭa’
menjelaskan logika posisi tengah ini sebagai berikut:
“Iman adalah suatu gambaran tentang macam-macam
kebaikan. Jika kebaikan itu terhimpun dalam diri
seseorang, maka ia disebut mukmin. Akan tetapi orang
yang fasik, ia tidak dinamakan orang mukmin, tidak
pula kafir, karena ia mengucapkan syahadatain dan
pada dirinya terdapat berbagai kebaikan yang tidak
bisa dipungkiri. Karena itu, jika ia mati tanpa bertobat
dari dosa besarnya, ia menjadi ahli neraka dan akan
kekal di dalamnya, sebab di akhirat hanya ada dua
kelompok, yaitu kelompok yang berada di surga dan
kelompok yang berada di neraka, namun siksaan yang
dirasakannya lebih ringan.” Iman sebagai gambaran
tentang bermacam-macam kebaikan seperti yang
dijelaskan oleh Wasil bin’Aṭa’ di atas, bisa dipahami
kalau kita kembali kepada pengertian iman menurut
Muktazilah. Iman bagi mereka, bukan hanya sekadar
pengakuan dalam hati dan diucapkan dengan lisan,
tetapi juga menyangkut perbuatan. Erat kaitannya
dengan konsep tentang iman ini, maka Muktazilah
berpendapat bahwa manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatannya berdasarkan qudrah
29
(kekuatan) yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Manusia dengan perbuatannya akan mendapatkan
pahala dan siksa. Manusia tidak dapat menyalahkan
Tuhan atas perbuatan jahat yang dilakukannya, begitu
pula sebaliknya. Hal tersebut, karena Tuhan
memberikan taklif kepada manusia sekaligus
dilengkapi dengan memberikan kekuatan kepada
mereka.12
Al-‘Amr bi al-Ma’rūf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Prinsip berikutnya adalah al-amr bi al-ma’rūf wa al-
nahy ‘an al-munkar, yakni adanya kewajiban bagi
manusia untuk menyeru kepada kebaikan dan
melarang melakukan kejahatan. Prinsipnya adalah
berkaitan dengan ajaran sebelumnya, yakni keadilan,
al-wa’ad wa al-wa’īd, dan al-manzilah bain al-
manzilatain, semuanya berhubungan erat dan bisa
masuk dalam prinsip keadilan. Dengan demikian,
sebetulnya prinsip pokok ajaran Muktazilah hanya ada
dua yakni tauhid dan adil. Oleh karenanya, ‘Abd al-
Jabbar mengklaim bahwa kaum Muktazilah adalah
kaum Ahl al-tawhīd wa al-‘adl.13
12 Tsuroya Kiswati, Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, dan
Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013) h. 66 13 Tsuroya Kiswati, Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran, dan
Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013)s h. 67.
30
B. Profil Al-Qurṭubi
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin
Abi Bakr bin Farh, Abi ‘Abdillāh al-Anṣārī al-Khazrajī, al-
Qurṭūbī al-Andalusī, al-Mālikī.14 Al-Qurṭubi bermazhab fiqih
Maliki. Ia wafat tahun 671 H.15
Al-Qurṭubi berasal dari Kota Cordova, salah satu kota
di Andalusia (Spanyol). Pendidikannya dimulai dari kota
kelahirannya. Ia mengikuti banyak halaqah di masjid-masjid
dan di sekolah-sekolah. Iklim keilmuan Andalusia yang
terbilang maju saat itu, sedikit tidak mempengaruhi
kesuksesannya dalam menguasai berbagai ilmu. Selain
menimba ilmu di kota kelahirannya, Al-Qurṭubi juga rihlah ke
Mesir. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu
pengetahuna.
Adapun guru-guru Al-Qurṭubi di Andalusia antara
lain: al-Qaḍi Abu Amir Yahya bin Amir bin Ahmad bin Mani’,
Yahya bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin
Rabi’, dan Ahmad bin Muhammad bin al-Qaisi yang lebih
dikenal dengan panggilan Ibn Abi Hujjah.16
Sedangkan guru-gurunya di Mesir antara lain: Abu
Bakr Muhammad bin al-Walid, Al-Hafiz al-Salafi Abu al-
14 Lihat muqaddimah Tafsir Al-Qurṭūbī, Abī ‘Abdillāh Muhammad bin
Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-
Risālah, 2006) h. 37 15 Lihat Muqaddimah Tafsir Al-Qurṭubī 16 Syamsuddin Al-Qurṭubī, Al-Tadzkirah, Bekal Menghadapi
Kehidupan Abadi, terj. H. Anshori Umar Sitanggal (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2017) Cet. 10, h. 3.
31
Ṭāhir Ahmad bin Muhammad bin Ibrāhim al-Aṣbahāni, Ibn
Jumaizi Bahauddin Abu al-Hasan Ali bin Hitbatullāh bin
Salamah bin Muslim bin Ahmad bin Ali al-Lakhmi al-Miṣri
al-Syafi’i, Ibn Rawaj Rasyid al-Dīn Abu Muhammad Abd al-
Wahab bin Rawaj, dan Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin
Ibrahim al-Maliki.17
2. Karya-karya
Al-Qurṭubī termasuk ulama yang produktif menulis
kitab dari berbagai disiplin ilmu. Di antara karya-karyanya
sebagai berikut:
- Al-Jāmi’ al-Ahkām al-Qur’ān wa al-Mubin Lima
Taḍammanahu min al-Sunnah wa Ayi al-Furqān.
