pemaknaan amanah dalam surah al-ahzab ayat 72....
Post on 04-Mar-2019
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PEMAKNAAN AMANAH DALAM SURAH AL-AHZAB AYAT 72.
(Perspektif penafsiran al-Sya‘rāwī)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Aniesa Maqbullah
NIM: 1111034000054
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M
v
ABSTRAK
Aniesa Maqbullah
Pemaknaan amanah dalam surah al-ahzab ayat 72 (perspektif penafsiran al-
Sya‘rāwī).
Amanah adalah suatu sifat dapat dipercaya, jujur dan bertanggung jawab.
Dalam arti yang lebih luas amanah merupakan tuntunan wajib atas perjanjian
manusia sebagai hamba kepada Tuhan. Q.S al-Ahzab/33: 72 mencerminkan
bagaiamana kesanggupan manusia sebagai hamba menerima amanah yang enggan
dipikul oleh makluk lain ciptaan-Nya. Kata amanah pada ayat ini adalah berada
dalam konteks pembicaraan tentang kesediaan manusia melaksanakan amanah
yang ditawarkan oleh Allah Swt., setelah sebelumnya tidak satu pun makhluk
yang sanggup memikulnya. Skripsi ini khusus mengangkat tema tentang makna
amanah dalam Q.S al-Ahzab/33: 72. Penulis mengambil pendapat dari ahli tafsir
terkemuka dari Mesir, ia merupakan mujaddid yang sangat berpengaruh pada abad
ke 20, yang mempunyai nama Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī dalam tafsir al-
Sya‘rāwī. Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah berupaya
menelusuri bagaimana penafsiran Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī terhadap
Q.S al-Ahzab/33: 72 dengan menggunakan metode tafsir maudu’i, yaitu metode
penafsiran al-Qur’an yang di lakukan dengan cara memilih topik/tema tertentu
yang hendak dicarikan penjelasannya. Hasil penelitian yang didapatkan, secara
garis besar adalah terkait sikap manusia sebagai pengemban amanah yang
diberikan oleh Allah. Menurut Sya‘rāwī amanah yang diberikan Allah kepada
makhluk-Nya adalah amanah untuk memilih antara beriman atau kafir, taat atau
maksiat. Sya‘rāwī dengan tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
dzalim lagi bodoh, apabila mereka mau menerima tugas namun enggan untuk
melaksanakannya. Kesanggupan yang manusia janjikan kepada Allah justru
mencontohkan bahwa walaupun manusia adalah makhluk yang kecil tetapi
mereka sanggup untuk mengemban beban amanah yang begitu besar yang
diberikan oleh Allah. Ini membuktikan bahwa manusia memanglah khalifah fil
ard. Namun begitu banyak kita jumpai hamba Allah yang enggan mencontoh
kepribadian Nabi Saw. terlebih sifat Amanahnya. Maka mereka inilah yang
disebut sebagai manusia yang dzalim lagi bodoh.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT.,
atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia
berikan kepada penulis. Dialah Tuhan tempat mengadu ketika penulis sudah
merasa lelah dan putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis
meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas
petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,
mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf
yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya
jadilah skripsi ini.
Salawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-
pesan Allah SWT., sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi
yang berjudul “PEMAKNAAN AMANAH DALAM SURAH AL-AHZAB
AYAT 72. (perspektif penafsiran al-Sya‘rāwī)” ini tidak akan selesai dengan
daya dan upaya penulis sendiri, melainkan ada banyak sosok kerabat, dan orang-
orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada
kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M.Pd., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qurʹan dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas
Ushuluddin.
vii
4. Dosen penasihat akademik, Ibu Dra. Banun Binaningrum. M.Pd, yang
banyak memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, MA., selaku pembimbing, yang dengan
ikhlas dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qurʹan
dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan
membagikan berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis
selama penulis kuliah di kampus tercinta ini.
7. Ayahku Abdul Kadir Rachman (Alm) dan Ibuku Halimah Rohmani yang
telah mendidik dan membesarkanku menjadi manusia yang berguna
untuk masyarakat.
8. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Pusat
Studi al-Qurʹan (PSQ) Ciputat yang telah memberikan fasilitas serta
rujukan-rujukan sebagai sumber referensi.
9. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qurʹan dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Ijal, Toib, Asep,
Arif, Rifai, Zizah, Ayi, Farhai, Ulil, Jamil, Iyan, Saiful, Ceceng, Subhan,
Zulfikar, Seman, Ilham, Hilman, Gandi, Bazit, Anis Umah, Dayat,
Akrom, Yasir, Yaqin, Fahmi, Ramdan dan mereka yang tidak dapat
disebutkan satu persatu di sini. Perjumpaan dengan kalian semua adalah
sesuatu yang akan selalu terkenang. Terima kasih dan semoga Tuhan
selalu menemani kita semua dalam segala hal.
10. Teman-teman dari KKN Lentera Defi, Dania, Fina, Nita, Umi, Ferdi,
Ozan, Fikar, Gilang, Hasan,Erby Dan Ijal yang telah mendukung dan
mensupport dalam melewati masa-massa sulit bersama dalam
mengerjakan tugas akhir Skripsi ini.
viii
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah SWT., Semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai al-Qurʹan, ‘Ulūm al-Qurʹān, dan bermanfaat bagi
semua yang mau membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini
menjadi tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.
Jakarta, 24 Juli 2018
Hormat saya
Aniesa Maqbullah
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................xi
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... ..8
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ .8
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. .17
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... ....19
BAB II
KONSEP AMANAH DALAM AL-QUR’AN ...................................................21
x
A. Definisi Amanah ........................................................................................... 21
B. Ketentuan Pokok Amanah ............................................................................ 29
C. Manusia sebagai Pengemban Amanah ......................................................... 32
D. Konsekuensi Pemeliharaan Amanah ............................................................ 39
BAB III
GAMBARAN UMUM TAFSIR Al-Sya‘Rāwī...............................................41
A. Biografi Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī................................................ 41
B. Jejak Keilmuan dan Karya Akademik .......................................................... 43
C. Gambaran Umum Tafsir al-Sya‘rāwī ........................................................... 49
D. Pandangan Ulama’ tentang Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī ................. 64
BAB IV
KAJIAN TAFSIR Al-Sya‘Rāwī SURAT AL-AHZAB AYAT 72................65
A. Teks dan Terjemahan Surat al-Ahzab Ayat 72 ............................................ 65
B. Tafsir Q.S Al-Ahzab Ayat 72 . ..................................................................... 65
BAB V
PENUTUP.............................................................................................................86
A. Kesimpulan ................................................................................................... 86
B. Saran ............................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 88
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
No. 158 Tahun 1987-Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin
No Arab Latin
Tidak dilambangkan ا .1
Ṭ ط .16
B ب .2
Ẓ ظ .17
T ت .3
‘ ع .18
Ṡ ث .4
G غ .19
J ج .5
F ف .20
Ḥ ح .6
Q ق .21
Kh خ .7
K ك .22
D د .8
L ل .23
Ż ذ .9
M م .24
R ر .10
N ن .25
Z ز .11
W و .26
S س .12
H ه .27
Sy ش .13
′ ء .28
Ṣ ص .14
Y ي .29
Ḍ ض .15
2. Vokal Pendek
= a ك ت ب Kataba
= i سئ ل Su′ila
= u ي ذه ب Yażhabu
3. Vokal Panjang
ا = ā ق ال Qāla
Qīla ق يل ī = ا ى
Yaqūlu يقول ū = أو
4. Diftong
Kaifa ك يف ia = أ ي
ول au = أ و Ḥaula ح
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupannya membangun relasi dengan manusia yang
lain.1 Relasi ini tidak hanya terbatas pada hubungan individu dengan individu
yang lain, melainkan juga hubungan individu dengan dirinya senidiri yang
kemudian memberi pengaruh pada hubungan di luar dirinya. Ini merupakan
hubungan paling mendasar yang dimiliki manusia. Dalam ilmu psikologi
hubungan ini dikenal dengan hubungan interpersonal.2
Islam sebagai agama sangat memperhatikan hubungan Interpersonal.3
Ajaran Islam mengenai hubungan ini bertujuan untuk membentuk pribadi yang
Islami.4 Karena dengan sikap dan Pribadi yang baik sajalah yang akan
mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan juga akhirat.
Dalam Islam diperkenalkan tentang adanya siksaan dan ganjaran.5 Siapa
saja yang berbuat baik dalam hidupnya dengan berpegang teguh pada ajaran Allah
maka dia akan diganjar dengan surga-Nya. Sebaliknya bagi siapa saja yang
1Hubungan yang dibangun oleh manusia ini menjadi alasan ia disebut dengan mahkluk
sosial, yaitu mahluk yang membawa kodrat berhubungan secara timbal balik dengan manusia lain.
Mahluk sosial dalam al-Qurān masuk dalam konsep kata al-Nās. Lihat. Rahmat Arofah Hari
Cahyadi “Telaah Hakikat Manusia dan Relasinya Terhadap Proses Pendidikan Islam” Adabiyah,
Vol. 1 , No. 1 (September 2015): h. 29-40. 2Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” Jurnal Psikologi, Vol. 43, No. 3, (2016): h. 194-206. 3Perhatian islam terkait hal ini dijawantahkan dalam ajaran-ajaran akhlaknya. Lihat.
Mubarak, “Urgensi Psikologi Islam Dalam Pendidikan Islam” Studia Insania, Vol. 5, No. 2
(November 2017): h. 215-228. 4Menurut Nida Nur Roisah dalam skripsinya, pribadi islami merupakan pribadi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai agama islam, sehinga ia menerapkan konsep takwa dalam hidupnya.
menjadi pribadi islami merupakan tujuan dari Pendidikan akhlak dalam agama islam. Lihat. Nida
Nur Roisah, “Pembentukan Kepribadian Islami Melalui Metode Pembinaan Akhlak Anak” Skripsi
S1 Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009, h. 34. 5Wahyudi Setiawan “Reward and Punishment dalam Perspektif Pendidikan Islam”, AL-
MURABBI, Vol. 4, No. 2 (Januari 2018): h. 184-201.
2
berbuat buruk dalam hidupnya serta mengacuhkan perintah dan larangan Allah
akan di masukan ke dalam neraka-Nya.6 Pemahaman seperti ini tentu akan
berdampak pada sikap dan perilaku umat Islam secara umum.
Dalam hal ini Rasullullah merupakan gambaran nyata mengenai pribadi
yang baik. Demikian dijelaskan dalam al-Qurān.7Tuhan ingin mengajarkan
teorinya kepada manusia melalui kitab suci al-Qurān dan praktiknya melalui
pribadi Rasulullah SAW. Maka dengan ini tentu penting memahami sikap dan
keteladanan Rasul untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga diharapkan ajaran agama dapat memberikan dampak pada sikap dan
perilaku umat, khususnya dalam membangun relasi yang baik, baik dengan
dirinya sendiri maupun dengan pihak lain.
Salah satu sifat yang dimiliki Rasulullah adalah amanah.8 Sifat ini
merupakan salah satu kunci keberhasilan Rasullullah dalam membina umat,9
mengganti peradaban Jahiliyah10
dengan peradaban Islam dan mengajarkan
pentingnya sisi kemanusiaan dalam kehidupan di bumi. Dalam Q.s. al-Maidah/67:
58, Allah SWT berfirman:
6Balasan dalam al-Qurān biasanya dibahasakan dengan kata Jazaʹa. Banyak ayat yang
menjelaskan hal ini seperti dalam Q.S. at-Taubat/9: 74, al-Zalzalah/99: 7-8, Al-Baqarah/2: 62, Al-
‘Ankabut/27: 29:58, Al-Bayyinah/98: 8, Ali Imron/3: 21. Lihat. Azis, “Reward-Punishment
Sebagai Motivasi Pendidikan: Perspektif Barat Dan Islam”, Cendekia, Vol. 14 No. 2 (Desember
2016): h. 333-349. 7Lihat. Q.s. al-Ahzāb/33: 21.
8Terdapat empat sifat utama nabi/rasul yaitu Sidiq, Amanah, Tablig dan Fathanah. Lihat.
Tusriyanto, “Kepemimpinan Spiritual Menurut M. Quraish Shihab” AKADEMIKA, Vol. 19, No.
01 (Januari -Juni 2014): h. 117-134. 9Sri Herianingrum dkk, “Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel
Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo”, Al-Tijarah, Vol. 1, No. 1 (Juni 2015): h. 59-
71. 10
Secara bahasa kata Jahiliyyah berarti keadaan bangsa arab sebelum datangnya agama
Islam. Lihat. Munawwir Abd. Al-Fath dan Adib Bisri, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1999), h. 89.
3
Artinya:
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia[430]. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Ayat ini merupakan legitimasi dakwah Rasulullah SAW.11
Dalam ayat ini
Allah mengamanahkan apa yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah untuk di
sampaikan kepada umat manusia. Menurut pendapat Ibn Katsir yang dimaksud
dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad adalah agama,12
yaitu
seperangkat ajaran dengan berbagai aturan untuk di taati dan di jalankan manusia
agar manusia mendapatkan kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat.
Pada ayat ini Allah menyatakan perlindungannya kepada Rasul dalam
menjalankan tugasnya yaitu tabligh atau menyampaikan. Tugas ini merupakan
amanah yang diberikan Allah kepada Rasul dan berdosalah Rasul apabila tidak
melaksanakan amanah tersebut.13
Kata amanah sendiri sesungguhnya bukan merupakan bahasa indonesia asli,
melainkan bahasa serapan dari bahasa Arab yaitu Amanah yang diartikan dengan
“dapat dipercaya”14
. Hubungan dengan ayat ini Allah percaya bahwa Rasul
mampu melaksanakan tugasnya yaitu menyampaikan apa yang telah diturunkan
kepadanya.
11
Arifin Zain dkk., “Identifikasi Ayat-Ayat Dakwah Dalam Al-Qur`an”, AL-IDARAH, Vol.
1, No. 2 (Desember 2017): h. 167-188. 12
Ibn Katsir, “Tafsir Al-Qurān Al-Adzīm” (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 563. 13
Di antara ulama yang sepakat dengan pendapat ini adalah Ibn Abbās. Lihat Ibn Abbās,
Tafsīr Ibn Abbās, terj. Muhyidin Mas Rida (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 265. 14
Depearteman Pendidikan Nasional, KBBI, Cet. Ke-4(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 35
4
Kepercayaan Allah pada Rasul dibuktikan dengan kerja keras dan usaha
Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam, sehingga Islam berkembang pesat di
berbagai belahan dunia. Hal ini merupakan bukti keberhasilan Rasulullah SAW
dalam mengemban amanah tersebut.
Berbicara tentang amanah, dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada
manusia agar dapat memberikan amanah kepada yang berhak menerima amanah
tersebut. Seperti dalam Q.s. al-Nisāʹ/4: 58, Allah berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Ayat ini memiliki beberapa makna ambigu, yaitu selain kata ahlihā di sana
dapat di artikan dengan “kepada yang berhak”, kata tersebut juga dapat memberi
arti bahwa amanah harus di berikan kepada yang mampu untuk mengemban
amanah tersebut. Pengertian seperti ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, sebagaiberikut:
ة ر ي ر ي ه ب أ ن ع ار س ي ن ب اء ط ع ن ع ي ل ع ن ل ب ل ه نا ث د ح ان م ي ل س ن ب ح ي ل ف نا ث د ح ان م س ن ب د م ح م نا ث د ح
ف ي ك ال ق ة اع الس ر ظ ت ان ف ة ان م ال ت ع ي ا ض ذ إ م ل س و ه ي ل ع ى الل ل ص الل ل و س ر ال ق ه ن ع الل ي ض ر
ة اع الس ر ظ ت ان ه ف ي ل ه أ ر ي ى غ ل إ ر م ل ا د ن ا ا س ذ إ ال ق الل ل و س ا ر ا ي ه ت اع ض إ
5
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] telah
menceritakan kepada kami [Fulaih bin Sulaiman] telah menceritakan
kepada kami [Hilal bin Ali] dari ['Atho' bin yasar] dari [Abu Hurairah]
radhilayyahu'anhu mengatakan; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja
kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana
maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan
diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."15
Hadits ini merupakan salah satu pesan Rasul agar umatnya memberikan
kepercayaan kepada yang bisa dipercaya. Kemampuan yang dimiliki sesorang
menjadi penting dalam pertimbangan untuk mengemban sebuah amanah. Karena
hal ini akan berdampak pada terlaksana atau tidaknya sebuah amanah yang
diberikan. Namun apabila diperhatikan pada ayat lain yaitu dalam Q.s. al-
Ahzāb/33: 72. Allah SWT berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat
bodoh,
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa amanah yang diembankan kepada
manusia sesunggunya amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit bumi dan
gunug gunung. Pernyataan ini diakhiri dengan penilain Allah kepada manusia atas
kesanggupannya mengemban amanah tersebut bahwa sesungguhnya manusia
adalah makhluk yang ḍalim lagi bodoh.
15
Imam al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Kutb al-ʹIlmiyah, 1992), Nomer hadits
6015.
6
Menurut al-Ṭabari amanat pada ayat tersebut adalah semua bentuk amanat
dalam agama dan amanat manusia, karena tidak terdapat penghususan pada
amanat di sana.16
Sedangkan al-Qurṭubi lebih jauh memahami amanah ini dengan
kewajiban-kewajiban.17
Ada pula yang memahami ayat ini dengan kisah Nabi
Adam yang memberi amanat kepada anaknya Qabil untuk menjaga keluarganya.18
Untuk memahami konsep amanah yang terdapat dalam al-Qurān perlu di
lihat dari berbagai konteks yang melingkupi turunnya ayat-ayat amanah tersebut,19
selain itu pendekatan dalam memahami ayat yang digunakan juga harus
merepresentasikan berbagai pendekatan setidaknya pendekatan bi al-ra’yi dan bi
al-ma’sur. Hal ini penting untuk dilakukan agar memperoleh pemahaman yang
komprehensif terkait tema amanah.
Dalam hal ini Peneliti memilih tafsir al-Sya‘rāwī. Tafsir ini merupakan
refleksi dari pemahaman dan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh
Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī. Beliau adalah mufassir Mesir yang ada di
penghujung abad ke-20 yang yang selain kedalamannya memahami al-Qurān, ia
juga dikenal sebagai Pemikir dan pembaharu Islam. Kemampuan daya tarik yang
dimilikinya menjadikan Ia sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di Mesir
maupun dunia Islam pada penghujung abad ke-20.
Atas dasar keahliannya dalam bidang kajian tafsir, maka penulis
memfokuskan dalam karya tulis ini, untuk meneliti pemikiran al-Sya‘rāwī dalam
16
Al-Thabarī, Jamiʹ al-Bayān an Ta’wīl Ayi al-Qur’ān, terj. Misbah (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 289. 17
Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, terj. Faturrahman Abdul Hamid dkk (Jakarta:
Pustaka Azaam, 2009), h. 615. 18
Penjelasan seperti ini di temukan dalam kitab tafsir Ibn Mas’ūd. Lihat. Ibn Mas’ūd, Tafsir
Ibn Mas’ūd, terj. Ali Murtadho Syahudi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 821. 19
Konteks turun ayat mengandung pesan yang sangat penting dalam pemahaman al-Qurān ,
yaitu konteks sosio-historis di mana asbab al-nuzul merupakan bagian darinya. Lihat.
Mustaqimah, “Urgensi Tafsir Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qurān ” FARABI, Vol. 12 No. 1
(Juni 2015): h. 138-149.
7
karya tafsir besarnya “Tafsir al-Sya‘rāwī.” Terkait konsep amanah. Bagi penulis,
tafsir Tafsir al-Sya’rawi memiliki karekteristik tersendiri yang merupakan refleksi
Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī dalam memahami ayat dengan berbagai sudut
pandang pendekatan, sehingga menarik untuk di ketahui bagaimana konsep
amanah dipahami olehnya. sehingga dalam karya tulis ini, penulis mengambil
judul “PEMAKNAAN AMANAH DALAM SURAH AL-AHZAB AYAT 72.
