pbl 20 - sindrom nefrotik-harry
Post on 09-Jul-2016
257 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Sindrom Nefrotik
Heryawan Chandra
102011128
Blok 20
Sistem Urogenital 2
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2010
DAFTAR ISI
Anamnesis 3
Pemeriksaan 4
Diagnosis banding 9
Diagnosis kerja 11
Etiologi 13
Epidemiologi dan faktor resiko 13
Patofisiologi 14
Penatalaksanaan 17
Preventif 18
Komplikasi 18
Prognosis 20
2
Sindrom nefrotik merupakan kelainan ginjal yang menyebabkan tubuh
mengeluarkan begitu banyak protein di urine. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh
kerusakan kompleks pembuluh-pembuluh darah kecil di ginjal yang menyaring sisa
metabolisme dan kelebihan air dari darah. Pada waktu sehat, pembuluh-pembuluh ini
menjaga protein darah merembes ke urine dan keluar dari tubuh. Ketika rusak, mereka
tidak dapat berfungsi dengan efektif, dan protein dapat bocor keluar dari darah dan hal ini
menyebabkan terjadinya pembengakakan di seluruh tubuh (edema).1 Makalah ini akan
mengulas sekilas mengenai sindrom nefrotik terutama yang idiopatik, mulai dari hal-hal
yang ditemukan pada pemeriksaan hingga bagaimana penanganan sindrom nefrotik yang
digunakan saat ini.
Anamnesis
Edema merupakan gejala yang muncul pada 95% anak dengan sindrom nefrotik.
Edema pada fase awal dapat hilang timbul dan tersembunyi, dan kemunculannya bisa jadi
tidak diperhatikan. Kejadian yang umum terjadi ialah anak datang berulang kali kepada
dokter karena periorbital edema yang dianggap berasal dari reaksi alergi sampai akhirnya
edema berlanjut. Edema biasanya muncul pertama kali pada daerah yang tahanan
jaringannya rendah seperti periorbital, scrotum, dan labial, dan dapat berkembang dengan
cepat atau lambat. Pada akhirnya, edema menjadi merata dan massif (anasarka). Edemanya
bersifat pitting dan biasanya bergantung pada alam, lebih terlihat di wajah pada pagi hari
dan kemudian di ekstremitas bawah pada sisa hari tersebut.
Riwayat infeksi saluran napas atas yang segera mendahului onset sindrom nefrotik
sering ditemukan, tetapi kaitan sebab-akibatnya belum diketahui. Infeksi saluran napas
atas, otitis media, dan infeksi lainnya juga sering berhubungan dengan kambuhnya sindrom
nefrotik idiopatik. Riwayat alergi muncul pada sekitar 30% penderita. Kejadian
hipersensitivitas, seperti reaksi terhadap sengatan lebah atau racun tumbuhan menjalar,
telah dilaporkan mendahului onset INS.
Anak dengan sindrom nefrotik kadang-kadang juga mengalami gross hematuria.
Frekuensi makrohematuri bergantung pada subtype histologis dari sindrom nefrotik. Hal
ini lebih umum terjadi pada pasien dengan kelainan membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN) dibandingkan dengan penyebab lainnya, namun frekuensi
3
hematuri pada minimal change nephrotic syndrome (MCNS) juga dilaporkan sebanyak 3-
4% per kasus. Secara statistik, mikrohematuri terjadi lebih banyak pada pasien dengan
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) daripada pasien dengan MCNS, tapi hal ini
tidak membantu dalam membedakan jenis –jenis sindrom nefrotik pada setiap pasien.
Mengingat resiko thrombosis pada sindrom nefrotik, thrombosis vena renalis perlu
diwaspadai pada pasien dengan hematuri yang signifikan.
Anoreksia, irritabilitas, fatigue, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan diare umum
ditemukan. Gangguan pencernaan bisa muncul akibat asites, edema pada dinding usus,
atau keduanya. Gangguan pernapasan dapat terjadi, baik karena asites massif yang
menekan rongga dada atau edema pulmoner, efusi, atau keduanya.
Selain pada kasus sindrom nefrotik familial yang jarang terjadi, tidak ada riwayat
keluarga sehubungan dengan penyakit ginjal yang signifikan yang bisa dipertimbangkan.
Sebelum onset, anak biasanya dalam keadaan sehat dan, selain riwayat alergi atau atopy
seperti yang dikemukakan di atas, biasanya tidak ada riwayat kesehatan sebelumnya yang
signifikan berhubungan dengan nefrotik sindrom.2
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Paling umum ditemukan pada pemeriksaan fisik ialah edema, bersifat
pitting dan sering ditemukan pada ekstremitas bawah, wajah dan periorbita,
scrotum dan labia, serta abdomen (asites). Pada anak dengan asites bermakna,
tahanan mekanis terhadap pernapasan bisa jadi timbul, dan si anak dapat
menunjukkan takipnea kompensasi. Edema pulmoner dan efusi juga dapat
menyebabkan gangguan pernapasan.