- Al-Tazkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah.
- Al-Asna fi Syarh Asmāillāh al-Husna.
- Syarh al-Taqaṣṣi.
- Al-I’lam Bima fi Dīn al-Naṣāra min al-Mufasid wa al-
Auhan wa Izhar Mahasin din al-Islām.
- Al-Misbāh fi al-Jami’ Baina al-Af’al wa al-Ṣihah.
- Al-Muqtabas fi Syarh Muwaṭṭa’ Malik Ibn Anas.
- Manhaj al-Ibad wa Mahajjah al-Salikin wa al-Zuhhad.
- Al-Luma’ al-Lu’luiyah fi Syarh al-Isyrinat al-
Nabawiyah,
17 Syamsuddin Al-Qurṭubi, Al-Tadzkirah, Bekal Menghadapi
Kehidupan Abadi, terj. H. Anshori Umar Sitanggal (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2017) Cet. 10, h. 3.
32
Al-Qurṭubī wafat pada hari Senin, 9 Syawal 761 H. Ia
dikebumikan di Kota Bani Khushaib (Al-Menya) Menya al-
Fuli di dataran tinggi Mesir.18
3. Tentang Tafsir Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān merupakan karya
terbesar Al-Qurṭubī. Kitab tafsir ini masih dikaji sampai saat
ini. Al-Qurṭubī menulis kitab tafsirnya ini karena dorongan
hatinya sendiri. Hal ini ia ungkapkan dalam muqaddimah
kitabnya. Al-Qurṭubī mengatakan”
“Kitab Allah merupakan kitab yang mengandung
seluruh ilmu syariat yang berbicara tentang masalah
hukum dan kewajiban. Allah menurunkannya kepada
āmin al-arḍ (Muhammad saw), aku pikir harus
menggunakan hidupku dan mencurahkan karunia ini
untuk menyibukkan diri dengan Al-Qur’an dengan cara
menulis penjelasan yang ringkas yang memuat intisari-
intisari tafsir, bahasa, i’rab, qira’at, menolak
penyimpangan dan kesesatan, menyebutkan hadis-hadis
nabi dan sebab turunnya ayat sebagai keterangan dalam
menjelaskan hukum-hukum Al-Qur’an. Mengumpulkan
penjelasan maknanya sebagai penjelasan ayat-ayat yang
samar dengan menyertakan qaul-qaul ulama salaf dan
khalaf.19
Tafsir Al-Qurṭubi merupakan salah satu kitab tafsir
yang disusun berdasarkan metode tahlili. Metode tafsir tahlili
merupakan metode tafsir yang menggunakan tartib mushafi
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selanjutnya, menjelaskan
18 Syamsuddin Al-Qurṭubi, Al-Tadzkirah, Bekal Menghadapi
Kehidupan Abadi, terj. H. Anshori Umar Sitanggal (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2017) Cet. 10, h. 4. 19 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) juz I, h. 22.
33
ayat-ayat-Al-Qur’an dari berbagai aspek dan menyingkap
maksud sebuah ayat secara detail.
Adapun corak penafsiran Tafsir Al-Qurṭubī adalah
corak fiqhi. Al-Qurṭubī menguak hukum-hukum fiqih yang
terkandung dalam sebuah ayat. Meskipun Al-Qurṭubī
bermazhab Maliki, tapi ia tidak fanatik terhadap mazhabnya.
4. Prinsip Akidah Sunni
Prinsip ajaran akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah
ada enam. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw ketika
beliau ditanya oleh seseorang.
ب ي مان: قال ان ت ؤ من بالله وملئكته وكتبه ر فاخ له وال ي و م ني عن ال ورر خي ره وشر ه. )رواه مسلم خر وال قد (ال
Artinya: “Maka beritahukanlah kepadaku tentang iman!
Beliau bersabda, engkau percaya kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir
dan ketentuan baik dan buruk-Nya. (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis di atas maka pembahasan tentang
akidah dalam i’tiqād Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah itu
meliputi 6 perkara:20
Tentang ketuhanan (Allah)
Tentang malaikat-malaikat-Nya
Tentang kitab-kitab-Nya
Tentang Rasul-rasul-Nya
Tentang hari akhirat
Tentang qadha dan qadar.
20 Usman, “Pendidikan Aqidah dalam Kemurnian I’tiqād Ahlussunnah
wal Jama’ah.” Dalam Al-Ihda’: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran 13, No. 2
(Januari 2019): 4
34
C. Profil Al-Qusyairi
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qāsim Abd al-Karīm
al-Qusyairi. Lahir di Istawā pada tahun 986 M (376 H), yaitu
suatu wilayah di Kota Naisyapur (Iran).21 Ada beberapa gelar
yang disematkan kepada Al-Qusyairi, di antaranya al-
Naisabūri, yaitu dinisbatkan kepada kota kelahirannya
Naisyapur atau Syabur. Al-Qusyairi, yaitu sebutan marga
Sa’dal Asyīrah al-Qaṭaniya yang tinggal di pesisir Hadramaut.