(perspektif penafsiran al-Sya‘rāwī)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas, ada
beberapa pokok permasalahan yang muncul diantaranya yang pertama adalah
tentang apa maksud dari “amanah” yang dijelaskan dalam al-Qurān. Konsep al-
Qurān mengenai amanah sering di jumpai pada berbagai ayat dianataranya adalah
dalam Q.s al-Nisa/4: 58, Q.s al-Maidah/5: 67, dan Q.s al-Ahzab/33: 72. Maka
dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi pembahasan sebagai
berikut:
1. Penulis hanya fokus pada penafsiran bukan ke ranah sosiologi.
2. Penulis hanya akan mengulas penafsiran dari Muhammad Mutawalli al-
Sya‘rāwī terkait konsep amanah.
3. Penulis hanya fokus dalam Q.S al-Ahzab/33: 72.
Berdasarkan dari pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan Bagaimana amanah dalam Q.S al-
Ahzab/33: 72 menurut Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī dalam tafsir al-
Sya‘rāwī?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami konsep amanah menurut
Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī dalam Tafsir al-Sya‘rāwī.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan kepada
setiap pembaca dalam memahami maksud ayat-ayat yang berkenaan dengan
konsep amanah yang dikemukakan oleh Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī serta
diharapkan penelitian ini dapat menjadi bagian dari bahan ajar pada mata kuliah
metode tafsir. Penelitian ini juga dapat menjadi pembanding terhadap penelitian-
penelitian berikutnya khususnya pada tema yang sama, atau lebih umum model
penafsiran Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang amanah sudah banyak ditulis
baik dalam bentuk artikel, skripsi, tesis, maupun disertasi, namun ditulis dengan
tema serta analisis yang berbeda. Untuk itu penulis mengangkat tema amanah
dalam pandangan Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī. Akhirnya penulis
mendapatkan beberapa pustaka yang memberikan inspirasi dan mendasari
penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
1. Sahmiar Pulungan20
dalam Disertasinya berjudul “Wawasan Tentang
Amanah Dalam Al-Qurān” banyak menjelaskan amanah kaitannya dengan
kehidupan sosial umat. Menurutnya amanah masuk dalam segala segment
20
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurān ” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006).
9
kehidupan manusia, amanah memberikan inspirasi konsep moral variatif
argumentatif yang bermanfaat dan aktual bagi kehidupan manusia mencakup
aspek sosial, agama hukum ekonomi, politik dan budaya. Umat muslim
belum sepenuhnya mampu mengemban amanah, sehingga ini menjadi salah
satu faktor terbelakangnya umat muslim saat ini dari berbagai segi.
2. Faturrahman21
melakukan penelitian kepustakaa dengan metode tematik
terkait penafsiran ayat-ayat amanah. tujuan penelitian ini adalah menemukan
pandangan al-Qurān mengenai amanah. Dari penelitian ini, Ia
menyimpulkan bahwa orang yang amanah (al-Amīn) adalah pertama,
menghindarkan diri dari hal-hal yang bukan haknya baik yang berhubungan
dengan hak Tuhan, sesama manusia, diri sendiri maupun alam lingkungan.
Kedua, menunaikan dan melaksanakan hak-hak yang harus ditunaikan baik
terhadap Tuhan, sesama manusiadiri sendiri maupun alam lingkungan.
Ketiga, memiliki perhatian untuk menjaga apa yang telah diamanahkan
kepadanya tidak melalaikan serta meremehkannya.
3. Sri Herianingrum22
menulis jurnal tentang Implementasi Nilai-nilai Amanah
pada Karyawan Hotel Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo,
penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Ia menjelaskan bahwa
amanah adalah sikap Rasul yang menjadi kunci sukses keberhasilan beliau
dalam menjalankan tugas besarnya menyebarkan agama Islam juga menjadi
alasan paling berpengaruh dalam pembinaan ekonomi masyarkat muslim
saat itu.
21
Faturrahman, “Konsep Dan Metode Penanaman Nilai Amanah Dalam Al-Qurān : Studi
Tematik Ayat-Ayat Amanah”, Tesis UIN Sunana Kalijaga (Yogyakarta 2011). 22
Sri Herianingrum, dkk, “Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel
Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo”, Al-Tijarah, Vol. 1, No. 1 (Juni 2015): h. 59-
71.
10
4. Aji Maulana23
melakukan penelitian pada badan Baznas, yaitu badan
pengelola zakat. Penelitinnya bermaksud untuk mengukur penerapan nilai-
nilai amanah pada badan amil zakat tersebut. Melalui penelitian ini ia
berpendapat bahwa sikap amanah para amil zakat telah dapat di buktikan
dengan adanya laporan dan transparasi pengolahan zakat. Di samping itu
sifat faṭanah yang dimiliki para amil zakat dalam menggunakan teknologi
yang berkembang saat ini dapat dijadikan sebagai pengawasan dalam proses
pengawasan distribusi zakat. Mitra amil zakat yang dalam hal ini Baznas
mendrorong sekaligus membuktikan berkembangnya pengumpulan zakat
dan penyaluran zakat. Berkat kerja sama para ormas Islam serta para ulama
dalam hal ini badan amil zakat nasional berharap dapat melakukan
penyaluran zakat sesuai dengan keharusan atau rule dalam agama.
5. Firdaus Arfianandy Abiyoga dan Irham Zaki24
menulis dalam sebuah jurnal
tentang Implementasi Sifat Amanah Pengelola Koperasi Pondok Pesantren:
Studi Kasus Pada Pengelola Koperasi Pondok Pesantren Qomaruddin
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur sifat amanah dalam pengolahan koperasi pondok pesantren.
Penulis beralasan bahwa lingkungan pesantren merupakan lingkungan
agamis sehingga menarik melakukan penelitian terkait implementasi sifat
amanah. Sebagai landasan alat ukur amanah ia mengutip pendapat dari
23
Aji Maulana “Implementasi Nilai Amanah Dan Fathanah Pada Pengelolaan Zakat Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS)”, Skripsi S1 Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, UIN Syarif
Hidayatullah (Jakarta, 2008). 24
Firdaus Arfianandy Abiyoga dan Irham Zaki, “Implementasi Sifat Amanah Pengelola
Koperasi Pondok Pesantren: Studi Kasus Pada Pengelola Koperasi Pondok Pesantren Qomaruddin
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik”, JESTT, Vol. 1 No. 9 (September 2014): h. 636-646.
11
samsara yang mengatakan bahwa ada 3 indikator sifat amanah yaitu: 1)
Tanggung jawab 2) tepat Janji 3) Transparan.
6. Moh. Rosyid25
memberikan rumusan mengenai amanah dalam pemilu 2014
di indonesia. Data yang digunakan adalah kepustakaan. Ia mengurai tentang
sejarah pemilu di indonesia dari tahun ke tahun. Ia meyakini bahwa
pemimpin yang amanah akan tercipta apabila didukung oleh fasilitas negara
yang dalam hal ini adalah dana pemilu. Hajat nasional yang melibatkan
rakyat dalam pemilihan umum, mulai pemilu legislatif, presiden, dan
pemimpin daerah, selama ini membutuhkan dana yang ekstrabesar.
Imbasnya, setelah menjabat, mereka akan berlomba-lomba untuk menutup
modal awal. Ini merupakan salah satu di antara banyak faktor yang
mendorong pemimpin untuk tidak bersikap amanah.
7. Martha Ineke Noviandani Dan Dina Fitrisia Septiarini26
menulis tentang
penelitiannya pada sebuah usaha rumah makan dalam jurnal dengan judul
“Nilai-nilai Amanah Sebagai Strategi Fungsional Pada Rumah Makan Wong
Solo Cabang Gresik”. Menurut keduanya Menariknya rumah makan ini
adalah rumah makan yang pernah koleps beberapa tahun, namun berkat
kerja keras dan pinjaman dana dari berbagai pihak rumah makan ini dapat
bangkit dan berkembang. Menurut keduanya, keberhasilan dalam sebuah
usaha merupakan dampak nyata dari sebuah sistem nilai yang dijaga, yang
dalam hal ini adalah sifat amanah. Penerapan amanah yang dijadikan
sebagai strategi bisnis merupakan langkah tepat di samping sifat amanah
25
Moh. Rosyid, “Mewujudkan Pemimpin Amanah Pada Pemilu 2014 Dalam Bingkai
Sejarah”, Yudisia, Vol. 5, No. 1 (Juni 2014): h. 21-45. 26
Martha Ineke Noviandani dan Dina Fitrisia Septiarini, “Nilai-nilai Amanah Sebagai
Strategi Fungsional Pada Rumah Makan Wong Solo Cabang Gresik”, Jestt, Vol. 2 No. 5 (Mei
2015): h. 400-412.
12
sesuai dengan tuntunan Islam. Ia juga menilai bahwa amanah dalam
menjalankan bisnis memang tidak mudah dilakukan secara total melainkan
harus bertahap sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang dapat memberi
dampak positif.
8. Ahyani Radhiani Fitri Dan Ami Widyastuti27
meneliti tentang amanah dari
sudut pandang psikologi. Pendekatan Psikologi yang digunakan ialah
pendekatan indijinus. Menurut penjelasan keduanya pendekatan psikologi
indijinus merupakan pendekatan yang dilihat dari sudut pandang budaya
lokal, yang memungkinkan untuk melihat setiap fenomena berdasarkan
konteks terkait. Kajiannya ialah orang tua yang amanh studi kasus
masyarakat melayu. Menurutnya ada empat kategori ciri-ciri ayah dan ibu
yang amanah yaitu dalam segi 1) peran, 2) karakter, 3) integritas, dan 4)
benevoleance. Peran merupakan kemampuan yang dilakukan orang tua
untuk menunaikan amanah, karakter adalah tabiat atau sifat yang
mengarahkan pada perilaku amanah orang tua, sedangkan integritas
merupakan kesesuaian dan konsistensi antara komitmen dan perilaku orang
tua pada anak, dan benevoleance merupakan bentuk perhatian dan kasih
sayang orang tua yang dirasakan anak.
9. Menurut Sahri,28
amanah merupakan salah satu syarat menjadi orang
beriman. Karena dengan sikap amanahlah akan tercipta suatu kerukunan,
ketentraman dan keamanan baik dalam jiwa maupun kehidupan sosial.
Sedangkan keduanya merupakan tujuan dari akhlak Islam. Kesimpulan ini
27
Ahyani Radhiani Fitri dan Ami Widyastuti, “Orang Tua Yang Amanah: Tinjauan
Psikologi Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 12-24. 28
Sahri, “Penafsiran Ayat-Ayat Al Qur’an Tentang Amanah Menurut M. Quraish Shihab”,
Madaniyah, Vol. 8 No. 1 (Januari 2018): h. 125-140.
13
berdasarkan atas penelitian tentang penafsiran M. Quraish Shihab terkait
ayat-ayat amanah.
10. Ivan Muhammad Agung Dan Desma Husni29
melakukan penelitian
mengenai amanah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dengan
pendekatan pertama dapat diketahui bahwa orang amanah adalah orang yang
memiliki karakter positif (dapat dipercaya, bertanggung jawab, jujur) dan
melaksanakan tugas, sedangkan pendekatan kedua menunjukkan bahwa
amanah memiliki reliabilitas yang baik dan terbentuk atas tiga faktor, yaitu
integritas, melaksanakan tugas dan kebajikan.
11. Ricca Angreini Munthe dan Ami Widyastuti30
menulis dalam sebuah jurnal
tentang Saudara Yang Amanah:Tinjauan Psikologi Indijinus. Penelitian ini
termasuk penelitian lapangan. Yang menjadi informan adalah masyarakat
melayu, menurutnya masyarakat Melayu merupakan salah satu suku di
Indonesia yang menjunjung tinggi kolektivitas budaya. Hal ini dapat terlihat
dari interaksi masyarakat Melayu, salah satunya dalam bentuk persaudaraan.
Dari penelitiannya ini ia berkesimpulan bahwa Saudara yang dianggap
amanah adalah saudara dengan karakter dipercaya, bertanggungjawab,
disiplin, bijaksana dan cerdas yang menjalankan peran sebagai anggota
keluarga yang mendidik, melindungi, menjadi tauladan, dan mengurus
saudaranya karena memiliki kebaikan hati (peduli, baik, dan kasih sayang)
terhadap saudaranya. Nilai-nilai ajaran Islam, khususnya yang mengatur
29
Ivan Muhammad Agung Dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif Dan Kuantitatif”, Jurnal Psikologi, Vol. 43, No. 3 (2016): h. 194-206. 30
Ricca Angreini Munthe dan Ami Widyastuti, “Saudara Yang Amanah:Tinjauan Psikologi
Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 25-34.
14
hubungan antar sesama manusia, telah tercermin dalam pola pikir (penilai)
dan perilaku (yang dinilai) persaudaraan remaja Melayu.
12. Sedangkan Dede Fitriana Anatassia31
menulis tentang“Apakah Kamu
Teman yang Amanah? Psikologi Indijinus: Teman yang Amanah pada
Masyarakat Melayu”. Penelitian ini juga merupakan penelitian kuantitatif.
Bebrapa hal yang menjadi temuan penulis adalah bahwa teman yang amanah
ditentukan oleh tiga hal, yaitu karakter (41%), pelaksanaan tugas (39%), dan
kualitas pertemanan (20%). Hal ini menunjukkan bahwa relasi antar
individu tidak menjadi faktor utama seseorang dianggap amanah, melainakn
bagaiman konsep amanah di letakan sebagai dasar sebuah hubungan
relasional baik dengan dirinya maupun masyarakat dan lingkungannya.
Amanah menjadi karakter yang melekat dalam diri individu dan kemudian
dievaluasi ketika individu menjalankan perannya.
13. Moch Irham Khaerullah32
berbicara amanah dalam sudut pandang
penididkan Islam. Ia melakukan kajian kepustkaan untuk dapat menjelaskan
kaitan antara pesan Q.s. al-Maidah ayat 67 dengan prosfesi sebagai guru.
Kesimpulan yang ia dapat dalam penelitian ini adalah bahwa menurutnya
guru merupakan pewaris rasul yaitu sebagai tenaga pendidik. Selain guru
mesti mengatahui tugas dan keawjibannya ia juga dituntut untuk memiliki
mental yang kuat dalam menjalankan tugas dan perannya. Hal ini menjadi
31
Dede Fitriana Anatassia, “Apakah Kamu Teman yang Amanah? Psikologi Indijinus:
Teman yang Amanah pada Masyarakat Melayu”, Jurnal Psikologi, Vol. 13 No. 1, (Juni 2017): h.
41-47. 32
Moch Irham Khaerullah, “Implikasi Qs. Al-Maidah Ayat 67 tentang Tugas Dan Peran
Guru Dalam Menyampaikan Amanah”, Prosiding Pendidikan Agama Islam, Vol. 2 (Tahun 2014-
2015): h. 49-56.
15
penting bagi guru untuk dimiliki agar dapat menjalankan amanahnya sebagai
guru.
14. Muhammad Jawis Samak33
juga melakukan penelitian mengenai amanah
dalam tafsir Ibn Katsir. Melalui penelitian ini ia merumuskan tiga hal terkait
amanah dalam pandangan Ibn Katsir. Pertama, ketika amanah dalam al-
Qurān dimaknai dengan kepercayaan maka biasanya objek kajiannya
mengarah kepada Nabi, Malaikat, Jin ataupun Manusia. Kedua, ketika
amanah dimaknai ketaatan dan hak-hak maka mengarah kepada manusia
secara umum. Ketiga, apabila amanah di maknai aman maka itu mengarah
ke wilayah atau tempat yang aman.
15. Capridiea Zoelisty34
melakukan penelitian terkait laporan keuangan masjid
di wilayah Universitas diponogoro menurutnya amanah merupakan sikap
yang sangat penting untuk konsep pengendalian internal khususnya dalam
penelitian ini pada proses pembuatan laporan keuangan masjid. Hal ini
terjadi karena amanah sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah SWT,
sehingga dengan sikap amanah dapat mengurangi tindakan kecurangan
penyelewengan dana masjid.
16. Chintya Ayu Pratiwi35
melakukan pengumpulan hadits terkait amanah dari
kitab Riyad al-Ṣaliḥin. Dari penelitian ini ia berpendapat bahwa amanah
mengandung muatan sikap yang erat dengan aktivitas manajemen keuangan
33
Muhammad Jawis Samak, “Amanah dalam al-Qurān : Kajian Tematik Tafsir al-Qurān
Al-Azim Karya Ibn Katsir”, Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qurān dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta 2017). 34
Capridiea Zoelisty, “Amanah Sebagai Konsep Pengendalian Internal Pada Pelaporan
Keuangan Masjid”, Skripsi S1 Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro
(Semarang, 2014). 35
Chintya Ayu Pratiwi, “Hadits-Hadits Amanah Riwayat Bukhari-Muslim Dalam Kitab
Riyadhush Shalihin Dan Implementasinya Dalam Manajemen Pendidikan Islam”, Skripsi S1
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, Institut Agama Islam
Negeri (Surakarta, 2017).
16
dalam pendidikan Islam yakni adil, jujur, disiplin, dan bertanggung
jawab/akuntabel. Substansi amanah dalam manajemen berarti menerapkan
fungsi dan juga prinsip-prinsipnya. Dua prinsip manajemen yang definisinya
paling dekat dengan amanah adalah transparansi dan akuntabilitas, keduanya
disebut dengan istilah partisipatif. Dua prinsip lain yaitu efektivitas dan
efisiensi adalah prinsip yang amat penting bagi penggunaan sumber daya
pendidikan.
Bedasarkan tinjauan terhadap literatur yang telah dipaparkan di atas maka tampak
bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah ada dalam beberapa
aspek, sebagai berikut :
1. Penelitian ini hanya berfokus kepada penafsiran pada Q.S Al Ahzab/33:
72.
2. Penelitian ini akan mengangkat makna amanah yang diberikan Allah dan
diterima oleh manusia.
3. Penelitian ini akan mengangkat satu tafsir yaitu tafsir al-Sya‘rāwī dan akan
memaparkan makna amanah yang diberikan Allah dan diterima oleh
manusia menurut penafsiran al-Sya‘rāwī.
17
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kepustakaan (Library Reseach)
yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan yang ada
sehingga diperoleh data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah
yang dipecahkan.36
2. Data Penelitian
Dalam tulisan ini, ada dua jenis data penelitian, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung berkaitan dan
menjadi rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu kitab tafsir al-
Sya‘rāwī karya Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī. Sedangkan data
sekundernya adalah sumber-sumber lain yang berkaitan dengan karya tulis
ini, yang menjadi data pendukung serta relevan dengan judul skripsi yang
penulis ambil.
3. Metode Penafsiran
Metode Penafsiran yang penulis gunakan adalah metode Tafsir
Mauḍu’i, yaitu metode penafsiran al-Qurān yang dilakukan dengan cara
memilih topik/tema tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya dalam
al-Qurān, yang sesuai dengan topik tersebut. Dal hal ini tema yang penulis
ambil adalah tentang amanah. Untuk itu langkah-langkah yang penulis
36
M. Nazir. Metode Penelitian (Jakrta : Pt. Ghalia Indonesia, 2003)h.27.
18
lakukan adalah menghimpun beberapa ayat al-Qurān yang tersebar di
berbagai surat sesuai dengan tema/pokok bahasan. Kemudian disusunlah
berbagai ayat tersebut yang saling berkaitan agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman
mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Sedang corak Tafsir yang penulis terapkan dalam skripsi ini adalah
corak Tafsir Adabi Ijtima’i, yaitu tafsir yang fokus bahasannya adalah
mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qurān secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qurān tersebut dengan
gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan
nas-nas al-Qurān yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem
budaya yang ada.37
Dalam arti lain corak Adabi ijtima’i ini berusaha
menggali makna-makna dan rahasia al-Qurān dengan menafsirkan al-
Qurān sesuai kondisi zaman.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendokumentasikan dalam
bentuk catatan-catatan dari sumber data diatas untuk kemudian disusun
terkait pembahasan pembahasan terkait tema yang dimaksud.
5. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul proses selanjutnya adalah melakukan
pembahsan atau analisis data. Dalam hal ini penulis menggunakan dua
37
Abdul Syukur,” Mengenal Corak Tafsir al-Qurān ” Jurnal El- furqonia Vol. 01, No.1
(Agustus: 2015), h. 99
19
metode. Pertama, deskriptif yaitu menguraikan data berupa ayat-ayat al-
Qurān yang berbicara tentang Amanah dan mengumpulkan berbagai
penafsiran terkait ayat tersebut. Tafsir yang digunakan adalah tafsir al-
Sya’rawi karya Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī. Kedua, Analisis yaitu
tahapan yang dilakukan dengan menjelaskan alasan pemaknaan dan
penafsiran Amanah dalam al-Qurān menurut Muḥammad Mutawalli al-
Sya‘rāwī, menemukan kecendrungan Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī
dalam aspek keilmuan tertentu yang sekiranya memberi pengaruh besar
terhadap pendapatnya tentang Amanah.
6. Teknik Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Teesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Cebter
for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan singkat tentang
penulisan ini, penulis membagi dalam lima bab, yang mana masing masing bab
berisi persoalan persoalan tertentu dengan tetap berkaitan antar bab yang satu
dengan bab lainnya, adapun sistematikanya tersusun sebagai berikut.
BAB pertama, berisi pendahuluan yang merupakan gambaran umum terkait
karya tulis ini yang didalamnya terdiri dari sub bab yaitu latar belakang masalah,
20
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB kedua, membahas tentang berbagai hal yang merupakan landasan
teori dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis mengemukakan gambaran umum
tentang definisi amanah, Kriteria amanah, Syarat pemberi dan Pemenerima
Amanah serta konsekuensi penerima amanah.
BAB ketiga, berisi uraian tentang biografi Muhammad Mutawalli al-
Sya‘rāwī dan penjelasan mengenai gambaran serta karakteristik tafsir al-Sya‘rāwī.
BAB keempat, dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang bagaimana
penafsiran surat al-Ahzab ayat 72 dalam tafsir al-Sya‘rāwī. Dalam hal ini meliputi
asbab nuzul serta kolerasinya dengan ayat yang turun sebelum dan sesudahnya.
BAB kelima, bab ini merupakan penutup dari skripsi ini, yang meliputi
kesimpulan dan saran, kesimpulan dimaksudkan untuk menarik kesimpulan dari
pembahasan yang dikaji dalam skripsi. Sedang saran merupakan tindak lanjut dari
hasil penulisan skripsi ini.
21
BAB II
KONSEP AMANAH DALAM AL-QUR’AN
A. DEFINISI AMANAH
Amanah secara etimologis (Pendekatan kebahasaan/lughawi) berasal dari
bahasa arab dalam bentuk maṣdar dari amānatan yang berarti jujur atau dapat
dipercaya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia amanah berarti pesan, atau
perintah. Menurut kamus Al-Munawir pengertian amānatan itu adalah segala
yang diperintahkan Allah Swt., kepada hamba-Nya.1 Dalam kamus bahasa
Indonesia, kata yang menunjukan makna kepercayaan menggunakan dua kata
yaitu amanah atau amanat. Amanah di sini merupakan salah satu bahasa Indonesia
yang telah disadur dari bahasa Arab.2
Sedangkan secara istilah, amanah berarti segala sesuatu yang dipercayakan
kepada manusia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak
Allah Swt.,3 Amanah merupakan kepercayaan yang diberikan kepada seseorang
untuk ditunaikan kepada yang berhak. Orang yang amanah adalah orang yang
dapat menjalankan tugas yang diberikan. Dalam perspektif Islam (Al-Qurān dan
hadis), amanah dapat dilihat dari berbagai dimensi. Di dalam al-Qurān terdapat
1Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 41 2Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 48 3https://almanhaj.or.id/2711-siapakah-yang-layak-diberi-amanah.html
22
lima kata amanah4. Pertama, dalam Q.S Al Ahzab/33: 72, yaitu amanah sebagai
tugas atau kewajiban;
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat ẓalim dan amat bodoh.”
Penggunaan kata amanah pada ayat ini adalah berada dalam konteks
pembicaraan tentang kesediaan manusia melaksanakan amanah yang ditawarkan
oleh Allah Swt., setelah sebelumnya tidak satu pun makhluk yang sanggup
memikulnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata al-āmanah
atau ketaatan atau kepatuhan yang الطاعة di dalam ayat ini adalah (االمانة)
ditawarkan Allah Swt., kepada langit, bumi, gununggunung sebelum ditawarkan
pada bapak manusia, Adam as. Langit dengan segala hormatnya menolak tawaran
itu karena sangat beratnya. Akan tetapi manusia siap menerima dan memelihara
amanah itu dengan sebaikbaiknya. Fakhrur al-Razi di dalam Tafsir Al-Kabir
4Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni “Pengukuran Konsep Amanah dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” Jurnal Psikologi Volume 43, Nomor 3, 2016: h. 195
23
mengemukakan bahwa kata al-āmanah (االمانة) disini bermakna al-taklif التكلیف
yaitu pembebanan karena orang yang tidak sanggup memenuhinya berarti
membuat utang atas dirinya. Adapun orang yang melaksanakannya akan
memperoleh kemuliaan. Didalam kaitan itu, Abdullah Yusuf Ali menyatakan
bahwa kata-kata langit, bumi, dan gunung-gunung pada ayat tersebut mengandung
makna simbolik. Maksudnya, untuk membayangkan bahwa amanah itu
sedemikian berat, sehingga benda-benda yang sedemikian berat seperti langit,
bumi, dan gunung-gunung yang cukup kuat serta teguh sekalipun, tidak sanggup
menanggung dan memikulnya.5
Kedua, Q.S Al Baqorah/2: 283, yaitu amanah sebagai hutang atau janji
yang harus ditunaikan;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
5Manaratul Hidayat, “Konsep Amanah Perspektif Al-Qur’an (Studi Analisis Tafsir Al-
Mishbah M. Quraish Shihab) “ (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab, Institut
Agama Islam Negeri (Iain) “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2015), h. 43-44
24
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Swt., Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Swt., Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al-Qurān menggunakan kata amanah (أمانة) bentuk mufrad antara lain di
dalam konteks pembicaraan tentang perdagangan berupa jaminan yang harus
dipegang oleh orang yang amanah (jujur). Menurut Al-Maraghi bahwa apabila
kalian saling mempercayai karena kebaikan dugaan bahwa masing-masing
dimungkinkan tidak akan berkhianat atau mengingkari hak-hak yang sebenarnya
maka pemilik uang boleh memberikan utang kepadanya. Setelah itu, orang yang
berutang hendaklah bisa menjaga kepercayaan ini dan takutlah kepada Allah Swt.,
serta jangan sekali-kali mengkhianati amanah yang diterimanya. Utang dikatakan
sebagai amanah karena orang yang memberi utang percaya padanya tanpa
megambil sesuatupun sebagai jaminan. Jadi, kata amanah disini menurut Al-
Maraghi mengacu pada pengertian khusus di dalam bidang muamalah, yakni
kewajiban seseorang berlaku jujur di dalam membayar utangnya.
Ketiga, Q.S An-Nisa’/4:58, yaitu amanah sebagai tugas yang harus
disampaikan pada yang berhak;
25
“Sesungguhnya Allah Swt., menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah Swt., memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Swt., adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
Kata al-amanat (االمانات) bentuk jamak-digunakan oleh al-Qurān antara lain
dalam konteks pembicaraan tentang perintah Allah Swt., agar manusia
menunaikan amanah kepada pemiliknya. Rasyid Ridho menegaskan bahwa al-
amanat (االمانات) disini digunakan sebagai ism maf’ul ( المفعول اسم ) yakni kata sifat
selaku objek dengan pengertian ‘segala sesuatu yang dipercayakan kepada orang
lain dengan rasa aman’. Menurut al-Ṭabari bahwa ayat ini di tujukan kepada para
pemimpin (penguasa) agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam, seperti
penyelesaian perkara rakyat yang diserahkan kepada mereka untuk di tangani
dengan baik dan adil. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-amānāt (االمانات)
dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu diantaranya adalah
perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
26
golongan, atau kaum muslim saja, melainkan mencakup semua manusia, bahkan
seluruh makhluk. Oleh karena itu, berdampingan dengan amanah yang
dibebankan kepada para penguasa maka ditekankan kewajiban rakyat taat kepada
mereka. Sementara itu, Thanthawi Jauhari ketika menafsirkan ayat diatas,
merumuskan cangkupan makna kata al-amānāt (االمانات) yang cukup luas, yaitu
segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta, dan
pengetahuan; atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi
dirinya dan orang lain. Ṭanṭawī merumuskan lebih abstrak lagi karena tidak saja
berdasarkan pertanggungjawaban, tetapi juga kegunaan yang terkandung di dalam
amanah itu.6
Keempat, Q.S Al-Anfal/8: 27, yaitu tentang menjaga amanah;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
Swt., dan Rasul (Muhammad)s dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Pada ayat ini, ditemukan pula penggunaan kata amānātikum ( اماناتكم ) yang
disandarkan pada manusia yang beriman. Menurut al-Syaukanī, ayat ini melarang
orang-orang beriman mengkhianati Allah Swt., dan Rasul-Nya dan mengkhianati
amanah sesama manusia. Dengan begitu, ada dua jenis amanah. Pertama, amanah
6 Hidayat, “Konsep Amanah Perspektif Al-Qur’an, h. 44
27
Tuhan dan Rasul-Nya berupa aturan-aturan dan ajaran agama yang harus
dilaksanakan. Kedua, amanah manusia berupa sesuatu, materil atau non-materil
yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan maksud tertentu sesuai
dengan ajaran agama.
Kelima, Q.S Al Ma’arij/70: 32, yaitu anjuran memelihara amanah;
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.”
Ayat ini tergolong dalam konteks pembicaraan tentang salah satu cara
yang bisa membebaskan manusia dari rasa keluh kesah dan kikir ialah dengan
memelihara amanah. Jadi, amanah yang dikehendaki di sini adalah pemenuhan
hak-hak manusia, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain maupun kepada Allah
Swt.,, dan bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang diterimanya untuk
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Sementara dalam hadis, amanah dapat ditemui di beberapa hadis tentang
amanah, misalkan, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian
akan dimintai pertanggungjawaban dari yang dipimpinnya…” (H.R. Muslim).
“Apabila seseorang membicarakan sesuatu kepada orang lain (sambil) menoleh ke
28
kiri dan ke kanan (karena yang dibicarakan itu rahasia, maka itulah amanah (yang
harus dijaga).” (HR. Abu Dawud).7
Definisi amanah sangat luas cakupannya. Amanah meliputi segala yang
berkaitan hubungan interpersonal antar manusia dan hubungan dengan Sang
Penguasa Alam, yaitu Allah Swt. Menurut Ibnu Katsir amanah adalah semua
tugas atau pembebanan agama yang meliputi perkara dunia dan akhirat yang
ditujukan kepada manusia.8
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa amanah meliputi tiga dimensi.
Pertama, berkaitan dengan hubungan dengan Allah Swt., dalam hal ini amanah
dilihat lebih luas dan dalam. Amanah diartikan sebagai kewajiban hamba kepada
Allah Swt.,yang harus dilakukan manusia. Kedua, terkait dimensi antar manusia,
dalam hal ini amanah dilihat sebagai karakter terpuji dan tugas yang harus
dilaksanakan. Ketiga, terkait dengan diri sendiri. Pada dimensi ini amanah dilihat
sebagai sesuatu yang harus dikerjakan untuk kebaikan dirinya.
Ketiga dimensi tersebut saling terkait satu sama lain, artinya ketika hanya
satu dimensi yang dijalankan, maka amanahnya belum sempurna. Misalkan,
ketika individu menunaikan amanahnya kepada Allah Swt., seperti menjalankan
salat, tetapi dalam hubungan interpersonal tidak berperilaku amanah, maka dalam
perspektif Islam individu tersebut belum dikatakan amanah.9
7Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni,“Pengukuran Konsep Amanah dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” Jurnal Psikologi Volume 43, Nomor 3, 2016: h. 195 8Agung dan Husni, “Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif” h. 195 9Agung dan Husni, “Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif” h. 195
29
Beberapa ulama’ lain mempunyai pandangan yang beragam mengenai
makna amanah diantaranya adalah pandangan dari al-Imam Ibn al-Atsir
rahimahullah, ia berkata amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan,
kepercayaan, dan jaminan keamanan. Begitu juga al-Ḥafiẓ Ibn Katsir
rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang
makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al-Ahzab ayat 72, al-Ḥafiẓ Ibn
Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi’in tentang makna
amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-
kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.10
Selanjutnya, Syaikh al-Mubarakfuri rahimahullah berkata: “āmanah
adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya”. Adapun
menurut Syaikh Maṣur bin Hasan Alu Salman, amanah adalah kepercayaan orang
berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah Swt., berupa salat, puasa, zakat
dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh
anggota tubuh dari segala perbuatan dosa.11
Sedangkan Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali hafizhahullah menjelaskan,
amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan
dengan perkara-perkara yang dengannya seseorang terbebani untuk
menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup
seluruh hak-hak Allah Swt., atas seseorang, seperti perintah-perintah-Nya yang
wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus
ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya). Sehingga, sudah semestinya
10
https://almanhaj.or.id/2711-siapakah-yang-layak-diberi-amanah.html 11
https://almanhaj.or.id/2711-siapakah-yang-layak-diberi-amanah.html
30
seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan sebaik-baiknya
dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh menyembunyikan,
mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang syar’i.12
Syaikh Husain bin ‘Abd al-Aziz Ālu al-Syaikh juga menjelaskan, para
ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan
dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan
hak-hak yang telah diperintahkan Allah Swt., agar ia memelihara dan
menunaikannya, baik berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan
kehormatan harga diri.13
Jelaslah kirannya makna “amanah” secara umum adalah kepercayaan yang
diberikan oleh Allah Swt., kepada makhluknnya. Bahwasannya kita sebagai
hambannya yang ḍoif tentunnya terdapat khilaf dan lupa. Meskipun demikian,
Manusia diberikan beban oleh Allah Swt.,yang sangat luar biasa. Setiap orang
berkewajiban melakukan amanah atau kejujuran dalam setiap hal yang
dihadapinnya, akan tetapi banyak diantarannya yang tidak sanggup memikulnnya,
karena tidak mempunyai kejujuran dan ilmu pengetahuan.14
B. KETENTUAN POKOK AMANAH
Amanah memiliki peran penting dalam relasi interpersonal individu. Sikap
dan perilaku amanah mampu membentuk hubungan positif antar individu dan
12
Bahjatun Nazhirin, “Syarhu Riyadh ash Shalihin” (1/288). 13
Dari khuthbah Jum’at yang beliau sampaikan di Masjid Nabawi, al Madinah an
Nabawiyah, KSA, pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1426 H, yang bertema ‘Izhamu Qadril Amanah
(Agungnya Kedudukan Amanah). Diakses pada 13 Juli 2018 dari https://almanhaj.or.id/2711-
siapakah-yang-layak-diberi-amanah.html 14
Fachrudin HS., Ensiklopedia Al-Qur`an (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992 ), h. 105
31
kelompok. Menurut Hamka, amanah merupakan pondasi dasar dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Amanah merupakan perekat sosial dalam
membangun solidaritas di masyarakat yang bertujuan membentuk kerja sama
antar individu.15
Amanah merupakan salah satu karakteristik sifat Nabi Muhammad Saw.,
yang diartikan orang yang dapat dipercaya. Demikian juga yang terjadi di
Indonesia, istilah amanah dilekatkan pada orang yang dapat dipercaya.
C. MANUSIA SEBAGAI PENGEMBAN AMANAH
Manusia diciptakan oleh Allah Swt., sebagai khalifah di muka bumi ini,
sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah Swt., memerintahkan
manusia untuk menjaga bumi ini dan tidak membuat kerusakan di dalamnya. Ini
merupakan sebuah amanah yang diberikan oleh Allah Swt., kepada manusia yang
harus ditunaikan, sebagai konsekuensi atas apa yang diterimanya. Allah Swt.,
mengembankan amanah ini kepada bumi, langit dan gunung-gunung, akan tetapi
mereka enggan untuk menerimanya dikarenakan mereka takut tidak bisa
menunaikan amanah tersebut. Kemudian amanah itu diberikan kepada manusia
dan manusia mau menerimanya. Maka, dibebankanlah amanah itu kepada
manusia, dan manusia ditunjuk oleh Allah Swt., sebagai pengemban amanah,
sebagaimana Allah Swt., sebutkan dalam Q.S al-Ahzab/33: 72.
Dalam tafsir al-Misbah disebutkan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam
menjelaskan amanah di sini, sebagaimana M. Quraish Shihab kemukakan dalam
15
Agung dan Husni, “Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif” h. 195
32
penafsirannya, beliau mengungkapkan bahwa dalam mengartikan kata amanah ini
ada yang mempersempit maksudnya sehingga menentukkan bahwa amanah
tersebut merupakan kewajiban keagamaan tertentu seperti rukun Islam, puasa dan
mandi janabah. Ada pula sebagian ulama yang memperluas maksudnya yaitu
segala sesuatu yang mencakup beban keagamaan. Dan juga ada yang
menyebutkan bahwa amanah itu adalah akal. Selain itu, Shihab menyebutkan pula
pendapat bahwa amanah pada ayat ini segala sesuatu yang diserahkan kepada
seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan sebaik mungkin serta menghindari
segala bentuk penyia-nyiaannya, baik karena sengaja maupun karena lalai atau
lupa.16
Untuk itu, maka amanah merupakan tugas yang wajib untuk ditunaikan,
karena merupakan perintah Allah Swt., dan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw.,
menyebutkan bahwa “tidaklah sempurna iman seseorang yang tidak terdapat
amanah pada dirinya”. Dalam hal ini, siapa yang dipercaya untuk mengemban
amanah, maka ia harus menunaikannya sekalipun berat untuk dilaksanakan. Di
dalam al-Qurān, Allah Swt., memerintahkan agar setiap amanah yang diberikan
dari siapa pun harus dilaksanakan, yaitu pada Q.S an-Nisa/4: 58:
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. X
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 549-550.
33
“Sesungguhnya Allah Swt., menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah Swt., memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Swt., adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
Menurut Ibn Mardawih yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, ayat ini turun
ketika Rasulullah Saw., meminta kunci Ka’bah kepada Utsman bin Ṭalhah
setelah Makkah ditaklukkan. Kemudian Abbas meminta kunci tersebut dengan
tujuan agar ia dapat mendapatkan rangkap tugas sebagai pemegang kunci Ka’bah
dan pemberi minum. Akan tetapi Utsman enggan untuk memberikan kunci
tersebut, seraya berkata bahwa kunci itu amanah dari Allah Swt. Kemudian
Rasulullah meminta kunci tersebut dan membuka pintu Ka’bah dan masuk ke
dalamnya. Setelah beliau thawaf malaikat Jibril datang menyampaikan pesan dari
Allah Swt., agar kunci itu dikembalikan kepada Utsman. Kemudian Rasulullah
Saw., menyerahkan kunci itu kepada Utsman.17
Dari asbabun nuzul ayat ini, menggambarkan dengan jelas bahwa amanah
itu harus ditunaikan. Bahkan Rasulullah Saw., diperintahkan untuk
mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman, karena Utsmanlah yang
mendapatkan amanah memegang kunci Ka’bah tersebut. Apabila amanah-amanah
itu disia-siakan, maka sudah tentulah kehancuran yang akan ditimbulkan, karena
17
Al-Sayyid Ahmad Al-Hasyimiy, Mukhtar Al-Hadits An-Nabawiyyah wa Al-Hukum Al-
Muhammadiyyah (Surabaya: Imaratullah, t.t.), h. 14.
