p d f x c hange click to buy now! w . docut r a c k...
Post on 03-May-2018
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MENYELAMATKAN UANG RAKYAT
Kajian AkademikPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006
FORUM EXPERTS MEETING
1. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD Pasca Sarjana Fakultas Hukum UII2. Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec Universitas Islam Indonesia3. Dr. Pratikno M.Soc.Sc. Fakultas Isipol UGM4. Dr. Werry Darta Taifur, S.E., M.A. Fakultas Ekonomi Universitas Andalas5. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Fakultas Hukum Bagian HTN UGM6. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. Universitas 45, Makasar7. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc. PSEKP UGM8. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Bagian HTN UGM9. Saldi Isra, S.H., MPA Fakultas Hukum Universitas Andalas10. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.H. Fakultas Hukum Bagian Pidana UGM11. Iwan Satriawan, S.H., MCL Fakultas Hukum UMY12. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. Fakultas Hukum Bagian HAN UGM13. Dadang Trisasongko, S.H., LL.M. Kemitraan, Jakarta
DISELENGGARAKAN OLEH
Yogyakarta, 26 – 29 Januari 2007
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
1
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .. 6
BAB II POLITIK DAN PERUNDANGUNDANGAN .................................... 10
A. Pengantar … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 10B. Masalah
1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … … … 112. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … ... .. 27
BAB III EKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH … … … … … … … … … … … . 30
A. Pengantar … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … ... . 30B. Masalah
1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … … . 302. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … ... . 38
BAB IV ANTIKORUPSI … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 39A. Pengantar … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .. . 39B. Masalah
1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … .... 392. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006 … … … … … … … … … … … . .. 48
BAB V PENUTUP … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .. 50
A. Kesimpulan … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 50B. Rekomendasi … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .... 51
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
2
EXECUTIVE SUMMARYMENYELAMATKAN UANG RAKYAT
Kajian AkademikPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006
Pengantar
Bulan November 2006, Presiden mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 2006tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.Tercatat bahwa sejak terbentuknya DPRD hasil Pemilu Tahun 2004, PP inimerupakan revisi kedua terhadap PP sebelumnya. Artinya, kurang dari duasetengah tahun, Presiden telah menetapkan tiga kali peraturan pemerintahtentang protokoler dan keuangan anggota DPRD yang hanya mengutakatikperihal gaji dan tunjangan. Berdasarkan PP ini, item penghasilan pimpinan dananggota DPRD menunjukkan kenaikkan yang luar biasa besaran dan ragamnya.Yakni, tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional diberlakukan secarasurut sejak 1 Januari 2006. Selain itu, mereka masih akan menerima tunjangankesejahteraan berupa pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan, pakaiandinas, dan biaya yang ditimbulkan dari perjalanan dinas.
Resistensi masyarakat kemudian meningkat dengan berbagai demonstrasipenolakan di berabagi daerah. Dalam rangka merespon permasalahan akibatdiberlakukannya PP tersebut, para pakar di berbagai bidang telah melakukankajian ilmiah yang komprehensif selama empat hari (26 – 29 Januari 2007) yangdifasilitasi oleh Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UniversitasGadjah Mada, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan.
Kajian ilmiah terhadap PP Nomor 37 Tahun 2006 ini juga merupakan entry pointuntuk menjelaskan carutmarutnya sistem perundangundangan di Indonesia,baik dari segi prosedural maupun dari segi substansial. Tidaklah dapat dinafikanbahwa pembentukan perundangundangan di Indonesia acap kali hanyamemenuhi kekuatan berlaku juridis (juristiche geltung) semata. Padahal,seharusnya juga punya kekuatan berlaku sosiologis (sosiologische geltung) dankekuatan berlaku filosofis (filosofische geltung). Karenanya, kajian yangdihasilkan oleh Forum Experts Meeting, juga dari ketiga aspek tersebut.
Ada tiga sudut pandang pembahasan, yaitu politik dan perundangundangan,aspek ekonomi, dan aspek antikorupsi. Pertama, dari aspek politik danperundangundangan. Pembentukan PP Nomor 37 Tahun 2006 secaraprosedural sangat sentralistik dan oligarkis. Sementara dari segi substansi, PPNomor 37 Tahun 2006 bersifat pembenaran sepihak atas kehendak elit.Sedangkan aspek terkait di luar PP Nomor 37 Tahun 2006 adalah berkaitandengan pendelegasian lebih lanjut (non delegating provisio).
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
3
Kedua, aspek ekonomi. PP Nomor 37 Tahun 2006 merusak semangatdesentralisasi fiskal yang menjadi item penting dalam era otonomi. Selain itu PPtersebut cenderung merusak sistem keuangan daerah, menimbulkan kerugianpembangunan daerah dan sangat berpotensi menimbulkan ketimpangan dankecemburuan.
Ketiga, sudut pandang antikorupsi. PP Nomor 37 Tahun 2006 nyatanyatamenunjukan indikasi yang kuat telah terjadinya korupsi. Baik pembuat maupunpelaksana secara nyata melakukan tindakan korupsi (discretionary corruption).Bahkan dalam kaitannya dengan UndangUndang Pemberantasan TindakPidana Korupsi, secara teoritik, tindakan presiden telah memenuhi rumusanperbuatan pidana korupsi sebagaimana dirumuskan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada akhirnya, kajian ilmiah yang dihasilkan oleh Forum Experts Meetingmerupakan solusi dan rekomendasi yang tidak lain adalah pencabutanPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dan tindakantindakan lainnyayang segera harus dilakukan Presiden.
Berkaitan Dengan Keberadaan PP Nomor 37 Tahun 2006Pertama, segera melakukan executive review: Presiden mencabut PP Nomor 37Tahun 2006. Bagi daerah yang telah menerima TKI dan DOP harus segeramengembalikan dana tersebut kepada negara. Sudah seharusnya membentukUndangundang tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan LembagaPerwakilan Rakyat yang dirumuskan secara partisipatif.
Kedua, KPK harus segera melakukan verifikasi terhadap seluruh laporanpenggunaan keuangan yang telah disampaikan oleh anggota DPR/DPD/DPRD.Kejaksaan Agung segera melakukan penyelidikan kepada DPRD yang telahmenerima dana TKI dan DOP.
Ketiga, pembentukan peraturan perundangundangan harus dilakukan secaraintegral dan sinergis dengan departemen terkait dan disinkronkan denganDepkumham sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yangberlaku.
Keempat, melarang menteri menerbitkan berbagai surat edaran yang bersifatregeling tanpa ada delegasi dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
4
Berkaitan dengan Proses dan Substansi Pendanaan Lembaga PerwakilanRakyatPertama, perlu dibuat aturan agar penggajian para pejabat negara tidak naikpada saat yang bersangkutan sedang memegang tampuk jabatannya. Aturantersebut dimuat dalam perubahan UUD 1945.
Kedua, perlu dibuat Undangundang Tentang Kedudukan Protorkoler danKeuangan Lembaga Perwakilan Rakyat dan peraturan pelaksanaannya disusundengan mempertimbangkan prinsipprinsip hukum: Tidak berlaku surut.Pemberlakuan surut suatu peraturan perundangundangan dibolehkan jika danhanya jika bertentangan dengan suatu kepentingan masyarakat secara kolektifatau terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang masif. Lex certa: jelas dantegas. Setiap aturan yang mengekang hak asasi manusi haruslah jelas dantegas, Demikian pula dengan aturan yang memberi keuntungan kepada oranglain haruslah dicantumkan secara tegas dan jelas pula. Lex scripta: tidakmengadakan sesuatu yang baru selain yang tertulis. Berkaitan dengan lex certa,yaitu lex stricta bahwa aturan yang memberi keuntungan kepada orang lain tidakdibenarkan untuk mengadakan yang baru selain dari yang tertulis dalam aturantersebut. Lex stricta: tidak dapat diinterpretasi yang lain dari apa yang tertulis.Konsekuensi logis dari lex certa dan lex scripta adalah lex stricta bahwa setiapaturan harus ditafsirkan secara ketat. Artinya, interpretasi gramatikal memegangperan yang utama sebagaimana yang tertulis dalam aturan tersebut.
Ketiga, Perlu sinkronisasi dalam penyusunan peraturan keuangan negara dandaerah, secara vertikal maupun horisontal, serta perlu keterlibatan stakeholdersdalam perumusan Undangundang dan peraturan pelaksanaannya. Perludisusun formula penggajian dan pemberian tunjangan bagi para anggora dewanperwakilan rakyat yang mempertemukan unsurunsur kebutuhan daerah (basedon needs), kapasitas keuangan (capacity), kebutuhan dasar anggota dewandalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dengan mengedepankan prinsipakuntabilitas dalam penggunaannya.
Menyadari perumusan Undangundang yang membutuhkan waktu dan perlunyapengaturan tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD, maka Presidenharus segera membuat PP baru dengan mempertimbangkan prinsipprinsipsebagaimana telah dikemukakan. Sebagai masa transisi penantian PP yangbaru, maka PP yang lama (PP No. 37 Tahun 2005) harus diberlakukan secarasementara dengan beberapa catatan, yakni diperketatnya pengawasan terhadapjenisjenis tunjangan secara limitatif. Artinya, harus ada pengawasan ketat agarpara anggota dewan tidak lagi mengambil ataupun mengkreasikan lebih dari apayang diamanatkan dalam PP No. 37 Tahun 2005.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
5
Karena ini sebagai langkah transisional, maka PP baru sebagai pengganti harussegera dibuat secepat mungkin, paling lama 3 bulan dari awal tahun 2007sehingga dapat segera diintegrasikan ke dalam RAPBD Perubahan Tahun 2007.
Rekomendasi FiskalPertama, Sembari memperbaiki formulasi pemberian tunjangan dan gaji kepadapara anggota dewan tersebut, maka harus juga ada penyesuaian antaraanggaran belanja yang diberikan sebagai gaji atau tunjangan kepada paraanggota dewan dengan mata anggaran yang khususnya berhubungan secaralangsung ke rakyat. Anggarananggaran pendidikan, kesehatan maupunanggaran cadangan untuk bencana sama sekali tidak boleh berkurang akibatdari pembayaran gaji kepada para anggota dewan tersebut.
Kedua, Harus segera dibuat standar kinerja dewan (misalnya program legislasidaerah atau prolegda) untuk menentukan berapa besaran gaji dan tunjanganyang pantas diterima oleh pimpinan dan anggota dewan.Ketiga, Sebagai konsekuensi butir 1 dan 2, sangat perlu untuk segera disusunAnalisis Standar Belanja (ASB) dewan, yakni analisis kebutuhan dan belanjasetiap unit kegiatan dewan yang wajar.
Rekomendasi UmumPerumusan seluruh peraturan pelaksanaan Undangundang harus menjaminsinergi antar sektor dan partisipasi publik. Untuk memastikan proses ini,Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2005 tentang Tata Cara PembentukanUndangundang, Perpu, PP, dan Perpres harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknya.