Dan, al-Istiwā, yaitu orang-orang yang datang dari Arab yang
memasuki daerah Khurasan melalui daerah Istawā (negara
besar di pesisir Naisabur).22
Al-Qusyairi merupakan keturunan Arab yang pindah
ke Khurasan. Ayahnya berasal dari suku Qusyair sedangkan
ibunya dari suku Sulam. Ayahnya meninggal sewaktu Al-
Qusyairi masih kanak-kanak, itu sebabnya Al-Qusyairi
tumbuh dalam keadaan yatim.
Al-Qusyairi dikenal dengan ulama yang menggeluti
dunia sufi. Tetapi, sebelum menyelami dunia spiritual, Al-
Qusyairi lebih dulu mendalami ilmu fiqih, kalam, uṣul fiqh,
sastra, dan lain-lain. Ia mendalami berbagai ilmu dari guru-
gurunya, di antaranya Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr
al-Tūsi (w. 1014 M/418 H) ahli fiqih, Abu Bakr bin Faurak
21 Anisa Listiana, “Menimbang Teologi Kaum Sufi Menurut Al-
Qusyairi dalam Kitab al-Risālah al-Qusyairi”, dalam Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, volume 7, No. 1, (Juni 2013): 202. 22 Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-ayat Sufistik, Studi Komparatif antara
Tafir Al-Qusyairi dan Tafsir Al-Jailani (Jakarta: UAI Press, 2018) h. 23.
35
(w.1016 M/407 H) ahli ushul fiqh, dan Abu Ishāq al-
Isfarayaini (w.1027 M/418 H) ahli kalam, dan lain-lain.23
2. Karya-karya
Al-Qusyairi dikenal dengan ulama yang produktif. Ia
melahirkan karya-karya yang banyak dikaji oleh generasi
setelahnya. Menurut Ismaīl Bāsyā al-Baghdādī dalam
kitabnya Hidiyyah al-‘Ārifīn berikut kitab-kitab karya al-
Qusyairi:24
a. Arbaʻūn fi al-Hadits
b. Istifāḍah al-Murādāt
c. Balaghah al-Maqāṣid
d. Al-Takhyīr fi ‘Ilm al-Tadzkīr fi Ma’ānī Ismillāh Ta’ālā
e. Al-Taisīr fi ‘ilm Tafsīr
f. ‘Uyūn al-Ajūbah fi Funūn al-As’ilah
g. Al-Fuṣūl fi al-Uṣūl
h. Kitāb al-Miʻrāj
i. Laṭāif al-Isyārāt fi Tafsīr al-Qur’ān
j. Al-Muntaha fi Nukti Ūli al-Nuhā
k. Nāsikh al-Hadīts wa Mansūkhuhu
l. Hayāh al-Arwāh wa al-Dalīl Ilā Ṭarīq al-Ṣalāh
m. Syakāyah Ahl al-Sunnah bi Hikāyah Mā Nālahum min
al-Mahnah
n. Mantsūr al-Khiṭāb fi Syuhūd al-Albāb
23 Anisa Listiana, “Menimbang Teologi Kaum Sufi Menurut Al-
Qusyairi dalam Kitab Al-Risālah al-Qusyairiyyah”, dalam Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, volume 7, No. 1 (Juni 2013): 202. 24 Lihat Tarjamah al-Muallif Tafsīr al-Qusyairī al-Musamma Lațāif al-
Isyārāt (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1971) h. 4.
36
3. Tentang Tafsīr Laṭāif al-Isyārāt
Sebelum Al-Qusyairi menulis kitab tafsirnya, ia
menulis kitab yang membahas tentang metode tafsir yang
diberi nama Taisīr fi ‘Ilm Tafsīr. Setelah itu, Al-Qusyairi
mulai menulis kitab tafsirnya yang diberi judul Laṭāif al-
Isyārāt. Penamaan Isyārāt pada kitab tafsirnya karena kata
tersebut bisa digunakan sebagai bahasa orang yang mencinta
kepada yang dicintainya. Begitu juga bahasa isyārāt dapat
digunakan untuk menyanjung seseorang yang dituju walaupun
tidak menggunakan bahasa verbal.25
Dalam menyusun kitab tafsinya, Al-Qusyairi
menggunakan metode yang ia utarakan di dalam muqaddimah
tafsinya, yaitu menukil pendapat, kaidah, atau ucapan orang-
orang saleh yang ia yakini sebagai orang yang suci dan
pemahaman Al-Qusyairi sendiri terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan ilmu tasawufnya.26
25 Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-ayat Sufistik, Studi Komparatif antara
Tafir Al-Qusyairi dan Tafsir Al-Jailani (Jakarta: UAI Press, 2018), h. 40. 26 Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-ayat Sufistik, Studi Komparatif antara
Tafir Al-Qusyairi dan Tafsir Al-Jailani (Jakarta: UAI Press, 2018), h. 41.
37
BAB IV
MUSIBAH DAN KALIMAT ISTIRJA’ MENURUT
MUFASSIR TEOLOGI DAN SUFI
A. Teks Arab dan Terjemah Surah Al-Baqarah 155-157
لونكم ت والثمر فسلن والمو الم نص عون قلجو افولخوام نء بشيولن ب
بري اوبش ر هم أص إذا لذينا﴾٥١١﴿نلص إليهوإنا هلل ناإقالو ابة مصي ب ت
ل ﴾٥١١﴿نجعو ر ورحرب همم ن ت صلو عليهمئكأو ل ومة همئكأو
﴾٥١١﴿نلمهتدو اArtinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-
Baqarah [2]: 155-157)
B. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Zamakhsyari
( لونكم Artinya sungguh kami akan turunkan (ولن ب
musibah kepada kalian. Apakah kalian akan sabar dan tetap
dalam ketaatan dan senantiasa menjalankan perintah Allah
dan aturan-aturan-Nya atau tidak?