Hipertensi lebih umum ditemukan pada anak dengan FSGS dan MPGN
daripada MCNS. Dapat juga ditemukan tanda-tanda komplikasi sindrom nefrotik.
Nyeri abdomen bisa jadi menandakan terjadinya peritonitis. Hipotensi dan tanda-
randa shock dapat muncul pada anak dengan sepsis. Thrombosis bisa menimbulkan
berbagai gejala seperti takipnea dan distress napas (emboli/thrombosis paru),
hematuria (thrombosis vena renalis), dan kejang (thrombosis serebral).
4
Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan laboratorium
Untuk meyakinkan diagnosa sindrom nefrotik, uji laboratorium perlu
memperlihatkan adanya proteinuria nefrotik, hipoalbuminemia, dan
hiperlipidemia. Untuk itu, uji laboratorium perlu mencakup pemeriksaan
seperti:
Urinalisis
Hematuri mikroskopik muncul pada 20% kasus dan tidak
dapat digunakan untuk membedakan MCNS dan bentuk lain dari
penyakit glomerular. Jika terdapat silinder eritrosit bisa jadi
menunjukkan tanda glomerulonefritis akut, seperti nefritis post-
infeksi, atau tanda nefritik dari glomerulonefritis kronik, seperti
membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN). Gross hematuri
tidak lazim pada MCNS dan menandakan penyebab lain, seperti
MPGN, atau komplikasi dari INS, seperti thrombosis vena renalis.
Rasio protein/creatinin atau jumlah protein pada urin 24 jam
Proteinuria nefrotik pada dewasa dicirikan oleh eksresi
protein sebanyak 3,5 g/hari. Proteinuria nefrotik pada anak-anak
ialah ekskresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Namun, karena
besarnya jangkauan ukuran tubuh pada anak-anak, definisi pediatrik
dari proteinuria nefrotik tidak praktis dipakai. Karena pengumpulan
urine 24 jam bisa jadi tidak akurat dan menyulitkan, terutama pada
anak kecil, banyak nefrolog pediatrik mengandalkan pada sampel
tunggal urine pagi yang pertama untuk menghitung jumlah eksresi
protein dengan menggunakan rasio protein terhadap kreatinin.
Pengukuran cara ini disebut rasio albumin terhadap kreatinin urine
(urine albumin-to-creatinin ratio – UACR). Jumlah albumin di urine
dibandingkan dengan jumlah kreatinin, yang merupakan hasil sisa
dari metabolisme normal otot. Sampel urine yang mengandung lebih
dari 3 g albumin untuk 1 g kreatinin merupakan suatu peringatan
akan adanya masalah. Jika uji laboratorium melebihi 30 mg/g, uji 5
UACR harus dilakukan kembali 1-2 minggu kemudian. Jika hasil uji
yang kedua juga menunjukkan kadar protein yang tinggi, pasien
tersebut mengalami proteinuria menetap, suatu tanda penurunan
fungsi ginjal, dan sebaiknya menjalani pemeriksaan tambahan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal.
Penggunaan urine pagi yang pertama menyingkirkan
kemungkinan proteinuria ortostatik yang non-patologik, yang
mungkin meningkat pada sampel urine yang dikumpulkan ketika
pasien sedang aktif sepanjang hari. Rasio protein terhadap kreatinin
di urin yang lebih dari 2-3 mg albumin/mg kreatinin
mengindikasikan proteinuria nefrotik dan sesuai dengan hasil dari
pengumpulan urine 24 jam. Kadar protein urine 40 mg/m2/jam pada
urine 24 jam juga menandakan proteinuria nefrotik.
Albumin serum
Kadar albumin serum pada sindrom nefrotik umumnya
kurang dari 2,5 g/dL.
Panel lipid
Terjadi peningkatan kolesterol total, kolesterol LDL,
peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat, dan
kolesterol HDL yang normal atau rendah.
Setelah adanya sindrom nefrotik telah dipastikan, tugas berikutnya ialah
untuk menentukan apakah sindrom nefrotik yang timbul adalah sindrom
nefrotik primer (idiopatik) atau sindrom nefrotik sekunder karena adanya
kelainan sistemik dan, jika telah ditentukan bahwa jenisnya ialah sindrom
nefrotik idiopatik (INS), apakah tanda-tanda penyakit ginjal kronik,
insuffisiensi ginjal, atau tanda-tanda lainnya menyingkirkan kemungkinan
sindrom nefrotik kelainan minimal (MCNS). Untuk itu, sebagai tambahan
pemeriksaan di atas, hal-hal lain berikut ini bisa disertakan dalam
pemeriksaan lab:
Kadar elektrolit, BUN, kreatinin, kalsium, fosfor, dan calcium
terionisasi dalam serum.6
Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens
kreatinin rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal
akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali
normal bila volume intravaskuler membaik.