PenutupDemikianlah kajian ilmiah ini disampaikan untuk menjadi masukan bagi semuapihak, khususnya bagi pemerintah yang akan mengambil kebijakan berkaitdengan eksistensi PP Nomor 37 Tahun 2006. Semoga, masukan ini bisamenambah pertimbangan untuk secara khusus mencabut PP tersebut, dansecara umum segera memperbaiki sistem pendanaan lembaga perwakilan rakyatbaik di tingkat pusat maupun daerah.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
6
BAB IPENDAHULUAN
Di penghujung tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkanPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler danKeuangan Pimpinan dan Anggota DPRD (PP Nomor 37 Tahun 2006). Secarahukum, presiden memang berwenang mengeluarkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undangundang. Namun, dari catatan yang ada, sejak terbentuknyaDPRD hasil Pemilihan Umum tahun 2004, PP Nomor 37 tahun 2006 merupakanperubahan kedua atas PP Nomor 24 Tahun 2004. Sebelum PP Nomor 37 Tahun2006, PP Nomor 24 Tahun 2004 telah diperbaiki dengan PP Nomor 37 Tahun2005. Artinya, dalam rentang waktu kurang dari dua setengah tahun, presiden
telah menetapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang protokoler dankeuangan anggota DPRD. Sebelumnya pun, aturan tentang keuangan DPRDsebenarnya telah diatur dalam PP Nomor 110 tahun 2000 yang pada akhirnyadinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah diujimateri oleh Mahkamah Agung. Pergantian peraturan dalam waktu singkatdemikian menunjukkan carutmarutnya aturan pendanaan lembaga perwakilanrakyat.
Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2006 item penghasilan pimpinan dan anggotaDPRD menunjukkan kenaikkan angka yang luar biasa besarnya, salah satunyakarena tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional diberlakukan secarasurut sejak 1 Januari 2006. Di Yogyakarta misalnya, satu orang anggota DPRDPropinsi dapat memperoleh tambahan pendapatan (kurang lebih) 250 juta rupiah.
Data lain yang diperoleh di Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan defisitanggaran akibat semua PAD habis untuk membayar rapelan tunjangan akibat PPini (Media Indonesia, 7 Januari 2007). Jika diasumsikan secara kasar bahwa PPtersebut akan menambah penghasilan masingmasing anggota DPRD sebanyakRp 100 juta, maka dengan jumlah (kuranglebih) 17.000 orang anggota DPRD di
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
7
seluruh Indonesia, akan muncul angka Rp 1,7 triliun demi membayarkanpendapatan yang diberlakukan surut melalui PP tersebut.
Padahal, jumlah itu masih akan bertambah dengan adanya tunjangankesejahteraan berupa pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan, pakaiandinas, dan biaya yang ditimbulkan dari perjalanan dinas. Tidaklah mengherankanjika resistensi masyarakat terhadap pemberlakuan PP tersebut muncul secara
masif. Dalam rangka merespon permasalahan akibat diberlakukannya PPtersebut, para pakar di berbagai bidang telah melakukan kajian ilmiah yangkomprehensif selama empat hari (26 – 29 Januari 2007) yang difasilitasi olehPusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan.
Kajian ilmiah terhadap PP Nomor 37 Tahun 2006 ini juga merupakan pintumasuk (entry point) untuk kemudian menjelaskan carutmarutnya sistemperundangundangan di Indonesia, baik dari segi prosedural maupun dari segi
substansial. Tidaklah dapat dinafikan bahwa pembentukan perundangundangandi Indonesia acap kali hanya memenuhi kekuatan berlaku juridis (juristiche
geltung) semata. Padahal, kekuatan berlaku suatu perundangundangan lainnyayang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan berlaku sosiologis (sosiologische
geltung) dan kekuatan berlaku filosofis (filosofische geltung). Oleh karena itu,kajian yang dihasilkan oleh Forum Experts Meeting, tidak hanya terhadap PPNomor 37 Tahun 2006 semata, tetapi juga kajian lainnya yang secara tidaklangsung bersinggungan dengan PP tersebut.
Fokus kajian terhadap PP Nomor 37 Tahun 2006 mencakup tiga aspek, yaitupolitik dan perundangundangan, aspek ekonomi, dan aspek antikorupsi.Pertama, dari aspek politik dan perundangundangan. Pembentukan PP Nomor37 Tahun 2006 secara prosedural sangat sentralistik dan oligarkis. Sementara
dari segi substansi, PP Nomor 37 Tahun 2006 bersifat pembenaran sepihak ataskehendak elit. Sedangkan aspek terkait di luar PP Nomor 37 Tahun 2006 adalah
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
8
berkaitan dengan pendelegasian lebih lanjut (non delegating provisio). Masihdalam konteks politik dan perundangundangan, PP Nomor 37 Tahun 2006 tidaksecara tegas mengarah pada peningkatan kinerja DPRD dalam menjalankantugas, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap DPRD dan pemerintahpusat, ketimpangan antara penghasilan anggota DPRD dengan gaji PNS, tidaksensitif terhadap pemerataan penghasilan anggota DPRD dan berpotensimenurunkan tingkat pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat. Selain itu
masalah lainnya yang tidak terkait langsung dengan PP Nomor 37 Tahun 2006adalah terbatasnya transparansi proses dan diskusi publik dalam perumusan PP,lemahnya koordinasi antar unitunit pemerintah pusat dalam proses perumusankebijakan pemerintah pusat serta ketiadaan kebijakan yang tunggal dankomprehensif tentang penggajian bagi mereka yang bekerja pada institusinegara.
Kedua, aspek ekonomi. PP Nomor 37 Tahun 2006 merusak semangatdesentralisasi fiskal yang menjadi item penting dalam era otonomi. Selain itu PPtersebut cenderung merusak sistem keuangan daerah, menimbulkan kerugianpembangunan daerah dan sangat berpotensi menimbulkan ketimpangan dankecemburuan.
Ketiga, sudut pandang antikorupsi. PP Nomor 37 Tahun 2006 nyatanyatamenunjukan indikasi yang kuat telah terjadi discretionary corruption. Bahkandalam kaitannya dengan UndangUndang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi, secara teoritik, tindakan presiden dapat dikualifikasikan telah memenuhirumusan perbuatan pidana korupsi sebagaimana dirumuskan Pasal 2 ayat (1)UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah denganUndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi.
Unsur melawan hukum telah dibuktikan dengan PP tersebut yang telahmelanggar sejumlah ketentuan undangundang. Sedangkan unsur memperkaya
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
9
orang lain jelas terlihat dengan besarnya pendapatan yang diperoleh anggotaDPRD. Terlebih, pembayaran dilakukan surut sejak tanggal 1 Januari 2006.Sementara unsur merugikan keuangan dan atau perekonomian negara terbuktidengan adanya beberapa daerah yang mengalami defisit PAD hanya karenauntuk membayar tunjangan berdasarkan PP tersebut. Masih berkaitan denganantikorupsi namun tidak terkait langsung dengan PP 37 Tahun 2006 adalahpolitical bribery dalam pembentukan perundangundangan, ketidaksinkronan dan
misscoordination dalam pembentukan undangundang sehingga bersifatkriminogen serta tindakan administrasi yang selalu dijadikan tameng untuk tidakdapat dipidana. Dalam konteks yang demikian, hukum tidak lagi sebagai suaturekayasa sosial tetapi hukum telah digunakan untuk korupsi.
Pada akhirnya, kajian ilmiah yang dihasilkan oleh Forum Experts Meeting
merupakan solusi dan rekomendasi yang tidak lain adalah pencabutanPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dan tindakantindakan lainnyayang segera harus dilakukan Presiden. Sebab jika tidak, berarti presidenmembuka pintu pemakzulan (impeachment) terhadap dirinya sendiri.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
10
BAB IIPOLITIK DAN PERUNDANGUNDANGAN
A. PENGANTAR
Dari perspektif politik dan perundangundangan, proses pembuatan sertasubstansi suatu regulasi dan kebijakan pendanaan lembaga perwakilanseharusnya memuat prinsipprinsip ideal sebagai berikut: (1) Memenuhi dasarfilosofis pembentukan peraturan perundangundangan yaitu: moralitas, keadilandan kepatutan; (2) Memenuhi dasar sosiologis, yaitu sensitif terhadap kondisidan permasalahan yang ada di masyarakat serta memenuhi rasa keadilanmasyarakat; (3) Memenuhi dasar yuridis yaitu secara vertikal konsisten dengan
peraturan perundanganundangan yang lebih tinggi dan secara horizontalsinkron dengan peraturan perundanguandangan yang sederajat; dan (4)Memenuhi dasar politis dalam perumusan kebijakan yaitu meningkatkanmeningkatkan efektivitas penyelenggaraan fungsi lembaga perwakilan danmeningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi yangproporsional di seluruh Indonesia.
Dari analisis bab ini PP Nomor 37 Tahun 2006 telah melanggar prinsipprinsiptersebut di atas, sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
B. MASALAH
PP Nomor 37 Tahun 2006 merupakan produk peraturan perundangundanganyang bertentangan dengan nilainilai filosofis, sosiologis, yuridis dan politis. PP
Nomor 37 Tahun 2006 merupakan produk hukum yang berkarakter sangat“ortodoks”, yang ditandai oleh: (1) Pembentukannya yang sangat sentralistik danoligarkis, (2) Isinya yang bersifat pembenaran sepihak atas kehendak elit,sehingga hukum hanya dijadikan instrumen untuk membenarkan kehendakkehendak yang bertentangan dengan prinsipprinsip di atas. Hukum yang
seharusnya sebagai law as a tool of social engineering bermetamorfosa menjadi
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
11
law as a tool of corruption engineering. Tegasnya, PP ini merefleksikan kondisicarut marut penataan sistem perundangundangan di Indonesia.
1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006.
a. Aspek Filosofis
Dari aspek filosofis, PP Nomor 37 Tahun 2006 terlepas dari moral yangseharusnya menjadi basis setiap pembuatan hukum dan peraturanperundangundangan. PP Nomor 37 Tahun 2006 terjebak dalam kerangkadefinisi hukum yang tanpa moral yang mengatakan bahwa “whatever is
enacted by the law making agency is the law in society.” Di dalam konsepini hukum dipandang sebagai produk negosiasi politik oleh lembaga yang
membuat tanpa dipersoalkan apakah bermoral atau tidak, apakah sesuaidengan rasa keadilan atau tidak, dan apakah responsif atas realitasmasyarakat atau tidak.
PP Nomor 37 Tahun 2007 adalah produk dominasi pengaruh madzhab
positivisme di kalangan penguasa. Padahal konstitusi kita (pasal 28D ayat(1) dan pasal 28H ayat (2) UndangundangD 1945) mengharuskandiciptakannya hukum berdasar moral dengan menyeimbangkan antarapaham natural dan positivisme yang harus menyatukan kepastian hukum,keadilan, dan kemanfaatan. Dominasi madzhab positivisme ini telahmenggeser fungsi hukum dari law as a tool of social engineering menjadilaw as a tool of corruption engineering.
b. Aspek Sosiologis
PP Nomor 37 Tahun 2006 secara sosiologis telah mendzalimi hakhakmasyarakat yang sedang dalam kondisi menderita akibat bencana dankrisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga kemunculannya tidaksensitif secara sosiologis. Hal ini dibuktikan dengan tingginya resistensi
publik terhadap substansi PP Nomor 37 Tahun 2006 yang telah menaikkan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
12
tunjangan DPRD dalam bentuk tunjangan komunikasi intensif (TKI) dandana operasional pimpinan (DOP) yang diberlakukan secara surut.
c. Aspek Yuridis
PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak konsisten baik secara vertikal maupunhorizontal dengan berbagai peraturan perundangundangan.
1) Inkonsistensi Vertikal:a) Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan
Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal 3 mengatakan asasasas umum penyelenggaraan negara
meliputi :(1) Asas Kepastian Hukum;(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;(3) Asas Kepentingan Umum;(4) Asas Keterbukaan;(5) Asas Proporsionalitas;(6) Asas Profesionalitas; dan(7) Asas Akuntabilitas.