( Artinya dengan kekurangan salah satu atau (بشيء
beberapa dari musibah ini. ( بري اوبش ر نلص ) Yaitu orang-orang
38
yang mengucapkan innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʻūn ketika
ditimpa suatu musibah, karena istirja’ adalah kepasrahan.1
Dari Nabi Saw, “Barangsiapa mengucapkan kalimat
istirja’ ketika ditimpa musibah maka Allah akan mengganti
dan memperbaikinya, dan menjadikannya orang yang tinggi
derajatnya, saleh, dan yang diridai. (HR. Baihaqi)
Diriwayatkan bahwa lampu Rasulullah Saw padam,
lalu beliau mengucapkan, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʻūn.”
Maka salah seorang sahabat bertanya, “Apakah ini musibah?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ya, setiap yang menyakiti kaum
muslimin adalah musibah.” (HR. Abu Dawud)
Maka setiap kekurangan sebagaimana firman Allah di
atas, pada setiap musibah yang menimpa menusia adalah
menyakiti. Entah musibah itu besar atau lebih besar lagi.
Dengan kekurangan tersebut maka rahmat pun akan
berkurang. Sesuatu yang dijanjikan agar ditanamkan pada diri
mereka, meskipun musibah itu belum terjadi.
Lafaz نقص di-aṭaf-kan kepada lafaz شيء atau bisa juga
pada lafaz الخوف, maknanya adalah kekurangan harta-benda.
Adapun orang yang diperintahkan memberikan kabar gembira
adalah Rasulullah Saw atau setiap orang yang menyampaikan
kabar gembira.
Dari al-Syafi’i rahimahullāh, yang dimaksud dengan
takut adalah ‘takut’ kepada Allah. Yang dimaksud dengan
‘lapar’ adalah berpuasa pada bulan Ramadan. Yang dimaksud
1 Abi al-Qāsim Jārullāh Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Tafsīr al-
Kasysyāf (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2009) h. 105
39
dengan ‘kurang harta’ adalah berzakat dan sedekah. Yang
dimaksud dengan ‘kekurangan jiwa’ adalah sakit. Dan yang
dimaksud dengan ‘kekurangan buah-buahan’ adalah
meninggalnya anak.2
Dari Nabi Saw, “Apabila anak seorang hamba
meninggal, maka Allah berfirman kepada para malaikat,
‘Apakah kalian merenggut nyawa anak hambaku?’ Malaikat
menjawab, ‘Benar’. ‘Apakah kalian merenggut buah hatinya?’
Malaikat menjawab, ‘Benar.’ ‘Apa yang hambaku katakan?’
Malaikat menjawab, ‘Mereka memujamu dan mengucapkan
kalimat istirja’. Maka Allah berfirman, “Bangunkanlah
hambaku itu rumah di surga, dan berilah nama rumah itu
dengan rumah pujian ( الحمد بيت ). (HR. Tirmidzi)
Yang dimaksud dengan ة ل لص ا adalah kasih sayang
yang ditempatkan di tempat yang mulia dan berada di antara
rahmat. Sebagaimana firman Allah, فةرأ
ورحمة “Rasa santun
dan kasih sayang.” (QS. Al-Hadid [57]: 27). Yang dimaksud
pengasih dan penyayang adalah semakin mulia. “Mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Yaitu jalan
yang benar selagi mereka memasrahkannya kepada Allah dan
senantiasa menjalankan perintah-Nya.3
2 Abi al-Qāsim Jārullāh Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Tafsīr al-
Kasysyāf (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2009) h. 105 3 Abi al-Qāsim Jārullāh Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Tafsīr al-
Kasysyāf (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2009) h. 106
40
C. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Al-Qurṭubī
( لونكم huruf wawu pada ayat ini dibaca dengan (ولن ب
harakat fathah oleh Sibawaih, sedangkan beberapa ulama lain
dibaca dengan harakat ḍammah. Adapun musibah ada kalanya
baik dan ada kalanya buruk. Tapi pada dasarnya semua itu
ujian.4
( -lafaz ini mufrad tetapi maknanya jama’. Al (بشيء
Ḍahhāq membacanya dengan lafaz jama’ (بأشياء). Akan tetapi
mayoritas ulama membacanya dengan lafaz mufrad. (م ن
maknanya adalah takut terhadap musuh dan rasa takut (الخوف
ketika berada dalam peperangan. Pendapat ini dikemukakan
oleh Ibn Abbās. Sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah
takut kepada Allah SWT.
Ibn Abbās berpendapat maknanya adalah (والجو ع)
kurangannya hujan dan kekeringan. Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat, maknanya adalah lapar pada bulan ramadan.
ل) المو م ن yang disebabkan karena sibuk memerangi (ون قص
orang kafir. Imam Syafi’i berpendapat, dengan mengeluarkan
zakat. (والن فس) Ibn Abbās: dengan terbunuh di medan jihad.