34
penyia-nyiaan amanah itu merupakan salah satu tanda hari kiamat. Sebagaimana
Rasulullah Swt., bersabda, yang artinya sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan berkata, telah
menceritakan kepada kami Fulaih. Dan telah diriwayatkan pula hadits
serupa dari jalan lain, yaitu Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al
Mundzir berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih
berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku berkata, telah
menceritakan kepadaku Hilal bin Ali dari Atho' bin Yasar dari Abu
Hurairah berkata: Ketika Nabi shallAllah Swt.,u 'alaihi wasallam berada
dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah
seorang Arab Badui lalu bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?"
Namun Nabi shallAllah Swt.,u 'alaihi wasallam tetap melanjutkan
pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau
mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang
dikatakannya itu, " dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa
beliau tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi shallAllahu
'alaihi wasallam menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata: "Mana
orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?" Orang itu berkata: "saya
wahai Rasulullah!". Maka Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang
itu bertanya: "Bagaimana hilangnya amanat itu?" Nabi shallAllahu 'alaihi
wasallam menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
akan tunggulah terjadinya kiamat”. (HR. Bukhari, No. 57)
35
Menurut hadits ini, menyerahkan satu perkara kepada orang yang bukan
ahlinya merupakan salah satu bentuk penyia-nyiaan amanah. Dan akibat dari
penyia-nyiaan tersebut datanglah kehancuran (kiamat). Dalam hadits lain
Rasulullah Swt., memerintahkan untuk menunaikan amanah dan melarang berlaku
khianat sekalipun kepada orang yang telah berkhianat kepada kita. Rasulullah
Swt., bersabda:
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin
Sa'id dan lafazh tersebut milik Yahya, keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Ismail bin Ja'far dia berkata, telah
mengabarkan kepada kami Abu Suhail Nafi' bin Malik bin Abu Amir dari
bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallAllah Swt.,u 'alaihi
wasallam bersabda: "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila dia
berbicara niscaya dia berbohong, apabila dia berjanji niscaya mengingkari,
dan apabila dia dipercaya niscaya dia berkhianat.” (HR. Muslim, Kitab
Iman, Bab Penjelasan tentang Sifat Munafik, No. 89)
Dalam hal khianat, penulis mengambil pendapat dari ahli tafsir terkemuka
yaitu M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya disebutkan bahwasanya siapa yang
dititipi amanah, itu berarti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa
aman bahwa sesuatu yang dititipkan itu akan dipelihara olehnya sehingga bila tiba
saatnya diminta kembali oleh yang menyerahkan ia akan mendapati titipannya
tidak kurang, tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan sebagai hasil
36
pemeliharaan pasif, bahkan lebih baik dan berkembang sebagai hasil
pemeliharaan aktif. Lebih lanjut Shihab mengatakan bahwa, agama pun
merupakan amanah dari Allah Swt., bumi dan segala isinya juga merupakan
amanah dari Allah Swt., kepada manusia. Menjaga amanah dari Allah Swt., ini
bisa ditunaikan dengan tetap menjaga sebagaimana mestinya tanpa adanya
kekurangan sedikitpun, dan bahkan akan lebih baik jika bisa berkembang. Apabila
amanah dari Allah Swt., ini tidak ditunaikan, itu merupakan sikap khianat
terhadap Allah Swt. Segala sesuatu yang berada dalam genggaman manusia
adalah amanah Allah Swt. Agama adalah amanah Allah Swt., bumi dan segala
isinya adalah amanah-Nya, keluarga dan anak-anak adalah amanah-Nya, bahkan
jiwa dan raga masing-masing manusia bersama potensi yang melekat pada dirinya
adalah amanah Allah Swt. Semua harus dipelihara dan dikembangkan.18
Allah Swt., memberikan amanah kepada makhluk pilihannya, yaitu
manusia. Karena manusia adalah makhluk Allah Swt., yang paling sempurna
untuk menerima amanah dari-Nya. Selaku hamba Allah Swt., manusia
mempunyai tugas beribadah hanya kepada-Nya. Allah Swt., berfirman dalam Q.S
adz-Dzariyat/51: 56, sebagai berikut:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
18
Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 509-510
37
Perbuatan baik yang terwujud dalam fungsi manusia selaku khalifah fil ard
yang tentunya dibarengi dengan amanah akan berarti di sisi Allah Swt., bila
dilakukan dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Maksudnya ialah bahwa setiap
perbuatan yang nampaknya dilakukan dalam urusan dunia (seperti: berdagang,
bertani, menjadi pegawai), namun bertujuan untuk mensejahterakan dan
memakmurkan manusia, serta dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Swt.,
maka amanah yang di berikan oleh Allah Swt., kepada manusia, yaitu perintah
ibadah dan tugas khalifah telah dilaksanakan. Ganjaran baik di dunia maupun di
akhirat ia memperoleh berlipat ganda.19
Allah Swt., memberikan amanah kepada seluruh hambanya agar amanah
tersebut dijalankan dengan sebaik-baiknnya. Amanah juga termasuk ibadah yang
harus di lakukan oleh manusia secara syar`i. Dengan demikian amanah tidak
hanya menyangkut urusan materi akan tetapi ada juga hal-hal yang bersifat fisik.
Menunaikan hak Allah Swt., adalah amanah, berbuat baik sesama manusia adalah
amanah, keluarga adalah amanah, anak dan istri adalah amanah, jadi segala
macam urusan manusia adalah amanah oleh karena itu hidup kita ini dipenuhi
dengan amanah.20
Dari paparan di atas jelaslah bahwasanya tanggung jawab manusia baik
sebagai hamba Allah Swt., dan makhluk sosial serta sebagai khalifah fil ard
sangat berat dan harus dipertanggung jawabkan namun demikian Allah Swt.,
memberikan amanah tersebut kepada manusia dikarenakan adanya potensi
19
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Pendidikan Islam, h.
12-13 20
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Pendidikan Islam, p. 14
38
manusia untuk melaksanakan mandat tersebut. Sebagai hamba Allah Swt.,
manusia sudah dibekali potensi tauhid di dalam dirinya semenjak ia dalam Rahim
manusia dibekali ilmu pengetahuan agar dapat mengekspolarasi sumber daya alam
untuk kesejahteraan umat, bukan mengeksploitasinya. Peran dan tanggung jawab
manusia tersebut dilihat bagaimana upaya dalam memanfaatkan umur (nikmat)
untuk senantiasa berbuat kebajikan, baik hubungan secara vertikal maupun sosial
horizontal.21
Karakteristik atau sifat kenapa seseorang pantas dipercaya atau disebut
dengan keterpecayaan (trusworthiness), dapat dikaitkan dengan kepercayaan.
Beberapa penelitian menunjukkan karakteristik personal yang meliputi sifat dan
perilaku menjadi dasar kenapa orang dipercaya. Menurut Mayer, dkk., (1995)
karakteristik personal meliputi tiga hal, yaitu kemampuan, kebajikan, dan
integritas. Demikian juga studi meta analisis Colcuittt dkk., (2007) menunjukan
bahwa orang dipercaya berdasarkan pada tiga hal, yaitu kemampuan, kebajikan,
dan integritas.22
D. KONSEKUENSI PEMELIHARAAN AMANAH
Amanah sebagai sifat wajib rasul merupakan konsekuensi bagi kerasulan
seseorang. Sebab kalau seorang rasul tidak dapat di percaya, maka ajaran syariat
21
Khairullah, ”Peran dan Tanggung Jawab Manusia dalam Al-Qur`an” dalam Jurnal Al-
Fath, Vol. V. no.01 (Januari-Juni, 2011), h. 94 22
Agung dan Husni, “Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif”, h. 195
39
yang mereka bawa tentu dapat dipertanyakan kebenarannya. Dan itu tidak logis.
Sebab semua orang akan mempertanyakannya dan ajarannya menjadi kacau.23
Setiap perintah yang diberikan maka akan mendatangkan kebaikan jika
dilaksanakan, dan jika tidak dilaksanakan maka akan mendapatkan siksa dari
Allah Swt. Begitupula dalam melaksanakan amanah, bagi siapa saja yang
menunaikan amanah maka ia akan mendapatkan kebaikan dan bagi siapa saja
yang tidak menunaikannya maka ia telah melakukan khianat dan akan
mendapatkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan firman
Allah Swt., dalam Q.S Al-Mu’minun/23: 8, sebagai berikut:
“dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya.”
Di dalam menafsirkan ayat ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
konsekwensi dari adanya amanah itu adalah akan diperolehnya kebaikkan bagi
yang menjalankan amanah itu, disebabkan oleh amanah yang dipikulnya. Dan
bagi yang menyia-nyiakan āmanah, ia akan mendapatkan kerugian yang besar,
karena dengan menyia-nyiakan āmanah berarti ia telah meninggalkan tanggung
jawabnya. Kemudian Shihab menyebutkan bahwa kata “amanah” terambil dari
akar kata “āmina” yang berarti percaya dan aman, ini dikarenakan amanah itu
diberikan atas dasar kepercayaan orang yang memberikan amanah kepada orang
23
Syahrin Harahap, dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akhlak Islam (Jakarta:
Kencana. 2009), h. 62.
40
yang menerima amanah. Shihab juga menjelaskan bahwa amanah adalah asas
keimanan sebagaimana yang sebutkan oleh Nabi Saw., dalam haditsnya.24
Menurut Shihab, penggunaan kata “āmanah” dalam bentuk jamak ini
digunakan karena amanah itu sendiri terdapat bermacam-macam. Di antaranya
adalah nikmat yang dianugerahkan Allah Swt., kepada manusia. Beliau
menyebutkan bahwa amanah yang dipikul manusia mencakup empat aspek;
anatara manusia dengan Allah Swt., seperti bermacam-macam ibadah yang di
antaranya adalah nadzar yang wajib untuk dilaksanakan; antara amanah seseorang
dengan orang lain, seperti titipan, rahasia dan sebagainya; antara seseorang
dengan lingkungan, yang menyangkut pemeliharaannya agar tetap lestari hingga
bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang; amanah terhadap dirinya sendiri,
seperti menjaga kesehatan. Dalam hal ini, Shihab menyebutkan bahwa menjaga
kesehatan diri sendiri pun merupakan amanah tiap-tiap seseorang yang harus
dijaga sebagaimana Rasulullah Swt., sebutkan dalam haditsnya. 25
24
Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 354 25
Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 450
41
Bab III
Gambaran Umum Tafsir Al-Sya‘Rāwī
A. BIOGRAFI MUHAMMAD MUTAWALLI Al-Sya‘Rāwī
Gelar Mujaddid Abad ke-20 tampaknya tidak terlalu berlebihan jika
disandangkan untuk sosok Syekh Sya‘rāwī. Ia adalah satu dari sekian ulama
dunia yang cukup berpengaruh pada abad ke-20, baik dalam bidang keagamaan,
sosial, maupun politik internasional, khususnya wilayah Timur Tengah.1
Nama lengkap al-Sya‘rāwī adalah Muhammad bin Mutawalli al-Sya‘rāwī al-
Husaini. Lahir pada hari Ahad, 17 Rabi’ al tsani 1329 H bertepatan dengan 16
April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir, al-Dakhaliyyah.2 Mesir. Daerah
tersebut terletak di tengah delta sungai Nil.3
Berkaitan dengan nasab (keturunan) al-Sya‘rāwī, dalam sebuah kitab
berjudul Anâ min Sulâlat Ahl al-Bait, al-Sya`râwî menyebutkan bahwa beliau
merupakan keturunan dari cucu Nabi Saw yaitu Hasan dan Husain.4 Ia dibesarkan
di lingkungan keluarga terhormat yang punya pertalian dengan para ulama serta
para wali. 5 Ayahnya adalah seorang petani sederhana yang mengolah tanah milik
orang lain. Walaupun demikian, ayah al-Sya‘rāwī mempunyai kecintaan terhadap
ilmu dan sering mendatangi majelis-mejelis untuk mendengarkan taushiyah-
1Amri Amrullah, ed: Nashih Nashrullah “Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī
Mujadid Abad ke-20” diakses pada 16 Juli 2018 dari https://republika.co.id/berita/koran/islam-
digest-koran/14/09/14/nbw82m-syekh-muhammad-mutawalli-asysyarawi-mujadid-abad-ke20 2Sa’id Abu al-‘ainain, al-Sya‘rāwī Ana Min Sulalat Ahli al-Bait (al-Qahirah: Akhbar al-
Yawm, 1955), h. 6 3Muhammad Fawzi, al-Syaikh al-Sya‘rāwī min al-Qaryah ila al-Qimmah, (Kairo: Dâr
alNashr, 1992) h. 5 4Abu al-‘ainain, al-Sya‘rāwī Ana Min Sulalat Ahli al-Bait, h. 6
5Husain Jauhar, al-Sya‘rāwī op. cit., h. 59
42
taushiyah para ulama.6 Ia mempunyai hasrat dan keinginan yang besar untuk
mengarahkan anaknya menjadi seorang ilmuwan. Untuk merealisasikan cita-
citanya ini, ia selalu memantau al-Sya`râwî kecil ketika sedang belajar. Ia ingin
kelak al-Sya`râwî masuk ke Universitas al-Azhar. Al-Sya`râwî sendiri mengakui
besarnya peranan sang ayah dalam membentuk kepribadiannya. Diibaratkan kalau
dari gurunya al-Sya`râwî mengambil 10% maka yang 90% diperoleh dari
ayahnya.7
Pendidikan Sya‘rāwī dimulai dari menghafal al-Qur’an kepada seorang
syaikh di daerahnya yaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Beliau tamat menghafal al-
Qur’an pada usia 11 tahun. Kemudian Ia disekolahkan di sekolah dasar al-Azhar
di Zaqaziq tahun 1926 M.8 Setelah memperoleh ijazah sekolah dasar al-Azhar
pada tahun 1932 M, ia melanjutkan sekolah menengah pertama di al-Azhar,
hingga lulus pada tahun 1936 M. Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī
melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar, dan mengambil jurusan
Bahasa Arab pada tahun 1937 M, hingga lulus pada tahun 1941 M.9 Kemudian ia
juga menamatkan pendidikan A’lamiyyah dan mendapatkan lisensi mengajar pada
tahun 1943 M.10
6Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi alladzî lâ na`rifuhu, (Mesir: Dâr Akhbâr al-Yaum,
1995), h. 16 7Ibid, h. 20
8Sumber lain menceritakan beliau tamat sekolah dasar pada 1923 M. Di madrasah inilah
kemampuannya dalam menimba ilmu mulai terlihat. Minat serta kemampuannya dalam bidang
sastra dan syair-syair Arab berkembang sangat baik. Kemampuannya ini mendapatkan tempat
tersendiri di antara para sahabat karibnya sehingga Sya'rawi cukup populer di antara rekan-
rekannya. Ia diberi amanat sebagai ketua persatuan siswa sastra di sekolahnya. 9Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi: Imam Al-‘asr (Al-
Qahirah: Handat Misr, 1990), h. 74 10
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya‟rawi Khawatir al-Sya‟rawi Haula al-Qur‟an al-Karim.”
Diakses pada 16 Juli 2018 dari https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-Sya‘rāwī-
khawatir-al-Sya‘rāwī-haula-al-quran-al-karim/
43
Pada masa pendidikannya di Universitas al-Azhar, al-Sya‘rāwī semakin
mengasah naluri keulamaannya. Selain aktif belajar, ia juga aktif dalam dunia
pergerakan. Hal ini terlihat pada 1919 M ketika pecah revolusi di Al-Azhar
menentang penjajahan Inggris di Mesir. Sya‘rāwī bersama rekan-rekannya
berdemonstrasi dan berorasi menolak penjajahan Inggris atas Mesir. Pada 1934
M, ia pun sempat menjadi ketua persatuan mahasiswa dan membuatnya menjadi
target penangkapan kolonial Inggris berkali-kali.
Beliau wafat pada tanggal 22 Safar 1419 H yang bertepatan dengan 17 Juni
1998 M dan dimakamkan di daerah Daqadus, di usia 87 tahun.11
Ayahnya
memberi gelar “Amin” dan gelar ini dikenal masyarakat di daerahnya. Beliau
adalah ayah dari tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan yang bernama Sami,
`Abd al-Rahîm, Ahmad, Fâthimah dan Shâlihah.12
B. JEJAK KEILMUAN DAN KARYA AKADEMIK
Karier tokoh kelahiran 16 April 1911 M di dunia Islam ini bermula dari
pendidikan. Ia dipercaya menjadi dosen ilmu syariah di Universitas Ummu al-
Quro pada 1950 M. Posisinya sebagai pengajar di universitas kenamaan Islam ini
mengangkat posisinya dengan kelebihan keilmuan dan kecerdikannya dalam
pergerakan politik membuat Syekh Sya‘rāwī cukup terkenal di Mesir dan
11
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2006). H. 277 12
Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm al-
`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14
44
pemerintah saat itu yang dipimpin Jamal Abdul Nasser.13
Selain menjadi dosen di
Universitas Ummu al-Quro al-Sya‘rāwī juga menjadi tenaga pengajar pada
beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta,
al-Azhar Iskandariyah, Zaqaziq, Universitas Malik Ibn Abdul aziz Makkah,
Universitas al-Anjal Arab Saudi, dan lain-lain.14
Selain mengajar, al-Sya‘rāwī juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial
keagamaan, seperti menjadi khatib, menjadi da’i, mengisi kajian tafsir al-Qur’an
yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di mesir dalam acara Nur
Ala Nur.15
Ketenarannya ini berkat dukungannya yang kuat terhadap kebijakan
Mesir pada saat itu yang menentang penuh dominasi Israel di kawasan Timur
Tengah dan Palestina.
Pada tahun 1963 M terjadi perselisihan antara presiden Jamal Abdul Naser
dan Raja Saudi. Setelah itu al-Sya’râwi mendapatkan penghargaan dan ditugaskan
di Kairo sebagai Direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein Ma’mun.
Kemudian ia pergi ke Algeria sebagai ketua duta al-Azhar di sana dan menetap
selama tujuh tahun, dan kembali lagi ke Kairo untuk ditugaskan sebagai Kepala
Departemen Agama provinsi Gharbiyah. Setelah itu ia dipercaya menjadi Wakil
Dakwah dan Pemikiran, serta menjadi utusan al-Azhar untuk kedua kalinya ke
Kerajaan Saudi Arabia, mengajar di Universitas King Abdul Aziz.16
13
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya‘rāwī Khawatir al-Sya‘rāwī Haula al-Qur‟an al-Karim.”
Diakses pada 16 Juli 2018 dari https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya‘rāwī -
khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/ 14
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Grnder Menurut Tafsir Al-Sya‘rāwī
(Jakarta:Mizan, 2004), h. 27 15
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Grnder Menurut Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 27 16
Muhammad Siddîq al-Minsyâwî, Al-Syaikh Al-Sya‘rāwī wa Hadîts al-Dzikrayât, (t.t.:
t.p.,t. th.), h. 8
45
Berkat dukungannya terhadap Pemerintah Mesir pada November 1976, ia
pun sempat diangkat menjadi menteri wakaf dan urusan Al-Azhar (setingkat
menteri agama di Indonesia). Pada pemerintahan Anwar Sadat, yang dikenal
meneruskan garis perjuangan Abdul Nasser. Jabatan sebagai menteri hanya ia
pegang selama tidak kurang dua tahun hingga Oktober 1978.17
Setelah
meninggalkan pengaruh yang bagus bagi kehidupan ekonomi di Mesir, al-
Sya‘rāwī merupakan menteri yang pertama kali mengeluarkan keputusan menteri
tentang pembuatan bank Islam pertama di Mesir yaitu Bank Faisal, dan ini
merupakan wewenang Menteri Ekonomi dan Keuangan Dr. Hamid Sayikh pada
masa ini yang diserahkan kepadanya.