Pasien dengan INS, bahkan MCNS, dapat muncul bersama
gagal ginjal akut akibat deplesi cairan intravascular dan/atau
thrombosis vena renalis.
Dengan tidak adanya hal-hal di atas, BUN dan kadar
kreatinin yang meningkat dan tanda-tanda gagal ginjal
kronik (seperti pertumbuhan yang buruk, anemia, asidosis,
hiperkalemia, hipofosfatemia, peningkatan hormon
paratiroid) menunjukkan penyakit glomerular kronik lainnya
selain MCNS, seperti focal segmental glomerulosclerosis
(FSGS), membranous nephropathy (MN), MPGN, atau Ig-A
nephropathy.
Kadar Na serum rendah akibat hiperlipidemia
(pseudohiponatremia), serta dilusi karena retensi air.
Kadar kalsium total rendah karena hipoalbuminemia (terjadi
penurunan fraksi terikat-albumin), tetapi kadar kalsium
terionisasi normal.
Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat
mengindikasikan hemokonsentrasi dan deplesi volume
intravascular.
Hitung trombosit sering kali meningkat.
Uji HIV, hepatitis B dan C
7
Untuk menyingkirkan penyebab nefrotik sindrom sekunder
yang penting ini, uji screening untuk virus-virus tersebut
sebaiknya dilakukan pada semua pasien sindrom nefrotik.
Pertimbangkan pemeriksaan enzim hati seperti alanin
aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase
(AST).
C3, C4: kadar komplemen rendah ditemukan pada nefritis post-
infeksi, MPGN, dan nefritis karena SLE.
Pasien dengan INS kehilangan protein pengikat vitamin D, yang dapat
berakibat pada kadar vitamin D yang rendah, dan thyroid binding globulin,
yang berakibat kadar hormon tiroid yang rendah. Hal ini perlu
dipertimbangkan, terutama pada anak yang sering kambuh atau yang
resisten steroid, diperiksakan kadar 25-OH-vit D; 1,25-di(OH)-vit D; T4
bebas; dan thyroid stimulating hormone (TSH).2,3,4
o Pemeriksaan radiologis
USG ginjal mungkin membantu membedakan MCNS dan penyakit
ginjal kronik lainnya, tetapi hasilnya sering kali tidak spesifik. Pada setiap
kasus sindrom nefrotik, ginjal biasanya membesar karena edema jaringan.
Peningkatan echogenisitas biasanya mengindikasikan penyakit ginjal kronik
selain MCNS, di mana echogenisitasnya biasanya normal. Ditemukannya
ginjal yang kecil mengindikasikan penyakit ginjal kronik selain MCNS dan
biasanya disertai dengan peningkatan kadar kreatinin serum.
Foto thorax diindikasikan pada anak dengan gejala gangguan
pernapasan. Efusi pleura umum ditemukan, meskipun edema pulmonal
jarang. Foto thorax juga perlu dipertimbangkan sebelum terapi steroid untuk
menyingkirkan infeksi TB, khususnya pada anak dengan hasil mantoux
positif atau pernah positif atau sebelumnya pernah diobati TB.
o Biopsi
8
Biopsy ginjal tidak diindikasikan pada tanda-tanda awal dari
sindrom nefrotik primer pada anak berusia antara 1-8 tahun, kecuali
riwayat, hasil pemeriksaan fisik, atau hasil lab yang mengindikasikan
kemungkinan sindrom nefrotik sekunder atau sindrome nefrotik primer
selain MCNS. Biopsy ginjal diindikasikan pada pasien yang lebih muda dari
usia 1 tahun, ketika bentuk genetis dari sindrom nefrotik kongenital lebih
umum, dan pasien yang lebih dari usia 8 tahun, di mana penyakit
glomerular kronik seperti FSGS memiliki angka insidens yang lebih tinggi.
Biopsy ginjal diindikasikan jika pasien menunjukkan gejala penyakit
sistemik (demam, rash, nyeri sendi) dan hasil pemeriksaan lab
menunjukkan kemungkinan nefrotik sindrom sekunder (seperti
ditemukannya ANA (+), anti-double-stranded DNA antibody (+), jumlah
komplemen rendah), meningkatnya kadar kreatinin serum yang tidak
berespons terhadap perbaikan deplesi cairan intravaskular, dan/atau
memiliki riwayat penyakit keluarga yang relevan dengan penyakit ginjal.