PP Nomor 37 Tahun 2006 secara de facto telah melanggar asasasas tersebut di atas terutama: (1) Asas Kepentingan Umum yangharus mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yangaspiratif, akomodatif, dan selektif; (2) Asas Keterbukaan karenapembentukan PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak dilakukan secaraterbuka kepada publik sehingga hak masyarakat untuk memperolehinformasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif telah dilanggar; (3)Asas akuntabilitas karena PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak mengaturpertanggungjawaban terhadap penggunaan anggaran secara
transparan dan akuntabel.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
13
b) Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara(a)Penjelasan Undangundang No. 17 Tahun 2003
Sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasilmemerlukan kriteria pengendalian kinerja danevaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalampenyusunan rencana kerja dan anggarankementerian negara/lembaga/perangkat daerah,perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitaskinerja dalam sistem penganggaran denganmemperkenalkan sistem penyusunan rencana kerjadan anggaran kementeriannegara/lembaga/perangkat daerah. Denganpenyusunan rencana kerja dan anggarankementerian/lembaga/perangkat daerah tersebutdapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaranberbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitaskinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yangbersangkutan.
Dengan demikian bentuk tunjangan TKI dan DOP yangdikeluarkan secara berlaku surut (Pasal 14D) bertentangandengan sistem anggaran berbasis kinerja. Seharusnya, TKI danDOP bukan merupakan penghasilan (gaji) karena dana tersebutdiperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan yang telah tersusundalam Rencana Kegiatan (RK).
(b) Pasal 3 ayat (1):Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat padaperaturan perundangundangan, efisien, ekonomis,efektif, transparan, dan bertanggung jawab denganmemperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Penjelasan pasal tersebut mengatakan:Setiap penyelenggara negara wajib mengelolakeuangan negara secara tertib, taat pada peraturanperundangundangan, efisien, ekonomis, efektif,transparan, dan bertanggung jawab denganmemperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
14
keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, PP Nomor 37 Tahun 2006 bertentangandengan Pasal 3 ayat (1) yang mengharuskan keuangan negaradikelola secara tertib dan taat terhadap peraturan perundangundangan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(c) Pasal 4:Tahun anggaran meliputi satu tahun mulai daritanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31Desember.
Peraturan pemerintah yang mengatur Keuangan DPRD
merupakan bagian tidak terpisahkan dari APBD. APBD harusditetapkan di awal tahun, dan jika akan dilakukan perubahanharus diatur dengan periode dan cara tertentu. Penerbitan PPNomor 37 Tahun 2006 pada tanggal 14 November 2006 tidakmungkin dapat mengubah APBD yang telah ditetapkansebelumnya. Dengan demikian bagi daerah yang telahmengeluarkan anggaran TKI dan DOP di luar cara dan proseduryang telah ditentukan bertentangan dengan Pasal 4 Undangundang Nomor 17 Tahun 2006.
(d) Pasal 28:(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi
Semester Pertama APBD dan prognosis untuk(6) enam bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)disampaikan kepada DPRD selambatlambatnyapada akhir Juli tahun anggaran yangbersangkutan, untuk dibahas bersama antaraDPRD dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangandan/atau perubahan keadaan dibahas bersamaDPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangkapenyusunan prakiraan Perubahan atas APBD
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
15
tahun anggaran yang bersangkutan, apabilaterjadi:a. perkembangan yang tidak sesuai dengan
asumsi kebijakan umum APBD;b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi,antar kegiatan, dan antar jenis belanja.
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaranlebih tahun sebelumnya harus digunakanuntuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerahdapat melakukan pengeluaran yang belumtersedia anggarannya, yang selanjutnyadiusulkan dalam rancangan perubahan APBDdan/atau disampaikan dalam Laporan RealisasiAnggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan RancanganPeraturan Daerah tentang Perubahan APBDtahun anggaran yang bersangkutan berdasarkanperubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat(3) untuk mendapatkan persetujuan DPRDsebelum tahun anggaran yang bersangkutanberakhir.
Penjelasan ayat (4) menyebutkan:Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanjauntuk keperluan mendesak yang kriterianyaditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBDyang bersangkutan.
Dengan demikian perubahan APBD hanya dimungkinkan dengandua cara: (1) dalam keadaan normal dilakukan selambatlambatnya bulan Juli, (2) dalam keadaan mendesak dilakukanselambatlambatnya tiga bulan sebelum berakhir tahun anggaran.Berdasarkan ketentuan ini PP Nomor 37 Tahun 2006bertentangan dengan Pasal 28 karena tidak memenuhi syaratwaktu dan prinsip perubahan APBD dalam keadaan mendesak.Dalam kenyataan banyak daerah yang belum membuat Perda
tentang kriteria keadaan mendesak yang dapat melegitimasipengeluaran anggaran dalam keadaan mendesak tersebut,kecuali hanya membuat Perda perubahan terhadap Kedudukan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
16
Protokoler dan Keuangan Dewan. Bahkan ada beberapa daerahyang justru mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Daerah untukmencairkan dana sebagaimana dimaksud PP Nomor 37 Tahun2006, tanpa membuat Perda baik untuk mengubah PerdaProtokoler dan Keuangan Dewan maupun Perda tentang kriteriakeadaan mendesak.
c) Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara (Pasal 3) jis. Undangundang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah Pasal 192 Ayat (3), Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan KeuanganPusat dan Daerah Pasal 67 ayat (2).
Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yangberakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jikaanggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidaktersedia atau tidak cukup tersedia.
Spirit yang terkandung dalam ketentuan ini menghendaki setiappengeluaran harus terencana dan terakomodasi terlebih dahuludalam beban APBD. PP Nomor 37 Tahun 2006 yang dikeluarkanmenjelang akhir tahun anggaran dan diharuskan oleh Menteri DalamNegeri yang tertuang dalam Surat Nomor 188.31/1121/BKAD yangmemerintah untuk segera melaksanakan PP tanpa melihat kondisikeuangan masingmasing daerah, secara hukum telah melanggarketentuan Pasal 3 ayat (3).
d) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundangundangan jo. Undangundang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(a)Pasal 53 Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Pasal 139
ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
17
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisanatau tertulis dalam rangka penyiapan ataupembahasan rancangan undangundang danrancangan peraturan daerah.
Nyatanya, Perda yang diberilakukan berdasarkan PP Nomor 37Tahun 2006 tidak dirumuskan secara partisipatif dan aspiratif. Halini dibuktikan dengan maraknya kontroversi publik yang kemudiandirespon dengan keluarnya Surat Menteri Dalam Negeri Nomor188.31/150/SJ tanggal 25 Januari 2007 yang menyatakanterhadap PP Nomor 37 Tahun 2006 akan dilakukan kajianmendalam untuk merumuskan inventarisasi masalah (Butir 2).Ada indikasi kuat daerah yang telah membuat Perda perubahan
Kedudukan Prokololer dan Keuangan DPRD sengaja menutupadanya proses partisipatif terhadap perubahan Perda. Hal inidibuktikan dari penentuan pagu maksimal oleh daerah tanpamelihat kondisi faktual keuangan daerah.
(b) Butir 130 huruf b Lampiran Undangundang Nomor 10 Tahun2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukanperaturan perundangundangan lebih awal daripadasaat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perludiperhatikan rincian mengenai pengaruh ketentuanberlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubunganhukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada,perlu dimuat dalam ketentuan peralihan.
Dengan demikian PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak dapatditerbitkan secara berlaku surut karena: (1) bertentangan dengananggaran berbasis kinerja, (2) tidak dicantumkan ketentuanperalihan yang mengatur akibatakibat hukum yang timbuldengan adanya pembebanan anggaran TKI dan DOP di luarmekanisme perubahan APBD.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
18
(c) Butir 107 Lampiran Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakanbagi Peraturan Perundangundangan yang memuatketentuan yang memberi beban konkret kepadamasyarakat.
Pembelakukan pembayaran rapelan TKI dan DOP nyatanyatamelanggar ketentuan butir 107 lampiran UU tersebut, karenamemberi beban konkret kepada masyarakat.
e) Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah
(a) Pasal 167
(1) Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi danmeningkatkan kualitas kehidupan masyarakatdalam upaya memenuhi kewajiban daerahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 122.
(2) Perlindungan dan peningkatan kualitaskehidupan masyarakat sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatanpelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitaspelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitasumum yang layak, serta mengembangkan sistemjaminan sosial.
(3) Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) mempertimbangkan analisis standar belanja,standar harga, tolok ukur kinerja; dan standarpelayanan minimal yang ditetapkan sesuai denganperaturan perundangundangan.
Pembayaran, khususnya rapelan, berdasaqrkan PP Nomor 37Tahun 2006 akan menghabiskan angaran daerah yang seharusnyadikeluarkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.Apalagi TKI dan DOP yang diambil oleh daerah menggunakanpagu maksimal, yang berakibat berkurangnya anggaran untukpelayanan dasar.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
19
(b) Pasal 181:
(1) Kepala daerah mengajukan rancangan Perdatentang APBD disertai penjelasan dan dokumendokumen pendukungnya kepada DPRD untukmemperoleh persetujuan bersama.
(2) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud padaayat (1) dibahas pemerintah daerah bersama DPRDberdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritasdan plafon anggaran.
(3) Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujuirancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dilakukan selambatlambatnya 1 (satu) bulansebelum tahun anggaran dilaksanakan.
(4) Atas dasar persetujuan DPRD sebagaimanadimaksud pada ayat (3), kepala daerah menyiapkanrancangan peraturan kepala daerah tentangpenjabaran APBD dan rancangan dokumenpelaksanaan anggaran satuan kerja perangkatdaerah.
(c) Pasal 183 ayat (2) dan ayat (3):
“Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perdatentang perubahan APBD, disertai penjelasan dandokumendokumen pendukungnya kepada DPRD”.
“Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perdatentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud padaayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga)bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutanberakhir.”
(d) Pasal 185:
(2) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telahdisetujui bersama dan rancangan PeraturanGubernur tentang penjabaran APBD sebelumditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) haridisampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untukdievaluasi.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepadaGubernur paling lambat 15 (lima belas) hariterhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
20
(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasilevaluasi rancangan Perda tentang APBD danrancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaranAPBD sudah sesuai dengan kepentingan umum danperaturan perundangundangan yang lebih tinggi,Gubernur menetapkan rancangan dimaksudmenjadi Perda dan Peraturan Gubernur.
(5) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasilevaluasi rancangan Perda tentang APBD danrancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaranAPBD bertentangan dengan kepentingan umum danperaturan perundangundangan yang lebih tinggi,Gubernur bersama DPRD melakukanpenyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitungsejak diterimanya hasil evaluasi.
(6) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti olehGubernur dan DPRD, dan Gubernur tetapmenetapkan rancangan Perda tentang APBD danrancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaranAPBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur,Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda danPeraturan Gubernur dimaksud sekaligusmenyatakan berlakunya pagu APBD tahunsebelumnya.
(e) Pasal 186:
(1) Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yangtelah disetujui bersama dan rancangan PeraturanBupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelumditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) haridisampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepadaBupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitungsejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota danrancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang PenjabaranAPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancanganPerda tentang APBD dan rancangan PeraturanBupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah sesuaidengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkanrancangan dimaksud menjadi Perda dan PeraturanBupati/Walikota.
(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancanganPerda tentang APBD dan rancangan Peraturan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
21
Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak sesuaidengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersamaDPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh)hari sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti olehBupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetapmenetapkan rancangan Perda tentang APBD danrancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaranAPBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota,Gubernur membatalkan Perda dan PeraturanBupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakanberlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
(6) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perdakabupaten/kota tentang APBD dan rancangan PeraturanBupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada MenteriDalam Negeri.