Al-Sya‘rāwī ditujuk sebagai anggota litbang bahasa Arab oleh lembaga
“Mujamma’ al-Khaidin”, perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa
Arab di Kairo pada tahun 1987 M. Tahun 1988 M, ia memperoleh Wisam al-
Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden husni Mubarak di acara peringatan
hari da’i dan mendpatkan ja’izah al-Daulah al-Taqdiriyyah, penghormatan
kehormatan kenegaraan.18
Pada saat yang berbeda, ia pun banyak menghabiskan waktu mengajarkan
Islam dan ilmu tafsir dengan berbagai program di televisi dan radio. Kesempatan
ini bahkan diberikan siaran seluas-luasnya pada era Presiden Hosni Mubarak
sehingga membuat Syekh Sya‘rāwī semakin populer sebagai ulama tafsir
terkemuka di Mesir. Berbagai fatwanya pun menjadi rujukan umat Islam Mesir
pada saat itu, di antaranya, ia mengharamkan jual beli organ untuk transplantasi.
17
al-Minsyâwî, Al-Syaikh al-Sya‘rāwī wa Hadîts al-Dzikrayât, h. 8 18
Mahmud Rizq al-Amal, Tarikh al-Imam al-Sya‘rāwī, dalam majalah Manar al-Islam
(September, 2001), no. 6 vol. XXVII, h. 35
46
Berbagai penghargaan ia terima semasa pengabdiannya. Di antaranya adalah
Doktor honoris causa pada bidang sastra dari Universitas Manshurah dan
Universitas Al-Azhar Daqahlia. Kemudian, anggota komite tetap untuk konferensi
keajaiban ilmu dalam Alquran dan sunah nabawi. Kiprah dan karyanya ini terus
dikenang oleh umat Islam dunia hingga kini. Hingga ia pun mendapat gelar Imam
al-Duat, Punggawa Para Dai.19
Pada tahun 1990 M, al-Sya‘rāwī mendapat gelar Profesor dari Universitas
Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia memperoleh
gelar kehormatan sebagai al-Syahksiyyah al-Islamiyah al-Ula profil islmai
pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk uang
dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini kepada
al-Azhar dan pelajar al-Bu’uts al-Islamiyah (pelajar yang berasal dari negara-
negara Islam di seluruh dunia).20
Karya-karya Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī
Sebelum kita membahas beberapa karya al-Sya‘rāwī, perlu digarisbawahi
bahwasannya al-Sya‘rāwī tidak menulis buku-bukunya karena beliau berpendapat
bahwa kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih
mengena daripada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab
semua manusia akan mendengar dari narasumber yang asli. Jika dalam bentuk
tulisan maka tidak semua orang dapat membacanya. Namun, beliau tidak
menafikan untuk mengalihbahasakan apa yang beliau sampaikan menjadi bahasa
19
Sa’îd Abu al-`Ainain, op. cit., h.30 20
Taha Badri, Qaluan al-Sya‘rāwī ba’da Rahilihi (al-Qahirah: Maktabah Al-Turas al-Islami,
t.t), h. 5-6
47
tulisan sehingga akan lebih bermanfa’at bagi manusia secara keseluruhan.
Ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam bentuk buku mendapatkan sambutan
luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku Mukjizat al-Quran telah dicetak
sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil dari penjualan buku-buku beliau ini ia
sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial.
Diantara kata-kata mutiara al-Sya‘rāwī adalah:
“Sesungguhnya Allah SWT. menyembunyikan tiga hal dalam tiga hal.
Dia menyembunyika ridh-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka
jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada
seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berteima
kasih kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT
menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksiatan terhadap-Nya.
Sesungguhnya ada seorang wanita yang masuk neraka karena kucing
yang ia kurung, a tidak memberinya makan tidak juga membiarkannya
pergi. Dan Allah menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri
hamba-hamba-Nya. Maka janganlah kalian menghina seorang hamba-
Nya, karena banyak orang yang kusut berdebu, namun jika ia
bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkan sumpah-
Nya itu.”21
Dan Diantara karya-karyanya yang berbentuk buku ialah sebagai berikut:22
1. Al-Isra’ wa al-Mi’raj (isra dan Mi’raj)
2. Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia dibalik kalimat
bismillahirrahmanirrahim)
3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan pemikiran modern)
4. Al-Fatawa al-Kubro (fatwa-fatwa besar)23
21
Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 277 22
Dikutip dari berbagai sumber diantaranya dari Mohamed, Tokoh-tokoh Berpengaruh Abad
20, h. 277. Juga dikutip dari Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum,
(Teheran: Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268-269 23
Kitab ini dicetak oleh maktabah al-Turas al-Islami dalam dua bagian. Bagian pertama
terdiri atas 441 halaman dan bagian kedua terdiri atas 483 halaman. Kedua bagian tersebut berisi
pemikiran al-Sya‘rāwī tentang tafsir dan juga pertanyaan yang memilii benang merah dengan tema
sekaligus jawabannya. Bagian prtama membahas iman kepada Allah, makna amanah dan kapan
48
5. 100 al-Sual wa al-Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 soal jawab fiqih Islam)
6. Mu’jizat al-Qur’an (keukjizatan al-Qur’an)
7. ‘Ala al-Maidat al-Fikr al-Islami (di bawah hamparan pemikiran Islam)24
8. Al-Qodlo’ wa al-Qodar (Qadha dan Qadar)
9. Hadza Huwa al-Islam (inilah Islam)
10. Al-Mutakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (pilihandari tafsir al-Qur’an al-
Karim)
11. Al-Syaithan wa al-Insan
12. Al-Du’a Al-Mustajabah
13. Al-Mar’ah Fi al-Qur’an al-Karim
14. Al-Mukhtar min Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim
15. Syekh Mutawalli Sya‘rāwī Qadhaya Ashr
16. Majmu’at Muhadharah Sya’rawi
17. Al-Mausu’ah al-Islamiyah li al-Athfal
18. Al-Quran al-Karim Mu’jizah wa Manhaj
19. Al-Qashash al-Qur’any fi Surat al-Kahf
20. Al-Ghaib
21. Mu’jizat al-Rasul
22. Al-Halal wa al-Haram
23. Al-Hajj al-Mabrur
iman menjadi aqidah dan seterusnya. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender Menurut
Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 73 24
Kitab ini terdiri dari 203 halaman dan mencakup tema yang beragam, seperti “polemik
tentang Islam”, “Pembicaraan seputar Peikiran Islam”, dan “Islam dan globalisasi, Islam anatar
Kapitalisme dan Komunisme, Islam Kanan dan Islam Kiri, jaminan dan Islam.” Tema-tema ini
diformat dalam bentuk tanya jawab yang disampaikan oleh Majdi al-Khafnawi dan dijawab oleh
al-Sya‘rāwī. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 38
49
24. Khawâthir al-Sya`râwi haula `Imrân al-Mujtama`
25. Al-Sihr wa al-Hasad
26. Al-Islâmu wa al-Mar'átu, 'Aqîdatun wa Manĥajun
27. Al-Syûrâ wa at-Tasyrî'u fî al-Islâmi
28. Ash-Shalâtu wa Arkânu al-Islâmi
29. Ath-Tharîqu ila Allâh
30. Al-Fatâwâ
31. Labbayka Allâhumma Labbayka
32. Al-Mar'átu Kamâ Arâdahâ Allâhu
33. Mu'jizat al-Qurâni
34. Min Faydhi al-Qurâni
35. Nazharâtu al-Qurâni
36. 'Ala Mâídati al-Fikri al-Islâmî
37. Al-Muntakhabu fî Tafsîr al-Qurân al-Karîm2
C. GAMBARAN UMUM TAFSIR Al-Sya‘Rāwī
1. Latar Belakang Pemikiran al-Sya’rawi
Pemikiran seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang yang
mempengaruhinya, terlebih dalam mengkaji metodelogi penafsiran. Demikian itu,
dapat diketahui dari latar belakang yang mempengaruhi pemikiran tokoh sekaligus
tujuan penulis/Mufasir pada saat akan merangkai kitab tafsir. Dari uraian
sebelumnya, menerangkan bahwa pemikirannya tidak hanya terbentuk dari
aktifitasnya sebagai seorang intelektual saja, namun juga situasi politik yang
50
terjadi di Mesir. Pergolakan politik di Mesir dalam memperoleh kemerdekaan
sampi masa kepemimpinan Anwar Sadat, juga turut andil dalam membentuk
karakter pemikiran al-Sya‘rāwī. Demikian itu perlu dijelaskan mengenai latar
belakang yang dapat mempengaruhi pemikiaran al-Sya‘rāwī, sehingga sampai
tewujud karya besarnya dalam bidang tafsir.25
a. Pengaruh sosial Politik
Pergolakan perpolitikan yang terjadi di Mesir, sejak pertengahan abad 19
sampai pertengahan abad 20, ditandai dengan pergantian bentuk pemerintahan.
Mulai dari bentuk pemerintahan monarki absolut, kemudian bentuk pemerintahan
monarki konstitusional, sampai akhirnya terbentuknya pemerintahan Republik,
yaitu sejak terjadinya revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin Gamal Abdu
Nasser.26
Perubahan bentuk pemerintahan menjadi Republik, menjadikan situasi
politik saat itu memaksa munculnya ide-ide pembaharuan yang didasarkan kepada
formulasi modernisme Islam dan kemunculan Nasionalisme Mesir.27
pada tanggal
25
Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī” Jurnal Studia Qur’anika Vol. I,
no. 2 (Januari, 2017): h. 145 26
Philip K. Hitti, History of The Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 1976), h. 745- 757. 27
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, memformulasi sebuah gerakan untuk merubah Mesir
dari hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu, kebutuhan organisasi politik dan ekonomi. Kemudian
dilanjutkan oleh Jamaluddin alAfghani, seorang berkebangsaan India yang menetap di Mesir.
Kemudian direalisasikan dalam sebuah gerakan politik al-Hizb alWathani dengan slogan, Mishr li
al-Misriyyûn. Selanjutnya diteruskan oleh Sa’ad Zaghlul, yang tampil sebagai tokoh pergerakan
untuk menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris. Kemudian ia membentuk delegasi untuk
menuntut kemerdekaan Mesir kepada Konferensi Perdamaian di Paris tahun 1919, yang diakhiri
dengan penangkapan Zaghlul oleh colonial Inggris, karena gerakannya dianggap gerakan
pemberontakan. Lihat Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 146
51
22 Januari 1922, Mesir memproklamasikan diri sebagai negara merdeka,
kemudian diikuti dengan pemberlakuan sebuah konstitusi.28
Kemudian umat muslim mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin (the
Muslim Brotherhood) pada tahun 1928 yang diprakarsai oleh seorang tokoh,
Hasan al-Banna. Ia mewariskan ide-ide reformasi-tradisional melalui
organisasinya untuk dua tujuan: Pertama, terbebas dari jajahan asing. Kedua,
menjadi Negara sebagai basis Islam.29
Partai Wafd, menyebar luas kepenjuru Mesir, salah satunya Daqadus, tempat
kelahiran al-Sya‘rāwī. Pengaruh ide-ide pembaharu dalam pergerakan dan sikap
nasionalisme memiliki peran yang signifikan bagi perkembangan pemikiran al-
Sya‘rāwī.14 al-Sya‘rāwī merupakan salah satu tokoh yang juga mengagumi Hasan
al-Banna karena idealismenya dan keikhlasannya dalam berdakwah. Namun, ia
keluar disebabkan telah jauh dari ide-ide pendirinya.30
b. Pengaruh Intelektual
Abad ke 19, al-Azhar masih menggunakan sistem tradisional, dimana
hampir seluruh lembaga pendidikan di Mesir menggunakan sistem modern
sekuler. Demikian itu, sedikit banyak mempengaruhi pada sistem al-Azhar, yang
kemudian mulai muncul sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-‘alamiyah
28
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya’rawi: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah, hal. 24. 29
Anwar Sadat, Jalan Panjang Menuju Revolusi (Sebuah Catatan di Lembah Sungai Nil),
Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, hal. 22-28 30
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Al-Syaikh Muhammad al-Mutawalli al-Sya‘rāwī (Imâm
al-‘Ashr), hal. 65-72.
52
(kesarjanahan) al-Azhar pada tahun 1872. Disusul kemudian dengan dibentuknya
dewan administrasi di al-Azhar pada tahun 1896.31
Pada masa itu, al-Azhar menjadi pilihan pertama bagi masyarakat Mesir
untuk menimba ilmu. Alasan itulah yang menjadikan orang tua al-Sya‘rāwī sangat
menginginkan anaknya untuk belajar di sana. Ia mengatakan pengalamannya di al-
Azhar pada tahun 1926 tak seperti al-Azhar sebelumnya, dimana menjadi basis
gerakan kebencian terhadap Inggris. Sehingga sempat dikenal berporos pada suatu
gerakan politik tertentu.32
Saat menjadi siswa, al-Sya‘rāwī sangat gemar dengan sastra, khususnya
sya’ir yang mewarnai corak keislaman. Sya’ir-sya’irnya memiliki keunggulan, di
antaranya penyusunan pada kalimatnya mudah dipahami dan memiliki keindahan,
terdengar tegas namun tetap lembut, terlebih banyak mengutip dari ayat-ayat al-
Qur’an. Hal ini yang menjadikannya bagian dari Fakultas Bahasa Arab di al-
Azhar. Fakultas ini tidak hanya mempelajari sastra Bahasa Arab, tetapi juga ilmu-
ilmu lainnya seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, dan sebagainya. Sehingga
membentuknya menjadi seorang tokoh yang kaya akan khazanah keilmuan pada
bidangnya, khususnya kajian tafsir.33
2. Motivasi penulisan tafsir al-Sya‘rāwī
Seperti ulama klasik dan modern sebelumnya, motivasi beliau ialah
menjelaskan isi al-Qur’an kepada orang lain, oleh sebab itu ia mengatakan bahwa
31
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya‘rāwī: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah, hal. 31-32. 32
Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 148 33
Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 148
53
penafsirannya ini mungkin benar dan mungkin pula salah. Selain itu beliau juga
menginginkan agar umat Islam memiliki keyakinan bahwa al-Qur’an adalah
mu’jizat yang agung dari segi kandungan, segi kebahasaan, mengungkap rahasia
al-Qur’an. Beliau juga termotivasi untuk menjaga kelestarian al-Qur’an.
penafsiran al-Qur’an Sya‘rāwī berpegang teguh pada dua aspek, yaitu:
a. Komitmen kepada Islam yang dianggapnya sebagai metode atau
landasan memperbaiki kerusakan yang diderita umat Islam saat ini
terutama dalam bidang pemikiran dan keyakinan.
b. Modernisasi, dimana syekh al-Sya‘rāwī menganggap mengikuti
perkembangan saat ini, sehingga tafsirnya bisa dikatakan berciri modern.
3. Nama Tafsir al-Sya‘rāwī
Nama tafsir al-Sya‘rāwī di ambil dari nama asli pemiliknya yakni
Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī. Menurut Muhammad Ali Iyazi, judul yang
terkenal dari karya ini adalah Tafsir al-Sya‘rāwī Khawatir al-Sya‘rāwī Haula al-
Qur’an al-Karim. Pada mulanya tafsir ini hanya di beri nama Khawatir as-
Sya’rawi yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-
Sya‘rāwī terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang tentunya bisa saja salah dan benar
terhadap orang yang menafsirkannya.34
Kitab ini merupakan hasil kolaborasi
kreasi yang di buat oleh murid al-Sya‘rāwī yakni Muhammad al-Sinrawi Abd al-
Waris al-Dasuqi dari kumpulan pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang
dilakukan al-Sya‘rāwī. Sementara itu, hadis-hadis yang terdapat didalam kitab
34
Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah
al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268
54
Tafsir al-Sya‘rāwī di takrij oleh Ahmad Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh
Ahbar al-Yaum Idarah al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun
sebelum al-Sya‘rāwī meninggal dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya‘rāwī ini
merupakan kumpulan hasil-hasil pidato atau ceramah al-Sya‘rāwī yang kemudian
di edit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-muridnya. Tafsir ini merupakan
golongan tafsir bi al-lisan atau tafsir sauti (hasil pidato atau ceramah yang
kemudian di bukukan).35
4. Proses Penulisan
Al-Sya‘rāwī dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan bahwa: “Hasil
renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan
percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-
Qur’an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak
menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada beliaulah ia diturunkan.
Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Quran dari dimensi ibadah,
karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur’an
tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual
saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan
akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing
agama, bahkan memalingkan umat dalam jalan Allah SWT.36
35
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-
al-quran-al-karim/ 36
Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah
al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268-269
55
Sebelum berbicara tentang tema, al-Sya‘rāwī bisa menyendiri beberapa saat
untuk berfikir dan merenung. Setelah itu ia keluar dengan ilmu yang Allah berikan
kepadanya. Dengan menyendiri seseorang dapat lebih konsentrasi sehingga
menghasilkan hasil yang optimal.37
Seperti dalam Q.S Saba’/34: 40:
Artinya:
dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka
semuanya kemudian Allah berfirman kepada Malaikat: "Apakah
mereka ini dahulu menyembah kamu?".
Al-Sya‘rāwī sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk
beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Razi, Zamakhsyari, Sayid
Quthb, al-Alusi, dn lain-lain.
Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya‘rāwī tidak memegang
tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur’an. Dengan teliti diuraikan
kandungan al-Qur’an ayat per ayat, bahkan kata per kata dan kolerasi antara satu
ayat dengan ayat sebelumnya.38
5. Deskripsi Tentang Kitab al-Sya‘rāwī
Kitab ini terdiri dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
No. Jilid Isi Tafsir
1 I Pendahuluan,
Qs. al-fatihah
Qs. al-Baqarah ayat 1 – 154
2 II Qs. al-Baqarah ayat 155 – 286
Qs. Ali Imran ayat 1 – 13
37
Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah
al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268-269 38
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran al-Sya’rawi terhadap al-Qur’an tentang Wanita Karir”
(Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2011), h. 50
56
3 III Qs. Ali Imran ayat 14 – 189
4 IV Qs. Ali Imran ayat 190 – 200
Qs. An-Nisa’ ayat 1 – 100
5 V Qs. An-Nisa’ ayat 101 – 176
Qs. Al-Maidah ayat 1 - 54
6 VI Qs. Al-Maidah ayat 55 – 120
Qs. al-An’am ayat 1 – 109
7 VII Qs. al-An’am ayat 110 - 165
Qs. al-A’raf ayat 1 - 188.
8 VIII Qs. al-A’raf: 189 – 206
Qs al-Anfal ayat 1 – 75
Qs at-Taubah ayat 1 – 44
9 IX Qs. At-Taubah ayat 45 - 129
Qs. Yunus ayat 1 – 14
10 X Qs. Yunus ayat 15 – 109
Qs. Hud ayat 1- 27
11 XI Qs. Hud ayat 28 – 123
Qs. Yusuf ayat 1 – 96
12 XII Qs. Yusuf ayat 97 – 111
Qs. Ar-Ro’du ayat 1- 43
Qs. Ibrahim ayat 1- 52
Qs. Al-Hjr ayat 1 – 47
13 XIII Qs. Al-Hjr ayat 48 – 99
Qs. An-Nahl ayat 1 – 128
Qs. Al-Isra’ ayat 1 – 4
14 XIV Qs. Al-Isra’ ayat 5 – 111
Qs. Al-Kahfi ayat 1 – 98
15 XV Qs. Al-Kahfi ayat 99 – 110
Qs. Maryam ayat 1 – 98
Qs. Thoha ayat 1 - 135
Qs. Al-Anbiya’ ayat 1 – 90
16 XVI Qs. Al-Anbiya’ ayat 91 – 112
Qs. Al-Hajj ayat 1 – 78
Qs. Al-Mu’minun ayat 1 - 118
Qs. an-Nur: 1 – 35
17 XVII Qs. an-Nur ayat 36 – 64
Qs. Al-Furqon ayat 1 – 77
Qs. As-Syu’aro ayat 1 – 227
Qs. An-Naml ayat 1 - 93
Qs. Al-Qasas ayat 1 – 29
18 XVIII Qs. Al-Qasas ayat 30 – 88
Qs. Al-‘Ankabut ayat 1 - 69
Qs. Ar-Rum ayat 1 – 58
57
Berdasarkan tabel tersebut, maka tafsir ini tidak memuat dari surah Luqman
hingga surah an-Nas atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30 dalam al-
Qur’an.