Akhirnya, pasien yang awalnya atau setelahnya menjadi tidak responsif
terhadap pengobatan steroid, perlu dilakukan biopsy ginjal karena tidak
adanya respons terhadap steroid memiliki kaitan kuat dengan temuan
histologis yang secara prognostic tidak menguntungkan seperti FSGS atau
MGN.2
Diagnosis
Diagnosis Banding
o Glomerular disease
Acute nephritic syndrome
Dicirikan oleh onset tiba-tiba hematuria, adanya silinder
eritrosit, proteinuria berbagai derajat, laju filtrasi glomerulus yang
menghilang, oliguria, dan tanda-tanda melemahnya fungsi ginjal
(bisa terjadi azotemia). Kelainan ini disebabkan oleh proses
inflamasi yang menyumbat lumen kapiler glomerulus dan merusak
dinding kapiler, sehingga bisa dilewati sel darah merah keluar ke
9
urine dan menyebabkan perubahan hemodinamik yang menurunkan
laju fitrasi glomerulus (GFR). Akumulasi cairan ekstrasel,
hipertensi, dan edema dapat terjadi karena berkurangnya GFR dan
meningkatnya reabsorpsi garam dan air.
Rapid progressive glomerulonephritis
Kelainan ini dicirikan dengan adanya tanda-tanda kerusakan
berat dari glomerulus yang tidak ada penyebab yang khusus. Seperti
namanya, perjalanan penyakit ini berlangsung cepat, sering kali
hanya dalam beberapa bulan. Kelainannya mencakup proliferasi sel-
sel glomerular fokal dan segmental dan penarikan monosit dan
makrofag dengan formasi berbentuk sabit (crescent) yang menutupi
ruang Bowman. Kelainan ini dapat disebabkan sejumlah kelainan
imunologis, beberapa kelainan sistemik, dan hambatan lain pada
ginjal.
Chronic glomerulonephritis
Kelainan ini mewakili fase kronik dari sejumlah tipe spesifik
glomerulonefritis. Gejalanya bisa berupa proteinuria persisten
dengan atau tanpa hematuria dan kerusakan progresif perlahan dari
fungsi ginjal. Beberapa bentuk glomerulonefritis akut mengalami
resolusi lengkap, sementara yang lain berjalan pada berbagai tingkat
menjadi glomerulonefritis kronik. Beberapa orang yang mengalami
glomerulonefritis kronik tidak memiliki riwayat penyakit
glomerular. Kasus-kasus ini dapat menggambarkan hasil akhir dari
bentuk yang relatif asimptomatik dari glomerulonefritis. Secara
histologis, keadaan ini dicirikan oleh ginjal kecil dengan glomerulus
yang mengalami sklerosis. Pada kebanyakan kasus glomerulonefritis
kronik berkembang secara perlahan dan tersembunyi menjadi
penyakit ginjal kronis bertahun-tahun kemudian.5
o Edema
10
Pada awal perjalanan sindrom nefrotik, pada saat anak terutama
mengalami edema periorbital, tanda dan gejala mungkin mengarah pada alergi.
Kadang-kadang reaksi alergi yang berat dapat berkaitan dengan hipoalbuminemia
sebagaimana juga dengan edema. Seraya penyakit berlanjut dan edema menjadi
lebih merata, keadaan lain dari kehilangan protein seperti hilangnya protein akibat
gastroenteropati, dapat juga membingungkan bersama sindrom nefrotik sebelum
hasil urinalisis diperoleh. Gagal jantung kongesti juga bisa jadi memunculkan
edema anasarka, namun hal ini dapa dengan mudah dibedakan dengan gejala-
gejala yang berkaitan. Sindrom nefrotik sekunder dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit sistemik namun jarang didapatkan pada anak. Bentuk lain dari penyakit
ginjal juga dapat menunjukkan proteinuria nefrotik dan perlu dipertimbangkan
juga.6
Diagnosis Kerja
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik, juga dikenal sebagai nefrosis, ditandai dengan adanya
proteinuria nefrotik, edema, hiperlipidemi, dan hipoalbuminemia. Proteinuria
nefrotik pada dewasa dicirikan oleh eksresi protein sebanyak 3,5 g/hari. Proteinuria
nefrotik pada anak-anak ialah ekskresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Namun,
karena besarnya jangkauan ukuran tubuh pada anak-anak, definisi pediatrik dari
proteinuria nefrotik tidak praktis dipakai. Karena pengumpulan urine 24 jam bisa
jadi tidak akurat dan menyulitkan, terutama pada anak kecil, banyak nefrolog
pediatrik mengandalkan pada sampel tunggal urine pagi yang pertama untuk
menghitung jumlah eksresi protein dengan menggunakan rasio protein terhadap
kreatinin.
Penggunaan urine pagi yang pertama menyingkirkan kemungkinan
proteinuria ortostatik yang non-patologik, yang mungkin meningkat pada sampel
urine yang dikumpulkan ketika pasien sedang aktif sepanjang hari. Rasio protein
terhadap kreatinin di urin yang lebih dari 2-3 mg albumin/mg kreatinin
mengindikasikan proteinuria nefrotik dan sesuai dengan hasil dari pengumpulan
urine 24 jam.