Ketentuan Pasal 181, Pasal 183, Pasal 185 dan Pasal 186 terkaitdengan proses penyusunan Perda Keuangan dan/atauperubahannya dalam rangka pengawasan preventif agar tidakterjadi inkonsistensi dengan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi. Bagi daerah yang telah membuat Perda Perubahanuntuk mengakomodasi kehadiran PP Nomor 37 Tahun 2006 tidakmungkin menggunakan prosedur sebagaimana dimaksud dalampasalpasal di atas karena waktu untuk perubahan APBD yangmemasukkan anggaran TKI dan DOP tidak dimungkinkan lagi,karenanya telah terjadi pelanggaran atas ketentuanketentuan diatas.
f) Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan Pusat dan Daerah.
Pasal 66 ayat (1):
Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat padaperaturan perundangundangan, efisien, ekonomis,efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
22
memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaatuntuk masyarakat.
Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak memenuhi semuaketentuan pengelolaan keuangan daerah karena muatan pasalyang multitafsir: (1) Pasal 14D mengatur sifat berlaku surut diluar waktu perubahan APBD, (2) Pasal 14A dan Pasal 14Bmerumuskan pagu yang flexible yang faktanya diambil oleh
daerah dengan menggunakan pagu maksimal tanpamemperhatikan asas efisien, ekonomis, dan bertanggung jawab.
2) Inkonsistensi Horizontal:
a) PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan KeuanganDaerah
(a) Pasal 4:
(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat padaperaturan perundangundangan, efisien, ekonomis,efektif, transparan, dan bertanggung jawab denganmemperhatikan asas keadilan, kepatutan, danmanfaat untuk masyarakat.
(2) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalamsuatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkandalam APBD yang setiap tahun ditetapkan denganperaturan daerah.
Penjelasan ayat (1):• Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum
dengan masukan tertentu atau penggunaan masukanterendah untuk mencapai keluaran tertentu.
• Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengankualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yangterendah.
• Efektif merupakan pencapaian hasil program dengantarget yang telah ditetapkan, yaitu dengan caramembandingkan keluaran dengan hasil.
• Transparan merupakan prinsip keterbukaan yangmemungkinkan masyarakat untuk mengetahui danmendapatkan akses informasi seluasluasnya tentangkeuangan daerah.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
23
• Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajibanseseorang atau satuan kerja untukmempertanggungjawabkan pengelolaan danpengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakanyang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaiantujuan yang telah ditetapkan.
• Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangandan pendanaannya.
• Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yangdilakukan dengan wajar dan proporsional.
(b) Pasal 16
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhanpenyelenggaraan pemerintahan dan kemampuanpendapatan daerah.
(2) Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud padaayat (1) berpedoman kepada RKPD dalam rangkamewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuktercapainya tujuan bernegara.
(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
(4) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawabanpelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan denganperaturan daerah.
(c) Pasal 17:
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah baikdalam bentuk uang, barang dan/atau jasadianggarkan dalam APBD.
(2) Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBDmerupakan perkiraan yang terukur secara rasionalyang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
(3) Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah, danpembiayaan daerah dianggarkan secara bruto dalamAPBD.
(4) Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBDharus berdasarkan pada ketentuan peraturanperundangundangan.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
24
(d) Pasal 18:
(1) Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaranharus didukung dengan adanya kepastiantersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
(2) Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBDharus didukung dengan dasar hukum yangmelandasinya.
(e) Pasal 19:
Tahun anggaran APBD meliputi masa 1 (satu) tahunmulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Seluruh ketentuan tersebut oleh PP Nomor 37 Tahun 2006 dengansengaja dilanggar karena: (1) adanya ketentuan berlaku surut (Pasal
14D) yang jelas tidak mungkin direalisasikan sesuai dengan ketentuanperubahan APBD dalam tahun anggaran yang berlaku, (2)Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 2006 membuka ruang terjadinyapenyimpangan terhadap pengelolaan keuangan daerah sesuai denganprinsipprinsip yang berlaku.
2. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentangPembentukan Rancangan UndangUndang, Perpu, PP danPeraturan Presiden
(a) Pasal 40:
(1) Dalam penyusunan Rancangan PeraturanPresiden, Pemrakarsa dapat membentuk PanitiaAntardepartemen.
(2) Tata cara pembentukan Panitia Antardepartemen,pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaianRancangan Peraturan Presiden kepada Presidenberlaku mutatis mutandis ketentuan Bab II.
PP Nomor 37 Tahun 2006 dibentuk tanpa memperhatikan
ketentuanketentuan di atas secara benar. Hal ini dibuktikandengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/150/SJ yang
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
25
menghendaki adanya kajian untuk penyusunan daftar inventarisasiantar departemen setelah terbitnya peraturan pemerintah.
d. Aspek Politik
1) PP Nomor 37 Tahun 2004 tidak secara tegas mengarah padapeningkatan kinerja DPRD dalam menjalankan fungsifungsinya.
2) PP ini tidak menjamin alokasi anggaran untuk anggota DPRD akanmeningkatkan aktivitas anggota DPRD dalam menyerap aspirasi darimasyarakat.Hal ini dikarenakan PP ini tidak secara tegas menjamin penggunaanalokasi anggaran untuk anggota DPRD akan digunakan sebagai biaya
operasional anggota DPRD dalam menjalankan tugasnya.3) PP ini tidak menjamin peningkatan kapasitas (capacity building)
anggota dan lembaga DPRD dalam menjalankan fungsinya.4) PP ini tidak secara tegas diperuntukkan bagi peningkatan kapasitas
individu anggota DPRD, lembaga DPRD maupun kapasitas institusipendukung bagi anggota DPRD.
5) PP ini tidak sensitif terhadap variasi kebutuhan anggota DPRD antardaerah dalam menjalankan fungsinya.Kategorisasi besaran alokasi tunjangan bagi anggota DPRD yangdibuat oleh Departemen Dalam Negeri didasarkan pada kemampuankeuangan daerah masingmasing. Anggota DPRD dari daerah yangmempunyai APBD besar akan memperoleh tunjangan yang besar,serta sebaliknya. Padahal, apabila dikaitkan dengan peningkatanefektivitas pelekasanaan fungsi DPRD, besaran tunjanganoperasional bagi anggota DPRD merupakan fungsi dari besarananggaran yang dibutuhkan sesuai dengan tingkat kemahalan daerah.
6) PP ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap DPRD
dan Pemerintah Pusat. Hal ini karena PP ini melanggar rasa keadilanyang ada dalam masyarakat
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
26
7) PP ini mendorong pengalokasian anggaran untuk anggota DPRDyang sangat besar di mata masyarakat yang sedang dihadapkan padakesulitan ekonomi belakangan ini. Kebijakan ini tidak sensitif terhadapkemiskinan yang meningkat, kesulitan masyarakat untuk menjangkaukebutuhan pokok, dan kebutuhan anggaran negara yang sangat besaruntuk menangani berbagai macam bencana.
8) PP ini mengakibatkan ketimpangan antara penghasilan anggota
DPRD dengan gaji PNSD (Pegawai Negeri Sipil Daerah)Apalabila PP ini dijalankan, penghasilan DPRD bisa mencapai lebihdari 30 kali lipat dari PNS golongan menengah. Kebijakan semacamini bisa mengakibatkan kecemburuan PNSD terhadap anggota DPRD,yang pada gilirannya bisa menimbulkan keengganan dukungan PNSDterhadap DPRD dan peningkatan krisis kepercayaan PNSD terhadapanggota DPRD. Selain itum hal ini juga bisa memicu tuntutuan PNSDuntuk kenaikan penghasilan.
9) PP ini tidak sensitif terhadap pemerataan penghasilan anggota DPRD
antar daerah dan standarisasi pelaksanaan fungsi DPRD antardaerah.Berdasarkan PP ini, anggota DPRD yang berasal dari daerah kayaakan memperoleh penghasilan dan dukungan dana operasional yangtinggi. Sementara itu, anggota DPRD yang berasal dari daerah miskinakan memperoleh penghasilan dan dukungan dana operasional yangsedikit. Padahal, kebutuhan dana operasional yang dibutuhkan dankesulitan kerja yang dihadapi oleh anggota DPRD dari daerah miskin
bisa jadi lebih besar. Oleh karena itu, PP ini bisa mendorong anggotaDPRD dengan penghasilan rendah untuk berupaya untuk peningkatanpenghasilannya seperti di daerah kaya.
10) PP ini berpotensi besar menurunkan tingkat pelayanan pemerintahdaerah kepada masyarakat. Penyerapan dana APBD yang cukup
besar untuk pendanaan anggota DPRD, PP ini mendorongpengurangan alokasi anggaran daerah yang seharusnya dialokasikan
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
27
secara langsung untuk keperluan masyarakat. Padahal, sebelumkeluarnya PP ini, alokasi anggaran untuk pelayanan publik di daerahselama ini sudah terlalu rendah. Fenomena ini akan semakindiperburuk oleh berlakunya PP No.37/2006 ini.
2. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006 (Non Delegating Provisio)
Peraturan pemerintah tentang protokoler keuangan (dari mulai PP Nomor110 Tahun 2000 sampai dengan PP Nomor 37 Tahun 2006) tidakmemberikan delegating provisio. Dengan kata lain tidak ada lagi segalamacam bentuk peraturan perundangundangan di luar peraturan pemerintahyang memungkinkan pemerintah mengatur lebih lanjut (sub delegasi)kedudukan keuangan dan protokoler DPRD. Dalam kenyataan seluruhperaturan pemerintah yang mengatur kedudukan Protokoler dan KeuanganNegara selalu diikuti dengan Surat Menteri Dalam Negeri yang bersifatregeling untuk menambah dan memperluas ketentuan dalam suatuperaturan pemerintah.
Beberapa delegating provisio yang dikeluarkan oleh pemerintah:
• Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 161/3211/SJ/2003 tentang
Pedoman Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD;
• Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/006/BAKD tentangTambahan Penjelasan terhadap PP Nomor 37 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2004.
• Ketentuan dalam SE telah melakukan interpretasi ekstensif terhadapPP Nomor 24 Tahun 2004 (Pasal 15) yang tidak lagi memberikantunjangan khusus seperti yang pernah berlaku dalam PP Nomor110 Tahun 2000.
• Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/1121/BAKD tentangPenyampaian Salinan PP Nomor 37 Tahun 2006 yang di dalamnyamewajibkan pemerintah daerah segera melaksanakan PP Nomor 37
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
28
Tahun 2006 dengan memberikan tafsir terhadap pelaksanaan PPtersebut.
• Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/150/SJ tanggal 25Januari 2007.
Keberadaan PP Nomor 37 Tahun 2006 ini mencerminkan permasalahanyang lebih luas dalam politik dan perundangundangan di Indonesia saat ini.Kekacauan hukum dalam PP ini mencerminkan:
1) Sangat terbatasnya transparansi proses dan diskusi publik dalamperumusan PP. Dalam kasus perumusan PP Nomor 37 Tahun 2006, halini sangat jelas tercermin dari:(a) Debat publik tentang PP Nomor 37 Tahun 2006 justru terjadi setelah
PP ini diterbitkan;(b) Masyarakat luas tidak tahu tentang adanya perumusan PP ini. Proses
perumusan PP ini hanya menjadi perdebatan antara pemerintahdengan asosiasi DPRD.