Namun demikian, dalam sumber lain seperti yang dijelaskan oleh
Muhammad Ali Iyazi bahwa kitab tafsir al-Sya‘rāwī dicetak 29 jilid, yang
mencakup semua ayat al-Qur’an 30 juz. Selain itu juga menurut Abu Irfah
bahwasanya ceramah al-Sya‘rāwī yang menafsirkan Juz ‘Amma (juz 30) telah
dibukukan dan diterbitkan oleh Dar al-Rayah Mesir pada 2008 M.
Satu hal yang cukup menarik dari pada kitab tafsir al-Sya‘rāwī bahwa
penomoran halaman antara 1 jilid dengan yang lainnya ditulis bersambung,
dengan kata lain nomor halaman pada jilid 2 melanjtkan nomor halaman pada jilid
1 begitu seterusnya sampai pada jilid terakhir.
6. Metodologi dan Corak Penafsiran
Dalam penafsirannya, al-Sya‘rāwī cenderung menggunakan metode tafsîr bi
al-ra’yi, tentunya termasuk dalam kategori mahmûdah. Demikian itu, dapat
ditelusuri sumber-sumber yang digunakannya dalam penafsiran. Berikut beberap
hal yang digunakan al-Sya‘rāwī dalam menggunakan penafsirannya, yaitu;
Pertama, kaidah kebahasaan. Kedua, Rekonstruksi Ayat dengan Ayat.
a. Kaidah kebahasaan
Tafsir al-Sya‘rāwī dapat dikategorikan sebagai tafsir bil al-ra’yi, sebab pada
proses penafsiran didominasi oleh ijtihad al-Sya‘rāwī, terlebih pada aspek
58
kebahasaan. Al-Sya‘rāwī dengan sangat teliti mencermati kaidah kebahasaan
dalam al-Qur’an, yang kemudian menjelaskan dengan penyampaian yang baik dan
penggunaan bahasa yang ringan sehingga setiap kalangan akan mudah dalam
memahami dan mengerti apa yang ingin disampaikan dari ayat al-Qur’an.39
Sebagai contoh, ketika menjelaskan Q.S al-Baqarah/2: 258:
...
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada
orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan:
"Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,"...”
Secara sederhana, al-Sya‘rāwī ingin menjelaskan bahwa pada ayat ini
didahului dengan ungkapan, “alam tara.” Kita perhatikan pada penggabungan
kalimat ini, yaitu terdiri dari hamzah yang merupakan bentuk tanda tanya (adât
istifhâm), dan huruf lam merupakan huruf yang digunakan untuk menafikkan
sesuatu (harf an-nafy). Sedangkan pada kata setelahnya, yaitu tara dari bentuk
fi’il mudhari, berarti kamu melihat. Kalimat ini menambah keindahan sekaligus
memberikan nuansa makna yang begitu mendalam. Huruf hamzah yang datang
sebelum huruf lam (harf an-nafy) merubahnya menjadi bentuk pengingkaran
terhadap pekerjaan yang dinafikkan. Sehingga membawa kita pada makna
sebenarnya, yaitu anta araita , yang berarti kamu telah melihatnya. Begitu kurang
lebih dari segi kebahasaannya yang dijelaskan oleh al-Sya‘rāwī. Penjelasan
penafsiran dari segi kebahasaan di atas, selain menjelaskan kedudukan kata
39
Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī, h.149
59
(kaidah gramatikal), ia juga menjelaskan bagaimana ketika penggunaan kaidah
kebahasaan pada al-Qur’an memiliki makna yang ingin dimaksudkan, sehingga
memudahkan pemahaman dari kalimat yang tersusun dalam al-Qur’an. Sebagai
bukti, al-Sya‘rāwī menjelaskan secara mendalam tentang kedudukan bahasa, dan
kemudian menjelaskan tujuan dari susunan kalimat yang digunakan al-Qur’an.40
b. Rekonstruksi Ayat dengan Ayat
Sumber lain yang digunakan al-Sya‘rāwī dalam penafsirannya sebagai salah
satu bentuk tafsir bi al-ra’yi yang dalam kategori mahmudah adalah, penafsiran
dengan mengkonstruksi ayat dengan menggunakan ayat lain yang dianggap
memiliki korelasi pada kajian yang sedang dibahas guna memberikan pemahaman
yang lebih baik, sehingga mudah untuk dipahami. Pernafsiran dengan model
seperti ini banyak sekali ditemukan dalam tafsir al-Sya‘rāwī. Namun, di sini
penulis hanya akan menyampaikan satu saja sebagai bukti bahwa penafsiran al-
Sya‘rāwī tidak lepas dari penggunaan metode penafsiran ayah bil ayah.41
Sebagai contoh, ketika menjelaskan Q.S al-An’am/6: 75:
Artinya:
dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.
40
Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī, Tafsîr al-Sya‘rāwī, Vol. 2 (Kairo, Mesir: Akhbar al-
Youm, 1991), h. 1121-1122. 41
Hikmatiar Pasya’,” Studi Metodologi Tafsir al-Sya‘rāwī, h.151
60
Kita bisa perhatikan saat al-Sya‘rāwī ingin menjelaskan kata al-malakût
pada ayat di atas, ditemukan bahwa ia tidak melepaskan pemahamannya sebatas
pada kaidah kebahasaan saja, akan tetapi menggunakan ayat lain guna
memudahkan dalam pemahaman dari suatu kata yang digunakan dalam al-Qur’an.
Di sini al-Sya‘rāwī ingin menjelaskan kata, “al-malakût,” merupakan kata yang
diambil dari bentuk kata kerja, “malaka” yang berarti menguasai, sehingga
menunjukkan makna ism fa’il (pelaku). Demikian itu, kata ini merupakan bentuk
format intensitas, yang menunjukkan pelaku melakukan sesuatu dalam kadar yang
besar. Maka pada kata, “malakût” menunjukkan makna kekuasaan. Kata ini sama
halnya dengan bentuk kata, “rahamût ” yang berarti rahmat yang agung, diambil
dari bentuk fi’il, “rahima” yang berarti menyayangi. Dengan demikian, kata
“malakût,” mengantarkan kita pada pemahaman atas hakikat sesuatu yang tidak
terbatas (hakikat pelaku), sehingga berkaitan dengan pengetahuan yang nonfisik
atau tidak terlihat mata zhahir (metafisika). Maka demikian, jika dikatakan,
“Kekuasaan-Nya meliputi segenap langit dan bumi,” kalimat ini menunjukkan
bahwa otoritas-Nya tidak terjangkau. Sebaliknya pada kata, “malaka”, itu
ditujukan kepada sesuatu yang terbatas, sehingga menyangkut dengan
pengetahuan yang tampak. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-
Syu’ara/26: 77-81, dalam tafsir al-Sya‘rāwī.42
c. Sistematika Penafsiran
Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna ta’awuz,
dan tartib nuzul al-Qur’an. Dalam memulai menafsirkan setiap surat, beliau mulai
42
Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī, Tafsîr al-Sya‘rāwī, Vol. 6, h. 3739.
61
dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang ditafsirkan
dengan surat sebelumnya, kemudian menjelaskan maksud ayat dengan
menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al-Qur’an dengan al-
Qur’an.43
Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Quran merupakan
tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang disebutkan
secara ringkas di suatu tempat diuraikan di tempat lain. Ketentuan yang mujmal
dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam suatu ayat
di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak
disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).44
Umar Hasyim berpendapat bahwa, metedologi al-Sya‘rāwī dalam tafsirnya
bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan
mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari kolerasi makna antara
asal kata dengan kata jadiannya.45
Mengamati metode penulisan tafsir al-Sya‘rāwī dari sisi runtutan penafsiran,
yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri surah al-Nas, bisa dikatakan
metode penulisannya adalah menggunakan metode tahlili. yakni suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan makna-makna yang dikandung al-Qur’an yang
disesuaikan dengan runtutan ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf.
Penjelasannya meliputiberbagai aspek, diantaranya mengenai kosakata yang
diikuti dengan penjelasan global ayat, munasabah (korelasi) ayat-ayat dengan
43
Mentari, “Penafsiran al-Sya‘rāwī terhadap al-Qur’an tentang Wanita Karir”, h. 50 44
Mahmud Basuni Faudah, tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,
terj. M Muhtar Zoeni da Abdul Qad’ir Hamid (Bandung, Pustaka, 1987), h. 24-25 45
Ahmad Umar Hasyim, al-Imam al-Sya‘rāwī Mufassirin wa Da’iyah (al-Qahirah:
Maktabah al-Turis al-Islami, t.t), h. 51
62
menjelaskan hubungan dan maksudayat-ayat tersebut satu dengan lainnya dan
asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) disertai dalil-dalil dari Rasul,
Sahabat maupun Tabi’in.
Di sisi lain kita juga melihat bahwa al-Sya‘rāwī membahas dan menafsirkan
ayat demi ayat kemudian mengaitkannya dengan ayat lain yang memiliki
keterkaitan dengan tema, beliau mengatakan bahwa ayat al-Qur’an dengan ayat al-
Qur’an lainnya adalah saling ketergantungan yakni tidak ada pertentangan pada
setiap ayat al-Qur’an. Sistematika yang demikian itu disebut dengan penafsiran al-
Qur’an bil Qur’an.
Dalam penafsirannya, corak yang menonjol adalah Adabi Ijtima’i. melalui
penafsirannya ini al-Sya‘rāwī mengemukakan pemikirannya tentang pendidikan,
perhatiannya terhadap problematika masyarakat muslim juga problematika
pemerintahan. Contohnya: upaya Syekh Sya‘rāwī menyelesaikan problem
masyarakat muslim adalah bagaimana ia menjelaskan kepala pemerintah untuk
menjauhkan paksaan dan intimidasi kepada rakyat ketika pemerintah berusaha
melanggengkan pemerintahannya. Sesudah menafsirkan ayat (QS.Al-
Baqarah/2:256)
Syekh Sya‘rāwī dalam penafsirannya bisa dikatakan seorang reformer dan
pejuang, meskipun Ia tidak melalaikan pendapat ulama-ulama tafsir sebelumnya.
Dia juga berkomitmen menjelaskan akidah dan akhlak, mengaitkan penafsiran
dengan kehidupan masyarakat dan aktifitasnya. Sehingga Tarbawi mengatakan
bahwa corak tafsir al-Sya‘rāwī adalah Tarbawi dan Islahi.
63
d. Sumber Penafsiran
Sumber-sumber penafsiran al-Sya‘rāwī diantaranya: seperti tafsir al-Manar
karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang
dikarang oleh Sayyid Qutub. Tafsir at-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari,
Mafatihul Ghaib karyaFahruddin ar-Razi. Al-Kasyaf karya az-Zamakhsyari, al-
Anwar at-Tanzil wa asrar al-Ta’wil karya al-Baidhawi, dan Dur al-Mansur fi
Tafsir bil ma’sur karya jalaluddin al-Suyuthi.46
e. Kelebihan dan Kekurangan
Dalam dunia tafsir, pola penyajian adalah perangka dant tata kerja yang
dipakai dalam proses penafsiran al-Qur’an. Secara historis, setiap penfsiran telah
menggunakan suatu pola atau lebih. Pilihan pola tergantung pada kecenderungan
dan sudut pandang penafsir serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain
yang melingkupinya. Banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh tafsir al-
Sya‘rāwī yang diantaranya adalah: Sya‘rāwī menyajikan karya tafsirnya dengan
nuansa yang bersentuhan langsung dengan tema-tema kemasyarakatan, melalui
teknik bahasa yang cukup sederhana. Hal ini sebagai upaya meletakan al-Qur‟an
pada posisi sebagai pedoman dalam realitas kehidupan sosial. Serta dalam tafsir
al-Sya‘rāwī kandungan di dalamnya dapat menjawab persoalan masyarakat yang
selalu selalu berkembang karena menggunakan corak al-Adab al-Ijtima’i.
Namun juga ada kekurangan dalam tafsir ini al-Sya‘rāwī tidak banyak
memberikan perhatian kepada pembahasan kosakata atau tata bahasa, kecuali
46
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-Sya‘rāwī-haula-
al-quran-al-karim/
64
dalam batas-batas untuk mengantarkan kepada pemahaman kandungan petunjuk
petunjuk al-Qur’an. Serta tidak adanya sebuah referensi ketika terdapat
penyebutan sebuah pendapat ulama lain. Dan tidak adanya perhatian terhadap
sanad hadis.47
D. PANDANGAN ULAMA’ TENTANG MUHAMMAD MUTAWALLI
Al-Sya‘Rāwī
Berikut beberapa pandangan ulama terhadap al-Sya`râwî antara lain menurut
Ahmad `Umar Hâsyim, al-Sya‘rāwī merupakan profil da`i yang mampu
menyelesaikan permasalahan umat secara proporsional. Tidak hanya menolak
mentah-mentah inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dalam penemuan
ilmiah terutama yang berkaitan dengan substansi al-Qur’an.48
Selain itu, Yusuf al-Qarâdhâwî memandangnya sebagai penafsir yang
handal karena penafsirannya tidak terbatas ruang dan waktu tetapi juga mencakup
kisi-kisi kehidupan.49
`Abd al-Fattâh al-Fâwi berpendapat bahwa al-Sya‘rāwī bukanlah seorang
yang tekstual, beku dihadapan nas, tidak terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi
yang hanyut dalam ilmu kebatinan, namun ia menghormati nas, memakai akal,
terpancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya.50
47
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-syarawi-haula-
al-quran-al-karim/ 48
Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah
al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268-269 49
Husein Jauhar, Imâm al-„Asr, op. cit., h. 134-135 50
Ibid., h. 51
65
BAB IV
KAJIAN TAFSIR Al-Sya‘Rāwī SURAT AL-AHZAB AYAT 72
A. TEKS DAN TERJEMAHAN SURAT AL-AHZAB AYAT 72
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (tugas keagamaan) kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan
mereka khawatir (akan mengkhianati amanah itu), dan dipikullah ia (amanah
itu) oleh manusia. Sesungguhnya dia (manusia) sangat aniaya (karena tidak
menunaikan amanah) dan sangat bodoh (karena menghianati amanah).1
B. TAFSIR Q.S AL-AHZAB AYAT 72
Muhammad mutawalli al-Sya‘rāwī menjelaskan bahwa kata ‘aradh berarti
etalase contoh yang mempertontonkan sesuatu. Sebagaimana ketika kita melihat
parade militer yang mempertunjukkan kekuatan senjata dan tentara di depan
panglima mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Shad/38: 31,
sebagai berikut:
Artinya:
(Ingantlah) ketika pada suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-
kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya.
1M. Qurais Shihab, al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 427
66
Allah Swt. menawarkan amanah kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya;
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda mati untuk melihat siapa diantara
mereka yang akan menerima amanah itu dan yang menolaknya. Sebenarnya suatu
kesalahan dalam redaksi yang mengatakan bahwa langit dan bumi serta alam
semesta ini tunduk pada ketentuan Allah secara mutlak. Sebenarnya ketundukan
itu adalah pilihan mereka sendiri, sebab Allah pernah menawarkan amanah kepada
mereka, namun mereka menolak untuk membawanya. Jadi, merekalah yang
memilih untuk tunduk atas ketetapan Allah dan tidak punya hak pilih.2
Dalam kebiasaan kita, kata amanah selalu dikatikan dengan uang atau barang
berharga yang diamanahkan karena takut hilang. Maka sebagai contoh seringkali
kita menitipkan barang pada orang yang kita anggap dapat dipercaya supaya ia
dapat menjaganya dan mengembalikannya di kala dibutuhkan. Biasanya pula
penitipan itu dilakukan secara tersembunyi, sehingga tidak ada saksi. Oleh karena
itu, bisa saja pada suatu saat nanti ketika titipan itu diminta kembali ia
mengingkarinya, karena tidak ada saksi dan bukti yang menguatkannya.3
Adapun amanah yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya adalah amanah
untuk memilih antara beriman atau kafir, taat atau maksiat. Seluruh makhluk
menolak dan tidak berani untuk menerima amanah yang begitu berat, Sebab,
makhluk- makhluk itu melihat ke depan di kala harus menunaikan pilihan itu
(iman dan kafir), terasa begitu berat sehingga mereka lebih baik menolaknya. Oleh
karena itu, seseorang terkadang menolak sesuatu bukan karena ia tidak
2Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī, Tafsir al-Sya‘rāwī, terj. Safir al-azhar (Ikatan alumni
Universitas al-azhar Mesir di Medan) dan Zainal Arifin (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2011), h.
66-67 3Sya‘rāwī, Tafsir al-Sya‘rāwī, h. 67
67
berkeinginan untuk menerimanya. Namun, karena pertimbangan ke depan maka ia
mengambil sikap untuk lebih baik menolak. Namun di sini Manusia menerimanya
disebabkan “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.4
Pengecualian bagi hamba-hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, mereka
tidak tergolong kepada yang dzalim dan bodoh. Mereka diberi kebebasan untuk
memilih antara beriman atau melakukan maksiat dan mereka memilih iman. Sebab
inilah mereka yang memilih beriman bukanlah termasuk golongan yang dzolim
dan bodoh. Dengan demikian mereka mengabaikan kemaksiatan dan
meninggalkan kekafiran beralih kepada ketaatan dan keimanan.
Sebagian orang mempertanyakan bagaimana cara Allah swt. menawarkan
hak pilih antara iman dan kafir kepada selain manusia? Mereka lupa kalau Allah
adalah dzat pencipta alam semesta. Dia jualah yang mengajarkan bahasa burung
kepada Nabi Sulaiman as sebagaimana yang telah difrimankan oleh-Nya dalam
Q.S an-Naml/27: 16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai
manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi
segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".
Demikian juga halnya dengan nabi Daud as, yang terangkum dalam Q.S
Saba’/34: 10: “dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari
kami. (kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah
berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya.”
Yang menarik adalah bahwa tasbih yang diucapkan Nabi Daud sama dengan yang
4Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 67
68
diucapkan para malaikat seakan-akan mereka mendendangkan nyanyian yang
sama.
Menurut al-Sya‘rāwī, kata Hamalah (membawa) dalam ayat ini sama dengan
kata hamala pada firman Allah pada Q.S al-Jumu’ah/62: 5: “perumpamaan orang-
orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya
adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal.”. Mereka
membawanya namun tidak mengamalkan isinya. Sebagaimana keledai yang
membawa buku-buku agama namun ia tidak memahami apa yang ia bawa. Namun,
pemisalan ini tidaklah menunjukkan bahwa keledai itu bodoh, karena tugasnya
adalah membawa bukan memahami isi kitab. Sehingga keledai itu tidak dapat
dikatakan bodoh atau dungu.5
Berbeda dengan manusia yang tugas pokoknya adalah memahami isi
kandungan kitab yang diturunkan Allah kepada mereka, namun karena
kebodohannya manusia tidak mempelajarinya, tetapi hanya sekedar membawanya
saja. Oleh karena itu pula, Allah mengatakan bahwa manusia itu bodoh dan
menzalimi diri sendiri.6
Setiap sesuatu memiliki tugas pokok yang harus ia tunaikan sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Allah tidak menuntut lebih dari ketentuan
yang telah ia tetapkan. Ketika ketentuan itu dilanggar berarti dia telah keluar dari
ketentuan dan telah melakukan kemungkaran.