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala yang merupakan hasil dari
hilangnya protein dalam jumlah besar. Oleh karena itu, sindrom nefrotik bukanlah
11
suatu penyakit, melainkan menifestasi dari banyak penyakit glomerular yang
berbeda. Penyakit-penyakit tersebut bisa jadi akut dan transien, seperti
glomerulonefritis pascainfeksi, atau kronik dan progresif, seperti focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS). Masih mungkin penyakit lain kambuh dan timbul,
seperti sindrom nefrotik perubahan minimal (minimal change nephrotic syndrome
– MCNS).
Penyakit glomerular yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik secara
umum dapat dibagi menjadi penyebab primer dan sekunder. Sindrom nefrotik
primer (PNS), juga dikenal sebagai sindrom nefrotik idiopatik (INS),
dihubungkan dengan penyakit glomerular intrinsik ginjal dan tidak berhubungan
dengan penyebab sistemik. Pembagian dari INS didasarkan pada gambaran
histologis, tetapi telah dibuat korelasi klinis-patologisnya. Variasi yang luas dari
lesi glomerular dapat dilihat pada INS yang mencakup MCNS, FSGS,
membranous nephropathy (MN), membranoproliverative glomeruponephritis
(MPGN), diffuse mesangial proliferation, dan lainnya.Secara definisi, sindrom
nefrotik sekunder merujuk pada penyebab ekstrinsik terhadap ginjal seperti SLE,
Henoch-Schönlein purpura (HSP), diabetes mellitus, sifilis, HIV, hepatitis B dan C,
keganasan, vaskulitis, dan efek obat seperti heroin, merkuri, dan lain-lain.
Sindrom nefrotik (SN) bisa juga disebabkan oleh kelainan genetik. Infantile
SN (muncul sebelum usia 3 tahun) dan SN kongenital (muncul pada usia 4-12
tahun) dihubungkan denngan defek pada gen nephrin (NPHS1), phospholipase C
epsilon 1 gene (PLCE1), dan gen supresor tumor Wilms (WT1). Mutasi pada gen
podocin (NPHS2) dihubungkan dengan bentuk yang diturunkan, autosomal resesif
dari FSGS. Mutasi pada gen α-actinin-4 (ACTN4) dan gen TRPC6 dihubungkan
dengan familial FSGS jenis autosomal resesif.
INS dibedakan menjadi steroid-sensitive nephritic syndrome (SSNS) dan
steroid-resistant nephritic syndrome (SRNS) karena respons terhadap steroid
memiliki kaitan yang kuat dengan pembagian histologis dan prognosis. Sebuah
pengajian menonjol sehubungan dengan sindrom nefrotik pada anak, International
Study of Kidney Disease (ISKDC), menemukan bahwa sebagian besar anak-anak
remaja yang menderita INS mengalami MCNS dari hasil biopsy ginjal. 90% anak
dengan MCNS berespon terhadap pengobatan menggunakan kortikosteroid dengan
12
perbaikan sindrom nefrotik yang mereka alami, sebaliknya, hanya 20% anak
dengan FSGS yang berespon terhadap kortikosteroid.2
Etiologi
Penyebab sindrom ini tetap belum diketahui. Keberhasilan awal dalam
mengendalikan nefrosis dengan obat-obat “imunosupresif” memberi kesan bahwa
penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas
imunologis yang klasik belum ada, dan sekarang agaknya jelas bahwa obat-obat
“imunosupresif” mempunyai banyak pengaruh selain dari penekanan pembentukan
antibodi. Sebagian kecil penderita mempunyai bukti bahwa penyakit ini diperantarai Ig-E,
tetapi bukti semakin banyak mengesankan bahwa sindrom ini mungkin diakibatkan dari
kelainan fungsi limfosit yang berasal dari timus (sel-T), mungkin melalui produksi faktor
yang meningkatkan permeabilitas vaskuler.4
Epidemiologi
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per
100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan
penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.7
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki
dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati
membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.
Patofisiologi
13
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya.
Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia, akibat
kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal,
mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di
tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon
antidiuretik yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan
onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi juga masuk ke ruang
interstisial sehingga memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan
peran pada pembentukan edema ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita
sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar
renin serta aldosteron yang normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi
defek intrarenal dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang
menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh serta di dalam ginjal.
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan
sebagian penjelasan:
Hipoproteinemia merangasang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein.
Katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma,
sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Patologi INS
Sindrom nefrotik idiopatik terjadi pada 3 pola morfologi. Pada lesi minimal (85%),
glomerulus tampak normal atau menunjukkan penambahan minimal pada sel mesangium
dan matriks. Temuan-temuan mikroskopik imunofluorenses khas negatif. Mikroskopi
elektron menampakkan retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak dengan
penyakit lesi minimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.