Rendahnya transparansi dalam proses perumusan PP dan rendahnyapartisipasi publik dalam perumusan PP merupakan fenomena umum bagimayoritas PP yang dirumuskan oleh pemerintah. Padahal, dalam posisihukumnya yang lebih tinggi dari Perda, implikasi PP terhadappenyelenggaraan demokrasi dan pemerintahan daerah sangat luas. Olehkarena itu, untuk agenda ke depan, diperlukan peningkatan transparansidan partisipasi publik dalam proses perumusan PP.
2) PP ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar unitunit pemerintah pusatdalam proses perumusan kebijakan pemerintah pusat bahkan terdapatfragmentasi lintas departemen.Dalam menanggapi penolakkan masyarakat terhadap PP Nomor 37Tahun 2006, terdapat kesimpangsiuran pernyataan pejabat daribeberapa departemen. Kesan kuat yang ditangkap oleh publik adalah
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
29
tidak terdapat koordinasi yang kuat dalam proses perumusan PP ini, danPP dianggap sebagai ‘milik satu departemen’ saja.Permasalahan ini bisa jadi merupakan fenomena umum dalamperumusan PP secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan agendayang jelas untuk memperbaiki hal ini.
3) PP ini menunjukkan ketiadaan kebijakan yang tunggal dan komprehensif
tentang penggajian bagi mereka yang bekerja pada institusi negara,mulai dari PNS, anggota militer dan kepolisian, lembaga peradilan, sertapolitisi di tingkat daerah dan di tingkat pusat.
Terbitnya PP ini menunjukkan upaya parsial pemerintah dalam meresponkebutuhan anggaran operasional dan penyesuaian gaji aparat negara.Seharusnya, kebijakan gaji bagi aparat negara dirumuskan secarakomprehensif dengan selisih perbandingan yang jelas antar unitpemerintahan secara horisontal maupun vertikal. Dalam kasus ini, perlu
ada perbandingan gaji yang jelas antara PNS dengan anggota Dewan,serta perbandingan yang jelas antara anggota Dewan dalam levelpemerintahan yang berbeda. Kebijakan penentuan gaji aparat negarasecara parsial ini bisa mengakibatkan adanya keinginan unit lain untukmenuntut kesetaraan.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
30
BAB IIIEKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH
A. PENGANTARPembahasan dari sisi ekonomi melihat permasalahan di sekitar PP Nomor 37Tahun 2006 dalam kaitannya dengan prinsip desentralisasi dan keuangandaerah. Bagaimanapun, PP tersebut punya implikasi langsung dengan tujuandan semangat desentralisasi di Indonesia yang menjadi salah satu ciri otonomidaerah. Desentralisasi dapat dibedakan atas desentralisasi politik, administrasi,fiskal dan ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan aspek yang sangat pentingdalam pelaksanaan otonomi daerah. Melalui desentralisasi fiskal, pemerintahdaerah dengan persetujuan DRPD mempunyai otoritas penuh untuk mengambilkeputusan tentang penerimaan dan pengeluaran sesuai dengan kebutuhandaerah.
PP Nomor 37 Tahun 2006 sangat berpotensi untuk mengancam stabilitasekonomi, mengurangi efisiensi, kinerja eksekutif dan legislatif dan meningkatkankorupsi di Indonesia. Ancaman stabilitas akan muncul karena PP Nomor 37Tahun 2006 telah melanggar rasa keadilan, kepentingan umum, keberpihakankepada rakyat dan rasa kepatutan yang menjadi asas dan prinsip dalampenyusunan APBD. Masalahmasalah tersebut di atas akan menjadi pokokpembahasan yang dikaji dalam hasil komisi ekonomi dan keuangan daerah.
B. MASALAH1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006
Permasalahan PP Nomor 37 Tahun 2006 dapat dipetakan ke dalam duaisu utama. Pertama, aspek kelembagaan PP ini sendiri. Yang dimaksudaspek kelembagaan ini adalah pada hirarkhisitas, inkonsistensiperaturan, rendahnya pengawasan serta perilaku (behaviour). Kedua,
aspek yang berkaitan dengan isu fiskal, yaitu pengaruh PP Nomor 37Tahun 2006 terhadap belanja publik dan peningkatan pelayanan publik.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
31
a. Perihal KelembagaanKonsideran PP Nomor 37 Tahun 2006 mencantumkan begitu banyakaturan yang menjadi alasan utama dikeluarkannya PP ini. Sebut saja:
Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah, Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentangPerimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerahmaupun berbagai aturan lainnya yang erat kaitannya dengananggaran keuangan. Artinya, membaca PP ini tidaklah mungkin dapatdipisahkan dari pembacaan undangundang lainnya tersebut. PP iniharuslah dibaca sebagai petunjuk teknis yang dilatari oleh adanyaundangundang lain tersebut.
Faktanya, meski mencantumkan berbagai peraturan tersebut padabutirbutir pertimbangan, jiwa (spirit) dari undangundang yangdicantumkan sama sekali tidak diikuti. Misalnya saja, di dalam Pasal66 ayat (1) Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentangPerimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerahdisebutkan bahwa “Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan,
kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Batasan ini secara tegaspada Pasal 67 ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap pejabat dilarang
melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban
APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia” . Dua pasal yang tercantum dalamundangundang ini menjelaskan bahwa ada asas yang harusdiperhatikan, selain ketersediaan dana yang ada di daerah. Namunkedua asas ini sama sekali tidak tercermin pada PP Nomor 37 Tahun2006.
Tolak ukur utama lain dalam penyusunan anggaran adalah berbasiskinerja. Ukuran ini sesungguhnya merupakan upaya memperbaiki
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
32
proses penganggaran di sektor publik dengan menerapkan anggaranberbasis prestasi kerja. Kehendak ini juga ditegaskan dalamPenjelasan Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentangKeuangan Negara yang menyatakan “Mengingat bahwa sistem
anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria
pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi
dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan
sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan
memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/ lembaga/perangkat daerah. Dengan
penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/
lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus
kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang
bersangkutan”. Basis kinerja ini mewajibkan adanya hasil yang
didapat atau hasil yang diperkirakan didapatkan.
PP Nomor 37 Tahun 2006 ternyata sama sekali tidak mendasarkandiri pada prinsipprinsip tersebut. Hal ini terbukti dari pasalpasaldalam PP tersebut yang melabrak ‘ramburambu’ dalam undang
undang dimaksud. Ramburambu yang dimaksudkan sebagaitonggak pengawasan terhadap pelaksanaan keuangan daerah samasekali tidak diindahkan. Bahkan PP yang seharusnya menjadi teknispelaksana dari suatu Undangundang di atasnya, ternyata masihmembuat pasalpasal yang sangat umum, ‘berjiwa’ Undangundang,sehingga membuka kesempatan untuk ditafsirkan secaraserampangan.
Membaca PP ini juga menunjukkan semangat desentralisasi yang‘setengahsetengah’. Selama ini, ada kesenjangan yang terjadi antara
beberapa aturan yang kemudian menjebak PP Nomor 37 Tahun 2006
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
33
masuk ke lubang keterjebakan yang sama. Akibat terburuknyaperaturan tersebut menjadi multi tafsir. Substansi PP Nomor 37Tahun 2006 misalnya, merumuskan adanya pembagian cluster
daerah berdasarkan kemampuan (pendapatan) daerah, namuncluster macam ini sangatlah tidak tepat. Bayangkan saja, tidaklahmungkin TKI dan DOP yang pada hakikatnya merupakan dana untukbertemu konstituen harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan
daerah. Formulasi ini seakan menggambarkan bahwa hanya daerahyang kaya dengan pendapatan banyak yang boleh sering bertemudengan konstituennya. Sedangkan daerah miskin denganpendapatan rendah, harus meminimalisasi pertemuan dengan parakonstituen. Belum lagi daerah yang punya medan luas dan belumterjangkau fasilitas transportasi secara baik, sangat membutuhkandana yang besar untuk mengunjungi konstituen di pelosokpelosokdaerah.
Multitafsir ini bukan saja berimbas pada ketidakpastian hukum,namun juga punya implikasi yang sangat luas pada ketidakpastianekonomi dan berujung pada ekonomi biaya tinggi. Uang yangkemudian mengalir ke kantong para pimpinan dan anggota DPRDtersebut ikut menggerogoti anggaran daerah sehingga punya akibat
yang kuat pada alokasi dana bagi kepentingan publik. Apa yang akanterjadi jika PP Nomor 37 Tahun 2006 benarbenar diberlakukan ditengah kehidupan sebagian besar rakyat yang masih dibelit problemakut pengangguran dan kemiskinan semacam ini? Implikasinyaadalah tersedotnya public expenditure ke belanja pegawai dananggota dewan.
Selain permasalahan struktural, permasalahan kultural yangtergambar pada PP ini adalah faktor perilaku ‘aji mumpung’ denganmemanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi. Moral hazard
aparat pembuat dan pelaksana peraturan sama sekali belum
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
34
berubah. Perilaku aparat pembuat peraturan masih sangat sentralistikdan paternalistik. Apalagi informasiinformasi yang ada menyajikanadanya ekses dari watak sentralistik dan paternalistik tersebut padapenyusunan PP ini yang mengarah pada budaya korup. Hal yangsama juga dilakukan oleh aparat pelaksana. Peraturan multitafsir inimendorong perilaku budaya korup maupun penyalahgunaankekuasaan. Contoh yang paling gamblang adalah ketika para
pimpinan dan anggota dewan memaksakan diri mengambil uangtunjangan dari PP Nomor 37 Tahun 2006 secara maksimal tanpamemperhatikan kondisi keuangan daerah masingmasing.
b. Isu FiskalKebijakan otonomi dan desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki
beberapa misi utama, yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitaspelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, (2) menciptakan efisiensidan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, (3)memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untukberpartisipasi dalam proses pembangunan, dan (4) mempercepatproses pembangunan di daerah. Dilihat dari empat misi ini, PP Nomor37 Tahun 2006 memiliki beberapa kelemahan, antara lain: Pertama,kesejahteraan rakyat bukan hanya tidak akan berubah dengankeluarnya PP ini, tetapi juga terancam berkurang dan kondisimasyarakat lapis bawah akan semakin parah. PP Nomor 37 Tahun2006 hanya melihat kesejahteraan wakil rakyat sebagai hal pentingyang harus dipenuhi dalam rangka menjaga keberlangsungan tugasdewan perwakilan di daerah.
Kedua, efisiensi dan efektivitas hampir pasti sulit diwujudkan, karenadi daerah akan banyak terjadi penyesuaian dalam anggaran untukmemenuhi tuntutan pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 2006. Sumberdaya ekonomi daerah yang seharusnya menjadi modal pembangunandan penjamin kesejahteraan rakyat, akan masuk ke dalam kantongkantong ‘pribadi’ wakil rakyat dan kantong ‘kekuasaan’ partai politik.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
35
Investasi dalam bentuk pelanggengan kekuasaan di daerah akanmenjadi poin utama, dan bukan investasi pembentukan modal untukmemperluas pekerjaan dan meningkatkan derajat hidup rakyat.
Ketiga, PP Nomor 37 Tahun 2006 sejak awal lahir tanpa keterlibatandan partisipasi rakyat, sehingga menimbulkan gelombang penolakanyang merata di hampir semua wilayah. Implementasinya pun sangatjauh dari memberikan kesempatan rakyat berpartisipasi di dalamnya,karena hanya akan berputar pada wakil rakyat dan, mungkin, padakonsituen yang ada di sekitarnya. Seandainyapun dana dariimplementasi PP Nomor 37 Tahun 2006 tersebut digunakan untukkepentingan rakyat, maka muatan yang pertama diusung pastilah‘investasi politik’ jangka panjang dan bukan upaya sadarmeningkatkan kesejahteraan rakyat.