4 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) h. 462
41
Imam Syafi’i: yakni dengan kondisi sakit. ( والثمر ت) Imam
Syafi’i: Maksudnya adalah meninggalnya anak. Karena anak
merupakan buah hati. Sedangkan Ibn Abbās memaknainya
dengan kekurangan tumbuh-tumbuhan dan berkah.
Firman Allah SWT (بري ن الص maknanya adalah (وبش ر
balasan pahala sebab bersabar. Yang dimaksud dengan sabar
adalah menahan. Adapun balasannya tidak bisa ditakar. Sahl
ibn Abdullāh al-Tustari berkata sabar terbagi dua, yaitu sabar
dari bermaksiat kepada Allah. Ini sabarnya mujāhid, dan sabar
dalam ketaatan kepada Allah. Ini sabarnya hamba yang
sebenarnya. Apabila sabar terhadap maksiat dan ketaatan
kepada Allah, maka Allah akan memberikan keridhaan
dengan kehendak-Nya. Adapun tanda Allah ridha adalah
tenangnya hati terhadap suatu yang menimpa diri, baik itu
yang tidak disukai maupun yang disukai.5
Al-Khawwāṣ berkata, “Sabar adalah ketetapan
berhukum dengan Al-Qur’an dan hadits.” Dzunnun al-Miṣri
berkata, “Sabar adalah memohon pertolongan kepada Allah.”
هم أص إذا لذينال ﴾٥١١﴿نجعو ر ليهإوإنا هلل إناقالو ابة مصي ب ت ئكأو
ورحرب همم ن ت صلو عليهم ل مة ﴾٥١١﴿نلمهتدو اهمئكوأو
Mengenai ayat di atas, terdapat enam pembahasan. Di
antaranya:
5 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) h. 463
42
1. Firman Allah SWT ( بة yang dimaksud dengan musibah (مصي
adalah segala sesuatu yang menyakiti umat muslim. Musibah
adalah bencana yang menimpa manusia meskipun itu kecil
dan membawa keburukan. Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa
lampu Rasulullah Saw padam pada suatu malam, maka beliau
berkata, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʻūn.” Ikrimah
bertanya, “Apakah ini musibah, wahai Rasulullah? Beliau
bersabda, “Ya! Setiap yang menyakiti kaum muslim adalah
musibah.” (HR. Abu Dawud) Diriwayatkan oleh Ibn Mājah
dalam kitab Sunannya, Abu Bakr ibn Abi Syaibah
meriwayatkan kepada kami, Waqi’ ibn Jarrāh meriwayatkan
kepada kami, dari Hisyam bin Ziād, dari ibunya, dari Fatimah
binti Husain, dari ayahnya berkata, Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang tertimpa misibah dan mengingat
musibahnya lalu mengucapkan kalimat istirja’ maka Allah
akan membalasnya dengan yang serupa pada hari
pembalasan. (HR. Ibn Mājah)6
2. Firman Allah SWT (ر جعو ن إليه وإنا ه لل إنا Allah SWT (قالو ا
menjadikan kalimat ini sebagai pelindung bagi orang yang
tertimpa musibah dan sebagai pegangan bagi orang yang diuji.
Jika digabungkan maknya, maka Firmman Allah (ه لل (إنا
merupakan pengesaan dan penetapan akan ketuhanan Allah,
6 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) h. 465
43
sedangkan (ر جعو ن إليه merupakan ketetapan akan (وإنا
kebinasaan manusia, dibangkitkan dari alam kubur, dan
meyakini bahwa segala sesuatu akan kembali kepada-Nya.
Sa’id bin Jubair berkata, kalimat ini tidak diberikan kepada
nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, meskipun Nabi Yakub
mengetahuinya sebagaimana firman Allah (يوسف على (ي أسفى
“Aduhai duka-citaku terhadap Yusuf. (QS. Yusuf [12]: 84)7
3. Abu Sanān berkata, “Aku menguburkan anakku Ibn Sanān
sedangkan Abu Ṭalhah al-Khawlāni berada di sisi kubur.
Ketika aku hendak keluar, ia memegang tanganku dan
memberikan semangat kepadaku. Ia berkata, ‘Apakah engkau
tidak berbahagia, wahai Abu Sanān? Al-Ḍahāk meriwayatkan
kepadaku, dari Abi Musa bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Apabila anak hambaku meninggal dunia, maka Allah
berfirman kepada para malaikat. Apakah engkau mencabut
nyawa anak hambaku? Malaikat menjawab, ‘Benar’. Apakah
engkau merenggut buah hatinya? Malaikat menjawab,
‘Benar.’ Lantas apa yang mereka katakan?’ Malaikat
menjawab, ‘Mereka memujamu dan mengucapkan kalimat
istirja’ “Bangunkanlah hambaku itu rumah di surga, dan
berilah nama rumah itu dengan rumah pujian (بيت الحمد). (HR.