Kelompok proliferative mesangium (5%) ditandai dengan peningkatan difus sel
mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi, frekuensi endapan mesangium yang
mengandung Ig-M dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada penyakit lesi 14
minimal. Sekitar 50-60% penderita lesi histologis ini akan berespons terhadap terapi
kortikosteroid.
Pada biopsy penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian besar
glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain terutama
glomerulus yang dekat dengan medulla (jukstamedulare), menunjukkan jaringan parut
segmental pada satu atau lebih lobulus. Penyakitnya sering kali progresif, akhirnya
melibatkan semua glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada
kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau
terapi sitotoksik ataupun keduanya. Penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang
ditransplantasikan.4
Histopatologi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik perubahan-minimal (MCNS – minimal change nephrotic
syndrome) memperlihatkan morfologi glomerulus yang pada pemeriksaan mikroskop
cahaya tampak sedikit berbeda dari normal. Mungkin terdapat sedikit perubahan pada
mesangium, tetapi imunoglobulin biasanya tidak ada, dan pada mikroskop elektron tidak
didapati adanya endapan. Satu-satunya perubahan signifikan yang ditemukan pada
pemeriksaan mikroskop elektron adalah fusi podosit sel epitel. Beberapa studi khusus telah
menetapkan bahwa ketika MCNS aktif, terjadi kehilangan tapak anionik glomerular,
dengan pengembalian ke konsentrasi normal pada saat penyembuhan. Meskipun MCNS
tidak mengarah kepada gagal ginjal, ini dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan,
termasuk predisposisi infeksi bakteri gram positif, kecenderungan terjadi tromboemboli,
hiperlipidermia, dan malnutrisi protein. Biasanya akan berespon dramatis terhadap terapi
kortikosteroid.
Glomerulosklerosis global fokal (FGGS – focal global glomerulosclerosis) adalah
glomerulus yang mengalami sklerosis global di beberapa fokus daerah, dengan glomerulus
sisa yang normal. Arti persis dari lesi sedemikian belum diketahui karena menghilangnya
glomerulus normal terjadi melalui sklerosis global. Jika terjadi pada <5% glomerulus,
kondisi tersebut mungkin normal.
Glomerulosklerosis segmental fokal (FSGS – focal segmental glomerulosclerosis)
ditandai dengan sklerosis (penumpukkan kolagen) sebagian glomerulus dan pada
glomerulus yang terkena, hanya sebagian lempeng glomerulus yang terkena, sering kali
15
hanya terbatas pada nefron jukstaglomedular. Karena itu, lesi ini dapat luput pada
pemeriksaan biopsy ginjal. Kelainan ini lebih sering terkena pada orang Afrika-Amerika
dan Hispanik. Adanya hipertensi dan penurunan fungsi renal membedakan FSGS dari
MCNS. Kelainan ini biasanya ditangani dengan kortikosteroid. Sebagian besar orang
dengan kelainan ini berlanjut menjadi gagal ginjal dalam 5-10 tahun.
Glomerulonefritis proliferative mesangium (MPN) baru belakangan ini dibedakan
dari MCNS. Dari mikroskop cahaya terlihat proliferasi sel mesangium minimal sampai
sedang, disertai ekspansi mesangium, tetapi perubahan paling mencolok terlihat
menggunakan mikroskop imunofloresens ketika Ig-M, Ig-G, dan C3 sering ditemukan.
Lesi ini hanya ditemukan hanya pada 2,5% penderita sindrom nefrotik. Sebagian besar
anak berespons terhadap steroid, tetapi banyak dari mereka sering mengalami eksaserbasi,
dan dapat menjadi ‘bergantung steroid’.
Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) atau glomerulonefritis
mesangiokapiler terjadi pada 8% anak baru dengan sindrom nefrotik yang tidak diseleksi,
dan >95% pasien tersebut tidak berespons terhadap regimen steroid standar.