Keempat, daerahdaerah yang PADnya rendah, akan semakin sulitmemacu pembangunan kesejahteraan daerah dan semakin tertinggaldibandingkan daerah lain yang PADnya tinggi. Pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan ketimpangan pembangunan antardaerah dan memperlambat pembangunan daerah.
Empat kelemahan di atas selain secara tegas menunjukkan tentang‘mahal’nya konsekuensi dari PP Nomor 37 Tahun 2006, juga
menunjukkan ‘sesat pikir’ dari konsep desentralisasi fiskal yang ideal.Dari sini tampak dengan jelas bahwa penolakan terhadap PP Nomor37 Tahun 2006 merupakan konsekuensi logis dari kesadaranmasyarakat dan kalangan akademik akan adanya distorsi kebijakanpublik di era otonomi. Kepentingan publik sebagai tujuan utamaotonomi daerah telah dikorbankan dengan alokasi anggaran yangberlebihan ke belanja rutin untuk aparatus pemerintahan daerah.
Selain kegagalan PP Nomor 37 Tahun 2006 mengakomodasi prinsipprinsip anggaran publik, PP ini juga tidak sejalan dengan anggaran
berbasis kinerja. Konsekuensi dari otonomi daerah dan desentralisasi
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
36
fiskal kemudian adalah tuntutan akan pengelolaan anggaran yangefektif dan efisien mulai dari tahap perencanaan, realisasi, danpertanggungjawaban. Dalam konteks inilah penyusunan APBDberbasis kinerja mulai diperkenalkan sebagai salah satu acuan agarpengelolaan anggaran dapat dilakukan secara komprehensif danberkesinambungan.
Dari perspektif anggaran berbasis kinerja, PP Nomor 37 Tahun 2006akan menghadapi banyak masalah. Pertama, mengacu pada arahdan kebijakan umum dalam kerangka anggaran berbasis kinerja,APBD haruslah disusun berdasarkan pada: (a) rencana strategisdaerah; (b) arahan, mandat, dan pembinaan pemerintahpusat/pemerintah atasan; (c) data historis, dan; (d) aspirasimasyarakat. Jika keempat pertimbangan ini digunakan, hampir dapatdipastikan bahwa kebijakan anggaran sebagai implementasi PPNomor 37 Tahun 2006 hanya mengacu pada poin (b) arahan,mandat, dan pembinaan pemerintah pusat/pemerintah atasan danmengabaikan poin lainnya. Rencana strategis daerah, yang tentunyaberagam di setiap daerah harus dikalahkan oleh PP tersebut.Demikian juga aspirasi masyarakat yang secara aklamasi menolaktegas PP tersebut karena pengalaman (berdasarkan data historis)
menunjukkan seberapa pun tambahan pendapatan anggota dewantidak akan ada peningkatan kinerja dan layanan kepada rakyat.
Kedua, PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak sensitif dengan masalahpokok yang harusnya menjadi prioritas anggaran pemerintah di
daerah. Masalah yang dihadapi setiap daerah memang tidaklahsemuanya sama, tetapi hampir di semua daerah menghadapipersoalan kemiskinan dan ketimpangan pembangunan sebagaiakumulasi gagalnya berbagai kebijakan pembangunan. Apalagi,beberapa daerah saat ini menghadapi kasus flu burung yang sangat
menyita perhatian dan energi. Beberapa daerah juga masih berjuang
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
37
mengembalikan kondisi paska bencana, seperti Yogyakarta danAceh. PP Nomor 37 Tahun 2006 akan sangat menyakiti perasaanrakyat di daerahdaerah tersebut. Ironis sekali jika sebagian rakyatyang hidup dalam ketidakpastian harus menyaksikan kenikmatantambahan para wakilnya.
Ketiga, dalam kerangka kebijakan anggaran berbasis kinerja, APBDdisusun dengan mempertimbangkan indikator kinerja dari sebuahprogram dan kegiatan yang akan dengan jelas menunjukkan targetcapaian yang diinginkan. Dilihat dari sisi ini, PP Nomor 37 Tahun2006 akan sulit diterima, mengingat masalah yang akan dihadapidalam penentuan target serta indikator apa yang akan dipakai untukmenjamin alokasi dana berlangsung dengan tepat. Intensitaskomunikasi antara anggota dewan dan konstituennya akan sangatsulit diukur, demikian pula masalah transparansi penggunaan danaoperasional yang bersifat sangat tertutup, karena masuk ke rekeningpribadi anggota dewan.
Dengan mempertimbangkan ketiga masalah pokok dalam anggaranberbasis kinerja di atas, tampak jelas bahwa orientasi penganggaranpada PP Nomor 37 Tahun 2006 begitu bias dan akan sangat mudahdibelokkan untuk kepentingan pribadi anggota dewan, dan bukanpada fokus utama anggaran untuk kepentingan rakyat banyak.
Akibat dari anggaran yang tidak untuk rakyat, maka akan berakibatpada ketimpangan pembangunan. Pembangunan memerlukan danayang cukup untuk mendorong daya pembangunan struktur maupuninfrastruktur. Pada ujungnya, kegagalan pembangunan strukturmaupun infrastruktur tersebut akan menggagalkan kemampuan fiskaldaerah, karena bagaimanapun pasar membutuhkan infrastrukturyang memadai untuk tumbuh dan berkembang.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
38
2. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006Selain berbagai masalah yang berhubungan langsung dengan PPNomor 37 Tahun 2006 seperti yang dipaparkan di atas, masih terdapat
permasalahan yang erat kaitannya dengan PP tersebut. Terlebih lagimengingat adanya peluang timbulnya kecemburuan akibat disparitasbesaran gaji maupun tunjangan. Ada dua dimensi yang akan bermasalahdi sini, yaitu dimensi vertikal ke atas dan ke bawah. Ke atas maksudnyaadalah, terjadi kecemburuan yang dikarenakan tingkatan penggajianyang berjenjang melalui model yang disesuaikan dengan susunan dankedudukan. Model ini telah mendorong para wakil rakyat yang berada didaerah mencemburui apa yang didapatkan oleh para wakil rakyat diatasnya.
Bukan hanya intra para anggota dewan perwakilan, tetapi juga akanmenimbulkan kecemburuan pada pejabatpejabat lain yang bukananggota dewan perwakilan. Akibatnya, akan terjadi tuntutan untukmenaikkan gaji secara massal dari segala segmen yang berujung padasemakin habisnya anggaran negara untuk membayarkan gaji paraaparat. Dengan logika sama yang disebutkan di atas, maka akansemakin mengurangi anggaran yang berimplikasi pada rakyat, sepertianggaran pendidikan dan berbagai anggaran lainnya.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
39
BAB IVANTIKORUPSI
A. PENGANTAR
Ditinjau dari semangat antikorupsi PP Nomor 37 tahun 2006 sangatlahproblematik. Bahkan PP tersebut dapat dikualifikasikan sebagai aturan yang
melegalkan praktik korupsi. Tentu saja, kebijakan pemerintah yang demikianmerupakan blunder di tengah upaya keras yang seharusnya dilakukan untukmemberantas korupsi. Apalagi, karena kebijakan ini dikeluarkan danditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka analisa berikut akanmenunjukkan bahwa presiden dapat didakwa melanggar pasalpasal pemakzulan
(impeachment articles), dan pada gilirannya dapat memakzulkan presiden.
Paparan akan dimulai dengan menguraikan masalah antikorupsi yang berkaitdengan PP Nomor 37 Tahun 2006 serta yang tidak berkait dengan PP tersebut.Pembahasan masalah yang tidak berkait langsung dengan PP Nomor 37 Tahun2006 dilakukan karena PP tersebut sebenarnya hanyalah masalah turunan darimasalah utama yang lebih kompleks, khususnya masalah pendanaan lembagaperwakilan rakyat.
B. MASALAH
1. Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006
Terdapat 7 (tujuh) masalah antikorupsi dikaitkan dengan PP Nomor 37Tahun 2006. Ketujuh masalah itu adalah:a. Memperkaya Orang Lain
PP Nomor 37 tahun 2006 nyatanyata telah dan akan menambahkekayaan anggota DPRD dengan membebankannya pada APBDtanpa didasari prinsip yang berbasis kinerja dan prinsip kehatihatian,
kepatutan serta rasa keadilan masyarakat. Sehingga, pelaksanaanperaturan tersebut akan menggangu perekonomian negara karena
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
40
APBD hanya digunakan untuk membiayai penghasilan pribadianggota DPRD. Sebagai contoh: Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatanyang mengalami defisit anggaran apabila melakukan pembayarantunjangan sesuai dengan PP tersebut (hasil investigasi KomitePemantau Legislatif Sulawesi, 2007). Padahal, Kabupaten Gowamerupakan satusatunya kabupaten yang dijadikan percontohanotonomi daerah di Sulawesi Selatan ketika awal pemberlakuan
otonomi daerah.
b. Multi InterpretasiPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 mengatur berbagaitunjangan yang saling tumpang tindih dan rumusannya dapat
menimbulkan multi tafsir. Sebagai contoh Pasal 14A ”Tunjangan
komunikasi intensif diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD
setiap bulan paling tinggi tiga kali uang representasi Ketua DPRD”.
Ketentuan ini mestinya berpedoman pada Pasal 14C, ”Penetapan
besarnya tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional
pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A dan Pasal
14B, mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan keuangan
daerah”. Penjelasan Pasal 14C ayat (1) yang dimaksud denganbeban tugas antara lain dikaitkan dengan jumlah penduduk, luaswilayah, jumlah kabupaten/kota di propinsi, jumlah kecamatan dandesa di kabupaten/kota dan tingkat kesulitan jangkauan pelayanan.Sedangkan kemampuan keuangan daerah antara lain dikaitkandengan ketersediaan keuangan daerah setelah seluruh pendapatandaerah dianggarkan untuk mendanai urusan wajib yang menjadikewenangan pemerintah daerah dan kewajibankewajiban lainnyayang mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan seperti pembayaran cicilan dan pokok utang pinjaman
daerah dan/atau pelunasan kewajiban pemerintah daerah kepadapihak ketiga.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
41
Namun pada kenyataannya, hampir semua DPRD yang telahmembayarkan rapel TKI dan DOP tidak mempertimbanganketentuan Pasal 14C ayat (1) karena mengambil batasanmaksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A.
c. Pemberlakuan SurutPada dasarnya pemberlakuan surut suatu peraturan perundangundangan bertentangan dengan prinsip lex previa sebagaimanatercakup dalam asas legalitas. Dalam konstitusi kita laranganpemberlakuan surut tersebut khusus hanya untuk penuntutan pidanadan hakhak dasar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I
Undang Undang Dasar 1945. Akan tetapi, mengingat sifat hukumpidana sebagaimana hukum publik yang sama dengan hukumadministrasi negara dan hukum tata negara, maka pemberlakuansurut suatu peraturan tidaklah dibenarkan. Terlebihlebihpemberlakuan surut tersebut hanya menguntungkan segelintirorang (baca: anggota DPRD) yang berpotensi merugikankeuangan dan perekonomian negara. Sebagai perbandingan,Pasal 16 Grond Wet di Negeri Belanda, pemberlakuan surut suatuundangundang dilarang secara tegas. Larangan ini berlaku hanyauntuk pembentuk undangundang di tingkat bawah. Pembentukundangundang dalam arti formil (parlemen) dapat menyimpangiketentuan tersebut.
d. Wujud Discretionary CorruptionDalam konteks studi kejahatan, korupsi tidak hanya dilihat sebagaiperbuatan pidana, dalam artian perbuatanperbuatan yang ditetapkanoleh undangundang sebagai suatu ketidakadilan (wetdelicten), tetapilebih pada perbuatanperbuatan yang sejak awal telah dirasakansebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan kaedahkaedah dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh undangundang
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
42
sebagai suatu kejahatan (rechtsdelicten). Masih dalam konteks studikejahatan, dengan menggunakan paradigma interaksionis danperspektif pluralis, tindakan merugikan keuangan negara yangdibungkus dengan ’baju’ hukum peraturan pemerintah adalah suatubentuk discretionary corruption.