Selanjutnya, kata asyfaqa berati merasa iba pada saat melihatnya. Ketika
makhluk yang ditawarkan untuk membawa amanah itu menolak, Allah mengetahui
5 Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 69
6Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 69
69
bahwa mereka menghindar dari suatu yang kelak mereka tidak mampu untuk
mengembannya yaitu amanah Allah. Maka Allah kasihan dan iba melihat mereka
dan tidak menunjuk mereka sebagai khalifah.7
Sebagaimana sering kami sampaikan bahwa manusia itu memiliki sifat tamak
yang menjerumuskannya kepada lebih hina dari hewan. Jadi, wajarlah kalau
kemudian Allah menyebutkan sifat manusia di akhir ayat ini dengan "zalim dan
bodoh". Kata yang dipergunakan juga dalam bentuk superlatif yang menegaskan
bahwa kedua sifat itu benar-benar melekat pada diri manusia. Adakalanya kita
menjumpai orang zalim tapi cerdas atau bodoh namun tidak zalim. Namun,
manusia yang tidak tunduk kepada ketentuan Allah maka ia zalim pada dirinya
sendiri dan bodoh.8
Allah telah menjelaskan bahwa kezaliman terbesar yang dilakukan seorang
hamba adalah syirik. Sebagaimana yang dikatakan Q.S Luqman/31: 13: “...
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". Kezaliman ini tidaklah membahayakan Allah sama sekali, sebaliknya
manusia itu sendirilah yang akan diancam dengan siksa yang tiada henti jika ia
mati dalam kemusyrikan.9
Begitulah pendapat yang dikemukakan oleh al-Sya‘rāwī dalam tafsirnya,
penjelasan yang tidak begitu rumit dan panjang lebar namun dapat dipahami
dengan sangat jelas. Penulis berpendapat bahwa maksud yang disampaikan oleh al-
Sya‘rāwī adalah terkait sikap manusia dalam mengemban amanah yang
dibebankan oleh Allah Swt. yang tentunya telah disetujui oleh manusia untuk
7Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 70
8Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 70
9Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 71
70
menerimanya, setelah sebelumnya Allah menawarkan amanah ini pada makhluk-
Nya yang lain. Amanah yang dimaksud tidak lain adalah pilihan antara iman atau
musyrik, dan juga ketaatan atau kemaksiatan.
Dalam hal ini sering kita jumpai manusia yang khianah terhadap amanah
yang diberikan oleh Allah. Oleh karena nya Allah dengan jelas mengatakan bahwa
manusia adalah orang yang dzalim lagi bodoh di akhir ayatnya. Bagaimana tidak?
Setelah ia memberi kesanggupan terhadap amanah yang diberikan, tak jarang kita
jumpai manusia yang masih lalai terhadap perintah Allah dan justru
menjerumuskan diri sendiri terhadap kemaksiatan dan tidak mengikuti jejak
Rasulullah sebagai uswatun hasanah.
Selanjutnya, untuk menambah pemahaman tentang konsep amanah dalam al-
Qur’an penulis akan menguraikan beberapa pendapat mufassir terkait isi
kandungan Q.S al-Ahzab/33: 72. Para mufassir berbeda pendapat didalam
menafsirkan kata amanah pada ayat di atas.
1. Al-Imam Al-Zamakhsyari Al-Khawarizmi Dalam Tafsir Al-Kasyaf
Amanah dalam tafsir al-Kasyaf karya Al-Imam Al-Zamakhsyari Al-
Khawarizmi adalah bentuk ketaatan dan besarnya tanggung jawab yang harus
dilaksanakan guna menjalankan perintah Allah.10
Dari segi artinya, dalam Q.S al-ahzab/33:72 dikatakan bahwa langit, bumi dan
gunung menolak amanah yang diembankan Allah kepadanya. Dalam tafsir al-
Kasyaf diuraikan sebab langit, bumi serta gunung-gunung menolak amanah
10
Al-Imam Al-Zamakhsyari Al-Khawarizmi, Tafsir al-Kasyaf (t.t: Darul Maarif, 2002), h.
866-867
71
tersebut adalah karena mereka adalah benda mati. Mereka merupakan benda mati
yang mempunyai keterbatasan akal dalam memahami maksud ayatullah tentang
ketaatan dan ketundukkan yang harus dijalankan. Dalam arti lain dapat dikatakan
bahwa kemampuan ketaatan Langit, Bumi dan gunung-gunung berkaitan erat
dengan kemampuan akalnya. Maksudnya ialah mereka sadar akan tidak
kemampuannya dan keterbatasannya.
Sedang manusia menerima amanah tersebut karena manusia adalah hewan
yang berakal, dengan artian manusia mempunyai kemampuan untuk mengemban
amanah tersebut. Kondisi manusia sebagai benda hidup berbeda dengan langit,
bumi dan gunung yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah
Allah. Hal demikian secara jelas menjadi alasan kuat mengapa manusia mau dan
mampu menajalankan amanah tersebut. Manusia dapat menjalankan amanah dari
Allah dengan cara taat, tunduk serta melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala bentuk larangan-Nya.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa langit, bumi dan gunung-gunung
sebagai penggambaran benda mati. Penggambaran tersebut dimaksudkan sebagai
majaz atau kiasan semata, supaya dapat difahami kiranya benda-benda mati yang
begitu besar menolak amanah, karena merasa amanah tersebut begitu berat
bebannya.
2. Ismail Ibnu Katsir Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Amanah dalam Q.S al-Ahzab/33: 72 menurut pandangan Ibnu Katsir yang
dijelaskan pada kitabnya al-Qur’an al-‘adzim bahwasanya makna amanah yang
72
dimaksud adalah ketaatan yang telah Allah tawarkan kepada langit, bumi dan
gunung-gunung sebelum Allah menwarkan kepada Nabi adam as. Amanah
ditawarkan kepada manusia berkaitan dengan tugas pokok manusia sebagai
khalifah fil ard.
Hal demikian sebagaimana firmannya dalam Q.S Al-Baqarah/2: 30
Artinya:
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Allah Swt. menciptakan manusia di muka bumi ini agar manusia dapat
menjadi khalifah di muka bumi. Maksud dari khalifah adalah seseorang yang
diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan dan juga
sebagai pengatur apa-apa yang ada di bumi, seperti tumbuhan, hewan, hutan, air,
gunung dan lain sebagainya. Seyogyanya manusia harus mampu memanfaatkan
segala apa yang ada di bumi untuk kemaslahatannya. Jika manusia telah mampu
menjalankan semua itu, maka sunnatullah yang menjadikan manusia sebagai
khalifah di bumi benar-benar dijalankan dengan baik oleh manusia tersebut,
terutama manusia yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasulullah Saw.
73
Manusia yang menyadari dirinya sebagai khalifah Allah maka ia akan sadar
bahwa di dunia ini dia mempunyai kedudukan dan jabatan. Untuk itu kesadaran
diri sebagai khalifatullah sangatlah dibutuhkan, karena jika seseorang menyadari
bahwa jabatan dan kedudukannya di dunia ini merupakan penjabaran dari
jabatannya sebagai khalifatullah. Sehingga tidak ada satupun manusia yang akan
menyelewengkan jabatannya, dan juga tidak akan ada manusia yang melakukan
penyimpangan-penyimpangan, karena mereka sadar bahwa manusia sebagai
khalifah merupakan amanah dari Allah. Untuk itu sebagai khalifatullah, manusia
harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Dari sini dapat difahami bahwa manusia sebagai pengemban amanah
memiliki derajat yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya
seperti Langit, Bumi dan Gunung. Hal ini karena manusia diciptakan sebagai
khalifah fil ard (pemimpin di bumi).
Sebagaimana pandangan Ali Ibn Abi Tolhah dari Ibn abbas Ra. Kata
wahamalahal insan (dan dipikullah amanah itu oleh manusia) dimaksudkan bahwa
amanah adalah sebuah kewajiban-kewajiban yang diberikn oleh Allah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan
membalas mereka. Dan jika mereka menyia-nyiakannya, maka Allah akan
menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena
maksiat, tetapi karena ta’dzim (menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka
tidak mampu menunaikannya. Kemudian Allah menyerahkannya keapada Adam,
maka Adam menerimanya dengan segala konsekuensinya. Itulah maksud dari
Firman Allah:
74
“Dan dipikullah ia (amanah itu) oleh manusia. Sesungguhnya dia
(manusia) sangat aniaya (karena tidak menunaikan amanah) dan sangat
bodoh (karena menghianati amanah).”
Hal tersebut jelas berbeda dengan manusia yang mau menerima amanah
tersebut, karena manusia mampu menjaga ketatan sekaligus mampu melakukan
kemaksiatan. Jika manusia menginginkan ganjaran maka ia akan senantiasa
berbuat kebajikan dengan melaksanakan perintah Allah. Namun sebaliknya dia
juga siap menanggung azab dari Allah karena kelalainnya menjalankan perintah-
Nya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa benda-benda mati itu pada hakikatnya ingin
menerima amanah tersebut, akan tetapi ketika diberitahukan tentang adanya
ganjaran dan azab, mereka hanya mau menerima ganjaran saja, namun takut akan
menanggung azab dari Allah Swt. Sedang manusia berani menanggung resiko
apapun, baik ganjaran maupun azab, sebagai konsekuensi menerima amanah dari
Allah Swt.
Kata abawaina yang terambil dari fiil madhi aba yang secara kebahasaan
berarti membangkang, enggan dan sejenisnya, dalam konteks ayat ini ditampilkan
untuk menggambarkan penolakan atau keengganan yang dilakukan oleh langit,
bumi dan gunung-gunung. Penolakan tersebut terjadi ketika Allah menawarkan
kepadanya untuk mengemban amanah berupa tugas-tugas keagamaan. Penolakan
atau keengganan ini didasari adanya kekhawatiran bahwa kelak mereka
menghianatinya, karena itulah mereka tidak mau menerimanya. Sesungguhnya
manusia itu sangat dzolim dan bodoh.
75
Selanjutnya, kata asyfaqna secara kebahasaan berarti hawatir berhianat. Dalam
konteks ayat di atas kata itu ditunjukkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung
yang menolak dan enggan memenrima amanah berupa tugas keagamaan dari
Allah. Mereka enggan menerima amanah dengan alasan ketakutan akan
berkhianat.
Manusia walaupun lebih kecil dari makhluk lain, tetapi manusia berani
menerima amanah tersebut karena manusi mempunyai potensi. Akan tetapi karena
pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat yang sering mengelabuhi mata dan
menutup pandangan hatinya, Allah mensifatinya dengan dzalim dan bodoh karena
kurang memikirkan konsekuensi menerima amanah tersebut.11
Menjalankan amanah berarti menjalankan ketaatan terhadap Allah Swt sebagai
pemberi amanah. Taat kepada Allah berarti berserah diri kepada Allah, yang dalam
hal ini ada dua macam:
1. Berserah diri dengan pilihan dan keinginan
2. Berserah diri tanpa ada pilihan
Karena takut dengan beban yang berat maka langit, bumi dan gunung-gunung
berserah diri tanpa ada pilihan. Adapun manusia yang menerima amanah tersebut,
bukan berarti manusia itu dzalim dan bodoh karena memilih untuk mengemban
amanah. Justru mereka yang dzolim dan bodoh adalah mereka yang menolak
amanah yang telah diberikan oleh Allah Swt.
Harus difahami di sini bahwa manusia disebut dzalim dan bodoh jika manusia
tidak berserah diri kepada Allah. Maka dalam aqidah manusia disebut
11
Al-Qur’an dan terjemahnya jilid 8 (Kementrian agama RI), h. 49-51
76
mukhoyyarah wa musayyarah dalam kehidupan (kemampuan untuk memilih dan
tidak memilih). Artinya manusia itu memiliki sesuatu yang memang sudah menjadi
pilihan dan tidak ada pilihan. Sebagai contoh, kita tidak punya pilihan untuk
dilahirkan dari orang tua yang mana, akan tetapi mempunyai pilihan dalam
menjalani hidup, sebab manusia dianugerahi akal oleh Allah yang bisa digunakan
untuk membedakan kebenaran dan kesesatan.
Secara ringkas konsep amanah yang dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir dapat
kita ambil kesimpulan bahwa langit, bumi dan gunung-gunung sebelumnya telah
ditawari Allah Swt. untuk menerima amanah, yaitu melaksanakan tugas-tugas
keagamaan. Tetapi mereka enggan menerimanya karena khawatir akan azab yang
diberikan Allah sebagai akibat karena mereka berkhianat. Untuk itulah, amanah
ditawarkan kepada manusia, yang akhirnya mereka menerimanya. Namun, karena
dalam diri manusia terdapat banyak ambisi dan syahwat, maka amanat tersebut
seringkali mereka dustakan (akibat dari kebodohan dan kedzaliman manusia).
3. Abu Abdullah al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi
Amanah dalam pandangan al-Qurthubi meliputi semua tugas agama. Hal ini
sebagaimana firman-Nya pada Q.S al-Mu’minun/23: 8
Artinya:
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya.
77
Amanah dan janji menggabungkan semua yang dipikul manusia berupa
perkara agama dan dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan
dengan manusia, janji-janji dan selain yang demikian itu. Dan kesudahan yang
demikian itu adalah menjaga dan melaksanakannya.
Ketika amanah meliputi segala hal, yang diberi amanah harus menunaikan
amanahnya, sama saja ia diberi amanah terhadap harta yang banyak atau hanya
satu dinar. Karena Allah memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya,
dan melarang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang menghianati
semua amanah mereka. Dan Allah menjadikan diantara sifat orang-orang yang
beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka.
Amanah adalah sifat istimewa bagi para pemangku risalah (para Nabi),
karena sesungguhnya setiap orang dari mereka berkata kepada kaumnya yang
terangkum dalam Q.S asy-Syu’ara/26: 107
Artinya:
Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu,
Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka (para nabi)
kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius (raja Romawi) dengan Abu Sufyan
Ra. Ketika Heraclius berkata: “aku bertanya kepadamu, apa yang diperintahkannya
kepadamu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia memerintahkan shalat, jujur,
menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah. Ia berkata:
dan ini adalah sifat seorang Nabi.” (HR. Bukhori dan Muslim).
78
Sungguh jika ini merupakan sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya
para pengikut mereka juga memiliki karakteristik seperti itu. Karena itulah beliau
menyertakan definisi seorang mukmin dengan perilakunya yang istimewa, dimana
beliau bersabda:
“Dan seorang mukmin adalah orang yang manusia memberikan
amanah kepadanya terhadap darah dan harta mereka.” (HR. At-
Tirmidzi)
4. M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah
M. Quraish shihab berpendapat bahwa ayat tersebut (Q.S al-Ahzab/33:
72) berhubungan erat dengan ayat yang lalu, karena ia bagaikan menyatakan: Dan
barang siapa tidak taat kepada Allah dan Rasul, apalagi setelah menerima amanah,
maka mereka itu mendapat kerugian yang besar.
Kata ‘aradhna terambil dari kata ‘aradha yakni memaparkan sesuatu
kepada pihak lain agar dia memilih untuk menerima atau menolaknya. Ayat 72 ini
mengemukakan satu ilustrasi tentang tawaran yang diberikan oleh Allah kepada
yang disebut oleh ayat ini. Tawaran tersebut bukanlah bersifat pemaksaan. Tentu
saja siapa yang ditawari itu – dinilai oleh yang menawarkannya memiliki potensi
untuk melaksanakannya. Atas dasar itu, sementara ulama menambahkan bahwa
tawaran Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung itu, dan informasi-Nya
bahwa mereka menolak, merupakan pertanda bahwa sebenarnya mereka semua
bukanlah makhluk yang dapat memikul amanat itu. Di sisi lain penyerahan amanah
itu – oleh Allah kepada manusia dan penerimaan makhluk ini, menunjukkan
bahwa manusia memiliki potensi untuk menunaikannya dengan baik. Hal ini tidak
79
ubahnya seperti seorang ayah yang akan tercela jika semyerahkan sebilah pisu
kepada anak kecil, atau memerintahkan anak di bawah umur untuk mengemudi.12
Tujuan informasi ayat di atas tentang penolakan langit, bumi dan gunung-
gunung adalah untuk menggambarkan betapa besar amanat itu, bukan untuk
menggambarkan betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah itu.
Dalam memaknai amanah Thabathaba’i berkesimpulan bahwa makna
amanah yang paling tepat sesuai dengan ayat tersebut adalah kesempurnaan yang
dihasilkan oleh kepercayaan terhadap akidah yang benar, amal shaleh, serta upaya
menempuh jalan kesempurnaan dengan meningkatkan diri dari kerendahan materi
menuju puncak keihklasan yakni bahwa yang bersangkutan dipilih oleh Allah
untuk diri-Nya sendiri tanpa sedikit keterlibatan pihak lain pun, dan dengan
demikian Allah mengatur segala urusannya, dan inilah yang merupakan “Wilayah
Ilahiah”. Akhirnya Thabathaba’i menegaskan bahwa amanah adalah wilayah
Ilahiah sedang penolakan langit, bumi dan gunung-gunung berarti adalah ketiadaan
potensinya untuk itu, sedang penerimaannya adalah tersedianya potensi untuk
memikulnya. Dan karena manusia berlaku aniaya dan bodoh, tidak menolak dan
tidak pula khawatir memikulnya, maka jelaslah ada diantara mereka yang munafik
atau musyrik, sedang yang memikulnya dengan baik itulah yang mukmin.13
Ulama’ itu sebagaimana yang tercantum dalam tafsir al-Misbah
menyampaikan pertanyaan terhadap ayat tersebut: “Mengapa Allah yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui membenakan kepada manusia beban yang berat
dan penting dan yang justru telah ditolak oleh makhluk-makhluk besar dan kuat
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 11
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 332 13
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 334
80
seperi Langit, Bumi dan gunung padahal Allah telah mengetahui bahwa manusia
adalah makhluk yang lemah, dan bahwa ia menerima amanah itu karena kezaliman
dan kebodohannya, keangkuhan serta kelengahannya meyangkut dampak-dampak
penerimaan itu? Ini serupa dengan membebani seseorang yang tidak waras suatu
tugas yang bersifat umum dan yang telah ditolak sebelumnya oleh orang yang
berakal sehat.14
Thabathaba’i menjawab bahwa kezaliman dan kebodohan manusia lah yang
justru menjadikan sebab manusia mampu memikul amanah itu, karena sifat
kezaliman dan kebodohan hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat
menyandang sifat adil dan ilmu. Gunung misalnya, tidak dapat dikatakan gunung
yang zalim atau yang bodoh, demikian juga langit. Amanah yang dimaksud ayat
ini adalah wilayah ilahiah atau kesempurnaan sifat ‘ubudiyyah hanya dapat
diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal shaleh yang merupakan
keadilan, sedang yang dapat menyandang kedua hal itu hanyalah makhluk yang
berpotensi menyandang keduanya – dalam hal ini manusia. Dan manusia yang
berpotensi menyandang keduanya itu, berpotensi pula menyandang lawan
keduanya yakni kezaliman dan kebodohan.15
C. Munasabah Ayat 72 Dengan Sebelum Dan Sesudahnya.
Dalam al-Qur’an surah al-Ahzab/33: 72 mempuyai korelasi dengan ayat
sebelumnya. Allah Swt. setelah melarang mengucapkan kebohongan dan tuduhan
palsu, Allah Swt menyeru dan mengajak orang-orang yang beriman agar bertaqwa
14
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 334 15
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 335
81
kepada Allah Swt. yakni melaksanakan perintah-Nya sekuat kemampuan dan
menjauhi larangan-Nya serta mengucapkan perkataan yang tepat, yakni
menyangkut Nabi Muhammad Saw. dan Zainab ra. Bahkan dalam setiap ucapan
(al-Ahzab/33: 70). Jika itu mereka indahkan niscaya, menurut ayat 71 dikatakan
bahwa:
Artinya:
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah
dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar.
Selanjutnya, dalam pandangan al-Sya’rawi, pada ayat ini Allah menjelaskan
tentang kedudukan dan fungsi dari perkataan jujur yaitu "niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhry;a ia telah
mendapat kemenangan yang besar." Yaitu di akhirat kelak.