Glomerulonefritis membranosa (MGN) bertanggung jawab atas hanya 1-2%
sindrom nefrotik anak. Pada sebagian besar pasien itu, onset klinis yang terjadi dapat
menyerupai onset MCNS, tetapi respons yang buruk terhadap terapi steroid merupakan ciri
yang jelas. Kelainan ini biasanya diawali dengan onset sindrom nefrotik yang tersembunyi
atau, pada sebagian kecil pasien, dengan proteinuria non-nefrotik. Hematuria dan
hipertensi ringan mungkin timbul. Perjalanan penyakitnya bisa bervariasi. 40% pasien
hilang secara spontan, 30-40% lainnya mengalami relaps berulang, dan 10-20% sisanya
menderita penurunan laju filtrasi glomerulus yang perlahan dan progresif yang berakhir
pada gagal ginjal.5,8
Tata laksana
Medika Mentosa
16
Pada anak dengan kecurigaan MCNS, pengobatan pertama ialah dengan
prednisone 60 mg/m2 per hari (dosis maksimal 80 mg/hari). Dosis yang dibagi
diperkirakan lebih efektif mengurangi remisi, sekalipun hal ini belum didapat
melalui uji klinik. Meskipun kebanyakan pasien dengan MCNS berespons baik
terhadap steroid pada 1-2 minggu pertama, berbagai uji klinik jelas memperlihatkan
bahwa penggunaan awal prednisone harian yang diperpanjang (6-8 minggu), diikuti
dengan terapi alternate-day prednisone selama 4-6 minggu, lebih unggul daripada
regimen jangka pendek dalam menurunkan remisi jangka panjang. Oleh karena itu,
pengobatan awal yang diperpanjang sebaiknya diberikan tanpa memperhatikan
kecepatan remisi penyakit. Setelah pengobatan awal, dosis prednisone diturunkan
perlahan, biasanya dalam 4-6 minggu. Kambuh berikutnya, yang terjadi pada pada
hampir ⅔ anak dengan sindrom nefrotik, dapat diobati dengan menggunakan
pengobatan prednisone jangka pendek yang berlangsung hanya beberapa hari
setelah permulaan remisi. Anak yang gagal merespons terhadap pengobatan 8
minggu pertama prednisone, kambuh selama dosis prednisone diturunkan, kambuh
pada beberapa minggu setelah prednisone dihentikan, atau kambuh sebanyak 4 kali
atau lebih selama periode 12 bulan sebaiknya dirujuk kepada nefrologist.
Tidak semua edema memerlukan perawatan di rumah sakit. Edema ringan
dan sedang dapat ditangani di rumah dengan diet rendah garam untuk mencegah
edema lebih lanjut, dengan atau tanpa diuretik tiazid dosis rendah.6
Non-Medika Mentosa
o Diet rendah sodium sebaiknya dipertahankan selama pasien masih
mengalami edema dan sampai proteinuria hilang. Setelah itu, diet normal
boleh diberikan. Selama edema berat, restriksi cairan yang hati-hati dan
secukupnya mungkin cocok tetapi pasien harus dimonitor ketat sehubungan
deplesi volume intravascular yang berlebihan. Restriksi protein tidak
diindikasikan, kecuali pada gagal ginjal akut atau kronik dengan azotemia
berat. Perencanaan aktivitas normal direkomendasikan. Karena relaps
sindrom nefrotik sering dihubungkan dengan penyakit viral saluran napas,
menjauhkan anak dengan sindrom nefrotik dari orang-orang yang jelas
sedang infeksi saluran napas dapat bermanfaat. Namun, bagaimanapun anak
17
sebaiknya tidak dijauhkan dari sekolah dan memiliki rutinitas senormal
mungkin.2
Pencegahan
Saat ini, tidak ada strategi pencegahan yang bisa dilakukan untuk mencegah
sindrom nefrotik, tetapi bagaimanapun, kecurigaan awal dan diagnosis cepat merupakan
landasan management yang sesuai dan dapat mempengaruhi hasil kerja ginjal jangka
panjang. Vaksin pneumococcal dapat diberikan pada semua pasien INS untuk mengurangi
resiko penyakit komplikasi akibat pneumokokus.2,6
Komplikasi
Komplikasi dapat mencakup hal-hal berikut:
Infeksi
Peritonitis dan sepsis adalah infeksi yang paling sering dan paling serius.
Angka kejadian peritonitis kira-kira 2-6% dan bisa disertai sepsis atau bakteriemia.
Bakteri penyebab yang paling utama adalah Streptococcus pneumonia dan bakteri
gram negatif dari saluran cerna seperti Escherichia coli. Infeksi lain juga dapa
terjadi seperti meningitis, selulitis, infeksi virus, dan lain-lain. Varicella perlu
diwaspadai terutama pada pasien yang dalam keadaan imunosupresi dan dapat
mematikan. Imunisasi varicella rutin pada anak dapat meringankan kemungkinan
komplikasi ini. Infeksi, virus maupun bakteri, dapat memicu kambuhnya sindrom
nefrotik idiopatik dan lebih mempersulit keadaan.
Thrombosis (thromboembolic complication – TEC)
Kejadian thrombosis lebih tinggi pada sindrom nefrotik sekunder baik pada
anak maupun dewasa. thrombosis terjadi terutama pada nefrotik sindrom
membranosa. Pada anak, bentuk thrombosis yang paling sering terjadi antara lain
thrombosis vena renalis, deep vein thrombosis, dan emboli paru. Thrombosis dapat
terjadi akibat hilangnya protein-protein dari darah yang berperan dalam mencegah
penyumbatan seperti plasminogen, antitrombin, dll. Penanganan thrombosis
18
mencakup trombolisis dengan antikoagulan (seperti heparin) dan/atau fibrinolitik.