Konsepsi victim participation sangat mudah dijelaskan di sini, karena
negara sebagai korban dari perbuatan korupsi secara tidak langsungmemberi peluang bagi orang untuk melakukan korupsi.
Dalam konteks undangundang pemberantasan tindak pidanakorupsi, pembentukan PP tersebut telah terjadi perbuatan melawan
hukum, yaitu dengan ketentuan Pasal 14D tentang pembayaran TKIdan DOP, yang diberlakukan surut terhitung 1 Januari 2006. Hal inimelanggar asas nonretroaktif. Padahal kegiatan mengunjungikonstituen telah dibayarkan dalam APBD yang disebut ”belanjapenunjang kegiatan” (Pasal 24 PP Nomor 24 Tahun 2004 jo. PPNomor 37 Tahun 2005). Artinya, telah terjadi pembayaran gandauntuk satu kegiatan.
Selain itu pembayaran rapelan bertentangan dengan Pasal 67 ayat(2) UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang PerimbanganKeuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah jo. Pasal 3 ayat (3)UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang PerbendaharaanNegara yang pada intinya mengatur bahwa setiap pejabat dilarang
melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas bebanAPBN/APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebuttidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
Di samping itu, pemberlakuan surut peraturan tersebut bertentangan
dengan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budgeting)sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
43
Tentang Keuangan Negara. Misalnya, Pasal 19 ayat (1) menyebutkan”Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja PerangkatDaerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dananggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya”.Sedangkan ayat (2) termaktub ”Rencana Kerja Satuan KerjaPerangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasikerja yang akan dicapai”.
Berdasarkan aturanaturan tersebut nyatalah bahwa anggaran harusdirencanakan dan dilaksanakan dengan proyeksi waktu ke depan,bukan mundur ke belakang. Sehingga pembayaran rapelan TKI danDOP bertentangan dengan aturan undangundang di atas.
e. Terhadap Pembayaran Rapelan DPRD yang Telah DilakukanAnggota DPRD yang telah menerima rapelan tunjangan tersebutkemudian mengembalikannya tidak menghapus tuntutan pidanasebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 Undangundang Nomor31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Pengembalian tersebut hanya dapatdipertimbangkan oleh hakim untuk meringankan hukuman.
f. Menyusun Perda APBD adalah Perintah UndangundangWalaupun pada dasarnya perintah undangundang merupakanalasan penghapus pidana, dalam konteks proses kelahiran PP
Nomor 37 Tahun 2006 diduga keras telah terjadi samenspaning(permufakatan jahat) seperti diberitakan dalam Situs ADKASI berjudul”Kunjungan Anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah,Kalimantan Selatan” tertanggal 2 Agustus 2006. Pada intinya situstersebut memberitakan bahwa ADKASI, ADEKSI dan BKPDSImemperjuangkan TKI dan DOP, serta mendesak pemberlakuan surutpembayaran tunjangan tersebut sejak tahun anggaran 2006.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
44
Fakta ini memberikan indikasi yang kuat ADKASI, ADEKSI, BKPDSI,dan pembentuk PP Nomor 37 Tahun 2006 telah melakukanpermufakatan jahat untuk membuat aturan yang akan memperkayadiri sendiri maupun orang lain dari dana masyarakat. Dalam kontekskriminologi, tindakan mereka dapat dikualifikasikan sebagai political
bribery.
Secara substansi, penganggaran dan pembayaran rapelan TKI danDOP berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2006, perintah undangundang tidaklah dapat dijadikan alasan pembenar atau alasanpemaaf untuk tidak dijerat hukum.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut :1) DPRD yang telah menetapkan pembayaran rapel TKI dan DOP
tidak mempertimbangkan “kemampuan keuangan daerah”dengan menerapkan pembayaran maksimal (Pasal 14C jo. Pasal14B PP Nomor 37 Tahun 2006). Padahal pembayaran maksimaldemikian memberatkan atau melebihi besarnya PAD yangmembuat keuangan daerah defisit.
Penetapan pembayaran rapelan TKI dan DOP bagi pimpinandan anggota DPRD yang tidak memperhatikan kemampuankeuangan daerah, tentu saja dapat merugikan kuangan negara(daerah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undangundang PTPK. Kata ’dapat’ dalam frase “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” merupakan delikformil (formale delict) yang tidak perlu dibuktikan akibatnya olehpenuntut umum atas perbuatan melawan hukum. Sudah cukupbila perbuatan yang dilarang terpenuhi, yaitu terjadi perbuatanmelawan hukum dengan cara menyimpang dari prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yangberimplikasi “dapat” merugikan keuangan atau perekonomian
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
45
negara. Peraturan perundangundangan dimaksud, bukan hanyayang ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undangundang Nomor10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, tetapi juga regulasi (peraturan) lain seperti yangdibuat oleh menteri atau gubernur sepanjang diperintahkan olehketentuan di atasnya atau tidak bertentangan dengan hirarkisperaturan perundangan (Pasal 7 Ayat (4) Undangundang Nomor
10 Tahun 2004).
2) Bagi DPRD yang telah menetapkan Perda pembayaran rapel TKIdan DOP tetapi dalam penyiapan dan pembahasannya tidakmengacu pada Pasal 139 Ayat (1) Undangundang Nomor 32Tahun 2004, bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukansecara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan ataupembahasan rancangan Perda”, maka telah terjadi perbuatanmelawan hukum.
Perda pembayaran tunjangan yang dibuat terburuburu dalam
waktu yang singkat sudah pasti tidak menghargai hak rakyatuntuk memberikan masukan, berarti telah terjadi “perbuatanmelawan hukum”. Implikasinya juga “dapat merugikan keuangannegara” jika besar uang TKI dan DOP memberatkan ataumendefisitkan PAD.
Masih berkait dengan partisipasi masyarakat, penyiapan danpembahasan perda pembayaran rapelan TKI dan DOP, anggotaDPRD tidak mengacu pada Pasal 53 Undangundang Nomor10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan undangundang dan rancangan
peraturan daerah”, juga telah melakukan perbuatan melawanhukum.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
46
3) Pembayaran rapelan TKI dan DOP yang diambil dari ’dana taktersangka’ sebagaimana yang dilakukan oleh daerah, tidaklahdapat dibenarkan karena peruntukan dana tersebut hanya untukmengatasi keadaan darurat, seperti bencana alam atau terjadihuruhara. Pembayaran rapelan tunjangan tidaklah dapatdianalogikan sebagai keadaan darurat.
Kendatipun berdasarkan Surat Edaran Dirjen Bina AdministrasiKeuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri Nomor:188.31/1121/BAKD tentang Penyampaian Salinan PP Nomor 37Tahun 2006 tanggal 20 November 2006 disebutkan bahwarapelan TKI dan DOP dapat dibayarkan sepanjang tersediaanggarannya dalam Kas Umum Daerah. Akan tetapi, alokasidalam Kas Umum Daerah tidak dapat diinterpretasikan termasuk”dana tak tersangka”.
Dengan demikian, sifat melawan hukum dari tindakanmengeluarkan PP tersebut maupun yang akan atau telah disusuldengan pembentukan Peraturan Daerah, baik pada tingkatpropinsi maupun kabupaten/kota telah secara nyata memenuhirumusan delik korupsi.
4) Impeachment PresidenKebijakan presiden mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 2006dapat membuatnya terjerat impeachment articles dan karenanyatermakzulkan. Pasal 7A Undang Undang Dasar 1945 yangmengatur impeachment articles menyatakan apabila presiden”terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.”
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
47
Dari pasalpasal penyebab pemakzulan tersebut, Presiden SusiloBambang Yudhoyono dapat terjerat unsur impeachment
berdasarkan korupsi dan penghianatan terhadap negara.Tindakan presiden mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 2006dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Adapunalasannya adalah sebagai berikut, presiden:
(a) melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggarbeberapa ketentuan undangundang sebagaimana dijelaskansebelumnya;
(b) memperkaya orang lain (anggota DPRD) terlebihlebih
dengan memberlakukan surut pembayaran TIK dan DOP,yang berarti melanggar asas nonretroaktif karena tidakmemperhatikan prinsip kehatihatian dan kepentingan yangmendesak;
(c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Halini dibuktikan dengan adanya defisit anggaran di beberapapropinsi/kabupaten/kota karena pembayaran rapelan TKI danDOP.
Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, presiden nyatanyatatelah melakukan perbuatan yang diindikasikan sebagai perbuatankorupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1)Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang PemberantasnTindak Pidana Korupsi.
Di samping itu, PP Nomor 37 Tahun 2006 dikualifikasikan sebagaipengkhianatan terhadap negara, karena sebagaimana telah
dijelaskan di atas, substansi PP tersebut melanggar beberapaaturan undangundang. Padahal berdasarkan Pasal 9 Undang
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
48
Undang Dasar 1945 presiden bersumpah akan ”memegang teguh
UndangUndang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan seluruslurusnya”. Olehkarena itu, presiden dapat dinyatakan melanggar sumpah jabatanberdasarkan UndangUndang Dasar 1945, karena tidakmelaksanakan undangundang dengan seluruslurusnya.Padahal, pelanggaran sumpah jabatan berdasarkan konstitusimenyebabkan presiden telah melanggar UndangUndang Dasar1945, dan karenanya dapat dikualifikasikan melakukanpengkhianatan terhadap negara. Sebab, menurut PenjelasanPasal 6C Undangundang Nomor 23 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pengkhianatanterhadap negara diartikan— salah satunya— sebagai ”tidak pernahmelanggar UndangUndang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945”.