Kata fauzan (kentenangan) diberi sifat dengan kata 'azhim (besar), sebab
ketika manusia berada di dunia mereka mendapatkan rezeki dengan sebab yang
mereka lakukan. Sementara di akhirat kelak para penduduk surga mendapatkan
nikmat dari Allah langsung dari-Nya tanpa sebab yang harus dilakukan. Bukankah
dengan demikian nikmat akhirat lebih besar daripada nikmat dunia?.16
Pendapat lain disampaikan oleh Shihab bahwa Allah Swt. memperbaiki dari
saat ke saat kualitas amalan-amalan mereka, yakni dengan jalan mengilhami dan
16
Sya’rawi, Tafsîr asy-Sya’râwî, Vol. 11, h. 66
82
memudahkan mereka melakukan amal-amal yang tepat dan benar. Disamping itu,
Allah Swt. mengampuni dosa-dosa mereka. Memang tutup ayat 71, siapa mentaati
Allah dan rasul-Nya, maka sungguh ia telah memperole keberuntungan besar,
yakni ampunan dan surga Ilahi.
Sebalikya, siapa yang tidak taat kepada Allah Swt. dan Rasul, apalagi setelah
menerima amanah, maka mereka itu ditimpa kerugian yang besar. Q.s al-
Ahzab/33: 72 menyatakan bahwa:
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat
bodoh.
Sungguh Allah Swt. telah menawarkan amanat, yaitu tugas keagamaan
kepada langit, bumi dan gunung-gunung agar mereka mau memikulnya, lalu
mereka semua engan, karena takut bertanggung jawab. Mereka khawatir, jangan
sampai jika mereka menerimanya, mereka menghianatinya dan Allah Swt.
menawarkan amanat itu kepada manusia. Sesungguhnya manuisa amat dzalim,
karena tidak menunaikan amanat dan amat bodoh karena mau menerima manat itu
lalu menghianatiya. Sehingga kesudahannya lanjut ayat 73:
83
Artinya:
sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan
sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di akhir ayat dalam Q.S al-Ahzab/33: 72 dikatakan bahwa sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sementara pada ayat ini (Q.S al-
Ahzab/33: 73) diakhiri dengan Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Demikianlah keindahan bahasa al-Qur’an yang memiliki kesesuaian
antara ayat demi ayatnya (munasabah ayat). Allah maha Pengampun bagi orang-
orang yang berlaku zalim dan sayang terhadap mereka yang bodoh dari hamba-
Nya. Namun, seorang hamba tidaklah sewajarnya melakukan dosa karena
mengetahui bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Pengampun Dosa. Oleh karena
itu dalam Q.S al-Ifithar/82: 6 Allah berfirman: “.., Apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha
Pemurah.” Sifat Allah yang maha Pemurah disalahartikan oleh hamba-Nya
dengan melakukan maksiat dan dosa.17
Allah Swt. menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, karena mereka termasuk manusia
yang menerima amanat itu, lalu menyia-nyiakannya. Kendati demikian, sebelum
menyiksa, Allah Swt. membuka pintu taubat bagi siapapun sehingga Allah
menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan yang
17
Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 71
84
memanfaatkan anugerah itu. Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih pada siapapun yang akan bertaubat.18
Huruf lam pada ayat ini menunjukkan bahwa menurunkan azab bukanlah
tujuan dari penciptaan manusia. Allah tidak menciptakan manusia untuk diazab
melainkan untuk memerankan tugasnya sebagai khalifah. Lam ini disebut dengan
lam at-ta’qib yang berarti sebab perbuatan manusia itu sendiri sehingga dia berhak
atas azab Allah Swt. sebagaimana juga dijumpai dalam firman-Nya dalam Q.S al-
Qashash/28: 8: “Maka dia dipungut oleh keluarga Fir'aun agar kelak ia menjadi
musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” Ketika Fir’aun mengangkat
Musa sebagai anaknya maka ketika itu dia berarti telah memelihara musuhnya
yang kelak akan mengahancurkan kerajaannya.19
Dalam ayat ini juga Allah hendak membedakan antara orang munafik dan
musyrik.20
kemudian secara khusus Allah sediakan ampunan dan sayang-Nya
kepada orang-orang yang beriman. Inilah rahasia mengapa Allah mengulangi
nama-Nya dua kali pada ayat ini. Allah mengazab orang-orang munafik dan
musyrik dan Allah mengampunkan dan menyayangi mukmin. Sifat keindahan
Allah bagi orang mukmin, sedangkan sifat Jalal-Nya atas orang-orang munafik dan
musyrik.21
18
M. Quraish Sihab, al-Lubab: Makna, Tujuan, da pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 245-246 19
Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 71 20
Kaum munafik jauh lebih berbahaya dari orang kafir. Sebab orang yang kafir terdapat
kesesuaian antara ucapan dan hatinya. Sedangkan munafik antara perkataan dan hatinya tidak
sejalan, lain di bibir lain di hati. Mereka adalah orang yang menyembunyikan kekafiran dalam
dirinya. Oleh karena itu, mereka adalah musuh yang paling berbahaya. Ancaman Allah atas mereka
pun begitu kerasnya yaitu akan ditempatkan pada neraka yang paling berat azabnya. 21
Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, h. 72
85
Dalam kita al-Lubab: Makna, Tujuan, da pelajaran dari Surah-Surah al-
Qur’an, karya M. Quraish Shihab dijelskan beberapa pelajaran yang dapat dipetik
dari ayat 70-73, adalah sebagai berikut:
a. Berbicra, bukan hanya harus benar, tetapi juga tepat sasaran, waktu,
dan tempatnya, serta tepat juga redaksinya lagi sesuai dengan mitra
bicara.
b. Keterbiasaan mengucapkan kalimat-kalimat yang tepat mengantar
seseorang menjauh dari kebohongan, dan ini pada gilirannya
mengantarkannya melakukan aneka aktivitas yang baik dan bermutu.
c. Amanah keagamaan sangat agung sehingga langit, bumi, dan gunung-
gunung enggan menerimanya. Itu karena dia tidak memiliki potensi
untuk mempertanggungjawabkannya.
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari pertanyaan permasalahan yang tertulis pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konsep amanah menurut pandangan
Muhammad Mutawalli Sya‘rāwī berkaitan dengan segi kedzaliman dan
kebodohan manusia. Manusia dikatan zalim lagi bodoh dikarenakan kesanggupan
menerima amanah, namun tidak menunaikannya. Menurut Sya‘rāwī amanah yang
diberikan Allah kepada makhluk-Nya adalah amanah untuk memilih antara
beriman atau kafir, taat atau maksiat. Sya‘rāwī menjelaskan alasan langit, bumi
dan gunung-gunung menolak amanah tersebut adalah karena kekhawatiran dan
ketakutan akan khiyanah terhadap amanah yang diberikan. Itulah maksud dari
Firman Allah Q.S al-Ahzab/33: 72 dalam pandangan Muhammad Mutawalli
Sya‘rāwī.
B. SARAN
Dalam penulisan skripsi yang berkaitan dengan konsep amanah dalam
pandangan Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī pada Q.S al-Ahzab/33: 72 ini, akan
lebih bermakna apabila ada sumbangan dan saran untuk menganalisa tafsir-tafsir
yang berkaitan dengan sosial masyarakat. Untuk itu penulis menyampaikan
beberapa saran untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:
87
1. Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam lagi mengenai
pengalaman, metode tafsir, serta latar belakang sosial budaya dari
Muhammad Mutawalli al-Sya‘rāwī, supaya kita dapat mengetahui
karakter dan corak pemikirannya.
2. Diperlukan pemeliharaan dalam mengkaji tafsir yang berhubungan
dengan sosial kemasyarakatan. Karena al-Qur’an adalah pedoman hidup,
supaya hidup di dunia ini bermakna dan tidak sia-sia maka harus sesuai
dengan tuntunan al-Qu’an. Untuk itulah ayat-ayat mengenai mu’amalah
hendaknya lebih banyak dikaji.
3. Hendaknya sikap amanah ini diaplikasikan di dalam segala aspek
kehidupan sebagaimana tuntutan agama, karena dengan amanah ini
maka akan tercipta rasa tanggung jawab yang tinggi sehingga segala
aspek kehidupan akan berjalan dengan baik.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan ini, maka dari itu
apabila ada masukan, kritik atau saran atas penulisan ini maka penulis akan
menerima dengan senang hati sebagai pengembangan dari penulisan ini.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Malik Al-Munir, “Ṣafwat Al-Tafāsīr Karya Al-Sābūnī dan Contoh
Penafsirannya tentang Ayat-ayat Sifat” Analisis, Vol. XVI, No. 2 (Desember
2016): h. 145-168.
Abiyoga, Firdaus Arfianandy dan Irham Zaki. “Implementasi Sifat Amanah
Pengelola Koperasi Pondok Pesantren: Studi Kasus Pada Pengelola
Koperasi Pondok Pesantren Qomaruddin Kecamatan Bungah Kabupaten
Gresik”, Jestt, Vol. 1 No. 9 (September 2014): h. 636-646.
Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal. Musnad Ahmad ibn Hambal.
Vol. III Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Agung, Ivan Muhammad dan Desma Husni. “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” Jurnal Psikologi, Vol. 43, No. 3,
(2016): h. 194-206.
al-‘Ainain, Sa’id Abu. Al-Sya’rawi Ana Min Sulalat Ahli al-Bait. al-Qahirah:
Akhbar al-Yawm, 1955
Aji Fatahilah, dkk, “Penafsiran Ali Al-Shabuni Tentang Ayat-Ayat Yang
Berkaitan Dengan Teologi” Al-Bayan: Vol. 1, No. 2 (Desember 2016): h.
165-175.
al-Amal, Mahmud Rizq. Tarikh al-Imam al-Sya’rawi, dalam majalah Manar al-
Islam (September, 2001), no. 6 vol. XXVII.
Amrullah, Amri. ed: Nashih Nashrullah “Syekh Muhammad Mutawalli Al-
Sya‘rāwī Mujadid Abad ke-20” diakses pada 16 Juli 2018 dari
https://republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/14/09/14/nbw82m-
syekh-muhammad-mutawalli-asysyarawi-mujadid-abad-ke20
Anatassia, Dede Fitriana. “Apakah Kamu Teman yang Amanah? Psikologi
Indijinus: Teman yang Amanah pada Masyarakat Melayu”, Jurnal Psikologi,
Vol. 13 No. 1, (Juni 2017): h. 41-47.
Azis, “Reward-Punishment Sebagai Motivasi Pendidikan: Perspektif Barat Dan
Islam”, Cendekia, Vol. 14 No. 2 (Desember 2016): h. 333-349.
Ba’asiyen, Moh. Arsyad. “Tafsir bi al-Ra’yi Sebagai Salah Satu Bentuk
Penafsiran Al-Quran”, Hunafa, Vol. 2 No. 2 (Agustus 2005)
Badri, Taha. Qaluan al-Sya’rawi ba’da Rahilihi. al-Qahirah: Maktabah Al-Turas
al-Islami, t.t
Cahyadi, Rahmat Arofah Hari. “Telaah Hakikat Manusia dan Relasinya Terhadap
Proses Pendidikan Islam” Adabiyah, Vol. 1 , No. 1 (September 2015): h. 29-
40.
89
Fachrudin HS. Ensiklopedia Al-Qur`an. Jakarta: PT. Melton Putra, 1992
Faturrahman. “Konsep Dan Metode Penanaman Nilai Amanah Dalam Al-Qur’an:
Studi Tematik Ayat-Ayat Amanah”, Tesis UIN Sunana Kalijaga
(Yogyakarta 2011).
Faudah, Mahmud Basuni. tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi
Tafsir, terj. M Muhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid. Bandung, Pustaka,
1987.
Fawzi, Muhammad. al-Syaikh al-Sha‟rawi min al-Qaryah ila al-Qimmah. Kairo:
Dâr alNashr, 1992
Fitri, Ahyani Radhiani dan Ami Widyastuti. “Orang Tua Yang Amanah: Tinjauan
Psikologi Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 12-
24.
Harahap, Syahrin dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedia Akhlak Islam. Jakarta:
Kencana. 2009
Hasyim, Ahmad Umar. al-Imam al-Sya’rawi Mufassirin wa Da’iyah. al-Qahirah:
Maktabah al-Turis al-Islami, t.t.
al-Hasyimiy, Al-Sayyid Ahmad. Mukhtar Al-Hadits An-Nabawiyyah wa Al-
Hukum Al-Muhammadiyyah. Surabaya: Imaratullah, t.t.
Herianingrum, Sri dkk. “Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel
Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo”, Al-Tijarah, Vol. 1, No.
1 (Juni 2015): h. 59-71.
Hidayat, Manaratul. “Konsep Amanah Perspektif Al-Qur’an (Studi Analisis Tafsir
Al-Mishbah M. Quraish Shihab) “ Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin, Dakwah
dan Adab, Institut Agama Islam Negeri (Iain) “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten, 2015
Ibn Abbās. Tafsīr Ibn Abbās, diterjemahkan oleh Muhyidin Mas Rida. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Ibn Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzīm. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Ibn Mas’ūd. Tafsir Ibn Mas’ūd. Diterjemahkan oleh Ali Murtadho Syahudi.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Imam al-Bukhārī. Ṣahīh al-Bukhārī. Beirut: Dār al-Kutb al-ʹIlmiyah, 1992.
Istibzyaroh. Hak-Hak Perempuan Relasi Grnder Menurut Tafsir Al-Sya’rawi.
Jakarta:Mizan, 2004
Iyâzi, Muhammad Alî. al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum. Teheran:
Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H.
Jauhar, Ahmad al-Marsi Husein. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi: Imam Al-
‘asr. Al-Qahirah: Handat Misr, 1990.
90
Jauhar, Ahmad al-Marsi Husain. Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad
Mutawalli al-Sya`râwi Imâm al-`Asr. Kairo: Maktabah Nahdah, t.t
K. Hitti, Philip. History of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan, 1976
karomain, Ahmad. “Tafsir al-Sya‟rawi Khawatir al-Sya‟rawi Haula al-Qur‟an al-
Karim.” Diakses pada 16 Juli 2018 dari
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir-al-syarawi-khawatir-al-
syarawi-haula-al-quran-al-karim/
Khaerullah,Moch Irham. “Implikasi Qs. Al-Maidah Ayat 67 tentang Tugas Dan
Peran Guru Dalam Menyampaikan Amanah”, Prosiding Pendidikan Agama
Islam, Vol. 2 (Tahun 2014-2015): h. 49-56.
Khairullah, ”Peran dan Tanggung Jawab Manusia dalam Al-Qur`an” dalam Jurnal
Al-Fath, Vol. V. no.01, Januari-Juni, 2011.
al-Khawarizmi, Al-Imam Al-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasyaf. t.t: Darul Maarif,
2002
al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dan Herry
Noer Aly, Juz 4,5, dan 6.
Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir
Dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8,
No. 2 (Desember 2014): h. 207-228.
Maulana, Aji. “Implementasi Nilai Amanah Dan Fathanah Pada Pengelolaan
Zakat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)”, Skripsi S1 Fakultas
Dakwah Dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2008).
Mentari, Riesti Yuni. “Penafsiran al-Sya’rawi terhadap al-Qur’an tentang Wanita
Karir” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2011.
al-Minsyâwî, Muhammad Siddîq. Al-Syaikh al- Sya‟râwi wa Hadîts al-Dzikrayât.
t.t.: t.p.,t. th.
Mohammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani Press, 2006
Mubarak. “Urgensi Psikologi Islam Dalam Pendidikan Islam” Studia Insania,
Vol. 5, No. 2 (November 2017): h. 215-228.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Munthe, Ricca Angreini dan Ami Widyastuti. “Saudara Yang Amanah: Tinjauan
Psikologi Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 25-
34.
Mustaqimah, “Urgensi Tafsir Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur’an” FARABI,
Vol. 12 No. 1 (Juni 2015)
91
Nawawi, Rif’at Syauqi. Kepribadin Qur’ani. Jakarta: Amzah, 2011
Noviandani, Martha Ineke dan Dina Fitrisia Septiarini. “Nilai-nilai Amanah
Sebagai Strategi Fungsional Pada Rumah Makan Wong Solo Cabang
Gresik”, Jestt, Vol. 2 No. 5 (Mei 2015): h. 400-412.
Pasya’, Hikmatiar ”Studi Metodologi Tafsir asy-Sya’rawi” Jurnal Studia
Qur’anika Vol. I, no. 2 (Januari, 2017)
Pratiwi, Chintya Ayu. “Hadits-Hadits Amanah Riwayat Bukhari-Muslim Dalam
Kitab Riyadhush Shalihin Dan Implementasinya Dalam Manajemen
Pendidikan Islam”, Skripsi S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (Surakarta,
2017).
Pulungan, Sahmiar. “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qur’an” Disertasi
Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006).
al-Qurthubi. Jami’ li Ahkām al-Qur’ān. Diterjemahkan oleh Faturrahman Abdul
Hamid dkk Jakarta: Pustaka Azaam, 2009.
Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir sosial berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Roisah, Nida Nur. “Pembentukan Kepribadian Islami Melalui Metode Pembinaan
Akhlak Anak” Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2009, h. 34.
Rosyid, Moh. “Mewujudkan Pemimpin Amanah Pada Pemilu 2014 Dalam
Bingkai Sejarah”, Yudisia, Vol. 5, No. 1 (Juni 2014): h. 21-45.
Sadat, Anwar. Jalan Panjang Menuju Revolusi (Sebuah Catatan di Lembah
Sungai Nil) Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Sahri. “Penafsiran Ayat-Ayat Al Qur’an Tentang Amanah Menurut M. Quraish
Shihab”, Madaniyah, Vol. 8 No. 1 (Januari 2018): h. 125-140.
Samak, Muhammad Jawis. “Amanah dalam al-Qur’an: Kajian Tematik Tafsir al-
Qur’an Al-Azim Karya Ibn Katsir”, Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga
(Yogyakarta 2017).
Setiawan,Wahyudi. “Reward and Punishment dalam Perspektif Pendidikan
Islam”, AL-Murabbi, Vol. 4, No. 2 (Januari 2018): h. 184-201.
Shihab, M. Quraish. al-Lubab: Makna, Tujuan, da pelajaran dari Surah-Surah al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2012
Shihab, M. Qurais. al-Qur’an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, 2013
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
Vol. X. Jakarta: Lentera Hati, 2002
92
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
Vol XI. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Sya’rawi, Muhammad Mutawalli .Tafsir Sya’rawi, terj. Safir al-azhar (Ikatan
alumni Universitas al-azhar Mesir di Medan) dan Zainal Arifin. Jakarta: PT.
Ikrar Mandiriabadi, 2011
Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsîr asy-Sya’râwî, Vol. 2. Kairo, Mesir:
Akhbar alYoum, 1991
Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsîr asy-Sya’râwî, Vol. 6. Kairo, Mesir:
Akhbar alYoum, 1991
Abdul Syukur,” Mengenal Corak Tafsir al-Qur’an” Jurnal El- furqonia Vol. 01,
No.1 (Agustus: 2015), h. 83 - 104
al-Thabarī. Jamiʹ al-Bayān an Ta’wīl Ayi al-Qur’ān. diterjemahkan oleh Misbah.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Tusriyanto, “Kepemimpinan Spiritual Menurut M. Quraish Shihab” Akademika,
Vol. 19, No. 01 (Januari -Juni 2014): h. 117-134.
Zain, Arifin dkk. “Identifikasi Ayat-Ayat Dakwah Dalam Al-Qur`an”, AL-Idarah,
Vol. 1, No. 2 (Desember 2017): h. 167-188.
Zoelisty, Capridiea. “Amanah Sebagai Konsep Pengendalian Internal Pada
Pelaporan Keuangan Masjid”, Skripsi S1 Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Universitas Diponegoro (Semarang, 2014).
https://almanhaj.or.id/2711-siapakah-yang-layak-diberi-amanah.html
top related