Tirmidzi)
4. Firman Allah SWT (رب هم م ن ت صلو عليهم ل ئك ini adalah (أو
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada orang yang bersabar
dan berserah diri. Adapun shalawatnya Allah kepada
hambanya adalah ampunan, rahmat, dan berkah baginya serta
7 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) h. 467
44
Allah akan memuliakannya di dunia dan akhirat. Al-Zajjāj
berkata, Shalawatnya Allah adalah ampunan dan pujian yang
baik.8
D. Musibah dan Kalimat Istirja’ Menurut Al-Qusyairi
لونكم ت والثمر فسلن والمو الم نص عون قلجو افولخوام نء بشيولن ب بري اوبش ر هم أص إذا لذينا﴾٥١١﴿نلص
إليهوإنا هلل ناإقالو ابة مصي ب ت ل ﴾٥١١﴿نجعو ر ورحرب همم ن ت صلو عليهمئكأو
ل ومة همئكأو
﴾٥١١﴿نلمهتدو اAllah memberikan mereka nikmat agar nampak rasa
syukurnya dan mereka diberi cobaan agar terlihat rasa
sabarnya. Mereka diberikan rasa takut karena di dalamnya
terdapat pemurnian hati, dengan rasa lapar karena
mengandung pemurnian badan, kekurangan harta untuk
menyucikan jiwa mereka, musibah kehilangan jiwa sebab
Allah akan memberikan balasan berupa kemuliaan, dan
kekurangan buah-buahan maka ganjarannya akan Allah lipat
gandakan.
( بري اوبش ر نلص ) yaitu orang-orang yang tidak menolak
takdir yang diberikan kepadanya. Dikatakan, memohon
dengan rasa takut menjauhkan dari balasan. Kemudian dengan
lapar berharap dekat kepada Allah dan karamah. Kekurangan
8 Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubī, al-
Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006) h. 469
45
harta dengan bersedekah, keluarnya harta tersebut semata-
mata mengharapkan kebaikan dan makrifat.
( فسلن وا ) penyerahan diri dengan ibadah. ( ت والثمر )
perkataan, dengan meninggalkan sesuatu yang diharapkannya
seperti bertambahnya nikmat. ( بري اوبش ر نلص ) atas kebaikan
yang diharapkan.
Orang mencari yang gaib, ada kalanya dengan harta,
jiwa, dan keluarga. Barangsiapa yang mewakafkan hartanya
kepada Allah, maka baginya keselamatan. Barangsiapa yang
memberi dengan otoritas dirinya, maka baginya derajat
kemuliaan. Barangsiapa yang bersabar atas musibah yang
menimpa keluarganya, maka ia dekat dengan Allah.
Firman Allah SWT ( هم أص إذا لذينابة مصي ب ت ) mereka
menghadapinya dengan sabar. Tidak, bahkan dengan syukur.
Tidak, bahkan dengan gembira. Tidak, bahkan dengan rasa
bangga.
Dikatakan, barangsiapa yang menyaksikan musibah
kemudian bersaksi bahwa dirinya milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya. Barangsiapa yang menyaksikan orang
terkena musibah sedangkan ia mengetahui bahwa segala
sesuatu terjadi atas kehendak Allah, maka dia adalah hamba
dengan Allah. Perbedaan antara ada karena Allah dengan ada
dengan Allah adalah orang yang ada karena Allah akan tetap
sabar, sedangkan orang yang ada dengan Allah mereka akan
berhenti berusaha, jika Allah menetapkan demikian, maka
46
demikian, jika Allah menghapus, maka hilang, jika Allah
menggerakkannya maka bergerak, jika Allah mendiaminya,
maka ia diam.
Firman Allah ( ل ورحرب همم ن ت صلو عليهمئكأو ل ومة ئكأو
نلمهتدو اهم ) dengan keberkahan di awal, kemudian
keberkahan atas kesabaran dan ketetapan mereka ketika
memohon takdir. Bukan atas kesabaran, ketetapan, dan
shalawat mereka atas keberkatannya. Kalau bukan karena
rahmat Allah yang sudah ada sejak zaman azali, maka tidak
akan tercapai ketaatan mereka dengan penghambaan. Maka
dengan pertolongan Allah yang telah ada sejak dulu, wajib
bagi mereka hidayah.
Firman Allah SWT ( ل نلمهتدو اهمئكوأو ) Jika kalian
tidak dirahmat di awal, maka kalian akan diberikan petunjuk
di akhir.9
E. Analisis Atas Musibah dan Kalimat Istirja’
Penjelasan ketiga mufassir di atas terlihat berbeda
dalam memaknai surah al-Baqarah [2]: 155-157. Sebagai
mufassir dari yang berlatar belakang Muktazilah,
Zamakhsyari memandang musibah sebagai ujian untuk
mengukur kualitas keimanan seseorang. Apakah dengan
9 Al-Imām Abu al-Qāsim ‘Abd al-Karīm bin Hawazan bin ‘Abd al-
Malik al-Qusyairi al-Naisaburi, Tafsīr al-Qusyairī al-Musammā Laṭāif al-
Isyārāt (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1971) h. 79
47
adanya musibah seseorang tersebut akan sabar dan tetap
menjalankan perintah-Nya, atau sebaliknya. Adapun Al-
Qurṭubī melihat bahwa musibah tidak selalu berkaitan dengan
hal-hal yang buruk saja. Musibah ada kalanya baik dan ada
kalanya buruk. Tetapi, semuanya itu merupakan ujian dari
Allah SWT. Tidak jauh berbeda dengan dua mufassir di atas,
Al-Qusyairi berpendapat bahwa adanya musibah untuk
mengetahui kesabaran seseorang.