2. Di Luar PP Nomor 37 Tahun 2006Dengan analisa mendalam, terdapat 3 (tiga) masalah antikorupsi yang tidakberkait langsung dengan PP Nomor 37 Tahun 2006. Ketiga masalah itu adalah:a. Political Bribery
Dalam konteks kriminologi, salah satu tipe korupsi adalah political bribery,
yaitu kecurangan yang dapat dilakukan baik oleh eksekutif, legislatif, maupunyudikatif. Political bribery di ranah eksekutif biasanya dalam bentuk suatukebijakan atau pembuatan suatu aturan. Demikian pula halnya di bidang
legislatif sebagai badan pembentuk undangundang. Secara politis, badantersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkanpada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaantertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapatmembuat aturan yang menguntungkan mereka. Sedangkan, dalam bidangyudikatif biasanya berkaitan dengan penanganan suatu perkara. Dalamkonteks yang demikian, hukum tidak lagi sebagai rekayasa sosial (law as a
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
49
tool of social engineering) tetapi hukum telah digunakan sebagai alat untukmelakukan korupsi (law as a tool of corruption engineering).
b. Ketiadaan koordinasi dan sinkronisasi undangundang di Indonesiamemicu sifat kriminogenTidak adanya koordinasi dan sinkronisasi pembentukan undangundang diIndonesia mengakibatkan tumpang tindih antara undangundang yang satu
dengan undangundang yang lain. Dalam konteks hukum pidana, sering kaliterjadi suatu perbuatan dapat dijerat oleh beberapa ketentuan pidana dalamberbagai undangundang dengan ancaman pidana yang berbeda. Hal inibersifat kriminogen. Artinya, memberi peluang kepada aparat penegakhukum untuk melakukan tawarmenawar dalam rangka menjerat tersangka.
c. Tindakan administrasi yang selalu dijadikan tameng untuk dapatdipidanaDalam berbagai penanganan kasus korupsi di Indonesia, tindakanadministrasi atau suatu kebijakan selalu dijadikan perisai bahwa terdakwatidak dapat dipidana. Dengan kata lain, wilayah hukum administrasinegara tidak dapat disentuh oleh hukum pidana. Pendapat yang demikiantelah memperlihatkan kekeliruan yang nyata, bahwa tidak ada satupunwilayah hukum yang steril atau tidak dapat dijangkau oleh hukum pidana.Karakter hukum pidana sebagai hukum publik, demikian pula hukum tatanegara dan hukum administrasi negara dapat memasuki semua ranah hukumjika perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik. Dengan demikian,tindakan aparatur negara berupa kebijakan juga dapat dijerat oleh hukumpidana bilamana telah memenuhi unsur delik dari setiap perbuatan.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
50
BAB VPENUTUP
A. KesimpulanPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 merupakan produk peraturanperundangundangan yang mengacuhkan prinsipprinsip penting dalam nilainilai filosofis, sosiologis, yuridis dan politis. Jelas terlihat bahwa mindset PPini dipengaruhi oleh karakter hukum yang sangat “ortodoks”, yang
mempunyai ciri utama: (1) Pembentukannya sangat sentralistik dan oligarkis,(2) Isinya bersifat pembenaran sepihak atas kehendak elit, sehingga hukumhanya dijadikan instrumen untuk membenarkan kehendakkehendak yangbertentangan dengan prinsipprinsip di atas. Dalam konteks ini, hukum yangseharusnya sebagai law as a tool of social engineering telah bermetamorfosamenjadi law as a tool of corruption engineering. PP ini merefleksikan kondisicarut marut penataan sistem perundangundangan di Indonesia.
PP 37 Tahun 2006 ini juga tidak secara jelas dimaksudkan untukmeningkatkan efektivitas penyelenggaraan fungsi DPRD, karena tidak adamekanisme untuk menjamin penggunaan anggaran untuk mendukung biayaoperasional dan peningkatan kapasitas DPRD. Bahkan, PP ini justrumeningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPRD, dan
menimbulkan ketegangan antara masyarakat dengan DPRD. Lebih dari itu,proses perumusan PP ini juga mencerminkan lemahnya koordinasi dansinergi antar unitunit pemerintahan di tingkat pusat, serta mencederaikomitmen demokratisasi dengan tidak adanya partisipasi masyarakat dalamproses perumusan PP tersebut.
PP Nomor 37 Tahun 2006 dinilai sangat bertentangan dengan semangatdesentralisasi dan prinsip penyusunan anggaran. Secara lebih spesifik, PPini melanggar rasa keadilan dan kepatutan, pemborosan terhadap anggaranpublik, bahkan bisa dianggap tidak berpihak kepada rakyat miskin. PP telah
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
51
mengakibatkan adanya tumpang tindih aturan secara vertikal dan horisontal,perilaku pembuat aturan dan pelaksana masih sentralistik dan paternalistik,menyebabkan biaya ekonomi yang tinggi. PP ini tidak secara jelasmemformulasikan TKI dan DO, baik ditinjau dari kemampuan dan kebutuhankeuangan daerah, serta kebutuhan riil DPRD yang berakibat munculnyakesenjangan kesejahteraan dan kecemburuan antar eksekutif dan legislatifdaerah.
Ditinjau dari semangat antikorupsi, PP Nomor 37 tahun 2006 dapatdikualifikasikan sebagai aturan yang melegalkan praktik korupsi. PP inimelanggar Undangundang dan berpotensi memperkaya orang lain, sertamengalihkan dana publik untuk kepentingan pribadi anggota DPRD. Hal initercemin dari ketentuan yang multiftafsir, serta pemberlakukan surut dalampengalokasian TKI dan DO. Dengan berbagai macam permasalahan yangmelekat dalam PP ini, presiden dapat didakwa melanggar pasalpasalpemakzulan (impeachment articles) dan pada gilirannya dapat memakzulkan
presiden.
B. Rekomendasi
1. Rekomendasi Terkait PP Nomor 37 Tahun 2006a. Segera melakukan executive review: Presiden mencabut PP Nomor
37 Tahun 2006. Bagi daerah yang telah menerima TKI dan DOPharus segera mengembalikan dana tersebut kepada negara.
b. Untuk menjamin kepastian hukum segera dilakukan judicial review.
c. Segera membentuk Undangundang tentang Kedudukan Protokolerdan Keuangan Lembaga Perwakilan Rakyat yang dirumuskan secarapartisipatif.
d. Setiap peraturan yang berkaitan pendanaan untuk kegiatan kekonstituen harus ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
penggunaannya secara transparan dan melaporkan penggunaannyakepada KPK.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
52
e. KPK harus segera melakukan verifikasi terhadap seluruh laporanpenggunaan keuangan yang telah disampaikan oleh anggotaDPR/DPD/DPRD.
f. Kejaksaan Agung segera melakukan penyelidikan kepada DPRDyang telah menerima dana TKI dan DOP.
g. Pembentukan peraturan perundangundangan harus dilakukansecara integral dan sinergis dengan departemen terkait dan
disinkronkan dengan Depkumham sesuai dengan ketentuanperaturan perundangundangan yang berlaku.
h. Melarang menteri menerbitkan berbagai surat edaran yang bersifatregeling tanpa ada delegasi dari peraturan perundangan yang lebihtinggi.
2. Rekomendasi Proses dan Substansi Pengaturan Sistem Penggajian
a. Perlu dibuat aturan agar penggajian para pejabat negara tidak naikpada saat yang bersangkutan sedang memegang tampukjabatannya. Aturan tersebut penting untuk menghindaripenyalahgunaan kewenangan dan benturan kepentingan, sertasebaiknya dimuat dalam perubahan UUD 1945.
b. Perlu dibuat Undangundang Tentang Kedudukan Protorkoler danKeuangan Lembaga Perwakilan Rakyat dan peraturanpelaksanaannya disusun dengan mempertimbangkan prinsipprinsiphukum: Tidak berlaku surut. Pemberlakuan surut suatu peraturanperundangundangan dibolehkan jika dan hanya jika bertentangandengan suatu kepentingan masyarakat secara kolektif atau terjadipelanggaran hak asasi manusia yang masif. Lex certa: jelas dantegas. Setiap aturan yang mengekang hak asasi manusi haruslahjelas dan tegas, Demikian pula dengan aturan yang memberikeuntungan kepada orang lain haruslah dicantumkan secara tegas
dan jelas pula. Lex scripta: tidak mengadakan sesuatu yang baruselain yang tertulis. Berkaitan dengan lex certa, yaitu lex stricta
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
53
bahwa aturan yang memberi keuntungan kepada orang lain tidakdibenarkan untuk mengadakan yang baru selain dari yang tertulisdalam aturan tersebut. Lex stricta: tidak dapat diinterpretasi yang laindari apa yang tertulis. Konsekuensi logis dari lex certa dan lex scripta
adalah lex stricta bahwa setiap aturan harus ditafsirkan secara ketat.Artinya, interpretasi gramatikal memegang peran yang utamasebagaimana yang tertulis dalam aturan tersebut.
c. Perlu sinkronisasi dalam penyusunan peraturan keuangan negaradan daerah, secara vertikal maupun horisontal, serta perluketerlibatan stakeholders dalam perumusan Undangundang danperaturan pelaksanaannya.
d. Perlu disusun formula penggajian dan pemberian tunjangan bagi paraanggora dewan perwakilan rakyat yang mempertemukan unsurunsurkebutuhan daerah (based on needs), kapasitas keuangan (capacity),kebutuhan dasar anggota dewan dalam menjalankan tugas pokokdan fungsinya, dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas dalam
penggunaannya.
3. Rekomendasi Transisi Pengaturan Kedudukan Protokoler danKeuangan Lembaga Perwakilan Rakyat
Menyadari perumusan Undangundang yang membutuhkan waktu danperlunya pengaturan tentang Kedudukan Protokoler dan KeuanganDPRD, maka Presiden harus segera membuat PP baru denganmempertimbangkan prinsipprinsip sebagaimana telah dikemukakan diatas.
Sebagai masa transisi penantian PP yang baru, maka PP yang lama (PPNo. 37 Tahun 2005) harus diberlakukan secara sementara denganbeberapa catatan, yakni diperketatnya pengawasan terhadap jenisjenistunjangan secara limitatif. Artinya, harus ada pengawasan ketat agar para
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
54
anggota dewan tidak lagi mengambil ataupun mengkreasikan lebih dariapa yang diamanatkan dalam PP No. 37 Tahun 2005.
Karena ini sebagai langkah transisional, maka PP baru sebagai
pengganti harus segera dibuat secepat mungkin, paling lama 3 bulan dariawal tahun 2007 sehingga dapat segera diintegrasikan ke dalam RAPBDPerubahan Tahun 2007.
4. Rekomendasi Penyeimbangan Fiskal
a. Sembari memperbaiki formulasi pemberian tunjangan dan gajikepada para anggota dewan tersebut, maka harus juga adapenyesuaian antara anggaran belanja yang diberikan sebagai gajiatau tunjangan kepada para anggota dewan dengan mata anggaranyang khususnya berhubungan secara langsung ke rakyat. Anggarananggaran pendidikan, kesehatan maupun anggaran cadangan untukbencana sama sekali tidak boleh berkurang akibat dari pembayarangaji kepada para anggota dewan tersebut.
b. Harus segera dibuat standar kinerja dewan (misalnya programlegislasi daerah atau prolegda) untuk menentukan berapa besarangaji dan tunjangan yang pantas diterima oleh pimpinan dan anggotadewan.
c. Sebagai konsekuensi butir 1 dan 2, sangat perlu untuk segeradisusun Analisis Standar Belanja (ASB) dewan, yakni analisiskebutuhan dan belanja setiap unit kegiatan dewan yang wajar.
5. Rekomendasi Umum
Perumusan seluruh peraturan pelaksanaan Undangundang harusmenjamin sinergi antar sektor dan partisipasi publik. Untuk memastikanproses ini, Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2005 tentang Tata CaraPembentukan Undangundang, Perpu, PP, dan Perpres harus
dilaksanakan dengan sebaikbaiknya.
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
55
PenutupDemikianlah kajian ilmiah ini disampaikan untuk menjadi masukan bagi semuapihak, khususnya bagi pemerintah yang akan mengambil kebijakan berkaitdengan eksistensi PP Nomor 37 Tahun 2006. Semoga, masukan ini bisamenambah pertimbangan untuk secara khusus mencabut PP tersebut, dansecara umum segera memperbaiki sistem pendanaan lembaga perwakilan rakyat
baik di tingkat pusat maupun daerah. (*)
Click t
o buy NOW!
PDFXCHANGE
www.docutrack.com Clic
k to buy N
OW!PDFXCHANGE
www.docutrack.com
top related