Setelahnya, warfarin sering diberikan untuk jangka waktu 6 bulan.
Hiperlipidemia
Ketidaknormalan lipid akan menghilang seraya sindrom nefrotik membaik.
Hiperlipidemia kronik dihubungkan dengan peningkatan resiko aterosklerosis dan
penyakit koroner.
Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut termasuk komplikasi yang jarang terjadi pada INS, sekitar
0,8% per kasus. Penyebabnya mencakup perkembangan cepat dari penyakit yang
mendasari (pada sindrom nefrotik selain MCNS dan pada sindrom nefrotik
sekunder), thrombosis vena renalis bilateral, nefritis interstisial akut (acute
interstisial nephritis – AIN) karena terapi obat, dan acute tubular necrosis (ATN)
karena hipovolemia atau sepsis. Penggunaan ACE-inhibitor atau ARB dalam
kaitannya dengan deplesi volume dapat ikut menyebabkan gagal ginjal akut. Pada
kebanyakan kasus, gagal ginjal akut dapat membaik seraya sindrom nefrotik juga
membaik, perbaikan volume darah yang berkurang, dan/atau menghilangnya agen
penyebab pada AIN.
Komplikasi akibat terapi obat
o Kortikosteroid
Perubahan tingkah laku, peningkatan nafsu makan, dan tanda-tanda
Cushingoid umum ditemukan selama 6 minggu pertama terapi harian tetapi
mulai menghilang selama periode terapi maintenance (alternate-day) dan
biasanya menghilang dalam 3-6 bulan setelah steroid telah berhasil
dihentikan. Jika waktu terapi perlu diperpanjang, resiko komplikasi juga
meningkat, seperti mudah infeksi, obesitas, hambatan pertumbuhan,
osteopenia, katarak, hipertensi, hiperglikemi, nefrolitiasis, dan
hiperlipidemia. Pengaturan nutrisi dan olahraga dapat membantu membatasi
peningkatan berat badan selama terapi steroid. Pada pasien yang mendapat
terapi steroid jangka panjang, perlu dipertimbangkan juga pemantauan
densitas tulang.
19
o Diuretik
Loop diuretik (furosemid, bumetanid) umumnya menyebabkan
hipokalemia. Elektrolit serum perlu dimonitor dan ketidaknormalan
elektrolit perlu ditangani sesuai indikasi. Penggunaan diuretik hemat kalium
(spironolakton, amiloride) dapat membantu membatasi hipokalemia.
o Albumin
Infus 25% albumin dapat berakibat edema pulmonal dan gagal
jantung kongestif. Ini harus digunakan dengan hati-hati dan hemat hanya
pada pasien dengan hemokonsentrasi dan/atau edema yang resisten terhadap
diuretik. Berdasarkan pengalaman, infus lambat sebanyak 1 g/kg selama 24
jam terus-menerus dapat membantu membatasi komplikasi.2,6
Prognosis
Sebagian besar anak-anak dengan nefrosis yang berepons terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan pada
keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa
penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetapi fertil (bila tidak ada
terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis, dapat
diingat bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet
dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi, pemeriksaan protein urin
biasanya tidak diperlukan.4
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mayo Clinic. Nephrotic syndrome. Diunduh dari URL:
http://www.mayoclinic.com/health/nephrotic-syndrome/DS01047. 31 Oktober 2010.
2. Lane J C. Nephrotic syndrome. Diunduh dari: eMedicine,
http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview#ClinicalCauses, 30
Oktober 2010.
3. Hebert L A, Charleston J, Miller E. Proteinuria. Diunduh dari:
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/proteinuria/index.htm, 29 Oktober 2010.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak – Nelson; editor edisi
Bahasa Indonesia: Wahab AS. Vol 2. Ed 15. Jakarta: EGC; 2006.
5. Port C M, Matfin G. Pathophysiology – concepts of altered health states. China:
Lippincott William’s & Wilkins; 2009.
6. Gregory M J. Nephrotic syndrome. Dalam: Zaoutis L B, Chiang V W, editor.
Comprehensive pediatric hospital medicine. China: Elsevier Inc; 2007.
7. Trihono P P, Alatas H. Tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Dalam:
Trihono P P, Syarif D R, Amir I, Kurniati N. Current management of pediatrics
problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2004.
8. Abraham MR, Haffman JIG, Rudolph CD. Buku ajar pediatri Rudolph; alih bahasa,
Wahab AS; editor edisi Bahasa Indonesia: Hartanto H. Ed 20. Vol 3. Jakarta: EGC;
2006.
21
top related