Mengenai makna ( بري اروبش نلص ) dalam ayat di atas,
ketiga mufassir ini memaknainya berbeda. Zamakhsyari
memaknainya sebagai orang yang mengucapkan innā lillāhi
wa innā ilaihi rājiʻūn dan memasrahkan segalanya kepada
Allah. Sebab, kalimat istirja’ adalah tanda kepasrahan. Al-
Qurṭubī yang berlatar belakang Sunni memaknainya sebagai
balasan pahala sebab sabar, dan sabar adalah menahan diri. Al-
Qurṭubī juga mengutip pendapat Sahl ibn ‘Abdullāh al-Tustari
yang membagi sabar menjadi dua, yaitu sabar tidak melakukan
maksiat kepada Allah dan sabar dalam ketaatan kepada Allah.
Sedangkan Al-Qusyairi yang berlatar belakang sufi
memaknainya sebagai orang yang tidak menolak takdir Allah.
Dalam memaknai kata takut, lapar, kurang harta, jiwa,
dan buah-buahan pun terlihat berbeda dari segi konteksnya.
Al-Qurṭubī memaknainya dalam konteks peperangan. Yaitu,
memerangi orang kafir. Kata takut dalam ayat di atas
ditafsirkan sebagai rasa takut ketika berada di medan perang,
kekurangan harta karena sibuk memerangi orang kafir,
48
kekurangan jiwa karena syahid di medan laga, dan kekurangan
buah-buahan adalah kurangnya keberkahan. Pendapat ini
dikutip Al-Qurṭubī dari Ibn Abbās.
Meski demikian, Al-Qurṭubī dan Zamakhsyari sama-
sama mengutip pendapat Imam Syafi’i tentang makna takut,
lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Menurut
Imam Syafi’i yang bermazhab Sunni, takut maknanya adalah
takut keapda Allah SWT. Lapar, yaitu menahan lapar saat
berpuasa di bulan Ramadhan. Kekurangan harta, karena
dikeluarkan untuk menyucikannya berupa zakat. Kekurangan
jiwa, yaitu sakit. Dan, kekurangan buah-buahan adalah
meninggalnya buah hati (anak).
Adapun Al-Qusyairi menafsirkannya berbeda,
seseorang diberikan rasa takut karena di dalam ketakutan
tersebut terdapat pemurnian hati. Diberikan rasa lapar karena
di dalamnya terkandung pemurnian tubuh. Kekurangan harta
untuk menyucikan jiwa mereka. Musibah kehilangan jiwa
yang akan diberikan balasan oleh Allah berupa kemuliaan.
Dan kekurangan buah-buahan yang nanti akan Allah lipat
gandakan balasannya. Kekurangan buah-buahan juga
ditafsirkan sebagai meninggalkan sesuatu yang diharap-
harapkan, misalnya bertambahnya nikmat. Unsur sufi dalam
penafsirannya memang sangat terlihat.
Mengenai kalimat istirja’, Al-Qurṭubī berpandangan
bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat pegangan bagi
orang yang tertimpa musibah. Jika dilihat dari maknasnya, ada
49
dua pengakuan di dalamnya, yaitu (ه لل pengakuan dan (إنا
penetapan akan keesaan Allah. Dan, (إليهر جعو ن pengakuan (وإنا
akan kebinasaan manusia, akan dibangkitkan, dan keyakinan
akan kembalinya segala sesuatu kepada-Nya.
Al-Qusyairi tidak membahas terlalu detail tentang
makna kalimat istirja’, tapi lebih mengungkapkan makna
bagaimana seseorang harus menghadapi musibah. Al-Qusyairi
mengatakan bahwa orang yang ditimpa musibah harus
menghadapinya dengan sabar. Bahkan tidak cukup dengan
sabar, tapi dengan syukur. Bahkan tidak cukup dengan syukur,
harus ada rasa gembira. Dan, tidak cukup dengan rasa
gembira, harus ada rasa bangga ketika menerima musibah dari
Allah. Itulah orang yang sabar menurut surah Al-Baqarah
tersebut.
Adapun Zamakhsyari tidak mengungkap makna
istirja’ secara komprehensif. Ia hanya menjelaskan bahwa
kalimat istirja’ merupakan kalimat yang menunjukkan
kepasrahan seseorang kepada Allah.
Dari penjelasan tiga mufassir di atas, penulis lebih
cenderung dengan pendapat Zamakhsyari. Sebab, setiap
musibah datang bukan tanpa tujuan. Adapun tujuan utamanya
adalah untuk mengukur sejauh mana keimanan seseorang.
Ketika seseorang ditimpakan musibah oleh Allah, maka
kalimat istirja’ seperti yang dikatakan Zamakhsyari
50
merupakan tanda kepasrahan seorang hamba atas takdir yang
diberikan oleh Allah SWT.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan penafsiran yang dituangkan dalam
bab sebelumnya dan melihat kembali rumusan masalah
penelitian ini, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Mufassir Muktazilah menganggap musibah sebagai
cara Allah mengukur keimanan seseorang. Mufassir
Sunni mengangap semua musibah adalah ujian, baik itu
musibah yang baik maupun buruk. Sedangkan Mufassir
Sufi memaknai musibah sebagai cara Allah melihat
kesabaran seseorang.
2. Kalimat istirja’ menurut mufassir Muktazilah adalah
kalimat yang menunjukkan kepasrahan kepada Allah.
Mufassir Sunni berpandangan bahwa kalimat tersebut
sebagai kalimat pegangan bagi orang yang terkena
musibah yang mengandung dua pengakuan, yaitu
pengakuan dan penetapan akan keesaan Allah dan
pengakuan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada-
Nya. Adapun mufassir Sufi tidak menjelaskan secara
detail makna kalimat istirja’, tetapi menerangkan
bahwa orang yang ditimpa musibah seharusnya
menghadapinya dengan sabar, syukur, gembira, dan
rasa bangga.
52
B. Saran-saran
Kajian-kajian Al-Qur’an berdasarkan teologi seorang
mufassir belum banyak dilakukan. Untuk itu, penulis
menyarankan agar penelitian ke depan lebih memperhatikan
ideologi mufassir dalam mengkaji ayat Al-Qur’an. Sebab,
ideologi seorang mufassir sedikit tidak mempengaruhi cara
pandangnya dalam mengungkap makna ayat-ayat Al-Qur’an.
53
DAFTAR PUSTAKA
al-Baiḍāwī. Tafsīr al-Baiḍāwī, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
al-Dimasyqī, Abi al-Fida’ Ismāʻīl bin Umar bin Katsīr al-Qurasy.
Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm (Beirut: Dar Ibnu Jazm, 2000)
Hadi, Syamsul, “Akronim dalam Bahasa Arab: Pembahasan
Seputar Perkembangan Mutakhir dalam Bahasa Arab Seri
iv”, dalam Humaniora, vol. xii, No. 3, (2000): 254
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas,
t.t)
al-Hanbali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Musibah
Kematian, terj. Muhammadi Suhadi (Jakarta: Hikmah,
2007)
‘Iwadh, Ahmad ‘Abduh. Mutiara Hadis Qudsi; Jalan Menuju
Kemuliaan dan Kesucian Jiwa, terj. Dewi Ariyanti
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008)
Junaidi, Didi. Qur’anic Inspiration Meresapi Makna Ayat-ayat
Penggugah Jiwa (Jakarta: Quanta, 2014)
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Jangan Menyerah Ada Hikmah di Balik
Musibah, terj. Inayatur Rasyidah (Jakarta: Qisthi Press,
2012)
Kiswati, Tsuroya. Ilmu Kalam, Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran,
dan Analisis Perbandingan (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2013)
Kusuma, Ridwan. “Pemahaman Mahasiswa Tafsir Hadits atas
Ayat-Ayat Musibah,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
Listiana, Anisa. “Menimbang Teologi Kaum Sufi Menurut Al-
Qusyairi dalam Kitab al-Risālah al-Qusyairi”, dalam
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, volume
7, No. 1, Juni (2013): 202
Mardan, Wawasan Al-Qur’an tentang Malapetaka (Jakarta: T.pn.,
2008)
Muhibudin, Irwan. Tafsir Ayat-ayat Sufistik, Studi Komparatif
antara Tafir Al-Qusyairi dan Tafsir Al-Jailani (Jakarta:
UAI Press, 2018)
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1984)
al-Miṣrī, Abi al-Faḍl Jamal al-Dīn Muhammad bin Mukarram ibn
Manzhur al-Ifriqī. Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Ṣād, t.t.)
54
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
al-Naisaburi, Al-Imām Abu al-Qāsim ‘Abd al-Karīm bin Hawazan
bin ‘Abd al-Malik al-Qusyairi. Tafsīr al-Qusyairī al-
Musammā Laṭāif al-Isyārāt (Beirut: Dar al-Kitab al-
‘Alamiyyah, 1971)
Priambodo, S. Arie. Panduan Praktis Menghadapi Bencana
(Yogyakarta: Kanisius, 2009)
al-Qaṭṭān, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur
Rafiq El-Mazni, dkk. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019)
al-Qurṭubī, Abī ‘Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr.
al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Al-Risālah, 2006)
--------, Al-Tadzkirah, Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi, terj.
H. Anshori Umar Sitanggal (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2017)
Solahudin, Muhammad. “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran
dalam Tafsir Al-Kasysyāf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama
dan Sosial Budaya I, 1 Januari (2016): 117
Syofrianisda, Tafsir Maudhu’iy, (Yogyakarta: Deepublish, 2015)
al-Sya’rāwi, Muhammad Mutawalli. Tafsīr al-Sya’rāwi (Qahirah:
Dar Akhbar al-Yaum, 1991)
--------, Anda Bertanya Islam Menjawab, terj. Abu Abdillah
Almansur (Jakarta: Gema Insani Press, 2007)
al-Ṣābūnī, Muhammad Ali, Ṣafwah al-Tafāsir, terj. Yasin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011)
Tanjung, Abdul Rahman Rusli, “Musibah dalam Perspektif Al-
Qur’an; Studi Analisis Tafsir Tematik,” dalam Analytica
Islamica, vol. 1, No. 1, (2012): 151
Usman, “Pendidikan Aqidah dalam Kemurnian I’tiqād
Ahlussunnah wal Jama’ah,” dalam Al-Ihda’: Jurnal
Pendidikan dan Pemikiran 13, No. 2 (Januari 2019): 4
al-Zahabī, Muhammad Husain. Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo:
Maktabah Wahbah, t.t.)
al-Zamakhsyari, Abi Al-Qāsim Jārullah Mahmud bin Umar. Tafsīr
al-Kasysyāf (Beirut: Dar Al-Marefah, 2009)
55
top related